Download docx - TUBERKULOSIS PARU ANAK

Transcript
Page 1: TUBERKULOSIS PARU ANAK

REFERAT

TUBERKULOSIS PARU ANAK

Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan

TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan

TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf

pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ

tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB

milier atau TB ekstrapulmoner.1

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak

<15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan

dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,

rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei

Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan

paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya

terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta

didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika

terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen

toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.4

Epidemiologi

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga

penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi

di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah

yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju yang merupakan

salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian.3

Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993) didapatkan

171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6

% dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%

dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.2

Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah

583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah

Page 2: TUBERKULOSIS PARU ANAK

seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun

(1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan

(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.3

Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi

dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara

lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah

endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti

asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3

Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-

faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor

risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari

negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais,

diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2

Etiologi

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan

patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum

menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M.

Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari

penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus,

bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis

varian humanus.5

Gambar 1. Bakteri Mikobakterium tuberkulosa

M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,

nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran

Page 3: TUBERKULOSIS PARU ANAK

panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal

pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara

optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel

yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan

komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan

arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan

kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap

asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada

dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin,

auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah

karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi

kembali.1

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma

makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat

aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung

oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2

pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4

M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan

glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu

generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid

membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan

tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3

minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas

terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5

Patogenesis

Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai

alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag

alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian

kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,

Page 4: TUBERKULOSIS PARU ANAK

dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat

tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan

kompleks primer.3

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama

2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi

TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh

terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih

negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat

sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil

kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,

kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler

spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru mengalami resolusi

secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan

dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,

tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3

Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan

terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi

Page 5: TUBERKULOSIS PARU ANAK

di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan

ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau

membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.6

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke

dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah

yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit

demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai

berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga

bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman

di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya.

Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami

reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2

Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)

biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru

pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.

Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam

fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi

sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6

Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB

pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem

skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi

dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun

setelah infeksi primer.2

Page 6: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Gambar 2. Patofisiologi TB Paru

Gambar 3. Kalender perjalanan penyakit TB primer3

Page 7: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif

dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,

dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini

berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada

tahap ini.2

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6

bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura

terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada

tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal

biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar

manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan

90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3

Manifestasi klinis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya. Faktor kuman

bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada

usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.2

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan

gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok

dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.3

Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium

tuberculosis dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi

jaringan. Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan lambung pagi hari

yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi semua hal diatas memang sulit

untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar diagnosis berdasarkan gejala klinis,

gambaran radiografi thorax, laboratorium dan tuberkulin test.11

Manifestasi Sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang

dapat dialami anak yaitu:3

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai

keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB

Page 8: TUBERKULOSIS PARU ANAK

berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak

bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Manifestasi Spesifik Paru

TB Asimptomatis

Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan

dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan

manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada,

walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan

pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB menular yang tes

tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto

thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.4

TB Paru Primer

Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis

regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar

berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan

dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4

Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas

apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe

membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut

kepada atelektasis. Gambaran radiologis penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh

aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.3

Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perubahan diameter saluran

nafas berbanding nodus limfe parenkim. Gejala yang paling sering adalah batuk non

Page 9: TUBERKULOSIS PARU ANAK

produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda

adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.6

TB Paru Progresif

TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks

primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan

stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent

membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB,

yang menyebabkan seorang anak mentransmisikan M. tuberkulosis kepada individu lainnya.

Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran

klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai

berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.4

TB Paru Kronis/Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang

ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai

strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang

lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan

gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan

kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,

penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.3

Efusi pleura

Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir,

unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan

hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung

cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi

dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung

beberapa minggu.7,8

Page 10: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Pemeriksaan penunjang

Uji tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk

menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan

dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin

adalah lebih dari 90%.

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik. Jika

disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi

reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan

menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di ½ bagian volar lengan bawah.

Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap

indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi hasilnya dilaporkan negatif.2,5

Gambar 4. Hasil Uji Tuberkulin

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh

infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M.

atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan

uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin

Page 11: TUBERKULOSIS PARU ANAK

disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena

infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan negatif. Diameter 5-9 cm

dinyatakan positif meragukan. Keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto

thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2,5

Uji tuberkulin negatif pada kemungkinan keadaan berikut :

Tidak ada infeksi TB

Dalam masa inkubasi infeksi TB

Anergi

Anergi adalah keadaan penekanan system imun oleh berbagai keadaan sehingga tubuh

tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.

Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan anergi adalah gizi buruk, keganasan, penggunaan

steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit campak, pertusis, varisela, influenza ( bukan

batuk-pilek-panas biasa, yang biasanya disebabkan oleh rhinovirus ), TB yang berat, serta

pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup.

Namun demikian, pada keadaan-keadaan di atas, uji tuberculin dapat positif sehingga

pada pasien-pasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji tuberculin jika dicurigai TB. Uji

tuberculin positif palsu dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan

interpretasi salah, demikian juga negative palsu, disamping penyimpanan tuberculin yang

tidak baik sehingga potensinya menurun.

Tabel. Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa

Indurasi ≥ 5 mm

Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB

Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB

Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ

Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( ≥ 15 mg/24

jam prednison atau sejenisnya selama ≥ 1 bulan )

Page 12: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Indurasi ≥ 10 mm

Bayi dan anak-anak usia ≤ 4 tahun

Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit

ginjal, gangguan hematologi, DM, malnutrisi, pengguna obat suntik )

Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB

Lahir / baru pindah ( ≤ 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB tinggi

Indurasi ≥15 mm

Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko

(Dikutip: Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia : saunders, 2004; 197 : 958-72)

Positif palsu

o Penyuntikan salah

o Interpretasi tidak betul

o Reaksi silang dengan Mycobacterium atipik

Negatif palsu

o Masa inkubasi

o Penyimpanan tuberculin tidak baik dan penyuntikan salah

o Interpretasi tidak betul

o Menderita tuberculosis luas atau berat

o Disertai infeksi virus ( campak, rubella, cacar air, influenza atau HIV )

o Imunokompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid

o Kekurangan komplemen

o Demam

o Leukositosis

o Malnutrisi

o Sarkoidosis

o Psoriasis

o Jejunoileal by pass

Page 13: TUBERKULOSIS PARU ANAK

o Terkena sinar ultraviolet ( matahari, solaria )

o Defisiensi zinc

o Anemia perniosa

o Uremia

(Dikutip dari rahajoe, N. Nastiti. Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Sari

pediatric Vol3 No1, juni 2001 : 24 – 35)

Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,

diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi

dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian

di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara

infeksi TB dan sakit TB.5

Radiologi

Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi primer

terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Komplek primer lebih

banyak ditemukan pada foto torax paru bayi dan anak kecil daripada dewasa. Foto rontgen

paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral. Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak

khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental/lobar

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Atelektasis

Kavitas

Efusi pleura

Tuberkuloma

Serologi

Page 14: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,

Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada

satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5

Mikrobiologi

Dengan ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis dari kultur merupakan

diagnostik TBC yang positif. Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari

pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan

kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung

didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan

positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan

untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5

Patologi Anatomik

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,

terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut

mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.

Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans. Diagnostik histopatologik dapat

ditegakkan dengan menemukan kaseosa, sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langerhans.2

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau

diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak

dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia

3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA

positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Petunjuk WHO untuk diagnosis TB pada anak

1. Dicurigai TB ( suspected TB )

- Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan BTA positif.

- Anak dengan :

i. Keadaan klinis tak membaik setelah menderita campak / batuk rejan

Page 15: TUBERKULOSIS PARU ANAK

ii. Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi tidak

membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan

iii. Pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit

2. Mungkin TB ( probable TB ) anak yang dicurigai TB

- Uji tuberculin positif ( 10 mm atau lebih )

- Foto roentgen paru sugestif TB

- Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TB

- Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT

3. Pasti TB ( confirmed TB )

Ditemukan basil TB pada pemeriksaan langsung atau biakan.

Klasifikasi TBC (menurut The American Thoracic Society, 1981)

Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC

Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBC

Klasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala

TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif).

Klasifikasi III Sedang menderita TBC

Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif

Klasifikasi V Dicurigai TBC

Sistem nilai diagnosis TB anak (Stegen dkk)

Penemuan Nilai

BTA positif/biakan M.tb positif + 3

Granuloma TB (PA) + 3

Page 16: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Uji tuberculin 10 mm atau lebih + 3

Gambaran Rö sugestif TB + 2

Pemeriksaan fisis sugestif TB + 2

Uji tuberculin 5 – 9 mm + 2

Konversi uji tuberculin dari [-] menjadi [+] + 2

Gambaran Rö tidak spesifik + 1

Pemeriksaan fisis sesuai TB + 1

Riwayat kontak dengan TB + 1

Granuloma non spesifik + 1

Umur kurang dari 2 tahun + 1

BCG dalam 2 athun terakhir - 1

Jumlah nilai : 1 – 2 sangat tidak mungkin TB

3 – mungkin TB, perlu pemeriksaan lebih lanjut

5 – 6 sangat mungkin TB

≥ 7 praktis TB

(Dikutip dari rahajoe, N. Nastiti. Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Sari pediatric Vol3 No1, juni 2001 : 24 – 35 )

Skrining tuberkulosis 11

Page 17: TUBERKULOSIS PARU ANAK

SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan diagnosis TB

anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis.9,10,11

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB tidak jelas

Laporan keluargaBTA (-)

Tidak tahu

Kavitas (+)BTA tidak jelas BTA (+)

Uji Tuberkulin negatifPositif (≥ 10mm atau ≥5mm pada keadaan

imunosupresi)

Berat badan / keadaan gizi

BB/TB <90%BB/U <80%

Klinis gizi burukBB/TB <70%BB/U <60%

Demam tanpa sebab jelas ≥2 minggu

Batuk ≥3 mingguPembesaran KGB colli,

axilla, inguinal

≥1 cmJumlah >1Tidak nyeri

Pembengkakan tulang/sendi

panggul, lutut, falang

Ada pembengkakan

Foto rontgen N / Infiltrat Kalsifikasi+infiltr

Page 18: TUBERKULOSIS PARU ANAK

tidak jelas

Pembesaran KGBKonsolidasi

segmental/lobarAtelektasis

atPembesaran

KGB+infiltrat

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat datang.

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;

atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena

diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka

sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari) harus

dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau

terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran

serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.

Penatalaksanaan

Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.

Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin

terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,

ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif

saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif

Page 19: TUBERKULOSIS PARU ANAK

(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif

pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh

termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi

simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15

mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid

yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100

mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam

1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi

di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu

(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat

yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.

Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi

yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan

isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2

bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu

pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala

dan tanda klinis.2

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.

Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin

diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,

dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.3

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang

menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,

Page 20: TUBERKULOSIS PARU ANAK

menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil

dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.

Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi

oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,

siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin

umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai

digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan

menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan

dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan

tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada

saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan

dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid

diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana

asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid

aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek

samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi

klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,

anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan

diberikan bersamaan makanan.2,3

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat

ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan

dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat

mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20

mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam

waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol

Page 21: TUBERKULOSIS PARU ANAK

ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu

tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, juga pada keadaan meningitis.5

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak

dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau

sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam

penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,

etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol

dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat

lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada

keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat

ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting

penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar

puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat

melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan

cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika

terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.

Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu

keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan

pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf

pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin

**

10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati,

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Page 22: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan

berkurang, buta warna merah-hijau,

penyempitan lapang pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisi

n

15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

system gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan

sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal 3 macam obat pada fase intensif

dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian

panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian

obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya kekambuhan.

Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau

tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat

yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku

untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan

pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan

fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid.2,3

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,

meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat

macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu

meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis

TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida

dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.3,5

Page 23: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Fixed Dose Combination (FDC)

FDC adalah sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan. Untuk

menjaga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan

jumlah obat yang banyak.

Dosis kombinasi FDC TBC pada anak.

Berat badan (kg) 2 bulan

RHZ (75/50/150 mg)

4 bulan

RH (5/50 mg)

5 – 9 1 tablet 1 tablet

10 – 19 2 tablet 2 tablet

20 – 32 4 tablet 4 tablet

Tabel Dosis kombinasi FDC TBC

Catatan:

Bila BB ≥33 kg dosis sesuai tabel yang sebelumnya.

Bila BB < 5 kg sebaikna dirujuk ke RS.

Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).

Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2

bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak

jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah

evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada

pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya

batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka

pengobatan dilanjutkan.3,5

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,

kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura

Page 24: TUBERKULOSIS PARU ANAK

atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1

bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto

rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana

evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi

penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa

tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau

resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka

pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang

dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum

obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah

pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto

rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.5,6

Evaluasi efek samping pengobatan

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering

terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,

hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu

diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi

10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam

kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic

Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali

tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin

total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai yang disertai

dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas

normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim

transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali

apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan cara

memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus

dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul

kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-

dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5

Page 25: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu.

Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang

kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus.

Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2

IMulti Drug Resistance (MDR) TB

Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua

atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya

MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen

TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada

beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,

penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak

dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak

rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa

MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap

menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di

Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB

mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan

strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB 1,6%.2

Nonmedikamentosa

Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai

dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat

ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah

satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung

terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours

(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program

penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan

TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas 5 komponen yaitu: 2,12

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Page 26: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh

pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB.

Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang

dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber

infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan

sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,

yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau

yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).

Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan

penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5

Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB

memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya

yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi

kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,

pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi

ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang

disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5

Pencegahan

Imunisasi BCG

Page 27: TUBERKULOSIS PARU ANAK

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis

untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah

insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus

tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih

dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang

mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,

jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi

BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada

anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,

TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif

telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi

umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif

aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah

ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi

imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,

gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat

badan optimal.5

Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis

sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,

sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.

Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan

dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,

terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada

akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH

profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika

didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan

uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak

semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam

Page 28: TUBERKULOSIS PARU ANAK

kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan

imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,

menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik

dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam kurun

waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12

bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan

untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5

Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke

ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang

menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.

Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada

pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.13,14

Selain itu, komplikasi lainnya adalah batuk darah, pneumotoraks, luluh paru, gagal

napas, gagal jantung dan efusi pleura

Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini

memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan

pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi

ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada

pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon

buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple

terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter

meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam

menjalanin pengobatan. 14

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampisin, angka

kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama

isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi

OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14

DAFTAR PUSTAKA

Page 29: TUBERKULOSIS PARU ANAK

1. Depkes RI. Rencana strategi nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2002-2006.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI: 2001.

2. Kartasasmita CB. Childhood tuberculosis in the community. Disampaikan pada

International paediatric respiratory and allergy congress. Prague, Czech Republic: 2001

3. WHO. TB/HIV a clinical manual. 2nd ed. Geneva: World Healt Organization: 2004.

4. Munoz FM, Starke JR. tuberculosis (mycobacterium tuberculosis). Dalam Berhrman RE,

Kligman RM, Jenson HB, editors Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.

Philadelphia. Saunders: 2004. h 958-72.

5. Imaz MS, Comini MA, Zerbini E. Sequeiera MD, Spoletti MJ, Etchart AA, Pagano HJ,

Bonifasich E, Diaz N, Claus JD, Singh M. Evalation of the diagnostic value of measuring

IgG, IgM IgA antibodies to the recombinant 1-kilodalton antigen of Mycobactreium

tuberculosis in childhood tuberculosis Int J Tuberc Lung Dis 2002: 5(11):1036-43.

6. Madkour MM. Tuberculosis. Berlin: Springer: 2004.

7. Prasetyo RV. Peran polymerase cham relaction (PCR) sebagai alat diagnotik pada T3

anak. Tinjauan pustakaan. Surabaya: Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas

Airlangga – RS D. Soetomo: 2004. h. 2-3.

8. TB update III, 22-23 Mei 2004. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.

Soetomo /FK Universitas airlangga: 2004: 81-92.

9. WHO. Guidelines for the management of tuberculosis in children by national TB

programmes (in low resource settings). Geneva: World Health or ganization: 2004.

10. Depkes RI. Pedoman rasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta:

Departmen Kesehatan Republik Indonesia: 2002.

11. Nasti R, Darmawan B S, dkk. Tuberkulosis. Bab 4. Buku ajar respirologi anak, edisi

pertama. IDAI 2008. 169-176.