Download doc - Trauma Kapitis Bila

Transcript
Page 1: Trauma Kapitis Bila

PRESENTASI KASUS

TRAUMA KAPITIS

Disusun oleh:

Sanabila Yasmin M

03007231

Pembimbing:

dr. Hastari Soekardi Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI

2013

Page 2: Trauma Kapitis Bila

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya

saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Neurologi

Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati

Jakarta.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian makalah ini:

1. Dr.Hastari Soekardi , SpS, selaku pembimbing dalam penyusunan makalah.

2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. Saya berharap semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, September 2013

Penyusun

Page 3: Trauma Kapitis Bila

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kapitis adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-

organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang

disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga dapat menimbulkan gangguan fisik, kognitif

maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

Insidensi trauma kapitis tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun, yaitu 32,8 orang

dalam jumlah populasi 100.000 orang. Perbandingan laki-laki banding perempuan adalah 3,4 : 1.

Penyebab utama trauma kapitis ini adalah kecelakaan lalu-lintas terutama kendaraan bermotor,

setiap tahun sekitar 1 juta meninggal dan 20 juta orang mengalami cedera

Insiden trauma kapitis ini mencapai 26% dari semua kecelakaan, dan 33% kematian

terjadi karena trauma kapitis. Insiden trauma kapitis akibat kecelakaan terdapat sekitar 50%

meninggal sebelum tiba di Rumah sakit, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam

1 minggu perawatan.

Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran,

sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus

dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat

pasien tiba di Rumah Sakit.

Page 4: Trauma Kapitis Bila

BAB II

STATUS NEUROLOGI

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.B

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Suku : Sunda

Alamat : Cilandak, Jakarta Selatan

Tanggal masuk RS : 20 Agustus 2013

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara autonamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 20

Agustus 2013 di ruang rawat inap.

Keluhan Utama

Riwayat penurunan kesadaran setelah jatuh dari motor 2 jam SMRS

Keluhan Tambahan

Nyeri kepala, keluar darah dari telinga kiri, telinga kiri berdenging, pendengaran telinga

kiri berkurang, nyeri di tempat luka di kepala, wajah, kaki dan tangan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang diantar oleh keluarga pasien ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan

pingsan setelah jatuh dari motor 2 jam SMRS. Pasien ingat kejadian sebelum kecelakaan yaitu

saat pasien sedang balapan motor, motor pasien oleng lalu pasien jatuh terguling dan kepala kiri

pasien terbentur ke troatoar. Pasien tidak memakai helm saat kejadian. Menurut teman pasien,

setelah terjatuh pasien mengalami pingsan selama > dari 10 menit. Pasien sadar penuh saat di

Rumah Sakit. Pasien ingat semua kejadian sebelum kecelakaan dan tidak ingat kejadian setelah

Page 5: Trauma Kapitis Bila

kecelakaan sampai pasien berada di rumah sakit. Pasien juga mengeluh terdapat nyeri kepala

yang dideskripsikan oleh pasien sebagai nyeri berdenyut-denyut. Pasien menyangkal adanya

muntah. Pasien juga menyatakan ada keluar darah dari telinga kiri. Darah berwarna merah

kehitaman, kental. Telinga kiri terasa penuh dan pendengaran juga dirasakan agak terganggu.

Timbul bunyi berdenging di telinga kiri.

Keluhan nyeri kepala berdenyut, pendengaran telinga kiri berkurang dan bunyi

berdenging saat mengunyah dirasa sampai 3 hari pasien dirawat di RS. Telinga kiri pasien

berhenti mengeluarkan darah setelah 2 hari pasien dirawat di RS. Setelah hari ke 4 dirawat Saat

di ruang rawat, pasien juga mengeluh terdapat kelemahan otot wajah sisi kiri dan pasien tidak

bisa menutup mata kiri secara sempurna.

Pasien menyangkal pingsan lagi setelah sadar (-) maupun terdapat kelemahan sisi tubuh

setelah sadar (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah dirawat di RS sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki riwayat

darah tinggi, kencing manis, stroke, maupun kejang.

Riwayat Sosial

Pasien mempunyai kebiasaan merokok, nanum menyangkal kebiasaan mengkonsumsi

alkohol dan obat-obatan terlarang.

III.PEMERIKSAAN FISIK

a. Status generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Sikap : Berbaring

Koperasi : Kooperatif

Keadaan Gizi : Cukup

Page 6: Trauma Kapitis Bila

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84x/menit, reguler, isi cukup

Suhu : 36,7 0C

Pernafasan : 20x/menit, reguler, kedalaman cukup

b. Keadaan Lokal

Trauma stigmata : vulnus ekskoriatum di pipi kiri, kepala sisi kanan (+), vulnus

laseratum di kepala sisi kiri yang telah dijahit dan ditutupi kasa

(+)

Kepala : cephal hematom di temporal sinistra (+)

Pulsasi A.Carotis : Teraba equal kanan-kiri, reguler

Perdarahan Perifer : capillary refill time < 2 detik

Columna Vertebralis : letak lurus ditengah, skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-)

Pemeriksaan kepala :

Deformitas (-), krepitasi (-), hematom dan nyeri tekan (+) di temporal sinistra

Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva pucat -/-, hematom periorbita -/-

Hidung : perdarahan aktif -/-, ekskoriasi di apeks nasi (+)

Telinga : perdarahan aktif -/-, clotting -/+, battle sign -/- , nyeri tekan -/+ di

retroaurikula sinistra

Pemeriksaan leher :

Leher : terpasang collar neck

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di medial garis midklavikularis sinistra

Page 7: Trauma Kapitis Bila

Perkusi : Batas kanan : ICS III-V linea parasternalis dextra

Batas kiri : ICS V garis midklavikularis sinistra

Auskultasi : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pemeriksaan Paru

Inspeksi : Pergerakkan naik-turun dada simetris kanan = kiri

Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada emfisema subkutis, tidak ada

benjolan.

Perkusi : perkusi di seluruh lapang paru sonor

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar, jejas (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising Usus (+) normal

Pemeriksaan Ekstremitas

Atas : akral hangat, edema (-), luka ekskoriasi (+)

Bawah : akral hangat, edema (-), luka ekskoriasi (+)

II. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

a. GCS : E4 M6 V5 = 15

b. Rangsang Selaput Otak

Page 8: Trauma Kapitis Bila

Kaku kuduk : tidak dilakukan

Laseque : kanan <700 ; kiri <700

Kerniq : kanan < 1350 ; kiri < 1350

Brudzinsky I : tidak dilakukan

Brudzinsky II : -/-

c. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Nyeri kepala : (+)

Muntah proyektil : (-)

Penurunan kesadaran : (+)

d. Saraf-saraf Kranialis

N.I (olfaktorius) : normosmia dextra sinistra

N.II (optikus)

Acies visus : baik

Visus campus : baik

Lihat warna : baik

Funduskopi : Tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)

Kedudukkan bola mata : ortoposisi +/+

Pergerakkan bola mata : (+) ke semua arah, hambatan (-), nistagmus (-),

penglihatan ganda (-)

Exofthalmus : -/-

Pupil : Bulat isokor, Ø 3mm/3mm

Page 9: Trauma Kapitis Bila

Reflek cahaya langsung : +/+

Reflek cahaya tidak langsung : +/+

N.V (Trigeminus)

Cabang Motorik : baik

Cabang sensorik

Ophtalmikus : baik

Maksilaris : baik

Mandibularis : baik

N.VII (Fasialis)

Motorik orbitofrontalis : kanan baik, kiri tidak mampu diangkat

Motorik orbikularis : asimetris, sudut nasolabialis kiri lebih datar

Pengecapan lidah : tidak dilakukan

N.VIII (Vestibulocochlearis)

Vestibular :

Vertigo : (-)

Nistagmus : (-)

Koklearis :

Tes Rinne : +/-

Tes Webber : lateralisasi ke telinga kiri

Tuli Konduktif: (+)

Tuli Perseptif : tidak ada

Page 10: Trauma Kapitis Bila

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)

Motorik : arcus faring simetris, uvula di tengah

Sensorik : baik

N.XI (Accesorius)

Mengangkat bahu : baik

Menoleh : baik

N.XII (Hypoglossus)

Pergerakkan lidah : tidak ada deviasi

Atrofi : -

Fasikulasi : -

Tremor : -

e. Sistem Motorik

Ekstremitas atas proksimal distal dextra/sinistra: 5555/5555

Ekstremitas bawah proksimal distal : tvd karena nyeri

f. Gerakkan Involunter

Tremor : -/-

Chorea : -/-

Atetose : -/-

Miokloni : -/-

g. Trofik : eutrofik/eutrofik

h. Tonus : normotonus/normotonus

i. Sistem Sensorik

Propioseptif : baik

Page 11: Trauma Kapitis Bila

Eksteroseptif : baik

j. Fungsi cerebellar dan koordinasi

Ataxia : Tidak dilakukan

Tes Romberg : Tidak dilakukan

Disdiadokokinesia : (-)

Jari-jari : (+)

Jari-hidung : (+)

Rebound phenomenon : (-)

Hipotoni : (-)

k. Fungsi Luhur

Astereognosia : (-)

Apraxia : (-)

Afasia : (-)

l. Fungsi Otonom

Miksi : baik

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

m. Refleks Fisiologis

Biceps : +2/+2

Triceps : +2/+2

Radius : +2/+2

Lutut : +2/+2

Page 12: Trauma Kapitis Bila

Tumit : +2/+2

n. Refleks Patologis

Hoffman Tromner : -/-

Babinsky : -/-

Chaddok : -/-

Gordon : -/-

Schaefer : -/-

Klonus otot : -/-

Klonus tumit : -/-

o. Keadaan Psikis

Intelegensia : baik

Tanda regresi : (-)

Demensia : (-)

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb 16,4 g/Dl

Ht 50%

Leukosit 27900 ribu/ul

Trombosit 348 ribu/ul

Eritrosit 5,36 juta/Ul

VER 93,3 fl

HER 30,6 pg

KHER 32,9 g/dl

RDW 12,2%

GDS 82 mg/dL

SGOT 26 U/I

Page 13: Trauma Kapitis Bila

SGPT 14 U/l

Ureum darah 11 mg/dl

Kreatinin darah 0,5 mg/dl

Na+ 141 mmol/I

K+ 3,56 mmol/I

Cl- 108 mmol/I

IV. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Foto Thorax Cor dan pulmo dalam batas normal

Tak tampak fraktur tulang-tulang dinding dada

Foto cervical AP/lateral

Straight cervical

Tak tampak fraktur tulang-tulang vertebrae cervical saat ini

CT-Scan kepala potongan axial, non kontras

Page 14: Trauma Kapitis Bila

Kesan :

Perdarahan subarachnoid region temporoparietal kanan kiri dan cerebellum

Diastasis sutura lambdoied dengan suspek fraktur os occipital kiri disertai

pneumoencephal region occipital kiri

Fraktur pada mastoid kiri dengan hematomastoid kiri

Sinusitis sphenoidalis bilateral

Subgaleal hematom region perietooccipital bilateral

V. RESUME

Seorang pasien, laki-laki, 20 tahun, datang dengan riwayat pingsan setelah jatuh dari

motor 2 jam SMRS. Pasien ingat kejadian sebelum kecelakaan tetapi tidak bisa mengingat

peristiwa setelah kecelakaan. Kepala kiri terbentur tratoar sedangkan pasien tidak memakai

helm. Riwayat pingsan > dari 10 menit. Saat di RS pasien telah sadar penuh. Nyeri kepala (+)

berdenyut-denyut, otore AS (+) darah warna merah kehitaman, kental. Pendengaran telinga kiri

berkurang (+), rasa penuh (+), tinnitus telinga kiri (+). Hematom di leher (+), keterbatasan gerak

(-). Saat hari ke 4 perawatan di rumah sakit baru timbul kelemahan otot wajah sinistra (+) dan

tidak bisa menutup mata kiri secara sempurna.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan ; GCS I : E4M6V5 = 15, tanda peningkatan tekanan

intrakranial (+), kesan parese nervus VII sinistra perifer (+), tes Rinne +/-, tes Webber terdapat

lateralisasi ke telinga kiri, terdapat tuli konduktif, kesan parese sistem motorik dan sensorik (-).

Hasil CT-scan kepala potongan axial, perdarahan subarachnoid region temporoparietal

kanan kiri dan cerebellum (+), diastasis sutura lambdoied dengan suspek fraktur os occipital kiri

disertai pneumoencephal region occipital kiri (+), fraktur pada mastoid kiri dengan

hematomastoid kiri (+), sinusitis sphenoidalis bilateral (+), subgaleal hematom region

perietooccipital bilateral (+).

DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis klinis : riwayat penurunan kesadaran, sefalgia, tuli konduktif sinistra,

parese nervus VII sinistra perifer.

Page 15: Trauma Kapitis Bila

Diagnosis etiologi : CKS

Diagnosis topik : regio temporo-parietal

VI. PENATALAKSANAAN

Non-Medika Mentosa

1. Bed rest

2. Elevasi kepala 30°

3. O2 2L/menit

Medika Mentosa

1. Diuretic Osmotic (Manitol 4 x 100 cc)

2. Neuroprotektor (Citicholin 1000 mg /12 jam (Drip))

3. Analgetik (Ketorolac 2 x 1 amp)

4. Vit. C 1 x 400 mg

5. PPI (Pantoprazrol 1x1)

6. IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam

7. Konsul THT

VII. PROGNOSA

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungtionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Page 16: Trauma Kapitis Bila

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA KAPITIS

PENDAHULUAN

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat

ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala kepala. Pada trauma kepala terjadi

akselerasi (gerakan yang cepat dan mendadak yang terjadi jika benda yang sedang bergerak

membentur kepala yang diam) dan deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika

kepala membentur benda yang tidak bergerak). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi dua

kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak (kup) dan pergeseran otak ke arah yang

berlawanan dengan arah dampak primer (kontra kup). Apabila akselerasi disebabkan oleh

pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah tampak terdapat tekanan positif akibat

identasi ditambah tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan

penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Di seberang tempat terdapat tekanan negatif akibat

akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh tekanan yang positif yang diakibatkan

oleh pergeseran seluruh otak.

Counter coup

Maka pada trauma kepala dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah

berdampak cukup besar untuk bisa menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada duramater (lesi

Page 17: Trauma Kapitis Bila

kontusio). Jika lesi terjadi di bawah dampak disebut lesi kontusio “kup” dan jika terjadi di

seberang dampak disebut lesi kontusio “kontra kup”. Sehingga dari sana bisa timbul gejala-

gejala deficit neurologist berupa reflek babinski yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah

kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran “organic brain syndrom”

dan berdampak juga pada autoregulasi pembuluh darah serebral, sehingga terdapat vasoparalisis.

Akselerasi dan penggeseran otak yang terjadi bersifat linear dan bahkan akselerasi yang

sering kalidiakibatkan oleh trauma kepala disebut akselerasi rotarik. Pergeseran otak pada

akselerasi dan deselerasi linear dan rotarik bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang

menjembatani selaput arakhnoida dan dura sehingga timbul perdarahan subdural. Vena-vena

tersebut “Bridging Veins”.

ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA

a. Hukum Monroe-Kellie

Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik.

Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya

yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).

Vic = V br+ V csf + V bl

b. Tekanan Perfusi Serebral

Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial (ICP). Pada

seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan selama MAP

berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi dari arteriol yang akan

mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak

berlangsung konstan.

           

Berdasarkan berat ringannya trauma kepala terbagi menjadi 3 yaitu:

1. Cedera kepala ringan :

Jika GCS (Skala Koma Glasgow) 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari

30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma.

a) Tidak kehilangan kesadaran

b) Satu kali atau tidak ada muntah

Page 18: Trauma Kapitis Bila

c) Stabil dan sadar

d) Dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala

e) Pemeriksaan lainnya normal

2.   Cedera kepala sedang :

Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat

disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.

a) Kehilangan kesadaran singkat saat kejadian

b) Saat ini sadar atau berespon terhadap suara. Mungkin mengantuk

c) Dua atau lebih episode muntah

d) Sakit kepala persisten

e) Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma

f) Mungkin mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala

g) Pemeriksaan lainnya normal

3.   Cedera kepala berat :

Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio,

laserasi atau adanya hematoma dan edema serebral.

a) Kehilangan kesadaran dalam waktu lama

b) Status kesadaran menurun – responsif hanya terhadap nyeri atau tidak responsif

c) Terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga

d) Tanda-tanda neurologis lokal (pupil yang tidak sana, kelemahan sesisi)

e) Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:

Herniasi unkus: dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus okulomotor

Herniasi sentral: kompresi batang otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi

f)  Trauma kepala yang berpenetrasi

g)  Kejang (selain Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma)

PERDARAHAN SUBARAKHNOID

I. PENDAHULUAN

Salah satu komplikasi primer cedera kepala adalah perdarahan subaraknoid (SAH).

Insidensinya bervariasi dari 14,3% - 40% dan semakin meningkat mengikuti angka kejadian

Page 19: Trauma Kapitis Bila

kecelakaan kendaraan bermotor. Diagnosis klinis SAH biasanya sulit disimpulkan terutama pada

cedera kepala ringan yang tidak menimbulkan gejala klinis khas seperti iritasi meningen.

Pemeriksaan pencitraan untuk membantu diagnosis SAH seperti CT scan otak menjadi penting

bagi klinisi dalam pemberian nimodipine untuk mencegah komplikasi vasospasme serta

penanganan komplikasi lainnya seperti hidrosefalus dan kejang yang dapat memperburuk

keadaan pasien.(15)

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan

selaput otak (rongga subaraknoid). Perdarahan subarachnoid merupakan penemuan yang sering

pada trauma kepala akibat dari yang paling sering adalah robeknya pembuluh darah

leptomeningeal pada vertex di mana terjadi pergerakan otak yang besar sebagai dampak, atau

pada sedikit kasus, akibat rupturnya pembuluh darah serebral major. Pasien yang mampu

bertahan dari pendarahan subarachoid kadang mengalami adhessi anachnoid, obstruksi aliran

cairan cerebrospinal dan  hidrocepalus. Cedera intrkarnial yang lain kadang juga dapat terjadi.(6)

Perdarahan subarachnoid, dapat diidentifikasi pada CT-scan sebagai jaringan dengan

densitas tinggi (40 – 90 Hu). Menggantikan cairan serebrospinal di interhemisfer atau fissura

silvii, sulcus cerebral atau sisterna basalis. Jika pendarahan subarachnoid luas maka bentuk arah

infundibulum atau cabang arteri karotis pada sisterna nampak sebagai filing deffect pada darah

intrasisternal yang hiperdens. Meskipun pemeriksaan CT-scan sangat akurat untuk mendeteksi

pendarahan subarachnoid yang baru untuk mengetahui adanya darah disubarachnoid di

interhemisferik  falxcerebri yang relatif memiliki densitas dan sulit dideteksi. Pendarahan

subarachnoid biasanya meluas sampai pada  sulcus paramedian, mengakibatkan penampakan

densitas  dan irreguler, setelah beberapa hari pemeriksaan CT Scan biasanya menunjukkan

pembersihan darah subarachnoid disekitar falxcerebri, sebaliknya pendarahan subdural

interhemisferik secara tipikal terlihat sebagai bentuk baji, tepi halus, zona densitas tinggi.(6)

Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya

terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya

ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan indikasi untuk pemeriksaan

angiografi. Aneurisma kongenital biasanya berlokasi pada circulus willisi dan pseudoaneurisma

berlokasi pada pembuluh darah yang dapat merengang akibat pergeseran otak misalnya  arteri

cerebral anterior dibawah falxcerebri.

Page 20: Trauma Kapitis Bila

II.   INSIDEN

Insiden subarachnoid  hemoragik dibedakan atas: Pendarahan subarachnoid menduduki

7-15% dari seluruh gangguan peredaran darah otak (GPDO). Usia: insidennya 62% pendarahan

subarachnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada

usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang

terjadi setelah suatu cedera kepala.

III.    ETIOLOGI

Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma

(85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari 

pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya 

bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic

hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan  secara

umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang

mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan

perdarahan berbagai jenis tumor.(7)

 

IV.    ANATOMI

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah

pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea

dan piamater. (2)

1. Duramater. Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat

dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang

melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk

menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-

lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian

otak.

Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk

periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri;

lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat yang berasal darinya membentang jauh

ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx

Page 21: Trauma Kapitis Bila

cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke

protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli

yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa

sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli

terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior.

Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan

processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat

lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua

lamina dura.

2. Arachnoidea. Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan

hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi

spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan

dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat

yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.

Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-sinus

venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar

villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga

bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi

tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena

diploe.

Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara

relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut

menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut

cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini

berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.

Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid di

antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung dengan rongga

subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral dari pons mengandung

arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke

dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum,

cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle

Page 22: Trauma Kapitis Bila

cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure

lateralis (cisterna sylvii).

Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges

3. Piamater. Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi

permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh

otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di

tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung

dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus

choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel

keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

V.   PATOFISIOLOGI 

Ditinjau dari sudut waktu, proses patofisiologi kerusakan otak akibat cedera kepala

terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) proses kerusakan primer yang terjadi langsung saat cedera

dan meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kontusio dan laserasi serebri, cedera

aksonal difus, perdarahan intrakranial dan jenis-jenis lain kerusakan otak, (2) proses kerusakan

sekunder yang merupakan akibat dari komplikasi yang dimulai pada saat cedera namun mungkin

secara klinis tidak muncul dalam periode waktu tertentu. Kerusakan otak sekunder merupakan

tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, yang meliputi hipoksia, iskemia, pembengkakan,

infeksi, dan kerusakan otak yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial.

Page 23: Trauma Kapitis Bila

Pada trauma kepala sering ditemukan suatu kerusakan primer berupa perdarahan

intrakranial. Perdarahan intrakranial akibat trauma diklasifikasikan menjadi perdarahan

ekstradural dan intradural. Perdarah intradural dibagi menjadi perdarah subdural, perdarahan

intraserebral/cerebellar, dan perdarahan subaraknoid.

Perdarahan subaraknoid (SAH) adalah suatu keadaan terdapatnya darah pada rongga

subaraknoid yang menyelimuti otak dan medulla spinalis. Dalam keadaan normal rongga ini

terisi oleh cairan serebrospinal yang jernih yang tidak berwarna serta jaringan penunjang

berbentuk trabekula halus, selain itu juga terdapat bagian distal dari sinus kavernosus, arteri

karotis interna, beserta percabangannya. Penyebab terbanyak dari SAH adalah pecahnya

aneurisma dan trauma kepala.

Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang subarachnoid. Pia

mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi dengan CSF. Trauma

perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya pembuluh darah penghubung yang

menembus ruang itu, yang biasanya sama pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah

penyebab utama subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf

serebral atau kerusakan arterivenous.

VI.    DIAGNOSIS

Dalam menentukan perdarahan di ruang subaraknoid secara klinis tidaklah mudah. Pada

kasus cedera kepala pasien datang dengan keluhan sakit kepala dan penurunan kesadaran. Hal

tersebut terjadi karena cedera kepala yang dialaminya. Pada pemeriksaan neurologis tidak

ditemukan iritasi meningeal yang tentunya dilakukan bila tidak ada cedera pada leher atau

fraktur cervical.

Tahanan yang disertai nyeri terhadap fleksi leher pasif maupun aktif pada kaku kuduk

disebabkan iritasi meningen cervical oleh darah di ruang subaraknoid atau inflamasi. Pergerakan

fleksi kepala akan menjadi tegang dan kaku pada struktur lokasi dari meningen, serabut saraf

atau medulla spinalis yang mengalami inflamasi dan ataupun edema. Iritasi pada meningen yang

menimbulkan tanda klinis ini biasanya timbul dalam 3 hingga 12 jam.

Pemeriksaan lain untuk mendeteksi SAH adalah punksi lumbal. Punksi lumbal hanya

dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit yang sangat mengarah ke SAH namun pada

pemeriksaan pencitraan tidak ditemukan gambaran SAH. Terdapat dua pola terjadinya SAH

Page 24: Trauma Kapitis Bila

pasca cedera kepala. Yang pertama diakibatkan oleh trauma SAH (diakibatkan oleh ruptur

pembuluh darah kecil di ruang subarakhnoid) dan yang kedua SAH aneurismal (aneurisma yang

telah ada sebelumnya mengalami ruptur setelah trauma kepala). SAH yang terjadi setelah cedera

kepala harus kita bedakan apakah ini akibat aneurisma yang telah ada sebelumnya atau bukan.

Selain anamnesis, keadaan tersebut dapat kita bedakan berdasarkan hasil pencitraan. Pada SAH

aneurismal darah lebih banyak terdapat pada sisterna basal, sedangkan pada SAHt lebih sering

terdapat pada sulkus perifer dan fisura interhemisfer.

A. Gambaran Klinis.

Gejala prodromal   : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit

kepala. Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar, sedikit

delirium sampai koma. Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada.

Fundus okuli :  10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah pendarahan. Sering

terdapat perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior,

atau arteri karotis interna.

Gejala-gejala neurologik fokal   :  bergantung pada lokasi lesi. Gangguan fungsi saraf

otonom  : demam setelah 24 jam, demam ringan karena rangsangan meningen, dan demam tinggi

bila pada hipotalamus. Begitu pun muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi, adanya

hubungan dengan hipotalamus. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan

melena dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan ada

perubaha pada EKG.

B.    Gambaran Radiologi

1.    CT  SCAN

Pemeriksaan ct scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa intracranial. Pada

pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah (densitas tinggi) dalam ventrikel atau

dalam ruang subarachnoid 

Page 25: Trauma Kapitis Bila

Gambar 2 Gambar CT Scan Perdarahan Subarachnoid

2.    Magnetic resonance imaging (MRI)(5)

Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya terlihat pada

T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat  sebagai intermediate untuk  pengcahayaan sinyal tinggi

dengan proton atau gambar FLAIR. CT  pada umunya lebih baik daripada MRI  dalam

mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Control perdarahan subarachnoid: hasil  tahapan

control  perdarahan subarachnoid   kadang-kadang tampak MRI lapisan  tipis  pada sinyal

rendah.

VII.        PENATALAKSANAAN

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk

memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan

umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala

ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,

circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada

penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting

Page 26: Trauma Kapitis Bila

untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien

cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain:

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana

yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa

pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan

antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.

Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan

patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:

1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari

20 cc di daerah infratentorial

2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan

3. tanda fokal neurologis semakin berat

4. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

5. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

6. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

7. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

8. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

9. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

Page 27: Trauma Kapitis Bila

Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri

diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase didalam otak

untuk mengurangi tekanan. Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang

lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan

angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor.

Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari

setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi

resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.

VIII.   DIAGNOSIS BANDING

Hematoma subdural

Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan arachnoid. Secara

klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang

lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh

parenkim otak mengenai tulang  sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan

perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan

ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.

IX. PENATALAKSANAAN

Penanganan darurat :

Dekompresi dengan trepanasi sederhana

Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

Elevasi kepala 30° dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau gunakan

posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase

vena.

Page 28: Trauma Kapitis Bila

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan

dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3

mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini

masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi

profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus

epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.

Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan

saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk

mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial

yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang

biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan

dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg

%.

X. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada :

• Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

• Besarnya

• Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak

secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-

10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

Page 29: Trauma Kapitis Bila

LESI NERVUS FASIALIS

Inti motorik nervus fasialis terletak di bagian ventrolateral tegmentum pontis. Akarnya

menuju ke dorsomedial kemudian melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru

membelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Di situ ia

berdampingan dengan nervus oktavus dan nervus intermedius. Ketiga nervus tersebut masuk ke

dalam liang os petrosum melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar dari os

petrosum kembali dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia turun dan sedikit membelok ke

belakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum.

Pada kerusakan karena sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks

motorik primer, otot wajah sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini

berarti bahwa otot wajah bagian bawah tampak lebih jelas lumpuh daripada bagian atasnya.

Sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Lipatan nasolabial sisi yang lumpuh

mendatar. Jika kedua sudut mulut diangkat maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat

diangkat. Lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum

timpani, di foramen stilomastodeum dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Proses

patologik di sekitar meatus akustikus internus akan melibatkan nervus fasialis dan akustikus.

Maka dalam hal tersebut, paralisis fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif

ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).

Page 30: Trauma Kapitis Bila

Pada mastoiditis, otitis media, kolesteatoma, dan fraktur tulang temporalis nervus fasialis

bisa mengalami gangguan dan kerusakan. Akibat itu adalah kelumpuhan LMN pada otot wajah

yang disertai dengan tuli konduktif atau hiperakusis (karena muskulus stapedius lumpuh).

Page 31: Trauma Kapitis Bila

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.

EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

2. Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com

3. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme

Medical Publisher, New York,1996, 22

4. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &

Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178

5. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314

6. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar,

Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

7. Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis,

http://iwansain.wordpress.com/2007