2
Menghadirkan Kembali Bung Karnoisme Dalam Praktik 10 Juli 2010 pukul 12:00 Sabtu, 10 Juli 2010 | 1:46 WIB-Editorial Dari deretan tokoh-tokoh pejuang pembebasan nasional Indonesia, Soekarno patut diberi tempat yang khusus, sebagai simbol atau pemimpin dari gerakan tersebut. Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, meletakkan Soekarno sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang memperjuangkan kemerdekaan nasional. Sayang sekali, selama kekuasaan rejim Soeharto, sosok Bung Karno telah dikeluarkan dari penulisan sejarah, terutama soal gagasan dan sepak terjangnya. Di masa Soeharto, anak sekolah hanya diperkenalkan dengan Soekarno sebatas perannya sebagai proklamator, tidak lebih dari itu, sesuatu yang memang tak bisa diputar-balikkan oleh siapapun. Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku “pejuang dan prajurit”, wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar pengibaran bendera merah putih saat proklamasi 17 Agustus 1945. Ini sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus dari buku-buku sejarah. Inilah sebagian kecil dari praktek de-sukarnoisme di jaman Soeharto. Sekarang ini, saat rakyat kita digempur habis-habisan oleh sebuah system penjajahan baru bernama neoliberalisme, upaya pencarian tokoh bangsa menjadi penting. Ini akan terdengar “mesianik” di telinga intelektual didikan barat, namun menjadi aspek sangat penting bagi ratusan juta rakyat yang sedang terjajah dan diabaikan pemimpinnya sendiri. Ibarat anak ayam yang telah kehilangan induknya, rakyat pun mencari-cari kembali sosok pemimpinnya. Dan, dari berbagai sosok yang kembali dimunculkan itu, salah satunya adalah Bung Karno. Para pemuda mulai mencari tahu sosok Bung Karno, tidak sekedar memburu kaos-kaos bergambar Bung Karno, namun mulai mencari-cari buku-buku yang menceritakan bapak bangsa ini atau bahkan membeli sendiri buku-buku karya Bung Karno. Bulan Juni, yang dikenal sebagai bulan Bung Karno karena tiga peristiwa penting, yaitu hari lahir Pancasila (1 Juni), hari lahir Bung Karno (6 Juni) dan meninggalnya Bung Karno (21 Juni), mulai dirayakan berbagai kelompok masyarakat. Tidak hanya dirayakan oleh PDIP, partai yang mengaku melanjutkan cita-cita Bung Karno, tapi juga kelompok masyarakat lain. Ini patut diapresiasi, bahwa rakyat Indonesia mulai mengambil kembali Bung Karno dari tempat pembuangannya dalam sejarah Indonesia. Berpuluh-puluh tahun Bung karno coba diasingkan oleh sejarawan kanan dari sejarah Indonesia, namun sekarang rakyat Indonesia telah berusaha mengambilnya kembali. Oleh karena itu, pantaslah kiranya jika kita menaruh harapan, bahwa kemunculan kembali Bung Karno ini tidak sekedar di baliho, spanduk, dan poster-poster. Apa yang lebih penting, bahwa Soekarno kembali bersama gagasan-gagasan perjuangan, yang menurut kami masih sangat relevan untuk perjuangan rakyat Indonesia saat ini. Apa yang sangat mendesak adalah menghadirkan kembali Bung Karno dan gagasan-gagasan perjuangannya. Kita harus memperjuangkan agar ajaran Bung Karno menjadi kurikulum di sekolah, terutama SMP dan SMA. Seiring dengan prose situ, fikiran-fikiran dan buku-buku Bung Karno perlu untuk dicetak ulang secara massal, sehingga bisa menjadi

Menghadirkan kembali bung karnoisme dalam praktik berbangsa dan bernegara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Menghadirkan kembali bung karnoisme dalam praktik berbangsa dan bernegara

Menghadirkan Kembali Bung Karnoisme Dalam Praktik10 Juli 2010 pukul 12:00

Sabtu, 10 Juli 2010 | 1:46 WIB-Editorial

Dari deretan tokoh-tokoh pejuang pembebasan nasional Indonesia, Soekarno patut diberi tempat yang khusus, sebagai simbol atau pemimpin dari gerakan tersebut. Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, meletakkan Soekarno sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang memperjuangkan kemerdekaan nasional.

Sayang sekali, selama kekuasaan rejim Soeharto, sosok Bung Karno telah dikeluarkan dari penulisan sejarah, terutama soal gagasan dan sepak terjangnya. Di masa Soeharto, anak sekolah hanya diperkenalkan dengan Soekarno sebatas perannya sebagai proklamator, tidak lebih dari itu, sesuatu yang memang tak bisa diputar-balikkan oleh siapapun.

Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku “pejuang dan prajurit”, wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar pengibaran bendera merah putih saat proklamasi 17 Agustus 1945. Ini sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus dari buku-buku sejarah. Inilah sebagian kecil dari praktek de-sukarnoisme di jaman Soeharto.

Sekarang ini, saat rakyat kita digempur habis-habisan oleh sebuah system penjajahan baru bernama neoliberalisme, upaya pencarian tokoh bangsa menjadi penting. Ini akan terdengar “mesianik” di telinga intelektual didikan barat, namun menjadi aspek sangat penting bagi ratusan juta rakyat yang sedang terjajah dan diabaikan pemimpinnya sendiri.

Ibarat anak ayam yang telah kehilangan induknya, rakyat pun mencari-cari kembali sosok pemimpinnya. Dan, dari berbagai sosok yang kembali dimunculkan itu, salah satunya adalah Bung Karno. Para pemuda mulai mencari tahu sosok Bung Karno, tidak sekedar memburu kaos-kaos bergambar Bung Karno, namun mulai mencari-cari buku-buku yang menceritakan bapak bangsa ini atau bahkan membeli sendiri buku-buku karya Bung Karno.

Bulan Juni, yang dikenal sebagai bulan Bung Karno karena tiga peristiwa penting, yaitu hari lahir Pancasila (1 Juni), hari lahir Bung Karno (6 Juni) dan meninggalnya Bung Karno (21 Juni), mulai dirayakan berbagai kelompok masyarakat. Tidak hanya dirayakan oleh PDIP, partai yang mengaku melanjutkan cita-cita Bung Karno, tapi juga kelompok masyarakat lain.

Ini patut diapresiasi, bahwa rakyat Indonesia mulai mengambil kembali Bung Karno dari tempat pembuangannya dalam sejarah Indonesia. Berpuluh-puluh tahun Bung karno coba diasingkan oleh sejarawan kanan dari sejarah Indonesia, namun sekarang rakyat Indonesia telah berusaha mengambilnya kembali.

Oleh karena itu, pantaslah kiranya jika kita menaruh harapan, bahwa kemunculan kembali Bung Karno ini tidak sekedar di baliho, spanduk, dan poster-poster. Apa yang lebih penting, bahwa Soekarno kembali bersama gagasan-gagasan perjuangan, yang menurut kami masih sangat relevan untuk perjuangan rakyat Indonesia saat ini.

Apa yang sangat mendesak adalah menghadirkan kembali Bung Karno dan gagasan-gagasan perjuangannya. Kita harus memperjuangkan agar ajaran Bung Karno menjadi kurikulum di sekolah, terutama SMP dan SMA. Seiring dengan prose situ, fikiran-fikiran dan buku-buku Bung Karno perlu untuk dicetak ulang secara massal, sehingga bisa menjadi bacaan setiap pemuda-pemudi Indonesia, menghiasi perpustakaan sekolah dan publik. Di Philipina, ajaran Jose Rizal, pahlawan pembesan nasional negeri itu, menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa di sana.

Dan, lebih penting lagi, diskusi dan kursus politik untuk bagaimana meletakkan fikiran Bung Karno dalam situasi sekarang menjadi sangat penting. Ajaran-ajarannya seperti Marhaenisme, Resopim, Manipol Usdek, Trisakti, Pancasila, Sosialisme Indonesia, dan sebagainya, sangat perlu didiskusikan dan diletakkan dalam konteks sekarang.

Page 2: Menghadirkan kembali bung karnoisme dalam praktik berbangsa dan bernegara

Kita sedang berhadapan dengan sebuah sistim penjajahan baru, yaitu neoliberalisme, yang karakter dan tujuannya tidaklah terlalu berbeda dengan kolonialisme di masa lalu. Untuk itu, sebagai jalan menghadapi itu, strategi politik Bung Karno menjadi sangat relevan;sammenbundeling van alle revolutionaire krachten.