25
1 al-‘A<ni>, ‘Abdul Kari>m ‘Umar al-Shaqa>qi>, Al-D}awa>bit} al-Us}u>li>yah li al-Ijtiha>d fi> al-Siya>sah al-Shar’i>yah (Kaidah-kaidah Us}u>l al- Fiqh dalam Ijtihad Politik Islam) (Baghdad: Universitas Baghdad, 2013) I. RESUME DISERTASI Pendahuluan Realitas politik Islam yang telah berjalan sejak diutusnya Nabi Muhamad dan pemerintahan khalifah rashi> dah memunculkan sebuah konsepsi bahwa syariat menjamin realisasi tujuan-tujuan politik Islam yang berkeadilan, disertai dengan adanya ruang-ruang identifikasi bagi kemaslahatan-kemaslahatan baru yang dapat ditemukan di era masing- masing. Dari sini, mulai muncul pemikiran para ulama untuk melahirkan mazhab-mazhab fikih dalam corak keberagamaan. Para imam mujtahid mulai menetapkan prasyarat ketat untuk melakukan ijtihad. Dari sini, muncul kekeliruan sebuah anggapan bahwasanya sejak munculnya sektarianisme mazhab, kaidah-kaidah keilmuan Islam mengalami kejumudan dan terlampau kaku sehingga fikih dianggap sulit mengakomodasi realitas zaman yang semakin berkembang. Selain itu, ijtihad juga dianggap mengalami stagnasi pasca wafatnya para imam mazhab. Sehingga, para penguasa saat itu menetapkan aturan untuk menghilangkan anggapan demikian guna menghadapi tuntutan realitas yang kian berkembang dengan cara mengintervensi pergerakan legislasi hukum syariat guna mengatur masyarakat dari segi politik, ekonomi dan lain sebagainya. Sebagian di antaranya berpijak pada tujuan-tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>’ah) dan meletakkannya pada kebijakan riil meskipun mengalami benturan dengan pendapat para ahli fikih yang mazhab dan ijtihadnya diikuti banyak orang. Namun tak jarang pula yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan pertimbangan hawa nafsu semata. Sejarah Islam juga ternodai lantaran muncul sekelompok ahli fikih yang dekat dengan para penguasa yang fatwa-fatwa ijtihadnya tidak lagi menyentuh substansi syariat serta tidak memahami posisi perpolitikan dalam kontestasi syariat, dan hal demikian terjadi hingga saat ini. Oleh karenanya, mulai muncul beberapa ulama brilian yang menuangkan dasar-dasar berijtihad politik dalam satu kitab guna meruntuhkan stigma terhentinya ijtihad. Lahirnya karya-karya di

Tugas iv kritik review disertasi sofi mubarok

Embed Size (px)

Citation preview

1

al-‘A<ni>, ‘Abdul Kari>m ‘Umar al-Shaqa>qi>, Al-D}awa>bit} al-Us}u>li>yah li

al-Ijtiha>d fi> al-Siya>sah al-Shar’i>yah (Kaidah-kaidah Us}u>l al-

Fiqh dalam Ijtihad Politik Islam) (Baghdad: Universitas

Baghdad, 2013)

I. RESUME DISERTASI

Pendahuluan

Realitas politik Islam yang telah berjalan sejak diutusnya Nabi

Muhamad dan pemerintahan khalifah rashi>dah memunculkan sebuah

konsepsi bahwa syariat menjamin realisasi tujuan-tujuan politik Islam

yang berkeadilan, disertai dengan adanya ruang-ruang identifikasi bagi

kemaslahatan-kemaslahatan baru yang dapat ditemukan di era masing-

masing. Dari sini, mulai muncul pemikiran para ulama untuk

melahirkan mazhab-mazhab fikih dalam corak keberagamaan. Para

imam mujtahid mulai menetapkan prasyarat ketat untuk melakukan

ijtihad.

Dari sini, muncul kekeliruan sebuah anggapan bahwasanya

sejak munculnya sektarianisme mazhab, kaidah-kaidah keilmuan Islam

mengalami kejumudan dan terlampau kaku sehingga fikih dianggap

sulit mengakomodasi realitas zaman yang semakin berkembang. Selain

itu, ijtihad juga dianggap mengalami stagnasi pasca wafatnya para

imam mazhab. Sehingga, para penguasa saat itu menetapkan aturan

untuk menghilangkan anggapan demikian guna menghadapi tuntutan

realitas yang kian berkembang dengan cara mengintervensi pergerakan

legislasi hukum syariat guna mengatur masyarakat dari segi politik,

ekonomi dan lain sebagainya. Sebagian di antaranya berpijak pada

tujuan-tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>’ah) dan meletakkannya pada

kebijakan riil meskipun mengalami benturan dengan pendapat para ahli

fikih yang mazhab dan ijtihadnya diikuti banyak orang. Namun tak

jarang pula yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan

pertimbangan hawa nafsu semata.

Sejarah Islam juga ternodai lantaran muncul sekelompok ahli

fikih yang dekat dengan para penguasa yang fatwa-fatwa ijtihadnya

tidak lagi menyentuh substansi syariat serta tidak memahami posisi

perpolitikan dalam kontestasi syariat, dan hal demikian terjadi hingga

saat ini.

Oleh karenanya, mulai muncul beberapa ulama brilian yang

menuangkan dasar-dasar berijtihad politik dalam satu kitab guna

meruntuhkan stigma terhentinya ijtihad. Lahirnya karya-karya di

2

bidang politik Islam semisal kitab al-Siyar yang ditulis oleh Imam

Muh}ammad bin al-H}asan al-Shayba>ni>, kitab al-Khara>j milik Imam Abu>

Yu>suf, Ibnu Qutaybah dengan kitabnya al-Ima>mah wa al-Siya>sah,

kitab al-Amwa>l karya Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim bin Sala>m, Ibnu

Taymi>yah yang menulis karya seputar politik Islam (siya>sah shar’i>yah)

serta muridnya yang sangat populer, Ibnu al-Qayyim yang menulis al-

T}uruq al-H{ukmi>yah hingga generasi kontemporer semisal ‘Abdul

Wahha>b Khala>f, Yu>suf al-Qarad}a>wi> dan ‘Abdul Kari>m Zayda>n,

mungkin menjadi bukti nyata bahwa pemikiran politik Islam menjadi

suatu kebutuhan.

Pemilihan tema dilakukan oleh peneliti, mengingat tak ada

satupun kitab yang membahas kaidah-kaidah pokok (al-qawa>’id al-

us}u>li>yah) dalam ijtihad politik Islam. Selain itu, pemilihan tema

dilakukan atas dasar keprihatinan serangan liberalisme dan sekularisme

yang melanda negara-negara Timur Tengah yang bersikeras

menjauhkan peran sentral agama dari politik dengan argumentasi

sekular. Pemikiran sekular demikian diakibatkan dengan makin

massifnya pemikiran Karl Marx melanda pemikiran masyarakat Timur

Tengah yang menuduh agama sebagai candu bagi pemeluknya.

Metodologi dan sistematika penelitian: penelitian ini

merupakan kajian pustaka (manhaj maktabi>). Sedangkan pendekatan

yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah pendekatan ilmu

us}u>l al-fiqh sebagai pendekatan dalam pemikiran politik Islam.

Sementara itu, metodologi penelitian yang digunakan dalam

disertasi ini adalah:

1. Ayat-ayat Alquran: disebutkan surat dan nomor ayatnya.

2. Hadis: dengan menyertakan sumber, nama perawi serta hukum

otentisitas hadis tersebut. Apabila hadis tersebut berasal dari

S}ah}i>h} Imam Bukhari, Muslim atau telah memenuhi syarat

otentisitas hadis seperti Ibnu H}ibba>n dan Ibn Khuzaymah,

maka peneliti berkesimpulan menghukumi hadis tersebut

dengan otentik (s}ah}i>h}). Sedangkan apabila hadis tersebut

diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi>, maka peneliti menyertakan

komentar (ta’li>q) Tirmidhi> atas hadis tersebut. Jika hadisnya

bersumber bukan dari kitab-kitab di atas, maka peneliti

menggunakan komentar Al-Alba>ni>, dengan menyertakan

sumber, nama perawi dan nomor hadisnya, dan diakhiri dengan

nomor juz dan halaman.

3. Tokoh-tokoh (a’la>m): peneliti menyertakan biografi

singkatnya. Jika berasal dari kalangan sahabat, maka sumber

3

rujukan yang digunakan ada tiga; al-Isti>’a>b, sifat al-safwah dan

al-is}a>bah, atau Mu’jam al-S}ah}a>bah sebagai ganti dari yang

terakhir. Jika tokoh berasal dari kalangan ahli fikih, maka

sumber yang digunakan adalah Tara>jum al-Fuqaha>’

berdasarkan mazhab masing-masing tokoh tersebut. Terakhir,

jika tokoh tersebut berasal dari kalangan pakar hadis

(muh}addith), maka rujukan yang digunakan adalah kitab-kitab

seputar Tara>jum al-Muh}addithi>n.

4. Kejadian atau peristiwa: peneliti merujuk pada buku-buku

sejarah atau penggalan peristiwa tertentu yang otoritatif.

5. A<tha>r: peneliti merujuk pada karya al-H}umawi>, Mu’jam al-

Bulda>n.

BAB I : Telaah Teoretis

A. Pengertian D{awa>bit} Us}u>li>yah

D{awa>bit} Us}u>li>yah merupakan bagian tak terpisahkan

dari epistemologi hukum Islam (us}u>l al-fiqh), karena keduanya

membentuk satu kesatuan kebahasaan, di mana d}a>bit} sendiri

secara bahasa memiliki empat makna, yaitu seuatu yang

melekat dan tak terpisahkan, pemeliharaan atas sesuatu,

sesuatu yang digunakan kedua tangan, serta mengambil

sesuatu dengan sekuat tenaga. Yang dimaksud d}a>bit} dalam

disertasi ini adalah makna pertama. Sedangkan d}a>bit} secara

terminologi merupakan kaidah umum yang dibentuk untuk

menjelaskan satu bab atau tema tertentu tertentu dan

dimaksudkan untuk menyusun beberapa format yang serupa ke

dalam satu cakupan.

B. Pengertian Ijtihad

Setelah menjelaskan berbagai pengertian ijtihad dari

para ulama, al-‘A<ni menyimpulkan bahwa ijtihad merupakan

upaya sekuat tenaga dalam menyimpulkan hukum-hukum

syariat yang terperinci dari seseorang yang sudah mencapai

kualifikasi ijtihad, dengn catatan bahwa mujtahid

mengerahkan segenap kemampuannya sampai pada titik di

mana ia merasakan tidak sanggup lagi jika ia harus

melanjutkan upayanya. Kemudian peneliti menambahkan,

ranah ijtihad meliputi dua hal; kasus yang tidak disebutkan di

dalam teks syariat (nas}s}), serta persoalan-persoalan yang

4

disebutkan di dalam teks syariat, namun penunjukkan lafalnya

bersifat dugaan (z}anniy al-dala>la>h).

C. Pengertian Siya>sah Shar’i>yah

Peneliti mengutip pendapat ‘Abdul Wahha >b Khala>f,

bahwa siyas>ah shar’i>yah merupakan mengatur berbagai

urusan-urusan publik bagi negara Islam yang berfungsi

menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan

sepanjang tidak melewati batasan-batasan serta prinsip-prinsip

syariat meskipun tidak selalu sejalan dengan pendapat para

imam mujtahid.

Definisi tersebut dipilih oleh peneliti dikarenakan

mencakup wilayah legislatif (sulta}h tashri>’i>yah) dan wilayah

eksekutif (sult}ah tanfi>dhi>yah) secara bersamaan, serta untuk

menekankan bahwa tujuan berpolitik ialah untuk menciptakan

kebaikan dan kemaslahatan publik secara keseluruhan tanpa

melakukan disparitas antara kepentingan mayoritas dan

minoritas.

BAB II : Implementasi Siya>sah Shar’i>yah dalam Bingkai

Kaidah-kaidah Us}u>l al-Fiqh

A. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan Abu> Bakr

Peneliti membuka pembahasan di dalam bab ini

dengan sebuah catatan penting terkait metode ijtihad yang

dijalankan di dalam pemerintahan khilafah rashidah yang

berkutat pada tiga poros, yaitu upaya menjelaskan dan

interpretasi teks-teks syariat, menganalogikan teks syariat

terhadap kasus-kasus baru yang memiliki keserupaan, serta

ijtihad menggunakan prinsip logika yang dibangun di atas

tujuan di balik legislasi hukum Islam (maqa>s}id al-shari>’ah).

Wilayah otoritas ijtihad serta terobosan hukum yang

terdapat pada masa pemerintahan khila>fah ra>shidah tidak

hanya terkait pada persoalan agama semata. Setidaknya,

terdapat tigi wilayah yang berhasil dikembangkan pada masa

pemerintahan khilafah rashidah, yaitu otoritas seorang

pemimpin negara dalam memproduksi hukum atau kebijakan

(ima>mah), putusan peradilan (qad}a>’) dan otoritas fatwa

keagamaan (futya>).

5

Dalam skema ijtihad seperti inilah Abu Bakar

menjalankan pemerintahannya dan membuat kebijakan, seperti

tehnis pemilihan khalifah yang berdasarkan pada musyawarah

mufakat, memilih pemimpin yang memiliki kesalehan spiritual

yang ditampilkan dengan sejarah pengangkatan Nabi

Muh}ammad terhadap Abu Bakar untuk menggantikannya

sebagai imam di dalam shalat, serta mengangkat pemimpin

dari klan yang paling dihormati saat itu (Quraish) untuk

menghilangkan perselisihan yang terjadi.

Selain itu, kebijakan-kebijakan politik pada

pemerintahan Abu Bakar adalah memerangi kelompok

murtaddi>n dan menghimpun Alquran ke dalam satu mus}h>af

yang dibangun di atas prinsip mas}lah}ah mursalah.

B. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan ‘Umar al-

Fa>ru>q

Kebiajakn-kebijakan politik yang dijalankan ‘Umar al-

Faruq dalam pemerintahannya tak jauh berbeda dari prinsip

politik yang dijalankan pemerintahan sebelumnya. Bahkan

‘Umar banyak melakukan berbagai terobosan-terobosan baru,

seperti menyatukan shalat Tara>wi>h ke dalam satu majelis

secara berjamaah yang berdasar pada kaidah mas}lah}ah,

menetapkan pajak (khara>j) bagi penduduk yang berada di

bawah pemerintahan Islam, serta tidak lagi melakukan

pembagian lahan atas tanah rampasan perang pasca

penaklukannya ke berbagai wilayah, seperti Irak dan

sebagainya. Kebijakan lain yang muncul pertama kalinya pada

pemerintahan Umar ialah menghapus mualaf dari kelompok

penerima zakat pasca menguatnya pemerintahan Islam.

Kesemuanya berpijak pada prinsip maslahat.

C. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan ‘Uthma>n

Ibn ‘Affa>n

Pada saat pelantikannya, ‘Uthman Ibn ‘Affan

mengumumkan metode atau mekanisme kebijakannya yang

merujuk pada al-Kita>b, al-sunnah serta dua khalifah

sebelumnya (Abu> Bakr dan ‘Umar al-Fa>ru>q), serta

mendasarkan kebijakannya pada prinsip-prinsip kebijaksanaan

kecuali dalam persoalan hukum pidana (h}udu>d).

6

Dalam kerangka demikian, ‘Uthman berhasil

melakukan berbagai terobosan seputar kebijakan-kebijakan

agama dan pemerintahan yang di antaranya ialah upaya

menghimpun dan menuliskan Alquran ke dalam satu mushaf.

Selain itu, salah satu kebijakan penting yang mengangkat

kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin ialah menjatuhkan

sanksi cambuk (jild) kepada saudara sesusuannya akibat

meminum khamr sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Abd

al-Razza>q di dalam Mus}annaf. Dalam persoalan agama.

‘Uthman Ibn ‘Affan memfatwakan bolehnya seorang

perempuan yang ditalak seorang laki-laki sakit yang sudah

mendekati ajalnya untuk menerima waris dari suami yang

mentalaknya tersebut pasca habisnya masa ‘iddah berdasarkan

prinsip sadd al-dhari>’ah.

D. Implementasi Siya>sah Shar’i>yah pada Pemerintahan ‘Ali> Ibn

Abi> T{a>lib

Banyak kebijakan politik yang dihasilkan ‘Ali Ibn Abi

Talid pada pemerintahannya sebagai khalifah ke empat. Di

antaranya ialah memerintahkan umat Islam untuk membakar

perkampungan Nasrani yang memperjualbelikan khamr,

membuat kebijakan potong tangan terhadap orang-orang yang

memperjualbelikan orang merdeka, serta memberikan sanksi

pidana (jina>yah) bagi dokter-dokter tidak berpengalaman yang

melakukan malapraktik yang mengakibatkan hilangnya pasien

atau kerusakan salah satu organ tubuh, berdasarkan pada

prinsip h}ifz} al-nafs (memelihara jiwa), serta tidak menetapkan

hudud (sanksi) di wilayah peperangan (da>r al-h}arb).

BAB III: Implementasi Siya>sah Shar’i>yah dalam Kerangka Kaidah-

kaidah Us}u>l al-Fiqh menurut Pandangan Ahli Fikih

A. Kaidah-kaidah Pokok dalam Sistem Politik Islam

Yang dimaksud ialah kaidah-kaidah pokok dalam

sistem politik Islam yang menjadi dasar menegakkan negara

Islam yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan syariat

Islam, karena prinsip menjalankan agama dalam tata kelola

pemerintahan ialah terealisasikannya tujuan-tujuan syariat

yang berkeadilan, menutupi kebutuhan masyarakat dan

menciptakan kemaslahatan bersama. Sebagai kesimpulan,

7

upaya membentuk negara Islam harus tetap tunduk pada

aturan-aturan syariat yang pada akhirnya bertujuan untuk

menciptakan kemaslahatan manusia secara keseluruhan.

Pertama ialah konsep kekuasaan milik Allah/Teokrasi

(al-H{aki>mi>yah li Alla>h) yang berarti bahwa aturan-aturan di

dalam kebijakan menjalankan pemerintahan harus tunduk pada

ketentuan wahyu karena Allah telah mengatur segala aspek

bagi kehidupan manusia, sekaligus memberikan ancaman bagi

siapa saja yang tidak menghukumi sesuatu berdasarkan wahyu

sebagai orang-orang kafir. Selanjutnya ialah musyawarah

(Shu>ra>) yang diterjemahkan sebagai upaya duduk bersama

dalam suatu forum guna mengemukakan pendapat dari seluruh

anggota untuk mencapai satu kesepakatan bersama. Juga

konsep ketaatan (T{a>’ah) yang berarti bahwa tunduk terhadap

pemerintah yang sah merupakan bagian dari kewajiban agama,

bahkan mendapat legitimasinya setelah ketaatan terhadap

Allah dan Nabi Muhammad. Namun ketaatan tersebut

sepanjang tidak melanggar syariat. Yang terakhir ialah

keadilan (‘ada>lah) dan kesetaraan (musa>wa>h) yang

diterjemahkan sebagai asas kesamarataan dan proporsionalitas

dalam setiap aspek kehidupan, meliputi penegakan hukum dan

pemenuhan hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu dalam

kehidupan bernegara.

B. Kaidah-kaidah Us}u>l al-Fiqh dalam Sistem Politik Islam pada

Persoalan-persoalan yang Tidak Terdapat di Dalam Teks-teks

Syariat

Yang dimaksud ‚tidak terdapat di dalam teks’teks

syariat‛ ialah meliputi segala sesuatu yang tidak ada

tinjauannya dalam dalil naqli>, yaitu Alquran dan hadis. Dalam

konteks demikian, ada beberapa mekanisme yang bisa

digunakan sebagai piranti melahirkan kebijakan-kebijakan di

dalam menjalankan pemerintahan.

Di antara kaidah yang digunakan ialah qiya>s (analogi),

istih}sa>n, sadd al-dhari>’ah (upaya preventif), istis}h}a>b

(mengembalikan status hukum asal), ‘urf (tradisi), serta

menggunakan al-qawa>’id al-fiqhi>yah (kaidah-kaidah fikih)

dalam konteks bernegara, seperti mengaitkan regulasi

pemerintahan berdasarkan prinsip kemaslahatan publik

(tas}arruf al-ima>m manu>t}un bi al-mas}lah}ah).

8

C. Memahami Tujuan-tujuan di Balik Legislasi Syariat dan

Prinsip-prinsip Fikih Keseimbangan (Fiqh al-Maqa>sid wa al-

Muwa>zana>t)

Terdapat empat kaidah pokok yang dijadikan piranti

dasar untuk meletakkan konteks bernegara dalam pemikiran

usul al-fiqh. Empat kaidah tersebut digunakan dalam

mekanisme-mekanisme yang terkadang mengalami benturan

satu sama lain, di mana sebuah kebijakan misalnya memiliki

dampak positif (maslahat) akan tetapi di satu waktu akan

berdampak negatif atau mungkin bisa menimbulkan bahaya

bagi masyarakat (mafasid).

Kerangka yang pertama ialah ketika kemaslahatan-

kemaslahatan terhimpun dalam suatu kebijakan. Yang menjadi

titik tolak ketika terjadi kasus demikian adalah bagaimana

agar kemaslahatan-kemaslahatan tersebut secara keseluruhan

bisa direalisasikan secara bersama-sama. Namun jika tidak

memungkinkan ruang untuk menghimpun kemaslahatan

tersebut secara keseluruhan, maka yang digunakan ialah skala

prioritas, yaitu mana kebijakan yang secara fundamental akan

menciptakan kemaslahatan yang lebih besar dibandingkan

dengan kemaslahatan lainnya.

Sementara itu, kerangka kedua ialah ketika terhimpun

dua kemafsadatan atau lebih dalam sebuah kebijakan. Yang

paling utama ialah upaya menghilangkan kemasfadatan

tersebut secara keseluruhan, dan jika tidak mungkin dilakukan,

maka skala prioritas sebagaimana terjadi pada kasus

sebelumnya juga digunakan dalam konteks ini, yaitu

mendahulukan kebijakan yang bisa menghilangkan

kemafsadatan lebih besar dibandingkan kemafsadatan yang

lebih ringan (al-afsad fa al-afsad).

Kerangka terakhir ialah ketika terhimpun

kemaslahatan dan kemafsadatan secara bersamaan. Dalam

kasus demikian, maka yang paling utama ialah mengupayakan

terealisasinya kemaslahatan tersebut sekaligus mengupayakan

dihilangkannya kemafsadatan yang ada. Namun jika tidak

mungkin dilakukan, maka mendahulukan upaya

menghilangkan kemafsadatan yang ada merupakan

keniscayaan jika kemafsadatannya lebih besar atau memiliki

bobot yang sama dengan kemaslahatan yang ada. Namun jika

9

kemaslahatannya lebih unggul dibandingkan kemasdatannya,

maka kemaslahatan tersebut harus diupayakan.

Bab IV: Ranah Implementasi Sistem Politik Islam pada Era

Kontemporer

A. Implementasi Politik Islam dalam Kebijakan Politik Dalam

Negeri (A’ma>l al-Dawlah al-Da>khili>yah), Pidana (‘Uqu>bah)

dan Pelayanan Publik (al-Khidma>t)

Persoalan pertama ialah terkait dengan perlunya

melakukan pemisahan lembaga otoritas pembuat

kebijakan/hukum yang sejak semula diperkenalkan oleh Islam

di dalam sistem politiknya ke dalam tiga lembaga, yaitu

lembaga legislatif (tashri>’i>yah), mahkamah peradilan

(qad}a>i>yah) dan lembaga eksekutif (tanfi>dhi>yah). Pada zaman

Nabi Muhammad dan Abu Bakr, dan pertama kalinya terjadi

pemisahan di antara tiga kelembagaan tersebut ialah pada

masa pemerintahan ‘Umar al-Faruq, yaitu dengan menunjuk

Abu> al-Darda>’ sebagai seorang hakim (qa>d}i>) di Madinah,

Shuraih} di Bas}rah dan Abu> Mu>sa> al-Ash’ari> di Ku>fah. Alasan

pemisahan tersebut penting dilakukan karena adanya

kemaslahatan dalam menegakkan hukum perundang-undangan

guna mencegah timbulnya monopoli hukum dari satu

kelembagaan atau individu tertentu.

Selain itu, pemisahan lembaga otoritas pembuat

kebijakan penting dilakukan sebagai upaya preventif (sadd al-

dhari>’ah) terjadinya hegemoni yang berdampak pada faham

otoritarianisme yang mengakibatkan terjadinya kesewenang-

wenangan di dalam menjalankan pemerintahan, serta untuk

menjaga kebebasan mengeluarkan pendapat dan memelihara

asas-asas musyawarah mufakat.

Selanjutnya ialah dalam persoalan mengadakan kerja

sama dengan negara non-muslim. Meskipun terjadi pro-kontra

di kalangan ahli fikih mengenai boleh tidaknya melakukan

kerjasama dengan negara-negara non-muslim, setidaknya

terdapat kemaslahatan yang bisa didapat dalam kerjasama

diplomatik dengan negara tersebut, yaitu jika tujuannya ialah

untuk menjaga regulasi negara yang tidak mengebiri hak-hak

konstitusi umat Islam dan sepanjang tidak berbenturan dengan

10

upaya mempersempit ruang gerak umat Islam menjalankan

agamanya. Kewenangan hal ini berpijak pada kaidah d}aru>ra>t.

Kasus berikutnya ialah terkait undang-undang pidana

Islam (h}udu>d) yang banyak memicu pro-kontra di kalangan

masyarakat. Pada dasarnya, hukuman pidana tidak bisa

diterapkan jika negara berada dalam situasi peperangan.

Begitupun jika kondisi sosial masyarakat tidak memungkinkan

ditegakkannya hukum pidana Islam, seperti jika dikhawatirkan

terjadinya pepecahan dan pertumpahan darah di kalangan akar

rumput. Sementara itu, kewenangan pelaksanaannya

diserahkan kepada kepala negara sebagai pemilik orotitas

tertinggi dalam suatu pemerintahan.

Yang terakhir ialah terkait kebijakan atau regulasi

yang akan diputuskan negara. Yang paling pokok dalam

konteks demikian ialah tetap memelihara skala prioritas

(awlawi>ya>t) dalam pelayanan publik sebagai dasar

pengambilan kebijakan. Yang dimaksud prioritas di sini ialah

mengutamakan kepentingan agama (hifz} al-di>n) di atas

kepentingan lainnya. Kerangka priotitas juga harus dibangun

berdasarkan stratifikasi hukum berdasarkan kerangka yang

diperkenalkan oleh Al-Juwayni>, yaitu d}aru>ri> sebagai prioritas

utama, kemudian haji>y dan terakhir tahsi>ni>.

B. Persoalan-persoalan yang terkait dengan jihad

Jihad, diperluas maknanya menjadi upaya bela negara.

Dalam konteks ini, dalam kondisi peperangan, ada beberapa

keringanan yang diberikan agama pada saat seorang tentara

muslim berada di medan perang untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban agama. Sebagai contoh, ada mekanisme

shalat khawf; shalat yang dilakukan pada saat peperangan

berkecamuk. Selain itu, diperbolehkan juga melakukan

spionase terhadap musuh untuk mengetahui strategi

penyerangan.

C. Politik Hubungan Internasional (‘Ala>qa>t al-Dawlah al-

Kha>riji>yah)

Pembahasan politik luar negeri/hubungan internasional

pada titik ini dikerucutkan pada tiga hal; persoalan gencatan

senjata (hadanah), berafiliasi dengan undang-undang

internasional (indimam ila al-munazzamat al-dawliyah) serta .

11

Pertama, gencatan senjata merupakan konsep

perdamaian yang dibangun dua negara atau lebih untuk tidak

melakukan peperangan dalam kurun waktu tertentu dengan

adanya timbal jasa atau lainnya. Berdasarkan penelitian atas

dalil-dalil syariat yang membahas konsep gencatan senjata,

dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya melakukan gencatan

senjata dalam kondisi tentara muslim atau negara yang kuat

tidak diperbolehkan, kecuali jika didasarkan pada adanya

kemaslahatan yang bisa didapatkan dari gencatan senjata.

Kedua, sudah menjadi tradisi di era sekarang bahwa

pergaulan internasional meniscayakan adanya aturan-aturan

yang harus disepakati dan diikuti bersama, termasuk jika

aturan tersebut mengikat negara muslim dan negara non-

muslim. Dalam ajaran agama, keikutsertaan negara Islam

mengikuti undang-undang internasional diperbolehkan

sepanjang tidak menyimpang dari karakteristik Islam, yang

salah satu di antaranya ialah menangkal adanya kerugian bagi

warga negara Islam tersebut.

Sedangkan terakhir ialah menyangkut hubungan

diplomasi negara Islam dengan negara non-Islam yang terkait

dengan kerja sama ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam

konteks ini, tak ada larangan bagi negara Islam melakukan

kerja sama dengan negara lainnya sepanjang kemaslahatan bisa

dicapai. Begitupun jika negara-negara Islam bergabung dengan

organisasi internasional yang bergerak di bidang kesehatan dan

pendidikan, seperti UNESCO dan UNICEF karena tak

terelakkannya kemaslahatan yang bisa dicapai, seperti upaya

negara-negara Islam yang memberantas rendahnya mutu

pendidikan warganya dan akibat angka kemiskinan yang

tinggi.

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Kesimpulan teoretis yang terkait dengan kaidah-

kaidah us}u>l al-fiqh di wilayah politik ialah bahwasanya

kaidah-kaidah us}u>l al-fiqh dapat diaplikasikan ke dalam sistem

politik Islam berdasarkan kerangka ijtihad, dan ijtihad politik

sendiri hanya bisa dilakukan jika seorang mujtahid tersebut

telah memenuhi syarat-syarat ijtihad sekaligus mampu

12

memahami tujuan-tujuan syariat (maqa>s}id al-shari>’ah),

memahami persoalan politik dan mampu membaca realitas.

Sementara itu, politik Islam tidak keluar dari kerangka

politik praksis yang terus menerima perubahan dan dibangun

di atas prinsip-prinsip kemaslahatan yang juga mengalami

perubahan dari waktu ke waktu. Namun tentu saja, kebijakan

yang dijalankan pemerintah harus berpijak pada teks-teks

syariat yang qat’i, maslahat, prinsip analogi (qiyas) dan kaidah

us}u>l al-fiqh lainnya.

Sedangkan kesimpulan praksis yang terkait dengan

kaidah-kaidah us}u>l al-fiqh dalam politik Islam ialah

bahwasanya hukum-hukum yang terdapat pada masa

pemerintahan khilafah rashidah mengacu pada dalil-dalil

syariat secara berurutan, dimulai dari Alqruan, hadis, meminta

saran dari para sahabat dan memutuskan berdasarkan pendapat

pribadi jika tidak ditemukan dalilnya.

Dalam memutuskan kebijakan, pemerintah diharuskan

melakukan pertimbangan sisi kemaslahatan dan kemafsadatan

yang mungkin akan timbul sejalan dengan penerapan

kebijakan. Oleh karenanya, kebijakan harus diambil

berdasarkan skala prioritas sebagaimana dikembangkan para

ulama semisal ‘Izzuddi>n Ibn ‘Abd al-Sala>m. Lembaga otoritas

pembuat hukum juga perlu dipisahkan agar tidak terjadi

monopoli oleh satu lembaga, meliputi legislatif (tashri>’iyah),

eksekutif (tanfi>dhi>yah) dan peradilan (qad}a>i>yah).

Untuk masa sekarang, politik tidak lagi berbicara

tentang perpolitikan dalam negeri semata. Hubungan luar

negeri juga perlu dilakukan untuk mencapai kemaslahatan bagi

penduduk negara Islam tersebut, seperti mengadakan

diplomasi dengan negara lain, terlibat aktif dalam lembaga-

lembaga internasional, serta melakukan kerjasama di berbagai

bidang seperti ekonomi, politik, kesehatan dan pendidikan.

B. Saran

1. Membuka konsentrasi siyasah shar’iyah di bawah

naungan fakultas fiqh dan us}u>l al-fiqh, baik di

tingkatan sarjana maupun pascasarjana.

2. Membuka lembaga-lembaga keagamaan (ma’had)

yang secara khusus memfokuskan kajian politik Islam

bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan program

13

doktor, agar menghasilkan intelektual-intelektual yang

menguasai kajian politik Islam dan diharapkan bisa

memberikan kontribusi bagi negara.

14

II. ANALISIS KRITIS DISERTASI

A. Analisis Kritis Metodologi

1. Telaah umum tema dan pendekatan penelitian

Secara umum, reviewer menilai disertasi ini

merupakan disertasi unik sejauh pengamatan reviewer

terhadap beberapa disertasi yang mencoba memetakan kajian

politik Islam ke dalam kerangka us}u>l al-fiqh sebagai

epistemologi. Hal ini, sebagaimana dinyatakan, merupakan

sebuah tantangan baru pagi pemikiran politik Islam guna

mencari dimana titik-titik ijtihad yang bisa dilakukan terkait

pemikiran Islam, terutama dalam menghadapi perkembangan

ilmu pengetahuan dewasa ini, serta kebutuhan untuk

mengaktualisasikan konsep-konsep us}u>l al-fiqh bagi

perkembangan politik yang belakangan diklaim sudah tidak

mampu menjawab problematika kekinian.

Dalam Muktamar Makkah ke-13 yang dilaksanakan

Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi> tahun 2012, DR. Na>ji> Mus}t}afa>

Badawi> menilai, agama memandang perlu dilakukan upaya

mengintegrasikan nilai-nilainya ke dalam konsep politik. Hal

ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa tujuan berpolitik

adalah mengatur pola kehidupan manusia yang juga menjadi

salah satu fungsi pokok diturunkannya agama bagi manusia.1

Selain itu, ada kesamaan visi-misi yang dibangun antara

pemikiran politik dengan epistemologi maqasid al-shari’ah

sebagai pengembangan us}u>l al-fiqh, yaitu sama-sama berupaya

menciptakan kebaikan serta menutup celah-celah bahaya yang

bisa menimpa manusia.2 Oleh karenanya, us}u>l al-fiqh menjadi

tepat dijadikan pintuk masuk bagi pemikiran politik agar

sesuai dengan cita-cita Islam.

Namun kelemahan mulai terlihat manakala metodologi

yang digunakan peneliti terlampau sederhana lantaran hanya

menggunakan ilmu us}u>l a-fiqh sebagai satu-satunya

pendekatan. Problematika penggunaan us}u>l a-fiqh sebagai

satu-satunya pendekatan tidak menghasilkan sesuatu yang

1 Na>ji> Mus}t}afa> Badawi, ‚al-Tah}addiya>t al-Siya>si>yah al-Mu’a>s}irah Bayna al-Ta’s}i>l wa al-Tajdi>d wa al-Tha>bit wa al-Mutaghayyir‛, dalam Muktamar Mekah ke-13,

20-21 Oktober 2012 (Mekah: Ra>bit}ah al-‘A<lam al-Isla>mi, 2012), 3.

2 Abdul Malik, ‚al-‘Ala>qah Bayna al-Siya>sah al-Shar’i>yah wa Maqa>s}id al-Shari>’ah,‛ dalam Majalah Universitas Tikrit, Vol. 6, Jilid 14 (Tikrit: Universitas

Tikrit, 2007), 383.

15

baru karena basis keilmuan antara politik Islam dengan us}u>l a-

fiqh berada dalam satu rumpun yang sama. Penelitian yang

didekati menggunakan satu rumpun keilmuan yang sama,

menurut DR. Fuad Jabali hasilnya sama dengan anak yang

dilahirkan dari hubungan incest.3

Meskipun secara pribadi reviewer tidak begitu

sependapat dengan pendapat Fuad Jabali di atas, reviewer

memandang perlu mengintegrasikan beberapa pendekatan

multidisiplin keilmuan agar kajian-kajian keislaman benar-

benar memperlihatkan coraknya yang baru sekaligus progresif.

penelitian akan menghasilkan sesuatu yang baru jika didekati

dengan berbagai pendekatan yang saat ini populer digunakan

di negara-negara Barat, seperti menggunakan pendekatan

antropologi yang hasil simpulannya misalnya, akan banyak

mengungkap keterkaitan antara relasi kebijakan negara yang

banyak memengaruhi pola fikir dan perilaku masyarakat, atau

menjelaskan fungsi agama dalam memahami struktur

masyarakat.4 Pemikiran ini penting untuk mengidentifikasi

pemikiran politik Islam yang banyak sekali didominasi kultur

Arab yang cenderung maskulin, patriarki, serta sarat dengan

fanatisme kesukuannya (ta’as}s}ub). Sehingga, pengembangan

politik Islam sulit sekali dilakukan –jika tidak dikatakan

mustahil– mengingat dominasi pemikiran Arab sudah

mereduksi konsep perpolitikan dalam kontestasi pemikiran

Islam bagi mayoritas muslim lainnya. Tak heran jika sebagian

negara-negara muslim berusaha keluar dari mainstream

Arabisme dengan cara menerapkan perpolitikan negara dengan

gayanya masing-masing karena dikhawatirkan berbenturan

dengan kultur masyarakat yang jelas berbeda dengan kultur

masyarakat Arab yang cenderung kaku.

Atau misalnya, mencoba menggunakan pendekatan

yang dicetuskan Michell Foucalt tentang knowledge and

power untuk menganalisis bagaimana sesungguhnya

wewenang yang dimiliki pemerintah ditunjang berkat adanya

legitimasi dari agama itu sendiri.5 Sehingga, upaya melawan

3 DR. Fuad Jabali, dalam perkuliahan Seminar Proposal Disertasi, SPs UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu 12 Nopember 2014.

4 David N. Gellner, ‚Anthropological Approaches‛, dalam Peter Connolly

(ed.), Approaches to The Study of Religion (New York: Wellington House, 1999), 12.

5

16

kebijakan pemerintah merupakan bentuk perlawanan terhadap

Tuhan itu sendiri.

2. Pemilihan Judul

Kritik lain yang bisa reviewer kemukakan menyangkut

pemilihan judul. Pengertian ‚al-d}awa>bit} al-us}u>li>yah‛ guna

membaca konteks pemikiran politik Islam hanya akan relevan

pada kasus-kasus klasik dalam konteks di mana kaidah-kaidah

us}u>l a-fiqh yang dimaksud memang belum mengalami

perkembangan. Namun dalam konteks saat ini, pembacaan

us}u>li> tidak begitu relevan karena kontestasi politik Islam

mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Selain itu,

peneliti sama sekali tidak menyinggung adanya pengembangan

us}u>l a-fiqh yang sejatinya melahirkan epistemologi baru dalam

pemikiran Islam, yaitu pendekatan maqasidi; Pendekatan yang

berbasis tujuan-tujuan syariat. Reviewer tidak melihat corak

pendekatan demikian, padahal banyak sekali ulama Timur

Tengah yang sudah menulis bagaimana peran epistemologi

maqa>s}id al-shari>’ah membuka jalan ijtihad bagi kebuntuan us}u>l

a-fiqh dalam menjawab problematika kekinian.

Ibnu ‘A<shu>r misalnya mengatakan, salah satu

kelemahan cara baca us}u>l a-fiqh klasik ialah mengabaikan

peran tujuan-tujuan di balik legislasi syariat (maqa>s}id al-

shari>’ah). Para ulama tidak membukukan nilai-nilai maqa>s}id

al-shari>’ah sebagai instrumen penting dalam melakukan ijtihad

dan sedikit sekali membicarakannya dalam kitab-kitab us}u>l a-

fiqh, kecuali beberapa kutipan singkat saja di dalam

pembahasan metode pencarian sebab operatif (masa>lik al-

‘illah) seperti maslahat mursalah.6 Begitupun dengan ilmu-

ilmu sosial yang tidak banyak dilirik ulama saat itu,7 padahal

keduanya merupakan instrumen penting dalam merumuskan

ijtihad kontemporer.

Pembacaan demikian mestinya harus dipertimbangkan,

mengingat penelitian hukum Islam tidak semata membahas

unsur-unsur normatif belaka yang cakupan wilayahnya

meliputi halal-haram, namun juga perlu meliputi wilayah

6 Muh}ammad al-T{a>hir Ibnu ‘A<shu>r, Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Isla>mi>yah, cet.

Ke-2 (Urdun: Da>r al-Nafa>is, 2001), 165.

7 Ibnu ‘Ashur, Alaysa al-Subh bi Qarib, 204, dalam Ibnu ‘Ashur, Maqa>s}id...,

81.

17

empirik,8 dimaksudkan untuk mendeskripsikan sesuatu

berdasarkan fakta serta tidak ditujukan untuk melahirkan

kesimpulan norma.9 Pembacaan sejarah perpolitikan Islam

yang pernah dipraktikkan dinasti Islam tidak mesti melahirkan

kesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan para khalifah sesuai

dengan syariat Islam karena telah sesuai dengan kerangka us}u>l

a-fiqh tertentu, melainkan penelitian diarahkan pada atas dasar

pertimbangan apa kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan dan

akan menghasilkan implikasi yang bagaimana terhadap

stabilitas pemerintahan serta dampak positif bagi masyarakat.

Model pembacaan demikian, menurut hemat reviewer hanya

bisa dilakukan secara tepat melalui pendekatan maqasidi,

sehingga judul yang reviewer tawarkan ialah ‚al-D{awa>bit} al-

maqa>s}idi>yah li al-ijtiha>d fi al-siya>sah al-shar’i>yah.‛

3. Telaah literatur review

Kritik selanjutnya yang bisa reviewer kemukakan ialah

tidak adanya kajian terdahulu (literatur review) guna

mendukung penelitian ini. Sehingga, sulit bagi para pembaca

maupun peneliti berikutnya, pada posisi seperti apakah peneliti

menulis disertasi ini. Peneliti hanya menyertakan beberapa

risalah klasik dan kontemporer yang membahas pemikiran

politik Islam, semisal karya yang ditulis oleh al-Mawardi, al-

Ahkam al-Sultaniyah, Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Shar’iyah,

dan sebagainya. Risalah tersebut, menurut hemat reviewer

bukanlah produk ilmiah yang lahir dari lingkungan akademik,

atau muncul sebagai kegelisahan intelektual yang kemudian

menjadi pembahasan dalam perdebatan akademik sehingga

para penulisnya hendak menempatkan dirinya pada posisi

seperti apa.

Tawaran literatur review yang bisa disuguhkan

reviewer ialah penelitian yang ditulis beberapa akademisi

sebagai berikut:

a Aziz Azmeh, Muslim Kingship; Power and the Sacred in

Muslim, Christian and Pagan Politics (New York: I.B.

Taurish Publisher, 2001).

8 Prof. Atho Mudzhar, disampaikan pada mata kuliah Pendekatan

Metodologi Studi Islam, SPs UIN Jakarta, 18 September 2014.

9 JM Muslimin, disampaikan pada mata kuliah Issues in Contemporary Us}u>l

al-Fiqh, SPs UIN Jakarta, Senin 8 Desember 2014.

18

b Iyād Kamil Ibrahim, al-Tadāwul al-Silmī li al-Sulṭah fī Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmīyah,

1433 H/2012 M)

c Sherman A. Jackson, Islamic Law and the State: the

Constitutional Jurisprudence of Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi>

(Leiden, Brill, 1996)

d Saba Sana Kareemi, Islamic Law and the State, tesis

Universitas Toronto, USA, Tahun 2011 (USA: Universitas

Toronto, 2011)

e Sami Zubaida, Law and Power in the Islamic World

(London–New York: I.B. Tauris, 2003)

f Abdul Malik Abdul Majid, ‚al-‘Ala>qah bayna al-Siya>sah al-

Shar’i>yah wa Maqa>s}id al-Shari>’ah‛, dalam Majallah

Jami’ah Tikrit li al-‘Ulum al-Insaniyah, Vol. 14, No. 6,

2007

B. Telaah Kritik Teori

Teori yang digunakan oleh peneliti, terutama dalam

menyuguhkan definisi politik Islam (siya>sah shar’i >yah)

meskipun mengklaim telah memberikan definisi yang

komprehensif, tidak dapat diterima karena definisi tersebut

hanya mencakup definisi politik makro. Padahal, politik juga

meliputi wilayah-wilayah mikro, seperti antar individu dengan

individu lainnya dan masyarakat.10

Direduksinya wilayah

kajian politik mestinya dihindari mengingat politik (siya>sah)

tidak hanya ada dalam ketatanegaraan. Ibnu Manz}ur misalnya,

jauh-jauh hari memberikan ruang yang cukup luas dalam

mendefinisikan konsep politik yang mencakup segala hal yang

bisa dilakukan manusia untuk mencapai apa yang baik bagi

dirinya.11

Sehingga, ada satu tawaran alternatif yang perlu

dikemukakan guna mendefinisi kembali politik Islam, yaitu

seperti dikemukakan Ibn ‘Aqi>l al-H{anbali>. Beliau menyatakan,

politik adalah sebuah aktivitas yang diarahkan untuk

menciptakan kemaslahatan manusia dan mencegah timbulnya

kerusakan meskipun tidak ada tinjauannya di dalam teks-teks

10 Prof. Atho Mudzhar, disampaikan pada mata kuliah Pendekatan

Metodologi Studi Islam, SPs UIN Jakarta, Kamis 2 Oktober 2014.

11 Ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, juz. 6 (Beirut; Da>r Sadi>r, tt), 107.

19

syariat, baik Alquran, hadis dan tradisi perpolitikan Nabi

Muhammad.12

Dalam kasus inilah kelemahan teori bisa ditemukan

yang salah satunya disebabkan mudahnya peneliti

menyimpulkan dan merangkum satu definisi tertentu dengan

tanpa melihat signifikansi seperti apa simpulan yang mestinya

diambil. Al-Ghaza>li> menyatakan bahwa definisi terbaik bagi

sebuah definisi ialah jika definisi mampu menyingkap

substansi suatu hal secara komprehensif.13

Namun definisi

demikian relevan jika yang dikehendaki sebatas menyingkap

definisi suatu hal, tidak dalam persoalan yang diangkat

penelitian ini karena di dalamnya bersifat sangat tehnis,

operasional dan belum menyentuh persoalan-persoalan mikro

sebagaimana dikehendaki konsep siya>sah pada substansi

maknanya yang berfungsi mengatur.

Teori lain yang perlu dikritik menyangkut penerapan

kaidah-kaidah us}u>l al-fiqh yang belum begitu operatif dalam

mekanisme kebijakan tertentu, misalnya, dan pemaparannya

yang bersifat normatif semata. Sifat normatif reviewer lihat

dari bagaimana cara peneliti memandang sistem terbaik bagi

penerapan politik Islam yang hanya merujuk pada idealisme

khila>fah rashi>dah.

Pemikiran ini berbahaya lantaran orang kemudian

terjebak pada utopisme masa lalu yang persoalannya tidak

memiliki tantangan sekompleks sekarang. Di sisi lain

misalnya, kita tidak lagi bisa menggunakan parameter idealitas

masa lalu sebagai piranti utama melahirkan produk-produk

hukum baru dalam kerangka ijtihad masa kini. Wahbah al-

Zuhayliy mencatat, yang paling penting di dalam

menginternalisasikan semangat ijitihad dalam konteks masa

kini adalah sejauh mana prinsip-prinsip kemaslahatan tetap

bisa dicapai dan ada keringanan menyesuaikan nilai-nilai

idealitas agama yang transenden berdasarkan konsep moralitas

masa kini. Oleh karenanya, apa yang dikatakan Wahbah

12 Redaksi lengkapnya ialah: ن مل يضعه الرسول وال ما اكن فعال يكون معه الناس أ قرب ا ىل الصالح وأ بعد عن الفساد وا

:Lihat: Ibn al-Qayyim, al-T}uruq al-H}ukmi>yah fi> al-Siya>sah al-Shar’i>yah (Beirut .نزل به ويح

Da>r al-Ji>l, 1418H/1998M), 17.

13 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l (Beirut: Muassasat al-Risalah,

1997), 3.

20

Zuhayli terkait adanya fasa>d al-zama>n demikian, ijtihad bisa

berubah seiring dengan konsep moralitas masyarakatnya.14

Nilai-nilai yang dibangun di dalam sistem politik

Islam seharusnya tidak lagi diaplikasikan dalam cara baca

demikian. Lebih dari itu, mendialogkan dengan realitas

berkembangnya konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai

rule model negara-negara dunia perlu dipikirkan sebagai salah

satu model negara Islam. Seperti yang dikemukakan An-Naiem

yang berbicara mengenai konsep negara sekular, di mana

prinsip-prinsip syariat bagi warga muslim juga bisa diterapkan

ke dalam sebuah kebijakan politik negara atau sekadar

berangkat dari kesadaran masyarakat.15

Itu berarti, disparitas

dan kacamata hitam-putih yang dilakukan peneliti mengenai

konsep negara Islam dan non-Islam hanya dengan berkaca pada

pengalaman masa lalu, atau sebatas dalam pembacaan

mengenai konsep perundang-undangan negara yang

mengggunakan syariat sebagai konstitusinya, reviewer kira

merupakan hal yang tidak perlu.

Sebenarnya, penamaan fiqh siyāsah atau politik Islam

sendiri masih menyisakan pro-kontra di kalangan internal umat

Islam. Sa’īd ‘Ashmāwī mengutarakan beberapa sebab pelik

yang mengakibatkan sulitnya gagasan khilāfah dikategorikan

sebagai salah satu cabang keilmuan (fann) ilmu fiqh; Pertama,

konsep khilāfah itu muncul pertama kali bukan sebagai sebuah

gagasan keilmuan, maupun pengetahuan yurispruden Islam

yang utuh. Kemudian, setelah undang-undang kekuasaan itu

dianggap telah mapan dan mulai banyak masyarakat Arab

berkecimpung dalam dunia baca-tulis, maka secara aksiomatis

banyak dari mereka yang menuliskan konsep dasar kekuasaan,

bukan atas dasar membuat suatu undang-undang baku yang

harus ditaati oleh pemerintahan status quo. Sehingga pada

dasarnya, apa yang mereka tulis itu hanyalah dalam rangka

justifier (pembenaran) atas kekuasaan yang berlaku saat itu,

bukan untuk mengkodifikasi suatu khazanah keilmuan baru.

Yang kedua, ketika umat Islam berada di bawah tekanan

kekuasaan atas nama khilāfah dan berada di bawah

14 Wahbah Zuhayli>, Taghayyur al-Ijtiha>d (Damaskus: Da>r al-Maktabi>, 2000),

31.

15

Abdullah Ahmed an-Na’iem, Islam dan Negara Sekular (Bandung:

Serambi, 2007),

21

pemerintahan tiranik, para ulama mengalami beragam

penyiksaan;16

Imam Malik yang mengalami penyiksaan dari

penguasa hanya karena mengeluarkan fatwa tidak sahnya

membaiat seorang khalifah dalam keadaan terpaksa dan

ditekan. Dalam situasi demikian, sulit bagi para ulama untuk

menerima persoalan kekuasaan dan membuat suatu undang-

undang pemerintahan dengan bebas tanpa tekanan apapun dari

pihak penguasa. Maka tak heran jika Al-Ma>wardi> sendiri

memberikan wasiat kepada muridnya untuk menerbitkan karya

monumentalnya, al-Ah}ka>m al Sult}a>ni>yah wa al-Wila>ya>t al-

Di>ni>yah (Hukum-hukum Kekuasaan dan Otoritas Agama)

setelah beliau wafat. Ketiga, sejak kemunculan ideologi

khila>fah Islam sampai era keruntuhannya pada masa

peperangan yang berkepanjangan, dalam kondisi yang chaos

ini jika memang ada yang disebut dengan fiqh khila>fah, maka

lebih tepatnya dikatakan sebagai fiqh al-ḥurūb (fiqh

peperangan), lebih dari sekedar penamaan fiqh al-salām (fiqh

keselamatan).17

C. Telaah Kritik Sistematika Penulisan

Teknik penelitian disertasi yang dipakai peneliti tidak

menjadikan pendahuluan dan penutup sebagai bagian dari

penelitian. Hal ini mungkin dapat dimengerti, mengingat

penelitian riset perguruan tinggi di Timur Tengah

menggunakan teknik penulisan yang tidak memasukkan

pendahuluan sebagai bagian dari bab penelitian.

Kelebihan dari penelitian ini adalah dengan tidak

dimasukannya bab penutup sebagai bab, maka kesimpulan

tidak hanya untuk menjawab penelitian sebagaimana

dikemukakan dalam rumusan masalah, namun bisa diperluas

dengan merangkum seluruh inti pembahasan dari bab ke bab.

16 Sebagai contoh ialah terjadinya kasus mihnah yang dialami Ah}mad Ibn

Hanbal lantaran beliau menolak digma pemerintahan ‘Abba>siyah terkait Alquran,

yaitu bahwasanya Alquran diciptakan (makhluk) dan bukan merupakan kalam Tuhan

yang qadi>m seperti yang diyakini mayoritas umat Islam. Cerita tentang mihnah dan

beragam siksaan lain yang dialamatkan kepada para ulama yang berseberangan dengan

pemerintah dapat ditemukan dalam karya Anthony Black, Pemikiran Politik Islam,

diterbitkan oleh Penerbit Serambi.

17 Muhamad Sa’īd ‘Ashmāwī, al-Khilāfah al-Islāmīyah, cet. Ke-2, (Kairo:

Sīnā li al-Nashr, 1992), 233-234.

22

Namun dari sinilah kelemahan disertasi ini terlihat,

yaitu di dalam pendahuluan, peneliti tidak menuliskan dalam

kerangka rumusan masalah seperti apa penelitian ini ditulis

meskipun peneliti mengemukakan tujuan penelitiannya.

Rumusan masalah sebagaimana dipaparkan peneliti berisi

paparan kesulitan penelitian peneliti sendiri, seperti jauhnya

jarak antara peneliti dan pembimbing sehingga diskusi tentang

penyelesaian disertasi dilakukan melalui sambungan telefon,

sementara pertemuan dengan pembimbing sangat jarang

sekali.

Selain itu, penutupan sebagaimana dipaparkan

penelitinya juga terlalu bertele-tele, di mana redaksi aslinya

(tidak seperti yang telah reviewer rangkum di atas) menuliskan

kembali definisi-definisi, pembagian dan sebagainya yang

penelitiannya mencapai 12 halaman. Padahal yang paling

utama dari pembahasan kesimpulan adalah bagaiman peneliti

bisa menyimpulkan pembahasan secara ringkas dalam teknik

penelitian naratif, bukan numerik.

Kelemahan juga terlihat dari sistematika penelitian

yang tidak tertata rapih, tidak menyertakan rumusan masalah

sebagai titik totak penelitian yang dikehendaki, pembahasan

metodologi penelitian yang hanya berisi pendekatan us}u>l a-

fiqh dan siya>sah shar’i>yah sebagai basis penelitian. Kadang-

kadang peneliti menyertakan tafsir ketika suatu dalil

disebutkan, dan melakukan tarji>h atas dalil-dalil tersebut.

D. Tawaran Alternatif Penelitian Disertasi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Literatur Review

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan

BAB II: TELAAH TEORETIS (MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH

DALAM KONTESTASI IJTIHAD POLITIK ISLAM)

A. Maqa>s}id al-Shari>’ah

1. Pengertian Maqa>s}id al-Shari>’ah

23

2. Para Penggagas Konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah

3. Klasifikasi Maqa>s}id al-Shari>’ah

4. Maqa>s}id al-Shari>’ah sebagai Piranti Ijtihad Politik

B. Ijtihad serta Urgensinya dalam Menjawab Problematika

Hukum Kontemporer

1. Pengertian Ijtihad

2. Syarat-syarat Ijtihad

3. Kriteria Mujtahid

4. Ijtihad Maqa>s}idi>

C. Politik Islam

1. Pengertian Politik Islam

2. Aspek-aspek Politik

3. Klasifikasi Politik Makro dan Mikro

4. Hubungan Politik dan Agama

BAB III: PENDULUM PERGERAKAN PEMIKIRAN

IJTIHAD POLITIK ISLAM DARI KLASIK HINGGA

KONTEMPORER

A. Corak Ijtihad Politik Nabi Muhammad di Madinah

1. Menghilangkan Konflik Suku, Ras dan Agama dalam

Ikatan Ummatan Wa>h}idah

2. Mengedepankan Prinsip Shu>ra> dalam Implementasi

Legislasi Syariat yang Terkait Ranah Publik

3. Resolusi Damai sebagai Upaya Meminimalisasi

Peperangan Berbalut Kepentingan Politis dan Agama

4. Upaya Merealisasikan Nilai Keadilan, Penegakan

Hukum, serta Persamaan Derajat sebagai Ruh

Kebijakan Politik

B. Corak Ijtihad Politik Khila>fah Rashi>dah

1. Agama sebagai Sentral Kebijakan Politik

2. Memperkenalkan Mekanisme Pemilihan Kepala

Negara

3. Menekankan Kepentingan Agama di atas Kepentingan

Politik

4. Perluasan Wilayah Islam

5. Pembentukan Lembaga-lembaga Pemerintahan

(Wilayah al-H{isbah, al-Khara>j, al-Qad}a>’, Bayt al-Ma>l)

C. Corak Ijtihad Politik Dinasti Keislaman

1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

24

2. Menguatnya Kembali Sentimen Golongan, Faham dan

Kesukuan

3. Pemisahan Kekuatan Politik dan Agama pada Basis

Civil Society

4. Semangat Taqnin (Kodifikasi Undang-undang) pada

Pemerintahan Turki ‘Uthma>ni>

D. Corak Ijtihad Politik Pasca Munculnya Konsep Nation-

State (Negara-Bangsa)

1. Disparitas Politik Sekular dan Politik Islam

2. Keruntuhan Besar Konsep Negara Teokrasi

3. Pembatasan Ruang Gerak Agama dalam Regulasi

Negara

4. Munculnya Wilayah Legislatif, Eksekutif dan

Yudikatif

BAB IV: NALAR MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH DALAM

IJTIHAD POLITIK MAKRO DAN MIKRO

A. Wilayah Otoritas Kepemimpinan (Ima>mah) dalam

Kontestasi Hukum Islam

1. Teori Shiha>buddi>n al-Qara>fi> tentang Klasifikasi

Otoritas Hukum Islam Menjadi Wilayah Kepala

Negara (Ima>mah), Wilayah Hakim (Qa>d}i>), Pemberi

Fatwa (Mufti>), dan Wilayah Mujtahid

2. Kebijakan Kepala Negara dalam Kerangka Maqa>s}id al-

Shari>’ah yang tunduk pada kemaslahatan publik dan

bersifat mengikat

B. Kerangka Maqa>s}idi> dalam Ijtihad Politik Makro

1. Persoalan Dasar dan Konstitusi/Perundang-undangan

Negara

2. Kebijakan Politik Dalam Negeri dan Stabilitas

Nasional

3. Kebijakan Politik Luar Negeri

4. Keamanan Nasional

5. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

6. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)

C. Kerangka Maqa>s}idi> dalam Ijtihad Politik Mikro

1. Hukum-hukum Perdata (al-Ah}ka>m al-Madani>yah)

2. Hukum Keluarga (al-Ah}ka>m al-Shakhs}i>yah)

3. Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan

4. Hukum Perseorangan/Individual

25

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran