Transcript
Page 1: TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN ...4).pdfKey words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Diponegoro

182

MDVI Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 182-187

TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN OLEH

TRICHOPHYTON TONSURANS PADA PASIEN OBESITAS

Jihan Rosita, Kusmarinah Bramono, Sandra Widaty, Eliza Miranda

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Dermatofitosis kronis umumnya disebabkan oleh dermatofita spesies antropofilik. Trichophyton tonsurans

(T. tonsurans) merupakan dermatofita antropofilik yang terdapat di seluruh dunia dan banyak dilaporkan di Amerika Serikat, Amerika Latin, serta beberapa negara Eropa, namun jarang dilaporkan di Indonesia. T.tonsurans sering ditemukan sebagai penyebab tinea kapitis. Dilaporkan seorang perempuan berusia 33 tahun, dengan obesitas, mengeluhkan bercak merah kehitaman yang gatal, tersebar luas sejak ± 12 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan makula hingga plak eritematosa-hiperpigmentasi dalam berbagai ukuran, berbentuk polisiklik dengan tepi aktif dan skuama putih kasar di atasnya, tersebar pada kedua ketiak, perut bawah, sela paha, paha, bokong dan punggung. Pada pemeriksaan KOH 10% terhadap kerokan kulit didapatkan hifa panjang bersepta dan artrospora. Biakan dengan media agar Sabouraud menunjukkan T.tonsurans.Pasien mendapat terbinafin 250 mg perhari selama 3 minggu hingga tercapai kesembuhan klinis dan mikologis. Tinea korporis et kruris kronis yang disebabkan oleh T.tonsurans jarang dilaporkan. Dengan menggunakan media kultur standar, sulit untuk membedakan T.tonsurans dari Trichophyton sp lain. Observasi morfologik secara makroskopis dan mikroskopis yang teliti terhadap isolat kultur dibutuhkan jika media khusus atau pemeriksaan Polymerase Chain Reaction tidak tersedia. Terbinafin merupakan terapi pilihan pada kasus dermatofitosis. (MDVI 2013; 40/4: 182-187)

Kata kunci : tinea korporis et kruris kronis, Trichophyton tonsurans, obesitas, terbinafin

ABSTRACT

Chronic dermatophytosis is commonly caused by anthropophilic dermatophyte. Trichophyton tonsurans (T. tonsurans) is an anthropophilic dermatophyte with a world-wide distribution, mostly reported in USA, Latin America and some European countries but rarely reported in Indonesia. T. tonsurans is a common cause of tinea capitis. We reported a 33-year-old woman, with obesity presented with multiple, itchy wide-spread skin lesions since ± 12 years ago. Physical examinations revealed multiple erythematous to hyperpigmented macules and plaques in various size, with polycyclic and active borders, covered by white scales, spread in both underarm, abdomen, groin, inner thigh, buttocks, and back. KOH 10% examination showed septate-long hyphae and arthrospores. Cultures on Saboraud Dextrose Agar media yielded T.tonsurans. Terbinafine 250 mg per day was given for 3 weeks period until clinical and mycological cure was achieved. Chronic tinea corporis et cruris due to T.tonsurans is rarely reported. It is difficult to distinguished it from other Trichophyton sp using standard culture media. A careful morphological macroscopic and microscopic observation of the isolate is needed if special media or Polymerase Chain Reaction examination is not available. Terbinafine is the treatment of choice for dermatophytosis. (MDVI 2013; 40/4: 182-187)

Key words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine

Laporan Kasus

Korespondensi: Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta pusat Telp. 021 – 31935383

Page 2: TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN ...4).pdfKey words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Diponegoro

183

J Rosita dkk. Tinea korporis et kruris kronis disebabkan T. tonsurans

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita.1,2 Berdasarkan habitat alamiahnya, dermatofita dikelompokkan menjadi 3, yaitu spesies geofilik (pada tanah), zoofilik (pada hewan), dan antropofilik (pada manusia).3 Dermatofitosis dapat ber-langsung kronis dengan periode rekurensi di antaranya. Dermatofitosis kronis umumnya disebabkan oleh dermatofita spesies antropofilik.4 Spesies antropofilik telah beradaptasi dengan tubuh manusia sebagai pejamunya. Infeksi oleh spesies tersebut umumnya menghasilkan respons non-infla-masi atau inflamasi ringan.1 Dermatofita spesies antropofilik, antara lain Trichophyton rubrum (T.rubrum), Trichophyton tonsurans (T.tonsurans), Epidermophyton floccosum (E.floccosum), dan Trichophyton violaceum (T.violaceum).1 Spesies yang paling sering menyebabkan dermatofitosis kronis adalah T.rubrum.4 Berdasarkan distribusi geografis, T.tonsurans merupakan spesies antropofilik yang dapat ditemukan di seluruh dunia dan sering dilaporkan di Amerika Serikat, Amerika Latin, serta beberapa negara Eropa, namun jarang dilaporkan di Indonesia.5,6

Berdasarkan etiologinya, organisme penyebab tersering tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes, kemu-dian diikuti oleh M.canis dan T.tonsurans;1,7 sedangkan, organisme penyebab tersering tinea kruris adalah T.rubrum kemudian diikuti oleh E.floccosum, T.interdigitale, dan T.verrucosum.1,7 T.tonsurans sering dilaporkan sebagai penyebab dari tinea kapitis.1,7

Kasus yang dilaporkan merupakan kasus yang jarang baik dari segi distribusi geografis maupun secara etiologis. KASUS

Pasien seorang perempuan berusia 33 tahun, dengan keluhan bercak merah kehitaman yang gatal di ketiak, perut bagian bawah, sela paha, paha, bokong, dan punggung sejak 12 tahun yang lalu. Selama ini, pasien berobat ke dokter puskesmas, mendapatkan krim mikonazol 2x perhari dan obat minum ketokonazol tablet 1x perhari. Pasien merasa keluhan membaik, namun keluhan masih hilang timbul. Bercak yang awalnya hanya di ketiak dan perut, lalu menyebar ke sela paha, paha, bokong, dan punggung dalam waktu kurang lebih 10 tahun. Setiap keluhan kambuh, pasien selalu mengoleskan krim mikonazol dan minum

ketokonazol tablet hingga keluhan gatal hilang kembali dan meninggalkan bercak hitam. Pasien memiliki riwayat operasi katup jantung pada tahun 2010, namun sudah tidak kontrol lagi. Riwayat atopi dan diabetes melitus disangkal oleh pasien. Terdapat riwayat asma bronkial pada nenek pasien, dan paman pasien menderita diabetes melitus.

Pasien seorang perawat di Puskesmas yang aktivitas sehari-harinya di ruangan yang panas, dan seringkali juga bertugas di lapangan sehingga banyak berkeringat. Ditambah dengan kondisi obesitasnya, pasien mengaku menjadi lebih sering berkeringat. Jika berkeringat, pakaian dibiarkan hingga kering sendiri, tidak diganti. Pasien berganti baju dan pakaian dalam 2-3x perhari sesudah mandi. Pasien mandi dengan sabun antiseptik. Tidak ada kebiasaan tukar menukar baju, handuk, maupun pakaian dalam dengan orang lain. Saat ini, pasien tinggal sendiri di rumah kontrakannya. Pasien mengalami kegemukan sejak masih kanak-kanak, yaitu sejak kelas IV SD. Pasien anak ke-2 dari 2 bersaudara. Kakak perempuan pasien, ayah, ibu, dan nenek pasien juga mengalami kegemukan.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan kondisi pasien secara umum tampak sakit ringan, dengan berat badan 110 kg, tinggi badan 160 cm (IMT=42,9kg/m2). Pada pemeriksaan fisis, kulit daerah ketiak bilateral, lengan atas kiri bagian dalam, perut bagian bawah, sela paha bilateral, paha bilateral, bokong, punggung bagian bawah, dan pinggang terdapat makula-plak, eritematosa-hiperpigmentasi, multipel, diskret, ukuran lentikular sampai plakat, batas tegas, tepi aktif, bentuk polisiklik, central healing (+), dengan skuama putih kasar. Pada kuku tidak ditemukan kelainan (lihat Gambar 1-4a).

Dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10% dari kerokan kulit di semua lokasi kelainan kulit. Ditemukan adanya hifa panjang bersepta dan artrospora (lihat Gambar 5). Pemeriksaan kultur pada media Sabouraud dextrose agar (SDA) dilakukan di Laboratorium Parasitologi FKUI-RSCM. Setelah 3 minggu, tumbuh koloni dengan gambaran makroskopik berupa koloni putih kuning, coklat, dengan permukaan seperti beludru, pigmen berwarna merah coklat. (lihat Gambar 6) Gambaran mikroskopik dari sediaan kultur tersebut ditemukan adanya hifa berseptum, mikrokonidia bervariasi dari bentuk tear drop, bulat, dan dapat membesar seperti balon (balloon-forms), dengan makrokonidia berdinding tipis terdiri atas 5 sel (lihat Gambar 7). Gambaran tersebut sesuai dengan spesies Tricophyton tonsurans.

Page 3: TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN ...4).pdfKey words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Diponegoro

184

MDVI Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 182-187

(a) (b)

Gambar 1. Lesi kulit ketiak dan lengan atas kiri sebelum terapi (a), dan 3 minggu setelah terapi (b)

(a) (b)

Gambar 2. Lesi kulit ketiak kanan sebelum terapi (a), dan 3 minggu setelah terapi (b)

(a) (b)

Gambar 3. Lesi kulit perut bawah dan paha sebelum terapi (a), dan 3 minggu setelah terapi (b)

Page 4: TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN ...4).pdfKey words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Diponegoro

185

J Rosita dkk. Tinea korporis et kruris kronis disebabkan T. tonsurans

(a) (b)

Gambar 4. Lesi kulit bokong dan punggung sebelum terapi (a) dan 3 minggu setelah terapi (b)

Gambar 5. Sediaan langsung kerokan kulit dengan KOH 10% (pembesaran 40x10)

Depan Reverse (belakang)

Gambar 6. Gambaran makroskopik kultur pada media SDA

Page 5: TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN ...4).pdfKey words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Diponegoro

186

MDVI Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 182-187

Gambar 7. Gambaran mikroskopik kultur pada media SDA

Pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap dite-mukan Hb 13,9 g/dL, Ht 43,4%, eritrosit 5,10 juta/μL, trombosit 273.000, leukosit 10.290, hitung jenis B/E/N/L/M= 0,2/4,0/56,2/33,2/6,4 LED 43 mm. Pemeriksaan laboratorium kimia darah ditemukan gula darah puasa = 157 mg/dl, gula darah 2 jam postprandial = 193 mg/dl, SGOT, SGPT, ureum darah, kreatinin darah, asam urat dalam batas normal. Kolesterol total 196 mg/dl, HDL 40 mg/dl, LDL=151 mg/dl, trigliserida=116 mg/dl. Pemeriksaan urinalisis tidak ditemukan kelainan. Pada foto toraks tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo, terpasang 4 buah wire proyeksi sternum.

Pasien mendapatkan terapi terbinafin 1x250 mg/hari selama 3 minggu. Pasien dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan diri dengan mandi minimal dua kali sehari. Jika berkeringat sebaiknya dikeringkan, dan pakaian yang basah dengan keringat diganti dengan yang baru, minimal pakaian dalam yang melekat langsung di permukaan kulit pasien. Perendaman pakaian, seprai, handuk, mukena, selimut dan kain lain yang kontak dengan lesi kulit pasien dengan Na hipoklorit (Bayclin®) dan karbol sebelum dicuci juga penting agar elemen jamur mati, dan tidak menginfeksi kulit kembali (mencegah re-infeksi). Untuk penatalaksanaan obesitas dan evaluasi kelainan metabolik endokrin lainnya, pasien dikonsulkan ke Divisi Metabolik-Endokrin Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Setelah terapi 1 minggu, telah terlihat perbaikan klinis namun belum sepenuhnya bebas gejala, walaupun secara mikroskopis tidak

ditemukan lagi elemen jamur pada pemeriksaan langsung KOH 10% dari kerokan kulit. Oleh karena itu terapi terbinafin tetap diberikan selama 2 minggu berikutnya hingga didapatkan kesembuhan klinis dan mikologis.

DISKUSI

Tinea korporis et kruris kronis yang disebabkan oleh T.tonsurans jarang dilaporkan.1,4,6,7 T.tonsurans lebih sering dilaporkan sebagai penyebab tinea kapitis, dan sulit untuk membedakannya dari Trichophyton sp lain dengan menggu-nakan media kultur standar.5,7,8 Observasi morfologik secara makroskopis dan mikroskopis yang teliti terhadap isolat kultur dibutuhkan jika media khusus atau pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) tidak tersedia.8 Peme-riksaan mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan penunjang yang paling efektif dan efisien dalam men-diagnosis infeksi dermatofita. Diagnosis biasanya dibuat dengan pemeriksaan KOH 10% dari sediaan skuama kerokan kulit tepi lesi.9 Pada pasien ini, pemeriksaan KOH 10% dari sediaan langsung kerokan kulit didapatkan hifa panjang dan artrospora, yang memperkuat diagnosis ke arah infeksi jamur oleh dermatofita.

Pemeriksaan kultur jamur dilakukan untuk memastikan diagnosis, khususnya pada kasus yang kronis atau rekal-sitran. Kultur juga dilakukan apabila ingin mengidentifikasi spesies penyebab.9 Kultur diinkubasi pada suhu ruangan (20-250C) selama paling sedikit 4 minggu sebelum dinyatakan

Page 6: TINEA KORPORIS ET KRURIS KRONIS DISEBABKAN ...4).pdfKey words : chronic tinea corporis et cruris, Trichophyton tonsurans, obesity, terbinafine Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Diponegoro

187

J Rosita dkk. Tinea korporis et kruris kronis disebabkan T. tonsurans

tidak tumbuh. Agar Sabouraud dekstrosa (SDA) merupakan media yang sering digunakan untuk mengisolasi spesies jamur. SDA dapat ditambah dengan kloramfenikol dan sikloheksimid untuk mempercepat pertumbuhan dermatofita dengan menekan bakteri kontaminan dan jamur non-dermatofita. Terdapat pula dermatophyte test medium (DTM) yang merupakan media isolasi alternatif yang berisi indikator pH merah phenol. 9,10 Pada pemeriksaan kultur pasien ini, media isolasi yang dipakai adalah SDA. Awalnya ditemukan pertumbuhan koloni kandida, yang diikuti pertumbuhan yang lambat koloni dermatofita. Gambaran makroskopik tampak koloni putih kuning, coklat, dengan permukaan seperti beludru, reverse pigmen berwarna merah coklat. Gambaran mikroskopik terdapat hifa berseptum, mikro-konidia bervariasi dari bentuk tear drop, bulat, dan dapat membesar seperti balon (balloon-forms), dengan makro-konidia berdinding tipis terdiri atas 5 sel. Gambaran tersebut sesuai dengan spesies Tricophyton tonsurans.5,11

Dengan ditemukannya koloni dermatofita maka kandida yang tumbuh dianggap sebagai jamur kontaminan. Akhir-akhir ini, pemeriksaan kultur dinilai “time-consuming” dan mendatangkan kesulitan bagi petugas yang tidak ahli dalam membedakan morfologi kultur, sehingga penggunaan multiplex PCR untuk identifikasi dermatofita makin banyak dipakai di negara maju.8

Penatalaksanaan dermatofitosis kronis tidak hanya mencakup penatalaksanaan infeksi jamur, namun juga faktor predisposisi yang mendasarinya, dalam hal ini obesitas pada pasien. Penatalaksanaan pasien ini terdiri atas terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non-medikamentosa bertujuan untuk memutuskan mata rantai penularan, menghilangkan faktor predisposisi dan mencegah kekambuhan penyakit.

Untuk terapi medikamentosa pada pasien ini diberikan obat anti jamur sistemik, yaitu tablet terbinafin 1x250 mg perhari. Terapi topikal sering tidak berhasil dan menimbulkan kekambuhan pada pasien dermatofitosis kronis.4 Lesi kulit yang luas pada pasien ini menjadi indikasi pemberian obat anti jamur sistemik.12 Mengingat infeksi jamur sudah kronis, maka dipilih obat anti jamur sistemik yang bersifat fungisidal, yaitu golongan alilamin (terbinafin). Mekanisme kerja terbinafin menghambat enzim squalene epoxidase, yang berperan dalam jalur sintesis ergosterol, komponen dinding sel jamur. Inhibisi tersebut menghasilkan efek fungistatik dan fungisidal terhadap sel jamur.10,13 Akumulasi skualen menghasilkan efek fungisidal akibat deposisi lipid vesikel yang menyebabkan kerusakan membran sel; sedangkan defisiensi ergosterol menghasilkan efek fungistatik dengan berhentinya pertumbuhan sel.10,13 Terbinafin mem-punyai efektivitas utama lebih pada dermatofita. Spektrum aktivitas terbinafin in vitro, menunjukkan aktivitas fungisidal yang sangat baik (excellent) terhadap dermatofita, mencakup T.rubrum, T.mentagrophytes, T.tonsurans, M.canis, dan E.floccosum.13 Pemberian terbinafin oral pada terapi tinea korporis dan tinea kruris menunjukkan angka kesembuhan

klinis dan mikologis berkisar antara 71-100% dan 78-100 %. Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam angka kesembuhan klinis dan mikologis antara terbinafin dan griseofulvin; namun angka kekam-buhan didapatkan lebih tinggi pada yang mendapat griseofulvin dibandingkan dengan terbinafin.14

Pada saat kunjungan ulang, didapatkan perbaikan klinis dan mikologis, sedangkan berat badan pasien belum juga mengalami penurunan. Walaupun dari pemeriksaan mikros-kopis sudah tidak ditemukan elemen jamur, namun secara klinis masih ditemukan adanya bercak yang gatal di daerah bokong dan paha, sehingga diputuskan untuk meneruskan pemberian terbinafin oral. Terbinafin diberikan pada pasien selama 3 minggu hingga didapatkan kesembuhan klinis dan mikologis.

DAFTAR PUSTAKA 1. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. Dalam: Wolff

K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Med; 2012. h.2277-97.

2. Adiguna MS. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, penyunting. Dermatomikosis superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.h.1-6.

3. Ghannoum MA, Isham NC. Dermatophytes and dermatophytoses. Dalam: Anaissie EJ, McGinnis MR, and Pfaeller MA, penyunting. Clinical mycology. China: Elsevier Inc; 2009.h.375-84.

4. Ervianti E. Terapi dan masalah rekurensi pada dermatofitosis. Disampaikan pada Simposium Dermatomikologi : dari klinik ke laboratorium.7 Oktober 2012. Jakarta.

5. Kane J, Summerbell R. The genera Tricophyton and Epidermophyton. Dalam: Kane J, Summerbell R, Krajden S, Sigler L, Land G, penyunting. Laboratory handbook of dermatophytes: a clinical guide and laboratory handbook of dermatophyte fungi from skin, hair, and nails. Belmont: Star publ comp;1997.h.131-91.

6. Seebacher C, Bouchara JP, Mignon B. Updates on the epidemiology of dermatophyte infections. Mycopathologia. 2008;166:335–52.

7. Pappas PG, Bergamo B. Superficial and mucosal fungal infections. Dalam: Maertenz JA, Marr KA, penyunting. Diagnosis of fungal infections. New York: Informa Healthcare; 2007.h.153-69.

8. Kim JY, Choe YB, Ahn KJ, Lee YW. Identification of dermatophytes using multiplex polymerase chain reaction. Ann Dermatol. 2011; 23(3): 304-12.

9. Keiler SA, Ghannoum MA. Dermatophytosis. Dalam: Ghannoum MA, and Perfect JR, penyunting. Antifungal therapy. New York: Informa Healthcare; 2010.h.258-77.

10. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. Dalam: Anaissie EJ, McGinnis MR, and Pfaeller MA, penyunting. Clinical mycology. China: Elsevier Inc; 2009.h.161-95.

11. Rohde B, Hartmann G. Tricophyton tonsurans. Dalam: Rohde B, Hartmann G, penyunting. Introducing mycology by examples. Hamburg: Skinoren schering;1980.h.52-3.

12. Kuswadji, Widaty S. Obat anti-jamur. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, penyunting. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.h.108-17.

13. Gupta AK. Systemic antifungal agent. Dalam: Wolverton SE, penyunting. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-2. China: Elsevier Inc; 2007.h.75-99.

14. Newland JG, Rahman SMA. Update on terbinafine with a focus on dermatophytoses. Clin Cosm Invest Dermatol. 2009; 2: 49-63.