100
Restoring Coastal Livelihood Pelajaran-Pelajaran Terbaik Program Perbaikan Penghidupan Pesisir Sipadecengi Saling Membangun, Saling Memperbaiki

Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Restoring Coastal Livelihood

Pelajaran-Pelajaran Terbaik Program Perbaikan Penghidupan Pesisir

SipadecengiSaling Membangun, Saling Memperbaiki

Page 2: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki
Page 3: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Pelajaran-Pelajaran Terbaik Program Perbaikan Penghidupan Pesisirir

Sipadecengi

Page 4: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

In partnership with:

KEMENTERIAN SOSIALREPUBLIK INDONESIA

Pelajaran-Pelajaran TerbaikProgram Perbaikan Penghidupan Pesisirir

Sipadecengi

OxfaMJl. Ketilang No. 10 Makassar - 90125Telp. 0411 858468 fax 0411 873180email pengaduan: [email protected]

Penulis : asri Nuraeni, Hardiyanto, Irham RapyEditor : Boedi Sardjana Juliantofoto : Tua Hasiholan Hutabarat dan tim RCLLayout : Muh Iswandhi Badillah

Buku ini diterbitkan dalam rangka penyebaran informasi kegiatan Restoring Coastal Livelihood (RCL) atau Perbaikan Penghidupan Pesisir. Pendanaan kegiatan RCL sepenuhnya mendapat dukungan CIDa (Canadian International Development agency). Dalam pelaksanaan program RCL, Oxfam bekerjasama dengan mitra lokal Mangrove action Project (MaP) dan Yayasan Konservasi Laut (YKL). Buku ini ditujukan untuk masyarakat, Pemerintah Daerah, Lembaga Mitra, Media, dan seluruh pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memperbaiki penghidupan masyarakat pesisir.

Cetakan PertamaJanuari, 2015

Page 5: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki
Page 6: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

ata PengantarKPuji Syukur kami panjatkan kepada allah Yang Maha Esa yang telah memberikan

kekuatan pada semua pihak untuk bergerak secara aktif dan kreatif mengangkat harkat dan martabat masyarakat rentan, terutama perempuan rentan pesisir, melalui program Restoring Coastal Livelihood atau Perbaikan Penghidupan

Pesisir di pesisir barat Sulawesi Selatan.

Program Perbaikan Penghidupan Pesisir yang telah berjalan selama 5 tahun sejak februari 2010 bertujuan membangun kedayatahanan masyarakat rentan dari perubahan ekologi hutan bakau yang mengalami kerusakan karena konversi tambak yang masif dan berakibat pada kerusakan lingkungan pesisir di Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru. akibatnya masyarakat rentan pesisir menanggung dampak negatif dengan berkurangnya sumber penghidupan masyarakat pesisir karena perubahan sosial, ekonomi dan ekologi.

Proses rehabilitasi hutan bakau, fasilitasi masyarakat rentan untuk mampu mengakses dan mengontrol sumberdaya pesisir dan adanya peluang alternatif sumber penghidupan bagi masyarakat rentan terutama perempuan menjadi fokus utama program Perbaikan Penghidupan Pesisir. Peningkatan pikiran kritis dan kesadaran masyarakat rentan terhadap kemampuan dan kekuatan diri untuk hidup lebih baik dan sejahtera telah melahirkan kemandirian dan keberanian masyarakat, terutama perempuan untuk bersuara, berusaha dan bekerjasama dalam kelompok dengan lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta dan pemerintah di tingkat desa dan kabupaten.

Dinamika dan proses menuju kemandirian masyarakat rentan dengan kreativitas yang tumbuh dari kearifan lokal dan semangat perubahan dapat disebarluaskan untuk pembelajaran bersama semua pihak yang menaruh perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang sering kali terpinggirkan. adanya pembelajaran dan praktik terbaik yang muncul dari masyarakat pesisir, dalam Program Perbaikan Penghidupan Pesisir diharapkan bisa menambah keyakinan bahwa masyarakat pesisir bisa menjadi subjek perubahan dalam pembangunan pesisir dengan pendekatan sosial, ekonomi dan ekologi yang terintegrasi.

Page 7: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

K ata Pengantar

Kumpulan pelajaran-pelajaran terbaik dari Program Perbaikan Penghidupan Pesisir yang telah berlangsung selama 5 tahun di pesisir barat Sulawesi Selatan telah direkam dan dokumentasikan dalam buku Sipadecengi ini. Melalui buku ini, keadilan gender, akses dan kontrol terhadap sumber daya alam serta partisipasi aktif masyarakat rentan pesisir masih perlu terus didorong sehingga masyarakat rentan pesisir bisa mengambil peran aktif dan mendapatkan manfaat pembangunan.

Semoga inisiatif yang telah dibangun dari program Perbaikan Penghidupan Pesisir yang mendaptkan bantuan dari Pemerintah Kanada yang dikelola OxfaM bersama mitranya serta mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah ditingkat desa, kabupaten dan provinsi serta instansi terkait bisa menjadi model dalam pemberdayaan masyarakat pesisir menuju masyarakat yang mandiri, mampu bertahan dan bangkit dari goncangan sosial, ekonomi dan ekologi akibat adanya perubahan iklim.

Inisiatif yang telah terbangun dan kesadaran kritis yang tumbuh dalam diri masyarakat rentan pesisir merupakan modal dasar kemandirian dan keberlanjutan Perbaikan Penghidupan Pesisir. Kekuatan masyarakat rentan pesisir untuk aktif mengambil peran dalam pembangunan ternyata mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat pesisir menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun demikian, masih ada ruang untuk perbaikan dalam mengoptimalkan Perbaikan Penghidupan Pesisir. Kami membuka diri dan senang hati jika ada kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dikemudian hari.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas terlaksananya program Perbaikan Penghidupan Pesisir rangkaian kumpulan praktik terbaik Program Penghidupan Pesisir. Semoga buku ini memberi manfaat dan dapat dijadikan pintu perubahan kehidupan masyarakat pesisir yang lebih baik.

Boedi Sardjana JuliantoProgram Manager Restoring Coastal Livelihood - OXFAM

Page 8: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

D aftar Isi

Kata Pengantar ..................................................................................................................................iiiKata Pengantar ..................................................................................................................................ivDaftar Isi ...............................................................................................................................................v

1. Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa .............................................2• Tantangan Setelah Sekolah Lapang .......................................................................6

2. Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Pulau Tanakeke ......................................................................................................................9• Kelompok Melati ............................................................................................................11• Kelompok Sipakmaling-Malingi ...............................................................................14• Kelompok Sipakainga ...................................................................................................15• Mendorong Perempuan dalam Mengakses Sumber Daya alam Pesisir ....16

3. Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut ..19• Dulu dan Kini Setelah RCL Hadir...............................................................................22

4. Kelompok Siangkalinga Adae: Perguliran Modal Produksi Jaring untuk Masyarakat Rentan ..............................................................................................................25• Mendidik Masyarakat dengan Revolving in Kind .................................................30

5. Kelompok Ujung Parappa, Bebaskan Nelayan dari Ponggawa dengan Keterbukaan Informasi Harga Kepiting .....................................................................33• Memotong Rantai Penjualan Kepiting ...................................................................34• Relasi Suami Isteri dalam Kelompok Ujung Parappa .......................................37• Dana Koperasi dan akses Perbankan .....................................................................38• Menjaga Keberlangsungan ........................................................................................39

Page 9: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

6. Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri ...............................................................41

7. Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove ..........................................49

8. RPJM Desa Nisombalia, Perencanaan Pembangunan Desa Partisipatif dan Adil Gender ..............................................................................................................................59• RCL dan RPJM Desa Partisipatif Desa Nisombalia ..............................................60• RPJM Desa Partisipatif dan adil Gender .................................................................65

9. Berdaulat Dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID) .........................69• Memudahkan dan Mendekatkan .............................................................................70• Desa Berdaulat ................................................................................................................72• Web Desa ..........................................................................................................................74• Kinerja yang Baik ............................................................................................................75

10. BUM Desa MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI PETANI RUMPUT LAUT............................................................................................. 77

• Kontrol Kualitas dan Keterbukaan Informasi Rumput Laut .................................78• Menjaga Ketersediaan Bibit Rumput Laut .................................................................80

Glosarium ..............................................................................................................86

Page 10: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki
Page 11: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa 1

Page 12: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

2 Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa

Program Restoring Coastal Livelihood (RCL) hadir di 4 kabupaten di Sulawesi Selatan, yang salah satunya daerah yang didampingi adalah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). RCL hadir dengan tujuan memberdayakan masyarakat pesisir agar tercapainya perbaikan hidup masyarakat pesisir. Mangrove Action

Project (MaP) sebagai mitra Oxfam di RCL yang mendampingi masyarakat di Pangkep, menyelenggarakan Sekolah Lapang Pesisir di tahun 2010.

apa itu Sekolah Lapang Pesisir? Sekolah Lapang Pesisir (SLP) merupakan pendidikan non-formal bagi masyarakat di wilayah pesisir, yang melibatkan masyarakat untuk menggali potensi desanya sekaligus bisa menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Hal ini didasari fakta bahwa masyarakat pesisir (nelayan) adalah masyarakat yang rentan secara ekonomi karena hanya memiliki satu sumber mata pencaharian, yang notabene sumber itu (melaut) dipengaruhi keberlangsungannya oleh faktor eksternal seperti musim, cuaca, dan lain-lain.

Dalam kondisi kerentanan itu, posisi perempuan berada dalam posisi paling lemah, karena kurangnya keahlian serta akses yang dimiliki dalam rumah tangga maupun masyarakat untuk mengontrol dan mengambil peran produksi.

SLP berusaha memfasilitisasi peserta (mayoritas perempuan dan kalangan rentan) agar memiliki sumber pendapatan alternatif. SLP akan menjadi tempat di mana para

Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa1

Page 13: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa 3

peserta bersama dengan fasilitator mengekspolorasi potensi ekonomi di wilayahnya yang belum dimanfaatkan dengan baik.

SLP juga diadakan sebagai wahana peningkatan kapasitas masyarakat (khususnya perempuan) baik dalam hal wawasan mau pun kemampuan, sehingga dalam proses pembelajaran yang terjadi, kemampuan menyampaikan pendapat, pengambilan keputusan, dan kemampuan berorganisasi terus didorong oleh fasilitator.

Hasil dari proses ini diharapkan, masyarakat memiliki wawasan yang kritis dan kemampuan teknis untuk mengolah sumber daya di sekitarnya baik alam mau pun sosial menjadi komoditi ekonomi yang bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga dan berkelanjutan.

Khusus di Kapupaten Pangkep, SLP menghadirkan pemateri dari Balai Proteksi Tanaman dan Holtikultura Provinsi Sulawesi Selatan. Selama 2010-2012, SLP dilaksanakan di 17 titik di Kab. Pangkep dengan peserta di tiap titik sebanyak 25 orang yang tersebar di Desa Boddie (3 unit), Desa Tamangapa (3 unit), Desa Pitusunggu (8 unit), dan Desa Bontomanai (3 unit).

SLP diawali dengan Sustainable Livelihood Assessment (SLa). SLa ini melibatkan masyarakat setempat (yang menjadi peserta SL) untuk melakukan penilaian terhadap potensi desa mereka. SLa dilakukan selama 3 kali pertemuan, dengan pertemuan setiap minggunya disampaikan 7 materi. Dalam SLa peserta SLP terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok ini kemudian diberi tugas untuk melakukan pemetaan berbagai potensi desa, membuat peta potensi desa dengan melakukan pengamatan di lapangan, dan mengidentifikasi komponen-komponen yang ada di sekitar potensi-potensi tersebut.

ada banyak input yang bisa didapat dari SLa, antara lain: teridentifikasinya berbagai macam potensi desa dari masing-masing lokasi (lahan pekarangan, lahan terlantar, potensi perikanan tambak, perikanan sungai, dan komoditas yang dibudidayakan atau yang muncul secara alami. Selain itu input yang didapat adalah identifikasi potensi vegetasi alam seperti bambu, mangrove, potensi ternak yang limbahnya bisa digunakan untuk kompos, dan tanaman yang ada di sekitar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam produk.

Page 14: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

4 Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa

Selanjutnya setelah dilakukan pemetaan, masing-masing kelompok peserta harus mempresentasikan hasil pemantauannya di lapangan. Selanjutnya fasilitator mendorong peserta membuat ‘jembatan bambu’ yang mengantarkan pemikiran peserta SLP sehingga muncul kesimpulan berupa tindak lanjut topik yang akan menjadi fokus yang akan dipelajari di SLP.

adapun beberapa topik SLP yang sudah diselenggarakan, yaitu tambak organik, sawah organik, dan sayur organik. SLP ini berlangsung selama 12 pertemuan yang dilakukan setiap seminggu sekali. Menariknya, metode SLP ini mempunyai proporsi 30% teori dan 70% praktek.

Salah satu peserta dari SLP yaitu Sitti Rahmah menyampaikan, dengan praktek yang lebih banyak ini memudahkan bagi Sitti Rahmah dan peserta lainnya dalam mempelajari topik yang dipelajari dalam SLP baik itu padi air asin, sawah organik, maupun sayuran organik. Biasanya setelah teori disampaikan, peserta langsung ke lapangan untuk praktek langsung, seperti melihat berapa anakan padi, bagaimana hama menyerang tanaman, bagaimana bentuk gulma, dsb.

Menurut Sonikusnito-field fasilitator untuk daerah Pangkep, kelebihan dari SLP selain peserta belajar secara learning by doing, peserta juga diarahkan untuk melakukan pengamatan tentang komoditas yang dibudidayakan, kondisi pertumbuhan, gangguan hama, kondisi cuaca, serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi kondisi tambak, sawah, dan kebun sayuran. Sehingga peserta tidak hanya memahami bagaimana teknis melakukan penanaman padi air asin, sawah organik, dan sayur organik, tetapi juga memahami banyak hal selain tanaman itu sendiri. Harapannya, ketika peserta SLP melanjutkan sawah dan pertanian organik secara mandiri sebagai sebuah usaha, ini akan menjadi modal agar mereka bisa menganalisa dan menemukan solusi yang tepat.

Setelah 12 pertemuan berlangsung, peserta SLP wajib mempresentasikan semua hasil kerjanya. Presentasi dari peserta inilah yang akan merumuskan kesimpulan. Kemudian peserta diminta untuk merumuskan rencana tindak lanjut kegiatan, serta analisa usaha dari kegiatan yang akan dilakukan.

analisa usaha dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan serta ancaman dan peluang dari usaha yang dipilih, dan mengetahui bagaimana proses

Page 15: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa 5

produksi dan distribusi dari produk yang akan dihasilkan. analisa usaha juga melihat bagaimana perhitungan biaya modal dan keuntungan yang akan didapat jika usaha tersebut dijalankan. Seperti yang dialami Sitti Rahmah dan peserta SL lainnya, mereka sempat melakukan analisa terhadap produk yang ditargetkan masuk di pasar modern di Makassar. Biaya yang dikeluarkan untuk ongkos distribusi dari Pangkep-Makassar pun dihitung, apakah laba sudah menutupi seluruh biaya produksi atau tidak.

Hasil dari SLP bisa dilihat dari beberapa alumni SLP sampai saat ini masih aktif ‘memperjuangkan’ apa yang sudah didapat dari SLP, antara lain: Sitti Rahmah dan suaminya Mohammad arif. Suami isteri ini kerap mengajak masyarakat sekitarnya untuk memanfaatkan pekarangan dengan bertanam dan menyediakan berbagai benih sayuran dari pembenihan sendiri, yang sering diberikan kepada masyarakat secara gratis. Selain itu, Sitti Rahmah dan Mohammad arif seringkali membagi informasi/pengetahuan yang didapat dari SLP ke kelompok Mutiara Desa-kelompok budidaya dan penjualan sayur organik di Desa Pitue.

Peserta Sekolah Lapang sedang melakukan Sustainable Livelihood Assessment (SLA) potensi desa masing-masing

Page 16: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

6 Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa

Kemudian alumni lainnya yaitu Sahariah. Sampai saat ini Sahariah mengelola demplot tambak organik di tambaknya sebagai role model bagi masyarakat/petambak lain di desanya. Kemudian H. Haruna, yang sampai saat ini tetap aktif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pengelolaan tambak secara organik atau penekanan penggunaan pupuk organik di tambak. alumni lain yaitu H. Sukri, beliau sudah menjadi teladan bagi masyarakat di Desa Boddie, dan menjadi contoh bagi para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Kecamatan Mandalle. Dalam Kelompok Sipakatuwo beliau selalu mengingatkan anggotanya untuk menerapkan penggunaan pupuk organik di sawah masing-masing anggota. H. Sukri juga mendampingi petani dan petambak di Kalimantan Timur dalam pengelolaan sawah dan tambak organik. Saat ini H. Sukri sedang mendampingi kelompok Tani di Desa Pao-pao dalam pengelolaan sawah organik.

Tantangan Setelah Sekolah Lapang Pesisir

MENURUT Sonikusnito hambatan yang dialami di tahap awal SLP, yaitu meyakinkan masyarakat rentan yang menjadi peserta SLP. Masyarakat khawatir ketika mengikuti SLP mereka akan kehilangan waktu untuk bekerja, yang bagi mereka waktu adalah uang. Menyiasati ini pelaksanaan SLP akhirnya melibatkan aparat desa dalam sosialisasi tahap awal SLP, untuk mendorong dan memotivasi masyarakat rentan bisa mengalokasikan waktunya satu hari dalam seminggu.

Saat ini SLP menjadi awal dari perubahan pola pikir masyarakat dalam memanfaatkan potensi desanya, seperti hal pemanfaatan lahan tidur yang terabaikan selama berpuluh-puluh tahun, lahan pekarangan rumah, dan pemanfaatan potensi vegetasi alam yang ada di desa. Walaupun pola pikir masyarakat sudah mulai berubah, yang masih menjadi tantangan saat ini adalah kemauan warga untuk mengaplikasikan pemahaman dari SLP.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab masih enggannya warga mengaplikasikan ilmu dari SLP adalah keinginan untuk mendapatkan untung dalam waktu yang cepat. Produk dari pertanian dan tambak organik memang lebih sehat dan mempunyai kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk dengan proses non-organik. Hanya saja warga masih melihat dari sisi kecepatan proses dari awal hingga panen, menggunakan pupuk non-organik dalam pertanian dan tambak lebih cepat

Page 17: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Sekolah Lapang Untuk Pemanfaatan Potensi Desa 7

menghasilkan dibandingkan dengan menggunakan pupuk organik. Pada akhirnya mengubah perilaku masyarakat untuk beraktivitas tani dan tambak yang ramah lingkungan memang memerlukan waktu yang tidak singkat, memberi kesempatan bagi mereka untuk berefleksi dari pengalaman yang sudah mereka alami.

Peserta Sekolah Lapang sedang menanam padi air asin.

Page 18: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

8 Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan Di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

Page 19: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

9

Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

2D

esa Rewataya, satu dari lima desa di Kepulauan Tanakeke Kabupaten Takalar, diakses dengan menggunakan kapal dari Dermaga Takalar Lama, dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam. Di Desa Rewataya terdapat 3 kelompok perempuan dampingan program Restoring Coastal Livelihood (RCL), yaitu

Kelompok Melati, Kelompok Sipakmaling-malingi, dan Kelompok Sipakainga.

Desa Rewataya ini merupakan desa pesisir yang masyarakatnya hidup dengan pemanfaatan sumber daya laut. akses menuju Kepulauan ini hanya bisa dijangkau melalui jalur laut, dan tentu ketika alam tidak bersahabat akses dari dan ke kepulauan ini menjadi terputus. Puncak ramainya alur masuk dan keluar dari dan ke Kepulauan Tanakeke adalah saat hari pasar yang berlangsung setiap 4 hari sekali.

Di Desa Rewataya sendiri banyak masyarakat yang masih masuk dalam kategori rentan (vulnerable). Mereka adalah yang kurang mampu, tidak mempunyai sumber penghidupan yang layak, tidak memiliki akses sehingga terkendala dalam berproduksi. Sehingga di tahun 2011 Oxfam melalui program RCL (Restoring Coastal Livelihood) mendorong masyarakat rentan tersebut untuk membentuk kelompok dengan pendekatan rumah tangga. Setelah dilakukan assessment oleh Community Organizer (CO), terbentuklah 3 kelompok di Desa Rewataya. awalnya fokus kegiatan kelompok ini adalah produksi pengolahan makanan berbahan cumi-cumi, namun sejak 2013 kemarin berpindah ke budidaya rumput laut.

Page 20: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

10 Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan Di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

Bagi warga Desa Rewataya, berbudidaya rumput laut tentu bukan hal asing lagi. Ini sudah menjadi profesi sebagian besar warga, disamping menjadi nelayan. Hanya saja budidaya yang dilakukan masih belum sampai pada hasil optimal, dikarenakan kurangnya modal, masalah cuaca, kelangkaan bibit, yang membuat hasil dari budidaya rumput laut belum berhasil meningkatkan ekonomi warga.

Dengan kondisi alam berupa kepulauan, akses transportasi antara Desa Rewataya dan Kabupaten Takalar daratan tentu tidak mudah. Selain harus menyesuaikan dengan kondisi alam, ongkos menyebrang pun tidak murah. Ongkos dari Kepulauan Tanakeke menuju Dermaga Takalar Lama sekitar Rp 30.000,- untuk orang dewasa, tentu tidak semua penduduk di Kepulauan Tanakeke bisa setiap waktu hilir mudik dari Kepulauan Tanakeke ke daratan atau sebaliknya. Kondisi cukup jauh dari darat, dalam hal ini menuju Kabupaten Takalar di darat, mendorong masyarakat yang melakukan

Anggota kelompok di Desa Rewataya sedang mengikat bibit rumput laut

Page 21: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

11

budidaya rumput laut di Desa Rewataya menjual hasil panennya ke pengumpul/ponggawa, kemudian pengumpul inilah yang menjual rumput laut ke Takalar darat.

Dalam masyarakat etnis Makassar dan Bugis terutama di wilayah pesisir, dikenal dengan istilah “Ponggawa”. Ponggawa-sawi merupakan sistem patron-client di mana hubungan antar keduanya saling menguntungkan. Ponggawa adalah patron/pelindung yang menyediakan modal sosial dan ekonomi bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha. Sedangkan sawi adalah client yang mendapat perlindungan sekaligus bekerja pada ponggawa dengan memakai atribut hubungan norma sosial dan persepakatan kerja. Dengan sistem ponggawa-sawi ini, ponggawa diuntungkan karena mempunyai sumber daya yang menjalankan usahanya dan layanan sosial lainnya, sedangkan sawi mendapat jaminan hidup/sumber pendapatan dalam hidupnya.

Dalam konteks masyarakat di Desa Rewataya, sistem Ponggawa-Sawi berlangsung ketika Ponggawa memberikan pinjaman modal untuk petani budidaya rumput laut. Kemudian sawi diharuskan menjual hasil panen rumput laut ke ponggawa/pengumpul. Di saat perbankan tidak mempercayai masyarakat rentan, sehingga mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk memperbaiki usahanya. Di sinilah peran ponggawa sangat terasa, ponggawa percaya untuk meminjamkan uang kepada sawi. Namun, seperti sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa hasil panen rumput laut akan dijual kepada pengumpul/ponggawa dengan harga jual yang sudah ditentukan.

Relasi antar ponggawa dan sawi sebetulnya lebih bersifat kekeluargaan. Ponggawa juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan sawinya, seperti kebutuhan mendadak, atau kebutuhan dana untuk pernikahan. Beberapa anggota di kelompok dampingan RCL ada yang mempunyai hutang puluhan juta untuk biaya pernikahan. Hutang tersebut kemudian dibayar dengan berangsur, dan jika ada hasil panen rumput laut, rumput laut tetap dijual ke ponggawa. Di sini sebenarnya terjadi relasi yang kurang adil, karena sawi akan menjadi tergantung dan terikat pada ponggawa, mereka tidak memiliki kemandirian, kebebasan, dan keterbukaan akses untuk mengembangkan usahanya.

Kelompok Melati

Page 22: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

12 Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan Di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

Page 23: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

13

Kelompok Melati

MULAI dari april 2014 hingga saat ini Kelompok Melati sudah panen sebanyak 6 kali. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Spinosum (SP), dengan nilai jual seharga Rp. 4.000/kg. anggota Kelompok Melati memutuskan untuk menggunakan rumput laut jenis ini karena cocok untuk area budidaya dan dianggap lebih cepat panen.

Omset masing-masing anggota Kelompok Melati tentu disesuaikan dengan jumlah bentangan yang dimiliki. Makin banyak bentangan maka potensi untuk panen rumput laut pun lebih besar. Jika dilihat dari catatan keuangan sejak dari awal bertanam rumput laut, omset anggota Kelompok Melati meningkat.

Setelah mendapatkan bantuan modal dari Oxfam melalui program RCL, Kelompok Melati yang mempunyai 13 orang anggota, bisa merasakan beberapa perubahan positif. Selain jumlah bentangan rumput laut yang bertambah, mereka juga bisa membayar hutang ke ponggawa bahkan beberapa anggota sudah bisa lepas dari ponggawa, serta mereka sudah bisa menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat SMP-SMa, bahkan membeli emas sebagai bentuk investasi. In kind material dari RCL biasanya berupa bibit dan tali, disebut bantuan perguliran karena bantuan ini nantinya harus digulirkan ke pihak lainnya yang dianggap membutuhkan, baik kelompok maupun keluarga sesuai kesepakatan bersama.

Ketua Kelompok Melati, Dg Ratu menyampaikan, “Perbedaan dahulu dan sekarang terasa sekali. awal-awal kehadiran program RCL di Desa Rewataya, masih banyak anggota kelompok yang buta huruf. Kemudian diselenggarakan kelas belajar menulis dan membaca selama 6 bulan, dan alhamdulillah perempuan anggota kelompok Melati sekarang sudah bisa membaca, beberapa ada yang sudah bisa menulis dan membaca. Sebagian besar perempuan anggota minimal sudah bisa tanda tangan, dan tidak menggunakan cap jempol lagi.”

Perubahan mengenai kepercayaan diri dalam berpendapat juga meningkat. Menurut pendamping Kelompok di Desa Rewataya, Syamsul Bahri mengatakan “dulunya Ibu-ibu ini pemalu, seperti halnya Dg Ratu dulunya pemalu, namun sekarang makin percaya diri berbicara dalam forum”.

Page 24: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

14 Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan Di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

Kelompok Melati sudah melakukan perguliran in kind material untuk masyarakat rentan lainnya yang dianggap layak mendapat bantuan. Kelompok Melati sudah menyiapkan uang kas untuk digulirkan pada 5 calon penerima in kind material, dengan masing-masing akan mendapat 100 kg bibit rumput laut.

awalnya mekanisme perguliran ini disepakati 30% dari penghasilan masing-masing anggota yang disetorkan ke kas kelompok setiap kali panen. Namun, dalam realisasinya belum bisa seideal yang direncanakan. akhirnya, anggota diperbolehkan memberikan uang berapapun disesuaikan dengan penghasilan panen tiap bulannya. Perguliran tidak langsung menargetkan 13 anggota baru (sejumlah anggota penerima in kind material pertama), karena ini akan menjadi beban bagi anggota kelompok. Sehingga perguliran dilakukan secara bertahap, untuk periode pertama ini diberikan kepada 5 orang masyarakat rentan dengan in kind material yang diterima masing-masing sebesar 100 kg rumput laut.

Kelompok Sipakmaling-Malingi

KATA “Sipakmaling-malingi” mungkin tidak begitu familiar di telinga kita. Sipakmaling-malingi berarti saling menyayangi. Sebuah nama yang menjadi ruh gerakan kelompok ini, menjadi cita-cita agar antar anggota kelompok bisa saling menyayangi. Kelompok Sipakmaling-malingi yang diketuai oleh Dg Sona mempunyai 15 orang anggota. Di awal program RCL hadir di Rewataya, 10 dari 15 anggota buta huruf. Maka anggota yang masih buta huruf ini mengikuti kelas membaca dan menulis terlebih dahulu.

Dibandingkan dengan Kelompok Melati, Kelompok Sipakmaling-malingi mempunyai omset yang lebih besar. Jenis rumput laut yang digunakan adalah Cottonii dan SP. Jenis rumput laut ini digunakan sesuai dengan musimnya. Untuk bulan april-Juli kelompok Sipakmaling-malingi menggunakan jenis cottonii dengan nilai jual Rp. 10.000,-/kg. Sedangkan di Bulan agustus-Oktober menggunakan jenis SP dengan nilai jual Rp. 4.000,-/kg. Walaupun nilai jual rumput laut jenis SP lebih murah, tetapi dianggap cocok untuk musim di Bulan agustus-Oktober.

Dilihat dari catatan keuangan kelompok Sipakmaling-Malingi, setelah mendapat in kind materials berupa peralatan dan bibit rumput laut dari RCL, anggota mengalami

Page 25: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

15

kenaikan penghasilan yang signifikan. Setiap anggota setiap bulannya rata-rata mendapat keuntungan sebesar Rp. 700.000,-.

Dampak positif yang dirasakan setelah adanya pendampingan dan perguliran in kind material dari RCL, Dg Sona sendiri sudah bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah dan membangun rumah. Bahkan di kelompok Sipakmaling-malingi ada sekitar 3 anggota yang sudah bisa membiayai anaknya kuliah. anggotanya yang lain ada yang sudah berhasil lepas dari ponggawa, bisa membeli emas sebagai upaya menabung.

Dengan berbagai dampak positif yang dirasakan anggota Kelompok Sipakmaling-malingi, ini mendorong anggota kelompok untuk segera menggulirkan in kind material. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa setiap anggota wajib menggulirkan in kind material yang diterimanya kepada orang lain yang masuk kategori rentan. Di perguliran bantuan yang pertama, sekitar 6 orang rentan yang akan menjadi penerima in kind material, dengan bantuan yang akan diterima masing-masing adalah 200 kg rumput laut.

Kelompok Sipakainga

SiPakainga berarti saling mengingatkan, berharap nama ini bisa menjadi nilai yang dihidupkan oleh anggotanya. anggota Sipakainga terdiri dari 14 orang. Di awal pembentukkan kelompok ini, beberapa anggota Kelompok Sipakainga juga ada yang buta huruf, sehingga anggota yang masih buta huruf ini mengikuti kelas membaca dan menulis terlebih dahulu.

Mulai Bulan april kemarin hingga sekarang, Sipakainga sudah panen rumput laut

sebanyak 8 kali panen. Jenis rumput laut yang digunakan adalah Cottonii dan SP. Penggunaan kedua jenis rumput laut ini disesuaikan dengan musimnya. Untuk bulan april dan Mei menggunakan Cottonii, Juli-September menggunakan jenis SP.

Penjualan rumput laut jenis SP di Bulan agustus merupakan hasil penjualan yang paling tinggi dibandingkan dengan bulan lainnya. Dengan hasil panen jenis SP dalam jumlah yang banyak, hasil penjualan pun meningkat.

Dengan penghasilan yang meningkat, tentu membawa dampak positif pada

Page 26: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

16 Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan Di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

anggota Kelompok Sipakainga. Budidaya rumput laut dengan pengelolaan yang baik tentu bisa memperbaiki kehidupan masyarakat. Beberapa anggota sudah bisa menyekolahkan anaknya ke SMP dan SMa, sudah bisa memperbaiki rumah, membeli perahu, dan menginvestasikan uang mereka dengan membeli emas.

Perguliran bantuan dari kelompok ini dilakukan dengan sistem tabungan kelompok. anggota memberikan sejumlah uang setiap kali panen, dan setelah terkumpul uangnya maka akan digulirkan berupa bibit rumput laut ke anggota baru yaitu masyarakat rentan. Kelompok ini sudah menargetkan 4 orang masyarakat rentan yang akan mendapat in kind material berupa peralatan dan bibit rumput laut.

Mendorong Perempuan dalam Mengakses Sumber Daya Alam Pesisir

PENDEKATAN RCL terhadap masyarakat sebetulnya adalah pendekatan terhadap rumah tangga. Sehingga, yang menjadi fokus program ini bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki yang masuk dalam kategori rentan. Mengapa 3 kelompok di Desa Rewataya melibatkan sebagian besar perempuan? Karena biasanya perempuan menjadi yang paling dirugikan dalam kemiskinan.

RCL mendorong perempuan-perempuan pesisir dan juga kaum lelaki untuk bisa mengakses dan mengontrol Sumber Daya alam pesisir, yang salah satunya adalah rumput laut. Perempuan yang menjadi anggota kelompok sebagian besar adalah isteri nelayan, janda-janda yang masuk dalam kategori rentan. Dengan mendapatkan in kind material, maka perempuan-perempuan ini bisa melakukan peran produksi. Jika selama ini mereka menjadi buruh rumput laut atau walaupun punya lahan sendiri hasilnya masih sedikit, kini dengan adanya tambahan modal maka ekonomi keluarga pun meningkat, dan berdampak positif untuk keberlangsungan kehidupan keluarganya.

Dengan adanya dampingan dari fasilitator yang mengarahkan bagaimana manajemen usaha rumput laut, dan berbagai pelatihan yang mendorong perempuan untuk lebih percaya diri dalam berpendapat dan mengutarakan gagasannya, dampak positifnya bisa dilihat yaitu perempuan bukan hanya bisa mengakses tetapi juga mengontrol sumber daya pesisir.

Page 27: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Perguliran In Kind Material Kepada Masyarakat Rentan di Desa Rewataya, Kepulauan Tanakeke

17

In kind material atau bantuan perguliran tentu menjadi nilai lebih dari program RCL ini, karena yang diberikan kepada masyarakat rentan ibarat kail yang membuat si penerima in kind material menjadi mandiri dan bisa berdaya. Dengan adanya perguliran, harapannya bukan hanya anggota kelompok yang menerima manfaat, tetapi lebih banyak masyarakat rentan lainnya yang bisa tumbuh menjadi lebih berdaya.

Anggota kelompok di Desa Rewataya menerima In kind Material berupa tali dari program RCL

Page 28: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

18Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

Page 29: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

19

Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

3K

elompok “Kalaroang” bisa jadi se”angker” namanya. Nama ini terinspirasi dari sebuah tempat yang dikenal angker, yaitu sebuah gunung batu yang berada di tengah lautan. Konon ketika masa penjajahan dulu, orang-orang yang diasingkan sering dibuang ke tempat ini. Orang yang diasingkan ini kemudian

menghilang dan tidak ditemukan jejaknya. Dari cerita ini muncul kepercayaan di masyarakat, ketika sebuah kapal dinamai “Kalaroang” maka kapal ini akan bagus di laut, dia bisa kuat mengarungi ombak, dan menurut penuturan masyarakat fakta yang terjadi memang demikian. Untuk itu kelompok ini diberi nama Kalaroang, dengan nama “Kalaroang” harapannya kelompok ini bisa terus bertahan, mengantarkan anggota kelompok untuk mendapat penghidupan yang lebih baik.

Syarifah, ketua Kelompok Kalaroang sekaligus Kelompok Siangkalinga adae, bagai pelita bagi masyarakat sekitarnya. Syarifah terpilih menjadi ketua untuk dua kelompok, karena sarjana pendidikan Islam ini adalah sebagian kecil dari masyarakat Desa Tamarupa yang bisa mencicipi nikmatnya pendidikan. Masih banyak masyarakat khususnya kalangan orang tua di desa ini yang buta huruf. Syarifah yang juga adalah guru di sebuah Madrasah aliyah ini, terdorong untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitarnya.

Page 30: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

20Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

Sebagai daerah pesisir masyarakat di Desa Tamarupa mempunyai profesi yang berbasis sumber daya laut, seperti nelayan, penjaring, dan petani rumput laut. Maka tak heran ketika satu orang bisa menguasai tidak hanya satu pekerjaan. Nelayan sebagian besar juga melakukan aktivitas budidaya rumput laut, dan isteri-isteri mereka mahir membuat jaring. Bagi mereka semua keahlian ini sebagai usaha untuk mengoptimalkan potensi laut untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Oxfam melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) hadir di Desa Tamarupa di tahun 2013. Setelah melakukan assessment, RCL melalui fasilitator dan Community Organizer (CO) mendorong masyarakat untuk membentuk sebuah kelompok. Maret 2013 Kelompok Kalaroang resmi berdiri, dengan anggota pertama sebanyak 10 orang. anggota-anggota ini 80% terdiri dari masyarakat rentan, yaitu mereka yang kurang mampu, tidak mempunyai sumber penghidupan yang layak, tidak memiliki akses sehingga terkendala dalam berproduksi. Sedangkan 20% nya adalah mereka yang tidak begitu rentan. Mengapa ada angka 20% dari masyarakat yang tidak begitu rentan menjadi anggota kelompok? Menurut Sonikusnito-field fasilitator untuk daerah Pangkep menyampaikan, bahwa 20% masyarakat yang tidak begitu rentan ini diharapkan bisa memotivasi dan menjadi contoh bagi anggota lainnya. Jika anggota kelompok 100% rentan, dikhawatirkan proses pelaksanaan kegiatan kelompok kurang berjalan baik, mengingat masyarakat rentan seringkali lebih memilih waktu untuk bekerja dibandingkan meluangkan waktu untuk kelompok. Harapannya 20% masyarakat yang tidak begitu rentan ini bisa mendorong masyarakat rentan ini agar lebih termotivasi dan menyediakan waktu untuk kelompok.

Menurut Syarifah, untuk pertama kalinya ia dan anggota kelompok mendapat in kind material berupa peralatan dan bibit untuk budidaya rumput laut. Menurutnya, seringkali bantuan yang turun dari pemerintah ke desanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, dan bantuan tersebut tidak pernah dibagi kepada orang lain yang membutuhkan. Dicurigai adanya oknum yang berperan, sehingga bantuan tersebut selalu diberikan pada orang yang sama.

In kind material dari RCL pada Maret 2013 berupa bibit rumput laut dan alat-alat yang dibutuhkan untuk budidaya. Bibit yang diberikan sejumlah 20 ton untuk 10 anggota, sehingga masing-masing mendapat sekitar 200 kg. Bibit ini kemudian mewujud dalam 32 tali bentangan untuk masing-masing anggota. Seiring waktu berjalan, ada beberapa kerabat dari anggota kelompok yang tertarik untuk budidaya rumput laut, namun

Page 31: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

21

memiliki kendala karena ada yang tidak mempunyai bibit dan alat seperti tali untuk bentangan. Melihat kondisi ini, Syarifah dan anggota kelompok lainnya berinisiatif untuk memberikan bantuan semampu masing-masing anggota. Perguliran in kind material ini beragam jumlahnya, ada anggota kelompok yang memberikan 7 bentang sampai ada yang memberikan 20 bentang, dengan panjang setiap bentang 25 m. Bentangan ini tentu bukan bentangan tali saja, namun disertai dengan bibit rumput lautnya. Masyarakat rentan yang mendapatkan perguliran pertama ini sebanyak 8 orang. Kemudian perguliran in kind material periode ke-2 sebanyak 4 orang.

Dari in kind material yang digulirkan berdasar inisiatif anggota kelompok, tentu ini bisa menggambarkan bagaimana empati dan tolong menolong yang tinggi antar anggota. Bantuan yang diberikan yang tidak dalam bentuk uang ini pada akhirnya bukan hanya membantu masyarakat rentan, tetapi sekaligus juga mendidik agar masyarakat tetap berusaha. Menghilangkan sifat malas dan kecendrungan untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat tanpa melalui proses.

Dari Maret 2013 sampai sekarang, anggota Kalaroang sudah lumayan produktif dalam budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang dibudidaya adalah cottonii warna merah dan hitam, dengan kisaran harga jual Rp 14.000,- hingga Rp16.000,- /kg. Walaupun jumlahnya belum mencapai target menjadi pemasok rumput laut yang diekspor, tetapi dari waktu 1 tahun berjalan ini sudah lumayan meningkatkan penghasilan keluarga. Tidak adanya ponggawa yang membeli hasil panen rumput laut ini menjadikan nilai jual cukup tinggi.

Setiap anggota memang tidak mempunyai jumlah bentangan yang sama, tetapi rata-rata mereka sudah mengalami 15-19 kali panen. Maret 2013 kemarin, anggota mendapat bantuan bibit, kemudian april melakukan pembibitan. Bulan Mei hingga Desember 2013 mereka melakukan budidaya. Sedangkan Januari-februari tidak menanam karena faktor cuaca, kemudian Maret-april 2014 melakukan pembibitan. Bulan Juli hingga Oktober anggota melakukan budidaya lagi.

Hambatan yang seringkali dialami dalam budidaya rumput laut adalah faktor musim, seperti di bulan Januari-februari tidak bisa dilakukan budidaya di laut karena ombak sedang besar. Sehingga budidaya rumput laut tidak bisa dilakukan sepanjang tahun. Kemudian faktor kelangkaan bibit sehingga petani perlu melakukan pembibitan dahulu untuk beberapa kali panen. Baru-baru ini anggota kelompok

Page 32: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

22Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

Kalaroang sudah mempersiapkan diri dengan teknologi budidaya rumput laut dalam keramba. Harapannya, dengan teknik baru ini bisa membuat petani rumput laut bisa budidaya sepanjang tahun sehingga hasilnya menjadi lebih optimal.

Dulu dan Kini Setelah RCL Hadir

SEBELUM program RCL hadir, di Desa Tamarupa terdapat berbagai masalah seperti banyaknya pengangguran, budidaya rumput laut yang hasilnya kurang signifikan, anak putus sekolah, dan masih banyak permasalahan sosial lainnya. Setelah ada RCL, tentu tidak lantas menyelesaikan semua masalah ini. RCL yang fokus pada perbaikan penghidupan masyarakat pesisir, khususnya melakukan pendampingan untuk Kelompok Kalaroang yang melakukan usaha budidaya rumput laut, maka goal akhir adalah anggota kelompok ini bisa meningkat taraf ekonominya. Dengan sistem in kind material yang digulirkan, semoga makin banyak masyarakat rentan penerima manfaat bisa mengoptimalkan bantuan ini untuk menjadi lebih berdaya.

Dari proses satu tahun berjalan, perubahan positif sudah mulai terasa. Dengan manajemen usaha dan manajemen kelompok yang baik, pendapatan anggota dari

Syarifah dan anggota kelompok dalam pertemuan mingguan di rumahnya, Dusun Kekean, Desa Tamangapa, Kab. Pangkep.

Page 33: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kalaroang, Tingkatkan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Rumput Laut

23

rumput laut meningkat. Ekonomi anggota kelompok yang meningkat kemudian mendorong perubahan positif lainnya.

Seperti halnya salah satu anggota kelompok-Pak Sahruddin yang anaknya sudah dua tahun menganggur karena putus sekolah, kini bisa kembali belajar di bangku Madrasah Aliyah (Ma). Kemudian beberapa anggota sudah bisa menguliahkan anak-anaknya. Perubahan positif lainnya adalah anggota bisa berinvestasi melalui perhiasan (emas), atau dengan membeli perahu sebagai sarana vital dalam menanam rumput laut. anggota lain bahkan sudah banyak yang membangun dan merenovasi rumahnya.

Kegiatan budidaya rumput laut ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Seperti dalam mengikat rumput laut di bentangan, Bu Syarifah mempekerjakan orang dengan upah Rp3.000,- per bentang. Banyak anak-anak dari anggota yang sebelumnya menganggur menjadi punya kegiatan yang menghasilkan dengan budidaya rumput laut.

Kondisi masyarakat khususnya anggota kelompok yang tergolong rentan dan belum pernah mendapatkan bantuan sebelumnya, membuat anggota Kelompok Kalaroang sungguh-sungguh dalam mengelola in kind material dan menjalankan usahanya. Hal ini pula yang mendorong tetap bertahannya kelompok. Dalam menjaga komunikasi antar anggota, Syarifah mengusulkan diadakan arisan setiap bulannya. Sehingga semua anggota bisa bertemu dan berdiskusi terkait usaha rumput laut masing-masing. Dan ini cukup efektif, setahun lebih berjalan anggota kelompok masih solid dan tetap semangat menjalankan usahanya.

akhirnya, nama Kalaroang bisa jadi hanya sugesti bagi orang-orang yang mempercayainya. Tetapi apapun itu, ketika bisa memberi optimisme dan motivasi bagi masyarakat pesisir, maka harapan bahwa mereka bisa berdaya kini bukan lagi hanya mimpi.

Page 34: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

24 Kelompok Siangkalinga Adae

Page 35: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Siangkalinga Adae 25

Kelompok Siangkalinga Adae: Perguliran Modal Produksi Jaring untuk Masyarakat Rentan4

Keterampilan membuat jaring sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Maka tak heran ketika Ibu-ibu anggota Kelompok Siangkalinga adae mahir membuat jaring. Profesi yang sudah turun temurun ini menjadi salah satu mata pencaharian mereka diluar kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga.

Saat ditemui di kediamannya, Ibu Syarifah-Ketua Kelompok Siangkalinga adae masih menyelesaikan pekerjaannya membuat jaring. Jaring yang diproduksi berbagai macam, seperti jaring ikan, jaring udang, jaring kepiting, dan jala. Dari berbagai macam jaring tersebut, jaring udang lah yang mempunyai permintaan pasar tinggi.

Konsumen tetap jaring udang ini adalah masyarakat nelayan di Papua. Menurut Syarifah, permintaan jaring dari nelayan-nelayan di Papua ini sekitar 1000 ikat setiap bulannya, tetapi anggota kelompok Siangkalinga adae baru bisa memproduksi 800 ikat/bulannya. Proses pembuatan jaring dengan tangan memang memakan waktu lebih lama, tetapi kelebihan jaring ini ikatannya yang lebih kuat. Inilah yang membuat nelayan di Papua menjadi konsumen tetap. Pembuatannya pun tidak bisa sembarang, “ada hitungan matematikanya” Bu Syarifah menjelaskan. Setiap jaring kurang lebih punya 500 mata (simpul).

Page 36: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

26 Kelompok Siangkalinga Adae

Satu jaring udang dijual seharga Rp 45.000,-. Setelah ada in kind material dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) yang digagas OxfaM dengan mitra, setiap anggota bisa memproduksi 3-4 set jaring udang setiap bulannya. Satu set jaring terdiri dari 15 ikat. Dulu sebelum ada bantuan dari OxfaM, warga hanya bisa membeli bahan 1 set jaring dan maksimal bisa memproduksi 2 set jaring.

Kelompok Siangkalinga adae yang mempunyai 23 orang anggota, menunjuk satu orang anggota sebagai pengumpul. Setiap bulannya jaring yang diproduksi dikumpulkan di anggota yang sudah ditunjuk. Pengumpul kemudian menghubungi distributor yang akan menjual jaring ke nelayan Papua.

Siangkalinga adae yang didirikan sejak tahun 2013, terdiri dari anggota yang dikategorikan rentan, yaitu mereka yang masuk dalam kategori miskin, atau tidak mempunyai akses mendapatkan penghasilan yang layak. Sebagian besar anggota Siangkalinga adae adalah janda-janda yang menggantungkan hidup pada anak dan cucunya

anggota Siangkalinga adae memang dari awalnya sudah berprofesi sebagai pembuat jaring. Dengan bergabung di Kelompok dampingan RCL, mereka mendapat arahan dan pendampingan mengenai bagaimana manajemen keuangan, capacty building, distribusi produk, dan manajemen kelompok. Baru di Juli 2014, Kelompok Siangkalinga adae mendapat bantuan modal (set alat dan bahan membuat jaring berupa tali, tasi, jaring, timah bulat dan timah panjang, serta pelampung).

Baru saja beberapa bulan berjalan, Kelompok Siangkalinga adae sudah menunjukkan hasil yang positif. Peningkatan pendapatan yang meningkat dari produksi jaring yang meningkat. Di Bulan agustus jumlah penjualan jaring semua anggota mencapai Rp. 24.255.000,- dengan rata-rata penjualan Rp. 1.054.565,-. Di Bulan September, penjualan kelompok mencapai 24.210.000,- dengan rata-rata penjualan setiap anggota sebesar Rp. 1.052.609,-.

Sebelum mendapat bantuan modal dari OxfaM melalui program RCL (Restoring Coastal Livelihood), anggota hanya bisa menghasilkan maksimal 2 set setiap bulannya (30 ikat x 45.000=Rp. 1.350.000,-) kini sudah ada anggota yang mencapai produksi 4 set setiap bulannya (60 ikat x 45.000= Rp. 2.700.000,-).

Page 37: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Siangkalinga Adae 27

Salah satu anggota Siangkalinga adae, yaitu Siti Raiyah (57th) yang sudah ditinggal oleh suaminya. Siti Raiyah dibantu oleh anak sulungnya yaitu Udin, yang mengalami lumpuh layu sedari kecil. Dalam kondisi seperti itu, Udin masih tetap bisa mencari nafkah dengan membuat jaring.

Jika sebelum mendapat bantuan modal dari RCL, Bu Siti Raiyah dan Pak Udin hanya dapat memproduksi maksimal 2 set jaring per bulannya, kini mereka bisa memproduksi hingga 4 set jaring. Pak Udin nampaknya begitu bersyukur mendapat bantuan modal, sehingga ia sangat bersemangat untuk memproduksi jaring yang lebih banyak lagi. Menurut Siti Raiyah, saking bersemangatnya, anak sulungnya sampai tidak tidur siang dan baru beristirahat hingga jam sepuluh malam.

Dengan meningkatnya jaring yang diproduksi, keuntungan yang didapat pun

bertambah. Jika dulu Ibu Siti Raiyah dan Pak Udin harus membeli beras per liter, kini mereka bisa membeli beras beberapa karung untuk cadangan pangan beberapa bulan. Ia juga bisa membeli beberapa barang tersier di rumahnya, dan sudah bisa membiayai anak bungsunya yang masih sekolah di SMa.

Aktivitas harian anggota Kelompok Siangkalinga Adae, menganyam jaring di rumahnya untuk penangkapan udang.

Page 38: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

28 Kelompok Siangkalinga Adae

Page 39: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Siangkalinga Adae 29

Page 40: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

30 Kelompok Siangkalinga Adae

Mendidik Masyarakat dengan Revolving in kind

PRINSIP dari revolving in kind adalah setiap anggota yang menerima in kind wajib menggulirkan sejumlah bantuan yang ia terima. Mekanisme perguliran di Kelompok Siangkalinga adae, mewajibkan setiap anggota menyimpan uang tabungan sebesar 2% setiap bulan untuk kelompok. Tabungan ini akan dikelola oleh pengurus kelompok untuk diguliran kepada calon penerima perguliran.

Tabungan ini juga tidak hanya untuk menyimpan dana perguliran, tetapi sebagai tabungan wajib anggota yang dapat dipinjam untuk menambah modal usaha, atau untuk digunakan untuk hal-hal mendesak seperti jika ada anggota yang membutuhkan biaya kesehatan atau sekolah anak.

Beberapa bulan ke belakang, uang tabungan ini sempat digunakan untuk biaya berobat salah satu anggota yang harus di opname di rumah sakit. Pendampingan yang dilakukan oleh fasilitator OxfaM di lapangan selalu menekankan agar semua anggota selalu bekerjasama baik dalam kegiatan usaha maupun dalam berkehidupan sosial.

Saat ini Kelompok Siangkalinga adae sedang menyiapkan tabungan lagi untuk digulirkan kepada anggota baru. Harapannya, agar masyarakat rentan lainnya bisa memperbaiki hidupnya dengan bantuan modal yang diberikan.

ada banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pesisir khususnya anggota Kelompok Siangkalinga adae. adanya pendampingan yang mengarahkan dan memberi masukan terhadap anggota kelompok mengenai cara memajukan kesejahteraan kehidupan. “Setelah bantuan modal turun, makin memotivasi anggota supaya kita bergerak lebih bagus lagi. Terus terang dulu banyak bantuan dari pemerintah, tapi seringkali tidak dipantau dan dilepas begitu saja, jadinya masyarakat yang menerima bantuan tidak bersungguh-sungguh bekerja. Bagusnya OxfaM terus memantau kita..” Ujar Syarifah.

Menurut Syarifah, anggotanya lumayan banyak yang berhasil. Memang banyak dari anggota kelompoknya yang putus sekolah, kini anak-anak mereka bisa melanjutkan ke SMP dan SMa. anggota juga banyak yang buta huruf, tetapi mereka tetap bersemangat belajar membaca dan menulis di Kelas Paket a. Dari usaha produksi

Page 41: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Siangkalinga Adae 31

jaring yang semakin produktif ini, anggotanya sudah bisa memperbaiki rumah. Janda-janda pun kini tidak lagi tergantung pada anak cucu.

“Untuk kemampuan dasar tentang bagaimana mengelola modal sudah kami miliki. Kedepan walau mungkin kami sudah dilepas oleh RCL dan OxfaM, kami ingin terus lanjutkan kegiatan ini, dan lebih baik lagi” tambah Syarifah menutup perbincangan.

Udin, seorang penduduk di dusun Kekean yang menyandang difabilitas. Kelompok Siangkalinga Adae membantu Udin untuk bisa berproduksi dan memiliki penghasilan seperti orang-orang lain di sekitarnya.

Page 42: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

32 Kelompok Ujung Parappa

Page 43: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Ujung Parappa 33

Kelompok Ujung Parappa, Bebaskan Nelayan dari Ponggawa 5

Lelaki berusia 37 tahun itu memasuki rumah, kemudian ia duduk di hadapan kami yang sedang berbincang dengan istrinya. Pak Rusman begitu ia dipanggil, orang yang berkiprah di balik berkembangnya kelompok Ujung Parappa. Ujung Parappa merupakan kelompok masyarakat rentan dengan kegiatan pengupasan

kulit kepiting dan produksi kerupuk kepiting. Kelompok ini sesuai namanya “Ujung Parappa”, memang terletak di ujung desa ampekale, tepatnya di Dusun Binanga Sangkara, Kab. Maros.

Pak Rusman dan Istrinya, Habsiah (32) berkolaborasi dalam pemberdayaan kelompok masyarakat ini. Dulu saat awal kelompok terbentuk, Rusman masih acuh dengan kegiatan yang dilakukan istrinya. Kelompok Ujung Parappa di tahun 2011 memulai kegiatannya dengan pemberantasan buta huruf melalui Kelas aksara fungsional. Kelas aksara fungsional merupakan salah satu awal dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL). Karena sebagian besar masyarakat yang tergabung dalam kelompok adalah buta huruf. Ini merupakan salah satu program pembangunan kapasitas yang dilakukan RCL di awal programnya.

Setelah 6 bulan berjalan, kemudian kelompok perlahan bergerak di ranah produksi. Kacang Sembunyi adalah produk makanan pertama yang diproduksi Ujung Parappa. Seiring berjalan waktu, Dinas Keperindag Kabupaten Maros mengusulkan agar Ujung Parappa bisa memanfaatkan potensi daerah. Kelompok Ujung Parappa berada di

Page 44: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

34 Kelompok Ujung Parappa

wilayah pesisir, yang sebagian besar warganya adalah nelayan tangkap kepiting, sehingga Kelompok Ujung Parappa sepakat untuk memproduksi kerupuk kepiting.

Kegiatan produksi kerupuk kepiting ini mengalami fluktuasi, naik turun seperti bisnis lainnya. Saat ramai pesanan kegiatan produksi kerupuk kepiting bisa dilakukan setiap hari. Namun saat sepi pesanan kegiatan kelompok pun bisa dua kali seminggu saja, bahkan menurun hingga 4-5 kali produksi dalam sebulan. Catatan terakhir pendapatan dari produksi kerupuk kepiting selama Bulan Oktober-Desember 2014 kemarin, tercatat pendapatan dari kerupuk kepiting paling rendah pernah mencapai Rp. 120.000,- dan paling tinggi pernah mencapai Rp. 400.000,- per bulan per orang.

Usaha produksi kerupuk kepiting ini didistribusikan dengan sistem titip jual di warung dan toko di daerah Maros. Bahkan kerupuk kepiting ini sudah sampai di pusat penjualan oleh-oleh di kota Maros. Sistem titip jual ini mempunyai kekurangan, karena produk kadaluarsa tidak terkontrol, dan keuntungan yang tidak didapat diawal. Ditambah dengan peristiwa banjir di Maros saat awal tahun 2013, menyebabkan banyak kerupuk kepiting hanyut. Dari sini Ujung Parappa memutuskan untuk tidak menggunakan sistem titip jual lagi.

Sebuah stasiun TV swasta, sempat meliput kegiatan produksi kerupuk kepiting Kelompok Ujung Parappa. Tak disangka dari publikasi ini, muncul seorang pembeli yang memiliki sebuah toko oleh-oleh yang sengaja mendatangi Kelompok Ujung Parappa. Sebuah publikasi yang cukup besar, biasanya mengundang publikasi lainnya. Sebuah koran lokal Sulawesi Selatan meliput tentang kelompok ini, dan dari sini pemerintah daerah mencari dan mendatangi kelompok Ujung Parappa. Setelah melakukan assessment, pemerintah daerah akhirnya memberi sejumlah bantuan mengingat kelompok ini sangat potensial dalam memberdayakan masyarakat.

Memotong Rantai Penjualan Kepiting

MENURUNNyA kegiatan produksi kerupuk kepiting berdampak pada semangat kelompok yang menurun. Hal ini membuat Pak Rusman dan istrinya berpikir keras agar kegiatan kelompok tetap berlangsung. Pasalnya anggota kelompok ingin agar ada kegiatan kelompok setiap harinya.

Page 45: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Ujung Parappa 35

Kemudian muncul inisiatif untuk melakukan bisnis pengupasan kepiting. RCL memfasilitasi Kelompok Ujung Parappa bertemu dengan salah satu exportir di Surabaya. RCL mengupayakan agar terjadi negosiasi yang terbuka, dan sebagai calon supplier kelompok mempunyai bargaining position. Kelompok Ujung Parappa kemudian mengirim sample daging kepiting, tak lama kemudian terjalin kerjasama antara kelompok dan eksportir ini. Kerjasama yang terjalin bukan sekedar jual-beli saja, namun juga perusahaan memberi dukungan agar produksi kelompok meningkat dan terjaga, salah satu bentuk dukungan adalah perusahaan memberikan bantuan alat tangkap dan pembangunan tempat produksi.

Rantai distribusi kepiting yang tadinya cukup panjang, yaitu: nelayan-ponggawa-pengupas kecil-pengupas yang lebih besar-eksportir, menjadi lebih singkat: nelayan-pengupas (kelompok Ujung Parappa)-eksportir. Dengan kerjasama ini mulai terbukalah informasi harga jual kepiting ke nelayan. Sebelumnya, informasi mengenai harga jual kepiting hanya dikuasai oleh ponggawa. Ponggawa adalah patron atau pelindung yang menyediakan modal sosial dan ekonomi bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha. Dalam konteks masyarakat di Desa ampekale, ponggawa merupakan penyedia modal ekonomi bagi masyarakat dalam menjalankan usahanya. Masyarakat mendapat bantuan modal berupa alat tangkap, dan adanya kesepakatan untuk menjual kepiting ke ponggawa. Seringkali harga jual yang ditetapkan ponggawa sangat rendah, padahal terkadang pabrik memasang harga tinggi. Menurut Pak Rusman, di desanya ada 3 ponggawa yang menguasai perdagangan kepiting.

Harga jual ke ponggawa saat ini berkisar Rp. 18.000,- hingga Rp. 22.000,- per kg kepiting. Sedangkan setelah menjadi supplier ke Surabaya, harga paling rendah di kelompok Ujung Parappa adalah Rp.24.000,- dan tertinggi mencapai Rp. 38.000,- per kg kepiting. Pak Rusman menambahkan, biasanya harga kepiting mulai naik di Bulan februari, puncaknya di Bulan april, Mei, dan Juni, kemudian harga mulai turun di Bulan Juli. Kapasitas tertinggi daging kepiting pernah mencapai 1 ton/bulan, dengan harga jual pada saat itu adalah Rp. 240.000,-/kilo daging kepiting. Untuk 1 kg daging kepiting yang dikirim ke Surabaya adalah hasil dari 3 kg kepiting.

Keterbukaan informasi mengenai harga jual kepiting membuat ekonomi masyarakat meningkat (khususnya masyarakat yang menjadi anggota kelompok). Nelayan yang menjadi ujung tombak rantai ini sudah seharusnya bisa sejahtera dari hasil laut. apa yang sedang dirintis oleh Kelompok Ujung Parappa adalah proses menuju penghidupan yang lebih baik.

Page 46: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

36 Kelompok Ujung Parappa

Dari anggota awal berjumlah 14 orang, kini kelompok sudah bisa menggulirkan in kind material kepada 8 masyarakat rentan yang tidak mampu membeli rakkang. In kind material yang diterima dari Program RCL adalah 1400 rakkang (alat tangkap kepiting). RCL mewajibkan penerima in kind material untuk menggulirkan in kind material terhadap masyarakat rentan lainnya yang setelah dilakukan assessment layak menjadi penerima. Setiap anggota rata-rata menerima 100 buah rakkang yang jika dirupiahkan sejumlah Rp. 1.610.000,-. Kebanyakan anggota membayar perguliran dengan membayar minimal sejumlah uang ke kelompok sebesar Rp. 161.000,-/bulan dalam 10 bulan. Menurut Pak Rusman, sementara ini kelompok belum melakukan peguliran kedua kalinya karena di dalam kelompok masih banyak yang membutuhkan, beberapa rakkang milik anggota rusak, dan beberapa anggota perlu memperbaiki perahunya.

Pendekatan yang dilakukan RCL adalah pendekatan rumah tangga. Pendekatan rumah tangga ini otomatis mendorong adanya kerjasama antara suami isteri yang menjadi anggota kelompok. Kolaborasi suami isteri ini seperti dalam hal suami menyetor hasil tangkapan kepitingnya ke kelompok, kemudian kelompok membeli dengan harga yang telah ditentukan. Setelah kepiting terkumpul, kemudian kepiting dikupas oleh anggota perempuan. Kemudian daging kupasan dikemas siap dikirim ke Surabaya.

Bersinggungan dengan ponggawa dalam satu daerah yang sama, memang tidak bisa sembarangan. Pak Rusman bahkan pernah dipanggil oleh Pak Dusun untuk dipertemukan dengan 3 ponggawa yang ada di desanya. Harga jual kepiting yang ditetapkan di kelompok Ujung Parappa memang mengganggu keberlangsungan ponggawa ini. Pak Rusman diminta untuk memasang harga yang sama dengan yang ditetapkan ponggawa, namun Pak Rusman menolak. “Justru ponggawa ini yang selama ini membodoh-bodohi masyarakat, saya bilang saja, saya punya kelompok, dan kelompok ini untuk menyejahterakan masyarakat. Kalau saya pasang harga sama dengan ponggawa, ya saya sama saja. Padahal ini kan pemberdayaan masyarakat, yang mau didorong adalah perubahan. Kalau begini kan yang kaya hanya ponggawa, sedangkan masyarakat tertekan.” Ujar Pak Rusman berapi-api.

Proses untuk lepas dari ponggawa memang tidak bisa serta merta dilakukan. Untuk lepas dari ponggawa memang semua hutang harus dibayar lunas, sehingga kelompok mensyaratkan bagi calon anggota baru adalah tidak punya hutang ke

Page 47: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Ujung Parappa 37

ponggawa. Memang pada saat awal-awal terbentuk kelompok, beberapa anggota masih mempunyai hutang ke ponggawa. Dari in kind material berupa rakkang, hasil tangkapan mulai membaik, dan anggota bisa melunasi hutangnya ke ponggawa. Kemudian anggota kelompok wajib menabung sejumlah uang di kelompok untuk kemudian dikelola dan digulirkan ke beneficiaries lainnya.

Sistem bagi hasil dalam kelompok Ujung Parappa dilakukan setelah dikurangi biaya pengeluaran. Setelah proses dari awal hingga akhir baru dilakukan pembagian hasil. Untuk pengupasan kepiting, pendapatan anggota perempuan di Bulan Oktober kemarin paling mencapai Rp. 290.000,- per orang, Bulan November mencapai Rp. 200.000,-, per orang dan Bulan Desember mencapai Rp. 111.000,- per orang. Besar kecilnya upah pengupasan tergantung pada tingkat kerajinan dan jumlah daging yang dikupas masing-masing anggota.

Sedangkan penghasilan suami dari tangkap kepiting, catatan keuangan Kelompok Ujung Parappa menunjukkan hasil yang signifikan setelah adanya in kind material berupa rakkang. Bulan Oktober penghasilan anggota tertinggi mencapai Rp.4.512.000,-, di Bulan November tertinggi mencapai Rp. 4.260.000,-, dan Bulan Desember menurun karena faktor cuaca, yaitu sebesar Rp. 1.445.000,-. Setelah adanya aktivitas ekonomi kelompok, penghasilan keluarga memang meningkat signifikan.

Relasi Suami Isteri dalam Kelompok Ujung Parappa

DI BALIK perempuan hebat ada lelaki yang rela berbagi panggung aktualisasi diri. Dalam konteks perempuan di Kelompok Ujung Parappa ini, perempuan turut serta dalam kegiatan produksi sebagai pengupas dan produsen kerupuk kepiting, sedangkan suami fokus di aktivitas tangkap kepiting. Laki-laki pun menjadi lebih independen dalam urusan domestik. Keduanya berkolaborasi untuk meningkatkan ekonomi keluarga.

Menurut Habsiah, dulu saat awal kelompok ini terbentuk, banyak suami yang berpandangan miring terhadap isteri yang bergabung di kelompok. Seperti hal ketika isteri diundang untuk mengikuti capacity building yang diselenggarakan di hotel selama beberapa hari. Pandangan miring tentang ‘perempuan pergi ke hotel’, padahal perempuan ini sedang belajar tentang hal-hal yang belum mereka ketahui. Hal ini

Page 48: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

38 Kelompok Ujung Parappa

dialami oleh Bu Habsiah sendiri, Pak Rusman pun agak underestimate dengan kelas aksara fungsional yang dijalankan Bu Habsiah. Namun semua ini perlahan berubah. Suami-suami yang dilibatkan dalam kelompok sudah sangat paham tentang kelompok sebagai sarana pemberdayaan masyarakat. “Dulu suami suka marah-marah kalau saat pulang isteri tidak ada di rumah, tetapi sekarang suami bisa lebih independen”. Ujar Bu Habsiah.

Dana Koperasi dan Akses Perbankan

KELOMPOK Ujung Parappa juga sudah membuat koperasi dana usaha. Simpanan pokok sebesar Rp. 50.000,-/bulan dan simpanan wajibnya sebesar Rp. 10.000,-/bulan. Simpanan ini menjadi modal untuk kelompok, dari publikasi mengenai Kelompok Ujung Parappa di salah satu surat kabar lokal, Disperindag kemudian mencari dan mendatangi kelompok, dan berniat memberikan dana bansos. Karena melihat kelompok ini cukup potensial dan manajemen keuangannya bagus, akhirnya Deperindag menurunkan dana bansos di tahun kedua sebesar Rp 50 juta. Dana bansos ini kemudian dijadikan modal untuk alat-alat besar.

Koperasi ini juga melakukan kegiatan simpan pinjam. anggota bisa meminjam sejumlah dana ke kelompok, dengan bunga sebesar 3% per tahun. Bunga ini diperuntukan untuk modal koperasi (1%), pengurus koperasi (1%), dan kembali ke anggota melalui SHU (1%).

Beberapa publikasi mengenai kelompok Ujung Parappa, membuat Bank BRI datang berkunjung ke Desa ampekale. Bank BRI sedang mencari data pendapatan masyarakat di dusun Binanga Sangkara, khususnya anggota Kelompok Ujung Parappa. Dari assessment yang dilakukan, salah satunya dengan melihat catatan keuangan kelompok kemudian Bank menawarkan anggota dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk anggota. Sebanyak 8 orang anggota kemudian melakukan pinjaman dana KUR, sebagian besar digunakan untuk membeli perahu. Selama dua tahun berjalan, proses angsuran dana KUR ini berjalan lancar.

Kegiatan perbankan lainnya, adalah anggota kelompok mulai membuka rekening di bank. Masyarakat yang tadinya buta huruf, kini mulai melek huruf dan berani membuka rekening. “Salah seorang tetangga yang menjadi anggota kelompok, bahkan saat ini

Page 49: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Kelompok Ujung Parappa 39

sudah bisa menabung hingga Rp.10.000.000,-“ ujar Bu Habsiah. Perlahan anggota mulai sadar tentang perlunya mempunyai tabungan sebagai persiapan masa depan.

Menjaga Keberlangsungan

TANTANGAN yang dihadapi oleh nelayan tangkap kepiting adalah belum adanya regulasi mengenai penangkapan kepiting. Saat harga kepiting naik, nelayan menangkap kepiting tanpa memperhatikan ukurannya. Kepiting ukuran besar (ukuran di atas 10 cm) dan kepiting ukuran kecil (di bawah 10 cm) semuanya ditangkap. Hal ini disebabkan nelayan terdorong oleh harga kepiting yang sedang naik. Padahal, kepiting ukuran kecil seharusnya dibiarkan untuk berkembang biak, sehingga keberlangsungan kepiting tetap terjaga.

Hal ini ditambah dengan tidak adanya zonasi. Nelayan bebas menangkap kepiting di wilayah manapun. “Kalau di sini (di Maros) kepiting sedang banyak, nelayan dari Pangkep datang. Sebaliknya kalau di Pangkep sedang banyak, nelayan sini pergi ke sana, seharusnya ada penangkaran kepiting, sehingga kepiting bisa berkembang biak, dan keberlangsungan kepiting terjaga.” Ujar Pak Rusman.

Kekhawatiran mengenai keberlangsungan kepiting dan perlunya zonasi ini mendorong Kelompok Ujung Parappa mengusulkan ini dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Populasi kepiting ini perlu dijaga dan untuk menjaganya perlu ekosistem yang mendukung seperti kawasan mangrove sebagai area berkembang biak bagi kepiting. Dengan adanya kawasan mangrove, zonasi, dan perdes yang mengatur perilaku masyarakat dalam menangkap kepiting, harapannya keberlangsungan kepiting ini tetap terjaga. Usaha yang sudah dilakukan adalah mengusulkan aspirasi ini dalam RPJM Desa.

Sebagai usaha diversifikasi kegiatan kelompok masyarakat pesisir, Pak Rusman mencoba budidaya rumput laut jenis Cottonii. Hal ini dilakukan karena melihat potensi pesisir yang belum dimanfaatkan. Jika budidaya yang dilakukan berhasil, harapannya ini akan memotivasi masyarakat, dan menjadikan kegiatan budidaya rumput laut sebagai sumber mata pencaharian tambahan. Jadi, rumput laut ini memang tidak untuk mensubtitusi usaha tangkap kepiting, namun menjadi sumber penghidupan yang sama-sama dijalankan.

Page 50: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

40 Kelompok Siangkalinga Adae

Page 51: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri 41

Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri6

Pemanfaatan pekarangan rumah menjadi lahan pertanian sudah dilakukan oleh warga di beberapa desa di Kabupaten Pangkep. Pekarangan rumah yang seringkali dibiarkan begitu saja kini dimanfaatkan menjadi sesuatu yang potensial dan bernilai.

Sebagian besar penduduk di Kab. Pangkep Sulawesi Selatan adalah nelayan. Bagi nelayan tentu berlaku kalender musim, sebuah perhitungan waktu dalam jangka satu tahun yang menentukan bulan apa saja mereka bisa pergi melaut, dan bulan apa saja mereka tidak bisa melaut karena cuaca yang tidak mendukung. Saat bulan-bulan libur melaut ini tentunya kebutuhan sehari-hari tidak dapat ditunda, tetapi dapur harus tetap mengepul setiap hari, sehingga mereka perlu sumber penghasilan alternatif.

Melihat fenomena ini, RCL (Restoring Coastal Livelihoods) menawarkan beberapa strategi livelihood yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, antara lain: bertambak, bertani organik, dan mengolah makanan dari laut. Di tahun 2012, masyarakat Kab. Pangkep mulai dikenalkan dengan kegiatan bertani organik melalui Sekolah Lapang (SL). Di Sekolah Lapang ini masyarakat belajar sambil praktik bertani organik (learning by doing).

Page 52: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

42 Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri

Sebelumnya masyarakat sering berdiskusi dengan fasilitator dari OxfaM dalam menggali potensi apa saja yang dimiliki oleh warga Kab. Pangkep. Dari berbagai obrolan dan diskusi, ditemukanlah potensi lahan pekarangan rumah yang masih kosong dan belum dioptimalkan. Di Kab. Pangkep, memang jarak antar rumah cukup renggang, sehingga wajar ketika setiap rumah mempunyai pekarangan yang cukup luas. Potensi ini ditambah dengan kesulitan yang dialami warga dalam memenuhi kebutuhan keluarga akan sayuran, ditambah akses yang kurang strategis sehingga warga seringkali mengandalkan kehadiran pedagang sayur keliling untuk bisa memenuhi kebutuhan sayur.

Setelah hampir setahun mengikuti Sekolah Lapang (SL), barulah di tahun 2013 warga mulai melakukan kegiatan bertani dengan tujuan untuk berbisnis (mendapatkan penghasilan dari kegiatan bertani organik) dengan pola berkelompok. Dengan bertani organik ini, tentu masyarakat yang tergabung dalam kelompok bisa memenuhi kebutuhan pribadi sebagai bentuk ketahanan pangan keluarga, kemudian bisa masuk di pasar tingkat kecamatan, bahkan pasar modern.

Sejak tahun 2013 hingga sekarang, dari semua kelompok yang dibina dalam program RCL di Kab. Pangkep, ada dua kelompok yang paling berhasil dalam menjalankan pertanian organik ini, yaitu Kelompok Talaswati dan Kelompok Pita Aksi. Kedua kelompok ini dikatakan paling berhasil karena produktivitasnya yang cukup tinggi dalam memproduksi sayuran organik. Kelompok Talaswati menggunakan lahan kosong yang digunakan secara bersama oleh kelompok, dengan produk kangkung dan bayam. Sedangkan Kelompok Pita aksi, anggota kelompok bertani di masing-masing pekarangan rumah dengan produk yang lebih variatif seperti kangkung, sawi, bayam, dan tomat.

Dalam pertemuan antar kelompok di Kab. Pangkep yang berlangsung (15/11/14) kemarin, warga sepakat untuk meningkatkan distribusi hasil pertanian organik mereka sampai di pasar tingkat kecamatan, dan pasar modern. Tentu yang menjadi tantangan bersama adalah produktivitas dan supply sayuran yang harus konsisten.

Beberapa pengalaman di tahun kebelakang menunjukkan bahwa untuk berproduksi secara konsisten seringkali menemui hambatan seperti (kelangkaan air di musim kemarau, dan berlimpah air di musim hujan), juga kebiasaan di masyarakat ketika berlangsung pesta, seperti halnya pesta pernikahan yang menyita waktu berhari-

Page 53: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri 43

hari hingga satu minggu. Pesta ini yang seringkali mengalihkan perhatian warga dari kegiatan bertani.

Maka untuk mengatasi masalah dari musim dan faktor kebiasaan masyarakat berpesta dalam waktu lama, untuk mencapai target produktivitas yang stabil, maka warga membuat kalender tanam. Kalender tanam ini menentukan tanaman yang akan ditanam warga yang disesuaikan dengan perkiraan cuaca. Misalkan, di musim hujan dipilih tanaman seperti kangkung, kacang panjang, dan bayam. Sedangkan di musim kemarau dipilihlah tanaman yang bisa bertahan hidup dengan air sedikit, seperti sawi, cabe, terung, tomat, dan jagung. Sedangkan untuk menyiasati jika ada pesta pernikahan yang harus dihadiri atau diselenggarakan, maka anggota kelompok diminta untuk melapor pada ketua kelompok, sehingga ketika yang bersangkutan sedang pergi ke luar kota untuk menghadiri pesta pernikahan, kebun/pekarangannya masih ada yang mengurus.

Kemudian untuk mempertahankan stabilitas supply ke pasar kecamatan dan pasar modern, setiap kelompok mewajibkan anggotanya untuk menanam beragam variasi sayuran yang telah ditentukan. Sehingga jika di daerah lain sedang mengalami gagal panen untuk jenis tanaman tertentu, masih bisa disupply oleh kelompok yang lain. Harapan ke depannya proses distribusi hasil pertanian organik ini bisa dilakukan bersama sehingga distribusi menjadi lebih terpusat.

Untuk mengadaptasikan pertanian organik di pesisir dengan kontur tanah yang berpasir, maka dipilihlah penggunaan pupuk organik dengan optimal. Mengapa dipilih pupuk organik? Karena pupuk organik ini dapat menyimpan air, dan dapat menetralisir salinitas. Penggunaan pupuk organik ini juga tentu mendorong warga untuk bisa memproduksi pupuk kompos dan pupuk kandang sendiri. Warga juga didorong untuk bisa mengolah tanah dengan baik, melalui pembuatan bedengan dan saluran drainase.

Untuk menyiasati kekeringan air saat musim kemarau, selain memilih tanaman yang tahan di musim kemarau, juga dengan menanam tanaman di wadah-wadah tertentu, seperti: pot, ember bekas, atau pot yang terbuat dari bambu. Sedangkan untuk kawasan yang kesulitan mendapatkan air seperti di Tanarajae, setiap lahan mempunyai sumur penampung resapan air. Juga bisa dengan menggunakan teknologi penyiraman dengan sistem infus.

Page 54: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

44 Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri

Setelah berjalan selama hampir 4 tahun, tak pelak kegiatan tani organik di bawah program RCL ini mendatangkan hasil yang positif. Hasil dari produksi sayuran dan padi organik Kab. Pangkep secara keseluruhan, mencapai hasil yang lumayan. Hasil pertanian organik bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga, kemudian ada yang dijual ke tetangga, hingga beberapa sampai di pasar kecamatan dan pasar modern.

Selain dari sisi ekonomi, masyarakat juga mengalami beberapa perubahan positif. Seperti yang tadinya tidak bisa baca tulis menjadi melek huruf, setidaknya mereka bisa membuat tanda tangan sendiri. Di sektor pendidikan, untuk Kelompok Kalaroang dan Siangkalinga adae yang ada di Desa Tamarupa, anak-anak dari anggota kelompok tersebut mendapatkan tambahan biaya untuk sekolah (SD, SMa, bahkan kuliah).

Melakukan kegiatan tani organik juga bisa menjadi penyalur minat perempuan dan menjadi ruang aktualisasi bagi mereka. Seperti halnya salah satu warga di Tanarajae yaitu Rismawati (21),“Saya jadi punya penghasilan tambahan sekarang, saya juga senang bercocok tanam. Bangun tidur bukannya ke dapur, saya malah pergi melihat tanaman saya.” Ujar Rismawati diakhiri dengan tawa. Rismawati sendiri bisa dikatakan sebagai perintis kegiatan tani organik di Tanarajae, ia sudah bertani organik hampir 8 bulan. Setelah melihat apa yang dilakukan oleh Rismawati, makin banyak warga di Tanarajae yang tertarik untuk melakukan kegiatan ini sebagai sumber penghasilan alternatif.

Keberhasilan bertani organik ini juga disampaikan oleh Ibu Darnisa (40), warga Tanarajae, “Setelah berkebun sendiri, kita tak perlu beli sayur lagi.” Memang dampak positif dari tani organik ini setidaknya kebutuhan keluarga akan sayuran menjadi terpenuhi, sehingga tercipta ketahanan keluarga.

Sedangkan menurut Ibu Siti Rahmah (44) ia sudah mendapat penghasilan yang lumayan dari pertanian organik di pekarangan rumahnya. Ketua kelompok Pita aksi ini juga tak segan untuk membagi ilmu dan pengalamannya tentang tani organik ini dengan kelompok-kelompok yang berada di desa lainnya. Maka tak heran ketika Bu Siti Rahmah mendapatkan penghargaan sebagai 7 Perempuan Pejompang Indonesia. Untuk hasil panen padi organik dari Kelompok Pita aksi, dalam satu tahun bisa panen 2x, dengan hasil panen sekitar 40 ton dalam sekali panen dari total luas lahan 8 ha.

Setelah berjalan hampir empat tahun, tantangan program RCL kedepannya adalah bagaimana menjaga soliditas kelompok agar tetap survive. Karena pola pendekatan

Page 55: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri 45

sedari awal adalah pendekatan kelompok. Kelompok-kelompok yang dibina melalui program RCL ini tentu mempunyai kemungkinan bertahan, berhasil, dan berlanjut.

apa yang dilakukan RCL sejak pertama kali adalah mendorong terciptanya kesadaran (awareness) pada warga (anggota kelompok) mengenai pentingnya berkelompok. Berkelompok ini lebih memungkinkan warga untuk berdaya secara ekonomi dibandingkan hanya melakukan kegiatan secara sendiri-sendiri. Misalnya, berbeda ketika warga hanya menggunakan lahan pekarangan sendiri dengan penggunaan lahan secara bersama. Juga berbeda ketika proses distribusi sayuran organik secara bersama dengan distribusi masing-masing. Kemudian, setelah terciptanya awareness ini, anggota kelompok diharapkan memahami fungsi dari struktur kelompok. anggota memahami apa tugas dan kewajiban pengurus, dan apa hak dan kewajiban dari anggota kelompok, sehingga bergabung di kelompok tidak asal ikut-ikut saja. Kemudian proses pengawasan dari Program Officer (PO) untuk memastikan apakah anggota kelompok benar-benar masuk dalam kategori rentan (vulnerable) atau tidak. Yang dimaksud vulnerable adalah mereka-mereka yang tidak mempunyai akses/kontrol terhadap Sumber Daya alam (SDa).

Anggota Kelompok Mutiara Desa sedang mengurus kebun milik bersama.

Page 56: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

46 Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri

Mandiri dari pekarangan rumah sendiri merupakan salah satu sumber penghasilan alternatif bagi warga di sekitar pesisir. Pola ini tentu bisa direplikasi dan disesuaikan untuk diaplikasikan di daerah lain. Dalam proses perjalanannya akan ada tantangan baik itu dari eksternal maupun internal kelompok. Tantangan eksternal seperti faktor cuaca yang seringkali berubah-ubah, dan tantangan internal seperti manajemen sumber daya manusia itu sendiri. Kedepannya, pemanfaatan pekarangan rumah sebagai sumber penghasilan alternatif ini semoga tidak hanya sebagai ketahanan pangan keluarga, tetapi juga bisa mencapai target market yang lebih luas.

Proses belajar menanam sayur organik pada Sekolah Lapang Pesisir

Page 57: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdikari dari Pekarangan Rumah Sendiri 47

Page 58: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

48 Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove

Page 59: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove 49

Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove 7

Kepulauan Tanakeke di Kabupaten Takalar merupakan salah satu lokasi di Sulawesi Selatan

yang luasan hutan mangrovenya cukup besar untuk ukuran pulau. Hampir seluruh Kepulauan Tanakeke dikelilingi oleh hutan mangrove yang lebat. Namun luasan mangrove di kawasan ini juga mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan

Sekilas tentang “Bangko Tapampang”Menurut sejarah dan cerita para orang tua,

Kepulauan Tanakeke dulunya termasuk dalam salah satu wilayah administrasi selevel desa yang dikepalai oleh seorang pemimpin yang disebut “Gallarang”.

Pada saat itu, setiap orang yang tinggal di Takalar termasuk di Kepulauan Tanakeke dikenakan oleh pemerintah untuk membayar pajak jiwa. Namun tidak semua orang pada saat itu memiliki penghasilan cukup. Bagi mereka yang tidak punya uang untuk membayar pajak, oleh Gallarang, kemudian ditetapkan sebuah kawasan yang disebut “romang/hutan panganreang” atau dalam bahasa Indonesia berarti hutan untuk mencari makan. Kawasan ini adalah hutan mangrove yang tumbuh alami dan belum klaim oleh siapapun pada saat itu.

Kawasan yang selanjutnya lebih dikenal oleh masyarakat Tanakeke sebagai Bangko Tapampang diperbolehkan bagi masyarakat yang tidak bisa membayar pajak untuk mengambil bakau dalam kawasan tersebut dalam jumlah yang terbatas. Hasil dari penjualan bakau selanjutnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu sepertiga untuk pajak jiwa, sepertiga untuk pemerintah desa dan sepertiga lainnya untuk membiayai kebutuhan keluarga.

T. Dg. Ngopu, Tokoh Masyarakat Tanakeke

”Restoring Coastal Livelihood (RCL) terus berusaha untuk melakukan rehabilitasi kawasan pesisir secara partisipatif dan berbasis pada sum-ber daya lokal, salah satu kerja RCL dalam hal ini adalah penyelamatan kawasan mangrove di kepulauan-Tanakeke yang memang kelestari-annya akan sangat berdampak baik secara ekologis mau pun ekonomis bagi masyarakat di pulau tersebut”

Page 60: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

50 Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove

dan penebangan. Hasil penelitian dari Mangrove Action Project (MaP) Indonesia tahun 2010, menunjukkan bahwa luas hutan mangrove di kepulauan Tanakeke telah mengalami penurunan dari 1776 hektar sebelum tahun 80an dan tersisa 500 hektar saat ini.

Secara de facto, kepulauan yang didiami sekitar 7000 jiwa ini terdapat satu kawasan mangrove tak bertuan yang ditetapkan sebagai cadangan mangrove masyarakat setempat secara turun temurun. Kawasan tersebut dikenal dengan nama “Bangko Tapampang”, yaitu hutan mangrove seluas ± 50 ha yang masih terpelihara sampai sekarang dan tanpa pemilik.

Informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat bahwa selain lokasi ini, mangrove di Tanakeke telah diklaim dan dimiliki oleh orang per orang. Mangrove bagi masyarakat Tanakeke menjadi salah satu aset ekonomi keluarga bahkan menjadi “sunrang” atau mahar ketika ada sanak famili yang akan menikah.

Terjadinya pemekaran desa di kepulauan Tanakeke dari 2 desa menjadi 5 desa

Zona inti kawasan konserfasi mangrove Bangko Tappamppang Kepulauan Tanakeke.

Page 61: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove 51

di awal tahun 2000, secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan kawasan Bangko Tapampang sebagai hutan bersama masyarakat Tanakeke karena terkait batas administratif desa. Wajar saja, karena semakin luas suatu desa maka semakin besar pula anggaran Dana Desa (aDD) dari kabupaten ke desa tersebut.

Saat ini, Bangko Tappampang masuk ke dalam wilayah Desa Rewatayya yang bersinggungan langsung dengan kawasan tersebut. Masalah yang timbul selanjutnya adalah adanya dorongan dari desa lain agar menjadikan kawasan tersebut tetap menjadi milik bersama dilihat dari sisi historisnya.

Melalui Program Restoring Coastal Livelihood (RCL), terfasilitasi beberapa pertemuan antar lima desa di Kepulauan Tanakeke yang selanjutnya membentuk forum Pemerintahan Desa Tanakeke. agenda yang menguat adalah wacana tentang pembuatan konsensus atau kesepahaman bersama 5 desa di kepulauan Tanakeke untuk membuat sistem pengelolaan kawasan bangko tapampang sebagai kawasan

Sosialisasi kawasan konservasi mangrove di masyarakat desa.

Page 62: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

52 Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove

konservasi mangrove Kepulauan Tanakeke. Dilihat dari sisi historis dan fungsinya, bangko tapampang diharapkan bisa diusulkan oleh forum Desa ke pemerintah Kabupaten Takalar untuk diakui sebagai kawasan perlindungan pulau agar lebih terpelihara, terlegitimasi dan bisa dikembangkan.

Pertemuan forum Pemerintahan Desa Tanakeke pada tanggal 20 Juni 2013 bertempat di RM. Nyi Giru, Takalar menjadi tonggak awal pembentukan kawasan konservasi mangrove Tanakeke. Pertemuan dihadiri oleh 31 orang (1 Perempuan, 30 Laki-laki) yang terdiri dari aparat desa dan BPD di Kepulauan Tanakeke, tokoh masyarakat dan perwakilan Jaringan Perempuan di Kabupaten Takalar.

agenda pengelolaan kawasan Bangko Tapampang menjadi topik utama pertemuan ini. Kesepakatan terkait penetapan kawasan Bangko Tapampang menjadi kawasan perlindungan mangrove di Kepulauan Tanakeke oleh 5 desa yang ada di Kepulauan Tanakeke yang telah diinisiasi pada beberapa pertemuan sebelumnya semakin menguat. Langkah awal yang dilakukan adalah memetakan kembali kawasan Bangko Tapampang oleh anggota forum yang dibantu oleh YKL Indonesia, sebelum disusun sistem pengelolaannya.

Hasil pemetaan menunjukkan bahwa hutan mangrove di dalam kawasan bangko tapampang seluas 51, 5 hektar namun tidak semua dalam kondisi baik.

forum menyepakati membagi kawasan ini menjadi 3 (tiga) zona yaitu Zona inti yang hutan mangrovenya dalam kategori baik, Zona Penyangga untuk area hutan mangrove yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat, dan Zona Rehabilitasi untuk area mangrove yang mengalami kerusakan.

adapun draft pengelolaan kawasan Bangko Tapampang berdasarkan masing-masing zona yang diusulkan serta tindak lanjut seperti tabel berikut:

No Sistem Pengelolaan Kompensasi Lokasi

1. Warga desa diperbolehkan men-ebang pohon bakau di kawasan bangko tappampang maksimal 10 batang perkeluarga dalam kurun waktu 1 tahun.

Menanam 20 bibit di areal pene-bangan atau di areal rehabilitasi bangko tappampang

Di Zona Penyangga Kawasan bangko Tappampang

Page 63: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove 53

2 Penanaman mangrove minimal 1 kali dalam setahun secara bersa-ma-sama dan atau bekerja sama dengan SKPD Pemerintah Kabupat-en Takalar yang terkait

- Di Zona Rehabilitasi/Zona Penyangga Kawasan bangko Tappampang

3 Warga yang ingin menebang pohon bakau di kawasan Bangko Tappampang wajib melapor kepa-da pemerintah desa setempat dan setelah melakukan aktifitas pene-bangan mesti melapor kembali ke pemerintah desa setempat.

- Zona Penyangga

4 Pengawasan akan dilaksanakan oleh pemerintah setempat

- Desa Rewataya

5 Membuat papan informasi dalam bentuk peta agar masyarakat tahu bentuk kawasan Bangko Tappam-pang

- Semua Zona

6 Sosialisasi sistem pengeleloaan mangrove/Bangko Tappampang yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa dan CO setempat

- Semua Desa

7 Mengadakan pertemuan dengan masyarakat di Desa Tompotana dan Rewataya dalam hal mensosialisasikan pengelolaan Bangko Tappampang

- Desa Tompotana dan desa Rewataya

8 Jangan sampai dalam pengelolaan Bangko Tappampang akan memunculkan konflik sosial

- Semua Desa

9 Meminta kontribusi pemda Takalar terkait pengelolaan Bangko Tappampang

- Semua Zona

10 Mengusulkan Tanakeke dan khususnya Bangko Tappampang sebagai kawasan konservasi ke pemerintah Daerah Kabupaten Takalar.

- Semua Zona

forum kemudian bersepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan terkait penetapan kawasan Bangko Tapampang sebagai kawasan konservasi mangrove pulau Tanakeke dan penandatanganan kesepahaman tentang pengelolaan Bangko Tapampang oleh 5 desa di Kepulauan Tanakeke dengan menghadirkan pemerintah Kabupaten Takalar.

Lanjutan kegiatan ini dilakukan pada tanggal 22 Juni 2013 bertempat di Hotel amaris, Makassar. Pertemuan ini diikuti oleh 29 orang (3 Perempuan dan 26 Laki-

Page 64: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

54 Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove

laki) yang terdiri dari pengurus forum Pemerintahan Desa Pesisir Takalar, para tokoh masyarakat Tanakeke, pengurus Jaringan Perempuan Pesisir dan Community Organizer (CO). Selain itu hadir pula perwakilan dari SKPD di Kabupaten Takalar antara lain BaPPEDa, Dinas Kelautan Perikanan dan Dinas Kehutanan yang sekaligus Kepala UPTD Kepulauan Tanakeke.

Dari sisi regulasi, Pemerintah Kabupaten Takalar telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW), secara umum telah memberikan perlindungan bagi hutan mangrove yang ada di kepulauan Tanakeke. Dalam aturan ini ditetapkan adanya Kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang tercantum pasal 31, Paragraf 7 tentang Kawasan Lindung lainnya. Begitupun pada dokumen RTRW Provinsi Sulawesi Selatan dimana Kabupaten Takalar termasuk dalam pengembangan Kawasan Kota Mamminasata yang telah diatur melalui peraturan presiden nomor 55 tahun 2012.

Pemerintah Kabupaten Takalar saat ini sedang menyusun Rencana Detail Tata Ruang Pulau Sanrobenge dan selanjutnya akan merencanakan untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Tanakeke. Pada kesempatan ini pula BaPPEDa Kabupaten Takalar mengharapkan kepada forum Pemerintahan Desa Pesisir untuk memberikan saran dan rekomendasi terkait pengembangan kepulauan Tanakeke termasuk didalamnya tentang Bangko Tapampang sebagai Daerah Perlindungan Mangrove setempat.

Sosialisasi kawasan konservasi mangrove di kecamatan.

Page 65: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove 55

Menurut kepala desa Tompotana (Dg. Ngerang), Bangko Tappampang hanya dikenal oleh masyarakat Tanakeke dan keberadaannya masih kurang diketahui oleh pemerintah Kabupaten Takalar. Padahal lanjut beliau, Bangko Tapampang sudah ada sejak lama dan menjadi warisan (baca: kearifan lokal) untuk perlindungan mangrove selain fungsi sosial lainnya sehingga perlu disosialisasikan dan mendapat dukungan dari kabupaten.

Keberadaan dan aturan terkait dengan Bangko Tapampang masih terjaga sampai sekarang dan menjadi satu-satunya kawasan mangrove yang tidak bertuan. Walaupun pajak jiwa sudah tidak ada, masyarakat pulau yang tidak memiliki bakau masih diperbolehkan untuk menebang seperlunya.

Seiring berkembangnya budidaya rumput laut dan meningkatnya aktifitas perikanan yang berdampak pada keberadaan Bangko Tapampang, forum pemerintahan desa pesisir di Kepulauan Tanakeke yang diwakili oleh 5 desa kemudian sepakat untuk menjadikan kawasan bangko tapampang sebagai kawasan perlindungan mangrove di kepulauan Tanakeke dengan menerapkan sistem atau aturan pengelolaan tentang bangko tapampang.

Selanjutnya kawasan tersebut sesuai dengan tujuan pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) zona sebagai berikut:

Gambar 4: Draft Peta Kawasan Konservasi mangrove Bangko Tappampang, Kepulauan Tanakeke

Page 66: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

56 Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove

1. Zona Inti (seluas 40,57 hektar) adalah zona yang diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan mangrove dan dilarang melakukan aktivitas penebangan.

2. Zona Penyangga (seluas 5,90 hektar ) adalah zona yang diperuntukkan sebagai wilayah pemanfaatan secara terbatas sesuai kesepakatan tentang sistem pengelolaan kawasan Bangko Tapampang.

3. Zona Rehabilitasi (seluas 5,08 hektar) adalah zona yang diperuntukkan sebagai wilayah perbaikan mangrove karena mengalami kerusakan.

adapun sistem pengelolaan yang berlaku dalam Kawasan Konservasi Mangrove Bangko Tapampang, kepulauan Tanakeke mengalami beberapa perubahan sebagai berikut:1. Semua pihak dilarang menebang atau mengambil pohon bakau di Kawasan Zona

Inti.2. Warga desa yang tidak mempunyai lahan bakau dan tidak mampu membeli bakau

diperbolehkan menebang atau mengambil pohon bakau hanya di Kawasan Zona Penyangga Bangko Tappampang, maksimal 10 batang per keluarga dalam kurun waktu 1 tahun.

3. Setelah melakukan penebangan, warga yang menebang mesti menanam 20 bibit di areal penebangan atau di areal rehabilitasi Bangko Tappampang.

4. Penanaman bakau minimal 1 kali dalam setahun secara bersama-sama dan atau bekerja sama dengan instansi terkait di Zona Rehabilitasi.

5. Warga yang ingin menebang pohon bakau di kawasan Bangko Tappampang wajib melapor kepada pemerintah desa setempat, dan setelah melakukan aktifitas penebangan mesti melapor kembali ke pemerintah desa setempat.

6. Perlunya sosialisasi sistem pengelolaan bakau di Kawasan Bangko Tappampang yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa dan CO setempat.

7. Perlunya membuat papan informasi dalam bentuk peta agar masyarakat tahu bentuk Kawasan Konservasi Bangko Tappampang.

8. Pengawasan terhadap pengelolaan mangrove di Kawasan Bangko Tapampang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa setempat.

Nota kesepahaman ini ditandatangani oleh 12 orang perwakilan dari forum pemerintahan desa pesisir antara lain para kepala desa (5 orang), para ketua BPD 95 orang), 1 perwakilan dari tokoh masyarakat tanakeke dan 1 orang anggota jaringan perempuan.

Page 67: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Pembentukan Kawasan Konservasi Mangrove 57

Sosialisasi pembentukan kawasan Konservasi Mangrove Bangko Tappampang di tingkat desa dilakukan oleh forum Desa Tanakeke dan Penggerak masyarakat pada bulan Juli 2014. Kegiatan ini dilakukan di Desa Rewatayya dan Tompotana karena kedua desa ini yang paling dekat dengan lokasi Bangko Tappampang.

Dari hasil sosialisasi di level desa, masyarakat dan forum Pemerintahan Desa Kepulauan Tanakeke akhirnya menyepakati untuk menghilangkan salah satu zona, yaitu zona penyangga yang awalnya berfungsi sebagai zona pemanfaatan mangrove secara terbatas. Dengan tidak berlakunya zona penyangga, kawasan konservasi mangrove Bangko Tappampang tersisa dua zona yaitu zona inti dan zona rehabilitasi, hal ini berarti kawasan Bangko Tappampang menjadi kawasan yang seharusnya tidak tersentuh oleh aktivitas penebangan dan pengrusakan habitat mangrove.

adapun sosialisasi di tingkat kabupaten dilakukan pada tanggal 16 September 2013 bertempat di kantor BaPPEDa Kabupaten Takalar melalui dialog dengan pemerintah Kabupaten Takalar tentang pembentukan kawasan konservasi Bangko Tapampang dan forum Desa Tanakek juga mengusulkan agar lokasi tersebut dimasukkan ke dalam rencana tata ruang kabupaten. Kegiatan dihadiri oleh perwakilan SKPD dari BaPPEDa, BLHD, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Dinas Kelautan dan Perikanan.

Kegiatan selanjutnya adalah membuat papan informasi, peta dan tanda batas kawasan konservasi Bangko Tapampang. Pembuatan papan informasi dan tanda batas dimaksudkan agar keberadaan kawasan konservasi Bangko Tappampang lebih tersosialisasi secara menyeluruh di masyarakat kepulauan Tanakeke maupun bagi pendatang. Papan informasi berupa peta dan hasil kesepahaman dipasang di tiap desa yang ada di Kepulauan Tanakeke. adapun tanda batas sebanyak 15 buah dipasang di dalam kawasan konservasi mangrove Bangko Tappampang yaitu di Zona Inti dan Zona Rehabilitasi.

forum Pemerintahan Desa bersama masyarakat saat ini sedang menyusun rencana program terkait pengembangan dan rehabilitasi Bangko Tapampang. Hasil diskusi dengan forum Pemerintahan Desa Kepulauan Tanakeke, kawasan konservasi mangrove Bangko Tappampang diharapkan dapat menjadi kawasan wisata dan pendidikan. Untuk mendukung hal ini, forum pemdes berencana menyusun profil bangko tappampang terkait potensi yang terdapat didalamnya baik flora maupun faunanya serta mencari dukungan lewat program pemerintah kabupaten Takalar agar keinginan tersebut dapat tercapai.

Page 68: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

58 RPJMDes Nisombalia

Page 69: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

RPJMDes Nisombalia 59

RPJM Desa Nisombalia, Perencanaan Pembangunan Desa Partisipatif dan Adil Gender

8P

roses penyusunan perencanaan pembangunan desa haruslah mengikutsertakan masyarakat seperti tercantum dalam pasal 79 dalam UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa. Proses perencanaan pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat ini agar pembangunan desa tidak bersifat top down ala pembangunan

sentralistik, namun melibatkan warganya agar pembangunan bersifat partisipatif (bottom up). Pembangunan desa ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.

Proses perencanaan pembangunan desa akan menghasilkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), sebuah dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun yang memuat arah kebijakan pembangunan Desa, arah kebijakan keuangan Desa, kebijakan umum dan program, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas SKPD, dan program prioritas kewilayahan. RPJM Desa ini kemudian diuraikan lebih lanjut dalam Rencana Kerja Program Desa (RKP-Desa), sebuah dokumen perencanaan selama satu tahun sebagai turunan dari RPJM Desa.

Mengapa proses penyusunan RPJM Desa ini perlu melibatkan masyarakat? Karena dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa ini, pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan dan situasi masyarakat setempat juga menghadirkan rasa memiliki warganya terhadap program pembangunan desa.

Page 70: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

60 RPJMDes Nisombalia

Program RCL (Restoring Coastal Livelihood) dalam hal ini berusaha mendorong warga terlibat dalam proses perencanaan pembangunan Desa, sehingga agenda pembangunan desa selaras dengan kebutuhan warganya. Namun, kehadiran RCL di masyarakat tidak serta merta langsung mendorong warga berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan Desa, namun melalui jalan panjang tahapan pemberdayaan masyarakat.

Kehadiran RCL di tahun pertama lebih menyasar individu-individu yang termasuk dalam kategori rentan, rentan disini adalah mereka yang tidak mempunyai akses terhadap sumber ekonomi, kurang mampu, dsb. Ternyata setelah assesment dilakukan, masih ada masyarakat yang buta huruf. Maka beberapa kelas belajar pun diselenggarakan untuk membantu individu-individu ini menjadi melek huruf. Kemudian perlahan RCL mendorong individu-individu ini untuk membentuk kelompok. Kelompok-kelompok ini merupakan kelompok dengan aktivitas dengan tujuan individu yang tergabung bisa berdaya secara ekonomi. Seperti kelompok-kelompok ternak itik, produksi telur asin, pengolahan makanan berbahan rumput laut, dan budi daya rumput laut.

Ketika kelompok sudah berjalan, RCL selanjutnya mendorong kelompok-kelompok ini untuk bersinergi menjadi sebuah forum. forum yang sudah terbentuk seperti forum pemerintah Desa dan forum perempuan pesisir. Setelah terbentuk forum, kemudian RCL mendorong agar terjalinnya koneksi antar desa/lintas desa, dengan harapan desa-desa ini bisa mengakses kabupaten.

RCL dan RPJM Desa Partisipatif Desa Nisombalia

KETIKA kebutuhan-kebutuhan vital masyarakat dimasukkan dalam perencanaan pembangunan, tentu mencapai tujuan yang diharapkan masyarakat pun menjadi lebih mudah. RCL yang sudah di tahun kelima terlibat langsung dengan masyarakat tentu berharap masyarakat bisa terlibat/dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan.

Dalam kasus Desa Nisombalia, Kecamatan Marasu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, ternyata warganya juga berharap untuk dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan. Bahkan pihak pemerintah desanya berharap bisa didampingi RCL

Page 71: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

RPJMDes Nisombalia 61

dalam proses perencanaan pembangunannya. Muncul kekhawatiran dari pemerintah Desa mengenai perencanaan pembangunan yang selama ini belum dilakukan secara partisipatif.

Dengan adanya UU no. 6 tahun 2014 dalam pasal 72 ayat 2 tentang Keuangan Desa, diperkirakan desa akan mendapat dana sebesar 1,4 miliar (disesuaikan dengan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi) masing-masing desa. Dana Desa ini lah yang mendorong pemerintah Desa Nisombalia untuk menyiapkan perencanaan pembangunan desa dalam menyambut dana desa ini. Karena jika tidak melakukan perencanaan pembangunan desa yang baik, maka muncul potensi ketidakjelasan penggunaan anggaran. Tujuan dari proses perencanaan RPJM Desa partisipatif ini bukan semata menghasilkan dokumen RPJM Desa, tetapi memahami bagaimana prosesnya.

Proses perencanaan pembangunan di Desa Nisombalia terdiri dari:

1. SosialisasiSosialisasi dilakukan untuk menginformasikan kepada seluruh warga mengenai

akan diselenggarakannya perencanaan pembagunan Desa Nisombalia.

2. Pembentukkan dan pembekalan tim penyusun RPJM DesaTim penyusun RPJM Desa berjumlah 25 orang yang harus mewakili berbagai

kalangan. Tim penyusun RPJM Desa Nisombalia sendiri cukup mewakili berbagai kalangan, yang terdiri dari: forum warga, kalangan pemuda, kelompok tani, kelompok perempuan, pemuka agama, masyarakat rentan, dan tenaga pendidik. Tim penyusun kemudian dibagi menjadi tim pendata, operator, dan fasilitator acara.

Kemudian tim penyusun mendapat Bimbingan Teknis (BimTek) dari Oxfam dengan mitra YKL, mengenai proses penyusunan RPJM Desa. Dalam Bimtek ini, tim penyusun melakukan pra penyusunan RPJM Desa, masing-masing perwakilan dari setiap dusun memaparkan potensi dusun masing-masing.

Selanjutnya dilakukan proses pendataan penduduk dengan total 3.733 jiwa dari 961 KK (Kepala Keluarga) Desa Nisombalia, yang tersebar di 4 dusun yaitu Dusun Mambue, Tala-tala, Kuri Lompo, dan Kuri Caddi. Setelah pendataan, kemudian dilakukan penginputan data.

Page 72: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

62 RPJMDes Nisombalia

3. Musyawarah Dusun (Musdus)SEPERTI namanya, Musyawarah Dusun dilakukan di masing-masing dusun. Musdus

dilakukan dengan mengundang semua warga untuk hadir di dalam musyawarah. ada tiga tools yang digunakan dalam Musdus, yaitu sketsa dusun, diagram kelembagaan, dan kalender musim. Sketsa dusun berfungsi untuk memvisualkan potensi dan masalah dusun. Contoh masalah yang terurai dalam sketsa dusun Nisombalia, seperti:

Masalah Penyebab Masalah Potensi yang dimiliki

Ibu-ibu kewalahan saat penimbangan bayi yang berpindah-pindah.

Bangunan posyandu belum permanen, disertai pelayanan yang kurang maksimal.

adanya kader posyandu dan lahan masyarakat.

Saat musim hujan di RT 02 dan RT 03 terdapat 80 KK rumah warga yang sering tergenang air.

Tidak adanya saluran pembuangan air.

adanya tenaga, lahan, batu, dan pasir.

Dengan adanya sketsa dusun, berbagai masalah dan potensi bisa divisualkan dalam bentuk peta dusun. Siapapun bisa dengan mudah memahami apa masalah dan potensi yang dimiliki dusun tersebut.

Diagram kelembagaan makin dekat posisi lembaga ke masyarakat, maka perannya makin terasa bagi masyarkat. Makin jauh posisi lembaga dari masyarakat, maka perannya makin berkurang.

Page 73: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

RPJMDes Nisombalia 63

Kemudian tools kedua yang digunakan yaitu diagram kelembagaan. Diagram kelembagaan ini mendata lembaga-lembaga apa saja yang ada di dusun, dan menggali sejauh mana perannya selama ini kepada masyarakat. Diagram kelembagaan ini digambarkan dalam diagram venn.

adapun beberapa lembaga masyarakat di Desa Nisombalia yaitu: BPD (Badan Permusyawaratan Desa), Kepala Desa, Kepala Dusun, Imam Desa, Imam Dusun, Kelompok Tani, Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), PKK, Majelis Ta’lim, Kelompok SPP, Kelompok Tani Nelayan, Kelompok Tani Tambak, Kelompok ternak, Kelompok Ibu-Ibu, Karang Taruna, dan Kelompok Pemuda. Dengan adanya kelembagaan di masyarakat, tentu setiap individu masyarakat bisa mengaktualisasikan dirinya dengan bergabung di salah satu lembaga, sehingga individu bisa memenuhi kepentingannya sekaligus berperan bagi masyarakat itu sendiri.

alat analisis yang ketiga adalah kalender musim. Kalender musim ini berfungsi untuk menggali musim-musim sepanjang tahun, disertai dengan masalah dan potensi yang dimiliki. Misalnya, kapan musim kemarau panjang terjadi, musim hujan, kapan biasanya hasil tangkap ikan meningkat, kapan hasil tagkap menurun, kapan beralih ke mata pencaharian alternatif ketika tidak bisa melaut, juga untuk menyesuaikan masa tanam bagi petani, serta mengetahui kapan biasanya waktu-waktu rentan terhadap penyakit, dengan tujuan agar penyakit bisa diantisipasi.

4. LokakaryaDalam lokakarya dilakukan pengelompokan masalah persektor. Sektor-sektor

ini dibagi ke dalam: pengembangan wilayah, ekonomi, dan sosial budaya. Setelah masalah diklasifikasikan, kemudian dilakukan pemeringkatan masalah, dan kemudian pemeringkatan tindakan. Masalah dan tindakan yang dirasa perlu didahulukan diberi point yang tinggi, sehingga memudahkan untuk membagi aspirasi warga ini ke dalam waktu 5 tahun. Hasilnya bisa diketahui mana usulan yang direalisasikan di tahun pertama, tahun kedua, dan seterusnya. Selanjutnya penentuan arah kebijakan yang tercermin dalam visi misi arah pembangunan desa.

5. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes)Dalam Musrenbang setiap dusun mengirimkan wakilnya dengan proporsi

perempuan dan laki-laki 2:3. Dalam musrenbang yang berlangsung 21 September

Page 74: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

64 RPJMDes Nisombalia

2014, pembahasan musyawarah adalah tentang: visi misi, penetapan visi Desa Nisombalia, penentuan arah kebijakan keuangan dan arah pembangunan desa, serta penetapan program kerja 5 tahun dan RKP 1 tahun. Kemudian hasil musrenbang Desa Nisombalia ditetapkan setelah keluarnya Surat Keputusan No:01/SK-BPD/NSB-MRSU/Ix/2014 yang menyetujui rancangan peraturan pembangunan desa tentang RPJM Desa tahun 2014-2019.

Perencanaan pembangunan partisipatif dibandingkan dengan perencanaan pembangunan periode sebelumnya tentu mempunyai perbedaan yang signifikan. Jika sebelumnya RPJM Desa disusun hanya segelintir elit di pemerintahan desa disertai masih minimnya data mengenai desa, kini dilakukan secara partisipatif, data yang didapat pun akurat dan mutakhir.

RPJM Desa saat ini memuat rencana program-program pemberdayaan kelompok tani dan nelayan, rehabilitasi kawasan mangrove, pengairan, pembangunan kapasitas SDM terutama perempuan. Kini pembangunan tidak melulu soal pembangunan fisik. Berikut program dan kegiatan RPJM Desa Nisombalia 2014-2019:

Pertama, pembangunan pendidikan menuju masyarakat Nisombalia yang berkualitas. Peningkatan kualitas masyarakat ini meliputi kegiatan pemberantasan buta huruf, pengembangan budaya baca dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan TK dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Kedua, perkembangan kesehatan meliputi: perlunya pengadaan jamban sehat bagi keluarga miskin, mengingat masalah sanitasi belum terlalu diperhatikan warga. Kemudian perlunya perbaikan gizi masyarakat dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Ketiga, pembangunan ekonomi menuju Nisombalia yang sejahtera, seperti peningkatan produksi pertanian tanaman padi, tambak, dan nelayan; pengembangan dan perintisan budi daya ikan air tawar dan kepiting rajungan; pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan termasuk jalan usaha tani; penciptaan dan pengembangan kewirausahaan; peningkatan pelayanan bagi penduduk miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Keempat, pembangunan keagamaan seperti: pemberantasan buta aksara alquran, peningkatan kualitas ibadah, pengoptimalan pemanfaatan sarana ibadah, peningkatan kualitas safari jumat dan safari ramadhan. Kelima, penguatan kehidupan sosial, budaya, demokrasi, dan kemasyarakatan. Meliputi: perencanaan dan pengendalian penataan

Page 75: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

RPJMDes Nisombalia 65

ruang, pengembangan budaya lokal, pembinaan kesadaran politik, peningkatan kamtibmas, gerakan penghijauan desa dan pemeliharaannya, serta bantuan sosial masyarakat. Keenam, penguatan kelembagaan masyarakat. Meliputi: pemberdayaan kelompok perempuan, kelompok tani, pemuda dan olah raga, pembangunan kader-kader desa, pemberdayaan kelompok profesi lainnya, serta tersedia sarana prasarana perkantoran. Ketujuh, penguatan kelembangaan pemerintah, meliputi: peningkatan kualitas dan profesionalisme aparatur pemerintah desa, peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan dan aset desa, penataan kelembagaan dan tatalaksana pemerintah desa, peningkatan kapasitas dan profesionalisme anggota BPD, dan pembentukkan BUM Desa dan memaksimalkan peranannya.

RPJM Desa Partisipatif dan Adil Gender

PROSES penyusunan RPJM Desa yang partisipatif ini mendatangkan banyak dampak positif. Menurut ketua BPD Nisombalia Bapak Muh. Yunus, “dulu warga antipati ketika mendapat undangan menghadiri Musrenbang. Pasalnya, ketika aspirasi dari warga tidak sesuai dengan visi misi Bupati, seringkali aspirasi tersebut tidak direalisasikan. akhirnya masyarakat malas untuk datang lagi. Namun sekarang setelah adanya sosialisasi kepada masyarakat, warga banyak yang berpartisipasi, bahkan seringkali terjadi debat baik dalam Musdus, lokakarya, maupun Musrenbang.”

Bahkan partisipasi perempuan pun tinggi. “Dulu sebelum ada dampingan dari Oxfam tentang RPJM Desa, partisipasi perempuan nihil, tetapi saat ini alhamdulillah partisipasi perempuan meningkat, bahkan perbandingan perempuan dengan laki-laki 50:50” ujar Bu Husnah dengan wajah berbinar. Bu Husnah merupakan anggota dari Kelompok Pa’jala Tupa’biring yang fokus di ternak itik dan produksi telur asin.

Dengan banyaknya perempuan yang terlibat dalam tim penyusun yang berjumlah 25 orang, ini juga menjadi faktor penyemangat kaum perempuan untuk terlibat dalam Musdus. ada dampak positif yang bisa dirasakan perempuan ketika berpartisipasi langsung dalam Musdus, aspirasi perempuan menjadi tersampaikan. “Dulu usulan dalam RPJM Desa seringkali fokus ke pembangunan fisik, tetapi sekarang kami bisa mengusulkan diadakannya pelatihan-pelatihan untuk peningkatan kapasitas dan ekonomi perempuan seperti dalam pengolahan hasil potensi laut, kelas belajar bagi warga yang masih buta huruf, usulan tentang kesehatan perempuan, Ibu, dan anak, dan masih banyak lagi..” lanjut Bu Husna.

Page 76: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

66 RPJMDes Nisombalia

Respon positif juga disampaikan oleh Pak Syamsir, warga Dusun Kuri Lompo yang juga ikut serta dalam musyawarah yang diselenggarakan. “Dengan penyelenggaraan musdus, kita menjadi tahu ternyata ada kebutuhan masyarakat yang sangat vital dan belum terealisasi, seperti kebutuhan akan air bersih, dan perlunya penggalian muara.” Pak Syamsir kemudian menjelaskan, ternyata saat bulan kemarau kemarin, sekitar 70 KK (Kepala Keluarga) di dusunnya tidak bisa melaut karena muara yang mendangkal. Maka dalam MusDus inilah semua masalah yang ditemui masyarakat kemudian diungkapkan.

Disinggung mengenai partisipasi perempuan dalam penyusunan RPJM Desa, Pak Syamsir dengan penuh antusias menyampaikan dampak positif yang dirasakan setelah diselenggarakannya penyusunan RPJM Desa partisipatif ini, “Dulu perempuan tidak berani bicara, paling isteri biasa menyampaikan aspirasinya melalui suaminya. Sekarang, perempuan sudah berani menyampaikan apa saja kebutuhannya terkait pembangunan desa.” Pak Syamsir yang saat ditemui sedang mengurus itik ditemui di tempat praktek penetasan telur Kelompok Tupa’biring di Dusun Kuri Lompo ini menyampaikan, bahwa saat MusDus di dusunnya berlangsung, perempuan yang tergabung dalam kelompok Pa’jala Tupa’biring berkesempatan menyampaikan aspirasinya terkait pemberdayaan perempuan dalam usaha pengolahan makanan dari hasil laut supaya dimasukkan dalam rencana pembangunan.

Saat ini sudah mulai terlihat perubahan dari perempuan-perempuan di Desa khususnya Desa Nisombalia. Perempuan menjadi lebih aktif di luar kegiatannya mengurus rumah tangga. Perempuan sudah bisa menjalankan usahanya sendiri untuk mendapatkan penghasilan tambahan agar tidak melulu mengandalkan pendapatan suami. Dari kelompok-kelompok pemberdayaan ini pula perempuan berlatih untuk tidak malu-malu mengungkapkan pendapat dan mengaktualisasikan diri. Sehingga puncaknya dalam forum musyawarah warga perempuan tahu aspirasi apa yang harus disampaikan supaya kaum perempuan berjalan seiring dalam pembangunan.

Perubahan pun bukan hanya dari kaum perempuannya saja, juga dari para lelaki yang mengikhlaskan berbagi ruang publik dengan perempuan. Keduanya saling berkolaborasi untuk sama-sama maju dalam pembangunan desa.

Page 77: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

RPJMDes Nisombalia 67

Page 78: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

68 Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID)

Page 79: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID) 69

Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID)9

Dalam usaha pembangunan masyarakat, data memiliki peranan yang sangat vital. Data menjadi ukuran untuk mengetahui sejauh mana baseline / situasi di masyarakat. Sayangnya ketersediaan dan keakuratan data masih menjadi masalah, dan seringkali tidak ada integrasi data. Nihilnya integrasi data ini

bisa dilihat ketika mengkomparasi data tersebut, data berbeda-beda sesuai dengan sumber data masing-masing. Ini menyebabkan banyak program yang dikerjakan oleh pemerintah terlihat berjalan sendiri-sendiri, saling tumpang tindih dan tidak tepat sasaran.

Begitu juga ketika kita berbicara tentang desa. Begitu banyak data tentang desa baik itu data demografi maupun sosial, yang dimiliki oleh masing-masing SKPD di pemerintah lokal maupun masing-masing departemen di pemerintah pusat. Sayangnya data ini digunakan untuk kepentingan masing-masing. Sedangkan desa sendiri seringkali tidak memiliki data terpadu, data yang dikelola secara mandiri oleh desa. Memang desa seringkali dilibatkan dalam pengambilan data di masyarakat, namun akhirnya data tersebut disetor dan menjadi milik pemerintah di level atas. Padahal desa sendiri mempunyai kepentingan atas data sebagai rujukan, sumber informasi, dan bahan dalam pengambilan kebijakan untuk pembangunan desa.

Page 80: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

70 Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID)

Program Restoring Coastal Livelihood (RCL) dari tahun 2010 sudah melakukan pendampingan di 4 Kabupaten di Sulawesi Selatan (Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep, dan Barru). Pendampingan RCL untuk mendorong masyarakat rentan agar lebih berdaya secara ekonomi dengan memanfaatkan potensi pesisir. Selain itu, RCL juga mendorong desa-desa di 4 kabupaten ini supaya kapasitas pemerintah desa meningkat terutama dalam perencanaan desa, agar pembangunan desa sungguh-sungguh memberdayakan potensi yang ada. RCL sudah mendorong penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) secara partisipatif. Untuk menunjang perencanaan yang baik dan partisipatif ini, tentulah diperlukan data yang lengkap dan akurat. Oleh karenanya diperlukan sumber data (database) yang bisa dioperasikan dan digunakan sewaktu-waktu.

atas dasar keperluan itu RCL bekerja sama dengan pemerintah desa membangun sebuah Sistem informasi desa. Sistem Informasi desa adalah sistem aplikasi database yang juga disertai dengan fungsi pelayanan kependukan untuk menunjang kinerja pemerintah desa dalam pelayanan publik, perencanaan, serta pengawasan pembangunan. Data yang ada di Sistem Informasi Desa (SID) diambil oleh pemerintah desa dengan melibatkan masyarakat (partisipatif ), data itu meliputi data kependudukan mendasar (demografi) serta data sosial ekonomi, seperti data tentang aset, pendapatan, dan potensi sehingga bisa difungsikan pemerintah desa sebagai alat analisis kehidupan masyarakat.

Dalam memfasilitasi desa dalam pembuatan SID, RCL bekerjasama dengan Combine Resource Institution, sebuah NGO yang memang sudah lama bekerja dalam penyediaan media-media alternatif yang berbasis pada sumber daya lokal. Saat ini RCL telah membangun SID di 12 desa yang tersebar di 4 kabupaten, yaitu desa Tompotana dan Balang Datu di Kabupaten Takalar, Desa Madello dan Pancana di kabupaten Barru, desa Pitue dan Tamangapa di kabupaten Pangkep. Sedangkan di Kabupaten Maros SID telah disediakan di desa Majjanang, Mattirotasi, Borikamase, Tuppabiring, Nisombalia, dan Bontobahari. Di bulan Desember 2014 desa-desa itu sudah memulai menjalankan SID untuk pelayanan kependudukan dan menggunakan data-data yang ada di dalamnya sebagai acuan untuk menyusun program pembangunan di desa.

Page 81: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID) 71

Memudahkan dan Mendekatkan

SALAH SATU prinsip dari SID adalah “memudahkan dan mendekatkan”, disebut memudahkan karena SID membuat kesulitan yang sering dihadapi dalam pencarian sebuah data kini ditemukan solusinya, misalkan pemerintah desa mencari data mengenai keluarga-keluarga yang masuk kategori nelayan miskin, maka tak perlu lagi membongkar arsip, mencari-cari, atau terjun ke masyarakat untuk mengambil data, staf desa dengan mudah bisa mencarinya di SID. Contoh lain, misalkan ada sebuah organisasi atau lembaga bantuan hendak memberi bantuan bibit pada petani yang dianggap miskin, maka pihak pemerintah desa bisa menyediakan data itu dengan cepat dan akurat, tanpa harus kerepotan mencari datanya seperti yang sering terjadi.

Kemudahan SID sudah dirasakan pengaplikasiannya di Desa Nisombalia, Kabupaten Maros. Seperti pada saat Ketua BPD, yaitu Mohammad Yunus membutuhkan data tentang kepemilikan ternak warga desanya. Menurutnya, data tentang kepemilikan ternak dibutuhkan untuk melakukan sosialisasi tentang peraturan desa mengenai ternak. Banyaknya hewan ternak seperti sapi dan kambing milik warga yang berkeliaran dan mengganggu kebun warga, mendorong adanya pembuatan perdes ternak. adanya data yang bisa diakses dengan mudah dengan sistem SID, membuat proses ini menjadi lebih sederhana dan cepat.

Di Desa lainnya, yaitu di Desa Pitue, Kabupaten Pangkep, SID dimanfaatkan dalam proses pelaksanaan Musyawarah Dusun (Musdus) yang berlangsung di 4 Dusun di Desa Pitue. Nasrullah, salah satu staff Desa Pitue menyampaikan, SID sangat memudahkan dalam penyelenggaraan Musdus. Kemudahan itu seperti ketika ia harus menyebar undangan kepada warga Dusun yang diundang untuk menghadiri Musdus. Dengan adanya data SID, ia bisa menemukan dengan mudah data masyarakat berdasarkan tiap dusun. Menurutnya, ia hanya mengklik icon penduduk, kemudian klik icon keluarga, kemudian sort by dusun. Kemudian dia juga bisa melihat proporsi perempuan dan laki-laki dengan mudah dari penggunaan SID.

Lalu bagaimana dengan prinsip “mendekatkan”? Seperti kita tahu data yang baik adalah data yang relevan, mutakhir, serta bisa dimengerti dan diverifikasi. Untuk mendapatkan data yang memenuhi kriteria itu tentu pihak pemerintah harus mengambil data secara langsung di masyarakat, agar data yang dimasukkan ke dalam

Page 82: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

72 Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID)

sistem bukanlah data yang asal-asalan. Selain itu data itu juga arus di-update secara berkala atau sesuai kebutuhan untuk mendapatkan data yang mutakhir atau terbaru, Proses memperbarui data ini bisa dilakukan oleh staf pemerintah desa yang terjun ke masyarakat atau oleh masyarakat sendiri yang melaporkan ke pemerintah desa. Seperti hal adanya warga yang meninggal atau warga yang lahir. Warga bisa melapor langsung ke pemerintah desa untuk mendapat surat keterangan, pemerintah desa pun bisa mengupdate langsung jumlah populasi warganya tanpa harus menghitung secara manual. Proses ini membuat komunikasi antara pemerintah desa dan masyarakat menjadi lebih dekat. Komunikasi dua arah yang akrab menciptakan suasana yang kondusif dalam melaksanakan seluruh pekerjaan. Pemerintah desa jadi lebih mengerti kondisi masyarakatnya dan begitu sebaliknya.

Desa Berdaulat

MENURUT Sartono Kartodirjo, desa adalah suatu kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Oleh karenanya

Pelatihan Sistem Informasi Desa (SID) oleh Combine Resource Institution di Jogjakarta.

Page 83: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID) 73

kita harus mendukung otonomi desa dalam pembangunan terutama dalam pengelolaan dan penyediaan data tentang desa. Undang-Undang Desa yang baru (UU no 6 2014) bertujuan untuk mendukung hal itu, agar desa bukan hanya menjadi sumber (resource) tetapi juga menjadi sarana pertumbuhan (engine of growth). Dana besar yang akan dilimpahkan ke desa menuntut tanggung jawab besar dalam pengelolaannya, pemerintah desa harus ditingkatkan kapasistasnya agar mampu mengelola dana besar itu agar bermanfaat sebaik-baiknya untuk perkembangan ekonomi dan sosial warga desanya.

Di sini SID memiliki peran yang penting. Bagaimana mungkin pengelolaan dan alokasi dana yang besar tidak didasari oleh perencanaan dan data yang kuat. Selain sebagai sumber data (acuan) SID juga berfungsi sebagai alat dokumentasi dan evaluasi program, sehingga pembangunan dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Oleh karenanya, UU no 6 2014 mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyediakan Sistem Informasi di setiap desa. Diharapkan nanti semua program yang

Pelatihan Sistem Informasi Desa (SID) oleh Combine Resource Institution di Makassar

Page 84: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

74 Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID)

berhubungan dengan suatu desa akan menjadikan SID di desa itu sebagai sumber data yang utama dan bisa dipertanggungjawabkan, sehingga tidak ada lagi bermacam-macam data yang saling tumpang tindih dan sektoral. Desa menjadi memiliki posisi tawar yang lebih baik, memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri. Desa menjadi lebih berdaulat.

Web Desa

DALAM menerapkan SID, RCL juga melengkapinya dengan web desa. Web desa menjadi sarana resmi bagi pemerintah desa dalam menginformasikan desanya kepada publik. Mau tak mau seluruh lapisan masyarakat di Indonesia akan akrab dengan internet, arus informasi yang semakin cepat menuntut kita untuk mampu terlibat di dalamnya. Web desa mendukung hal tersebut, ini adalah sarana efektif agar desa bisa membangun komunikasi secara lebih luas dengan cepat dan murah, informasi-informasi di web desa tidak hanya bisa digunakan oleh warga desa setempat, namun juga oleh kalangan luar, seperti pemerintah daerah, masyarakat, media, LSM, akademisi, dan semua yang berkepentingan.

Tampilan database SID, Desa Nisombalia, Kec. Marusu, Kab. Maros.

Page 85: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

Berdaulat dalam Data lewat Sistem Informasi Desa (SID) 75

Untuk ke dalam, web desa bisa difungsikan oleh pemerintah desa untuk mengirimkan informasi dari dalam dan luar yang dianggap penting untuk anggota masyarakat. Misalkan mengenai informasi program pemerintah, informasi kependudukan, atau bahkan pendidikan. Dalam konteks desa-desa yang didampingi RCL, web desa akan dioptimalkan fungsinya untuk menunjang program RCL terutama dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan peningkatan pendapatan masyarakat. Seperti untuk mempromosikan produk-produk ekonomi yang ada di desa itu serta menyebarkan informasi atau mengkampanyekan tentang penyelamatan ekologi wilayah pesisir seperti rehabilitasi mangrove, pembuatan tambak organik, dan sebagainya.

Kinerja yang Baik

PADA akhirnya SID dan Web Desa hanyalah alat, sarana pembantu, ia tidak akan berfungsi jika tidak digerakkan oleh tangan-tangan yang giat dan berintegritas. Tanpa kinerja pemerintah desa yang baik, SID dan Web Desa hanya menjadi hiasan, atau mangkrak seperti barang yang tidak berguna. Oleh karena itu RCL terus berusaha membangun kapasitas dan kesadaran pemerintah desa untuk meningkatkan kinerjanya. SID dibangun salah satunya untuk mengembalikan fungsi kantor desa sebagai pusat pelayanan, sehingga tidak ada lagi kantor desa yang sudah ditinggalkan pegawainya di jam kerja, atau penduduk mau mengurus surat keterangan harus menemui kepala desa di rumahnya meskipun itu masih di jam kerja. Lewat pelatihan-pelatihan dan pendampingan di lapangan RCL terus mendorong agar kantor desa sebagai pusat pelayanan dan komunikasi antara pemerintah desa dengan masyarakat berfungsi secara optimal.

Page 86: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

76 BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut

Page 87: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut 77

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut

10B

adan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan sebuah lembaga usaha yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa, yang memiliki dua fungsi yaitu fungsi komersil dan sosial. Sebagai lembaga sosial BUM Desa melakukan pelayanan terhadap

masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, dan fungsi komersil dengan mengupayakan kegiatan ekonomi yang dijalankan.

Semua desa di Kabupaten Barru-Sulawesi Selatan sudah mempunyai BUM Desa, seperti yang diatur dalam Perda Kab. Barru No 11 Tahun 2011 tentang BUM Desa. BUM Desa Sipurennu adalah salah satu BUM Desa di Kab. Barru yang berada di Desa Pancana. BUM Desa ini diatur juga dalam Perdes Pancana no 12 tahun 2011. BUM Desa Sipurennu sudah memulai kegiatannya dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Desa Pancana sebagai desa pesisir yang bersinggungan langsung dengan selat Makassar, mempunyai potensi budidaya rumput laut dan sebagian besar masyarakat di Desa Pancana adalah petani budidaya rumput laut.

Sejak awal berdirinya di tahun 2011 BUM Desa Sipurennu hanya bergerak di bidang jasa pembayaran listrik. Namun sejak akhir 2013 setelah adanya pendampingan dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) BUM Desa Sipurennu mulai merambah

Page 88: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

78 BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut

di wilayah pembelian dan penjualan rumput laut. BUM Desa Sipurennu bekerjasama dengan petani rumput laut dengan menghadirkan pemasaran bersama. BUM Desa membeli rumput laut dari petani, kemudian setelah terkumpul dalam jumlah yang cukup besar kemudian dijual ke perusahaan di Kota Makassar.

Modal awal BUM Desa Sipurennu didapatkan dari anggaran desa sebesar 15 juta. Modal ini kemudian digunakan untuk pembelian rumput laut. Idealnya untuk permodalan BUM Desa adalah 51% dari pemerintah desa dan 49% dari masyarakat. Hanya saja untuk tahap-tahap awal permodalan masih bersumber dari anggaran desa. Pola kinerja BUM Desa Sipurennu yaitu BUM Desa membeli rumput laut dari petani, rumput laut dikumpulkan kemudian dijual ke perusahaan di Makassar. ada 6 kelompok masyarakat budidaya rumput laut binaan RCL yang tersebar di Kab. Barru dan Kab. Pangkep, menjalin bekerjasama dengan BUM Desa Sipurennu, yaitu: Kelompok Pantai Bira, Kelompok Kalaroang, Kelompok Bunga Laut, Kelompok Masingereng, Kelompok annisa, dan Mangkoso Semanggi. BUM Desa Sipurennu sengaja melibatkan petani dari luar Kab. Barru, yaitu Kelompok Kalaroang dari Kabupaten Pangkep, untuk mendorong terjadinya replikasi model BUM Desa di Kabupaten Pangkep.

Kontrol Kualitas dan Keterbukaan Informasi Rumput Laut

SELAMA satu tahun berjalan, dengan adanya kerjasama petani rumput laut dengan BUM Desa manfaat yang dirasakan oleh petani rumput laut adalah keterbukaan informasi harga rumput laut. asas yang diterapkan BUM Desa yaitu transparan, akuntabel, dan partisipatif, maka BUM Desa Sipurennu membuka akses informasi mengenai harga rumput laut. Selama ini informasi mengenai rumput laut masih simpang siur, seringkali pihak-pihak tak bertanggung jawab membuat petani bingung. Kerjasama yang dijalin BUM Desa Sipurennu dengan perusahaan besar di Makassar, membuat informasi mengenai harga ini berasal dari sumber yang kredibel.

BUM Desa Sipurennu membeli rumput laut kering jenis cottonii dari petani dengan kisaran harga Rp. 14.000,- sampai Rp. 15.000,- per kg. BUM Desa Sipurennu membeli rumput laut berkualitas dengan harga tinggi, sedangkan rumput laut dengan kualitas kurang dengan harga terendah Rp. 14.000,-. Range harga ini mendorong petani untuk meningkatkan kualitas rumput laut yang diproduksi. Dalam menjaga kualitas rumput laut BUM Desa Sipurennu memang serius. Menurut Harlina-bendahara BUM

Page 89: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut 79

Desa Sipurennu “kami memang serius menjaga kualitas rumput laut yang kami beli dari petani dan kami jual ke Makassar”. BUM Desa Sipurennu juga sudah mempunyai gudang penyimpanan rumput laut agar kualitasnya tetap terjaga. Rumput laut yang dijual petani dibeli BUM Desa dan kemudian dikumpulkan di gudang sampai jumlahnya cukup untuk dijual ke Makassar.

BUM Desa Sipurennu memang belum lama memulai kiprahnya di unit usaha rumput laut. Di tahun 2014 penjualan pertama rumput laut ke Makassar adalah sebanyak 1.138 kg dengan harga jual pada saat itu adalah Rp. 16.900,-. Selisih dari hasil penjualan sebesar Rp.19.232.200 dengan pembelian rumput laut dari petani (1.138 kg x Rp.15.000,-=Rp.17.070.000,-), 90 %nya kemudian dikelola BUM Desa sebagai Pendapatan asli Desa (PaD) yang akan dimanfaatkan untuk masyarakat desa itu sendiri, dan 10% diberikan kepada pengurus BUM Desa.

Menurut Syahrul Mukhlis-Manager BUM Desa Sipurennu, BUM Desa baru melakukan penjualan pertama kalinya ke Makassar dikarenakan perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai BUM Desa. BUM Desa tidak seperti koperasi yang sangat sosial, dan tidak seperti perusahaan yang sangat business oriented. BUM Desa berada di tengah-tengah sebagai lembaga sosial dan komersil. Ia berperan sebagai social busines / social enterprise yang menjalankan usaha secara komersil, yang dijalankan oleh masyarakat untuk memberi manfaat kepada masyarakat.

BUM Desa Sipurennu unit usaha budidaya dan perdagangan rumput laut berlokasi di Desa Pancana, kab. Barru.

Page 90: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

80 BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut

adanya BUM Desa ini juga menjaga stabilitas harga rumput laut. Menurut Kepala Desa Pancana Mukhlis Sulaiman, Ba, adanya BUM Desa harga rumput laut menjadi stabil. BUM Desa meminimalisir ulah tengkulak yang mempermainkan harga rumput laut dengan memberi harga pantas terhadap rumput laut.

Di sisi lain, BUM Desa dalam menjalankan niat baiknya masih menemui hambatan. Modal yang tersedia masih kurang, sehingga BUM Desa belum bisa membeli semua rumput laut yang dihasilkan kelompok. Menurut Syahrul Mukhlis, petani rumput laut yang bekerja sama dengan BUM Desa belum menjual semua rumput lautnya ke BUM Desa karena kemampuan membeli BUM Desa yang masih terbatas. Jika modal yang dimiliki oleh BUM Desa mencukupi, tentu BUM Desa akan membeli semua rumput laut yang diproduksi. Kapasitas memasok rumput laut pun akan menjadi lebih besar, dan lebih meningkatkan PaD. Selain terhambat dengan keterbatasan modal, BUM Desa juga seringkali masih bersaing dengan ponggawa.1 Ponggawa inilah yang seringkali menghembuskan informasi simpang siur mengenai harga rumput laut, terkadang menaikkan harga sebagai upaya menarik perhatian petani rumput laut.

Menjaga Ketersediaan Bibit Rumput Laut

BUKAN hanya melakukan kegiatan pembelian dan penjualan rumput laut, BUM Desa Sipurennu juga mewajibkan anggotanya untuk mempunyai simpanan wajib di BUM Desa. Uniknya simpanan wajib tidak dalam bentuk uang, namun berupa rumput laut. Menurut Harlina, “seringkali masyarakat merasa berat jika harus menyimpan dalam bentuk uang, jadi kami konversi dalam bentuk rumput laut.” Setiap anggota wajib menyimpan 20 kg rumput laut di BUM Desa, jika dikonversi ke nilai rupiah, simpanan wajib ini mencapai Rp.300.000,- untuk harga rumput laut Rp.15.000,-/kg-nya. Simpanan rumput laut ini bisa dimanfaatkan sebagai cadangan jika sewaktu-waktu ada anggota lainnya yang membutuhkan bibit rumput laut. Jika cadangan bibit rumput laut ini sedang kosong, BUM Desa membantu memfasilatasi penyediaan bibit ini dengan menghubungi petani rumput laut di daerah lain seperti di daerah Bantaeng. 1 Ponggawa-sawi merupakan sistem patron-client di mana hubungan antar keduanya saling

menguntungkan. Ponggawa adalah patron/pelindung yang menyediakan modal sosial dan ekonomi bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha. Sedangkan sawi adalah client yang mendapat perlindungan sekaligus bekerja pada ponggawa dengan memakai atribut hubungan norma sosial dan persepakatan kerja. Dengan sistem ponggawa-sawi ini, ponggawa diuntungkan karena mempunyai sumber daya yang menjalankan usahanya dan layanan sosial lainnya, sedangkan sawi mendapat jaminan hidup/sumber pendapatan dalam hidupnya.

Page 91: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut 81

BUM Desa berperan dalam mengatur dan mencatat perguliran anggota, dan mencatat pengambilan in kind material. In kind material berupa peralatan yang diperlukan petani rumput laut seperti: tali dengan beragam ukuran, pelampung rumput laut, dan bibit. Sebagai informasi, kelompok rumput laut binaan RCL di awal mendapat in kind material berupa bibit dan peralatan. Setelah budidaya berjalan, anggota yang mendapat in kind material ini wajib menggulirkan kepada petani rumput laut yang masuk dalam kategori rentan2, sehingga semakin banyak masyarakat yang bisa lebih berdaya. Di kelompok-kelompok binaan RCL di 4 Kabupaten di Sulawesi Selatan, perguliran biasanya berupa uang atau berupa bibit dan biasanya perguliran dikelola oleh kelompok itu sendiri.

Di Kabupaten Barru, perguliran dikelola oleh BUM Desa Pancana, dan bentuk perguliran yang dilakukan berupa perguliran bibit rumput laut, atau tali bentangan. Di Bulan September 2014 tercatat perguliran rumput laut yang disetorkan kelompok sebesar Rp.7.196.000,- di Bulan November sebesar Rp.485.000,- dan di Bulan Desember baru sebesar Rp.155.000,-. Rumput laut yang terkumpul ini kemudian digulirkan kepada masyarakat rentan lainnya yang setelah dilakukan assessment kelayakan untuk mendapat in kind material. Rumput laut ini tidak semua digulirkan kepada anggota baru, tetapi juga digunakan BUM Desa untuk menjaga ketersediaan bibit, sebagai cadangan jika anggota kelompok membutuhkan bibit rumput laut.

Salah satu anggota Kelompok Pantai Bira, Sarinah (40) menyampaikan “dengan adanya kerjasama dengan BUM Desa ini kami merasakan perubahan yang lebih baik. Dulu di tahun 2013, harga rumput laut di pengumpul pernah dibeli dengan harga Rp.7000-Rp.10.000,-.” Sarinah sendiri baru bisa menanam rumput laut secara berkelanjutan setelah mendapat in kind material dari Oxfam melalui program RCL. Saat ini Sarinah mempunyai rumput laut sebanyak 100 bentang dengan ukuran 25 m/bentang. Dari setiap bentang dia bisa menghasilkan 3-4 kg rumput laut kering, jadi ia bisa menghasilkan sekitar 300-400 kg rumput laut setiap kali panen. Dengan adanya BUM Desa, menurut Sarinah ia merasa ada upaya saling membantu antar petani rumput laut, ketika petani membutuhkan bibit atau tali mereka bisa menghubungi BUM Desa.

BUM Desa Sipurennu juga amat concern dalam mendorong unit usaha rumput

2 Rentan/vulnerable: Masyarakat yang masuk dalam kategori rentan adalah masyarakat yang kurang mampu, tidak mempunyai sumber penghidupan yang layak, tidak memiliki akses sehingga terkendala dalam berproduksi. Berpenghasilan dibawah 2 USD per hari.

Page 92: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

82 BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut

laut untuk terus berkembang. awal Desember 2014 kemarin, BUM Desa Sipurennu mengumpulkan petani rumput laut untuk sosialisasi mengenai teknik tanam rumput laut dengan keramba. Inisiatif penanaman rumput laut dengan teknik keramba ini muncul karena hambatan yang dialami petani saat laut sedang mengalami ombak besar. Saat ombak besar biasanya petani urung menanam rumput laut, karena khawatir rumput yang ditanam akan terbawa arus. Dengan adanya teknik keramba, harapannya petani rumput laut bisa melakukan budi daya sepanjang tahun. arman (37), salah satu anggota Kelompok Kalaroang, menyambut positif inisiatif BUM Desa Sipurennu dalam penanaman rumput laut dengan teknik keramba. Menurutnya, dengan bisa menaman sepanjang tahun keuntungan petani rumput laut tentu akan meningkat.

apresiasi terhadap kinerja BUM Desa muncul dari Kepala Desa Pancana-Mukhlis Sulaiman, Ba. Menurutnya, “dengan adanya binaan RCL terhadap BUM Desa, kini BUM Desa lebih maju dari sektor usaha, manajemen, dan administrasi.” Manajemen mengenai BUM Desa ini diatur dalam aD aRT dan pelaksanaan yang sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Semua pengurus BUM Desa berkomitmen untuk mematuhi SOP ini. Pedampingan RCL terhadap BUM Desa ini menurut Mukhlis, semakin memotivasi Pemerintahan Desa dan pengurus BUM Desa untuk terus maju kedepannya. “Kami melihat perkembangan signifikan di masyarakat, kini masyarakat sudah bisa bekerja, suami dan isteri kini keduanya berpenghasilan, tidak lagi banyak waktu yang terbuang seperti kebiasaan perempuan di waktu luang yaitu mencari kutu”.

BUM Desa Pancana bersama RCL pernah mengadakan pelatihan mengenai keuangan keluarga untuk masyarakat di Desa Pancana. Dulu masyarakat terbiasa dengan prinsip “lain hari ini lain besok”, yang tidak memikirkan masa depan. Menurut Syahrul Mukhlis, dulu masyarakat kalau punya untung dari rumput laut, biasanya habis dalam waktu sekejap. BUM Desa dan RCL berusaha menyadarkan masyarakat agar mulaii sadar dengan pentingnya mengelola keuangan dengan bijak. Perlahan menurut Syahrul, cara pandang masyarakat mulai berubah. Masyarakat mulai sadar dengan pentingnya pengelolaan keuangan. Beberapa perubahan mulai terlihat dari ada yang membangun dan memperbaiki rumah dan mebeli kendaraan walaupun mungkin masih mencicil.

Walaupun dalam usia yang masih belia, BUM Desa Sipurennu di Desa Pancana, bisa dikatakan sudah menjadi middle man yang berperan dalam menyelesaikan masalah yang seringkali ditemui dalam usaha budidaya rumput laut. Masalah tersebut yaitu kelangkaan bibit dan pasar yang seringkali tidak menguntungkan bagi petani rumput

Page 93: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut 83

laut. BUM Desa telah berperan dalam menjaga ketersediaan bibit, dan memberi harga pantas sehingga petani rumput laut diuntungkan. Kiprah BUM Desa semoga tetap konsisten dalam menjalankan bisnisnya, untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat desa.

Anggota kelompok sedang bekerja sama mengikat bibit rumput laut

Page 94: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

84 BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut

Page 95: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut 85

Page 96: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

losariumGCottonii

: Rumput Laut Eucheuma cottonii merupakan jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di wilayah perairan Indonesia. Perkembangan budidayanya cukup menggembirakan. Hal ini tidak terlepas dari mudahnya membudidayakan rumput laut jenis ini dan permintaan pasar yang sangat tinggi. Sentra wilayah budidaya rumput laut jenis ini terdapat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat.

Eucheuma cottonii merupakan rumput laut penghasil karaginan yang sebagian besar hasilnya digunakan untuk bahan baku industri. Rumput laut  Eucheuma cottonii  dibudidayakan untuk memenuhi permintaan pasar ekspor yang digunakan untuk industri kosmetik atau farmasi.

In kind Material : Bantuan barang atau peralatan kerja yang diberikan untuk meningkatkan produktivitas kelompok. Ketika kelompok dianggap sudah mampu dari usaha yang dijalankan, maka wajib menggulirkan bantuan kepada orang/pihak yang membutuhkan.

Carrageenan/Karaginan : Senyawa hidrokoloid yang diekstraksi dari rumput laut merah jenis Euchema Cottonii.

Ponggawa-Sawi : merupakan sistem patron-client di masyarakat Bugis-Makassar, hubungan antar keduanya saling menguntungkan. Ponggawa adalah patron/pelindung yang menyediakan modal sosial dan ekonomi bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha. Sedangkan sawi adalah client yang mendapat perlindungan sekaligus bekerja pada ponggawa dengan memakai atribut hubungan norma sosial dan persepakatan kerja. Dengan sistem ponggawa-sawi ini, ponggawa diuntungkan karena mempunyai sumber daya yang menjalankan usahanya dan layanan sosial lainnya, sedangkan sawi mendapat jaminan hidup/sumber pendapatan dalam hidupnya.

Page 97: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

RCL : Restoring Coastal Livelihood / Perbaikan Penghidupan Pesisir. Program yang diinisiasi oleh CIDa, Oxfam Canada, dan Oxfam GB untuk diimplementasikan selama 5 tahun di Sulawesi Selatan. Program ini bertujuan meningkatkan ketahanan ekonomi dan ekologi masyarakat pesisir dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada.

Rakkang : alat tangkap kepiting tradisional.

Rentan : Masyarakat yang masuk dalam kategori rentan adalah masyarakat yang kurang mampu, tidak mempunyai sumber penghidupan yang layak dan mengalamai keterbatasan akses dan kontrol pada sumberdaya dan pembuatan kebijakan.

Revolving In Kind : Bantuan bergulir, ketika pihak yang mendapat bantuan sudah mencapai kondisi mampu maka dia wajib menggulirkan bantuan ke pihak lain yang membutuhkan.

Spinosum : Merujuk pada Euchema Spinosum, jenis rumput laut dari kelompok alga merah (Rhodophyceae), yang mampu menghasilkan karaginan.

BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut 87

Page 98: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki
Page 99: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki
Page 100: Sipadecengi: Saling Membangun Saling Memperbaiki

90 BUM Desa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Petani Rumput Laut