24
1 Paper ini diajukan sebagai tugas pada mata kuliah : Dosen Pembimbing : 1. ADMINISTRASI PERPAJAKAN 1. Ibu Sri Zuliarni 2. PRATIKUM KOMPUTER 2. Bpk Endang Sutrisna PENGEMBALIAN PAJAK Disusun oleh : SHELLY ARMELIA 1201112405 PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS

Pengembalian Pajak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Shelly Armelia 1201112405 Paper tentang Pengembalian Pajak

Citation preview

Page 1: Pengembalian Pajak

1

Paper ini diajukan sebagai tugas pada mata kuliah : Dosen Pembimbing :

1. ADMINISTRASI PERPAJAKAN 1. Ibu Sri Zuliarni2. PRATIKUM KOMPUTER 2. Bpk Endang Sutrisna

PENGEMBALIAN PAJAK

Disusun oleh :

SHELLY ARMELIA1201112405

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

2013

Page 2: Pengembalian Pajak

1

DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................................1

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................2

PENDAHULUAN..................................................................................................................3

PEMBAHASAN

1. Definisi ........................................................................................................................4

2. Pengembalian Pajak Pasal 17 Ayat (1) UU KUP .......................................................4

3. Pengembalian Pajak Pasal 17B UU KUP ...................................................................4

4. Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang .............................................5

5. Pengembalian Pajak Untuk Wajib Pajak Patuh ..........................................................8

6. Pengembalian Pajak Untuk Wajib Pajak Dengan Persyaratan Tertentu .....................9

7. Pengembalian Pajak Untuk Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah .......................11

8. Pengembalian PPN Untuk Pemegang Paspor Luar Negeri .........................................13

KESIMPULAN .....................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................16

Page 3: Pengembalian Pajak

1

PENDAHULUAN

Pengembalian pajak (restitusi) merupakan salah satu hak Wajib Pajak yang dijamin

oleh Undang-undang Perpajakan. Klaim terhadap pengembalian oleh Wajib Pajak pada

umumnya disebabkan karena terjadinya kelebihan pembayaran dan/atau pemotongan pajak

dalam tahun berjalan di atas pajak yang terutang. Dalam konteks PPN, kelebihan pembayaran

pada umumnya disebabkan oleh karena kelebihan Pajak Masukan dibandingkan Pajak

Keluaran. Kelebihan pembayaran bisa disebabkan pula karena danya pembayaran atau

pemotongan pajak yang semestinya tidak terutang.

Ketentuan tentang pengembalian pajak ini pada umumnya diatur dalam Undang-

undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Namun demikian, Undang-undang

Nomor 42 Tahun 2009 yang merupakan perubahan terakhir atas Undang-undang PPN 1984

memberikan landasan hukum pengembalian yang melengkapi apa yang sudah diatur dalam

Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.

Paper ini mencoba untuk memberikan gambaran secara ringkas tentang beberapa

skema pengembalian pajak yang berlaku saat ini, terutama untuk jenis pajak PPh dan PPN.

Page 4: Pengembalian Pajak

1

PEMBAHASAN

PENGEMBALIAN PAJAK

1. Definisi

Pengembalian pajak merupakan pengembalian sejumlah kelebihan pembayaran pajak

dari pajak yang seharusnya dibayar atau kelebihan pembayaran pajak atas kredit pajak.

2. Pengembalian Pajak Pasal 17 Ayat (1) UU KUP

Skema pengembalian pajak ini berlandaskan ada ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-

undang KUP. Pengembalian pajak dilakukan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Lebih Bayar (SKPLB) yang didahului dengan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan

(SPT) yang berstatus nihil, SPT kurang bayar atau SPT yang sebenarnya menyatakan

lebih bayar tetapi atas lebih bayar tersebut Wajib Pajak tidak memohon untuk

dikembalikan.

Apabila setelah terbit SKPLB, Wajib Pajak menghendaki pengembalian kelebihan

pajak, maka Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis. Mungkin

karena hal ini, maka Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki  kewajiban untuk

mengembalikan pajak atas SPT yang lebih bayar dalam jangka waktu yang ditentukan

seperti SPT LB yang sedari awal memang mengajukan permohonan pengembalian.

3. Pengembalian Pajak Pasal 17B UU KUP

Pengembalian pajak melalui mekanisme Pasal 17B Undang-undang Ketentuan Umum

dan Tatacara Perpajakan ini adalah jenis mekanisme restitusi yang paling umum.

Pengembalian dilakukan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

(SKPLB) yang didahului dengan pemeriksaan atas SPT lebih bayar yang disampaikan

Wajib Pajak di mana atas kelebihan bayar tersebut Wajib Pajak memang mengajukan

permohonan pengembalian.

Direktur Jenderal Pajak diberikan waktu selama 12 bulan sejak permohonan diterima

lengkap untuk menyelesaikan permohonan pengembalian tersebut. Dengan kata lain,

Page 5: Pengembalian Pajak

1

Dirjen Pajak harus menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 12 bulan

tersebut. Apabila tidak, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Dirjen Pajak

harus menerbitkan SKPLB yang sama dengan lebih bayar yang diminta oleh Wajib

Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak berakhirnya jangka waktu 12 bulan di atas.

Keterlambatan penerbitan SKPLB dalam jangka waktu 12 bulan menimbulkan hak

Wajib Pajak mendapatkan imbalan bunga.

4. Pengembalian Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

Pengembalian jenis ini adalah pengembalian khusus atas kasus adanya pembayaran atas

pajak yang seharusnya tidak terutang. Dengan demikian, skema pengembalian ini

memiliki perbedaan mendasar dengan dua jenis pengembalian di atas di mana

kelebihan bayar disebabkan adanya mekanisme pengkreditan baik di PPh maupun di

PPN dalam SPT dan memang umum terjadi.

Ya, kelebihan bayar atas pajak yang seharusnya tidak terutang adalah kelebihan bayar

yang tidak umum terjadi, kelebihannya tidak dinyatakan dalam SPT, dan permohonan

bisa dilakukan oleh siapa saja, baik Wajib Pajak ber-NPWP maupun tidak ber-NPWP,

baik Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri.

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007, yang

dimaksud dengan pajak yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar

oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan

pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut

lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek

pajak

Beberapa kasus yang bisa mencontohkan pajak yang seharusnya tidak terutang ini

adalah di antaranya perusahaan importir yang dipungut atau membayar PPnBM yang

seharusnya tidak terutang atau melebihi ketentuan, pengusaha angkutan yang dipungut

PPnBM atas kendaraan yang dibelinya padahal seharusnya dibebaskan dari PPnBM,

dan seorang Wajib Pajak yang membayar atau dipotong atau dipungut PPh Final yang

seharusnya tidak terutang atau melebihi ketentuan.

Page 6: Pengembalian Pajak

1

Atas permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur

Jenderal Pajak melakukan penelitian dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan

sejak surat permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. Direktur Jenderal Pajak

menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) apabila berdasarkan laporan

hasil penelitian terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Namun

apabila laporan hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat pajak yang

seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara

tertulis.

Peraturan pelaksanaan yang lebih teknis tentang pengembalian pajak yang seharusnya

tidak terutang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Peraturan Direktur

Jenderal Pajak dimaksud adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

PER-40/PJ/2010 tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya

Tidak Terutang Bagi Wajib Pajak Luar Negeri,  Peraturan Direktur Jenderal Pajak 

Nomor PER-53/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Permohonan

Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang

Berkaitan Dengan SPTNP Atau SPKTNP, Keputusan Keberatan, Putusan Banding,

Atau Putusan Peninjauan Kembali, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-

5/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penelitian Permohonan Pengembalian

Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan Yang Seharusnya Tidak Terutang Bagi

Wajib Pajak Dalam Negeri.

Peraturan Dirjen Pajak yang pertama mengatur tentang mekanisme pengembalian pajak

yang seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak luar negeri. Ruang lingkup pajak yang

seharusnya tidak terutang untuk Wajib Pajak luar negeri meliputi tiga jenis. Pertama,

pajak yang seharusnya tidak terutang akibat kesalahan pemotongan atau pemungutan

pajak yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut oleh

Pemotong/Pemungut Pajak lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau

dipungut berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan dalam P3B.

Kedua, pajak yang seharusnya tidak terutang karena pemotongan atau pemungutan

pajak atas penghasilan yang bukan objek pajak. Terakhir, pajak seharusnya tidak

terutang akibat pemotongan atau pemungutan pajak yang lebih besar daripada yang

seharusnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan kesepakatan

dalam rangka Mutual Agreement Procedure (MAP).

Page 7: Pengembalian Pajak

1

Peraturan Dirjen Pajak yang kedua mengatur tentang mekanisme pengembalian pajak

yang seharusnya tidak terutang yang berkaitan dengan SPTNP atau SPKTNP,

keputusan keberatan, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali. Ruang

lingkup pajak yang seharusnya tidak terutang dalam peraturan ini meliputi pajak yang

telah dibayar, berupa PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, dan/atau PPnBM Impor yang

tercantum dalam :

1. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean  (SPTNP) atau Surat Penetapan

Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP);

2. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda

Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor (SPKPBM), Surat Penetapan

Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), atau Surat Penetapan Pabean (SPP) yang

telah diterbitkan Keputusan Keberatan;

3. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda

Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor SPKPBM,  Surat Penetapan

Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), atau Surat Penetapan Pabean (SPP) yang

telah diterbitkan Keputusan Keberatan dan Putusan Banding;

4. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda

Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor SPKPBM, Surat Penetapan

Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), atau Surat Penetapan Pabean (SPP) yang

telah diterbitkan Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan

Kembali;

5. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) yang telah

diterbitkan Putusan Banding; atau

6. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) yang telah

diterbitkan Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali, dan menyebabkan

terjadinya kelebihan pembayaran pajak.

Selanjutnya dalam Peraturan Dirjen Pajak yang terakhir (PER-5/PJ/2011), pajak yang

seharusnya terutang yang dapat diminta pengembalian adalah Pajak Penghasilan yang

telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan yang

terutang berupa Pajak Penghasilan yang telah dibayar karena kesalahan pembayaran

Page 8: Pengembalian Pajak

1

Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atas penghasilan yang bukan

merupakan objek Pajak Penghasilan atau karena adanya transaksi yang dibatalkan.

Jenis pajak yang seharusnya tidak terutang yang kedua yang dapat dimintakan

pengembalian adalah kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan

yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan, atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan

merupakan objek Pajak Penghasilan.

Ada empat bentuk kesalahan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan  yang

menyebabkan kondisi pajak seharusnya tidak terutang. Pertama adalah pajak yang salah

dipotong atau dipungut atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak. Kedua,

pajak yang salah dipotong atau dipungut atas penghasilan  yang seharusnya tidak

dipotong atau tidak dipungut. Ketiga adalah salah dipotong atau dipungut atas

penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih

besar daripada Pajak  Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut. Terakhir

adanya salah dipotong atau dipungut karena kesalahan penerapan ketentuan oleh

pemotong atau pemungut.

5. Pengembalian Pajak Untuk Wajib Pajak Patuh

Berdasarkan Pasal 17C Undang-undang KUP, kepada Wajib Pajak yang memenuhi

kriteria tertentu dapat diberikan pengembalian pendahuluan. Untuk mendapatkan

pengembalian pendahuluan ini, Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu terlebih

dahulu mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran

pajak.

Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian. Produk

hukum yang diterbitkan setelah melakukan penelitian ini adalah Surat Keputusan

Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang harus diterbitkan dalam

jangka waktu 1 bulan untuk jenis pajak PPN atau 3 bulan untuk jenis pajak PPh, sejak

permohonan diterima lengkap.

Page 9: Pengembalian Pajak

1

SKPPKP tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar,

lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap, pembayaran pajak tidak benar, atau

alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan atau dengan

pemberitahuan perubahan alamat.

Terhadap pengembalian pendahuluan yang telah diberikan kepada Wajib Pajak,

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan

pajak dengan catatan jika yang diterbitkan adalah SKPKB, maka jumlah kekurangan

pajak ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan sebesar 100% dari jumlah

kekurangan pembayaran pajak.

Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebelumnya harus ditetapkan dulu oleh

Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya Wajib Pajak ini dinamakan Wajib Pajak Patuh.

Adapun kriteria yang harus dipenuhi agar dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan

kriteria ini tertentu adalah :

1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

2. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan

pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan

keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga)

tahun berturut-turut; dan

4. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Ketentuan pelaksanaan tentang penetapan Wajib Pajak Patuh serta tatacara

pengembaliannya diatur lebih teknis dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor PER-1/PJ/2008 tentang Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu

dan Prosedur Dalam  Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran

Pajak.

6. Pengembalian Pajak Untuk Wajib Pajak Dengan Persyaratan Tertentu

Page 10: Pengembalian Pajak

1

Berdasarkan Pasal 17D Undang-undang KUP, kepada Wajib Pajak yang memenuhi

persyaratan tertentu dapat diberikan pengembalian pendahuluan. Untuk mendapatkan

pengembalian pendahuluan ini, Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu terlebih

dahulu mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran

pajak.

Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian. Produk

hukum yang diterbitkan setelah melakukan penelitian ini adalah Surat Keputusan

Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang harus diterbitkan dalam

jangka waktu 1 bulan untuk jenis pajak PPN atau 3 bulan untuk jenis pajak PPh, sejak

permohonan diterima lengkap.

SKPPKP tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar,

lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak benar, atau alamat tidak sesuai

dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan surat pemberitahuan perubahan alamat.

Nah, atas tidak diterbitkannya SKPPKP ini kepada Wajib Pajak diberitahukan secara

tertulis.

Terhadap pengembalian pendahuluan yang telah diberikan kepada Wajib Pajak,

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan

pajak dengan catatan jika yang diterbitkan adalah SKPKB, maka jumlah kekurangan

pajak ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan sebesar 100% dari jumlah

kekurangan pembayaran pajak.

Nah, siapakah Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu ini? Jawabnya ada di Pasal 17D

ayat (2) Undang-undang KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

193/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 54/PMK.03/2009, yaitu  :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan

jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.

Batasan peredaran usaha dalam SPT Tahunan adalah paling banyak sama dengan

batasan peredaran usaha Wajib Pajak orang pribadi yang diperbolehkan

menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan

Page 11: Pengembalian Pajak

1

penghasilan neto (Rp4,8 Milyar). Sementara itu batasan jumlah lebih bayar

menurut SPT Tahunan PPh adalah kurang dari Rp 1.000.000,00, atau paling

banyak 0,5% (setengah persen) dari batasan peredaran usaha penggunaan norma

penghitungan (Rp4,8 Milyar).

3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai

dengan jumlah tertentu.Batasan peredaran usaha yang tercantum dalam SPT

Tahunan PPh adalah paling banyak Rp5 Milyar dan batasan jumlah lebih bayar

menurut SPT Tahunan PPh adalah kurang dari Rp10.000.000,00.

4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan jumlah

penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. Pengusaha

Kena, Pajak di sini adalah Pengusaha Kena Pajak yang telah menyampaikan SPT

Tahunan PPh dan SPT Masa PPN dengan jumlah penyerahan menurut SPT Masa

PPN untak suatu Masa Pajak paling banyak Rp 400.000.000,00, dan jumlah lebih

bayarnya paling banyak Rp 28.000.000,00.

Ketentuan teknis tentang tatacara pengembalian pendahuluan kepada Wajib Pajak

dengan persyaratan tertentu ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

PER-40/PJ/2009 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Bagi

Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.

7. Pengembalian Pajak Untuk Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, yang merupakan perubahan terakhir Undang-

undang PPN 1984, memperkenalkan ketentuan baru tentang Pengusaha Kena Pajak

Berisiko Rendah. PKP yang ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah memiliki hak

untuk mendapatkan pengembalian pendahuluan PPN dengan proses yang lebih cepat

dan lebih sederhana daripada pengembalian dengan cara biasa melalui proses

pemeriksaan sesuai Pasal 17B Undang-undang KUP.

Pasal 17C Undang-undang KUP sebenarnya juga  mengatur tentang pengembalian

pendahuluan bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu atau disebut Wajib Pajak Patuh.

Namun nampaknya ketentuan Wajib Pajak Patuh ini relatif lebih sulit dipenuhi dan jika

diperiksa di kemudian hari dan dilakukan koreksi, sanksi yang dikenakan adalah

Page 12: Pengembalian Pajak

1

kenaikan 100% sehingga risiko yang ditanggung PKP cukup besar untuk meminta

pengembalian pendahuluan.

Mekanisme pengembalian untuk PKP berisiko Rendah pun sebenarnya mengacu

kepada pengembalian pendahuluan sebagaimana diatur dalam Pasal 17C Undang-

undang KUP. Namun demikian, bagi PKP berisiko rendah yang sudah mendapatkan

pengembalian pendahuluan kemudian dilakukan pemeriksaan dan dilakukan koreksi,

maka atas kurang bayarnya hanya dikenakan sanksi sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP

yaitu bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan. Dengan demikian maksimal sanksi yang

bisa dikenakan hanya 48% saja. Bandingkan dengan dengan sanksi yang sama atas WP

Patuh di mana sanksi yang dikenakan adalah kenaikan 100%.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/MK.03/2010 Tentang 

Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan

Kelebihan Pajak, untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah, PKP harus memenuhi

syarat sebagai berikut :

1. PKP merupakan Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% dari keseluruhan

saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, atau

2. PKP merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung

oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, atau

3. produsen selain Pengusaha Kena Pajak di atas yang memenuhi persyaratan tertentu

yaitu tepat waktu dalam penyampaian SPT Masa PPN selama 12  bulan terakhir,

nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% 

adalah produksi sendiri, dan Laporan Keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya

diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau

Wajar Dengan Pengecualian.

Syarat tambahan untuk ketiga kelompok PKP di atas adalah tidak pernah dilakukan

pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 bulan

terakhir.

Untuk dapat mendapatkan pengembalian pendahuluan, PKP juga harus memenuhi

kriteria dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/MK.03/2010 yaitu PKP

Page 13: Pengembalian Pajak

1

harus melakukan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, penyerahan Barang

Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan

Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak

Pertambahan Nilainya tidak dipungut, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,

dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

Tatacara pengembalian bagi PKP berisiko rendah mengacu kepada Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak

Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-63/PJ/2010 tentang  Tata

Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak

Berisiko Rendah.

8. Pengembalian PPN Untuk Pemegang Paspor Luar Negeri

Ada hal baru alam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yaitu adanya ketentuan

resitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi pemegang paspor luar negeri atas PPN

yang sudah dibayar untuk pembelian barang kena pajak yang akan dibawa ke luar

Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16E ayat (1) sampai dengan ayat (5)

Undang-undang PPN 1984. Dengan bahasa yang berbeda, hal yang sama juga diatur

dalam Pasal 17E Undang-undang KUP.

Pasal 16E ayat (2) UU PPN 1984 memberikan persyaratan PPN dan PPnBM yang dapat

direstitusi atau diminta kembali, yaitu :

1. nilai PPN  minimal Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan

dengan Peraturan Pemerintah;

2. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan

sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan

3. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)

UU PPN, kecuali pada kolom NPWP dan alamat pembeli diisi dengan nomor

paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan

kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai NPWP.

Page 14: Pengembalian Pajak

1

Pasal 16E ayat (3) UU PPN 1984 mengatur tentang mekanisme bagaimana pemegang

paspor luar negeri dapat melakukan restitusi PPN dan PPnBM. Berdasarkan ketentuan

ini, permintaan kembali dilakukan pada saat pemegang paspor luar negeri tersebut

meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui

kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bandara yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan. Adapaun bandara yang telah ditetapkan adalah bandara Soekarno Hatta

Jakarta dan bandara Ngurah Rai Denpasar. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor

141/KMK.03/2010), bandara Adisutjipto Yogyakarta (Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 427/KMK.03/2010), serta bandara Juanda Surabaya dan Polonia Medan

(Keputusan Menteri Keuangan Nomor 287/KMK.03/2011).

Adapun dokumen yang harus ditunjukkan pada saat melakukan permintaan kembali

atas PPN dan PPnBM yang sudah dibayar, sesuai dengan ketentuan Pasal 16E ayat (4)

UU PPN 1984 adalah :

1. paspor;

2. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan

3. Faktur Pajak.

Faktur Pajak dalam rangka pengembalian PPN untuk pemegang paspor luar negeri

adalah Faktur Pajak Khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

76/PMK.03/2010 yang diperoleh dari toko retail yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal

Pajak ketika pemegang paspor luar negeri membeli Barang Kena Pajak. Beberapa toko

retail yang sudah ditunjuk adalah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Dirjen

Pajak Nomor KEP-347/PJ/2010 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-386/PJ/2010.

Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010,

pengembalian dilakukan secara langsung melalui penerbitan SPMKP ke rekening orang

pribadi pemegang paspor luar negeri yang meminta pengembalian PPN. Pengembalian

dilakukan melalui penerbitan SKPLB terlebih dahulu dengan jangka waktu

pengembalian 1 bulan.

Pengembalian dapat dilakukan secara tunai dan dalam mata uang Rupiah dalam hal

nilai pembayaran nilai pembayarannya paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu

Page 15: Pengembalian Pajak

1

rupiah) sampai dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Atas pengembalian seperti

ini tidak didahului dengan penerbitan SKPLB.

KESIMPULAN

Sejak terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga

Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara

Perpajakan, dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, skema pengembalian pajak menjadi semakin kaya.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 memperkenalkan Pasal 17 ayat (2) yang

mengatur pengembalian pajak yang seharusnya terutang yang sebelumnya hanya diatur oleh

Surat Edaran saja. Undang-undang ini juga memperkenalkan pengembalian pendahuluan bagi

Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu yang dituangkan dalam Pasal 17D.

Sementara itu Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 memperkenalkan pengembalian

pendahuluan untuk Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah. Undang-undang ini juga

memberikan hak kepada pemegang paspor luar negeri, yang biasanya adalah turis asing, yang

berbelanja barang di Indonesia untuk meminta PPN yang telah dibayar karena barang tersebut

tidak dikonsumsi di daerah pabean.

Perluasan cakupan pengembalian pajak ini rasanya cukup memberikan kemudahan

kepada Wajib Pajak untuk mendapatkan hak-haknya sehingga pelayanan kepawa Wajib Pajak

juga menjadi lebih baik serta dapat mengurangi biaya kepatuhan Wajib Pajak. Pada

gilirannya, diharapkan penerimaan pajak akan semakin meningkat dalam jangka panjang.

Khusus tentang pengembalian PPN untuk pemegang paspor luar negeri, hal ini semakin

Page 16: Pengembalian Pajak

1

menegaskan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi di dalam negeri saja sehingga apabila

dikonsumsi di luar negeri, semestinya memang PPN yang terkandung harus dikembalikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 dan perubahannya

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dan perubahannya

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 dan perubahannya

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 dan perubahannya

9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 141/KMK.03/2010

10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 427/KMK.03/2010

11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 287/KMK.03/2011