10

Click here to load reader

Menata ulang kabinet 2014 2019 ichwan- 2014_

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Menanti wajah baru pemerintahan Indonesia saat ini tengah menanti babak baru, menunggu siapa yang akan menjadi juru kemudi bagi perjalanan nasib bangsa ini ke depan. 9 Juli merupakan fase determinan yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama 5 tahun, 10 tahun ke depan, atau bahkan mungkin untuk kurun waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, energi yang tercurah dalam proses kampanye terbuka yang dimulai sejak 4 Juni ini seharusnya tidak habis sia-sia, semata-mata hanya untuk menampilkan visi misi abstrak yang mungkin tidak akan pernah menemukan wujudnya di dalam pemerintahan mendatang.

Citation preview

Page 1: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

Menata Ulang Kabinet: 2014-2019 (Siapa Berani?)

Ichwan Santosa

Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara

Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia

E-mail: [email protected]

Menanti wajah baru pemerintahan

Indonesia saat ini tengah menanti babak baru, menunggu siapa yang akan menjadi juru

kemudi bagi perjalanan nasib bangsa ini ke depan. 9 Juli merupakan fase determinan

yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama 5 tahun, 10 tahun ke depan, atau

bahkan mungkin untuk kurun waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, energi yang

tercurah dalam proses kampanye terbuka yang dimulai sejak 4 Juni ini seharusnya tidak

habis sia-sia, semata-mata hanya untuk menampilkan visi misi abstrak yang mungkin

tidak akan pernah menemukan wujudnya di dalam pemerintahan mendatang.

Proses politik yang terjadi tidak bisa berhenti pada wacana siapa mendapat apa dan

bagaimana pada level top saja. Presiden tidak akan bekerja sendiri. Presiden memiliki

mesin pemerintahan yang secara yuridis pembentukan, penunjukan, dan

penyusunannya berada di tangannya, yaitu struktur dan konfigurasi kabinet. Pemetaan

struktur dan konfigurasi kabinet yang merefleksikan visi misi pemerintah terpilih perlu

dimunculkan. Hal ini tentu akan memberikan gambaran yang lebih riil mengenai fokus

dan kapasitas kinerja pemerintah ke depan.

Selama 16 tahun ini, setidaknya ada dua titik lemah dari pembentukan kabinet yang

(katanya) presidensial. Pertama, struktur kementerian yang berubah-ubah dan

senantiasa bertambah tanpa disertai dengan pemetaan kebutuhan berdasarkan sebuah

kajian akademik yang komperehensif, jelas, dan terukur. Kedua, konfigurasi (susunan)

menteri yang sangat politis dimana mayoritas kabinet diisi oleh perwakilan partai

politik. Sistem multi partai yang berimplikasi terhadap penyebaran kekuasaan di

banyak partai akhirnya memunculkan koalisi dagang sapi. Maka selanjutnya, struktur

Page 2: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

2

dan konfigurasi kabinet hanya merefleksikan politik bagi-bagi kekuasaan. Struktur

kabinet dibentuk untuk mengakomodir nafsu kekuasaan dari partai politik peserta

koalisi. Implikasinya, terciptalah postur pemerintah pusat yang semakin gemuk, kaya

struktur namun miskin fungsi.

Politik transaksional ini pada akhirnya memunculkan tiga permasalahan, yaitu,

pertama, duplikasi dan tumpang tindih tugas dan fungsi dalam kabinet akibat

proliferasi kelembagaan yang tidak terbendung (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN

RI, 2013), kedua, inefisiensi anggaran, hasil evaluasi anggaran tahun 2012 oleh

Kementerian Keuangan mengungkapkan adanya inefisiensi anggaran belanja

pemerintah pusat pada 2012 mencapai Rp 72 triliun (www.jurnalparlemen.com, 2013).

Inefisiensi terjadi pada dua bagian, yaitu bagian pengalokasian anggaran senilai Rp 61

triliun dan pelaksanaan program senilai Rp 11 triliun. ketiga, rapor kinerja kabinet yang

tidak memuaskan akibat penempatan sumber daya manusia yang tidak mengacu

kepada kompetensi jabatan (the right man in the right place). Di akhir masa

pemerintahan saat ini, bahkan ada 10 kementerian yang mendapat rapor merah dari

Presiden (Kompas.com, edisi Rabu, 4 Juni 2014). Hal ini tentu memberikan dampak

signifikan terhadap inefisiensi dan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan yang

berujung kepada public distrust. Apabila hal ini terjadi secara berkelanjutan dalam

jangka waktu yang cukup lama, maka stabilitas politik dapat terganggu. Bisa saja,

kejadian 1998 terulang kembali dengan kemasan yang baru, dan Indonesia akan

semakin tertinggal dalam kancah persaingan global.

Pemetaan urusan pemerintahan

Diskursus mengenai penataan ulang kabinet tidak bisa dipisahkan dari pemetaan

urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan sangat terkait erat dengan tugas

pemerintahan dimana keberadaan urusan pemerintahan mencerminkan hal-hal apa

saja yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Urusan pemerintahan ini tentu tidak lahir dengan sendirinya. Ia berasal dari semangat

pencapaian tujuan nasional, karena untuk itulah pemerintahan dibentuk dan dijalankan

(Robbins, 1994; Mintzberg, 1979).

The Founding fathers telah merumuskan tujuan negara dalam sumber hukum formil

tertinggi, yaitu konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam

Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, tujuan negara dirumuskan dalam kerangka

Page 3: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

dibentuknya suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap rakyat

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, dimana

selanjutnya UUD merinci urusan yang terkait dengan peran pemerintah negara dalam

pencapaian tujuan ke dalam pasal-pasal dalam batang tubuhnya. Maka, dari sinilah

seyogyanya pemetaan urusan pemerintahan dimulai.

Dalam batang tubuh UUD 1945, setidaknya ada 24 urusan yang bisa diidentifikasi

sebagai dasar penyelenggaraan tugas pemerintahan, yaitu: Keuangan negara, Hukum,

Ketenagakerjaan, Hak asasi manusia, Kesehatan, Keamanan, Kependudukan dan catatan

sipil, Hak anak: Perempuan, Seni dan budaya, Kewarganegaraan, Agama dan

kepercayaan, Komunikasi dan informasi, Tempat tinggal, Lingkungan hidup, Pertahanan,

Pendidikan, Ilmu pengetahuan dan teknologi, Kebudayaan nasional, Sumber daya alam:

pertambangan, energi, pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan dan

peternakan, pertanahan, Perekonomian: Industri dan perdagangan, BUMN, investasi,

koperasi dan UMKM, Sosial/kesejahteraan rakyat: pemuda, dan olah raga, Fasilitas

pelayanan umum/infrastruktur: transportasi, pekerjaan umum, Dalam Negeri, dan Luar

Negeri (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN RI, 2013).

24 urusan ini memiliki tiga karakteristik berbeda yang dapat menentukan

pembentukan atau keberadaan kementerian dalam suatu kabinet pemerintahan.

Pertama, urusan yang nomenklatur kementeriannya disebutkan secara tegas dalam

konstitusi, yaitu urusan pertahanan, dalam negeri, dan luar negeri. Kedua, urusan yang

disebut secara tegas dalam konstitusi (urusan eksplisit), seperti urusan keuangan

negara, hukum, pendidikan, kesehatan, dan agama. Ketiga, urusan yang tidak

disebutkan secara tegas dalam konstitusi (urusan implisit), seperti urusan yang terkait

dengan sumber daya alam (bumi, tanah, air, dan kekayaan yang terkandung di

dalamnya) diantaranya yaitu urusan pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertanahan.

Melalui pemetaan urusan pemerintahan, maka dapat terlihat dengan jelas kementerian

mana yang pembentukan dan keberadaannya menjadi sebuah amanat mutlak karena

nomenklaturnya disebut dalam konstitusi, kementerian mana yang keberadaanya

menjadi penting berdasarkan karakteristik urusannya yang disebut secara eksplisit

dalam konstitusi, namun dimungkinkan untuk berkreasi dalam menentukan

nomenklatur kementerian dan melakukan penataan kelembagaan melalui

Page 4: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

4

penggabungan maupun pemisahan, lalu kementerian mana yang dapat dimunculkan

atau dihapuskan sesuai dengan kebutuhan lingkungan strategis dengan bersandar pada

urusan implisit yang terdapat dalam konstitusi.

Menata ulang kabinet, how?

Menata ulang kabinet memerlukan instrumen penataan (pisau analisis) dan variabel

penentu yang menjadi kerangka berpikir. Instrumen ini diperlukan untuk menentukan

kementerian mana yang perlu diusulkan untuk mengisi kabinet baru, bagaimana

penentuan bentuk/tipologi kelembagaan yang akan menjadi dasar untuk

megklasifikasikan kementerian-kementerian dengan karakteristik kelembagaan dan

peran yang berlainan, dan bagaimana membuat kriteria pengklasifikasian kementerian

berdasarkan tipologi yang telah ditentukan dengan memperhatikan variabel-variabel

penentu yang telah disusun sebagai kerangka pikir penataan.

Instrumen penataan

Menurut Mintzberg (1979), fungsi dan tipologi organisasi pemerintah pusat dibagi

berdasarkan 5 kriteria, yaitu organisasi pemerintah yang menjalankan peran sebagai

strategic apec (top level), middle line (top level back-up), operating core (level

operasional), techno structure (dukungan teknokratis), dan support staff (dukungan

administratif). Dalam kerangka teori ini, kementerian seyogyanya mengambil peran

pada bagian operating core, sementara fungsi dukungan yang berbentuk techno

structure maupun staff support dapat dijalankan oleh Lembaga Pemerintah Non

Kementerian (LPNK), Lembaga Non Struktural (LNS), atau agency khusus yang dibentuk

berdasarkan kebutuhan urusan pemerintahan yang bersifat umum seperti

kesekretariatan, reformasi birokrasi, kepegawaian negara, kebijakan otonomi daerah,

hingga perencanaan program dan anggaran. Apabila dipandang perlu, bahkan dapat

dibentuk LPNK atau LNS yang melaksanakan peran operating core. Namun demikian,

secara struktur kedudukannya berada di bawah kementerian. Artinya, fungsi operating

core tetap dijalankan dalam konteks dukungan (supporting) terhadap kinerja

kementerian. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keberadaan urusan

pemerintahan harus direspon dengan pembentukan kementerian.

Sementara itu, Peter Shelf (1977) mengklasifikasikan bentuk organisasi pemerintah

pusat berdasarkan derajat signifikansi yang menunjukkan signifikansi keberadaan

organisasi pemerintah yang dikaitkan dengan amanat konstitusi dan kontribusinya

Page 5: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

dalam pencapaian tujuan nasional, dan berdasarkan derajat hirarki yang menunjukkan

tingkat kedalaman peran pemerintah dalam menangani urusan. Berdasarkan hal ini,

maka organisasi pemerintah pusat dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk,

yaitu organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi tinggi dan derajat hirarki

tinggi, organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi tinggi namun memiliki derajat

hirarki yang rendah, organisasi pemerintah dengan derajat siginifikansi rendah namun

memiliki derajat hirarki tinggi, dan terakhir organisasi pemerintah dengan derajat

siginifikansi rendah dan derajat hirarki yang rendah pula.

Dengan mengikuti konstruksi berpikir demikian, maka kabinet idealnya hanya dapat

diisi oleh 2 (dua) karakteristik kementerian saja, yaitu kementerian dengan derajat

siginifikansi tinggi dan derajat hirarki tinggi dan kementerian dengan derajat

siginifikansi tinggi namun memiliki derajat hirarki yang rendah. Artinya, dua tipologi

organisasi pemerintah pusat lainnya (organisasi pemerintah dengan derajat

siginifikansi rendah namun memiliki derajat hirarki tinggi, dan organisasi pemerintah

dengan derajat siginifikansi rendah dan derajat hirarki yang rendah) sebaiknya

mengambil bentuk sebagai LPNK atau LNS sesuai dengan karakteristik urusan yang

ditanganinya.

Kerangka Penataan

Untuk memunculkan klasifikasi kementerian berdasarkan tipologi dan bentuknya, ada 5

(lima) variabel yang dapat disusun sebagai kerangka berpikir penataan yaitu: pertama,

mandat konstitusi, yang dimaksud dengan mandat konstitusi adalah pembentukan

kementerian seyogyanya menjadi representasi urusan yang dipetakan dari batang

tubuh konstitusi sebagai rumusan tugas yang harus dilaksanakan pemerintah terkait

dengan pencapaian tujuan nasional. Artinya, setiap kementerian dibentuk sebagai

perwujudan kontribusi pemerintah dalam pencapaian tujuan nasional melalui

penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu.

Kedua, tantangan lingkungan strategis, berbagai isu faktual pada level nasional maupun

global mencerminkan adanya ancaman ataupun peluang terkait urusan pemerintahan

tertentu sesuai dengan mandat konstitusi. Ancaman ataupun peluang inilah yang harus

direspons secara cepat dan tepat oleh pemerintah. Dengan adanya ruang interpretasi

yang cukup luas terhadap urusan eksplisit dan implisit dalam konstitusi, maka berbagai

isu faktual harus dipertimbangkan ketika hendak membentuk sebuah kementerian.

Page 6: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

6

Dengan demikian, pembentukan kementerian menjadi relevan dengan tuntutan

kebutuhan lingkungan strategis.

Ketiga, governance issues, dimana peran negara (government) sebagai aktor yang sangat

dominan di masa lalu dalam pengelolaan urusan publik telah bergeser ke pola relasi

antara negara, masyarakat dan swasta (governance). Demikian juga dengan fungsi-

fungsi pemerintahan. Bentuk kelembagaan pemerintah (kementerian) didasarkan pada

prinsip bahwa pemerintah bukan lagi satu-satunya aktor dalam mengatur urusan

publik dan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintah. Ada kebutuhan untuk mengundang

partisipasi publik dan swasta, menjadikan negara/pemerintah sebagai katalisator

dalam penyelenggaraan pemerintahan (Utomo, 2007). Maka, muncullah fungsi

pemberdayaan sebagai pencerminan prinsip good governance. Isu governance akhirnya

menempatkan negara dalam peran mengatur (regulating), melaksanakan (executing),

dan memberdayakan (empowering).

Keempat, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dalam konteks hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bandul pemerintahan saat ini telah bergeser

dari gerakan sentripetal (memusat) ke arah gerakan sentrifugal (menyebar) melalui

kebijakan desentralisasi yang tercermin dalam pelaksanaan otonomi daerah. Menata

ulang kementerian (kabinet) perlu mempertimbangkan realitas empiris bahwa

sebagian kewenangan pemerintah pusat telah diberikan kepada daerah. Dengan kata

lain, peran pemerintah pusat sebaiknya mengecil dan berimplikasi kepada struktur

kabinet yang ramping dengan menekankan pada fungsi pengaturan dan pemberdayaan.

Kalaupun harus menjalankan fungsi pelaksanaan (executing), maka terbatas pada

urusan yang bersifat nasional, atau dengan pertimbangan bahwa daerah tidak mampu

untuk menyelenggarakan urusan (prinsip subsidiaritas).

Kelima, kelembagaan yang efisien dan efektif, menata ulang kabinet adalah berupaya

untuk merumuskan desain kelembagaan kementerian pemerintah pusat yang dapat

mengelola urusan-urusan publik dengan prinsip efektif dan efisien. Hal ini dilakukan

dengan menghilangkan duplikasi dan tumpang tindih tugas dan fungsi antar unit-unit

pemerintah yang ada. Dalam konteks ini, menjadi sangat penting untuk menggunakan

konsep mesin pemerintahan (machinery of government) dalam mendesain ulang

kelembagaan pemerintah pusat yang dimulai dengan menata ulang struktur kabinet.

Page 7: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

Mesin pemerintahan didefinisikan sebagai koneksitas dari struktur dan proses antar

lembaga pemerintah, dalam hal ini kementerian.

Tipologi kementerian yang dapat dibangun

Dengan bersandar pada pisau analisis dan kerangka berpikir seperti yang telah

diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan tiga klasifikasi tipe organisasi pemerintah

pusat yang diusulkan untuk mengisi kabinet pemerintah yang baru (2014-2019).

Pertama, kementerian portofolio, yang terdiri dari kementerian dengan tingkat

kedalaman peran yang tinggi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan (derajat

hirarkis tinggi). Tingkat kedalaman peran yang tinggi ini dicerminkan melalui fungsi

pengaturan (regulating), pemberdayaan (empowering), dan pelaksanaan (executing)

yang melekat pada kementerian tipe ini.

Kedua, kementerian non-portofolio, yang tingkat kedalaman perannya dibatasi hanya

pada fungsi pengaturan (regulating) dan pemberdayaan (empowering), dengan

pertimbangan bahwa fungsi melaksanakan (executing) dapat dilakukan oleh

masyarakat, swasta, dan Pemerintah Daerah. Trend pembentukan kementerian ke

depan sebaiknya mengarah pada kementerian tipe ini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk

pelaksanaan prinsip good governance dan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

secara konsekuen. Melalui fungsi pemberdayaan yang dilakukan oleh kementerian,

pemerintahan yang partisipatif (demokratis) diharapkan akan terwujud. Selain itu,

daerah memiliki kesempatan untuk tumbuh secara simetris dengan tingkat kesenjangan

antar daerah yang seminim-minimnya. Untuk menciptakan kondisi demikian, maka

secara gradual sebagian besar kementerian portofolio perlu diciutkan kewenangannya

pada level pelaksanaan (executing), bahkan dihilangkan sama sekali.

Ketiga, agency yang bersifat techno structure dan staff support yang menangani urusan

pemerintahan umum (manajemen pemerintahan) seperti kesekretariatan, reformasi

administrasi, kebijakan otonomi daerah, hingga perencanaan program dan anggaran.

Seluruh urusan ini dapat diintegrasikan dalam satu Kantor Kepresidenan. Model

kelembagaan ini diantaranya dianut oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea,

dan Taiwan. Namun, untuk kasus Indonesia, tipe kelembagaan yang akan dibangun

perlu dikaji secara lebih mendalam dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang

lebih detil dan kompleks.

Page 8: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

8

Pola penataan kelembagaan existing

Model kelembagaan pemerintah pusat yang mengklasifikasikan struktur kabinet ke

dalam 3 tipe kelembagaan yaitu Kementerian Portofolio, Kementerian Non-portofolio,

dan Kantor Kepresidenan merupakan wajah baru dalam penataan kabinet. Dengan

memperhatikan kerangka penataan (kerangka pikir) di atas dan kelembagaan exsisting,

menata ulang kementerian dapat dilakukan melalui 7 pola penataan, yaitu:

Pertama, penghapusan kementerian, yang dilakukan dengan pertimbangan efisiensi

kelembagaan pemerintah pusat. Hal ini diusulkan terhadap seluruh kementerian

koordinator dengan asumsi bahwa fungsi koordinasi dapat dilaksanakan oleh Wakil

Presiden atau bahkan Presiden.

Kedua, penggabungan kementerian, yang dilakukan dengan mempertimbangkan

kesamaan rumpun urusan berdasarkan mandat konstitusi dan tantangan lingkungan

strategis yang dihadapi kementerian. Hal ini misalnya diusulkan pada Kementerian

Kesehatan dan Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan

Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kehutanan dan Kementerian

Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta

Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koperasi dan

UMKM.

Ketiga, penyerahan atau penarikan urusan dari kementerian satu ke kementerian yang

lain, dengan mempertimbangkan tantangan lingkungan strategis terkait keberadaan

suatu urusan pemerintahan. Bentuk penataan ini dilakukan dengan menarik suatu

dirjen dari sebuah kementerian ke kementerian lainnya. Kementerian Agama,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian

Riset dan Teknologi, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah beberapa

kementerian yang diusulkan untuk ditata ulang melalui bentuk penataan ini.

Keempat, perubahan status (kementerian portofolio menjadi kementerian

nonportofolio (meneg), perubahan status Dirjen menjadi LPNK, dan perubahan LPNK

menjadi Kementerian), dengan mempertimbangkan tantangan lingkungan strategis,

governance issues, dan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain,

peran swasta, masyarakat, dan pemerintah daerah dalam executing kebijakan perlu

diperkuat. Artinya, pada sisi lain peran pemerintah sebaiknya difokuskan pada level

mengatur dan memberdayakan. Bentuk penataan ini diusulkan untuk dilakukan pada

Page 9: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian

Dalam Negeri, 3 Dirjen pada Kementerian Keuangan, dan Badan Pertanahan Nasional.

Kelima, penghapusan dan/atau pemisahan urusan, dengan mempertimbangkan mandat

konstitusi dan tantangan lingkungan strategis. Kementerian yang diusulkan untuk

ditata ulang melalui penghapusan atau pemisahan urusan diantaranya adalah

Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Keenam, perubahan nomenklatur kementerian dengan mempertimbangkan mandat

konstitusi dan tantangan lingkungan strategisnya. Secara kelembagaan, kementerian

yang mengalami perubahan nomenklatur bisa merupakan kementerian yang diusulkan

untuk ditata ulang atau kementerian yang tidak diusulkan untuk mengalami perubahan.

Bentuk penataan ini diusulkan untuk Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM,

Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak.

Ketujuh, pengintegrasian organisasi pemerintah pusat yang menangani urusan

pemerintahan umum (manajemen pemerintahan) dalam satu kantor kepresidenan. Hal

ini dilakukan agar fungsi supporting tugas Presiden dan Wakil Presiden dalam

melakukan manajemen pemerintahan seperti kesekretariatan, perencanaan, anggaran,

pengawasan, reformasi administrasi, dan kebijakan otonomi daerah dapat lebih

terintegrasi dan terkoordinasi pada satu institusi. Dalam bentuk penataan kelembagaan

ini, diusulkan untuk mengumpulkan Sekretariat Negara, Kementerian PPN/Bappenas,

Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, MenPAN dan RB, LAN, BKN, BPKP, UKP4,

Wantimpres, dan DPOD dalam satu Kantor Kepresidenan.

Melalui pola penataan ini, setidaknya ada 11 kementerian yang dapat direduksi dari 34

kementerian menjadi 23 kementerian. 23 kementerian ini merupakan 22 kementerian

yang menangani urusan inti dan terdiri dari 13 kementerian portofolio dan 9

kementerian non-portofolio, serta 1 kementerian/agency yang menangani urusan

manajemen pemerintahan (Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur LAN

RI, 2014). Melalui pengurangan struktur kementerian, tentu ada cost dalam jumlah

besar yang harus dibayar terkait dengan proses penataannya. Namun dapat

dibayangkan, berapa efisiensi yang akan diraih dalam jangka panjang ketika anggaran

untuk gedung, sarana dan prasarana, menteri, dan struktur kelembagaan yang

mengikuti pola kementerian dapat dikurangi secara drastis.

Page 10: Menata ulang kabinet 2014 2019  ichwan- 2014_

10

Menata ulang kabinet, siapa berani?

Menata ulang kabinet tidak selesai pada level penataan struktural (efisiensi). Struktur

kabinet yang ramping haruslah didukung dengan penunjukan menteri yang berasal dari

kalangan profesional dan ahli di bidangnya (put the right man in the right place).

Kinerja kabinet akan sangat bergantung pada siapa yang ditunjuk presiden untuk

menduduki kursi menteri pada kabinet mendatang. Secara empiris, nyaris mustahil

untuk menciptakan kabinet yang bebas dari transaksi politik. Namun demikian,

profesionalisme harus kembali diberi ruang yang lebih besar untuk tampil di panggung

pemerintahan. Itu artinya, perlu melakukan penyeimbangan konfigurasi politik dan

profesional dalam struktur kabinet yang akan datang.

Dalam konteks ini, menata ulang kabinet meliputi dua wilayah penataan. Pertama,

struktur kabinet, yaitu penyederhanaan jumlah kementerian di dalam kabinet dengan

pertimbangan yuridis, akademis, dan empiris untuk menciptakan kelembagaan

pemerintah pusat yang efisien. Kedua, konfigurasi politik, yaitu bagaimana

mendistribusikan kekuasaan politik dengan menyeimbangkan peran profesional dan

konstelasi politik di lingkaran kekuasaan untuk mendorong terwujudnya efektivitas

kinerja pemerintah. Untuk periode 2014-2019, kesempatan untuk menata ulang kabinet

dan menciptakan struktur kabinet yang ramping dengan cita rasa profesional masih

sangat terbuka lebar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa calon presiden

yang berani melakukannya?