31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae,
Xanthomonas campestris dan Bacillus natto
Jumlah inokulum dari 1 ose Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae,
Xanthomonas campestris, dan Bacillus natto dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan
tabel 1 Xanthomonas campestris mempunyai jumlah inokulum terbesar yaitu
sebanyak 4,9 x 107 dan A. oryzae mempunyai inokulum terkecil yaitu 4,3 x 102.
Tabel 1. Jumlah Inokulum Awal Mikroorganisme
Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae,
Xanthomonas campestris, dan Bacillus natto hasil penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 8 yang diperoleh berdasarkan nilai Optical Density (OD) yang didapatkan.
Setiap mikroorganisme mempunyai fase pertumbuhannnya dan nilai absorbansi
berbeda yang cukup signifikan. Nilai absorbansi ini merepresentasikan jumlah sel
mikroorganisme (Benson, 2001). Semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme yang
diperoleh semakin banyak jumlah beta-glukan yang didapat (Goldmann, 2008).
Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel,
sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya
(Reed dan Rehm, 1983). Kecepatan pertumbuhan merefleksikan
perkembangbiakan mikroorganisme yang ditunjukkan oleh kenaikan konsentrasi
Mikroorganisme Jumlah inokulum (cfu/ml)
S. cerevisiae 1,28 x 107
X. campestris 4,9 x 107
B. natto 7,0 x 106
A. oryzae 4,3 x 102
32
biomassa karena konsumsi substrat. Pada saat yang bersamaan dihasilkan produk
berupa metabolit primer maupun sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994).
Gambar 8. Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme
Ketika mikroorganisme dipindahkan ke dalam suatu medium, mula-mula
akan mengalami fase adaptasi atau fase lag untuk menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan di sekitarnya (Middelbeek et al., 1992; Mangunwidjaja dan Suryani,
1994). Pada fase ini peningkatan sel belum tampak dan melibatkan sintesis
komponen struktur sel. Berdasarkan gambar 8, lamanya fase adaptasi dari setiap
mikroorganimse berbeda.
S. cerevisiae mengalami fase adaptasi sampai jam 72 dengan adanya
kenaikan dan penurunan nilai kerapatan optik dapat disebabkan adanya perbedaan
tekanan osmotik antara cairan di dalam S. cerevisiae dengan suspensi media.
Menurut Tortora et al (2002), bila khamir berada pada larutan yang hipertonis (kaya
akan solute) maka akan terjadi plasmolisis yaitu cairan di dalam sel akan keluar dari
dalam sel menembus membran plasma menuju ke cairan yang memiliki kadar
solute lebih tinggi sehingga sel akan mati. X. campestris juga mengalami fase
adaptasi sampai jam 72 namun tidak ada penurunan nilai kerapatan optik selama
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
0 24 48 72 96 120
Ab
sorb
ansi
(6
00
nm
)
Jam
S. cerevisiae X. campestris B. natto A. oryzae
33
fase ini. B. natto mengalami fase lag tersingkat yaitu sampai jam 24. Sedangkan
kapang A. oryzae juga mengalami fase lag sampai jam 72.
Perbedaan waktu fase lag secara umum ditentukan oleh jumlah sel yang
diinokulasikan, kondisi fisiologis dan morfologis yang sesuai serta media kultivasi
yang dibutuhkan (Scragg, 1991; Middelbeek et al., 1992; Fardiaz, 1987). Faktor
lainnya fase lag tergantung pada ukuran dan fase inokulum awal yang diinokulasi,
ketika inokulum yang diambil dari fase stasioner, maka fase lag yang dialami akan
lebih lama (Maier, 2009). Fase lag umumnya berbeda dengan bakteri, khamir dan
kapang. Bakteri mengalami fase lag yang lebih cepat dibandingkan dengan khamir
dan kapang yang dapat disebabkan oleh waktu membelah dirinya yang lebih cepat
yaitu sekitar 20 menit, khamir sekitar 90 menit dan kapang bisa sampai 8 jam
(Wibowo, 2016 ).
S. cerevisiae dan A. oryzae mengalami fase lag yang cukup lama dapat
diseebabkan inokulum S. cerevisiae dan A. oryzae sebelumnya ditumbuhkan di
Potato Dextrose Agar (PDA) yang terdiri dari dextrose dan potato extract yang
selanjutnya ditumbuhkan di YG Broth yang terdiri dari glukosa, K2HPO4, KH2PO4,
MgSO4, yeast Extract dan NH4Cl. Sedangkan bakteri ditumbuhkan di Nutrient
Agar(NA) yang terdiri dari Peptone, yeast extract dan NaCl dimana medium ini
mempunyai komponen yang lebih serupa dengan medium barunya. Hal ini dapat
menyebabkan bakteri lebih cepat menyesuaikan diri di lingkungan barunya.
Hamdiyati (2014) mengatakan jika medium dan lingkungan pertumbuhan sama
seperti medium dan lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu
adaptasi. Tetapi jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru
34
berbeda dengan sebelumnya, diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesa
enzim-enzim.
A. oryzae mempunyai nilai kerapatan optik terkecil karena mempunyai
jumlah inokulum terkecil (dari Tabel 1). Jumlah inokulum yang sedikit akan
membuat fase adaptasi yang lebih lama. Disisi lain fase lag akan lebih cepat jika
jumlah inokulum awalnya lebih banyak. Akibatnya populasi sel akan mencapai fase
eksponensial dengan sangat cepat (Asaduzzaman, 2007). Jumlah populasi sel akhir
yang lebih banyak akan berpengaruh pada jumlah β-glukan yang diproduksi.
B. natto mengalami fase lag tercepat dapat dikarenakan pertumbuhan
optimum untuk B. natto adalah 20 jam sehingga setelah jam 20 B. natto akan
mengalami fase stasioner (Tuan, 2015). Menurut Ruissen (1993), kurva
pertumbuhan X. campestris terus mengalami kenaikan sampai di jam 60, sehingga
sel X. campestris masih dapat naik setelah jam 60.
S. cerevisiae, X. campestris dan A. oryzae selanjutnya mengalami fase
logaritmik (log) atau pertumbuhan eksponensial pada jam 96 dimana terjadi
peningkatan sel secara pesat. Sedangkan B. natto mengalami fase ini di jam 24.
Pada fase ini mikroba membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva log.
Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya
seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan
kelembaban udara. Pada fase ini mikroba membutuhkan energi lebih banyak dari
pada fase lainnya. Fase ini merupakan fase yang paling sensitif terhadap keadaan
lingkungan. Pada akhir fase logaritmik, kecepatan pertumbuhan populasi menurun
dikarenakan nutrien di dalam medium sudah berkurang serta ada hasil metabolisme
35
yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Hamdiyati,
2014).
Waktu terjadinya fase log dipengaruhi oleh fase sebelumnya. Fase lag
adalah fase dimana bakteri mempersiapkan untuk fase eksponensial (Rolfe et al,
2012) sehingga secara tidak langsung semakin lama fase lag akan semakin lama
terjadinya fase log. Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan adalah
kondisi lingkungan mediumnya seperti suhu, waktu inkubasi, kandungan substrat
dan pH (Fardiaz, 1993). Setiap kultur diinkubasikan pada suhu 30oC di medium
yang konsentrasi substratnya sama. Suhu ini merupakan suhu yang cukup optimal
untuk semua kultur. S. cerevisiae tumbuh optimum di suhu ini, namun fase log baru
dialami dijam 96 dapat diakibatkan karena fase lag yang dialami cukup lama. S.
cerevisiae baru sesuai lingkungan barunya dan dapat memproduksi asam dengan
optimal untuk pertumbuhannya. Pada jam ini juga terjadi fase logaritmik pada X.
campestris, fase ini baru terjadi dapat disebabkan karena suhu optimum untuk X.
campestris adalah 26oC (ATCC, 2018). Lima et al (1997) dan Rajeshwarl et al
(1995) juga mengatakan pertumbuhan X. campestris mencapai fase stasioner
setelah jam 72. B. natto memasuki fase logaritmik di jam 24. Britannica (2019)
mengatakan bakteri Bacillus mempunyai karakter dengan kecepatan pembelahan
diri dengan cepat dan didapatkan fase logaritmik umumnya di jam 18-24.
A. oryzae mempunyai jumlah inokulum awal yang paling sedikit
dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya. Hal ini menyebabkan
pertumbuhannnya menjadi lambat dan baru memasuki fase logaritimiknya di jam
96 (Asaduzzaman, 2007). Shah et al (2014) juga mengatakan kondisi optimum
fermentasi A. oryzae didapatkan di jam 72. Selain itu A. oryzae dapat memproduksi
36
enzim α-amilase yang digunakan untuk pertumbuhannya. Puri (2013) mengatakan
α–amilase dapat diproduksi maksimal di jam 120. Suhu optimum A. oryzae untuk
memproduski α-amilase yang merupakan enzim yang berkaitan untuk
pertumbuhannya adalah 45oC (Sivaramakrishnan et al, 2006).
Setelah fase logartimik, mikroorganisme akan memasuki fase stasioner dan
kematian. Fase stasioner dialami oleh S. cerevisiae di jam 120 dan B. natto di jam
24 dimana fase ini akan terjadi laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju
kematiannya, sehingga jumlah bakteri keseluruhan akan tetap. Keseimbangan
jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi karena adanya pengurangan derajat
pembelahan sel (Volk dan Wheeler, 1993). Nilai kerapatan optik B. natto setelah
jam 24 mengalami penurunan dan kenaikan. Hal ini dapat dikarenakan suhu
inokulasi B. natto membutuhkan temperatur yang cukup tinggi yaitu sekitar 50oC.
Didalam suhu ini B. natto dapat memperbanyak sebanyak 109–1010 cfu per gram
(Nout, 2015).
X. campestris dan A. oryzae memasuki fase kematian pada jam 120 dimana
terjadi penurunan jumlah sel karena beberapa nutrien di dalam medium sudah habis
dan energi cadangan di dalam sel habis. Kecepatan kematian bergantung pada
kondisi nutrien, lingkungan, dan jenis mikroba. Selain itu dapat diakibatkan adanya
akumulasi produk toksik sehingga mengganggu pembelahan hasil fermentasi yang
bersifat racun bagi mikroorganisme (Kavanagh, 2005). Di jam ini enzim A. oryzae
yang diproduksi akan berkurang karena kekurangan nutrien dan akumulasi senyawa
beracun (Shafique, 2009).
Fase logaritmik merupakan fase optimum dalam memproduksi ß-glukan
pada khamir dan kapang seperti S. cerevisiae dan A. oryzae (Lipke, 1998). Hal ini
37
terjadi karena pada fase logaritmik jumlah S. cerevisiae dan A. oryzae yang
dihasilkan tinggi sehingga dapat memproduksi ß-glukan dalam jumlah yang tinggi
pula. Semakin banyak jumlah S.cerevisiae dan A. oryzae diartikan semakin banyak
jumlah ß-glukan yang diproduksi (Kusmiati, 2009) yang disebabkan β-glukan pada
S.cerevisiae dan A. oryzae ditemukan di dinding selnya.
Bakteri mempunyai fase optimum yang berbeda untuk memproduksi β-
glukan. Sintesis β-glukan di bakteri terjadi selama fase post-stationer ketika
nitrogen mulai habis atau media fermentasi mengandung sumber karbon berlebih
(Phillips dan Lawford 1983; Lawford dan Rousseau 1992; Lee 2002). Sehingga
produksi β-glukan dari X. campestris dan B. natto lebih optimum pada jam 120.
Meskipun begitu ekstraksi β-glukan dari dinding sel .cerevisiae dan A. Oryzae akan
didapat meskipun sel mati maupun hidup (Zhu et al., 2016). Oleh karena itu
ekstraksi dilakukan pada jam 120 untuk memperoleh bobot β-glukan maksimum.
5.2. Kadar Glukosa pada Media Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae,
Aspergillus oryzae, Xanthomonas campestris dan Bacillus natto
Glukosa merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Glukosa yang dikonsumsi oleh mikroorganisme akan dikonversi menjadi metabolit
seperti asam dan karbohidrat sederhana (Said, 1987). Khamir dan kapang akan
menggunakan glukosa sebagai penyusun dinding selnya yang terdiri dari β-glukan
(Appeldoorn,2002 ; Beauvais et al, 2001). Metabolisme pembentukan beta-glukan
pada bakteri juga sangat bergantung pada kandungan glukosa (Zekovic et al, 2005)
Kadar glukosa dalam medium setiap kultur selama 120 jam dapat dilihat di Gambar
9.
38
Berdasarkan Gambar 9, kadar glukosa S. cerevisiae mengalami
penurunan sampai di jam 72. Glukosa sebagai sumber karbon utama diserap melalui
proses transfer aktif yang kemudian dimetabolisme untuk menghasilkan energi dan
mensintesis bahan pembentuk sel, serta sintesis metabolit (Priest dan Campbell,
1996). Penurunan kadar glukosa dalam medium mengindikasikan adanya
penyerapan glukosa oleh S. cerevisiae untuk metabolisme dan pembentukan
makromolekul seperti β-glukan (Thontowi, 2007). Kadar glukosa di jam 72 juga
mencapai titik terendah karena semakin besar konsumsi gula yang ditandai dengan
penurunan konsentrasi gula yang signifikan, maka pertumbuhan sel juga semakin
tinggi yang ditandai dengan nilai OD yang meningkat secara signifikan (Wardani,
2013). Nutrien lain seperti nitrogen digunakan untuk sintesis protein di dalam sel.
Protein yang terbentuk dapat merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan
β-glukan (Thontowi, 2007)
0
500
1000
1500
2000
2500
0 24 48 72 96 120
Kad
ar G
luko
sa (
pp
m)
Jam
S. cerevisiae X. campestris B. natto A. oryzae
Gambar 9. Kadar glukosa pada medium
39
Kenaikan kadar glukosa setelah jam ini dapat disebabkan S. cerevisiae
memasuki fase kriptik , dimana fase ini terjadi setelah fase stasioner dan terjadi lisis
pada sel yang telah mati, menyebabkan keluarnya isi sel. Isi sel yang lisis dapat
menjadi nutrisi bagi sebagian sel yang masih hidup sehingga memungkinkan
terjadinya pertumbuhan baru (Wibowo, 2016). Nutrisi ini mungkin dapat berupa
gula sehingga kadar glukosa dalam medium naik kembali.
A. oryzae mengalami penurunan glukosa terbesar dibandingkan dengan
mikroorganisme lainnya. Hal ini berarti A. oryzae sangat bergantung pada sumber
karbon untuk pertumbuhannya. Beauvais et al (1993, 2001) mengatakan β-1,3-
glukan dari Aspergillus Fumigatus disintesis oleh kompleks glukan yang terikat
membran plasma, yang menggunakan UDP-glukosa sebagai substrat dan
mengekstraksi rantai β-1,3-glukan linear melalui membran ke dalam ruang
periplasmik. β-glukan merupakan komponen yang ditemukan di dinding sel
Aspergillus sehingga banyaknya sel akan mempengaruhi jumlah β-glukan akhir
(Ishibashi et al, 2010).
Yuliana (2008) mengatakan semakin tinggi laju pertumbuhan bakteri maka
semakin rendah gula reduksi yang tersisa. Sumber karbon yang paling optimum
untuk X. campestris adalah sukrosa, yang diikuti oleh glukosa, piruvat dan
frukotosa. Karbon akan berdisimilasi melaui glikolisis dan membentuk gula-gula
nukleotida dan mendukung pertumbuhan yang baik serta menghasilkan
eksopolisakarida dalam jumlah yang tinggi (Lin & Tseng, 1979). Hal ini dapat
dilihat dari fase logaritmik X. campestris di jam 96 dengan kadar glukosa
mediumnya yang rendah. Setelah jam 96, kadar glukosa X. campestris terjadi
sedikit kenaikan yang dapat disebabkan X. campestris metabolit lain seperti xanthan.
40
Xanthan merupakan senyawa polisakarida yang disintensis oleh X. campestris
melalui jalur Entner-Doudoroff dengan memanfaatkan glukosa. Jalur ini
mengkatabolis glukosa menjadi asam 2-keto-3-dioksi-6-fosfoglukonat, lalu diubah
menjadi fosfoenopiruvat dan asam piruvat menggunakan enzim dari X. campestris
(Hsu & Martin, 2003 ; Lu et al, 2009). Senyawa ini selanjutnya akan dimanfaatkan
untuk membentuk xanthan. Sehingga total gula dalam medium naik kembali.
Kadar glukosa B. natto mengalami penurunan sampai ke jam di jam 24.
Setelah jam ini kadar glukosa tidak terlalu berubah. Jam 24 merupakan jam
terjadinya fase logaritmik, sehingga setelah jam ini B. natto sudah tidak ada
pertumbuhan dan kadar glukosa menjadi tetap. Glukosa disintesis oleh bakteri
untuk dijadikan metabolit sekunder berupa β-glukan (Dhivya,2014). Selain itu Tuan
et al, (2015) mengatakan Bacillus subtilis memanfaatkan glukosa untuk
memproduksi asam asetat dan membangun pembentukan sel dan mengambil bagian
dalam metabolisme zat.
Selain daripada glukosa, Yeast Extract merupakan sumber nitrogen yang
dimanfaatkan oleh X. campestris untuk pertumbuhan serta produksi
eksopolisakarida diantaranya xanthan (Lo et al, 1997). Kondisi nitrogen yang
sedikit akan mendukung pembentukan metabolit-metabolit seperti xanthan (De
Yust & Vermeire, 1994). Membatasi jumlah nitrogen adalah cara paling efisien
untuk mendorong biosintesis β-glukan dan akan hanya diproduksi ketika kadar
nitrogen dalam medium mencapai nilai rendah (Lee, 1997). Lalu Gummadi (2015)
mengatakan dalam kondisi nitrogen yang tinggi β-glukan yang diproduksi hanya
sedikit dan nilai biomassanya yang tinggi. Faktor lain seperti MgSO4 dibutuhkan
untuk mendukung pertumbuhan dan produksi eksopolisakarida (Ashour, 2000).
41
5.3. Derajat Keasaman pada Media Pertumbuhan Saccharomyces
cerevisiae, Aspergillus oryzae, Xanthomonas campestris dan Bacillus natto
Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam produksi β-glukan karena berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan sel
maupun pembentukan β-glukan (Saudagar, 2004). Glukosa yang dikonsumsi oleh
mikroorganisme akan dikonversi menjadi metabolit seperti asam dan karbohidrat
sederhana (Said, 1987). pH mempunyai peranan penting dalam proses perbanyakan
massa sel mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan produksi β-glukan
(Zhu et al, 2016). Beberapa studi mengatakan pH optimal produksi β-glukan untuk
bakteri di pH 5,5-7,0. (Lee et al. ,1999 ; Kalyanasundaram et al. 1980). Kadar pH
hasil fermentasi selama 120 jam oleh setiap mikroorganisme dapat dilihat di
Gambar 10.
Penurunan nilai pH pada S. cerevisiae disebabkan karena dalam keadaan
aerobik S. cerevisiae akan mengubah glukosa menjadi asam organik yang akan
membuat media fermentasi ke kondisi asam (Williamson, 1980). Menurut Reed dan
Peppler (1993), asam-asam yang terbentuk seperti asam asetat, asam piruvat, dan
asam laktat dapat menurunkan pH, sedangkan asam-asam lainnya seperti asam
butirat dan asam lemak lainnya hanya sedikit berpengaruh dalam penurunan pH
cairan.
42
Kecenderungan media fermentasi semakin asam disebabkan amonia
yang digunakan sel khamir sebagai sumber nitrogen diubah menjadi NH4+.
Molekul NH4+ akan menggabungkan diri ke dalam sel sebagai R-NH3. Dalam
proses ini H+ ditinggalkan dalam media, sehingga semakin lama waktu fermentasi
semakin rendah pH media (Judoamidjojo dkk.,1989).
Setelah jam 72, pH medium S. cerevisiae cenderung naik yang dapat
disebabkan oleh keadaan oksigen didalam medium sangat sedikit dan S. cerevisiae
memasuki kondisi anaerobik dimana asam piruvat yang diproduksi sebelumnya
akan diubah menjadi etanol dan karbondioksida (Nelson, 2005). Etanol yang
diproduksi bersifat basa yaitu 7,33 sehingga kadar pH medium menjadi naik
(Anonim, 2000).
Bakteri X. campestris mengalami penurunan pH terbesar dibandingkan
dengan mikroorganisme lainnya. pH terendah didapatkan di jam ke 72 yaitu sebesar
3,61. D.J Robeson (1985) mengatakan X. campestris dapat memproduksi asam-
asam karboksilat dengan memanfaatkan glukosa seperti asam tiglik, asam
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
0 24 48 72 96 120
pH
Jam
S. cerevisiae X. campestris B. natto A. oryzae
Gambar 10. Kadar pH media dari Setiap Mikroorganisme
43
phenilacetik, asam isovalerik, 3-metiltiopropionik dan asam trans-3-metiltiakrilat
yang diproduksi sampai di jam 72. Produksi asam ini ditandai oleh penurunan kadar
glukosa medium yang terus menurun sampai jam 96 dan residu glukosanya tersisa
263 ppm. Namun X. campestris akan tumbuh optimum di pH 6.0-7.5 (Esalhado et
al, 1995), sehingga pH kadar medium perlu dikontrol agar beta-glukan yang
diperoleh dapat optimal.
B. natto mengalami penurunan pH sampai di jam 48. Tuan et al, (2015)
mengatakan Bacillus subtilis memanfaatkan glukosa untuk memproduksi asam
asetat. Selain asam asetat, hasil metabolit dari B. natto berupa zat lendir berwarna
putih yang merupakan hasil pembentukan asam poli- γ-glutamat selama fermentasi
(Hu et al., 2010 ; Ho et al., 2006 ). Kenaikan pH kembali setelah jam 48 terjadi
dapat dikarenakan oleh fermentasi yang berkepanjangan. Hal ini dapat membuat
kenaikan konsentrasi amonia dalam medium (Guo, 2015). Nitrogen organik lebih
mudah dimanfaatkan oleh bakteri untuk meningkatkan metabolisme enzimnya.
Selain itu sumber kalsium seperti NH4Cl merupakan faktor pendorong untuk
pembentukan enzim dan nutrisi lainnya melibatkan reaksi biokimia sel bakteri.
(Kwon et al, 2011 ; Cho et al, 2010). Adanya sedikit kenaikan pH dapat disebabkan
B. subtillis natto dapat memproduksi poliamin yang merupakan senyawa yang
pHnya mendekati netral (Kim, 2012 ; Karsten, 2005).
Lee et al (2016) mengatakan gula yang dikonsumsi oleh A. oryzae akan
menyebabkan produksi asam amino dan asam organik selama fermentasi terutama
asam sitrat dan asam glukonat, mempengaruhi keasaman lingkungan medium dan
membuat pH turun. A. oryzae dapat mentolerir kondisi asam dan bisa hidup dalam
pH rentang 3-7. Namun pH yang optimum untuk pembentukan enzim terdapat di
44
pH 7. Pada pH yang lebih rendah atau lebih tingi akan mempengaruhi stabilitas
enzim ekstraseluler dan menyebabkan denaturasi yang cepat (Sindhu et al, 1986).
Metabolit lain yang dibuat oleh A. oryzae berupa asam koji (Terabayashi et al,
2010).
Kenaikan pH kembali setelah jam 72 dapat disebabkan gula dalam substrat
dipecah menjadi gula-gula sederhana dengan bantuan enzim α-amilase sehingga
terbentuknya gula alkohol (Baek et al, 2010). Gula akohol yang terbentuk membuat
kadar glukosa pada medium dan pH naik kembali. Yeast extract merupakan sumber
nitrogen organik yang cocok digunakan untuk memproduksi enzim α-amilase.
Metabolit primer yang diproduksi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhannya yang
dipengaruhi oleh nutrien yang tersedia (Shah, 2014).
Metabolisme sekunder pada A. oryzae menggunakan senyawa asam untuk
menekan jalur metabolisme. Metabolit ini akan memberikan A. oryzae kemampuan
untuk memodifikasi diri mereka sendiri sesuai dengan lingkungan mereka saat ini
- mereka dapat meningkatkan atau menurunkan efisiensi metabolisme yang optimal.
Hal ini membuat A. oryzae mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan
(Brown, 1996).
5.4. Produksi β-glukan dari Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae,
Xanthomonas campestris, dan Bacillus natto
Tabel 2. Hasil Jumlah Massa Sel dan Massa ß- Glukan dari Setiap Mikroorganisme
Mikroorganisme Berat β glukan (mg) Berat biomassa sel (mg)
Saccharomyces
Cerevisiae 3,945 29,445
Xanthomonas
Campestris 0,785 4,445
Bacillus Natto 1,345 6,6
Aspergillus Oryzae 82,5 590,65
45
Hasil fermentasi berupa massa sel dan massa ß-glukan dari Saccharomyces
cerevisiae, Aspergillus oryzae, Xanthomonas campestris, dan Bacillus natto dapat
dilihat pada tabel 2. A. oryzae memperoleh jumlah β-glukan dan biomassa sel
terbesar yaitu 82,5 mg dan 590,65 mg secara berturut. dan X. campestris
memperoleh jumlah biomassa dan berat β-glukan terkecil yaitu 0,785 mg dan 4,445
mg secara berturut.
Jumlah β-glukan terbesar yang didapat pada A. oryzae dapat disebabkan
karena mempunyai β-glukan ikatan (1-3) dan (1-6), yang diperoleh dinding sel baik
pada konidia maupun miseliumnya (Beauvais, 2014). Sedangkan pada X.
campestris dan B. natto didapatkan hanya dari metabolit sekundernya dan S.
cerevisiae dari dinding selnya (Dhivya, 2014). A. oryzae mengonsumsi glukosa
terbesar dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya. Glukosa dikonversi
menjadi asam organik dan disintesis untuk dinding selnya (Lee, 2016 & Farkas,
1979). Namun pH pada media tumbuhnya tidak terjadi penurunan secara signifikan
sehingga sebagian besar glukosanya dimanfaatkan untuk pembentukan dinding
selnya.
Selain itu ukuran miselium dan konidia A. oryzae lebih besar dibandingkan
dari sel S. cerevisiae. A.oryzae mempunyai partikel sebesar 37.6 Megabases (Mb)
mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan genus Aspergillus
lainnya (Machida, 2008). Xanthomonas mempunyai ukuran partikel lebar 0,4 – 1,0
µmdan panjangnya sebesar 1,2 – 3,0 µm. S. cerevisiae mempunyai ukuran partikel
sebesar 5-6 µm dan besar genomnya sekitar 12 Mb. Sedangkan Bacillus biasanya
berbentuk batang, dengan panjang sekitar 4-10 μm dan diameter 0,25-1,0 μm, (Yu
et al, 2014) dengan ukuran genom 4,1-Mb (Tan, 2016).
46
Berdasarkan gambar 10, A. oryzae mengkonversi glukosa dengan cepat dan
sebagian besar dari glukosa yang dikonversi untuk membentuk dinding sel
miselium dan konidianya. Pada Aspergillus, β-1,3-glukan disintesis oleh kompleks
glukan sintase plasma membran-terikat, yang menggunakan uridin difosfat (UDP)
-glucose sebagai donor-substrat dan ekstrusi rantai β-1,3-glukan melalui membran
ke ruang periplasmik (Beauvais et al., 2001).
Metabolisme pembentukan ß-glukan adalah dengan adanya glukosa yang
diubah menjadi glukosa -6- fosfat dimana kemudian adanya enzim
phosphoglucomutase diperoleh glukosa-1-fosfat dan diurai menjadi UDP- Glukosa
yang merupakan komponen penyusun dinding sel khamir. Salah satu penyusun
dinding sel tersebut adalah ß-glukan (Appeldoorn, 2002). Sedangkan pada bakteri
Uridin difosfat (UDP) glukosa dan Uridin monofosfat (UMP) dapat menjadi
prekursor dalam produksi glukan. Penurunan pH dapat meningkatkan konsentrasi
enzim intra-seluler seperti β-1,3-glukanase, Uridin Trifosfat (UTP) glukosa-1-
fosfat uridilitransferase dan fosfoglukosamutase yang merupakan enzim yang
terlibat dalam metabolisme dan sinstesis β-glukan (Dhivya et al, 2014).
Dalam proses pembentukan dinding sel fungi dipengaruhi oleh unsur
nitrogen yang diperoleh dari media fermentasi dalam bentuk asam amino maupun
peptida yang dapat menjadi pendukung dalam metabolisme pertumbuhan rantai
penyusun dinding sel (Walker, 2016). Bakteri menghasilkan metabolit sekunder
dengan mengkonversi glukosa menjadi β-glukan dan pada S. cerevisiae dan A.
oryzae ditemukan didinding selnya (Zeković et al, 2005). Dengan demikian,
semakin tinggi kandungan glukosa akan semakin tinggi nutrisi yang tersedia untuk
pertumbuhan sel dan produk akhir β-glukan.
47
Biomassa sel yang didapat kemudian dilakukan autolisis sel atau
pemecahan sel guna memperoleh ß-glukan (Pengkumsri, 2016). Bakteri
menghasilkan metabolit selama fermentasi, Meskipun jumlah biomassa sel tinggi
namun β-glukan yang didapat dari biomassa sel belum tentu sebanding dengan
biomassanya karena β-glukan yang didapat dari bakteri merupakan hasil metabolit
sekunder sedangkan kapang dan khamir hanya sebagian dari dinding selnya
(Dhivya et al, 2014 ; Lipke, 1998 ; Beauvais et al, 2014). Sehingga biomassa sel
hanya terdiri dari sebagian kecil β-glukan yang selanjutnya perlu dilakukan
ekstraksi lanjutan untuk mengetahui yield atau persentase β-glukan yang didapat
dari biomassa selnya (Young, 2004).
Hasil massa ß-glukan dan massa sel yang diperoleh dapat digunakan
untuk mencari persentase/yield ß-glukan yang dihasilkan berdasarkan massa sel
yang diperoleh. Persentase ß-glukan yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11.
Persentase tertinggi ada pada persentase ß-glukan dihasilkan oleh B.
natto yaitu 20,37%. Hal ini dapat dikarenakan metabolit sekunder yang dihasilkan
13.40
17.66
20.38
13.97
0
5
10
15
20
25
Saccharomyces
cerevisiae
Xanthomonas
campestris
Bacillus natto Aspergillus oryzae
Yie
ld (
%)
Mikroorganisme
Gambar 11. Yield β-glucan Dari Setiap Mikroorganisme
48
oleh B. natto berupa β-1,3 glukan yang tidak larut air (Gummadi, 2015). Sedangkan
X. campestris menghasilkan metabolit sekunder terbesar berupa xanthan gum yang
merupakan polisakarida dibandingkan dengan β-1,2 glukan (Robeson, 1985).
B. natto mempunyai nilai OD yang lebih besar dibandingakan dengan X.
campestris, sehingga jumlah beta-glukan yang didapat sedikit lebih besar
dibandingkan dengan X. campestris. Selain dari jumlah populasi, B. natto
mempunyai nilai yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan X. campestris dapat
disebabkan karena X. campestris baru memasuki fase stasioner di jam 120, dimana
di jam ini dilakukan ekstraksi dan X. campestris baru menghasilkan metabolit-
metabolit sekunder di fase ini. Sedangkan pada B. natto memasuki fase logaritimik
di jam 24 dan setelah jam ini nutrien di kultur B. natto sudah mengalami penurunan
dan dimanfaatkan oleh B. natto untuk memproduksi metabolit sekunder berupa β-
glukan. Sehingga B. natto lebih mempunyai waktu untuk memproduksi β-glukan
dibandingkan dengan X. campestris.
Bakteri B. natto dan X. campestris mempunyai nilai kerapatan optik yang
jauh lebih kecil dibandingkan dengan khamir S. cerevisiae dan kapang A. oryzae
yang berarti jumlah populasinya yang tidak banyak, namun bakteri B. natto dan X.
campestris mempunyai nilai yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan khamir S.
cerevisiae maupun kapang A. oryzae. Maka bakteri ini tidak bergantung penuh pada
jumlah populasinya, melainkan pada metabolit sekunder yang dihasilkan. Sehingga
optimalisasi untuk produksi metabolit sekundernya lebih penting dibandingkan dari
jumlah populasinya untuk membuat β-glukan.
A. oryzae mempunyai jumlah populasi tertinggi dibandingkan dengan
mikroorganisme lainnya, yang diikuti oleh S. cerevisiae. Namun kedua
49
mikroorganisme ini mempunyai nilai yield yang rendah. Berdasarkan gambar 11,
yield yang dihasilkan oleh A. oryzae didapat sekitar 13.96% dan S. cerevisiae
didapat 13.39%. Lalu berdasarkan gambar 8 nilai kerapatan optik di jam 120 A.
oryzae didapatkan hanya 0.1246 dan S. cerevisiae mencapai nilai kerapatan optik
sebesar 1.0841. Hal ini dapat terjadi karena ikatan β-glukan yang didapat pada
dinding sel S. cerevisiae jauh lebih besar dibandingkan di dinding sel A. oryzae.
Kapteyn (1996) mengatakan setengah lebih dinding sel S. cerevisiae terdiri dari β-
1,3-glukan (50-55%) dan β-1,6-glukan (5-10%). Sedangkan A. oryzae hanya
mempunyai β-1,3-glukan sekitar 20-35% dan β-1,6-glukan sekitar 4% (Beavuais,
2014). Oleh karena itu khamir dan kapang sangat bergantung terhadap jumlah
populasinya, karena β-glukannya ditemukan di dinding selnya.
Yield β-glukan yang dihasilkan oleh bakteri secara umum seperti
Agrobacterium didapatkan sekitar 6-7% (Kalyanasundaram, et al, 2012). Khamir
yang umum digunakan yaitu S. cerevisiae dapat memperoleh yield beta-glukan
sekitar 6-12% (Suphantharika et al, 2003 ; Khalel, 2002; Zechner-Krpanet et al
2010). Lalu kapang Aspergillus niger dapat memperoleh yield sebesar 9-11%
(Paulraj, 2012).
Namun β-glukan yang didapat di penelitian ini masih tidak murni
sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pemurniannya. β-glukan yang
tidak murni dapat mempengaruhi sifat fisika-kimianya dan mempersulit
kemampuannya untuk larut dalam air yang nantinya dapat tidak cocok untuk
industri pangan (Jamas et al, 1991).
50
5.5. Mikrostruktur β-Glukan dengan Scanning Electron Microscope
Hasil pengujian mikrostrukstur dengan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM) yang dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan penampilan
panorama sampel menunjukkan β-glukan yang diekstrak memiliki distribusi ukuran
partikel yang tidak teratur dan lebih kecil.
Adanya perbedaan struktur antara sampel dapat terjadi karena dari setiap
mikroorganisme mempunyai ikatan β-glukan yang berbeda. (Zhu, du & Xu, 2016).
Berdasarkan gambar 12, Pada perbesaran 30x ukuran partikel β-glukan rata-rata
dari S. cerevisiae didapatkan sebesar 500 μm, 1300 μm dari A. oryzae , 550 μm dari
X. campestris, dan 400 μm dari B. natto, sedangkan untuk pengukuran globular ß-
glukan diperoleh perbesaran yang berbeda dari tiap medium fermentasi. Globular
ß-glukan S. cerevisiae memiliki diameter sebesar 500 μm yang diukur pada
perbesaran 250x. Globular ß-glukan A. oryzae diperoleh diameter sebesar 1400 μm
dengan menggunakan perbesaran 70x. ß-glukan X. campestris diperoleh globular
dengan diameter 305 μm pada perbesaran 400x. dan ß-glukan B. natto diperoleh
globular dengan diameter 600 μm pada perbesaran 200x. A. oryzae mempunyai
ukuran sel yang lebih besar disebabkan karena bentuk dari selnya yang terdiri dari
miselium dan spora, Miselium merupakan kumpulan beberapa filamen yang
dinamakan hifa. Setiap hifa lebarnya 5-10 μm, dibandingkan dengan sel bakteri
yang biasanya (Coyne dan Mark, 1999). Sedangkan Dwidjoseputro (2005)
mengatakan ukuran sel khamir mempunyai lebarnya berkisar antara 1-5 μm dan
panjangnya berkisar dari 5-30 μm atau lebih.
51
D
Gambar 12. Hasil Scanning Electron Microscope ß-glukan S. cerevisiae
(A&B), A. oryzae (C&D), X. campestris (E&F), B. Natto (G&H) dan
komersil dari barley (I&J) yang diperoleh Limberger-Bayer (2014)
A B
C
F E
H G
J I
52
Perbedaan ukuran partikel ini akan berpengaruh terhadap aktivitas
biologisnya. Wang (2017) dan Methacanon (2011) mengatakan mikrostruktur
terkecil diartikan memiliki kelarutan tertinggi sehingga dihasilkan aktivitas biologis
yang tinggi. ß-glukan dari X. campestris memiliki ukuran mikrostruktur terkecil
yang iikuti oleh S. cerevisiae lalu B. natto dan aktifitas biologis terendah terdapat
pada A. oryzae.
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa diameter ß-glukan dari tiap medium
fermentasi memiliki ukuran yang berbeda, dimana globular ß-glukan komersil
memiliki diameter 5 μm hingga 100 μm perbedaan ini dapat terjadi dikarenakan
perbedaan substrat yang digunakan untuk memproduksi ß-glukan serta perbedaan
kemurnian (Hunter et al, 2002; Piotrowska, 2015).
Keempat mikroorganisme meskipun mempunyai ukuran partikel dan bentuk
yang berbeda, mereka mempunyai kesamaan yaitu penampilannya yang seperti
bunga karang, berpori dan teksturnya yang kasar serta struktur dinding selnya tidak
terlihat. β-glukan komersil (I&J) mempunyai tekstur yang serupa, cluster yang
lebih homogen serta bentuknya lebih bulat dan spongy (Limberger-bayer, 2014).
Singh (2018), Vasanthan and Temelli (2008) dan Liu et al (2015) juga
menunjukkan mikrostruktur β-glukan yang diekstraksi dengan asam basa
mempunyai karakteristik yang serupa dengan apa yang didapat. Partikel yang
berpori dapat disebabkan oleh pengeringan seperti spray atau freeze drying. Salah
satu manfaat partikel yang berpori adalah peningkatan atau memperkaya β-glukan
dengan obat seperti nano-drug precipitate atau nanocrystals (Upadhyay et al, 2017).
Pada pengamatan tiap globular dihasilkan karakteristik yang serupa antar
masing – masing ß-glukan, namun jika dilihat secara meluas bentuk dari partikel
53
masing – masing ß-glukan memiliki ukuran yang berbeda – beda. Perbedaan ini
juga ditunjukkan dari penggunaan perbesaran yang berbeda untuk tiap ß-glukan dari
masing – masing media fermentasi. Perbedaan ukuran mikrostruktur dari tiap ß-
glukan ini dikarenakan adanya perbedaan ikatan antar mikroorgansime (Uscanga,
2003).
Jumlah unsur karbon dan nitrogen yang berbeda pada setiap
mikroorganisme akan mempengaruhi pembentukan ukuran komponen dinding sel,
terutama terbentuknya ß-glukan (Parrou, 1999). Semakin tinggi ketersediaan unsur
karbon dan nitrogen pada media fermentasi yang digunakan maka semakin besar
ukuran partikel dari ß-glukan yang dihasilkan (Lipke, 1998). Konversi glukosa dan
nitrogen akan berbeda sehingga ukuran partikel dapat bervariasi karena setiap
mikroorganisme mempunyai proses metabolisme yang berbeda.
54
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
S. cerevisiae, X. campestris, B. natto dan A. oryzae dapat tumbuh
dan memproduksi β-glukan di media cair selama 120 jam dengan total
populasi di nilai kerapatan optik (0,1246-1,0841). Produksi β-glukan
tertinggi didapat dari A. oryzae yaitu sebesar 82,5 miligram dengan total
populasi A. oryzae di nilai kerapatan optik 0,1246, kadar glukosa akhir 769
ppm dan kadar pH medium akhir 6,67. Lalu produsen paling efektif dalam
menghasilkan β-glukan adalah B. natto yang menghasilkan yield sebesar
20,38 %.
6.2. Saran
ß-glukan yang dihasilkan dapat dikaji lebih lanjut sebagai bahan
tambahan makanan yang memiliki sifat fungsional. Pengujian lebih lanjut
mengenai kemurnian, struktur dan karakteristik ß-glukan secara lengkap
juga perlu dilakukan.