22
Rekonstruksi dan Reaktualisasi Nilai Patriotisme Warga Negara Dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter Oleh Sarbaini*) Abstrak Warga negara yang baik terbentuk pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berbasis karakter yang mengajarkan kepada individu warga negara mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah merosotnya nilai patriotisme, yang merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa, dan lebih mengaktual sebagai kewajiban ketimbang hak. Sekaitan dengan upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya adalah kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan upaya rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme yang mewujudkan dalam bentuk sikap kesadaran warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada masyarakat di berbagai tingkatan. Kata Kunci: Rekonstruksi, Reaktualisasi, Patriotisme, Kesadaran, Warga negara, PKn, Karakter A. Latar Belakang Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap pemerintah, menerima perlindungan dari pemerintah dan untuk menikmati hak-hak tertentu. Warga negara yang efektif terletak pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang mengajarkan kepada individu warga negara mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah merosotnya nilai patriotisme, yang merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa, dan lebih mengaktual sebagai kewajiban ketimbang hak. Inti dalam PKn dan warga negara adalah mengembalikan keseimbangan antara keduanya, salah satunya adalah merekonstruksi nilai patriotisme melalui aktualisasinya dalam bentuk kesadaran warga negara untuk ikut serta dalam kegiatan layanan-layanan kepada masyarakat lokal, regional, nasional dan internasional sebagai wujud warga negara yang baik. *. Pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FKIP Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin. Kandidat Doktor Prodi Pendidikan Umum/Nilai UPI Bandung Angkatan 2008. 1

Artikel jurnal pend karakter

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Artikel jurnal pend karakter

Rekonstruksi dan Reaktualisasi Nilai Patriotisme Warga Negara

Dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter

Oleh Sarbaini*)

Abstrak

Warga negara yang baik terbentuk pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berbasis karakter yang mengajarkan kepada individu warga negara mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah merosotnya nilai patriotisme, yang merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa, dan lebih mengaktual sebagai kewajiban ketimbang hak. Sekaitan dengan upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya adalah kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan upaya rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme yang mewujudkan dalam bentuk sikap kesadaran warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada masyarakat di berbagai tingkatan.

Kata Kunci: Rekonstruksi, Reaktualisasi, Patriotisme, Kesadaran, Warga negara, PKn, Karakter

A. Latar Belakang

Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap

pemerintah, menerima perlindungan dari pemerintah dan untuk menikmati hak-hak tertentu.

Warga negara yang efektif terletak pada sistem yang tepat dan aktif dari Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) yang mengajarkan kepada individu warga negara mengenai hak-hak

dan kewajiban-kewajibannya. Kecendrungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara hak-hak warga negara meningkat, tanpa selaras dengan kewajiban-kewajiban

warga negara. Ditenggarai salah satu indikasinya adalah merosotnya nilai patriotisme, yang

merupakan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa, dan lebih mengaktual sebagai

kewajiban ketimbang hak.

Inti dalam PKn dan warga negara adalah mengembalikan keseimbangan antara

keduanya, salah satunya adalah merekonstruksi nilai patriotisme melalui aktualisasinya dalam

bentuk kesadaran warga negara untuk ikut serta dalam kegiatan layanan-layanan kepada

masyarakat lokal, regional, nasional dan internasional sebagai wujud warga negara yang baik.

*. Pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FKIP Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin. Kandidat Doktor Prodi Pendidikan Umum/Nilai UPI Bandung Angkatan 2008.

1

Page 2: Artikel jurnal pend karakter

B. Masalah

Sekaitan dengan upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, salah satunya

adalah kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa, yakni patriotisme, maka diperlukan

upaya rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme yang mewujudkan dalam bentuk sikap

kesadaran warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan layanan kepada

masyarakat di berbagai tingkatan. Dengan demikian permasalahan yang akan dibahas di sini

adalah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan : Apakah yang dimaksud warga negara

yang baik, patriotisme dan kesadaran warga negara dalam perspektif pendidikan

kewarganegaraan, dan bagaimanakah rekontruksi dan reaktualisasi nilai patriotisme

berkembang menjadi sikap kesadaran warga negara untuk berperanserta dalam kegiatan

layanan kemasyarakatan?

C. Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan; Orang yang Baik dan Warga Negara yang Baik

Pendidikan Kewarganegaraan, kapanpun dan bagaimanapun berusaha menyiapkan

orang dalam negara, khususnya generasi muda untuk menerima peran-peran mereka sebagai

warga negara (Jack Crittenden, 2007). Secara umum tujuan yang benar dari pendidikan adalah

menghasilkan warga-warga negara yang baik melalui sekolah(Eleanor Roosevelt, 1930),.

Berbagai hubungan-hubungan di sekolah, seperti aktivitas-aktivitas sosial dan atletik,

mengembangkan tim bermain, kerja sama dan pemikiran dan pertimbangan terhadap orang

lain adalah hal-hal yang esensial bagi warga negara yang baik.

Pendidikan kewarganegaran secara formal adalah suatu pengertian yang disediakan

untuk sistem organisasi dari persekolahan yang bertujuan, salah satu tujuan utamanya adalah

menyiapkan warga negara masa depan yang berpartisipasi dalam kehidupan publik. Dalam

negara-negara demokrasi menyiapkan orang-orang baik sama seperti warga-warga negara

yang baik, dan untuk pendidikan demokrasi, dalam konteks ini menekankan peranan

pendidikan kewarganegaraan.

Terdapat dua kelompok yang menonjol dalam mendukung penggunaan pendidikan

karakter sebagai cara untuk meningkatkan demokrasi. Satu kelompok terdiri dari para teorisi

politik seperti Galston, Battistoni, Benjamin Barber, dan Adrian Oldfield yang sering

menrcerminkan versi-versi modern dari aliran warga republikan. Kelompok ini

2

Page 3: Artikel jurnal pend karakter

menginginkan kesediaan untuk menanamkan dan memelihara di antara warga-warga masa

depan kesediaan mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi kebaikan umum.

Partisipasi menurut pandangan ini adalah penting untuk stabilitas masyarakat dan

mempertinggi pertumbuhan manusia setiap individu melalui promosi kesejahteraan bersama

kita.

Kelompok kedua tidak melihat partisipasi demokratis sebagai inti, tetapi malahan

melihat partisipasi demokratis adalah satu aspek penting dari keseluruhan pendidikan

karakter. Inti dari misi sekolah-sekolah umum, menurut pandangan ini, adalah membentuk

ciri-ciri karakter yang penting untuk perilaku individu (menjadi orang yang baik) dan untuk

mengembangkan demokrasi (menjadi warga negara yang baik). Para pemimpin kelompok

ini adalah praktisi pendidikan seperti Thomas Lickona, William Bennet dan Patricia White

(Jack Crittenden, 2007).

D. Warga Negara yang Baik

1. Pengertian Warga Negara yang Baik

Warga negara adalah orang yang memberikan kesetiaan secara khusus terhadap

pemerintah dan menerima perlindungan dari pemerintah dan untuk menikmati hak-hak

tertentu (Janowitz, 1983). Warga negara yang baik (good citizen) disebut juga sebagai warga

negara yang efektif (effective citizen) yaitu seseorang yang menggunakan waktu jauh dari

“pengejaran kebahagiaan-kebahagian “ mereka dalam melakukan sesuatu yang menyokong

kebebasan kita dan menjaga keamanan negara (www.goodcitizen.org). Menurut William

Huitt (2005), warga negara yang baik adalah cara-cara untuk berperilaku untuk diri sendiri

yang sesuai dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan hak-hak istimewa dari penduduk

dalam lokasi suatu wilayah negara.

Sementara warga negara yang baik menurut Ryan, V (2006) adalah seseorang yang

respek terhadap orang lain dan hak milik mereka, penolong dan baik budi, bersedia

mendahulukan orang lain, mendengarkan pandangan orang lain, dan berpikir mengenai apa

yang mereka katakan, membantu orang yang tidak dalam posisi untuk menolong diri mereka

sendiri, respek terhadap lingkungan dan tidak merusak dengan berbagai cara, pekerja keras,

berkelakuan baik dan menyenangkan, dan berkeinginan untuk belajar.

Dengan demikian warga negara yang baik adalah cara-cara warga negara yang

berperilaku sesuai dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan hak-hak istimewa dari

3

Page 4: Artikel jurnal pend karakter

penduduk dalam lokasi suatu wilayah negara, dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan

bermasyarakat baik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negaranya maupun

norma-norma agama, budaya dan sosial di masyarakat.

Sisi praktis dari warga negara yang baik akan sangat berhasil dibangun di sekolah,

karena sekolah sebagai satu miniatur dari kehidupan dalam suatu masyarakat, dan kondisi-

kondisi dan problem-problem dari masyarakat yang lebih luas adalah lebih mudah

direproduksi, dihadapkan dan dipecahkan. Untuk mewujudkan hal itu, mengisyaratkan

kadar yang tinggi dalam mengajar, yakni guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran,

tetapi selalu sadar bahwa semua mata pelajaran berhubungan dengan tujuan yang lebih luas,

yaitu belajar untuk hidup. Belajar menjadi warga negara yang baik adalah belajar untuk

hidup dengan memaksimalkan kemampuan-kemampuan dan peluang-peluang seseorang,

dan setiap mata pelajaran akan mengajar setiap anak dengan sudut pandang itu.

2. Ciri-ciri Warga Negara yang Baik

Warga negara yang baik memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab

terhadap masyarakat, lingkungan dan hukum. Dapat dilihat dilihat perbedaan antara warga

negara yang baik dan buruk dari ciri-cirinya dalam tabel berikut (Ryan, V, 2006).

Tabel 1

Ciri-Ciri Warga Negara yang Baik dan Warga Negara yang Buruk

Warga Negara yang Baik Warga Negara yang Buruk1. Menjadi tetangga yang baik dengan peduli

terhadap orang lain1. Melihat keluar hanya untuk diri sendiri

2. Membagi waktu dan keterampilan-keterampilan dengan masyarakat untuk membuatnya lebih baik, lebih bersih dan lebih aman.

2. Mengotori dan menyia-nyiakan sumber-sumber

3. Melestarikan sumber-sumber dengan melaksakanakan Tiga R, yaitu Reduce (mengurangi), Re-use (Menggunakan kembali) dan Recyle (Mendaurulang)

3. Menyerahkan semua persoalan-persoalan politik ada seseorang yang disebut “ahli”

4. Tetap memberitahukan terhadap isu-isu dan menyuarakan pendapatmu melalui pemungutan suara.

5. Menjalankan peran positif sebagai model kewarganegaraan dengan :a) Memperlihatkan kepedulian terhadap

keberhasilan dan keamanan orang lainb) Menggunakan bahasa yang tidak mengadili

yang tidak menyakitkan atau merendahkan.c) Melakukan sesuatu yang benar, khususnya

ketika dalam keadaan sulitd) Melakukan sesuatu yang benar, bahkan ketika

tidak ada seorangpun yang melihat.

4

Page 5: Artikel jurnal pend karakter

e) Bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan kamu.

f) Bercermin pada bagaimana tindakan-tindakan kamu mempengaruhi kesejahteraan orang lain.

3. Cara Menjadi Warga Negara yang Baik

Manusia di jaman dahulu untuk hidup, mereka mematuhi hukum-hukum dan pola-

pola yang telah ditentukan oleh masyarakat, tetapi mengikuti pola-pola seperti itu tidak

membuat seseorang pasti menjadi warga-warga negara yang baik. Untuk menjadi warga

negara yang baik, maka orang hendaknya menjadi orang baik. Maksudnya seseorang

memiliki secara penuh nilai-nilai, prinsip-prinsip, etika-etika, dan lain-lain.

(www.elsbee.com).

Satu aspek penting untuk menjadi warga negara yang baik adalah membantu orang di

lingkungan sekitar, bahwa orang selalu membutuhkan pertolongan. Pekerjaan sebagai warga

negara yang baik adalah untuk menolong berbagai macam orang. Ketika membicarakan

tentang orang yang membutuhkan pertolongan, tidak hanya membicarakan tentang

seseorang yang miskin, tetapi juga wanita hamil yang tidak dapat membawa bungkusan

berat, atau orng tua yang tidak dapat menyeberang jalan. Aspek lain penting yang diingat

untuk menjadi warga negara yang baik adalah partisipasi aktif dalam masyarakat.

Sebenarnya banyak cara-cara yang dapat dikerjakan, seperti ketika pemilihan umum datang

untuk pemberian suara, kita berada di dalam barisan yang siap memberikan suara. Ketika

bersama para tetangga untuk memutuskan tentang pemeliharaan jalan-jalan, kita berada di

sana untuk memberikan pandangan.

Rekomendasi terakhir untuk menjadi warga negara yang baik adalah respek terhadap

orang yang hidup di lingkungan sekitar. Harus diingat bahwa kita mempunyai hak-hak,

mereka mempunyai hak-hak juga. Respek adalah satu dari basis yang sangat penting ketika

hidup dalam masyarakat. Kita semua memiliki kebebasan, tetapi itu terbatas pada aspek-

aspek tertentu. Kita tidak dapat mempertimbangkan pembunuh atau pencuri warga-warga

negara yang baik seperti mereka melanggar batasan itu. Nilai-nilai sebaiknya ditanamkan

kepada orang seperti mereka tumbuh dewasa, adalah bentuk informasi yang akan

membangun mereka untuk menjadi warga-warga negara yang baik.

5

Page 6: Artikel jurnal pend karakter

E. Patriotisme

1. Pengertian Patriotisme

Patriotisme berasal dari kata Yunani patris, berarti tanah air (fatherland). Namun

demikian patriotisme memiliki arti berbeda dalam sepanjang masa, dan amat tergantung

pada konteks, geografi dan filosofi.

J. Peter Euben menulis bahwa filosof Yunani Socrates mengemukakan, “patriotisme”

tidak menghendaki seseorang untuk setuju dengan setiap hal bawa negara melakukan dan

akan melakukan. Hal itu sesungguhnya mempromosikan pertanyaan yang bersifat analisis

dalam menyelidiki hal terbaik yang dapat dilakukan untuk negaranya (http://en.wikipedia.

org). Dalam abad ke 18 Masa Pencerahan, gagasan patriotisme berlanjut dengan pemisahan

dari nasionalisme. Malahan patriotisme diartikan sebagai kesetiaan kepada kemanusiaan dan

kemurahan hati. Banyak gagasan kontemporer terhadap patriotisme pada abad ke 19

dipengaruhi oleh nasionalisme, sehingga selama abad ke 19, “keberadaan patriotik” menjadi

makin meningkat melekat dengan nasionalisme, dan bahkan dengan jingoisme. Namun

demikian, beberapa gagasan dari patriotisme kontemporer menolak nasionalisme lebih baik

dari versi yang lebih klasik untuk cita-cita patriotisme yang memasukkan tanggung jawab

sosial.

Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah dan rela berkorban

demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti sifat

kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau "heroism" dan "patriotism" dalam bahasa Inggris.

Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga

(http://id.wikipedia.org). Staub (1997) menyatakan patriotisme sebagai sebuah

keterikatan (attachment) seseorang pada kelompoknya (suku, bangsa, partai politik, dan

sebagainya). Keterikatan ini meliputi kerelaan seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya

pada suatu kelompok sosial (attachment) untuk selanjutnya menjadi loyal. patriotisme lebih

berbicara akan cinta dan loyalitas patriotisme lebih berbicara akan cinta dan loyalitas.

Sedangkan Yanovsky (2003: 2) mengemukakan bahwa patriotisme adalah sistem

nilai-nilai dari kehidupan moral, menyatakan respek ide-ide dari keadilan sosial, kebebasan

dan kehidupan nyata dari orang. Ini adalah perasaan yang dalam dari cinta terhadap tanah

air, kejujuran melayani keluarga dan negara, cinta terhadap bahasa ibu, kebudayaan, dan

6

Page 7: Artikel jurnal pend karakter

menghargai kebudayaan-kebudayaan lain. Marian Kovaleva (2008) menambahkan bahwa

patriotisme berarti partisipasi dalam, dan kesetiaan kepada komunitas; itu berarti komitmen

dan kesiapan untuk melayani publik dan institusi-institusi dari publik.

2. Dimensi Patriotisme

Dari rentetan sejarah pemahaman patriotisme, nampaknya patriotisme yang

kemudian populer dan dikenal masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia, namun juga di

dunia ialah blind patriotism. Hal ini mendorong Staub juga Bar-tal menghimbau dalam

bukunya, "Patriotism in the lives of individuals and nations", untuk mempopulerkan dimensi

patriotisme yang semestinya lebih merasuk yaitu constructive patriotism. Sehingga

patriotisme memiliki beberapa dimensi dengan berbagai istilah, namun Staub (1997)

membagi patriotisme dalam dua bagian yakni blind dan constructive patriotism (patriotisme

buta dan patriotisme konstruktif). Sementara Bar-Tal (1997) menyisipkan conventional

patriotism diantaranya.

Patriotisme buta didefinisikan sebagai sebuah kerikatan kepada negara dengan ciri

khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan tidak toleran terhadap kritik. "Blind

patriotism is defined as an attachment to country characterized by unquestioning positif

evaluation, staunch allegiance, and intolerance of critism".(Staub: 1997). Melihat definisi

tersebut, patriotisme buta dengan ciri khasnya menuntut tidak adanya evaluasi positif dan

tidak toleran terhadap kritik, mungkin akan lebih mudah dipahami, jika diingat akan

pernyataan yang pernah sangat populer: "Right or wrong is my country!". Pernyataan ini

tanpa perlu dipertanyakan lagi memberikan implikasi bahwa apapun yang dilakukan

kelompok (bangsa) saya, haruslah didukung sepenuhnya, terlepas dari benar atau salah. Hal

ini telah disadari Bar-Tal sebagai pemicu awal totaliterisme atau chauvinisme. Sementara

sejarah telah mencatat konsekuensi buruk yang dihasilkan, sebut saja Nazi-Jerman,

Mussolini-Itali. Pembantaian orang tak berdosa, namun berseberangan dengan pandangan

politik pemimpin menjadi legal atas nama patriotisme, nasionalisme pun ikut diseret di

dalamnya sehingga bangsa lain pun bisa menjadi sasaran. Staub juga menyatakan

bahwa blind patriotism tidak saja berakibat buruk bagi kelompok luar (outgroup), namun

juga membahayakan kelompoknya sendiri (ingroup). Tidak adanya kritik maupun evaluasi

sama saja dengan membiarkan kelompok berjalan tanpa peta, hingga bisa terpeleset dan

masuk jurang.

7

Page 8: Artikel jurnal pend karakter

Patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai sebuah keterikatan kepada bangsa dan

negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan pertanyaan dari anggotanya terhadap

berbagai kegiatan yang dilakukan/terjadi, sehingga diperoleh suatu perubahan positif guna

mencapai kesejahteraan bersama. "Constructive patriotism is defined as an attachment to

country characterized by support for questioning and critism of current group practices that

are intended to result in positive change." (Schatz, Staub, Lavine,1999).

Sementara patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan anggota

(rakyat) kelompoknya (bangsa), namun tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam

pandangan ini, pemimpin tidak selamanya benar, bahkan sebutan orang tidak patriotis oleh

seorang pemimpin bisa jadi berarti sebaliknya. Kritik dan evaluasi terhadap kelompok yang

dicintai seseorang justru merupakan bentuk kesetiaannya. Kritik dan evaluasi ini bertujuan

untuk menjaga agar kelompoknya tetap pada jalur yang benar atau positif. Selain hal di atas,

dalam patriotisme konstruktif terdapat 2 (dua) faktor penting, yaitu mencintai dan

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang yang layak disebut patriot adalah orang

yang menjunjung dan mencintai kelompok, baik kelompok partai atau bangsa atau negara,

namun lebih dari itu ia juga harus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah

diperlukan sikap peduli yang muncul dalam kritik dan evaluasi.

Patriotisme sebagai sayang dan cinta pada satu negara, mengarah kepada berbagai

bentuk keyakinan dan perilaku. Sementara patriotisme dapat menghasilkan penampilan yang

mempertinggi nilai moral bagi negara-nasional, ia juga dapat mempersempit pikiran berupa

kebencian terhadap barang atau orang asing (minded-xenophobia), atau menyumbang secara

luas terhadap saling ketergantungan terhadap masyarakat dunia. Bentuk dan muatan yang

“terbaru(update) ” dari patriotisme dikehendaki berkontribusi terhadap tujuan-tujuan

nasional dan dunia yang lebih teratur (Janowitz: 1983).

3. Beberapa Pendekatan Terhadap Patriotisme

Analisis dari studi-studi kontemporer terhadap problem-problem patriotisme

menyingkapkan keragaman dari arti dan penggunaan patriotisme, dan diklasifikasi dalam

lima tema, yang disebut pendekatan-pendekatan untuk memahami patriotisme (Marina

Kovaleva, 2008):

a. Pendekatan pertama, memandang patriotisme sebagai suatu “perasaan yang tinggi”

terhadap tanah air. Definisi ini dicirikan oleh perasaan mendalam pada masa lalu, sikap-

8

Page 9: Artikel jurnal pend karakter

sikap positif terhadap tanah air disebabkan oleh refleksi emosional dan gambaran abstrak

dari cinta terhadap tanah kelahiran, kota kelahiran dan bayang-bayang masa anak-anak.

Istilah tanah air adalah istilah umum dan inti dari pendekatan pertama.

b. Pendekatan kedua, menggagas patriotisme sebagai inti perasaan-perasaan emosional.

Penekanan perasaan patriotik tidak hanya dipacu oleh cinta mendalam terhadap tanah air,

tetapi juga oleh motivasi untuk mengambil bagian dalam pembangunannya. Aktivitas itu

tidak hanya kondisi dari partisipasi nyata, tetapi juga sebagai kriterianya. Patriotisme dan

level dari rumusan itu tergantung pada kontribusi dari setiap orang, warga negara atau

kelompok dan kapasitas mereka untuk memecahkan problem-problem pembangunan.

Partisipasi aktif adalah istilah lain dari pendekatan kedua.

c. Pendekatan ketiga, karakter dari patriotisme, didefinisikan oleh Krejcir (2006) sebagai

loyalitas dan kehormatan dari satu kebangsaan adalah kondisi yang amat luas dari

kepelikan perkembangan sejarah masyarakat, negara, dan politik-politik dari elit

penguasa. Pendekatan ini dapat disebut “patriotisme negara”, negara dianggap objek dan

kepala pengembang patriotisme. Ivanova (2003, 295-296) menyebutnya sebagai “poros”

dari sistem negara. Negara mendorong perasaan bangga berbangsa seperti juga

mendorong partisipasi aktif dari para warga negara dalam memperkuat negara sebagai

titik tumpu dari masyarakat.

d. Pendekatan keempat, dikenal sebagai patriotisme pribadi, yang melihat pribadi-pribadi

(warga-warga negara) sebagai satuan inti dari pendidikan warga dan patriotis (sebab

cinta yang mendalam terhadap tanah air, karakter-karakter moral yang kuat dan kualitas-

kualitas pribadi yang lain).

e. Pendekatan kelima berhubungan dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya dalam

banyak aspek disebabkan patriotisme dianggap sebagai fungsi dari kepribadian, di sini

patriotisme didefinisikan sebagai fase penting dari perkembangan spiritual dan ekspresi

diri dari kepribadian. Oleh karena itu, patriotisme adalah manifestasi diri dari kesadaran

spiritual dan religius dari orang yang mencapai level dari perkembangan yang

membolehkan mereka untuk merasakan cinta yang “hebat” terhadap tanah air mereka

atau merasa siap utuk melakukan pengorbanan diri untuk kesejahteraan bersama

(Lutovinov, 2001: 8-21).

9

Page 10: Artikel jurnal pend karakter

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan patriotisme mempunyai ciri sebagai

bentukan dari nilai-nilai spiritual dan moral, melayani terhadap tanah air dan umat manusia,

inti perasaan terhadap ketaatan terhadap tugas-tugas publik.

F. Kesadaran Warga Negara

Kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau

cinta yang positif dan penuh makna dari seseorang yang berkembang terhadap negaranya

(Janowitz, 1983). Sementara dukungan komitmen yang kuat adalah bukan tanpa komponen

oto-kritik. Oleh karena itu kesadaran warga negara adalah dilihat sebagai versi oto-kritik

terhadap patriotisme.

Kesadaran warga negara melibatkan elemen substansial dari penalaran, sana seperti

komitmen pribadi, dan berkembang dari refleksi, pengalaman pragmatis dan kepemimpinan

politik demokratis yang efektif. Dengan demikian pendidikan kewarganegaraan melibatkan

penyampaian bingkai-bingkai alternatif berupa referensi yang membantu para siswa dalam

mengembangkan pemahaman terhadap realitas-realitas sosial dan politik.

Kesadaran warga negara dalam perspektif Islam, dapat dilihat dari hadist, di mana

Rasulullah mengatakan bahwa tingkat iman yang paling rendah adalah membuang rintangan

dari jalan. Rasulullah mengatakan sendiri jalan yang terbuka lebar bagi para warga untuk

bekerja ke arah perbaikan masyarakat dan sekitar mereka adalah kata lain untuk

mengembangkan kesadaran warga negara (Auwais Rafiudeen, 2009). Kesadaran seperti itu,

seperti yang ditunjukkan hadist di atas menunjukkan, bahwa di atas semua sebutan demi

menjamin orang-orang yang hidup adalah dibuat mudah, dan mereka tidak mengalami

kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya yang dapat dihindarkan, dengan implikasi, bahwa

upaya-upaya yang dilakukan adalah untuk kenyaman dan keamanan mereka. Banyak

peraturan-peraturan pemerintah yang persis sama tujuan dan pikiran dan dibutuhkan untuk

diikuti seperti kewajiban religius, selain fakta bahwa peraturan-peraturan merupakan bagian

bentuk hukum negara.

Kesadaran warga negara dalam perspektif Islam selain peduli terhadap keamanan dan

kesejahteraan orang pada tingkat individual, juga berarti peduli mengenai kesejahteraan

masyarakat sebagai keseluruhan. Dibutuhkan pengembangan kesadaran terhadap isu-isu

nasional seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, perumahan dan

ekonomi. Hal yang amat jelas adalah bagaimana sistem nilai religi mengharapkan untuk

10

Page 11: Artikel jurnal pend karakter

mendekati berbagai isu; untuk memiliki empati yang dalam dan fundamental terhadap kaum

miskin dan secara aktif meringankan nasib mereka, mengakui bahwa setiap orang

mempunyai hak untuk bebas, kualitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, untuk

mengakui hak setiap orang untuk bermartabat melalui pekerjaan dan perumahan yang layak,

dan untuk berjuang untuk ekonomi yang menjamin kesejahteraan engarayang

menguntungkan bagi seluruh penduduk.

Tingkat kesadaran warga negara yang lain, dan sering di bawah radar adalah untuk

menjadi penting dan menanyakan terhadap tipe dari informasi yang diterima. Media, para

aktivis dari semua jenis dan semua politisi yang mempunyai agenda-agenda sendiri dalam

jenis informasi yang mereka tempatkan dan dalam perangkat tipe-tipe debat yang mereka

inginkan publik terlibat di dalamnya.Saat-saat itu dilakukan dengan maksud-maksud yang

baik dan mencari perhatian publik terhadap problem-problem nyata yang dihadapi negara.

Tetapi sering mereka sungguh manipulatif dan mencoba secara langsung menjauhkan publik

dari problem-problem itu, atau mereka membungkusnya dengan kepentingan khusus yang

mereka nyatakan dalam bentuk gambaran yang lebih luas. Warga negara yang kritis

menerima informasi secara tidak diskriminasi, tetapi melihat isu-isu secara individual dan

memutuskannya berdasarkan keuntungan-keuntungan mereka sendiri.

G. Rekontruksi dan Reaktualisasi Patriotisme

Pengertian patriotisme yang berbasis tradisional yang masih dianut oleh beberapa

kalangan hendaknya direkontruksi kepada pengertian patriotisme yang lebih sesuai dengan

kebutuhan era milineum, yaitu dalam dunia yang saling ketergantungan dan menghendaki

kerjasama saling menguntungkan, serta prioritas problem yang dihadapi oleh negara di mana

warga negara itu berada.

Patriotisme dalam pengertian tradisional menurut Janowitz (1983) adalah perasan

cinta dan sayang kepada negara, mengarah kepada berbagai bentuk keyakinan dan perilaku,

selain dapat menghasilkan penampilan yang mempertinggi nilai bagi bagi negara, juga dapat

mempersempit pikiran berupa kebencian terhadap barang atau orang asing (minded-

xenophobia). Dilihat dari dimensi patriotisme, aspek negatif dari pengertian tradisional

patriotisme dapat kiranya dikaitkan dengan patriotisme buta (blind patriotism), yaitu sebuah

kerikatan kepada negara dengan ciri khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan

tidak toleran terhadap kritik. "Blind patriotism is defined as an attachment to country

11

Page 12: Artikel jurnal pend karakter

characterized by unquestioning positif evaluation, staunch allegiance, and intolerance of

critism".(Staub: 1997). Melihat definisi tersebut, dimana patriotisme buta dengan ciri khas

menuntut tidak adanya evaluasi positif dan tidak toleran terhadap kritik, mungkin akan lebih

mudah dipahami jika kita ingat akan pernyataan yang pernah sangat populer: "Right or

wrong is my country!". Blind patriotism tidak saja berakibat buruk bagi kelompok

luar (outgroup), namun juga membahayakan kelompoknya sendiri (ingroup). Tidak adanya

kritik maupun evaluasi sama saja dengan membiarkan kelompok berjalan tanpa peta, hingga

bisa terpeleset dan masuk jurang.

Oleh karena itu dalam rangka melakukan rekontruksi terhadap pengertian tradisional

patriotisme, maka Janowitz (1983) menawarkan definisi alternatif dari patriotisme dari

aspek sosio-politik kewarganegaraan yang diharapkan mampu memberikan kontributif

dalam bentuk dan muatan yang “terbaru” secara luas luas terhadap tujuan-tujuan nasional

dan dunia yang saling ketergantungan dan yang lebih teratur, sehingga memunculkan

pengertian patriotisme ke dalam bentuk kesadaran warga negara sebagai bentuk kewajiban

dari warga negara untuk ikut serta dalam kegiatan layanan-layanan nasional, baik dalam

dimensi sipil maupun militer. Bagi Janowitz (1983) kesadaran warga negara (civic

consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau cinta yang positif dan penuh dengan arti

dari seseorang yang berkembang terhadap negaranya. Sementara dukungan komitmen yang

kuat, adalah bukan tanpa komponen oto-kritik. Oleh karena itu kesadaran warga negara

adalah dilihat sebagai versi oto-kritik terhadap patriotisme.

Bar-ta, dalam bukunya, "Patriotism-in the lives of individuals and

nations", mempopulerkan patriotisme yang semestinya lebih merasuk yaitu constructive

patriotism sebagai reaksi terhadap blind-patriotism, karena berbagai dimensi negatif dari

blind-patriotism, dan serupa pada pengertian tradisional. Patriotisme konstruktif adalah

sebuah keterikatan kepada bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan

pertanyaan dari anggotanya terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan/terjadi, sehingga

diperoleh suatu perubahan positif guna mencapai kesejahteraan bersama. (Schatz, Staub,

Lavine,1999). Sementara patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan

kecintaan anggota (rakyat) kelompoknya (bangsa), namun tidak meninggalkan nilai-nilai

kemanusiaan.

12

Page 13: Artikel jurnal pend karakter

Rekonstruksi pengertian patriotisme demikian, menghendaki bahwa perasaan kasih

sayang atau cinta dan penuh dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan

moral, tetapi juga ditumbuh-kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu,

masyarakat, negara dan umat manusia serta nilai-nilai kemanusiaan. Dengan rekontruksi

pengertian patriotisme demikian menghendaki pula reaktualisasi dari tindakan patriotisme.

Aktualisasi tindakan patroitisme tidak lagi hanya diwujudkan dalam bentuk mencintai

produk dalam negeri, reaksi emosional terhadap bangsa lain yang dianggap mencuri sesuatu

dari negara kita, atau siap berperang dengan negara lain, dalam membantu bangsa, warga

negara lain yang dizalimi, atau dengan kata lain siap “berperang” dalam bentuk dan dalam

kadar apapun dengan bangsa atau negara lain.

Terminologi “perang” dalam hubungannya dengan patriotisme perlu direaktualisasi,

khususnya jika patriotisme dikehendaki memberikan kontribusi dalam bentuk dan muatan

yang “terbaru” secara luas terhadap tujuan-tujuan nasional dan dunia yang saling

ketergantungan dan yang lebih teratur, atas dasar perasaan kasih sayang atau cinta dan penuh

dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan moral, tetapi juga ditumbuh-

kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu, masyarakat, negara dan umat

manusia serta nilai-nilai kemanusiaan. Aktualisasi patriotisme lebih mengarah kepada

perilaku kesadaran warga negara dalam bentuk peduli dan melakukan tindakan bekerja ke

arah perbaikan masyarakat, terhadap isu-isu nasional seperti kemiskinan, pengangguran,

pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi, dan kritis terhadap serbuan informasi yang

bersifat melumpuhkan patriotisme dan kesadaran warga negara, dan berpartisipasi aktif, baik

merintis, menjadi sponsor dan penggerak untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat

yang insindental, mendesak dan darurat dalam bentuk layanan-layanan kemasyarakatan.

H. Kesadaran Warga Negara Berperanserta dalam Kegiatan Layanan-Layanan Kemasyarakatan

sebagai Aktualisasi Patriotisme melalui kegiatan Belajar Melayani (Service Learning) dalam

Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter

Dalam Pendidikan Kewarganegaraan terdapat beragam pendekatan, salah satunya

satunya adalah pendekatan belajar berbuat atau belajar melayani. Pendekatan pembelajaran

berbuat atau belajar melayani (action learning approach atau service learning) memberi

penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-

13

Page 14: Artikel jurnal pend karakter

perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu

kelompok.

Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral

berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk

melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama,

Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk

sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya,

melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam

suatu proses demokrasi.

Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan

pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian

mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan

perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga

untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan

yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka

berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu

masyarakat yang demokratis.

Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan

lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-

program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga

negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya

(environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence),

yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu

sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi

(interpersonal competence), yang dapat meberi pengaruh kepada orang-orang melalui

hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan

ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat

memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan

umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk

memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi

perubahan kebijaksanaan umum.

14

Page 15: Artikel jurnal pend karakter

Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence)

merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et. al., 1980).

Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral.

Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan

memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan

demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat

perhatian dalam berbagai pendekatan lain.

Pendekatan pembelajaran berbuat atau belajar melayani (action learning approach

atau service learning) merupakan wahana sekaligus peluang bagi Pendidikan

Kewarganegaraan untuk menumbuhkembangkan kesadaran warga negara bagi peserta

didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-Layanan kemasyarakatan sebagai

aktualisasi patriotisme. Sebagaimana dikatakan oleh Elyer, Giles dan Braxton, 1997,

“Service, combined with learning adds value and transforms both." Pelayanan, dipadukan

dengan belajar menambahkan nilai dan mentranformasikan keduanya. Jadi pelaksanaan

pendekatan service learning adalah menambahka nilai-nilai kewarganegaraan, terutama

patriotisme dan menstranformasikan nilai-nilai itu ke dalam bentuk praktek-praktek

kewarganegaraan yang patriotisme (patriotism citizenhsip). Selanjutnya Michigan Learn

and Serve Study, Meyer, Hofschire, and Billing, 2004), mengemukakan bahwa:” Service-

Learning is a proven educational technique that facilitates a student's growth in

academics, social maturity, critical thinking, communication, collaboration, and

leadership skills. Belajar pelayanan adalah teknik pendidikan yang terbukti telah

memfasilitasi pertumbuhan akademis, kematangan sosial, berpikir kritis, komunikasi,

kolaborasi dan keterampilan-keterampilan kepemimpinan.

Secara mendasar para pendidik telah lama menggunakan metode-metode layanan

(melayani). Para pendidik melibatkan anak-anak dan orang-orang muda dalam melayani

masyarakat melalui sekolah-sekolah mereka, organisasi-organisasi dan institusi agama, dan

organisasi-organisasi pemuda. Belajar melayani adaalah alat yang begitu kuat, mampu

mentransformasikan orang muda dari penerima pasif ke partisipan aktif. Newmann, seperti

banyak pendukung belajar melayani, percaya bahwa perkawinan antara pelayanan

masyarakat dan pendidikan adalah obat mujarab bagi merosotnya sistem sekolah nasional,

khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Oleh

15

Page 16: Artikel jurnal pend karakter

karena itu, banyak sekolah dan perguruan tinggi bekerja ke arah tujuan umum,

mempromosikan tidak hanya pentingnya pengetahuan dalam kelas, juga penting bagi

kewarganegaraan dan masyarakat dilibatkan dengan baik melalui belajar melayani (service

leaning).

Beberapa kegiatan yang dilakukan melalui belajar melayani antara lain

pengembangan masyarakat miskin pedesaan, penduduk miskin di pemukiman kumuh

perkotaan, penduduk buta huruf di desa nelayan, pertolongan kepada masyarakat yang

mengalami bencana alam, peningkatan kemampuan membaca dalam mata pelajaran

bahasa, kemampuan pemahaman dalam matetimatika, atau memecahkan maupun

memenuhi kebutuhan masyarakat,seperti tuna wisma, kelaparan, buta hruf, perusakan

lingkungan, bencana penyakit, kejahatan, kekerasan rumah tangga, perilaku antisosial

pararemaja). Selain itu terdapat beberapa dari kegiatan belajar pelayanan, baik untuk SD,

SMP maupun SMA, misalnya :

1. Mentor dan tutor dari teman sebaya ke teman sebaya; satu minggu siswa-siswa lebih tua

berhadapan satu demi satu para siswa yang lebih muda untuk membantu mereka dengan

membaca, menulis, matematika, dan mata-mata pelajaran yang lain.

2. Para siswa mewawancarai para warga negara tua tentang sejarah masyarakat mereka

dan tentang kehidupan mereka. Para siswa kemudian ke dalam desain yang bagus, baik

dalam bentuk buku, video atau rekaman suara mengenai sejarah yang telah disampaikan

oleh para warga negara itu, yang berikutnya dapat membagikan kepada anak-anak dan

cucu mereka dan melalui keluarga-keluarga mereka.

3. Menguji air yang diminum masyarakat melalui laboratorium universitas lokal atau

laboratorium kesehatan dan meneliti cara-cara meningkatkan kualitas air. Menjaga

catatan tahunan dari hasil-hasil pengujian itu dan membandingkan hasil-hasilnya dari

tahun yang lalu dengan tahun-tahun sekarang untuk mengevaluasi perubahan dalam

kualitas air. Siswa melaporkan temuan-temuan mereka pada media lokal.

4. Berperanserta dalam penumpulan dana solidaritas pada aktivitas-aktivitas tertentu,

misalnya dalam kasus Prita.

I. Implikasi terhadap Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter

Konsep dari kewarganegaraan adalah kunci untuk memahami apa demokrasi dan

bagaimana demokrasi bekerja. Jadi para siswa dilibatkan dalam pendidikan mengenai nilai-

16

Page 17: Artikel jurnal pend karakter

nilai, pengetahuan, sikap dan keterampilan demokrasi yang dibutuhkan untuk mengetahui apa

itu kewarganegaraan, bagaimana ia mendapatkan atau kehilangan kewarganegaraan dalam

berbagai sistem politik, apa hak-hak, tanggungjawab-tanggungjawab, dan kewajiban-

kewajiban dibawanya, dan bagaimana ia dihubungkan dengan dengan lembaga-lembaga dari

negara-negara nasional tertentu, khususnya negara mereka sendiri.

Tetapi para siswa membutuhkan gerakan yang melampaui pemahaman konseptual

untuk pengalaman-pengalaman belajar bahwa mengembangkan keterampilan-keterampilan

dan disposisi untuk menggunakan hak-hak dan membawa tanggungjawab-tanggungjawab dan

kewajiban-kewajiban dari kewarganegaraan dalam demokrasi. Keterampilan-keterampilan

partisipatori dan disposisi civic dibutuhkan untuk warga negara yang efektif dan

bertanggungjawab dalam demokrasi yang dapat dikembangkan melalui bentuk-bentuk

pengalaman belajar (Conrad & Hedin 1991; Niemi & Chapman 1999):

1. Partisipasi siswa dalam organisasi-organisasi siswa yang dilakukan secara demokratis

2. Sekolah berbasis layanan masyarakat yang dihubungkan secara sistematis dengan

kurikulum sekolah dan pengajar di kelas.

3. Aktifitas-aktifitas belajar kooperatif di mana kelompok-kelompok siswa berkerjasama

untuk mengejar tujuan bersama, seperti menyelidiki isu-isu publik atau merespon

problem-problem masyarakat.

Pendidikan kewarganegaraan (civic education dan citizenship education) dianggap

sebagai pembelajaran demokrasi di sekolah dan di masyarakat (Endang Danial, 2007). Oleh

karena itu dilakukan berbagai upaya, dan inovasi pembelajaran dari masa ke masa, mulai dari

gagasan, konseptual, kurikulum sampai pada tatanan operasional pendidikan di sekolah.

Morris Janowitz telah mengembangkan suatu konsep dalam rangka menyeimbangkan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban warga negara dengan merekontruksi istilah maupun konsep dari

nasionalisme, khususnya patriotisme ke dalam istilah kesadaran warga negara, hingga PKn

tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi merambah lahan ke bidang yang

lebih luas, sebagai implementasi dari kewajiban warga negara, baik sebagai sukarelawan

militer, sukarelawan sipil dalam kegiatan pelayanan nasional. Dengan demikian konsep

Morris Janowitz telah mengembangkan PKn yang berbasis karakter.

PKn yang berbasis karakter dengan mengacu pada pendapat Sumantri (2008: 34)

adalah memperlihatkan potensi yang kuat untuk mengembangkan secara lengkap baik fisik

17

Page 18: Artikel jurnal pend karakter

maupun mental manusia dan mendorong pengembangan keterampilan-keterampilan,

pengetahuan dan perilaku yang akan memungkin mereka untuk meningkatkan kondisi-kondisi

kehidupan mereka. Tujuan yang diharapkan dari pendidikan kewarganegaraan sekarang akan

menerima posisi-posisi ideologis, religius dan kultural sebagai elemen-elemen esensial dalam

tujuan-tujuan pendidikan kewarganegaraan. Hal demikian diperkuat oleh pendapat Barret

(1980) tentang ideologi, Kohlberg (1986) tentang religi, dan Giroux Krech, Crutchfield &

Ballachey (1962) tentang kultur (dalam Sumantri, 2008).

Menurut pendapat Winataputra (2000) dan Sumantri (2008), bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan baik sebagai program, proses, fase dan produk memadukan secara integral

aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, fisik dan mental, individu dan kolektif dalam

perilaku untuk menjadi warga negara yang demokratis, sekaligus menjadi warga negara yang

baik. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis karakter adalah :

• bertujuan mengembangkan kepribadian dan mengembangkan nilai-nilai kewargaan yang

demokratis berkeadaban di persekolahan dengan implementasi pembelajaran melalui

sejumlah mata pelajaran umum (dasar) atau mata kuliah dasar umum yang harus

ditempuh siswa atau mahasiswa.

• memuat cara memadukan secara integratif pemahaman tentang kehidupan demokrasi

dengan aspek kehidupan lain dan realitas.

• menyiapkan peserta didik untuk kehidupan yang penuh dan memuaskan sebagai anggota

keluarga, pekerja, warga negara yang bertanggungjawab dan integral, dan menjadi

manusia dengan tujuan tertentu, atau mengembangkan keseluruhan kepribadian

seseorang dalam kaitannya dengan masyarakat lingkungan hidupnya.

J. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

a. Warga negara yang baik memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap

negara, bangsa, masyarakat, lingkungan dan hukum.

b. Pengertian, dimensi dan perkembangan patriotisme mempunyai ciri sebagai bentukan

dari nilai-nilai spiritual dan moral, melayani terhadap tanah air dan umat manusia, inti

perasaan terhadap ketaatan terhadap tugas-tugas publik. Aktualisasi patriotisme lebih

mengarah kepada perilaku kesadaran warga negara dalam bentuk peduli dan

18

Page 19: Artikel jurnal pend karakter

melakukan tindakan bekerja ke arah perbaikan masyarakat dan terhadap isu-isu

nasional.

c. Kesadaran warga negara (civic consciousness) adalah perasaan kasih sayang atau cinta

yang positif dan penuh dengan arti dari seseorang yang berkembang terhadap

negaranya.

d. Rekonstruksi patriotisme menghendaki bahwa perasaan kasih sayang atau cinta dan

penuh dengan arti, tidak hanya berbasis nilai-nilai religi, spiritual dan moral, tetapi

juga ditumbuh-kembangkan dan ditujukan kepada perbaikan kualitas individu,

masyarakat, negara dan umat manusia serta nilai-nilai kemanusiaan.

e. PKn berbasis karakter tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi

merambah lahan ke bidang yang lebih luas, sebagai implementasi dari kewajiban

warga negara, baik sebagai sukarelawan militer, sukarelawan sipil dalam kegiatan

pelayanan nasional.

f. Pendekatan pembelajaran berbuat atau belajar melayani (action learning approach

atau service learning) merupakan wahana sekaligus peluang bagi Pendidikan

Kewarganegaraan berbasis karakter untuk menumbuhkembangkan hak kesadaran

warga negara bagi peserta didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-layanan

kemasyarakatan sebagai aktualisasi patriotisme.

2. Saran-saran

a. PKn berbasis karakter tidak hanya berhubungan dengan aspek politik saja, tetapi

dikehendaki merambah juga ke bidang yang lebih luas, sebagai implementasi dari

kewajiban warga negara, baik sebagai sukarelawan militer, sukarelawan sipil dalam

kegiatan pelayanan nasional.

b. PKn berbasis karakter hendaknya menggunakan pula pendekatan pembelajaran

berbuat atau belajar melayani (action learning approach atau service learning)

sebagai wahana sekaligus peluang untuk menumbuhkembangkan kesadaran hak

warga negara bagi peserta didik untuk berperanserta dalam kegiatan layanan-layanan

kemasyarakatan sebagai aktualisasi patriotisme sebagian dari upaya pembentukan dan

pengembangan kepribadian warga negara yang baik.

19

Page 20: Artikel jurnal pend karakter

K. Sumber Rujukan

Bar-Tal (1997) The Monopolization of Patriotism. Dalam Bar-Tal, Daniel & Staub, Ervin (ed) Patriotism-in the lives of individuals and nations. Chicago; Nelson - Hall Publisher.

Conrad, Dan, and Diane Hedin.(1991). "School Based Community Service: What We Know From Research and Theory". Phi Delta Kappan 72 (June 1991)

Crittenden, Jack. (2007). Civic Education. www.plato.stanford.edu. 27 Desember 2009

Danial, Endang. 2007. Economy Civic, Membina Warga Negara; Bersikap dan Berpartisipasi dalam Sistem Ekonomi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI

Elias, J.L. (1989). Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E.Krieger Publishing Co.Inc

Hersh, R.H, Miller, J.P, and Fielding, G.D. (1980). Model of Moral Education: an Appraisal. New York: Longman.Inc

Huitt. William. (2005). Good Citizenship. www.teach.valdosta.edu. 20 Desember 2009

Janowitz, Morris. (1983). The Reconstruction of Patriotism: Education for Civic Consciousness. Chicago: The University of Chicago Press.

______________. (1982). Patriotisme and the U.S.All-Volunteer Military. Air University Review. Januari-Februari 1982. http://www.airpower.maxwell.af.mil. 19 Desember 2009.

Kovaleva, Marina. (2008). Patriotism and Citizenship as Values of Civil Society’s Formation in Modern Russia. Middlesex University Papers in Education & Lifelong Learning. Vol.2, No.1, 2008. p63-74

Niemi, Richard G and Chapman, Chris, (1999). The Civic Development of Ninth Through Twelfth Grade Students in The United States. Washington, DC: U.S. Department of Education, 1999.

Rafiudeen, Auwais.(2009). Civic Consciousness and the Muslim. www.ipsauniversity.com. 21 Desember 2009.

Roosevelt, Eleanor. tion(1930). Good Citizenship: The Purpose of Education. Pictorial Review, April 1930: 4, 94,97

Ryan, V. (2006). What is Good Citizen. www.technologystudent.com. 22 Desember 2009

Schatz,R.T; Staub,E.; Lavine,H. (1999) On the varieties of national attachment constructive patriotism. Artikel. Journal of Political Psychology,vol 20 no.1,1999

20

Page 21: Artikel jurnal pend karakter

Staub, E. And Schatz, R.T.(1997). Manifestations of Blind and Constructive Patriotism: personality correlates and individual-group relations. Dalam Bar-Tal, Daniel & Staub, Ervin (ed) Patriotism-in the lives of individuals and nations. Chicago; Nelson - Hall Publisher.

Sumantri, Endang, 2008 An Outline of Citizenship and Moral Education in Major Countries of South Asia. Bandung: Bintang Warliartika.

Superka.et.al. (1976). Values Education Sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc

Yanovsky, R.G.(2003). Culture of Patrioitism in the Conditions of Globalization. Safety of Eurasia. Vol.4. October-December, p75-103

www.goodcitizen.org 11 Desember 2009

www.elsbee.com. 15 Desember 2009

www://id.wikipedia.org. 18 Desember 2009

21

Page 22: Artikel jurnal pend karakter

22