30
GAMBARAN UMUM REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN DI LAMPUNG & DESAIN PENELITIAN Inception Workshop, 25 September 2014, Liwa-Lampung Barat Dr. Christine Wulandari (Universitas Lampung)

Gambaran Umum Reformasi Tenurial Lahan Dan Hutan Di Lampung & Desain Penelitian

Embed Size (px)

Citation preview

GAMBARAN UMUM REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN DI LAMPUNG & DESAIN PENELITIAN

Inception Workshop, 25 September 2014, Liwa-Lampung Barat

Dr. Christine Wulandari (Universitas Lampung)

SDA identik dengan ruang sosial, pihak yg powerful cenderung mendominasi keputusan PSDA atas kehendaknya, sementara powerless terabaikan

Kelangkaan (scarcity) akibat kelebihan permintaan, ketimpangan distribusi penguasaan, dllSumber: Pasya, G. et al., 2003

SDA tidak hanya sbg material, tetapi juga simbol sosial dan keyakinan

Konflik

PSDA

TGHK

PSDA di suatu tempat berdampak lingkungan di tempat lain (eksternaliti)

KONFLIK TENURIAL LAHAN

Demontrasi rakyat atas tanahKlaim tanah adat - Way Kanan

Klaim tata batas (vertikal)Klaim Tanah Adat - TNWK

DEFORESTASI KEBAKARAN HUTAN

EROSI

PROBLEM DI LAMPUNG

SEDIMENTASI

KEBUTUHAN LAHAN PERTANIAN

MATAPENCAHARIAN SUBSISTEN

SISTEM PERTANIAN

STATUS DAN TATA BATAS HUTAN

PROBLEM DI LAMPUNG

KONFLIK KEPENTINGAN YANG TIMBUL DI LAMBAR

Masyarakat Petani(Status lahan , akses mengelola dansistem pertaniandi dlm kawasan hutan)

PLTA(Turbin; kualitas air)

Sektor Pertanian(Ekonomi perdesaan)

Sektor Pariwisata(Kualitas air)

Sektor Kehutanan(Fungsi hutan)

Reformasi Tenurial Lahan dan Hutan

• Provinsi Lampung secara resmi terbentuk pada tahun 1964 dengan legitimasi UU No. 14 tahun 1964. Diketahui bahwa Provinsi Lampung memiliki luas wilayah 3.301.545 Ha.

• Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan No. 256/Kpts-II/2000 luas dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Lampung adalah 1.004.735 ha atau 30,43 persen dari luas total provinsi Lampung.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

• Eksploitasi hutan secara besar-besaran telah terjadi di Provinsi Lampung pada sekitar tahun 1965. Antara tahun 1969-1970 sudah ada 29 perusahaan yang laksanakan eksploitasi hasil hutan/logs di seluruh hutan di Lampung atas izin dari Gubernur Lampung.

• Dalam PP No. 64 tahun 1957 yang kemudian direvisi menjadi PP No. 21 tahun 1967 disebutkan bahwa Luas kawasan yang diberikan hak kelolanya kepada perusahaan-perusahaan tersebut adalah berkisar 500-10.000 Ha.

• Lokasi hutan yang diberikan ke perusahaan tersebut adalah di Taman Nasional Way Kambas yang pada tahun 1970-an masih berupa Suaka Margasatwa dan kawasan hutan lindung Kota Agung Utara Register 39. Luas total lahan hutan yang diekploitasi pada saat itu adalah 249.200 Ha.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

• Selain izin yang dikeluarkan oleh Gubernur, saat itu Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung juga mengeluarkan izin tebang untuk luas 100 – 200 Ha.

• Ada 48 izin yang dikeluarkan dengan luas total seluas 6.850 Ha, dan pada tahun 1980 jumlahnya sudah mencapai 76 izin.

• Hal ini berdampak pada peningkatan luasan lahan kritis yang sangat signifikan. Pada tahun 1967-1977 luas lahan kritis hanya 17.285 Ha namun pada tahun 1977 sudah meningkat menjadi 238.811 Ha.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

• Kondisi ini terus memburuk, karena pada tahun 2000 di Provinsi Lampung hanya tersisa sekitar 32,70% atau 328.603 Ha kawasan yang masih berhutan.

• Selain pembukaan hutan oleh HPH, di Provinsi Lampung juga mempunyai pemasalahan lain yaitu perambahan. Sebagaian besar perambah tersebut adalah penduduk yang berasal dari luar lampung dan kemudian tinggal di sekitar hutan, misal dari OKI, OKU, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

• Kondisi yang ada diperburuk dengan perluasan lahan kelola yang dilakukan oleh masyarakat secara illegal. Perluasan illegal dilakukan masyarakat karena uang ganti rugi yang mereka peroleh dari perusahaan perkebunanan tidak mencukupi.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

• Sekitar tahun 1980 banyak perusahaan perkebunan yang berdiri di lampung, misal perkebunan sawit, tebu yang terus memperluas lahannya hingga puluhan ribu hektar dengan izin konsesi berupa HGU.

• Akibatnya ada lokasi perkebunan yang berdampingan dengan taman nasional atau tanah komunal dan juga tanah perseorangan diganti rugi dengan nilai ganti rugi yang dipaksakan dan biasanya bernilai minim.

• Karena uang pengganti minim maka kemudian masyarakat bermigrasi mencari tanah-tanah murah yang umumnya ada di lokasi sekitar dan dalam hutan.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

• Eksploitasi hutan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal dan adat.

• Menurunnya atau tertutupnya akses masyarakat ke hutan. Di Lampung sangat minim luasan hutan produksinya.

• Kurang berfungsinya lembaga adat dalam mengatur pemanfaatan lahan akibat adanya UU No. 5 tahun 1979 (Sistem Pemerintahan Desa) meskipun peraturan adat (mayoritas tidak tertulis) tetap berlaku bagi masyarakat adat secara internal.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

Jaman Era Reformasi (1998)

Beberapa pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terkait tenurial dan hak masyarakat adat: Pasal 5 (status hutan) Pasal 36,37 ( pemanfaatan hutan hak dan hutan adat) Pasal 67 (hak masyarakat adat)

UU ini menjadi dasar hukum pelaksanaan Skema Kehutanan Berbasis Masyarakat seperti: HKm, HD, Kemitraan, HTR dan KPH.

REFORMASI TENURIAL LAHAN DAN HUTAN

Pelaksanaannya Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat diatur dalam PP No 6/2007 jo PP No 3/2008 tentang "Alokasi Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Lahan"

Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. No.3 /2008, ada 3 jenis KPH yaitu KPH Konservasi; KPH Lindung; dan KPH Produksi.

Dalam implementasi pembentukan wilayah pengelolaan hutan lestari, seluruh kawasan hutan di Indonesia terbagi dalam KPH.

Pembangunan KPH harus mempertimbangkan masyarakat hukum adat berdasarkan UU No. 41/1999 Pasal 17 Ayat (2) dan PerMenHut No. P.6/Menhut-II/2009

Pelaksanaan Skema CBFM di SBB dan Lampung

Activity Seram Barat Lampung Barat

Total Land Area 6.948 Km2 2.064,4 Km2

Total Forest Area 659.000 Ha (95%) 126.956,27 Ha (61,50%)

HKm Yes (formalization process has started)

Yes (implementation)

HTR No Yes

Hutan Desa No No

KPH Yes Yes

GENDER DAN TENURIAL

• Kelompok perempuan memiliki beberapa bentuk hubungan dengan SDA & Hutan terutama dalam mengelola SDA&Hutan, termasuk akses ke ladang, hutan marga dan tanah negara.

• Hak kepemilikan lahan dan hutan berbasis gender sangat spesifik di Hutan Damar Krui

AKAR PEMASALAH TENURIAL

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa akar pemasalahan tenurial lahan dan hutan di Lampung pada masa lalu adalah karena kebijakan:-eksploitasi hasil hutan dan konversi hutan melalui HPH/HPHTI,

-penetapan kawasan hutan melalui TGHK,

-kebijakan pengamanan hutan dan

-rehabilitasi hutan melalui program reboisasi

dan pemindahan penduduk (resettlement).

Status, Pola kepemilikan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Lampung

• Di Provinsi Lampung, ada dua macam status kepemilikan lahan yaitu – tanah hak milik yang oleh masyarakat disebut

dengan tanah marga dan – tanah negara yang merupakan lahan atau hutan

yang berada dibawah kewenangan negara.

Pola kepemilikan lahan di Provinsi Lampung

Pola pertama adalah membuka lahan baru, pola tradisionil (pola pertanian subsisten).

Salah satu yang melakukan ini adalah Suku Semendo. Pembukaan lahan dengan sistem tebang bakar (slash and burn).

Setelah relatif bersih, pada tahap awal lahan ditanami dengan padi ladang tanpa lakukan olah tanah lagi.

Produksinya tidak dijual tetapi untuk dikonsumsi sendiri.

Setelah satu atau dua kali panen barulah dilakukan penanaman kopi. Bibit kopi dibuat sendiri, menurut mereka lebih baik kualitasnya

dibanding bibit yang dibeli.

Pola ekstensifikasi lahan dengan pola tebang bakar ini sudah berkurang

karena hutan yang akan dibuka juga sudah menyusut. Untuk tingkatkan

produksi, mereka lakukan pola intensifikasi lahan memakai pupuk.

Pola kepemilikan lahan di Provinsi Lampung

Pola Kedua adalah dengan cara membeli lahan yang sudah ditanami kopi. Cara ini biasanya dilakukan oleh pendatang yang punya modal tetapi belum

mempunyai pengetahuan bertanam kopi dan tdak ingin bersusah payah membuka

lahan baru. Pola ini oleh masyarakat biasa disebut dengan cara ganti rugi dan

harga lahan dihitung berdasarkan berapa banyak tegakan tanaman kopi yang ada di kebun tersebut.

Pola ketiga adalah pola yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki modal. Pada awalnya mereka menjadi buruh dengan sistem bagi hasil. Pembayaran lahan dilakukan dengan cara mengkonversi upah menggarap sebagai cicilan pembayaran lahan yang akan dimiliki.

Pola keempat adalah lahan yang didapat dari warisan

Pola kelima diperoleh kewenangan pengelolaannya dari Instansi Kehutanan (Nasional/Daerah) – program CBFM.

Kerusakan Hutan dan Lahan Kritis di Lampung

KONDISI KERUSAKAN KAWASAN HUTAN DAN LAHAN KRITIS PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2009-2013

NO. ASPEK SATUAN

2010 2011 2012 20131 Luas Kawasan Hutan Ha 1.004.735,00 1.004.735,00 1.004.735,00 1.004.735,00

2 Luas Lahan Kritis Ha 1.393.188,00 1.336.028,00 1.215.452,00 1.154.377,49

3 Luas RHL Ha 57.160,00 120.576,00 61.074,51 51.475,20

Dalam Kawasan Hutan Ha 39.535,00 44.964,00 16.630,28 12.385,00

Luar Kawasan Hutan Ha 17.625,00 75.612,00 44.444,23 39.090,20

4 Kerusakan Kawasan Hutan Ha 618.053,00 573.089,00 556.458,72 544.073,72

5 Kerusakan Kawasan Hutan % 61,51 57,04 55,38 54,15

Program CBFM di Lampung

• HKm sejak tahun 2007

• 22 Hutan Desa pada tanggal 24 April 2014 dengan luas PAK 2.197 Hektar

Kabupaten PAK HKm IUPHKm Juml Angt Sub Klpk

  (Ha) (Ha)    

Pringsewu 3.642 1951 470

Lamtim 920 623 8

Lamsel 3.132 1.643 29

Way Kanan 7.411 5.647 4.782 37

Lamteng 13.088 5.792 5.635 71

Lampung Utara 6.155 5.875 2.673 70

Tanggamus 35.328,52 14.606,64 18.729 62

Lambar 26.396,09 8.287,15 13.584 193

Provinsi 96.072,61 40.207,79 49.620 470

Program CBFM di Lampung

IZIN USAHA HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KHPT PESISIR

DI KABUPATEN PESISIR BARAT

NO NAMA KOPERASI NOMOR IUPHTR LUAS (HA)

1 Lambar Subur Rezeki B/296.a/KPTS/II.11/2010 8.000

2 Jaya Bersama B/398/KPTS/II.14/2011 1.460

3 Labuai Lestari B.121/KPTS/II.14/2012 675

4 Bina Hutan Utara B/153/KPTS/II.14/2011 670

5 Unggul Jaya B/398.a/KPTS/II.2011 200

6 Sinar Selatan B/319/KPTS/II.11/2010 3.115

7 Pematang Jaya 522.11/83/401/2014 590

8 Krui Sejahtera 522.11/82/4.01/2014 677

JUMLAH 15.387

DESAIN PENELITIAN

Kriteria Seleksi LokasiKriteria Seleksi LokasiA. Status reformasi tenurial

Keragaman Skema Perhutanan Sosial

Status saat ini: formalisasi, implementasi reformasi tenurial

Jaminan kepemilikan

Keragaman aktor

B. Atribut komunitas

•Keragaman komunitas: Adat, imigran dan campuran

•Lembaga adat

C. Kesediaan para pemangku kepentingan lokal untuk berpartisipasi dalam penelitian

Proses Seleksi LokasiProses Seleksi Lokasi

• Informasi awal melalui data dan literatur yang

tersedia: Balitbang Kehutanan & ditjend

relevan, pemda, referensi lain yang relevan

• Konsultasi dengan pakar tenurial; sosial

• Kunjungan lokasi: diskusi dengan tokoh adat,

masyarakat, Pemda (desa, kabupaten dan

provinsi), BBTNBBS, LSM, swasta

– Pengamatan atas kejadian di lapangan

• Mengulas data berdasarkan:

– Interaksi awal dengan berbagai stakeholder

– Data tambahan dari Kemenhut, kementrian

lain yang relevan, provinsi dan kabupaten

KLASIFIKASI LOKASI PENELITIAN

• Formal community forestry management• Formal joint forest management • Informal/customary forest/land tenure systems• Open access

VARIABEL YANG DIPERTIMBANGKAN

Presence/absence of threats to tenure security

These will include:

•Sites with high versus low extractive activities such as mining, oil/petroleum, natural gas, logging, etc

•Sites with high versus low infrastructural development projects such as roads construction, waterways, etc

•Sites with high versus low (or complete absence) of large-scale land-based investments such as oil-palm plantations, etc

•Human movement/migration

•Presence/absence of external support

No Reform type Threat Indonesia Peru Uganda Notes

Villages Region (district)

Village Region (district)

Village Region (district)

1. Formal community forestry

High (2 villages)

             

Low (2 villages)

             

2. Customary community forestry

High (2 villages)

             

Low (2 villages)

             

3. Individual rights holding

High (2 villages)

             

Low (2 villages)

             

4. Joint forest management

High (2 villages)

             

Low (2 villages)

             

5. Control sites (de jure and de facto open access)

High (2 villages)

             

Low (2 villages)

             

  Total numbers

  20+   20+   20+    

TERIMA KASIH