220

Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan
Page 2: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

TENTANG

PENGADILAN PERIKANAN

Disusun Oleh Tim Kerja

Di Bawah Pimpinan:

Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

JAKARTA, 2009

Page 3: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

TENTANG

PENGADILAN PERIKANAN

Editor:

Ajarotni Nasution, S.H., M.H.

Mugiyati, S.H., M.H.

Sutriya

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

Page 4: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

iv

Page 5: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

KATA PENGANTAR

Perairan Indonesia memiliki potensi ikan yang sangat besar, namun

belum dapat dimanfaatkan secara optimal mengisi kas negara. Sementara

dunia bisnis perikanan di Indonesia marak dengan pelanggaran tindak

pidana perikanan. Untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya ikan

laut dan mengatasi permasalahan yang ada, perangkat peraturan

perundang-undangan perlu disediakan secara memadai, serta dukungan

kelembagaan peradilan yang baik.

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

mengatakan bahwa pengadilan perikanan berada pada peradilan umum,

berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang

perikanan sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang

bersangkutan. Mengingat peradilan perikanan ini masih relatif baru,

maka perlu dilakukan analisis dan evaluasi tentang peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan peradilan perikanan.

Berkenaan dengan hal ini, pada tahun anggaran 2007, Badan

Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah melakukan Analisis dan

Evaluasi Hukum tentang Pengadilan Perikanan, berkenaan dengan materi

hukum, aparatur penegak hukum, sarana dan prasarana serta budaya

hukum.

Hasil analisis dan evaluasi ini diterbitkan dengan maksud menambah

khazanah informasi hukum, khususnya dalam penyusunan perundang-

undangan. BPHN sebagai Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi

Hukum Nasional akan menyebarluaskannya ke semua Anggota jaringan

di Pusat dan daerah. Dengan demikian masyarakat akan lebih mudah

mengetahui, memanfaatkan, dan mengembangkan lebih lanjut, oleh

berbagai kalangan untuk berbagai kepentingan, khususnya kalangan

politisi dan kalangan hukum yang bekerja di bidang pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada tim yang dipimpin

oleh Sdr. Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H., yang telah bekerja

v

Page 6: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

vi

keras menyusun naskah ini beserta semua pihak yang berperan serta

sehingga buku ini dapat diterbitkan.

Jakarta, September 2009

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb.

Page 7: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor: G-20.PR.09.03 Tahun 2007 tanggal 8

Januari 2007 dibentuklah Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang

Pengadilan Perikanan (Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan). Adapun maksud dan tujuan diadakannya kegiatan Tim

Analisis dan Evaluasi tentang Pengadilan Perikanan ini adalah untuk

menginventarisir permasalahan/kendala apa yang dihadapi berkaitan

dengan pembentukan pengadilan perikanan ini dan upaya/solusi apa

yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Ide pembentukan pengadilan perikanan dilandasi oleh semangat

mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga peradilan yang

ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum khususnya yang terkait

penegakan hukum pelanggaran perikanan. Amanat dan tujuan

pembentukan Pengadilan Perikanan sebagaimana dalam Undang-undang

No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan itu sampai saat ini masih

dihadapkan pada banyak kendala dalam pelaksanaannya, antara lain

kelemahan-kelemahan dalam hukum acara, tidak adanya mekanisme

koordinasi antara PPNS, TNI-AL, dan Kepolisian khususnya pada

tingkat penyidikan, banyaknya hal-hal teknis yang belum diatur

khususnya terkait dengan format pengadilan yang akan dibentuk tersebut,

tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, dan sebagainya

Kami atas nama tim mengucapkan terima kasih kepada Badan

Pembinaan Hukum Nasional atas kepercayaan yang telah diberikan

kepada tim, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh

anggota tim dan pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dalam

rangka penyusunan laporan ini.

vii

Page 8: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

viii

Kiranya laporan tim ini dapat memenuhi harapan Badan Pembinaan

Hukum Nasional untuk dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam

pengembangan hukum.

Jakarta, Desember 2007

Ketua Tim,

ttd

Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H.

Page 9: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................

A. Latar Belakang Masalah .....................................

B. Permasalahan .......................................................

C. Maksud dan Tujuan ............................................

D. Ruang Lingkup ....................................................

E. Metodologi ...........................................................

BAB II KAJIAN HUKUM MATERIIL ..............................

A. Nasional ...............................................................

B. Internasional ........................................................

1. UNCLOS 1982.............................................

2. UN Compliance Agreement 1993 ...............

3. UN Fish Stock Agreement ...........................

4. Code of Conduct for Responsible Fisheries

(CCRF) 1995 ................................................

5. IPOA on IUU Fishing .................................

BAB III REALITAS EMPIRIS PENGADILAN PERIKAN-

AN ...............................................................................

A. Hukum Materiil ...................................................

1. Izin untuk Mengelola Perikanan .................

2. Pengrusakan Lingkungan.............................

B. Hukum Formil .....................................................

1. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

2. Tugas Aparat Penyidik di Bidang Perikanan

ix

v

ix

1

1

3

4

4

5

7

7

15

15

25

30

41

46

51

51

51

58

62

71

74

Page 10: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

x

3. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Per-

ikanan ...........................................................

4. Permasalahan Peraturan Perikanan .............

5. Permasalahan Pada Sikap Aparat Penegak

Hukum Dan Fasilitas ...................................

BAB IV ANALISIS ..................................................................

A. Analisis Yuridis ...................................................

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan

Perikanan ......................................................

2. Daerah Hukum Pengadilan Perikanan ........

3. Tindak Pidanan Perikanan ...........................

4. Aparat Penegak Hukum...............................

5. Alat Bukti .....................................................

6. Insentif ..........................................................

B. Analisis Empiris ..................................................

1. Perlunya Kepastian Hukum .........................

2. Upaya Pemberantasan Illegal Fishing ........

BAB V PENUTUP ..................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................

B. Saran ....................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................................

LAMPIRAN ...............................................................................

75

76

85

87

87

87

88

89

95

101

103

106

106

109

123

123

124

127

131

Page 11: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia memiliki laut yang luas yang mengandung sumber

daya yang potensial untuk modal pembangunan. Negara Indonesia

merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan kecil.

Sebagai sebuah negara kepulauan, potensi perikanan laut Indonesia

tersebar pada hampir semua bagian perairan laut yang ada seperti

perairan laut nusantara, perairan laut teritorial, dan perairan laut Zona

Ekonomi Ekslusif (ZEE). Luas perairan laut Indonesia diperkirakan

sebesar 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan

gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508. Perairan Indonesia memiliki

potensi ikan yang diperkirakan sebanyak 6,26 juta ton per tahun yang

dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton

dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dari perairan

ZEEI1.

Potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena

berbagai hal. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun

telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun

belum dapat memberikan sumbangsih yang signifikan bagi peningkatan

pendapatan negara. Berbagai langkah yang telah diambil oleh pemerintah

seperti peningkatan kualitas SDM perikanan, pemberdayaan nelayan

kecil, pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan,

pengembangan sarana dan prasarana pengawasan, serta penegakan

hukum tampaknya masih belum memberikan hasil yang memuaskan.

Sebaliknya dunia bisnis perikanan di Indonesia (khususnya di

bidang perikanan tangkap) masih banyak diwarnai maraknya pelanggaran

hukum (tindak pidana perikanan), seperti pemalsuan izin kapal ikan

1 Muhammad Ali Yahya, Perikanan Tangkap Indonesia (Suatu Analisa Filosofis dan Kebijakan)., http://

rudyct.250x.com/sem 1_012/ali_yahya.htm, 10 Oktober 2005.

Page 12: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

2

yang dilakukan dengan berbagai cara, penggunaan alat tangkap yangtidak ramah lingkungan, transhipment, pelanggaran fishing ground,dan lain-lain.

Lemahnya penegakan hukum di bidang perikanan antara laindisebabkan oleh belum adanya perangkat hukum yang memadai sertadukungan kelembagaan peradilan yang baik. Berbagai persoalan yangdihadapi antara lain keterbatasan SDM yang memiliki pemahaman

tentang kasus-kasus di bidang perikanan, hukum acara yang kurangmendukung proses peradilan yang cepat, serta kurangnya dukungansarana dan prasarana yang memadai.

Untuk itu, pada tahun 2004 telah diundangkan UU No. 31 Tahun2004 Tentang Perikanan (menggantikan UU No. 9 Tahun 1985 TentangPerikanan). Dengan Undang-undang ini dibentuk pengadilan perikananyang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidanadi bidang perikanan. Pengadilan perikanan tersebut berada di lingkungan

peradilan umum. Dengan demikian, daerah hukum pengadilan perikanansesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.UU No. 31 tahun 2004 mengamanatkan agar Pengadilan Perikanansudah dibentuk dan melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal tersebut mulai berlaku. Untukpertama kali pengadilan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara,Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Pembentukan pengadilan perikanan

tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhanyang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Ide pembentukan pengadilan perikanan tersebut pada dasarnyadilandasi oleh semangat mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukumkhususnya yang terkait penegakan hukum pelanggaran perikanan. Selainitu dengan semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di bidangperikanan, maka dibutuhkan lembaga peradilan khusus yang lebih

profesional yang didukung dengan SDM yang menguasai persoalan-persoalan khusus di bidang perikanan. Selama ini penanganan kasus-kasus di bidang perikanan oleh lembaga peradilan umum masih belumoptimal. Dengan kata lain, dibentuknya pengadilan perikanan

dimaksudkan untuk:

Page 13: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

3

1. menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara

optimal dan berkelanjutan. Dalam hal ini pelaksanaan penegakan

hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis

dalam rangka menunjang pembangunan perikanan;

2. lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap

penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan;

3. melengkapi dan menyempurnakan hukum acara dalam proses

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

(di samping mengikuti hukum acara dalam UU No. 8 Tahun 1981

tentang KUHAP, juga memuat hukum acara khusus);

4. menjamin hukum materiil dan hukum acara (formil) bersifat lebih

cepat;

5. meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap

tindak pidana di bidang perikanan.

Persoalannya kemudian, amanat dan tujuan pembentukan Pengadilan

Perikanan sebagaimana dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

itu sampai saat ini masih dihadapkan pada banyak kendala dalam

pelaksanaannya, antara lain kelemahan-kelemahan dalam hukum acara,

tidak adanya mekanisme koordinasi antara PPNS, TNI-AL, dan

Kepolisian khususnya pada tingkat penyidikan, banyaknya hal-hal teknis

yang belum diatur khususnya terkait dengan format pengadilan yang

akan dibentuk tersebut, tidak adanya mekanisme pembinaan dan

pengawasan, dan sebagainya. Oleh karena itu BPHN Dep. Hukum

dan HAM memandang perlu untuk melakukan analisis dan evaluasi

hukum mengenai Pengadilan Perikanan.

B. PERMASALAHAN

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini

adalah:

1. Mengingat pembentukan pengadilan khusus perikanan sebagai

suatu hal yang baru, maka perlu diinventarisir permasalahan/kendala

apa yang telah dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi dengan

kehadiran sistem penegakan hukum yang baru ini? Permasalahan

Page 14: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

4

tidak menutup kemungkinan terjadi di semua tahapan dalam Sistem

Peradilan Pidana.

2. Upaya/solusi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi

permasalahan tersebut?

C. MAKSUD DAN TUJUAN

Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan (UU

No. 31 Tahun 2004) dimaksudkan untuk mengadakan analisis dan

evaluasi tentang peraturan perundang-undangan dan peraturan terkait

lainnya berkenaan dengan pengadilan perikanan. Tujuan pembentukan

Tim Analisis dan Evaluasi hukum Tentang Pengadilan Perikanan ini

adalah:

Untuk mengkaji sejauhmana perkembangan dan permasalahan

hukum di bidang perikanan khususnya tindak pidana perikanan sehingga

perlu dibentuk pengadilan khusus perikanan. Diharapkan dapat

memberikan rekomendasi tentang dasar kebijakan untuk melaksanakan,

memperbaiki, menyusun/menyempurnakan aturan, sistem dan mekanis-

me kerja pengadilan perikanan.

D. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup kegiatan ini dibatasi pada segi materi hukumnya,

aparatur penegak hukum, sarana dan prasarana serta budaya hukum.

Segi materi hukum maksudnya adalah melakukan pembahasan terhadap

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembentukan

pengadilan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 31

Tahun 2004 tentang Perikanan. Segi aparatur hukum meliputi kesiapan

dari aparatur penegak hukum terkait dengan pelaksanaan – law en-

forcement – seperti koordinasi di antara aparat penegak hukum terkait

(PPNS, TNI-AL, dan Kepolisian) dan proses beracara di pengadilan

perikanan. Segi sarana dan prasarana meliputi sarana dan prasarana

yang mendukung kelancaran tugas dari aparat penegak hukum tersebut.

Segi budaya hukum meliputi kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di

masyarakat berkaitan dalam berperkara di pengadilan khususnya

pengadilan perikanan yang akan dibentuk.

Page 15: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

5

E. METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam penulisan analisis dan evaluasi

hukum ini adalah yuridis normatif empirik dengan melakukan studi

kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data baik data primer berupa

peraturan perundang-undangan terkait maupun data sekunder berupa

literatur dari buku-buku, internet, koran, majalah, makalah, hasil-hasil

penelitian dan sebagainya.

Page 16: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

6

Page 17: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

BAB II

KAJIAN HUKUM MATERIIL

A. NASIONAL

Pengadilan perikanan, sebagaimana pembentukannya diamanatkanoleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, merupakan hal barudalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Hal inidikarenakan, pada undang-undang yang terkait dengan pengaturanperikanan sebelumnya, khususnya pada UU No. 9 Tahun 1985 tentangPerikanan dan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi EksklusifIndonesia tidak mengatur yang berkaitan khusus dengan pengadilanperikanan. Semakin maraknya pelanggaran hukum di bidang perikananserta kurang mendukungnya sistem peradilan yang ada dalam menanganitindak pidana bidang perikanan merupakan salah satu pertimbangandimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai pengadilan perikanandalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Bagi para pelakuperikanan, lamanya sistem peradilan selama ini menyebabkan kerugiandi pihak mereka, karena secara ekonomi, disebabkan tidak beroperasinyakapal mereka untuk melakukan penangkapan ikan. Lebih dari itu,dalam masa penahanan, tidak sedikit kapal-kapal yang ditahan mengalamikerusakan. Berdasarkan hal tersebut, maka di penghujung tahun 2004dikeluarkanlah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Khususpengaturan tentang pengadilan perikanan tertuang pada Bab XIII,sementara pengaturan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan diBidang Pengadilan Perikanan tertuang pada Bab XIV.

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU No. 31 Tahun 2004 tentangPerikanan, Pengadilan Perikanan berada di peradilan umum, berwenangmemeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanansesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.Kemudian dalam Pasal tersebut diamanatkan bahwa paling lambat 2

(dua) tahun sejak diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan harus sudah terbentuk pengadilan perikanan di 5 (lima)

daerah (Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual).

7

Page 18: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Selanjutnya ketentuan mengenai penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan diatur dalam BAB XIV

Pasal 72 sampai dengan Pasal 83. Dalam sistem pengadilan perikanan

yang tertuang pada UU No. 31 Tahun 2004, penyidikan tindak pidana

di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS), Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indone-

sia (Pasal 73 ayat 1). Dengan demikian, ada tiga institusi negara yang

berwenang dalam melakukan penyidikan di bidang perikanan. Meski

kata koordinasi susah diterapkan, UU No. 31 Tahun 2004 mengamanat-

kan bahwa penyidik dapat melakukan koordinasi (Pasal 73 ayat 2).

Oleh karena itu, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak

pidana di bidang perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan dapat

membentuk forum koordinasi (Pasal 73 ayat 3).

Tabel 2.1 Wewenang, Kedudukan, Wilayah Hukum, dan

Pembentukan Pengadilan Perikanan

WEWENANG

Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Tindak pidana di Bidang Perikanan

KEDUDUKAN Berada di Lingkungan Peradilan Umum

PEMBENTUKAN PERTAMA KALI

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual.

PEMBENTUKAN BERIKUTNYA

Secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden

WILAYAH HUKUM

Sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

MULAI AKTIF

Paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku

Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan, perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.

8

Page 19: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan

saat ini telah dibentuk dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan

Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dengan tugas utama mengkoor-

dinasikan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.

Menurut PER.13/MEN/2005, Forum Koordinasi Penanganan Tindak

Pidana di Bidang Perikanan menyelenggarakan fungsi, yaitu:

a. Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan;

b. Identifikasi jenis, modus operandi, volume, dan penyebaran praktik-

praktik tindak pidana di bidang perikanan;

c. Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritas-

kan untuk diproses secara bertahap;

d. Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah

terjadinya tindak pidana di bidang perikanan;

e. Analisis, identifikasi, dan pengukuran signifikansi tindak pidana

di bidang perikanan secara periodik;

f. Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan

pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;

g. Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana

di bidang perikanan;

h. Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan

tindak pidana di bidang perikanan;

i. Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak

pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan.

Adapun susunan anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak

Pidana di Bidang Perikanan, yaitu terdiri dari:

a. Ketua, Menteri Kelautan dan Perikanan

b. Wakil Ketua I, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan

Laut

c. Wakil Ketua II, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

d. Sekretaris I merangkap anggota, Direktur Jenderal Pengawasan

dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, DKP.

9

Page 20: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

e. Sekretaris II merangkap anggota, Asisten Operasional Kepala Staf

Tentara Indonesia Angkatan Laut Nasional.

f. Anggota:

a) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung;

b) Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

c) Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM;

d) Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan;

e) Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan;

f) Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen

Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

g) Direktur Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung;

Untuk tahap penuntutan, antara lain disebutkan bahwa penuntutan

dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan

lain dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penuntut umum

harus memenuhi persyaratan:

a. Berpengalaman sebagai Penuntut Umum sekurangnya 5 tahun;

b. Telah mengikuti Diklat teknis di bidang perikanan;

c. Cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama

menjalankan tugasnya.

Pelaksanaan persyaratan tersebut di atas paling lambat 3 (tiga)

tahun sejak diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Selanjutnya dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 diatur mengenai mekanisme

pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksanan di pengadilan dilakukan

berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam

UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Hakim pengadilan perikanan

terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc, dengan susunan majelis

hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier.

Hakim karier ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah

Agung, sedangkan Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pemeriksaan di sidang

pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, demikian

pula putusan perkara dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara

10

Page 21: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

lebih jelas proses penegakan hukum di Pengadilan Perikanan dapat

dilihat pada Gambar 2.2.

JAKSA PENUNTUT UMUM:

PENYIDIKAN

� PPNS

� PERWIRA

TNI-AL

� PEJABAT

POLRI

� Pengalaman 5 (lima) tahun;

� Mengikuti DIKLAT di bidang

perikanan;

� Cakap dan integritas moral yang

tinggi

Hakim Pengadilan Perikanan terdiri atas

Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

Susunan Majelis Hakim terdiri atas 2

(dua) Hakim ad hoc dan 1 (satu) Hakim

Karier.

FORUM

KOORDINASI

PEMERIKSAAN DI

PENGADILAN

PERIKANAN

PENUNTUTAN

Gambar 2.1 Proses Penegakan Hukum Di Pengadilan Perikanan

Adapun mekanisme penentuan Hakim Ad Hoc tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Seleksi calon hakim ad hoc dilakukan oleh Mahkamah Agung

dari lingkungan perikanan, perguruan tinggi, dan mereka yang

mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan;

2. Hasil seleksi oleh Ketua Mahkamah Agung disampaikan kepada

Presiden untuk di angkat.

11

Page 22: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

3. Berdasarkan Keputusan Presiden calon hakim ad hoc mengikuti

diklat yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung.

4. Setelah dinyatakan lulus sebagai calon Hakim ad hoc, Ketua

Mahkamah Agung menetapkan penempatannya (dengan prioritas

sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan) dan sejak penetapan tersebut yang bersangkutan secara

kelembagaan menjadi pegawai MA.

12

Page 23: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ta

bel

2.2

Bat

as W

aktu

Pem

rose

san

di

Bid

ang

Tin

dak

Pid

ana

Per

ikan

an s

esu

ai U

U N

o.

8 T

ahu

n 1

98

1

ten

tan

g K

UH

AP

dan

UU

No

. 3

1 T

ahu

n 2

00

4 t

enta

ng

Per

ikan

an

Pro

ses

PenahananP

EN

YID

IK

(PP

NS

, P

OL

RI,

TN

I-A

L)

KU

HA

P

aP

alin

g l

ama

20

har

i

aD

ap

at

dip

er-

pan

jan

g

un

tuk

pal

ing

lam

a 4

0

har

i

UU

PE

RIK

AN

AN

aP

alin

g l

ama

20

har

i

aD

ap

at

dip

er-

pan

jan

g u

ntu

k

pal

ing

lam

a

10

har

i

INS

TA

NS

I P

EN

EG

AK

HU

KU

M

PE

NU

NT

UT

UM

UM

KU

HA

P

aP

alin

g l

ama

20

har

i

aD

ap

at

dip

erp

an

jan

g

un

tuk

pal

ing

lam

a 3

0

har

i

UU

PE

RIK

AN

AN

aK

elen

gk

apan

b

erk

as

dar

i P

eny

idik

p

alin

g

lam

a 5

har

i

aP

enel

itia

n b

erk

as p

a-

lin

g l

ama

10

har

i

aP

en

ah

an

an

la

nju

tan

pal

ing

lam

a 1

0 h

ari

aD

ap

at

dip

erp

an

jan

g

un

tuk

pal

ing

lam

a 1

0

har

i

PE

NG

AD

ILA

NN

EG

ER

I

KU

HA

P

aP

alin

g l

ama

30

har

i

aD

apat

d

iper

pan

jan

g

untu

k p

alin

g l

ama

60

har

i

UU

PE

RIK

AN

AN

aP

alin

g l

ama

20

har

i

aD

apat

d

iper

pan

jan

g

untu

k p

alin

g l

ama

10

har

i

PE

NG

AD

ILA

NT

ING

GI

KU

HA

P

aP

alin

g l

ama

30

har

i

aD

apat

d

iper

pan

jan

g

untu

k p

alin

g l

ama

60

har

i

UU

PE

RIK

AN

AN

aP

alin

g l

ama

20

har

i

aD

apat

d

iper

pan

jan

g

untu

k p

alin

g l

ama

10

har

i

MA

HK

AM

AH

AG

UN

G

KU

HA

P

aP

ali

ng

la

ma

5

0

har

i

aD

ap

at

dip

erp

an

-

jan

g u

ntu

k p

alin

g

lam

a 6

0 h

ari

UU

PE

RIK

AN

AN

aP

ali

ng

la

ma

2

0

har

i

aD

ap

at

dip

erp

an

-

jan

g u

ntu

k p

alin

g

lam

a 1

0 h

ari

MA

KS

IMU

M

PE

NA

HA

NA

N

KU

HA

P

aP

EN

YID

IK =

60

aP

U=

50

hr

aP

N=

90

hr

aP

T=

90

hr

aM

A=

11

0 h

r

——

——

—–––––– +

Jmlh

= 4

00

hr

UU

PE

RIK

AN

AN

Ø

PE

NY

IDIK

= 3

0

aP

U=

3

5 h

r

aP

N=

3

0 h

r

aP

T=

3

0 h

r

aM

A=

3

0 h

r

——

——

——

——

+

Jmlh

= 1

55

hr

13

Page 24: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Selanjutnya dalam Pasal 105 UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan diatur pula mengenai insentif. Berdasarkan ketentuan Pasal

tersebut, benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana

di bidang perikanan dilelang untuk Negara dan kepada aparat penegak

hukum yang berhasil menjalankan tugasnya diberikan insentif yang

disisihkan dari hasil lelang. Insentif diberikan kepada mereka yang

berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara, seperti penyidik,

jaksa penuntut umum, majelis hakim, aparat penegak hukum lainnya

dan kelompok/anggota masyarakat. Dana insentif yang berasal dari

dana yang disisihkan dari hasil lelang, dapat diberikan setelah ada

persetujuan dari Jaksa Agung selaku eksekutor dalam pelaksanaan

putusan hakim dan Menteri Keuangan selaku penanggung jawab

anggaran Negara

Tabel 2.3 Ketentuan Pidana

PELAKU

Setiap orang

Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Ahli Penangkapan Ikan, dan Anak Buah Kapal Perikanan

Pemilik Kapal, Pemilik Perusahaan, Penanggung Jawab Perusahaan, dan/atau Operator Kapal Perikanan

Pemilik Perusahaan, Kuasa Pemilik Perusahaan, dan/atau Penanggung Jawab PerusahaanPembudidayaan Ikan

Setiap orang

Setiap orang

Setiap orang

Setiap orang

Setiap orang

14

Page 25: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dan/atau kesehatan manusia

Setiap orang Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia

6 tahun 1,5 M

Setiap orang Menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia

6 tahun 1,5 M

B. INTERNASIONAL

1. UNCLOS 1982

Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Na-

tions Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) merupakankodifikasi dari ketentuan-ketentuan internasional yang telah ada.Dikarenakan Konvensi ini mengatur secara komprehensif danmeliputi hampir seluruh kegiatan di laut, oleh karenanya UNCLOS1982 dianggap sebagai a constitution for the ocean (Agoes, 2004).

Konvensi ini ditandatangani oleh 119 negara, di MontegoBay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Namun demikian,Konvensi ini baru berlaku efektif secara umum pada tanggal 16November 1994, karena Guyana menjadi negara ke-60 yang menjadiperatifikasi UNCLOS pada tanggal 16 November 1993 (Brown,1994). Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal308 ayat (1) UNCLOS yang menyebutkan bahwa Konvensi iniberlaku 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pendepositan piagamratifikasi atau aksesi yang ke-60. Oleh Pemerintah Indonesia,UNCLOS diratifikasi pada tanggal 31 Desember 1985 melaluiUndang-Undang No. 17 Tahun 1985, dan baru tercatat di PBBsebagai negara peratifikasi ke-26 pada tanggal 26 Februari 1986.Sampai 8 Februari 2007, UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh153 negara (www.untreaty.un.org).

Sebagai a constitution for the ocean, UNCLOS mengaturkegiatan perikanan secara komprehensif untuk mewujudkanpengelolaan perikanan berkelanjutan, baik di dalam maupun diluar yurisdiksi negara pantai. Aturan-aturan tersebut tertuang padaBab V tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Bab VII tentang

Laut Lepas.

15

Page 26: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pada Bab V yang mengatur tentang ZEE terdiri dari 21 pasal,di mana 15 pasal di antaranya mengatur masalah perikanan diZEE. Pada ZEE yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut,suatu negara pantai (coastal state) mempunyai hak berdaulat atassumber dayanya, baik hayati maupun non-hayati. Konvensi inimenetapkan berbagai aturan untuk konservasi dan pemanfaatansumber daya ikan di ZEE serta hak dan kewajiban negara pantaidalam kaitannya dengan sumber-sumber hayati tersebut. Pasal 61UNCLOS 1982 memuat ketentuan mengenai konservasi sumberdaya hayati, disebutkan bahwa setiap negara pantai harusmenentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allow-

able catch) di ZEE dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik(the best scientific evidence). Hal ini bertujuan untuk memeliharaatau memulihkan populasi sumber daya ikan sesuai dengan hasilmaksimum tangkapan lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY).

Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE diatur padaPasal 62. Disebutkan bahwa, negara pantai harus mengoptimalkanpemanfaatan sumber daya hayati di ZEE. Apabila negara pantaitidak mampu memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan,maka negara pantai tersebut dapat memberikan kesempatan padanegara lain untuk memanfaatkan sisa jumlah tangkapan yangdiperbolehkan (surplus) dengan memperhatikan secara khususketentuan Pasal 69 tentang negara tak berpantai dan Pasal 70tentang negara yang secara geografis tidak beruntung, khususnyayang berkaitan dengan negara berkembang. Selain itu, pemberianakses untuk memanfaatkan surplus sumber daya ikan kepada pihakasing harus didahului dengan perjanjian atau menetapkan suatupengaturan dalam memberikan akses atas surplus ikan kepadanegara lain.

Diantha (2002) mengungkapkan bahwa dalam pemberian akseskepada negara lain untuk memanfaatkan surplus, maka negarapantai harus mempertimbangkan berbagai faktor, di antaranya

yaitu:

a. Arti penting dari sumber daya hayati itu bagi perekonomian

nasionalnya.

16

Page 27: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

b. Kepentingan nasional lainnya yang bersifat non ekonomi.

c. Ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70.

d. Kebutuhan negara berkembang tertentu yang tercakup dalam

Pasal 69 dan Pasal 70 untuk memanfaatkan surplus.

e. Kebutuhan negara tertentu untuk mengurangi gejala dislokasi

perekonomiannya sehubungan warga negaranya telah secara

tradisional melakukan penangkapan ikan di ZEE negara pantai.

f. Kebutuhan negara tertentu yang nyata-nyata telah melakukan

kegiatan riset dan identifikasi persediaan jenis ikan di ZEE

negara pantai.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa, akses pihak

asing dalam memanfaatkan surplus sumber daya ikan di suatu

negara pantai tidak diperoleh pihak asing secara otomatis, akan

tetapi tergantung dari perjanjian atau suatu pengaturan yang dapat

dilakukan antara negara pantai dengan negara pihak ketiga (Anwar,

1995). Dengan kata lain, negara pantailah yang menentukan

mungkin atau tidaknya partisipasi pihak asing dalam penangkapan

ikan pada ZEE. Hal ini dikarenakan, akses atas surplus perikanan

bagi pihak asing pengaturannya sangat ditentukan oleh

kebijaksanaan negara pantai yang dapat mempertimbangkan

pentingnya sumber daya alam hayati bersangkutan bagi kepentingan

ekonomi nasional negara pantai. Bahkan, beberapa pakar hukum

seperti Garcia dan Douglas M Jhonson menekankan bahwa

permasalahan pemberian akses kepada pihak asing dalam meman-

faatkan surplus sumber daya ikan bukanlah “hak” (right), melainkan

tidak lebih sebagai “kemurahan hati” (good faith) dari negara

pantai (Diantha, 2002).

Dalam rangka menciptakan kelestarian sumber daya ikan,

UNCLOS 1982 juga mengatur tentang persediaan sumber daya

ikan di ZEE pada Pasal 63. Adapun beberapa aturan penting yang

tertuang pada Pasal 63 UNCLOS 1982, di antaranya yaitu:

a. Perlu adanya koordinasi subregional atau regional mengenai

konservasi dan pengembangan jenis ikan tertentu yang

populasinya ada pada dua atau lebih ZEE negara pantai.

17

Page 28: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

b. Perlu adanya koordinasi subregional atau regional mengenai

konservasi atas jenis ikan tertentu yang berada pada suatu

ZEE negara pantai dan sekaligus juga berada di luar ZEE itu,

namun masih dalam jarak yang berdekatan. Koordinasi ini

diadakan antara negara pantai dengan negara-negara yang

menangkap ikan yang sama di luar ZEE negara pantai.

Selanjutnya, pada Pasal 64 sampai Pasal 68 diatur mengenai

jenis-jenis sumber daya ikan, yaitu:

a. Jenis ikan yang bermigrasi jauh (Pasal 64)

Negara pantai dan negara lain yang warga negaranya melakukan

penangkapan ikan di kawasan ikan bermigrasi jauh, harus

bekerja sama secara langsung atau melalui organisasi terkait,

dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan

tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan tersebut di seluruh

kawasan baik di dalam maupun di luar ZEE. Di kawasan di

mana tidak terdapat organisasi internasional terkait, negara

pantai dan negara lain yang warga negaranya memanfaatkan

jenis ikan tersebut di wilayah itu, harus bekerja sama untuk

membentuk organisasi konservasi dan berperan serta dalam

setiap kegiatan konservasi.

b. Mamalia laut (Pasal 65)

Mengenai konservasi mamalia laut, UNCLOS 1982 memberi

wewenang sepenuhnya kepada negara pantai maupun organisasi

internasional tertentu untuk melakukan konservasi dengan

syarat-syarat ketat.

c. Jenis ikan anadrom (Pasal 66)

Ikan anadrom adalah jenis ikan yang bertelur di sungai dan

tumbuh besar di laut lepas, contohnya salmon. Secara garis

besar, Pasal 66 berisi ketentuan sebagai berikut, yaitu:

(1) Negara pantai yang sungainya dijadikan tempat bertelur

oleh jenis ikan anadrom memiliki kepentingan yang utama

atas jenis ini dan bertanggung jawab atas stok jenis ikan

dimaksud.

18

Page 29: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(2) Negara pantai (negara asal) harus melakukan konservasi

dengan mengeluarkan peraturan tertentu bagi penangkapan

di perairan atau ZEE-nya dan setelah berkonsultasi dengan

negara lain yang memanfaatkan jenis ini, negara asal

dapat menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

bagi negara lain itu.

(3) Oleh negara pantai, penangkapan jenis ikan ini hanya

bisa dilakukan pada bagian sisi darat batas luar ZEE

dengan pertimbangan penangkapan seperti itu tidak sampai

menimbulkan dislokasi ekonomi bagi negara lain. Penang-

kapan pada sisi luar dari batas luar ZEE harus dikonsultasi-

kan dengan negara lain yang berkepentingan dengan tetap

mempertimbangkan kepentingan negara asal ikan tersebut.

(4) Bila jenis ikan anadrom ini bermigrasi jauh melalui sisi

darat batas luar ZEE suatu negara lain, maka negara ini

harus bekerja sama dengan negara asal di bidang

konservasi.

(5) Negara asal dan negara lain yang memanfaatkan jenis

ikan anadrom ini harus membuat peraturan perundang-

undangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66

UNCLOS 1982, bila perlu melalui wadah organisasi

regional.

d. Jenis ikan katadrom (Pasal 67)

Ikan katadrom adalah jenis ikan yang hidup di air tawar dan

tumbuh besar di laut, contohnya eels. Secara garis besar,

Pasal 67 berisi ketentuan sebagai berikut, yaitu:

(1) Negara pantai di mana sebagian besar siklus kehidupan

jenis ikan katadrom berlangsung pada wilayah perairannya

bertanggung jawab atas pemanfaatan jenis ikan ini, dan

selalu menjamin keluar masuknya ikan yang bermigrasi.

(2) Pemanfaatan jenis ikan ini hanya bisa dilakukan pada

perairan sisi darat batas luar ZEE, dan bila pemanfaatan

dilakukan pada bagian lain sisi darat itu wajib dilakukan

19

Page 30: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

sesuai dengan Pasal 67 dan ketentuan lain dari UNCLOS

1982.

(3) Bila jenis ikan katadrom bermigrasi juah melalui ZEE

negara lain, pengelolaan dan pemanfaatannya harus

dilakukan berdasarkan perjanjan antara negara asal dan

negara lain itu dengan mengingat tanggung jawab negara

asal akan kesinambungan stok.

e. Jenis sedenter (Pasal 68)

Ikan sedenter adalah jenis ikan yang dalam keadaan tak

bergerak selalu berada pada atau di bawah dasar laut dan bila

bergerak selalu memerlukan kontak langsung secara fisik

dengan dasar laut atau tanah dibawahnya. Pasal 68

menyebutkan bahwa, “bagian ini tidak berlaku bagi ikan

sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4)”.

Maksud pasal ini adalah, segala ketentuan dalam Bab V tentang

ZEE tidak berlaku bagi jenis ikan sedenter karena jenis ini

diatur lebih jauh pada Bab VI tentang landas kontinen.

Ketentuan Bab VI yang terkait langsung dengan keberadaan

jenis ikan sedenter adalah Pasal 77 ayat (2) dan ayat (4).

Pasal 77 ayat (2) menyebutkan bahwa, bila negara pantai

tidak melakukan eksploitasi atas sumber kekayaan alam di

landas kontinen, maka pihak lain tidak dapat melakukan

eksploitasi tanpa seizin negara pantai. Artinya, negara pantai

mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di landas

kontinen secara eksklusif. Sementara Pasal 77 ayat (4)

menegakan bahwa, jenis ikan sedenter merupakan sumber

kekayaan hayati di landas kontinen. Dengan demikian,

pengaturan status jenis ikan sedenter berbeda dengan jenis

ikan lainnya, karena jenis ikan sedenter tidak dapat dimanfaat-

kan oleh negara lain yang berhak atas surplus sumber daya

ikan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 dan Pasal 70.

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa

UNCLOS mengatur hak dari negara tidak berpantai dan negara

yang secara geografis tidak beruntung dalam kaitan dengan

20

Page 31: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

partisipasi negara-negara tersebut secara adil di dalam pengelo-

laan dari bagian surplus ikan dari negara pantai. Hak-hak

kedua negara tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan

keadaan ekonomi dan geografi dari semua negara-negara

bersangkutan dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan UNCLOS 1982, yang dicantumkan dalam Pasal

61 dan Pasal 62. Pengaturan partisipasi kedua negara ini

dalam memanfaatkan surplus sumber daya ikan negara pantai

diatur pada Pasal 69 dan Pasal 70.

Beberapa ketentuan yang tertuang pada Pasal 69 UNCLOS

1982, di antaranya, yaitu:

a. Negara tak berpantai mempunyai hak untuk berpartisipasi

atas dasar persamaan di dalam eksploitasi dari bagian

yang layak dari sumber daya alam hayati ZEE dari negara

pantai dalam subregional atau regional yang sama dengan

mempertimbangkan keadaan ekonomi dan geografi dari

negara-negara bersangkutan.

b. Partisipasi negara pantai dalam kaitan ini dapat dilakukan

melalui perjanjian bilateral, perjanjian subregional atau

regional.

c. Perjanjian termaksud untuk memperhatikan:

(1) Tidak merugikan masyarakat nelayan atau industri

perikanan negara pantai.

(2) Terdapat kemungkinan berpartisipasinya negara pantai

tersebut dalam sumber daya ikan di ZEE negara

pantai.

(3) Keadaan bahwa negara pantai lainnya atau negara

yang secara geografis kurang beruntung telah berpar-

tisipasi dalam sumber daya ikan ZEE negara pantai

dengan memperhitungkan untuk menghindari

dibebaninya secara khusus suatu negara pantai.

(4) Kebutuhan nutrisi dari masyarakat negara-negara

bersangkutan.

21

Page 32: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

d. Pengaturan diterapkan tanpa mengganggu pengaturan yang

sudah ada baik bersifat subregional atau regional, yang

dalam hal tersebut negara pantai diberikan hak sama atau

hak preferensial atas eksploitasi dari sumber daya ikan

di ZEE.

Sementara itu, Pasal 70 memuat beberapa ketentuan, di

antaranya, yaitu:

a. Negara yang secara geografis tak beruntung mempunyai

hak untuk berperan serta atas dasar yang adil dalam

eksploitasi bagian yang layak dari sumber kekayaan hayati

ZEE negara pantai dalam sub-regional atau regional yang

sama dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan

geografi dari negara-negara bersangkutan dan sesuai

dengan Pasal 61 dan Pasal 62.

b. Untuk tujuan Bab ini, “negara yang secara geografis tak

beruntung” berarti negara pantai, termasuk negara yang

berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup,

yang letak geografisnya membuatnya tergantung pada

eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara lain di

sub-regional atau regional untuk persediaan ikan yang

memadai bagai keperluan gizi penduduknya atau bagian

dari penduduk itu, dan negara pantai yang tidak dapat

menunjukan ZEE bagi dirinya sendiri.

c. Persyaratan dan cara peran serta harus ditetapkan oleh

negara-negara yang berkepentingan melalui perjanjian

bilateral, perjanjian subregional atau regional dengan

memperhatikan ketentuan berikut ini, yaitu:

(1) Tidak merugikan masyarakat nelayan atau industri

penangkapan ikan negara pantai.

(2) Sejauh mana negara yang secara geografis tak berun-

tung tersebut berperan serta atau berhak untuk berpe-

ran serta berdasarkan perjanjian bilateral, perjanjian

subregional atau regional dalam mengeksploitasi

22

Page 33: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

sumber kekayaan hayati di ZEE negara-negara pantai

lainnya.

(3) Sejauh mana negara yang secara geografis tak

beruntung lainnya dan negara tak berpantai berperan

serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE

negara pantai tersebut dan kebutuhan yang timbul

karenanya untuk menghindari suatu beban khusus

bagi suatu negara pantai.

(4) Kebutuhan gizi masing-masing negara.

d. Bilamana kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati

suatu titik yang memungkinkan negara itu untuk

menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan

dari sumber kekayaan hayati di ZEE-nya, maka negara

pantai dan negara yang berkepentingan lainnya harus

bekerja sama untuk menetapkan pengaturan yang adil

atas dasar bilateral, subregional atau regional untuk

memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang

yang secara geografis tak beruntung di sub-regional atau

regional dengan berdasarkan persyaratan yang memuaskan

semua pihak.

e. Negara maju yang secara geografis tak beruntung, berhak

untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan

hayati hanya dalam ZEE negara pantai yang maju dalam

sub-regional atau regional yang sama dengan memper-

hatikan sejauhmana negara pantai, dalam memberikan

kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan

sumber kekayan hayati di ZEE-nya, dengan memperhati-

kan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan

bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di negara

yang warga negaranya telah biasa menangkap ikan dalam

zona tersebut.

Kewajiban pihak asing atas diberikannya izin untuk melakukan

penangkapan ikan pada ZEE negara pantai mempunyai kewajiban

untuk mentaati upaya-upaya pemeliharaan lingkungan kelautan

23

Page 34: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dari peraturan perundang-undangan negara pantai. Peraturan

perundang-undangan tersebut meliputi cara-cara pemberian lisensi,

pembayaran fee, renumerasi dalam bentuk lain serta pengaturan

dapat dilakukan dalam kompensasi yang layak serta kemungkinan

pemberian peralatan dan alih teknologi bagi industri perikanan

negara pantai (Anwar, 1995).

Lebih lanjut, Anwar (1995) mengungkapkan bahwa aturan

ini terkait juga dengan pengaturan tentang penetapan spesies ikan

yang dapat ditangkap serta kuota tangkapan dan musim penangkapan

ikan, jenis dan besarnya alat penangkap ikan, jenis dan jumlah

kapal perikanan yang diizinkan. Di samping itu, penentuan umur

dan ukuran ikan yang boleh ditangkap serta informasi yang harus

disediakan oleh kapal perikanan, ketentuan tentang program riset

perikanan serta penempatan dari warga negara pantai pada kapal-

kapal perikanan untuk keperluan training.

Namun demikian, negara pantai dan negara yang secara

geografis kurang beruntung yang memiliki hak atas surplus sumber

daya ikan tersebut tidak dapat mengalihkan haknya kepada negara

ketiga melalui lisensi atau sewa, maupun dengan pendirian usaha

patungan atau dengan cara lain kecuali apabila hal tersebut disetujui

negara pantai (Pasal 72). Bahkan, Pasal 71 menyatakan bahwa

ketentuan yang tertuang dalam Pasal 69 dan Pasal 70 tidak berlaku

apabila suatu negara pantai yang ekonominya sangat bergantung

pada eksploitasi sumber kekayaan hayati di ZEE-nya.

Selain pada Bab V tentang ZEE, pengaturan mengenai

perikanan dituangkan juga pada Bab VI tentang laut lepas,

khususnya pada Bagian 2 tentang konservasi dan pengelolaan

sumber kekayaan hayati di laut lepas. Hak kebebasan menangkap

ikan di laut lepas tertuang pada Pasal 116. Disebutkan bahwa,

semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk

melakukan penangkapan ikan di laut lepas, namun harus tunduk

pada kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional, serta hak

dan kewajiban maupun kepentingan negara pantai sesuai dengan

Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 64 sampai Pasal 67, dan ketentuan-

24

Page 35: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

ketentuan bagian ini. Dengan demikian, setiap kegiatan perikanan

di laut lepas, harus memperhatikan persediaan ikan yang terdapat

di ZEE dua negara pantai atau lebih, baik yang terdapat di dalam

ZEE maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan

dengannya. Selain itu, kegiatan perikanan di laut lepas juga harus

memperhatikan kelestarian jenis-jenis ikan, seperti jenis ikan yang

bermigrasi jauh, mamalia laut, ikan anadrom, dan ikan katadrom.

Pada Pasal 117, setiap negara diamanatkan untuk mengambil

tindakan atau Kerja sama dengan negara lain dalam mengambil

tindakan yang berkaitan dengan warga negara masing-masing yang

dianggap perlu untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut

lepas. Sementara kewajiban negara dalam kegiatan perikanan di

laut lepas diatur pada Pasal 118. Disebutkan bahwa, semua negara

mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerja sama

dengan negara lain dalam melakukan konservasi sumber kekayaan

hayati di laut lepas. Penegasan mengenai pentingnya Kerja sama

negara-negara di laut lepas dalam kegiatan konservasi dan

pengelolaan sumber kekayaan hayati dituangkan dalam Pasal 119,

di mana dalam penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

dan menetapkan tindakan lain yang berkaitan dengan konservasi

sumber kekayaan hayati di laut lepas harus direncanakan

berdasarkan bukti ilmiah terbaik serta memelihara populasi jenis

ikan yang ditangkap agar tercipta kelestarian. Selain itu, keberadaan

keterangan ilmiah yang tersedia, statistik tentang penangkapan

dan upaya-upaya penangkapan ikan dan data-data lain yang relevan

dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan

dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang

berwenang, baik organisasi sub-regional, regional maupun glo-

bal.

2. UN Compliance Agreement 1993

Rezim yang melekat dari laut lepas adalah kebebasan

sebagaimana yang tertuang pada Pasal 87 UNCLOS 1982, karena

wilayah ini tidak termasuk dalam yurisdiksi negara manapun.

Oleh karenanya, semua negara mempunyai hak yang sama untuk

25

Page 36: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

memanfaatkan sumber daya ikan yang ada di laut lepas. Namun,

UNCLOS 1982 mensyaratkan kewajiban semua negara yang

memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas untuk saling bekerja

sama dalam menciptakan kelestarian sumber daya ikan di laut

lepas.

Dalam rangka menciptakan kelestarian sumber daya ikan di

laut lepas, maka diperlukan aturan khusus. Oleh karenanya, pada

tanggal 24 November 1993 ditetapkan Agreement to Promote Com-

pliance with International Conservation and Management Mea-

sures by Fishing Vessel on the High Seas atau yang dikenal dengan

istilah UN Compliance Agreement 1993. Tujuan ditetapkannya

perjanjian ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik

penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan langkah-langkah

konservasi sumber daya hayati laut dengan meningkatkan peranan

organisasi perikanan multilateral.

Sejak ditetapkan pada tahun 1993 hingga tahun 2005, UN

Compliance Agreement 1993 belum berlaku efektif (entry into

force). Hal ini dikarenakan, baru 18 negara yang melakukan

ratifikasi, padahal yang dibutuhkan 25 negara untuk dapat

berlakunya perjanjian ini, sesuai dengan Pasal 11 UN Compli-

ance Agreement 1993 (Kania, 2005a). Sampai saat ini, Pemerintah

Indonesia belum meratifikasi UN Compliance Agreement 1993.

Perjanjian ini berisikan 16 pasal, adapun materi pokok UN Com-

pliance Agreement 1993 di antara yaitu:

1. Keberlakuan dari perjanjian atau aplikasi (Pasal 2)

Perjanjian ini diberlakukan untuk semua kapal penangkap

ikan yang digunakan di laut lepas, di mana setiap negara

peserta dibolehkan untuk menggunakan kapal yang berbendera

negaranya yang panjang kapalnya kurang dari 24 meter.

2. Tanggung jawab dari negara bendera kapal (Pasal 3)

Setiap negara peserta harus mengambil langkah-langkah yang

diperlukan untuk memastikan bahwa kapal tersebut tidak terlibat

dalam kegiatan apapun yang merugikan efektivitas dari

26

Page 37: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

pelestarian internasional dan aturan-aturan pengelolaan

mengenai penangkapan ikan. Selain itu, kapal yang

diperbolehkan menangkap ikan di laut lepas haruslah terlebih

dahulu mendapatkan pengesahan oleh otoritas yang berwenang

dari negara bendera kapal tersebut. Hal lain yang patut

diperhatikan adalah, kapal-kapal yang telah mendapatkan

pengesahan untuk dapat digunakan di laut lepas, diwajibkan

untuk memberikan informasi kepada pemerintah negara bendera

kapal tentang seluruh kegiatan yang dilakukannya, baik fish-

ing ground maupun hasil tangkapannya. Apabila terjadi

pelanggaran oleh negara bendera kapal di laut lepas, maka

negera peserta memiliki kewajiban untuk melakukan langkah-

langkah hukum, seperti pemberian sanksi berupa dicabutnya

kewenangan atau otoritas untuk menangkap ikan di laut lepas.

3. Pencatatan kapal-kapal nelayan (Pasal 4)

Setiap negara peserta harus membuat catatan atas kapal-kapal

negara benderanya yang berhak berlayar di laut lepas dan

diizinkan untuk membuat ukuran khusus yang mungkin

diperlukan untuk mendukung segala hal yang berkaitan dengan

kapal-kapal penangkap ikan yang masuk dalam catatan.

4. Kerja sama internasional (Pasal 5)

Dalam rangka mewujudkan kelestarian sumber daya,

diatur mengenai Kerja sama internasional dalam hal tukar

menukar informasi, termasuk bukti-bukti nyata yang

berkaitan dengan kegiatan penangkapan yang dilakukan

oleh kapal-kapal penangkap ikan sebagai bahan untuk

memudahkan identifikasi apabila negara bendera kapal

tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan

internasional. Selain itu, negara peserta dapat melakukan

investigasi dipelabuhannya terhadap kapal negara bendera

lain yang dicurigai melakukan pelanggaran-pelanggaran yang

berkaitan dengan perusakan lingkungan perairan internasional.

Negara-negara peserta diizinkan apabila diperlukan untuk

membuat persetujuan bersama atau persetujuan Kerja sama

27

Page 38: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

menguntungkan secara global, regional, sub-regional atau

bilateral yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dari

Perjanjian ini.

5. Pertukaran informasi (Pasal 6)

Setiap negara peserta harus menyediakan informasi tertulis

secara periodik untuk diserahkan ke FAO, yang memuat

informasi kapal-kapal penangkap ikan dengan urutan sebagai

berikut, yaitu:

(1) nama kapal penangkap ikan, nomor registrasi, nama

terdahulu (apabila diketahui), dan pelabuhan tempat

didaftarkannya kapal tersebut;

(2) bendera kapal sebelumnya (apabila ada);

(3) International Radio Call Sign (apabila ada);

(4) nama dan alamat pemilik kapal;

(5) kapan dan di mana kapal dibuat;

(6) jenis kapal;

(7) ukuran panjang kapal.

Dalam pencatatan informasi tersebut, juga negara peserta harus

menyediakan informasi tambahan mengenai kapal-kapal penangkap

ikan, yaitu:

(1) nama dan alamat operator (manajer) atau operator-operator

(manajer-manajer) (apabila ada);

(2) tipe metode penangkapan ikan;

(3) moulded depth;

(4) beam;

(5) grossegister tonnage;

(6) kekuatan mesin kapal.

Selain itu, setiap negara peserta juga harus memberikan

informasi pada pihak FAO mengenai:

(1) hal-hal yang ditambahkan dalam catatan tersebut.

(2) hal-hal yang dihapus dalam catatan tersebut, dengan alasan:

28

Page 39: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

· Operator atau pemilik kapal penangkap ikan membatalkan

atau menonaktifkan otorisasi hak berlayarnya.

· Penarikan kembali otorisasi atas suatu kapal penangkap

ikan

· Kapal penangkap ikan tersebut tidak memiliki izin lagi

untuk berlayar.

· Memutuskan, menonaktifkan atau penghapusan atas suatu

kapal penangkap ikan.

· Alasan-alasan lainnya.

6. Kerja sama dengan negara-negara berkembang (Pasal 7)

Negara-negara peserta harus bekerja sama secara global, re-

gional, subregional atau pada tingkat bilateral dengan dukungan

FAO dan organisasi regional atau internasional lain sebagai

penyedia bantuan, termasuk bantuan teknis kepada para pihak

negara berkembang dalam rangka membantu pelaksanaan

kewajiban mereka sesuai Perjanjian ini.

7. Hubungan perjanjian dengan negara-negara yang tidak menjadi

anggota (Pasal 8)

Perjanjian ini juga mengatur hubungan dengan negara yang

bukan anggota atau negara bukan peratifikasi UN Compli-

ance Agreement 1993. Disebutkan bahwa, negara-negara peserta

tidak akan mendorong negara bukan peratifikasi untuk

menerima Perjanjian ini dan akan mendorong negara bukan

peratifikasi manapun untuk mengadopsi peraturan dan hukum

yang konsisten dalam Perjanjian ini. Selain itu, negara-negara

peserta akan bekerja sama dalam cara yang konsisten dan

dengan hukum internasional sesuai dengan Perjanjian ini

dengan kapal penangkap ikan negara bukan peratifikasi yang

berhak berlayar dengan tindakan pengelolaan dan konservasi

internasional. Selain itu juga, negara-negara peserta harus

bertukar informasi antar mereka, baik secara langsung maupun

melalui FAO, yang berkaitan dengan aktivitas bendera kapal

penangkap ikan bukan peratifikasi yang berhak berlayar

menurut tindakan pengelolaan dan konservasi internasional.

29

Page 40: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

8. Penyelesaian sengketa (Pasal 9)

Dalam penyelesaian sengketa antar negara peserta, para pihakyang bersengketa dapat melakukan konsultasi di antara negarapeserta itu sendiri mengenai interpretasi atau aplikasi dariketentuan-ketentuan yang ada dalam Perjanjian ini untukmendapatkan solusi yang memuaskan secepat mungkin. Jikasengketa tersebut tidak terpecahkan melalui konsultasi dalamjangka waktu tertentu, maka para pihak harus melakukanperundingan antar mereka sendiri secepat mungkin denganmaksud untuk menyelesaikan masalah melalui jalan negosiasi,inquiry, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian melaluipengadilan/yudisial atau jalan damai lainnya sesuai denganpilihan para pihak. Dan, jika belum tercapai juga kesepakatandalam penyelesaian sengketa, maka sengketa tersebut dapatdiselesaikan melalui Mahkamah Internasional dari Interna-

tional Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) sesuai denganUNCLOS 1982.

3. UN Fish Stock Agreement 1995

Pengelolaan sumber daya ikan yang bermigrasi jauh (highly

migratory) telah diatur pada Pasal 64 UNCLOS 1982. Namunpengaturan tersebut hanya berlaku di zona ekonomi eksklusif, dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat secara eksklusifuntuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melindungi, dan mengaturperikanan diwilayahnya sejauh 200 mil laut. Tidak adanya ketentuanyang mengatur tentang persediaan jenis-jenis ikan yang bermigrasijauh (higly migratory fisheries species/HMS) serta jenis-jenis ikanyang bermigrasi terbatas (straddling fish stock/SFS) laut lepastelah menyebabkan berkurangnya kedua jenis ikan tersebut. Olehkarena itu, Kerja sama pengelolaan perikanan, baik di tingkatsub-regional, regional maupun global, diharapkan menjadi solusidalam mengatasi permasalahan perikanan ini.

Dalam rangka menciptakan tujuan tersebut, maka pada tahun1995 PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplemen-tasikan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu disahkannya

Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS

30

Page 41: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

of 19 December 1982 relating to the Conservation and Manage-

ment of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks

atau yang dikenal juga dengan sebutan UN Fish Stock Agreement

1995. Perjanjian ini telah berlaku efektif pada tanggal 11 Desember

2001 setelah diratifikasi oleh 30 negara, sesuai dengan Pasal 40.

Negara yang menjadi peratifikasi ke 30 adalah Malta pada tanggal

11 November 2001. Sampai dengan Februari 2007, negara yang

telah meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995 berjumlah 64

negara (www.untreaty.un.org). Sampai saat ini, Pemerintah Indo-

nesia belum meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995. Perjanjian

ini berisikan 13 bab, 50 pasal, dan dua lampiran. Adapun

materi pokok UN Fish Stock Agreement 1995 di antara yaitu:

a. Aplikasi atau keberlakuan dari perjanjian (Pasal 3)

Perjanjian ini berlaku terhadap kegiatan pengelolaan dan

konservasi SFS dan HMFS yang berada jauh di luar wilayah

yurisdiksi nasional suatu negara. Namun demikian, khusus

untuk Pasal 6 dan Pasal 7 dapat diberlakukan untuk pengelolaan

dan konservasi sediaan tersebut di dalam wilayah yurisdiksi

nasional, tunduk pada rejim hukum yang berbeda yang berlaku

di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan di wilayah

di luar yurisdiksi nasional.

b. Penerapan prinsip pendekatan kehati-hatian (Pasal 6)

Negara-negara harus melaksanakan pendekatan kehati-hatian

yang berkaitan dengan konservasi, pengelolaan dan

pemanfaatan SFS dan HMFS dalam rangka meningkatkan

stok ikan dan perdagangan ikan dalam rangka melindungi

sumber daya kehidupan laut dan melestarikan lingkungan

laut. Dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negara

harus:

(1) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk pengelolaan

dan konservasi sumber daya ikan dengan mempertimbang-

kan berbagai informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan

melaksanakan teknik untuk mengatasi risiko dan ketidak-

pastian.

31

Page 42: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(2) Menerapkan petunjuk seperti yang telah dijelaskan dalam

Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah

terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan

dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui.

(3) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang

berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan,

titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik

referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertum-

buhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan

pada spesies non-target dan berhubungan atau tergantung,

serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan,

dan sosial-ekonomi.

(4) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset

untuk menilai dampak atas penangkapan pada non-tar-

get, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka,

dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk

menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melin-

dungi habitat yang mendapat perhatian khusus.

c. Kemampuan tindakan pengelolaan dan konservasi (Pasal 7)

Dengan tetap memperhatikan hak berdaulat negara pantai

untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan

konservasi sumber daya hayati laut pada area wilayah yurisdiksi

nasionalnya, dan hak-hak tiap warga negaranya untuk

melakukan kegiatan penangkapan di laut bebas, maka tiap-

tiap negara berkewajiban untuk:

(1) Berkaitan dengan stok SFS, negara-negara pantai tersebut

dan negara-negara yang warga negaranya melakukan

penangkapan stok ikan dalam wilayah yang berdampingan

dengan laut bebas, haruslah bertemu untuk menyetujui

atas segala tindakan yang diperlukan dalam rangka

pelestarian terhadap stok tersebut.

(2) Berkaitan dengan HMFS, negara pantai yang bersangkutan

dan negara-negara lain yang warga negaranya menangkap

32

Page 43: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

jenis ikan tersebut di wilayahnya, haruslah bekerja sama

dalam rangka menjamin terlaksananya konservasi dan

juga mempromosikan tujuan dari pengkonsumsian yang

optimum terhadap stok tersebut di semua wilayah,

termasuk di dalam wilayah yurisdiksi nasionalnya.

Tindakan pengelolaan dan konservasi ditetapkan untuk

laut bebas dan di wilayah yurisdiksi nasional haruslah memiliki

persamaan dalam rangka menjamin dilaksanakannya

pengelolaan dan konservasi terhadap SFS dan HMFS secara

keseluruhan. Pada akhirnya, negara pantai dan negara-negara

yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas memiliki

kewajiban untuk bekerja sama dalam rangka mewujudkan

tindakan pengelolaan dan konservasi SFS dan HMFS. Dalam

menentukan tindakan pengelolaan dan konservasi, negara dapat:

(1) mempertimbangkan tindakan pengelolaan dan konservasi

yang diadopsi dan yang diterapkan sesuai Pasal 61

UNCLOS 1982 menyangkut stok yang sama pada negara

pantai dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan

menjamin bahwa tindakan yang diterapkan untuk stok

tersebut pada laut lepas tidak akan mengurangi efektivitas

tindakan tersebut.

(2) mempertimbangkan sebelum menyetujui ditetapkannya

dan digunakannya tindakan di laut lepas sesuai UNCLOS

1982 menyangkut stok yang sama bagi negara pantai

dan negara yang melakukan penangkapan ikan di laut

lepas.

(3) mempertimbangkan sebelum menyetujui ditetapkannya

dan digunakannya tindakan sesuai dengan UNCLOS 1982

menyangkut stok yang sama oleh suatu organisasi

pengelolaan perikanan regional atau sub-regional.

(4) mempertimbangkan kesatuan biologi dan karakteristik

biologi lain dari stok dan hubungan antara distribusi stok,

perikanan dan geografis khusus menyangkut daerah terkait,

33

Page 44: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

mencakup jumlah stok dan yang ditangkap dalam area

di bawah yurisdiksi nasional.

(5) mempertimbangkan kepentingan dari masing-masing

negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan

di laut lepas.

(6) memastikan bahwa tindakan seperti itu tidak akan mem-

berikan dampak berbahaya pada sumber daya hayati laut

secara keseluruhan.

d. Kerja sama dalam pengelolaan dan konservasi (Pasal 8)

Negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan

penangkapan di laut lepas harus melakukan Kerja sama dalam

pengelolaan dan konservasi SFS dan HMFS, baik secara

langsung maupun melalui organisasi pengelolaan perikanan

regional atau sub-regional. Apabila organisasi pengelolaan

perikanan regional atau sub-regional telah memiliki kewenang-

an untuk menetapkan tindakan pengelolaan dan konservasi

SFS and HMFS, maka negara-negara pantai dan negara-negara

yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas berkewajiban

untuk bekerja sama dengan menjadi anggota dari organisasi

tersebut atau berpartisipasi dalam tindakan pengelolaan dan

konservasi yang telah dibentuk. Oleh karenanya, hanya negara-

negara yang telah menjadi anggota atau negara-negara yang

berpartisipasi dalam pengelolaan dan konservasi dari organisasi

tersebut lah yang dapat memiliki akses terhadap sumber daya

ikan yang telah ditetapkan. Namun demikian, apabila belum

terbentuk organisasi pengelolaan perikanan regional atau sub-

regional dalam pengelolaan dan konservasi SFS dan HMFS

di laut lepas, maka negara-negara pantai dan negara-negara

yang melakukan penangkapan ikan tersebut harus bekerja

sama untuk membentuk suatu organisasi atau pengaturan lain

yang sesuai dengan pengelolaan dan konservasi dan harus

berpartisipasi dalam pengaturan dan organisasi.

e. Pengumpulan dan penyediaan informasi dan Kerja sama dalam

riset ilmiah (Pasal 14)

34

Page 45: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Negara-negara harus menjamin bahwa kapal-kapal penangkap

ikan yang mengibarkan benderanya menyediakan informasi

yang mungkin diperlukan dalam rangka memenuhi kewajiban-

nya di bawah perjanjian ini. Untuk tujuan tersebut, negara-

negara harus sesuai dengan Lampiran I:

(1) Mengumpulkan dan tukar menukar data ilmiah, teknis

dan statistik berkaitan dengan perikanan untuk stok SFS

dan HMFS.

(2) Menjamin bahwa data dikumpulkan secara rinci cukup

untuk penilaian stok yang efektif dan disediakan dengan

cara yang tepat untuk memenuhi persyaratan organisasi

atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau

regional.

(3) Mengambil tindakan-tindakan yang memadai untuk

menguji keakuratan data tersebut.

Negara-negara juga harus bekerja sama, baik secara

langsung maupun melalui organisasi pengelolaan perikanan

regional untuk memperkuat kapasitas riset ilmiah dalam bidang

perikanan dan mempromosikan riset ilmiah yang berhubungan

dengan pengelolaan dan konservasi dalam melestarikan SFS

dan HMFS.

f. Kewajiban-kewajiban negara (Pasal 18)

Suatu Negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan

ikan di laut lepas harus mengambil tindakan-tindakan yang

mungkin diperlukan untuk menjamin bahwa kapal-kapal yang

mengibarkan bendera menerapkan tindakan-tindakan konservasi

dan pengelolaan sub-regional dan regional dan kapal-kapal

tersebut tidak melakukan kegiatan apapun yang mengurangi

efektivitas tindakan-tindakan tersebut (ayat 1).

Suatu Negara harus mengizinkan penggunaan kapal-kapal

yang mengibarkan benderanya untuk melakukan kegiatan

penangkapan ikan di laut lepas hanya apabila dapat melakukan

pengawasan secara efektif tanggung jawabnya berkaitan dengan

35

Page 46: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

kapal-kapal tersebut di bawah Konvensi dan perjanjian ini

(Ayat 2).

Tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu Negara berkaitan

dengan kapal-kapal yang mengibarkan benderanya, yaitu (3):

(1) Pengawasan kapal-kapal tersebut dilaut lepas melalui

lisensi penangkapan ikan, otorisasi atau izin, sesuai dengan

prosedur yang berlaku yang disetujui pada tingkat sub

regional, regional atau global.

(2) Menetapkan peraturan-peraturan:

· Untuk menerapkan persyaratan-persyaratan dan

kondisi-kondisi bagi lisensi, otorisasi atau izin yang

memadai untuk memenuhi setiap kewajiban sub

regional, regional atau global dari Negara bendera.

· Melarang penangkapan ikan di laut lepas oleh kapal-

kapal yang tidak sepatutnya diberi lisensi atau otorisasi

untuk melakukan penangkapan ikan, atau melakukan

penangkapan ikan di laut lepas.

· Mengharuskan kapal penangkap ikan di laut lepas

untuk membawa surat izin sepanjang waktu.

· Menjamin bahwa kapal-kapal yang mengibarkan

benderanya tidak melakukan penangkapan ikan yang

tidak sah dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional

negara-negara lain.

(3) Pembentukan suatu pencatatan nasional terhadap kapal-

kapal perikanan yang diberikan otorisasi untuk melakukan

penangkapan ikan di laut lepas dan pemberian akses kepada

informasi yang terdapat di dalam pencatatan atas permin-

taan secara langsung dari Negara-negara yang berkepen-

tingan, dengan memperhatikan setiap hukum nasional

dari Negara bendera mengenai pemberian informasi

tersebut.

(4) Persyaratan-persyaratan untuk penandaan kapal ikan dan

alat penangkap ikan untuk identifikasi sesuai dengan

36

Page 47: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

keragaman dan sistem penandaan kapal dan alat tangkap

yang diterima secara internasional.

(5) Persyaratan untuk pencatatan dan pelaporan yang tepat

dari posisi kapal, penangkapan spesies target dan non-

target, usaha penangkapan ikan dan data perikanan terkait

lainnya sesuai dengan standar sub-regional, regional dan

global untuk pengumpulan data tersebut.

(6) Persyaratan-persyaratan pengujian penangkapan untuk

spesies target dan non-target melalui sarana seperti pro-

gram peninjauan, skema pemeriksaan, laporan pemuatan,

supervise pengalihan muatan dan pengawasan pendaratan

tangkapan dan statistik pasar.

(7) Pemantauan, pengawasan dan pengamatan terhadap kapal-

kapal sehubungan dengan aktivitas penangkapan ikannya

serta aktivitas lainnya yang berkaitan.

(8) Pengaturan pengalihan muatan di laut lepas untuk

menjamin bahwa efektivitas dari konservasi dan pengelo-

laan tidak rusak.

(9) Pengaturan kegiatan penangkapan ikan untuk menjamin

kesesuaian dengan tindakan-tindakan sub-regional, re-

gional atau global termasuk yang ditujukan untuk mengu-

rangi penangkapan terhadap spesies non-target.

g. Penaatan dan Penegakan Hukum oleh Negara bendera (Pasal

19)

Suatu negara harus menjamin penaatan oleh kapal-kapal yang

mengibarkan benderanya dengan tindakan-tindakan konservasi

dan pengelolaan sub-regional dan regional untuk stok SFS

dan HMFS. Untuk tujuan ini, Negara tersebut harus:

(1) Memberlakukan tindakan-tindakan tersebut tanpa memper-

hatikan di mana pelanggaran-pelanggaran terjadi.

(2) Menyelidiki secara cepat dan menyeluruh setiap pelang-

garan yang diduga terhadap tindakan-tindakan konservasi

37

Page 48: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dan pengelolaan sub-regional atau regional, yang juga

dapat mencakup pemeriksaan fisik terhadap kapal-kapal

tersebut, dan melaporkan dengan cepat kepada Negara

yang diduga melakukan pelanggaran dan organisasi atau

pengaturan sub-regional atau regional yang terkait atas

pelaksanaan dan hasil penyelidikan tersebut.

(3) Mengharuskan setiap kapal yang mengibarkan benderanya

untuk memberikan informasi kepada otoritas penyelidik

mengenai posisi kapal, tangkapan, alat tangkap, operasi

penangkapan ikan, dan kegiatan-kegiatan terkait di wilayah

di mana pelanggaran terjadi.

(4) Apabila memenuhi bahwa bukti yang cukup telah tersedia

berkaitan dengan pelanggaran tersebut, meneruskan kasus

tersebut kepada otoritasnya dengan tujuan hukumnya dan,

apabila memungkinkan, menahan kapal tersebut.

(5) Menjamin bahwa, apabila telah ditetapkan, berdasarkan

hukumnya, suatu kapal telah terlibat di dalam perbuatan

pelanggaran serius mengenai tindakan-tindakan tersebut,

kapal tersebut tidak melakukan operasi penangkapan ikan

di laut lepas hingga suatu waktu di mana seluruh sanksi

telah dijatuhkan oleh negara bendera terhadap pelanggaran

yang telah dilakukan.

Seluruh penyelidikan dan penuntutan hukum harus

dilaksanakan secara cepat. Sanksi-sanksi yang diterapkan

terhadap pelanggaran-pelanggaran harus cukup keras sehingga

efektif dalam menjamin penaatan dan untuk mencegah

pelanggaran-pelanggaran dari manfaat yang bertambah dari

kegiatan tidak sah mereka. Tindakan-tindakan yang diterapkan

terhadap nakhoda-nakhoda dan perwira-perwira lainnya dari

kapal penangkap ikan harus meliputi ketentuan-ketentuan yang

dapat mengizinkan, antara lain, penolakan, pengunduran, atau

penangguhan notorisasi untuk bertindak sebagai nakhoda atau

perwira-perwira pada kapal tersebut.

38

Page 49: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

h. Kerja sama internasional dalam penegakan peraturan (Pasal

20)

Bahwa Negara harus bekerja sama, baik secara langsung

maupun melalui organisasi pengaturan penangkapan ikan,

dalam penegakan ketentuan sub-regional dan regional mengenai

pelestarian SFS dan HMFS (Ayat 1).

Apabila Negara bendera mengadakan penyelidikan terhadap

pelanggaran ketentuan pelestarian SFS dan HMFS, maka

Negara tersebut dapat meminta bantuan dari Negara lain di

mana Kerja sama tersebut dapat bermanfaat dalam penyelidikan

(ayat 2).

Negara bendera juga dapat mengadakan penyelidikan secara

langsung, bekerja sama dengan negara lain yang berkepentingan

atau melalui organisasi. Informasi yang dihasilkan dari

penyelidikan tersebut harus tersedia juga bagi Negara-negara

lain yang berkepentingan (ayat 3).

i. Kerja sama sub-regional dan regional dalam penegakan

peraturan (Pasal 21)

Di wilayah laut lepas yang tercakup dalam organisasi

pengaturan penangkapan ikan, Negara peserta yang merupakan

anggota dari organisasi tersebut dapat memeriksa kapal

penangkap ikan yang memasang bendera Negara lain yang

juga merupakan anggota dari organisasi tersebut. Pemeriksaan

tersebut ditujukan untuk menjamin penegakan ketentuan yang

berkaitan dengan pelestarian SFS dan HMFS.

j. Format kerja sama dengan negara berkembang (Pasal 25)

Negara-negara harus bekerja sama, baik secara langsung

maupun melalui organisasi tingkat sub-regional, regional atau

global (ayat 1):

(1) Meningkatkan kemampuan negara-negara berkembang,

khususnya yang kurang berkembang di antara mereka

dan negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang,

39

Page 50: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

untuk melindungi dan mengelola stok SFS dan HMFS

dan untuk mengembangkan perikanan mereka sendiri untuk

stok tersebut.

(2) Membantu negara-negara berkembang, khususnya yang

kurang berkembang dan negara-negara pulau kecil yang

sedang berkembang, untuk memungkinkan mereka

berpartisipasi dalam perikanan di laut lepas untuk stok

tersebut, termasuk memfasilitasi akses kepada perikanan

tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 5 dan 11.

(3) Untuk memfasilitasi keikutsertaan negara-negara

berkembang pada organisasi dan pengaturan pengelolaan

perikanan sub-regional dan regional.

Kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk tujuan-

tujuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini harus termasuk

pengadaan bantuan keuangan, bantuan yang berkaitan dengan

pengembangan sumber daya manusia, bantuan teknis, trans-

fer teknologi, termasuk melalui pengaturan joint venture, dan

pemberian nasehat dan jasa-jasa konsultasi (ayat 2).

Bantuan tersebut harus diarahkan secara khusus, kepada yaitu

(ayat 3):

(1) Peningkatan konservasi dan pengelolaan stok SFS dan

HMFS melalui pengumpulan, pelaporan, pengujian, tukar

menukar dan analisa data perikanan dan informasi terkait.

(2) Penilaian stok dan penelitian ilmiah.

(3) Pemantauan, pengawasan, pengamatan, penataan, dan

penegakan hukum, termasuk pelatihan dan pengembangan

kelembagaan pada tingkat daerah, pembangunan dan

pembiayaan program pengamat nasional dan regional dan

akses kepada teknologi dan perlengkapan.

k. Bantuan khusus dalam pelaksanaan Perjanjian (Pasal 26)

Negara-negara harus bekerja sama untuk membentuk dana

khusus untuk membantu negara-negara berkembang dalam

40

Page 51: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

pelaksanaan Perjanjian ini, termasuk membantu negara-negara

berkembang untuk menyediakan anggaran yang diperlukan

dalam setiap proses hukum untuk penyelesaian sengketa di

mana mereka menjadi para pihak (ayat 1).

Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional harus

membantu negara-negara berkembang dalam mendirikan

organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional

atau regional baru, atau dalam memperkuat organisasi-organi-

sasi atau pengaturan-pengaturan yang telah ada, untuk konser-

vasi dan pengelolaan stok SFS dan HMFS (ayat 1).

l. Kewajiban untuk mengatasi secara damai (Pasal 27)

Negara-negara memiliki kewajiban untuk menyelesaikan

sengketa mereka melalui negosiasi, inquiry, mediasi, konsiliasi,

arbitrase, penyelesaian hukum, melalui lembaga-lembaga atau

pengaturan-pengaturan regional, atau cara-cara damai lainnya

menurut pilihan mereka sendiri.

m. Prosedur penyelesaian sengketa (Pasal 30)

Ketentuan yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian

sengketa sebagaimana diatur dalam Bab XV dari UNCLOS

secara otomotis berlaku juga untuk segala persengketaan yang

terjadi antara Negara peserta dari perjanjian ini.

4. CCRF 1995

UN Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agree-

ment 1995 merupakan dua perjanjian yang mengatur tentang

pengelolaan perikanan yang sifatnya mengikat, yang isinya

melingkupi persyaratan yang berhubungan dengan peraturan,

penegakan hukum, dan tanggung jawab negara bendera (flag State)

(Schmidt, 2005). Namun demikian, ternyata masih banyak

negara-negara pantai dan negara-negara yang memiliki ar-

mada perikanan jarak jauh yang belum mengikatkan diri

pada kedua perjanjian internasional tersebut di atas, termasuk

Indonesia. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan perikanan

41

Page 52: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

yang bertanggung jawab dan berkelanjutan masih menyisakan

permasalahan karena terjadinya kemandegan pelaksanaan

hukum.

Dalam rangka mengatasi kemandegan pelaksanaan kedua

perjanjian internasional tersebut, pada penghujung tahun 1995

FAO telah melahirkan suatu pedoman yang dituangkan ke dalam

dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

1995 sebagai upaya terobosan terhadap sulitnya mengajak

negara-negara pantai dan negara-negara yang memiliki ar-

mada perikanan jarak jauh untuk mengikatkan diri pada

kedua perjanjian internasional tersebut di atas. Code of Con-

duct for Responsible Fisheries 1995 yang dikeluarkan oleh

Food and Agriculture Organization (FAO) ditetapkan dalam

suatu konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober

1995. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat

berguna bagi seluruh masyarakat perikanan internasional,

sehingga setiap negara dituntut untuk menyusun kebijakan

perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries).

Pada Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa CCRF 1995 dapat

menjadi pedoman bagi stakeholders perikanan dalam menetapkan

kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi,

konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumber daya perikanan.

Hal ini dikarenakan, CCRF 1995 disusun dengan merujuk berbagai

ketentuan-ketentuan internasional yang relevan, seperti UNCLOS

1982, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip Deklarasi Rio 1992, serta

kebijakan internasional lainnya.

Secara garis besarnya, CCRF 1995 mengatur enam tema besar

permasalahan perikanan, yaitu pengelolaan perikanan (fisheries

management), operasi perikanan (fisheries operation), pembangunan

budidaya perikanan (aquaculture development), integrasi

pengelolaan perikanan hingga wilayah pesisir (integration of fish-

eries into coastal area management), praktik-praktik perdagangan

dan pasca-panen (post-harvesting practices and trade), dan

penelitian perikanan (fisheries research).

42

Page 53: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Prinsip-prinsip umum CCRF yang harus dijadikan pedoman

dalam setiap aktivitas perikanan sebagaimana yang tertuang pada

Pasal 6, yaitu:

1. Negara dan para pengguna (users) sumber daya hayati harus

melestarikan ekosistem perairan;

2. Pengelolaan perikanan harus mendorong terciptanya pelestarian

kualitas, keragaman, dan kuantitas persediaan sumber daya

yang memadai bagi generasi sekarang dan masa depan, dalam

konteks jaminan ketersediaan pangan, pengentasan kemiskinan,

dan pembangunan berkelanjutan;

3. Negara harus mencegah terjadinya kegiatan penangkapan ikan

yang berlebih (overfishing) dan melampaui kapasitas perikanan;

4. Keputusan tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya

perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terbaik

(the best scientific evidence);

5. Negara dan organisasi yang melakukan pengelolaan perikanan,

baik dalam tingkatan regional maupun sub-regional harus

melakukan pendekatan kehati-hatian (precautionary aprroach);

6. Seleksi terhadap penggunaan alat tangkap harus lebih dibangun

dan dilaksanakan;

7. Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan

produk perikanan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu,

sehingga akan menjaga nilai gizi, kualitas dan keamanan

produknya, mengurangi sampah serta meminimalkan dampak

negatif terhadap lingkungan;

8. Semua habitat ikan di laut dan ekosistem air tawar, seperti

hutan basah, hutan mangrove, terumbu karang, danau, rawa,

daerah pemijahan serta daerah pembesaran harus dilindungi

dan direhabilitasi;

9. Negara harus menjamin agar kepentingan sumber daya

perikanan, termasuk kebutuhan akan kelestarian sumber daya,

diperhitungkan dalam berbagai bentuk penggunaan wilayah

43

Page 54: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

pesisir dan mengintegrasikannya dalam pengelolaan, perenca-

naan dan pembangunan;

10. Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada

hukum internasional, negara harus menjamin pemenuhan dan

penegakan tindakan pengelolaan dan konservasi serta

mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol

aktivitas kapal ikan, termasuk ke dalamnya adalah kerangka

kerja organisasi pengelolaan dan pelestarian perikanan baik

tingkat regional maupun sub-regional;

11. Negara yang mengizinkan kapal-kapal ikan beroperasi diwila-

yahnya harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap

aktivitas kapal-kapal tersebut guna menjamin pelaksanaan

CCRF 1995;

12. Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada

hukum internasional, perjanjian internasional atau kesepakatan

lainnya, negara harus melakukan Kerja sama di tingkat

sub-regional, regional, dan global dalam organisasi pengelolaan

perikanan untuk mendorong pengelolaan dan konservasi,

menjamin perikanan yang bertanggung jawab, dan menjamin

perlindungan serta pelestarian yang efektif sumber daya hayati

akuatik;

13. Sejauh dimungkinkan oleh hukum nasionalnya, negara harus

menjamin proses pengambilan keputusan yang transparan dan

tepat waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

mendesak. Berdasarkan pada ketepatan prosedur, negara harus

memfasilitasi konsultasi dan partisipasi yang efektif dari pihak

industri, pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan

organisasi lainnya dalam pembuatan keputusan tentang

pembangunan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan

pengelolaan perikanan, pembangunan, bantuan dan pinjaman

internasional;

14. Perdagangan internasional pada ikan dan produk perikanan

harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak-hak dan

44

Page 55: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

kewajiban-kewajiban yang tercantum pada perjanjian WTOdan perjanjian internasional lainnya yang relevan. Negaraharus menjamin agar kebijakan, program-program serta praktik-parktik mereka yang berkaitan dengan perdagangan ikan dan

produk perikanan tidak menimbulkan hambatan dalamperdagangan, degradasi lingkungan atau dampak sosial yangnegatif, termasuk masalah gizi;

15. Negara harus bekerja sama untuk mencegah terjadinya sengketa.Semua sengketa yang berkaitan dengan praktik dan kegiatanperikanan harus diselesaikan tepat waktu, damai dan Kerjasama, sesuai dengan perjanjian internasional atau kesepakatanantar para pihak. Kalau pun penyelesaian sengketa ditunda,negara yang bertikai harus membuat kesepakatan sementara

yang bersifat praktis, tanpa harus mengabaikan upayapelestarian sengketa secara final;

16. Pengakuan terhadap arti penting pekerja perikanan dan nelayandalam memahami pengelolaan dan pelestarian sumber dayaperikanan, negara harus meningkatkan kesadaran perikananyang bertanggung jawab melalui pelatihan dan pendidikan.Negara harus menjamin pekerja perikanan dan nelayan terlibatdalam penyusunan kebijakan dan proses pelaksanaannya, jugamemfasilitasi pelaksanaan CCRF 1995;

17. Negara harus menjamin fasilitas dan perlengkapan perikananserta semua aktivitas perikanan yang aman, sehat, terbuka,

kondisi kehidupan dan pekerjaan yang adil, serta memenuhistandar internasional yang telah ditetapkan oleh organisasiinternasional yang relevan;

18. Dengan adanya pengakuan terhadap pentingnya sumbangannelayan kecil dalam penyediaan lapangan kerja, pendapatandan keamanan pangan, negara harus melindungi hak pekerjaperikanan dan nelayan, khususnya nelayan yang tergolongnelayan subsistem;

19. Negara harus mempertimbangkan budidaya air, termasuk

budidaya berbasis perikanan, sebagai sarana mendukung

45

Page 56: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

diversifikasi pangan dan pendapatan. Namun demikian, negara

harus menjamin penggunaan sumber daya yang bertanggung

jawab, menjaga dampak terhadap lingkungan dan komunitas

masyarakat lokal.

Materi pokok yang berkaitan dengan kegiatan perikanan secara

khusus, tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 8. Pasal 7 yang mengatur

pengelolaan perikanan terbagi dalam 8 bagian, yaitu:

1. Bagian umum.

2. Tujuan pengelolaan.

3. Kerangka kerja dan prosedur pengelolaan.

4. Petunjuk pengumpulan dan pengolahan data.

5. Pendekatan yang bersifat kehati-hatian.

6. Langkah-langkah Pengelolaan.

7. Pelaksanaan

8. Lembaga pembiyaan/institusi keuangan.

Sementara itu, Pasal 8 yang mengatur operasi perikanan, terbagi

ke dalam 11 bagian, yaitu:

1. Kewajiban semua negara.

2. Kewajiban negara bendera kapal.

3. Kewajiban negara pelabuhan.

4. Operasi penangkapan ikan.

5. Selektivitas alat penangkap ikan.

6. Optimisasi energi.

7. Perlindungan lingkungan akuatik.

8. Perlindungan lingkungan atmosfer.

9. Pelabuhan dan pangkalan pendaratan ikan.

10. Penelantaran kerangka bangunan dan material lain.

11. Terumbu karang buatan dan alat bantu pengumpul ikan.

5. IPOA on IUU FISHING

Isu kelestarian sumber daya ikan yang dikaitkan dengan

Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) menjadi

perhatian dunia. Hal ini dikarenakan, dampak negatif yang diakibat-

kan oleh praktik-praktik IUU fishing dalam mewujudkan perikanan

46

Page 57: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

yang berkelanjutan, di antaranya adalah (Xue, 2003 dan Balton,

2004):

Pertama, IUU fishing melibatkan wilayah yang luas baik

dalam konteks nasional dan internasional. Di bawah yurisdiksi

nasional oleh nelayan skala kecil dan industri, dan di laut lepas

oleh kapal-kapal perikanan jarak jauh (distant water fisheries

vessels). Pada akhirnya, praktik-praktik IUU fishing akan

mengancam upaya pengelolaan masyarakat, baik nasional maupun

internasional.

Kedua, IUU fishing seringkali menyebabkan menurunnya stok

sumber daya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi.

Hal ini dikarenakan, praktik-praktik IUU fishing menyebabkan

pencatatan statistik perikanan tidak akurat, serta ketidakpastian

dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan pembuatan keputusan-

keputusan pengelolaan.

Ketiga, IUU fishing dapat merusak hubungan antara negara-

negara yang bertetangga. Hal ini dikarenakan, pelakunya cenderung

menggunakan batas-batas negara untuk menghindari pelacakan

atau tertangkap dan untuk menghindari konsekuensi hukum. Selain

itu, dampak lain yang disebabkan oleh praktik IUU fishing, yaitu

berkurangnya efektivitas pengelolaan perikanan, hilangnya

peluangnya ekonomi bagi masyarakat nelayan yang mempunyai

izin secara sah, dan berkurangnya ketahanan pangan.

Tindak lanjut dari CCRF 1995 dalam memberantas IUU fish-

ing adalah IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unre-

ported and Unregulated (IUU) Fishing, di mana negara-negara

anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA ini ke dalam

suatu National Plan of Action (NPOA). CCRF 1995 dan IPOA

IUU fishing adalah instrumen pelengkap yang berorientasi pada

pengelolaan. Kedua instrumen ini disusun untuk dipahami dan

dilaksanakan dengan patuh bersama pada peraturan-peraturan yang

relevan dalam hukum internasional. Meskipun terdapat perbedaan

pada fokus dan ruang lingkup, masing-masing instrumen memiliki

tujuan yang sama, yaitu untuk menjamin kelestarian sumber daya

47

Page 58: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

ikan dalam jangka panjang. Dengan demikian, CCRF 1995 dan

IPOA IUU merupakan pelengkap ketentuan-ketentuan hukuminternasional yang mengatur pengelolaan perikanan (Carl-Chris-

tian Schmidt, 2005).

Cakupan IUU Fishing yang tertuang dalam IPOA IUU Fish-ing, yaitu:

1. Illegal Fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan yang:

· Diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan

di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negaratersebut, atau pelanggaran hukum dan peraturan negara

tersebut;

· Diselenggarakan oleh kapal-kapal yang mengibarkan

bendera negaranya yang merupakan bagian dari badanpengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar prosedur

konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi

tersebut dan dengan mana sebuah negara terikat, atauperjanjian yang terkait dari hukum internasional yang

berlaku;

· Dalam pelanggaran hukum nasional atau kewajiban

internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara-negarayang bekerja sama dalam badan pengelola perikanan yang

terkait.

2. Unreported Fishing mengacu pada kegiatan penangkapan:

· Yang tidak dilaporkan, atau ada kesalahan pelaporan,

kepada kekuasaan setempat, dalam pelanggaran hukum

dan peraturan nasional

· Dilaksanakan di wilayah yang berpengaruh terhadap badan

pengelola perikanan terkait yang tidak dilaporkan atauada kesalahan pelaporan, dalam pelanggaran prosedur

pelaporan dari badan tersebut.

3. Unregulated Fishing mengacu pada kegiatan penangkapan:

· Dalam wilayah kerja badan pengelola perikanan terkait

yang diselenggarakan oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan,

48

Page 59: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negarabukan anggota badan tersebut, atau oleh badan penang-kapan, dengan cara yang tidak konsisten dengan ataumelanggar konservasi dan prosedur manajemen dari badan

tersebut; atau

· Dalam wilayah atau untuk stok ikan yang terkait di manatidak memiliki prosedur konservasi atau pengelolaan yang

dapat diterapkan dan kegiatan-kegiatan penangkapan yangdiselenggarakan dengan cara yang tidak konsisten dengantanggung jawab negara untuk konservasi sumber dayahidup perikanan di bawah hukum internasional.

Tujuan IPOA IUU Fishing adalah untuk mencegah, mengurangi,dan menghapuskan IUU Fishing dengan memberikan semua negaraprosedur-prosedur yang komprehensif, efektif dan transparan untukmengambil tindakan, termasuk melalui badan-badan pengelola

perikanan regional dan sejenisnya yang dikembangkan berdasarkanhukum internasional. Adapun prinsip-prinsip dan strategi-strategitertuang dalam IPOA IUU Fishing yang harus dipertimbangkanoleh negara-negara berkembang dalam mewujudkan CCRF, yaitu:

1. Partisipasi dan Koordinasi

Agar pelaksanaannya efektif, IPOA harus diterapkan olehsemua negara baik langsung, dalam bentuk Kerja sama dengannegara lain, atau tidak langsung melalui badan pengelolaperikanan regional terkait atau melalui FAO dan badan-badaninternasional sejenisnya. Elemen penting dalam pelaksanaan

yang sukses adalah koordinasi dan konsultasi yang tertutupdan efektif, dan saling berbagi informasi untuk mengurangiinsiden IUU Fishing, di antara negara-negara dan organisasiregional dan global yang terkait. Partisipasi penuh dari pihak-pihak terkait dalam memerangi IUU Fishing, termasuk industri,komunitas nelayan, dan badan-badan non-pemerintahan, harus

terus didorong.

2. Implementasi bertahap

Prosedur untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan

49

Page 60: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

IUU Fishing harus berdasarkan pada tahap implementasi awal

yang mungkin dari rencana tindakan nasional, dan tindakan

regional dan global dalam hubungannya dengan IPOA.

3. Pendekatan utuh dan menyeluruh

Prosedur untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan

IUU Fishing harus memperhatikan semua faktor yang

mempengaruhi perikanan tangkap. Dalam melaksanakan

pendekatan tersebut, negara-negara harus memegang prosedur

membangun dalam tanggung jawab primer dari bendera negara

dan menggunakan semua yurisdiksi yang berlaku dalam

hubungannya dengan hukum internasional termasuk prosedur

pelabuhan negara, prosedur negara pantai, prosedur hubungan-

pasar dan prosedur untuk memastikan bahwa bangsanya tidak

memihak IUU Fishing. Negara-negara mendukung untuk

menggunakan semua prosedur ini, dan sejenisnya, dan bekerja

sama dengan tujuan untuk memastikan prosedur-prosedur

tersebut diterapkan dalam cara-cara yang terintegrasi. Rencana

tindakan ini harus memperhatikan semua akibat ekonomi,

sosial, dan lingkungan dari IUU Fishing.

4. Konservasi

Prosedur untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan

IUU Fishing harus konsisten dengan konservasi dan keter-

sediaan jangka panjang dari stok ikan dan perlindungan

lingkungan.

5. Transparansi

IPOA harus diimplementasikan dalam cara-cara yang transparan

dalam hubungannya dengan Pasal 6.13 Code of Conduct.

6. Non-diskriminasi

IPOA harus dikembangkan dan diterapkan tanpa diskriminasi

dalam bentuk atau dalam fakta terhadap negara atau kapal

ikannya.

50

Page 61: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

BAB III

REALITAS EMPIRIS PENGADILAN

PERIKANAN

A. HUKUM MATERIIL

1. Izin Untuk Mengelola Perikanan

1.1. SIUP

SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) meliputi bidang produksi

yaitu:

Penangkapan dan Budidaya Ikan kemudian diikuti oleh

pengangkutan dan pengolahan. Kenyataan dilapangan, ada

kegiatan yang menggabungkan pengangkutan dan pengum-

pulan ikan dari produsen (nelayan dan pembudidaya ikan)

dengan menggunakan kapal.

Kapal tersebut sekaligus sebagai tempat pengolahan, penyim-

panan dan kapal angkut.

SIUP - PENANGKAPAN dan/atau APIPM

SIUP - Penangkapan dan/atau APIPM (Alokasi Penangkapan

Ikan Penanaman Modal). Di dalam SIUP/APIPM tercantum:

Nomor SIUP-APIPM, Alokasi kapal, Fishing Ground,

Pelabuhan Pangkalan, Jenis kapal dan Alat Tangkap.

Alokasi kapal : Mencantumkan berapa kapal yang

digunakan dan apa jenis alat tang-

kapnya.

Fishing Ground : Menyebutkan wilayah pengelolaan

perikanan dan kadang-kadang diten-

tukan batas koordinat.

Pelabuhan Pangkalan: Pelabuhan perikanan atau pelabuhan

umum yang berada disekitar

51

Page 62: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

fishing ground dan/atau berdasarkan

pertimbangan lain untuk memper-

oleh kemudahan kelancaran opera-

sional kapal, misalnya: BBM, air

tawar, suku cadang, suplai es, pasar,

dan lain-lain.

Jenis Alat Tangkap : Alat Tangkap yang diizinkan

berdasarkan, daya dukung sumber

daya perikanan yang ada.

SIUP. Diberikan kepada Perorangan atau Perusahaan Swasta

Nasional.

APIPM. Diberikan kepada Perusahaan Penanaman Modal

Nasional (PMDN) dan penanaman modal asing.

SIUP/APIPM, selain mencantumkan kapal penangkap,

dicantumkan juga kapal Angkut, sesuai dengan kebutuhan

pemohon. Di dalam SIUP/APIPM dicantumkan pula Identitas,

Alamat dan Telpon Penanggung jawab, serta jenis kegiatan,

daerah usaha dan masa berlaku SIUP/ APIPM tersebut.

Kewenangan untuk menerbitkan SIUP/APIPM adalah Dirjen

Perikanan Tangkap bagi pemilik SIUP/APIPM yang

menggunakan kapal penagkap > 30 GT serta mempekerjakan

Tenaga Kerja Asing (TKA). Sedangkan SIUP yang boleh

diterbitkan di daerah adalah : Gubernur, untuk kapal < 30

GT dan tanpa menggunakan TKA, dan Bupati/ Walikota,

untuk kapal yang berukuran < 10 GT - 5 GT .

1.2. SIPI

SIPI (Surat Izin Penangkap Ikan) adalah izin yang diberikan

untuk kapal penangkap ikan.

SIPI diberikan kepada sebuah kapal penangkap berdasarkan

alokasi kapal yang tercantum dalam SIUP di mana penanggung

jawab SIUP ikut bertanggung jawab terhadap kapal yang

memperoleh SIPI tersebut.

52

Page 63: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Kapal yang memperoleh SIPI adalah kapal berbendera Indo-

nesia (KII) dan kapal berbendera Asing (KIA).

SIPI-KII berukuran < 30 GT tanpa TKA diterbitkan oleh

daerah Tingkat I dan II.

SIPI - KIA/KII berukuran > 30 GT dan mengunakan TKA

diterbitkan oleh Pusat.

Di dalam SIPI tercantum:

1 2 3 4 5

No./SIPI SIUP, APIPM Perusahaan Identitas kapal Jenis Alat Tangkap

- Nomor SIPI - masa berlaku SIPI

- No. SIUP/APIPM - Masa berlaku

- Nama Perusahaan - Alamat Perusahaan

- Tempat & Nomor Registrasi - Tanda selar - Nama Panggilan - Asal kapal - Tempat dan Tahun Pembuatan

- Ukuran alat utama - Alat pembantu - Alat bantu penangkapan

6 7 8 9 10

Sepesipikasi kapal No. Transmisi Catatan Tentang

SIPI

Tgl dan No.

Permohonan

Tanda terima pelunasan

SSBP

- Bobot (GT) - HP mesin induk - No. mesin - Bahan kapal - Muatan bersih

- (VMS)

- Tanggal pelunasan - Stiker bar code

53

11 12 13

Daerah Penangkapan

Fishing Ground

Pelabuhan Pangkalan Crew kapal

- Daerah WPP - Daerah terlarang - Waktu penangkapan - Lintang/ Bujur (titik batas)

- P.P. utama - P.P. alternatif

- Indonesia - Asing

- Lintang/Bujur (titik batas)

Page 64: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Komponen yang ada kaitannya dengan kapal penangkap ikan.

1 2 3 4

Kelengkapan utama di kapal

Dokumen dari Perla

Dokomen dari DKP

Dokumen ABK

- Perlengkapan Navigasi - Alat penolong - Alat komunikasi - Peralatan akomodasi - Kunci-2 & suku cadang - Alat-2 pemadam Kebakaran - Jangkar, tali jangkar dan tali tambat - Dapra - Secoci kerja

- SIB/ BA berlayar - Crew List - Kelaikan & Pengawakan ( KII ) - Surat kebangsaan - Surat ukur - Surat kesempurnaan untuk (KIA) - AWS (Sertifikat pemisah air dan Minyak. - Sijil (monsterol)

- SIPI asli - Stiker bar code - Bukti lunas PHP - SLO

- Seamen Book untuk I/A - Dahsus untuk ABK - A - IKTA untuk ABK-A - Ijazah Pwa untuk I/A

5 6 7

Palka Penyimpanan Unit Pembekuan Prosesing Bahan pengawet

- Penyimpanan beku/basah - Penyimpanan kering - Pompa pengatur sirkulasi air - Penyimpanan hidup - Pengatur suhu penyimpanan

- Mesin pembekuan - Mesin proses olahan - Bahan pembungkus - Alat-alat bantu pengolahan

- Garam - ES - Lainnya

1.3. SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan)

SIKPI adalah Izin yang diperlukan untuk kapal angkut:

SIKPI diberikan kepada kapal yang sudah teralokasi pada SIUP

dalam satu armada penangkapan bersama kapal penangkap, tapi

ada juga SIKPI diberikan kepada Perusahaan yang tidak memiliki

SIUP, tapi mengoperasikan kapal khusus untuk mengangkut ikan

dengan memiliki SIUPAL (Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan

Laut).

Di dalam SIKPI tercantum

1 2 3 4 5

No./SIPI SIUP, APIPM Perusahaan Identitas kapal Sepesipikasi kapal

- Nomor SIPI - masa berkaku SIPI

- No. SIUP/APIPM - Masa berlaku

- Nama Perusahaan - Alamat Perusahaan

- Tempat & Nomor Registrasi - Tanda selar - Nama Pangilan - Asal kapal - Tempat dan Tahun pembuatan

- Bobot (GT) - HP mesin induk - No. mesin induk - Bahan kapal - Muatan bersih

54

Page 65: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

6 7 8 9 10

No. Transmisi

VMS

Catatan Tentang

SIKPI

Tanggal

Dan Nomor

Permohonan

Tanda terima

pelunasan SSBP

Daerah

Pengumpul

- Tanggal pelunasan - Stiker bar code

11 12 13

Pelabuhan singgah Pelabuhan

Pangkalan

Crew kapal

- Max 20 Pelabuhan - Max 7 Pelabuhan - Indonesia - Asing

Komponen yang ada kaitannya dengan kapal pengangkut ikan.

1 2 3 4

Kelengkapan utama di

kapal

Dokumen dari

Perla

Dokumen dari

DKP

Dokumen

ABK

- Perlengkapan Navigasi - Alat penolong - Alat komunikasi - Peralatan akomodasi - Kunci-2 & suku cadang - Alat-2 pemadam Kebakaran - Jangkar, tali jangkar dan tali tambat - Dapra - Secoci kerja

- SIB/ BA berlayar - Crew List - Kelaikan & Pengawakan ( KII ) - Surat kebangsaan - Surat ukur - Surat kesempurnaan untuk (KIA) - AWS (Sertifikat pemisah air dan Minyak. - Sijil , Monsterol

- SIPI asli - Stiker bar code - Bukti lunas PHP - SLO

- Seamen Book untuk ABK - I/A - Dahsuskim untuk ABK - A - IKTA untuk ABK-A - Ijazah Pwa untuk ABK - I/A

5 6 7

Palka Penyimpanan Unit Pembekuan Prosesing Bahan pengawet

- Penyimpanan beku/basah - Penyimpanan kering - Pompa pengatur sirkulasi air - Penyimpanan hidup - Pengatur suhu penyimpanan

- Mesin pembekuan - Mesin proses olahan - Bahan pembungkus - Alat-alat bantu pengolahan

- Garam - ES - Lainnya

Catatan: Kapal Angkut terbagi atas:

Mengangkut ikan dalam satuan Armada, atau dalam satu manajemen

penangkapan.

Mengangkut ikan dari fishing ground ke pelabuhan pangkalan.

Mengangkut ikan dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain di dalam

negeri.

55

Page 66: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Mengangkut ikan dari pelabuhan Indonesia ke negeri tujuan ekspor.

Mengangkut ikan dari hasil pengumpulan (colecting) dari nelayan

di daerah-daerah terpencil ke tempat pemasaran atau tempat

pengolahan.

Kapal Perikanan Asing (KIA)

Kapal perikanan Asing masuk ke wilayah NKRI diperbolehkan

selama kapal tersebut melalui jalur pelayaran yang sudah disepakati

secara Internasional. Hal ini berlaku bagi kapal perikanan yang

tidak memiliki izin.

Untuk kapal penangkap ikan Asing selama berlayar di dalam

wilayah NKRI, alat tangkap ikannya harus tersimpan rapi di dalam

palkah (tidak dalam keadaan stand by).

Kapal perikanan asing, hanya bisa menangkap ikan di perairan

ZEE-I atas izin Pemerintah RI, dalam rangka memenuhi kesepakatan

dalam UNCLOS.

SIPI d/a. SIKPI yang diberikan kepada KIA, harus di bawah

naungan SIUP yang telah dimiliki pemilik kapal.

Dokumen yang harus dimiliki KIA adalah

Penangkapan

Pengangkutan

Dokumen dari

Perhubungan Laut

Dokumen dari

DKP

Dokumen

ABK

1. Monterol 2. Crew list 3. Imigrasian clearance 4. Custom clearance 5. Grostonage Certificate 6. Sea Wordnes Certificate 7. Nationality Certificate 8. Directing Certificate 9. Port Health Certificate 10. Port Clearance (SIB) 11. Sailing Declaration (BA) 12. O W S (Oil Water Saparate)

1. SIPI/SIKPI 2. Bukti bayar PHP 3. Stiker bar code 4. S L O

1. Seamen book 2. Officer Certificate 3. Health Certificate 4. Paspor 5. Dahsuskim

56

Page 67: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Syarat untuk kapal KIA yang telah memiliki SIPI adalah:

o Hanya boleh beroperasi pada ZEE-I tertentu dengan alattangkap tertentu yang tertera di dalam SIPI.

o Masuk ke pelabuhan hanya dibolehkan pada pelabuhan tertentusesuai dengan yang tertera di dalam SIPI. (tidak disebut kecualiEmergensi).

o Di luar Fishing Ground yang tertera dalam SIPI, alat tangkapharus tersimpan rapi di dalam palka.

o Dilarang membawa alat tangkap lain, selain yang diizinkandi dalam SIPI.

o Kapal Angkut dalam satuan Armada atau dalam satuanmanajemen Penangkap hanya mengangkut ikan dari Fishing

Ground ke pelabuhan pangkalan, atau dari pelabuhan pangkalanke negara tujuan ekspor.

SIUP BUDIDAYA IKAN

Kegiatan Budidaya ikan terdiri dari

o Budidaya air tawar, di danau, sungai, kolam dan genanganair lainnya.

o Budidaya air payau, di tambak atau laguna didekat Laut.

o Budidaya laut, di teluk, selat, atau di perairan pantai terbukadan daerah-daerah kosong yang aman dari gelombang danbadai.

Perizinan Budidaya, diterbitkan oleh DKP untuk kegiatan teknisBudidaya dan untuk lokasi Budidaya dikeluarkan oleh PemerintahDaerah, sesuai dengan mekanisme Otonomi Daerah.

SIUP PENGOLAHAN

SIUP - Pengolahan, adalah izin Usaha Perikanan di bidangkegiatan Pengolahan Ikan. Dengan izin ini Pengusaha sudah bolehmelakukan kegiatan pelaksanaan operasional unit pengolahan,pengadaan bahan baku, bahan penolong, bahan pembungkus, gudangpenyimpanan, sarana distribusi dan kolekting (kapal dan kendaraan

darat).

57

Page 68: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

2. Pengrusakan Lingkungan

Untuk mempertahankan hidup, manusia terkadang lupa bahwa

apa yang dilakukan adalah diluar kewajaran. Apa lagi kalau

dikerjakan secara serakah, dapat merugikan orang lain dan atau

makhluk lain. Makhluk yang namanya “ ikan “ menurut pengertian

UU No. 31/2004 pasal 1 butir (4) sangat banyak bermanfaat untuk

kehidupan manusia, antara lain sebagai mata pencaharian sehari-

hari setiap orang, pendapatan negara/daerah, sumber makanan

berprotein tinggi, sarana hiburan, bahan baku obat-obatan, bahan

baku kosmetik dan sebagainya. Ikan yang hidup di air, baik di

laut maupun di air payau dan air tawar semuanya mempunyai

nilai bagi kehidupan manusia dan keseimbangan lingkungan.

Menangkap dan membudidayakan ikan di mana saja adalah

hak setiap warga Negara, tetapi hendaknya diatur dengan tatacara

yang baik dalam hukum positif. Pada umumnya prinsip utama

aturan tersebut adalah bagaimana memanfaatkan dan bagaimana

menjaga keseimbangan dan kesinambungan sumber daya dan

lingkungan.

Berdasarkan pengalaman di lapangan bahwa cara-cara tidak

wajar dalam upaya menangkap dan membudidayakan ikan di/dari

alam adalah:

a. Bom ikan

Menggunakan Bom terhadap gerombolan ikan mudah

dilaksanakan. Ikan yang menjadi target mudah diambil karena

sudah mati atau hampir mati. Tapi dampaknya ikan yang

tidak menjadi target, termasuk benih dan makanan alami serta

tempat berlindung ikan ikut mati dan rusak. Sehingga sistem

rantai makanan terputus dan kehidupan di sekitar tempat Bom

menjadi rusak dan merana. Untuk memulihkannya kembali

memerlukan waktu lama dan biaya besar.

b. Racun/tuba ikan

Tuba ikan ada bermacam-macam, tetapi dapat dibagi dalam

dua kelompok besar yaitu:

58

Page 69: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

• Makanan yang dicampur racun, baik dari alam atau dari

bahan kimia.

• Ikan yang menjadi target dapat diambil dengan mudah,

tapi yang bukan target dan biota perairan lainnya ikut

mati.

• Racun yang disemprotkan kepada sasaran memudahkan

pelaku untuk memperolehnya. Racun jenis ini mempenga-

ruhi kadar oksigen dilingkungan sekitar, di samping

mempengaruhi fisik ikan sehingga mati atau hampir mati

dan mudah untuk diambil. Dampak dari bius/racun ini

dapat meluas mengikuti arus laut, menyebarkan racun

kemana-mana.

c. Budidaya ikan

Membudidayakan ikan yang menggunakan bahan makan

dan obat perangsang untuk mempercepat pertumbuhan ikan

dan anti penyakit ikan yang dimasukan ke dalam air, dengan

kadar yang tidak tepat dapat membahayakan ikan yang tidak

menjadi target Budidaya serta lingkungan perairan.

Sebagai contoh penambahan pakan buatan yang diramu

dengan menambahkan obat untuk mempercepat pertumbuhan

atau obat untuk menanggulangi jenis penyakit tertentu yang

tidak direkomendasikan. Dampaknya ikan yang menjadi tar-

get bisa cepat besar dan sehat yang bukan target akan mati

sehingga dapat memutuskan rantai makanan secara alami dan

lingkungan menjadi rusak.

d. Alat tangkap yang merusak

Sebenarnya semua alat tangkap ikan yang aktif bila salah

dipergunakan dapat berdampak negatif terhadap lingkungan,

seperti trawl, purse seine, payang dan sebagainya. Alat tangkap

aktif adalah alat yang memaksa ikan supaya tertangkap, bukan

menipu ikan agar tertangkap. Alat tangkap aktif seperti trawl

akan merusak lingkungan apabila dioperasikan pada daerah

59

Page 70: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

yang berkarang dan mata jaring yang digunakan terlalu kecil,

sehingga anak-anak ikan yang bukan menjadi target ikut

terambil dan lingkungan menjadi rusak.

Pengrusakan terumbu karang baik yang hidup atau yang

mati sudah otomatis tidak akan terjadi selama yang

mengoperasikan alat tersebut sehat pikiran dan menyayangi

hartanya (alat). Sebab kalau dioperasikan didaerah karang

alatnya akan rusak dan si pemilik akan rugi, sedangkan untuk

membatasi mata jaring sudah diatur oleh aturan yang berlaku.

e. Penyetruman

Penangkapan ikan dengan cara penyetruman di Indone-

sia hanya bersekala kecil (Perorangan) dan efek pengrusakannya

pun terbatas, selama Power yang dipakai hanya berasal dari

batrey (Accu). Akan tetapi akan berdampak buruk kalau

menggunakan strum langsung dari sumber listrik (mesin).

Akibatnya yang bersangkutan bisa fatal dan lingkungan juga

akan ikut rusak. Di samping penangkapan dan pembudidayaan

ikan dengan cara yang membahayakan di atas, ada juga merusak

lingkungan secara langsung atau tidak langsung baik disadari

maupun tidak disadari sebagai berikut :

f. Pengambilan terumbu karang dari laut

Terumbu karang merupakan istana bagi ikan-ikan karang

terutama ikan hias laut. Dengan diambilnya terumbu karang,

rumah dan istana ikan rusak, keseimbangan alam berubah,

rantai makanan putus dan lingkungan rusak. Target pengambilan

terumbu karang adalah :

· Dijual untuk hiasan aquarium.

· Sebagai bahan baku kapur sirih dan bahan bangunan.

· Sebagai cat tembok.

· Pondasi bangunan, jalan dan sebagainya.

g. Pengambilan hutan bakau

a) Manfaat langsung kayu bakau adalah:

60

Page 71: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

• Bahan bangunan rumah, jembatan desa, tanggul dan

sebagainya.

• Kulit bakau bisa menjadi bahan pengawet tekstil

atau jaring dan bahan pewarna tekstil.

• Arang kayu bakau bisa jadi bahan baku karbon aktif

dan sebagainya.

b) Dampak lingkungan dari rusaknya hutan bakau adalah:

• Tidak ada lagi akar bakau di tepi pantai yang

merupakan tempat berlindung ikan kecil dari sergapan

predator (rumah dan benteng pertahanan).

• Tidak ada Tempat pemijahan jenis-jenis ikan komersial

tertentu seperti udang, tiram dan sebagainya. (rumah

sakit dan TK) bagi ikan.

• Rusaknya akar bakau sebagai benteng pencegahan

abrasi laut.

• Rimbunan hutan bakau merupakan istana dan hotel

bagi burung-burung laut untuk berpacaran, bertelur,

beristirahat dan sebagainya.

h. Penggundulan hutan

Penggundulan hutan yang berpengaruh langsung ke laut,

danau dan sungai banyak terjadi di beberapa daerah. Penggun-

dulan hutan yang berpengaruh ke lingkungan perairan bisa

terjadi akibat pembukaan lahan untuk pemukiman, perkebunan,

kegiatan budidaya ikan air payau, atau proyek-proyek lainnya.

Dengan adanya penggundulan hutan yang tidak terkendali di

dekat perairan (laut, danau, sungai dan sebagainya) akan

berdampak pada kerusakan lingkungan sebagai berikut:

a) Banjir pada saat musim hujan yang dapat memporakporan-

dakan lingkungan sekitar dapat merusak pemukiman,

kebun, sawah dan ternak.

b) Banjir membawa limbah dan lumpur yang mengandung

polutan masuk ke air akan menutup terumbu karang, dan

61

Page 72: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

rumah ikan sehingga rusak, dan lumpur yang terbawa

racun yang membahayakan ikan, makanan ikan dan jasad

renik lainnya.

c) Akibatnya, rantai makanan terputus dan ekosistem

lingkungan rusak.

B. HUKUM FORMIL

Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945,

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan

tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat), sementara itu

pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional tidak bersifat

absolutisme (kekuasaan tak terbatas). Dari penegasan tersebut, dapat

diartikan bahwa dalam negara Republik Indonesia yang berasaskan

Pancasila, hukum harus dapat menampilkan wibawanya sebagai sarana

untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan serta membangun

seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan. Oleh karena itu, hukum

di Indonesia ditempatkan pada posisi utama, karena pembangunan

terhadap bangsa dan negara harus dilaksanakan berlandaskan dan sesuai

dengan falsafah, nilai, asas dan ketentuan nasional. Segenap segi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat ditentukan

oleh terpeliharanya stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, yang

diharapkan bukan diciptakan melalui penggunaan kekuasaan belaka,

akan tetapi melalui tegaknya hukum.2

Hukum merupakan wadah dan isi dari komponen bangsa, di mana

kekuasaan atas kedaulatannya menjadi dasar bagi kehidupan bangsa

dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu dalam penjelasan

Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa Negara Republik In-

donesia adalah negara yang berdasar atas hukum, eine Rechtstaat, a

State based on law, a State governed by Law.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar 1945 di atas, memiliki kedaulatan dan yurisdiksi

2 Yusril Ihza Mahendra, Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Majalah Ketahanan Nasional, Edisi

No. 73, 2000.

62

Page 73: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka

menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik

untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus

meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang

sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap

memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya

serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.3

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang

sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan di mana terdapat

kandungan sumber daya ikan yang sangat tinggi kesuburannya dan

telah dimanfaatkan sejak dulu oleh rakyat Indonesia secara turun-

temurun. Sumber daya ikan yang dipadukan dengan nelayan serta

pembudidaya ikan yang sangat besar jumlahnya, merupakan modal

dasar bagi pembangunan nasional. Hal ini sangat penting artinya dalam

mencapai tujuan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan

Nusantara, maka kegiatan perikanan harus mampu ikut berperan

mewujudkan kekuatan ekonomi sebagai upaya meningkatkan ketahanan

nasional.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah

bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya

ikan.4

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam

pembangunan perekonomian nasional terutama dalam usaha

meningkatkan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkat-

an taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya

ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan

tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber

daya ikan.5

3 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.4 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.5 Ibid.

63

Page 74: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Sumber daya ikan memang memiliki daya pulih kembali (renew-

able), namun hal itu tidak berarti tak terbatas. Oleh karena itu apabila

pemanfaatannya dilakukan bertentangan dengan kaidah-kaidah penge-

lolaan sumber daya ikan, seperti pemanfaatan melebihi potensi yang

tersedia, atau penggunaan alat yang merusak sumber daya ikan atau

lingkungan, tentu akan berakibat pada kepunahan.

Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, saat ini bidang

perikanan dan kelautan merupakan salah satu sumber devisa negara,

namun dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan yang justru

sangat merugikan negara. Permasalahan yang sering timbul adalah

kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing).

Penangkapan ikan secara tidak sah tersebut dapat mempengaruhi

perolehan hasil tangkapan armada kapal ikan Indonesia dan

perekonomian bangsa. Di sisi lain, banyak tindak pidana ringan atau

berat yang dilakukan oleh pengusaha maupun nelayan Indonesia sendiri.

Kondisi tersebut menuntut perlu adanya pengembangan cara-cara sebagai

upaya mengurangi tingkat pelanggaran khususnya pada pelaksanaan

di lapangan dengan melibatkan partisipasi aktif aparat penegak hukum,

pengusaha perikanan dan nelayan itu sendiri.

Tindak pidana di bidang perikanan yang paling menonjol saat ini

adalah penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal ikan asing. Sepanjang

tahun 1998-1999 diperkirakan kerugian mencapai lebih kurang 4 s.d

5 milliar dolar AS, di mana hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian

kecil dari pengusaha perikanan laut terutama nelayan mekanis, sedang

nelayan tradisionil masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Adapun jenis-jenis pelanggarannya sebagai berikut:6

1. Pelanggaran terhadap peraturan penangkapan ikan.

· Pelanggaran karena tidak memiliki izin sama sekali dari

pemerintah.

6 Letkol Laut (P) Aan Kumia, S-, Konsepsi TNI AL Dalam Penegakan Hukum Di Laut Guna Mewujudkan

Pemulihan Ekonomi, Majalah Cakrawala TNI-AL, 2003-07-09 10:43:52.

64

Page 75: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

· Pelanggaran terhadap aturan sesuai izin yang telah

diberikan oleh pemerintah.

· Pelanggaran melakukan transfer di tengah laut.

· Pelanggaran ketentuan ABK asing.

2. Pelanggaran terhadap kelestarian lingkungan laut, misalnya

perusakan terhadap karang di laut dan pembuangan sisa bahan

bakar sembarangan. Akibatnya terumbu karang di Indonesia

yang berada dalam kondisi baik tinggal sekitar 30%.

Masalah mekanisme perizinan, pengawasan dan penyelidikan

menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di laut.

Persoalan perizinan sampai saat ini masih menimbulkan in efisiensi,

hal tersebut terjadi karena masih banyak mata rantai yang harus dilalui

yakni mencapai 22 izin prosedur. Pengawasan merupakan kegiatan

dalam mengawasi kegiatan penangkapan ikan sesuai peraturan dari

pengelolaan sumber daya alam di laut khususnya perikanan. Dari

hasil pengawasan tersebut dapat mengarah kepada suatu penyidikan.

Dengan kegiatan penyidikan dapat diketahui setiap kegiatan kapal-

kapal perikanan, sehingga dapat diketahui telah terjadi atau tidaknya

sebuah pelanggaran. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan ternyata

timbul masalah antara lain belum ada Juklak (Petunjuk Pelaksanaan)

dan prosedur standar dari instansi yang berwenang, yang dapat dijadikan

pegangan oleh para pelaku usaha perikanan.

Bagi TNI AL ada beberapa faktor yang mempengaruhi belum

optimalnya pelaksanaan penegakan hukum di laut:7

1. Eksternal

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat

dijangkau oleh SDM.

Polemik kewenangan antara instansi TNI AL, PPNS Perikanan

atau POLRI dalam menangani penegakan hukum di Laut.

7 ibid.

65

Page 76: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

2. Internal

a. Keterbatasan kekuatan dan kemampuan operasional unsur-

unsur TNI AL.

b. Perkembangan kondisi ekonomi yang belum pulih mempe-

ngaruhi anggaran pemeliharaan dan kesiapan operasional.

c. Kualitas dan kuantitas personel yang belum mencukupi dalam

rangka pemekaran organisasi TNI AL yang baru.

Sedangkan secara umum beberapa kendala yang menjadi hambatan

dalam upaya penegakan hukum di laut antara lain adalah:

a. Birokrasi sistem perizinan yang terlalu panjang dan sulit,

memicu terjadinya pelanggaran di kalangan pengusaha.

b. Belum adanya kesamaan gerak langkah di antara aparat yang

berwenang dalam penegakan hukum di laut.

c. Keterbatasan sarana dan prasarana aparat penegak hukum di

laut.

d. Masih rendahnya pengetahuan dan kemampuan SDM di bidang

perikanan.

Terancamnya kelestarian sumber daya ikan dapat juga disebabkan

oleh kegiatan-kegiatan lain seperti pelayaran, pertambangan, penempatan

kabel laut, pembuangan sampah industri, penebangan hutan bakau

dan bahkan juga peristiwa alam. Hal tersebut secara potensial dapat

menimbulkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan, sehingga

pembinaan terhadap kelestarian sumber daya ikan merupakan masalah

yang sangat penting dan harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah.

Dalam hubungan inilah maka perlu diambil langkah-langkah untuk

mengatur segi-segi kelestarian serta pengawasannya.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan

yang optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas

perikanan dan peran serta masyarakat dalam pengawasan secara berdaya

guna dan berhasil guna. Dalam rangka menunjang pembangunan

perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan

perikanan, pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan sangat

66

Page 77: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

penting dan strategis, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan

secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum

merupakan kondisi yang mutlak diperlukan.

Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan sebagai

isu utama dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1985, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 lebih memberikan

kejelasan dan kepastian terhadap masalah penegakan hukum atas tindak

pidana di bidang perikanan, yang mencakup proses penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan pada pengadilan. Dengan demikian perlu

diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum,

dan hakim dalam menangani kasus tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, aparat penegak hukum

melaksanakan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan, mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1991 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, dan juga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang memuat

hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang

terjadi selama ini, mengalami berbagai hambatan, sehingga diperlukan

suatu metode penegakan hukum yang bersifat spesifik menyangkut

hukum materil dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum,

baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan

di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas yang bersifat

lebih cepat prosesnya.8

Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan disebutkan bahwa pengawasan perikanan antara

lain mencakup hal-hal sebagai berikut: pengawas penangkapan,

pengawas perbenihan, pengawas budi daya, pengawas hama dan penyakit

ikan, dan pengawas mutu. Pengawasan perikanan tersebut dilakukan

oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan dan non penyidik

pegawai negeri sipil perikanan. Non penyidik pegawai negeri sipil

8 Lihat Penjelasan Undarg-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

67

Page 78: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

perikanan adalah pegawai negeri sipil lainnya di bidang perikanan

yang bukan sebagai penyidik. Masyarakat pun harus diikutsertakan

dalam membantu pengawasan perikanan akan tetapi pemerintah tetap

yang berkewajiban mengadakan sarana dan prasarana dalam melakukan

kegiatan pengawasan perikanan tersebut.

Maraknya terjadi tindak pidana pencurian ikan (ilegal fishing)

saat ini menuntut masalah penegakan hukum menjadi signifikan untuk

diperhatikan, termasuk di dalamnya IIlegal Unreported and Unregu-

lated (IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia mengalami kerugian Rp

1-4 miliar dollar AS akibat kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian

finansial, kerugian terbesar justru dialami oleh sumber daya perikanan

itu sendiri.

Apabila diakumulasikan keseluruhan hasil tangkapan yang tergolong

dalam IUU Fishing, terlihat jelas bahwa kerugian yang dialami Indo-

nesia sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan

IUU Fishing mencapai 30-40% dari hasil tangkapan total. Dalam definisi

kegiatan ilegal pencurian ikan dimasukkan pula kategori hasil tangkapan

yang tidak dilaporkan (unreported), termasuk di dalamnya hasil

tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak

diatur dalam sistem peraturan dan perundang-undangan.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI Angkatan Laut,

POLRI, serta Kejaksaan dalam menyikapi masalah ini sepakat untuk

membersihkan semua kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) di perairan

Indonesia. Sebagai upaya untuk mewujudkan kesepakatan tersebut,

salah satu hal yang sangat penting dilakukan adalah menangkap pelaku/

aktor yang lebih dikenal dengan sebutan cukong besar yang bermain

selama ini, di mana mereka bertindak tak ubahnya seperti cukong

perompakan liar. Hal ini dapat dibuktikan karena selama ini setiap

penangkapan terhadap kapal-kapat pencuri ikan tidak pernah menyentuh

pengusaha nakal yang menjadi aktor utama perbuatan tercela tersebut.

DKP selama ini telah melakukan upaya-upaya pemberantasan tindak

pidana bidang perikanan, akan tetapi kalah ekspose dengan gebrakan

perompakan liar. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan DKP adalah

dengan mempercepat proses hukum terhadap kasus-kasus terkait

68

Page 79: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

pencurian ikan yang penanganannya selama ini dinilai sangat lambat.

Selain itu, juga digelar “Operasi Mandiri” yang dilakukan oleh DKP

dengan tujuan menangkap kapal-kapal asing yang melakukan tindakan

pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Operasi ini melibatkan

TNI AL dan POLRI. Dengan disahkannya Undang-Undang Perikanan

No. 31 Tahun 2004, membuat kinerja aparat penegak hukum semakin

efektif dan efisien dalam membasmi tindakan pencurian ikan, karena

dalam undang-undang tersebut diatur aparat penyidik tindak pidana di

bidang perikanan yang berwenang melakukan proses hukum. Aparat

yang berwenang dimaksud adalah PPNS Perikanan, Perwira TNI AL

dan Pejabat POLRI. Untuk menangani kasus-kasus peradilannya, DKP

saat ini juga sedang memfokuskan diri pada pembentukan pengadilan

perikanan, di mana perangkatnya adalah mereka yang menguasai ilmu

kelautan dan perikanan. Saat ini dalam proses pembentukan lima

pengadilan perikanan yang masing-masing berada di Jakarta Utara,

Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.9

Berkaitan dengan masalah penyidikan sebagai bagian dari upaya

penegakan hukum di bidang pengawasan sumber daya perikanan, dalam

Pasal 73 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 disebutkan bahwa

“Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia.” Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

penyidik tersebut melakukan koordinasi dalam suatu forum koordinasi

yang dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kewenangan setara sebagai

penyidik yang diberikan kepada tiga instansi tersebut di atas dapat

menimbulkan konflik yang nantinya akan mengganggu kelancaran

penegakan hukum di bidang perikanan. Konflik yang terjadi disebabkan

oleh berbagai hal antara lain perbedaan kepentingan, kurangnya

koordinasi di lapangan dan lemahnya pemahaman terhadap peraturan

perundang-undangan di bidang perikanan.

9 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

69

Page 80: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Efektifnya pencegahan dan penyidikan tindak kejahatan sangat

tergantung pada tingkat dan kualitas Kerja sama di antara badan penegak

hukum dengan masyarakat yang dilayani, mengingat pada tanggung

jawab privat dengan tanggung jawab publik yang sama besarnya.

Kebijakan penegakan hukum di laut diarahkan pada usaha menekan

serendah mungkin semua bentuk pelanggaran yang mungkin dilakukan.

Dengan rendahnya tingkat pelanggaran dapat dijadikan ukuran atau

barometer bahwa peraturan dan ketentuan yang berlaku telah dipatuhi

dan ditaati dengan baik. Secara langsung hal tersebut menunjukkan

bahwa kualitas sumber daya manusia atau masyarakat nelayan terhadap

hukum dapat dibanggakan dan tentu saja membawa pengaruh yang

baik terhadap aspek ekonomi nasional dengan meningkatnya penerimaan

negara melalui nilai ekspor yang tinggi. Adapun tujuan penegakan

hukum di laut adalah mengurangi dan menghilangkan tingkat kerugian

negara, mendorong pengusaha, pemerintah dan aparat penegak hukum

untuk lebih meningkatkan fungsi pengawasan potensi sumber daya

ikan di laut.

Sementara itu, sasaran penegakan hukum di laut lebih difokuskan

pada usaha pencapaian beberapa kondisi yang ingin dicapai, antara

lain:

1. Terciptanya kerja sama yang baik dalam menangani tindak

pelanggaran hukum di laut antara sesama aparat penegak hukum

baik yang berada di instansi/institusi pusat maupun daerah.

2. Tercapainya kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan sumber

daya alam untuk kepentingan pembangunan nasional.

3. Terpenuhinya jumlah personel penyidik PPNS Perikanan, Perwira

Kepolisian dan TNI AL yang profesional dan keberadaannya tersebar

secara merata di seluruh wilayah perairan Indonesia.

4. Terpenuhinya dukungan unsur operasional di daerah guna

pelaksanaan kegiatan pengamanan terhadap SDA.

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Tanggal 6 Oktober 2004 merupakan momentum penting dalam

sejarah perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang Perikanan

70

Page 81: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

yang baru telah disahkan. UU Perikanan baru ini merupakan koreksi

terhadap UU Perikanan Nomor 9 Tahun 1985 yang dianggap

tidak cocok lagi dengan perkembangan lingkungan strategis baru,

yaitu globalisasi dan otonomi daerah. Hal ini mengingat UU Nomor

9 Tahun 1985 tersebut disusun pada saat spirit sentralisme dan

modernisme masih dominan, dengan implikasinya negara

(pemerintah pusat) mendominasi sebagian besar urusan perikanan,

khususnya pengelolaan sumber daya perikanan (fisheries man-

agement).

Sentralisme tersebut telah menghasilkan kegagalan pembangun-

an perikanan dan kelautan di masa lalu, seperti banyaknya produk

regulasi yang sulit diterapkan. Sebut saja, penanganan pengeboman

ikan, pembiusan ikan, dan praktik destructive fishing lainnya yang

tak tersentuh.

Hal ini tidak lain karena partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sumber daya perikanan sangat rendah. Begitu pula

muatan prinsip FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries

(CCRF) belum terakomodasi dalam UU Nomor 9 Tahun 1985.

CCRF ini memuat prinsip dan standar dalam menjamin terciptanya

kegiatan perikanan berkelanjutan, baik dalam penangkapan ikan,

budidaya perikanan, pascapanen dan pemasaran, maupun kaitan

antara perikanan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi

sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan

perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan

perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berlangsung

secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum

merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan.

Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan

sebagai isu utama dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan. Berbeda dengan Undang-undang

Nomor 9 Tahun 1985, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap

penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang

71

Page 82: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai

kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani

tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping

mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

juga dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 ini dimuat

hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan

yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.

Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat

spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil.

Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan,

penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan,

ditentukan jangka waktu secara tegas yang bersifat lebih cepat

prosesnya.10

Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 yang baru,

membuat kinerja untuk membasmi tindakan pencurian ikan akan

semakin efektif dan efisien karena dalam undang-undang tersebut

diatur aparat yang menjadi penyidik tindak pidana di bidang

perikanan adalah PPNS Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat

Polri. Untuk menangani kasus-kasus peradilannya, Departemen

Kelautan dan Perikanan juga sedang memfokuskan diri pada

pembentukan pengadilan perikanan di mana perangkat-perangkatnya

nantinya adalah mereka yang menguasai ilmu perikanan.

Aparat Penegak Hukum di Bidang Perikanan, Kedudukan,

Tugas dan Kewajibannya. Aparat penegak hukum di bidang

perikanan adalah Pengawas Perikanan, Perwira TNI-AL dan Pejabat

Polisi Negara RI, yang mempunyai tugas dan kewajiban melakukan

10 Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm. 75.

72

Page 83: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

pengawasan terhadap tertib pelaksanaan pengelolaan sumber daya

ikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang

perikanan.

Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan disebutkan bahwa Pengawas Perikanan

melakukan pengawasan penangkapan, perbenihan, budidaya, hama

dan penyakit ikan serta mutu. Pengawasan perikanan tersebut

dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan

(PPNS Perikanan) dan Non Pejabat Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (Non PPNS Perikanan). PPNS Perikanan terdiri dari Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus

oleh Undang-undang pada Departemen Kelautan dan Perikanan,

Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab

di bidang perikanan.

Non PPNS Perikanan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil lainnya

yang bukan penyidik dan diberi wewenang untuk membantu

melakukan pengawasan di bidang perikanan pada Departemen

Kelautan dan Perikanan, Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/

Kota yang bertanggung jawab di bidang perikanan.

Menurut Pasal 67 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan masyarakat dapat diikut sertakan dalam membantu

pengawasan perikanan, misalnya dengan melaporkan kepada aparat

penegak hukum di bidang perikanan apabila ada dugaan telah

terjadi tindak pidana di bidang perikanan.

Sedangkan aparat penegak hukum di bidang perikanan dari

Perwira TNI-AL sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

(ZEEI) disebutkan bahwa aparat penegak hukum di bidang

penyidikan di ZEEI adalah Perwira TNI-AL yang ditunjuk oleh

Panglima ABRI, misalnya Komandan Kapal, Panglima Daerah

Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun

Angkatan Laut.

Penegakan hukum di bidang perikanan oleh Perwira TNI-AL

ini adalah dalam rangka melaksanakan hak berdaulat untuk

73

Page 84: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

melakukan eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi

sumber daya alam dari dasar laut dan tanah diatasnya. Di samping

itu juga dalam rangka yurisdiksi yang berhubungan dengan

penggunaan pulau-pulau, instalasi dan bangunan laut, penelitian

ilmiah, perlindungan pelestarian lingkungan laut serta hak dan

kewajiban lain berdasarkan konvensi hukum laut yang berlaku.

Penegakan hukum di bidang perikanan oleh Pejabat Polisi

Negara RI sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

bahwa penegakan hukum oleh anggota Kepolisian Negara RI

memiliki wewenang umum kepolisian dalam pemelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Sesuai dengan peranan negara RI sebagai alat negara dalam

memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan

hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat tersebut, maka terhadap tindak pidana di bidang

perikanan secara otomatis berwenang mengabil tindakan hukum

perikanan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Aparat

penegak hukum di bidang perikanan tersebut dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya dapat melakukan koordinasi di dalam suatu

forum koordinasi yang dibentuk oleh Menteri Kelautan dan

Perikanan.

2. Tugas Aparat Penyidik di Bidang Perikanan

Sebagai upaya penerapan atau penegakan Undang-Undang

Perikanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, aparat penegak

hukum perikanan mempunyai tugas umum selain tugas yang telah

ditentukan secara khusus oleh instansi masing-masing. Adapun

tugas-tugas umum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

di bidang perikanan baik dari PPNS Perikanan, Perwira TNI-AL

dan Pejabat Polisi Negara RI adalah melakukan pengawasan dan

pengendalian sumber daya ikan yaitu dengan:

74

Page 85: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

1) Monitoring yaitu kegiatan untuk mengetahui tingkat potensisumber daya ikan, sehingga diperoleh data yang dapat dijadikanacuan dalam menyusun peraturan pemanfaatan sumber dayaikan. Dalam pelaksanaannya dapat dilaporkan fluktuasi vol-

ume penangkapan yang memuat produksi, pergeseran spesies,musim dan lain-lain, yang kemudian setelah menjadi datadiolah sebagai bahan untuk menentukan potensi yang tersedia.Dengan diketahuinya potensi sumber daya ikan yang tersedia,maka dapat ditetapkan alokasi sumber daya ikan yang dapatditangkap. Data-data tersebut diharapkan dapat dikumpulkan

secara berkelanjutan dengan tertib melalui mekanisme kerjayang jelas.

2) Kontrol yaitu kegiatan pengendalian usaha pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan dengan mengamati telah sesuai atautidaknya kegiatan usaha penangkapan ikan oleh nelayan denganperaturan perizinan yang dimilikinya. Misalnya denganmemeriksa syarat-syarat yang tercantum dalam izin usaha

perikanan, jenis alat tangkap, ukuran mata jaring, jalur/daerahpenangkapan dan lain-lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukanpada saat nelayan akan berangkat maupun pada saatmendaratkan hasil tangkapannya.

3) Surveillance yaitu kegiatan pengawasan terhadap ketentuanperaturan pengelolaan sumber daya ikan, yang diikuti denganpemberian sanksi dan enforcement. Tindakan surveillance

merupakan tindak lanjut dari monitoring dan kontrol, yangsasarannya adalah pengamatan penangkapan ikan di lapangandan dilakuan oleh seseorang yang ditunjuk sebagai fisheriesobserver atau memanfaatkan tenaga PPNS Perikanan dibantudengan aparat keamanan, sehingga apabila terjadi pelanggarandapat dilakukan penyidikan secara langsung.

3. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Perikanan

Dari berbagai tugas yang dilaksanakan oleh aparat penegakhukum di bidang perikanan maka perlunya diuraikan beberapakewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

di bidang perikanan antara lain:

75

Page 86: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

1) Penangkapan terhadap kapal dan atau orang-orang yang diduga

melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indone-

sia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan

diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan

di mana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut.

2) Penyerahan kapal dan atau orang-orang tersebut harus dilakukan

secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7

(tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure.

3) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya pelanggaran ketentuan undang-undang.

4) Melakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka

pelaku pelanggar ketentuan undang-undang.

5) Melakukan penyitaan ikan hasil tangkapan, alat-alat atau surat-

surat yang digunakan dalam melakukan perbuatan melanggar

ketentuan undang-undang.

4. Permasalahan Peraturan Perikanan

Dalam proses penegakan hukum bidang perikanan, pembahasan

awal diarahkan kepada faktor substansi yaitu peraturan-peraturan

atau undang-undangnya. Karena fungsi hukum dalam pergaulan

masyarakat adalah melancarkan proses integrasi,11 maka dari fungsi

hukum tersebut diharapkan usaha penangkapan atau pencarian

ikan di laut dapat terlaksana dengan tertib dan damai.

Peraturan hukum adalah perangkat-perangkat tertulis yang

dibuat oleh pemerintah melalui badan yang berwenang membentuk

peraturan-peraturan tertulis, seperti berturut-turut undang-undang

dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, Peraturan Presiden,

Keputusan Menteri dan peraturan daerah.12 Selama ini ada keraguan

atas proses penegakan hukum khususnya peraturan hukum di bidang

perikanan yang dinilai kurang mengandung sanksi yang jelas dan

tegas.

11 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 85.12 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

76

Page 87: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Dari keraguan tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa

peraturan di bidang perikanan yang ada selama ini sebagian besar

masih merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Demikian

juga halnya dengan peraturan perikanan yang dibentuk setelah

Indonesia merdeka, masih berpedoman kepada peraturan yang

dibentuk pada masa pemerintah kolonial Belanda terutama undang-

undang perikanan Stb. 1927 Nomor 144, yang tidak sepenuhnya

berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia. Peraturan tersebut

di atas diberlakukan atas dasar Pasal II aturan peralihan Undang-

Undang Dasar 1945, di mana hal tersebut merupakan suatu upaya

untuk menghindari kekosongan (state of vacum). Meskipun undang-

undang tersebut diakui dan diterima secara sosiologis dan yuridis

formal, namun dirasakan belum sesuai dengan cita-cita hukum

bangsa Indonesia. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan TAP

MPR Nomor IV/MPR/1978 antara lain menyatakan bahwa:

1. Pembangunan bidang hukum dalam negara hukum ia

didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti

terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar

hukum memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan

pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan

ketertiban dan kepastian hukum serta memperlancar

pelaksanaan pembangunan.

Demikianlah cita-cita hukum yang dikehendaki oleh bangsa

Indonesia pada saat ini, yaitu menghendaki agar hukum mampu

menciptakan ketertiban dan kelancaran pembangunan di segala

bidang termasuk bidang perikanan. Oleh karena itu perlu diwujudkan

usaha-usaha untuk meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan

hukum nasional yang antara lain dengan melakukan pembaharuan

hukum di bidang perikanan serta upaya penertiban aparat penegak

hukum sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Pelaksanaan undang-undang perikanan Stb. 1927 Nomor 144,

berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1 Territoriale Zee on

Maritieme Kringen Ordonantie Stb. 1939 Nomor 442, yang

77

Page 88: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

menetapkan luas wilayah laut seluas 3 mil, yang kemudian diubah

menjadi 12 mil atas dasar Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun

1960 tentang Perairan Indonesia. Perubahan ini merupakan salah

satu bukti bahwa isi dan jiwa Undang-Undang Perikanan Stb

1927 Nomor 144 tidak lagi sesuai dengan isi dan jiwa Undang-

undang Nomor 4 Prp Tahun 1960, yang juga berarti tidak sesuai

dengan jiwa bangsa Indonesia.

Menyadari kondisi peraturan hukum perikanan seperti di atas,

dan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, khususnya

pembangunan di bidang perikanan yang berasaskan Wawasan

Nusantara, maka dibentuk undang-undang perikanan yang baru

yaitu UU No. 9 Tahun 1985. Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor

46 tentang perikanan dan diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985,

yang selanjutnya dalam tesis ini disebut sebagai Undang-Undang

Perikanan Nomor 9 Tahun 1985.

Kemudian sebagaimana ketentuan yang tercantum pada

Pasal 33 UU No. 9 Tahun 1985, maka peraturan-peraturan yang

dibentuk pada zaman pemerintah kolonial Belanda, sepanjang

menyangkut masalah perikanan dinyatakan tidak berlaku. Dengan

berlakunya undang-undang perikanan Nomor 9 Tahun 1985, untuk

sementara dapat disimpulkan bahwa secara yuridis formal dapat

memenuhi cita-cita hukum bangsa Indonesia dan mengisi keko-

songan hukum bidang perikanan. Apabila dilihat dari berat dan

ringannya sanksi yang dicantumkan dalam UU No. 9 Tahun 1985,

telah cukup memadai, jika dibandingkan dengan undang-undang

perikanan Stb. 1927 Nomor 144. Dapat kita lihat contoh dalam

masalah perizinan bagi usaha perikanan, jika terjadi pelanggaran

peraturan yang kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran

30 GT atau lebih dalam UU No. 9 Tahun 1985 dikenakan sanksi

pidana penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sementara

jika kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran kurang

dari 30 GT, pidana penjara selama-lamanya 2 tahun 6 bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta

rupiah). Lain halnya dengan Undang-Undang Perikanan Stb. 1927

78

Page 89: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Nomor 144, apabila melakukan tindakan pelanggaran peraturan

perikanan dengan tidak menggunakan izin, dikenakan hukuman

kurungan setinggi-tingginya 3 bulan atau denda sebanyak-

banyaknya lima ratus rupiah (=golden). Dan apabila izin itu tidak

sesuai dengan kendaraan air yang digunakan, atau jika suatu

kendaraan air sudah tidak dapat dipergunakan lagi kemudian tidak

melapor kepada yang menertibkan izin, maka dikenakan hukuman

denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah (=golden). Kondisi sanksi

yang demikian itu sudah tidak memadai untuk kepentingan

pembangunan bangsa Indonesia.

Mengenai aparatur penegak hukum telah diatur dalam Pasal

31 UU No. 9 Tahun 1985, dinyatakan bahwa yang berwenang

melakukan penyidikan adalah pejabat penyidik yang ditetapkan

dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983

tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yaitu perwira Tentara

Nasional Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima ABRI.

Demikian pula tentang proses penyelenggaraan penegakan

hukumnya, telah diatur dalam Pasal 31, ayat (4) UU No. 9 Tahun

1985 yang secara tegas menyebutkan bahwa penyidikan dan

kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ini dilaksanakan

dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan ketentuan

hukum acara pidana lainnya.

Kemudian seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan

kebutuhan akan adanya perlindungan hukum terhadap laut dan

potensi sumber daya ikan yang ada di dalamnya, serta semakin

maraknya tindak pidana pencurian ikan dan pelanggaran-

pelanggaran lainnya di bidang kelautan dan perikanan, sehingga

perlu adanya pembaharuan dari segi peraturan perundang-undangan

yang terkait.

Kebutuhan tersebut kemudian segera ditanggapi serius oleh

pemerintah dengan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan. Walaupun rentang waktu dikeluarkannya Undang-

Undang Perikanan yang baru tersebut selama 19 tahun, namun

79

Page 90: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

usaha dan keinginan baik pemerintah patut kita dihargai, karena

dalam Undang-undang Perikanan yang baru ini memuat bentuk

perlindungan yang lebih luas dalam pelaksanaannya dibandingkan

dengan Undang-undang Perikanan sebelumnya.

Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan

sebagai isu utama dalam penerbitan UU No. 31 Tahun 2004.

Berbeda dengan UU No. 9 Tahun 1985, dalam UU No. 31 Tahun

2004 lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap

penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang

mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan. Dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai

kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani

tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, harus mengikuti

hukum acara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam UU No. 31

Tahun 2004 juga dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan

khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana

di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami

berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum

yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum

formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat

penyidikan, penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan di sidang

pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas yang bersifat

lebih cepat prosesnya.13

Menurut pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 mengenai penyidikan

di bidang tindak pidana perikanan adalah sebagai berikut:

(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL,

dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

13 Menteri Kelautan dan Perikanan Targetkan Tekan Praktik Pencurian Ikan 20 Persen Koran Tempo,

Rabu, 25 Mei 2005.

80

Page 91: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan

koordinasi.

(3) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana

di bidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum

koordinasi.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana di bidang perikanan;

b. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;

c. Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka

dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;

d. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga

dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak

pidana di bidang perikanan;

e. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/

atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka

melakukan tindak pidana di bidang perikanan;

f. Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha

perikanan;

g. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana

di bidang perikanan;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikananan;

i. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

j. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang

digunakan dan/atau hasil tindak pidana;

k. Melakukan penghentian penyidikan; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertang-

gung jawab.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka kita dapat melihat

bahwa koordinasi penyidikan tindak pidana di bidang perikanan

dilakukan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, POLRI

81

Page 92: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dan TNI-AL. Namun dalam praktiknya, kewenangan setara yang

diberikan kepada tiga Instansi/institusi tersebut sebagai penyidik

dapat menimbulkan konflik yang sedikit banyak akan mengganggu

kelancaran penegakan hukum di bidang perikanan. Konflik yang

terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain perbedaan

kepentingan, kurangnya koordinasi di lapangan dan lemahnya

pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang

perikanan.

Dalam hal melakukan koordinasi kedudukan antar ketiga

lembaga tersebut adalah setara, karena masing-masing lembaga

tersebut memiliki kewenangan yang didasarkan pada kemampuan

pengawasan dan tindakan yang dimiliki ketiga lembaga tersebut.

Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan wilayah

pengelolaan perikanan adalah sebagai berikut:

Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:

o Perairan Indonesia;

o ZEEI; dan

o Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang

dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang

potensial di wilayah Republik Indonesia.

Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan,

persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara

umum.

Sebagai contoh kita dapat melihat bahwa untuk wilayah

pengelolaan perikanan perairan Indonesia dapat dilakukan koordinasi

antara POLRI dan PPNS Perikanan karena di wilayah tersebut

memerlukan sumber daya manusia dan peralatan yang cukup

lengkap. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki perairan

yang sangat luas, termasuk di antaranya perairan-perairan

82

Page 93: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

tersembunyi baik di dalam maupun di luar daratan/pulau. Untuk

hal ini POLRI memiliki keunggulan dalam jumlah personel yang

jauh lebih memadai dibandingkan jumlah personel PPNS Perikanan,

sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila pengawasan terhadap

tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan di wilayah pengelolaan

perikanan tersebut dilakukan dengan berkoordinasi antara dua

lembaga tersebut.

Sementara itu untuk wilayah pengelolaan perikanan ZEEI

(Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) akan lebih baik bila ada

koordinasi antara PPNS Departemen Kelautan dan Perikanan dengan

Perwira TNI-AL, karena dilihat dari segi kemampuan dan keleng-

kapan peralatan pengawasan di wilayah ZEEI yang merupakan

perairan lintas damai laut lepas, maka TNI-AL dalam melaksanakan

peranannya sebagai penegak kedaulatan baik negara maupun hukum

negara di laut memiliki peralatan yang cukup lengkap seperti alat

penginderaan jauh, sistem sonar, kapal perang dan berbagai macam

alat lainnya. Sehingga akan lebih efektif apabila pengawasan di

wilayah pengelolaan perikanan di ZEEI dan laut lepas dilakukan

oleh Perwira TNI-AL dan PPNS Perikanan.

Sedangkan untuk wilayah pengelolaan perikanan di sungai,

danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang diusahakan

sebagai lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah

Republik Indonesia, maka yang paling tepat dalam melakukannya

adalah PPNS Perikanan, karena lembaga tersebut memiliki keahlian,

data dan informasi yang lebih lengkap mengenai seluk beluk

perairan di dalam pulau atau daratan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery mengatakan,

pihaknya bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut dan menargetkan

dapat menekan praktik pencurian ikan (illegal fishing) sebesar 20

persen hingga akhir tahun ini. Data TNI Angkatan Laut, pada

2005 telah tertangkap 111 kapal ikan yang melakukan penangkapan

ikan ilegal di Laut Arafura, Kepulauan Aru dan Maluku. Dari

seluruh hasil tangkapan, 74 kapal di antaranya telah diproses

hukum dan sisanya dibebaskan karena tidak cukup bukti. Tahun

83

Page 94: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

2004 telah ditangkap 287 kapal ikan ilegal dan 120 di antaranya

telah diproses hukum sedangkan sisanya dibebaskan dengan alasan

tidak cukup bukti.

Untuk meminimalisir penangkapan ikan ilegal, Departemen

Kelautan dan Perikanan tidak akan memperpanjang izin penang-

kapan ikan bagi kapal asing. Pada Desember 2005 izin penangkapan

ikan untuk kapal asal Philippina akan berakhir. Demikian juga

dengan Cina dan Thailand yang akan berakhir pada 2007.14 Hal

ini menunjukkan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya

untuk menekan dan meminimalisir tingkat pencurian ikan di wilayah

perairan Indoensia. Upaya tersebut dilakukan dengan menjalin

kerja sama yang sinergis dan terkoordinasi dengan POLRI dan

TNI-AL sebagaimana di amanatkan oleh Undang-undang Nomor

31 Tahun 2004.

Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum

di bidang perikanan, diperlukan koordinasi dengan kedudukan

yang setara antara ketiga lembaga yang terkait yaitu Departemen

Kelautan dan Perikanan, POLRI dan TNI-AL. Hal ini dimaksudkan

agar dapat menghilangkan beberapa kendala seperti birokrasi sistem

perizinan yang terlalu panjang dan sulit, pelanggaran dikalangan

pengusaha, belum adanya kesamaan visi dan misi dalam proses

penegakan hukum di laut antara aparat yang berwenang,

keterbatasan sarana dan prasarana aparat penegak hukum di laut,

serta pengetahuan dan Kemampuan SDM perikanan yang masih

perlu ditingkatkan. Dengan adanya koordinasi dan kerja sama

antara ketiga lembaga tersebut, diharapkan akan dapat saling mengisi

kekurangan, keterbatasan dan kendala-kendala di atas, sehingga

penegakan hukum di bidang perikanan di Indonesia dapat ditekan

sampai batas yang paling rendah.

Forum koordinasi sangat diperlukan sebagai upaya untuk

menanggulangi tindak pidana pencurian ikan di perairan Indone-

14 Soerjono Soekanto, Penegak Hukum Faktor Sentral dalam Penegakan Hukum, Kompas, 15 Desember

1983, hlm. 1.

84

Page 95: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

sia, sejalan dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, forum

ini dapat dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Diharapkan

dengan adanya kerja sama antara Departemen Kelautan dan

Perikanan, TNI-AL dan POLRI terutama dalam proses pengawasan

dan penyidikan, tingkat pencurian ikan di wilayah perairan Indo-

nesia akan dapat menurun secara cepat.

5. Permasalahan Pada Sikap Aparat Penegak Hukum dan Fasilitas

Dalam proses penegakan hukum, fungsi aparat penegak hukum

sangat berperan di samping faktor lain seperti peraturan perundang-

undangan, fasilitas atau sarana, dan warga masyarakat setempat.

Pengertian aparat penegak hukum dalam hal ini adalah terbatas

kepada mereka-mereka yang berkecimpung langsung dalam law

enforcement dan peace maintenance, yaitu mereka-mereka yang

bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan

dan pemasyarakatan.15

Aparat penegak hukum pada saat ini dituntut untuk bisa

menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan peka terhadap

aspirasi masyarakat. Untuk itu, aparat penegak hukum harus

mempunyai kemampuan tertentu seperti kemampuan berkomunikasi,

keleluasaan bertindak terhadap kasus/masalah tertentu sehingga

mampu menjalankan perannya di tengah masyarakat.

Kondisi yang kurang menguntungkan terhadap keberhasilan

aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya masih dirasakan

pada saat ini. Situasi yang dimaksud di antaranya adalah kurangnya

dukungan fasilitas atau sarana yang dimiliki oleh aparat penegak

hukum itu sendiri, misalnya kapal yang akan digunakan untuk

mengejar para pelaku tindak pidana di bidang perikanan dan sarana

sebagai tempat menyimpan barang bukti.

Kondisi demikian jika dihubungkan dengan konsepsinya Robert

B. Seidman dalam bukunya Law and Development, A General

15 Robert B. Seidman, Law and Development A General Model, diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo

dalam Hukum dan Pembangunan, Suatu Model Umum, Surabaya, PSHP, Unair, 1976, lihat pula Robert B.

Seidman op.cit. hlm. 69-78.

85

Page 96: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Model, yang diringkaskan ke dalam bahasa Indonesia oleh Satjipto

Rahardjo, sebagai Hukum dan Pembangunan Suatu Model Umum,

maka tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat diikuti

pernyataan berikut:16

• Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang

bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan bertindak;

• Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang

peran (sebagai respon terhadap peraturan-peraturan yang

berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga-lembaga

pelaksananya, serta dari keseluruhan kompleks kekuatan-

kekuatan sosial, politik, dan lainnya lagi yang bekerja atas

dirinya).

• Tindakan-tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga-

lembaga pelaksana (sebagai respon terhadap peraturan-peraturan

hukum) adalah suatu fungsi dari peraturan-peraturan yang

berlaku dari sanksi-sanksinya, dari keseluruhan kompleks

kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya lagi yang bekerja

atas dirinya.

• Tindakan-tindakan apa yang akan diambil oleh pembuat

undang-undang adalah suatu fungsi dari peraturan-peraturan

yang berlaku bagi tingkah laku mereka, dari sanksi-sanksinya,

dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, ideologi dan

lainnya yang bekerja atas dirinya serta dari umpan balik yang

datang dari para pemegang peran dan birokrasi.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aparat

penegak hukum sebagai bagian birokrasi dalam melaksanakan

tugasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari diri mereka

sendiri maupun kekuatan sosial, politik dan lainnya.

16 Robert B. Seidman, Law and Development A General Model, diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo

dalam Hukum dan Pembangunan, Suatu Model Umum, Surabaya, PSHP, Unair, 1976, lihat pula Robert B.

Seidman op.cit. hlm. 69-78.

86

Page 97: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

BAB IV

ANALISIS

A. ANALISIS YURIDIS

Sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, analisis akan difokuskan

pada aspek hukum materil yang terkait dengan pengadilan perikanan.

Aspek-aspek tersebut mencakup antara lain kompetensi pengadilan

perikanan, subjek hukum tindak pidana perikanan, aparat penegak

hukum, alat bukti.

1. Dasar hukum pembentukan pengadilan perikanan

Pembentukan pengadilan perikanan sebagaimana diamanatkan

dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, landasan

hukumnya terdapat dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 10 UU No. 14 Tahun

1970, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh empat

badan peradilan, yaitu: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama,

(c) Peradilan Militer, dan (d) Peradilan Tata Usaha Negara.

Selanjutnya pada bagian Penjelasan Pasal tersebut disebutkan

bahwa: “… dalam keempat lingkungan peradilan ini, tidak menutup

kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi)

dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum

dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas,

Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya

dengan undang-undang”.

Selanjutnya dalam Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 di sebutkan

bahwa: “Badan-Badan Peradilan Khusus di samping badan-badan

peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan undang-

undang”. Bahwa yang dimaksud Badan Peradilan Khusus dalam

Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 adalah badan peradilan yang

kedudukannya sejajar dengan keempat badan peradilan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970. Badan Peradilan

87

Page 98: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Khusus yang dimaksud Pasal 13 berbeda dengan badan peradilan

khusus seperti Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan

Koneksitas, sebagiamana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10

UU No. 14 Tahun 1970, yang kedudukannya berada di dalam

lingkungan peradilan umum.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut, maka terdapat

dua alternatif bentuk peradilan yang dimungkinkan oleh UU No.

14 Tahun 1970, yaitu: (1) Peradilan Khusus yang berada dalam

salah satu dari empat badan peradilan sebagaimana diatur dalam

Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970, dan (2) Peradilan Khusus yang

berada di samping dan sejajar dengan keempat badan peradilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970.

Bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan Peradilan Khusus

Perikanan, maka Peradilan Perikanan dibentuk dalam lingkungan

Peradilan Umum, dengan pertimbangan pembentukan badan

peradilan khusus yang berada di bawah Peradilan Umum diharapkan

akan lebih memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat

dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (2)

UU No. 14 Tahun 1970.

Dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pembentukan

pengadilan perikanan dimuat dalam Pasal 71 (1) yang berbunyi:

“Dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di

bidang perikanan.”

2. Daerah Hukum Pengadilan Perikanan

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2) s.d. ayat (6) UU

No. 31 Th 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa pengadilan

perikanan berada di lingkungan peradilan umum. Daerah hukum

pengadilan perikanan sesuai dengan daerah hukum pengadilan

negeri yang bersangkutan. Kemudian diamanatkan bahwa paling

lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya UU Perikanan harus

sudah terbentuk pengadilan perikanan di 5 (lima) daerah (Jakarta

Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual).

88

Page 99: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Kemudian diatur pula bahwa pembentukan pengadilan

perikanan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan

yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Berkenaan dengan

ketentuan yang terakhir ini, dapat ditafsirkan bahwa para pembentuk

undang-undang ini sebenarnya menghendaki agar dapat dibentuk

di setiap pengadilan negeri di seluruh Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 106 Undang-Undang Perikanan

dinyatakan bahwa selama belum dibentuk pengadilan perikanan,

perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar

daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan

negeri yang berwenang.

Dalam kaitannya dengan kompetensi pengadilan ini, menjadi

persoalan ketika dalam Pasal 71 ayat (4) disebutkan bahwa “daerah

hukum pengadilan perikanan sesuai dengan daerah hukum

pengadilan negeri yang bersangkutan”, pada saat pengadilan

perikanan ini masih terbatas di lima daerah (Jakarta Utara, Medan,

Pontianak, Bitung dan Tual), maka akan ada dualisme dan

ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana perikanan.

Dalam hal ini sudah pasti terdapat perbedaan antara penanganan

perkara tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh Pengadilan

Perikanan, yang aparat, sistem, dan proses penanganannya berbeda

dengan yang dilaksanakan melalui peradilan umum.

3. Tindak Pidana Perikanan

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 204 tentang

Perikanan, terdapat beberapa perkembangan baru berkenaan dengan

aspek hukum materil tindak pidana di bidang perikanan, seperti

perluasan pengertian ikan, subjek hukum, dan alat bukti.

a. Perluasan pengertian ikan

Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang

Perikanan, sumber daya ikan didefinisikan sebagai semua

jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Sedangkan

pengertian ikan itu sendiri tidak dirumuskan. Hal tersebut

89

Page 100: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Wewenang, Kedudukan, Wilayah Hukum,

dan Pembentukan Pengadilan Perikanan

pada akhirnya menimbulkan kesulitan tersendiri dalam

penyusunan dakwaan maupun pembuktian di pengadilan. Oleh

karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

kemudian dibuatlah rumusan mengenai ikan.

Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa ikan adalah:

“segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus

hidupnya berada di dalam lingkungan perairan”.

Apabila kita perhatikan definisi di atas, jelas bahwa

pengertian ikan tersebut sangat luas cakupannya, karena itu

tidak heran apabila kemudian timbul perdebatan, khususnya

dari kalangan keilmuan yang menurut mereka pengertian

tersebut kurang sahih secara ilmiah. Namun demikian, terlepas

WEWENANG

KEDUDUKAN

PEMBENTUKAN

PERTAMA KALI

PEMBENTUKAN

BERIKUTNYA

WILAYAH HUKUM

Memeriksa, Mengadili, dan

Memutus Tindak pidana di

Bidang Perikanan

Berada di Lingkungan Peradilan

Umum

Pengadilan Negeri Jakarta Utara,

Pengadilan Negeri Medan,

Pengadilan Negeri Pontianak,

Pengadilan Negeri Bitung, dan

Pengadilan Negeri Tual.

Secara bertahap sesuai dengan

kebutuhan yang ditetapkan

dengan Keputusan Presiden

Sesuai dengan daerah hukum

pengadilan negeri yang

bersangkutan.

Selama belum

dibentuk pengadilan

perikanan selain

pengadilan perikanan,

perkara tindak pidana

di bidang perikanan

yang terjadi di luar

daerah hukum

pengadilan perikanan

tetap diperiksa, diadili,

dan diputus oleh

pengadilan negeri yang

berwenang.

90

Page 101: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dari luasnya cakupan definisi tersebut, dengan adanya definisi

ikan ini secara hukum sangat penting, khususnya dalam

memberikan adanya suatu kepastian hukum. Apabila ada

perusakan terumbu karang, penangkapan penyu hijau,

penangkapan ikan paus (mamalia laut), pengrusakan padang

lamun atau hutan bakau, kita sudah tidak dibingungkan lagi

apakah ini termasuk tindak pidana perikanan atau bukan.

b. Subjek hukum tindak pidana perikanan

Perumusan subjek hukum tindak pidana perikanan juga

telah mengalami perubahan dari yang semula dalam Undang-

Undang No. 9 tahun 1985 dalam perumusan tindak pidananya

hanya dirumuskan dengan “barang siapa melakukan ........”,

dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 setiap subjek

hukum diurai satu persatu seperti nakhoda, ahli penangkapan,

anak buah kapal, pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan

perikanan, dll.

Penyempurnaan terhadap perumusan subjek hukum dalam

tindak pidana perikanan ini sangat penting, mengingat selama

ini dalam tindak pidana perikanan jeratan hukum hanya bisa

diterapkan pada mereka yang menjadi pelaku lapangan,

sedangkan pemilik perusahaan perikanan sulit sekali untuk

dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.

c. Pertanggungjawaban korporasi

Penyempurnaan terhadap subjek hukum tindak pidana

perikanan juga tidak terlepas dari keinginan pembentuk undang-

undang agar pihak perusahaan (korporasi) dapat pula

dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.

Dalam literatur hukum pidana, penerapan prinsip pertang-

gungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembangan

yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan

korporasi itu sendiri. Pada awalnya, korporasi belum diakui

sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggung-

jawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus

91

Page 102: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

korporasi. Namun dalam perkembangannya, korporasi mulai

diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab

atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya,

seperti halnya dianut dalam UU No. 12/Drt/1952 tentang

Senjata Api. Dalam perkembangan terakhir, selain sebagai

pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya

atas suatu tindak pidana.

Di bidang perikanan, prinsip pertanggungjawaban

korporasi tidak begitu populer dalam penanganan kasus-kasus

tindak pidana perikanan. Meski Undang-undang No.9/1985

tentang Perikanan mengakui adanya “Badan Hukum” (di

samping orang perorangan) sebagai subjek hukum dalam tindak

pidana perikanan, namun UU tersebut tidak mengatur lebih

lanjut kapan suatu badan hukum dikatakan melakukan tindak

pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindak pidana tersebut. Akibatnya penanganan kasus-kasus

tindak pidana perikanan sulit “dituntaskan”, khususnya yang

melibatkan pihak korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang

diseret ke pengadilan hanya pelaku di lapangan seperti nakhoda

kapal, kepala kamar mesin (KKM), dan anak buah kapal

(ABK), sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka

(korporasi) nyaris tidak pernah tersentuh.

Titik terang dari persoalan tersebut sebenarnya mulai

tampak, ketika diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi

dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan, di mana yang

dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja

mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi

juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka.

Sayangnya rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi

dalam UU tersebut justru mengalami kemunduran.

Dalam Pasal 101 UU No. 31/2004 disebutkan bahwa:

“dalam hal tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi,

tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap

pengurusnya, dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari

92

Page 103: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

pidana yang dijatuhkan”. Dengan rumusan demikian, meskipun

korporasi diakui sebagai pelaku suatu tindak pidana, akan

tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana. Pengaturan demikian akan

menimbulkan banyak kelemahan.

Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu di mana keuntungan

yang diperoleh perusahaan sedemikian besar dan/atau kerugian

yang ditanggung masyarakat sedemikian besar, maka pengenaan

pidana penjara/denda “hanya” kepada pihak pengurus korporasi

akan menjadi tidak sebanding. Di samping itu, pengenaan

pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan

jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan

serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi

juga tidak sedikit yang berlindung di balik korporasi-korporasi

boneka (dummy company) yang sengaja mereka bangun untuk

melindungi korporasi induknya.

Lantas bagaimana prospek penerapan prinsip pertanggung-

jawaban korporasi ini ke depan, khususnya dalam penanganan

tindak pidana perikanan? Tampaknya masih cukup banyak

tantangan yang akan dihadapi. Kelemahan-kelemahan hukum

seperti diuraikan di atas, harus diimbangi dengan upaya

peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum

yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif

untuk melakukan terobosan-terobosan hukum, sehingga

persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi batu sandungan

di lapangan. Demikian pula mentalitas dan keberanian para

penegak hukum akan memegang peran penting, khususnya

ketika mereka tidak lagi hanya akan dihadapan dengan pelaku

tindak pidana kelas “teri” (pelaku lapangan), tetapi juga dengan

pelaku tindak pidana kelas “kakap” yang nota bene memiliki

kapasitas – baik duit maupun pengaruh – yang jauh lebih

besar.

93

Page 104: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004

tentang Perikanan

PELAKU

Setiap orang

Nakhoda atau PemimpinKapal, Ahli Penangkap-

an Ikan, dan Anak BuahKapal Perikanan

Pemilik Kapal, PemilikPerusahaan, Penanggung

Jawab Perusahaan, dan/atau Operator Kapal

PerikananPemilik Perusahaan,

Kuasa Pemilik Perusa-haan, dan/atau Penang-

gung Jawab PerusahaanPembudidayaan Ikan

Setiap orang

Setiap orang

Setiap orang

Setiap orang

Setiap orang

JENIS PELANGGARAN

penangkapan ikan dan/atau pembu-didayaan ikan yang dapat mem-

bahayakan kelestarian sumber daya ikandan lingkungannya

penangkapan ikan yang dapat mem-bahayakan kelestarian sumber daya ikan

dan lingkungannya

penangkapan ikan yang dapatmembahayakan kelestarian sumber daya

ikan dan lingkungannya

pembudidayaan ikan yang dapat

membahayakan kelestarian sumber dayaikan dan lingkungannya

memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan

ikan dan/atau alat bantu penangkapanikan yang berada di kapal penangkap

ikan yang tidak sesuaiperbuatan yang mengakibatkan pence-

maran dan/atau kerusakan sumber dayaikan dan/atau lingkungannya

membudidayakan ikan yang dapatmembahayakan sumber daya ikan dan/

atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia

membudidayakan ikan hasil rekayasagenetika yang dapat membahayakan

sumber daya ikan dan/atau lingkungansumber daya ikan dan/atau kesehatan

manusiamenggunakan obat-obatan dalam pem-

budidayaan ikan yang dapat membaha-yakan sumber daya ikan dan/atau

lingkungan sumber daya ikan dan/ataukesehatan manusia

PENJARA

6 tahun

10 tahun

10 tahun

10 tahun

5 tahun

10 tahun

6 tahun

6 tahun

6 tahun

DENDA

1,2 M

1,2 M

2 M

2 M

2 M

2 M

1,5 M

1,5 M

1,5 M

94

Page 105: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

4. Aparat Penegak Hukum

Dalam sistem pengadilan perikanan yang tertuang pada UU

No. 31 Tahun 2004, penyidikan tindak pidana di bidang perikanan

dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Perwira

TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73

ayat 1). Dengan demikian, ada tiga institusi negara yang berwenang

dalam melakukan penyidikan di bidang perikanan.

Meski kata koordinasi susah diterapkan, UU No. 31 Tahun

2004 mengamanatkan bahwa penyidik dapat melakukan koordinasi

(Pasal 73 ayat 2), yaitu melalui suatu forum koordinasi (Pasal 73

ayat 3)17.

a. Tugas penyidik

Sebagai upaya penerapan atau penegakan Undang-Undang

Perikanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, aparat

penyidik di bidang perikanan mempunyai tugas umum selain

tugas yang telah ditentukan secara khusus oleh instansi masing-

masing. Adapun tugas-tugas umum yang dilaksanakan oleh

penyidik di bidang perikanan baik dari PPNS Perikanan,

Perwira TNI-AL dan Pejabat Polisi Negara RI adalah

melakukan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan

yaitu dengan:

a) Monitoring yaitu kegiatan untuk mengetahui tingkat

potensi sumber daya ikan, sehingga diperoleh data yang

dapat dijadikan acuan dalam menyusun peraturan

pemanfaatan sumber daya ikan. Dalam pelaksanaannya

dapat dilaporkan fluktuasi volume penangkapan yang

memuat produksi, pergeseran spesies, musim dan lain-

lain, yang kemudian setelah menjadi data diolah sebagai

bahan untuk menentukan potensi yang tersedia. Dengan

17 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan saat ini telah dibentuk dengan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 ttg Forum Koordinasi Penanganan

Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dengan tugas utama mengkoordinasikan kegiatan penyidikan tindak

pidana di bidang perikanan.

95

Page 106: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

diketahuinya potensi sumber daya ikan yang tersedia,

maka dapat ditetapkan alokasi sumber daya ikan yang

dapat ditangkap. Data-data tersebut diharapkan dapat

dikumpulkan secara berkelanjutan dengan tertib melalui

mekanisme kerja yang jelas.

b) Kontrol yaitu kegiatan pengendalian usaha pemanfaatan

sumber daya ikan dilakukan dengan mengamati telah

sesuai atau tidaknya kegiatan usaha penangkapan ikan

oleh nelayan dengan peraturan perizinan yang dimilikinya.

Misalnya dengan memeriksa syarat-syarat yang tercantum

dalam izin usaha perikanan, jenis alat tangkap, ukuran

mata jaring, jalur/daerah penangkapan dan lain-lain.

Kegiatan tersebut dapat dilakukan pada saat nelayan akan

berangkat maupun pada saat mendaratkan hasil

tangkapannya.

c) Surveillance yaitu kegiatan pengawasan terhadap ketentuan

peraturan pengelolaan sumber daya ikan, yang diikuti

dengan pemberian sanksi dan enforcement. Tindakan

surveillance merupakan tindak lanjut dari monitoring dan

kontrol, yang sasarannya adalah pengamatan penangkapan

ikan di lapangan dan dilakuan oleh seseorang yang ditunjuk

sebagai fisheries observer atau memanfaatkan tenaga PPNS

Perikanan dibantu dengan aparat keamanan, sehingga

apabila terjadi pelanggaran dapat dilakukan penyidikan

secara langsung.

b. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Perikanan:

Dari berbagai tugas yang dilaksanakan oleh aparat penyidik

di bidang perikanan maka perlunya diuraikan beberapa

kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain :

a) Penangkapan terhadap kapal dan atau orang-orang yang

diduga melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai

dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut

96

Page 107: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

di pelabuhan di mana perkara tersebut dapat diproses

lebih lanjut.

b) Penyerahan kapal dan atau orang-orang tersebut harus

dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi

jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat

keadaan force majeure.

c) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya pelanggaran ketentuan undang-undang.

d) Melakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka

pelaku pelanggar ketentuan undang-undang.

e) Melakukan penyitaan ikan hasil tangkapan, alat-alat atau

surat-surat yang digunakan dalam melakukan perbuatan

melanggar ketentuan undang-undang.

Yang menarik dari pengaturan mengenai kewenangan aparat

penyidik ini adalah munculnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma)

Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan. Perma ini

ditetapkan dalam rangka memberikan persamaan pemahaman dalam

penerapan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya

Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan. Namun demikian, terdapat

hal yang perlu dicermati dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut

terutama Bab III (Penyidikan), khususnya Pasal 4. Dalam Pasal

tersebut disebutkan bahwa penyidikan di ZEE Indonesia dilakukan

oleh TNI AL. Penangkapan terhadap kapal atau orang-orang yang

diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah ZEE dapat

dilakukan oleh PPNS Perikanan atau Pejabat Polisi Negara RI

untuk segera diserahkan kepada Penyidik Perwira TNI-AL untuk

diproses lebih lanjut.

Ketentuan tersebut tentunya tidak sejalan dengan UU No. 31

tahun 2004 yang mengakui adanya tiga institusi penyidik di laut.

Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan menetapkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang

perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Perikanan, Perwira TNI-AL, dan Pejabat Polisi Negara RI yang

97

Page 108: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), yang pada awal mulanya

hanya menempatkan Polisi sebagai penyidik tunggal, lantas

ditambahkan Perwira TNI-AL dalam konteks ZEEI, dan selanjutnya

disempurnakan dengan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor

31 tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 merupakan implementasi dari asas Lex

Specialis Derogat Lexi Generalis dan azas Lex Posteriori Derogat

Lexi Priori.

Kewenangan Penyidik Perikanan di tetapkan dalam Pasal 73

ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

yang antara lain kewenangan untuk menghentikan, memeriksa,

menangkap, membawa dan/atau menahan kapal dan/atau orang

yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan.

Kewenangan Penyidik Perikanan tersebut, merupakan kelengkapan

kewenangan dasar penyidikan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indone-

sia (ZEEI).

Wilayah penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, secara

normatif mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menetapkan bahwa

Wilayah Pengelolaan Perikanan RI meliputi Perairan Indonesia,

ZEEI dan sungai, danau, waduk dan lainnya.

Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun

2007 dikhawatirkan terjadi penafsiran yang tidak sebagaimana

mestinya, mengingat kedudukan dan kewenangan PPNS, Pejabat

Polisi Negara RI dan Perwira TNI-AL dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 berkedudukan dan berwenang sama dan

sederajat dalam melakukan penyidikan termasuk pada wilayah

ZEEI. Apabila dianggap bahwa wilayah kerja penyidikan sangat

98

Page 109: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

luas, yang paling memungkinkan adalah pembagian wilayah kerja

dan bukan pembagian kewenangan sebagaimana dilakukan melalui

Peraturan Mahkamah Agung tersebut.

Peraturan Mahkamah Agung dalam konstruksi perundangan

dan kebiasaan hukum serta praktik pengadilan selama ini,

dimaksudkan untuk memberikan arahan teknis tentang pelaksanaan

suatu ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan proses

teknis persidangan, khususnya apabila undang-undang tersebut

tidak mengatur secara detil dan teknis atas suatu kondisi, tanpa

mengurangi makna muatan materi dalam suatu undang-undang.

Pengaturan dalam Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan atas Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, juga menegaskan bahwa Mahkamah Agung

dapat membuat suatu peraturan perundang-undangan yang diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dan sekaligus didasarkan pada asas bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pengaturan dalam

Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun

2007 perlu dipertanyakan kehadirannya agar dalam praktik

penyelenggaraan penegakan hukum di bidang perikanan, khususnya

dalam praktik peradilan, tidak menimbulkan tafsir baru yang

membingungkan aparat terkait di lapangan.

Pada tahap penuntutan, dalam Pasal 75 disebutkan bahwa

penuntut umum perkara tindak pidana perikanan dilakukan oleh

penutut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat

yang ditunjuk. Penuntut umum dimaksud harus memenuhi

persyaratan:

a. berpengalaman sebagai penuntut umum sekurangnya lima

tahun;

b. telah mengikuti Diklat teknis di bidang perikanan;

99

Page 110: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama

menjalankan tugasnya.

Pelaksanaan persyaratan tersebut di atas paling lambat tiga

tahun sejak diundangkannya UU No. 31 Th 2004 tentang Perikanan.

Selanjutnya dalam Pasal 78 diatur mengenai hakim pengadilan

perikanan. Majelis Hakim terdiri atas 2 (dua) Hakim Ad Hoc dan

1 (satu) Hakim Karier. Hakim karier ditetapkan berdasarkan

Keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan Hakim Ad Hoc

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA.

Sebagai tindak lanjut dari Pasal telah dibentuk PP No. 24 Tahun

2006 tentang Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim

Ad Hoc Pengadilan Perikanan.

Adapun mekanisme penentuan Hakim Ad Hoc tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Seleksi calon hakim ad hoc dilakukan oleh MA dari lingkungan

perikanan, perguruan tinggi, dan mereka yang mempunyai

keahlian di bidang hukum perikanan;

b. Hasil seleksi oleh Ketua MA disampaikan kepada Presiden

untuk di angkat;

c. Berdasarkan Keputusan Presiden calon hakim ad hoc mengikuti

diklat yang diselenggarakan oleh MA;

d. Setelah dinyatakan lulus sebagai calon Hakim ad hoc, Ketua

MA menetapkan penempatannya (dengan prioritas sebagaimana

diatur dalam UU Perikanan) dan sejak penetapan tersebut

yang bersangkutan secara kelembagaan menjadi pegawai MA.

Kelembagaan ad hoc pada hakim pengadilan perikanan ini

penting dalam upaya mencari terobosan penegakan hukum di bidang

perikanan. Pada intinya kelembagaan ad hoc penegakan hukum

sebaiknya diarahkan pada:

a. Pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan secara terpadu;

b. Bagaimana mewujudkan kesamaan visi dan tujuan mengenai

criminal justice system;

100

Page 111: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

c. Proses penegakan hukum (penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di pengadilan serta keputusannya) berlangsung

secara efisien dan efektif;

d. Menggunakan pola peradilan yang cepat;

e. Dapat memberikan rasa keadilan hukum dan masyarakat serta

kepastian hukum.

5. Alat bukti

Alat bukti memegang peranan penting, khususnya dalam

mendukung dan mempermudah dalam pembuktian di pengadilan.

Sayangnya dalam Udang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang

Perikanan hal tersebut kurang mendapat perhatian, sehingga masih

mengacu pada KUHAP. Padahal dengan semakin pesatnya kemajuan

teknologi, alat bukti yang diatur dalam KUHAP sudah tidak

memadai lagi. Di bidang perikanan data dan informasi hasil penga-

wasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) yang saat ini

sedang digalakkan di Indonesia sebenarnya sangat penting bagi

proses pembuktian. Namun hal itu justru tidak dimasukan sebagai

salah satu alat bukti.

101

Page 112: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Hal / Pengadilan

Dasar Hukum

Pembentukan

Penyelidik

Penyidik

Hakim

Upaya Hukum

Pengadilan Niaga

Dibentuk dengan Keppres

No. 97 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Pengadilan

Niaga pada PN Ujung

Pandang, PN. Medan,

PN. Surabaya, PN.

Semarang.

Merujuk pada:

UU No. 14 Tahun 1970

tentang Kekuasaan

Kehakiman

UU No. 14 Tahun 1985

tentang MA UU No. 2

Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum

UU tentang Kepailitan

yang telah diubah dengan

Perpu No.1 Tahun 1998,

sebagimana telah

ditetapkan dengan UU No.

4 Tahun 1998

Polisi

Jaksa

Hakim Niaga (Karier)

Ditambah:

Hakim Pengawas

Eksekutor: Kurator

Langsung Kasasi,

Peninjauan Kembali

Pengadilan HAM

Dibentuk dengan UU

No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan

HAM

Merujuk pada:

UU No. 14 Tahun

1970 tentang Kekua-

saan Kehakiman

UU No. 2 Tahun 1986

tentang Peradilan

Umum

UU No. 39 Tahun

1999 tentang HAM

Komnas HAM

Jaksa Agung /

Kejaksaan

Jaksa Ad Hoc

Hakim HAM (Karier)

Hakim HAM Ad Hoc

Eksekutor: Jaksa

Banding, Kasasi,

Peninjauan Kembali

Pengadilan

Perikanan

Dibentuk dengan

UU No…. Tentang

Pembentukan

Pengadilan Khusus

Perikanan;

Merujuk pada:

UU No. 14 Tahun

1970 tentang

Kekuasaan

Kehakiman

UU No. …tentang

Perikanan

UU No. 2 Tahun

1986 tentang

Peradilan Umum

PPNS

Polisi

TNI AL

Jaksa yang telah

mendapat

pendidikan di

bidang Perikanan

Hakim Karir dan

Hakim ad

hoc

Eksekutor: Jaksa

Langsung Kasasi

Perbandingan Tiga Lembaga Peradilan Khusus

102

Page 113: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

6. Insentif

Dalam Pasal 105 UU No. 31 Th 2004 tentang Perikanandiatur mengenai insentif. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut,benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana dibidang perikanan dilelang untuk Negara dan kepada aparat penegakhukum yang berhasil menjalankan tugasnya diberikan insentifyang disisihkan dari hasil lelang. Insentif diberikan kepada merekayang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara, sepertipenyidik, jaksa penuntut umum, majelis hakim, aparat penegakhukum lainnya dan kelompok/anggota masyarakat.

Dana insentif yang berasal dari dana yang disisihkan darihasil lelang, dapat diberikan setelah ada persetujuan dari JaksaAgung selaku eksekutor dalam pelaksanaan putusan hakim danMenteri Keuangan selaku penanggung jawab anggaran Negara.

Pengaturan mengenai dana insentif ini disatu sisi merupakansuatu terobosan yang sasarannya agar para penegak hukum dibidang perikanan dapat lebih meningkat kinerjanya. Di sampingitu, adanya dana insentif juga diharapkan dapat meminimalisirtimbulnya penyelewengan-penyelewengan di lapangan yang selamaini ditenggarai akibat rendahnya penghasilan dari para penegakhukum.

Di sisi lain, dari kacamata pembangunan budaya hukum, adanyadana insentif ini dapat dilihat sebagai suatu kemunduran, di manaintegritas dan idealisme dari para penegak hukum seolah tergadaikan.Dalam jangka panjang, dikhawatirkan sistem pemberian danainsentif akan melahirkan para penegak hukum yang pamrih,materialistis, dan dangkal integritas dan idealisme.

Selain hal-hal tersebut diatas, ada beberapa pasal yang terkaitdengan pengadilan perikanan yang menarik untuk dikaji, di antaranyayaitu:

1. Pengaturan kegiatan transhipment

Pasal 41 ayat (3) menyebutkan bahwa, “Setiap kapal penangkapikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapandi pelabuhan perikanan yang ditetapkan”.

103

Page 114: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 41 ayat (4) menyebutkan bahwa, “Setiap orang yangmemiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muatikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimanadimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupaperingatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin”.

Pada kedua pasal tersebut di atas, semua kapal ikan dankapal pengangkut ikan wajib mendaratkan hasil tangkapannya dipelabuhan-pelabuhan yang telah ditetapkan. Namun yang menjadipertanyaan adalah, kenapa para pelaku yang tidak melakukanpendaratan ikan di pelabuhan yang telah ditetapkan atau yangdalam bahasa perikanannya adalah “transhipment” hanya diganjardengan sanksi administratif, bukannya sanksi pidana. Hal inidikarenakan, kegiatan transhipment merupakan salah satu yangsedang diperangi oleh dunia internasional, yaitu kegiatan perikananyang tidak dilaporkan (unreported fishing). Dampak yangdisebabkan oleh adanya kegiatan transhipment tidak hanyamerugikan negara secara ekonomi ataupun merugikan secara ekologikarena menyebabkan gejala tangkap lebih (overfishing), akan tetapikegiatan transhipment juga mengganggu data stok ikan, sehinggaakan menyebabkan data yang dilaporkan oleh Pemerintah bisadigolongkan kepada kesalahan data (misreported) atau data yangdilaporkan di bawah angka sebenarnya (underreported). Kalautidak menimbulkan efek jera terhadap para pelanggar, ke depannya,isu illegal, unreprted and unregulated (IUU) fishing bisamengganggu kegiatan perikanan Indonesia, karena sanksi ekonomiberupa embargo terhadap produk perikanan Indonesia akan mungkindikenakan. Isu IUU Fishing menjadi pembicaraan global, karenakegiatan perikanan di satu negara akan berdampak pada kelestarianikan di negara lain. Mengingat, sumber daya ikan bersifat lintasbatas. Dengan demikian, sanksi administratif bagi para pelakutranshipment sudah selayaknya diganti dengan sanksi pidana,sehingga bisa menimbulkan efek jera.

2. Pengaturan penahanan kapal

Pasal 73 ayat (4) butir e menyebutkan bahwa, Penyidik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

104

Page 115: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana di bidang perikanan;

b. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;

c. Membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/

atau saksi untuk didengar keterangannya;

d. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga

dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak

pidana di bidang perikanan;

f. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau

menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak

pidana di bidang perikanan;

g. Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha

perikanan;

h. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di

bidang perikanan;

i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan tindak pidana di bidang perikanan;

j. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

k. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan

dan/atau hasil tindak pidana;

l. Melakukan penghentian penyidikan; dan

m. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Dari ke-12 wewenang penyidik, ada satu wewenangnya yang

dirasakan oleh nelayan “kurang tepat” diterapkan pada dunia

perikanan, yaitu pada butir e, di mana dilakukannya penahanan

terhadap kapal. Hal ini dikarenakan, proses pengadilan yang

berlarut-larut menyebabkan kapal yang ditahan mengalami

kerusakan. Dengan demikian, harus ada ketentuan yang jelas

terhadap aturan penahanan kapal, sehingga kapal yang ditahan

tidak rusak.

105

Page 116: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

B. ANALISIS EMPIRIS

Praktik penangkapan ikan secara illegal fishing di wilayah

perairan Indonesia sudah sampai pada tahap yang sangat

memprihatinkan. Selain telah merugikan negara hampir Rp. 30

triliun per tahun, proses penegakan hukum terhadap pelaku masih

lemah. Masih saja terjadi praktik yang tidak dibenarkan secara

hukum seperti pemberian izin penangkapan bagi awak kapal yang

kasusnya telah disidangkan di pengadilan. Terkait dengan hal

tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi

menampik anggapan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan

tidak melakukan tindakan dan telah gagal menindak para pencuri

ikan. Pada suatu kesempatan Freddy menyatakan: “ ... sampai

sekarang kami sudah menangkap dan menahan sekitar 30 kapal

asing dan lokal yang kepergok mencuri ikan. Kasusnya kini masih

ditangani aparat penegak hukum, sedangkan kebijakan DKP adalah

akan mencabut izin penangkapan bagi kapal-kapal penangkapan

ikan”.18

Dengan diberlakukannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

pemerintah berharap dapat ditekannya angka pelanggaran tindak pidana

perikanan, termasuk illegal fishing. Ini terbukti karena dalam Undang-

Undang Perikanan yang baru tersebut diamanatkan hukum pidana

formil (hukum acara) di mana proses penyelidikan, penuntutan dan

persidangan dengan ketentuan pidana sanksi yang cukup berat. Sanksi

tersebut tidak hanya diterapkan kepada nakhoda dan KKM, namun

juga diterapkan kepada pemilik kapal dan para petugas yang terbukti

terlibat kasus illegal fishing.

1. Perlunya Kepastian Hukum

Diberlakukannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

kehadirannya sangat penting dan strategis karena menyangkut

kepastian hukum, dalam konteks menjawab tuntutan masyarakat

perikanan terhadap pembangunan sektor perikanan di masa depan.

1 Kompas, 28 Januari 2005.

106

Page 117: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam undang-undang

perikanan yang baru ini, memberikan dampak yang baik bagi

mereka yang membutuhkan perlindungan hukum di sektor

perikanan. Perubahan itu meliputi adanya pengadilan perikanan,

penambahan instansi penyidik, pembatasan waktu penyidikan,

penuntutan dan persidangan, sanksi pidana denda yang diperberat

dari minimal Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

sampai dengan Rp 20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah).

Apabila semua peraturan di atas diterapkan secara efektif

oleh pengemban tugas penegak hukum di bidang perikanan, akan

memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara yang

cukup besar, di luar pajak dan gas bumi. Pada sisi lain, tentunya

akan menekan angka pelanggaran terhadap para pelaku pencurian

ikan atau illegal fishing itu sendiri. Memang benar bahwa ada

semacam rasa ketidakadilan bila pemberian sanksi yang hanya

diberlakukan terhadap pelaku di lapangan seperti nakhoda dan

KKM. Ini artinya pemilik kapal, pemilik perusahaan dan operator

kapal, bahkan para pejabat atau petugas yang terbukti membantu

atau turut serta melakukan tindak pidana perikanan juga akan

mendapatkan sanksi yang setimpal, bahkan apabila perlu mereka

harus mengalami nasib yang sama. Konsep ini sejalan dengan

program pemerintah membentuk citra aparatur pemerintah yang

bersih (good governance) serta upaya mendukung pemberantasan

KKN di semua aspek termasuk sektor perikanan.

Kepastian hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

merupakan faktor yang sangat penting guna memberikan rasa

aman dan nyaman bagi para masyarakat luas. Apabila dilihat dari

sudut pandang ekonomi, kepastian hukum juga merupakan salah

satu faktor penting dan merupakan barometer bagi investor baik

asing maupun domestik dalam menanamkan investasinya.

Permasalahan Pengelolaan Perikanan

Ada beberapa permasalahan pengelolaan perikanan yang selama

ini masih terjadi di lapangan, terkait dengan illegal fishing, yaitu:

107

Page 118: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

a. Perubahan status kapal asing menjadi kapal berbendera

Indonesia

Status kapal asing yang “berubah” menjadi kapal

berbendera Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan di

wilayah perairan Indonesia ternyata memiliki modus oper-

andi yang cukup beragam. Di antaranya dengan cara di mana

pihak asing seolah-olah memiliki utang dengan mitra bisnisnya

di Indonesia dan melalui putusan pengadilan dengan delik

perdata, pihak asing tersebut diharuskan membayar utangnya

dengan cara menggunakan kapal ikan eks charter yang telah

habis izinnya. Cara lainnya di mana kapal ikan eks charter

atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase

seolah-olah kapal produksi dalam negeri dan lengkap dengan

dokumennya. Ada pula pengusaha perikanan yang melakukan

impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi

impornya tidak benar-benar terjadi karena tidak ada pembayaran

(fiktif). Bahkan ada pengusaha perikanan yang melakukan

impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan

harga yang dibuat semurah-murahnya di luar kepatutan.

b. Praktik kegiatan transhipment di tengah laut

Praktik kegiatan transhipment di tengah laut adalah

kegiatan melanggar hukum yang dilakukan dengan cara sistem

bongkar muat (loading-unloading) antar kapal di tengah laut.

Menurut peraturan yang ditetapkan, mereka seharusnya

melakukan transhipment di pelabuhan yang telah ditetapkan

sebagai pangkalannya, karena tata cara melakukan kegiatan

transhipment secara jelas telah diatur dalam Surat Izin

Penangkapan Ikan (SIPI). Kegiatan transhipment di tengah

laut jelas-jelas merugikan negara, di mana hasil tangkapan

yang seharusnya melalui proses kepabeanan dibawa begitu

saja ke negara pemilik kapal yang melakukan praktik tersebut.

Kegiatan melanggar hukum ini dapat dicegah dengan

meningkatkan koordinasi kerja antar aparat terkait seperti

PPNS Perikanan, TNI-AL, Kepolisian, Bea Cukai dan lainnya.

108

Page 119: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Tentu saja komitmen yang kuat serta adanya keinginan yangbaik (good will) dari aparat sangat diperlukan dalam upayamemberantas praktik transhipment di tengah laut ini.

c. Penggunaan alat tangkap ikan dan daerah penangkapan.

Ketentuan menggunakan alat tangkap dan daerahtangkapan (fishing ground) bagi kapal penangkap ikan diwilayah perairan Indonesia, sudah diatur dalam pengurusandokumen izin penangkapan. Akan tetapi kapal penangkapikan khususnya kapal asing masih menganggap Indonesiamemberikan kebebasan terhadap penggunaan alat tangkapserta wilayah penangkapannya. Usaha untuk menindakpelanggaran terhadap kegiatan ini sebenarnya telah diupayakanoleh pemerintah dengan meningkatkan sistem pengawasanmelalui pemanfaatan teknologi yang disebut dengan MCS(Monitoring, Controlle and Surveillance), di mana perangkattersebut dipasang pada kapal penangkap ikan sehingga melaluisetelit dan gelombang radar kegiatan mereka dapat dipantauoleh aparat terkait. Pada kenyataannya belum semua kapalikan memasang alat tersebut, sehingga pengawasan belumberjalan sebagaimana yang diharapkan. Tentu saja pengawasanterhadap kegiatan penangkap ikan tidak hanya bisa dilakukandengan menggunankan teknologi MCS, Kerja sama dankoordinasi kerja antar aparat yang berwenang, serta komitmenyang kuat untuk menegakkan aturan hukum yang berlakudari aparat sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan upayapencegahan berbagai jenis tindakan pelanggaran.

2. Upaya Pemberantasan Illegal Fishing

Masalah pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia masihmerupakan isu aktual sampai saat ini. Pemerintah semakin dituntutuntuk dapat memberantas praktik yang merugikan negara tersebut.Melalui program kerja yang akurat dan efektif, semua instansiyang terkait bekerja sama dan berkoordinasi secara terpadu.

Departemen Kelautan dan Perikanan salah satu instansi

pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perikanan, harus

109

Page 120: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

mengatur kembali prosedur dan tata cara beroperasinya kapal

asing di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Hal

ini dilakukan untuk memudahkan sistem pengawasan yang menjadi

penyebab sulitnya diberantas tindakan pencurian ikan. Disamping

meningkatkan fungsi pengawasan, sistem administrasi pemberian

izin dan prosedur penangkapan ikan di wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia harus diperbaharui dengan

memperhatikan aspek-aspek wawasan nusantara, persatuan dan

kesatuan bangsa, pembangunan nasional, kelestarian lingkungan

dan lain-lainnya.

Dari seluruh rangkaian persoalan maraknya terjadi tindakan

illegal fishing di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indo-

nesia, masalah yang cukup serius untuk dicarikan pemecahannya

adalah adanya rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan

yang tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada

saat ini. Terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan

di laut, lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia, banyaknya

pengusaha yang bermental buruk yang hanya memburu keuntungan

ekonomi semata, merupakan sebagian dari banyaknya faktor

penyebab terjadinya praktik illegal fishing.

Praktik illegal fishing memang harus diberantas lebih serius

lagi, karena kegiatan tersebut tidak hanya menyebabkan kerugian

terhadap perekonomian nasional, tetapi juga kerugian akan

kerusakan ekologi dan sumber daya alam lainnya. Untuk

menyelesaikan permasalahan tersebut, kerja keras pemerintah dan

dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat, nelayan, LSM,

dan pengusaha dan pihak lainnya sangat diharapkan untuk dapat

bekerja sama dan saling mendukung pemecahan masalah ini.

Berdasarkan kesepakatan bersama antara Departemen Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor: 10/KB/Dep.KP/2003, No. Pol.: B/

4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan

dan Perikanan, maka telah tercapai kesepakatan kerja sama dengan

penjelasan sebagai berikut:

110

Page 121: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

1. Bahwa wilayah perairan Indonesia memiliki potensi kekayaan

sumber daya alam yang sangat besar sehingga perlu dikelola

secara optimal, berkelanjutan dan bertanggungjawab.

2. Bahwa agar pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan

dan perikanan dapat berdaya guna dan berhasil guna, perlu

pengawasan dan pengendalian.

3. Bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan adalah instansi

yang bertanggungjawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan

tangkap, perikanan budidaya, pengawasan sumber daya

kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas kelembagaan

dan pemasaran pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil,

serta riset kelautan dan perikanan.

4. Bahwa POLRI adalah instansi yang bertanggungjawab dalam

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan

hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat serta melindungi kepentingan

nasional.

Kerja sama dalam rangka penegakan hukum di bidang kelautan

dan perikanan antara Departemen Kelautan dan Perikanan serta

POLRI terlaksana dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan dibawah ini:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3209).

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan

(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3299).

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3839).

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2002

Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168).

111

Page 122: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun

2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi

dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah dengan

Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002.

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

Dari kerja sama yang telah disepakati tersebut, Departemen

Kelautan dan Perikanan maupun POLRI menyatakan beberapa

hal sebagai berikut:

1. Maksud Kesepakatan Bersama ini adalah sebagai pedoman

bagi aparat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dalam rangka

penegakan hukum terhadap tindak pidana yang terkait dengan

bidang kelautan dan perikanan.

2. Tujuan Kesepakatan Bersama ini adalah:

a. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama dalam rangka

pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana

yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di

wilayah perairan Indonesia.

b. Memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap

masyarakat pesisir, nelayan, dan masyarakat maritim serta

pengguna jasa laut sehingga merasa aman dan nyaman

dalam melaksanakan aktivitasnya.

c. Mengamankan seluruh kebijakan Pemerintah Republik

Indonesia di bidang kelautan dan perikanan.

d. Meningkatkan pengetahuan teknis aparat penegak hukum

kedua instansi di bidang kelautan dan perikanan.

Ruang lingkup kesepakatan bersama ini meliputi:

1. Bidang Pembinaan:

a. Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia pada

112

Page 123: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

jajaran DKP dan POLRI dengan menyelenggarakan

pendidikan dan pelatihan.

b. Peningkatan sarana, prasarana dan sistem pengawasan di

bidang kelautan dan perikanan.

c. Peningkatan sistem pengamanan di lingkungan DKP

2. Bidang Operasional:

a. Pelaksanaan sistem jaringan informasi dan komunikasi

dalam rangka penegakan hukum.

b. Pelaksanaan sistem pengawasan di bidang kelautan dan

perikanan.

c. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang kelautan dan

perikanan.

d. Koordinasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran

ketentuan-ketentuan di bidang kelautan dan perikanan.

3. Dalam rangka mendalami pengetahuan dan pemahaman di

bidang kelautan dan perikanan, Departemen Kelautan dan

Perikanan mengikutsertakan peserta dari POLRI dalam kegiatan

pendidikan dan pelatihan, temuwicara, seminar, maupun

kegiatan ilmiah lainnya yang diselenggarakan oleh Departemen

Kelautan dan Perikanan.

4. Departemen Kelautan dan Perikanan menyiapkan tenaga yang

memiliki keahlian dan pengalaman luas di bidang kelautan

dan perikanan, sebagai pengajar dalam kegiatan pendidikan,

pelatihan, temu wicara maupun kegiatan ilmiah lainnya yang

diselenggarakan oleh POLRI.

5. POLRI menyiapkan tenaga sebagai pengajar atau pembicara

dalam kegiatan pendidikan, pelatihan, temu wicara, maupun

kegiatan ilmiah lainnya yang diselenggarakan oleh Departemen

Kelautan dan Perikanan.

6. Dalam rangka mendorong dan mengembangkan sistem

pengamanan di lingkungan Departemen Kelautan dan

Perikanan, POLRI menyiapkan tenaga pelatih profesional guna

113

Page 124: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

melakukan pembinaan dan pelatihan satuan pengamanan yang

dimiliki jajaran Departemen Kelautan dan Perikanan.

7. POLRI membantu piranti lunak dan piranti keras untuk mening-

katkan sarana dan prasarana dalam rangka pelaksanaan sistem

pengawasan.

8. Dalam rangka peningkatan kemampuan Penyidikan Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) di bidang kelautan dan perikanan PARA

PIHAK dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

9. PARA PIHAK akan mendahulukan tindakan preventif dan

persuasif dalam rangka menangani kasus-kasus yang merugikan

atau mengganggu pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan

perikanan, sepanjang permasalahan tersebut tidak atau belum

dikategorikan sebagai tindak pidana.

10. PARA PIHAK saling memberitahukan mengenai informasi

adanya perbuatan atau rencana perbuatan dari pihak tertentu

yang merugikan dan/atau mengganggu pelaksanaan tugas di

bidang kelautan dan perikanan.

11. Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula

disampaikan oleh jajaran Departemen Kelautan dan Perikanan

kepada jajaran POLRI setempat di mana terjadinya tindakan

yang merugikan atau mengganggu pelaksanaan tugas di bidang

kelautan dan perikanan.

12. POLRI segera melakukan koordinasi dengan Departemen

Kelautan dan Perikanan dan segera mengambil tindakan-tindak-

an kepolisian, apabila memperoleh informasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6

13. POLRI akan mengambil tindakan terhadap pihak-pihak tertentu

yang melakukan tindak pidana dan/atau mengganggu pelak-

sanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan.

14. Departemen Kelautan dan Perikanan wajib membantu POLRI

dalam rangka melakukan tindakan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dan ayat (2).

114

Page 125: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

15. Apabila terjadi tindak pidana di bidang kelautan dan perikanandi mana penyidik POLRI memerlukan penyitaan barang-barangbukti berupa dokumen kelautan dan perikanan, jika diperlukandapat meminta bantuan Departemen Kelautan dan Perikanan.

16. Apabila di dalam suatu tindak pidana bidang kelautan danperikanan diperlukan kesaksian dari pejabat DepartemenKelautan dan Perikanan atau Dinas Kelautan dan Perikanan,

maka pemanggilan sebagai saksi disampaikan kepada yangbersangkutan:

a. Di tingkat Pusat melalui Menteri Kelautan dan Perikanan.

b. Di tingkat Daerah melalui Dinas Kelautan dan PerikananProvinsi, Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

17. Pejabat-pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat

menunjuk staf yang membidangi permasalahannya atau apabiladiperlukan dapat memberikan keterangan secara tertulis.

18. Pelaksanaan Kesepakatan Bersama ini akan diatur lebih lanjutdalam suatu Perjanjian Pelaksanaan yang mengatur ruanglingkup kegiatan yang akan dilaksanakan, mekanisme kerja,hak dan kewajiban PARA PIHAK serta hal-hal lain yangdianggap perlu.

19. Untuk melaksanakan Perjanjian Pelaksanaan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), PARA PIHAK akan menunjukwakilnya sesuai dengan kebutuhan, tugas dan fungsi dariPARA PIHAK baik di Pusat maupun di Daerah.

20. Perjanjian Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) disusun selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah

ditandatanganinya kesepakatan bersama ini.

21. Kegiatan-kegiatan dalam kesepakatan bersama ini dilaksanakanbaik di Pusat maupun di Daerah.

22. Setiap Perjanjian Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) merupakan suatu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan

dari kesepakatan bersama ini

115

Page 126: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

23. Dukungan pelaksanaan dapat berupa bantuan personel, sarana,

prasarana, fasilitas dan biaya.

24. Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibebankan

kepada PARA PIHAK secara proporsional yang akan diatur

lebih lanjut dalam Perjanjian Pelaksanaan.

25. PARA PIHAK sepakat untuk bertanggung jawab sepenuhnya

guna melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan pencapaian

tujuan Kesepakatan Bersama ini sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

26. Kesepakatan bersama ini dapat diubah berdasarkan persetujuan

PARA PIHAK.

27. Perubahan dan/atau penambahan terhadap hal-hal yang belum

diatur dalam Kesepakatan Bersama ini, akan diatur dalam

bentuk addendum dan/atau amandemen sesuai dengan kese-

pakatan PARA PIHAK dan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari Kesepakatan Bersama ini.

28. Apabila terjadi perbedaan dalam penafsiran dan/atau pelaksana-

an Kesepakatan Bersama ini akan diselesaikan secara

musyawarah dan mufakat oleh PARA PIHAK.

29. Kesepakatan Bersama ini berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga)

tahun terhitung sejak tanggal ditandatanganinya Kesepakatan

Bersama ini dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan

berdasarkan evaluasi setiap tahun sesuai dengan kesepakatan

PARA PIHAK.

30. Apabila dipandang perlu, Kerja sama ini dapat diperpanjang

atas persetujuan PARA PIHAK dengan melakukan koordinasi

atas rancangan perpanjangan Kesepakatan Bersama ini selam-

bat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya Kesepakatan

Bersama ini.

31. Kesepakatan Bersama ini dapat diakhiri sebelum jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan ketentuan pihak

yang mengakhiri Kesepakatan Bersama wajib memberitahukan

116

Page 127: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

maksud tersebut secara tertulis kepada pihak lainnya, selambat-

lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum keinginan diakhirinya

Kesepakatan Bersama ini.

Upaya Pengkoordinasian Lembaga-lembaga Pemerintah dalam

Memberantas Pencurian Ikan. Sebagai upaya pemberantasan tindak

pidana pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, koordinasi antar

lembaga-lembaga pemerintah dan departemen-departemen yang terkait

dengan permasalahan ini sangat diperlukan. Hal ini dilakukan dengan

tujuannya memaksimalkan hasil yang dicapai, sehingga penanganan

tindak pidana pencurian ikan ini tidak terkesan setengah-setengah.

Keterlibatan sejumlah instansi pemerintah dan jajaran yang mempunyai

kepentingan serta kewenangan menunjukkan keseriusan bangsa Indo-

nesia terhadap permasalahan tindak pidana perikanan. Adapun instansi

dan jajaran pemerintah yang harus ikut berperan serta dalam usaha

pencegahan tindakan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

a. Mengkoordinasi seluruh instansi terkait dalam rangka

pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

melaksanakan percepatan pemberantasan penangkapan ikan

secara ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik

Indonesia.

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas

pelaksanaan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal

secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-

kasus yang mendesak.

2. Menteri Kelautan dan Perikanan

a. Meningkatkan penegakan hukum dan pengawasan perikanan

bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Tentara Nasional Indonesia, dan aparat terkait terhadap pelaku

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

117

Page 128: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

melalui kegiatan operasi intelejen, preventif, represif, dan

yustisi.

b. Menindak tegas sesuai dengan kewenangannya terhadap pelaku

penangkapan ikan secara ilegal sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

c. Menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan

Penangkapan Ikan secara ilegal di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia.

d. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang

berjasa dalam kegiatan pemberantasan penangkapan ikan secara

ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indone-

sia.

e. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan

pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga

terlibat kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.

f. Meningkatkan seleksi dan pengawasan pemberian izin usaha

perikanan yang menjadi kewenangannya.

g. Mencabut izin usaha perikanan yang telah dikeluarkan terhadap

pelaku kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.

3. Menteri Keuangan

a. Mengalokasikan biaya melalui Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan

operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.

b. Menginstruksikan kepada aparat Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai untuk meningkatkan pengawasan atas pelanggaran ekspor

dan impor komoditi perikanan.

4. Menteri Dalam Negeri

Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap peraturan perun-

dang-undangan perikanan di daerah dan mempercepat penyampaian

rekomendasi pencabutan peraturan perundang-undangan di daerah

118

Page 129: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

5. Menteri Luar Negeri

Menjalin kerja sama dengan komunikasi internasional dalam

memberantas penangkapan secara ilegal di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia.

6. Menteri Perhubungan

a. Meningkatkan pengawasan perizinan yang terkait dengan

pembangunan dan/atau modifikasi kapal perikanan.

b. Menginstruksikan kepada seluruh aparat yang berwenang di

pelabuhan untuk tidak memberikan Surat Izin Berlayar (SIB)

kepada kapal perikanan yang tidak memenuhi ketentuan di

bidang perikanan, meliputi penerapan Log Book dan Surat

Laik Operasional.

c. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang

mengangkut ikan ilegal sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, termasuk mencabut izin usaha

pelayaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

d. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung

pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

7. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

a. Meningkatkan pengawasan pemberian izin kemudahan khusus

keimigrasian di bidang perikanan.

b. Sesegera mungkin mengkoordinasikan pengembalian Anak

Buah Kapal warga negara asing ke negara asalnya, yang

bukan sebagai tersangka.

8. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

a. Meningkatkan pengawasan pemberian izin penggunaan tenaga

kerja asing bagi pemberi kerja di bidang perikanan.

119

Page 130: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

b. Meningkatkan pengawasan bagi pemberi kerja yang memper-

gunakan tenaga kerja asing di bidang perikanan.

9. Jaksa Agung

a. Melakukan koordinasi dengan aparat penyidik tindak pidana

di bidang perikanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

b. Melakukan tuntutan yang maksimum terhadap pelaku tindak

pidana di bidang perikanan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan peraturan perun-

dang-undangan terkait dengan tindak pidana di bidang

perikanan.

c. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang

berhubungan dengan penangkapan ikan secara ilegal pada

setiap tahap penanganan, baik pada tahap penyidikan, tahap

penuntutan maupun tahap eksekusi.

10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

a. Menindak tegas dan melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap para pelaku kegiatan penangkapan ikan secara ilegal

di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

b. Melindungi dan mendampingi PPNS Perikanan dalam

melaksanakan kegiatan koordinasi dan pengawasan dalam

penyidikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik In-

donesia.

c. Menempatkan Petugas Kepolisian Negara Republik Indone-

sia di lokasi rawan terjadinya penangkapan ikan secara ilegal

bersama-sama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Departemen Kelautan dan Perikanan dan TNI AL.

11. Mahkamah Agung

Menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada hakim-hakim

yang menyidangkan perkara perikanan agar bersungguh-sungguh dan

berdedikasi dalam penegakan hukum di bidang perikanan.

120

Page 131: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

12. Panglima Tentara Nasional Indonesia

a. Menginstruksi kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan

Laut untuk menangkap setiap pelaku yang melakukan kegiatan

penangkapan ikan secara ilegal di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia berdasarkan bukti awal yang

cukup dan diproses sesuai dengan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan peraturan perundang-

undangan terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan.

b. Menginstruksi kepada Tentara Nasional Indonesia Anngkatan

Laut untuk melakukan operasi di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia dan Wilayah perbatasan negara

yang rawan terjadinya penangkapan ikan secara ilegal.

c. Melindungi dan mendampingi Pengawasan Perikanan dalam

melaksanakan kegiatan operasi pengawasan perikanan di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

13. Para Gubernur

a. Mencabut dan merevisi peraturan Daerah/Keputusan Gubernur

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di

bidang perikanan.

b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam

rangka pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di

wilayah kewenangannya.

c. Mengawasi pemberian izin usaha di bidang perikanan sesuai

dengan kewenangannya dan mencabut izin yang telah

dikeluarkan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

d. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap

pelaksanaan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal

di wilayah kewenangannya melalui operasi preventif dan

represif.

e. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.

121

Page 132: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

f. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penangkapan

ikan secara ilegal di wilayah kewenangannya kepada Menteri

Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui

Menteri Dalam Negeri.

14. Bupati/Walikota

a. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/

Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan di bidang perikanan.

b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/

Kota dalam rangka pemberantasan kegiatan penangkapan ikan

secara ilegal di wilayah kewenanganya melalui operasi preventif

dan represif.

c. Mengawasi pemberian izin usaha di bidang perikanan sesuai

dengan kewenanganya dan mencabut izin yang telah

dikeluarkan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

d. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit

dokumen usaha perikanan di wilayah kewenangannya.

e. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi pengawasan

perikanan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

masing-masing.

f. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penangkapan

ikan secara ilegal di wilayah kewenangannya kepada Menteri

Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

122

Page 133: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Peradilan Perikanan dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum,

dengan pertimbangan pembentukan badan peradilan khusus yang

berada di bawah Peradilan Umum diharapkan akan lebih

memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat dan biaya

ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (2) UU No.

14 Tahun 1970.

2. Di dunia bisnis perikanan Indonesia masih banyak diwarnai

pelanggaran hukum (tindak pidana perikanan), seperti pemalsuan

izin kapal ikan yang dilakukan dengan berbagai cara, penggunaan

alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, transhipment,

pelanggaran fishing ground, dan lain-lain. Lemahnya penegakan

hukum di bidang perikanan antara lain disebabkan oleh belum

adanya perangkat hukum yang memadai serta dukungan

kelembagaan yang belum menerapkan Integrated Criminal Jus-

tice System secara maksimal.

3. Untuk mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga

peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum

khususnya yang terkait penegakan hukum pelanggaran perikanan,

maka berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

dibentuklah Pengadilan Perikanan sebagai lembaga peradilan khusus

di bidang perikanan.

4. Jenis-jenis pelanggaran perikanan yang sering terjadi di antaranya

pelanggaran terhadap peraturan penangkapan ikan, pelanggaran

terhadap kelestarian lingkungan laut. Selain itu juga masalah

mekanisme perizinan, pengawasan dan penyelidikan menjadi salah

satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di laut.

123

Page 134: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

5. Pasal 41 ayat (3) dan (4) mewajibkan kepada semua kapal ikan

dan kapal pengangkut ikan untuk mendaratkan hasil tangkapannya

di pelabuhan-pelabuhan yang telah ditetapkan (transhipment).

Pelanggaran terhadap hal tersebut hanya berupa sanksi adminis-

tratif sehingga tidak memberikan efek jera. Selain itu Pasal 73

ayat (4) butir e tentang wewenang penyidik yang dirasakan oleh

nelayan “kurang tepat” diterapkan pada dunia perikanan yaitu

dilakukannya penahanan terhadap kapal menyebabkan kapal yang

ditahan mengalami kerusakan karena proses pengadilan yang

berlarut-larut.

6. Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

masih belum memberikan kepastian hukum yang adil bagi

masyarakat luas. Hal ini dapat dilihat dalam pemberlakuan sanksi

yang hanya diberlakukan terhadap pelaku di lapangan seperti

nakhoda dan KKM. Sementara pemilik kapal, pemilik perusahaan

dan operator kapal, bahkan para pejabat atau petugas yang terbukti

membantu atau turut serta melakukan tindak pidana perikanan

mendapatkan sanksi yang berbeda yang biasanya lebih ringan.

B. SARAN

1. Perlu adanya pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan

sesuai peraturan dari pengelolaan sumber daya alam di laut

khususnya perikanan. Oleh karena itu perlu didukung dengan

adanya Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan prosedur standar dari

instansi yang berwenang, yang dapat dijadikan pegangan oleh

para pelaku usaha perikanan.

2. Sanksi administratif bagi para pelaku transhipment sudah selayaknya

diganti dengan sanksi pidana sehingga bisa menimbulkan efek

jera. Selain itu harus ada ketentuan yang jelas terhadap aturan

penahanan kapal, sehingga kapal yang ditahan tidak rusak.

3. Penerapan sanksi agar setimpal baik bagi para pelaku tindak pidana

perikanan di lapangan maupun pemilik kapal, pemilik perusahaan

dan operator kapal, bahkan para pejabat atau petugas yang terbukti

membantu atau turut serta melakukan tindak pidana perikanan

124

Page 135: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

sejalan dengan upaya pemerintah untuk membentuk citra aparatur

pemerintah yang bersih (good governance) serta upaya mendukung

pemberantasan KKN di semua aspek termasuk sektor perikanan.

4. Dalam melakukan penegakan hukum di laut perlu adanya kepastian

hukum terkait dengan tindak pidana perikanan. Apabila dilihat

dari sudut pandang ekonomi, kepastian hukum juga merupakan

salah satu faktor penting dan merupakan barometer bagi investor

baik asing maupun domestik dalam menanamkan investasinya.

5. Diperlukan koordinasi yang baik antara para penegak hukum dan

instansi-instansi terkait baik pusat maupun daerah dalam upaya

pemberantasan tindak pidana perikanan.

125

Page 136: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Etty R. 2004. Sepuluh Tahun Berlakunya Konvensi PBB tentang

Hukum Laut (UNCLOS) 1982: Kewajiban Negara Peserta dan

Implementasinya oleh Indonesia. (Orasi Ilmiah). Universitas

Padjadjaran. Bandung.

Anwar, Chairil. 1995. Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi

Hukum Laut 1982. Jambatan. Jakarta.

Diantha, I Made Pasek. 2002. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Alumni. Bandung.

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit CV Rajawali,

Jakarta, 1983.

Letkol Laut (P) Aan Kumia, S-, Konsepsi TNI Al Dalam Penegakan

Hukum Di Laut Guna Mewujudkan Pemulihan Ekonomi, Majalah

Cakrawala TNI-AL, 2003-07-09 10:43:52.

Koran Tempo. 2005. Menteri Kelautan dan Perikanan Targetkan Tekan

Praktik Pencurian Ikan 20 Persen Koran Tempo, Rabu, 25 Mei

2005.

Mahendra, Yusril Ihza. 2000. Pembangunan Sistem Hukum Nasional,

Majalah Ketahanan Nasional, Edisi No. 73, 2000.

Seidman, Robert B., 1976. Law and Development A General Model,

diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo dalam Hukum dan

Pembangunan, Suatu Model Umum, Surabaya, PSHP, Unair, 1976.

Sinar Harapan. 2005. Kesepakatan Bersama TNI AL, Polri, dan

Kejaksaan, DKP Bertekad Bersihkan Praktik Pencurian Ikan, Sinar

Harapan 14 Maret 2005

Soemitro, Ronny Hanitiyo. 1982. Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit

Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Penegak Hukum Faktor Sentral dalam

Penegakan Hukum, Kompas, 15 Desember 1983.

126

Page 137: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Yahya, Muhammad Ali. 2005. Perikanan Tangkap Indonesia (Suatu

Analisa Filosofis dan Kebijakan)., http://rudyct.250x.com/sem

1_012/ali_yahya.htm, 10 Oktober 2005.

127

Page 138: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

128

Page 139: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Susunan Keanggotaan Tim

Analisis dan Evaluasi Hukum

Tentang Pengadilan Perikanan

Ketua : Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H.

Sekretaris : Nurhayati, S.H.

Anggota : 1. Rusmana, S.H.

2. Akhmad Solihin, Spi.

3. Erwan Munawar, S.H.

4. Ir. Ibrahim Pessiwarissa

5. Kol. Triyono Sambodo, S.H.

6. Chaerijah, S.H., M.H., Ph.D.

7. Dra. Evi Djuniarti, M.H.

8. Melok Karyandani, S.H.

9. Gardjito, S.Sos.

10. Atiah

129

Page 140: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

130

Page 141: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 31 TAHUN

TENTANG

PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional,

mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan

yang potensial, merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa

yang diamanahkan pada Bangsa Indonesia yang memiliki Falsafah

Hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk

dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat Indonesia;

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional

berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber daya ikan

perlu dilakukan sebaik baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan

dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan

kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudi

daya ikan, dan/atau pihak pihak yang terkait dengan kegiatan

perikanan, serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan dan

lingkungannya;

c. bahwa Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan

yang berlaku hingga sekarang belum menampung semua aspek

pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi

perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi

131

Page 142: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dan oleh karena itu

perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang Undang

tentang Perikanan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1985 tentang Perikanan;

Mengingat :

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG UNDANG TENTANG PERIKANAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya

mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan

pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

132

Page 143: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.

3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan

sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.

4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian

dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di

perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat

atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal

untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,

menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara,

membesarkan), dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya

dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang

menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,

mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yangterintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,

konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan

implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-

undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah

atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan

produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah

disepakati.

8. Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan,

pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem,

jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

9. Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang

dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung,

operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan

ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi

perikanan.

133

Page 144: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan

penangkapan ikan.

11. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan

penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

12. Pembudi daya ikan adalah orang yang mata pencahariannya

melakukan pembudidayaan ikan.

13. Pembudi daya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariannya

melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari hari.

14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

16. Surat izin usaha perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah

izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk

melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi

yang tercantum dalam izin tersebut.

17. Surat izin penangkapan ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah

izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk

melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari SIUP.

18. Surat izin kapal pengangkut ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI,

adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan

untuk melakukan pengangkutan ikan.

19. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas)

mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

20. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan

kepulauan dan perairan pedalamannya.

21. Zona ekonomi eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI,

adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indone-

sia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang

berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah

134

Page 145: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua

ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indo-

nesia.

22. Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam

ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan

perairan pedalaman Indonesia.

23. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan

perairan di sekitarnya dengan batas batas tertentu sebagai tempat

kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang

dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,

dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

24. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang

perikanan.

25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

26. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah

Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua

Asas dan Tujuan

Pasal 2

Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,

kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan

kelestarian yang berkelanjutan.

Pasal 3

Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan:

a. meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan

kecil;

b. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;

c. mendorong perluasan dan kesempatan kerja;

d. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;

135

Page 146: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

e. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;

f. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;

g. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan

ikan;

h. mencapai pemanfataan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan

ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan

i. menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan

ikan, dan tata ruang.

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 4

Undang Undang ini berlaku untuk:

a. setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara

asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing,

yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia;

b. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan

berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

c. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan

penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia; dan

d. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan

penangkapan ikan, baik sendiri sendiri maupun bersama sama,

dalam bentuk kerja sama dengan pihak asing.

BAB III

WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN

Pasal 5

(1) Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk

penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:

136

Page 147: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

a. perairan Indonesia;

b. ZEEI; dan

c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang

dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang

potensial di wilayah Republik Indonesia.

(2) Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diseleng-

garakan berdasarkan peraturan perundang undangan, persyaratan,

dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.

BAB IV

PENGELOLAAN PERIKANAN

Pasal 6

(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang

optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.

(2) Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan

pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/

atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Pasal 7

(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya

ikan, Menteri menetapkan:

a. rencana pengelolaan perikanan;

b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia;

c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia;

d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

137

Page 148: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

f. jenis,jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan

ikan;

h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan

ikan;

j. sistem pemantauan kapal perikanan;

k. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

l. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan

ikan berbasis budi daya;

m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan

serta lingkungannya;

o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta

lingkungannya;

p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

q. suaka perikanan;

r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan,

dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia;

dan

t. jenis ikan yang dilindungi.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan

perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mengenai:

a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan

ikan;

c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;

d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan

ikan;

e. sistem pemantauan kapal perikanan;

138

Page 149: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan

ikan berbasis budi daya;

h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan

serta lingkungannya;

j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

k. suaka perikanan;

l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;

m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan,

dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia;

dan

n. jenis ikan yang dilindungi.

(3) Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang

diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan

huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi

nasional yang mengkaji sumber daya ikan.

(4) Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk

oleh Menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang

berasal dari lembaga terkait.

(5) Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-

masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan

ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian

sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.

(6) Dalam rangka mempercepat pembangunan perikanan, pemerintah

membentuk dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional

yang diketuai oleh Presiden, yang anggotanya terdiri atas menteri

terkait, asosiasi perikanan, dan perorangan yang mempunyai

kepedulian terhadap pembangunan perikanan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja

dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

139

Page 150: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 8

(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan

biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan

yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia.

(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,

dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat

dan/atau cara, dan/atau ‘bangunan yang dapat merugikan dan/

atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia.

(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung

jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan

dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,

alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/

atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia.

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan

pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan

pembudidayaan ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan

dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,

alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/

atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia.

(5) Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat

dan/atau cara, dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/

atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diperbolehkan hanya untuk penelitian.

140

Page 151: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan

biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 9

Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau

menggunakan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia:

a. alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang

tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan;

b. alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau

standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu; dan/atau

c. alat penangkapan ikan yang dilarang.

Pasal 10

(1) Untuk kepentingan kerja sama internasional, Pemerintah:

a. dapat memublikasikan secara berkala hal hal yang berkenaan

dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan;

b. bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara

lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya

ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi

tertutup dan wilayah kantong;

c. memberitahukan serta menyampaikan bukti bukti terkait kepada

negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan

yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan

pengelolaan sumber daya ikan.

(2) Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/

lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerja

sama pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Pasal 11

(1) Untuk kepentingan kelestarian sumber daya ikan dan pemanfaatan

lahan pembudidayaan ikan, Menteri menetapkan suatu keadaan

141

Page 152: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

kritis yang membahayakan atau dapat membahayakan sediaan

ikan, spesies ikan, atau lahan pembudidayaan ikan dalam wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

(2) Menteri mengumumkan dan menyebarluaskan langkah-langkah

keadaan kritis,sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 12

(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia.

(2) Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat

membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan,

dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia.

(3) Setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika

yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber

daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia.

(4) Setiap orang dilarang menggunakan obat obatan dalam pembudi-

dayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan,

lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di

wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal hal sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

(1) Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya

konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika

ikan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi ekosistem, konservasi

jenis ikan, dan konservasi genetika ikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

142

Page 153: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 14

(1) Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma

nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka

pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.

(2) Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan

dengan sumber daya ikan.

(3) Pemerintah mengendalikan pemasukan ikan jenis baru dari luar

negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin kelestarian

plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

(4) Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan

sumber daya ikan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian plasma

nutfah sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

Pemerintah mengatur pemasukan dan/atau pengeluaran, jenis calon

induk, induk, dan/atau benih ikan ke dalam dan dari wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia.

Pasal 16

(1) Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan,

mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan

masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau

lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran,

pengadaan, pengedaran, dan/atau’ pemeliharaan ikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Pemerintah mengatur dan mengembangkan penggunaan sarana dan

prasarana pembudidayaan ikan dalam rangka pengembangan pembudida-

yaan ikan.

143

Page 154: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 18

(1) Pemerintah mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan

pembudidayaan ikan.

(2) Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan

pembudidayaan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas air untuk

kepentingan pembudidayaan ikan.

Pasal 19

(1) Pemerintah menetapkan persyaratan dan standar alat pengangkut,

unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit

pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.

(2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap alat pengangkut, unit

penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan

kesehatan ikan dan lingkungannya.

(3) Pemerintah dan masyarakat melaksanakan pengelolaan kesehatan

ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar serta

pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi

budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan

lingkungannya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 20

(1) Proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi

persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu,

dan keamanan hasil perikanan.

(2) Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), terdiri atas subsistem:

a. pengawasan dan pengendalian mutu;

144

Page 155: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

b. pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan

baku, persyaratan atau standar sanitasi dan teknik penanganan

serta pengolahan, persyaratan atau standar mutu produk,

persyaratan atau standar sarana dan prasarana, serta persyaratan

atau standar metode pengujian; dan

c. sertifikasi.

(3) Setiap orang .yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan

wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan

ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.

(4) Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan

pengolahan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh

Sertifikat Kelayakan Pengolahan.

(5) Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan

penerapan sistem jaminan mutu hasil perikanan, sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat Penerapan Pro-

gram Manajemen Mutu Terpadu.

(6) Ikan hasil penangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi

standar mutu dan keamanan hasil perikanan.

(7) Produk hasil pengolahan perikanan harus memenuhi persyaratan

dan/atau standar mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b.

(8) lndustri pengolahan ikan yang tidak diatur dalam Undang-Undang

ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pasal 21

Setiap orang yang melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/

atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia

harus melengkapinya dengan sertifikat kesehatan untuk konsumsi

manusia.

Pasal 22

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem jaminan mutu dan keamanan

hasil perikanan, sertifikat kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan

145

Page 156: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

manajemen mutu terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan

sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan

makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan

kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan

penanganan dan pengolahan ikan.

(2) Pemerintah menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan,

bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan

manusia dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).

Pasal 24

(1) Pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produk hasil

perikanan.

(2) Pemerintah dapat membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan

ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku tersebut di dalam

negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah produk

hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan jaminan

ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan di dalam negeri

serta pembatasan ekspor bahan baku sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

USAHA PERIKANAN

Pasal 25

Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang

meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.

146

Page 157: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 26

(1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang

penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan

pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia wajib memiliki SIUP.

(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan

kecil.

Pasal 27

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk

melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.

(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk

melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia wajib memiliki SIPI.

(3) SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.

(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan

penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih

dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.

Pasal 28

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia wajib memiliki SIKPI.

(2) SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.

Pasal 29

(1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik

Indonesia atau badan hukum Indonesia.

147

Page 158: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan

usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyang-

kut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan

internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Pasal 30

(1) Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan

hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan

perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya

antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara

bendera kapal.

(2) Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik

Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan kewajiban pemerintah

negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan

orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi

perjanjian perikanan tersebut.

(3) Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha

perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang

beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau

pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan

pemerintah negara bendera kapal.

Pasal 31

(1) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan

di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib

dilengkapi SIPI.

(2) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan

di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib

dilengkapi SIKPI.

Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat syarat pemberian

SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.

148

Page 159: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik In-

donesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan

Menteri.

Pasal 34

(1) Kapal perikanan berdasarkan fungsinya meliputi:

a. kapal penangkap ikan;

b. kapal pengangkut ikan;

c. kapal pengolah ikan;

d. kapal latih perikanan;

e. kapal penelitian/ eksplorasi perikanan; dan

f. kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

(1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi

kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.

(2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun

di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik berlayar

dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.

Pasal 36

(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia Wajib didaftarkan terlebih

dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.

(2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa:

a. bukti kepemilikan;

149

Page 160: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

b. identitas pemilik; dan

c. surat ukur.

(3) Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar

negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai

kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan

surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan

oleh negara asal.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan

Menteri.

(5) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang undangan yang berlaku.

Pasal 37

Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan

berupa tanda selar, tanda daerahpenangkapan ikan, tanda jalur

penangkapan ikan, dan/atau tand~ alai penangkapan ikan.

Pasal 38

(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki

izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan

ikan di dalam palka.

(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki

izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan

ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa

alat penangkapan ikan lainnya.

(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki

izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan

di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan

yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia.

150

Page 161: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 39

Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis

tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan

ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah

operasi penangkapan.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi

kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda

pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat

penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan

Peraturan Menteri.

Pasal 41

(1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.

(2) Menteri menetapkan:

a. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;

b. klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang

merupakan bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi

wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan;

c. persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi

dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan,

dan pengawasan pelabuhan perikanan;

d. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan

e. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.

(3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus

mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang

ditetapkan.

(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak

melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan

151

Page 162: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan

sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau

pencabutan izin.

Pasal 42

(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di

pelabuhan perikanan.

(2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan

wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan

oleh syahbandar.

(3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan

perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

kewenangan lain, yakni:

a. memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal

perikanan; dan

b. memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal

perikanan.

(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diangkat oleh Menteri.

Pasal 43

Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib

memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan.

Pasal 44

(1) Surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat

(2) dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan

mendapatkan surat laik operasi.

(2) Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan

oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi

dan kelayakan teknis.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan

kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan

Peraturan Menteri.

152

Page 163: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 45

Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar

pelabuhan perikanan, surat izin berlayar diterbitkan oleh syahbandar

setempat setelah diperoleh surat laik operasi dari pengawas perikanan

yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.

BAB VI

SISTEM INFORMASI DAN DATA STATISTIK PERIKANAN

Pasal 46

(1) Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan

data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan,

pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran

data potensi, sarana dan prasarana, produksi, penanganan,

pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang

terkait dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan

pengembangan sistem bisnis perikanan.

(2) Pemerintah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk

menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.

Pasal 47

(1) Pemerintah membangun jaringan informasi perikanan dengan

lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri.

(2) Sistem informasi dan data statistik perikanan harus dapat diakses

dengan mudah dan cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan

informasi perikanan.

BAB VII

PUNGUTAN PERIKANAN

Pasal 48

(1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber

daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.

153

Page 164: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.

Pasal 49

Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI

dikenakan pungutan perikanan.

Pasal 50

Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal

49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian

sumber daya ikan dan lingkungannya.

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan perikanan dan penggunaan

pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49,

dan Pasal 50 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

Pasal 52

Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan peneli-

tian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan

dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan

agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah

lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.

Pasal 53

(1) Penelitian dan pengembangan perikanan dapat dilaksanakan oleh

perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/

atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/

atau swasta.

(2) Perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/

atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/

154

Page 165: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

atau swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan

kerja sama dengan:

a. pelaksana penelitian dan pengembangan;

b. pelaku usaha perikanan;

c. asosiasi perikanan; dan/atau

d. lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.

Pasal 54

Hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil

penelitian tertentu yang oleh Pemerintah dinyatakan tidak untuk

dipublikasikan.

Pasal 55

(1) Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib terlebih dahulu

memperoleh izin dari Pemerintah.

(2) Penelitian yang dilakukan oleh orang asing dan/atau badan hukum

asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikutsertakan

peneliti Indonesia.

(3) Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia harus menyerahkan

hasil penelitiannya kepada Pemerintah.

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penelitian dan

pengembangan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal

53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN

PERIKANAN

Pasal 57

(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluh-

155

Page 166: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

an perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya

manusia di bidang perikanan.

(2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang kurangnya 1 (satu) satuan

pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk dikembangkan

menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf

internasional.

Pasal 58

Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat

nasional maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan

pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan, pelatihan,

dan penyuluhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan

Pasal 58 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X

PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN

PEMBUDI DAYA IKAN KECIL

Pasal 60

(1) Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya ikan

kecil melalui:

a. penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudi daya

ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional

dengan cara yang mudah, bunga pinjaman yang rendah, dan

sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudi daya

ikan kecil;

b. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi

nelayan kecil serta pembudi daya ikan kecil untuk mening-

katkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan,

pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran ikan; dan

156

Page 167: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

c. penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok

pembudi daya ikan kecil, dan koperasi perikanan.

(2) Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh

masyarakat.

Pasal 61

(1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia.

(2) Pembudi daya ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan

pilihan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-

nesia.

(3) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menaati ketentuan konservasi

dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri.

(4) Nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil harus ikut serta menjaga

kelestarian lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil

perikanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(5) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil harus mendaftarkan

diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat,

tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik

serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.

Pasal 62

Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan

nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil, baik dari sumber dalam

negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang undangan yang berlaku.

Pasal 63

Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling

menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi daya-

ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan.

157

Page 168: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan nelayan kecil dan

pembudi daya ikan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal

61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian urusan perikanan dari Pemerintah kepada

Pemerintah Daerah dan penarikannya kembali ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah.

(2) Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk

melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.

BAB XII

PENGAWASAN PERIKANAN

Pasal 66

(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.

(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas

untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan

di bidang perikanan.

(3) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik

pegawai negeri sipil perikanan.

Pasal 67

Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan

perikanan.

Pasal 68

Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan.

158

Page 169: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 69

(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat

(1), dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senjata

api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan

kapal pengawas perikanan.

(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di

bidang perikanan.

(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa,

membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga

melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.

(4) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dapat dilengkapi dengan senjata api.

Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan perikanan, keikut sertaan

masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan, kapal pengawas

perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri lainnya, yang

digunakan oleh pengawas perikanan dan/atau yang dipasang di atas

kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66

ayat (1) dan ayat (2), Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat (1), ayat (2),

dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII

PENGADILAN PERIKANAN

Pasal 71

(1) Dengan Undang Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di

bidang perikanan.

(2) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada

di lingkungan peradilan umum.

159

Page 170: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan,

Pontianak, Bitung, dan Tual.

(4) Daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaskud pada

ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang

bersangkutan.

(5) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pal-

ing lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang

ini mulai berlaku, sudah melaksanakan tugas dan fungsinya.

(6) Pembentukan pengadilan perikanan’sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang

ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

BAB XIV

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN

DI SIDANG PENGADILAN PERIKANAN

Bagian Kesatu

Penyidikan

Pasal 72

Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan

berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam

Undang-Undang ini.

Pasal 73

(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh

Penyidik Pegawai Negeri Sipil perikanan, Perwira TNI AL, dan

Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan

koordinasi.

(3) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di

bidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum koordinasi.

160

Page 171: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana di bidang perikanan;

b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;

c. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/

atau saksi untuk didengar keterangannya;

d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga

dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak

pidana di bidang perikanan;

e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau

menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak

pidana di bidang perikanan;

f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha

perikanan;

g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di

bidang perikanan;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan tindak pidana di bidang perikanan;

i. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan

dan/atau hasil tindak pidana;

k. melakukan penghentian penyidikan; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberitahukan

dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada

penuntut umum.

(6) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka

paling lama 20 (dua puluh) hari.

(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila

diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,

dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh)

hari.

161

Page 172: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak

menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum

berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan

sudah terpenuhi.

(9) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah

mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Bagian Kedua

Penuntutan

Pasal 74

Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan

berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam

Undang-Undang ini.

Pasal 75

(1) Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan

oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau

pejabat yang ditunjuk.

(2) Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang kurangnya

5 (lima) tahun;

b. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang

perikanan; dan

c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama

menjalankan tugasnya.

(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

pelaksanannya harus sudah diterapkan paling lambat 3 (tiga) tahun

terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.

162

Page 173: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 76

(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik

wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam

waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas

penyidikan.

(2) Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap,

penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara kepada

penyidik yang disertai petunjuk tentang hal hal yang harus

dilengkapi.

(3) Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal

penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas

perkara tersebut kepada penuntut umum.

(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima)

hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau

apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada

pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

(5) Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut

lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung

sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap,

penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada

pengadilan perikanan.

(6) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang

melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh)

hari.

(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila

diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,

dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang

paling lama 10 (sepuluh) hari.

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak

menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum

jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan

sudah terpenuhi.

163

Page 174: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Bagian Ketiga

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 77

Pemeriksaan di Sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di

bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku,

kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini.

Pasal 78

(1) Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim

ad hoc.

(2) Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1

(satu) hakim karier.

(3) Hakim karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

(4) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 79

Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran

terdakwa.

Pasal 80

(1) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum,

hakim harus sudah menjatuhkan putusan.

(2) Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa.

Pasal 81

(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan

berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.

164

Page 175: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum

selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang

bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum

jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan

sudah terpenuhi.

Pasal 82

(1) Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan

tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas

perkara diterima oleh pengadilan tinggi.

(2) Untuk kepentigan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi

berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.

(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum

selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang

bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak

menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum

jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan

sudah terpenuhi.

Pasal 83

(1) Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke

Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam

jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

(2) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung

berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.

(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

165

Page 176: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

apabila perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,

dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10

(sepuluh) hari.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak

menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum

jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan

sudah terpenuhi.

BAB XV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 84

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan

biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan

yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber

daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu

miliar dua ratus juta rupiah).

(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,

dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat

dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua

ratus juta rupiah).

(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung

jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan

yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik

166

Page 177: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan

bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan

kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan

pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan

pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha

pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan

peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan

dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 85

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau

menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan

jika yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan

ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan

persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/

atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 86

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),

167

Page 178: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat

membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber

daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika

yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan

sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak

Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia menggunakan obat obatan dalam

pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan

dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling

banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 87

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan

sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat

(4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar ru-

piah).

(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma

nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana

168

Page 179: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 88

Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan,

mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan

masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan

sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

juta rupiah).

Pasal 89

Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang

tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan

ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah).

Pasal 90

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau

pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah

Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk

konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling

banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 91

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan

tambahan makanan, bahan penolong dan/atau alat yang, membahayakan

kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan

dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),

169

Page 180: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda

paling banyak Rp1.500.000.000,OO (satu miliar lima ratus juta ru-

piah).

Pasal 92

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,

pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang

tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1),

dipidana dengan pidana penjara paling, lama 8 (delapan) tahun dan

denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta

rupiah).

Pasal 93

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan

ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/

atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,OO

(dua miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang memiIiki dan/atau mengoperasikan kapal

penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan

di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak

memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan

denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar

rupiah).

Pasal 94

Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut

ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang

melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak

memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

170

Page 181: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 95

Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal

perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00

(enam ratus juta rupiah).

Pasal 96

Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan

kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah).

Pasal 97

(1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera

asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selamaberada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak

menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera

asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu)

jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI

yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera

asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak

menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada

di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling

banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

171

Page 182: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 98

Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan

yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal

42 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)

tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah).

Pasal 99

Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin

dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 100

Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda pal-

ing banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 101

Dalam hat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat

(1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal

91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan

oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap

pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana

yang dijatuhkan.

Pasal 102

Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang Undang ini tidak

berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah

Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.

Pasal 103

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85,

172

Page 183: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94

adalah kejahatan.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89,

Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan

Pasal 100 adalah pelanggaran.

Pasal 104

(1) Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang

ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada

keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah

uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh

pengadilan perikanan.

(2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang

dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk

negara.

Pasal 105

(1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.

(2) Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya

dengan baik dan pihak pihak yang berjasa dalam upaya

penyelamatan kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan

Peraturan Menteri.

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 106

Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan

perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara

173

Page 184: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum

pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)

tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang

berwenang.

Pasal 107

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi

perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan

diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara

yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 108

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah

hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

71 ayat (3) yang masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan

tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya

Undang Undang ini;

b. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah

hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

71 ayat (3) yang sudah diperiksa tetapi belum diputus oleh

pengadilan negeri tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan

negeri yang bersangkutan sesuai dengan hukum acara yang berlaku

sebelum berlakunya Undang Undang ini; dan

c. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah

hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

71 ayat (3) yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi

belum mulai diperiksa dilimpahkan kepada pengadilan perikanan

yang berwenang.

Pasal 109

Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan

Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan

Undang Undang ini.

174

Page 185: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 110

Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku:

a. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299);

dan

b. ketentuan tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983

Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang

perikanan,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 111

Undang Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 6 Oktober 200

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

175

Page 186: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Oktober 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004

NOMOR 118

176

Page 187: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

PENJELASAN

ATAS

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 31 TAHUN 2004

TENTANG

PERIKANAN

UMUM

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki

kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta

kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan

sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun

pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan

guna pemanfaatan yang sebesar besarnya bagi kepentingan bangsa

dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber

daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan

perikanan nasional.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi

Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan

Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United

Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara

Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan

pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona

ekonomi eksklusif Indonesia dan taut lepas yang dilaksanakan

berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam

pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan

perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan

taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan

kecil, dan pihak pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap

memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya

ikan.

177

Page 188: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak

dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini

dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi

perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan

sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun

perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif,

efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan

secara berhati hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,

pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang

berkelanjutan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara

optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas

perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di

bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat

penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan

secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga

pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena

itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak

diperlukan. Dalam Undang Undang ini lebih memberikan kejelasan

dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana

di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara

khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim

dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang

Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus

(lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang

perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.

Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik

yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin

178

Page 189: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di

tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu

secara tegas, sehingga dalam Undang Undang ini rumusan mengenai

hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap

tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang Undang ini

diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan

peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.

Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka

pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan

tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal

Undang Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut

bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak

pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang

terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua)

orang hakim ad hoc.

Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang,

maka Undang-Undang ini mengatur hal hal yang berkaitan dengan:

a. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat,

keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,

dan kelestarian yang berkelanjutan;

b. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan

dan keterpaduan pengendaliannya;

c. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian

kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;

d. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang

berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan

pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;

e. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan

pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;

f. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana

perikanan serta sistim informasi dan data statistik perikanan;

179

Page 190: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

g. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan,

kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;

h. pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi

bagi pembangunan kelautan dan perikanan;

i. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan

memberdayakan nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil;

j. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona

ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam

bentuk peraturan perundang undangan dengan tetap memperhatikan

persyaratan atau standar internasional yang berlaku;

k. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada

di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun

laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan

dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional

sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;

l. pengawasan perikanan;

m. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana

di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan,

perwira TNI AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;

n. pembentukan pengadilan perikanan; dan

o. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan

nasional.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang undang ini

merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang

perikanan sebagai pengganti Undang undang Nomor 9 Tahun 1985

tentang Perikanan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

180

Page 191: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan

perikanan di laut lepas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Hukum adat dan/atau kearifan lokal yang dijadikan

pertimbangan dalam pengelolaan perikanan adalah yang tidak

bertentangan dengan hukum nasional.

Pasal 7

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi sumber daya

ikan” adalah termasuk juga ikan yang beruaya.

181

Page 192: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Huruf c

Yang dimaksud dengan “jumlah tangkapan yang

diperbolehkan” adalah banyaknya sumber daya ikan yang

boleh ditangkap di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan

kelestariannya sehingga diperlukan adanya data dan

informasi yang akurat tentang ketersediaan sumber daya

ikan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah

maupun secara faktual setiap daerah penangkapan. Di

samping itu, pelaksanaan penerapan prinsip jumlah

tangkapan yang diperbolehkan wajib memperhatikan

kewajiban internasional di bidang perikanan.

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi induk dan

benih ikan tertentu” adalah induk dan benih ikan tertentu

yang ditangkap dari alam.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “ukuran alat penangkapan” adalah

termasuk juga ukuran mata jaring.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “alat bantu penangkapan” adalah

sarana, perlengkapan, atau benda lain yang dipergunakan

untuk membantu dalam rangka efisiensi dan efektivitas

penangkapan ikan, seperti lampu, rumpon, dan terumbu

karang buatan.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “waktu atau musim penangkapan”

adalah penetapan pembukaan dan penutupan area atau

musim penangkapan untuk memberi kesempatan bagi

pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya.

182

Page 193: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Yang dimaksud dengan “sistem pemantauan kapal

perikanan” adalah salah satu bentuk sistem pengawasan

di bidang penangkapan ikan, yang menggunakan peralatan

pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan.

Contoh: sistem pemantauan kapal perikanan (vessel

monitoring system/VM.S)

Huruf k

Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan

dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang

kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian

sumber daya ikan setempat sehingga perlu dipertimbang-

kan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi

dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau

tidak merusak keaslian sumber daya ikan.

Huruf l

Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan berbasis budi

daya” adalah penangkapan sumber daya ikan yang

berkembang biak dari hasil penebaran kembali.

Huruf m

Sesuai dengan perkembangan teknologi, pembudidayaan

ikan tidak lagi terbatas di kolam atau tambak, tetapi

dilakukan pula di sungai, danau, dan laut. Karena perairan

ini menyangkut kepentingan umum, perlu adanya penetap-

an lokasi dan luas daerah serta cara yang dipergunakan

agar tidak mengganggu kepentingan umum. Di samping

itu, perlu ditetapkan ketentuan yang bertujuan melindungi

pembudidayaan tersebut, misalnya, pencemaran lingkungan

sumber daya ikan.

183

Page 194: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Huruf n

Cukup jelas

Huruf o

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam

melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya

ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman

atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang

buatan, pembuatan tempat berlindung/berkembang biak

ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan

pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan

saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan.

Huruf p

Cukup jelas

Huruf q

Yang dimaksud dengan “suaka perikanan” adalah kawasan

perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan

kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/

berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang

berfungsi sebagai daerah perlindungan.

Huruf r

Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan

bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam

wilayah tertentu terjangkit wabah, dan Menteri menetapkan

langkah langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah

penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Huruf s

Cukup jelas

Huruf t

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

184

Page 195: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “komisi nasional” adalah kelompok

yang melakukan pengkajian potensi sumber daya ikan yang

terdiri atas pakar, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah

terkait yang mempunyai keahlian di bidang sumber daya ikan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah:

a. pisces (ikan bersirip);

b. crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);

c. mollusca (kerang, tiram, cumi cumi, gurita, siput, dan

sebangsanya);

d. coelenterata (ubur ubur dan sebangsanya);

e. echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);

f. amphibia (kodok dan sebangsanya);

g. reptilia (buaya, penyu, kura kura, biawak, ular air, dan

sebangsanya);

h. mammalia (paus, lumba lumba, pesut, duyung, dan

sebangsanya);

i. algae (rumput laut dan tumbuh tumbuhan lain yang

hidupnya di dalam air); dan

j. biota perairan lainnya yang acta kaitannya dengan jenis

jenis tersebut di atas,

semuanya termasuk bagian bagiannya dan ikan yang

dilindungi.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

185

Page 196: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 8

Ayat (1)

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat

dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/

atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan

lingkungannya tidak saja mematikan ikan secara langsung,

tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan

merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi

kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat dimaksud,

pengembalian ke dalam keadaan semula akan membutuhkan

waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 9

Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu

penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya

penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat

merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal

itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan

ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan

terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang

186

Page 197: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan

menjadi target penangkapan.

Larangan tersebut dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dicantumkan

dalam pemberian perizinan penangkapan dan merupakan satu

kesatuan dengan kapal yang akan digunakan untuk melakukan

penangkapan.

Pasal 10

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan “laut lepas yang bersifat tertutup

atau semi tertutup” adalah suatu teluk, lembah laut (ba-

sin), atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih,

yang dihubungkan dengan wilayah laut lainnya atau

samudera, oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri

seluruhnya, atau terutama dari laut teritorial dan zona

ekonomi eksklusif dua negara pantai atau lebih.

Yang dimaksud dengan “wilayah kantong (pocket area)”

adalah laut lepas yang dikelilingi oleh zona ekonomi

eksklusif dari beberapa negara, misalnya di utara Papua

terdapat laut lepas yang dibatasi oleh ZEE Indonesia,

ZEE Papua New Guinea, ZEE Palau, dan ZEE Federa-

tion State of Micronesia.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Keanggotaan Pemerintah dalam kerja sama regional dan

internasional dilakukan secara selektif.

Dalam hal tertentu Pemerintah diharapkan proaktif menyepon-

sori pembentukan lembaga regional dan internasional bagi

kemajuan pembangunan perikanan Indonesia.

187

Page 198: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keadaan kritis” adalah suatu penurunan

serius akibat penangkapan yang berlebihan atas ketersediaan jenis

ikan tertentu, keadaan berjangkitnya wabah penyakit ikan, atau

suatu perubahan besar dari perubahan lingkungan akibat pencemaran

yang, berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya ikan yang

harus ditangani dan memerlukan tindakan segera.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pencemaran sumber daya ikan” adalah

tercampurnya sumber daya ikan dengan makhluk hidup, zat,

energi, dan/atau komponen lain akibat perbuatan manusiasehingga sumber daya ikan menjadi kurang, tidak berfungsi

sebagaimana seharusnya, dan/atau berbahaya bagi yang

memanfaatkannya.

Yang dimaksud dengan “kerusakan sumber daya ikan” adalah

terjadinya penurunan potensi sumber daya ikan yang dapat

membahayakan kelestariannya di lokasi perairan tertentu yang

diakibatkan oleh perbuatan seseorang dan/atau badan hukum

yang telah menimbulkan gangguan sedemikan rupa terhadap

keseimbangan biologis atau daur hidup sumber daya ikan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

188

Page 199: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Kawasan konservasi yang terkait dengan perikananan tara

lain, adalah terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa,

danau, sungai, dan embung yang dianggap penting untuk

dilakukan konservasi. Dalam hal ini Pemerintah dapat melaku-

kan penetapan kawasan konservasi, antara lain, sebagai suaka

alam perairan, taman nasional perairan, taman wisata perairan,

dan/atau suaka perikanan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “plasma nutfah” adalah substansi yang

terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan

sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan

dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul

baru.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah

yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, di samping

juga untuk melindungi ekosistem yang ada.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “ikan jenis baru” adalah ikan yang

bukan asli dan/atau tidak berasal dari alam darat dan laut

Indonesia yang dikenali dan/atau diketahui dimasukkan ke

dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

189

Page 200: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

maupun ikan yang berasal dari hasil pemuliaan baik dalam

negeri maupun luar negeri.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 15

Yang dimaksud dengan “calon induk ikan” adalah ikan hasil seleksi

yang dipersiapkan untuk dijadikan induk.

Yang dimaksud dengan “induk ikan” adalah ikan pada umur dan

ukuran tertentu yang telah dewasa dan digunakan untuk

menghasilkan benih, sedangkan benih ikan adalah ikan dalam

umur, bentuk, dan ukuran tertentu yang belum dewasa.

Untuk tujuan peningkatan produksi melalui perbaikan mutu ikan

dari hasil pembudidayaan, diperlukan jenis dan/atau varietas ikan

baru yang belum terdapat di dalam negeri. Namun, pemasukan

ikan jenis baru dari luar negeri dapat menjadi media pembawa

bagi masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan berbahaya

ke dalam negeri dan/atau dapat menjadi predator atau kompetitor

yang menyebabkan langkanya jenis ikan lokal. Oleh karena itu,

pemasukannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku. Pengaturan pengeluaran jenis calon induk, induk, dan

benih ikan dari wilayah pengelolaan perikanan Republik Indone-

sia dilakukan untuk menjamin pembudidayaan ikan jenis baru

tersebut secara berkelanjutan.

Pasal 16

Ayat (1)

Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi sumber daya

ikan yang dimiliki agar tidak hilang atau punah, terutama

ikan asli Indonesia (indigenous species), juga dimaksudkan

untuk melindungi ekosistem asli alam Indonesia.

190

Page 201: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 17

Yang dimaksud dengan “sarana pembudidayaan ikan” adalah, antara

lain, pakan ikan, obat ikan, pupuk, dan keramba.

Yang dimaksud dengan “prasarana pembudidayaan ikan” adalah,

antara lain, kolam, tambak, dan saluran tambak.

Dalam mengatur dan mengembangkan sarana dan prasarana

pembudidayaan ikan, Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 18

Ayat (1)

Setiap jenis ikan yang dibudidayakan memerlukan persyaratan

teknis dan tingkat teknologi yang berbeda. Oleh karena itu,

diperlukan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan

ikan sehingga distribusi dan pemanfaatan air dapat dilakukan

secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudi-

dayaan ikan serta dapat dihindari penggunaan lahan yang

dapat merugikan pembudidayaan ikan, termasuk ketersediaan

sabuk hijau (greenbelt).

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengelolaan kesehatan ikan dan

lingkungannya” adalah upaya yang dilakukan dalam rangka

menjaga dan memperbaiki keseimbangan antar faktor

lingkungan, ketahanan ikan, serta hama penyakit ikan dengan

melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengaturan pemakaian

obat ikan.

Ayat (2)

Cukup jelas

191

Page 202: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (3)

Pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya harus dilakukan

secara bersama sama, baik oleh pemerintah maupun pihak

terkait dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama

dalam mengenali hama dan penyakit ikan, identifikasi,

pencegahan, penanggulangan dan pengendalian kesehatan ikan,

serta permasalahan lingkungan pembudidayaan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengolahan ikan” adalah rangkaian

kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai

menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia.

Yang dimaksud dengan “produk perikanan” adalah setiap

bentuk produk pangan yang berupa ikan utuh atau produkyang mengandung bagian ikan, termasuk produk yang sudah

diolah dengan cara apapun yang berbahan baku utama ikan.

Yang dimaksud dengan “kelayakan pengolahan” adalah suatu

kondisi yang memenuhi prinsip dasar pengolahan, yang

meliputi konstruksi, tata letak, sanitasi, higiene, seleksi bahan

baku, dan teknik pengolahan.

Yang dimaksud dengan “sistem jaminan mutu dan keamanan”

adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan

dilakukan sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian

untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman

bagi kesehatan manusia.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pengawasan dan pengendalian

mutu” adalah semua kegiatan menilai, memeriksa,

memantau, mengambil contoh, menguji, melakukan

192

Page 203: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

koreksi, memvalidasi, mengaudit, memverifikasi, dan

mengkalibrasi, dalam rangka memberikan jaminan mutu

dan keamanan hasil perikanan.

Huruf b

Standar mutu meliputi, antara lain, ukuran, jumlah, rupa,

spesifikasi produk perikanan, dan hasil pengolahan ikan.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “penanganan” adalah suatu rangkaian

kegiatan dan/atau perlakuan terhadap ikan tanpa mengubah

struktur dan bentuk dasar.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Untuk menjamin hak konsumen ikan dan produk perikanan,

produk harus aman, sehat, dan tidak kadaluarsa.

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 21

Yang dimaksud dengan “sertifikat kesehatan untuk konsumsi

manusia” adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh laboratorium

yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan bahwa ikan dan

‘hasil perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan

keamanan untuk konsumsi manusia.

193

Page 204: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

SIKPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIKPI

asli dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan

SIKPI asli.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIPI asli

dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan

SIPI asli.

194

Page 205: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan

ikan yang bukan untuk tujuan komersial” adalah kegiatan yang

dilakukan oleh perorangan atau lembaga Pemerintah atau lembaga

swasta dalam rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau

kegiatan ilmiah lainnya, kesenangan, dan/atau wisata.

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan,

penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru

dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya

dukung sumber daya ikan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)

Pendaftaran kapal perikanan dimuat di dalam buku kapal

perikanan yang dipergunakan untuk memenuhi persyaratan

penerbitan SIPI/SIKPI. Buku kapal perikanan dimaksud bukan

sebagai gros akte pendaftaran kapal yang merupakan

persyaratan untuk menerbitkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal

Indonesia, bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera In-

donesia sebagai bendera kebangsaan.

195

Page 206: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Kapal perikanan yang akan diproses penerbitan surat tanda

kebangsaan terlebih dahulu didaftarkan di dalam buku kapal

perikanan.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan “tanda pengenal kapal perikanan” adalah

tanda atau notasi, antara lain, identitas tentang jenis kapal, ukuran

kapal, daerah penangkapan, dan nomor registrasi tempat kapal

tercatat sebagai kapal perikanan.

Pasal 38

Ayat (1)

Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka

diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing

yang melintasi perairan Indonesia, alur laut kepulauan Indo-

nesia (ALKI), dan ZEEI.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 39

Yang dimaksud dengan “kapal perikanan dengan ukuran dan jenis

tertentu” adalah kapal yang dipergunakan oleh nelayan kecil.

Pasal 40

Cukup jelas

196

Page 207: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 41

Ayat (1)

Dalam rangka pengembangan perikanan, Pemerintah

membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi,

antara lain, sebagai tempat tambat-labuh kapal perikanan,

tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan,

tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat

pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan

serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk

memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional

pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja

dan pengoperasian dalam koordinat geografis.

Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan

perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan

kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya

dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang

bersangkutan.

Huruf e

Pihak swasta dapat membangun pelabuhan perikanan atas

persetujuan Menteri.

197

Page 208: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “bongkar muat ikan” adalah termasuk

juga pendaratan ikan.

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Syahbandar yang akan diangkat oleh Menteri harus terlebih

dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan kesyahbandaran

yang dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di

bidang kesyahbandaraan.

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan

termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya

dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan

perikanan.

Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan

perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan

198

Page 209: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib

memperoleh SLO dari pengawas perikanan.

Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal perikanan

yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan

dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan

ini, maka surat izin berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh

syahbandar setempat.

Pasal 46

Ayat (1)

Dalam rangka penyusunan rencana pengembangan sistem

informasi dan data statistik perikanan serta penilaian

kemajuannya, diperlukan data teknik, produksi, pengolahan,

pemasaran ikan, serta sosial ekonomi yang dapat memberikan

gambaran yang benar tentang tingkat pemanfaatan sumber

daya ikan yang tersedia.

Data dan informasi tersebut, antara lain:

a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;

b. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;

c. daerah dan musim penangkapan;

d. jumlah tangkapan atau jumlah hasil pembudidayaan ikan;

e. luas lahan dan daerah pembudidayaan ikan;

f. jumlah nelayan dan pembudi daya ikan;

g. ukuran ikan tangkapan dan musim pemijahan ikan;

h. data ekspor dan impor komoditas perikanan; dan

i. informasi tentang persyaratan tertentu yang berkaitan

dengan standar ekspor.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

199

Page 210: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 48

Ayat (1)

Kepada setiap orang yang berusaha di bidang penangkapan

atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut atau di perairan

lainnya di dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia dikenakan pungutan perikanan karena mereka ini

telah memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan

dan/atau lingkungannya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Ketentuan mengenai penelitian dan pengembangan dimaksudkan

untuk dapat mengungkapkan segala permasalahan yang mendasar

mengenai sumber daya ikan dan lingkungannya serta teknologi

yang berkaitan dengan perikanan tangkap, budi daya, dan

pengolahan maupun masalah sosial ekonomi perikanan.

Pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya harus ditujukan

untuk memperoleh informasi ilmiah tentang sumber daya ikan

dan lingkungannya serta sosial ekonomi perikanan, perbaikan

teknologi ataupun teknologi baru di bidang perikanan tangkap,

budi daya, dan pengolahan perikanan yang dapat dijadikan dasar

di dalam menyusun kebijakan pengolahan sumber daya ikan dan

pengembangan perikanan.

200

Page 211: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 53

Ayat (1)

Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga

penelitian dan pengembangan milik Pemerintah termasuk juga

penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga

pemerintah nondepartemen, badan usaha milik negara (BUMN),

dan/atau badan usaha milik daerah (BUMD).

Ayat (2)

Dalam kaitan pelaksanaan penelitian dan pengembangan di

bidang perikanan sering dilakukan kerja sama antar negara.

Hal yang demikian dilakukan, antara lain, berhubungan dengan:

a. karakteristik sumber daya ikan yang tidak mengenal batas

administrasi negara;

b. tuntutan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi di bidang perikanan;

c. pelaksanaan ketentuan dari perjanjian internasional; dan

d. perkembangan tuntutan konsumen terhadap jaminan

keamanan dan mutu hasil perikanan.

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional

201

Page 212: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

diselenggarakan oleh instansi Pemerintah yang bertanggung

jawab di bidang perikanan pada semua jenjang, yakni pada

unit pelatihan, sekolah menengah kejuruan, dan perguruan

tinggi, antara lain, sesuai dengan bidang teknologi penangkapan,

budi daya, pengolahan, permesinan, dan penyuluhan.

Pasal 58

Yang dimaksud dengan “lembaga terkait” adalah mencakup lembaga

Pemerintah dan lembaga non Pemerintah.

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Ayat (1)

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di wilayah masing

masing ikut serta memberdayakan nelayan kecil dan pembudi

daya ikan kecil.

Penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok

pembudi daya-ikan kecil sebagai sarana untuk memudahkan

pemberdayaan melalui kegiatan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan huruf b.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah mencakup

lembaga swadaya masyarakat.

Pasal 61

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “komoditas ikan pilihan” adalah jenis

ikan yang tidak dilarang oleh Pemerintah untuk dibudidayakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang

berlaku.

202

Page 213: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “keamanan pangan hasil perikanan”

adalah kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah

pangan dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang

dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan

manusia, termasuk menggunakan metode penangkapan dan/

atau pembudidayaan yang dapat merusak ekosistem dan

kelestarian lingkungan perikanan.

Ayat (5)

Pendaftaran diri, usaha, dan kegiatan bagi nelayan kecil dan

pembudi daya-ikan kecil selain dilakukan oleh yang

bersangkutan, instansi yang bertanggung jawab di bidang

perikanan juga secara proaktif melakukan pendaftaran dalam

rangka pengumpulan data dan informasi untuk pembinaan

usaha perikanan dan pengelolaan sumberdaya ikan.

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1)

Pengawas perikanan, antara lain:

a. pengawas penangkapan;

203

Page 214: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

b. pengawas perbenihan;

c. pengawas budi daya;

d. pengawas hama dan penyakit ikan; dan

e. pengawas mutu.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “nonpenyidik pegawai negeri sipil

perikanan” adalah pegawai negeri sipil lainnya di bidang

perikanan yang bukan sebagai penyidik, tetapi diberi

kewenangan untuk melakukan pengawasan.

Pasal 67

Keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan

misalnya dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila

terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan.

Pasal 68

Dalam rangka pengawasan dan pembinaan, Pemerintah membangun,

menyediakan, dan/atau mengusahakan sarana dan prasarana

pengawasan, yang antara lain:

a. kapal pengawas perikanan;

b. sistem pemantauan kapal perikanan; dan

c. pangkalan/dermaga kapal pengawas perikanan.

Pasal 69

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kapal pengawas perikanan” adalah

kapal pemerintah yang diberi tanda tanda tertentu untuk

melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang

perikanan.

204

Page 215: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (3)

Penahanan kapal dilakukan dalam rangka tindakan membawa

kapal ke pelabuhan terdekat dan/atau menunggu proses

selanjutnya yang bersifat sementara.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Koordinasi diperlukan selain untuk kelancaran pelaksanaan

tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk memperlancar

komunikasi dan tukar menukar data, informasi, serta hal lain

yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi

penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana perikanan.

Ayat (3)

Sesuai dengan kebutuhan, forum koordinasi untuk penanganan

tindak pidana di bidang perikanan dapat dibentuk di daerah.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

205

Page 216: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Ayat (9)

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “hakim ad hoc” adalah seseorang

yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan

tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan,

dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

206

Page 217: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Cukup jelas

Pasal 81

Cukup jelas

Pasal 82

Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

Pasal 84

Cukup jelas

Pasal 85

Cukup jelas

Pasal 86

Cukup jelas

Pasal 87

Cukup jelas

Pasal 88

Cukup jelas

Pasal 89

Cukup jelas

Pasal 90

Cukup jelas

207

Page 218: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 91

Cukup jelas

Pasal 92

Cukup jelas

Pasal 93

Cukup jelas

Pasal 94

Cukup jelas

Pasal 95

Cukup jelas

Pasal 96

Cukup jelas

Pasal 97

Cukup jelas

Pasal 98

Cukup jelas

Pasal 99

Cukup jelas

Pasal 100

Cukup jelas

Pasal 101

Cukup jelas

Pasal 102

Cukup jelas

208

Page 219: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 103

Cukup jelas

Pasal 104

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “sejumlah uang jaminan yang layak”

adalah penetapan besar uang jaminan yang ditentukan

berdasarkan harga kapal, alat perlengkapan kapal dan hasil

dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah denda maksimum.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “benda dan/atau alat”, antara lain,

alat penangkapan ikan, ikan tangkapan, kapal yang digunakan

untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan, dan lain-

lain.

Pasal 105

Cukup jelas

Pasal 106

Yang dimaksud dengan “pengadilan negeri yang berwenang” adalah

pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 107

Cukup jelas

Pasal 108

Cukup jelas

Pasal 109

Cukup jelas

Pasal 110

Cukup jelas

209

Page 220: Analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan

Pasal 111

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4433

210