44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi oleh keluarga, masyarakat, negara karena didalam diri anak melekat hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat didalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh karena itu, apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka diadakan pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat secara etimologi, terminologi, serta menurut para pakar hukum manusia sudah dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan 1

Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang

Maha Esa. Oleh karena itu anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa

dijaga dan dilindungi oleh keluarga, masyarakat, negara karena didalam diri anak

melekat hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat

didalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak,

pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh

karena itu, apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka

diadakan pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat

secara etimologi, terminologi, serta menurut para pakar hukum manusia sudah

dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang

terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau

keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari

adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta

kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi

terkadang semua itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh

anak meskipun telah bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak,

sedangkan keinginan untuk mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian,

penerus silsilah orang tua dan kerabat keluarga tersebut terancam putus atau

punah. (Soemitro, 2003: 169).

1

Page 2: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Dalam keadaan demikianlah kemudian para anggota kerabat dapat

mendesak agar si suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan

dari anggota kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan,

atapun dengan pengangkatan anak (adopsi).

Dalam menentukan kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak

termasuk akibat hukumnya pada masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan

masyarakat suku Jawa, Tionghoa, saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang

dapat dijadikan sebagai pedoman. Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera

menurut tata cara hukum adatnya masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga

tunduk kepada hukum adatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari

pengangkatan anak yaitu mengutamakan kesejahteraan anak. Meskipun

pengangkatan anak harus dilakukan berdasarkan hukum nasional yang berlaku.

Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang siapa saja yang boleh

mengangkakat anak, dan kriteria laki-laki atau perempuankah yang boleh

diangkat. Oleh karena itu, dengan dibuatnya makalah ini akan dibahas lebih lanjut

mengenai pengangkatan anak pada masyarakat di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pentingnya dari pengangkatan anak?

2. Apa saja macam-macam pengangkatan anak?

3. Bagaimana pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia?

4. Bagaimana kedudukan pengangkatan anak dalam sistem hukum

Nasional?

1.3 Tujuan

1. Memahami pentingnya dari pengangkatan anak

2. Mengetahui macam-macam pengangkatan anak

3. Memahami pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia

4. Memahami akibat hukum dari pengangkatan anak

2

Page 3: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

BAB II

PERMASALAHAN

2.1 Hukum Adopsi Anak Di Indonesia

Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi.

Dalam kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi

arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.

Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah

pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan

seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain

yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak

tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan

keluarga orang tua angkat.Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa

rumusan tentang definisi adopsi antara lain:

Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk

mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan

perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau

untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang

demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai

anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan

adopsi itu calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat

menjamin kesejahteraan bagi anak. (Herlina, 1998: 69).

Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. :

anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua

angkat dengan resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk

kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.

1Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Hlm, 6

3

Page 4: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-

undang hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no.

557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah

pengangkatan seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang

telah beristri atau telah pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Jadi disini hanya anak laki-laki yang dapat di angkat, tetapi menurut

perkembangan yurisprudensi sekarang ini, anak perempuan pun boleh diangkat

sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses perbuatan,

atau cara mengasuh. Pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu

pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam

mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah

proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki

usia dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan pemeliharaan anak-anak

yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi

belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik

jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan

memikul tanggung jawab.

Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum

dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi

pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang

menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” agar kelak mereka memiliki

keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat anda dan pasangan

memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan

keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak dalam

perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan

pengangkatan anak telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak.

2Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia. Hlm, 24

4

Page 5: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik

Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi:

“Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan

kepentingan kesejahteraan anak”.

Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya

ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai

pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang

tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan

permasalahan diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak

terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah

diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak

diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun

sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur mengenai

pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-

permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan

pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.

Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah. Sejalan

dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat,

akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan

Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei

1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini

pengaturan mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa

peraturan. Diantaranya adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor

23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal

tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak

memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.

3Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 18

5

Page 6: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Dengan demikian pengaturan mengenai pengangkatan anak yang diatur

dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan

dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak berlaku apabila bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta syarat-syarat

mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor

41/HUK/KEP/VII/1984.

2.2 Tata Cara Mengadopsi

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara

mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih

dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan

Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa

secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan

ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai

secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .

2.3 Syarat-syarat Mengadopsi

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat

melaksanakan pengangkatan anak adalah:

1. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak

mempunyai anak laki-laki.

2. Suami istri bersama-sama.

3. Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada

larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya

dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.

4Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 22

6

Page 7: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat

(persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:

1. Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari

kedua orang tuanya.

2. Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua

orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.

3. Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari

anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia

atau tidak.

4. Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak,

maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah

dewasa dan bapak mendiang suaminya.

Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata

sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari

pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke

empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.

2.4 Undang-undang Pengangkatan Anak Di Indonesia

Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata

(Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu

diperhatikan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo

SEMA 6 tahun 1983 jo SEMA 4 tahun 1989;

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak

angakat dan anah asuh.

5Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo, Hlm 25

7

Page 8: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,

ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau

penetapan pengadilan.

Pengertian anak angkat sama dengan pengertian anak angkat dalam PP No

54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1

Anak asuh(Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau

lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan

kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu

menjamin tumbuh kembang anak secara wajar

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat

diambil sebuah prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya

sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan

bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan

pertimbangan terakhir.

Pihak Yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak;

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak

yaitu:

1. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan

untuk tidak mempunyai anak;

2. Mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam

perkawinan. (Gosita Arif, 2000: 269).

Untuk pasangan suami istri Ketentuan mengenai adopsi anak diatur dalam SEMA

No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979

tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak.

6Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm. 25

8

Page 9: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa

syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan

pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya

sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat

yang berada dalam asuhan organisasi sosial.

Undang undang No 27 Tahun 2002 Pasal 37 Tentang Pengasuhan dan

Pengangkatan anak

Pasal 37 dan 39

(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat

menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,

maupun sosial.

(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan

agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi

landasan lembaga yang bersangkutan.

(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan

agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang

dianut anak yang bersangkutan.

(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti

Sosial.

(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

7Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm,33

9

Page 10: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Pasal 39

(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik

bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan

hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon

anak angkat.

(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir.

(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan

dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan

satu kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya mengenai

pengakuan terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak-

anak luar nikah dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga. Kita tidak menemukan

satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada

hanyalah ketentuan-ketentuan tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti

yang diatur dalam buku 1BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289,

tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan

tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah adopsi ini. Oleh karena kitab

undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak ini

2.5 Dasar Hukum Pengangkatan Anak Di Indonesia

Dasar hukum pengangkatan Anak di Indonesia adalah sebagai berikut :

8Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm.37

10

Page 11: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan

Anak.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan

Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan

Anak.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan

Anak.

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia.

8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang

Persyaratan Pengangkatan Anak.

9Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang, Hlm,38

11

Page 12: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Pengangkatan anak (Adopsi)

Anak merupakan generasi dari suatu keluarga yang akan meneruskan

keturunannya. Oleh karena itu, anak haruslah dididik dengan segala kemampuan

yang dimiliki oleh orang tuanya, jangan sampai anak-anak tersebut ditelantarkan.

Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah/ dalam keluarga

yaitu:

1. Sebagai penerus generasi

2. Sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari

3. Sebagai pelindung orang tua kemudian hari dan lain sebagainya, apabila

orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya

tidak mampu bekerja lagi. (Bewa Ragawino : 63).

Namun, seiring dengan meningkatnya krisis ekonomi di negara Indonesia ini

banyak anak yang ditelantarkan. Atas hal tersebut menimbulkan partisipasi dari

rakyat dengan mengangkat anak oleh keluarga yang ingin mengasuhnya untuk

meningkatkan kesejahteraan anak tersebut.

Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga

sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua

angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat

sebagai orang tua sendiri. Hubungan yang timbul ini berupa akibat hukum yang

timbul dari perbuatan hukum pengangkatan anak.Pengangkatan anak sering juga

diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (Belanda) atau adoption

(Inggris).

10Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Hlm 55

12

Page 13: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan

pengangkatan anak disebut adoption of a child.

Alasan yang menjadi pertimbangan dalam pengangkatan anak bermacam-

macam. Ada yang karena untuk kepentingan pemeliharaan di hari tua, keadaan

ekonomi keluarga yang lemah dan ada yang karena kasihan terhadap anak yatim

piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan

yang mirip dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129

tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga atau untuk

melestarikan keturunannya.

3.2 Pengertian Anak Dari Sisi Adat Indonesia

Mengapa keturunan sangat penting bagi masyarakat hukum adat? Menrut

Djojodigoeno adalah sebagai berikut:

“Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara

orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai

hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari

yang lain.” (Susilawati, 2004: 114).

Jadi disini jelas bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang

mutlak bagi suatu clan atau keluarga, suku dan kerabat yang menginginkan

supaya ada generasi penerus leluhurnya. Mengenai siapa saja yang boleh

mengangkat anak, dalam hukum adat tidak ditentukan. Tetapi menurut R.

Soeroso, dijumpai ketentuan minimal berbeda 15 tahun. Tentang siapa yang boleh

diadopsi juga tidak ada ketentuan harus laki-laki ataukah perempuan, serta tidak

ada batasan usia untuk anak yang akan diangkat. Tujuan dari pengangkatan ini

tentunya bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan material, tetapi

sifatnya lebih tertuju kepada tujuan kemanusiaan belaka yaitu untuk mencapai

kesejahteraan anak.

11Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Hlm 60

13

Page 14: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Dalam pengangkatan anak dalam hukum adat akan membawa anak dalam

kedudukan yang membawa dua kemungkinan:

1. Sebagai nak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan,

2. sebagai ahli waris (yuridis)

3. Sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat. Perbuatan

adopsi pasti dilakukan dengan terang dan “tunai”

Hal ini diperkuat kembali oleh Tolib Setiady yang menyatakan, Kedudukan

hukum anak yang diangkat adalah sama halnya dengan anak kandung dan

hubungannya dengan orang tuanya sendiri menurut adat menjadi putus. Dan

proses adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengna upacara adat serta

dengan bantuan kepala adat.

3.3. Macam-macam Pengangkatan Anak

Dilingkungan masyarakat hukum adat dikenal dua klafikasi kedudukan

anak angkat yaitu; pertama, kedududkan anak angkat sebagai anak kandung untuk

penerus keturunan orang tua angkatnya. Misalnya pada masyarakat Batak yang

sistem kekerabatanya patrilineal murni. Dimana kedudukan anak laki-laki sangat

penting sebagai penerus keturunan, jadi apabila tidak mempunyai anak laki-laki

harus mengangkat anak laki-laki yang status kedudukannya sebagai anak

kandung. Kedua, kedudukan anak angkat yang diambil tidak dengan maksud

sebagai penerus keturunan orang tua angkatnya.

Dalam makalahnya, Bewa Ragawino menyebutkan bahwa macam-macam

pengangkatan anak adalah:

1. Mengangkat anak bukan warga keluarga atau disebut dengan adopsi

dari anak asing.

12Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 44

14

Page 15: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Anak yang hendak diangkat dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut

masuk kedalam kerabat yang mengadopsinya, serentak dengan suatu pembayaran

berupa benda-benda magis sebagai taranya dan dilakukan dengan terang

disaksikan oleh para kepala adat. Hal ini dapat kita temukan pada masyarakat adat

daerah Gayo, Nias, Lampung, Kalimantan.

2. Mengangkat Anak dari kalangan keluarga atau dalam satu clan besar

kerabat adatnya.

Mengangkat anak dari kalangan keluarga atau masih dalam satu clan

kekerabatan ini banyak kita jumpai pada masyarakat adat di Bali. Perbuatan ini

sering disebut dengan “nyentanayang”. Biasanya anak selir-selir yang diangkat

menjadi anak angkat, karena istri utama tidak dapat memberikan keturunan. Jika

tidak terdapat wangsa laki-laki yang dijadikan anak angkat,maka dapat juga anak

perempuan diangkat sebagai setana, dan sering disebut dengan “setana rejeg”

Dengan mengikuti peraturan “Paswara” Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai

berikut. “Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun djuga jang tidak

mempunjai anak-anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras

sentana) maka mereka itu harus mendjatuhan pilihannja atas seorang dari anggota

keluarga sedarah jang terdekat dalam keturunan lelaki sampai deradjat

kedelapan”.

Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yan dihadiri

oleh kepala adat dan keluarga dalam satu pakraman. Upaca dilakukan dengan

membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus, dan

pembayaran adat berupa 1.000 (seribu) kepeng serta stel pakaian. Yangkemudian

diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian raja memeberikan izinnya

dengan membuatkan akta (surat”Peras).

13Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 47

15

Page 16: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

3. Mengangkat anak dari kalangan Keponakan atau sering disebut

dengan adopsi kemenakan

Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain dilatarbelakangi karena

alasan tidak/ belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan/iba.

Perbedaan antara adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan

dalam perbedaan status dan tidak adanya pembayaran. Dijawa pengangkatan

seperti ini sering disebut dengan “pedot”

Sebab-sebab mengangkat anak dari keponakan adalah :

1. Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan memungut keponakan

tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan

2. Belum dikaruniai anak sehingga dengan memungut anak tersebut

3. diharapkan akan mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak

(kandung)

3.4 Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat

Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat kan memunculkan asas-asas

antara lain:

1. Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan

2. Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskangaris keturunannya

biasanya terjadi pada msyarakat Bali, dan Patrilineal.

3. Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat, (Tedong Ajis, 2006: 121).

Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma

(1987 : 144) dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa :

“Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga yang

mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu

pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan

kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan

hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum

16

Page 17: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

berlaku bagi anak yang bersangkutan”. Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris

anak angkat, meskipun anak angkat tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi

menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa

diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat,

sedang terhadap harta asal orang.

4. Asas kekeluargaan

5. Asas kemanusiaan

Selain alasan belum/tidak mempunyai keturunan dalam pengangkatan anak

juga berlandaskan kemanusiaan. Namun untuk masyarakaat yang menganut

sistem kekerabatan Matrilineal, kedudukan anak tidak sama dengan anak

kandung, begitu juga pada masyarakat Parental. Pengangkatan anak pada

masyarakat Parental juga tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat

dengan orang tua kandungnya. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah

tangga orang tua angkat sebagai anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan

sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.

6. Asas persamaan hak

Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial,

sehingga kedudukannya sama dengan anak kandung begitupula dengan hak-

haknya sebagai anak.

7. Asas musyawarah dan mufakati

Seblum melakukan pengangkatan anak dalam keluarga, harus didahului

musyawarah dan mufakat keluarga besar.

14Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm, 48

17

Page 18: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

3.5 Kedudukan Anak Angkat dalam masyarakat adat

Dalam pengangkatan anak dalam masyarakat adat kedudukan anak angkat dapat

dibedakan

1. Anak angkat sebagai penerus keturunan

Di Lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak

yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.

Di Bali anak angkat sebagai penerus keturunan dengan mengawinkan anak wanita

kandung bapak angkatnya, anak itu menjadi sentana rejeg yang mempunyai hak

yang sama dengan anak kandung.

2. Anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan

Terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku (adat) yang berbeda

(batak;marsileban).

Di batak jika suami yang diangkat itu orang luar maka ia diangkat sebagai

anak dari kerabat “namboru” (marga penerima dara) dan jika isteri yang diangkat

itu orang luar maka ia diangkat sebagai anak tiri kerabat “hula-hula” (Tulang,

marga pemberi darah)

Pengangkatan anak atau saudara (lampung; adat mewari) tertentu sebagai

tanda penghargaan, misalnya mengangkat seorang pejabat pemerintahan menjadi

saudara angkat

Pengangkatan anak karena penghormatan ini juga tidak berakibat menjadi

waris dari ayah angkat si anak, kecuali diadakan tambahan perikatan ketika

upacara adat dihadapan para pemuka adat dilaksanakan.

15Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 52

18

Page 19: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

3.6 Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak

Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak,

bukannya sebagai orang asing.[14] Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah

menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai

“anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik

pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua

orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak

mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya- atas barang-

barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi

ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil

anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.

Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam

pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :

1. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk

memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

2. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak

sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak

yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

3. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus

hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang

tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh

pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada

orang tua angkat.

4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan

mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua

angkat

16Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 53

19

Page 20: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Pendapat lain mengenai akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak:

A. Dengan orang tua kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang

tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau

tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua

kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah

Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa

Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah

memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak

memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya

hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan

orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan,

pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.

B.Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai

kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas

hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa

daerah

Di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah

perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta

memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak

tersebut berkedudukan sebagai anak kandung. Di Lampung perbuatan

pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua

angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan

dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat

mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya.

Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam

bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa :

17Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 60

20

Page 21: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

“Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga keluarga

yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi,

yaitu pengangkatan anak.

3.7 Pedoman Pengangkatan anak Di Indonesia

Dalam pengangkatan anak di Indonesia, pedoman yang dipergunakan saat ini

adalah :

1. Staatsblad 1917 No. 129 mengenai adopsi yang berlaku bagi golongan

Tionghoa.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 (merupakan

penyempurnaan dari dan sekaligus menyatakan tidak berlaku lagi Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1979) jo Surat Edaran Mahkamah

Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan Anak yang berlaku bagi

warga negara Indonesia.

3. Hukum adat (Hukum tidak tertulis).

4. Jurisprudens

18Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005, Hlm 62

21

Page 22: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

BAB IV

TINJUAN PUSTAKA

4.1 Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif

Kamus umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak

orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak

sendiri. Menurut Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk

mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak. “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,

ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau

penetapan pengadilan”.

Selain itu terdapat pengertian Pengangkatan Anak menurut Peraturan

Pemerintah No. 54 Tahun 2007. “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan

hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua,

wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang

tua angkat”.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga

memberikan pengertian Anak angkat. “Anak yang haknya dialihkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut,

ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau

penetapan pengadilan”

19Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 65

22

Page 23: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak

yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia

diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan

pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak

nashabnya sendiri. Muderis Zaini, dalam bukunya “Adopsi” menyebutkan bahwa

Mahmud Syaltut, membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu:

Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia

seorang anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak

dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala

kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua, yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak

secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia,

Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam

keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang

sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.

Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan

mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam

kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah

didasarkan pada faktor hubungan darah. Dari beberapa definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak

untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri yang menimbulkan akibat hukum

tertentu.

4.2 Tujuan Pengangkatan Anak

Dalam praktiknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia

mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain

untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh

keturunan.

20Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 72

23

Page 24: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Mengenai tujuan dari pengangkatan anak, diatur di dalam Peraturan

Pemerintah No. 54 Tahun 2007:

“Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan

berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara

tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak

hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan

berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial

perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut

memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang

hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut

sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.

Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat

untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak

angkat akan lebih baik dan lebih maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan

jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari

orang tuanya.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No. 6

Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami

istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai

anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak.

Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak

terikat dalam perkawinan.

21Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,1990, Hlm 76

24

Page 25: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

4.3 Status Anak Angkat Menurut BW

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk

Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang

diatur dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin

yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal

290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya

dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi.

Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut

KUHPerdata, adopsi tidak mungkin diatur karena KUHPerdata memandang suatu

perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.

Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk

pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri

tidak mengenal lembaga adopsi.

Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi

hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal

tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum

keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi

adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-

laki demi meneruskan eksistensi margakeluarga dan pemujaan atau pemeliharaan

abu leluhur.

Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda

pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai

dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan

Tionghoa di Indonesia. Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan

adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun

1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai

ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki

saja tetapi juga terhadap anak perempuan.

22Muhammad, Arif. Undang -Undang Perlindungan Anak Indonesi.,1998.Hlm, 44

25

Page 26: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan

telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak

perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No.

907/1963/Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri

Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober 1963. Bahkan pada tahun

yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan

Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa

Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya

memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi,

karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

23Muhammad, Arif. Undang -Undang Perlindungan Anak Indonesi.,1998.Hlm, 44

26

Page 27: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang

terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan

nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh

ajaran Islam, bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang

memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang

menemukan anak terlantar tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan

memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua

kandungnya.

Bahwa memungut, mengasuh memelihara atau mengangkat anak

merupakan hal hal yang harus diperhatikan berdasarkan undang undang yang

berlaku di Indonesia, dengan mengacu pada perbuatan berbudi luhur dan tulus

dalam mengangkat dan mengurus anak angkat.

5.2 Saran

Diharapkan dengan makin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat

muslim maka makin mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-

hal yang bertentangan dengan syariat Islam, antara lain masalah pengangkatan

anak. Hasil ikhtiar ini mulai tampak dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam

( KHI ) sebagai pedoman hukum materiil peradilan agama mengakui eksistensi

lembaga pengangkatan anak dengan mengatur anak angkat dalam rumusan Pasal

171 huruf h dan Pasal 209. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam secara konsisten

mengawal penerapan hukumnya sehingga berpengaruh positif terhadap kesadaran

masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam.

27

Page 28: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

Disarankan kepada instansi pemerintah khususnya instansi-instansi

pemerintah yang terkait dengan masalah pengangkatan anak yaitu Peradilan

Agama, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar lebih

meningkatkan sumber daya manusia yang ada didalamnya untuk lebih

meningkatkan sosialisasi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang

terbaru mengenai pengangkatan anak sehingga diharapkan dengan adanya

sosialisasi maka akan adanya pengusaan materi mengenai pengangkatan anak

dengan segala kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Dengan adanya

penguasaan materi mengenai pengangkatan anak maka permasalahan yang akan

timbul akan dapat lebih diminimalisasi dan diberikan solusi yang cepat, terbaik

dan tepat.

Diharapkan kepada seluruh Warga Negara Indonesia bahwa harus ada

pengetahuan yang jelas dari calon orang tua angkat dan orang tua kandung yang

akan diangkat orang lain, perihal perbedaan prinsip Hukum Pengangkatan Anak

yang diajukan dan diputus Pengadilan Negeri, dengan pengangkatan anak yang

diajukan dan diputus Pengadilan Agama. Pengetahuan dan kesadaran hukum

tentang perbedaan hukum pengangkatan anak tersebut seharusnya sudah diketahui

dan disadari pada saat akan mengajukan perkara permohonan, sehingga mereka

dapat dengan tepat memilih pengadilan mana yang akan memberikan penetapan,

yang kemudian akan berdampak pada akibat hukum yang ditimbulkan.

28

Page 29: Makalah adopsi (pegangkatan anak)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif

Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta.

Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI )

Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 1 Juni 2009.

QS. Al-Baqarah (2), ayat:256

Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan

Bintang, Jakarta.

Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-

Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet.

II, Jilid I, hal. 72

Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo CV,

1984.

Herlina, Apong, dkk. Perlindungan Anak: Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: UNICEF,

2005.

Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan. Jakarta: Bumi Aksara,

1990.

Susilowati, Ima, dkk. Pengertian Konvensi Anak. Jakarta: UNICEF, 2005.

29