Download pdf - Trauma Kapitis k

Transcript

BAB 2LAPORAN KASUS2.1. Anamnesis

2.1.1. Identitas Pribadi

Nama: WariantoJenis Kelamin: laki-lakiUsia: 19 th 9 blnSuku Bangsa: Indonesia Agama: IslamAlamat: Huta I Pardamoan Nagori Kec Bandar MusilStatus: Belum Kawin

Pekerjaan: WiraswastaTanggal Masuk: 14 Juni 2012Tanggal Keluar:

2.1.2. Anamnesa

Keluhan Utama:Penurunan kesadaranTelaah: Hal ini dialami Os setelah Os mengalami kecelakaan lalu lintas 2 minggu yang lalu. Posisi jatuh tidak jelas. Riwayat kejang dan muntah tidak di jumpai. Sebelumnya Os telah dirawat di RS Siantar selama 10hari

Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, penyakit jantung tidak dijumpaiRiwayat Penyakit Terdahulu: -Riwayat penggunaan obat: Tidak jelas2.1.3. Anamnesa Traktus

Traktus Sirkulatorius: TD 110/80mmhgTraktus Respiratorius: dalam batas normalTraktus Digestivus: dalam batas normal

Traktus Urogenitalis: dalam batas normalPenyakit Terdahulu dan Kecelakaan : kecelakaan lalu lintas bulan lalu

Intoksikasi dan Obat-obatan: tidak jelas2.1.4. Anamnesa Keluarga

Faktor Herediter: Tidak ada riwayat keluarga

Faktor Familier: Tidak ada riwayat keluarga

Lain-lain: (-)2.1.5. Anamnesa Sosial

Kelahiran dan Pertumbuhan: Lahir spontan.

pertumbuhan dalam batas normal

Imunisasi : tidak jelas

Pendidikan : SMAPekerjaan: wiraswastaPerkawinan dan Anak:belum menikah2.2. Pemeriksaan Jasmani

2.2.1. Pemeriksaan Umum

Tekanan Darah: 110/80 mmHg

Nadi: 80x/menit

Frekuensi Nafas: 24 x/menit

Temperatur: 36,5 0C

Kulit dan Selaput Lendir: dalam batas normal

Kelenjar dan Getah Bening: dalam batas normal

Persendian: dalam batas normal2.2.2. Kepala dan LeherBentuk dan Posisi: bulat dan medial

Pergerakan: tidak dapat dinilaiKelainan Panca Indera: tidak dapat dinilaiRongga Mulut dan Gigi: dalam batas normalKelenjar Parotis: dalam batas normal

Desah: (-)

Dan Lain-lain: (-)

2.2.3. Rongga Dada dan Abdomen

Rongga Dada Rongga Abdomen

Inspeksi: simetris fusiformissimetris

Perkusi : sonor timpani

Palpasi: sulit di nilaisoepel

Auskultasi : vesikulerperistaltik(+)N

2.2.4. Genitalia

Toucher :Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3. Status Neurologis2.3.1. Sensorium: Somnolen

2.3.2. Kranium

Bentuk: bulat

Fontanella : tertutup

Palpasi : pulsasi a.carotis dan a.temporalis (+)Perkusi : Cracked pot sign (-)

Auskultasi : desah (-)

Transilumnasi : tidak dilakukan pemeriksaan

2.3.3. Perangsangan Meningeal

Kaku Kuduk: (-)

Tanda Kernig: (-)

Tanda Brudzinski I: (-)

Tanda Brudzinski II: (-)

2.3.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Muntah : (-)

Sakit Kepala: (-)

Kejang: (-)

2.3.5. Saraf Otak/Nervus Kranialis

Nervus IMeatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra

Normosmia: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Anosmia: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Parosmia: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Hiposmia: Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Nervus IIOculi Dextra (OD)Oculi Sinistra (OS)Visus : Tidak dapat dinilaiSulit dinilaiLapangan Pandang Normal: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Menyempit: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Hemianopsia: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Scotoma: Tidak dapat dinilaiTidak dapat dinilai

Refleks Ancaman: (-)(-)Fundus OkuliWarna: tidak dilakukan pemeriksaantidak dilakukan pemeriksaan

Batas : tidak dilakukan pemeriksaantidak dilakukan pemeriksaan

Ekskavasio: tidak dilakukan pemeriksaantidak dilakukan pemeriksaan

Arteri: tidak dilakukan pemeriksaantidak dilakukan pemeriksaan

Vena: tidak dilakukan pemeriksaantidak dilakukan pemeriksaan

Nervus III, IV, VIOculi Dextra (OD)Oculi Sinistra (OS)

Gerakan Bola Mata:tidak dapa dinilaitidak dapat dinilai Nistagmus: (-)(-)

Pupil

Lebar: 3 mm3 mm

Bentuk: bulatbulat

Refleks Cahaya Langsung: (+)

(+)

Refleks Cahaya tidak Langsung: (+)

(+)

Rima Palpebra: 7 mm

7 mmDeviasi Konjugate: tidak dapat dinilai

tidak dapat dinilaiFenomena Dolls Eye: (+)

(+)

Strabismus: (-)

(-)

Nervus VKananKiriMotorik

Membuka dan Menutup Mulut : tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai

Palpasi Otot Masseter & Temporali: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai

Kekuatan Gigitan: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiSensorik

Kulit : tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiSelaput Lendir: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai Refleks Kornea

Langsung: (+)(+)

Tidak Langsung: (+)(+)

Refleks Masseter: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiRefleks Bersin : tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai

Nervus VIIKananKiriMotorik

Mimik: sudut mulut simetrissudut mulut simetrisKerut Kening: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai Menutup Mata: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiMeniup Sekuatnya: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai Memperlihatkan Gigi: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilai Tertawa: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiSensorik

Pengecapan 2/3 Depan Lidah: tidak dapat dinilaiProduksi Kelenjar Ludah: tidak bisa dinilai

Hiperakusis: tidak dapat dinilaiRefleks Stapedial: tidak dapat dinilaiNervus VIIIKanan Kiri

Auditorius

Pendengaran: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiTest Rinne: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiTest Weber: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiTest Schwabach: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiVestibularisNistagmus: (-)(-)

Reaksi Kalori: tidak dilakukan pemeriksaantidak dilakukan pemeriksaanVertigo : tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiTinnitus: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiNervus IX, X

Pallatum Mole: simetrisUvula: medial

Disfagia: tidak dapat dinilai Disartria: tidak dapat dinilai Disfonia: tidak dapat dinilai Refleks Muntah: (+)Pengecapan 1/3 Belakang Lidah: tidak dapat dinilaiNervus XIKananKiriMengangkat Bahu: tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai Fungsi Otot Sternocleidomastoideus: tidak dapat dinilaitidak dapat dinilaiNervus XII

Lidah

Tremor: (-)

Atrofi : (-)

Fasikulasi: (-)

Ujung Lidah Sewaktu Istirahat: medial

Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan: tidak dapat dinilai2.3.6. Sistem Motorik

Trofi: eutrofiTonus Otot: normotonusKekuatan Otot: sulit dinilai, kesan lateralisasi kek kiri

Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Sikap duduk (-)/berbaring (+)/berdiri (-)

2.3.7. Gerakan Spontan Abnormal

Tremor : (-)

Khorea: (-)

Ballismus: (-)

Mioklonus: (-)

Atetotis: (-)

Distonia: (-)

Spasme: (-)

Tic: (-)

Dan Lain-lain: (-)

2.3.8. Tes Sensibilitas

Eksteroseptif: tidak bisa dinilaiProprioseptif: tidak dapat dinilaiFungsi Kortikal Untuk Sensibilitas

Stereognosis: tidak dilakukan pemeriksaan

Pengenalan Dua Titik: tidak dilakukan pemeriksaan

Grafestesia: tidak dilakukan pemeriksaan

2.3.9. RefleksKananKiri2.3.9.1. Refleks Fisiologis

Biceps: (+)(+)

Triceps: (+)(+)

Radioperiost: (+)(+)

APR: (+)(+)KPR: (+)(+)

Strumple: (+)(+)2.3.9.2. Refleks Patologis

Babinski: (-)(-)

Oppenheim: (-)(-)

Chaddock: (-)(-)

Gordon: (-)(-)

Schaefer: (-)(-)

Hoffman-Tromner: (-)(-)

Klonus Lutut: (-)(-)

Klonus Kaki: (-)(-)

Refleks Primitif: (-)

(-)

2.3.10. Koordinasi

Lenggang : tidak dapat dinilai

Bicara : tidak dapat dinilai Menulis: tidak dapat dinilaiPercobaan Apraksia: tidak dapat dinilai Mimik: wajah simetrisTest Telunjuk-Telunjuk: tidak dapat dinilaiTest Telunjuk-Hidung : tidak dapat dinilaiDiadokhokinesia: tidak dapat dinilaiTest Tumit-Lutut: tidak dapat dinilaiTest Romberg: tidak dapat dinilai2.3.11. Vegetatif

Vasomotorik: (+)Sudomotorik: tidak dilakukan pemeriksaanPilo-Erektor: tidak dapat dinilai Miksi: dalam batas normal

Defekasi: dalam batas normal

Potens dan Libido: tidak dilakukan pemeriksaan

2.3.12. Vertebra

Bentuk

Normal: (+)

Scoliosis: (-)

Hiperlordosis: (-)

Pergerakan

Leher: dalam batas normal

Pinggang: sulit dilakukan penilaian

2.3.13. Tanda Perangsangan Radikuler

Laseque

: tidak dapat dinilai Cross Laseque

: tidak dapat dinilaiTest Lhermitte

: tidak dapat dinilaiTest Naffziger

: tidak dapat dinilai2.3.14. Gejala-Gejala Serebelar

Ataksia

: tidak dapat dinilaiDisartria

: tidak dapat dinilai Tremor

: tidak dapat dinilaiNistagmus

: tidak dapat dinilai Fenomena Rebound

: tidak dapat dinilaiVertigo

: tidak dapat dinilai Dan Lain-lain

: (-)2.3.15. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal

Tremor

: (-)Rigiditas

: (-)Bradikinesia

: (-)Dan Lain-lain

: (-)

2.3.16. Fungsi Luhur

Kesadaran Kualitatif: Somnolen

Ingatan Baru: tidak dapat dinilai Ingatan Lama: tidak dapat dinilaiOrientasi

Diri: tidak dapat dinilai Tempat: tidak dapat dinilai

Waktu : tidak dapat dinilai

Situasi: tidak dapat dinilaiIntelegensia: tidak dapat dinilaiDaya Pertimbangan: tidak dapat dinilaiReaksi Emosi: tidak dapat dinilaiAfasia

Ekspresif: tidak dapat dinilaiRepresif: tidak dapat dinilaiApraksia: tidak dapat dinilaiAgnosia

Agnosia visual: tidak dapat dinilai Agnosia Jari-jari: tidak dapat dinilai Akalkulia: tidak dapat dinilai Disorientasi Kanan-Kiri: tidak dapat dinilai

2.4.Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14 juni 2012

Jenis PemeriksaanSatuanHasilNilai Normal

Hematologi

Hemoglobing/dl15,613,2-17,3

Eritrosit 103/mm35,574,2-4,87

Leukosit

Trombosit 103/mm3103/mm316,27

5934,5-11

150.000-450.000

Kimia Klinik

Faal Hati

AST/SGOTU/L30< 38

ALT/SGPTU/L22< 41

Karbohidrat

Glukosa darah (puasa)mg/dL105 20 menit, 36 jam, amnesia post traumatic > 24 jam, 7 hari dan GCS 9-123. Berat: kehilangan kesadaran >36 jam, amnesia post traumatic > 7 hari dan GCS 3-8Komosio Serebri1,7 Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS.Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : - pening/nyeri kepala - tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit - amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. - Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesia retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejala-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto tengkorak2. LP, jernih, tidak ada kelaina3. EEG normalTerapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom. Kontusio Serebri1,7Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit.Fase I = fase shockKeadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan : kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetative

temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik respirasi dangkal dan cepat nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan irregular

tekanan darah menurun refleks tendon dan kulit menghilang babinsky refleks positif pupil dilatasi dan refleks cahaya lemahFase II = fase hiperaktif central vegetative

temperatur tubuh meninggi pernafasan dalam dan cepat takikardi sekret bronkhial meningkat berlebihan tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal refleks-refleks serebral muncul kembali

Fase III = cerebral oedemaFase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak ditanggulangi secepatnya.

Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesensTemperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau menghilang kecuali lesinya luas.

Gejala lain :Fokal neurologik : Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity Babinsky reflex

Afasia, hemianopsia, kortikal blindness Komplikasi saraf otak : fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius) fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI herniasi uncus, gangguan N. III farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid Gangguan organik brain sindroma : deliriumKontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda dengan dewasa antara lain :1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam.2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan kesadaran dan kejang-kejang.3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.

Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai shock absorber yang baik terhadap trauma.

Diagnostik bantu :1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI2. 2. LP bercampur darah3. 3. EEG abnormal

Epidural Hematom1,7Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater. Insiden terjadinya 1-3 %.

Hematoma ini disebabkan oleh :1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis posterior.

3. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.

Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval cepat antara beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah biasanya setelah mencapai 75 cc dan melepaskan duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai timbulnya penurunan kesadaran ulang. Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan dengan komosio serebri atau kontusio serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat, lusid interval tidak tampak karena gejalanya berhubungan antara superposisi dengan kontusionya. Pada anak-anak jarang terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih melekat erat pada dinding periosteum kranium. Pada dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah temporal. Tanda-tanda yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada gejala-gejala seperti dibawah :1. adanya lucid interval2. kesadarn yang makin menurun3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga N. III terjerat5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)7. kejang8. bradikardi

Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan yang di atas, tapi sebagai berikut :1. lusid interval tidak jelas2. fraktur kranii daerah oksipital3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum5. pupil isokor biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence sinuum pecah maka prognosanya jelek.Diagnosa bantu1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang2. Brain CT-Scan3. Arteriografi karotis4. EEG abnormal5. LP tekana meninggi jernih Subdural Hematom1,7Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid. Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah bergabung dengan likuor serebrospinal. Penyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang menyebrang dari korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :1. trauma kapitis2. kaheksia3. gangguan diskrasia darahlokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan dapat berhenti sendir.Klasifikasi:

a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hariAkut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau pada saat otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan hemiplegia kontralateral. Prognosisnya fatal.Diagnosis bantu : CT-Scan LP berdarah Arteriografi karotis EEG abnormalb. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari

Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio serebri. Kemudian timbul hemiplegia secara perlahan.Diagnosa bantu : sama dengan akut SDHPrognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75 % kembali sembuh sempurna.c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahunPecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn berhenti, hematoma kemudian membeku dan dinding hematoma membentuk jaringan ikat kapsula sebagai pembatas di sekitar hematoma. Gumpalan darah kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan intersitiil di sekitarnya yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda osmolaritas. Lama kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan proses desak ruang dan tekanan intrakranial meninggi.

Gejala awal :1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi jaringan otak di daerah sekitar hematoma2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI5. hemiparesis yang pelan-pelan6. pupil bisa anisokor7. tekanan LP meninggi 1,2,3,9Intraserebral Hematoma1,7 Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja ataupun multiple.Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.

Fraktur Basis Kranii

Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.

1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum keluar darah dari telinga dan likuorrhoe parese N. VII dan VIII sering dijumpai2. Fraktur basis kranii posterior unilateral/bilateral orbital hematom (Brills hematom) gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna.3. Fraktur basis kranii posterior gejala lebih berat, kesadaran menurun tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis.3.5 Diagnosis

Laboratorium1. Natrium Perubahan dalam kadar natrium serum terjadi sekitar 50% dari pasien cedera kepala yangkoma. Hiponatremia mungkin terjadi karena sindrom inappropriate antidiuretik hormon (SIADH) atau cerebral salt wasting. Kedua sindrom ini melibatkan tingkat natrium serum menurun.

Kadar natrium meningkat pada cedera kepala menunjukkan dehidrasi ringan atau diabetes insipidus. 2. Magnesium

Magnesium bisa turun pada fase akut cedera kepala ringan dan berat. Hal ini karena kation ini menghambat respon eksitotoksik dan berfungsi sebagai antioksidan, pemantauan yang cermat dari magnesium dapat memperbaiki outcome pasien.Pemeriksaan Radiologis

1. X Ray TengkorakPeralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.6Fraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang ada fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun demikian X foto polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini penting sebab :a. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorakb. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegalc. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi fraktur

Jenis foto :1. Foto antero-posterior2. Foto lateral3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas fragmen tulang yang melesak masukJenis-jenis fraktur tengkorak : 1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan sutura mempunyai lokasi anatomis tertentu.2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal sutura tidak melebihi 2 mm)2. CT-Scan OtakTidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa : oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain.13. Magnetic Resonance Imaging (MRI)Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.6Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.6

3.6 PenatalaksanaanPrioritas Penanggulangan Cidera Kepala1a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baikc. Evaluasi tingkat kesadarand. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher)e. Amati jejas di bagian tubuh lainnyaf. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scang. Perhatikan pupilh. Atasi oedema serebrii. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalorij. Monitor tekanan intra cranialk. Pengobatan simptomatis atau konservatifl. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan operatifPenatalaksaan Edema Serebri11. Hipertonic Solution TherapyPengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri dengan cara perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma.Contoh cairan hipertonik :a. Manitolb. GlyserolPemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa : Dehidrasi berat Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :

dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka darah akan menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan mengaburkan gejala perdarahan yang sebenarnya cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baru

Kontraindikasi :

Renal Failure Hepatic Failure Congestive Heart FailureManitolMempunyai efek : meninggikan cerebral blood flow meninggikan eksresi Na+ urine menurunkan tekanan likuor serebro spinal diuresis secara ekstremJika berlebihan dapat menyebabkan : dehidrasi berat hipotensi takikardi hemokonsentrasi overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun maka bisa terjadi rebound phenomenDosisManitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit. Efek samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang, renal failureGliserolmempunyai efek:

meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan di otak dibandingkan dengan efek diuresisnya dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energy

tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton bodies darah tidak mempunyai efek rebound phenomen

Dosis per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan terlihat efek penurunan tekanan intra cranial

per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5 cc/menit. Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan menetap bertahan selama 12 jam. Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5 cc/menit maka akan terjadi efek diuresis. Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi : hemolisis intravaskuler hemoglobinuria gastric iritasi nonketotic hiperosmolar hiperglikemia2. KortikosteroidSifat dan kegunaannya memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :

membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membrane

melindungi sel otak dari anoksia memperbaiki sistem sodium pump memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema sel-sel otak berkurangDosis

dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4 jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat 7-10 hari)

methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam kemudian taffering off, hati-hati pada perdarahan lambung.Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan. Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis.

3. BarbituratBerguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara : menurunkan metabolisme otak menstabilkan membran sel menurunkan aktivitas lysozim menurunkan tekanan intra cranial

menurunkan pembentukan oedema otak melindungi sel otak terhadap ischemia

Dosis Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg %. Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.4. Hipothermi30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi tekanan darah. Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan hanya dalam 5 hari saja.

5. Hiperventilasi Artifisial

Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood flow berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial.3.7 komplikasia. Kerusakan nervus kranialis

1. anosmia

Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.72. Gangguan penglihatan

Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.73. Oftalmoplegia

Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.74. Paresis fasialis

Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.75. Gangguan pendengaranGangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.7b. disfasiaSecara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untukmemahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.7c. Hemiparese

Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial7,8d. Sindroma pascatrauma kepalaSindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.7e. Sindroma karotiko-kavernosusFistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.7f. EpilepsyEpilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.7,83.8 PrognosisBerdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien.BAB 4DISKUSI KASUS

Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis berat. Hal ini ditegakkan pada pasien ini dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan:

1. Riwayat kecelakaan lalu lintas

2. Penurunan kesadaran selama lebih dari 7 hari

3. GCS waktu masuk rumat sakit 6TEORIKASUS

KLASIFIKASI DAN DIAGNOSISMenurut teori, berdasarkan klasifikasi keparahannya dibagi menjadi trauma kapitis ringan, sedang dan berat Pada pasien ini digolongkan menderita trauma kapitis berat karena penurunan kesadaran > 7 hari dan GCS waktu masuk rumah sakit 6

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang, yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan X-ray kepala, Computed Tomography-Scan(CT Scan) dan MRI.

Pada kasus, telah dilakukan pemeriksaan

darah rutin dan beberapa pemeriksaan darah lainnya yang dibutuhkan dan dijumpai adanya peningkatan jumlah leukosit. Dari hasil CT-Scan yang dilakukan pada pasien ini dijumpai adanya infark di bangsal ganglia.

PENATALAKSANAANpenatalaksanaan pada pasien trauma kapitis pada prinsipnya adalah perbaiki kardiovaskular, perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik, Evaluasi tingkat kesadaran, amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher), amati jejas di bagian tubuh lainnya, Perhatikan pupil, atasi oedema serebri, perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori, monitor tekanan intra cranial, pengobatan simptomatis atau konservatif, Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan operatif.

Dalam kasus ini pasien system kardiovaskuler dan respirasi stabil, untuk terapi lainnya pasien ini diberikan IVFD R Sol 20 tetes per menit, injeksi citicholin 1 ampul per 12 jam, injeksi ceftriaxone 1ampul per 12 jam, vitamin B komplek 3x1 tablet.

BAB 5KESIMPULANBerdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologi serta pemeriksaan penunjang, os didiagnosa dengan kapitis berat dan diberikan terapi O2 2-5 liter per menit, IVFD R Sol 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 ampul per 12 jam, injeksi citicholin 1 ampul per 12 jam dan vitamin B komplek 3 kali 1 tablet.

Saat ini os masih di rawat di ruang rawat inap neuraologi dan kondisi os sudah mulai membaik.

DAFTAR PUSTAKA1. Sjahrir, Hasan. Ilmu Penyakit Syaraf Neurologi Khusus. 1994; 1-28

2. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cidera Kepala Secara operatif. USU Digital Library. 2004: 1-43. Rambe AS, Zuraini. Profil Penderita Trauma Kapitis Pada Bangsal Neurologi RSUP H. Neurona. Majalah Kedokteran Nusantara. 2008: 235-2384. Mesiano, Taufik, Soertidewi, Lina, Jannis, Jofizal, Rasyid, Al. Perdarahan Subarachnoid Traumatik. Neurona. 2008: 25; 33-39

5. Holson, DA. Head Injury. 2012. Diambil dari : http://emedicine.medscape.com/article/1159385-overview [Diakses tanggal 20 juni 2012].

6. Anindra. Trauma kapitis. 2011. Diambil dari: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=trauma+kapitis&source=web&cd=2&ved=0CFIQFjAB&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F21501%2F4%2FChapter%2520II.pdf&ei=m8ToT8z1K47prQeO9sX6CA&usg=AFQjCNFj-H1EDoua0jxfwXrW1GYoglgOGQ&cad=rja. [Diakses tanggal 20 juni 2012].7. Ilyas, KK. Karakteristik Penderita Cidera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas yang dirawat inap di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. 2010. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=trauma+kapitis%2C+tinjauan+pustaka&source=web&cd=1&ved=0CEsQFjAA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F21501%2F4%2FChapter%2520II.pdf&ei=rMXoT7ieMomJrAe73P30CA&usg=AFQjCNFj-H1EDoua0jxfwXrW1GYoglgOGQ&cad=rja. [Diakses tanggal 20 juni 2012].8. Pangilinan, PH. Clasification and Complication Traumatic Brain Injury. 2012. Diambil dari: http://emedicine.medscape.com/article/794789-overview#showall [Diakses tanggal 20 Juni 2012]9. MRC CRASH Trial Collaborators. Predicting Outcome After Traumatic Brain Injury: Practical Prognostic Models Based on Large Cohort of International Patients. BMJ. 2008: 336;425.