Download doc - Trauma Kapitis

Transcript

TRAUMA KAPITIS

2.1 Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Sinonim: Trauma Kapitis, Cedera Kepala, Head Injury, Trauma Kranioserebral, Traumatic Brain Injury.2.2 Anatomi kepalaKulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

Gambar 1 : Anatomi kulit kepala

Tulang tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu :

a. Duramater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Epitel gepeng selapis melapisi permukaan dalam dan luar dura meter pada medulla spinalis

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).b. Selaput Arakhnoid

Diambil dari bahasa Yunani arachnoeides, seperti jaring laba-laba. Ia memiliki dua komponen: lapisan yang berkontak dengan dura meter dan sebuah system trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan pia meter. Rongga diantara trabekel disebut rongga subaraknoid, yang terisi cairan cerebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi SSP dari trauma. Ruang subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak.Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

c. Piamater

Piamater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah. tidak kontak dengan sel atau serat saraf meskipun terletak cukup dekat dengan jaringan saraf. Di antara piamater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia meter dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari SSP yang memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri semua lekuk permukaan SSP dan menyusup ke dalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia meter dilapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus SSP melalui terowongan, ruang perivaskular, yang dilapisi oleh piamater. Piamater lenyap sebelum pembuluh darah ditransformasi menjadi kapiler. Dalam SSP kapiler darah seluruhnya dilapisi oleh perluasan cabang sel neuroglia.

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.

Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Cerebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar.2 Anatomi Otak

Cairan serebrospinal

Gambar 3. sistem ventrikel11

Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus, dimana sejumlah pembuluh darah kapiler dikelilingi oleh epitel kuboid/kolumner yang menutupi stroma di bagian tengah dan merupakan modifikasi dari sel ependim, yang menonjol ke ventrikel. CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV. Tiga buah lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral (foramen luschka) yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial (foramen magendi) yang berada di bagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga subarachnoid sekeliling medula spinalis sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula spinalis dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna ambiens, melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan samping serebri dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam tekanan osmotik darah.

Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

Vaskularisasi otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.Fisiologi KepalaTekanan Intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya.

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat.

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan

untuk meningkatkan ADO. Doktrin Monro-Kellie

Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.Tekanan perfusi otak (TPO)

Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut:

TPO = MAP TIK

Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi.

TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada penderita cedera kepala. Aliran darah ke otak (ADO)

Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP >160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba.

Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.Patofisiologi

Berat atau ringannya suatu daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada :

1. Besar dan kekuatan saat benturan

2. Arah dan tempat saat benturan

3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan

Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut, maka benturan atau trauma kepala dapat mengakibatkan lesi otak berupa :

Lesi bentur (Coup)

Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)

Lesi kontra (counter Coup)

Lesi benturan otak dapat menimbulkan beberapa kejadian berupa :

1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari batang otak)

2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian

3. Peningkatan tekanan intra kranial (+ edema serebri)

4. Perdarahan berupa petechiae parenchymal sampai perdarahan besar

5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak

6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis

Akibat adanya cedera otak, maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih permeabel, maka Blood Brain Barrier (sawar darah otak) pun akan terganggu, dan terjadilah edema otak regional atau difus (vasogenik oedem serebri).

Edema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian edema akan menyebar membesar. Edema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Bila edema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan meningkatnya tekanan intra kranial, kemudian terjadi kompresi dan hipoksia iskemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtentorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.

Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakannya herniasi transtentorial dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demielinisasi difus, banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidak meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).

Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka akan menekan kapiler serebral sehingga terjadi hipoksia serebral yang difus dan mengakibatkan penurunan kesadaran.

Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.

TIK yang meninggi mengakibatkan hipoksemia dan alkalosis respiratorik (PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2, maka CBF dan TPO akan tercukupi.

Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidak selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu.

Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pons berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah menjadi irreguler, melambat dan steatorous.

Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.

2.3 Klasifikasi

TIPE TRAUMA KEPALA

Trauma kepala terbuka

Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :

a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )

b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )

c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )

d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )

e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)

Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.

Trauma kepala tertutup

a. Komusio serebri ( Gegar otak )

Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan linglung. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu.

Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

b. Kontusio serebri ( Memar otak )

Merupakan perdarahan kecil / petechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan terjadi edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.

Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.

c. Perdarahan intrakranial

Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan:

1. Patologi

a. Komosio serebri

Komosio cerebri adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia.b. Kontusio serebri

Pada kontusio serebri terjadi kerusakan jaringan otak berupa terputusnya kontinuitas jaringan. Kriteria untuk mendiagnosis kontusio serebri adalah adanya riwayat benturan kepala diserta pingsan yang cukup lama (> dari 10 menit), selain itu dapat ditemukan adanya defisit neurologis, dapat pula terjadi kejang dan penurunan kesadaran.

c. Laserasio serebri

Gangguan fungsi neurologicdisertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka.

2. Lokasi lesi

a. Lesi difus

Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya parah.

b. Lesi kerusakan vaskuler otak

c. Lesi fokal

Kontusio dan laserasi serebri

Hematoma intrakranial

Hematoma epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal dari arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.

Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die).

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Hematoma subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.

Hematoma intraparenkimal

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS

KategoriGCSGambaran KlinikCT Scan otak

Minimal15Pingsan (-), defisit neurologik (-)Normal

Ringan13-15Pingsan < 10 menit, defisit neurologik (-)Normal

Sedang9-12Pingsan > 10 menit s/d 6 jam, defisit neurologik (+)Abnormal

Berat3-8Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+)Abnormal

Glasgow Coma Scale

nilai aiRespon membuka mata (E)

Buka mata spontan

4

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

3

Buka mata bila dirangsang nyeri

2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

4

Kata-kata tidak teratur

3

Suara tidak jelas

2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah

6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

1Total COMA SCORE: 3/15-15/152.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Polos Kepala

b. CT Scan Kepala. CT scan kepala meruakan standar baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial. Semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan, sedangkan pada pasien dengn GCS = 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti:

Nyeri kepala hebat

Adanya tanda- tanda fraktur basis kranii

Adanya riwayat cedera yang berat

Muntah lebih dari kali

Penderita lansia (usia >65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia.

Kejang

Riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat- obat antikoagulan

Amnesia, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.

Rasa baal pada tubuh.

Gangguan keseimbangan atau berjalan.

c. MRI Kepala

MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitive dibandingkan dengan CT scan. Dibutuhkan waktu lebih lama dibandingkan CT Scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat.

d. PET dan SPECT

Positron Emission Tomogrphy (SPECT) dapat memperlihatka abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan.

2.4 Penatalaksanaan

Survei Primer ( Primary Survey)

Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilsi. Daerah tulang servikal harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar pada kecurigaan fraktur servikal.

Pernapasan

Sirkulasi. Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.

Defisit Neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaan dapat diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS< 8 harus diintubasi.

Kontrol pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Anak- anak sering datag dengan keadaan hipotermi ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihagatkan engan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telh dianatkan sampai 39 oC.

Survei Sekunder

Observasi ketat penting pada jam- jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan penderit CKR tidak memiliki masal dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai obervasi tanda vital dan defisit neurologis.

Bila setelah 24 am tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:

Penurunan kesadaran dari observasi awal

Gangguan daya ingat

Nyeri kepala hebat

Mual dan muntah

Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor; refleks patologis)

Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan

Abnormalitas anatomi

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah. Namun, bila tanda- tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat.

Tujuan yang paling utama dari tata laksana trauma kapitis tertutup harus maksimal terhadap proses fisiologis dari perbaikan otak itu sendiri.

A. Kritikal- GCS 3-4

Perawatan di Unit Intensif Neurologi (Neurological ICU)/ICU.

B. Trauma Kapitis Sedang dan Berat GCS 5-12

1. Lanjutkan penanganan ABC

2. Pantau tanda vital ( suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil, GCS, gerakan ekstremitas

3. Cegah kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, dengan cara:

Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

Bila perlu dapat diberikan Manitol 20%. Dosis awal 1 gr/kgBB, berikan dalam waktu -1 jam, drip cepat, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr/kgBB drip cepat, -1 jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 gr/kgBB drip cepat, -1 jam setelah 12 jam dan 24 jam pemberian pertama

Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

4. Atasi komplikasi

Kejang: profilaksis OAE selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure pada kasus resiko tinggi

Infeksi akibat fraktur basis kranii/fraktur terbuka: profilaksis antibiotik selama 10-14 hari

Demam

5. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat

6. Neuroprotektan (citicolin)

C. Trauma Kapitis Ringan (Komosio Serebri)

1. Rawat 2 x 24 jam

2. Tidur dengan posisi kepala ditinggikan 30 derajat

3. Obat- obat simptomatis seperti analgesik, antiemetic sesuai indikasi dan kebutuhan.

2.5 Indikasi Operasi Penderita Trauma Kapitis

1. Epidural Hematom

a. Lebih dari 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal/ frontal/ parietal dengan fungsi batang otak masih baik

b. Lebih dari 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda- tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik

c. Epidural hematom progresif

2. Subdural Hematom (SDH)

a. SDH luas (>40 cc/ 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik.

b. SDH dengan edema serebri/ kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang otak masih baik.

3. Perdarahan intraserebral pasca trauma

a. Penurunan kesadaran progresif

b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda- tanda gangguan nafas

c. Perburukan defisit neurologi fokal

4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe

5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri

6. Fraktur kranii terbuka

7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK.