60
EDISI KHUSUS TAHUN 2012 untuk Mengenal Urban Sprawl & Compact City Tertatih-tatih Mengasuh Perumahan Rakyat di Indonesia

INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Embed Size (px)

DESCRIPTION

diterbitkan oleh Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat

Citation preview

Page 1: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

EDISI KHUSUS TAHUN 2012

Rumah Rakyat

untuk

Mengenal Urban Sprawl &

Compact City

Tertatih-tatihMengasuh Perumahan Rakyat di Indonesia

Page 2: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

2

Selamat pagi, siang, sore dan malam teman-teman pembaca Inforum yang setia. Sebuah kehormatan yang sangat besar untuk dapat hadir kembali di tengah - tengah para pembaca sekalian bersama edisi khusus Inforum Tahun 2012 ini. Tahun 2012 merupakan tahun yang sangat krusial dalam perjalanan pembangunan perumahan. Tahun ini merupakan pertengahan perjalanan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Pada tahun ini seluruh Indonesia menyoroti hasil pembangunan perumahan serta efektivitas dan efisiensi pembangunan perumahan yang telah diamanatkan dalam RPJMN.

Salah satu kejadian bersejarah pada tahun 2012 adalah Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU No.1 Tahun 2011) berhadapan dengan para juri dan hakim di Mahkamah Konstitusi. Persidangan tersebut menghasilkan Keputusan MK nomor 14/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 22 ayat 3 tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Pasal 22 ayat 3 UU No.1 Tahun 2011 tersebut mengatur bahwa luasan lantai rumah layak huni minimal sebesar 36 m2.

Runtuhnya kebijakan 36 m2 tersebut dapat menjadi pedang bermata dua. Pada satu sisi, rumah dengan luasan dibawah 36 m2 dapat difasilitasi skema kredit Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) namun di sisi lain, ini juga membuka pintu terhadap pembangunan perumahan dengan daya dukung yang rendah terhadap aktifitas keluarga. Kebijakan rumah layak huni 36 m2 merupakan pengejawantahan dari standar kualitas hidup manusia yaitu ruang minimal 9 m2. Oleh karena itu, dengan asumsi satu keluarga beranggotakan 4 (empat) jiwa, maka ruang minimal yang dimiliki rumah adalah sebesar 36 m2.

Disadari betul bahwa pemenuhan kebutuhan rumah dengan spesifikasi yang sesuai dengan persyaratan kelayakan hunian bagi MBR merupakan hal yang hampir mustahil terutama di kota - kota besar. Daya beli masyarakat dihadapkan pada tingginya harga hunian selalu berat sebelah. Hal ini akhirnya mengakibatkan marginalisasi MBR dari kawasan perkotaan, tumbuhnya kantong - kantong kawasan kumuh, serta meningkatnya komuter.

Perlu ditekankan bahwa redaksi tidak mengatakan kebijakan satu lebih baik daripada kebijakan yang lain. Akan tetapi konsekuensi dari setiap kebijakan perlu disadari oleh masyarakat luas.

Akhir kata, kami mewakili pengelola dan dewan redaksi Inforum menyampaikan selamat membaca, dan semoga apa yang dituliskan di dalam majalah edisi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Terimakasih sekali lagi, dan selamat membaca.sumber foto cover: istimewa

Redaksi menerima artikel, berita, karikatur yang terkait bidang perumahan rakyat dari pembaca. Lampirkan gambar/foto dan identitas penulis ke alamat email redaksi. Naskah ditulis maksi-mal 5 halaman A4, Arial 12.Redaksi juga menerima saran maupun tanggapan terkait bidang perumahan rakyat ke email [email protected] atau saran dan pengaduan di www.kemenpera.go.id

Pelindung:Menteri Perumahan Rakyat

Penasehat Redaksi:Sekretaris Kementerian Perumahan RakyatDeputi Bidang Pembiayaan PerumahanDeputi Bidang Pengembangan KawasanDeputi Bidang Perumahan SwadayaDeputi Bidang Perumahan Formal

Pemimpin Redaksi:Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran

Dewan Redaksi:Rifaid M. Nur, Eko D. Heripoerwanto, M. Dimyati,Iwan Nurwanto, Siti Budihartati, Didiek Hardijanto,Andre Yusandra, Lukman Hakim

Penyunting dan Penyelaras Naskah:Ika A. Pawiyarti, David A. Sagita, Leonardus P. Harryadhi,Ahmad Zaki Zayadi Fikri

Reporter:Akbar Pandu Pratamalistya, Ristyan Mega Putra, Sri Rahmi

Desain dan Produksi:Satriadi Utomo, Aris Karnadhi, Agus Sumarno

Distribusi:Hotman Sahat Gayus, Nurul Prihatin, Aditya Maulana,Jadima Lumban R., Riesa Anandya

Promosi dan Pameran:Jafry, Tri Pujiastuti, Angga Dwijayanti, Budi Setiawan,Rossi Dwi A.

Kontributor:Nauval Ammary, Sunaryadi

Koresponden:R. Budiono Subambang, Toni Rusmarsidik B. Ekoputro,Cut Lisa, Bambang Sucipto Yuwono

Pergudangan dan Logistik:Ahmad Sudibyo

Alamat Redaksi Inforum:Bagian Humas dan ProtokolKementerian Perumahan RakyatJln. Raden Patah I No.1, Kebayoran Baru,Jakarta SelatanTelp./fax: (021) 7264786/72800145Email: [email protected]: www.kemenpera.go.id

Page 3: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

3

Terimakasih sebelumnya atas informasi yang diberikan di dalam majalah inforum ini.

Pertama kali saya membaca majalah inforum di ruang tunggu Kementerian Perumahan Rakyat edisi 2011. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan

1. Apakah majalah inforum ini terbit secara kontinyu seperti majalah milik Kementerian Pekerjaan Umum?

2. Sebaiknya majalah inforum ini memasukkan informasi mengenai kebijakan-kebijakan Kementerian Perumahan Rakyat yang terbaru/terupdate, sehingga informasi bisa sampai di masyarakat. Termasuk semua jenis bantuan yang diberikan Kemenpera kepada masyarakat seperti program rumah murah dan KPR FLPP. Serta informasi mengenai penyelenggaraan acara/event besar seperti pameran Kemenpera dengan BTN, dll.

Retno di Tangerang

Yth Sdri Retno di Tangerang

Terimakasih atas ketertarikan anda kepada majalah INFORUM. Majalah ini memang terbit secara kontinyu meskipun distribusinya masih belum merata ke seluruh daerah. Majalah INFORUM juga selalu berusaha dapat menampilkan kebijakan serta berita terbaru di bidang perumahan terutama terkait Kementerian Perumahan Rakyat. KPR-FLPP bahkan sudah pernah diulas secara khusus, dan pada edisi ini ditampilkan secara khusus info regulasi mengenai KPR-FLPP

Yth. Redaksi Majalah Inforum

Saya pembaca yang telah mengikuti Inforum sejak tahun 2011. Media ini bagus untuk menambah informasi bidang Perumahan Rakyat. Untuk redaksi, apakah penerbitan Majalah Inforum bisa dilakukan lebih cepat, menjadi setiap bulan? Selain itu untuk menambah wawasan para pembaca tentang Perumahan Rakyat, alangkah lebih baik jika Bapak Menteri Perumahan Rakyat menulis tentang Perumahan Rakyat (tentu tulisan yang orisinil) di majalah ini.

Demikian pertanyaan dan usulan dari saya. Salam dan maju terus bidang Perumahan Rakyat.

Bejo Sugiharto - Semarang Timur

Yth. Sdr. Bejo Sugiharto di Semarang Timur

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembaca setia INFORUM. Penerbitan Majalah untuk sementara baru dapat dilakukan 4 bulan sekali dikarenakan keterbatasan sumber daya. Akan tetapi, pengembangan ke depannya diharapkan dapat menjadi lebih baik dan tidak menutup kemungkinan dapat diterbitkan setiap bulan. Masukan saudara mengenai tulisan Bapak Menteri Perumahan Rakyat akan kami usahakan.

Yth. Majalah Inforum

Saya adalah seorang mahasiswa Planologi di Indonesia, saya sangat suka membaca rubrik – rubrik mengenai penataan ruang di majalah INFORUM. Sering saya temukan tulisan – tulisan dari para ahli perencana yang dikemas dengan cantik di dalam majalah INFORUM. Oleh karena itu, meskipun saya mengerti majalah ini merupakan majalah dengan pembahasan utama di bidang perumahan, saya berharap tulisan – tulisan mengenai penataan ruang dapat lebih ditingkatkan.

Terimakasih

Kiki

Yth Sdri Kiki

Terimakasih karena telah mengikuti dengan detail setiap artikel di dalam Majalah INFORUM. Kami sangat senang apabila majalah kami dapat membantu studi anda di bidang Penataan Ruang. Bidang perumahan dan permukiman tentu tidak dapat terlepas dari penataan ruang dan perencanaan kota oleh karena itu, redaksi selalu berusaha menampilkan isu terbaru dari sumber yang terpercaya dan kompeten dalam memberikan artikel di INFORUM. Kami juga sangat senang untuk menerima masukan artikel dari anda mengenai penataan ruang.

Page 4: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

4

Tertatih-tatihMengasuh Perumahan

Rakyat di Indonesia

Dari Redaksi 02

Surat Pembaca 03

Daftar Isi 04

Laporan Utama 06

Wacana 18

Liputan 50

Intermezzo 54

Pengelolaan Pengetahuan 55

Agenda 58

Galeri Foto 59

Pemberdayaan Masyarakat:

Bentuk Pembangunan yang Sebenarnya

Peluang dan Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh melalui Kemitraan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat

Penanganan Permukiman KumuhSecara ManusiawiBadan Usaha Milik Negara BUMN diharapkan dapat ikut serta dalam menyukseskan program perumahan rakyat baik melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) maupun melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya.

Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam penanganan permukiman kumuh telah menjadi suatu keniscayaan. Tinggal bagaimana seluruh pemangku kepentingan bersama-sama menciptakan upaya terobosan dan berkomitmen melaksanakannya.

30

Urban Sprawl istilah dari penyebaran pengembangan baru pada sejumlah kawasan terpisah, dan tersebar pada area-area lahan kosong sekitarnya.Compact City adalah suatu pendekatan dalam perencanaan kota yang didasarkan pada pengembangan secara intensif dalam kawasan perkotaan eksisting atau pada kota-kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, dengan membatasi pertumbuhannya.

Wacana

6

Pemerintah, dimanapun di dunia, boleh di bi lang pengasuh

pembangunan perumah an rakyat dan pengelolaan perumukiman.

Sedang menurut bahasa konstitusi Indonesia, pemerintah atas nama

negara melaksanakan kewajibannya melindungi, memajukan,

menegakkan dan memenuhi hak setiap orang untuk bertempat tinggal

dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Bagaimana cara

mengasuh itulah yang berbeda di setiap negara dan berubah mengikuti

perkembangan zaman.

Wacana

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk membangun kekuatan, keterampilan, pengetahuan dan memberikan pengalaman pada masyarakat baik individu maupun kelompok untuk berinisiatif memecahkan masalahnya sendiri.

18 24MengenalUrban Sprawl &Compact City

Wacana

Laporan Utama

Wacana 30

Page 5: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

5

Pemerintah Siap Dorong PNS untuk Miliki RumahPemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dan Bapertarum PNS punya program yang dapat dimanfaatkan oleh PNS. Adanya bantuan uang muka dan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan merupakan salah satu terobosan yang diharapkan dapat mendorong kepemilikan rumah khususnya bagi PNS.

50Liputan

Pembangunan Perumahan Tingkatkan Kesejahteraan

55

54

59 Kearifan Lokal

Liputan

51

Program perumahan dan kawasan permukiman berperan penting dalam sistem perekonomian terkait dengan multiplier effect yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan di sektor perumahan.

Kemenpera Bahas Pembangunan Rusunawa di Atas CiliwungMenpera mengatakan bahwa pembangunan rusunawa ini akan dilengkapi dengan beberapa fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. Kebutuhan penghuni rusunawa bisa terpenuhi karena akan dibangun beberapa fasilitas. Jadi murni merupakan kampung susun.

Liputan

Rumah SehatKesehatan rumah tinggal merupakan faktor kunci untuk mendukung pertumbuhan keluarga, kegiatan keluarga dan berkumpul bersama keluarga.Apa yang dimaksud dengan ‘Rumah Sehat’? Mari simak kriterianya menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999, di halaman 55.

Intermezzo

APMCHUD: Pertemuan Pertama RSUWG di IranBerdasarkan Deklarasi Taheran dan Deklarasi Solo dan Rencana Aksi, keluaran dari konferensi kedua dan ketiga, Republik Islam Iran membentuk kelompok kerja APMCHUD pertama, meningkatkan kualitas perumahan kumuh dan permukiman informal, melalui Urban Development and Revitalization (URDO) Iran. Pertemuan Pertama Kelompok Kerja diselenggarakan di Taheran, Iran, 2-4 Juli 2012.

Agenda

Format-format Perubahan RuangKebutuhan manusia akan ruang tidak hanya sebatas sebagai pemenuhan kebutuhan bersifatpribadi, namun juga pemenuhan kebutuhan bersifat sosial. Pemenuhan kebutuhan ruang bersifat sosial ini kemudianmelahirkan ruang-ruang interaksiyang dikenal sebagai ruang publik, sebuah ruang yang digunakan secara bersama-sama dimana kepentingan multi pribadi menjadi tumpang tindih.

Info Buku

53

58

Contoh Rumah Honai Sehat PapuaKemenpera membangun rumah contoh berupa rumah adat Papua, yaitu rumah Honai. Pembangunan rumah contoh ini adalah salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap kearifan lokal. Jelas sudah bahwa pemerintah selain memperhatikan standar kelayakan rumah yang selama ini sudah terlanjur terpatri ‘pakem’ atap genteng dan dinding beton, juga memperhatikan kearifan lokal masyarakat.

Page 6: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

6

Laporan Utama

Pemerintah, dimanapun di dunia, boleh di bi lang pengasuh pembangunan perumah an rakyat dan pengelolaan perumukiman. Menurut ba­hasa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, pemerintah adalah pelayan masyarakat yang

antara lain melayani tempat tinggalnya. Sedang menurut bahasa konstitusi Indonesia, pemerintah atas nama negara melaksanakan kewajibannya melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak setiap orang untuk ber­tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Bagaimana cara mengasuh itulah yang berbeda di setiap negara dan berubah mengikuti perkembangan zaman. Pemerintah Uni Soviet (Rusia) dulu berupaya menyediakan rumah bagi seluruh warga negaranya, kini tidak begitu lagi. Pemerintah Inggris, Hongkong, Singa­pura membangun dan mengelola perumahan publik yang diperuntukan bagi sekitar 50% sampai 60% warganya. Di Inggris perumahan publik tersebut kemudian dipri­vatisasi, sedang di Hongkong dan Singapura digalakkan program pemilikan rumah. Di banyak negara Eropa (Jer­man dan negara­negara Nordic) pemerintah mendorong

perkembangan pemilikan bersama, asosiasi pemilik dan ko­operasi yang masih dominan sampai sampai saat ini. Pemerintah Amerika lebih banyak menyerahkan kepada mekanisme pasar, tetapi membantu masyarakat dalam pembiayaannya.

Di Indonesia sekitar 70% sampai 80% rumah diba­ngun masyarakat sendiri, bahkan banyak yang tanpa sen­tuhan pemerintah sama sekali. Jumlah rumah yang diba­ngun oleh individu rumah tangga tanpa pengorganisasian dan bahkan tanpa pengaturan dan pelayanan pemerintah mendominasi permukiman di Indonesia. Meskipun kini telah berkembang perumahan yang dibangun secara ter­organisasikan, tetapi dalam lingkup nasional, apa yang dibangun secara individual dan swadaya diperkirakan masih sekitar 70 persen dari seluruh stok rumah. Sebagian kondisi ini merupakan potensi, karena tanpa hadirnya pemerintah pun kebutuhan tempat tinggal terpenuhi. Sebagian lagi menjadi masalah karena tanpa adanya sen­tuh an pemerintah telah terjadi kekumuhan dengan sega­la implikasinya terhadap kesehatan dan bencana. Inilah yang kemudian harus diurus pemerintah. Oleh karena

Tertatih-tatih

Tjuk Kuswartojo

Mengasuh Perumahan Rakyat di Indonesia

Page 7: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

7

itu, urusan perumahan rakyat di Indonesia bukan hanya bagaimana membangun dan mengadakan rumah, tetapi juga bagaimana mengatasi kekumuhan yang terjadi.

Bagaimana menentukan lokasi dan menempatkan pem bangunan perumahan, merupakan peran pemerintah yang juga sangat penting. Karena penempatan perumah an yang tidak tepat bisa menimbulkan implikasi yang luas, seperti menimbulkan kebutuhan transportasi dan kema­cetan lalu lintas, yang berarti membuang bahan bakar de­ngan sia­sia. Salah lokasi bisa berakibat perumahan tidak dihuni, yang artinya jutaan atau bahkan milyaran rupiah ditanamkan percuma. Genangan air yang disebut banjir dan banyak soal lain juga banyak yang ditimbulkan oleh salah lokasi tersebut. Implikasi pembangunan perumahan dan perkembangan permukiman ini, sangat berkaitan dengan penataan kota, yang seharusnya ditangani peme­rintah. Soalnya siapa pemerintah yang harus bertanggung jawab tersebut. Pemerintah tingkat nasional mengang­gap kaitan pembangunan perumahan dan penataan kota adalah urusan pemerintah daerah. Di sisi lain pemerintah daerah sering tidak terlalu peduli, atau bisa juga mendapat tekanan untuk harus menerima inisiatif pihak lain.

Dengan demikian, kebijakan perumahan rakyat seha­rusnya juga tertuju untuk menjawab dua soal besar yaitu pertama bagaimana mengatasi dan mencegah kekumuhan dan kedua bagaimana memadukan pembangunan peru­mahan dengan kondisi dan perkembangan perkotaan. Dua soal ini belum menjadi fokus dan kebijakan eksplisit pembangunan perumahan rakyat dari sejak zaman orde baru. Bahkan sampai sekarang pun, belum terbaca tanda­tanda bakal adanya kebijakan pemaduan tersebut. Padahal UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Pan­jang Nasional (RPJMN) secara eksplisit mencanangkan kota tanpa permukiman kumuh tahun 2025. Sementara UU 1/2011 mengamanatkan penyelenggaraan kawasan permukiman yang tentu bisa diartikan berskala kota. Se­lain itu, juga diamanatkan adanya peningkatan kualitas serta pencegahan terjadinya permukiman kumuh. Belum ada tanda­tanda bahwa dua amanat dari dua undang­un­dang tersebut bakal dilaksanakan. Kebijakan perumahan rakyat sampai kini masih tersandera oleh apa yang disebut “backlog”, mengejar kekurangan rumah yang sebenarnya belum pernah dihitung dengan akurat.

Jejak Langkah Orde BaruPada zaman orde baru, pembangunan dimulai de ngan

menetapkan kerangka pembangunan jangka panjang yang disebut sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Berdasarkan kerangka tersebut kemudian disusun pemba­ngunan lima tahun, yang hasilnya akan menjadi balikan (feedback) bagi GBHN. Pembangunan perumahan rakyat

juga dilaksanakan berdasarkan sistematika tersebut.Atas amanat GBHN tahun 1968, pemerintah Indo­

nesia mulai mengurus perumahan perumahan rakyat dan menjadikannya salah satu dari 17 sektor pembangunan. Walaupun demikian dalam pembangunan lima tahun pertama (Pelita Pertama) 1969­1974, belum benar­benar melaksanakan pembangunan perumahan. Pada Pelita per­tama tersebut yang dilakukan baru pada taraf persiap an pembangunan perumahan. Pemerintah baru belajar mem­bangun rumah rakyat secara masal, yang dikenal proyek P 1000. Di Pasar Jum’at Jakarta dibangun 300 unit, Ban­dung 150 unit, Surabaya 150 unit, Semarang 150 unit dan di beberapa kota lain 50 unit. Pelajaran ini diperlu­kan untuk menjajagi dukungan industri kon struksi dan teknik produksi pembangunan rumah ru mah secara masal yang belum banyak dilakukan. Pada wak tu itu, komponen ba ngunan memang masih sangat terbatas. Pembangu­nan perumahan masih mengandalkan sistem produksi tradisional dan konvensional yang belum diketahui ka­pasitasnya. Karena itu, seberapa jauh industri bahan dan komponen bangunan dapat mendukung pem bangunan rumah secara masal masih menjadi tanda tanya.

Pada awal pemerintahan orde lama (sebelum 1965) sesungguhnya telah ada pembangunan perumahan yang terorganisasikan, masal dan berskala kota seperti Keba yoran Baru, Pekanbaru dan Palangka Raya. Juga dibangun kawasan permukiman te­rencana seperti: Grogol, Slipi, Pejompongan, Tebet, Cempa­ka Putih di Jakarta, Buah Batu, Turangga di Bandung, Baciro di Yogyakarta dan Banjar Baru di Banjarmasin. Walaupun de­mikian, pembangun an tersebut belum bisa menumbuhkan kapasitas industri konstruksi di Indonesia.

Kelembagaan perumahan rakyat pada waktu itu hanya diurus oleh Djawatan Perumahan Rakyat yang dibentuk oleh Menteri Pekerjaaan Umum. Sedang pembiayaan peru­mahan diurus oleh Yayasan Kas Pembangunan Perumah an Rakyat (YKP) dan Bank Pembangunan. Dari sekitar 190 YKP di seluruh Indonesia, hanya berhasil membangun rumah sekitar 13.000, dikarenakan kondisi ekonomi dan politik pada zaman orde lama. Akhirnya, pembangunan perumahan rakyat yang terorganisasikan tidak berlanjut. Oleh karena itu, bagaimanapun pemerintahan orde baru harus memulai dan membangun kembali sistem pemba­ngunan perumahan masal yang lebih terorganisasikan.

Hal di atas mengakibatkan pemerintah orde baru ha­

GBHN tahun 1968, pemerintah Indo nesia mulai mengurus

perumahan perumahan rakyat dan menjadikannya salah satu dari 17

sektor pembangunan.

Page 8: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

8

rus membangun suatu sistem pembangunan perumahan rakyat yang tentu saja harus disesuaikan dengan perkem­bangan yang telah terjadi. Pada Pelita Pertama tersebut, pemerintah merancang dan menyiapkan kelembagaan sistem pembangunan perumahan yang diharapkan mu­lai berfungsi pada Pelita Kedua. Pada akhir Pelita Per­tama 1974 dibentuklah Perusahaan Umum Pembangun­an Perumahan Nasional (Perumnas) sebagai pelaksana pem bangunan perumahan rakyat dan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai pelaksana dukungan dana. Untuk memungkinkan kedua lembaga itu dapat menjalankan fungsinya, dana dengan jumlah yang memadai disediakan oleh Bank Indonesia, Pemerintah dan pinjaman dari Bank Dunia. Kedua lembaga inilah yang kemudian menjadi penggerak pembangunan perumahan di seluruh provinsi di Indonesia.

Pada awal tahun tujuh puluhan tersebut juga mulai tumbuh perusahaan real estat yang membangun perumah­an atas kekuatan permintaan dan memasok melalui me­kanisme pasar. Kemudian berdirilah asosiasi Real Estate Indonesia (REI) pada tahun 1972 yang diawali oleh 28 perusahaan. Karena memasok rumah melalui mekanisme pasar, bisa dimengerti apabila real estat ini hanya menye­diakan rumah bagi yang mampu dan hanya dilakukan di daerah yang permintaannya kuat. Pada tahun tujuh pu­luhan tersebut, Perumnas yang dibentuk dan didanai oleh negara mempunyai peranan pengembangan perumah an yang jauh lebih besar daripada real estat. Perumnas dengan cekatan membeli tanah di berbagai kota sebagai cadangan untuk pembangunan perumahan.

Pemikiran yang menjadi kerangka kebijakan peru­mahan yang muncul sejak tahun 70an adalah perbaikan permukiman kumuh (kampung) diperuntuk an bagi lapisan paling bawah dan sepenuhnya di­selenggarakan oleh pemerintah. Pembangun an perumahan rakyat bagi lapisan menengah ke bawah diselenggrakan oleh Perumnas. Sedang­kan bagi lapisan atas diserahkan pada meka­nisme pasar dan ini yang kemudian dita­ngani oleh real estat.

Kondisi perekonomian dan keuangan pemerintah Indonesia pada pertengahan ta­hun 80an yang kurang menggembirakan, menjadikan BTN dan Perumnas diminta untuk mandiri. Penyertaan modal peme­rintah pun ditarik, yang dengan sendirinya membuat daya kedua lembaga tersebut se­bagai penggerak pembangunan perumah­an menurun. Perbaikan kampung masih berlangsung sampai awal tahun tahun sem­bilan puluhan, karena pinjaman dari Bank

Dunia dan ADB memang masih ada.Pada pertengahan tahun 80an mulai diperkenalkan

rumah susun, sebagai solusi atas kelangkaan tanah di perkotaan dan sekaligus sebagai upaya membangun kem­bali permukiman kumuh. Perumnas membangun rumah susun di berbagai kota antara lain di Kebon Kacang, Pulo Mas, Klender di Jakarta, di Bandung, Palembang, Suraba­ya dan kota lain. Pembangunan rumah susun ini menjadi semacam rumah publik di Hongkong, Singapura, Inggris tetapi disertai pengelolaan secermat di negara tersebut. Untuk memberi payung hukum, terutama dalam pemi­likan dan penggunaan tanah dan benda bersama yang menyertai rumah susun, diterbitkanlah UU 16/1985 ten­tang Rumah Susun. Walaupun demikan, undang­undang ini tidak memberi efek signifikan terhadap pembangunan rumah susun.

Kapasitas real estat terus meningkat, sehingga mampu membangun perumahan berskala kota. Akhir tahun 1984, jumlah rumah yang dibangun Perumnas sekitar 120.000 unit, sedang yang dibangun puluhan real estate sekitar 30.000 unit. Akhir tahun 1989, jumlah yang dibangun Perumnas sekitar 160.000 unit padahal yang dibangun ra­tusan real estate mencapai 120.000 unit. Real estat men­jadi percaya diri dan berupaya membangun perumahan skala kota layaknya sub­urban di Amerika. Meskipun ada pengaturan khusus yang tidak seserhana untuk dapat membebaskan tanah seluas lebih dari 300 Ha oleh satu perusahaan, perusahaan real estat ternyata dapat menyia­sati pembatasan itu. Sebuah konsorsium dibentuk untuk bisa mendapatkan izin sampai 6.000 Ha cukup dengan izin lokasi saja. Dengan demikian pada perte ngahan ta­hun 80an telah ada bank tanah ala kapitalis Donald

Trump. Tanah negara bekas tanah perkebunan yang diswastakan menjadi awal pengemban­gan bank tanah dan disiapkan untuk menjadi sebuah kota.

Meningkatnya jumlah serta kemampuan real estat, maraknya pembangunan rumah

mewah, melemahnya perumnas dan kekha­watiran terabaikannya perumahan rakyat, melahirkan kebijakan hunian berimbang. Kebijakan yang menentukan pembangun­an 1 rumah mewah harus disertai 2 rumah sedang, dan 6 rumah sederhana adalah ke­bijakan hunian yang multi dimensi. Inti­nya adalah agar pembangunan perumahan rakyat yang sederhana tidak terabaikan. Selain itu, juga ditujukan agar pemanfaatan sumber daya (tanah) dan prasarana yang merata seimbang dan tidak terjadi eksklu­sivitas komunitas.

...maraknya pembangunan rumah mewah, melemahnya perumnas dan kekhawatiran terabaikannya perumahan rakyat, melahirkan kebijakan hunian berimbang.

Laporan Utama

Page 9: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

9

Pada awal tahun 90an me­mang telah hadir hasil pem­bangunan perumahan berskala kota yang dikelola usaha swasta. Meskipun digambarkan sebagai kota dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang lengkap, tidak bisa dipungkiri bahwa semuanya hanya diperuntuk­an bagi lapisan yang mampu membayar. Lapisan bawah hanya bisa bekerja di kota baru swasta tersebut, sebagai pelayan kebersihan, pelayan toko, sopir, kuli dan sebagainya tetapi tidak sebagai penghuni. Kota swasta tersebut tidak akan sama deng­

an kota­kota lain di Indonesia, antara lain selain penghuni harus membayar pajak bumi dan bangunan, juga harus membayar ongkos pemeliharaan.

Perkembangan pembangunan perumahan berskala kota tersebut menjadi perhatian pemerintah. Lahirnya UU 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman antara lain merupakan reaksi atas berkembangnya permukiman berskala besar. Perkembangan ini dianggap positif karena dengan skala besar dapat dilakukan subsidi silang, pe­manfaatan sumber daya lebih efisien dan lebih bisa diken­dalikan daripada kumpulan pembangunan berskala kecil yang sudah marak pada waktu itu. Walapun demikian pembangunan permukiman ini harus dikendalikan agar tidak menjadi eksklusif dan predator sumber daya dan lingkung an sekitarnya. Untuk itu, dalam undang­undang tersebut mengatur adanya badan pengelola yang dibentuk oleh pemerintah. Selain itu, pengembangan permukiman skala besar tersebut harus berkonsultasi dengan DPR. Ke­tentuan dalam undang­undang ini tidak pernah dilaksana­kan, antara lain karena lembaga yang bertanggung jawab atas perumahan dan permukiman lebih sibuk melaksana­kan rencana pembangunannya sendiri dari pada menjadi peng atur, pembina dan pengawas.

Masa transisi: Masa peralihan dari orde baru ke orde reformasi.

Krisis moneter yang menyebabkan krisis ekonomi ta­hun 1997­1998 yang diikuti runtuhnya pemerintrahan orde baru, telah membuahkan kemauan bersama untuk meninjau kembali UUD 45. Ternyata perumusan aman­demen UUD 45 tersebut membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Pada masa transisi tersebut pembangunan perumahan yang terorganisasikan telah menurun. Jumlah anggota Real Estate Indonesia sangat merosot. Pada tahun

1996 anggota REI mencapai jumlah 2.445 perusahaan, pada tahun 2002 turun menjadi 1.145 perusahaan. Pada masa transisi tersebut telah terjadi seleksi alami. Perusa­haan yang sungguh­sungguh menekuni profesi berlanjut dan sedang perusahaan yang sesungguhnya dalam taraf coba­coba lenyap dengan sendirinya.

Pada masa transisi tersebut, semangat pemerintah un­tuk mengatur permukiman skala besar tidak surut. Diter­bitkanlah PP 80/1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri (PP Kasiba Lisiba BS). Semangat desentralisasi tercermin dalam pera­turan pelaksanaan ini, tetapi semangat pemerintah un­tuk mengatur dan mengendalikan yang diamanatkan UU 4/1992 tidak terjabarkan. Selain itu, realita bahwa puluh­an permukiman skala besar telah digarap badan usaha swasta dengan sikap komersialnya justru tidak mendapat perhatian. Juga kapasitas pemerintah daerah untuk men­jadi pengelola kawasan siap bangun tidak diperhitungkan. Karena itu PP Kasiba Lisiba BS ini tidak pernah bisa di­implementasikan.

Pada masa transisi tersebut, pemerintah menghadapi soal baru dalam pembangunan perumahan. Pengungsian oleh terjadinya konflik sosial di berbagai wilayah telah menimbulkan kebutuhan perumahan yang mendesak. Pemerintah berusaha membangun perumahan pengungsi antara lain di Ambon, tetapi ternyata tidak digunakan. Bahkan perumahan pengungsi Timor Timur yang baru dicoba diatasi sepuluh tahun kemudian, tidak berhasil mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.

Pada tahun 1999, Kementerian Negara Perumahan dan Permukiman digabung dengan Departemen Peker­jaan Umun menjadi Departemen Permukiman dan Pra­sa rana Wilayah (Kimpraswil). Mengikuti penyebutan de partemen permukiman, bisa dimengerti apabila ada upaya untuk menonjolkan kebijakan dan kegiatan di bi­dang permukiman. Departemen Kimpraswil berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan sejak jejak tahun 1991. Pada waktu itu, Kantor Menteri Negara Perumah­an Rakyat (Kantor Menpera) melaksanakan kegiatan dengan mengacu pada dokumen Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan (KSNP). Meskipun dokumen ini di­siapkan oleh Kantor Menpera tetapi substansinya adalah hasil rangkuman dan konsolidasi berbagai kebijakan yang dimuat dalam GBHN dan Repelita. Oleh karena itu, do­kumen ini dapat juga digunakan sebagai acuan untuk berkoordinasi.

Kimpraswil ternyata sulit untuk bisa mengikuti jejak Kantor Menpera, menyiapkan dokumen kebijakan pe­rumahan yang dijadikan alat koordinasi. Karena GBHN 1999 dan Program Pembangunan Nasional 2000­2004 tidak lagi menempatkan perumahan dan permukiman

sumber foto: istimewa

Page 10: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

10

sebagai sektor penting. KSNP(P) seolah­olah menjadi kebijakan yang berdiri sendiri. Selain itu, perumahan dan permukiman tidak lagi diurus oleh penjabat negara se­tingkat menteri yang ditugasi secara khusus. Oleh karena itu, bisa dibayangkan bahwa permasalahan perumahan kurang mendapatkan tempat dalam kebijakan nasional. Meski KNSPP 2002 dicoba diperluas substansinya dan diangkat seolah­olah sebagai produk Badan Kebijaksa­naan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N), tetapi tetap tidak dapat membantu untuk mendapatkan kekuatan politik dan le­gal seperti KSNP 1992.

Atas prakarsa Departemen Kimpraswil, pada bulan Oktober 2003 telah dicanangkan oleh Presiden suatu pro­gram yang dinamakan Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GN­PSR). Gerakan ini dimaksud untuk mendorong dan merangsang pembangunan perumahan sederhana yang terorganisasikan yang jelas mengalami ke­lesuan. Oleh karena itu, ”gerakan” ini menggunakan ang­garan belanja negara sebagai pemicunya. Dalam gerakan ini terkandung kebijakan pemerintah untuk: (a) lebih mengefisienkan dan meningkatkan kualitas pasar perumahan, (b) mengem­bangkan sistem pemberian bantuan agar tepat sasaran, (c) mengembangkan rumah susun sewa, (d) meningkatkan keswadayaan masyarakat, (e) meningkatkan kualitas ling­kungan permukiman kumuh, dan (f ) men­ingkatkan ketersediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan permukiman. Kenyataannya gerakan ini tidak pernah menjadi gertak yang mendorong pihak lain untuk bergerak. Antara lain disebabkan peranan koor­dinatif dan agregatif pembangunan perumahan yang se­mula ditangani Kemenpera ternyata tidak dapat dilakukan pada tingkat direktorat jenderal. Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional yang dibentuk sejak tahun 1974 dan kemudian diubah menjadi Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permuki­man Nasional tahun 1994, memudar dengan sendirinya. Meskipun wadah koordinasi ini pernah efektif menelor­kan kebijakan yang terintegrasi dan terkoordinasi.

Belajar dari Orde BaruMeski pemerintahan orde baru dikritik sangat sen­

tralistis, kurang demokratis dan abai terhadap hak asasi manusia, namun pada kenyataannya mempunyai lang­kah­langkan sistematis dalam penyelenggaraan pemba­ngunan, yang memiliki konsistensi antara persiapan dan pelaksana an, antara konsep dan implementasinya.

Selama pembangunan lima tahun pertama, pemerin­tah dengan sungguh­sungguh menyiapkan kelembagaan

dan pendanaan perumahan. Meskipun pemerintah juga membangun rumah secara fisik, tetapi apa yang dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman teknik dan membangun. Apa yang dibangun pemerintah adalah untuk memperoleh prototipe perumahan sebagai dasar penetapan kebijakan. Dalam pembangunan perumahan, pemerintah tidak mendudukkan diri sebagai pelaksana pembangunan fisik seperti yang dilakukan pada akhir­akhir ini. Pemerintah adalah pembina, pengatur dan peng awas pembangunan perumahan dan pelakunya ada­lah Perumnas, real estat dan masyarakat sendiri.

Sayangnya pembinaan yang dilakukan oleh peme­rintah meredup setelah berlangsung sekitar 10 tahun. Perusahaan milik negara yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak penyediaan perumahan rakyat seperti di Korea, Singapura dan banyak negara lain, terpaksa meng­geser misinya untuk menjaga kesehatan usahanya. Upaya mengembangkan lembaga pemberdaya masyarakat juga tidak berlanjut.

Sebagai pengatur dan pengawas, pemerintah orde baru juga tertinggal dari perkembangan yang terjadi. Undang­undang yang disiapkan dengan susah payah ternyata hanya menjadi aksesori penye­lenggaraan negara. Tidak pernah dijabarkan apalagi diimplementasikan. Aktivitas kantor Kementerian Negara Perumahan Rakyat lebih banyak ditujukan untuk mewujudkan sasaran yang ditetapkan Repelita. Upaya mencapai sasaran pembangunan baru sekian ratus rumah

dan perbaikan kampung sekian ratus hektar, telah begitu menyibukkan dan menyita perhatian. Perhatian untuk menjabarkan dan mengimplematasikan undang­undang menjadi sangat minim. Oleh karena itu, selama tujuh ta­hun hanya satu peraturan pelaksanaan diterbitkan, itupun tidak bisa diimplementasikan. Karena memang tidak se­suai dengan perkembangan yang terjadi.

Harapan atas Kehadiran Kembali Kementerian Pe-

rumahan Rakyat.Tahun 2004, Kementerian Negara Perumahan Rakyat

(Kemenpera) dibentuk kembali. Dalam rangka melak­sanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai kementerian negara, ada tiga acuan yang harus dirangkum. Menerus­kan apa yang telah dilakukan Departemen Kimpraswil, mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Mene­ngah Nasional (RPJMN) 2004­2009 dan menyiapkan landasan untuk pengembangan masa datang. Rencana Pembangun an Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005­2025 belum dapat diacu karena, baru diundangkan tahun 2007. Bahkan RPJMN 2004­2009 juga belum mengacu pada RPJPN.

Laporan Utama

Page 11: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

11

Agaknya Kemenpera memilih menjadi pelaksana RPJMN yang baik. Kegiatannya lebih banyak ditujukan pada upaya mencapai target RPJMN 2004­2009, mungkin karena ketercapaian sasaran menjadi ukuran keberhasil­annya. RPJMN 2004­2009 menempatkan perumah an sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan dan per­cepatan pembangunan prasarana. Dalam prakteknya pem­bangunan perumahan seperti berdiri sendiri. Perumahan tidak didudukkan sebagai alat dan cara (means) tetapi seba­gai hasil akhir (end). Tidak ditemukan adanya kaitan yang kuat antara pembangunan perumahan dengan penanggu­langan kemiskinan. Bahkan tampaknya dicoba dihindari dengan memokuskan pada apa yang disebut masyarakat berpenghasilan rendah. Garis kemiskinan tidak menja­di ukuran pemberian fasilitas, sedang garis penghasilan rendah dikarang sendiri yang menjadi dasar penetapan kebijakan pemberian fasilitas. Perumahan sebagai prasa­rana juga tidak jelas, prasarana untuk apa. Meskipun ada pernyataan yang mengaitkan perumahan dengan ketenaga kerjaan, tetapi semuanya hanya sebatas retorika dan wa­cana.

Walaupun ada secercah harapan karena perumahan swadaya juga digarap, tetapi dalam pelaksanaannya tidak terlalu jelas arahnya. Keterikatannya pada alokasi anggaran, sasaran yang telah ditetapkan dan kemauan untuk juga menjadi pelaku dan pelaksana pembangunan menjebak Kemenpera dalam kurungan wawasan yang terbatas. Kepe­kaan, imajinasi dan kreativitas untuk mengatasi masalah perumahan dan permukiman yang senyatanya ada, tidak berkembang. Dalam RPJMN 2010­2014 perumahan memang tetap ditempatkan dalam bidang pembangunan prasarana. Penyelenggaraan perumahan dan permukiman belum menjadi prioritas nasional dan hanya tersisip dalam pembangunan prasarana. Untuk mencapai sasaran­sasaran seperti yang ditetapkan dalam RPJMN, tampaknya peru­mahan bisa diurus oleh suatu direktorat saja seperti yang dilakukan di Kementerian Pekerjaan Umum.

Mengacu pada RPJMN 2010­2014, Kemempera mene­tapkan target, antara lain pembangunan 380 twin blok, stimulasi pembangunan 50.000 rumah swadaya, stimulasi peningkatan kualitas perumahan sebanyak 50.000 unit dan subsidi untuk 1.350.000 rumah. Karena diselenggara­kan sendiri, meski pelaksananya pihak lain, kegiatan ini menyedot sumber daya manusia Kemenpera.

Berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah rumah tangga memiliki rumah adalah 52,008 juta, tahun 2010 menjadi 61,156 juta rumah tangga. Artinya dalam jangka 10 tahun rumah tangga dan rumahnya meningkat 9,148 juta atau sekitar 900.000 rumah yang dihuni setiap tahun. Dengan demikian jelas bahwa sasaran RPJM tersebut tidak akan memenuhi kebutuhan pertumbuhan rumah tangga di

Indonesia. Bila demikian apa sesungguhnya tujuan yang hendak dicapai dengan sasaran tersebut. Apakah tujuan­nya sekedar mencapai sasaran?

Pencapaian itu mungkin akan menyenangkan beberapa ratus santri, anggota TNI, Polisi, mahasiswa, nelayan dan segelintir anggota masyarakat , tetapi sejauh mana masalah nasional akan dapat diatasi, masih menjadi pertanyaan. Apa hubungan antara tercapainya sasaran tersebut mi­salnya dengan kemiskinan, pengangguran, kesemrawutan kota. Tentu saja pertanyaan ini tidak bisa dijawab, karena rencana pembangunan perumahan diususun untuk men­capai sasaran dan tidak untuk mengatasi masalah.

RPJPN 2005­2025 mengamanatkan agar kebutuhan perumahan rakyat terpenuhi dan kota tanpa permukiman kumuh dapat dicapai tahun 2025. Dengan amanat ini, perumahan dan permukiman harus diupayakan menjadi prioritas nasional. Sekarang ini sepertinya hanya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menempatkan perumahan sebagai prioritas. Selain itu, UU. 1/2011 telah memberi payung hukum penguatan Kemenpera. Undang­undang ini menetapkan Menteri adalah penanggung jawab pem­binaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permu­kiman. Ini merupakan peluang bagi Kemenpera untuk memimpin penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Apa yang telah dilakukan pemerintahan orde baru yang membiarkan UU 4/1992, hendaknya tidak diulang kembali dengan UU 1/2011. Meskipun pemba­ngunan perumahan dan kawasan permukiman sampai saat masih tertatih­tatih, tetapi telah ada UU 1/2011 yang dapat menjadi kendaraan untuk melaju. Kendaraan yang bagus dan kuat ini tentu tidak ada gunanya bila dibiarkan tidak ada yang mengemudikannya.

sumber foto: istimewa

Page 12: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

12

Perjalanan pembangunan perumahan nasional jika dirunut secara historis, sudah dimulai jauh sejak era kolonial. Namun, sampai saat ini tantangan

yang dihadapi semakin berat. Tidak hanya sekedar ‘hous-ing shortage’ (kekurangan rumah) tetapi sudah dalam kondisi krisis dalam bentuk ‘housing difficulties’. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya ‘backlog’ dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1998 jumlahnya sekitar 5,4 juta unit rumah, pada tahun 2004 meningkat men­jadi 7,4 juta unit rumah, pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 11 juta unit rumah dan pada tahun 2010 jumlah kekurangan rumah mencapai 13,6 juta unit rumah. Hal ini semakin mengkhawatirkan, jika mengacu pada tar­get capaian pemenuhan perumahan rakyat tahun ini yang telah mengalami revisi beberapa kali akibat kesenjangan antara kenaikan ambang batas harga rumah menggunakan pendekatan mekanisme pasar dengan rendahnya tingkat keterjangkauan/daya beli (affordability) masyarakat ber­penghasilan rendah. Padahal, penggunaan terbesar, sebe­sar Rp. 7,1 triliun, dari total anggaran Kemenpera tahun 2012 sebesar Rp. 13 triliun (1 persen dari APBN), digu­nakan untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumah­an (FLPP). Dengan kata lain, pemenuhan kepemilikan rumah ‘sebagai barang privat’ dikhawatirkan tidak bisa terserap secara efektif. Hal ini disebabkan karena kemam­puan masyarakat berpenghasilan rendah saat ini (yang merupakan mayoritas masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal) baru mampu mengakses skema pemenuh­an berupa rumah dengan sistem sewa atau bahkan tidak berbayar sebagai rumah sosial (sebagai barang publik).

Menurut perhitungan, laju kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah setiap tahunnya rata­rata sekitar 900.000 unit, padahal kemampuan pemenu­hannya tidak lebih dari 200.000 unit per tahunnya, seh­ingga perkiraan kekurangan rumah setiap tahunnya akan bertambah sebanyak kurang lebih 700.000 unit. Meski­pun berbagai upaya telah banyak dilakukan baik melalui perekayasaan kebijakan pola subsidi dan kebijakan hunian berimbang, namun capaian kinerjanya masih belum dapat dikatakan cukup efektif.

Belum lagi kalau kita amati, capaian kinerja penanga n ­an kawasan kumuh yang saat ini juga dalam kondisi sa ngat mengkhawatirkan. Sebanyak 23% warga perkotaan saat ini masih tinggal di permukiman kumuh. Data 2008 (UN Ha­bitat) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang ber­huni di perkotaan sudah mencapai 121 juta (52% dari total penduduk) dan 26% diantaranya berhuni di permukim an kumuh. Menurut proyeksi dari BPS, pada tahun 2025 pen­duduk perkotaan akan meningkat menjadi 68%. Dengan mengamati peningkatan laju perluasan kawasan kumuh dari tahun 1996 seluas 38.000 Ha, pada tahun 2004 meningkat menjadi 54.000 Ha dan data terakhir pada tahun 2009 men­capai 57.800 Ha, maka krisis kekumuhan ini menjadi perso­alan yang cukup serius untuk segera ditangani. Beberapa ha­sil kajian menunjukkan laju pertumbuhan kantong­kantong kawasan permukiman kumuh di perkotaan mencapai 1,37% per tahun. Dengan asumsi laju pertumbuhannya konstan, maka pada tahun 2020 diperkirakan luasan kawasan kumuh akan mencapai 67.000 Ha apabila tidak segera dilakukan penanganannya secara serius.

Budi Prayitno

Konsolidasi Kebijakan Nasional Perumahan Rakyat

Laporan Utama

sumber foto: istimewa

sumber foto: istimewa

Page 13: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

13

Prolog: Krisis dan TantanganGambaran di atas bukan berarti menunjukkan bah­

wa pemerintah saat ini mengalami kegagalan dalam mengemban amanah menyejahterakan masyarakat atas papan, tetapi menunjukkan betapa tantangan krisis saat ini memerlukan suatu langkah darurat dalam bentuk ren­cana aksi akselerasi/percepatan penanganan krisis melalui pemetaan ulang permasalahan dan perumusan baru para­digma berserta penyusunan peta jalannya.

Sejarah perjalanan capaian kinerja kebijakan pemba­ngunan nasional perumahan rakyat mengalami pasang surut (fluktuatif ). Berbagai kebijakan kreatif dan ino­vatif dalam upaya menjawab tantangan pemenuhan ke­butuhan atas papan telah banyak diupayakan. Bahkan beberapa konsep kebijakan diantaranya menjadi acuan negara­ negara tetangga, misalnya kebijakan Kampung Improvement Program (KIP), Program Pemberdayaan Ke­swadayaan melalui Konsep Tri Daya/Tri Bina. Demikian pula, upaya­upaya perekayasaan pola subsidi baik Subsidi Selisih Bunga maupun Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Pe­rumahan, konsep Hunian Berimbang, konsep Rumah Inti Tumbuh, Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun dan sebagainya telah banyak dilakukan. Namun, capaian kinerja pemenuhan kesejahteraan rakyat atas pa­pan baik dalam hal capaian penurunan jumlah kekurang­an rumah (backlog) maupun penurunan luasan kawasan kumuh masih belum menunjukkan hasil yang cukup signifikan bahkan kecenderungannya mengalami tantangan krisis yang semakin berat.

Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan ulang terhadap permasalahan krisis sistem kebijakan nasional perumahan rakyat. Tiga hal mendasar yang menjadi tantangan dan harus segera dise­lesaikan berdasar posisi dan peran kebijakan nasional perumahan rakyat adalah: (i) kapasitas kelembagaan; (ii) skema subsidi; dan (iii) kebi­jakan pertanahan.

Reposisi dan Pemetaan-ulang Peran KelembagaanTata kelola penyelenggaraan pemerintah dalam pe­

menuhan kesejahteraan rakyat atas papan saat ini dita ngani oleh 19 kementerian dan lembaga. Dalam sistem struk­tur kelembagaan pemerintah yang sangat ‘gemuk’ dengan tingkat kerentanan kegagalan kapasitas fungsio nalnya yang sangat tinggi, urusan perumahan diposisikan secara sektor­al yang terbagi­bagi secara parsial dengan pembagian peran masing­masing sektornya yang tidak jelas. Akibatnya, bisa dibayangkan, tidak hanya tumpang tindih kebijakan saja, tetapi sangat sering terjadi kebijakan yang bertabrakan. Bahkan di dua kementerian yaitu Kementerian Perumah­an Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum sebagai

pemangku kewajiban yang secara langsung berhubungan dengan urusan perumahan saja pembagian perannya pun sampai saat ini masih belum jelas. Apalagi kementerian­ke­menterian dan lembaga­lembaga yang tidak secara langsung berhubungan dengan urusan perumahan akan memosisi­kannya dalam kerangka kebijakannya masing­masing sesuai tugas pokok dan fungsinya secara sektoral.

Belum lagi bila kita cermati lebih jauh, Kemente­rian Perumahan Rakyat yang seharusnya berperan seba­gai ‘regu lator’ saja, sampai saat ini masih menjalankan fungsinya sebagai ‘operator’. Bahkan semenjak era Ke­menterian Muda Perumahan Rakyat yang memang dikon­sepkan agar mempunyai peran dan kapasitas tambahan yang lebih kuat, tetapi pada akhirnya justru melemahkan peran Perum Perumnas yang semestinya berperan seba­gai pemangku kewajiban/otorita pelaksana operasional pembangunan perumahan (sebagai operator). Sebenarnya pada tahun 2004 Presiden telah mengarahkan revitalisasi fungsi Perum Perumnas sebagai pelaku utama penyediaan perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan. Hal ini pernah dibahas dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perum Perumnas.

Demikian pula halnya, lembaga yang menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pembiayaan perumahan rakyat saat ini juga masih diperankan oleh lembaga per­bankan komersial yang proporsinya untuk kepentingan

pembiayaan perumahan publik masih sangat ke­cil serta menggunakan basis perhitungan meka­nisme pasar sebagai landasan operasional pem­biayaannya. Meskipun dibantu dengan berbagai perekayasaan intervensi pola subsidi, kesenjang­an/selisih antara harga jual dengan kemampuan bayar masyarakat masih cukup besar. Karena bagaimanapun juga, basis perhitungan yang di­gunakan lembaga pembiayaan bank komersial (market mechanism-based) tidak bisa dipaksa un­tuk menyesuaikan dengan basis perhitungan ke­

bijakan pemenuhan kesejahteraan rakyat (welfare-based).Padahal dengan perjalanan waktu penyelenggaraan

pembangunan perumahan nasional yang sudah cukup panjang, semestinya di Indonesia sudah mempunyai sistem kelembagaan pembangunan perumahan yang cu kup kuat perannya, misalnya seperti lembaga dalam bentuk ‘Hous-ing Development Board’ yang mempunyai otoritas yang kuat dan jelas perannya sebagai pemangku kewajiban pelaksana pembangunan perumahan. Tidak seperti saat ini yang ‘perannya terbagi­bagi’ tersebar secara parsial de­ngan pembagian peran yang tidak jelas dan koordinasi yang sangat lemah. Hal yang sama saat ini juga dialami oleh kelembagaan yang berperan sebagai pemangku kewa­jiban pembiayaan perumahan yang sampai saat ini belum

Page 14: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

14

mempunyai sistem kelembagaan pembiayaan semacam ‘Housing Fund Authority’ yang mampu melakukan pe­mupukan dana murah dan berjangka panjang, misalnya melalui skema tabungan berbasis jaminan sosial. Meski­pun, saat ini sedang diupayakan penyiapan kepranataan­nya secara regulatif, administratif dan kelembagaannya.

Paling memprihatinkan adalah lembaga yang berperan sebagai pemangku kewajiban untuk bidang pertanahan yang saat ini ditangani oleh lembaga berbentuk badan yang lebih banyak berperan sebagai administrator legalitas per­tanahan daripada perumus kebijakan pertanahan. Padahal seperti kita ketahui di negara lain yang lebih maju (misal­nya di Jepang), urusan pertanahan dikelola oleh lembaga setingkat kementerian dan disinergikan dengan pengelo­laan tata ruang dan infrastruktur. Sehingga kondisi krisis pertanahan saat ini sebagai akibat kesenjangan distribusi penguasaan tanah yang tidak berkeadilan dan pergeseran fungsi yang sudah sangat masif dari fungsi tanah sebagai fungsi sosial menjadi fungsi komoditas, tidak akan mam­pu hanya ditangani oleh lembaga setingkat badan.

Untuk itu, dalam upaya mempercepat pemenuhan kesejahteraan rakyat atas papan perlu segera dilakukan re­posisi dan pemetaan­ulang peran kelembagaan pemangku kewajiban urusan perumahan baik terhadap lembaga regu­lator maupun lembaga operator.

Pendekatan Pola SubsidiDengan kondisi struktur kesejahteraan di Indonesia

yang masih mempunyai proporsi masyarakat berpenghasil­an rendah dalam jumlah besar saat ini, maka sangat su­lit untuk menggunakan pendekatan kepemilikan rumah (housing ownership) dalam memenuhi kesejahteraan atas papan atau pendekatan pemenuhan kebutuhan rumah se­bagai ‘barang privat’. Sesuai dengan Undang­undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permu­kiman, pemerintah baik tingkat nasional maupun daerah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memenuhi

hak atas tempat tinggal yang layak. Namun perlu dipa­hami bahwa pemenuhan kesejahteraan atas papan adalah tempat tinggal/hunian bukan mesti berarti rumah milik. Sehingga pemenuhannya bisa berbentuk tidak hanya se­bagai barang privat tetapi bisa juga sebagai barang publik milik peme rintah yang bisa digunakan untuk bertempat tinggal secara sewa maupun gratis sesuai dengan krite­ria sasaran penerima manfaatnya. Justru, untuk kondisi distribusi kesejahteraan saat ini yang masih mempunyai proporsi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang cukup besar, pemerintah mestinya lebih berkonsentrasi pada pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak den­gan pendekatan kebijakan pola subsidinya berbasis rumah sebagai barang publik.

Untuk itu, pola subsidi perlu lebih diarahkan dalam kebijakan penyediaan rumah sebagai barang publik dalam bentuk rumah sewa tetapi dengan perhitungan jangka waktu sewa yang layak dan rumah sosial yang diperun­tukkan bagi warga miskin yang butuh perlindungan so­sial. Dengan mengacu pada Undang­undang No. 1 Tahun 2011, ditentukan bahwa besaran uang sewa tidak boleh lebih besar dari sepertiga upah minimum yang berlaku. Berdasarkan penelitian terhadap kemampuan membayar sewa, besaran tersebut masih cukup rasional. Namun yang menjadi tantangan adalah tambahan biaya operasional un­tuk penyediaan listrik, air bersih, pengelolaan sampah dan biaya keamanan yang sering tidak termasuk dalam per­hitungan biaya sewa. Selain itu, hal yang masih menjadi kendala dalam sistem rumah sewa tersebut adalah jangka waktu sewa maksimal yang terbatas. Dalam konsepnya, yang menjadi pertimbangan adalah setelah menghuni dalam jangka waktu tersebut serta melalui berbagai pro­gram pemberdayaan diharapkan warga penghuni rumah sewa tersebut sudah mampu mengakses tempat tinggal dengan pola kepemilikan rumah. Tetapi dalam implemen­tasi di lapangan, tidak pernah ditemukan sekalipun, warga ‘alumni rumah sewa’ tersebut dalam jangka waktu yang sangat terbatas (tiga tahun ataupun sampai perpanjangan maksimalnya 2 kali jangka waktu sewa) yang mampu men­ingkatkan kemampuan/daya belinya untuk mengakses hunian dengan skema kepemilikan rumah.

Sangat sulit dipahami, di satu sisi banyak sekali ma­syarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan pola subsidi dalam bentuk perumahan publik yang belum ter­tangani, sementara tersedia anggaran yang sangat besar untuk skema kepemilikan rumah (sebagai barang privat) . Itu pun belum mampu terserap anggarannya akibat masih terdapatnya kesenjangan yang cukup besar antara perhi­tungan berbasis mekanisme pasar (market based mecha-nism) dengan kemampuan beli masyarakat berpenghasilan rendah dalam mengaksesnya.

Laporan Utama

sumber foto: istimewa

Page 15: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

15

Dengan dasar pendekatan pemenuhan kesejahteraan rakyat atas papan, semestinya kebijakan lebih berorientasi kepada prioritas kebutuhan saat ini yang bertumpu pada kondisi kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah yang belum mampu mengakses kepemilikan rumah, bu­kan dengan pemaksaan perhitungan mekanisme pasar pe­rumahan dengan menggunakan perhitungan pemenuhan kesejahteraan sosial atas papan. Di negara manapun, pe­rumahan publik selalu didasarkan pada skema pemenuhan kesejahteraan bukan dicampur­adukkan dengan mekan­isme pasar perumahan. Sebagai negara kesejahteraan (wel-fare state), Indonesia semestinya memosisikan pemenuhan hak atas rumah bukan sebagai komoditas tetapi sebagai hak dasar (kewajiban konstitusional). Sehingga, mem­bantu mereduksi warga negaranya dari ketergantungannya pada pasar dalam memenuhi kesejahteraannya khususnya di bidang papan (dekomodifikasi perumahan) menjadi ke­wajiban dari pemerintah.

Hal ini masih ditambah lagi dengan ketidak tepatan sasaran penerima manfaat perumahan milik yang kalau tidak disertai dengan kejelasan peraturan dan ketegasan da­lam penegakannya, anggaran yang seharusnya diperuntuk­kan dalam bentuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan berubah menjadi rumah sebagai komoditas yang dengan leluasa bisa di­alih milik­kan ke masyarakat yang seharusnya tidak berhak memilikinya.

Untuk itu, perlu dilakukan reorientasi prioritas pena­nganan dari pemenuhan kebutuhan kepemilikan rumah se­

bagai barang privat dengan basis pendekatan perekayasaan intervensi terhadap mekanisme pasar menjadi prioritas pemenuhan kebutuhan perumahan berbasis kesejahteraan dengan pendekatan kemampuan/daya beli masyarakat ber­penghasilan rendah dalam bentuk rumah sebagai barang publik dengan skema sistem sewa yang saat ini paling layak dan tepat untuk diprioritaskan dalam sistem kebijakan pe­rumahan nasional.

Reformasi Kebijakan PertanahanDari sisi pertanahan, sampai saat ini Indonesia masih

menghadapi dua tantangan besar yaitu kesenjangan dis­tribusi penguasaan tanah dan kapasitas kelembagaan pe­mangku kewajban pertanahan. Padahal tanah merupakan salah satu kunci utama penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat.

Sebagai ilustrasi, hanya 16% penduduk Indonesia mampu menguasai 69% tanah, sedangkan 40% hanya menguasai 10% tanah. Dan menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (2010), 0,2% penduduk Indonesia menguasai 56% aset nasional (dimana 87% diantaranya adalah aset tanah dan 7,2 juta hektar diantaranya dalam kondisi diterlantarkan). Kondisi tantangan ketimpangan distribusi penguasaan tanah ini menuntut redefinisi/rein­terpretasi hakekat tanah sebagai fungsi sosial sesuai dengan Undang­Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 9 (ayat 2) yang memosisikan fungsi sosial hak atas tanah. Untuk itu, diperlukan upaya redistribusi tanah secara berkeadilan.

Tantangan yang kedua adalah kelembagaan penyeleng­garaan urusan pertanahan, yang saat ini hanya berbentuk badan. Dimana tugas dan fungsi lembaga tersebut hanya sebagai lembaga administratif dan legalitas pertanahan. Padahal dengan melihat isu ketimpangan distribusi pe­nguasaan atas tanah serta posisinya yang sangat kunci dan strategis terhadap pembangunan infrastruktur, sudah se­layaknya urusan pertanahan tidak diselenggarakan oleh lembaga setingkat badan tetapi harus ditingkatkan men­jadi lembaga setingkat kementerian yang mempunyai ka­pasitas kewenangan kebijakan sebagai regulator. Bahkan akan lebih efektif kinerja kebijakannya apabila disinergi­kan dengan tata kelola pemerintahan urusan infrastruktur dan penataan ruang. Untuk itu, mendesak untuk segera dilakukan penguatan peran dan kapasitas kelembagaan bi­dang pertanahan.

Sedangkan dalam upaya percepatan pengadaan tanah di daerah, saat ini pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) tentang Pedoman Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Kawasan Perkotaan untuk Pembangunan Permu­kiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang di­tujukan sebagai sarana legalitas pendorong dan tolok ukur

sumber foto: istimewa

Page 16: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

16

capaian kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan amanah wajib pelayanan perkotaan, khususnya mendo­rong pemerintah daerah dalam memrioritaskan kebijakan pembangunan daerahnya untuk pengadaan tanah bagi pe­rumahan rakyat.

Berbagai skema pengadaan tanah baik dalam bentuk ‘land readjustment’ maupun ‘land-banking’ perlu dikaji lebih cermat dengan mempertimbangkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga menjadi kendala besar apabila tidak segera dilakukan penanganan. Hal ini disebabkan karena sistem tata kelola penyelenggaraan pertanahan nasional yang masih sangat lemah baik dari aspek admi­nistratif­regulatif maupun aspek kemampuan kolaboratif lintas pemangku kewajiban pengadaan tanah yang meru­pakan prasyarat terselenggarakannya pengadaan tanah se­cara efektif.

Meskipun UUPA yang lahir 50 tahun yang lalu sem­pat ditengarai sebagai tonggak reformasi agraria di Indo­nesia, namun sampai saat ini belum banyak memberikan arti. Bahkan akibat masih lemahnya kepastian hukum atas tanah, sering terjadi konflik agraria. Konflik yang terjadi bukan karena tanahnya yang disengketakan , tetapi justru munculnya persoalan lain yaitu kepemilikan sertifikat gan­da, terkait hak guna usaha, sengketa warisan dan perdata, serta kesenjangan dualisme acuan antara hukum nasional UUPA dan hukum adat yang melibatkan tanah adat atau hak ulayat. Hal ini juga menjadi tambahan kendala dalam pengadaan tanah untuk perumahan rakyat.

Tentu saja, krisis pengadaan tanah untuk perumahan rakyat ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemangku kewajiban penyelenggaraan pertanahan saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan lembaga utama pelaksana pembangunan perumahan. Saat ini, semestinya pelaksana pembangunan perumahan diperankan oleh BUMN bidang perumahan yaitu Perum Perumnas yang juga sedang mengalami krisis pengadaan tanah. Ketersediaan lahan (land bank) yang dimiliki Pe­rum Perumnas (per Agustus 2012) tinggal 1.900 Ha yang tersebar di sejumlah daerah. Untuk itu sangat diperlukan kerjasama dalam pengadaan tanah ini secara lintas BUMN. Untuk saat ini baru BUMN perkebunan yang menyedia­kan lahan seluas 800 Ha di Sumatera dan BUMN transpor­tasi yang berencana menyediakan lahan di wilayah Jakarta, Surabaya dan Bandung. Demikian pula kerjasama dengan pemerintah daerah juga telah dilakukan yaitu dengan 57 kabupaten/kota dan 10 kabupaten/kota diantaranya sudah berkomitmen menghibahkan lahan. Pasokan lahan yang paling berat pengadaannya adalah di Jawa, padahal kebu­tuhan terbesar perumahan rakyat juga terkonsentrasi di Jawa. Dibutuhkan pemikiran yang cukup serius terhadap tantangan ini.

Untuk itu, perlu segera dilakukan reformasi kebijakan pertanahan dalam bentuk redistribusi penguasaan atas ta­nah dan penguatan kelembagaannya serta perumusan ke­bijakan pengadaan tanah bagi pembangunan perumahan dalam bentuk skema pengadaan beserta penguatan kepra­nataan dan kapasitas kolaboratif lintas kelembagaan yang terkait dengan urusan pertanahan.

Epilog: Paradigma Baru dan Peta JalanDengan mengurai faktor­faktor penentu keberhasilan

program pembangunan perumahan yang saat ini masih dalam keadaan terkunci dalam tiga hal yaitu posisi, peran dan kapasitas kelembagaan; skema subsidi; dan kebijakan pertanahan, maka satu landasan pijak awal yang harus di­lakukan adalah memosisikan perumahan rakyat secara sen­tral bukan sektoral seperti yang saat ini terjadi.

Menggunakan pendekatan kebijakan berparadigma kesejahteraan (welfare paradigm) yang berbasis hak (right based policy), dapat dirumuskan paradigma baru yang ber­orientasi pada pemenuhan kesejahteraan rakyat atas papan tanpa harus mencampur­adukkan dengan pendekatan ber­basis mekanisme pasar perumahan. Sehingga dengan kon­disi saat ini, ketika mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah masih mendominasi distribusi kesejahteraan yaitu sekitar 80%, pemenuhan kebutuhan atas papan selayaknya diposisikan sebagai barang publik yang dapat diakses de­ngan sistem sewa. Namun, hal ini harus diikuti dengan penyiapan kepranataan yang baik khususnya dalam hal pe­nentuan sasaran calon penghuni penerima manfaat serta jangka waktu huni yang disesuaikan dengan kemampuan/daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Laporan Utama

sumber foto: istimewa

Page 17: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

17

Mempertimbangkan proyeksi penduduk Indonesia yang berhuni di perkotaan saat ini sudah mencapai lebih dari 52% dan diproyeksikan oleh BPS pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 68%, program penanganan pe­rumahan akan sangat terkait erat dengan program pem­bangunan perkotaan. Hal ini juga menyangkut krisis permukiman kumuh perkotaan yang semakin berat. Un­tuk saat ini saja, sebanyak 23% warga kota diperkirakan tinggal di kawasan permukiman kumuh serta mengalami laju peningkatan luasannya yang sangat pesat. Untuk itu, pendekatan paradigma yang digunakan dalam pemba­ngunan perumahan rakyat tidak bisa lepas dalam konteks pembangunan perkotaan (citywide approach).

Mengacu pada pendekatan paradigma baru tersebut, diharapkan kebijakan perumahan rakyat dapat direstruk­turisasi (restructuring) dan diperkuat (strengthening) atau dengan kata lain dapat dikonsolidasikan baik dari aspek kelembagaan, perancangan pola subsidi maupun kebi­jakan pertanahannya.

Mengacu pada aspek kelembagaan, perlu dilakukan re­posisi secara benar yaitu harus dilakukan pembagian peran yang jelas antara kelembagaan yang berfungsi sebagai regu­lator dan operator. Selain itu, perlu dilakukan penguatan peran baik terhadap lembaga regulator maupun terhadap lembaga operator. Lembaga regulator kementerian yang merumuskan kebijakan perumahan rakyat harus diperluas dan diperkuat fungsinya dalam lingkup kebijakan peru­mahan dan pembangunan perkotaan. Demikian pula lem­baga regulator yang membidangi urusan pertanahan harus diposisikan perannya setingkat kementerian dan disine­rgikan dengan urusan pembangunan infrastruktur dan penataan ruang. Sedangkan lembaga operator baik yang

membidangi urusan pembiayaan perumahan maupun yang membidangi pelaksana pembangunan perumahan harus diperkuat otorita kewenangannya dan mempunyai pembagian peran yang jelas.

Sedangkan bentuk intervensi pemerintah dalam men­jalankan amanah untuk memenuhi kesejahteraan atas pa­pan harus diprioritaskan menggunakan pola/skema subsidi yang sesuai dengan kemampuan masyarakat berpenghasil­an rendah dalam mengakses peme nuhan kebutuhan atas tempat tinggal yang saat ini belum mampu mengakses sistem kepemilik an rumah tetapi masih sebatas mengakses rumah dengan sistem sewa.

Mengacu pada aspek pertanahan, reformasi kebijakan dilakukan dalam bentuk redefinisi/reinterpretasi hakekat tanah yang harus dikembalikan fungsinya sebagai fungsi sosial bukan fungsi komoditas. Untuk itu, perlu dilakukan redistribusi penguasaan tanah secara berkeadilan. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila lembaga yang membidangi urusan pertanahan mempunyai kapasitas peran dan ke­wenangan yang cukup kuat dan efektif dalam melakukan reformasi tersebut.

Proses restrukturisasi dan penguatan sistem kebijakan dalam bentuk konsolidasi kebijakan nasional perumahan rakyat tersebut diharapkan mampu memandu arah dan paradigma baru dalam peta jalan kebijakan perumahan rakyat. Peta jalan kebijakan tersebut meliputi tahap kon­solidasi, tahap akselerasi dan tahap ketangguhan (resiliant). Tahap konsolidasi dapat dirumuskan dalam bentuk cetak biru (grand design) kebijakan perumahan dan pembangun­an perkotaan yang mendorong reformasi dalam bentuk konsolidasi terhadap sistem kebijakan nasional yang ada saat ini. Sedangkan pada tahap akselerasi, kebijakan diori­entasikan pada proses percepatan pemenuhan perumahan secara kuantitatif maupun kualitas produk termasuk diver­sifikasi bentuk hunian dalam skema kebijakan industrial­isasi perumahan (mass housing production). Pada tahap ini diharapkan kemampuan masyarakat sudah mampu dido­rong pada kepemilikan rumah (housing ownership) dengan sasaran penerima manfaat masyarakat dengan tingkat ke­sejahteraan golongan ekonomi menengah yang diharap­kan proporsinya jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat ini. Setelah melalui tahapan akselerasi, tahap ketiga dari peta jalan kebijakan perumahan rakyat adalah masuk dalam fase ketangguhan. Pada tahap ini, kebijakan dia rahkan pada kemampuan membaca resiko pasar peru­mahan dan merumuskan kebijakan mitigasinya. Dalam pasar perumah an berbagai resiko kebencanaan sangat mungkin terjadi, sehingga perlu penyiapan strategi mitiga­si (pe ngurangan resiko kebencanaan) terhadap pasar peru­mahan sehingga konsep ketangguhan menjadi pendekatan paradigma yang dibutuhkan pada tahap ketiga ini.

Page 18: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

18

Rasional

Permukiman swadaya (informal) merupakan bagian integral dari fenomena pembangunan pada negara berkembang yang tidak memiliki kebijakan menye­

diakan perumahan rakyat (public housing). UN­Habitat memperkirakan 23% penduduk dunia hidup pada per­mukiman informal dengan berbagai nama seperti favela (di Brazil), pueblos jovenes, dan kampung (di Indonesia). Angka terebut berbeda­beda antarwilayah, di Asia Teng­gara sebesar 28%, Sub­Sahara Afrika sebesar 78%, dan di Amerika Latin sebesar 39%. Diperkirakan pada tahun 2020 terdapat 1,5 Milyar penduduk dunia akan hidup pada permukiman informal. Keberadaan permukiman informal mendapat tanggapan yang beragam, beberapa menganggap secara sempit sebagai parasit kota yang harus dimusnahkan, sebagian menganggap harus bertransfor­masi. Secara internasional permukiman informal mulai dipahami sebagai potensi dalam memecahkan permasala­han perumahan, termasuk UN Habitat dan beberapa or­ganisasi internasional memberi perhatian khusus pada hal tersebut. Dalam Agenda 21 pada KTT Bumi di Rio Brazil ditekankan pentingnya kemampuan masyarakat setempat dalam menyediakan perumahan sendiri. Agar mancapai keberlanjutan, potensi permukiman informal tersebut membutuhkan pemberdayaan dalam hal jaminan hukum terhadap tempat tinggal, pengembangan ekonomi infor­mal, dan modal sosial/social capital. Hal ini sebenarnya bukan baru bagi Indonesia yang kaya rumah adat.

Konseptualisasi Pemberdayaan Masyarakat Presiden Pertama Tanzania pernah menyatakan bahwa

“True development is development of people, not of things”. Berkaca dari konsep dasar tersebut, sudahkah pemban­gunan di Indonesia berpihak sepenuhnya pada pemban­gunan manusia? Permasalahan kemiskinan di Indonesia yang tidak menunjukkan kemajuan penanganan secara signifikan, menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan karena lebih berpihak pada pembangunan fisik. Meskipun pemerintah meng­klaim telah terjadi penurunan angka kemiskinan, namun hal tersebut belum sepenuhnya me­nyatakan keberhasilan melakukan pembangunan yang hakiki. Data kemiskinan World Bank 2011 menunjuk­kan bahwa 19,4% penduduk masih berkemampuan daya beli dibawah 1,25 US$ per hari, dan 50,5% dibawah 2 US$. Kondisi di lapangan (masyarakat) menunjukkan pembenaran atas data World Bank tersebut terutama pada kalangan petani dan nelayan. Perubahan dunia yang terus berlangsung menuntut pola pembangunan yang tidak ber­pihak pada masyarakat harus segara diubah menjadi pe­mahaman bahwa pembangunan manusia merupakan cara yang efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan bila me­makai pendekatan inklusif.

Pemberdayaan masyarakat (community development), merupakan upaya untuk membangun kekuatan, ket­erampilan, pengetahuan dan memberikan pengalaman pada masyarakat baik secara individu maupun kelompok

Johan Silas dan Rita Ernawati

Pemberdayaan Masyarakat (Community Development):

Bentuk Pembangunan yang Sebenarnya

Wacana

Page 19: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

19

untuk berinisiatif memecahkan masalahnya sendiri. Pe­rubahan cara berfikir, kepercayaan dan tradisi merupakan elemen penting dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat menyikapi permasalahan ekonomi, sosial, poli­tik dan lingkungan. Kunci dari pemberdayaan masyarakat adalah pengembangan kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi permasalahan pada lingkungannya se­bagai pembuka jalan untuk dapat berkembang mengenali kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam me­mecahkan masalah. Dengan mengenali kemampuan yang dimiliki, masyarakat dapat mengidentifikasi sumberdaya yang berpeluang untuk dikembang­kan sebagai alat maupun sarana da­lam pembangunan menuju kehidupan yang lebih baik. Keterlibatan dari ber­bagai pihak sesuai peran dan tanggung jawab masing­masing, merupakan kunci dari keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Peran pemerintah adalah sebagai perumus kebijakan dan men­ciptakan lingkungan yang kondusif, harus diimbangi dengan peran masyarakat sebagai aktor kegiatan pembangunan dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki.

Partisipasi sebagai Kekuatan Utama Pemberdayaan Masyarakat

Menurut World Bank (1994), partisipasi merupakan proses ketika pemangku kepentingan (stakeholders) dapat mempengaruhi serta mendistribusikan tanggung jawab dalam menentukan inisiatif pembangunan, keputusan ser­ta pengalokasian sumberdaya yang memiliki pengaruh ter­hadap pembangunan. Sejalan dengan pengertian tersebut, dapat dimaknai bahwa masyarakat memiliki hak dan kewa­jiban dalam pembangunan. Melalui partisipasi masyarakat yang aktif dalam setiap tahapan pembangunan diharapkan pembangunan yang dilaksanakan akan lebih terarah.

Partisipasi masyarakat (community participation) dan pemberdayaan masyarakat (community development) saling terkait erat, bukan seperti mata uang yang bermuka dua, tetapi seperti konsep (bola) yin-yang yang saling menyatu dan mengisi. Kedua konsep tersebut harus dimaknai se­bagai sesuatu yang terkait dengan keadaan di sekitarnya dan berkembang dinamis, mampu menghadapi tantangan dan peluang yang ada dengan perspektif ke depan. Kon­teks pembangunan partisipasi masyarakat harus difahami sebagai sebuah proses dinamis yang multidimensi, yang dimensinya harus saling berakselerasi untuk mewujud­kan tanggungjawab secara menyeluruh terhadap proses

pembangunan. Dimensi pelaku (perorangan, kelompok, pemerintah, swasta dan sebagainya) dengan peran dan tanggung jawab masing­masing harus mampu bersinergi dengan dimensi sumberdaya baik yang tangible maupun yang intagible, untuk menjalankan pembangunan melalui serangkaian proses dinamis yang berjalan terus­menerus sesuai dengan ketentuan (norma dan kebijakan) yang ber­

laku untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan bersama.

Program pembangunan berbasis partisipasi masyarakat yang pernah dan masih ada seperti Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelom­pok (P2BPK), Community Based Ur-ban Inisiative for Local Development (CoBUILD) dan sebagainya, telah dilakukan pemerintah namun belum memberi hasil secara signifikan dan nyata, serta berlanjut. Kelemahan dari program tersebut adalah pema­haman yang salah atas konsep dasar partisipasi yang dirancang dari luar secara tidak fleksibel pada ketentuan

yang berlaku. Padahal partisipasi merupakan upaya sadar dengan tujuan memenuhi kepentingan pribadi sebagai manusia untuk memiliki peran dalam pembangunan, seh­ingga terbangun rasa dan tanggung jawab memiliki secara komunitas yang semakin kuat.

Partisipasi Masyarakat yang TerabaikanBerdasarkan kajian Asian Research Institute (2010),

pada tahun 1980­an sekitar 85% pembangunan peruma­han di Indonesia dilakukan oleh penghuni. Perwujudan perumahan yang dibangun oleh penghuni tersebut ada­lah perkampungan yang berkembang dominan di setiap wilayah. Di Jakarta tercatat pada tahun 1980­an proporsi kampung mencapai 80%, meskipun saat ini mengalami penurunan cukup signifikan karena pembangunan. Se­dangkan di Surabaya, kampung mendominasi kawasan terbangun sebesar 70%.

Dalam konteks pembangunan perumahan permuki­man, besarnya proporsi kampung tersebut memiliki imp­likasi yang sangat luas, meskipun tidak dipahami secara substansial oleh pemerintah, yaitu:

Besarnya partisipasi masyarakat dalam membangun rumah sendiri tanpa bantuan pemerintah menun­jukkan kontribusi masyarakat dalam meringankan pembangunan perumahan permukiman.Besarnya sumberdaya perumahan (tidak hanya materi, termasuk intelektual, inisiatif dan kearifan lokal) pada masyarakat menengah kebawah dapat

Konsepsi Pemberdayaan

IdentifikasiMasalah

MengenaliKemampuan

MengumpulkanSuberdaya

Kehidupan Lebih Baik

Page 20: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

20

dikembangkan menjadi kekuatan pembangunan kota.Pembangunan perumahan oleh masyarakat (kam­pung) merupakan wujud pemberdayaan masyarakat karena dalam kehidupan kampung terbentuk rasa solidaritas dan rasa memiliki (sense of belonging) yang dapat menjamin keberlanjutan pembangu­nan.

Implikasi tersebut belum sepenuhnya dipahami sebagai solusi handal dalam memecahkan permasalahan perumah­an permukiman di Indonesia. Kebijakan pemerintah masih berfokus pada pengembangan perumahan formal dengan berbagai bentuk program. Padahal, jika dilihat dalam se­jarah kota­kota di Indonesia, kampung merupakan cikal bakal pembentuk kota yang tidak dapat diabaikan. Dalam penelitiannya terkait “Model of Indonesian City Structure” Larry R.Ford (ahli geografi perkotaan) menyatakan bahwa kampung merupakan bagian penting dari 9 zona/elemen pembantuk kota karena dua per tiga penduduk tinggal di kampung. Sehingga, sudah saatnya partisipasi yang besar masyarakat dalam pembangunan kampung harus dihar­gai sebagai sumbangan pada pembangunan yang lebih luas dan dalam konteks pemberdayaan masyarakat yang lebih hakiki, karena dalam pengembangan kampung tidak hanya pembangunan pada aspek fisik namun juga aspek ekonomi, sosial, ekologi dan budaya.

Dimensi Masyarakat dalam Pembangunan Kam-pung di Surabaya

Pembangunan permukiman ex­pejuang kemerdeka­an di kampung Banyu Urip, kota Surabaya pada tahun 1950an terwujud sebagai bentuk keberpihakan pemerin­tah pada pentingnya pembangunan masyarakat. Dukun­gan memperbaiki kampung Banyu Urip, yang pernah di publikasikan dalam tulisan berjudul By a Stroke of a Pen, menjawab kebutuhan rumah yang sangat besar bagi ban­yak pejuang yang bukan berasal dari Surabaya. Dinamika politik dan pemerintahan pada tahun 1965 membawa konsekuensi dilaku­kannya pembersihan terhadap elemen komunis yang diduga banyak bersem­bunyi di permukiman ilegal seperti kampung Banyu Urip. Upaya pember­sihan dan penataan permukiman yang akan dilakukan di kampung Banyu Urip mengalami hambatan dilematis karena berada di kawasan permaka­man. Dengan pertimbangan kemanu­siaan (lebih mudah memindah orang mati/makam dari pada orang hidup), kampung Banyu Urip dapat dipertah­

ankan dengan memindah makam dan diikuti dengan per­baikan sebagai kampung layak.

MelaluiSurat Keputusan Walikota dan dukungan masyarakat, dalam dua tahun hampir seluruh makam te­lah dipindahkan, sehingga masyarakat dapat secara lelu­asa membangun kembali permukiman secara lebih layak. Perbaikan secara intensif dilakukan melalui dukungan KIP (Kampung Improvement Programme) dengan dukungan program PRONA yaitu pemberian sertifikat hak milik masal. Program KIP berkembang menjadi KIP Kompre­hensif (KIP­K), yang tidak hanya berupa perbaikan fisik lingkungan, tetapi juga mencakup pinjaman stimulan modal usaha (mikro), yang ternyata berhasil mengembang­kan potensi usaha kecil masyarakat. Melalui rasa kepemili­kan masyarakat yang tinggi, program perbaikan kampung berhasil memberi dampak signifikan yang dirasakan warga hingga saat ini. Lingkungan kampung yang hijau dan asri (dulunya makam) menunjukkan bangkitnya kesadaran masyarakat yang makin baik dalam menjaga keberlanjutan pembangunan kampung sebagai sumber kehidupan kelu­arga hingga generasi mendatang. Keberhasilan program KIP di kampung Banyu Urip, terpilih sebagai salah satu kasus yang layak untuk dipublikasikan dalan penyeleng­garan International Year for Shelter of the Homeless (1987) di Berlin, dan tampil dalam buku Building Community (1988).

Mengotakan Kota Kecil (Urbanizing Small Town) sebagai Paradigma Pembangunan dalam Konteks Pem-berdayaan Masyarakat

Pembangunan berbasis partisipasi masyarakat den­gan memperhatikan keunikan potensi lokal secara nyata mampu meningkatkan kesejahteraan dan membentuk masyarakat yang lebih mandiri. Upaya kecil yang dilaku­kan pemerintah dalam kasus kampung Banyu Urip di kota Surabaya berupa perbaikan permukiman mampu menstimulasi masyarakat untuk berperan secara maksimal

sehingga hasilnya memberikan dampak yang besar pada masyarakat lebih luas (kota). Lingkungan permukiman yang baik secara bertahap mampu menin­gkatkan kondisi rumah yang memicu perbaikan ekonomi keluarga yang merupakan basis terkecil pembangu­nan.

Kampung Banyu Urip (Jl. Girilaya) yang merupakan bekas makam (sumber: survey 2012)

Wacana

Page 21: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

21

Beberapa Benchmarking Mengotakan Kota Kecil (Urbanizing Small Town)

Pembangunan yang berbasis masyarakat terbukti mampu menurunkan angka kemiskinan di China sebesar sekitar 60% dalam 25 tahun. Menurut kajian World Bank, proporsi kemiskinan di China menurun dari 65% pada tahun 1980 menjadi 4% pada tahun 2007. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari kebijakan khusus pemerintah China yang memihak rakyat miskin serta mengembang­kan perekonomian desa dan kota secara simultan dengan membangun koordinasi yang baik antarlembaga. Melalui upaya mengotakan kota kecil (urbanizing small town) tiga strategi yang diterapkan pemerintah China adalah:

Meningkatkan peluang dalam membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan, melalui pembangunan desa yang terpadu.Menjaga stabilitas (keamanan) untuk melindungi rumah tangga jatuh ke dalam kemiskinan, mela­lui program perlindungan sosial yang memadai, pengembangan infrastruktur perkotaan di desa.Pemerataan pembangunan dengan mengurangi kes­enjangan dan membangun kapasitas masyarakat, melalui peningkatan akses pendidikan, intervensi kebijakan pajak bagi masyarakat pedesaan, dan pengembangan modal.

Hasil penelitian oleh UNC­Chapel Hill School of Gov-ernment mengenai 45 kasus studi kota kecil di Amerika, menunjukkan penerapan strategi Community Economic De-velopment (CED) berhasil mening­katkan cara pandang masyarakat/komunitas terhadap kesejahteraan, juga memberikan catatan penting terkait pengembangan kota kecil yaitu:

Pemberdayaan masyarakat •adalah aktivitas/strategi yang tujuannya memban­gun kapasitas di komunitas untuk menghasilkan pen­ingkatan ekonomiKota dengan hasil paling •dramatis (baik) memiliki kecenderungan menjadi kota yang pro­aktif dan ber­orientasi ke depan (future-oriented), karena keingi­nan dan kemampuannya untuk bertindak dalam tantangan sebelum tantangan tersebut berubah menjadi masalah.Manusia selalu menjadi sumber daya paling penting •untuk kesuksesan pengembangan.Perlu mendefinisi ulang sumberdaya pengemban­•

gan ekonomi dalam kerangka kerja (framework) yang lebih luasPemerintah daerah yang inovatif dalam berbagai •bentuk dapat menguatkan strategi pengembangan komunitas, untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Dalam konteks pembangunan di Indonesia, upaya pengembangan berdasarkan potensi ekonomi masyarakat telah dilakukan di kota Surabaya. Dalam rangkaian pro­gram KIP­Komprehensif yang telah diakui secara global, pemerintah kota Surabaya mengembangkan program ‘kam­pung unggulan’ yang mengakomodasi kegiatan ekonomi berbasis masyarakat untuk berkembang dan mendapatkan akses pasar yang lebih luas. Kampung unggulan dikem­bangkan berdasarkan kegiatan ekonomi yang menonjol dan unik diantaranya; kampung lontong, kampung tas, kampung sepatu, kampung dinamo, kampung jahit, dan sejenisnya. Fasilitasi pemerintah kota dengan dukungan swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan, se­hingga permasalahan mendasar yang dialami masyarakat terkait pengembangan ekonomi dapat berkurang. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, program perbaikan dan kegiatan berbasis masyarakat secara terpadu dilaksanakan untuk menjamin lingkungan permukiman yang layak dan nyaman bagi kehidupan dan kelangsun­gan kegiatan ekonomi masyarakat. Inovasi yang dilakukan masyarakat dengan dukungan seluruh pemangku kepent­

ingan pembangunan menjadikan kampung di kota Surabaya saat ini telah mulai bertransformasi dalam upaya beradaptasi dengan mod­ernisasi dan globalisasi yang san­gat pesat serta meningkatkan citra positif kota secara global.

Pembelajaran Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Community Economic

Development/CED).Pengembangan komunitas = pengembangan 1. ekonomiKota menjadi pro-aktif dan berorientasi masa 2. depan (future-oriented)Visi yang luas dari komunitas lokal3. Sumberdaya dan peluang komunitas sebagai 4. strategiPemerintah yang inovatif, kerjasama dan or-5. ganisasi untuk meningkatkan kapasistasMengidentifikasi, mengukur dan mengapre-6. siasi sukses jangka pendekPengembangan ekonomi komunitas melibat-7. kan strategi dan alat yang terpadu

Page 22: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

22

Inisiasi Pengembangan Kota Kecil sebagai Langkah Awal Menuju Pembangunan yang Lebih Luas

Program percepatan pembangunan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indone­sia (MP3EI) menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi inklusif dan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Tema pembangunan didasarkan atas kegiatan ekonomi yang merupakan pengerak utama koridor pem­bangunan dengan berorientasi investasi besar. Di sisi lain untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, pemerintah juga mencanangkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) sebagai komplemen pelaksanaan MP3EI. Akselerasi pen­anggulangan kemiskinan merupakan tujuan dari MP3KI yang dilaksanakan dengan pendekatan pemenuhan kebu­tuhan/pelayanan dasar dan peningkatan pendapatan mela­lui integrasi/sinergi program penanggulangan kemiskinan sesuai kondisi wilayah dengan melibatkan pemerintah, Ba­dan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, masyarakat (P4: Public-Private-People Partnership).

Berdasarkan dokumen Ren­cana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2012, pembangunan kota­kota menengah dan kecil belum optimal, terutama disebabkan belum terpenuhinya sarana dan prasarana pe­layanan perkotaan yang dapat mendor­ong pengembangan perekonomian daerah dan peningkatan keterkaitan kota dan desa. Jika belajar dari pengalaman China dalam menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, pemerintah seharusnya memokuskan pada pengembangan kota kecil melalui pengembangan potensi ekonomi lokal. Hal tersebut mendorong dilakukan inisiasi pengembangan kota kecil sejak tahun 2011 oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Deputi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (Asdep Perumahan) bekerjasama dengan ITS Surabaya. Upaya tersebut bertujuan menyin­ergikan penanganan pembangunan kota kecil melalui per­encanaan yang terpadu dengan berbagai sektor. Ide dari inisiasi pengembangan kota kecil mengurangi beban ke kota, sekaligus meningkatkan daya saing produk lokal dan meningkatkan kualitas lingkungan permukiman sebagai basis kegiatan. Dengan mengoptimalkan potensi lokal pengembangan dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan uta­ma yaitu pengembangan ekonomi lokal, pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan permukiman dan lingkungan sebagai basis pembangunan. Program ini berupaya merangkul setiap pemangku kepentingan terkait untuk berkomitmen dan berkontribusi secara aktif dan

terpadu. Berikut ini ilustrasi model pengembangan kota kecil berdasarkan potensi lokal.

Model yang dirumuskan pada hakekatnya berlandaskan kerangka konsep pengembangan ekonomi setempat (local economic development), pembangunan berbasis komunitas (community based development) dan usaha rumahan (home based enterprised). Pengembangan ekonomi setempat mer­upakan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan bertumpu pada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknolo­gi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of in-stitutions) maupun pengalaman. Pembangunan berbasis masyarakat memperhitungkan aspek keberlanjutan ling­kungan, sosial dan budaya untuk pemarataan kesejahter­aan. Sedangkan pendekatan usaha berbasis masyarakat memberikan peluang peningkatan nilai rumah lebih dari sekedar tempat tinggal.

Kerangka konsep tersebut diintegrasikan dengan hasil kajian menunjukkan bahwa perlu sinkro­

nisasi potensi dan kebutuhan pengem­bangan. Elemen pembangunan yang berupa manusia, sumberdaya alam dan lingkungan harus dikem­bangkan secara seimbang untuk

menjamin keberlanjutan. Dukun­gan kebijakan perencanaan wilayah,

konsep yang kuat dan aplikatif serta peningkatan infrastruktur pendukung

merupakan kunci keberhasilan pengem­bangan kota sedang dan kecil. Kondisi permukiman dan lingkungan

yang baik akan menjadi pendorong pengemban­gan kota sedang dan kecil karena merupakan basis utama kegiatan ekonomi masyarakat. Permukiman yang layak akan menjadi kekuatan utama masyarakat untuk berino­vasi dan berkreasi secara leluasa. Dukungan pemerintah dalam peningkatan kualitas lingkungan harus berparadig­ma pembangunan jangka panjang. Program pembangunan oleh lembaga lebih efektif dilakukan secara terpadu dan terencana secara komprehensif, agar manfaat lebih dira­sakan masyarakat. Kemandirian masyarakat yang menjadi tujuan utama harus membuat masyarakat tidak tergantung pada bantuan pemerintah.

Inisiasi pengembangan kota kecil telah dilakukan di 6 (enam) kabupaten/kota di Indonesia yaitu kabupaten Solok dengan fokus pengembangan pertanian, kabupaten Garut fokus pengembangan pertanian, kota Singkawang fokus pengembangan pariwisata, kota Pekalongan fokus pengembangan batik dan perikanan, kabupaten Kota Baru fokus pengembangan perikanan, serta Labuhan Bajo fokus pengembangan pariwisata, pertanian dan perikanan.

MP3EVMP3KI

LocalEconomic

Development

Human

Resoursces

Settlement&

Environment

RTRW

Wacana

Page 23: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

23

Pemilihan lokasi didasarkan atas jumlah penduduk, PDRB, tingkat kemiskinan, dan potensi ekonomi lokal. Kegiatan sosialisasi, koordinasi dan sinkronisasi telah dilakukan, beberapa kementerian terkait (Bappenas, Kementerian Peru­mahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Ke­menterian Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ke­menterian Lingkungan Hidup). Secara umum lembaga terkait memberikan dukungan dan komitmen untuk men­jadikan paradigma pengembangan kota kecil sebagai pendekatan pembangunan secara lebih luas.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Deputi In­frastruktur dan Pengembangan Wilayah (Asdep Perumahan), masih terus me­matangkan rencana aksi yang akan di­implementasikan sebagai program pem­bangunan. Pemahaman bagi masyarakat sebagai pelaku utama harus ditekankan pada pentingnya keberlanjutan program agar memberikan dampak yang dapat dirasakan secara luas. Paradigma pembangunan sesaat yang tidak memberikan dampak jangka panjang harus mulai diubah agar pembangunan yang dilakukan dapat menjadi investasi bagi generasi mendatang. Antusiasme pemerintah daerah dan masyarakat dalam lokakarya dan sosialisasi pengem­bangan kota kecil mengindikasikan bahwa masyarakat membutuhkan paradigma baru dalam pembangunan di wilayahnya yang berpihak pada masyarakat miskin.

Catatan PenutupSecara global Indonesia memainkan peran yang makin

besar di perekonomian. Saat ini Indonesia menempati urutan ekonomi ke­17 terbesar di dunia. Keterlibatan Indonesia pun sangat diharapkan dalam berbagai forum global dan regional seperti Association of South East Asia Nation (ASEAN), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), G­20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya. Keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positip dari berbagai lembaga internasional. Prestasi yang dilihat secara makro tersebut tidak dapat menggambarkan secara detail kon­disi sebenarnya di lapangan. Fenomena semakin bertam­bahnya luas kawasan permukiman kumuh dan informal pada hakikatnya menunjukkan adanya ketidakimbangan antara penyediaan dan kebutuhan perumahan yang layak khususnya di kawasan perkotaan, yang mencerminkan

belum mampunya negara menjamin terpenuhinya jaminan bermukim atau belum terpenuhinya hak atas rumah yang layak bagi seluruh rakyat (ade-quate shelter for all). Kemiskinan yang tidak dapat terlepas dari isu permuki­man kumuh mendesak untuk dapat segara diatasi. Berbagai program pem­bangunan yang direncanakan MP3EI, MP3KI diharapkan dapat terimple­mentasi secara optimal untuk menja­min pemerataan pembangunan pada seluruh lapisan masyarakat.

Inisiasi pengembangan kota kecil yang berusaha merubah paradigma pembangunan berorientasi fisik men­jadi pembangunan masyarakat (com-munity development) harus dilihat secara integral bagi upaya pengem­bangan wilayah yang berfokus pada potensi lokal bagi peningkatan kes­ejahteraan masyarakat. Bagi negara

yang menganut sistem ekonomi dualistik (sektor formal dan informal), memberikan implikasi pada pemerintah harus secara proporsional memberikan dukungan yang seimbang. Karena tidak dapat dipungkiri ekonomi in­formal memegang porsi yang signifikan dalam pemban­gunan ekonomi terutama pada masyarakat kelas bawah. Pengembangan kota kecil dengan berusaha mengakomo­dasi pengembangan ekonomi berbasis masyarakat sebagai pengerak pembangunan wilayah. Terkait indikator keber­hasilan pembangunan, perlu diluruskan banyaknya defi­nisi yang dipakai banyak fihak serta sering menimbulkan beragam kerancuan, sehingga setiap tahapan implementasi pembangunan dapat dimonitor dan dievaluasi sesuai defi­nisi/standar yang pasti. Pembangunan seharusnya tidak diukur dari capaian tingkat pertumbuhan ekonomi semata namun dapat didasarkan pada kualitas hidup (livability) dari masyarakat.

Strategi dalam inisiasi pengembangan kota kecil:

Pengembangan pola pertanian modern melalui sistem pertanian organik.Pengembangan produk sebagai upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produksi. Pengembangan sumberdaya manu-sia sebagai motor penggerak pem-bangunan wilayah berbasis potensi ekonomi setempat.Pengembangan infrastruktur eko-no mi berbasis teknologi dan jejar-ing yang terpadu antarwilayah dan sektor.Mengembangkan usaha rumahan (home based enterprised) berbasis ekonomi setempat yang layak dan berkelanjutan.Memadukan potensi ekonomi set-empat (pertanian-perikanan-pari-wisata) menjadi kekuatan ekonomi berbasis masyarakat.

(Sumber: Menko Perekonomian – ITS, 2012)

Page 24: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

24

Saat ini, kota­kota di dunia dan di Indonesia khusus­nya telah berkembang secara signifikan. Perkembang­an tersebut berdampak positif dan beberapa lainnya

berdampak negatif. Keluhan­keluhan negatif yang sudah sering terdengar dan terlihat adalah persoalan macet, ban­jir, menurunnya kualitas air tanah dan udara, meningkat­nya kriminalitas, persaingan ekonomi yang semakin keras, biaya hidup yang semakin mahal, hingga pada persoalan stres dan semakin beratnya tantangan hidup. Bahkan me­munculkan sebuah jargon bahwa (tanda kutip mohon di­hilangkan) “sekejam­kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibu kota”.

Ketika terjadi Revolusi Industri pada awal abad ke 20, orang mulai menyadari masalah yang timbul pada kota­ko­ta modern di Eropa. Hal tersebut memicu munculnya be­berapa teori perencanaan kota dari arsitek­arsitek terkenal saat itu. Le Corbusier menyodorkan “The Radiant City”, Ebenezer Howard dengan “The Garden City”, dan Frank Lloyd Wright dengan “Broadacre City”­nya. Pemikiran­pemikiran Le Corbusier kemudian dikembangkan dan berorientasi pada pola pengembangan bersifat sentralis­tik, sementara pemikiran Frank Lloyd Wright kemudian dikembangkan dan berorientasi pada pola pengembangan bersifat desentralistik. Pola sentralistik kemudian memun­culkan gagasan tentang compact city sedangkan pola de­sentralistik memunculkan gagasan tentang urban sprawl.

Jika pola konsumsi makanan dan pengembangan diri akan menentukan masa depan manusia, maka pola kon­sumsi lahan dan pengembangan lahan juga akan menen­tukan masa depan kota. Titik temu antar keduanya adalah kota dikembangkan oleh manusia, merencanakan, mem­bangun, mengelola, dan menempatinya, sehingga pola­po­la pengembangan kota yang dikembangkan oleh manusia akan berdampak kembali kepada manusia.

Pertumbuhan dan perkembangan kota senantiasa

dipengaruhi dan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia yang mendiami dan mengelo­lanya. Tumbuh dan berkembangnya kota tidak lepas dari proses yang kita kenal dengan istilah urbanisasi. Kemun­culan dan pergerakannya terkait erat dengan moderenisasi dan globalisasi. Dalam proses tersebut kemudian dapat diidentifikasi bentuk perkembangan kota seperti urban sprawl maupun compact city. Pengenalan terhadap Urban sprawl dan compact city dapat mengantarkan kita pada per­timbangan logis untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan serta pengembangan kota secara efektif dan lebih efisien.

Mengenal

Urban Sprawl & Compact City

Muhammad Nauval Al – Ammary*

Wacana

sumber foto: istimewa

Page 25: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

25

Mengenal Urban SprawlUrban sprawl dikenal sebagai longstanding phenomenon.

Hal ini dimulai dengan perluasan kota ke dalam area pede­saan, dan berakselerasi sangat cepat sepanjang akhir sepa­ruh abad ke duapuluh. Pada abad 21 bermula, kira­kira separuh orang Amerika tinggal di bagian pinggir kota, dan beberapa corak sprawl yang tampak adalah berupa adanya penggunaan lahan yang low density, ketergantungan berat pada kendaraan bermotor untuk transportasi, segregasi pada penggunaan lahan, dan hilangnya beberapa kesem­patan untuk beberapa kelompok, terutama yang berada di kota­kota besar (Frumkin, 2001).

Roy Beck, Leon Kolankiewicz dan Steven A. Cama­rota (2003) mendefinisikan sprawl sebagai proses penye­baran pengembangan lahan­lahan terbuka yang bergerak de ngan cepat seiiring dengan meningkatnya pertumbuh­an populasi. Sementara itu, Travisi dan Camagni (2005) mendefinisikan sprawl sebagai suatu penyebaran yang tidak terkontrol dari satu kota tertentu dan terus meluas ke daerah suburban­nya dan menjadikan lahan semi-rural terus berkembang luas melampaui batas terluar dari suatu wilayah perkotaan. Urban Sprawl juga dapat didefinisi­kan sebagai suatu penyebaran pengembangan baru pada sejumlah kawasan yang terpisah, dan tersebar pada area­area lain yang masih merupakan lahan kosong (Lata, et al. 2001). Hal tersebut juga didefinisikan sebagai leapfrog development (Jothimani, 1977; Torrens and Albert, 2000 dalam Alabi M Oloyede., 2009).

Sprawl juga digambarkan dengan pola­pola penggu­naan lahan yang spesifik. Altshuler dan Gomez Ibanez (1993) seperti halnya Harvey dan Clark (1965) meng­gambarkan sprawl sebagai suatu kelanjutan dari low density residential di batasan terluar dari suatu area metropolitan, sama seperti pengembangan permukiman low density di sepanjang jalan raya yang menuju ke luar kota dan juga sebagai leapfrogging development pada lahan yang belum terbangun, dan tampak seperti adanya ”penambalan” pada ruang­ruang kosong.

Sprawl adalah suatu bentuk baru dari urbanisasi dengan sejumlah karakteristik yang berbeda­beda dibandingkan de­ngan urbanisasi yang dikembangkan dengan smart growth.

Enger dan Bradley (2004) dalam Kustiwan 2008 me­nyampaikan bahwa faktor­faktor yang berpengaruh ter­hadap fenomena urban sprawl adalah sebagai berikut:

Faktor gaya hidup, seperti peningkatan kesejahter­1. aan penduduk yang tercermin dari kepemilikan ru­mah dan kendaraan bermotor;Faktor ekonomi, yaitu biaya pembangunan pada 2. kawasan pertanian atau lahan bukan perkotaan yang lebih murah dibandingkan dengan kawasan dalam kota; dan

Faktor perencanaan dan kebijakan, antara lain ko­3. ordinasi yang rendah antar pemerintah daerah yang berbatasan, dan adanya ‘subsidi’ yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan jalan.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah dampak urban sprawl terhadap kesehatan mencakup delapan hal utama yakni polusi udara, dampak pemanasan, pola ak­tivitas fisik, kecelakaan kendaraan bermotor, dampak ter­hadap pejalan kaki, kuantitas dan kualitas air, kesehatan mental, dan sosial kapital. Terdapat konsekuensi biaya ataupun manfaat pada itu semua yang harus ditanggung oleh masyarakat, yang perlu untuk mendapatkan perha­tian khusus (Frumkin, 2001).

Mengenal Compact CityCompact City adalah suatu pendekatan dalam peren­

canaan kota yang didasarkan pada pengembangan secara intensif dalam kawasan perkotaan eksisting atau pada kota­kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, dengan membatasi pertumbuhannya. Hal ini disampaikan oleh Cowan (2004) dalam tulisannya yang berjudul The Dic-tionary of Urbanism. Jika ditelusuri dalam perkembangan­nya, pada awal tahun 1980­an compact city telah diterima di Belanda dan negara­negara Eropa lain sebagai konsep perencanaan tata ruang yang dianggap memberikan solusi terhadap sejumlah masalah perkotaan (Gert de Roo., 2004 dalam Kustiwan., 2008).

Namun demikian terkait dengan pengertian bakunya, belum ada definisi tetap untuk Compact City. Hanya di­jelaskan guna mencapai kota yang kompak, terdapat kegi­atan yang disebut urban intensification, yang juga belum memiliki definisi tetap. Istilah urban intensification di­gunakan untuk menggambarkan beberapa strategi yang membuat kota menjadi lebih padat dengan bangunan atau lebih padat penggunaan tanahnya. Pembangunan pada area yang telah terbangun mengurangi tekanan pemba­ngunan pada wilayah pinggirannya dan mendayagunakan pembangunan di bagian tengah kotanya, terutama di tem­pat­tempat yang masih kosong (vacant areas). Selain itu, Compact City juga punya gasasan pokok pada sektor trans­portasi. Jelas bahwa Compact City mengurangi panjang perjalanan, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan mendukung penggunaan transportasi umum. Den­gan demikian kemacetan lalu lintas dan pencemaran udara akan berkurang (Widyawati, 2003).

Compact City juga dianggap sebagai suatu kompnen penting dari suatu keberlanjutan masa depan. Sebagai contoh, mengkompakkan kota adalah salah satu cara un­tuk mengurangi jarak tempuh perjalanan, termasuk untuk mengurangi tingkat emisi dan efek gas rumah kaca, yang dapat mengendalikan pemanasan global. Dengan mengu­

Page 26: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

26

rangi konsumsi fossil fuels, penduduk kota akan dapat me­nikmati segala kebaikannya, seperti tingkat pengeluaran yang rendah untuk transportasi, rendah polusi dan rendah biaya­biaya yang ditimbulkan oleh efek pemanasan (Jenks M, Burton E & Williams K., 2000).

Ciri­ciri dari compact city (Dantzig dan Saaty 1978), dapat dilihat dari 3 aspek yakni bentuk ruang, karakteris­tik ruang dan fungsinya. Dalam hal ini, bentuk ruang akan lebih mengarah kepada terbentuknya permukiman­permu­kiman yang memiliki tingkat kepadatan tinggi, ketergan­tungan kepada kendaraan relatif rendah, dan memiliki ba­tas yang jelas dari area sekitarnya. Karakter ruangnya akan lebih mengarah kepada mixed land use, diversity of life, dan memiliki identitas yang jelas. Sementara untuk fungsinya, akan lebih mengarah kepada social fairness, self-sufficiency of daily life, dan independency of governance (Dharma A, 2005).

Compact city juga menyarankan beberapa hal terkait persoalan tingkat kepadatan di area perkotaan yang ber­lawanan dengan model desentralisasi, perlindungan ruang terbuka atas area­area yang sudah sepenuhnya terbangun, dan mixed land use atas euclidian zoning. Hal ini diwujud­kan dengan menempatkan sejumlah pusat kota dan pusat bisnis yang menampung residensial dengan persentase yang tinggi, melebihi ruang­ruang komersial, dan penggu­naan transportasi publik yang lebih tinggi dari pada trans­portasi individu.

Urban Sprawl dan Compact City dari perspektif So-sial Kependudukan.

Beberapa provinsi merupakan daerah tujuan migran, seperti: Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur. Daerah­daerah ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi migran. Pada umumnya alasan utama pindah para mi­gran ini adalah karena pekerjaan, mencari pekerjaan, atau sekolah. Berdasarkan hasil SP 2010, jumlah penduduk usia

kerja (15 tahun ke atas) adalah sebesar 169,0 juta jiwa. Di­lihat berdasarkan daerah tempat tinggal, jumlah angkatan kerja yang tinggal di perkotaan sebesar 50,7 juta orang.

Hingga saat ini, masih banyak orang yang masih meli­hat kota sebagai salah satu tujuan utama menuju pening­katan status sosial, namun banyak juga fakta yang menun­jukan bahwa kota adalah tempat yang tingkat disparitas dan permasalahan sosialnya tinggi. Hingga saat ini ibukota dan pusat­pusat regional masih menjadi pusat gula yang selalu terlihat menggiurkan bagi semut­semut negeri ini.

Kota­kota yang telah tersentuh moderenisasi dan glo­balisasi dalam pembangunannya, umumnya akan memili­ki ‘wajah’ yang lebih menarik dibandingkan dengan pede­saan. Kota hingga saat ini masih dianggap oleh banyak orang sebagai tempat ideal untuk mendapatkan pekerjaan, merubah nasib, memperkaya pengalaman hidup, pusat uang dan hiburan. Inilah yang kemudian juga menjadi pe­nyebab pulau­pulau dan kota­kota yang sudah eksis, terus mengalami perluasan area ke sekelilingnya hingga menem­bus ke area­area suburbs dan area pedesaan.

Di Indonesia, data Sensus Penduduk Tahun 2010 menunjukan bahwa penyebaran penduduk di pulau­pulau besar adalah: pulau Sumatera yang luasnya 25,2% dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni oleh 21,3% penduduk, Jawa yang luasnya 6,8% dihuni oleh 57,5% penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5% dihuni oleh 5,8% pen­duduk, Sulawesi yang luasnya 9,9% dihuni oleh 7,3% penduduk, Maluku yang luasnya 4,1% dihuni oleh 1,1% penduduk, dan Papua yang luasnya 21,8% dihuni oleh 1,5% penduduk. Dari data statistik ini, cukup logis kira­nya jika kita munculkan wacana bahwa untuk menunai­kan asas pemerataan pembangunan di Indonesia, maka pembangunan kota­kota di pulau Kalimantan dan Papua perlu didorong dengan penyebaran penduduk yang efektif. Hal ini tentunya harus diikuti oleh pembangunan ekono­mi yang mumpuni di wilayah­wilayah tersebut.

Kembali ke dalam konteks pola pengembang an kota, penyebaran tersebut tidak serta merta kemudian men­jadikan wilayah perluasan maupun wilayah kota intinya mengalami bentuk yang low-density, namun bisa jadi jus­tru berkembang secara signifikan dan memunculkan high-density, sebagaimana yang terjadi di area hinterland Jakarta saat ini. Beberapa dampak sosialnya adalah terjadinya kes­enjangan sosial antar masyarakat yang tinggal di tengah kota, pinggiran kota maupun yang tinggal di kota ping­giran. Tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan, angka pengangguran, ketersediaan layanan pendidikan yang memadai, hingga kepada kesenjangan dan ketimpang­an sosial­ekonomi terus berlanjut hingga mempengaruhi tingkat kriminalitas yang mulai merata tingginya di dalam maupun di luar kota.

Page 27: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

27

Melihat Urban Sprawl dan Compact City dari ‘kaca-mata’ perumahan dan permukiman.

Peningkatan kebutuhan lahan dan kebutuhan hidup penduduk kota telah berhasil membangunkan lahan­lahan yang sebelumnya masih tertidur pulas, baik di dalam kota, dipinggiran kota maupun di kota­kota pinggiran. Pola pengembang an compact akan mengarahkan perumahan dibangun secara vertikal. Sementara pola pengembangan sprawl masih memungkinkan perumahan dikembangkan secara horizontal dalam bentuk rumah tapak.

Jika pengembangan compact diterapkan, disatu sisi ada potensi efisiensi lahan yang memberikan kabar gembira bahwa hunian di tengah kota akan mendapat perhatian lebih. Namun disisi lain, nilai strategis lahan akan me­lonjak tinggi, dan jika Pemerintah Kota belum siap dan belum bijak, maka masyarakat harus bersiap­siap mengha­dapi kelangkaan hunian layak huni dan terjangkau untuk masyarakat berpendapatan menengah dan masyarakat ber­pendapatan rendah.

Jika pengembangan sprawl diterapkan, disatu sisi ada potensi keleluasaan dalam pengembangan kota karena ba­tas­batas kota dimungkinkan untuk diperluas. Namun di­sisi lain, bagi kota­kota yang sistem transportasi publiknya masih memprihatinkan, dan belum memiliki transportasi penghubung sub urban yang baik, maka masyarakat harus bersiap­siap menghadapi waktu perjalanan yang lama dan melelahkan setiap hari.

Pada pola compact, perumahan dan pusat aktivitas bera­da dalam satu area sementara pada pola sprawl perumahan dapat terpisah cukup jauh dari pusat aktivitas. Pada pola pengembangan sprawl, perumahan akan diupayakan bisa berada sedekat mungkin dengan akses jalan tol atau stasiun kereta api. Sementara ketersediaan lahan untuk pemban­gunan hunian vertikal maupun yang bersifat mix-used me­megang peranan penting pada pola compact. Hunian akan diupayakan bisa berada sedekat mungkin dengan kantor atau pusat aktivitas lainnya.

Memperhitungkan Urban Sprawl dan Compact City dari perspektif ekonomi perkotaan.

Peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan, khususnya di daerah perkotaan, yang tidak diikuti dengan pertambahan lahan, secara otomatis akan berdampak pada nilai ekonominya. Harga lahan di perkotaan akan menjadi mahal. Hal ini kemudian menjadikan pengelola maupun masyrakat kota akan terdorong memanfaatkan lahan de­ngan semaksimal mungkin.

Compact city bisa dikatakan sangat sesuai dengan hal tersebut, dikarenakan bentuknya yang dekat dengan pola high-density. Harga tanah yang tinggi, akan mendorong para pemiliknya untuk melakukan sejumlah pembangun­

an yang juga bernilai tinggi. Hal ini secara keseluruhan akan berpengaruh kepada meningkatnya nilai dan pamor dari kota itu sendiri. Banyak unit­unit usaha yang termo­tivasi untuk dibangun. Area industri, bisnis dan komersil berpotensi besar untuk tumbuh subur. Hal tersebut juga jelas akan berdampak kepada meningkatnya daya tampung tenaga kerja, dan relatif akan meningkatkan perekonomian masyarakat dari kota tersebut.

Namun, faktanya hingga saat ini, urban sprawl justru terus berkembang de ngan berbagai alasan yang mem­perkuatnya, diantaranya adalah dikarenakan harga tanah di dalam kota yang terlampau mahal, maka para pekerja di dalam kota kemudian mulai membidik tanah­tanah di pinggiran kota untuk dijadikannya sebagai tempat un­tuk ‘menginap’. Pagi hingga sore bekerja di tengah kota, malamnya barulah mereka kembali ke rumah mereka di­pinggiran kota. Dengan kata lain, commuter cukup identik dengan urban sprawl. Konsekuensi biaya transportasi jelas bisa lebih tinggi. Namun, dengan pertimbangan tertentu, hal tersebut bisa dikompensasi dan diterima. Dampak lainnya yang mungkin akan berkembang adalah mulai melonjaknya harga tanah pada area­area pinggiran kota. Nilai lahan yang berdekatan de ngan akses pintu tol akan menjadi sangat strategis, bernilai ekonomi yang tinggi, dan tentunya rawan aksi spekulasi.

Urban Sprawl dan Compact City dari perspektif ke-sehatan dan lingkungan hidup.

Meningkatnya lingkungan terbangun akan berdampak kepada hilangnya lingkungan alami yang ada di daerah perkotaan. Semakin padat kota dengan berbagai bangun­an serta infrastrukturnya, secara otomatis akan berban­ding terbalik dengan ketersediaan ruang terbuka hijau di daerah perkotaan. Hal ini dapat memunculkan berbagai permasalahan yang rumit, mulai dari menurunya daya dukung lingkungan, meningkatnya tingkat pencemaran hingga terjadinya bencana.

Pada persoalan tanah, adanya intensitas pembangu­nan yang tinggi di lahan perkotaan, akan menjadikan kualitas tanah menurun. Ini akan diikuti pula oleh menu­runnya kualitas air tanah yang terkandung didalamnya. Keterbatasan lahan juga, akan memunculkan masalah pembuang an limbah, baik limbah rumah tangga, perkan­toran dan komersil, sampai pada limbah B3 yang berasal dari rumah sakit ataupun industri. Sehingga pengelolaan lingkungan kota yang high-density, jelas akan menjadi wacana yang fundamental bagi seluruh komponen yang hidup di lingkungan perkotaan. Hidup dengan kualitas air tanah yang buruk, serta pengelolaan limbah yang terbeng­kalai, jelas akan menurunkan kualitas hidup ekosistem alam maupun manusia itu sendiri. Dampak kesehat an dan

Page 28: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

28

keselamatan akan mutlak dihadapi.Penurunan kualitas hidup yang terjadi secara terus­

menerus berpotensi besar untuk meningkat hingga menca­pai pada taraf yang mengkhawa tirkan dan berbahaya. Dalam jangka panjang, ini akan berdampak sistemik, berdampak global seperti halnya feno mena efek gas rumah kaca.

Secara keseluruhan, dampak lingkungan akan tetap ada baik pada urban sprawl maupun pada compact city. Pada urban sprawl, penggunaan kendaraan dan pembangunan infrastrukturnya merupakan potensi rawan penurunan kualitas kesehatan dan lingkungan hidup. Sementara pada compact city, konsumsi lahan yang tinggi, pengelolaan lim­bah yang terbengkalai, dan penurunan kualitas tanah mau­pun air tanah perlu mendapat perhatian khusus ka rena dapat mengancam kesehatan dan kelestarian lingkung an hidup. Selain itu, di area­area padat penduduk, penangan­an kesehatan khususnya terhadap penyakit menular perlu mendapatkan perhatian ekstra. Secara ringkas dapat kita simpulkan bahwa kesehatan dan kelestarian lingkungan adalah amanat dasar bagi setiap manusia, baik sebagai pe­rencana, pengembang, pengelola, maupun penghuni.

Urban Sprawl dan Compact City dalam Topik Obrol-an Perencanaan.

Dimulai dari urbanisasi hingga kepada berbagai per­soalan yang ditimbulkannya, telah jelas memperlihatkan bahwa masyarakat dalam hal ini bertindak sebagai pelaku utama yang menentukan jalan cerita dari kehidupan perkotaan itu selanjutnya. Penggunaan lahan, bangunan, infrastruktur, kendaraan dan lain sebagainya telah me­nempatkan masyarakat kota sebagai subjeknya. Untuk itulah keterlibatan masyarakat dalam menentukan nasib dari lingkungan hidup perkotaan menjadi sangat penting. Se tiap orang berhak diikutsertakan dalam proses perenca­naan kota tersebut, dan pihak perencana kota pun berke­wajiban untuk menyertakannya.

Kota sebagai produk perencanaan dari perencana kota, seringkali hanya dikelola secara otoriter oleh pengelola ko­tanya saja. Meskipun demikian, keterlibatan pihak swasta dalam perkembangan kota juga telah mendapat tempat yang

cukup berpengaruh dalam dunia percaturan perkotaan di Indonesia. Bahkan untuk pembangunan perumahan dan kota, masyarakat lebih akrab dengan para pengembang swasta yang tersohor seperti Agung Sedayu Grup, Agung Podomoro, dan ‘agung­agung’ lainnya yang biasanya dia­gungkan oleh para pecinta bisnis properti. Persoalan yang hingga kini belum tertangani secara tuntas adalah upaya untuk mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan.

Para perencana yang progresif dan membela masyarakat, menekankan perlunya untuk membawa warga masyarakat ke proses perencanaan, karena dalam proses perancangan pada prakteknya, masyarakat tersebut tidak pernah berpar­tisipasi yang menjelaskan bahwa partisipasi yang lebih luas akan menghasilkan rencana yang lebih baik dan responsif.

Banyak aspek dan faktor yang mempengaruhi keter­libatan masyarakat dalam suatu perencanaan dan peran­cangan kota. Dimulai dari adanya keterbatasan pendidik­an, hingga kepada persoalan politik yang seringkali turut bercampur memperkeruh kondisinya. Umumnya, masih banyak warga kota yang tidak mengerti bahkan menge­tahui mekanisme dan proses perencanaan kotanya sendiri pun tidak. Pendidikan publik terhadap perencanaan kota sendiri, jelas masih pada taraf yang sangat rendah, sehingga perencanaan kota, masih menjadi barang sakti yang hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Hal ini diperparah dengan kondisi masyarakat maupun dari pihak perencana yang belum tergerak untuk melangkah ke arah tersebut.

Pada perencanaan publik yang bersifat tradisional, per­saingan dipandang sebagai sesuatu yang dapat merusak ekonomi dan sosial masyarakat. Para perencana dan teori perencanaan selalu mendorong kerjasama dan penyelesai­an masalah secara bersama. Dalam perencanaan strategis, kompetisi dipandang sebagai hal yang tak terelakkan, maka masyarakat diminta untuk mengidentifikasikan persaingan dan melakukan antisipasi terhadapnya atau harus meneri­ma konsekuensi akibat mengabaikan persaingan tersebut (Djunaedi, 2000).

Mungkin ada baiknya untuk mereformasi pola­pola perencanaan kota. Semua komponen yang ada perlu un­

sumber foto: istimewa

Page 29: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

29

tuk dilibatkan dalam proses perencanaan kota. Aspirasi masyarakat terhadap kotanya dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam mengevaluasi pola pengem­bangan kota. Untuk menarik perhatian dan sebagai me­dia komunikasi sekaligus membudayakan kompetisi sehat bagi para pengelola kota, dapat juga dikembangkan sistem Ranking Kota.

Sebagai contoh, sebagaimana diberitakan oleh Re­publika, bahwa Kota Yogyakarta merupakan kota paling nyaman di Indonesia tahun 2009 dan 2011. Sedangkan Jakarta menempati peringkat 13. Pemeringkatan tersebut menggunakan sembilan indikator, yakni: tata ruang ling­kungan, transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidi­kan, infrastruktur, ekonomi, keamanan dan kondisi sosial. Hasilnya Yogyakarta yang menjadi kota ternyaman dengan Most Liveable City Index (MLCI) 2011 sebesar 66,52%, sementara Jakarta menempati urutan 13 dari 15 kota den­gan MLCI hanya sebesar 50,71%.

Pemeringkatan semacam ini juga dapat terus dikembangkan dengan berbasis sek­tor. Sebagai contoh dapat kita kembang­kan ranking perumahan, ranking tran­sportasi, ranking pengelolaan limbah dan sebagainya. Hal semacam ini tidak hanya dapat menampung aspirasi masyarakat, tetapi juga dapat menjadi salah media un­tuk mengajak Pemerintah Kota dan masyarakat kota ber­lomba­lomba untuk memajukan kotanya.

Dalam hal ini, pendidikan publik terkait dengan pe­rencanaan kota perlu dibangun sajak dini, dan dilandaskan hingga pada unit terkecil yakni lingkungan rumah tangga. Setiap warga kota pada dasarnya harus dapat mempelajari hingga memahami bahwa segala aktivitasnya akan ber­dampak sistemik terhadap sistem perkotaan. Mulai dari prilakunya dalam penggunaan lahan, penggunaan tran­sportasi, peralatan elektronik dan perkakas rumah tangga hingga pada pe ngelolaan limbahnya, adalah hal­hal men­dasar yang akan berdampak baik kepada lingkungan sosial, lingkungan alam maupun lingkungan binaannya.

Mengelola Urban Sprawl dan Compact City perlu sentuhan Teknologi

Pembangunan kota pada tataran implementasi saling terkait dan berpengaruh terhadap pendapatan kota, ke­bijakan pembangunan infrastruktur publik, ketersediaan SDM, habit masyarakat kota, serta kemauan dan komit­men dari stakeholders terkait. Pertanyaannya yang kemu­dian muncul adalah: “apakah teknologi untuk menga­komodasi itu semua telah eksis dan dapat diakses?”. Ini adalah salah satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh para pengelola kota.

Ketersediaan, ketercukupan dan kesesuaian dari teknologi itu sendiri sangat penting untuk dijadikan ba­han dipertimbangkan oleh para perencana kota dalam menentukan perencanaannya dan merumuskan berbagai kebijakan yang terkait dengan pengembangan kotanya. Apabila persoalan teknologi telah dapat dijawab, maka hal tersebut akan berdampak signifikan dalam meringankan berbagai beban yang dipikul oleh lingkungan perkotaan.

Di satu sisi, pengaplikasian teknologi juga dapat men­jadi penyebab dari segala kerusakan alam. Penggunaan teknologi tinggi yang ramah lingkungan juga pada dasarnya akan berdampak kepada harga produksinya yang mahal. Namun persoalan ekonomi tersebut dapat teratasi dengan adanya sistem pendi dikan yang terintegrasi de ngan dunia riset dan dunia industri, membangun kerjasama yang har­monis dan produktif dengan negara­negara maju dan lem­baga donor, dan tentunya membangun komitmen serta manajemen yang baik dari pengelola kota itu sendiri.

Secara umum, penguatan data kepen­dudukan yang menerangkan jumlah pen­duduk kota dan komuter perlu mendapat perhatian khusus. Data inilah yang akan menjadi salah satu data dasar dalam pe­nentuan arah pemba ngunan dan pengem­bangan kota­kota di Indonesia. Selanjutnya dalam hal konsep, dapat dijelaskan bahwa

Urban sprawl merupakan suatu bentuk pengembangan kota yang menyebar atau yang bersifat desentralisasi, se­mentara compact city merupakan suatu bentuk pengem­bangan kota yang terpusat atau dapat dikatakan bersifat sentralisasi. Inilah yang menjadi perbedaan paling men­dasar dan jelas, antara urban sprawl dengan compact city.

Urban sprawl dan compact city memiliki sejumlah kelebih an dan kekurangannya masing­masing. Dalam suatu perspektif kota­kota yang terintegrasi di dalam wilayah Indonesia, maka keduanya tetap memiliki potensi yang besar untuk dapat dikelola dan dikombinasikan un­tuk mencapai pembangunan kota yang “berkelanjutan”. Dengan catat an, bahwa secara keseluruhan, kota­kota yang ada dalam pengembangannya perlu dipandang seba­gai satu kesatuan sistem, saling mempengaruhi dan lewat pengelolaan yang baik, dapat saling mendukung satu sama lainnya. Letak keberhasilan dari pengelolaan urban sprawl dan compact city adalah terletak pada keputusan yang bi­jak, langkah­langkah yang terencana dan efektif serta komitmen kuat setiap stakeholders, mulai dari perencana, pengembang, pengelola maupun masyarakat seluruhnya.

* Staf Biro Perencanaan dan Anggaran memperoleh gelar magister dari Universitas Indonesia pada program studi Kajian Pengembangan Perkotaan dengan kekhususan pada Manajemen Pembangunan Perkotaan.

Kota Yogyakarta merupakan kota paling nyaman di

Indonesia tahun 2009 dan 2011. Sedangkan Jakarta menempati peringkat 13.

Page 30: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

30

Wacana

Populasi penduduk dunia saat ini telah mencapai 6,5 miliar jiwa dan jumlah tersebut akan terus bertam-bah, sehingga pada tahun 2050 diperkirakan men-

capai angka 9 miliar. Seiring dengan itu perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat sangat tajam bahkan menurut PBB pada tahun 2008, batas psikologis 50 persen telah terlampaui. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia. Tahun 2010, penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan telah mencapai 118 juta atau sebesar 49,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Angka terse-but cukup fantastis, jika dibandingkan den-gan kondisi tahun 1950 yang hanya sekitar 12,4% penduduk yang tinggal di perkotaan hanya sekitar 12,4%. Jadi hanya dalam waktu 60 tahun separuh penduduk Indonesia telah bertempat tinggal di wilayah perkotaan.

Telah menjadi semacam gejala yang lazim di perkotaan bahwa pertambahan penduduk akan diikuti pertumbuhan permukiman kumuh. Berdasarkan laporan UN-Habitat, penduduk di kawasan padat kumuh selama 15 tahun terakhir mengalami pertumbuhan cepat. Pada tahun 1990, penduduk kawasan padat kumuh di dunia telah mencapai 700 juta jiwa sampai dengan tahun 2005, terdapat hampir 1 miliar penduduk perkotaan di dunia yang tinggal di kawasan padat kumuh. Tahun 2020, UN-Habitat memperkirakan sekitar 1,4 miliar penduduk

di wilayah perkotaan di dunia, akan menempati kawasan padat kumuh. (Lihat gambar 1)

Pemukiman padat dan kumuh juga ditemui di kota-kota di Indonesia. Pada tahun 2010, sekitar 12,57% rumah tangga menempati rumah kumuh. Data lain menunjukkan

bahwa hampir seperempatnya, yakni 23,1% atau sekitar 25 juta orang, tinggal di kawasan permukiman

kumuh. Diperkirakan sekitar 10 kota di Indonesia memiliki masalah dengan

pemukiman kumuh, yaitu Jakarta, Medan, Semarang, Bandung, Batam, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Yogyakarta. Meningkat dari sekitar 21 juta pada tahun 2005. Tahun 2004 luas pemukiman kumuh mencapai 54.000 hektar dan meningkat menjadi 57.800 hektar pada tahun 2009.

Kondisi tersebut telah memaksa peme-rintah untuk mencari solusi dalam mengatasi per-

mukiman kumuh. Namun kemampuan pemerintah me-nangani permukiman kumuh terkendala oleh ketersediaan dana yang sangat terbatas. Sebagai ilustrasi, pada RPJMN Tahun 2010-2014 pemerintah hanya bisa menata dan me-nangani lingkungan pemukiman kumuh seluas 655 hektar. Kondisi ini disikapi oleh masyarakat sendiri dengan mem-bangun dan meningkatkan kualitas permukiman mereka secara swadaya. Fakta menunjukkan bahwa kontribusi

Oswar Mungkasa

Peluang dan Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh

melalui Kemitraan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat

sumber foto: istimewa

Page 31: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

31

masyarakat baik pada tingkat komunitas maupun individu dalam pembangunan perumahan sangat siginfikan. Tidak terdapat data yang pasti tetapi UN-Habitat menunjukkan bahwa sekitar 70 persen investasi perumahan di negara-negara berkembang dilakukan oleh masyarakat khusus-nya dalam bentuk rumah tumbuh (progressive housing/incremental shelter). Bahkan di Indonesia jumlahnya men-capai 90-95 persen (UN-Habitat, 2005). Upaya masyarakat ini sebenarnya sejalan dengan Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang menekankan perlunya pembangunan mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy) di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumah-an dan Kawasan Permukiman (UU 1/2011 - PKP) juga secara jelas mencantumkan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan kawsan permukiman seba-gai suatu keniscayaan.

Walaupun demikian, upaya masyarakat tersebut ter-kendala oleh kurang memadainya kapasitas mereka dalam melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Selain juga beberapa faktor eksternal lain-nya. Akibatnya ditengarai upaya masyarakat tersebut tidak berdampak signifikan pada peningkatan kualitas peru­mahan dan kawasan permukiman bahkan semakin mem-perburuk situasi. Pada kondisi ini kemudian keterlibatan swasta menjadi penting artinya, ketika pemerintah dan masyarakat terkendala oleh kemampuan pendanaan, dan kapasitas dalam menangani permukiman kumuh.

Menyadari hal ini, dan mempertimbangkan bahwa pembangunan perumahan tidak lagi menjadi tanggung-jawab pemerintah semata, melainkan juga pemangku ke-pentingan lainnya, menjadi menarik menjawab pertanya-an bentuk kemitraan diantara pemerintah, swasta dan masyarakat.

Ketersediaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011Keberadaan UU 1/2011 pada prinsipnya sangat men-

dorong meningkatnya perhatian terhadap penanganan pe-

rumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini terlihat jelas dengan penambahan satu bab khusus yaitu Bab VIII tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh. Bahkan penambahan pasal pencegahan terhadap tebentuknya per-mukiman kumuh merupakan suatu kemajuan yang signifi-kan. Selain itu, Undang-Undang ini juga telah mengadopsi paradigma masyarakat sebagai subyek yang dipercaya akan menjadikan upaya pencegahan dan penanganan permu-kiman kumuh lebih bernas.

Peran Pemangku KepentinganSecara umum peran pemangku kepentingan dalam UU

1/2011 mendapat porsi pembahasan yang cukup besar berupa partisipasi masyarakat, peran dan tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Walaupun tidak diba-has secara eksplisit tentang peran dunia usaha, namun pada beberapa bagian tercantum dengan jelas peluang keterlibatan dunia usaha.

Partisipasi Masyarakat. Pada dasarnya keterlibatan masyarakat tidak hanya pada upaya pemenuhan rumah se-cara fisik tetapi juga meliputi keseluruhan proses mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Jadi ketika masyarakat terpenuhi kebutuhannya akan rumah, hal tersebut telah melalui proses yang betul. Perumahan swadaya tidak lagi diartikan secara sempit ketika keterlibatan mereka ha-nya pada saat membangun rumah. Walaupun tentu saja dibalik itu terdapat kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh masyarakat. Secara jelasnya kita dapat merujuk pada pasal 129 terkait hak dan pasal 130 terkait kewajiban UU 1/2011.

UU 1/2011 secara eksplisit menyatakan bahwa peru-mahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan pe-rumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeli-haraan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kuali-tas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat. Sementara penyelenggaraan peru-mahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan peren-canaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pen-danaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.

Jadi dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan peru-mahan dan kawasan permukiman tidak akan paripurna tanpa keterlibatan masyarakat di dalamnya. Hal ini men-jadikan peran masyarakat menjadi suatu keniscayaan da-lam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, hasil pembangunan PKP menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan.

Bentuk keterlibatan ini diperjelas dengan menyata-kan bahwa di setiap tahapan pembinaan penyelenggaraan

Page 32: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

32

perumahan dan kawasan permukiman yang meliputi (i) pe rencanaan; (ii) pengaturan; (iii) pengendalian; dan (iv) pengawasan, masyarakat dilibatkan secara aktif.

Secara tegas keterlibatan masyarakat disebutkan pada beberapa kegiatan yaitu (a) kegiatan perencanaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Dae rah; (b) konsolidasi tanah. Dalam banyak literatur dikatakan bahwa kendala terbesar pembangunan perumahan adalah keterbatasan tanah yang diakibatkan oleh mahalnya harga tanah, bukti kepemilikan tanah yang belum teradminis-trasi dengan baik, dan ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang. Salah satu upaya yang sering dilakukan dalam penataan lahan adalah melalui skema konsolidasi tanah. Keseluruhan proses konsolidasi tanah ini dilakukan de-ngan melibatkan masyarakat; (c) pemantauan dalam kon-teks pengendalian pembangunan kawasan permukiman yang berupa kegiatan pengamatan ter hadap penyeleng-garaan kawasan permukiman melalui laporan masyarakat; (d) proses pendataan dalam kaitan penetapan lokasi peru-mahan kumuh dan permukiman kumuh; (e) pengelolaan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan dan permu kiman secara berkelanjutan yang dilakukan se-cara swadaya dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah; (f) proses peremajaan.

Hal yang relatif baru dalam undang-undang adalah terkait upaya pencegahan terhadap tumbuh dan berkem-bangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru yang dilaksanakan salah satunya melalui pember-dayaan masyarakat berupa pendampingan dan pelayanan informasi terhadap pemangku kepentingan bidang peru-mahan dan kawasan permukiman melalui pendampingan dan pelayanan informasi. Kemudian selanjutnya dalam pene tapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman ku-muh wajib didahului proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Peran masyarakat dilakukan dengan memberikan masukan dalam (a) penyusun-an rencana pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; (b) pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; (c) pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman; (d) pemeliharaan dan perbaikan perumahan dan kawasan permukiman; dan/atau (e) pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

Untuk meningkatkan efektiffitas pe-menuhan peran masyarakat dibentuk forum pengem-bangan perumah an dan kawasan permukiman, yang mem-punyai fungsi dan tugas (a) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; (b) membahas dan merumuskan pe-mikiran arah pengembangan penyelenggaraan perumahan

dan kawasan permukiman; (c) meningkatkan peran dan peng awasan masyarakat; (d) memberikan masukan ke-pada Pemerintah; dan/atau (e) melakukan peran arbitrase dan mediasi di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

Peran Pemerintah. Berdasar komentar umum No-mor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bahwa hak atas rumah sebagaimana hak asasi lainnya menghasilkan tiga tipe kewajiban bagi negara yaitu kewajiban menghargai (to respect), kewajiban melindungi (to protect), dan kewajiban memenuhi (to fulfil).

Kewajiban menghormati- . Kewajiban ini mengharuskan negara tidak mengganggu baik langsung maupun tidak langsung keberadaan hak atas rumah. Kewajiban ter-masuk misalnya tidak membatasi akses kepada siapa-pun.Kewajiban melindungi- : mengatur pihak ketiga. Kewajiban ini mengharuskan negara untuk menghalangi campur tangan pihak ketiga dengan cara apapun keberadaan hak atas rumah. Pihak ketiga termasuk individu, ke-lompok, perusahaan dan institusi yang di bawah ken-dali pemerintah. Kewajiban termasuk mengadopsi regulasi yang efektif. Kewajiban memenuhi- : fasilitasi, promosi dan penyediaan. Kewajiban ini mengharuskan pemerintah mengambil langkah untuk memenuhi hak atas rumah. Hal ini se-jalan dengan apa yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28 I Ayat (4) bahwa pemenuhan hak asasi manu-sia adalah tanggungjawab negara khususnya pemerin-tah. Bagaimana bentuk tanggungjawabnya?.Dalam UU 1/2011, disebutkan bahwa pembinaan

penyelenggaraan meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Kegiatan perencanaan

diselenggarakan oleh Pemerintah dan pe-merintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Pemerintah dan pemerintah daerah da-lam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas diantaranya mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk men-dukung terwujudnya perumahan bagi MBR; dan memasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR. Sementara pemerintah kabu-paten/kota secara tegas juga mempunyai tu-gas memberikan pendampingan bagi orang perseorangan yang melakukan pembangu-nan perumahan.

Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksana-kan pembinaan mempunyai wewenang diantaranya (a) menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria rumah, perumahan, permukiman, dan ling-kungan hunian yang layak, sehat, dan aman; (b) menyusun

Hal yang relatif baru dalam undang-undang adalah terkait upaya

pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh

dan permukiman kumuh baru....

Wacana

Page 33: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

33

dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan per-mukiman; (c) menyusun dan menyempurnakan peraturan perundangundangan bidang perumahan dan kawasan per-mukiman; (d) memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional; (e) melaksanakan koordinasi, sinkronisa-si, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan pelindungan hukum dalam ber-mukim;

Kewajiban lainnya dari Pemerintah adalah memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Untuk itu, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Adapun kemudahan dan/atau bantu-an pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR dapat berupa (a) subsidi perolehan rumah; (b) stimulan rumah swadaya; (c) insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; (d) perizinan; (e) asuransi dan penjaminan; (f) penyediaan ta-nah; (g) sertifikasi tanah; dan/atau (h) prasarana, sarana, dan utilitas umum. Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan dan/atau bantuan pembi-ayaan untuk pembangunan dan perolehan rumah umum dan rumah swadaya bagi MBR.

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara tegas juga disebutkan melibatkan masyarakat atau dengan memasilitasi masyarakat yaitu (a) penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh wajib didahului proses pendataan yang dilakukan oleh peme-rintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, (b) peremajaan; (c) penetapan lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk pemukiman kembali; (d) memasili-tasi pengelolaan yang dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan dan permukiman secara berkelanjutan oleh masyarakat secara swadaya; (e) mem-berikan pendampingan bagi orang perseorangan yang melakukan pembangunan rumah secara swadaya.

Peran dunia usaha secara khusus tidak terwadahi da-lam undang-undang tersebut, namun secara umum telah terwakili dalam porsi partisipasi masyarakat. Walaupun demikian, secara lebih rinci peran dunia usaha yang di-lengkapi dengan aspek kemitraan dengan pemerintah dan masyarakat sebaiknya dilengkapi. Rujukannya pada salah dua asas penyelenggaraan perumahan dan kawasan per-mukiman yaitu kemitraan dan keterpaduan.

Keterlibatan Dunia Usaha. Secara umum keterli-batan dunia usaha beragam, dimulai dari mengembang-kan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkung-an serta mengembangkan industri bahan bangunan yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya dalam negeri

dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan. Selain itu, ketika menjadi badan hukum yang melakukan pemba-ngunan perumahan, diwajibkan mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang. Pemerintah dan/atau pemerin-tah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hu-kum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang.

Selain itu, pemerintah daerah sesuai dengan kewenang-annya yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan, pembangun-an lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dapat membentuk atau menunjuk badan hukum untuk melaksanakan tu-gas tersebut. Berkaitan dengan itu, perencanaan kawasan permukiman, termasuk perencanaan pengembangan ling-kungan hunian perkotaan yang diantaranya mencakup pe-nyusunan rencana pencegahan tumbuhnya perumahan ku-muh dan permukiman kumuh, ditetapkan dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang.

Dalam proses penyiapan pembangunan pe-rumahan, dimungkinkan kegiatan konsolidasi tanah dilaksanakan melalui kerja sama dengan

badan hukum, yang dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara penggarap tanah negara dan/atau pemegang hak

atas tanah dan badan hukum dengan prinsip kesetaraan yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Kerja sama dengan badan hukum dimaksudkan untuk memberikan peluang

bagi penggarap tanah negara atau pemegang hak atas ta-nah dapat bersama-sama meningkatkan daya guna dan ha-sil guna tanah.

Salah satu tantangan utama dalam pembangunan pe-rumahan khususnya penyediaan rumah bagi MBR adalah ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelan-jutan. Untuk itu, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permu-kiman yang meliputi lembaga pembiayaan, pengerahan dan pemupukan dana, pemanfaatan sumber biaya, dan kemu-dahan atau bantuan pembiayaan. Sistem pembiayaan dapat dilakukan berdasarkan prinsip konvensional atau prinsip syariah melalui pembiayaan primer perumahan; dan/atau pembiayaan sekunder perumahan. Untuk itu, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menugasi atau membentuk badan hukum pembiayaan di bidang perumahan dan ka-wasan permukiman, yang bertugas menjamin ketersediaan dana murah jangka panjang untuk penyelenggaraan peru-mahan dan kawasan permukiman.

Pemanfaatan sumber biaya digunakan untuk pembi-ayaan konstruksi, perolehan rumah, pembangunan rumah,

Peran dunia usaha secara khusus tidak terwadahi dalam undang-undang tersebut, namun secara umum telah terwakili dalam porsi partisipasi masyarakat.

Page 34: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

34

rumah umum, atau perbaikan rumah swadaya, pemeli-haraan pemeliharaan dan perbaikan rumah, peningkatan kualitas perumahan dan kawasan permukiman, dan/atau kepentingan lain di bidang perumahan dan kawasan per-mukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Salah satu asas pembangunan perumahan adalah ke-terpaduan, yang dalam hal ini diterjemahkan sebagai pem-bentukan forum yang terdiri dari unsur pemerintah, aso-siasi perusahaan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman; asosiasi profesi penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman, asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman, pakar di bidang perumahan dan kawasan permukiman, dan/atau lembaga swadaya masyarakat dan/atau yang mewakili konsumen yang berkaitan dengan pe-nyelenggaraan pembangunan perumahan. Diharapkan ke-beradaan forum ini dapat menjembatani perbedaan pan-dangan, dan meningkatkan koordinasi, sekaligus berfungsi sebagai ‘clearing house’ yang berujung pada peningkatan hasil guna dan daya guna pembangunan perumahan.

Program Pemerintah. Penanganan permukiman kumuh telah dimulai sejak tahun 1969 melalui Program Perbaikan Kampung (Kampoeng Improvement Program/KIP) yang berakhir tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK) sepanjang periode 1989-2000. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan KIP Komprehensif (1998-2002) yang telah mengadopsi aspek modal manusia dan modal sosial. Program sejenis juga dilaksanakan dengan menambahkan aspek modal ekonomi yaitu Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 1999, dan Community-Based Initiatives for Housing and Local Development (COBILD) (2000-2003). Pada tahun 2004 diluncurkan Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) yang mengadopsi aspek fisik, sosial, manusia dan ekonomi, dan kegiatan Urban Renewal yang terfokus pada aspek fisik berupa pembangunan rumah susun, peremajaan kawasan dan penataan lingkungan. Kegiatan terbaru yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2011 adalah program Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh.

Kementerian Perumahan Rakyat pa-da tahun 2010 meluncurkan kegiatan Pe-nanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan, ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan stimulan Peningkatan Kualitas

(PK) dan Pembangunan Baru (PB) bagi rumah tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)

Pencapaian. Berdasar data BPS, rumah tangga kumuh mengalami penurunan hanya sebesar 8,18% sepanjang periode tahun 1993-2009. Sementara data Kemenpera menunjukkan sepanjang tahun 2010-2011, hanya berhasil memfasilitasi penataan lingkungan permukiman kumuh seluas 141,7 ha.

Data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan, melalui (i) kegiatan P2KP/PNPM Mandiri Perkotaan telah berhasil ditangani 41.988 kelurahan (1999-2012), (ii) kegiatan NUSSP berhasil ditangani 802 kelurahan dengan penerima manfaat 783.123 KK (2004-2010), (iii) kegiatan penataan kembali kawasan permukiman berhasil menjangkau 609 kawasan kumuh (2005-2012); (iv) kegiatan penataan bangunan dan lingkungan menjangkau 821 kelurahan (2005-2012); (v) kegiatan peningkatan masyarakat miskin perkotaan (program Pro Rakyat Klaster IV) menjangkau 5 kawasan dengan penerima manfaat 4.481 KK (2011-2012) (Pra Seminar Nasional Penanganan Perumahan dan Pemukiman Kumuh, 2012).

Keseluruhan pencapaian di atas masih jauh dari target Kota Tanpa Permukiman Kumuh Tahun 2020, sehingga ditengarai upaya pencapaian target tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.

Peluang dan Tantangan KemitraanPertumbuhan daerah perkotaan yang sangat pesat

berujung pada meningkatnya kebutuhan tempat tinggal yang layak berikut prasarana, sarana dan utilitasnya. Peme-rintah tidak mampu mengantisipasi kondisi ini sehingga pada akhirnya mendorong terciptanya kawasan kumuh

perkotaan. Kondisi ini membuka peluang masyarakat secara swadaya memenuhi kebutuhannya. Feno-mena ini kemudian diadopsi dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,

yang mengedepankan paradigma masyarakat seba-gai subyek dengan membuka pintu keterlibatan

masyarakat dalam keseluruhan proses pem-bangunan perumahan. Hal ini sekaligus membuka peluang terjadinya kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masya-rakat.

Disadari bahwa ketiga pihak mempunyai kepentingan berbeda yang berdampak pada perbedaan cara pandang terhadap penanganan permukiman kumuh. Walaupun demikian, bukan berarti kepentingan tersebut tidak dapat disamakan atau paling tidak di ‘dekat’ kan. Upaya ke arah sana dapat dilakukan dengan mengembangkan suatu forum pemangku kepentingan. Secara legal upaya ini

Tantangan utama dalam pem-bangunan perumahan khususnya

penyediaan rumah bagi MBR adalah ketersediaan dana murah jangka

panjang yang berkelanjutan.

Wacana

Page 35: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

35

didukung oleh UU 1/2011, dan saat ini cikal bakal forum tersebut telah terbentuk dalam bentuk Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP), yang masih beranggotakan institusi pemerintah. Dibutuhkan upaya lanjutan untuk membentuk forum yang lebih terpadu dengan melibatkan pemangku kepentingan baik dunia usaha maupun masyarakat.

Konsep penanganan permukiman kumuh selama ini terlihat berubah sepanjang waktu dan kurang konsisten. Akar masalahnya terutama terkait tidak tersedianya sebuah kebijakan yang menyeluruh yang dapat menjadi acuan pe-nanganan permukiman kumuh. Akibatnya masing-masing kementerian dan pemerintah daerah menyiapkan skema kegiatan yang berbeda-beda. Hal ini juga menyulitkan dunia usaha dan masyarakat ketika terlibat dalam kegiatan penanganan permukiman kumuh. Keberadaan Kebijakan Nasional Penanganan Permukiman Kumuh yang dikem-bangkan secara partisipatif akan sangat membantu meng-optimalkan sumber daya yang ada. Kebijakan ini juga sebaiknya terpadu dengan kebijakan terkait khususnya penanggulangan kemiskinan, dan tata ruang.

Pengambilan keputusan dipe-ngaruhi oleh hasil analisis yang dapat dipertanggungjawabkan yang didu-kung oleh data yang valid. Sampai saat ini, ketersedian data yang dapat dian-dalkan masih menjadi obsesi bagi kita semua. Ketiadaan data menghambat terjadinya keterbukaan, yang sekaligus menghalangi terjadinya kemitraan. Saling percaya merupakan landasan utama sebuah kemitraan. Dibutuh-kan upaya yang ekstra keras untuk dapat menyepa kati kategori data dan definisi operasionalnya. Diharapkan keberadaan forum pe-mangku kepentingan dapat mendo rong penyepakatan data dan informasi tentang permu kiman kumuh.

Jika mengamati kegiatan penanganan permukiman ku-muh selama ini yang dilakukan melalui proyek pemerin-tah, terlihat kurang tersedia ruang untuk keterlibatan dunia usaha. Keterlibatan dunia usaha baik melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) maupun investasi langsung belum optimal. Dibutuhkan upaya pengembangan skema proyek pemerintah yang memberi peluang keterlibatan dunia usa-ha, sehingga kegiatan dunia usaha tersebut terinternalisasi dalam proyek pemerintah.

Penanganan permukiman kumuh telah menjadi urusan wajib pemerintah daerah sehingga kemitraan di daerah akan terjadi diantara masyarakat, dunia usaha dan pemerin-tah daerah. Namun ditengarai kapasitas pemerintah daerah baik sebagai pendamping masyarakat maupun sebagai mi-

tra dunia usaha masih kurang memadai. Disamping itu, masih banyak pengambil keputusan di daerah yang belum memandang penting penanganan permukiman kumuh. Dibutuhkan upaya advokasi, dan peningkatan kapasitas dari pemerintah pusat.

Tantangan utama bagi pemerintah dalam penyediaan rumah bagi MBR adalah harga rumah yang tidak terjang-kau. Untuk itu, dunia usaha dapat menjadi mitra pemerin-tah dalam mengembangkan teknologi konstruksi dan ba-ngunan yang memungkinkan terciptanya rumah layak huni yang terjangkau. Dari sisi pembiayaan, dunia usaha juga dapat menjadi mitra pemerintah dalam menyediakan sum-ber pembiayaan jangka panjang. Termasuk juga keterli-batan perusahaan dalam menyediakan sumber pembiayaan bagi pekerjanya.

Penanganan permukiman kumuh skala kawasan seperti peremajaan, dan pembangunan baru melalui pembangun-an dan peremajaan rumah susun sewa (rusunawa) dapat

dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan dunia usaha. Skema BOT (Build, Operate, Transfer) dan sejenisnya dapat menjadi pilihan. Pemerintah dapat menyiapkan skema Pub-lic Service Obligation (PSO) untuk meningkatkan kemampuan MBR membayar biaya sewanya.

Sebagaimana ditetapkan dalam undang undang bahwa keterlibatan masyarakat pada keseluruhan proses, sehingga dunia usaha juga dapat bermitra dengan pemerintah dan masyarakat dalam proses penyiapan dokumen rencana pengembangan sampai konsolidasi tanah. Tidak hanya kegiatan yang bersifat bisnis tetapi juga charity melalui dana CSR.

Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pe-nanganan permukiman kumuh telah menjadi suatu ke-niscayaan. Tinggal bagaimana seluruh pemangku kepen-tingan bersama-sama menciptakan upaya terobosan dan berkomitmen melaksanakannya (OM)

sumber foto: istimewa

Page 36: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

36

Keseimbangan Ruang.

Berkata Neytiri kepada Jake:Dewi kami tidak memihak kepada satu hal pun, jake.Dia hanya menjaga keseimbangan hidup. (Avatar, 2009)

Dialog saat Neytiri melihat Jake berbicara kepada Pohon Kehidupan (sebagai tempat Eywa berse­mayam). Jake memohon agar Eywa membantu

dia dan suku Na’vi untuk melawan Orang Langit yang akan merebut tempat tinggal suku Na’vi. Bagi suku Na’vi, Eywa adalah pemberi kekuatan dan Dewi Bumi mereka, atau Ibu Pertiwi. Na’vi percaya bahwa Eywa adalah penjaga keseim­bangan ekosistim di Planet Pandora, sehingga kehidupan menjadi harmonis dalam suatu keseimbangan. Mereka per­caya bahwa equilibrium itu terjadi karena tiap­tiap elemen di planet tersebut, terkait satu dengan lainnya. Sehingga, bila ada gangguan pada salah satu elemen maka elemen lain akan berubah untuk menjaga stabilitas ekosistem.

Claude Levy­Leboyer, seorang Profesor dalam bidang Psikologi di Universitas René Descartes Paris­V, telah me­nyebutkan adanya proses pencarian keseimbangan antara manusia dan lingkungannya. Ia juga menyebutkan adanya perubahan ruang sebagai hasil dari proses tersebut. Secara garis besar, rentetan proses perubahan ruang yang terjadi, tidak hanya berlangsung secara sekuensial saja tetapi juga simultan. Sementara itu, Henry Lefebvre, seorang sosiolog Perancis, intelektual dan filsuf Neo­Marxist, mengatakan bahwa pada dasarnya, tidak ada ruang yang ‘hilang’ saat proses pertumbuhan dan perkembangannya atau pada saat proses perubahannya. Hanya kemudian formasi dan for­mulasi ruang, berubah karenanya. Semua yang terjadi itu, merupakan proses utuk mencapai keseimbangan ruang.

Elemen ruang, bisa tangible dan intangible. Bisa nyata, yang kita sebut sebagai atribut arsitektur ruang, bisa maya

yang kita sebut sebagai aspek sosial dan psikologi pemilik dan pemakai ruang. Elemen nyata dan maya tersebut di­lengkapi dengan segala nilai dan norma yang disepakati oleh para pemakai ruang. Kata “sepakat” itulah penentu sistem ruang. Artinya,secara garis besar, nilai dan norma itulah pe­nentu sistem ruang. Yang menghubungkan para pemakai ruang dengan ruang mereka. Dalam hal ini, sepakat lebih setara dengan saling memahami, saling mengerti.

Seperti Eywa dan Suku Na’vi, mereka memiliki sistem jaringan yang dikomunikasikan melalui rambut mereka dan jaringan akar tanaman sekelilingnya. Melalui metoda komunikasi itulah “kesepakatan antara yang tangible dan intangible” terjalin. Melalui metode itulah norma, nilai dan aturan disepakati dan terbentuk menjadi nyata. Ko­munikasi yang terjalin sangat intens. Setiap kali melang­kah, selalui harus didahului dengan berkomunikasi untuk mencapai kata sepakat. Bila kesepakatan tidak terjadi, maka rencana tidak dilanjutkan. Artinya kesepakatan harus dari dua belah pihak.

Penanganan Permukiman Kumuh Secara ‘Manusiawi’

Sebuah sudut pandang lain dari kata “manusiawi” dalam konteks keseimbangan ruang

Retno Hastijanti

Wacana

sumber foto: istimewa

Page 37: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

37

Seluruh atribut ruang yang tercipta, adalah aplikasi dari kesepakatan terhadap norma dan nilai yang ada. Lalu, bagaimana bila kesepakatan tersebut tidak terjadi? Maka keseimbangan ruang akan berubah. Ada ketidakharmo­nisan ruang. Karenanya maka akan terjadi proses untuk menyeimbangkan kembali. Proses pencarian keseimbang­an ini bukanlah proses yang bisa langsung selesai, tetapi bahkan selalu tidak pernah selesai, dan secara ‘konstan selalu berubah’. Karena faktor­faktor yang mempengar­uhinya juga merupakan faktor yang dinamis, maka proses ini membutuhkan waktu lama, serta terjadi secara perla­han. Levy­Leboyer, sekali lagi menekankan bahwa karena lamanya maka bisa saja kita ini bahkan hidup di ruang yang dirancang untuk generasi terdahulu. Ini menunjuk­kan bahwa proses transformasi ruang merupakan proses yang evolutif, lama dan perlahan.

Kata “konflik” sangat erat dengan proses tersebut. Ka­rena kata “tidak sepakat” juga setara dengan “melanggar norma, nilai bahkan aturan tertulis yang ada”. Hasilnya adalah “ruang yang berpihak”. Ruang ini merupakan ruang eksklusif bagi segelintir orang yang dianggap menyepakati norma, nilai dan aturan yang ada. Bagi mereka yang tidak dapat menyepakati norma, nilai dan aturan tersebut, di­anggap “pelanggar batas”, sehingga harus dikeluarkan dari ruang tersebut. Istilah yang sering digunakan untuk akti­fitas ini antara lain adalah digusur, diusir, ditertibkan atau istilah lain yang mengandung arti agresif dan konfrontatif. Sampai pada batas ini, masuklah kata “manusiawi”, seba­gai tolok ukur untuk melakukan proses tersebut.

Manusia yang “Manusiawi”Manusiawi sebagai sebuah kata, menerangkan tentang

sifat yang dimiliki oleh manusia. Utamanya sifat positif. Karena dari sisi manusia, melihat sisi sifat yang negatif bu­kanlah milik manusia, tetapi milik setan atau iblis. Dengan pengertian ini, maka hal­hal negatif yang dilakukan oleh manusia, dikatakan “tidak manusiawi”. Ini yang kemu­dian mengaburkan arti manusiawi sebagai sifat manusia dan manusiawi sebagai indikator norma, nilai dan aturan yang berlaku. Karena, manusiawi sebagai sifat manusia, juga harus mengakui adanya kekhilafan, alpa, dan letupan emosi sebagai reaksi ketidaksetujuan. Manusiawi juga harus mengakui ketidakmampuan, kelemahan dan ketidakber­dayaan. Untuk memahami manusiawi dari sudut pandang ini, diperlukan empati. Bullmer berpendapat bahwa empa­ti adalah suatu proses. Proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain, lalu menangkap arti perasaan itu, dan kemudian mengomunikasikannya dengan peka se hingga menunjukkan bahwa ia sungguh­sungguh mengerti pera­saan orang lain itu. Empati merupakan proses pemahaman terhadap orang lain. Empati menekankan kebersamaan dengan orang lain lebih dari sekedar hubungan antara su­byek dan obyek. Empati yang disetarakan dengan kepe­kaan dan kepedulian terhadap manusia lain.

Dilain pihak, manusiawi sebagai indikator norma, nilai dan aturan yang berlaku, memiliki representasi teknis dan fisik yang jelas serta nyata. Sehingga para pelanggarnya, akan dianggap sebagai tidak paham aturan atau hukum yang berlaku. Konsekwensinya, diberlakukan hukum dan

sumber foto: istimewa

Page 38: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

38

sanksi yang tegas terhadap para pelanggar. Segala norma, nilai dan aturan hukum, adalah produk pengertian manu­siawi dari sudut pandang ini. Mereka dapat disetarakan dengan istilah komitmen. Komitmen dapat diartikan se­bagai perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu.

Empati dan komitmen, pada akhirnya menjadi in­dikator intangible dan tangible dari sifat manusiawi. Da­lam kenyataan di lapangan, idealnya, keduanya berproses bersama untuk mencapai keseimbangan ruang. Melalui komunikasi sebagai suatu sistem. Untuk mencapai kese­pakatan sebagai suatu tujuan. Sayangnya, dalam proses tersebut, keseimbangan antara empati dan komitmen, seringkali sulit terjadi. Bila empati dominan, maka kita lemah terhadap komitmen. Melakukan pembiaran pada beberapa hal. Sehingga pelanggaran batas terjadi. Bila kita dominan pada komitmen, maka kita lemah pada empati. Melakukan hal yang mengabaikan kepedulian dan kepe­kaan terhadap orang lain. Sehingga, pelanggaran batas pun terjadi. Walau tidak tampak nyata, tetapi efek psikologis dapat membekas jauh lebih dalam dan merubah persepsi serta membuat imaji baru bagi lingkungan.

Permukiman Kumuh di Perkotaan: antara Empati Vs Komitmen

Awalnya, suatu kawasan yang indah, terbentuk dari se­kumpulan rumah­rumah. Didirikan di sekitar sumber air, sumber pangan ataupun pasar tradisional. Kawasan itu, masih disebut sebagai desa. Makin lama, makin berkem­bang, sehingga lebih luas, padat dan beragam fungsi. Selu­ruh fungsinya, menjamin perikehidupan dan peningkatan kesejahteraan penghuninya. Sampai suatu saat, kawasan itu dapat disebut sebagai kota. Makin luas, makin padat dan makin beragam fungsi. Akhirnya, ia tidak saja menghidupi penghuni asli, tetapi menjadi tempat tujuan para pendatang untuk mencapai kesejahteraan hidup yang lebih baik. Maka kota itu tidak lagi hanya meluas, memadat, dan multi­fung­si tetapi juga multi­budaya dan multi­etnis. Sampai pada titik tertentu, pengembangan wilayah tidak lagi bisa me luas. Tetapi intensitas untuk memadat dan mengembangkan fungsi makin tinggi. Ini membuat kawasan tersebut men­jadi kehilangan keseimbangan ruangnya, sehingga terjadi­lah proses perubahan ruang. Dengan berbagai pergulatan untuk berebut mencari kehidupan yang layak. Salah satu dampak dari proses perubahan ruang itu adalah permu­kiman kumuh. Permukiman kumuh, bukanlah hasil akhir dari proses perubahan ruang. Ia hanya lah salah satu indika­tor dari adanya proses tersebut.

Berbagai definisi tentang permukiman kumuh telah banyak diungkapkan oleh para ahli. Pada dasarnya permu­

kiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk (deteriorated). Baik dari aspek fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dalam kondisi se perti ini, penghuninya tidak memungkinkan untuk menca­pai kehidupan yang layak, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar­benar dalam lingkungan yang sangat rapuh. Berbagai indikator permukiman ku­muh juga telah dikemukakan. Paling tidak dari berbagai aspek yang terkait dengan sosial, psikologi, demografi, ke­sehatan, pendidikan, teknik, infrastruktur, fasum, estetika, peraturan, keamanan, kenyamanan dan lokalitas. Mung­kin banyak aspek lagi yang belum tersebut. Apapun in­dikatornya, pada dasarnya merujuk pada simpulan bahwa permukiman itu tidak layak bagi kehidupan penghuninya. Bahkan pada banyak kasus, predikat permukiman kumuh sekaligus disandang oleh permukiman liar. Kesimpulan­nya, permukiman kumuh itu menjadi elemen yang meng­ganggu keseimbangan ruang kota. Kota yang seharusnya indah, nyaman, aman, sehat, dan sejahtera, menjadi tidak lagi sesuai cita­cita para pengelolanya. Keseimbangan ru­ang kota menjadi terganggu, sehingga terjadi proses per­ubahan untuk mengembalikan kondisi yang sesuai cita­cita para pengelolanya.

Proses ini diawali dengan hilangnya sistem komunikasi antara pengelola kota (yang dapat dianalogikan sebagai Eywa) dan penghuni permukiman (yang dapat dianalogi­kan sebagai Suku Na’vi). Para penghuni, yang umumnya adalah para pendatang, terdesak, tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya. Harga tanah terlalu ting­

Wacana

sumber foto: istimewa

Page 39: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

39

gi, harga rumah tak terjangkau, harga material tak tersentuh, ka­rena untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, mereka harus mengais di tempat sampah. Diam­diam, kemudian mereka menempati tanah­tanah milik pengelola kota, tempat­tempat yang dalam aturan­nya, tidak boleh ada bangun an diatasnya. Pinggir kali, pinggir rel, pinggir jalan umum, kolong jembatan, ruang terbuka hijau, bahkan kuburan, merupakan tempat terbaik bagi mereka. Awalnya, hanya satu atau dua orang, tetapi makin lama makin banyak, sehingga memadat. Akhirnya, permu­kiman kumuh­pun menjelma.

Dari proses tersebut, ditemukan adanya pelanggaran batas. Permukiman kumuh dan liar yang dibangun di tem­pat­tempat yang tidak diperbolehkan. Tidak diperboleh­kan, karena telah diatur dalam undang­undang atau per­aturan­peraturan pengelola kota. Segala undang­undang dan peraturan­peraturan ini, disebut sebagai kesepakatan dalam bentuknya yang tertinggi. Proses ini kemudian menimbulkan konflik. Menimbulkan ketidaksepakatan, antara pengelola kota dengan penghuni permukiman.

Apa jadinya bila Eywa tidak bersepakat dengan Suku Na’vi? Eywa tidak akan lagi menjamin kehidupan Suku Na’vi. Tidak akan lagi ditumbuhkan tanaman­tanaman yang menjamin ketersediaan pangan mereka. Tidak akan ada lagi pohon besar untuk hunian mereka. Karena terde­sak kebutuhan untuk hidup, Suku Na’vi pun akan mem­babi buta merusak lingkungannya. Bahkan bukan tidak mungkin merusak tempat Eywa bersemayam, serta mem­bunuh Eywa. Ekosistem Planet akan rusak, dan akhirnya Suku Na’vi pun bisa punah. Seperti itulah gambaran hi­langnya keseimbangan ruang karena hilangnya jaringan komunikasi, terjadinya ketidaksepakatan dan akhirnya timbul lah berbagai pelanggaran.

Peristiwa pelanggaran berbagai aturan yang ada, meng­giring pada tanggapan pengelola kota. Tanggapan ini berupa berbagai tindakan untuk menyelesaikan permasalah permukiman kumuh dan liar tersebut. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, tanggapan ini akan melibatkan empati dan komitmen. Apabila empati yang dominan, tanpa diiringi komitmen, maka permukiman itu akan dibiarkan. Karena pengelola kota merasa ‘kasihan’ kepada mereka. Padahal, keberadaan permukiman kumuh, mau tidak mau, merugikan warga kota lainnya. Contohnya permukiman kumuh di pinggir kali, membuat kali banjir di musim hujan, dan banjir itu menyebar mengenai per­

mukiman lain yang tidak kumuh. Proses pembiaran, dapat berakibat fatal terhadap perikehidupan di da­lam kota tersebut. Lalu, bagaimana sebaliknya? Apabila komitmen yang dominan, dan tidak ada em­pati. Pengelola kota akan menjadi tukang gusur yang tidak pandang bulu. Dengan berpedoman bahwa

seluruh hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, maka slogan ‘bongkar paksa’ dan ‘gu­sur’, menjadi primadona. Dan kemudian, tidak ada peren­canaan kedepan bagi mereka yang tergusur dan tersingkir­kan. Berbagai permasalahan baru akan timbul setelahnya. Dan bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, maka kedua respon tersebut sama­sama ‘tidak manusiawi’.

Permukiman Kumuh di Perkotaan: Penyelesaian yang “manusiawi”

Pada akhirnya, dalam konteks keseimbangan ruang, akan terdeteksi bahwa penyelesaian terhadap permasalahan permukiman kumuh secara manusiawi itu, esensinya meli­batkan 4 elemen. Yaitu, komunikasi, kesepakatan, empati dan komitmen. Ke empat elemen tersebut, akan berproses untuk mencapai keseimbangan ruang.

Hilangnya komunikasi sebagai penyebab awal proses ketidakseimbangan ruang, harus menjadi titik pijak awal bagi proses tercapainya kembali keseimbangan ruang. Ter­jadinya komunikasi dua arah yang penuh empati, meru­pakan syarat mutlak untuk tercapainya kesepakatan. Ke­sepakatan yang diterima oleh semua pihak. Bila masih ada yang tidak sepakat, tidak bisa dikatakan telah tercapai ke­sepakatan. Seringkali ada perkataan “sepakat untuk tidak sepakat”, ini merupakan perkataan halus untuk menolak kesepakatan yang diusulkan oleh salah satu pihak. Bila itu terjadi, kualitas dan kuantitas komunikasi harus ditingkat­kan, baik alat maupun metodenya.

Kesepakatan yang telah terjadi, harus dilaksanakan dengan penuh empati dan komitmen yang tinggi. Empati harus dikomunikasikan. Empati, akan memperbaiki kuali­tas kesepakatan yang ada. Empati akan mulai memasuk­kan indikator­indikator manusiawi kedalam kesepakatan dan komitmen. Komitmen terhadap kesepakatan, yang dijalankan dengan penuh empati dan terus dikomunikasi­kan, diharapkan dapat menghasilkan metode pemecahan permasalahan permukiman kumuh yang manusiawi. Hasil antara dari proses perubahan ruang menuju keseimbangan, adalah ruang­ruang negosiasi. Ruang ini secara nyata, bisa saja menjadi ruang sementara atau ruang yang menetap.

Page 40: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

40

Natalia Pertiwi Ginting

Sekitar 50 % dari jumlah penduduk di dunia tinggal di daerah perkotaan. Diperkirakan jumlah tersebut akan meningkat menjadi 70 % pada tahun 2050

jika tidak dapat dikendalikan. Fenomena ini tentu saja berimplikasi pada meningkatnya beban perkotaan dalam menyediakan pelayanan publik maupun infrastruktur bagi penduduknya. Oleh sebab itu, seluruh stakeholder pembangunan kota diharapkan dapat berkontribusi da­lam mengupayakan peningkatan kemampuan kota untuk beradaptasi dan cepat tanggap terhadap perubahan atau ketidakstabilan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Tantangan untuk mewujudkan keberlanjutan dalam pembangunan kota di Indonesia akan semakin besar seiring waktu. Permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim global yang memicu tingginya kerentanan masyarakat ter­hadap bencana alam dan penyakit tidak dapat dihindari. Rendahnya dukungan politis (political will) dan peman­faatan APBN/APBD yang kurang efektif dan efisien dalam memrioritaskan aspek keberlanjutan pada pembangunan kota semakin menyulitkan terlaksananya pembangunan kota yang berkelanjutan di Indonesia.

Hampir seluruh kota di Indonesia mengalami perso­alan lingkungan yang cukup kompleks, seperti sampah yang menyumbat saluran drainase, sanitasi yang buruk di beberapa kawasan permukiman di perkotaan, ketersedia­an air bersih belum memadai, dan sebagainya. Persoalan tersebut pada dasarnya disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur perkotaan secara memadai dan berwawasan lingkungan serta kurang­

nya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan. Persoalan lingkungan di perko­taan tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja karena ling­kungan merupakan elemen terpenting bagi kelangsung an aktivitas kota dan menentukan layak tidaknya suatu kota untuk dihuni.

Perencanaan kota seharusnya sudah mengakomodasi langkah­langkah yang perlu dirumuskan untuk memecah­kan persoalan lingkungan di perkotaan. Akan tetapi, se­ringkali pada tataran implementasi, terdapat faktor­faktor yang belum diantisipasi dalam rencana kota sehingga tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Misalnya, perubah an struktur kelembagaan di pemerintah yang mem­pengaruhi keputusan kebijakan publik dalam penggunaan anggaran pembangunan. Dengan demikian, pe rencanaan kota yang adaptif dan fleksibel memegang peran penting dalam mendukung terwujudnya pembangunan kota yang berkelanjutan.

Konsep Pembangunan Kota yang BerkelanjutanPembangunan kota yang berkelanjutan didefinisikan

sebagai pembangunan yang berorientasi pada upaya mewu­judkan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan juga berarti menjamin pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk me­nikmati kondisi yang sama di masa yang akan datang (The World Commision on Environment and Development, 1987). Pada kenyataannya, keseimbangan tersebut sulit untuk di­capai dan seakan­akan hanya bersifat utopia karena banyak faktor di luar kendali manusia dapat terjadi.

Membangun Kota Secara Berkelanjutan melalui

Perencanaan Kota yang Adaptif

Wacana

sumber foto: istimewa

Page 41: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

41

Akan tetapi, dalam mewujudkan kota berkelanjutan, perlu diperhatikan beberapa hal yang fundamental untuk diaplikasikan antara lain (WCED, 1987) :

a. Membangun kota dengan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan memperhatikan peng­gunaan aset lingkungan alam ataupun sumber daya serta meminimalkan dampak kegiatan terhadap kerusakan lingkungan;

b. Membangun kota dengan memperhatikan keter­kait an dalam konteks regional dan global;

c. Membangun kota dengan partisipasi dan tanggung jawab setiap individu yang mendiami kota;

d. Dampak pemanfaatan aset­aset lingkungan dan sumber daya terdistribusi secara adil dan merata un­tuk kesejahteraan bersama;

e. Kota berkelanjutan merupakan kota tempat tum­buhnya inovasi dan pengetahuan;

f. Kota berkelanjutan memperhatikan konservasi;g. Kota berkelanjutan berorientasi pada peningkatan

kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan baik skala lokal, regional, maupun global.

Merujuk pada definisi dan prinsip kota berkelanjutan, tampaknya sulit untuk mewujudkan kota berkelanju­tan di Indonesia. Meskipun secara teoritis pembangunan kota diarahkan pada keseimbangan aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, namun pada pelaksanaannya, pembangun an kota­kota di Indonesia cenderung fokus pada aspek ekonomi. Hal ini bisa kita lihat, misalnya, dari praktek kapitalisasi ruang kota untuk aktivitas bisnis atau ekonomi yang mengabaikan kebutuhan ruang ter­buka hijau. Pada akhirnya, kondisi tersebut berimplikasi pada sering terjadinya bencana banjir di kota­kota besar dan kurangnya ru­ang publik untuk aktivitas sosial.

Tak jarang kita juga bisa temui kawasan kumuh di kota­kota besar yang menempati ruang­ruang perkotaan yang bersifat lindung, seperti kawasan resapan air dan bantaran sungai. Alih fungsi guna lahan dari per­tanian menjadi permukiman padat dan pusat­pusat kegia­tan ekonomi juga masih sering terjadi akibat urban sprawl yang pada akhirnya dapat mengancam ketahanan pangan dan fragmentasi landsekap. Aspek ekonomi seakan­akan tidak dapat diseimbangkan dengan aspek lingkungan. Hal tersebut biasanya didorong oleh faktor ketidakmampuan kelembagaan pemerintah untuk mengimplementasikan regulasi terkait penggunaan sumber daya alam dan konser­vasi lingkungan.

Dalam upaya merealisasikan pembangunan kota yang berkelanjutan, prinsip keadilan dan kesetaraan harus dit­erapkan dalam pembangunan. Pemerintah sebagai pem­

buat keputusan dalam kebijakan publik perlu menghin­dari upaya untuk memperkaya suatu pihak atau kelompok yang akan menyebabkan kemiskinan bagi kelompok lain­nya. Dengan kata lain, kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat harus diminimalkan. Pemerintah juga perlu menjamin adanya kesempatan yang sama bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam pem­bangunan. Pembangunan yang dilakukan juga sudah seha­rusnya menjaga kelestarian lingkungan dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang sudah terjadi saat ini.

Perlunya Perencanaan Kota yang AdaptifKota harus dipahami sebagai sistem lingkungan yang

juga merupakan bagian dari keterkaitan wilayah dan glo­bal. Kota itu sendiri merupakan sistem yang dinamis dalam suatu kondisi yang berubah­ubah secara terus menerus. Kota berkembang dengan cara yang kompleks jika dili­hat dari ukuran, struktur sosial, sistem ekonomi, kondisi geografi dan politik, serta perkembangan teknologi.

Secara umum, perencanaan kota bertujuan untuk me­nata ruang kota dalam rangka mencapai sasaran tertentu yang menceminkan kondisi yang lebih baik di masa men­datang dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, politik, teknologi, dan lingkungan. Sementara itu, pem­bangunan berkelanjutan berusaha menjamin ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan generasi saat ini dan masa mendatang dengan mempertimbangkan tradeoff yang po­

tensial serta skala tempat dan waktu yang berbeda. Dengan demikian, perencanaan kota dan pembangunan berkelanjutan sama­sama berorientasi pada masa depan yang lebih baik.

Keterancaman keberlanjutan kota se­benarnya berakar pada konsumsi sumber daya secara masif dan produksi sampah yang melampaui kapasitas dan batas daur

ulang alami. Pada intinya, kota memerlukan sumber daya untuk berfungsi sehingga diperlukan perencanaan kota yang adaptif dalam mengatur sumber daya yang tersedia secara strategis.

Pembangunan berkelanjutan bukan merupakan kondi­si yang statis, melainkan proses perubahan. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sudah seharusnya perencanaan kota dilakukan secara adaptif ter­hadap perubahan­perubahan dan kebutuhan kota terkini. Tata ruang bisa dikatakan investasi yang akan dituai secara ekonomi di masa mendatang. Artinya, jika pembangunan yang direfleksikan melalui penataan ruang difokuskan pada aspek ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan, maka bencana yang akan dituai di masa mendatang dan pada akhirnya dapat meruntuhkan ekonomi kota.

...pembangunan berkelanjutan berusaha menjamin

ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan generasi

saat ini dan masa mendatang dengan...

Page 42: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

42

Pengembangan Kapasitas Kelenturan (Resilience) Kota

Perencanaan kota sudah seharusnya dapat memberikan tanggapan yang fleksibel terhadap ketidakpastian di masa datang, termasuk dalam konteks globalisasi ekonomi dan perubahan iklim. Kelenturan perlu dibangun dalam mene­rapkan perencanaan kota yang adaptif. Resilience dapat di­artikan sebagai kapasitas suatu sistem untuk menanggapi perubahan atau gangguan terhadap kondisi keseimbangan tanpa mengubah kondisi dasarnya.

Dalam perencanaan kota yang adaptif, proses yang dinamis dan frekuensi atau intensitas gangguan yang ke­mungkinan dihadapi suatu kota perlu diidentifikasi. Se­lanjutnya, kota mengembangkan kapasitas yang adaptif untuk menanggapi gangguan tersebut dan pada saat yang bersamaan mempertahankan kelenturan. Infrastruktur yang dibangun juga harus bisa memastikan penguatan ka­pasitas kelenturan. Dengan demikian, kelenturan bergan­tung pada kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang tidak terduga dan tidak dapat dicegah.

Partisipasi pemangku kepentingan dalam perencanaan dan keputusan kebijakan publik diperlukan dalam pengem­bangan kapasitas kelenturan kota. Inovasi senantiasa diu­payakan melalui penelitian, simulasi, maupun pengajian. Monitoring dan evaluasi yang juga menjadi bagian dari proses perencanaan perlu dibudayakan. Kegagalan di masa lalu dapat dijadikan pembelajaran untuk perbaikan proses perencanaan di masa mendatang.

Beberapa strategi pokok yang dapat dirumuskan dalam pengembangan kapasitas kelenturan kota yaitu (Ahern, 2011) :

a. Multifungsi Ruang (multifunctionality)Mengingat ruang kota bersifat terbatas sementara ak­

tivitas kota dan penduduknya terus meningkat, maka penataan ruang kota harus dirancang sedemikian rupa sehingga ruang­ruang kota memiliki multifungsi. Model pembangunan kota dengan konsep smart growth atau com-pact cities bisa mendukung tercapainya multifungsi ruang dalam kota. Misalnya, dalam suatu kawasan hunian apar­temen, tersedia fasilitas perbelanjaan, fasilitas kesehatan, fasilitas rekreasi, fasilitas ibadah, dan sejenisnya. Dengan demikian, penduduk yang bertempat tinggal di kawasan tersebut mudah untuk memenuhi kebutuhan sehari­hari tanpa harus melakukan pergerakan yang jauh. Contoh lainnya, ruang terbuka hijau publik juga bisa dikembang­kan menjadi tempat rekreasi.

b. Tumpang Tindih dan Modularisasi (redundancy and modularization)

Tumpang tindih atau modularisasi dimaksudkan be­berapa elemen atau komponen dalam kota menyediakan fungsi yang sama atau yang bersifat cadangan. Hal ini ber­

tujuan untuk menyebar resiko yang bersifat lintas waktu, wilayah, maupun multi sistem. Apabila suatu fungsi atau pelayanan publik disediakan secara terpusat, maka tingkat kerentanan terhadap kegagalan atau dampak negatif yang ditimbulkan suatu gangguan akan menjadi tinggi. Oleh sebab itu, beberapa elemen kota, khususnya infrastruktur perkotaan, memang sebaiknya disediakan secara terdesen­tralisasi dan disesuaikan dengan kearifan lokal.

c. Keanekaragaman (diversity)Keanekaragaman bisa mencakup aspek sosial, fisik/

alam, dan ekonomi. Keanekaragaman ini bersifat strate­gis dalam mendukung kelenturan kota. Keanekaragaman hayati menyimpan banyak potensi dan nilai yang perlu digali dan dilestarikan. Beberapa jenis spesies hewan atau tumbuhan memiliki fungsi yang sama dalam menjaga ke­seimbangan ekosistem. Misalnya, terdapat kelompok spe­sies yang berfungsi sebagai dekomposer, penyaring polusi udara, dan sebagainya. Spesies yang beranekaragam tentu­nya memiliki tanggapan yang berbeda terhadap gangguan dan tekanan eksternal, seperti penyakit, polusi, maupun perubahan cuaca.

Keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan misalnya untuk penghijauan kota ataupun konstruksi jalan yang permeable sehingga mengurangi resiko terjadinya ban­jir. Demikian juga halnya dengan keanekaragaman sek­tor ekonomi yang menyokong aktivitas perkotaan akan berkontribusi terhadap kelenturan kota. Misalnya, ketika sektor pariwisata mengalami penurunan pendapatan aki­bat jumlah wisatawan yang menurun pada musim terten­tu, masih ada sektor industri tekstil yang bisa menyokong ekonomi kota.

d. Jaringan dan Konektivitas pada Berbagai Skala Ru­ang (multi – scale networks and connectivity)

Jaringan menghubungkan fungsi suatu elemen de­ngan elemen lainnya dalam kota. Konektivitas pada ber­bagai skala juga merupakan parameter penting yang dapat mengindikasikan berfungsi atau tidaknya suatu elemen. Konektivitas dapat dilihat misalnya pada sistem transpor­tasi yang terpadu yang memperhatikan keterkaitan guna lahan dalam suatu kota dan dengan wilayah di sekitar kota tersebut.

Konsep jaringan dan konektivitas juga dapat dia­plikasikan dengan adanya kecanggihan teknologi internet dan komunikasi yang memungkinkan diterapkannya tele-commuting (bekerja dari rumah). Jika telecommuting mulai diterapkan di kota­kota di Indonesia, alokasi ruang kota untuk perkantoran dapat dihemat. Hal ini juga dapat ber­kontribusi pada penghematan penggunaan bahan bakar kendaraan yang biasa digunakan dalam melakukan per­gerakan bekerja ke kantor. Dengan berkurangnya emisi gas rumah kaca, kota tersebut dapat meningkatkan kapasitas

Wacana

Page 43: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

43

kelenturan terhadap efek negatif perubahan iklim global.Dalam mengimplementasikan strategi peningkatan ke­

lenturan pada perencanaan kota yang adaptif, tantangan terbesar yang dihadapi adalah pengetahuan atau informasi yang tidak lengkap atau terbatas terkait perubahan atau gangguan yang tidak pasti. Akan tetapi, dalam pengam­Akan tetapi, dalam pengam­bilan keputusan, tantangan tersebut juga harus dipandang sebagai peluang untuk belajar melalui praktek atau learn-ing by doing. Rencana kota harus dipahami sebagai suatu percobaan mengenai bagaimana kebijakan atau proyek akan mempengaruhi proses penataan ruang.

Rencana yang diimplementasikan bisa menjadi eks­perimen bagi para ahli, profesional, dan pengambil kepu­tusan sehingga mereka dapat memperoleh pembelajaran atau pengetahuan baru melalui monitoring dan analisis. Namun demikian, eksprimen tersebut seharusnya bersifat aman ketika gagal (safe-to-fail). Dengan kata lain, ketika gangguan atau dampak negatif eksternal yang tak terduga terjadi, kondisi keseimbangan tetap terjaga atau kota terse­but cepat tanggap untuk memulihkan kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan akibat gangguan tersebut. Hal ini bisa terwujud misalnya dengan melakukan analisis strategis dampak lingkungan (Strategic Environmental Assessment).

Sudah saatnya kota­kota di Indonesia dibangun se­cara berkelanjutan. Orientasi pembangunan kota harus­lah mengutamakan keseimbangan antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pembangunan kota yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi tidak lagi relevan pada masa kini dan mendatang. Kecenderungan tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia di perkotaan mengindikasikan perlunya upaya­upaya strategis yang pre­ventif dan kuratif terhadap bencana dan kerusakan ling­

kungan karena dampak negatif dari pembangunan suatu kota pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh pen­duduk kota maupun generasi mendatang.

Mengingat pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses yang dinamis, maka perencanaan kota yang adaptif diperlukan untuk mendukung terwujudnya ke­berlanjutan kota. Dengan demikian, praktek perencanaan kota di Indonesia perlu dibenahi. Strategi pengembangan kapasitas kelenturan kota sudah seharusnya melekat dalam proses perencanaan kota. Kemauan atau dukungan poli­tis serta kapasitas kelembagaan pemerintah yang memadai diperlukan dalam mewujudkan hal tersebut.

Lemahnya monitoring dan evaluasi (monev) perlu diperbaiki, khususnya dalam implementasi regulasi tata ruang, manajemen lingkungan dan sumber daya. Monev yang dilakukan secara konsisten merupakan bagian pen­ting dari proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Hasil dari monev menjadi input untuk memberikan re­spon yang efektif dan pembelajaran terhadap perubahan yang tiba­tiba.

Perencanaan kota yang adaptif juga melibatkan partisi­pasi berbagai pemangku kepentingan, mengarahkan pada penguatan modal sosial maupun kohesi sosial, serta pe­ningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi resiko bencana dan gangguan eksternal. Selain itu, integrasi per­encanaan kota dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui riset (dari berbagai disiplin ilmu) menjadi hal yang mendasar dalam menerapkan perenca­naan kota yang adaptif. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap pentingnya alokasi APBD/APBN atau pengopti­malan dana hibah/pinjaman luar negeri untuk pelaksanaan riset dalam mendukung proses perencanaan yang adaptif.

sumber foto: istimewa

Page 44: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

44

Setiap keluarga tentu ingin menghuniatau bahkan memiliki rumah yang nyaman, sehat dan aman; rumah yang memberi ruang dan suasana untuk

mengembangkan kehidupan yang harmonis; rumah di lingkungan yang teratur dan asri. Masyarakat berpenghasil­an rendah (MBR) mempunyai hambatan dan keterbatasan untuk menjangkau rumah idamannya. Hambatan yang paling mendasar adalah keterbatasan dana akibat tingkat pendapatan yang rendah. Tanah perkotaan semakin mahal dan langka. Fasilitas kredit sulit diakses oleh MBR. Pera­turan dan perizinan sangat rumit.Informasi dan bimbing­an sangat terbatas. Tingkat pendidikan yang rendah dan pemahaman yang terbatas mengenai sistem perumahan di perkotaan menyulitkan MBR mencari peluang untuk men­jangkau impiannya. Sementara itu, biasanya MBR kurang percaya diri dan tidak yakin bahwa sebetulnya mereka juga dapat mencapai sesuatu, terutama jika bergotong royong bersama­sama.

Amanat Undang­Undang Dasar (UUD) bahwa seluruh warga negara berhak bertempat tinggal secara layak di per­mukiman yang sehat harus dilaksanakan, yang merupakan tugas yang sangat berat, luas dan kompleks. Banyak warga Indonesia yang masih tergolong MBR dan masih banyak yang belum mampu menjangkau perumahan yang layak. Kebutuhan berjuta­juta rumah MBR di seluruh pelosok nusantara akan sulit dipikulkan sepenuhnya pada pasok­an dan subsidi pemerintah saja. Tentu saja, pemerintah wajib mengembangkan sistem yang memberdayakan masyarakat untuk menjangkau perumahan, tetapi bagaimanapun juga kekuatan dasar ha­rus berangkat dari semangat dan tekad masyarakat, serta daya dan upayanya un­tuk mencapai tujuannya. Jika masyarakat hanya menunggu datangnya subsidi dari pemerintah, dan menunggu sampai berba­gai masalah diatasi oleh pemerintah, pros­esnya akan lama sekali atau bahkan mung­kin tidak dapat diselesaikan.

Sebetulnya sebagian besar dari rumah yang ada saat ini bukan dibangun oleh pengembang (real estate), Perumnas, atau lembaga formal lainnya. Pada kenyataannya 80% ru­mah itu dibangun masyarakat melalui proses informal atau menyewa dari ‘Pak Haji’ yang membangunnya secara in­formal. Ini menunjukkan bahwa masyarakat menyimpan kekuatan yang sering terabaikan atau dipandang rendah.Sebagian mengatakan pembangunan oleh masyarakat tidak teratur, tidak terukur, tidak terprogram, tidak terkendali, tidak jelas strateginya, dan cenderung menjadi kumuh.Sebenarnya sebagian perumahan menjadi kumuh selain kemampuan ekonomi yang rendah juga karena tidak terse­dianya bimbingan cara membangun rumah dengan baik dan benar. Mereka tidak tersentuh oleh pengaturan dan pembinaan yang semestinya.

Jika pada bidang pertanian terdapat Penyuluh Pertani­an yang membantu dan membimbing petani bertani den­gan baik dan benar serta meningkatkan produktivitasnya, di bidang perumahan nampaknya bimbingan sejenis tidak tersedia. Sebagai ilustrasi, pada Program Nasional Pem­berdayaan Masyarakat (PNPM)terdapat beberapa upa­ya pengorganisasian masyarakat menyusunrencana kerja masyarakat (RKM) untuk perbaikan kampung, usaha ke­cil dan sebagainya, namun pembangunan perumahan be­lum menjadi prioritas masyarakat sehingga belum muncul usul an pembangunan perumahan dalam RKM..

Sejalan dengan perkembangan poli­tik dankebijakan nasional saat ini, peran masyarakat dalam pembangunan men­jadi suatu keniscayaan.Masyarakat men­jadi pemeran aktif dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemantauan, Terkait pembangunan peru­mahan, masyarakat bukan hanya duduk se­bagai penerima pasif rumah/rumah susun yang telah dibangun.Namundiharapkan masyarakat dapat berperan sebagai fihak yang berprakarsa, mengembangkan, dan melaksanakan bersama. Apakah masyarakat

Suhadi Hadiwinoto

Masyarakat Membangun Perumahan

Jika pada bidang pertanian terdapat Penyuluh

Pertanian yang membantu dan membimbing petani bertani dengan baik dan

benar serta meningkatkan produktivitasnya, di bidang

perumahan nampaknya bimbingan sejenis tidak

tersedia.

Wacana

Page 45: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

45

mampu mengerjakannya?Beberapa fihak sering meman­dang rendah kemampuan masyarakat.Hasil pelaksanaan berbagai program menunjukkan bahwa masyarakat bu­kanlah boneka yang lemah lunglai, yang tidak bisa berdiri tegak dan berjuang untuk mencapai tujuannya.Sebetulnya masyarakat punya kekuatan jika dibantu, dibimbing dan diberi kesempatan.

Sekitar tahun 1990­an, Kementerian Perumahan Rakyat bekerjasama dengan United Nation Development Programme (UNDP) mengembangkan Pembangun an Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK) mela­lui proyekCommunity Based Low Cost Housing Project INS/89/006.Menteri Perumahan pada masa itu bertu­rut­turut adalah Cosmas Batubara, Akbar Tanjung, dan Siswono Yudohusodo.Sebagai pedoman, diterbitkan Per­aturan Menteri Nomor 06/KPTS/1994 tentang Pemba­ngunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK). MBR yang secara individual mempunyai banyak keter­batasan akan dapat mengatasi masalahnya jika bekerja bersama dalam kelompok komunitas yang kompak. Upa­ya pembinaan dan fasilitasi akan jauh lebih mudah dan efektif jika diberikan pada kelompok yang telah menjalin kebersamaan, saling pengertian, dan tanggungjawab ber­sama. Kelompok akan saling membantu, saling mengisi, saling mengingatkan dan saling mengendalikan agar tidak menyimpang dari tujuan bersama.

Sesuai dengan pengalaman di banyak negara yang se­dang berkembang, pemerintah berperan sebagai “enabler” atau yang memberdayakan, daripada berperan sebagai “provider” atau yang memasok/menyediakan. Kekuatan duaratus juta rakyat harus dapat didorong dan didayagu­nakan untuk berperan dalam penanggulangan masalah perumah an rakyat. Kekuatan rakyat tidak boleh diremeh­kan, ia harus dibimbing dan diperkuat untuk berperan

aktif melalui ke lompok­kelompok dengan bantuan fasili­tator pendamping yang waktu itu disebut Konsultan Pem­bangunan. Hasil uji coba di Jakarta (Cengkareng) dan di Bandung (Rancaekek) berhasil baik.Skema itu dikembang­kan pula di Palembang, Balikpapan, Lombok, Surabaya, Semarang, Jogja dan lokasi lainnya. Banyak peng alaman menarik yang dapat diserap dari uji coba di berbagai kota tersebut.

Dalam P2BPK beberapa keluarga yang ingin memba­ngun rumah diajak berkumpul dalam kelompok. Mereka bisa warga yang tinggal di lingkungan yang sama, bekerja di lokasi yang sama, atau berprofesi sama, atau mempu­nyai ikatan lainnya.Mereka mulai berkumpul dan bertukar fikiran, dibantu fasilitator membahas rumah yang mereka dambakan,baik desain, tipe, luas, susunan, bahan serta dampaknya terhadap biaya pembangunan. Mereka mem­bahas pendapatan masing­masing, berapa yang dapat mereka sisihkan untuk cicilan ke bank, mereka membahas liku­liku pinjaman ke bank dan persyaratannya. Mereka bersepakat mengenai kaitan optimal antara biaya rumah dan cicilan kredit yang dapat mereka siapkan.Mereka me­rumuskan bersama rumah yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Secara sederhana pengelompokan masyarakat sebagai berikut.A: Kelompok berpendapatan menengah keatas yang dapat

menangani sendiri masalah perumahannyaB: Kelompok berpendapatan rendah:

1. mampu menabung dan menyicil rumah milik, me­merlukan bantuan dan pendampingan

2. hanya mampu menyewa rumah, memerlukan ru­mah sewa yang layak dan terjangkau

3. lanjut usia, penderita cacat, dan sejenisnya akan masuk ke Panti Sosial

Balikpapan: rumah disepanjang saluran, bersama-sama mundur dan membangun kebelakang. Saluran dapat dinormalisasi, warga tidak tergusur. Kredit Triguna BTN 15 tahun, bunga 8,5%.

Page 46: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

46

Pada kelompok B.1 di atas, kesediaan menabung meru­pakan awal penting dalam membangun tekad kemandi­rian.Selalu diusahakan untuk merencanakan sesuatu yang dapat dicapai dalam jangkauan.Karena itu,sejalan dengan upaya ini dikembangkan berbagai skema peningkatan pendapatan seperti usaha kecil, industri kreatif dan seba­gainya.Pada kegiatan membangun rumah juga banyak di­pakai bahan bangunan buatan sendiri seperti batako, bata, genteng lokal. Sementara pada kelompok B.2 de ngan ting­

kat pendapatan belum dapat menjangkau cicilan rumah milik, seharusnyatersedia rumah sewa yang layak dan ter­jangkau. Sementara itu,kelompok B.3 yaitu para penderita cacat, lanjut usia, atau mereka yang nyata­nyata tidak da­pat bekerja dan mempunyai penghasilan akan ditangani oleh Panti Sosial yang didukung pemerintah atau berbagai organisasi sosial.

Kelompok B.1 berlatih untuk menabung, berlatih me­nyisihkan pendapatannya untuk menyicil, berlatih disiplin dan berorganisasi.Dalam proses ini,akan terlihat yang ber­semangat, bersungguh­sungguh, dan bertanggungjawab. Ini merupakan saringan untuk mendapatkan anggota yang dapat diandalkan. Jika proses ini dijalankan dengan benar dapat diharapkan bahwa kegiatan akan berjalan lancar, didukung oleh anggota­anggotanya yang tertib dan bertanggungjawab. Banyak kegagalan terjadi akibat seleksi normal tidak terjadi dan dana terburu­buru dica­irkan sebelum kelompok itu siap terlatih dan teruji untuk bertanggungjawab. Pada kegiatan yang berbasis proyek pemerintah,kegagalan dapat terjadi karena dana proyek dipaksakan segera dicairkan sebelum hangus, atau karena pimpinan ingin segera mencapai target dalam jumlah ter­tentu. Kegagalan bisa terjadi bukan karena alas anteknis, tetapi karena kurang taat pada proses dan mengikuti kema­juan yang nyata.

Fasilitator membimbing warga dalam upaya mencari la­han yang cocok dengan kebutuhan warga, cocok harganya, cocok dengan rencana kota, dan tidak rawan banjir, dan tanah longsor. Fasilitator membantu warga dalam mem­

Desa Darek, Lombok tahun 1996Kredit Triguna BTN 15 tahun, 8,5% untuk membeli tanah dan membangun rumah dan sisanya untuk membeli 2 ekor kerbau, yang dipelihara, digemukkan, dan kemudian dijual. Hasil dari kerbaui dapat dipakai untuk mencicil pinjaman. Sebelum itu mereka memelihara dan menggemukkan kerbau orang lain. Jalan dan jaringan air minum merupakan sumbangan pemerintah.

Wacana

Page 47: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

47

roses sertifikat tanah, izin membangun, penyiapan prasa­rana sampai dengan menyiapkan organisasi warga paska membangun, agar mampu mengelola sampah, drainase, penghijauan, ruang terbuka, keamanan dan sebagainya. Begitu luas, berat, dan kompleksnya tanggungjawab fasili­tator sehingga penting sekali untuk menjaga kualifikasi fasilitator. Fasilitator harus menjadi anggota organisasi fasilitator yang selalu memantau anggotanya, jangan sam­pai warga dirugikan karena fasilitatornya tidak bertang­gungjawab dan tidak memenuhi persyaratan. Sebaiknya, warga komunitas itu yang memilih faasilitator yang disu­kai dan dipercaya. Sebaiknya fasilitator bukan merupakan titipan dari luar.

Seyogyanya biaya fasilitator ditanggung oleh pemerin­tah, karena faslitator itu membantu terbangunnya ling ­kung an permukiman yang teratur, yang memenuhi ke­ten tuan tataruang dan teknis bangunan yang berlaku. Fasilitator mengurangi kekurangan perumahan dengan penguatan prakarsa, daya, dan upaya masyarakat. Fasilita­tor juga berjasa kepada bank karena ia menyediakan na­sabah yang siap dan bertanggungjawab. Komunitas warga yang menerima jasa fasilitator dapat juga turut menyum­bang sebagian biayanya sesuai dengan kemampuannya.Dapat difahami jika masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat menyumbang banyak untuk ini. Yang jelas ke­tersediaan fasilitator harus dapat dijamin, dan seyogyanya pemerintah menyediakan dukungan yang efektif untuk kegiatan ini.

Kekuatan masyarakat sering diremehkan dan dipan­dang enteng. Pengalaman di Bandung, Jakarta, Palem­bang, Balikpapan, Mataram, Surabaya, Semarang, Solo, Jogja dapat dilihat keampuhan kerja berkelompok. Jika semangat juang dan kemandirian dapat dibangun, sesu­atu yang semula terlihat mustahil ternyata dapat diwu­judkan.Untuk ini, pemerintah tidak boleh tinggal diam berpangku tangan.Mereka yang sudah bekerja keras mem­bangun keswadayaan patut mendapat apresiasi. Kelompok semacam ini dapat membantu pemerintah mewujudkan permukiman yang layak tanpa subsidi yang besar. Jika sistem perumahan swadaya dapat terlaksanan dengan baik di Indonesia, hasilnya akan merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

Pola pembangunan bersama dalam kelompok yang membangun semangat kemandirian berbasis prakarsa, daya, dan upaya masyarakat terbukti masih sangat ampuh seperti terlihat dalam pembangunan permukiman pasca bencana Merapi baru baru ini.Masyarakat dalam waktu 2 tahun berhasil membangun 240.000 rumahmelalui proses partisipatif. Ini merupakan prestasi yang sangat menge­sankan dengan mempertimbangkan situasi pada daerah

paska bencana dalam kondisi tidak normal dan mengha­dapi banyak hambatan.Modal sosial dalam bentuk se­mangat juang, kebersamaan, kerjasama, saling membantu, saling mengisi inilah yang harus dijadikan dasar dalam me­nanggulangi masalah perumahan.Tentu saja sangat diper­lukan pembiayaan yang memadai tetapi harapan ja ngan terlalu ditumpukan pada jumlah rupiah. Sangat diperlu­kan perhatian terhadap penggalangan kualitas manusia dan kemampuannya bekerja bersama, berjuang bersama.

Pembangunan perumahan tidak hanya berarti memba­ngun disini sekian rumah dan disana sekian rumah. Namun juga membangun sistem keswadayaan yang berkelanjutan yang tidak tergantung pada ketersediaan dana pemerintah. Sistem keswadayaan harus selalu siapsetiap waktu tidak tergantung pada siklus pendanaan pemerintah.Tentunya sistem ini dibangun berangsur­angsur, tidak bisa sekaligus.Berbagai proyek yang sedang berjalan diharapkan dapat meletakkan pondasi perintisan pengembangan sistem ke swadayaan. Perlu ditargetkan dalam lima tahun menda­tang sistem ini sudah terpasang di berbagai lokasi. Ini bu­kan hanya impian. Kita harus yakin bahwa jika kita ber­sungguh­sungguh harapan itu akan dapat terlaksana. Kita yakin karena sistem ini bukan sesuatu yang baru, tetapi merupakan sesuatu yang sudah kita coba dan kita terapkan dalam waktu yang cukup lama di banyak daerah. Tentu saja terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, tetapi kita sudah mengembangkan cukup lama untuk menarik ba­nyak pelajaran dari padanya.

Diharapkan bahwa program perumahan swadaya tidak berfokus pada mengejar terbangunnya sekian ratus rumah disuatu kota dengan medistribusikan dana stimulan. Pro­gram itu harus dapat membangun sistem keswadayaan se­cara berkelanjutan, yang tidak berhenti setelah proyeknya selesai.Pada dasarnya membangun keswadayaan adalah membangun modal sosial yang berkelanjutan. Untuk itu, perlu dibangun sistem yang utuh, tidak bisa hanya de ngan menyediakan dana tanpa membangun kelengkapan sistem­nya.Pembangunan perumahan tidak bisa hanya bertumpu pada proyek per proyek.Harus dibangun kekuatan rakyat yang mendasar dengan sistem pendukungnya.

Agenda dan Harapan Ke DepanBagaimana pemerintah atau pemerintah daerah dapat

membangun sistem yang berkelanjutan itu?Yang pertama sangat diperlukan adalah ketersediaan

fasilitator yang membantu warga dari awal mulai dari mengolah rencana, mencari lahan, mencari kredit, mengu­rus perizinan, mengoordinasikan para pelaksana dengan tukangnya, mengawasi pembangunan, sampai mengelola lingkungan paska konstruksi. Terbangunnya kebersamaan ini merupakan kunci utama.Dari usaha bersama, kerja

Page 48: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

48

bersama, solusi bersama ini tumbuhlah kekuatan rakyat yang sering diremehkan.Rakyat kecil sering dilihat seba­gai mahluk yang lemah lunglai, tak berdaya sama sekali. Padahal pengalaman membuktikan bahwa buruh pabrik, pegawai kecil, guru SD, bahkan tukang sampahpun bisa membangun bersama dalam kelompok jika difasilitasi de­ngan baik. Sekali lagi, kekuatan rakyat jangan diremeh­kan.

Hal kedua yang sangat diperlukan MBR adalah tanah yang layak dan terjangkau.Harga tanah sudah melam­bung tinggi dan tanah yang layak dan terjangkau sudah semakin langka.Banyak upaya membangun rumah MBR gagal kare na masalah tanah.Akan sangat membantu jika peme rintah dapat menyediakan tanah yang dapat dicicil atau disewa.Rakyat tidak menuntut pembagian tanah yang

luas, nyaman, dan gratis.Rakyat ingin mendapat kesem­patan menyicil atau menyewa tanah yang terjangkau. Da­pat juga dikembangkan skema konsolidasi tanah, GLD?, land on land, dan sejenisnya. Bantuan semacam ini sa ngat membantu dan sangat dihargai. Tentu saja harus ada me­kanisme yang mengamankan aset tersebut agar tidak di­pindahtangankan kepada mereka yang tidak berhak. Me­kanisme ini dapat dibangun bersama masyarakat jika kita memang bertekad bulat untuk menyiapkannya.

Hal ketiga yang perlu disiapkan adalah sistem kredit atau pembiayaan yang mudah diakses oleh MBR. Pihak bank biasanya menyaratkan adanya agunan yang dimi­liki peminjam, padahal biasanya MBR tidak mempunyai tanah, rumah, kendaraan atau aset yang dapat dijadikan agunan. Diperlukan sistem dana penjaminan yang dapat digunakan MBR yang sudah memenuhi syarat tertentu dan sudah dibina fasilitator selama sekian bulan. Dapat juga dikembangkan pinjaman tanpa agunan untuk me reka yang sudah terbina dan dikonfirmasi kesungguhannya.Diperlukan sistem kredit yang dapat diakses masyarakat dimanapun, setiap waktu, tidak tergantung siklus ang­

Koperasi Peda Tuan di 12 Ulu, Palembang: Semula lingkungannya sangat tidak sehat. 47 keluarga mengikuti program ini. Dengan kredit Triguna BTN, mereka membangun rumah 2 lantai. Lantai bawah untuk warung, lantai atas untuk tempat tinggal. Bisa juga lantai bawah dipakai sendiri, lantai atas disewakan untuk membayar cicilan kredit. Setelah rapih mereka mendapat sertifikat.

Wacana

Page 49: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

49

garan. Ketersediaan kredit perumahan rakyat melalui Ba­dan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sangat diharapkan. Saat ini yang umum tersedia adalah dana untuk perusahaan formal.Saat ini ske­ma Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP) hanya diperuntukkan bagi usaha formal.

Hal keempat yang dapat membantu MBR adalah ada­nya suatu unit yang membantu mempertemukan MBR dengan sumber daya yang diperlukan.Unit ini dapat di­sebut sebagai “Bale Daya Perumahan” atau housing resource center. Disini MBR bisa mendapat informasi tentang perencanaan, peraturan, prosedur izin membangun, cara mengurus sertifikat tanah, alamat untuk mendapatkan fasilitator yang baik dengan rekam jejaknya, informasi ten­tang kredit bank dan persyaratannya dan banyak lagi. Bale Daya Perumahan juga memberi saran tentang cara mem­bangun yang baik. Sampai sekarang belum ada Dinas Pe­rumahan yang melayani masyarakat dengan jasa­jasa selu as itu. Bale daya Perumahan ini sebaiknya dikelola sebagai lembaga hibrid, gabungan antara unit pemerintah dengan LSM, agar bisa mengembangkan pelayanan yang dinamis.

Hal kelima diperlukan adalah adanya kebijakan wa­likota/bupati yang “pro poor” yang mendukung pengem­bangan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah, terutama dalam kebijakan penataan ruang dan kebijakan pertanahan.Tanpa kebijakan itu semua lahan dan ruang kehidupan di perkotaan akan habis terserap oleh mereka yang lebih mampu. Warga miskin akan terus tergusur dan tergeser ketepi kota atau bahkan keluar kota. Pen­egasan kebijakan ini tentunya memerlukan dukungan dari masyarakat luas dan para wakil rakyat di DPRD.

Banyak pemerhati dan penggiat perumahan rakyat ber­tanya apakah semangat membangun kemandirian dan ke­swadayaan melalui usaha bersama sesuai dengan tradisi go­tong royong dapat dihidupkan kembali?. Apakah kekuat an rakyat dapat dikobarkan lagi menjadi kekuatan utama pembangunan perumahan rakyat yang lebih terorganisir, lebih teratur dan berkelanjutan? Apakah semangat P2BPK dapat diserap dan menjiwai Perumahan Swadaya menjadi sistem berkelanjutan yang bertumpu pada keswadayaan? Apakah Perumahan Swadaya disamping menargetkan membangun sekian rumah juga berusaha memba ngun sistem keswadayaan yang berkelanjutan disetiap lokasi yang mendapat program Perumahan Swadaya, dan kemu­dian ditularkan ke semua daerah diwilayah Nusantara?

Pada akhirnya nanti diharapkan di berbagai kota/ka­bupaten di seluruh Indonesia terbangun sistem Perumah­an Swadaya yang bertumpu pada keswadayaan, yang siap berfungsi setiap waktu tanpa tergantungsiklus pendanaan pemerintah.Sistem Perumahan Swadaya yang berkelanjut­an itu perlu didukung oleh 5 kebijakan seperti tersebut

diatas.Kelima dukungan itu akan jauh lebih berarti bagi keberlanjutan program dibandingkan dengan dana stimu­lan yang hanya ada sesaat ketika proyek sedang berjalan. Dana bantuan rupiah yang insidentil mungkin akan lebih tepat digunakan untuk sumbangan paska bencana atau keadaan darurat lainnya. Bahkan dalam situasi darurat paska kebencanaan pun masih harus diusahakan tumpuan pada kerja bersama dan usaha bersama.

Sebetulnya ketersediaan anggaran di masa kini sudah jauh lebih baik daripada situasi duapuluh tahun yang lalu. Pada tahun 2012 tersedia anggaran Rp 1,8 trilyun untuk Perumahan Swadaya dimana Rp 1,6 trilyun disediakan untuk dana stimulan dan Rp 0,2 trilyun untuk kegiatan lainnya.Tampaknya program itu masih terfokus pada dana stimulannya, dan belum sempat menjangkau pengembang­an perangkat lunaknya serta berbagai dukungan untuk terbangunnya sistem keswadayaan dan kemandirian yang akan terus berkelanjutan. Alangkah indahnya jika dana sebesar itu dapat dipakai untuk membangun fondasi bagi Perumahan Swadaya yang berbasis pada prakarsa, daya, dan upaya masyarakat, Perumahan swadaya yang da­pat menjadi tulang punggung pembangunan perumahan rakyat di Indonesia.

Akankah cita­cita membangun semangat, keswadayaan dan kemandirian dapat kita lanjutkan? Akankah kekuat­an rakyat untuk membangun perumahannya terus kita do rong, kita hargai, dan kita fasilitasi? Akankah berbagai upaya penggalian, percobaan, pengembangan dengan ber­bagai pengalamannya yang panjang kita tinggalkan? Da­patkah berbagai evaluasi dari perjuangan yang lalu dipela­jari dan dimanfaatkan untuk perkembangan ke depan? Dapatkah berbagai upaya keswadayaan yang lalu disusun dalam satu mozaik, dan dilanjutkan setapak demi setapak oleh perjuangan berbagai daerah, dan terus dilanjutkan dalam kerangka yang disepakati, sehingga akhirnya pen­jadi struktur utama pembangunan perumahan rakyat yang kokoh di Indonesia?

Indonesia sering menjadi pencetus ide­ide yang hebat, tetapi agak kurang sigap dalam mengembangkannya. Se­mentara itu negara lain yang dulu menyerap gagasan dasar itu dari sini telah dengan tekun dan cepat mengembang­kannya, dan telah maju sangat jauh dibandingkan dengan situasi kita disini yang masih ragu dan terbata­bata. Bahkan kita juga terlalu tinggi hati untuk mengajak saudara muda dari negara lain itu, yang dulu belajar dari sini, untuk me­nyumbangkan pengalaman lanjutan yang lebih jauh itu. Kia sering merasa super dengan ide dasar yang hebat, yang tidak kita kembangkan lebih jauh. Dapatkah kita berfikir terbuka, menyerap pengalaman yang lalu, mengolah ino­vasi bagi kehidupan masa kini, dan dengan kreatif mem­bawanya ke masa depan?

Page 50: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

50

Liputan

Pemerintah melalui Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan­Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum­PNS) akan terus berupaya mendorong pemilikan

rumah untuk Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Pasalnya saat ini masih banyak PNS yang belum memprioritaskan kepemilikan rumah sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.

Kepala Pelaksana Sekretariat Tetap Bapertarum PNS Ariev Baginda Siregar mengungkapkan, pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dan Bapertarum PNS sebenarnya memiliki sejumlah program yang dapat dimanfaatkan oleh para PNS. Adanya bantuan uang muka dan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan merupakan salah satu terobosan yang diharapkan dapat mendorong kepemilikan rumah khususnya bagi PNS.

“Kami akan terus mendorong PNS untuk memiliki rumah meskipun melalui kredit. Para PNS di Indonesia memang belum menyadari sepenuhnya bahwa kepemilikan rumah merupakan salah satu hal penting yang harus diprioritaskan,” ujarnya kepada sejumlah wartawan di

Kantor Kemenpera, Jakarta, Kamis (3/1).Menurut Ariev, kebanyakan PNS di Indonesia lebih

banyak memilih kredit konsumtif untuk membeli kendaraan bermotor dan barang­barang eletronik ketimbang kredit perumahan. Hal tersebut menyebabkan repayment para PNS berkurang di pihak perbankan karena banyaknya kredit yang diambil oleh para abdi negara tersebut.

Berdasarkan data yang ada, realisasi penetrasi pasar perumahan untuk PNS yang dibeli melalui pola kredit maupun cash dari tahun 2003 rata­rata berkisar pada angka 12 persen. Sedangkan jumlah PNS yang belum memiliki rumah sekitar 30 persen dari 4,5 juta PNS yang ada.

Untuk mengurangi banyaknya PNS yang belum memiliki rumah, imbuhnya, Bapertarum PNS pada tahun 2013 akan lebih pro aktif untuk menjempul pola di pasar perumahan PNS. Pihaknya akan melakukan road show ke sekitar 262 kabupaten/ kota di Indonesia untuk mengajak pemerintah daerah, developer, bank untuk menawarkan perumahan kepada para PNS.

Ke depan juga diperlukan perubahan pola pikir PNS bahwa dengan memiliki rumah sendiri mereka akan memiliki aset serta memberikan ketenangan dalam bekerja. Pihak Bapertarum PNS juga menghimbau agar PNS segera memanfaatkan bantuan yang disediakan oleh Kemenpera dan Bapertarum PNS.

“Jangan sampai PNS terkecoh oleh iklan bunga rendah KPR dari bank yang banyak ditayangkan di media. Lihat lebih teliti tanda bintang yang ada dalam iklan tersebut (syarat dan ketentuan yang berlaku­red),” tandasnya.

Para PNS, imbuhnya, juga bisa memanfaatkan Bantuan Uang Muka (BUM) serta sebagian biaya membangun senilai total Rp 15 juta kepada PNS golongan I hingga III dan kredit lunak khusus perumahan senilai Rp 13 juta yang bunganya hanya sekitar enam persen. Selain itu, mereka juga bisa menggunakan bantuan FLPP untuk membeli rumah dengan suku bunga rendah yakni hanya 7,25 persen.

Pemerintah Siap Dorong PNS untuk Miliki Rumah

Page 51: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

51

Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz menyatakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Pasalnya, pembangunan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional.

“Program perumahan dan kawasan permukiman berperan penting dalam sistem perekonomian nasional terkait dengan multiplier effect yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan di sektor perumahan,” ujar Menpera Djan Faridz saat memberikan sambutan pada kegiatan Peringatan Hari Perumahan Nasional (Hapernas) Tahun 2012 di Kantor Kemenpera, Jakarta, Rabu (3/10).

Peringatan Hapernas tahun 2012 di Kemenpera diikuti oleh seluruh pegawai di lingkup Kemenpera serta para mitrakerja Kemenpera baik perwakilan dari asosiasi pengembang, kalangan perbankan dan masyarakat. Sedangkan tema yang diangkat dalam peringatan hapernas tahun ini adalah Dengan Momentum Hari Perumahan Nasional Tahun 2012, Kita Tingkatkan Pembangunan Perumahan Untuk Kesejahteraan Rakyat.

Menpera Djan Faridz menjelaskan, pemerintah terus berupaya mengajak seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman untuk menciptakan iklim yang kondusif di sektor pembangunan perumahan di Indonesia. Sebab, untuk menciptakan rumah yang layak huni dan harga yang terjangkau serta lingkungan yang

sehat, aman dan harmonis tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh pemerintah tapi juga memerlukan peran aktif para mitra kerja dan masyarakat umum.

Kemenpera, imbuhnya, menyadari untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya melalui penyediaan rumah yang layak huni masih banyak menemui kendala. Untuk itu diperlukan upaya bersama dalam peningkatan peran dan optimalisasi kinerja pemerintah bersama para pemangku kepentingan bidang perumahan di Indonesia.

“Pembangunan perumahan memerlukan dukungan para pelaku, pemerhati, akademisi dan sektor dunia usaha untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dan pro­gram yang telah ditetapkan. Saya juga berharap lembaga penelitian dan akademisi di Indonesia bisa berkontribu­si lebih melalui upaya mewujudkan inovasi baru dalam pembangunan rumah. Pihak swasta juga bisa berpartisi­pasi melalui pengalokasian dana CSR untuk mendukung pendanaanpembangunan rumah MBR,” tandasnya.

Pada kesempatan tersebut, Menpera Djan Faridz juga mengingatkan agar melalui Momentum peringatan Hapernas seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman untuk menyatukan harapan dan langkah bersama dalam upaya meningkatkan pembangunan perumahan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

“Kita harus melaksanakan bersama­sama amanat UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang RusunSusun sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya,” tandasnya.

Menpera: Pembangunan Sektor Perumahan Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Page 52: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

52

Liputan

Program penanganan perumahan dan permukiman kumuh ke depan perlu dilaksanakan secara terpadu dan sinergis antara para pemangku kepentingan bi­

dang perumahan di Indonesia. Pasalnya, luasan permuki­man kumuh di Indonesia dikhawatirkan akan terus men­ingkat setiap tahunnya.

“Kita perlu menyiapkan rencana aksi terkait penanganan perumahan dan permukiman kumuh ke depan. Hal tersebut juga harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis antara seluruh stakeholder perumahan yang terlibat,” ujar Sekretaris Kementerian Perumahan Rakyat (Sesmenpera) Iskandar Saleh saat membacakan Sambutan Tertulis Menteri Perumahan Rakyat DjanFaridz saat Seminar Nasional Percepatan Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota­kota Tanpa Kumuh 2020 dalam rangka Memperingati Hari Habitat Dunia 2012 di Hotel Milenium, Jakarta, Senin (1/10).

Hari Habitat Dunia jatuh tepat pada hari Senin tang­gal 1 Oktober 2012 dan bertepatan dengan Hari Kesak­tian Pancasila. Tema yang diangkat pada Hari Habitat Dunia tahun ini adalah Menuju Permukiman Tanpa Ku­muh 2020.

Menurut Menpera, masalah perumahan dan permu­kiman kumuh telah menjadi persoalan dunia dengan berbagai dinamika dan kondisinya yang berbeda­beda di masing­masing negara. Untuk itu, berbagai penanganan tingkat internasional telah dirumuskan.

Indonesia, imbuhnya, saat ini masih menghadapi ke­cenderungan peningkatan luasan permukiman kumuh yang cukup signifikan dari tahun ketahun. Kan­tong­kantong permukiman kumuh di Indonesia terus bertambah dengan kecepatan pertamba­han sekitar 1,37persen per tahun yang saat ini telah mencapai 57.800 ha (RPJMN 2010­2014). “Jika kondisi tidak ditan­gani, maka dengan kecepatan per­tambahan yang dianggap kon­stansaja, pada tahun 2020 nanti akan terdapat sekitar 67.100 ha permukiman kumuh,” ujarnya.

Lebih lanjut, dirinya menerangkan, peningkatan luasan permukiman kumuh terutama di kota­kota besar merupakan salah satu dampak dari keistimewaan dan segala kemudahan

yang ditawarkan oleh perkotaan. Selainitu, kota telah menjadi lokasi untuk mencari peruntungan hidup di kota khususnya bagi para pendatang dari daerah. Kondisi itu dapat menjadi lebih buruk dengan adanya peningkatan kebutuhan ruang kota akibat pertambahan penduduk di perkotaan yang tidak dapat dihindari.

“Berdasarkan sensus penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa persentase penduduk perkotaan telah meningkat lebih dari 7 persen dalam waktu satu dekade, yaitu mencapai 49,79 persen pada tahun 2010 dari semula sebesar 42 persen pada ta­hun 2000,” terangnya.

Menpera menjelaskan, penanganan permukiman kumuh di Indonesia pada dasarnya telah direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah yang terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kebijakan yang terkait perumahan dan permukiman kumuh yang telah dikembangkan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan juga telah dilakukan.

Sinergi Pembangunan permukiman

Beberapa kebijakan tersebut antara lain agenda penanganan permukiman kumuh telah tercantum dalam Rencana Pembangunan JangkaPanjangTahun 2005 ­

2025 yang diarahkan untuk mewujudkan kotatanpa permukiman kumuh, UU Nomor 1 Tahun 2011

tentang perumahan dan kawasan permukiman serta pengarusutamaan target MDG’s atau tujuan

pembangunan millenium telah diintegrasikan dengan dokumen perencanaan

pembangunan. “Diperlukan kesepakatan ber­

sama untuk memetakan krite­ria kumuh itu sendiri. Dengan demikian, ada langkah bersama

untuk menyatukan langkah guna merumuskan hal­hal yang

dibutuhkan untuk mewujudkan pen­anganan permukiman kumuh secara

komprehensif sesuai harapan kita bersama,” harapnya.

Penanganan Permukiman Kumuh di Indonesia Perlu Dilaksanakan Terpadu dan Sinergis

Sinergi Pembangunan permukiman

Page 53: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

53

Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) kembali membahas tindak lanjut rencana pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) di

daerah Ciliwung. Pembahasan ini dihadiri oleh Menteri Perumahan Rakyat (Menpera), Menteri PekerjaanUmum (MenPU) dan Gubernur DKI di Ruang Rapat Menteri Pekerjaan Umum, kantor Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Rabu (14/11).

Menteri Perumahan Rakyat, DjanFaridz, dalam pemaparannya mengatakan bahwa Rusunawa ini rencananya akan dibangun di atas sungai Ciliwung. “Pembangunan rusunawa akan dibangun di atas sungai Ciliwung dengan jumlah 8 blok, masing­masing bloknya terdiri dari 3 tower”, ujarMenpera. Selanjutnya Menpera mengatakan bahwa pembangunan rusunawa ini akan dilengkapi dengan beberapa fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. “Kebutuhan penghuni rusunawa bisa terpenuhi karena akan dibangun beberapa fasilitas. Jadi murni merupakan kampung susun”, terang Menpera.

Dalam kaitannya dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kemenpera, meminta masukan atas rencana

pembangunan rusunawa di atas kali Ciliwung. Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto yang hadir dalam rapat tersebut pada intinya memberikan dukungan dengan syarat pemerintah harus mengkaji beberapa peraturan yang ada. “Pada intinyaKementerian Pekerjaan Umummemberikan dukungan untuk pembangunan rusunawa di atas kali Ciliwung. Tapi perlu diperhatikan terutama dua hal yang menjadi perhatian dari Kemen PU, yaitu Pembangunan rusunawa di atas kali Cililwung tidak boleh mengganggu debit air yang lewat pada musim banjir, kedua, tidak boleh merintangi alat besar KemenPU untuk melakukan pemeliharaan di sungai dan Amdal harus tetap dilaksanakan ” terang Djoko Kirmanto.

Sementara Gubernur DKI Jakarta, Djoko Widodo, yang hadir pada rapat pembahasan dimaksud mengatakan bahwa Pemda DKI tetap memberikan dukungannya atas pembangunan rusun Ciliwung tersebut. “Pada intinya kami mendukung program ini. Kami menginginkan masyarakat bebas dari banjir dan kami akan memberikan support penuh baik teknis maupun non teknis, misalnya sosialisasi kepada masyarakat”, ujar Djoko Widodo.

Di lain pihak, Kepala DinasPengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B), DKI, Putu Indiana, mengatakan bahwa setiap gedung yang dibangun wajib memiliki IMB dan juga perlu diperhatikan masalah teknis lainnya. “Selain IMB, hal teknis lain yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rusunawa adalah tentang rencana detail tatar uang, amdal dan status kepemillikan tanah yang jelas. Kalau ketiga hal tersebut terpenuhi akan dapat mengatasi permasalahan yang timbul”, ujar Putu Indiana.

Hadir dalam rapat yang dimaksud, pejabat eselon satu dari Kementerian Perumahan Rakyat berserta jajaran, Pejabat Eselon satu di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan juga pejabat dari Pemda DKI Jakarta.

Kemenpera Bahas Pembangunan Rusunawa Di Atas Sungai Ciliwung

Gambaran salah satu blok rusun di atas sungai Ciliwung

Rusunawa di atas sungai Ciliwung untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan.

Page 54: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

54

“Rumahmu istanamu”, me-rupakan slogan yang sa-ngat familiar di telinga

kita. Tentu saja kita tidak ingin memiliki istana yang tidak sehat bukan? faktor kesehatan rumah tinggal merupakan faktor kunci untuk mendukung per-tumbuhan keluarga, kegiatan keluarga dan berkumpul bersama keluarga.

Mari kita perhatikan apa yang di-maksud dengan ‘Rumah Sehat’, Kepu-tusan Menteri Kesehatan Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999, menyatakan be-berapa persyaratan rumah sehat yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bahan bangunanBahan bangunan yang baik meru-

pakan bahan bangunan yang tidak terbuat dari bahan-bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat mem-bahayakan kesehatan serta tidak ter-buat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroor-ganisme patogen.

Komponen dan penataan ruang rumahKomponen rumah yang perlu diper-

hatikan adalah lantai atap dan dinding. Lantai sebaiknya kedap air dan mudah dibersihkan, dinding harus memiliki sa-rana ventilasi, terutama untuk dinding kamar mandi harus kedap air dan mu-dah dibersihkan. Langit-langit rumah juga perlu diperhatikan bahannya agar mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan apabila terjadi guncangan. Perlu diperhatikan juga rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi penangkal petir.

Penataan ruang di dalam rumah juga harus baik dan memenuhi fungsi sebagai ruang taum, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi dan ruang bermain anak. Perlu diperhatikan untuk ruang dapur, harus memiliki sarana pembuangan asap. Komponen lainnya yang diperlu-kan adalah tempat penyimpanan ma-kanan yang aman dan higienis. Demi kenyamanan, luasan ruang tidur mini-mal 8 m2 dan tidak dianjurkan lebih dari dua orang dalam satu kamar ti-dur, kecuali untuk anak dengan umur dibawah 5 (lima) tahun. Selain itu, ru-mah sehat harus terhindar dari hewan penular penyakit misalnya tikus.

PencahayaanRumah sehat harus mendapatkan

cahaya baik dari alam atau buatan di seluruh ruangannya. Dengan intensitas minimal 60 lux (cukup terang namun tidak menyilaukan).

Kualitas UdaraSuhu udara di dalam rumah diper-

tahankan pada kisaran l8°C hingga 30°C, kelembaban udara pada kisa-ran 40% hingga 70%, konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam, Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8jam, Konsentrasi gas formalde-hide tidak melebihi 120 mg/m3. Oleh karena itu, luas penghawaan atau ven-tilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.

AirKapasitas air yang tersedia minimal

60 lt/hari/orang, serta kualitasnya ha-rus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan air minum sesuai pera-turan perundang-undangan

Pengelolaan LimbahLimbah cair yang berasal dari ru-

mah, tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mence-mari permukaan tanah. Pengelolaan-nya diusahakan dengan septictank yang memenuhi syarat kesehatan, atau instalasi pengolahan air limbah. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, tidak menyebab-kan pencemaran terhadap permukaan tanah dan air tanah. Pengelolaannya diusahakan dengan pembuangan ko-munal seperti TPS, TPA, atau Instalasi Pengolahan Limbah.

Demikianlah, mari kita sehatkan rumah kita, karena kesehatan berawal dari rumah.

Intermezzo

Rumah Sehat

Page 55: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

55

Kebutuhan manusia akan ruang tidak hanya sebatas sebagai pemenuhan kebutuhan bersifat pribadi, namun juga

pemenuhan kebutuhan bersifat sosial. Pemenuhan kebutuhan ruang bersifat sosial ini kemudian melahirkan ruang-ruang interaksi yang dikenal sebagai ruang publik, sebuah ruang yang digunakan secara bersama-sama dimana kepentingan multi pribadi menjadi tumpang tindih (overlapping). Akulturasi kepentingan multi pribadi ini memungkinkan terjadinya dua hal, disharmonisasi yang rawan konflik atau sebaliknya sebuah harmoni dari ke-bhineka-an.

Buku ini mengamati fenomena perubahan ruang di sekitar kita dengan menghadirkan studi kasus beragam. Hadirnya atribut-atribut ruang yang saling berebut mempertahankan eksistensinya

memberikan kontribusi terhadap konflik horizontal dalam masyarakat. Pengontrolan penguasa terhadap ruang mempersulit hak masyarakat

untuk mengakses ruang publik telah menggeser makna dan fungsi dari ruang tersebut. Aktivitas ekonomi manusia yang mengubah ruang secara spontan sehingga menimbulkan kesan sebagai sebuah kegagalan penataan ruang. Pencarian ruang publik di kawasan permukiman ‘organik’ yang tidak mudah dibandingkan dengan kawasan permukiman ‘formal’ memaksa masyarakat memiliki toleransi tinggi terhadap satu dan lainnya.

Akhirnya buku ini memberikan kontribusi tentang bagaimana ruang harus direncanakan, dicipta dan dikelola dengan baik demi kemaslahatan orang banyak dengan meminimalisir kemungkinan

terjadinya konflik. (DVD)

Pengelolaan Pengetahuan Info Buku

Format-format Perubahan Ruang

Judul : Format-Format Perubahan RuangEditor : Johan SilasPenerbit : Tunggal SaktiTahun : 2012

Buku ini mengajak semua pihak untuk memperhatikan setiap akibat dari perencanaan. Fenomena-fenomena

menarik kerap terjadi ketika perencanaan diwujudkan menjadi kenyataan. Salah satunya adalah fenomena konflik spasial-sosial yang hasil merupakan dialektika hubungan manusia dengan arsitektur dan lingkungan, manusia mengubah ruang dengan menghadirkan arsitektur ke dalam lingkungan, akhirnya ruang mengubah perilaku manusia.

Arsitektur juga memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku sosial, budaya dan lingkungan hidup bahkan peran arsitektur sangat besar terhadap terjadinya sebuah perubahan. Dengan menggunakan data-data aktual di lapangan dengan objek perumahan, buku

ini mengajak pembaca untuk mengetahui sisi-sisi lain yang jarang terungkap secara luas. Sebagai contoh kulitas arsitektur perumahan yang mempengaruhi fungsi,

penampilan dan tata atur lingkungan perumahan. Dari perumahan dengan tingkat kriminalitas rendah, sedang atau tinggi kita dalam melihat bahwa lingkungan dapat dikendalikan sehingga dapat mengurangi potensi tindak kriminal.

Kehadiran buku ini bisa menjadi rekomendasi kepada banyak pihak yang terkait dengan pembangunan perumahan ataupun individu dalam memilih tempat tinggal dengan memberikan alternatif pilihan-pilihan menarik dengan kajian arsitektur dan kajian perilaku sosial. (DVD)

Judul : Arsitektur, Komunitas, dan Modal SosialPenulis : M. Syaom BarlianaPenerbit : MetateksturTahun : 2010

Arsitektur, Komunitas, dan Modal Sosial

Page 56: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

56

Pengelolaan Pengetahuan Info Regulasi

Permenpera Nomor 27 Tahun 2012tentang Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan

Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan

dan Permenpera Nomor 28 Tahun 2012tentang erumahan dan Nomor 28 Tahun 2012 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan

Permenpera Nomor 27 Tahun 2012 tentangPengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Fasilitas

Likuiditas Pembiayaan Perumahan dan Nomor 28 Tahun 2012 tentangPetunjuk Pelaksanaan Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan

Pada tanggal 3 Oktober 2012 Mahkamah Konsitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 14/PUU-X/2012yang menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (3) UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (UU PKP) yang menentukan rumah minimal tipe 36m2 tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Perubahan ini secara langsung berdampak pada luasan minimal rumah yang dapat difasilitasi Kredit Pemilikan Rumah Melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR-FLPP). Oleh karena itu,Kemenpera mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 27 dan 28 Tahun 2012 sehingga rumah dengan luasan di bawah 36 m2 dapat difasilitasi KPR-FLPP

Butir-Butir Penting Perubahan Tersebut antara lain:1. Tidak terdapat batas minimal Luas

Rumah Sejahtera Tapak yang dapat difasilitasi KPR-FLPP (sebelumnya minimal 36 m2)

2. Persyaratan Fisik Bangunan Rumah dan PSU yang dapat difasilitasi KPR-FLPP antara lain:a. Atap, lantai dan dinding yang

memenuhi persyaratan teknis keselamatan, keamanan dan kehandalan bangunan

b. Terdapat jaringan distribusi air bersih perpipaan dari PDAM atau

sumber air bersih lainnya (sebelumnya harus ada surat keterangan layak dari instansi yang berwenang)

c. Utilitas jaringan listrik yang berfungsid. Jalan lingkungan yang telah selesai dan berfungsie. Saluran/drainase lingkungan yang telah selesai dan

berfungsi3. Mengatur bahwa jika syarat PSU tersebut belum

terpenuhi, maka dapat diproses dengan syarat sebagai berikut:

a. Keterangan kesediaan PLN untuk menyediakan pasokan listrik atau bukti pembayaran biaya penyambungan listrik dari PLN atau tersedianya sumber listrik lainnya

b. Badan jalan sekurang-kurangnya telah terbentuk dan dilakukan pengerasan

c. Badan saluran/drainase ling kung an sekurang-kurangnya te lah tergali

KPR Sejahtera Tapak (Konv. & syariah) KPR Sejahtera Susun (Konv. & Syariah)

Bunga 7,25 % 7,25 %Maksimum KPR Ditetapkan oleh Bank Pelaksana Ditetapkan oleh Bank

PelaksanaHarga Rumah Wlayah I Rp. 88.000.000 Rp. 216.000.000

Wilayah II Rp. 95.500.000Wilayah III Rp. 145.000.000Wilayah Khusus Rp. 95.500.000

Uang Muka Ditetapkan oleh Bank Pelaksana Ditetapkan oleh Bank Pelaksana

Luas Lantai Tidak dibatasi Tidak dibatasiBatas Maks. Harga rumah tidak kena PPn

Bebas PPn Sesuai Harga Wilayah (PMK 125/2012)

Rp. 144.000.000

Keterangan Wlayah I Sumatera selain Batam, Bintan dan Karimun (BBK), Jawa selain Jabodetabek, dan Sulawesi

Wilayah II Kalimantan, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara

Wilayah III Papua dan Papua BaratWilayah Khusus Jabodetabek, Batam, Bintan dan Karimun

(BBK) dan Bali.

Ketentuan KPR Sejahtera

Page 57: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

57

d. Ada jaminan berupa dana yang ditahan atau bentuk lainnya dari orang perseorangan dan/atau Badan Hukum sesuai dengan ketentuan Bank Pelaksana

e. Ada surat pernyataan dari calon debitur/nasabah menerima kon disi PSU

Permenpera Nomor 27 dan 28 Tersebut secara garis besar mengatur tata cara Pelaksanaan KPR-FLPP. Pembiayaan perumahan melalui KPR-FLPP telah dibahas secara lengkap pada Inforum edisi sebelumnya. Oleh karena itu, pada edisi ini hanya akan dibahas secara singkat mengenai tata cara mendapatkan KPR-FLPP yang tercantum dalam Permenpera Nomor 27 dan 28 Tahun 2012 tersebut.

Persyaratan Nasabah/Debitur KPR Sejahtera

Cara Mendapatkan Program KPR FLPP

Page 58: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

58

Agenda

Pada tahun 2006 negara-negara asia pasifik memutuskan untuk memecahkan permasalahan

utama perkotaan dan menjadikannya peluang dengan menemukan solusi bersama bagi tantangan - tantangan umum yang ditemukan di negara – negara tersebut. Asia-Pacific Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) dibentuk untuk mewujudkan pernyataan tersebut.

Berdasarkan Deklarasi Taheran dan Deklarasi Solo dan Rencana Aksi, keluaran dari konferensi kedua dan ketiga, Republik Islam Iran membentuk kelompok kerja APMCHUD pertama, meningkatkan kualitas perumahan kumuh dan permukiman informal, melalui Urban Development and Revitalization (URDO) Iran. Pertemuan Pertama Kelompok Kerja yang dikenal sebagai Regional Slum Upgrading Working Group (RSUWG) diselenggarakan di

Taheran, Iran, 2-4 Juli 2012.Kelompok Kerja Peningkatan

Kualitas Kawasan Kumuh Perkotaan ini menyoroti beberapa topik yaitu pengembangan sektor informal termasuk usaha mikro, penguatan peran perempuan dan organisasi berbasis masyarakat di proyek peningkatan kawasan kumuh, mempromosikan kebijakan dan program berbasis pada masyarakat dan komunitas, mengaktifkan dan mengatur permukiman informal, menekankan partisipasi masyarakat lokal dan pendekatan kota, pembiayaan peningkatan perkampungan kumuh.

Indonesia sebagai salah satu anggota turut berpartisipasi dengan menghadirkan delegasi yang beranggotakan:

DR. Iskandar Saleh (Sekretaris Kemenpera), DR. Lana Winayanti (Asdep Evaluasi Pembiayaan, Deputi Pembiayaan, Kemenpera), Ir. Christ Robert Panusunan Marbun, M.Eng.

(Kasubdit Peningkatan Permukiman Wilayah I, Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen CK, Kemen PU), Airyn Saputri Harahap, S.ST. (Kasi Wilayah II B, Subdit Peningkatan Permukiman Wilayah II, Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen CK, Kemen PU), Ir. Toni Rusmarsidik, MUM. (Kabid Strategi Pengembangan Kawasan, DeputiPengembangan Kawasan, Kemenpera).

Beberapa saran, rekomendasi dan peluang yang telah dipaparkan dalam sesi-sesi pada pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:1. Kebutuhan akan ekspansi

pengembangan serta implementasi kebijakan dan strategi untuk meningkatkan pemberdayaan komunitas menuju urbanisasi berkelanjutan

2. Merekomendasikan kepada negara – negara yang berpartisipasi untuk memprioritaskan perencanaan dan manajemen perkotaan serta menekankan poin kunci bahwa kawasan kumuh bukanlah sebuah ancaman tetapi sebuah peluang

3. Sepakat bahwa negara-negara yang berpartisipasi akan berbagi metode inovatif berupa mekanisme dan peralatan finansial serta pengalaman, pengetahuan dan contoh sukses mencakup seluruh perhatian kelompok kerja Peningkatan Kualitas Kawasan Kumuh Perkotaan

4. Sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan kedua kelompok kerja peningkatan kualitas kawasan kumuh perkotaan di sela-sela pertemuan ke-empat APMCHUD.

APMCHUD: Pertemuan Pertama RSUWG di Iran Iskandar Saleh (tengah) didampingi Lana Winayanti (kiri) dan

Christ Robert P. Marbun (kanan).

SUM

BER

FOTO

: HTT

P://

HABI

TAT.O

R.ID

/

Mr. Alireza Esmailzadeh (tengah) Residen Representatif UN-HABITAT di Iran

SUMBER FOTO: HTTP://HABITAT.OR.ID/

Page 59: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Edisi Khusus Tahun 2012

59

Kearifan Lokal

Di tengah hingar-bingar pembahasan mengenai perumahan yang layak di Indonesia, Kemenpera membangun rumah contoh berupa

rumah adat Papua, yaitu rumah Honai. Pembangunan rumah contoh ini adalah salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap kearifan lokal. Jelas sudah bahwa pemerintah selain memperhatikan standar kelayakan rumah yang selama ini sudah terlanjur terpatri ‘pakem’ atap genteng dan dinding beton, juga memperhatikan kearifan lokal masyarakat.

Khusus di Papua, Kementerian Perumahan Rakyat bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim) Kementerian Pekerjaan Umum membangun rumah contoh Honai sehat. Bahan pembuatan dan desain rumah contoh honai sehat tersebut disesuaikan dengan contoh desain masyarakat asli Papua untuk memudahkan pembuatan serta adaptasi masyarakat Papua. Apalagi saat ini masih banyak masyarakat Papua

yang tinggal di daerah pedalaman serta memilih untuk membangun rumah honai sebagai tempat tinggalnya.

Seperti bahan pembuatan rumah honai pada umumnya, rumah contoh honai sehat tersebut menggunakan dinding dari papan serta atap dari Ilalang. Bentuk luarnya menyerupai lingkaran dengan panjang, lebar dan tinggi masing-masing sekitar 5 (lima) meter. Rumah contoh tersebut dapat dibangun dengan waktu yang cukup singkat, yaitu sekitar 10 hari.

Diharapkan dengan adanya rumah contoh honai sehat tersebut, pembangunan di Papua dapat ditingkatkan. Perhatian pemerintah terhadap perumahan di wilayah timur Indonesia cukup besar, terutama permasalahan perumahan. Tentu saja hal ini tidak akan dapat berjalan dengan lancer tanpa dukungan dari masyarakat terutama masyarakat Papua. Diharapkan pembangunan perumahan di Papua kedepannya menjadi lebih baik dan terencana.

Contoh Rumah Honai Sehat

Papua

Page 60: INFORUM. Media Komunikasi Komunitas Perumahan. Edisi Khusus Tahun 2012

Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)FLPP merupakan dukungan kredit/pembiayaan pemilikan rumah sederhana sehat (KPRS) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dana FLPP merupakan dana gabungan dengan bank pelaksana untuk menerbitkan KPR Sejahtera dengan suku bunga kredit/marjin pembiayaan yang terjangkau dan tetap sepanjang masa kredit/pembiayaan

Batasan Harga Rumah SejahteraHarga Rumah Sejahtera yang dibeli melalui program KPR-FLPP dikelompokkan menjadi 4 (empat) wilayah yaitu:Wilayah I : Sumatera selain Batam, Bintan dan Karimun (BBK), Sulawesi dan Jawa selain JabodetabekWilayah II : Kalimantan, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Nusa TenggaraWilayah III : Papua dan Papua BaratWilayah Khusus : Jabodetabek, Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) serta Bali

Kelompok Sasaran Program KPR-FLPPPersyaratan Calon Debitur/Nasabah adalah sebagai berikut:1. Kelompok Sasaran untuk KPR Sejahtera Tapak melalui program

KPR-FLPP adalah MBR dengan penghasilan tetap maupun tidak tetap paling banyak Rp. 3.500.000/bulan

2. Kelompok Sasaran untuk KPR Sejahtera Susun melalui program KPR-FLPP adalah MBR dengan penghasilan tetap maupun tidak tetap paling banyak Rp. 5.500.000/bulan

Cara Mengikuti Program KPR FLPPCara memperoleh bantuan program KPR-FLPP adalah sebagai berikut:a. Menghubungi bank pelaksana untuk mengetahui informasi tentang Program KPR-FLPPb. Melengkapi persyaratan sesuai dengan ketentuan bank pelaksanac. Memilih rumah tapak/susund. Mengajukan Kredit/Pembiayaan ke bank pelaksana

KPR Sejahtera Tapak

Wilayah Batasan Harga Suku Bunga per Tahun

Wilayah I Rp. 88.000.000 7,25%

Wilayah II Rp. 95.000.000 7,25%

Wilayah III Rp. 145.000.000 7,25%

Wilayah Khusus Rp. 95.000.000 7,25%

KPR Sejahtera Syariah Tapak

Wilayah Batasan Harga Suku Bunga per Tahun

Wilayah I Rp. 88.000.000 7,25%

Wilayah II Rp. 95.000.000 7,25%

Wilayah III Rp. 145.000.000 7,25%

Wilayah Khusus Rp. 95.000.000 7,25%

KPR Sejahtera SusunBatasan Harga Rumah Maks

Maksimum Harga Jual per Meter Luas Lantai Suku Bunga

per Tahun

Rp. 216.000.000 Rp. 6.000.000 21 m2 - 36 m2 7,25%

KPR Sejahtera Syariah SusunBatasan Harga Rumah Maks

Maksimum Harga Jual per Meter Luas Lantai Suku Bunga

per Tahun

Rp. 216.000.000 Rp. 6.000.000 21 m2 - 36 m2 7,25%

Pengajuan KPR Sejahtera kepada Bank PelaksanaBeberapa dokumen persyaratan sebagai berikut:a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)b. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)c. Fotokopi SPT tahunan orang pribadi atau surat pernyataan

penghasilan yang ditandatangani oleh pemohon diatas materai secukupnya dan diketahui oleh pemimpin instansi untuk penghasilan tetap atau kepala desa/lurah untuk penghasilan tidak tetap

d. Surat keterangan penghasilan dari instansi tempat bekerja/slip gaji untuk masyarakat berpenghasilan tetap

e. Surat keterangan belum pernah memiliki rumah dari RT/RW setempat/instansi tempat bekerja atau surat keterangan sewa/kuitansi sewa rumah

e. Surat pernyataan yang ditandatangani diatas materai secukupnya yang mencakup:

a. Berpenghasilan tidak melebihi ketentuan kelompok sasaran KPR Sejahterab. Belum pernah memiliki rumahc. Menggunakan sendiri rumah sejahtera tapak/susun sebagai tempat tinggald. Tidak akan memindahtangankan rumah sejahtera tapak/ susun sebelum 5 tahune. Belum pernah menerima subsidi perumahan melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumahg. Sertifikat tanahdariBPNatauAkta JualBeli (AJB) atau Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) yang disertai Berita AcaraSerahTerima(BAST)atauAkta/SuratKeterangan Hibah (bila berasal dari hibah) atau Akta/Surat Keterangan Waris (bila berasal dari pewarisan

Calon kreditur bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan dokumen persyaratan yang disampaikan kepada bank pelaksana untuk dapat diverifikasi oleh bank pelaksana.

Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Pelaksana cabang terdekat atau BLU-Pusat Pembiayaan Perumahan & Deputi Bidang Pembiayaan Perumahan KEMENPERAJalan Raden Patah I No.1 Kebayoran Baru, Telp. (021) 7226601 / 7246751, Jakarta Selatan 12110. Kunjungi: http://pembiayaan.kemenpera.go.id/