147
Tantangan Kinerja Hukum Lima Tahun ke Depan Koran SINDO Sabtu, 7 Juni 2014 SIAPA pun presiden lima tahun yang akan datang jika tidak peduli pada kemuliaan hukum dan tidak menghargai kekuatan hukum tanpa kecuali, pasti pemerintahan akan rontok dengan sendirinya. Hal ini disebabkan antara kekuasaan dan hukum saling menguatkan satu sama lain dan tidak relevan untuk dipertentangkan. Hukum dan kekuasaan bak dua sisi dari satu mata uang: hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki (Mochtar Kusumaatmadja). Lalu, bagaimana cara memuliakan hukum? Yaitu dengan menggunakan prinsip non- intervensi kekuasaan terhadap bekerjanya hukum tanpa kecuali dan dengan alasan kepentingan apa pun. Bagaimana dengan diskresi Jaksa Agung mengeluarkan saponeering? Di negara hukum manapun diskresi ini tetap diakui sehingga Jaksa Agung memiliki wewenang penuh berdasarkan perkiraannya sendiri. Di sinilah kerentanan intervensi kekuasaan sehingga memerlukan seorang Jaksa Agung yang berintegritas tinggi, kredibel dan akuntabel sesuai dengan landasan perundang- undangan yang berlaku. Selain kejaksaan, kepolisian juga memiliki kerentanan atas intervensi kekuasaan; memang di negara mana pun, kepolisian tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Di Amerika Serikat (AS) saja pengaruh seorang walikota (mayor) terhadap kinerja kepala kepolisian distrik sangat dominan. Untuk kepolisian mungkin, apalagi di Indonesia, jargon independensi masih ”jauh panggang dari api”.

(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

  • Upload
    ekho109

  • View
    803

  • Download
    10

Embed Size (px)

DESCRIPTION

opini para pakar yang dimuat di Koran Sindo dan situs www.sindonews.com

Citation preview

Page 1: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Tantangan Kinerja Hukum Lima Tahun ke Depan

Koran SINDO

Sabtu,  7 Juni 2014

SIAPA pun presiden lima tahun yang akan datang jika tidak peduli pada kemuliaan hukum dan tidak menghargai kekuatan hukum tanpa kecuali, pasti pemerintahan akan rontok dengan sendirinya. Hal ini disebabkan antara kekuasaan dan hukum saling menguatkan satu sama lain dan tidak relevan untuk dipertentangkan.

Hukum dan kekuasaan bak dua sisi dari satu mata uang: hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tetapi kekuasaan tanpa hukum adalah anarki (Mochtar Kusumaatmadja). Lalu, bagaimana cara memuliakan hukum? Yaitu dengan menggunakan prinsip non-intervensi kekuasaan terhadap bekerjanya hukum tanpa kecuali dan dengan alasan kepentingan apa pun.

Bagaimana dengan diskresi Jaksa Agung mengeluarkan saponeering? Di negara hukum manapun diskresi ini tetap diakui sehingga Jaksa Agung memiliki wewenang penuh berdasarkan perkiraannya sendiri. Di sinilah kerentanan intervensi kekuasaan sehingga memerlukan seorang Jaksa Agung yang berintegritas tinggi, kredibel dan akuntabel sesuai dengan landasan perundang-undangan yang berlaku. Selain kejaksaan, kepolisian juga memiliki kerentanan atas intervensi kekuasaan; memang di negara mana pun, kepolisian tidak lepas dari pengaruh kekuasaan.

Di Amerika Serikat (AS) saja pengaruh seorang walikota (mayor) terhadap kinerja kepala kepolisian distrik sangat dominan. Untuk kepolisian mungkin, apalagi di Indonesia, jargon independensi masih ”jauh panggang dari api”.

Suka atau tidak suka itulah kenyataannya. Independensi, integritas dan akuntabilitas kinerja yang pas seharusnya dilekatkan pada kekuasaan kehakiman in casu seluruh hakim pada tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung RI.

Jika kekuasaan kehakiman telah dapat dipengaruhi kekuasaan baik kekuasaan uang dan pertemanan atau kepentingan politik maka merupakan saat kejatuhan suatu negara hukum yang akan berujung pada anarki sosial dan struktural. Jika hal itu terjadi maka idealisme hukum dengan cita keadilan dan kepastian hukum, apalagi kemanfaatan, hanyalah merupakan halusinasi belaka, sehingga rakyat hanya dapat bermimpi datangnya ratu adil yang tidak akan pernah tiba di Tanah Air.

Kejatuhan negara dengan kekuasaan pemerintahan yang cenderung otoriter serta kekuatan

Page 2: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

masyarakat sipil tanpa daya merupakan sasaran empuk kekuasaan asing untuk kembali menjajah negeri tercinta. Penjajahan itu melalui beberapa cara antara lain bantuan teknis melalui hibah berbungkus kepentingan timbal balik dan tidak ada yang gratis serta penempatan orang asing di beberapa posisi strategis baik sebagai penasihat/ahli ataupun selaku ”manajer” pemerintahan (di belakang layar/ terselubung) baik pada pemerintah maupun di lembaga legislatif (DPR RI) dengan dalih ”transfer of knowledge and skilled”.

Padahal dalih ini tidak pernah menjadi kenyataan sejak Orde Baru sampai saat ini. Hambatan mendahulukan tenaga ahli pribumi disebabkan kurang perhatian dan penghargaan pemerintah terhadap mereka sehingga tren kenaikan ”braindrain ” dan migrasi WNI ahli ke negara lain semakin meningkat sedangkan tenaga asing menjadi ”tuan” di negeri tercinta.

Menurut pengamatan saya, kisruh dan kemelut menegakkan hukum di Tanah Air adalah dimulai antara lain, oleh proses rekrutmen berbasis kompensasi dan nepotisme sampai saat ini lebih dominan dari berbasis kompetensi dan keahlian.

Sistem promosi, mutasi dan demosi yang berjalan sarat kepentingan subjektif pemegang kekuasaan sehingga terjadi apa yang dinamakan, ”the right man in the wrong place” atau ”the wrong man in the right place ”.

Buktinya yang saya amati pada era pemerintahan SBY ada beberapa menteri yang tidak mengetahui pekerjaannya dan ada juga yang mengetahui pekerjaannya tetapi tidak tahu harus bagaimana bertindak menjalankan jabatannya. Yang benar adalah jabatan-jabatan strategis baik dalam bidang hukum dan ekonomi-keuangan seharusnya diserahkan pada ahlinya karena dengan cara ini maka seorang presiden dapat ”tidur nyenyak” tanpa harus waswas apalagi bersikap suudzon kepada pembantunya.

Presiden adalah kepala negara juga kepala pemerintahan oleh karena itu seorang presiden tidak dapat mengelak apalagi melepaskan tanggung jawab di semua lini pemerintahan kepada hanya para pembantunya karena muara keberhasilan atau ketidakberhasilan adalah pada pundak seorang presiden dalam sistem presidensial versi UUD 1945. Semestinya hak prerogatif memilih para pembantu presiden berada di tangan ”himself ”, bukan pada tangan parpol pengusung (koalisi).

Karena baik buruk kinerja pembantu presiden, pada akhirnya di tangan presiden; rakyat tidak mau tahu siapa pembantu presiden kecuali presiden sendiri yang dipandang tidak becus memimpin rakyatnya; jika tidak berhasil.

Dalam konteks pembangunan hukum termasuk penegakan hukum, maka seorang presiden yang komit terhadap pemuliaan hukum dan kekuatan hukum dalam menjalankan pemerintahan merupakan modal keberhasilan.

Apalagi seorang presiden yang mampu memadukan pendekatan ekonomi dan hukum di satu sisi dan pendekatan kedua disiplin ilmu tersebut dengan pendekatan politik karena kebijakan

Page 3: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

ekonomi dan hukum yang tidak memperoleh legitimasi rakyat tidak akan berhasil melindungi apalagi menyejahterakan rakyatnya.

Begitu pula sekalipun legitimasi politik telah di tangan seorang presiden jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan ekonomi dan hukum yang terpadu, sudah pasti ambruk di tengah jalan. Contoh kasus BLBI dan Kasus Century adalah bukti nyata ketimpangan antara ketiga disiplin ilmu tersebut sehingga mengakibatkan beban bagi pemerintahan lima tahun ke depan dan belum tertuntaskan sampai saat ini.

Kekeliruan penetapan kebijakan di bidang ekonomi dan perbankan dalam kedua kasus tersebut telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp700 triliun yang kini selalu menjadi beban APBN; belum terhitung hutang-hutang pemerintahan SBY yang telah mencapai Rp3.000 triliun sampai saat ini. Pemerintahan lima tahun ke depan memerlukan seorang presiden yang dapat menyinergikan (pemimpin musik orkestra) kinerja para pembantu di bidang ekonomi, keuangan dan perbankan dengan pembantu di bidang hukum dan politik termasuk koordinasi dengan badan legislatif.

ROMLI ATMASASMITAGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)

Page 4: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

(Kampanye) Media yang Mencerdaskan

Koran SINDO

Selasa,  10 Juni 2014

PEMILIHAN umum tahun 2014 ini tampaknya menjadi pemilu paling seru sepanjang sejarah Indonesia. Bukan dalam hal banyak sedikitnya partai politik atau kandidat yang berlaga, namun pada hiruk-pikuk proses yang mengiringinya.

Tampaknya, adalah benar ketika Indonesia ditahbiskan sebagai ”surga riset” terbesar dunia. Terlebih dalam konteks ilmu politik, karena segala macam realita dan fenomena bisa saja terjadi. Bahkan, teori yang dipandang telah mapan (established) pun, bisa saja terjungkal tersebab anomali yang terjadi di negeri plural nan besar ini. Tanpa bermaksud melupakan sejarah, marilah sejenak kita tinggalkan hiruk-pikuk pileg.

Membincang pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden, membuat suhu politik dan psikologi sosial di tengah masyarakat kita semakin ”memanas”. Kondisinya bahkan lebih panas ketimbang pileg yang diikuti oleh belasan parpol dan ribuan caleg sekalipun. Pilpres 2014 ini segera akan memolarisasikan masyarakat menjadi dua kutub utama. Kalau tidak ke kubu satu, ke kubu dua. Prabowo-Hatta atau Jokowi- JK.

Polarisasi menjadi semakin sengit ketika kedua pasang calon secara head to head, dikompetisikan, bahkan dikonfrontasikan. Nyaris tidak ada kekuatan pemecah, karena menyimak trennya, jumlah kelompok yang memutuskan untuk tidak berpartisipasi (golput) dalam pilpres menurun ketimbang pileg lalu. Pilpres dengan dua pasang calon, sudden death. Sudden death satu putaran ini menjadi ”kurusetra” terakhir untuk para kandidat melakukan ”puputan”.

Segenap amunisi, senjata pamungkas dan jurus simpanan terampuh harus dikeluarkan. Kekalahan di ujung laga, sungguh adalah sesuatu yang teramat menyakitkan bagi siapa pun. Segala cara terkadang lantas dihalalkan untuk menghindarinya, termasuk cara-cara yang menanggalkan etika.

Belantara Informasi

Ketika kemajuan teknologi informasi tidak lagi terbendung, benar kata Alfin Tofler, atmosfer informasi bernama infosphere akan mempengaruhi sociosphere (atmosfer kehidupan sosial) dan psychosphere (atmosfer psikologis). Keberlimpahan informasi seakan adalah belantara

Page 5: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

yang berpotensi membingungkan, menyesatkan dan menipu masyarakat. Arus informasi sesungguhnya bisa diatur, dihegemoni dan dikendalikan melalui skema agenda setting media.

Opini, berita, citra yang menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia atau tentang diri seseorang juga bisa dipoles dan dibentuk, meskipun terkadang menafikan etika media. Adalah benar ungkapan yang menyatakan jika ingin menguasai dunia, maka kuasailah media. Pula, jika hendak kuasai Indonesia, kuasailah media.

Melvin de Fleur (Rahmat, 2002) menyebut bahwa media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa, membangkitkan desakan emosi, perubahan sikap dan perilaku atau proses lain yang kadang tidak terkontrol oleh individu.

Konsep powerful mass media, mengajarkan bahwa perang media adalah salah satu medan yang harus dimenangkan oleh setiap kandidat presiden dan tim sukses dalam kampanyenya. Media massa kontemporer, koran, majalah, dan televisi menjadi mesin kampanye yang sangat efektif untuk menyampaikan visi-misi dan kualitas kandidat, guna memikat hati para pemilih.

Perkembangan teknologi informasi bernama internet membuat peperangan media kian sengit. Kurusetra itu kini bahkan diletakkan paksa dalam genggaman tangan setiap pemilih melalui gawai (gadget), situs, SMS, Twitter, Facebook , maupun media sosial lain. Arus informasi media itu, laiknya peluru (bullet theory), ditembakkan dan dijejalkan kepada khalayak, tidak sekadar oleh media massa, namun oleh para simpatisan kandidat.

Konsekuensi positifnya, keberlimpahan informasi akan melahirkan masyarakat yang melek media. Namun, sayangnya, dalam konteks pilpres, untuk mencari siapa presiden terbaik yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa bermartabat yang disegani dunia, melek media tidaklah cukup.

Mengapa? Jawabnya karena sesungguhnya media yang sarat dengan kepentingan kapital sekedar menawarkan realitas tangan kedua (second hand reality). Apa yang ditampilkan oleh media, sesungguhnya adalah realitas yang telah diseleksi, dikondisikan bahkan terkadang dimanipulasi. Seseorang yang melek media, sangat mungkin akan terseret dalam arus informasi pencitraan semu yang memang telah didesain secara masif dan sistematis oleh sindikasi media.

Skema agenda setting memungkinkan media menjejalkan informasi dan citra tertentu kepada masyarakat, sementara realitas sesungguhnya jauh panggang dari api. Sayangnya, etika media dan kaidah jurnalistik, lagi-lagi diabaikan.

Kampanye yang semestinya menjadi ajang pencerdasan masyarakat untuk melihat kualitas calon pemimpinnya, justru dijadikan ajang pembodohan massal publik. Kampanye negatif, kampanye hitam, fitnah, saling menjatuhkan, serta saling klaim dukungan yang tidak berdasar

Page 6: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

menjadi wabah baru penipu demokrasi.

Menariknya, banyak kampanye hitam yang diduga justru dilakukan oleh tim sukses capres yang bersangkutan. Dalam dunia psikologi, ini yang disebut sebagai self victimization. Menyebarkan berita negatif dan fitnah terhadap capresnya sendiri dengan tujuan untuk mengharapkan rasa iba masyarakat. Kultur masyarakat kita suka menolong pihak yang dianggap teraniaya dan terzalimi pun dimanipulasi untuk mendulang suara.

Dalam keberlimpahan informasi, melek media ternyata tidak cukup. Manipulasi fakta dan data media akan menjebak mereka yang melek media dalam arus pencitraan karbitan yang masif. Yang dibutuhkan sekarang sesungguhnya adalah kecerdasan kita membaca media. Kepingan-kepingan informasi, sesungguhnya adalah puzzle melintas zaman, yang harus kita rangkai untuk memperoleh gambaran terbaik tentang siapa kandidat yang layak dipilih menjadi presiden.

Akar Rumput

Di era keterbukaan dan keberlimpahan informasi, pertempuran pada akhirnya tidak sekadar melibatkan tim sukses. Pertempuran pun pada akhirnya melibatkan massa di akar rumput simpatisan capres. Pertempuran di ranah akar rumput ini sangat boleh jadi jauh lebih sengit ketimbang pertempuran di level think tank partai, apalagi di level elite politik. Sangat mungkin kita saksikan, para elite politik berangkulan mesra makan bersama, sementara masa di akar rumput saling berbaku hujat, saling sindir, saling menjatuhkan.

Celakanya, terkadang perseteruan tersebut menjurus pada pertempuran dengan amunisi prasangka, pencitraan, ghibbah, atau terkadang bahkan fitnah. Fanatisme yang berlebihan, mati-matian membela, pengorbanan tak berbatas, gontok-gontokan, menghalalkan segala cara, pemujaan hingga berujung kultus, sesungguhnya bukanlah ide cerdas dalam berdemokrasi.

Terlebih apabila terjebak melakukan apa yang disebut Horton and Wohl (1956) sebagai perilaku parasosial, mau melakukan apa saja, memuja capres, seperti para fans ‘ababil’ memuja selebriti pujaan.

Pilihan boleh berbeda, tetapi hati tidak boleh panas, emosi harus tetap terkendali. Kepala harus tetap dingin seraya mengizinkan nalar dan rasio memandu kita memilih yang terbaik. Biarkan kata hati, nurani, kecerdasan dan logika yang berbicara, bukan okol atau fanatisme buta semata. Masyarakat semestinya segera sadar, betapa siapa pun kita, sesungguhnya adalah sesama anak bangsa. Sesama saudara yang tengah berijtihad memilih pemimpin terbaik bangsa.

Kita harus segera kembali bersinergi untuk menjaga dan membisik-bangun negeri indah ini. Menjadi pemilih cerdas, saling berbagi informasi, berita, data yang akurat sangat dibutuhkan agar kita bisa memilih presiden ideal, putra terbaik bangsa yang mampu membawa Indonesia

Page 7: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

menjadi negeri yang hebat bermartabat.

ACHMAD M AKUNG Dosen Psikologi Komunikasi Fakultas Psikologi Undip Semarang

Skenario Menuntaskan Transisi Demokrasi

Koran SINDO

Selasa,  10 Juni 2014

DALAM kajian transisi menuju demokrasi, yang kerap dibahas–setidaknya dari yang saya amati–adalah tahap awal dari transisi, yaitu runtuhnya rezim otoriter, dan tahapan-tahapan transisi secara keseluruhan yang disarikan dari pengalaman sejumlah negara.

Sejauh ini, saya belum pernah membaca kajian yang secara khusus membahas bagaimana tahap akhir transisi dituntaskan sehingga demokrasi yang sejati terwujud. Kondisi ini bisa dipahami karena transisi menuju demokrasi bersifat khas dan unik pada setiap negara.

Dari sisi tahapan, tentu yang paling dramatis adalah tahap awal, atau dalam penahapan oleh Thomas Carothers (2002) disebut pembukaan (opening), di mana terjadi gejolak sosial, liberalisasi politik dan perpecahan di tubuh rezim otoriter yang berkuasa yang menjadi prakondisi bagi proses demokratisasi selanjutnya.

Indonesia sendiri mengalami detik-detik dramatis ini pada masa Reformasi 1997-1998. Tingkat ketegangan dramatis sedikit berkurang pada fase berikutnya, yaitu terobosan demokrasi (breakthrough), ketika sistem demokrasi baru dengan cepat ditanamkan ke dalam negara yang tengah limbung mencari orientasi, melalui pemilihan umum (pemilu) demokratis dan penguatan struktur dan institusi demokrasi.

Pada pengalaman Indonesia, kita menjalankan pemilu demokratis pada 7 Juni 1999, setahun lebih beberapa hari dari pernyataan berhenti Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada masa itu, kita menyaksikan ingar-bingar pembentukan partai politik dengan berbagai ideologi dan identitasnya, pembentukan lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berbeda dengan masa Orde Baru, dan ledakan kebebasan politik yang sempat berimbas pada ketegangan sosial.

Mengikuti tahapan Carothers tersebut, fase pamungkas dari transisi adalah konsolidasi demokrasi, yakni sebuah proses yang panjang dan evolutif dalam mentransformasikan bentuk-bentuk demokrasi, atau demokrasi prosedural, menjadi substansi demokrasi melalui

Page 8: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

reformasi lembaga-lembaga negara, pemilu yang semakin meningkat kualitasnya, penguatan masyarakat sipil dan pembiasaan masyarakat untuk hidup di dalam alam dan aturan main demokrasi.

Dalam beberapa kesempatan, saya menamakan proses pembiasaan masyarakat tersebut sebagai proses memantapkan budaya demokrasi. Fase pamungkas ini tidak dramatis karena terjadi di gedung parlemen atau instansi pemerintahan dan bukan di jalanan. Yang ditulis adalah undang-undang, peraturan dan kebijakan; bukan pamflet atau tuntutan massa.

Saya menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 (hingga mengundurkan diri pada awal 2013) dan mengalami bagaimana proses konsolidasi demokrasi menjadi ”business as usual” khususnya dalam proses kerja-kerja legislasi.

Sesekali ada keramaian, seperti dalam peristiwa kenaikan harga BBM atau penyelidikan kasus Bank Century, namun itu berlangsung pada level kebijakan, bukan pada tingkatan paradigma demokrasi. Suasana mirip ”business as usual” ini berpotensi menjebak kita dalam transisi berkepanjangan tanpa arah dan tahapan yang jelas dalam merealisasikan demokrasi yang sejati.

Menutup Defisit Demokrasi

Istilah ”defisit demokrasi” awalnya merupakan kritik terhadap legitimasi dan keterwakilan dalam Masyarakat Ekonomi Eropa pada akhir 1970-an yang kemudian diadopsi dalam kajian politik secara luas.

Dari banyak definisi, dapat kita simpulkan bahwa defisit demokrasi adalah situasi tidak terpenuhinya secara mencukupi nilai-nilai demokrasi di dalam prosedur dan lembaga politik. Ketidakcukupan itu tecermin dari tidak berfungsinya lembaga-lembaga politik secara optimal, terutama karena terhambatnya pengaruh dan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

Aspek berikutnya dari defisit demokrasi adalah rendahnya kinerja institusi lembaga negara sehingga kepercayaan publik menurun dan pada gilirannya menggerus legitimasi pemerintahan demokratis yang berkuasa.

Samuel Huntington (1991) bahkan pernah menyebut kegagalan kinerja ini dapat memicu arus balik ke arah otoritarianisme pada negaranegara yang mengalami transisi demokrasi. Kinerja lembaga negara ini tentu harus dapat diukur dengan pencapaian kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat.

Karena itu, dalam menuntaskan transisi demokrasi di Indonesia yang kita mulai sejak 16 tahun yang lalu, kita harus segera menutup defisit demokrasi yang masih menganga dalam ”neraca” kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Prioritas terbesar haruslah ditujukan untuk menjaga legitimasi lembaga-lembaga dalam rezim

Page 9: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

pemerintahan demokratis dengan cara memastikan kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat. Langkah ini juga akan membawa kita melangkah dari demokrasi prosedural ke demokrasi yang lebih substantif, yaitu demokrasi yang membawa faedah konkret bagi rakyat.

Pilpres 2014 Dalam kesempatan sebelumnya, saya pernah menyatakan harapan saya agar Pemilu 2014 ini dapat menjadi momentum kita menuntaskan transisi menuju demokrasi. Tentu pemilihan presiden menjadi agenda penting dalam rangkaian pemilu. Dalam pemilihan presiden nanti, kita berharap mendapatkan pemimpin yang mampu memastikan kinerja lembaga-lembaga pemerintahan melalui terobosan dan bukan bersikap ”business as usual”.

Visi yang jelas harus juga ditopang dengan kemampuan mengomunikasikan visi tersebut agar dapat menggerakkan seluruh elemen bangsa menuju satu titik cita-cita kita bersama. Kita sudah melewati periode maksimal suatu presidensi dalam konstitusi (2x5 tahun) tanpa ancaman non demokratis.

Ini adalah modal penting bagi konsolidasi demokrasi, yakni situasi ketika semua elemen percaya bahwa jalan demokratis adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah bahkan ketika ada kekecewaan terhadap pemimpin atau pemerintahan yang berkuasa.

Tidak ada aktor atau kelompok yang berusaha mencapai tujuan atau agendanya dengan cara-cara non demokratis. Perpaduan antara pengalaman bangsa kita menempuh transisi selama 16 tahun yang berbuah kepercayaan terhadap jalan demokratis dengan terpilihnya pemimpin visioner yang mampu menggerakkan dan memastikan kinerja lembaga-lembaga negara akan melengkapi skenario menuntaskan transisi demokrasi di Indonesia.

Dengan tuntasnya transisi, kita akan masuk ke dalam demokrasi yang terkonsolidasi dan substantif. Saatnya Indonesia melangkah ke demokrasi yang sejati.

ANIS MATTA Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Page 10: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Jakarta Stres

Koran SINDO

Rabu,  11 Juni 2014

ULANG tahun Jakarta ke-487 segera kita sambut di Juni 2014 ini. Ada yang unik di ulang tahun saat ini, yakni bertepatan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2014-2019.

Praktis kota ini dipimpin oleh Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok. Bagaimanapun menjelang pilpres ini Ahok, hanya sebagai pejabat sementara. Uniknya pula Ahok adalah wakil gubernur yang separtai dengan kandidat presiden pesaing, Jokowi.

Secara politis membuat kegundahan tersendiri bagi Ahok. Terlalu mendukung partainya, Ahok tidak akan menjadi gubernur pengganti jika kandidat partainya menang menjadi presiden. Tidak mendukung kandidat partainya, agar jalan menuju Jakarta 1 mulus, membuat dirinya begitu tidak nyaman dengan partainya. Dengan demikian, masa pilpres membawa pejabat pengendali Kota Jakarta galau–istilah anak sekarang. Kegalauan pejabat politik dalam pemerintahan daerah, dapat membuat tekanan tersendiri kepada birokrasi lokalnya (Richard Batley: 1993). Jika birokrasi stres, masyarakat Jakarta kemungkinan ikut stres. Untuk itu, kita perlu cermati.

Efek Administratif

Kota Jakarta yang sedang mengalami pertumbuhan masif dan membutuhkan pembenahan yang besar, sangat membutuhkan ketekunan pengambil kebijakannya dalam mengelola persoalan publik yang berkembang. Kebijakan-kebijakan yang unggul yang sudah dibuat harus diimplementasikan dengan penuh serius dan profesional. Jakarta sendiri adalah barometer Indonesia. Hal ini merupakan tekanan tambahan bagi pemangku kepentingan kota ini untuk lebih kuat, progresif, andal, profesional, dan visioner mengelolanya.

Pengambil kebijakan kota ini juga membutuhkan administrasi publik yang mumpuni yang

Page 11: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

diejawantahkan oleh birokrasi pemerintah daerah Kota ini. ”Public administration is a political act, most obviously because it involves governmental discretion in the distribution of resources....Can they be agents of change? If they operate outside their time and context, they risk marginalization from all reality; if they operate within it, their transforming role is in question.” (Batley: 1993).

Pengendali kebijakan kota ini memiliki seribu satu macam pemangku kepentingan. Secara vertikal terdapat organisasi pemerintah pusat termasuk pengendali kebijakan pemerintahan nasional RI, bahkan organisasi pemerintah negara lain, bahkan badan-badan semi otonom internasional yang berkantor di kota ini.

Secara horizontal pengendali kebijakan kota Jakarta juga menghadapi pemerintah daerah sekelilingnya dan berbagai pemerintah daerah yang memiliki hubungan kerja dengan pemerintah Kota Jakarta. Hubungan dengan pihak swasta dan masyarakat pun menambah kompleks jejaring dengan pemangku kepentingan kota ini.

Betapa Kota Jakarta menjadi tumpuan harapan berbagai pihak yang mengharap peran bangsa Indonesia bagi diri mereka masing-masing. Jakarta adalah teras bangsa Indonesia, dan barometer bangsa Indonesia bagi bangsa lain. Saat ini tumpuan ditujukan kepada pejabat sementara Gubernur untuk menjadi pemandu manajemen kota ini. Pertanyaan akan banyak diarahkan kepada Ahok dalam rangka transformasi Kota Jakarta. Bagaimana Ahok mengendalikan birokrasi kota ini untuk mewujudkan berbagai kebijakan yang sudah dibuat.

Jika Ahok stres, sangat dimungkinkan birokrasinya stres. Kasus korupsi di tubuh sektor perhubungan darat yang beliau tangani menjadi tolok ukur kedewasaan Ahok dalam mengendalikan keseluruhan birokrasinya. Birokrasi Jakarta bagaimanapun telah berpengalaman panjang menata kota ini. Sebagai pengendali kebijakan, seyogianya dapat menempatkan birokrasinya tersebut sehingga tidak perlu menyeret stres masyarakatnya.

Sebetulnya efek administrasi dapat tergolong rendah karena sistem manajemen kota ini telah terbangun ratusan tahun sejak Hindia Belanda. Pemangku kepentingan kota ini tertidur sekalipun, sistem tetap bekerja. Yang jadi persoalan adalah jika pemangku kepentingan stres, kemungkinan besar sistem terpengaruh. Kita dapat ukur, ketika Jokowi melakukan blusukan betapa terkesiapnya birokrasi kota Jakarta. Setelah itu lelang jabatan, kemudian diteruskan dengan rotasi jabatan. Jokowi membuat birokrasi Jakarta berputar agak keras.

Berbeda dengan Jokowi, Ahok lebih diarahkan kepada pengendalian birokrasi sejak awal. Modelnya pun berbeda dan ditambah dengan suasana pencapresan ”bos” nya tadi. Sekarang Ahok, jadi bos belum sepenuhnya. Efek administrasi dengan kondisi ”bos” kota Jakarta yang berbeda, tampak direspons berbeda oleh administrasinya.

Orientasi Sistem

Page 12: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Masyarakat berharap transformasi Kota Jakarta menuju teras bangsa dan barometer bangsa Indonesia yang makin bermartabat, berkelas, dan tangguh harus terus diwujudkan. Kepada Ahok, pesan yang dapat dibuat selagi ulang tahun kota Jakarta dengan suasana pilpres, adalah pertama, sudah selayaknya bekerjalah tetap dengan membangun sistem kota ini lebih banyak berbicara. Ahok adalah dirigen yang mengarahkan sistem tersebut.

Kedua , bekerja dengan pendekatan terapi-kejut mungkin diminimalisasi lebih banyak ke arah ”adjustment” karena suasana pilpres membawa segala tindakan Ahok lebih banyak dibaca politis. Peran Ahok yang berada di persimpangan dalam suasana pilpres ini, jika lebih banyak terapi-kejut, akan berbuntut simalakama buat Ahok sendiri. Bahkan dapat menimbulkan stagnasi yang akan betul-betul berbuntut kepada munculnya masyarakat Jakarta yang stres.

Ketiga, pengendalian sistem yang ada dengan warna ”adjustment” sekalipun tetap berorientasi progresif. Ukurannya adalah outcome pelayanan publik kepada masyarakat. Keempat, sistem antara yang dikendalikan diukur dengan ”adjustment” berpola ”zero defect management” . Dukungan masyarakat akan melimpah jika mampu dibuktikan adanya outcome yang nyata. Masyarakat kota ditandai oleh masyarakat yang pragmatis kontraktual.

Kelima, Jika Ahok mampu meminimalisasi terseretnya stres publik, niscaya Jakarta bukan saja semakin maju bahkan semakin semarak dan berkualitas. Semoga.

IRFAN RIDWAN MAKSUMKetua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI, Anggota DPD RI

Page 13: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 14: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Tantangan Desentralisasi

Dalam debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tiga hari yang lalu, masing-masing pasangan telah menyinggung tema desentralisasi.

Mereka sama-sama menyatakan keprihatinan bahwa sistem desentralisasi tampaknya telah menjadi beban bagi pemerintah pusat dan bukannya mendorong pembangunan. Dalam sejumlah forum terkait desentralisasi, para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota merasa bahwa aturan-aturan yang lahir dari pihak pemerintah pusat terus bermunculan padahal implementasinya sulit dilakukan.

Hal ini disebabkan pembuatan peraturan tersebut sering kali kurang mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. Program-program nasional minta diperlakukan sebagai prioritas daerah, tetapi kenyataannya data yang digunakan pemerintah pusat untuk mengidentifikasi masalah ataupun penerima manfaat tidaklah akurat. Fenomena ini menunjukan masalah desentralisasi bukan hanya dirasakan negatif oleh pemerintah pusat, melainkan juga pihak-pihak di daerah.

Sementara itu, pihak pusat juga prihatin pada sejumlah tantangan di tingkat daerah. Mereka menyimpulkan para pejabat pemerintahan daerah semata peduli pada kepentingan sesaat yang sifatnya politis, yakni untuk mempertahankan popularitas. Bahkan, kemudian muncul asumsi bila kepala daerah yang terpilih berasal dari partai politik tertentu yang sama dengan kepala divisi atau pejabat di pemerintah pusat, maka program nasional akan berjalan.

Wacana di atas sesungguhnya menggambarkan sejumlah isu serius terkait desentralisasi yang diterapkan di Indonesia. Ada dua isu utama yang saya angkat di sini. Pertama, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki pemahaman yang berbeda- beda tentang apa itu desentralisasi. Sudut pandang yang dominan adalah desentralisasi berarti pemerintah pusat menyediakan sejumlah dana kepada pemerintah daerah dan menyerahkan wewenang penggunaan dana tersebut kepada pemerintah daerah, sepenuh-penuhnya.

Sudut pandang seperti itu membuat kedua belah pihak sama-sama tertekan ketika ada inisiatif kegiatan tertentu. Yang diributkan selalu terkait dana. Padahal, desentralisasi bukanlah semata penyerahan uang dari pusat ke daerah. Di pihak lain, karena pemerintah pusat merasa telah menyerahkan dana kepada daerah, mereka meminta pertanggungjawaban yang berlapis-lapis kepada daerah, padahal implementasi penggunaan dana tersebut ternyata lebih kompleks dari rencana di atas kertas semata.

Kedua, dialog yang berkembang seputar desentralisasi masih selalu berkutat pada relasi antara pemerintah pusat dan daerah (khususnya dengan pemerintah kabupaten/kota). Artinya pembicaraan selalu terbatas pada urusan pembagian tugas dalam kementerian atau lembaga pemerintah tertentu. Dengan situasi riil terbatasnya kapasitas birokrasi di negeri ini, bisa

Page 15: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

dibayangkan yang kemudian terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Yang mudah dikerjakan akan diperebutkan, sementara hal-hal yang sulit dilakukan akan dilempar-lempar ke pihak lain.

Desentralisasi dalam konteks tersebut belum menyentuh peranan komunitas lokal, termasuk para aktor intelektual, bisnis, dan penggiat kemasyarakatan yang tinggal di daerah tersebut. Ini suatu pemborosan sumber daya, karena pihak-pihak ini punya potensi yang dahsyat bila digandeng untuk memperkuat kebijakan pemerintah. Artinya penjelasan kedua pasangan capres dalam debat capres belum konkret menyentuh problem desentralisasi.

Yang selama ini mereka bincangkan barulah di tataran desentralisasi politik, padahal desentralisasi juga menyangkut masalah administrasi dan juga fiskal. Sejumlah keluhan dari daerah terkait data masyarakat adalah hal serius yang selama ini belum dianggap serius oleh pemerintah pusat. Misalnya terkait pembagian bantuan sosial dalam Program Raskin, Bantuan Siswa Miskin, serta Program Keluarga Harapan.

Program-program itu boleh jadi penting. Namun karena desain keterlibatan pemerintahan daerah di sana hanya sebagai pelaksana, program tersebut luput melihat relevansi program tersebut bagi perbaikan nasib masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Dari sejumlah daerah di Indonesia bagian timur, misalnya, muncul keluhan mereka sulit melakukan monitoring pelaksanaan program bantuan sosial yang dititipkan pemerintah pusat karena data yang dipakai oleh pemerintah pusat sulit diakses oleh mereka dan kalaupun bisa diakses, akurasinya terbukti tidak tepat.

Di daerah, hal semacam ini bisa menimbulkan gejolak sosial di mana kepala desa dan camat bisa menjadi sasaran amuk massa. Ini pernah terjadi. Contoh lain yang penting adalah masalah data yang tidak tersinkronisasi yang baik. Pemerintah pusat mengembangkan sistem data terpadu yang berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), namun sumber data tidak berasal dari informasi terkini di lapangan.

Pihak daerah mengeluh kesulitan akses untuk memverifikasi sumber data. Akibatnya, terjadi kesenjangan data orang miskin hingga 20%. Hal ini juga terjadi pada survei luas lahan pertanian pangan yang menjadi landasan untuk menghitung berapa impor pangan yang diperlukan. Di sejumlah daerah sudah muncul inovasi berbasis perbaikan pelayanan publik untuk menghimpun data kemiskinan. Namun, upaya tersebut sering kali luput penghargaan dari pemerintah pusat sehingga para pejabat di daerah mengalami demoralisasi. Informasi di atas hanyalah sekeping masalah dari keseluruhan persoalan desentralisasi.

Apabila para capres dan cawapres ingin melakukan perbaikan, penting untuk melakukan evaluasi yang ilmiah dan menyeluruh bersama pihak-pihak daerah dan tidak lagi menggunakan pendekatan top-down semata. Saya mengusulkan kepada para capres dan cawapres untuk secara konsisten untuk melibatkan pihak-pihak di daerah secara partisipatif dalam merencanakan program-program pelayanan publik. Sejauh ini forum musrembang

Page 16: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

yang menjadi input untuk perencanaan pemerintah lebih bersifat seremonial belaka.

Pihak-pihak daerah harus dilibatkan dalam lebih konkret karena mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Budaya organisasi yang birokratif perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang cepat dan tepat khususnya dalam konteks dunia yang makin tinggi persaingannya.

DINNA WISNU, PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

Page 17: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 18: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Debat Capres Perdana

Koran SINDO

Rabu,  11 Juni 2014

HAMPIR seluruh media massa dan jagat media sosial ramai membicarakan debat capres perdana yang digelar KPU, Senin (9/6).

Layaknya sebuah tontonan di ruang publik, debat capres antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK ini tentu saja mengundang polemik, terutama jika menilai siapa pasangan yang lebih unggul. Tentu masing-masing pendukung kandidat akan memberi argumentasi sendiri-sendiri bahwa calonnyalah yang memenangi pertarungan opini.

Indikator Retorika

Ibarat sebuah pertunjukkan, tulisan ini mencoba memotret debat dalam indikator-indikator komunikasi politik yang sifatnya dialektis. Indikator pertama adalah kemampuan seni berbicara (art of speech). Sebagai prosesi komunikasi, indikator debat yang akan diperhatikan pertama kali oleh khalayak tentu saja retorika para capres. Retorika memberi kesan citra personal yang terhubung dengan kapasitas individu di tengah adu gagasan.

Dalam hal tipologi retorika berdebat, dua pasangan memiliki kesamaan yakni pada pilihan impromptu dengan cara mengungkapkan gagasan secara spontan, fleksibel, dan berorientasi pada orisinalitas forum. Kekurangan tipe seperti ini tentu saja pada susunan kalimat dan logika berpikir yang kurang sistematis.

Memang banyak pilihan tipologi retorika, ada manuskrip atau paparan yang berorientasi pada naskah yang telah dipersiapkan. Jika ini dilakukan oleh capres saat berdebat, pasti menjemukan! Ada juga tipe memoriter yakni capres memilih untuk berdebat dengan mengandalkan hafalan-hafalan, bukan pada penguasaan yang mendalam. Ini tentu akan mencelakakan kandidat terlebih jika apa yang dihafalkan lupa atau tidak memahami konteks dari persoalan yang sesungguhnya.

Tipe lain yakni ekstemporer di mana capres yang hendak berdebat mempersiapkan outline dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Dengan outline itulah, dia banyak mengelaborasi berbagai dinamisasi diskusi sehingga mampu meyakinkan pihak lain bahwa dirinya mampu menjelaskan. Tipe terakhir memang paling ideal, tapi dalam debat-debat capres yang diatur KPU sulit dilakukan mengingat pertanyaan moderator dan kandidat lain sangat mungkin berbeda dari yang disiapkan sehingga pilihan impromptu menjadi keniscayaan bagi semua pasangan. Hanya soal gaya memang JK berbeda sendiri, dia mengambil pilihan komunikasi low context culture yang menekankan pada orientasi hasil, ketegasan makna meski

Page 19: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

mengambil risiko untuk agresif di topik-topik sensitif seperti isu HAM.

Sementara Prabowo, Hatta, dan Jokowi lebih memilih high context culture dengan menjaga harmoni dalam berdebat. Bedanya Hatta dan Jokowi stabil di pilihan high context culture, sementara Prabowo tergiring masuk pada ”serangan” JK dengan menunjukkan bahasa tubuh (kinesics) seperti isyarat tangan yang kerap mengacungkan jari telunjuk, ekspresi wajah, dan tatapan mata Prabowo pun tak bisa dibohongi bahwa dia tidak nyaman dengan pernyataan JK.

Peribahasa (vocalics) pun terasa. Nada tinggi, intensitas suara, dan intonasi Prabowo berubah dan justru menunjukkan di debat perdana ini, Prabowo terangsang kurang siap secara mental berada dalam situasi heteronomi komunikasi. Dominic Ifanta dalam bukunya, Argumentativness and Verbal Agressivness (1996), mengemukakan ada dua sifat agresi yang seyogianya dikelola terlebih dalam suatu perdebatan di muka umum yang ditayangkan oleh media massa. Dua hal itu adalah tendensi mengajak atau menanggapi pihak lain berdebat mengenai topik-topik kontroversial dan keagresifan verbal yang biasanya menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri di mana argumen bernalar.

Substansi Gagasan

Indikator kedua yang dapat dinilai oleh khalayak tentu saja rasionalitas saat membingkai gagasan. Dalam konteks inilah diperlukan sebuah skema berpikir yang logis, proporsional, analitis, dan berbasis data. Debat harus berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving-oriented) dari sekadar berorientasi citra (image oriented).

Dalam debat seluruh jargon-jargon besar sloganistik yang elitis seperti selama ini banyak dikemukakan kandidat sudah harus beralih pada indikator-indikator nyata (real world indicator). Debat harus mampu menghadirkan, apa dan bagaimana program masing-masing capres dalam mengurai benang kusut pengelolaan negeri ini lima tahun ke depan. Capres menjelaskan skema mengurangi masalah (reduce problem) secara terukur dengan dukungan data atau fakta.

Semakin dangkal rasionalitas pemaparan program dan semakin kabur indikator-indikator nyata penyelesaian masalah, akan semakin kalah dia dalam perdebatan. Di persoalan substansial juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua pasangan itu.

Prabowo- Hatta lebih menekankan pada konsep-konsep dan program-program besar, sementara Jokowi- JK lebih menyasar program-program implementatif. Misalnya Prabowo menyatakan demokrasi membutuhkan pendidikan politik, budaya politik, dalam mewujudkan demokrasi yang produktif. Meskipun di sesi-sesi tengah debat capres Prabowo-Hatta juga beberapa kali menyentuh program-program teknis seperti penggunaan teknologi modern sebagai alat mengontrol pemerintahan, menjamin kualitas hidup pejabat negara untuk mencegah korupsi, meningkatkan kemampuan manajerial penegak hukum, memperkuat KPK,dan sebagainya.

Page 20: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Sementara di topik yang sama, Jokowi lebih membawa gagasan soal demokrasi dialogis itu ke beberapa topik implementasi. Misalnya soal pemerintahan yang bersih dan efektif, perlunya akuntabilitas sistem melalui teknologi modern seperti e-budgeting, e-performance, pajak online, IMB online, dan sebagainya. Hanya sedikit Jokowi mengulas tujuan demokrasi untuk kesejahteraan dengan cara mendengar suara rakyat.

Selebihnya, Jokowi dan JK banyak bicara ihwal mikro seperti pola perekrutan pegawai berdasarkan sistem promosi dan seleksi terbuka. Sebenarnya keduanya mencoba menawarkan gagasan makro dan mikro dalam perdebatan. Hanya, porsi elaborasinya yang berbeda.

Porsi bahasan paparan awal Prabowo-Hatta lebih banyak di area gagasan besar, sementara Jokowi-JK di area gagasan operasional. Secara substansial keduanya memiliki gagasan yang layak. Hanya, dalam konteks debat capres di negara mana pun, audiens cenderung lebih mengapresiasi kandidat yang mampu menghadirkan indikator-indikator nyata.

Yang dikelola kandidat dalam debat capres sesungguhnya adalah kesan dan dukungan. Impresifkah sang kandidat di mata masyarakat? Masih ada empat perdebatan lagi yang akan menjadi uji publik untuk memastikan program-program apa yang ditawarkan para kandidat lima tahun ke depan.

DR GUN GUN HERYANTODirektur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Page 21: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Presiden Bunga Negara

Koran SINDO

Kamis,  12 Juni 2014

PILIHAN hanya ada dua, yakni pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Apa sih susahnya memilih satu di antara dua? Mengapa bertele-tele, menguras tenaga, dana dan pikiran? Bukankah aktivitas memilih telah menjadi kodrat kemerdekaan setiap warga negara?

Kehidupan bernegara di era modern memang kompleks. Begitu banyak entitas terkait dan berinteraksi satu dengan lainnya. Memilih presiden bukan sekadar urusan individu dan urusan negara, melainkan juga urusan negara asing.

Memilih presiden bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga urusan ukhrowi. Memilih presiden bukan sekadar urusan rasionalitas, melainkan juga urusan primordial dan spiritual. Para agamawan bertutur, ”gunakan hak pilihmu sebaik-baiknya, sesuai hati nurani, sesuai tuntunan kitab suci dan keteladanan nabimu”.

Apakah nasihat itu mempan menggusur praktik ”money politic”? Pemilu legislatif kemarin, telah menjawab pertanyaan itu dengan bukti nyata. Apa pun motif memilih, satu hal yang pasti bahwa presiden terpilih adalah figur yang telah diizinkan Allah. Tanpa izin dan kehendak-Nya, tiada pernah daun kering jatuh dari pohonnya, dan tiada pernah terpilih presiden terbaik bagi negeri ini.

Pada era otoriter, boleh jadi seorang presiden berkata ”L”Letat cetat cest moi” (negara adalah saya). Rakyat pun mengamini perkataan itu. Presiden disanjung, dikultuskan, dan pantang dikoreksi. Hidup dan mati para pengikutnya digantungkan kepada presidennya. Begitulah karakteristik lembaga kepresidenan zaman itu. Berbeda halnya di era modern. Rasionalitas memegang peranan penting. Presiden wajib merespons aspirasi publik (rakyat). Kepresidenan bukan sekadar lembaga formal, melainkan lembaga publik, secara substansial wajib peduli, kerja keras dan melakukan aktivitas terencana demi kepentingan rakyat.

Konsep kepresidenan sebagai kepala negara untuk ”nachwakersstaat ” (negara penjaga malam), sudah tidak berlaku. Ketika kedaulatan negara di bidang politik, di bidang ekonomi, atas wilayah, atas sumber daya alam, terhegemoni kekuasaan asing, pada saat demikian peran presiden adalah mengembalikan kedaulatan tersebut.

Sikap politik, keberanian bertindak, wawasan kebangsaan sangat diperlukan. Perjalanan bangsa di era reformasi menunjukkan bahwa politik praktis di bidang ekonomi ternyata menciptakan gap cukup lebar antara stratifikasi mayoritas penduduk dibanding sekelompok pengusaha dan politikus.

Page 22: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Seiring dengan masalah stratifikasi sosial itu, berlanjut ke masalah ketidakadilan sosial antara pusat dan daerah. Problema otonomi daerah, bukan sekadar karena konsep ”setengah matang”, melainkan perilaku ego kedaerahan. Ketidakadilan pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam, antara pusat-daerah, antara negeri sendiri dan investor asing, sangat timpang, sehingga memunculkan konflik-konflik horizontal.

Penyelesaian konflik pun tak kunjung mencerminkan keadilan sosial, sehingga dalam banyak kasus ”the haves always come ahead”, sementara ”the poor must pay more”. Kebersatuan dalam bingkai semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”, hanya terpatri di lambang negara, akan tetapi tidak pernah terimplementasikan dalam kebijakan dan praktik penyelenggaraan negara.

Peran lembaga kepresidenan, semakin dirasakan perlunya untuk mencegah kemerosotan lebih parah kualitas kehidupan bernegara secara keseluruhan. Diperlukan suatu pemerintahan kuat di bawah kepemimpinan presiden, yang mampu melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Upaya terencana melalui national planning dengan pola pembangunan semesta berencana di era Presiden Soekarno atau melalui garis-garis besar haluan negara di era Presiden Soeharto, layak diaktualisasikan.

Belajar dari pengalaman negeri Belanda, dulunya bagaikan kapal terapung dan hanya bisa hidup ketika ditopang pasokan nutrisi dari Nusantara. Kini telah mampu membangun negara kesejahteraan (welfare state) melalui pembangunan berkelanjutan tahun 1930-1945.

Program-program strategis dilaksanakan secara konsisten, antara lain: (1) melindungi dan menjamin keselamatan buruh, (2) memberi santunan fakir miskin, orang lanjut usia dan penderita sakit, (3) menjamin ketersediaan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan dan perumahan, (4) menjamin hak-hak individu di bidang politik, sosial dan budaya. Keberhasilan mewujudkan welfare state, tak lepas dari peran pemerintah, yakni segala hal yang dulunya diserahkan swasta dan pasar, kini diambil alih pemerintah sehingga stabilitas politik dan ekonomi lebih terjamin.

Pada sebuah acara seminar, seorang bupati sengaja dihadirkan untuk membeberkan suka dan duka dalam memimpin daerahnya. Setelah presentasi, dibuka pertanyaan dari peserta seminar. Mengapa prestasi bagus daerahnya tidak pernah diekspos ke media agar publik mengetahui dan bisa belajar dari keberhasilan kabupaten yang dipimpinnya?

Dengan senyum ramah, dijawabnya: ”Kami tidak punya media koran, media televisi ataupun media radio. Ketika jurnalis kami undang untuk memberitakan prestasi kabupaten, hal demikian dipandang kurang layak sebagai berita baik. Tampaknya, mereka lebih senang dan tertarik mewartakan hal-hal yang hina daripada hal yang mulia, misal ketika di kabupaten ada korupsi, perselingkuhan pejabat, musibah yang menimpa rakyat, dan sejenisnya”.

Page 23: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Benang merah perlu dirajut dari deskripsi realitas, pemikiran dan cerita bupati di atas, bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan dalam memilih apa yang dipandangnya baik atau buruk. Ketika platform ideologi bangsa, yakni Pancasila, tidak pernah digubris lagi, maka suka atau tidak suka, realitas kehidupan cenderung liberal, sesat pikir dan sesat arah. Saat demikian, sulit menemukan manusia yang mampu mengembangkan sifat terpuji, suka melengkapi kekurangan pihak lain.

Dalam bahasa puitis, ”tatkala hati orang berisi sejuta bunga, tetapi terselip satu sampah, tetap saja yang dikabarkan sampahnya”. Dalam pengamatan saya, terhadap dua kubu yang kini tengah ”bertarung” memperebutkan kursi kepresidenan pun, tidak jauh berbeda dengan makna dari puisi tersebut. Pesan moral: ”Jadikanlah presiden sebagai bunga negara, bukan sampah”. Wallahu a’lam. 

PROF DR SUDJITO SH MSI Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

Page 24: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Menjaga Nalar Sehat

Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, suasana batin masyarakat layaknya menunggu pertandingan final sepak bola dunia.

Orang tak sabar menanti. Atau bisa juga suasananya mirip menjelang pertandingan Persib melawan Persija. Para suporter yang fanatik dan militan semakin seru dan agresif melakukan psywar menyerang lawan. Sebagai sebuah pertandingan, tentu saja hal itu bagus dan membuat masyarakat bergairah untuk berpartisipasi memilih calonnya masing-masing, sehingga angka golput menurun dibanding sebelumnya. Diduga kuat, partisipasi pemilih akan naik mengingat capres-cawapres yang bertanding seimbang.

Tak ada bintang yang menonjol sehingga masih sulit diramal siapa yang akan muncul sebagai pemenang. Sejauh ini saya ingin berbagi catatan dari kesan dan pengamatan semasa kampanye ini. Pertama, keamanan berjalan baik. Ini mesti dijaga sampai presiden dan wakil presiden terpilih dan dilantik. Terima kasih kepada polisi, masyarakat dan pimpinan partai politik (parpol) yang memiliki komitmen untuk bersama-sama menjaga keamanan.

Menurunnya persaingan yang keras ini mungkin saja karena semua parpol tak lagi memiliki perbedaan ideologi yang jelas, sehingga tidak membangkitkan emosi rakyat untuk membela salah satu pasangan dengan fanatik. Kedua , emosi masyarakat mulai terusik dan terkena provokasi ketika ada pihak-pihak yang melemparkan isu agama dan etnis ke tengah masyarakat. Ditambah lagi ketika simbol-simbol dan figur ulama dilibatkan untuk memberikan dukungan salah satu pasangan. Di sini mesti diingatkan, janganlah mempermainkan agama yang begitu mulia dan luhur hanya untuk kepentingan politik partisan dan sesaat.

Umat Kristen dan Islam pernah terlibat perang saudara berdarah-darah dengan memanipulasi kitab suci untuk memperebutkan kekuasaan politik. Sampai sekarang pun konflik dan perang di Timur Tengah, penyebab pokoknya adalah perebutan kekuasaan yang kemudian dicarikan pembenaran dalil-dalil agama.

Ketiga, menurut perkiraan para ahli, sesungguhnya rakyat kita yang paham makna dan tujuan demokrasi tidak mencapai 20% dari jumlah pemilih. Akibatnya, mereka akan sangat mudah dipengaruhi oleh iklan di media massa dan tokoh-tokoh masyarakat yang mereka kenal dan segani, terutama jajaran ulama. Oleh karena itu, masa kampanye ini timses capres-cawapres sangat sadar bagaimana memainkan peran media massa, kiai, dan pesantren. Dunia pesantren yang selama ini terpinggirkan, tiba-tiba menjadi pusat gravitasi para capres-cawapres dan elite parpol untuk berkunjung, sowan, minta berkah, bahkan tidur di pesantren.

Dengan memegang komitmen seorang kiai, lalu dikalikan berapa ribu suara yang akan ikut di

Page 25: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

belakangnya. Dalam hal ini mesti diingatkan, silakan kiai dan ulama ikut berpolitik membangun negara. Tetapi jangan sampai integritasnya terbeli oleh para politisi yang target akhirnya adalah kekuasaan dan fasilitas negara. Sangat disayangkan jika lembaga pendidikan yang puluhan tahun dirintis dan dipelihara dengan serbasederhana dan penuh keikhlasan, hanya dalam hitungan hari hancur oleh manuver politik para capres-cawapres yang menawarkan imbalan mobil atau uang.

Keempat , yang juga mengesankan bagi saya adalah sikap para suporter, timses dan pengamat politik yang kadang kala menggeser nalar sehatnya karena emosi pemihakannya pada salah satu kubu calon yang tak terkontrol. Ibarat suporter sepak bola, kalau mereka itu anak-anak remaja maka bisa dimaklumi kalau perilaku dan komentarnya emosional, lebay, dan tidak peduli pada penilaian masyarakat. Tetapi sebagian mereka itu adalah memiliki predikat wakil rakyat, aktivis intelektual, dan ulama.

Jangan lupa, apa yang mereka kemukakan itu akan menjadi catatan abadi karena direkam oleh kamera televisi sehingga kapan saja bisa diputar ulang. Karena emosi dan preferensi politiknya, kadang muncul pernyataan dan analisis politik yang lucu, yang tidak mencerminkan persepsi dan harapan masyarakat selama ini bahwa dirinya seorang tokoh panutan masyarakat lintas agama dan politik.

Dengan kata lain, masa-masa kampanye ini muncul perilaku dan wajah teman-teman kita yang sedikit membuat kaget karena di luar dugaan kita semua. Kata orang tua, ketika terjadi turbulen yang membuat seseorang merasa terancam atau tidak aman, kita akan mengenal sisi lain dari diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita.

Kelima, selama masa kampanye ini telah berlangsung pendidikan politik yang amat berharga bagi rakyat semua, meskipun juga sangat melelahkan. Yang saya khawatir, mereka yang sejak awal hanya siap menang dan untung, namun tidak siap kalah dan rugi. Semua ongkos politik yang telah dikeluarkan dianggapnya sebagai modal dan saham yang mesti kembali modal dengan keuntungannya yang berlipat. Kalau ini yang terjadi, demokrasi dan pilpres tak ubahnya sebagai perjalanan untuk menemukan harta karun berupa jabatan dan kekayaan.

Tetapi kalau saja tidak ada pikiran seperti itu, kita mesti salut dan kagum pada mereka yang telah mengeluarkan dana, tenaga, emosi dan pikiran yang tidak bisa dihitung lagi besarannya demi mematangkan demokrasi untuk kesejahteraan rakyat. Triliunan rupiah telah dibelanjakan dan semoga benar-benar ikhlas andaikan kalah dalam bersaing.

Keenam, sisa-sisa hari ke depan menuju 9 Juli ini kita berharap bangsa ini lolos dan lulus melewati ujian dan tikungan dalam berpolitik dan bernegara, sehingga akan melahirkan pemerintahan baru yang mampu memenuhi janji-janji kampanyenya tanpa disertai berbagai kecurangan dan konflik fisik sesama saudara dan rakyat sendiri. Kalau kita lulus, dan semoga begitu, maka kelas, martabat dan kepercayaan dunia akan naik pada Indonesia.

Tetapi jika gagal, dunia akan tertawa sinis dan rakyat akan kehilangan kepercayaan pada

Page 26: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

parpol, demokrasi dan pemerintahan yang terbentuk akan menanggung beban politis-psikologis yang berat.

Page 27: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 28: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Debat Cherrybelle

Beberapa hari ini debat antara dua pasang capres dan cawapres yang akan bertanding pada 9 Juli 2014 nanti hangat menjadi topik diskusi di keseharian masyarakat Indonesia.

Di warung kopi, pool kendaraan, hingga menjadi trending topic di Twitter dan media sosial lain. Walau dampaknya bagi para pemilih yang telah menetapkan hati sepertinya tidak terlalu signifikan, debat memiliki arti penting sebagai salah satu usaha untuk memenangkan hati swing voter di sisa masa kampanye yang tinggal menghitung hari.

Tanpa mengurangi perayaan atas ekspresi demokrasi baru yang terbangun indah di negara ini, saya hendak mengajukan otokritik atas debat yang saya sebut sebagai ”Debat Cherrybelle”. Terminologi ini memperkaya idiom debat yang biasa dipakai antara lain debat kusir, pokrol bambu, dan sebagainya. Debat Cherrybelle dalam pandangan saya adalah debat yang energik, cantik, ideal, dan menggairahkan, namun hanya eksis di layar kaca dan panggung-panggung, tidak dapat dimiliki.

Singkat kata berkutat pada zona-zona ideal, namun tidak memberikan gambaran jelas mengenai strategi mencapainya, apalagi program untuk membumikannya. Menurut Merriam Webster Dictionary, debat didefinisikan sebagai ”a discussion between people in which they express different opinions about something”. Jadi tulang punggung yang secara prinsip harus ada dalam debat adalah rangkaian argumen yang berbeda terhadap suatu masalah tertentu.

Debat pada 9 Juni lalu agaknya masih jauh dari pemenuhan prinsip ini. Kedua kandidat masih banyak menawarkan visi atau misi yang sifatnya end goal atau mimpi normatif atas negara yang tentu saja semua orang akan sependapat dengannya. Barang jualan para kandidat tentang negara yang menyejahterakan rakyatnya, pemerintahan yang bersih, berdaulat dan dikagumi di mata dunia, serta pengelolaan aset kekayaan alam demi rakyat pada dasarnya hanyalah parafrase dari pembukaan UUD 45 yang telah dicetuskan oleh bapak pendiri bangsa.

Debat seperti ini dapat dianalogikan seperti taruhan bola antara dua orang yang dua-duanya menjagokan Real Madrid. Di mana serunya? Dalam kerangka manajemen strategik, rencana jangka panjang perusahaan dibangun melalui organization aspiration atau dream yang kemudian diturunkan menjadi suatu inisiatif strategik. Di sinilah seninya. Strategi adalah cara untuk meraih tujuan, di mana terdapat berbagai macam alternatif yang memiliki maslahat dan konsekuensi masing-masing.

Dalam tataran strategik inilah perdebatan dapat dilakukan dengan lebih berwarna, menguji kecerdasan berpikir para kandidat dalam membangun argumentasi yang holistik. Selain itu, inisiatif strategi juga harus dibedakan dari apa yang disebut sebagai operational effectiveness. Sang filosof manajemen Michael E. Porter dalam salah satu tulisannya di Harvard Business

Page 29: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Review (1996) berpendapat bahwa walaupun keduanya mirip dan dibutuhkan dalam meraih tujuan jangka panjang, harus dibedakan dengan jelas.

Operational effectiveness adalah cara melakukan sesuatu yang sama dengan kompetitor, namun dengan cara yang lebih baik. Sedangkan strategi adalah melakukan sesuatu yang berbeda dari kompetitor. Memang tidaklah salah jika pemimpin menekankan pentingnya efektivitas operasi dalam pemerintahan dan memang demikianlah salah satu permasalahan yang ada. Namun, dalam kerangka jangka panjang, orientasi ini tidaklah cukup.

***

Telah lama operational effectiveness dilakukan oleh Jepang dan berhasil mencengangkan dunia dengan menyaingi produk- produk barat yang telah hadir jauh sebelumnya. Menggunakan total quality management (TQM), continuous improvement dan benchmarking, perusahaan manufaktur Jepang dapat menekan biaya melalui turunnya buangan dengan tetap mempertahankan kualitas dalam rentang toleransi. Kendati demikian, cara-cara efektivitas ini kemudian menjadi umum dalam industri sehingga terjadi saturasi dan kesetimbangan persaingan.

Strategi di sisi lain adalah cara berbeda yang dipilih dari sekian alternatif yang ada. Sebagai contoh, sebuah perusahaan penerbangan dapat memilih strategi biaya rendah atau biaya premium. Singapura mendeklarasikan dirinya sebagai service country dan membangun seluruh platform dukung untuk itu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai contoh, seluruh kandidat menyatakan dengan tegas untuk membangun pemerintahan yang bersih, dengan sebelumnya mengelaborasi pentingnya pemerintahan yang bersih.

Tentu saja tidak ada seorang pun yang akan membantah pentingnya pemerintahan yang bersih. Masalahnya di sini bagaimana strategi untuk menjalankannya, dari sekian banyak elemen pembentuk pemerintahan yang bersih, mana yang akan menjadi prioritas, apa hambatan potensialnya, dan bagaimana mengatasi hambatan potensial tersebut. Masyarakat belum dapat melihat jelas dalam debat sebelumnya.

Pada beberapa kesempatan sebenarnya terbuka peluang menarik untuk mendapatkan debat yang bermutu seperti pandangan Probowo-Hatta tentang perlunya meningkatkan kesejahteraan aparatur negara untuk menghindari korupsi melawan pandangan Jokowi-JK yang justru menekankan pada sistem politik berbiaya rendah dan transparansi anggaran pemerintah.

Jika kedua strategi ini dibedah lebih dalam, akan muncul berbagai macam argumentasi yang kaya dan mencerdaskan. Dengan demikian, format debat agaknya perlu diubah sehingga lebih fleksibel dan mampu mengangkat hal seperti ini. Beberapa hal yang bisa diubah antara lain, pertama, mengenai atmosfer, format debat dibuat lebih rileks dalam studio yang tertutup sehingga konsentrasi para kandidat tidak terganggu dan dapat fokus pada masalah.

Page 30: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Dengan demikian, efek demam panggung dapat diminimalisasi. Kedua, para kandidat harus diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan mengkritisi konsep yang dibawa kandidat lain sehingga dokumen strategi tertulis perlu diberikan dan dipertukarkan sebelum acara. Dengan demikian, ada kontra argumen yang dapat disajikan dalam acara puncak.

Ketiga, moderator perlu dilengkapi dengan hak untuk memperdalam dan mengadu ketajaman argumen kedua kandidat. Dengan demikian, flow pembicaraan dapat lebih luwes dan memberikan ruang lebih luas bagi moderator untuk mencairkan suasana.

Masih ada empat seri debat lagi yang akan diadakan pada 15, 22, 29 Juni dan debat akhir pada 5 Juli 2014. Kita berharap KPU dapat mengevaluasi dan memperkaya debat berikutnya sehingga masyarakat dapat terbantu untuk melabuhkan hatinya pada calon pasangan capres dan cawapres yang benar-benar memiliki wawasan luas dan holistik pada permasalahan bangsa. ●

WAHYU T SETYOBUDIStaf Pengajar PPM School of Management

Page 31: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 32: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Memperebutkan Suara Kaum Sarungan

Pada 1985 Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi mendeklarasikan diri kembali ke Khitah 1926. Sejak itu NU menarik diri dari segala kegiatan politik praktis dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan seperti awal berdiri. Hak politik warga NU tetap diberikan, tetapi tidak boleh mengatasnamakan NU dan tidak boleh membawa bendera NU dalam politik.

Komunitas NU dikenal sebagai komunitas muslim tradisionalis yang memiliki paham dan tradisi keagamaan yang berbeda dari kelompok muslim modernis. Komunitas NU sudah terbiasa mengamalkan tahlil, haul, berzanji, tarekat, dan amalan lain sejenis itu. Dalam mengamalkan tahlil, haul, berzanji, dan tarekat biasanya komunitas NU memakai sarung. Itulah sebabnya orang-orang NU diidentifikasi sebagai kaum sarungan.

Jumlah komunitas NU di Tanah Air diperkirakan mencapai 40 juta. Karena itu, setiap kali diselenggarakan pilkada atau pilpres, kiai-kiai NU, pesantren-pesantren NU, tokoh-tokoh NU, dan warga NU pada umumnya didekati oleh para caleg dan pasangan capres-cawapres dengan tujuan untuk mendulang suara mereka.

Dalam Pemilu 2004, PDIP mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Tidak dapat diragukan, PDIP adalah partai besar dan mempunyai anggota dan simpatisan yang banyak di seluruh Tanah Air. Nama besar Soekarno menjadi ikon yang menjadi daya pikat dan daya tarik partai bersimbol kepala banteng moncong putih ini. Dalam upaya untuk meraih suara yang lebih besar lagi, Mega menggandeng Hasyim Muzadi sebagai cawapres. Saat itu Hasyim Muzadi masih menjabat (kemudian nonaktif) sebagai ketua umum Tanfidziyah NU.

Langkah tersebut tidak lain merupakan taktik-strategi dari PDIP untuk mengeduk suara komunitas NU dalam Pilpres 2004 agar Mega-Hasyim keluar sebagai pemenang. Lebih-lebih yang dihadapi Mega pada waktu adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (yang diusung oleh Partai Demokrat). Dipasangnya JK (yang berlatar belakang kultur NU) sebagai cawapres SBY juga dapat dipahami sebagai taktik-strategi Partai Demokrat untuk mendulang suara kaum sarungan agar pasangan SBY-JK tampil sebagai pemenang.

Tokoh penting dan salah seorang pengurus teras PBNU lain yang digaet untuk menjadi cawapres adalah Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Ia disandingkan dengan Wiranto, capres yang diusung Partai Golkar. Dari perspektif politik praktis dan pertarungan pilpres 2004, disandingkannya Gus Sholah dengan Wiranto dapat dibaca sebagai manuver politik Golkar agar mendapat dukungan suara dari komunitas NU dan pasangan tersebut dapat keluar sebagai pemenang. Adapun Abdurrahman Wahid (Gus Dur, tokoh NU yang sangat terkenal, berpengaruh luas, dan mantan ketua umum PBNU), ia diusung sebagai capres oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan dipasangkan dengan Marwah Daud Ibrahim.

Page 33: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Tokoh-tokoh NU yang diusung sebagai capres atau dipasangkan sebagai cawapres dalam Pilpres 2004 dapat dibaca sebagai manuver politik agar pasangan itu mendapat dukungan suara dari komunitas NU. Taktik strategi lain untuk merebut suara komunitas NU adalah pasangan capres-cawapres melakukan pendekatan dengan kiai-kiai, ulama, dan tokoh- tokoh NU. Komunitas NU, terutama di kalangan pesantren dan pedesaan, dikenal sebagai komunitas yang tawadu dan sangat menghormati para kiai, tokoh, dan ulama sebagai idola dan panutan mereka.

Kaum sarungan ini memiliki dan mempraktikkan budaya paternalistik, terutama di pesantren- pesantren dan pedesaan. Jika seorang kiai atau seorang alim memutuskan untuk mendukung partai politik tertentu, para santri dan komunitas NU di sekitar pesantren dan di pedesaan itu akan mendukung partai politik pilihan kiai mereka.

Para caleg, tim sukses, atau pasangan capres-cawapres sangat memahami kondisi psikologis dan ikatan emosional-primordialisme ini dan mereka memanfaatkannya dengan cara melakukan pendekatan yang dikemas dalam bahasa kunjungan silaturahmi. Secara langsung atau tidak, para caleg atau pasangan capres-cawapres itu mengharapkan dan meminta dukungan mereka.

***

Ada dua pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2014 sekarang ini. Pasangan dengan nomor urut satu adalah Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung sebagai capres-cawapres oleh Gerindra dan mitra koalisinya. Pasangan dengan nomor urut dua adalah Joko Widodo- Jusuf Kalla (JK) yang diusung sebagai capres-cawapres oleh PDIP dan mitra koalisinya. Seperti pada pilpres-pilpres sebelumnya, pada Pilpres 2014 ini pasangan capres-cawapres mendekati dan melakukan silaturahmi politik dengan para tokoh, ulama, dan kiai NU.

JK bersilaturahmi ke KH Hasyim Muzadi (tokoh penting NU, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, dan mantan ketua umum PBNU). Jokowi bersilaturahmi ke KH Salahuddin Wahid (tokoh terkenal NU, adik Gus Dur, dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang). Prabowo Subianto menghadiri istighasah komunitas NU di suatu pondok pesantren di Jember (Jawa Timur). Dengan maksud yang tidak berbeda, JK menghadiri pertemuan silaturahmi dengan tokoh-tokoh dan masyarakat NU di Surabaya yang diorganisasi oleh Muhaimin Iskandar (ketum PKB).

PKB adalah salah satu partai yang berkoalisi dengan PDIP. Fenomena pelibatan kiai-kiai dan tokoh NU ini memperlihatkan betapa tumpang tindih kegiatan politik praktis dengan Khitah NU 1926. Pelibatan NU dan tokoh-tokoh NU dalam kegiatan politik praktis yang diorganisasi dan dimobilisasi oleh Ketum PKB (Muhaimin Iskandar) adalah tidak sejalan dengan jiwa, ruh, dan semangat Khitah NU 1926.

Taktik-strategi lain yang dilancarkan Muhaimin Iskandar untuk mendapatkan dukungan suara

Page 34: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

komunitas NU ialah dengan cara mengangkat isu bahwa jika Jokowi terpilih sebagai presiden, menteri agama (menag) dalam kabinetnya akan berasal dari kalangan NU. Tidak lama kemudian, isu prematur itu ditepis oleh Jokowi dengan mengatakan bahwa dia dan mitra koalisinya belum sampai pada pembicaraan kriteria menteri dan calon para menterinya.

Dukungan suara komunitas NU di banyak daerah tidak sama. Ada yang mendukung Prabowo-Hatta dan ada pula yang mendukung Jokowi- JK. Suara para kiai, tokoh, ulama, dan warga NU terpecah. ●

FAISAL ISMAILGuru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Page 35: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Urgensi Debat Calon Presiden

Secara akademik, urgensi debat calon presiden (capres) bisa menjadi alat ukur sejauh mana sistematika berpikir, kemampuan mengemukakan gagasan, serta kecerdasan dalam memahami persoalan bangsa. Di dalamnya akan tergambar bagaimana calon presiden menyikapi, merumuskan, kemudian menemukan solusi secara operasional atas berbagai masalah bangsa dan negara.

Debat juga bisa berfungsi sebagai sebuah proses formal kontestasi, sehingga publik bisa menilai bagaimana gestur, keluasan pengetahuan dan pemahaman, serta kualitas kenegarawanan seorang calon pemimpin. Biar rakyat yang akan menyimpulkan siapa calon yang bersinergi visi-misi dan program kerjanya dengan kompetensi yang dimiliki, dan apakah dapat dipercaya untuk melaksanakan semua yang dijanjikan.

Debat pertama capres-cawapres telah terlaksana dengan cukup baik, meski tentu masih terdapat kelemahan, terutama pada konsep dan gagasan yang disampaikan masih belum operasional. Dari sisi tontonan memang cukup menarik, sebab kita disuguhi tampilan yang amat menarik dari dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Malah, banyak kelompok masyarakat yang melakukan nonton bareng seperti saat menonton siaran langsung sepak bola.

Personalitas setiap pasangan calon memang cukup menjanjikan. Apalagi, keduanya juga punya pesona kepribadian dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Dari situlah publik dituntun pada bagaimana memilih pemimpin yang memiliki pesona kepribadian dan kepemimpinan yang andal, sebab kemampuan berdiplomasi dalam menyampaikan apa yang akan dikerjakan setelah terpilih, setidaknya akan menentukan poin penilaian publik.

Pemikiran Dua Kubu

Yang menarik didiskusikan adalah pada pemikiran yang masih tendensius dan cenderung retorik. Padahal, temanya cukup menarik tentang ”Pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan kepastian hukum”, yang setidaknya mengantar kita pada pemikiran dua kutub. Pertama, ada yang menggaungkan konsep lantarannya dianggap debat calon presiden yang memang harus menjual gagasan dan konsep. Apalagi presiden adalah pengambil kebijakan, bukan pelaksana teknis. Visi-misi diurai secara normatif tetapi meski masih miskin implementasi, padahal sangat penting diketahui publik.

Sejauh mana visi-misi dan program kerja bisa dilaksanakan, serta metode apa yang dipakai untuk merealisasikannya justru masih kabur. Tidak diurai secara maksimal agar rakyat pemilih bisa diyakinkan.

Page 36: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Kedua, visi-misi dan program kerja dielaborasi dengan implementasi operasional berdasarkan contoh-contoh tindakan yang pernah dilakukan. Pasalnya, konsep dan gagasan dianggapnya sudah ada dalam visi-misi dan program kerja sehingga harus diurai secara operasional. Mereka menjual implementasi secara aplikatif dengan harapan, biar rakyat yang memilah dan memilih pada kepentingan apa yang ingin diperoleh dari kedua pasangan calon presiden.

Apalagi, debat bagi calon pemimpin telah menjadi keniscayaan dalam mencapai substansi demokrasi. Di sinilah ajang bagi publik yang secara terbuka akan mengakses performa calon pemimpinnya. Misalnya ada yang menampilkan kepemimpinan yang ”tegas dan cerdas”. Sementara di sisi lain juga menjual desain kepemimpinan yang ”jujur dan merakyat”. Sekiranya kedua komponen itu disatukan, diyakini setiap permasalahan bangsa akan terselesaikan lebih cepat. Tentu disadari, tidak selamanya kemampuan retorika di atas panggung bagi seorang pemimpin akan berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinannya. Dibutuhkan ketegasan dan kecerdasan memetakan permasalahan, termasuk pada kemampuan mengeksekusi permasalahan yang dibutuhkan rakyat. Tetapi itu belum cukup, harus dibarengi pula dengan keberanian dan kecepatan mengambil keputusan.

Visi Antikorupsi

Saat deklarasi kampanye berintegritas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai, bahwa magnitudo tantangan pemberantasan korupsi belum sepenuhnya dielaborasi dan dirumuskan secara utuh dan paripurna dalam visi-misi dua pasangan calon (Suara Merdeka, 9/6/2014). Maka itu, KPK membagikan buku kepada pasangan capres yang berisi pola pemberantasan korupsi yang komprehensif. Dalam debat kemarin, visi antikorupsi belum tergambar dengan baik, padahal negeri ini butuh determinasi yang progresif. Harapan ini bukan tanpa makna, sebab tingkat kedaruratan korupsi di negeri ini tidak cukup hanya ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Jikapun KPK telah menunjukkan kinerja yang menjanjikan untuk perbaikan ke depan, tetap saja bermunculan koruptor baru dari petinggi negara. Perlu elaborasi visi-misi capres, terutama pada upaya ”pencegahan”. Misalnya, bagaimana memperbaiki sistem hukum yang menurut Lawrence M Friedman terdiri atas substansi hukum atau isi peraturan hukum, struktur hukum atau pelaksana hukum dan pembentuk hukum, serta budaya hukum masyarakat. Tetapi dari ketiga komponen sistem hukum itu, yang paling bobrok adalah struktur hukum kita.Kita belum menemukan bagaimana kedua pasangan capres memperbaiki struktur hukum berupa pembinaan moral dan meningkatkan profesionalitas aparat hukum dan pembentuk undang-undang.

Ketiga komponen sistem hukum itu harus bersinergi dan tidak boleh salah satunya pincang karena dipastikan akan memengaruhi kualitas pemenuhan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Masih adanya upaya pelemahan KPK secara sistematis, baik melalui pembentukan opini publik, maupun cara yang lebih berbahaya dengan menggunakan proses legislasi di DPR, juga harus jadi atensi. Sebab Rancangan KUH Pidana dan Rancangan KUHAP yang saat ini di DPR dan di dalamnya terdapat pasal-pasal

Page 37: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

pelemahan KPK, seharusnya dijadikan fokus untuk memperkuat KPK.

Capres harus berani menyatakan akan mengevaluasi semua pasal yang mengancam kewenangan KPK, bahkan meminta kepada koalisi partai pendukungnya untuk menunda pembahasan kedua RUU itu di DPR sebelum pasal-pasal yang melemahkan KPK dihapus. KPK harus diperkuat dan dijaga integritas dan kewenangannya, sebagai langkah konkret dari keterusikan zona nyaman publik atas perilaku koruptor.

MARWAN MASGuru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar

Page 38: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Pesan Antikorupsi kepada Presiden 2014

Koran SINDO

Senin,  16 Juni 2014

KEGIGIHAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar kasus-kasus korupsi signifikan yang melibatkan penyelenggara negara setingkat menteri telah menambah daftar menteri, dirjen, dan kepala daerah korup sepanjang tahun 2013–2014.

Dari banyak kasus korupsi yang telah ditangani KPK dan kejaksaan, terbukti bahwa bidang perizinan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan tempat subur dan potensial penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Korupsi terjadi mulai dari hulu (perencanaan program) sampai dengan hilir (pelaksanaan program) dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah.

Maka pantas jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi sistemik dan meluas serta telah menghambat tujuan pembangunan nasional khususnya target pencapaian kesejahteraan manusia dan pembangunan infrastruktur. Kerugian negara yang bersifat masif melalui mafia proyek dan dikuatkan dengan kolaborasi penyelenggara negara yang tidak amanah dan bertanggung jawab sekalipun telah dicokok KPK dan Kejaksaan, tetap saja tidak bergeming karena masih kuat anggapan semua bisa dibeli dengan uang.

Beperkara sekalipun, terutama dalam lingkup penyidikan dan penuntutan, bahkan pada tingkat pemeriksaan perkara di pengadilan, masih dipandang rentan suap dan gratifikasi sehingga mengurangi efek jera yang signifikan untuk mereda atau menghentikan syahwat duniawi aparatur penyelenggara negara.

Kondisi parah integritas penyelenggara negara harus dijadikan momentum presiden terpilih 2014 untuk segera menyusun strategi pemutarbalikan mindset dan sikap mental kinerja aparatur penyelenggara negara termasuk aparatur penegak hukum secara berencana, berkesinambungan dan konsisten. Perubahan strategi antikorupsi berbasis tujuan retributif-represif harus diimbangi dengan tujuan berbasis restoratif-preemptif dan preventif.

Jika selama ini pemenjaraan dijadikan ikon sukses penegakan hukum maka kini dan sejak 2014 ikon ke depan adalah pemulihan kerugian negara oleh pelaku dan ganti rugi kepada korban, baik perorangan, kelompok maupun korporasi. Strategi ini harus dijadikan pilihan alternatif yang diharapkan dapat memulihkan situasi sosial ekonomi Indonesia secara utuh. Perubahan strategi ini merupakan pilihan yang telah berhasil juga diterapkan di negara-negara maju.

Namun dengan catatan bahwa untuk Indonesia, alternatif strategi tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta perubahan mindset dan sikap

Page 39: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

pelaksananya khususnya petinggi hukum termasuk petugas Polri, jaksa, dan hakim.

Sebagai contoh, jika biaya perkara korupsi di Kejaksaan Agung atau di KPK sekitar Rp100 juta, tentu arah dan sasarannya harus perkara korupsi dengan nilai di atas Rp 100 juta sehingga penanganan perkara korupsi dapat memberikan nilai tambah bagi keuangan negara; tidak sebaliknya.

Dalam konteks ini, efek jera bukan satu-satunya solusi keberhasilan penanganan korupsi, melainkan agar negara tidak dirugikan dua kali dalam perkara yang sama; kerugian pertama, akibat perbuatan pelaku, dan kerugian kedua, karena uang yang dapat dikembalikan kepada negara justru jauh lebih rendah dari biaya perkara yang disediakan dalam APBN.

Bagi kaum retribusionis, tentu gagasan strategi ini tidak sesuai dengan filosofi dan misinya. Akan tetapi karakter pidana abad pertengahan tersebut seharusnya disesuaikan dengan perubahan karakter pidana abad ke-20 dan ke-21 memasuki gelombang ekonomi internasional.

Selain pertimbangan tersebut, karakter mental bangsa Indonesia sangat dipengaruhi juga secara tradisional oleh gaya hidup dan perilaku pemimpinnya baik tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi dan tingkat nasional termasuk seluruh petinggi K/L dan penegakan hukum.

Lihat saja bagaimana pemimpin Singapura dapat mengubah sikap perilaku rakyatnya yang awalnya tidak menghargai kebersihan dan kejujuran kini tampak berhasil membalikkan keadaan sosial tersebut karena gaya hidup dan perilaku pemimpinnya. Begitu pula Hong Kong dan Selandia Baru atau Skandinavia.

Perubahan strategi antikorupsi yang saya usulkan berhasil/tidaknya dapat dipengaruhi politik perdagangan Indonesia ke depan yang seharusnya membatasi impor barang-barang mewah secara selektif dan terkendali. Khusus barang-barang mewah adalah yang dapat mengubah sikap mental konsumerisme kepada hidup hemat dan produktif. Antara lain dengan cara meningkatkan kreativitas pengusaha pribumi dengan produk lokalnya dan berkualitas ekspor yang dapat memberikan kontribusi devisa negara dibandingkan dengan menghabiskan devisa untuk membayar hutang luar negeri.

Perubahan lain yang bersifat strategis adalah melakukan kajian perundang-undangan khusus berkaitan dengan pemberantasan korupsi untuk mencapai tujuan hukum berbasis kepastian hukum yang berkeadilan yang dilaksanakan dengan hati-hati, objektif, lugas dan tuntas, dan sejauh mungkin tidak menyisakan celah multitafsir di kalangan pelaksananya.

Semua perundang-undangan pidana administratif harus dirumuskan dengan tetap mengedepankan sanksi administratif dan hukuman terberat hanya hukuman kurungan dan denda saja. Untuk perundang-undangan pidana khusus (lex specialis) harus ditetapkan standar minimum khusus sesuai dengan pedoman dalam UNTOC 2000 dan maksimum

Page 40: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

pidana penjara 20 tahun dan pidana denda yang tinggi khusus terhadap korporasi dilengkapi dengan pidana tambahan (pencabutan izin usaha dan penyitaan) serta dihapuskannya pidana mati sesuai dengan ICCPR.

Perubahan strategi di atas harus diselesaikan dalam waktu paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun sejak pembentukan kabinet pemerintahan 2014.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Page 41: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 42: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Harapan atau Hiburan?

Kamis,  19 Juni 2014

PENGUNJUNG transisi menuju demokrasi adalah situasi yang khas: ekspektasi akan hidup yang lebih baik kian membuncah tapi pada saat yang sama energi dan euforia –bahkan kesabaran– sudah menyurut.

Fase pungkas transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang ditempuh dengan ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. Dalam tahap ini diperlukan pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendorong rakyat, agar mau melangkah lagi agar tujuan transisi, yaitu demokrasi yang sejati dapat tercapai. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Pemilu demokratis sudah tiga kali kita lewati dan kini kita tengah melaksanakan pemilu demokratis keempat dengan ekosistem politik yang jauh lebih stabil.

Kita telah berusaha merumuskan arah yang ingin dituju agar transisi ini tidak menjadi jalan berputar atau –malah lebih parah– berputar-putar tanpa arah. Tantangan itulah yang coba dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen UUD 1945 pasca-Reformasi. Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan mempertegas alasan kehadiran (raison d'etre) Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi semua warga bangsa yang berlindung dalam naungannya.

Dalam perjalanannya, cetak biru itu harus berdialektika dengan realitas dan ekspektasi yang terus berubah. Kini kita harus menjaga stamina agar negara dan warganya tidak kehabisan tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi karena janji perbaikan hidup sebagian belum terwujud.

Karena itu, kita harus bekerja bersama menuntaskan transisi demokrasi dan menghindarkan Indonesia dari jebakan transisi berkepanjangan (prolonged transition), di mana nilai dan sistem lama telah dihancurkan namun nilai dan sistem baru belum terbangun, atau belum mampu menghasilkan kehidupan lebih baik sebagaimana yang dijanjikan.

Jebakan transisi berkepanjangan ini membutuhkan pemimpin yang mampu memecah kebuntuan situasi sekaligus menjaga api harapan tetap menyala untuk mencapai garis tujuan.

Demokrasi “Media-Sentris”

Kita tengah berada di era “demokrasi melalui media” di mana media memegang peran penting dalam mentransmisikan pesan ke dan dari masyarakat. Media telah menghablurkan batas antara realitas yang kita alami sendiri dan realitas yang kita serap dari media. Hari ini orang yang tidak tinggal di Jakarta bisa bercerita tentang macetnya Jakarta akibat

Page 43: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

pengetahuan yang diserapnya dari media.

Ini juga yang mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena media tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi (mewakilkan hadirnya) realitas ke depan khalayak. Menurut ahli kajian media David Buckingham (2010), media tidaklah menawarkan jendela bening tembus pandang untuk melihat “dunia", namun menghadirkan sebuah “dunia” dalam versi yang telah dimediasi.

Media bukan menyediakan kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga kita beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak di luar akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media (terutama televisi/tv) adalah “menonton dan ditonton” dengan dikotomi peran pasif-aktif yang semakin kabur, terutama dalam konteks pemilihan umum.

Penonton yang selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, dalam politik menjadi berdaya karena dialah pemilik suara yang diperebutkan. Sementara, para tokoh politik yang diimajikan berkuasa, sebenarnya sedang memainkan pertunjukan yang naskahnya didiktekan oleh massa rakyat melalui survei opini publik. Dalam situasi “media-sentris" seperti ini, sangat mudah orang terjebak untuk menjadi penghibur bagi penonton.

Tokoh-tokoh politik menyajikan tontonan yang menyenangkan hati penontonnya, melalui suatu pertunjukan buatan. Apa yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda makna dan motivasinya dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX keliling Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau memberi tumpangan kepada seorang mbok pasar.

Ketika sampai di pasar, orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya tumpangan adalah Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media yang meliput, tapi cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik, nyata, bukan pertunjukan. Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun kemudian melalui buku Takhta Untuk Rakyat.

Karena dikendalikan dengan logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak untuk menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak terelakkan karena dalam demokrasi media-sentris, durasi, jam tayang, prime time, sound byte menjadi indikator utama. Pesan pemimpin dikemas mirip iklan yang renyah dan berdimensi tunggal agar mudah diingat tanpa elaborasi yang mendalam.

Gagasan Pemimpin

Di tengah arus media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan pemimpin secara mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan budaya instan berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang membuat kita tertawa sejenak meskipun masalah tetap menggunung.

Page 44: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Pemimpin penghibur tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena yang ditawarkan adalah keceriaan sesaat dan tanpa memikirkan bagaimana besok atau lusa. Pemimpin penghibur tidak menawarkan masa depan karena yang penting baginya adalah hari ini. Pemimpin penghibur juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari tontonan lain yang lebih menghibur.

Mirip logika rating dalam industri sinetron. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin penghibur atau pemimpin sinetron. Kita sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah bersiap untuk naik kelas dari negara skala menengah menjadi negara kuat dalam ukuran ekonomi dan pengaruh geopolitik.

Kondisi itu akan tercapai jika kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan menghasilkan negara bangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah pemimpin penyala harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih baik akan datang jika kita mau bekerja keras, bukan dengan tertawa-tawa sejenak.

Peran penting pemimpin adalah menciptakan “state of mind” atau situasi psikologis di dalam masyarakatnya dengan cara melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang menggerakkan orang dari kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama yang lebih tinggi. (JW Gardner, 1988). Kita membutuhkan lebih banyak ruang lagi untuk mendengarkan gagasan pemimpin untuk mendapat harapan, bukan hiburan.

ANIS MATTAPresiden Partai Keadilan Sejahtera

Page 45: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 46: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

KPK Wajib Membayar Kerugian Rp100 Juta

Majelis hakim agung Tata Usaha Negara RI memutuskan KPK terbukti menyalahgunakan wewenang dalam menyita harta kekayaan mantan hakim terpidana Syarifudin.

Ketika membaca berita itu seketika saya terhenyak karena serasa mustahil KPK yang terdiri atas manusia terpilih dan berintegritas serta profesional, tiba-tiba terbukti telah bertindak melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan. Bak pepatah tiada gading yang tak retak dan pengakuan bahwa manusia selalu tidak luput dari kekeliruan atau kesalahan, itu merupakan penghibur kekecewaan kita terhadap kinerja pimpinan KPK terkait putusan majelis hakim agung dalam perkara TUN ini.

Namun, bagi KPK sebagai lembaga ”superbody” dan memiliki kewenangan luar biasa–antara lain dapat bertindak sendiri tanpa izin (pengawasan) pengadilan– putusan kasasi dalam perkara TUN tidak dapat diremehkan dan dianggap sepele. Apalagi, menilai putusan tersebut ditengarai keliru atau dikriminalisasi ”miscarriage of justice”; justru sebaliknya harus dijadikan bahan introspeksi bagi kelima pimpinan KPK dan bahan evaluasi atas kinerja bawahan mereka: deputi dan direktur.

Jika perlu dibentuk majelis kode etik dan perilaku oleh kelima pimpinan KPK, sekalipun setiap langkah dan pengambilan keputusan dalam lingkup tugas dan wewenang KPK selalu harus memperoleh persetujuan kelima pimpinan KPK.

Tidak ada keengganan bagi kelima pimpinan KPK sesuai dengan UU KPK yang mewajibkan untuk secara terbuka (transparan) mempertanggungjawabkan kepada publik, dan mengakui telah terjadi kekeliruan dalam menetapkan kebijakan, termasuk tindakan perampasan harta kekayaan terdakwa mantan hakim Syarifudin. Apalagi putusan kasasi dalam perkara ini tidak menghalangi eksekusi sekalipun pimpinan KPK memutuskan untuk mengajukan PK.

***

Konsekuensi hukum putusan kasasi dalam perkara TUN ini memaksa KPK melaksanakan eksekusi. Pertanyaannya, siapa yang harus melaksanakan eksekusi, jaksa pada KPK? Persoalan kedua, jika putusan kasasi harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang tanpa peduli akan pengajuan upaya hukum PK; uang dari mana yang harus dikeluarkan KPK karena tidak ada pos khusus anggaran belanja KPK untuk membayar denda atau ganti rugi.

Apakah kelima pimpinan KPK harus tanggung renteng berdasarkan asas kolektif kolegial dengan mengeluarkan dari kocek masing-masing sebesar Rp20 juta? Kekecewaan saya dalam konteks putusan MA tersebut karena peristiwa ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah perjalanan KPK sejak didirikan pada 2003.

Page 47: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Hal kedua yang menarik untuk disampaikan kepada publik ialah siapa eksekutor putusan MA tersebut karena KPK tidak memiliki jaksa/penuntut bidang tata usaha negara, kecuali kejaksaan agung, akan tetapi apakah dimungkinkan jaksa TUN melakukan eksekusi untuk kepentingan perorangan (terpidana)? Jaksa KPK hanya berwenang antara lain melaksanakan eksekusi atas putusan dalam perkara pidana.

Namun, hukum adalah hukum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (putusan kasasi tidak menunda eksekusi) serta siapa pun atau setiap lembaga negara, termasuk KPK, wajib tunduk dan mematuhi putusan pengadilan.

Ke depan, kelima pimpinan KPK harus sangat berhati-hati menggeledah dan menyita harta kekayaan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang karena integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas lembaga ini menjadi taruhannya di hadapan 250 juta rakyat Indonesia; dan itulah yang selalu saya ingatkan kepada KPK melalui berbagai tulisan saya.

***

Prinsip perlakuan hukum yang sama di muka hukum (equality before the law), termasuk bagi setiap lembaga penegak hukum, termasuk KPK, tetap harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam konteks ini saya dapat katakan bahwa prinsip ”zero tolerance against abuse of power” sama pentingnya dengan prinsip ”zero tolerance against corruption”.

Karena harkat dan martabat kelima pimpinan KPK sama penting kedudukannya dengan pengakuan atas harkat dan martabat seseorang sekalipun terpidana sebagai manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pengetahuan saya, gugatan terhadap KPK juga pernah terjadi dalam putusan pengadilan yang telah merampas harta kekayaan mereka yang diduga turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan didakwa bersama pelaku (dader) tetapi terhadap mereka yang turut serta tidak pernah dijadikan tersangka (tanpa sprindik– surat perintah penyidikan), apalagi dilimpahkan kepada pengadilan sebagai terdakwa.

Peristiwa ini kemudian dipandang sebagai perampasan tanpa dasar hukum yang berlaku sekalipun perintah majelis pengadilan atau telah terjadi perampasan atas hak atas harta kekayaan secara sewenang-wenang atau miscarriage of justice yang dilakukan pengadilan yang merujuk kepada tindakan penyitaan yang telah dilakukan KPK.

Menurut hemat saya, pimpinan KPK wajib mengambil langkah-langkah eksaminasi bersama meneliti kembali semua prosedur dan langkah hukum yang telah dilaksanakan dalam beberapa perkara korupsi lampau. Lalu pimpinan KPK segera menerbitkan SOP baru untuk mencegah peristiwa ini terjadi kembali.

Langkah ini penting karena KPK telah menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam

Page 48: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

pemberantasan korupsi, bukan pada output semata-mata, melainkan juga harus dibenarkan dari sisi prosedur. Dunia hukum dan dalam praktik diharamkan bekerja atas dasar tujuan menghalalkan cara, kecuali bagi dunia ilmu ekonomi.

Karena disiplin hukum selalu bekerja di atas landasan ”value oriented” bukan ”mechanistic oriented”. Karena objek perbuatan yang dilarang dalam hukum ditujukan terhadap manusia sesama subjek hukum dalam kehidupan masyarakat, bukan manusia sebagai objek (perlakuan) hukum. ●

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung

Page 49: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 50: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Pilpres

Koran SINDO

Senin,  23 Juni 2014

TIADA terasa sekitar satu setengah tahun lagi penduduk di kawasan Asia Tenggara akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Bila tidak ada perubahan lagi, MEA akan efektif 1 Januari 2016. Namun hingga kini tidak terlihat jelas bagaimana Indonesia secara khusus mempersiapkan diri.

Hal yang terlihat jelas justru ketiadaan inisiatif pemerintah secara sistematis menghadapinya demikian pula masyarakat. Geliat semangat menyongsong MEA secara hakiki itu tidak hadir dalam keseharian bangsa Indonesia. Sepertinya tidak ada yang berubah ada atau tidak MEA 2015.

Bila demikian, apakah menjadi sebuah masyarakat ASEAN itu relevan dan penting bagi negara di Asia Tenggara dan negara lain di kawasan yang lain? Pertanyaan retoris itu semestinya tidak membuat kita terlena menjadikannya tanpa makna.

Sebagai sebuah proses menjadi suatu kesatuan di kawasan, regionalisme yang didorong negara (state-led process) ini sudah separuh jalan. Negara yang begitu banyak urusannya memenuhi kebutuhan penduduknya secara domestik dengan berdiplomasi di luar negeri sepertinya sudah kewalahan.

Akibatnya, bisa dimengerti bahwa menjadi MEA seperti apa, langkah apa yang harus dilakukan hingga menyampaikan apa yang sudah dikerjakan kepada seluruh pemangku kepentingan pun kurang efektif. Lalu apa yang harus dilakukan agar tidak sekadar sumpah serapah yang keluar dari para pemangku kepentingan yang tiada guna.

Regionalisasi

Dalam khasanah literatur hubungan internasional dikenal istilah regionalisme dan regionalisasi dalam integrasi kawasan. Secara sederhana beda antara keduanya terletak pada siapa yang menjadi inisiator dan fasilitator proses integrasi tersebut.

Regionalisme didorong negara (state-led process), sedangkan regionalisasi didorong oleh aktor non-negara (nonstate- led process). Ketika negara terlalu ”sibuk” dengan berbagai urusan sehingga kehadirannya kala dibutuhkan tidak terasa, inisiatif dari swasta (perusahaan), akademia, pers, lembaga sosial kemasyarakatan maupun nirlaba hingga individu menjadi penting.

Page 51: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Caranya dengan melakukan sesuatu dalam kapasitas masing-masing dengan bentuk aktibitas, cakupan, dan kedalaman program yang bisa dilakukan. Aktivitas mendasar yang bisa mengawali adalah dengan mencari tahu dan menjelaskan kepada khalayak di sekitar kita tentang hakikat MEA dan dampaknya.

Institusi resmi seperti Sekretariat ASEAN, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dapat dijadikan rujukan awal. Paling tidak mereka memiliki dokumen-dokumen resmi standar atau dasar tentang ASEAN dan komunitas ASEAN yang otoritatif.

Namun kadang bentuknya kaku, kurang menarik, dan monoton. Akibatnya esensi pesan kurang dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, dengan materi standar, sedangkan spektrum masyarakat yang dituju sangat beragam, menjadi semakin sulit menyampaikan pesan secara tepat.

Untuk itu, perlu media yang tepat dan cara komunikasi yang efektif kepada berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasi ini. Pertanyaan lain, bagaimana kita memaknai pilpres yang strategis ini dengan kesiapan Indonesia menghadapi MEA?

Pilpres

Saat ini bangsa Indonesia sedang bereuforia dalam pesta demokrasi memilih presiden untuk masa lima tahun ke depan. Momen ini sangat krusial. Kita bersama sembilan negara ASEAN akan menyongsong MEA 2015. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan menorehkan sejarah membawa Indonesia berkontribusi bahkan siap memimpin ASEAN. Bila dipelajari dari visi misi dua capres, masih terlihat minim perhatian pada kebijakan luar negeri. Apalagi yang secara spesifik membahas ASEAN.

Dalam membedahnya dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, platform kebijakan luar negeri mereka. Pasangan Jokowi-JK menginginkan Indonesia menjadi kekuatan menengah (middle power) dan memegang kendali sebagai kekuatan regional yang disegani. Adapun platform pasangan Prabowo-Hatta adalah fokus pada kebijakan luar negeri bebas aktif.

Kedua , kebijakan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari faktor idiosinkrasi presiden. Faktor ini diartikan sebagai berbagai atribut personal yang melekat pada diri pribadi presiden. Contohnya karakter, cara berpikir, kebiasaan, budaya, kepercayaan, dan nilai-nilai yang diyakini serta sifat-sifat pribadi lainnya sebagai manusia.

Bila dibandingkan, kedua capres memiliki perbedaan yang mendasar dilihat dari sisi yang diperlihatkan di depan publik dan sisi yang sebenarnya. Capres Prabowo berusaha memunculkan citra sebagai macan Asia yang tegas, asertif, disegani. Ia muncul sebagai antitesis atas kepemimpinan Presiden SBY yang relatif lebih tenang, kalem, hati-hati, cenderung tidak decisive sehingga jauh sekali dari karakteristik seorang yang memiliki latar belakang militer.

Page 52: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Adapun capres Jokowi menampilkan gaya yang apa adanya, sederhana, dan berusaha menampilkan bahwa dirinya memiliki atau merepresentasikan rakyat yang sebenarnya di tingkat akar rumput. Bukan figur superhero dan orang yang sempurna. Walau demikian, ia memperlihatkan sosok yang mampu bekerja konkret dengan hasil yang jelas.

Dengan faktor idiosinkrasi dari kedua capres, keduanya memiliki tantangan yang sama untuk ”memimpin” negara-negara ASEAN. Kepemimpinan yang mampu memberikan contoh- contoh kerja konkret di dalam negeri akan semakin disegani di luar negeri. Bukan kepemimpinan yang memunculkan rasa kekhawatiran dan mengancam negara-negara lain di kawasan ini. Ingat, di kawasan Asia Tenggara berlaku ASEAN Way yang suka atau tidak masih tetap berlaku.

TIRTA N MURSITAMA, PHD Ketua Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta; Plt Ketua Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)

Page 53: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 54: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

GBHN dalam Perspektif Social Order

Koran SINDO

Rabu,  25 Juni 2014

WACANA formulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali digulirkan melalui seminar nasional, diselenggarakan sebuah universitas di Jakarta beberapa waktu kemarin. Saya diundang sebagai salah satu pembicara.

Beberapa pemikiran pernah saya sampai pada acara serupa di Yogyakarta tahun 2012. Saya berharap wacana ini tidak berhenti sebagai wacana belaka, tetapi ditindaklanjuti oleh rezim pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Pada dimensi politik, pro dan kontra tentang wacana reformulasi GBHN sudah lumrah. Masing-masing mengklaim benar sesuai logika politiknya. Kebenaran pernyataan politik umumnya tergantung besar-kecil atau kuat-lemahnya kekuatan politik.

Kalau perspektif politik dibiarkan mendominasi aktivitas pemerintahan dan menggeser perspektif lain, sangat dikhawatirkan kelangsungan kehidupan bernegara menjadi tidak sehat, dan tercapainya tujuan bernegara pun, terganggu. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dari perspektif social order, penting dihadirkan, agar nantinya GBHN memiliki legitimitas dan legalitas.

GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara, sebagai representasi seluruh rakyat.

Penjabarannya, dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Definisi itu perlu disepakati, sebagai titik tolak menyamakan persepsi, agar pembicaraan mengenai GBHN tidak simpang siur. Dalam perspektif social order, GBHN merupakan ”pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu”.

Di dalamnya ada filsafat keterkaitan sistemik antara GBHN dengan basis sosialnya. Artinya, perencanaan kehidupan masa depan bangsa, wajib memperhatikan aspirasi rakyat dan dinamika sosial. GBHN merupakan sarana memanusiakan (nguwongke) rakyat Indonesia dalam rangka pertanggungjawaban sosial penyelenggaraan negara.

Oleh karena itu dibutuhkan analisis sosial, agar aspirasi dan dinamika sosial terakomodasi dengan baik. Terkait dengan dinamika sosial, GBHN cukup memuat sari pati substansi ide-ide segenap komponen bangsa dalam garis-garis besarnya saja, agar pemikiran dan aspirasi rakyat yang terus berkembang dapat diakomodasi dengan mudah.

Page 55: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Dalam terminologi sistem hukum (Friedman, 2009), substansi hukum (GBHN) perlu dipadukan dengan struktur hukum, dan kultur hukum, berupa ”semangat” penyelenggara negara untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.

Oleh karena itu, program penyusunan sistem hukum nasional perlu digarap secara terpadu dengan GBHN. Ke depan, GBHN hendaknya merupakan karya moral akademik-intelektual negarawan, bukan sekadar karya politikus.

Idealnya, GBHN disusun atas dasar platform ideologi Pancasila, dalam rangka mencapai tujuan negara, yakni: ”... membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”

Inilah dimensi teologisnya. GBHN, hendaknya sudah menggambarkan tentang sistem hukum nasional, memuat pokok-pokok lembaga negara permanen dan norma hukum operasional, sebagai penerjemahan asas-asas hukum berdasarkan ideologi Pancasila.

Sudahkah pemerintahan kita melibatkan rakyat dalam penyusunan GBHN? Beberapa fakta di bawah ini, menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, pada era Orde Lama, istilah GBHN belum dikenal, tetapi ada istilah sejenis yang maknanya sama yaitu undang-undang pembangunan nasional semesta berencana.

Untuk mempersiapkan UU tersebut, dibentuklah Dewan Perancang Nasional berdasarkan UU No 80 Tahun 1958. Pada Pasal 3 ayat (2) diatur ”Dewan Perancang Nasional menyusun rencana pembangunan nasional dengan memperhitungkan pembangunan segala kekayaan alam dan pengerahan tenaga rakyat serta meliputi segala segi penghidupan bangsa Indonesia dalam bentuk rancangan undang-undang pembangunan”.

Pada Pasal 9 diatur: “Para Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari orang-orang ahli yang memiliki hasrat dan semangat pembangunan sesuai dengan jiwa bagian pertimbangan undang-undang ini dan terbagi atas: sarjana, ahli ekonomi, ahli teknik, ahli budaya dan sarjana-sarjana lain yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang yang dapat mengemukakan soal-soal pembangunan di daerah Swatantra Tingkat I dan yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang dari golongan-golongan fungsional yang ahli dalam soal-soal pembangunan; pejabat-pejabat sipil dan militer yang ahli dalam soal-soal pembangunan.” Keterlibatan berbagai unsur masyarakat, merupakan cermin adanya sistem pemerintahan yang akomodatif terhadap kehendak rakyat.

Kedua, pada era Orde Baru, berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 (pra-amendemen) pembuatan GBHN dilakukan MPR, suatu majelis yang merepresentasikan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Page 56: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

MPR merupakan miniatur kedaulatan rakyat dan bangsa Indonesia. Karena hakikat pembangunan sendiri merupakan peningkatan kualitas dan derajat kehidupan seutuhnya dari seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk operasional GBHN adalah Rencana Pembangunan Nasional. Walaupun keterlibatan rakyat tidak langsung, komposisi keanggotaan MPR waktu itu cukup memberikan ruang lebar bagi rakyat terlibat di dalam kegiatan itu.

Ketiga, pada era Reformasi, GBHN tidak dikenal. Orde Reformasi memiliki semangat politik dan cara pandang tersendiri terhadap MPR dan GBHN.

Melalui amendemen UUD 1945, MPR tidak diamanatkan menetapkan GBHN. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Diselenggarakan desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Perencanaan pembangunan dianggap cukup ditumpukan pada visi-misi presiden-wakil presiden.

Secara empiris, visi-misi presiden-wakil presiden selama ini tidak mampu mengantarkan bangsa ini semakin dekat dengan cita-citanya bernegara. Debat capres-cawapres, betapapun bagus dari perspektif keterbukaan informasi, namun belum menunjukkan jati diri negarawan dan karakter kepemimpinan pancasilais.

Rakyat diposisikan sebagai penonton, objek, dan tidak pernah menjadi subjek dalam bernegara. Sembari menunggu kehadiran pemerintahan baru, yuk, kita pikirkan bersama, kembalinya lembaga tertinggi negara MPR dan GBHN sebagai satu kesatuan. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSIGuru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 

Page 57: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 58: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Pendidikan Pemilih lewat Debat

Setelah melalui babak ketiga debat calon presiden (capres), wajar bila kita bertanya sejauh manakah program tersebut memberikan kontribusi positif pada para pemilih. Ada dua pandangan yang berkembang di sini. Pertama, yang menganggap debat adalah medium untuk mendidik pemilih tentang visi, misi, dan program capres. Kedua, yang menganggap debat adalah ajang unjuk kebolehan bicara dan menggalang dukungan.

Berdasarkan perkembangan suasana di Indonesia, yang terlihat menguat adalah pandangan yang kedua. Di media dan jejaring sosial, yang beredar dan menajam adalah spekulasi-spekulasi seputar kepribadian dan gaya kepemimpinan para capres. Yang satu dipandang lebih tegas, yang lain lebih merakyat. Dosa dan kelemahan pribadi menjadi komoditas diskusi yang seakan tak berujung; masing-masing kubu terus melemparkan tudingan akan keinginan menyudutkan pasangan lain.

Ada pengamat yang melihat hal ini sebagai tak terhindarkan. Alasannya karena debat di TV mengandung unsur hiburan (entertainment), sehingga selain penonton tak bisa diarahkan untuk mencermati substansi debat, penonton tergoda untuk mengomentari cara tersenyum, pilihan busana, pilihan kata, bahkan bahasa tubuh capres. Betulkah rata-rata masyarakat Indonesia memang baru punya kemampuan berdemokrasi yang “segitu” saja? Benarkah debat capres di TV lebih sebagai hiburan belaka? Tentu jawabnya membutuhkan studi kuantitatif seperti survei yang lebih sistematis. Tapi mari kita awali dengan mengeksplorasi sejumlah hal yang ikut menentukan penilaian dalam studi macam itu.

Debat capres hanya dimungkinkan dalam konteks demokrasi di mana pemimpin dipilih oleh rakyat melalui pemungutan suara yang damai dan tanpa pemaksaan pada individu pemilih. Dengan diadakannya debat, ada pengakuan dari otoritas pemilu bahwa para capres punya kualifikasi yang membedakan satu dengan lainnya sehingga perlu dikenali oleh khalayak luas. Pembedaan capres ini demikian pentingnya sehingga cara konvensional seperti memasang poster atau menyebarkan flyer visi-misi dan program saja dianggap tidak cukup informatif bagi pemilih.

Hal ini sangat relevan dalam konteks tema yang menjadi pilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk forum debat capres. Semua isu yang disoroti: politik, ekonomi, politik internasional dan pertahanan, sumber daya manusia dan iptek, serta pangan dan energi, adalah hal-hal yang kompleks dan relatif sulit dicerna oleh masyarakat umum. Melalui debat, masyarakat diharapkan dapat lebih mengenal situasi yang berkembang dan apa saja hal-hal yang menurut capres wajib dilakukan atau dihindari Indonesia dalam waktu-waktu ke depan. Dari situlah muncul kewibawaan, kecerdasan, kebijaksanaan seorang pemimpin. Harapannya demikian.

Apa daya, forum debat bisa juga berkembang ke arah orasi yang miskin substansi. Jika

Page 59: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

masing-masing capres semata mencari zona aman supaya tidak “dikejar” oleh kubu lawan untuk memberi penjelasan lebih detail, penonton berhadapan dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Alhasil, yang lahir adalah sederet asumsi dan spekulasi. Di lapangan, ketika asumsi dan spekulasi tersebut tak bisa dijelaskan oleh para pendukung maka gesekan fisik antarmasyarakat akan menjadi risiko buruk demokrasi. Saya melihat masyarakat Indonesia masih dalam tahap “dipaksa” untuk puas pada orasi yang miskin substansi.

Format debat dibatasi sedemikian rupa sehingga kecil sekali ruang untuk mendalami isi kepala dan hati capres. Hal ini dimaklumi juga karena waktu kampanye capres terbilang sangat singkat. Di negara-negara demokrasi Barat, ada waktu 6–11 bulan untuk para calon pemimpin menggembleng isi kepala dan hatinya. Yang bertumbukan bukanlah tim sukses ataupun kubu pendukung, tetapi para calon pemimpin yang berlaga. Jadi tidak ada istilah “pagar betis” ketika adu pemikiran sebagai calon pemimpin. Ini beda sekali dengan di Indonesia. Para capres kita lebih terlihat sebagai kasta tertinggi yang patut dipagari sedemikian sengit oleh para pendukungnya.

Tak secuil pun kelemahan gagasan mereka boleh untuk dibahas lebih lanjut oleh publik. Inilah yang sebetulnya menempatkan forum debat di Indonesia sebagai sekadar hiburan dan bukannya sebagai media pendidikan pemilih. Artinya apabila para pasangan capres/cawapres tidak menganggap debat politik sebagai sebuah debat substantif yang ideologis maka dari mana mereka berharap mendulang suara? Tak heran konflik SARA menajam, kelemahan personal dan kampanye kotor ditemui di sana sini.

Dalam negara yang telah menjalankan demokrasi yang maju, hal ini juga terjadi dan bahkan lebih kasar namun para elite partai tetap menjaga koridor etik berpolitik karena mereka yakin bahwa sekali masyarakat tidak cerdas maka semakin kecil kemungkinan mereka terpilih. Perlu dipahami bahwa lebih sulit dan “mahal” menggalang dukungan dari pemilih yang tidak bisa diajak berpikir. Selain mudah diprovokasi, mereka rentan disuap. Jika Indonesia mau bertahan dalam persaingan global, ide dan program-program yang berkembang di Indonesia pun harus bisa dipertanggungjawabkan dan disandingkan dengan ide dan program-program bangsa lain.

Itulah sebabnya mustahil kita bicara soal menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6%, disegani dalam pergaulan dunia, menjaga kedaulatan negeri, mencegah kebocoran aset negara ke luar negeri, menjadi poros maritim dunia, atau melindungi tenaga kerja Indonesia tanpa bicara tentang apa saja yang selama ini dikembangkan negara-negara lain dan harus direspons oleh Indonesia. Apa pun yang akan dikembangkan oleh Indonesia tidak bisa keluar dari konteks maupun etika regional, global maupun relasi bilateral yang berlaku. Artinya sebagai pemilih kita perlu tahu apakah capres pilihan kita paham cara-cara terbaik mengembangkan relasi yang menguntungkan dengan negara-negara lain?

Apakah mereka paham seni meraih sukses buat Indonesia? Di luar pendapat para tim sukses yang menyatakan capres mereka menguasai panggung debat capres, bagi para pemilih yang memahami tema pertahanan dan politik internasional, pemaparan Prabowo Subianto dan Joko

Page 60: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Widodo dapat disimpulkan saling melengkapi ketimbang membedakan. Prabowo bicara di tingkat makro atau visi, Jokowi bicara di tingkat mikro (misi dan rencana). Prabowo cenderung bicara tema ketahanan, Joko Widodo bicara di kebijakan politik luar negeri.

Persepsi publik terbentuk lebih karena kelemahan masing-masing untuk tidak melakukan diferensiasi garis politik dan ideologi terhadap lawan debat yang sebetulnya dapat mendidik para pemilih yang masih bimbang (swing voter) untuk menentukan sikap. Pembedaan konsep yang digagas masing-masing capres tampaknya masih bertolak dari gagasan normatif tentang Indonesia di masa depan dan lantas diturunkan ke dalam program kerja dan bukan dari masalah apa yang ada di depan mata dan apa strategi yang perlu dijalankan.

Meski demikian, saya juga menyadari keinginan untuk menghadirkan debat capres yang berkualitas terkait dengan beberapa pihak mulai dari KPU hingga para politisi di belakang para capres. Namun demikian, sebagai pemilih, kita berhak bertanya kepada para penyelenggara dan peserta pemilu tentang “pasar” pemilih macam apa yang ingin mereka ciptakan melalui proses pemilihan presiden saat ini. Apakah mereka cukup puas mengikuti arus pasar yang lebih peduli dengan jargon/gimmick atau perdebatan yang sifatnya menciptakan pasar pemilih yang cerdas?

DINNA WISNU, PhDCo-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

Page 61: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 62: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Purnawirawan TNI Tak Kompak Lagi

Selama ini banyak yang mengagumi spirit korps anggota TNI baik yang purnawirawan, apalagi yang masih aktif. Soliditas sesama anggotaTNIdinilai kukuh, tidak runtuh oleh kondisi apa pun. Namun sepanjang tahapan Pilpres 2014 ini, publik dikejutkan dengan manuver para purnawirawan TNI yang sangat luar biasa dan sulit untuk tidak ditafsirkan penuh nuansa politik.

Adalah anggota tim kampanye Prabowo Subianto, Mayjen (purn) Kivlan Zen yang mengingatkan para purnawirawan lainnya untuk berhenti menyudutkan Prabowo Subianto. Ungkapan- ungkapan para jenderal purnawirawan yang ada di kubu Joko Widodo (Jokowi) yang menghujat Prabowo dan dilawan oleh purnawirawan kubu Prabowo jelas mengagetkan banyak orang. Salah satu alasannya karena selama ini TNI dikenal memiliki doktrin, jiwa kesetiakawanan, serta kekompakan di atas rata-rata profesi lain.

Penyebab Terbelah

Publik meyakini bahwa ketidakkompakan para tentara ini hanya terjadi di kalangan purnawirawan jenderal saja, tidak terjadi terhadap anggota TNI aktif. Diyakini bahwa para anggota TNI aktif tidak terlalu berpengaruh akibat ”perseteruan” antar para purnawirawan ini. Pernyataan- pernyataan para perwira tinggi TNI aktif secara tegas atau mengisyaratkan tidak terpengaruh sama sekali akibat perseteruan para seniornya itu. Namun demikian, sebagian publik tidak juga dengan mudah memastikan faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya ketidakkompakan di kalangan purnawirawan TNI ini. Tapi berbekal berbagai berita dan cerita dapat dikira-kira faktor penyebabnya.

Diyakini bahwa penyebab utama ketidakkompakan para purnawirawan jenderal TNI ini, jika bukan satu-satunya, disebabkan majunya Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2014, sementara tidak semua jenderal purnawirawan mendukung Prabowo dengan berbagai alasannya. Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, misalnya, ”pagi-pagi” sudah merapat ke kubu Jokowi. Padahal, beliau tergolong sebagai salah seorang petinggi Partai Golkar yang resmi memberikan dukungan kepada Prabowo. Beliau tidak sungkan diberhentikan dari jabatannya di partai asalkan tidak mendukung Prabowo.

Luhut memiliki cukup banyak pengikut di kalangan purnawirawan. Apalagi, Luhut merupakan salah seorang pengusaha yang cukup sukses dan melibatkan pula beberapa jenderal dalam kegiatan bisnisnya. Kondisi ini jelas melahirkan kepercayaan diri dan independensi tinggi.

Kemungkinan lain, ketidakkompakan para jenderal purnawirawan ini sebagai kelanjutan dari ”peperangan” yang tidak selesai ketika mereka masih aktif dahulu. Prabowo adalah anak seorang begawan ekonomi Indonesia Prof Soemitro Djojohadikusumo dan menantu Presiden

Page 63: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Suharto yang memerintah di zaman Orde Baru.

Dapat kita bayangkan betapa kedudukan seorang Prabowo di masa itu. Beliau bukan hanya sosok yang brilian, melainkan juga ditunjang dengan status sosial yang luar biasa. Sangat mungkin sepak terjangnya pada waktu itu mengganggu eksistensi para seniornya. Apalagi, ada tulisan yang menyebutkan di antara para mantan jenderal itu adalah anak emas Jenderal Benny Moerdani yang dulu tergeser dengan menarik-narik adanya peran Prabowo.

Diungkapkan dalam salah satu tulisan bahwa di antara para jenderal itu adalah anak emas kubu Benny Moerdani yang berhasil dibersihkan kubu Prabowo yang berhasil menarik Faisal Tandjung, sosok yang sudah lama diasingkan Benny Moerdani ke Seskoad, menjadi panglima ABRI. Setelah disingkirkan, mereka yang anti-Prabowo tersebut tidak akan begitu saja berhenti untuk membalas kapan pun ada kesempatan, termasuk selama masa Pilpres 2014 ini.

Segelintir Purnawirawan

Tontonan ketidakkompakan para purnawirawan jenderal TNI secara sangat keras akibat Pilpres 2014 ini tentu memunculkan pertanyaan. Pertanyaan pertama, apakah ketidakkompakan yang keras semacam ini selalu terjadi pada setiap pilpres? Sudah dapat dipastikan bahwa para jenderal purnawirawan berada pada kubu berbeda pada setiap pilpres. Suatu hal yang lumrah. Para purnawirawan tentu memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya. Bahkan tidak heran, apabila para jenderal purnawirawan ini menjadi rebutan banyak pasangan calon karena berbagai kelebihan yang dimiliki.

Para purnawirawan jenderal ini adalah orang-orang sangat luar biasa yang mampu berkontribusi secara signifikan dalam berbagai aktivitas kenegaraan, termasuk dalam pilpres. Purnawirawan yang memiliki pengalaman panjang di bidang intelijen, misalnya, pastilah strategis menghadapi berbagai serangan yang mungkin terjadi. Pilpres di era modern melibatkan perang opini luar biasa hingga masyarakat bawah. Jenderal yang berpengalaman bidang intelijen memiliki strategi jitu guna menangkal soal-soal semacam ini.

Selain itu, ”banyak sekali” jenderal purnawirawan berpengalaman dalam bidang teritorial. Sosok semacam ini memiliki kemampuan merangkul yang luar biasa. Dapat dibayangkan dengan segudang pengalaman mereka sejak menjadi komandan koramil hingga jabatan-jabatan teritorial lebih tinggi lainnya secara berjenjang.

Namun demikian, jika diamati secara mendalam, ketidakkompakan purnawirawan TNI yang sangat keras sekaligus ”memalukan” mungkin baru terjadi pada Pilpres 2014 ini. Bagaimana tidak memalukan apabila para mantan perwira tinggi yang patut diteladani mengeluarkan pernyataan yang menjatuhkan koleganya sendiri, merupakan sikap yang tabu dan di luar nalar banyak orang.

Padahal, beberapa kali pilpres pasca-Reformasi 1998, dapat dipastikan tidak ada kesamaan

Page 64: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

aliran politik para purnawirawan. Namun, semuanya tetap tampil sebagai purnawirawan terhormat yang tidak menjatuhkan saudaranya sendiri sesama warga TNI. Jika kita perhatikan ”amarah para purnawirawan” hanya diungkapkan oleh segelintir jenderal saja, bukan mayoritas dari mereka. Apalagi jika ada benarnya dugaan keributan sekarang ini sebagai kelanjutan dari ”perang masa lalu” yang belum usai. Jika tidak, tentu perbedaan kubu dukungan ini tidak harus ditunjukkan dengan saling menghujat secara terbuka.

Seorang purnawirawan adalah warga negara sipil biasa yang sudah terlepas dari berbagai atribut istimewa yang pernah dimilikinya. Semestinya yang abadi pada mereka adalah nilai-nilai keteladanan, kearifan, kesetiakawanan yang sudah berakar. TNI sarat dengan nilai-nilai kesatria. Itu sebabnya kita akan berkerut kening tanda ketidakpahaman jika purnawirawan jenderal saling menghujat, saling membuka aib yang ditafsirkan karena kepentingan politik. Jangan salahkan publik jika mereka meyakini ”purnawirawan TNI tak kompak lagi.”

PROF AMZULIAN RIFAI PHDDekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri)

Page 65: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 66: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Visi Capres di Perbatasan Negara

Masih ingatkah kita tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan? Sebuah peristiwa menyakitkan bagi eksistensi kedaulatan NKRI dalam perebutan perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia yang akhirnya dimenangkan Malaysia melalui International Court of Justice pada Desember 2002. Fakta itu hanyalah satu dari gunung es permasalahan perbatasan negara yang tak kunjung usai. 

Sebut misalnya sengketa blok laut Ambalat di Sulawesi yang terus berpotensi mengalami gejolak. Peristiwa mutakhir, penanaman mercusuar di Tanjung Datu oleh negara tetangga yang memicu nuansa konflik. Ini urusan negara untuk memperkokoh keutuhan NKRI. Di mana kehadiran negara? Tanpa berpretensi menyulut sentimen politik antarnegara, tulisan ini hendak mengonstruksi ulang betapa pentingnya merias perbatasan negara sebagai pengukuhan komitmen para pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) mengingat wilayah perbatasan belum mendapatkan perhatian serius dari negara (pemerintah). 

Bermunculan problem perbatasan karena negara belum sepenuhnya hadir dalam denyut kehidupan mereka. Mengamati debat capres jilid III (22/06/2014), saya merasa ada persoalan paradigmatik yang masih melekat pada kognisi para capres dan para tim pemikirnya. Baik Prabowo maupun Jokowi masih ter-frame pada paradigma terpusat (centralized paradigm). Paradigma ini lantas menggiring cara berpikir bahwa semua persoalan harus diselesaikan di pusat, selain standardisasi pembangunan yang harus dibangun dari pusat pula. Inilah yang kerap menegasi pembangunan daerah perbatasan. 

Adagium yang sering kita dengar bahwa ”perbatasan adalah muka (wajah depan) negara” hanya menjadi pemanis bibir. Padahal ibarat rumah, perbatasan niscaya menjadi teras (front yard) bagi eksistensi sebuah negara, bukan sebaliknya, malah menjadi dapur (backyard). Pendekatan front yard ini telah dijadikan pijakan negara tetangga, terutama yang berbatasan dengan wilayah Indonesia sehingga eksistensi dan kedaulatan mereka semakin kuat, berbanding terbalik dengan Indonesia. 

Ketidakhadiran negara di daerah perbatasan dalam beragam pembangunan sosial, budaya ekonomi, dan politik berdampak pada kemunculan beragam persoalan krusial di antaranya buruh migran tak terdokumentasi (undocumented migrant workers), pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan (smuggling) dan human trafficking, ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan NKRI. Di sisi lain, kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah karena belum meratanya pembangunan di daerah perbatasan memengaruhi tingkat pemahaman bela negara (nasionalisme) untuk menghadapi ancaman yang dapat membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. 

Page 67: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan mengalami permasalahan kehidupan yang kompleks. Di samping secara fisik mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari ibu kota negara, tidak jarang mereka pun tinggal jauh dan terisolasi dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten, dan ibukota provinsi mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berjarak amat dekat dengan negara tetangga. Memiliki bahasa, budaya, dan ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan penduduk di negeri tetangga. 

Namun, kesamaan ciri-ciri fisik ini tidak menjamin ada kesamaan tingkat kesejahteraan dan strata ekonomi antara warga dua negara yang berbatasan. Tidak sedikit WNI di perbatasan hidup serbakekurangan dengan akses terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi yang sulit dan terbatas jumlahnya. Berbanding terbalik dengan masyarakat negara tetangga yang hidup serba berkecukupan dan daerah perbatasan yang telah sedemikian cantik dirias pemerintah mereka. Pada saat yang sama hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari negara tetangga. 

Masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjual beli produk asal negara tetangga termasuk gula pasir sampai gas elpiji. Ini tentu semakin menggerus ikatan nasionalisme karena masyarakat merasa tidak butuh dan tidak dibutuhkan ibu pertiwi sendiri akibat absennya negara di wilayah perbatasan. Di titik inilah penting mengingatkan para calon pemimpin negeri ini untuk hadir dalam beragam program revitalisasi pembangunan wilayah perbatasan. Martin Pratt dalam Boundary-Making, Challenges & Opportunity (UK: 2009) menyebut bahwa problema pokok wilayah perbatasan berkaitan dengan kekuasaan (border), ruang (state), dan jarak (distance). 

Konstruksi sosial tentang perbatasan ditentukan oleh bagaimana persepsi kekuasaan yang berada di pusat memandang dari jarak tertentu dan kemudian memberlakukannya sebagai sebuah ruang yang tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga bersifat sosial dan politik, hubungan kekuasaan yang bersifat hierarkis, superior-inferior, pusat-pinggiran, juga persoalan inclusion-exclusion. Ketidakhadiran negara di perbatasan memosisikan Indonesia sebagai sesuatu yang asing bagi masyarakat setempat. Artinya, asing itu ternyata tidak ditentukan mereka yang berada di perbatasan, tapi oleh kita yang berada di pusat kekuasaan.

Negara harus hadir dan para capres niscaya memikirkan cetak biru (blue print) pembangunan perbatasan negara. Diakui memang perhatian negara terhadap wilayah perbatasan sudah mulai meningkat, namun masih jauh panggang dari api. Penduduk di wilayah perbatasan masih bernasib sama. 

Penyiaran Perbatasan 

Di antara wujud pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di daerah perbatasan adalah penyediaan akses informasi yang memadai tentang NKRI, terutama diorientasikan memupuk semangat nasionalisme. Masalahnya, lembaga penyiaran selama ini enggan menyoroti daerah perbatasan dalam program siarannya, mengingat rendahnya tingkat

Page 68: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

profitabilitasnya bagi industri media. Karena itu, dorongan niscaya dilakukan oleh pemimpin yang akan terpilih lima tahun mendatang untuk mendorong para investor dan pengusaha beriklan sebanyak mungkin terkhusus program siaran perbatasan. 

Eksistensi penyiaran perbatasan, selain memperkokoh nasionalisme, juga akan memperkuat posisi diplomatis NKRI terhadap negara tetangga. Frekuensi sebagai aset negara yang terbatas harus dioptimalkan di perbatasan negara agar tidak terjadi interferensi oleh saingan asing yang akan memperlemah kedaulatan NKRI. Berdasarkan pantauan Komisi Penyiaran Indonesia, ditemukan luberan siaran asing (spill over) yang masih banyak didengar dan ditonton oleh masyarakat setempat dalam durasi yang panjang dan sudah berlangsung lama. 

Kondisi ini dikhawatirkan berpotensi mengikis jiwa nasionalisme. Selain itu, spot iklan negara asing yang masuk secara terus-menerus berpotensi menggerus ekonomi dalam negeri di wilayah perbatasan antarnegara. Akhirnya, kita berharap pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti memahami bahwa konstruksi sosial wilayah perbatasan merupakan sebuah anyaman perubahan sosial dan kebudayaan sebagai wujud interaksi dinamis antara identitas dan ruang. 

Senada dengan apa yang dikisahkan dalam justifikasi ilmiah berjudul Centering the Margin: Agency and Narrative in Southeast Asian Borderlands (Horstmann dkk: 2006), yang mencoba membalikkan persepsi bahwa dinamika sosial yang terjadi di perbatasan justru akan semakin menentukan kelangsungan negara dan bangsa pada masa depan. Semoga. ●

DANANG SANGGA BUWANA Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat 

Page 69: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 70: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Demokrasi (di) Dunia Arab

Bila dicermati secara seksama, pelbagai macam persoalan yang melanda dunia Arab dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya bermuara pada satu persoalan utama, yaitu perpecahan (al-insyiqaq). Perpecahan ini setidaknya terjadi dalam tiga tingkatan.

Pertama, perpecahan pada tingkat satu negara. Perpecahan pada tingkat ini bisa dilihat dari bermacam gerakan protes rakyat atas pemerintah yang biasa dikenal dengan istilah Arab Spring. Pada awalnya, gerakan rakyat ini membangkitkan optimisme terkait demokratisasi yang kerap dikebiri oleh para penguasa di kawasan ini. Bahkan, bangsa Arab memberi nama gerakan ini dengan istilah musim semi Arab (ar-rabiar- rabi al- al-arabi), sejalan dengan optimisme yang ada. Pada umumnya musim semi sangat ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab mengingat cuaca pada musim ini sangat nyaman; tidak terlalu dingin, tapi juga terlalu panas seperti biasanya. 

Namun, secara perlahan optimisme yang ada terus terkikis hingga berbalik menjadi pesimisme yang bercampur baur dengan ketakutan, kecemasan, ketidakpastian, bahkan anarkisme. Hal ini terjadi karena gerakan rakyat yang awalnya dipuja-puja itu perlahan menjadi sebuah gaya baru masyarakat Arab yang tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk mencapai ambisi politiknya.

Kedua, perpecahan antarnegara. Pada beberapa bagian perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat dari perpecahan pada tingkat pertama. Dengan kata lain, gerakan rakyat Arab dalam menentang pemerintahan yang ada menyebabkan terjadinya krisis politik antara satu negara Arab dengan negara Arab lain.

Tentu perpecahan seperti ini tidak terlepas dari benturan kepentingan antara satu negara dengan negara yang lain. Rezim Bashar al-Assad, contohnya, sempat mengkritik keras pemerintahan Mesir yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Mursi. Sebaliknya, Mesir di bawah kepemimpinan Ikhwan Muslimin saat itu sangat keras mengkritik rezim Bashar al- Assad, apalagi kelompok Ikhwan Muslimin di Suriah menjadi bagian dalam perang melawan pemerintahan Assad. 

Ketiga, perpecahan Liga Arab sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Arab. Pada beberapa bagian, perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat lanjutan dari perpecahan-perpecahan yang terjadi di bawahnya, yaitu perpecahan pada level satu negara dan perpecahan pada level antarnegara Arab. Peran dan posisi negara-negara Arab Teluk (GCC) dapat dijadikan sebagai salah satu bukti dari perpecahan yang terjadi di tingkat Liga Arab. 

Sebagaimana dimaklumi, pasca-Arab Spring, negara-negara Arab Teluk berperan secara dominan di tingkat Liga Arab. Bahkan pada beberapa bagian dapat dikatakan, Arab Spring

Page 71: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

telah meningkatkan peran GCC di dunia Arab sekaligus menenggelamkan peran Liga Arab. Hal ini terjadi karena Arab Spring berhasil memorakporanda negara-negara Arab yang selama ini menjadi ”penguasa” Liga Arab, seperti Mesir, Suriah, dan yang lainnya. 

Demokrasi Arab 

Dalam kondisi seperti sekarang, demokratisasi di negara-negara Arab menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa yang salah dari demokrasi di dunia Arab? Bisakah dunia Arab berdemokrasi? Semangat yang terpendam di balik pertanyaan-pertanyaan di atas tentu melampaui kajian normatif tentang demokrasi, khususnya ditinjau dari perspektif agama (Islam); apakah keduanya bisa bertemu dan saling melengkapi atau tidak? Karena bila hanya sebatas gagasan dan normatif, negara-negara Arab selama ini sangat kaya dengan pemikiran dan gagasan demokrasi. 

Tetapi, ketika hendak diterapkan, demokrasi di negara-negara Arab acap berlangsung secara berdarah-darah seperti sekarang. Alih-alih berhasil, rezim otoriter dan diktator yang sempat dihempaskan oleh upaya demokratisasi justru acap kembali lagi. Inilah yang penulis sebut dengan istilah fenomena transisi ekstrem demokrasi di dunia Arab dengan dua pelaku utamanya, yaitu rezim nasionalis-otoriter dan kelompok militan-islamis. Dalam fenomena transisi ekstrem yang terjadi, seakan dunia Arab hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, dikuasai oleh rezim nasionalis-otoriter atau kelompok militan-islamis. Sedangkan aspirasi rakyat yang menjadi substansi utama demokrasi acap berserakan di tengah gerakan rakyat atau terpenjara di ruang tahanan kelompok oposisi.

Apa yang terjadi di Mesir dalam dua tahun terakhir dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari fenomena transisi ekstrem demokrasi di atas. Setelah gerakan rakyat berhasil menumbangkan rezim otoriter Mubarak, akhirnya Ikhwan Muslimin ”naik tahta” melalui hasil pemilu yang diakui bersih dan demokratis oleh banyak pihak. Setelah berkuasa selama kurang lebih satu tahun, kekuasaan Ikhwan Muslimin dihempaskan oleh gerakan rakyat yang didukung penuh oleh militer. Kini pemerintahan Mesir memperlakukan Ikhwan Muslimin hampir sama dengan yang dilakukan oleh Mubarak sebelumnya; memvonis Ikhwan Muslimin sebagai organisasi teroris dan terlarang.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab bagi terjadinya transisi ekstrem di dunia Arab. Pertama, gagalnya diskursus kebangsaan yang menekankan isu kemajemukan, keterbukaan, kesetaraan dan kebebasan masyarakat sipil. Dalam kurun beberapa dekade, diskursus kebangsaan yang diusung oleh kelompok akademis memang terlihat mapan. Namun demikian, sesungguhnya diskursus kebangsaan di dunia Arab sangatlah rapuh. Ibarat balon, gerakan diskursus kebangsaan di sana memang terlihat tinggi, namun sangat rawan dan mudah kempes. 

Hal ini terjadi karena gerakan diskursus kebangsaan di dunia Arab selama ini besar di bawah jubah kekuasaan rezim yang acap berlaku otoriter. Maka, ketika kekuasaan yang secara tak langsung menjadi motor penggeraknya ambruk, diskursus kebangsaan yang ada pun runtuh

Page 72: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

tak tersisa. Justru kelompok islamislah yang berjaya dan berkuasa. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan diskursus kebangsaan yang ada selama ini tidak membumi.

Kedua, rapuh dan minimnya peran masyarakat madani yang bisa menjadi penengah antara kelompok islamis dan kelompok rezim otoriter. Lembaga-lembaga moderat seperti Al-Azhar selama ini lebih concern pada dunia pendidikan secara formal, tidak meluas pada penyadaran dan pendampingan masyarakat sipil secara lebih luas. Maka tidak mengherankan bila fenomena transisi kekuasaan yang terjadi berjalan dalam bentuk ekstrem seperti sekarang, antara kelompok nasionalis-otoriter dengan kelompok islamis-militan. Hal ini terjadi karena memang yang terbangun secara mapan selama ini adalah dua kutub tersebut. 

Demokrasi membutuhkan adanya kehendak bulat dari semua pihak untuk memerhatikan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, mulai dari kelompok penguasa, kelompok politik hingga masyarakat sipil. Inilah yang acap absen dalam upaya demokratisasi di dunia Arab dalam beberapa waktu mutakhir. Hingga transisi kekuasaan yang ada acap berjalan secara ekstrem. Dan demokratisasi yang diharapkan pun acap berubah menjadi anarki, bahkan mengundang kembali hadirnya sistem monarki. ●

HASIBULLAH SATRAWIPengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Page 73: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 74: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Mereformasi Kepolisian

Menyambut Hari Bhayangkara 1 Juli 2014 beberapa peristiwa yang cenderung menyudutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dapat dijadikan indikasi bahwa Polri masih dalam tahap perbaikan (reformasi). Peristiwa tersebut adalah kelambanan mengungkap pelaku kampanye hitam yang sempat memanas di antara pendukung calon presiden.

Reformasi Polri tahap kedua sampai 2014 ini adalah membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan masyarakat agar mendukung tugas dan fungsi kepolisian. Tetapi, realitas berkata lain sebab reformasi untuk membangun partnership building belum menunjukkan hasil maksimal sehingga reformasi Polri tidak boleh berhenti.

Lebih dari itu, tugas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) merupakan tugas utama Polri selain mengayomi, melayani, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum. Malah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memberi kewenangan strategis bagi Polri misalnya dalam melaksanakan tugas menjaga kamtibmas dilaksanakan dengan keleluasaan represi. Inilah yang sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat, terutama saat ada aksi unjuk rasa yang kadang dihadapi dengan kekerasan. 

Maka itu, aparat kepolisian harus punya referensi bagaimana menjaga dan menghargai penyampaian aspirasi pengunjuk rasa sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat yang cenderung bebas, terbuka, lepas kontrol, dan ekstrem harus diantisipasi polisi dengan pendekatan persuasif. 

Butuh Kesabaran 

Ada ungkapan miring dalam masyarakat, saat ini susah mencari polisi jujur. Kalaupun ada, pastilah itu polisi tidur dan patung polisi. Bagi anggota Polri yang jujur dan mengabdi sepenuhnya, tudingan itu jelas menyakitkan. Tetapi, terpaksa diterima karena hampir setiap hari publik merasakan dan menyaksikan oknum-oknum polisi melakukan pungutan liar, tak peduli itu di jalan atau di tempat pelayanan surat izin mengemudi (SIM). Itulah wujud dari terbukanya gambaran tugas polisi yang bisa disaksikan secara kasatmata setiap hari. 

Misalnya saat mengatur arus lalu lintas, melakukan patroli untuk mencegah gangguan kamtibmas, atau menangkap penjahat. Membangun profesionalitas Polri butuh kesabaran dan tidak boleh menyakiti hati rakyat. Ini menjadi bagian pekerjaan rumah bagi polisi dalam kesehariannya yang tentu saja membutuhkan kesabaran, ketelatenan, kemandirian, dan kemahiran. Dunia kejahatan juga harus diurai polisi agar tidak semakin meluas dan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Itu yang menuntut polisi agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada kejahatan yang rumit dibuktikan dalam bentuk pembuktian secara ilmiah (scientific criminal investigation). 

Page 75: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Dalam kenyataan, niat dan modus operandi penjahat (mens rea) kadang selangkah lebih maju dari kemampuan polisi sehingga harus diimbangi kualitas sumber daya manusia yang memadai (profesional). Realitas selama ini, perjalanan mengubah watak dan perilaku anggota Polri tampak berjalan lamban dan alot. Terutama yang berkaitan dengan masalah mengubah perilaku manusia atau mengubah kultur lantaran termasuk pekerjaan raksasa yang berat dan membutuhkan waktu yang amat panjang. Reformasi kultur yang cukup alot itu tidak selalu dapat dipahami semua orang tentang bagaimana kesulitan mengubah perilaku dan kultur.

Masyarakat berhak merasakan ada perubahan sikap, perilaku, dan kultur polisi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Polri harus mandiri, tidak boleh memberi peluang diintervensi dalam menegakkan hukum. Setiap kebijakan kepolisian yang menyangkut kamtibmas harus dapat diawasi. Begitu pula soal proses yudisial seperti penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan harus di bawah kontrol kejaksaan. 

Partisipasi Masyarakat 

Setidaknya Polri harus profesional dalam mengapresiasi tugas kamtibmas agar mampu menjadi pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat. Artinya, Polri harus mampu mengayomi dan melayani masyarakat dengan baik. Kemudian melindungi masyarakat dalam menata tertib hukum. Formulanya tentu melalui pendekatan persuasif, bukan dengan ancaman dan represi. 

Dalam reformasi Polri tahap kedua harus mampu membangkitkan partisipasi masyarakat sebab rasa aman merupakan bagian dari tanggung jawab masyarakat. Sebaliknya, masyarakat diberi ruang, kesempatan, dan tantangan untuk mewujudkan rasa aman sebagai bagian dari membangun civil society. Betapa tidak sederhananya pekerjaan mereformasi Polri. Selain mendorong Polri untuk terus memperbaiki kualitas personil, tetapi masyarakat juga tidak bisa tinggal diam melihat Polri jalan sendiri kemudian bersikap terima beres. 

Kebersamaan itu menjadi momentum membangun hubungan masyarakat dengan institusi Polri, sekaligus hubungan warga dan personil polisi. Polri harus mampu membangun sosok personelnya yang bersahabat dan santun, sementara masyarakat memotivasi dan menerima Polri sebagai mitra. Kita juga berharap pemerintah dan DPR memberikan perhatian penuh dengan menganggarkan dana yang memadai dalam mereformasi Polri. 

Misalnya, peralatan dan kesejahteraan anggota Polri diperbaiki agar tidak selalu dijadikan alibi atas berbagai dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kondisi yang terbatas bisa menggoda anggota Polri untuk mencari kompensasi melalui “kerja sampingan” yang merugikan publik atau meminta setoran bawahan. Gurita penyalahgunaan wewenang harus dipotong sebab lambannya reformasi Polri tidak boleh disikapi dengan cara jalan pintas. 

Selama gurita itu belum berhasil dipangkas, reformasi, terutama reformasi memperoleh atau membangun sosok aparat yang bersih, efektif, profesional, akan terhambat. Tetapi, juga tidak boleh ada pembenaran jika hambatan dan kendala itu dijadikan alasan untuk tidak serius

Page 76: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

membangun Polri. Kita tidak boleh berhenti memotivasi Polri agar berubah ke arah yang lebih baik. Jangan berhenti mereformasi Polri, dirgahayu polisi Indonesia.  

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar

Page 77: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 78: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Merindukan Wibawa Polisi

Wibawa polisi adalah pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi masyarakat melalui sikap dan perilakunya yang baik, santun, dan tidak arogan dalam menjalankan tugas selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan-ketentuan perundang-undangan. 

Peristiwa dramatis menjelang akhir 2013 di Jakarta, di mana empat aparat kepolisian yang bertugas di lapangan menjadi sasaran tembak orang-orang tak dikenal, itu bisa dikatakan salah satu indikasi melemahnya wibawa polisi. Dari catatan Indonesia Police Watch pada 2013 telah terjadi 27 polisi tewas ditembak mati oleh orang tak dikenal. Itu menunjukkan luasnya wilayah orang-orang yang melawan polisi. Keberanian warga masyarakat melawan polisi sudah melampaui batas. Hingga kini motif yang sesungguhnya belum diketahui. Demikian pula para pelakunya belum tertangkap. 

Jika peristiwa itu tidak ditangani secara tuntas, sangat mungkin suatu saat akan terulang lagi. Perkembangan Polri setelah enam puluh delapan tahun sejak kelahirannya yang diharapkan menunjukkan peningkatan kemampuan dan wibawanya secara signifikan tampak belum sepenuhnya tercapai. Seiring itu reformasi Polri yang telah berjalan tiga belas tahun juga belum berpengaruh secara mendasar terhadap profesionalitasnya. Memang tidak mudah membangun wibawa polisi. 

Dilema yang dihadapi Polri adalah eksistensinya ibarat sebuah bola dalam sistem pemerintahan yang menjadi objek sekaligus subjek permainan dalam pertandingan penuh konflik kepentingan antara kesebelasan pihak dominan (pemerintah) dan pihak subordinat (masyarakat). Menyaksikan nasib polisi yang selama kehadirannya cenderung dibutuhkan, tapi dilecehkan, hati akan trenyuh melihat kondisi seperti ini. 

Namun, jika melihat jurang kesenjangan kehidupan materi antara aparat kepolisian lapisan atas dan bawahan, hati akan berkata lain. Kenapa bisa begitu? Diakui atau tidak, di lingkungan kerja Polri masih ada istilah bagian basah dan bagian kering. Maka itu, yang punya jabatan struktural atau yang bekerja di bagian basah tambah basah, sedangkan yang bekerja di bagian kering tetap kering. 

Kondisi ini menjadi titik rawan kemunculan penyimpangan baik di tingkat atasan maupun bawahan dalam konteks penyalahgunaan wewenang. Implementasi Polri yang demikian dikhawatirkan hanya akan memperkental citra negatif seperti yang dituduhkan pada dirinya. Implementasi tersebut cenderung menyuburkan self-fulfilling prophecy.Namun, itu terpulang pada kesadaran para pemimpin Polri.

Citra negatif yang lekat pada diri polisi sesungguhnya sudah ada sejak zaman Hindia Belanda di Indonesia. Suatu predikat yang diberikan kepadanya adalah tangan panjang kekuasaan para

Page 79: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

penguasa. Label itu tentu memengaruhi kinerja polisi. 

Profesi dan Wibawa Polisi 

Profesi merupakan suatu bidang kerja yang memerlukan keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur, serta berlandaskan intelektualitas. Profesi juga diartikan sebagai spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui study dan training yang bertujuan mencitakan keterampilan yang bernilai tinggi sehingga pekerjaan dan keterampilan itu diminati orang dan dia dengan melakukan pekerjaan itu mendapatkan imbalan berupa bayaran atau gaji yang sesuai. 

Profesi polisi pada dasarnya merupakan pekerjaan mulia (nobile officum) karena ia sebagai garda terdepan penjaga integritas moral masyarakat sesuai aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang telah ditetapkan. Dalam masyarakat polisi tidak bekerja sendiri sebagai penjaga integritas moral, namun di tangannya aturan-aturan moral baik buruk itu akan terwujud. Profesi polisi yang berkonotasi mulia dan sejalan dengan arti “wibawa” itu sangat mudah tergelincir ke dalam tindakan-tindakan tercela. Wibawa tidak secara otomatis melekat pada tugas, tapi pada manusianya. 

Perlu disadari bagi Polri bahwa sumber-sumber kewibawaan seperti kekuasaan yang diberikan dan pengakuan secara hukum tidak otomatis menjadi pendukung wibawanya. Sumber-sumber kewibawaan akan cepat meninggalkan profesi jika orang-orang yang mengemban profesi itu banyak yang mengotori. Ini disebabkan, sumber kewibawaan bersifat komplementer dengan keteladanan, netralitas, kepatuhan pada hukum, tanggung jawab, profesionalitas, dan penampilan kendati mungkin saja salah satu sumber kewibawaan itu mendominasi dalam profesi. 

Biasanya “kekuasaan” yang diandalkan dan umpan baliknya hanyalah perasaan takut dari masyarakat kepada polisi. Keberadaan polisi di tengah-tengah struktur kekuatan antara pemerintah dan masyarakat yang belum seimbang dimungkinkan lewat pilihan logis polisi memilih berpihak kepada golongan yang berkuasa secara politis. Dalam kondisi ini dilema yang merantai organisasi Polri adalah manakala praktisi politik menyelipkan kepentingan- kepentingan yang tidak sesuai tujuan organisasi. 

Selanjutnya yang terjadi ialah fungsi kepolisian sebagai penegak hukum menjadi kabur dan tidak lebih menjadi alat kepentingan politik tertentu yang merefleksikan kebijakannya dalam perilaku polisi. Dalam posisi demikian polisi mudah tersudut, dituduh mengabaikan kebutuhan dan tujuan moral kolektif. Ironisnya lagi, semua kebijakan itu berada di luar kekuatan Polri untuk mengendalikannya, barangkali untuk memahami sekalipun. 

Berada di tengah-tengah arus kekuatan yang cenderung masih berseberangan yaitu penguasa (pemerintah) dan yang dikuasai (masyarakat) dimungkinkan Polri menghadapi pihak yang penguasa secara politis dan didekati oleh pihak penguasa secara ekonomis. Dalam kondisi demikian akan terbentuk hubungan antara penguasa secara politis dan penguasa secara

Page 80: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

ekonomis terintegrasi secara horizontal yang keputusan-keputusan pentingnya mewarnai wajah polisi. 

Di sisi lain, polisi berhadapan dengan pihak masyarakat (subordinat) yang menyalahkan polisi karena dianggap membiarkan keadaan itu terjadi. Munculnya kecemburuan masyarakat sebenarnya karena tekanan-tekanan yang dirasakan akibat mereka menerima kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak memihak kepada dirinya dan kesadaran-kesadaran dominan ataupun kesadaran semu yang dianggap menyimpang dari moral kolektif dari tindakan Polri yang tidak sesuai ideologinya, Tri Brata. Di sinilah dilema polisi, suatu kenyataan ideologinya Tri Brata sebagai nilai-nilai pengikat diri yang bersifat universal dan sekaligus juga bersifat medial. 

Ideologi itu berubah menjadi temporal manakala para praktisi politik mencabik-cabiknya menjadi serpihan istilah yang digunakan sebagai lembaran-lembaran bendera kelompoknya dan ia berubah menjadi lateral manakala para praktisi politik menerjemahkan ke dalam bahasa yang sesuai tujuan kelompoknya. Yang terjadi selanjutnya ialah ideologi (Tri Brata) menjadi tidak lebih dari pernyataan-pernyataan simbolik yang tidak utuh diimplementasikan dalam perilaku keseharian polisi. 

Dapat dikatakan, pekerjaan polisi itu tidak akan berarti jika tanpa dilekati dengan wibawa. Penurunan wibawa polisi merupakan pertanda negatif bagi eksistensi lembaga kepolisian. Masalah itu terjadi manakala masyarakat menuntut polisi menjadi “wasit” yang adil dan tidak memihak dalam menjalankan tugas, namun otoritas kekuasaan merangkak memengaruhi kewenangannya. Dalam kondisi ini polisi mudah tersudut mengabaikan tuntutan masyarakat dan tujuan moral kolektif. 

Apalagi semua pengaruh itu berada di luar kendalinya, bahkan untuk memahami sekalipun. Masyarakat pada dasarnya memahami dilema yang dihadapi Polri. Adapun pelecehan-pelecehan hingga pembunuhan yang ditujukan pada dirinya pada dasarnya wujud ketakutan dan kekecewaan masyarakat terhadap struktur yang tidak memberikan peluang bagi mereka menyalurkan aspirasi lewat informasi dua arah (dialogis). Masalah wibawa polisi seharusnya disikapi sebagai suatu fenomena yang menunjukkan bahwa Polri sebagai alat negara dan salah satu sarana sosial kontrol dalam sistem sosial dapat dikatakan dalam kondisi rawan. 

Inilah keadaan yang oleh Emile Durkheim dikatakan sebagai “anomi”, di mana struktur apa pun yang menyimpang dari konsensus cita-cita dan tujuan bersama secara potensial bersifat labil. Sejauh ini jika Polri tetap konsisten dengan cita-cita dan tujuan bersama Tri Brata, suatu saat akan berhasil melepaskan diri dari struktur yang merantai (mengekang) dirinya. Karena itu, polisi harus menjadi figur teladan di masyarakat karena polisi dalam menjalankan tugas tidak cukup hanya mengandalkan kekuasaan dan pengakuan hukum atas otoritasnya. 

Polisi harus orang yang berbudi dan beriman yang perbuatannya dapat memberi pengaruh kepada masyarakat. Ia harus lebih tinggi dan lebih mulia kepribadiannya, bukan seseorang yang merasa berkuasa karena telah diberikan kedudukan untuk menguasai masyarakat,

Page 81: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

melainkan kuasailah masyarakat secara wajar dengan pancaran wibawa yang melekat pada pribadi polisi sesuai profesinya yang mulia.  

BAMBANG WIDODO UMAR Guru Besar Sosiologi Hukum Departemen Kriminologi FISIP-UI, Pengamat Kepolisian

Page 82: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 83: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Terpaksa Harus Menang

Masuk akal, namun sejujurnya mengesalkan sekali apabila setiap perbincangan tentang Prabowo, Hatta, Jokowi, dan Jusuf Kalla selalu dihubung-hubungkan dengan keberpihakan politik. 

Tidak sedikit warga yang sekarang seperti memakai kacamata kuda. Semuanya ditafsirkan ala bilangan biner: kalau bukan 0, pasti 1. Jika tidak berpihak ke 1, musti condong ke 0. Penyimpulan masalah sedemikian dangkal bisa membuat diskusi akal sehat berubah sekejap menjadi debat panas dahsyat. 

Dan itu gara-gara proses berpikir yang serba apriori. Dengan menulis ini, hampir bisa dipastikan saya akan dicap sebagai pro salah satu kubu dan kontra kubu lain. Tapi persetan dengan itu. Dengan KTP DKI Jakarta di dalam dompet, tidak sebatas memiliki hak, saya pun berkewajiban mengingatkan Joko Widodo selaku individu yang (pernah) menjabat gubernur DKI Jakarta.

 ***

Memang tidak ada yang sungguh-sungguh baru dalam tulisan ini. Namun karena Jokowi adalah sosok yang kadung menghidangkan janji tentang Jakarta yang baru di bawah kepemimpinannya, ketika Jakarta tidak memperlihatkan kebaruan itu, protes keras sudah sepatutnya diteriakkan kepada Jokowi. Dan kembali centang perenangnya Tanabang adalah representasi kegagalan Jokowi menciptakan Jakarta baru itu.

Jokowi boleh saja dielu-elukan berkat aksi blusukan-nya. Saya tidak anti itu. Jokowi ditahbiskan sebagai pemimpin pembawa paradigma baru. Blusukan dan bersimpuh sesaat setelah dilantik, merupakan gestur yang meyakinkan banyak orang bahwa Jokowi adalah pemimpin yang bermula dari benih kandung yang hidup di dalam rahim ibu pertiwi. Saya pun menyambut Jokowi (dan Ahok) sebagai kepala daerah kota kelahiran saya. Meski demikian, bukan baru sehari dua hari ini saya meragukan efektivitas blusukan ala Jokowi. 

Anggaplah dengan blusukan Jokowi berhasil menata pasar di Solo, lalu disebutlah Jokowi sebagai walikota yang sukses memimpin seantero Surakarta. Mendatangi setiap jengkal sebuah wilayah seluas 44,04 kilometer persegi, itulah yang langsung dianggap sebagai kunci keberhasilan Jokowi. Lain ceritanya ketika dari Solo Jokowi naik ke anak tangga politik berikutnya dengan menjadi orang satu di area seluas 664,01 kilometer persegi bernama DKI Jakarta. Sebesar apa pun cadangan stamina yang ia miliki, hampir bisa dipastikan blusukan ala Jokowi tidak akan menembus seluruh titik tersebut. 

Itu berarti, memimpin Jakarta mengharuskan adanya kekuatan kepemimpinan yang berbeda. Dengan kata lain, silakan terus blusukan. Namun, kekuatan visi dan ketangguhan manajerial

Page 84: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

menjadi lebih penting. Orang bilang kekuatan-kekuatan macam itu sebagai sesuatu yang klise. Dan untuk mengokohkan asumsi itu, akal sehat publik pun dijungkir balik; masyarakat dikatakan kini tidak lagi membutuhkan hal klise tersebut saat memilih pemimpin. Persoalannya, bahkan untuk hal-hal tadi yang disebut klise sekali pun, Jokowi faktanya kalah kuat dibandingkan dengan wakilnya di Gedung Balai Kota. 

Dari situ, maaf kata, dahi kian berkerut jika dalam petualangan politik berikutnya Jokowi masih juga menempatkan blusukan sebagai gaya kepemimpinan unggulan. Indonesia bukan kota, bukan provinsi, tapi sebuah negara. Jika perairannya seluas 3.257.483 tidak mungkin dikunjungi, maka ada daratan berukuran 1.922.570 kilometer persegi yang bisa didatangi. Namun, siapa yang mampu menyambangi area seluas itu dengan mem-blusuki-nya satu per satu?

Kembali ke masalah Jakarta, tepatnya ke Tanabang, kawasan itu dari masa ke masa semakin identik dengan zona rawan. Rawan kemacetan, rawan kejahatan, dan segala kerawanan sekaligus keruwetan lainnya. Dulu Jokowi datang ke Tanabang. Melakukan pembenahan sana-sini. Walau tetap skeptis akan keberlangsungannya, langkah Jokowi tetap patut diapresiasi. Setidaknya Jokowi, gubernur DKI, menunjukkan bahwa pusat grosir terbesar se- Asia Tenggara itu dia jamah juga. Namun seperti sudah diduga, perubahan Tanabang ke kondisi sehat hanya berlangsung sesaat. Dengan serbaneka penyebab, wajah penyakitan (wajah asli!) Tanabang tampak kembali dalam kurun singkat. 

Masyarakat, baik pedagang maupun pembeli maupun commuter, kembali membuat kekacauan di sana. Situasi ruwet bangkit secara gradual, dan itu sudah berlangsung bahkan sejak Jokowi masih berada di kursi gubernur. Betapapun demikian, sampai di situ, Jokowi tetap tidak pantas menjadi sasaran kecaman. Tanabang bisa diperbaiki dengan kejelasan arah dan keuletan. 

***

Senyata-nyatanya persoalan meledak tatkala Jokowi ingkar janji untuk bertahan di Balai Kota hingga habis lima tahun masa jabatannya. Entah didorong oleh ambisi politiknya pribadi, atau dipanas-panasi oleh nafsu politik pihak lain, Jokowi kenyataannya kini sedang berlari menuju Istana Negara. Terukur sudah, bulat sudah, bagaimana pengaruh Jokowi bagi Jakarta. Jokowi adalah figur yang amat populer, tiada keraguan di situ. 

Tapi Jokowi ternyata bukan sosok pengilham. Ia gagal menginspirasi ribuan warga Jakarta, atau setidaknya ribuan orang di Tanabang, untuk juga bersungguh-sungguh menghadirkan wajah baru bagi Jakarta. Jelas, aktivitas mengubah sarana dan prasarana di Tanabang bisa dilakukan ala Bandung Bondowoso. Tapi Jakarta tidak membutuhkan tokoh khayali. Mencantikkan seantero Jakarta hanya dalam tempo semalam adalah menegakkan benang basah. Jika sebatas untuk memperbaiki sarana dan prasarana, Jakarta hanya perlu merekrut perusahaan konstruksi untuk mengemas ulang area di Jakarta Pusat itu. 

Page 85: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Yang Ibu Kota butuhkan, jauh lebih mendasar lagi, adalah individu yang bisa mengubah psikologi orang-orang Jakarta. Sosok itu dicari untuk mengurai kesemrawutan pola pikir warga Jakarta. Dia diharapkan bisa menumbuhkan handarbeni alias perasaan memiliki di jutaan hati warga Jakarta. Dengan psikologi yang tertata, pola pikir yang jernih, dan handarbeni yang kuat, Jakarta akan dirawat kembali oleh para pemukimnya. Nah, untuk itu semua, tentu dibutuhkan waktu yang panjang dan interaksi yang intens. 

Dan Jokowi, sebagaimana janjinya, punya waktu lima tahun bahkan mungkin sepuluh tahun, untuk membuktikan bahwa dia gubernur yang bisa membuat perbedaan. Jokowi, berbekal pengalamannya di Solo, semestinya tahu akan kerja berat itu. Tapi faktanya, dia ”entah di mana” sejak beberapa pekan silam. Ketika interaksi antara warga Jakarta dan Jokowi baru mencapai fase keterpesonaan, dia malah seolah mengalami delusi bahwa pesona sama dengan pencapaian. Dan delusi itu yang kemudian dibawanya sebagai modal untuk memenangkan Indonesia. 

Jokowi ingin menjadi presiden, sah-sah saja. Setiap politisi boleh membangun cita-cita setinggi itu. Hak konstitusi warga negara, terma kuncinya. Karena itulah, saya pribadi tidak melihat opsi lain: Jokowi memang terdesak harus keluar sebagai RI-1. Karena jika ia kalah, dan jika kelak kembali ke kursi gubernur DKI Jakarta, di mata saya ia sudah turun kelas menjadi petualang kuasa. Jangan pernah berharap kepala daerah macam itu masih akan punya wibawa! Allahu a’lam.  

REZA INDRAGIRI AMRIEL Psikolog Forensik, Pemilik KTP Jakarta, Mantan Ketua Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia

Page 86: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 87: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Kampanye Hitam Untuk Apa?

Pelaksanaan pemilu presiden (pilpres) langsung yang ketiga di Indonesia menampilkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada 9 Juli tinggal menunggu dalam hitungan jari. 

Ada satu tahapan yang patut dicermati dari beberapa tahapan pilpres tersebut, yaitu tahapan kampanye yang berlangsung mulai 4 Juni hingga 5 Juli 2014. Idealnya tahapan ini dimaksudkan untuk mengenalkan dan memberikan kesempatan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden guna menyosialisasikan visi dan misi serta berbagai program dan kebijakan kepada masyarakat, utamanya para calon pemilih sehingga dapat dipertimbangkan oleh para pemilih untuk menentukan siapa yang tepat untuk dipilih. 

Berbagai siasat dan strategi untuk menarik massa pemilih bisa dilakukan oleh pasangan calon baik yang positif maupun negatif. Strategi positif bisa dilakukan dengan mengampanyekan program-program kerja kepada pemilih yang bisa dilakukan dengan kampanye baik terbuka maupun tertutup, debat terstruktur, dialog, serta sosialisasi tanda gambar lewat brosur, spanduk, baliho, billboard, atau program lainnya baik di dalam media elektronik maupun media massa. Kampanye model ini tentu dengan harapan untuk memperkenalkan, mempengaruhi dan memantapkan kepada para pemilih agar memilihnya. 

Selain kampanye positif yang menampilkan segala ”kebaikan dan keandalan” calon dan pasangannya sehingga para calon pemilih ”kepincut” agar mencoblos calon itu, maka ada juga strategi yang digunakan yakni dengan melakukan kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign). Model kampanye hitam ini bisa dilakukan terhadap lawannya dengan cara mendiskreditkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan; menjelek-jelekkan kehidupan masa lalunya baik yang bersifat pribadi maupun pada masa dinasnya; memberikan informasi-informasi yang pada umumnya tidak baik agar para pemilih bisa berpaling dan akhirnya berpindah pilihannya.

Dalam kampanye hitam tersebut jika dipandang sebagai bagian dari kehidupan demokratisasi, bisa digunakan sebagai batu ujian serta pencernaan terhadap informasi itu apakah kampanye hitam tersebut memang benar atau tidak.

Segi Negatif dan Positif

Hampir tidak ada yang seratus persen bersih dan sportif dalam sebuah pertarungan politik pada sebuah fase kampanye, termasuk di dalamnya disisipi kampanye hitam baik dalam skala luas maupun sempit.

Jika dilihat dari segi negatifnya, upaya kampanye hitam ini akan menjauhkan dari sifat hakiki pemilihan presiden itu sendiri yang mengandalkan persiapan matang, dedikasi dan integritas,

Page 88: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

serta kemampuan akan tugas dan tanggung jawab dengan didukung sportivitas tinggi agar dipilih untuk memimpin negeri yang berpenduduk lebih dari 240 juta ini. Perlu dipertanyakan kembali, apakah mendiskreditkan, menjelek-jelekkan orang lain itu merupakan sifat para pendahulu kita ataupun para pendiri republik ini? Apakah ada ajaran agama yang menyuruh untuk mendiskreditkan dan menjelek-jelekkan orang lain? 

Jika jawabannya tidak tentu pada saat-saat ini kita sedang dipertontonkan pada sifat dan sikap yang tidak pernah diwariskan oleh para leluhur kita dan para pendiri bangsa ini, apalagi oleh agama. Terlalu murah apabila nilai-nilai persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika NKRI ini dikotori oleh sifat dan sikap yang jauh dari hakikat sportivitas dalam mendapatkan jabatan tertinggi di negeri ini.

***

Besarnya nilai negatif dari kampanye hitam itu tentu pada sisi lain ada positifnya, yakni para pemilih diharapkan kritis dan cerdas serta bisa menyaring keakuratan kampanye hitam tersebut serta para pemilih dapat memilih dan memilah isi kampanye hitam tersebut. 

Pendewasaan diri pada pemilih untuk dapat mencerna isi kampanye tersebut sekaligus dapat menjadi bagian dari proses demokratisasi yang makin dewasa. Sebaliknya bagi penyebar kampanye hitam tersebut jika tidak benar atau patut diduga tidak benar, maka pihak yang tidak bisa menerima atas isi kampanye hitam tersebut dapat mengadukan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun aparat kepolisian setempat. Proses ini juga dianggap sebagai sebuah proses pendidikan hukum yang bagus bahwa setiap tindakan yang memungkinkan dapat merugikan orang lain maka mereka harus berani mempertanggungjawabkan secara hukum pula. 

Batu uji hukum ini dapat dipergunakan sebagai upaya mempertebal doktrin hukum bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum tanpa ada perkecualiannya. Selain itu jika dilihat secara positif, kebenaran informasi atas suatu ”black campaign” itu diperlukan agar untuk menjadi pemimpin diperlukan tingkah laku, budi pekerti, tabiat dalam hidup kemasyarakatan dan kedinasan yang baik, jujur, tidak mempunyai ”beban” masa lalu yang kurang baik. 

Oleh karena itu, pada tataran lain ini menjadi sebuah tantangan bagi orang tua agar dapat mendidik anak-anaknya sebagai calon generasi yang memiliki ”track record” baik dan tidak tercela. Selain itu tantangan itu rasanya tidak hanya dibebankan pada calon pemimpin itu saja, akan tetapi juga suami/istri, beserta keluarga dan para teman-teman dekatnya. Dari kasus negatif dan positifnya kampanye hitam, kita dapat mengambil pelajaran dari sistem pemilihan langsung pemilihan presiden di Amerika Serikat.

Di sana pada setiap pemilihan presiden banyak diwarnai oleh gagalnya calon presiden karena mereka terbebani oleh perilaku yang kurang baik selama kecil atau selama yang bersangkutan selama melakukan aktivitas kemasyarakatan dan kedinasan sebelumnya. Harus dilakukan

Page 89: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

penelaahan yang mendalam terhadap para pemilih di negara kita bahwa dari berbagai survei yang dilakukan atas dampak dari kampanye hitam tersebut ternyata hanya sekitar 2% dari pemilih yang terpengaruh akan kampanye negatif ataupun kampanye hitam itu. 

Walau demikian, kita tetap dapat mengambil hikmah atas sebuah kampanye tersebut, setidak- tidaknya kemanfaatan itu adalah bahwa kita diharapkan selalu bertindak dan bertingkah laku baik, jujur, benar, penuh kearifan dan keadilan di setiap waktu. Semoga! ●

JAMAL WIWOHOPembantu Rektor II/Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Page 90: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 91: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Debat Pertahanan Capres Minim Gereget

Debat calon presiden (capres) pada 22 Juni lalu semestinya dapat menjadi sesi debat capres yang paling menarik. Sayangnya, para kandidat belum berhasil menghadirkan debat cerdas dan dialektis. Mereka berdua sering terjebak dalam retorika, serta membiarkan loose ends dan unanswered questions. 

Sesekali bahkan, terdapat false arguments yang tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab. Dalam subtema mengenai pengamanan kepentingan nasional di bidang telekomunikasi misalnya, capres Joko Widodo menjelaskan bahwa privatisasi atas Indosat yang notabene menyebabkan lepasnya slot orbit satelit yang dioperasikan oleh BUMN tersebut, sebagai suatu tindakan yang dapat dimaklumi. Alasannya, karena dilakukan di saat negara tengah mengalami krisis pada 1998. Sungguh argumentasi ini sangat mengejutkan bagi kami. 

Pertama, slot orbit satelit adalah sumber strategis yang konstitusi kita memerintahkan agar dikuasai negara. Kedua, penjualannya terjadi pada tahun 2001, bukan 1998. Syukurnya, para pendiri (founding fathers) negara ini tak menganut garis pemikiran serupa dengan Capres Joko Widodo. Padahal, krisis yang dihadapi beliau-beliau antara tahun 1945-1949 tentu lebih gawat dari krisis yang dialami Indonesia pasca 1998. Terlebih lagi, menggunakan krisis sebagai justifikasi bagi pelanggaran konstitusi tentu tidak dapat dibenarkan. Jika hal itu diucapkan secara publik, apalagi oleh seorang calon presiden, maka anasir-anasir yang beriktikad tidak baik terhadap negeri ini tentu akan bergembira ria. 

Mereka memperoleh suatu ultimate recipe gratisan untuk merongrong Indonesia. Artinya, cukup ciptakan krisis, selebihnya, Indonesia sendiri yang akan merusak dirinya sendiri, at the cost of its own national interests, for and at the service of other! Tidak adanya kontra-argumentasi dari pihak capres Prabowo Subianto dalam hal ini, juga membuat kami equally shocked.

Dalam segmen pertahanan dan keamanan, capres Joko Widodo juga secara tidak tepat menyalahkan pembelian tank MBT Leopard II. Jokowi menilai tank jenis itu terlalu berat dan tidak sesuai dengan tekstur topografis Indonesia. Infrastruktur jalan, jembatan, dan sebagainya dapat rusak karenanya.

Untungnya, capres Prabowo Subianto menyampaikan tanggapan tepat. Pertama, beliau merujuk pada berbagai hasil studi yang dilakukan atas penggunaan dan penggelaran unit-unit MBT dalam formasi militer reguler di medan Asia Tenggara. Vietnam Utara, misalnya, menggelar MBT buatan Rusia dalam Perang Vietnam (1959-1975). Kedua, seiring dengan semakin aktifnya Indonesia dalam berbagai operasi perdamaian dunia yang digelar PBB, kehadiran MBT Leopard II memungkinkan Indonesia mulai berperan dalam operasi-operasi PBB yang bersifat peace enforcement. 

Page 92: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Cukup disayangkan, dalam debat itu Prabowo Subianto tidak melengkapi referensi historis tersebut dengan beberapa hal. Pertama, technical rebuttal dengan dua kata kunci, yakni rubber shoes (pada roda rantai tank), dan tank transporter (untuk pergeseran administratif satuan-satuan lapis baja di dalam kota melalui jalan raya). Singkat kata, jika hanya untuk urusan rusak-merusaki jalan raya, tank-tank yang ada dalam inventaris TNI saat ini semisal AMX-13, PT-76 atau ranpur AMX-VCI dan BTR-50 (yang rata-rata berbobot ”hanya” 14- 15 ton) sudah lebih dari cukup merusak jalan-jalan kelas satu dan bahkan jalan protokol Ibu Kota, khususnya yang asphalt based, jika tidak dilengkapi dengan rubber shoes pada track-nya. 

Kedua, argumentasi beliau tidak ditunjang pula dengan komparasi kontemporer vis a vis negara-negara tetangga Indonesia semisal Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang memiliki tekstur dan kontur topografis serupa dengan Indonesia. Di antara negara-negara tersebut, Indonesia jelas merupakan negara terakhir yang mengakuisisi dan menggunakan tank jenis MBT. Bahkan ditinjau dari rasio antara jumlah MBT yang dimiliki dengan luas teritori (khususnya wilayah daratan) yang harus dipertahankan, Indonesia menempati posisi terbawah. Argumen ini, apabila dikemukakan, tentu akan lebih meyakinkan dan menjadi rebuttal menarik secara politis dan teknis kemiliteran.

Terakhir, debat capres ditutup dengan menyisakan satu konsep yaitu ”Indonesia sebagai Poros Maritim” yang diutarakan oleh capres Joko Widodo, tanpa pernah sempat terbahas dengan mendalam. Padahal, ini isu yang sangat penting, khususnya dikaitkan dengan fakta bahwa posisi ”poros maritim” dimaksud saat ini kurang lebih berada di tangan Singapura, khususnya untuk dimensi maritime trade. 

***

Secara umum dapat dikatakan bahwa debat capres pada 22 Juni 2014 tidak memenuhi harapan. Perdebatan terasa kering, khususnya bagi kalangan yang memiliki pemahaman substantif terhadap tema yang diangkat. Para kandidat tidak menampilkan kapasitas maksimalnya dalam memanfaatkan alokasi waktu yang diberikan, dan secara prosedural, format debat juga kurang memberikan keleluasaan bagi para capres untuk tampil dengan suatu argumentasi dan kontra-argumentasi yang cukup dalam. Terlepas dari semua itu, para capres juga masih menyisakan ample room for improvements, baik dari penguasaan substantif (capres Joko Widodo) maupun artikulasi retorik (capres Prabowo Subianto). 

Sangat kuat kesan bahwa sementara salah satu capres tak lebih dari mengucapkan apa yang terdapat dalam catatan kecilnya (dengan improvisasi ala kadarnya), sementara capres lainnya justru kurang memiliki kefasihan verbal untuk menerjemahkan kompetensi profesional yang dimilikinya ke dalam suatu argumentasi persuasif yang telak dan meyakinkan. Capres yang satu terjun ke dalam detail tanpa pemahaman yang memadai dan tersesat di dalamnya, sementara capres yang satu lagi terlalu hati-hati untuk masuk ke dalam ranah detail, dan justru membuka dirinya untuk dituduh abstrak, tidak konkret, dan retorik. 

Page 93: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Ini tentu tidak menggembirakan, karena kita bicara mengenai calon pemimpin nomor satu di negeri ini. Akurasi kata-kata seorang kepala negara bernilai sama dengan akurasi senjata yang dimiliki bala tentaranya. Seorang kepala negara mutlak harus memiliki keduanya, untuk dapat tetap memimpin secara efektif baik di masa perang maupun damai, atau dalam zona abu-abu di antara keduanya. Berbagai tokoh penting dalam sejarah, mulai Marcus Tullius Cicero hingga Khalifah Umar bin Khattab, sangat menekankan pentingnya hal ini. 

Setiap kepala negara, atau siapa pun yang berkeinginan untuk menduduki jabatan tersebut, perlu memahami bahwa kalimat dan goresan penanya, adalah ujung dari suatu polaritas, di mana moncong laras meriamnya adalah ujung lain dari polaritas yang sama. Hal inilah membuat Napoleon I menyebut meriam sebagai ”Ultima Ratio Regnum”, atau ”Kings Kings Final Argument”. Tapi semua bermula, dari sebuah kata. ●

NANDA AVALISTPengamat Militer, Tinggal di Jenewa

Page 94: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 95: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Ancaman Politik SARA

Koran SINDOJum'at,  4 Juli 2014

POLITIK SARA dalam Pilpres 2014 membayangi politik pluralisme yang selama ini menjadi modalitas utama melewati transisi demokrasi pasca-Orde Baru.

Kasus terbaru adalah tuduhan komunisme terhadap salah satu partai yang dilontarkan satu media tv nasional. Politik SARA merujuk pada upaya-upaya propaganda, penyesatan opini, dan penggiringan pilihan politik atas dasar sentimen etnis, agama, dan ideologi tanpa fakta, menegasikan faktor integritas, kapabilitas, dan penilaian kinerja. Dalam konteks ini, isu SARA seringkali menjadi amunisi destruktif dalam kampanye-kampanye hitam seperti yang masif terjadi sekarang ini jelang hajatan pilpres.

Politik SARA lebih mengeksploitasi perbedaan agama dan etnis bahkan ideologis, agak berbeda dengan orientasi politik aliran yang menekankan afiliasi identitas keberagamaan (santri vs abangan) dalam menentukan pilihan politik. Kemenangan pasangan SBY-JK (60,62%) atas Megawati-Hasyim Muzadi (39,38%) pada putaran kedua Pilpres 2004 telah dipahami sebagai manifestasi senja kala politik aliran.

Koalisi gerbong nasionalis dan santri kala itu berhasil diatasi sosok SBY-JK yang akar ideologisnya mungkin kurang mengakar dibandingkan Mega-Hasyim. Tesis ini teruji pada ajang Pilpres 2009. Gerbong politik Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto tidak mampu mengimbangi magnet politik SBY-Boediono yang meraup suara 60% lebih. Fenomena politik ini menandakan berkurangnya signifikansi faktor sosiologis dalam menentukan perilaku pemilih sebagaimana ditemukan Mujani dkk (2012).

Membesarnya ekspresi keberagaman pilihan politik di kalangan masyarakat muslim tersebut sangat positif bagi perkembangan politik pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Gejala ini berkorelasi positif dengan perkembangan politik di tingkat lokal sebagaimana ditunjukkan Nakamura (2012) saat memotret perubahan pilihan politik di Kotagede pada Pemilu 2009. Namun, penurunan peran politik aliran tidak otomatis menumpulkan sentimen politik berbasis agama dan etnis dalam mentalitas politik masyarakat Indonesia.

Defisit Demokrasi?

Kontestasi Pilpres 2014 pun tidak luput dari ketegangan politik SARA, bahkan dengan tingkat penetrasi isu-isu ideologis yang lebih masif. Kutub pertarungan politik pilpres itu adalah Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo-Hatta dan koalisi pimpinan PDIP yang mencalonkan Jokowi-Jusuf Kalla.

Page 96: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Namun, pada kenyataannya, Prabowo versus Jokowi merupakan episentrum dari logika politik yang diperhadapkan dalam lanskap pertarungan kedua kutub politik tersebut. Tidak ada pilihan ketiga sebagai alternatif dalam konstalasi pilpres kali ini membuat jual-beli kampanye hitam sangat keras hingga membabi-buta. Dalam konteks ini, isu SARA begitu rentan dan mudah ditelan mentah-mentah masyarakat. Ini tidak hanya mengemuka di kalangan menengah ke bawah yang rata-rata tinggal di pedesaan, namun juga kelompok terdidik di perkotaan.

Salah satu bentuk kampanye hitam yang terus menerus diproduksi melalui pelbagai media adalah sentimen SARA yang mengerdilkan semangat kebebasan politik, kesetaraan hak politik, dan prinsip kebinekaan. Amuk politik SARA ini patut mendapat perhatian serius. Misalnya kasus kecerobohan Wimar Witoelar yang menampilkan logo Muhammadiyah di laman Facebook-nya sebagai aksi penolakan terhadap salah satu capres sangat berpotensi dijadikan pembenaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mereproduksi isu-isu SARA.

Selain itu, isu-isu miring terkait SARA yang dijadikan bahan negative campaign juga menciptakan pertarungan yang tidak sehat dan merusak kerukunan yang sudah susah payah dibangun di masyarakat. Salah satu tantangan kita adalah bagaimana agar ketegangan antaraktor politik dalam kontestasi kekuasaan-demokratik mampu memperkuat sistem dan kultur demokrasi.

Bukan sebaliknya, membuat kita menderita defisit demokrasi; tergerusnya nilai-nilai kewargaan (civic virtues) sehingga terjangkiti perilaku politik tidak beradab. Ini pekerjaan rumah pascapilpres saat biasanya masyarakat dicampakkan (kembali) oleh elite-elite politik dan para pengikut kepentingannya. Pada satu sisi partisipasi kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam proses demokrasi pasca-Soeharto telah menyelamatkan negeri ini dari kemungkinan defisit demokrasi sebagaimana disinggung ekonom Harvard, Eric Chaney (2012), ketika mempelajari demokrasi di negara-negara Timur Tengah.

Sejarah dominasi struktur negara terhadap perkembangan masyarakatnya membuat demokrasi sulit berkembang. Di sinilah Indonesia sangat beruntung karena demokrasinya ditopang oleh politik pluralisme yang sangat fundamental. Pada sisi lain, paradoks demokrasi membuka pintu luas bagi munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tidak tunduk pada nilai-nilai keadaban. Kampanye hitam mengeksploitasi sentimen SARA dengan mudah diekspresikan di ruang-ruang publik, bahkan sudah pada tahap menyiarkan kebencian dan diskriminasi.

Fenomena ini dapat mengancam nilai-nilai keadaban publik dan kritisisme dalam budaya demokrasi yang sedang kita tumbuhkan. Pembiaran apalagi pembenaran perilaku politik semacam ini oleh institusi negara dan lembaga-lembaga otoritas sosial-keagamaan akan mengancam eksistensi politik pluralisme kita. Perlu kesadaran dan langkah bersama guna memerangi segala bentuk ekspresi yang menihilkan nilai-nilai kebhinekaan sebagai semangat

Page 97: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

bernegara. Pers harus menyampaikan berita berdasarkan fakta, bukan opini warung kopi.

Media sosial seyogianya menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap informasi sumir yang beredar. Pengaruh serangan politik SARA terhadap fluktuasi elektabilitas capres-cawapres mungkin masih diperdebatkan, namun perilaku politik ini akan punya dampak politik jangka panjang yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam waktu 5-10 tahun ke depan. Proses demokrasi seyogianya mengokohkan nilai-nilai pluralisme-demokratik, bukan sebaliknya. Mari kita ciptakan pilpres bermartabat!

FAJAR RIZA UL HAQDirektur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity

Page 98: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 99: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Teror bagi Kebebasan Pers

Koran SINDOJum'at,  4 Juli 2014

SEKELOMPOK orang yang mengatasnamakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Yogyakarta menyegel kantor biro stasiun televisi TVOne di Yogyakarta, Rabu (2/7).Aksi penyegelan tersebut dilakukan sebagai reaksi atas siaran di TVOne yang menyebutkan PDI Perjuangan berisi orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah melakukan penyegelan, massa kemudian melakukan orasi dan menuntut TVOne untuk mengklarifikasi segera pemberitaan mereka yang menurut mereka telah melecehkan dan PDI Perjuangan.

Siapa saja tentu berhak menyampaikan pendapat, sekalipun pendapat tersebut menolak pendapat pihak lain. Namun, menyampaikan pendapat yang disertai dengan kekerasan dan ancaman karena suatu pemberitaan media massa dapat disebut sebagai teror bagi kebebasan pers. Tindakan penyegelan disertai dengan aksi vandalisme menggunakan kata yang tidak senonoh dimaksudkan untuk menciptakan kondisi rasa takut yang nyata. Teror seperti ini ingin menciptakan perasaan terancam yang luar biasa akan bahaya yang mungkin saja terjadi jika ancaman yang disampaikan tidak dipenuhi.

Cara teror seperti ini biasanya diambil bukan karena diplomasi damai mengalami jalan buntu atau tidak tersedianya mekanisme hukum. Teror seperti ini cenderung didorong oleh sikap panik, bingung, dan lepasnya kontrol diri karena tidak kuat menahan suatu tudingan yang tidak bisa dibantah dengan kemampuan akal sehat. Pada akhirnya kumpulan sikap panik, bingung, dan lepasnya kontrol tersebut meledak karena adanya perasaan yang sama dalam suatu grup.

Hukum Pers

Teror tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika elite politik di PDI Perjuangan memahami mekanisme hukum, terutama hukum pers dan penyiaran. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap orang atau pihak diberikan hak jawab. Hak jawab adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Selain itu, dapat juga digunakan hak koreksi. Hak koreksi merupakan hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak tersebut diberikan kepada setiap orang atau pihak sebagai control and balance terhadap kebebasan pers yang dilindungi oleh undang-undang. Kemerdekaan pers tersebut dijamin bahkan sebagai hak asasi manusia. Untuk menjamin kemerdekaan pers tersebut, pers diberi hak untuk mencari, memperoleh, dan

Page 100: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pers juga berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan akurat. Tepat dan akurat itu dapat berupa informasi yang didasarkan pada pendapat umum yang sudah ada dan tersedia sebelumnya, bukan informasi yang bersifat mengarang, ilusi, atau bohong. Terkait berita di TVOne yang menyebutkan PDI Perjuangan berisi orang-orang dari PKI sebenarnya sudah dimuat terlebih dahulu di sejumlah media, terutama media online.

Terlepas benar atau tidaknya muatan informasi tersebut, dalam perspektif Undang-Undang Pers, TVOne telah berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan akurat. Hanya, TVOne kurang hati-hati menyampaikan suatu informasi yang secara sosial masih dianggap sensitif oleh kelompok tertentu. Informasinya belum tentu benar, tapi juga tidak salah diberitakan karena sebelumnya banyak pihak melalui media online mensinyalir kebangkitan PKI.

Bilamana pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tidak menggunakan hak jawab atau hak koreksi yang diberikan undang-undang kepadanya maka dapat menempuh jalan lain.Pihak yang dirugikan dapat melaporkan pemberitaan tersebut kepada kepolisian sebagai sebuah tindakan yang tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik partai. Kedua jalur tersebut merupakan pilihan elegan yang disediakan oleh peraturan. Dengan mengambil hak jawab, hak koreksi atau melaporkan pada kepolisian terhadap pemberitaan tersebut PDI Perjuangan telah memberikan pendidikan politik yang sehat, bukan saja kepada publik, melainkan juga kepada media yang bersangkutan.

Pilihan ini jauh lebih terhormat daripada melakukan penyegelan dan aksi vandalisme. Dari peristiwa ini dapat dinilai masih ada elite politik yang tidak ramah dengan kehidupan pers, tidak terbiasa dikritik dan lebih memilih jalan pintas menggunakan teror dalam menyelesaikan masalah. Jika pada pers yang dikenal sebagai pilar keempat demokrasi, teror disertai vandalisme dapat terjadi secara terbuka, tentu hal ini mungkin terjadi pada rakyat kecil yang tidak berdaya.

Tiga Kerugian Politik

Peristiwa penyegelan dan aksi vandalisme terhadap TVOne bukan hal pertama ini terjadi. Sebelumnya, tahun lalu pernah terjadi pada stasiun TVRI Gorontalo. Saat itu massa yang tidak puas dengan pemberitaan TVRI mendatangi kantor stasiun TVRI Gorontalo dan menerobos masuk ke dalam studio yang sedang melangsungkan acara talkshow. Peristiwa tersebut bahkan disertai dengan kekerasan fisik terhadap sejumlah jurnalis dan pekerja media.

Pemberitaan politik memang lebih dapat memicu kekerasan dan teror terhadap media dari pada pemberitaan lainnya. Hal ini terjadi karena politik menjadi titik temu antara kekuasaan, bisnis, harapan, dan mungkin saja kehormatan dan martabat sebuah partai. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sendiri melalui pernyataan resminya mengajak seluruh kader menjaga martabat partai dengan cara mengedepankan penegakan hukum. Pernyataan

Page 101: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

tersebut memang belum terlambat namun sebaiknya disampaikan sebelum peristiwa penyegelan dan aksi vandalisme terhadap TVOne terjadi.

Patut disyukuri pernyataan tersebut keluar sehingga dapat mencegah aksi serupa yang bisa dapat terjadi lebih parah. Jika tetap aksi penyegelan, vandalisme, penyerbuan atau pendudukan stasiun TVOne yang dipilih menyelesaikan masalah ini, setidaknya PDI Perjuangan akan mendapat tiga kerugian. Pertama, aksi penyegelan dan vandalisme tersebut menegaskan bahwa PDI Perjuangan disusupi oleh PKI seperti yang diberitakan oleh TVOne. Jika berita TVOne tersebut keliru, seharusnya PDI Perjuangan menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau jalur hukum lainnya.

Kedua, aksi penyegelan dan vandalisme tersebut cermin dari sikap panik elite PDI Perjuangan. Menjelang pemilihan presiden, tentu saja kepanikan ini bisa dieksploitasi oleh pihak lawan. Jika ini dikelola dengan baik, tidak mustahil perolehan suara pasangan Jokowi-JK yang diusung PDI Perjuangan akan merosot.

Ketiga, aksi penyegelan dan vandalisme dapat menjadikan Jokowi-JK musuh demokrasi dan kebebasan pers. Kerugian ketiga ini lebih berdimensi jangka panjang karena dicatat oleh sejarah.

Agaknya tiga konteks ini yang mendorong Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan resminya terkait aksi penyegelan dan vandalisme tersebut. Dalam pernyataannya, Megawati selalu merujuk pada terciptanya demokrasi yang berkeadaban. Mengajak semua elemen memperjuangkan pemilu yang jurdil, demokratis, aman, dan damai.

Semoga saja setelah pernyataan resmi Megawati tersebut tidak ada lagi aksi serupa sehingga pers tidak merasa diteror dan pemilu presiden berjalan dengan sehat dan jauh dari jalan yang sesat.

ISWANDI SYAHPUTRADosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Page 102: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Antara Kesalihan dan Kecakapan

Jika sekuler itu artinya (kehidupan) saat ini di dunia ini (dari bahasa Latin seculum: yang artinya the temporal world), Islam itu sebenarnya agama yang sekuler atau paling sekuler. Islam itu agama yang sangat berpretensi mengatur dan mengurusi dunia ini. 

Tak ada satu noktah dan celah pun kehidupan dunia ini yang dibiarkan oleh Islam tanpa aturannya. Urusan dunia dan agama (umuru ‘l-dunya wa ‘l-din), agama dan negara (al-din wa ‘l-daulah), serta agama dan politik (al-din wa ‘l-siyasah), itu tak terpisahkan dan semua diatur dalam Islam sebagai risalah yang sempurna dan paripurna, termuat dalam Alquran dan Hadits, baik secara rinci (atau detil sekali) maupun hanya secara garis besar. Berbeda dengan pemikiran Barat yang helenistik yang bercirikan dualisme yang mendikotomikan dunia dan akhirat, Islam alih-alih memandang dunia dan akhirat itu sebagai tak terpisahkan dan satu kesatuan yang integral. 

Islam memandang kehidupan akhirat adalah dan hanyalah kelanjutan belaka dari kehidupan di dunia ini: jika hidupnya di dunia lurus (menempuh jalan al-shirat al-mustaqiem) sesuai dengan ajaran Allah SWT dan para Rasul-Nya, konsekuensinya di akhirat nanti akan baik-baik saja. Tapi, jika melawan dan menyimpang dari ajaran-Nya, di akhirat akan menerima akibatnya juga.

Alquran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada umat manusia untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang masih hidup di dunia. Singkatnya, kitab itu diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri di dunia ini agar sesuai ajaran Tuhan. Alquran bukan petunjuk untuk orang mati (hudan lil-mayyiti), melainkan untuk manusia (hudan lil-nas dan hudan lil-muttaqien) yang masih hidup. Memang banyak ayat-ayat Alquran yang menceritakan bagaimana kehidupan di akhirat nanti, baik kehidupan di surga (al-jannah, al-firdaus) maupun di neraka (al-nar), tetapi itu lebih sebagai pelajaran dan peringatan agar manusia yang masih hidup di dunia ini berhati-hati, waspada, tidak sembrono, tidak meremehkan ajaran Islam, dan tidak menyimpang dari kebenaran. 

Urusan Administrasi Negara 

Walhasil, menurut Islam, dunia dan kehidupan dunia (umur ’l-dunya) itu penting, bahkan sangat penting. Dunia ini tempat menanam (kebaikan) untuk dipetik hasilnya terutama di alam akhirat nanti. Menanam kebaikan itu artinya beribadah dalam pengertian luas yang meliputi bersembahyang, berzikir, berdoa, berpuasa, bekerja keras menegakkan yang makruf, berjuang di segala bidang untuk kemanusiaan, berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, serta berjuang melawan yang mungkar dan menyingkirkan kebatilan atau amar makruf nahi munkar.

Page 103: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Islam lagi-lagi tidak membedakan ibadah dalam pengertian ritual atau liturgis (ibadah mahdhoh) ataupun ibadah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan (ghairu mahdhoh). Setiap dan semua tindakan kebaikan atau pekerjaan dalam bidang apa pun yang diniatkan sebagai ibadah dan dimulai dengan basmalah (atas nama Tuhan), itu ibadah, berpahala, dan kelak di akhirat dijamin pasti mendapatkan balasan dari Allah SWT. Tidak syak lagi, mengurus negara atau pemerintahan negara itu ibadah. Meski peran kesalihan pribadi tetap ada, tetapi urusan negara adalah urusan ibadah yang bersifat publik yang menuntut kecakapan khusus yang tersendiri. Karena menyangkut urusan dunia, berlakulah Hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal ”Antum a’lamu bi umuri dunya kum” yang artinya ”Kalian lebih tahu urusan keduniaanmu” (Hadits). 

Tetapi, harus diingat urusan dunia dalam pandangan Islam adalah sangat penting oleh karena kelak di kemudian hari (atau di Hari Kemudian) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Maka itu, urusan negara harus diatur dan dikelola dengan cakap dan benar serta akuntabel, tidak bisa sekadar ikhlas-ikhlasan. Justru karena dimensinya ibadah, harus sungguh-sungguh profesional dan memenuhi tuntutan good corporate governance (GCG). Mengurus negara itu memerlukan kecakapan tersendiri yang bisa disebut sebagai kecakapan administrasi. 

Kecakapan berpidato memang penting dan relevan saat negara sedang mengalami situasi revolusi melakukan mobilisasi massa untuk perjuangan fisik. Di dalam era seperti ini peran pemimpin yang bercorak solidarity maker (meminjam kategori Herbert Feith) sangatlah penting. Tak heran jika pemimpin yang menonjol dan dipilih rakyat adalah figur-figur yang pandai berpidato dengan retorika yang membakar semangat serta mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi, dalam keadaan dan situasi di mana negara harus bekerja membangun untuk melaksanakan cita-cita revolusi atau mewujudkan nilai-nilai reformasi, yang diperlukan adalah kepemimpinan dengan tipe administratif. 

Maka itu, lihatlah para pemimpin negara lebih tampil sebagai seorang administrator daripada ideolog atau apalagi demagog! Begitu penting dan sentralnya fungsi administrator malah sekarang ini kata administrasi (administration) secara mutatis mutandis lebih sering dipakai daripada kata pemerintahan (government). Lihatlah, kata Obama administration lebih sering digunakan daripada kata Obama government, kata Cameron administration lebih banyak digunakan daripada istilah Cameron government, dan last but not least kata SBY administration lebih sering terdengar daripada istilah SBYgovernment. 

Faktor Kecakapan 

Dalam konteks dan perspektif ini, dalam urusan negara mestinya kriterium kecakapan atau kompetensi administrasi negara menjadi yang pertama dan utama. Lebih daripada itu, yang lebih penting dan relevan adalah cakap dalam mengelola administrasi negara dan menegakkan aturan atau undang-undang. Itulah hakikat mengelola negara. Tak heran jika Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam era Khulafaurrasyidin, menggunakan standar kemampuan administrasi yang keras dalam memilih pejabat negara semacam wazir (menteri)

Page 104: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

atau gubernur lebih daripada kriterium kesalihan pribadi. 

Sangat meyakinkan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab menjadi gubernur Syam (Syria), Amru bin Ash di Mesir, dan Mughiroh di Kuffah adalah karena mereka dinilai sebagai orangorang yang cakap, kuat, dan mumpuni dalam urusan eksekutif yang sarat dengan persoalan administratif. Meski Mu’awiyah pernah dipercaya menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW, reputasi keislaman dan etisnya tidaklah begitu mengesankan sebagaimana prestasi dan reputasi administratifnya dalam mengelola administrasi pemerintahan negara. Perlu dicatat bahwa Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu penaklukan Mekkah (fathu Makkah) bersama-sama dengan ayahnya, Abu Sufyan. Toh demikian, ia diangkat juga oleh Umar menjadi gubernur Syam.

Adalah sangat menarik ketika mengangkat dan melantik Amru bin Ash menjadi gubernur Mesir, Khalifah Umar bin Khattab berkata: ”Aku mengenal banyak orang dari kalangan Muhajirin yang jauh lebih baik dibanding Anda, namun aku mengangkat Anda menjadi gubernur dengan pertimbangan kecakapan”.

Dalam kasus Provinsi Kuffah proses pengangkatan gubernur oleh Khalifah Umar juga tidak kurang menariknya. Pasalnya dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi suksesi gubernur sampai empat kali. Setelah Gubernur Saad bin Abi Waqas gagal memerintah Kuffah, Umar mengangkat Amar bin Yasir sebagai penggantinya. Gubernur Amar ternyata gagal juga dan dia diberhentikan pula oleh Umar untuk kemudian diangkatlah Jubair bin Muth’im. Gubernur Jubir bin Muth’im tidak berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya dan dipecat pula oleh Umar. Saat Khalifah Umar mengalami kebingungan akan memilih siapa lagi yang akan diangkatnya menjadi gubernur menggantikan Jubir, datanglah Mughiroh menghadap kepadanya dengan membawa proposal dan menyatakan kemampuan dan kecakapannya untuk memerintah Provinsi Kuffah. 

Umar menjawab lamaran itu dengan mengatakan: ”Kamu orang yang tidak senonoh perilakunya!” Jawab Mughiroh tegas: ”Kompetensiku untuk berbuat yang terbaik (dalam pemerintahan) adalah untuk Anda, sementara ketidaksenonohanku untuk aku sendiri.” Umar suka dengan jawaban ini dan diangkatlah Mughiroh! Ketika dikritik para sahabat, Umar menjawab dengan santai: ”Aku hanya memanfaatkan kemampuannya (dalam menangani urusan) pemerintahan!” 

Bukan Kesalihan Individual ? 

Pernah beberapa orang bertanya kenapa tidak mengangkat para sahabat Nabi yang dikenal alim dan salih, Umar menjawab: ”Aku tidak mau mencemari mereka dengan kemungkinan perbuatan (keliru)!” Di riwayat yang lain yang juga penulis kutip dari sejarawan syi’ah, Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Studi Kritis (hal 499), Umar menjawab bahwa dirinya tidak berniat merusak kealiman dan kesalihan para sahabat itu dengan urusan-urusan eksekutif yang menuntut kecakapan administratif. 

Page 105: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Bagi Umar, soal kesalihan atau kejujuran dalam menjalankan pemerintahan itu penting, tetapi ada mekanisme penilaian lain. Walhasil, penyelenggaraan negara itu bukan soal kesalihan ritual atau etika individual, melainkan soal kemampuan mengurus public (respublica: urusan umum). Dikenal dalam sejarah sebagai tokoh yang keras, Umar lebih menyukai manajer yang keras pula dalam menjaga disiplin dan menjamin ditaatinya aturan sekalipun tidak begitu salih! Umar tidak memperlihatkan belas kasihan pada pelanggaran hukum dan peraturan, tak peduli siapa dan dari mana pelanggar hukum itu berasal. 

Para gubernur dan anaknya sendiri pun tidak kebal dari murka Umar kalau sedang menegakkan aturan pemerintahan. Walhasil, yang dibutuhkan bukan sekadar figur populis, sederhana, dan berpribadi baik; juga bukan figur yang sekadar jagoan pidato saja, melainkan tokoh yang cakap yang menjamin tegaknya aturan dan undang-undang! Indonesia yang sangat besar dan kompleks ini sedang menunggu administrator yang memiliki kecakapan. ●

HAJRIYANTO Y THOHARIWakil Ketua MPR RI

Page 106: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Page 107: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

Noda Hate Campaign dalam Pilpres

Pemilu presiden (pilpres) merupakan mekanisme konstitusional untuk memilih pemimpin tertinggi eksekutif berdasarkan kehendak politik rakyat. Daulat rakyat (seharusnya) dapat diwujudkan melalui terpilihnya pemimpin tertinggi eksekutif berdasarkan prinsip pemilu yang baik (good electoral governance) seperti luber dan jurdil, transparan, akuntabel, fair competition,dan demokratis. 

Pilpres 2014 kali ini cukup banyak diwarnai kampanye yang bukan saja merupakan kampanye negatif atau kampanye hitam, melainkan sudah menjurus ke arah kampanye penebar kebencian (hate campaign). Kampanye negatif merupakan kampanye yang memiliki ciri ada pengungkapan fakta yang disampaikan secara jujur dan relevan menyangkut kekurangan suatu calon atau partai. Berbeda dengan kampanye negatif, kampanye hitam biasanya hanya berisi tuduhan yang tidak berdasarkan fakta dan mengandung fitnah. Karena sifatnya yang mengandung unsur fitnah, kampanye hitam juga sering disebut sebagai kampanye penebar kebencian. 

Namun, pada hate campaign sudah ada upaya untuk diwujudkan perilaku destruktif tertentu yang pada umumnya merusak demokrasi. Kampanye penebar kebencian yang hingga kini masih marak terjadi melalui media cetak/elektronik, internet, aksi publik dengan isu hate campaign tertentu yang by design dan sejenisnya. Kampanye hitam maupun kampanye penebar kebencian merupakan sesuatu yang sebenarnya (tidak) mudah untuk diusut dan diungkap, baik pelaku operasionalnya aktor intelektual (inisiatornya) bahkan penyandang dana di belakang berbagai bentuk kampanye hitam maupun kampanye penebar kebencian. 

Itu disebabkan persenyawaan antara motif personal para pelakunya, kepentingan politik yang berkelindan dengan berbagai aksi kampanye tersebut, dan kapasitas institusi pengawas pemilu maupun penegak hukum yang harus menegakkan hukum pemilu. Kampanye penebar kebencian tak hanya terjadi di Indonesia saat ini. Di Amerika Serikat kampanye tersebut juga marak terjadi di era kontestasi politik antara Obama dan John McCain di era kampanye Pilpres AS lalu. 

Karena semakin tidak populernya George W Bush, kubu Republik kelihatannya hanya dapat menjadikan warna kulit Obama sebagai satu-satunya alasan yang dapat mereka gunakan untuk melawannya. Partai Republik di masa itu seringkali memberikan toleransi dan mencetuskan penghinaan bernada rasisme, kebohongan bernada kebencian pada orang asing, serta desas-desus jahat. Seandainya dengan mengusung tema tersebut McCain menang, bisa jadi aksi kekerasan akan merebak di AS hingga saat ini. Namun, sejarah politik AS membuktikan bahwa Obama telah mampu menepisnya dan akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang. 

Itu telah mengubah wajah baru dunia perpolitikan AS yang sejak dulu dikenal sangat keras

Page 108: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

dan kompetitif dalam kontestasi demokrasi untuk memilih orang nomor satu di AS. Kampanye penebar kebencian sangat destruktif dampaknya terhadap sistem demokrasi. Melalui kampanye tersebut, afiliasi pendukung/pemilih telah dikonstruksi dengan membuat perbedaan yang tajam dengan pendukung/pemilih kubu capres lainnya dengan menjadikan pesaing sebagai lawan/musuh. 

Kampanye penebar kebencian tersebut juga telah mengubah konstelasi demokrasi menjadi sebuah arena politik yang dikonstruksi sebagai sekadar pertaruhan menang-kalah yang tak jarang diwarnai semangat kebencian terhadap kubu pesaingnya. Demokrasi telah diturunkan derajat maknanya menjadi kontestasi kepentingan antar kandidat yang berimbas pada friksi sosial di aras akar rumput. Politik citra yang berupaya memoles sang kandidat bak malaikat tanpa dosa sambil mendelegitimasi citra publik pesaingnya, tak urung telah menutup realitas bahwa kandidat tersebut memiliki plus-minus dalam rekam jejak masing-masing. 

Kampanye penebar kebencian yang berupaya mengonstruksi citra jahat kandidat pemilu di benak publik/calon pemilih justru bisa berdampak terhadap menguatnya kebencian antarsegmen atau kelompok masyarakat. Kampanye penebar kebencian pada gilirannya justru akan menimbulkan suasana permusuhan dan friksi sosial karena nalar publik dimatikan dengan memainkan emosi publik melalui pencitraan jahat kandidat politik yang seringkali melampaui faktanya. 

Mulai merebaknya kekerasan antarpendukung capres di Yogyakarta pada 24 Juni 2014 harus diantisipasi sebagai kian menajamnya kontestasi antara (pendukung) capres yang kini semakin mengarah pada friksi sosial yang sangat tidak sehat terhadap sistem demokrasi elektoral. Kasus kekerasan serupa sebelumnya terjadi di Yogyakarta, Solo, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Anarkisme politik sudah mulai merebak, menyusul langkah lamban dari aparat penegak hukum dan pengawas pemilu dalam merespons berbagai bentuk kampanye penebar kebencian, baik yang disampaikan secara oral maupun tulisan. 

Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan capres kali ini seharusnya diikuti penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum untuk kasus-kasus hukum pemilu oleh aparat yang diberi otoritas oleh undangundang. Negeri ini tidak ingin menjadi negeri yang gagal dalam melewati transisi demokrasi justru karena kegagalannya dalam berdemokrasi. Dalam kosakata ilmu politik, kata mobokrasi seringkali ditempatkan di belakang kata demokrasi. 

Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat, tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai. Negeri ini seharusnya melalui demokrasi elektoralnya mampu membangun suatu demokrasi yang sejahtera (welfare democracy), bukan justru menciptakan mobokrasi atau? Mabuk-krasi? (pemerintahan yang dipimpin oleh elite yang haus kuasa dan jabatan dengan menghalalkan segala cara untuk berkuasa)! ●

Page 109: (Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014

DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM Dosen Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta