Upload
muhammad-idris
View
186
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan atas karunia Allah Swt., yang telah memberikan
kami semangat untuk menyelesaikan tugas, melalui tugas ini menjadi cara efektif
untuk memacu mahasiswa mencari hal-hal yang berhubungan dengan suatu materi
sehingga nantinya mahasiswa dapat memahami kaidah-kaidah pembelajaran tersebut
lebih dalam sebelum pembelajaran itu dibahas.
Dengan adanya tugas, mahasiswa juga diharapkan dapat menghindari
kesalahan-kesalahan berbahasa. Selama ini, tidak dipungkiri mahasiswa masih
banyak yang membuat kesalahan pada penggunaan ejaan, kata, kalimat yang tidak
efektif terutama dalam bahasa tulisan, yaitu apabila membuat makalah, skripsi dan
lain-lain.
Jadi, dengan selesainya tugas ini diharapkan dapat meningkatkan taraf
pengetahuan mahasiswa dalam bidang bahasa Indonesia khususnya mata kuliah
Semantik mengenai pembahasan Pemakaian Bahasa. Penulis sadar bahwasanya isi
dari tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik membangun dari para pembaca serta dosen mata kuliah Semantik.
Semoga tugas ini bermanfaat.
Medan, Oktober 2012
Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................!
DAFTAR ISI...................................................................................................... !!
BAB I................................................................................................................
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG............................................................................
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................
C. TUJUAN MASALAH............................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. JENIS-JENID MAKNA
B. RELASI MAKNA..................................................................................
C. PERUBAHAN MAKNA........................................................................
BAB III..............................................................................................................
KESIMPULAN ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai sumber yang didapat untuk menamakna jenis tipe makna,
sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan
beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat
dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal berdasarkan adanya makna
referensial dan nonreferensial dan adanya makna denotatif dan konotatif, makna kata
dan makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna idiomatikal dan
peribahasa, makna kias, dan makna lokusi, ilokusi, perlokusi.
Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sering kita temui adanya hubungan
pemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya
dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi pemaknaan ini
mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim),
kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas). Ketercakupan makna (hiponimi),
kelainan makna (homonimi), kelebihan makna(redundansi), dan sebagainya.
Pada pembicaraan terdahulu, sudah disebutkan bahwa makna sebuah kata
secara sinkronis tidak akan berubah. Pernyataan ini menyiratkan juga pengertian
bahwa secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah, maka secara
diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Pernyataan bahwa sebuah kata secara
sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap kata
maknanya harus atau akan berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya
sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Malah jumlahnya mungkin lebih
banyak daripada yang berubah atau pernah berubah. Sebab-sebab perubahan itu,
serta wujud atau macam-macam perubahannya yaitu, perkembangan dalam ilmu dan
teknologi, perkembangan sosial dan budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya
asosiasi, pertukaran tangkapan indra, perbedaan tanggapan, adanya peningkataan,
proses gramatikal, perkembangan istilah. Terdapat juga jenis perubahaan mengenai
ada perubahan yang maknanya halus, perubahan maknanya kasar, adanya
perubahan yang maknanya meluas, menyempit, dan ada pula perubahan yang
maknanya total. Hal-hal di atas, merupakan pembahasan yang akan kami sampaikan
pada isi makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah penyelesaian masalah di atas kami membuat beberapa
rumusan masalah.
a. Apa yang dimaksud dengan jenis-jenis makna?
b. Apa-apa saja yang merupakan bagian dari jenis-jenis makna?
c. Apa yang dimaksud dengan relasi makna?
d. Apa-apa saja yang merupakan bagian dari relasi makna?
e. Apa yang dimaksud perubahan makna?
f. Apa-apa saja yang merupakan bagian dari perubahan makna?
C. Tujuan Penulisan
Adapun hal-hal yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah:
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan jenis makna dan bagian-bagiannya.
b. Mengetahui apa yang dimaksud dengan relasi makna dan bagian-bagiannya.
c. Mengetahui apa yang dimaksud dengan perubahan makna dan bagian-bagiannya.
BAB II
Pemakaian Bahasa Jenis Makna, Relasi Makna, dan Perubahan Makna
A. Jenis Makna
Bahasa pada dasarnya digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan
dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa pun sangat bermacam-macam
bila dilihat dari beberapa kriteria dan sudut pandang. Jenis makna itu sendiri menurut
Chaer (2009:59) dalam buku “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia”, dibagi menjadi
tujuh jenis makna, di antaranya:
1. Berdasarkan jenis semantiknya dibedakan menjadi makna leksikal dan makna
gramatikal.
2. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dibedakan menjadi
makna referensial dan makna nonreferensial.
3. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem dibedakan
menjadi makna denotasi dan makna konotasi.
4. Berdasarkan ketepatan maknanya dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah
atau makna umum dan makna khusus.
5. Berdasarkan ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata
dengan makna kata lain dibagi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
6. Berdasarkan bisa atau tidaknya diramalkan atau ditelusuri, baik secara leksikal
maupun gramatikal dibagi menjadi makna idiomatikal dan peribahasa.
7. Berdasarkan kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari
makna sebenarnya disebut makna kias.
Berikut ini akan dibahas tentang jenis-jenis makna lebih terperinci:
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
1) Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apapun, adapun contohnya yaitu :
a. Bulpoin : Sejenis alat tulis yang terbuat dari plastik dan menggunakan tinta.
b. Kerbau : Sejenis binatang berkaki empat yang biasa digunakan untuk membajak.
c. Buku : Sejenis barang yang digunakan untuk media tulis, terbuat dari kertas.
2) Makna gramatikal adalah makna yang baru ada kalau terjadi proses gramatikal
seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi, adapun contohnya yaitu :
a. Bersepeda : Mengendarai sepeda.
b. Berseragam : Memakai seragam
c. Berjanji : Melakukan atau mengucap janji
2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
1) Makna Referensial : Makna yang mempunyai referen atau acuan .
Contoh : baju, kain, buku
2) Makna Nonreferensial : Makna yang tidak mempunyai referen.
Contoh : dan, atau, tetapi
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
1) Makna Denotatif dalah makna asli, makna asal , makna sebenarnya yang dimiliki
leksem.
Contoh : kurus, gemuk, kuda.
2) Makna Konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang yang mengunakan makna tersebut.
Contoh : babi, anjing, sapi.
4. Makna Istilah dan Makna Kata
1) Makna Istilah adalah makna yang baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada
dalam suatu konteks kalimat atau konteks situasinya.
Contoh : diagnosis, sinonim, embrio
2) Makna Kata adalah makna yang pasti, jelas, tidak meragukan meskipun tanpa
konteks kalimat.
Contoh : batu, sepatu, tali
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
1) Makna Konseptual adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata tersebut dengan konsep. Makna konseptual itu adalah
makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan
makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna
konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif.
Contohnya : kata kursi memiliki makna konseptual ’sebuah tempat yang digunakan
untuk duduk’, kata amplop memliki makna ’sampul surat’.
2) Makna Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan perlambangan yang digunakan oleh
suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain yang mempunyai
kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau
leksem tersebut.
Contoh: kata kursi berasosiasi dengan ’kekuasaan’; kata amplop berasosiasi dengan
’uang suap’.
Menurut Leech (dalam Chaer 2009:72), menyatakan makna asosiatif dibagi
menjadi lima macam, antara lain:
a) Makna konotatif
Makna konotatif adalah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat
sindiran dan merupakan makna denotasi yang mengalami penambahan.
b) Makna stilistik
Makna stilistika ini berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan
adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat.
c) Makna afektif
Makna afektif adalah makna yang berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap
lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan
d) Makna refleksi
Makna refleksi adalah makna yang muncul oleh penutur pada saat merespon apa
yang dia lihat.
e) Makna kolokatif
Makna kolokatif adalah makna yang berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang
dimliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut
hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya.
6. Makna Idiom dan Makna Peribahasa
1) Makna Idiom adalah makna yang tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-
unsurnya baik secara leksikal maupun gramatikal. Idiom dibedakan menjadi dua yaitu,
idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya
sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang dimiliki berasal dari
seluruh kesatuan itu. Contohnya: banting tulang artinya ’bekerja keras’, meja hijau
artinya ’pengadilan’. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Contoh: daftar hitam artinya
’daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah’.
2) Makna Peribahasa adalah makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari
makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna
sebagai peribahasa.
Contohnya: besar pasak dari pada tiang artinya ‘besar pengeluaran dari pada
pendapatan’. Makna pribahasa ini bersifat memperbandingkan atau
mengumpamakan, maka bisanya juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata
yang sering digunakan dalam peribahasa yaitu kata seperti, bagai, bak, laksana,
umpama, tetapi ada juga peribahasa yang tidak menggunakan kata-kata tersebut
namun kesan peribahasanya tetap tampak.
7. Makna Kias
1) Makna Kias adalah makna kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya,
yaitu oposisi dari makna sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa yang
tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, konseptual, denotatif) disebut arti
kiasan. Contohnya: putri malam artinya bulan ataupun raja siang artinya matahari.
B. Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa
yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa ini dapat berupa kata, frase,
kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan,
ketercakupan, kegandaan atau kelebihan makna. Chaer (2009:83) hubungan atau
relasi kemaknaan menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna
(antonim), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna (hiponim), dan
sebagainya. Berikut ini akan dibicarakan masalah tersebut satu per satu.
1. Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan kesamaan
makna dan bersifat dua arah. Sinonimi atau yang sering disebut dengan sinonimi
adalah hubungan semantik yang menyatakan kesamaan antara satu satuan ujaran
dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar; antara
kata hamil dan frase duduk perut. Relasi ini bersifat dua arah (Chaer, 2009: 83). Chaer
(2009:86), ketidaksamaan makna yang bersinonim disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
a) Faktor waktu. Umpamanya kata hulubalang yang bersifat klasik dengan kata
komandan yang tidak cocok untuk konteks klasik.
b) Faktor tempat atau wilayah. Misalnya kata saya yang bisa digunakan di mana saja,
sedangkan beta hanya cocok digunakan untuk wilayah Indonesia bagian timur.
c) Faktor sosial. Umpamanya kata saya yang dapat digunakan oleh siapa saja dan
kepada siapa saja, sedangkan kata aku hanya digunakan terhadap orang yang
sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah
kedudukan sosialnya.
d) Faktor bidang kegiatan. Misalnya, kata matahari yang biasa digunakan dalam
kegiatan apa saja, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus
terutama sastra.
e) Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau
yang masing-masing memiliki makna yang tidak sama.
2. Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua ujaran yang
menyatakan kebalikan. Misalnya kata hidup berlawanan dengan kata mati. Antonimi
adalah ungkapan kata yang mempunyai makna yang berlawanan dari makna
ungkapan lain (Verhaar dalam Chaer 2009:89). Contoh antonimi, mudah dan sukar;
tinggi dan rendah; lebar dan sempit; besar dan kecil. Hubungan ini mempunyai
hubungan timbal balik. Dilihat dari sifat hubungannya, antonim dibagi menjadi:
a) Antonim yang bersifat mutlak. Umpamanya, kata hidup berantonim secara mutlak
dengan kata mati.
b) Antonim yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil
berantonim secara relatif.
c) Antonim yang bersifat rasional. Umpamanya kata membeli dan menjual, karena
munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain.
d) Antonim yang bersifat hierarkial. Umpamanya kata tamtama dan bintara berantonim
berantonim secara hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada
dalam satu garis jenjang.
e) Antonim majemuk adalah satuan ujaran yang memiliki pasangan antonim lebih dari
satu. Umpamanya dengan kata berdiri dapat berantonim dengan kata duduk, tidur,
tiarap, jongkok, dan bersila.
3. Polisemi
Polisemi adalah kata atau satuan ujaran yang mempunyai makna lebih dari
satu. Umpamanya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh
manusia, sesuai dalam kalimat Kepalanya luka kena pecahan kaca, (2) ketua atau
pimpinan, seperti dalam kalimat Kepala kantor itu bukan paman saya. Polisemi adalah
kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda. Karena kegandaan makna
seperti itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna kata yang
didengar atau dibacanya. Polisemi terjadi karena kecepatan melafalkan kata, faktor
gramatikal, faktor leksikal, faktor pengaruh bahasa asing, faktor pemakai bahasa yang
ingin menghemat penggunaan kata, dan faktor pada bahasa itu sendiri yang terbuka
untuk menerima perubahan baik perubahan bentuk maupun perubahan makna
(Pateda, 2001: 214).
4. Homonimi
Verhaar dalam Chaer (2009:94) memberi definisi homonimi adalah dua buah
kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja
berbeda karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang bermakna
‘kekasih’. Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu
homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua
satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaan. Contoh yang ada hanyalah kata bank
‘lembaga ‘keuangan’ dengan kata bang yang bermakna ‘kakak laki-laki’. Homografi
adalah mengacu pada bentuk ujaran yang sama ejaannya tetapi ucapan dan
maknanya tidak sama. Contohnya kata teras yang maknanya ‘inti’ dan kata teras yang
maknanya ‘bagian serambi rumah’. Perbedaan polisemi dan homonimi adalah kalau
polisemi merupakan bentuk ujaran yang maknanya lebih dari satu, sedangkan
homonimi bentuk ujaran yang “kebetulan” bentuknya sama, namun maknanya
berbeda.
5. Hiponimi
Hiponim adalah kata khusus sedangkan hipernim adalah kata umum. Verhaar
dalam Chaer (2009:99) menyatakan hiponim ialah ungkapan berupa kata, tetapi
kiranya dapat juga frase atau kalimat yang maknanya dianggap merupakan bagian
dari makna suatu ungkapan lain. Contohnya kata burung merupakan hipernim,
sedangkan hiponimnya adalah merpati, tekukur, perkutut, balam, dan kepodang.
Chaer (2009:100) mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan semantik antara
sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
Misalnya kata merpati dan kata burung. Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua
arah, sebab jika merpati berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim
dengan merpati, melainkan berhipernim.
6. Ambiguiti Atau Ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna
akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat
ditafsirkan maknanya menjadi (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu
memuat sejarah zaman baru, Chaer (2009:104). Homonimi adalah dua buah bentuk
atau lebih yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan ambiguiti adalah sebuah
bentuk dengan dua tafsiran makna atau lebih.
Pateda membagi ambiguitas menjadi 3 menurut tingkatannya, yaitu ambiguitas
pada tingkat fonetik, ambiguitas pada tingkat gramatikal, dan ambiguitas pada tingkat
leksikal (Pateda, 2001: 202). Ambiguitas pada tingkat fonetik timbul akibat
membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan. Kadang-kadang karena kata-kata
yang membentuk kalimat diujarkan secara cepat, orang menjadi ragu-ragu tentang
makna kalimat yang diujarkan. Misalnya, seseorang mengujarkan /kera apa/, apakah
yang dimaksud kera apa, atau kerap apa.
7. Redundansi
Redundansi adalah berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika tidak akan
berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Penggunaan kata oleh
inilah yang dianggap redundansi.
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan
unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat Bola itu ditendang oleh
Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika (Chaer,
2009: 105).
C. Perubahan Makna
Dalam perkembangan penggunaannya, kata sering mengalami perubahan
makna. Menurut Chaer (2009: 131-139) perubahan tersebut terjadi karena
perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan budaya,
perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indera,
perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses gramatikal, dan pengembangan
istilah. Hal yang sama dan mendukung pernyataan Chaer mengenai terjadinya
perubahan makna, disampaikan oleh Pateda (2001: 168-183), perubahan makna
karena dipengaruhi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, akibat perubahan
lingkungan, pertukaran tanggapan indera, perubahan makna akibat gabungan leksem
atau kata, perubahan makna akibat tanggapan pemakaian bahasa, akibat asosiasi,
dan perubahan makna akibat perubahan bentuk.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka akan kami sajikan bermacam-macam
jenis perubahan makna menurut Chaer (2009:140-144) yaitu: menyempit, meluas,
perubahan total, penghalusan (eufemia), dan pengasaran. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan penjelasan dibawah ini :
Macam-macam Perubahan Makna
1. Makna Menyempit/ Spesialisasi
Kata yang tergolong ke dalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal
penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat ini
hanya terbatas untuk satu keadaan saja.
Contoh :
Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalam arti luas atau umum, namun
sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni. Begitu pula kata
sarjana, yang dahulu merupakan sebutan untuk orang yang pandai, berilmu tinggi,
namun sekarang bermakna “lulusan dari perguruan tinggi”).
2. Makna Meluas/ Generalisasi
Penggunaan kata ini berkebalikan dengan pengertian menyempit.
Contoh :
Petani dulu dipakai untuk seseorang yang bekerja dan menggantungkan hidupnya
dari mengerjakan sawah, tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk keadaan yang
lebih luas. Penggunaan pengertian petani ikan, petani tambak, petani lele merupakan
bukti bahwa kata petani meluas penggunaannya.
3. Makna Perubahan Total
Yang dimaksud perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah
kata dan makna asalnya. Memang ada sangkut paut antara makna asal, tetapi
hubungannya sudah jauh sekali dari makna asal.
Contoh :
Kata ceramah, pada mulanya berarti cerewet, atau banyak cakap-cakap. Tetapi kini
makna ceramah berbeda, karena ceramah itu berarti pidato atau memberikan uraian
di depan orang.
4. Makna Penghalusan (eufemia)
Mengenai penghalusan makna, kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya
kata-kata atau bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih
sopan daripada yang akan digantikannya.
Contoh :
Kata penjara atau bui, diganti dengan kata yang lebih halus yaitu Lembaga
Pemasyarakatan. Kata korupsi, diganti dengan kata menyalahgunakan jabatan, dan
sebagainya.
5. Makna Pengasaran (disfemia)
Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran, yaitu usaha untuk menggantikan
kata yang maknanya halus atau bermakna biasa menjadi kata yang maknanya kasar.
Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan oleh orang yang jengkel atau
tidak ramah.
Contoh : Kata masuk kotak, dipakai untuk mengganti kata kalah. Kata mencaplok,
dipakai untuk mengganti kata mengambil, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan kami dapat disimpulkan bahwa dalam pemakaian bahasa
ada terdapat jenis-jenis makna, relasi makna, dan perubahan makna. Di bagian
pembahasan sudah jelas kami sajikan apa itu jenis-jenis makna, relasi makna dan
perubahan makna. Jenis makna dapat dibagi menjadi tujuh jenis makna, di antaranya:
1. Berdasarkan jenis semantiknya dibedakan menjadi makna leksikal dan makna
gramatikal.
2. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dibedakan menjadi
makna referensial dan makna nonreferensial.
3. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem dibedakan
menjadi makna denotasi dan makna konotasi.
4. Berdasarkan ketepatan maknanya dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah
atau makna umum dan makna khusus.
5. Berdasarkan ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata
dengan makna kata lain dibagi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
6. Berdasarkan bisa atau tidaknya diramalkan atau ditelusuri, baik secara leksikal
maupun gramatikal dibagi menjadi makna idiomatikal dan peribahasa.
7. Berdasarkan kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari
makna sebenarnya disebut makna kias.
Relasi makna dapat dibedakan atas sinonim, antonim, plisemi, homonimi, hiponimi,
ambiguiti atau ketaksaan, redundansi, dan idiom. Sedangkan pada perubahan makna
yaitu : menyempit/ spesialisasi, meluas/ generalisasi, perubahan total, penghalusan/
eufemia, dan pengasaran/ disfemia.
Daftar Bacaan
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta