Download pdf - Skripsi Putri Retno

Transcript

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PAGE

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JAMBI

FAKULTAS HUKUM

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

PEMBINAAN NARAPIDANA RESIDIVISSKRIPSIPUTRI RETNO

NIM B10007164

Program Kekhususan

Hukum Pidana

JAMBI

2013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAN

UNIVERSITAS JAMBI

FAKULTAS HUKUMPERSETUJUAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh :

Nomor Mahasiswa:PUTRI RETNO

Nomor Induk Mahasiswa:B 10007164

Program Kekhususan:Hukum Pidana

Judul Skripsi:Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pembinaan Narapidana Residivis

Telah disetujui oleh Pembimbing Skripsi seperti tanggal di bawah ini

Untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Fakulta Hukum

Universitas Jambi

Pembimbing UtamaPembimbing Pembantu

Elly Sudarti, S.H., M.H.Yulita Monita, S.H., M.H.

Nip. 19650523 199103 2 004Nip. 19740507 200604 2 001

KATA PENGANTARBismillahirrohmaanirrohim,

Alhamdulillah, Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pembinaan Narapidana Residivis. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Jambi.

Tiada suatu perbuatan pun yang mampu menggambarkan rasa syukur ini, kecuali dengan kalimat syukur dan sujud ikhlas hanya kepada Allah Subhanahu Wa Taala, yang Maha Pengasih, Penyayang dan memiliki segalanya yang ada di alam semesta.Dalam penulisan skripsi ini penulis juga banyak menerima bantuan, bimbingan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Bapak Taufik Yahya, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah memberikan surat izin penelitian.2. Ibu Pembantu Dekan I Ibu Dhils Noviandes, S.H., M.H., yang telah memberikan kemudahan dalam administrasi skripsi ini.3. Ibu Sri Rahayu, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah menyetujui judul dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Yulia Monita, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah menyetujui judul dalam penulisan skripsi ini dan juga sebagai pembimbing II skripsi ini.

5. Ibu Elly Sudarti, S.H., M.H., sebagai pembimbing utama yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Dimar Simarmata, S.H., M.H., sebagai Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jambi yang memberikan kemudahan dalam peminjaman buku.

7. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah membantu memberikan ilmunya selama perkuliahan.

8. Bapak dan Ibu Staf Tata Usaha Fakultas Hukum yang telah memberikan kemudahan dalam administrasi perkuliahan selama ini.

9. Kepada Ayahku Syamsul Bahrul (Alm.), Ibuku Yulisna, dan saudariku, kakakku dan adikku yang telah sangat banyak membantu penyelesaian pendidikanku, selalu memberikan dorongan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini, akan kuingat segala jerih payah dan usahamu ayah dan ibu sampai akhir hayatku.

10. Kepada Bang Rustam, S.H., beserta istri Srinalwati yang telah memberikan dukungan moril terhadap penyelesaian skripsi ini.

11. Kepada Om Yusran Saad Bc.IP, S.H., M.H., beserta istri Sri Susilowati, S.H., yang telah memberikan dukungan moril terhadap penyelesaian skripsi ini.

12. Rekan-rekan seperjuangan Program Kekhususan Hukum Pidana telah banyak memberikan bantuan motivasi dan informasi sehingga selesainya skripsi ini.

13. Teman seangkatan 2007 khususnya kelas D, Diah K. Sari, S.H., Putri Apriani, S.H., Yeartina Sipahutar, S.H., Gandes D. Wahyuni, S.H., Rika Novitasari, Een, Melisa P., Angie Soraya, S.H., Aistya Lestari, S.H., Muti J. Nainggolan, S.H., Ayu E.D, S.H., Dwicitra K.P, S.H., yang selalu dan tidak pernah berhenti dalam hal memberi motivasi untuk penyelesaian skripsi hingga selesai.14. Seluruh Teman Posko 12 Kukerta Unja di Dusun Rantau Panjang Ma. Bungo yang memberikan inspirasi dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, baik moril maupun materil, bimbingan, mencari dan menyediakan bahan-bahan untuk penulis, bertukar pikiran (berdiskusi), serta memberikan motivasi dan semangat kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Namun, penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini belum sempurna dan masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Semoga semua pihak di atas diberikan umur panjang, limpahan berkah dan karunia, atas jasa-jasanya oleh Allah Subhanahu Wa Taala dengan pahala yang berlipat ganda, Amin amin ya robbal alamin.Jambi, Maret 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN PERSETUJUAN

iiKATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

ivBAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Kerangka Konseptual

E. Landasan Teoritis

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

B. Pengertian, Fungsi, Serta Tujuan Sistem Pemasyarakatan

C. Pengertian dan Ruang Lingkup Residivis

BAB III. PEMBAHASAN

A. Pengaturan Pembinaan Narapidana Residivis Pada Saat ini

B. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pembinaan Narapidana Residivis di Masa Yang Akan Datang

BAB IV.PENUTUPA. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKABAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahNegara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), dalam hal ini kedudukan hukum hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Negara kita sedang melakukan pembangunan di berbagai bidang baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun khususnya di bidang hukum. Setiap pembangunan yang dilakukan menimbulkan dampak positif dan negatif sebagai proses modernisasi, ini berarti bahwa setiap peserta pembangunan bertanggung jawab terhadap terjadinya akibat hukum tersebut. Salah satu dari dampak negatif pembangunan ini adanya penjahat kambuhan yaitu residivis. Karena dampak ekonomi yang ditimbulkan dapat mengakibatkan perbuatan melawan hukum yang kemungkinan suatu tindak kejahatan dapat terulang kembali akibat faktor ekonomi.Dalam hal ini lembaga pemasyarakatan mempunyai tugas penting dalam resosialisasi dan rehabilitasi. Tidak hanya sekedar itu saja harus ada pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat pasca menjalani pidana yaitu penerimaan kembali bekas narapidana.Tetapi dalam kenyataannya tidak semua bekas narapidana bisa diterima di dalam masyarakat. Bahkan umumnya masyarakat menolak kehadiran seorang mantan narapidana. Dengan demikian seorang narapidana akan kembail lagi berbuat kejahatan, maka inilah yang dinamakan residivis.Adapun desakan ekonomi dan kurangnya keterampilan seorang mantan narapidana akan kembali mengulangi tindak pidana kejahatan. Secara umum pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang, maka Undang-Undang itu harus diciptakan terlebih dahulu.Menurut pendapat Soerjono Soekanto terjadinya kejahatan disebabkan sebagai berikut:a. Adanya orientasi pada benda yang menimbulkan keinginan mendapatkan materi dengan mudah.b. Tidak adanya penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada diri seseorang.

c. Keberanian mengambil resiko.

d. Kurangnya perasaan bersalah.

e. Adanya keteladanan yang kurang baik.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Sistem peradilan pidana dapat juga digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang diterimanya.Dari sistem ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana sangat memperhatikan masalah waktu sehingga pembinaan terhadap narapidana dapat lebih efektif. Pelaksanaan pembinaan yang efektif akan menghasilkan perubahan terhadap perilaku narapidana.

Dari sistem di atas dapat dilihat berbagai upaya dilakukan dalam rangka perbaikan dan mencari sistem yang lebih manusiawi. Akan tetapi seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, tantangan untuk mencari sistem yang lebih manusiawi terkendala dengan beberapa permasalahan bukan hanya mengenai sistem pemenjaraan tetapi juga masalah manajemen penjara, sumber daya dan sumber dana yang tersedia. Beberapa masalah klasik yang menjadi catatan dari banyak penelitian biasanya meliputi tiga hal yaitu: masalah overcapacity, masalah pendanaan, masalah pembinaan. Banyak dampak yang timbul dari masalah tersebut salah satunya pada proses pembinaan yang memicu terjadinya pengulangan tindak pidana (recidive).Pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.Dalam sistem kepenjaraan, penjatuhan pidana dianggap sebagai pengenaan penderitaan, penjeraan dan balas dendam terhadap pelaku kejahatan. Tujuan pemidanaan warisan kolonial tersebut, dianggap tidak sesuai dengan falsafah negara pancasila, dan oleh karenanya perlu diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dimana pengenaan pidana tidak sekedar upaya penjeraan, tetapi lebih ditujukan sebagai upaya penyadaran dan pemulihan pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi tindak pidana, dan menjadi insan yang patuh pada hukum.Menurut Muladi bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Unsur-unsur tujuan pemidanaan menurut muladi adalah:

a) Pencegahan

b) Perlindungan masyarakatc) Memelihara solidaritas masyarakat

d) Pengimbalan/perimbangan.

Pemikiran-pemikiran baru tentang fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar pemenjaraan itu telah melahirkan suatu sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan berala dari gagasan yang dicetuskan oleh Sahardjo pada saat pelantikannya sebagai Menteri Kehakiman Republiks Indonesia pada tahun 1963. sahardjo melontarkan gagasan mengenai perlunya perbaikan perlakuan bagi narapidana yang hidup di balik tembok penjara melalui pembentukan suatu landasan yang disebut sebagai sistem pemayarakatan.Gagasan Sahardjo, kemudian dirumuskan dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang Bandung, tanggal 27 April 1964. Rumusan tersebut termaktub dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana yang dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:1. Ayomi dan berikan bekan hidup agar mereka dapt menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam oleh negara.3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih jahat atau buruk sebelum dijatuhinya pidana.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat pengisi waktu jadi tidak dibolehkan diberikan pekerjaan untuk memenuhi keperluan jawatan atau kepentingan negara pada waktu tertentu saja, pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat di masyarakat dan yang menunjang pembangunan.

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang mendukung fungsi rehabilitasi, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.

Sejak tahun 1964, berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964 bahwa sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar yaitu dari ssitem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Konsep pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan antara narapidana dengan masyarakat. Lembaga pemasyarakatan sebagai pengganti penjara di Indonesia adalah tempat narapidana dibina, dibimbing keterampilan fisik dan mentalnya untuk bekal kembali ke masyarakat sebagai manusia aktif dan produktif.Tugas hukum menurut Sahardjo adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat. Begitu pula kepada narapidana hukum haruslah dapat mengayomi dengan memberi bekal bimbingan untuk kembali ke masyarakat, di samping menimbulkan rasa derita kepada narapidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak. Membimbing narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi masyarakat sosialis Indonesia yang beragama. Dengan singkat tujuan pidana ialah pemasyarakatan.

Terpidana yang menjadi narapidana harus terlebih dahulu didaftarkan dan digolongkan sesuai dengan isi Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa:

Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar:

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Lama pidana yang dijatuhkan

d. Jenis kejahatan dane. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Sistem pemasyarakatan menerapkan program pembinaan yang diawali dengan administrasi dan orientasi saat pertama kali narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan, diberi pembinaan selanjutnya berangsur-angsur diperkenalkan kepada kesatuan hubungan di masyarakat melalui asimiliasi dan integrasi. Akan tetapi merupakan kesatuan pola pembinaan, yaitu pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan.Ketentuan mengenai pola pembinaan diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3, yang selengkapnya menyatakan bahwa:

Pasal 2 ayat (1): Pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.

Pasal 2 ayat (2): Program Pembinaan diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Pasal 3:Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:

1. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;2. Kesadaran berbangsa dan bernegara;

3. Intelektual;

4. Sikap dan perilaku;

5. Kesehatan jasmani dan rohani;

6. Kesadaran hukum;

7. Reintegrasi sehat dengan masyarakat;8. Keterampilan kerja; dan

9. Latihan kerja dan produksi.

Dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa program pembinaan dalam sistem pemasyarakatan tidak dibedakan antara narapidana biasa dengan narapidana residivis, program pembinaan yang diberikan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kegiatan utama yakni kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Sementara itu proses untuk melakukan pembinaan itu sendiri dilakukan dengan beberapa tahap.Ketentuan ini dapat dilihat dari isi Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999, yaitu:

(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) meliputi:a. Masa pengamatan, masa pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama (satu) bulan;

b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan

d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.

(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2) meliputi:

a. Perencanaan program pembinaan lanjutan;

b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan

d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (3) meliputi:

a. Perencanaan program integrasi;

b. Pelaksanaan program integrasi; danc. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.

(5) Dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Kepala Lapas Wajib memperhatikan hasil Litmas.

(6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.Pasal 11 menyatakan:

(1) Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di LAPAS.

(2) Pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar LAPAS oleh BAPAS.

(3) Dalam hal narapidana tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, pembinaan tahap akhir narapidana yang bersangkutan tetap dilaksanakan di LAPAS.Jika melihat Pasal-pasal tersebut di atas yang merumuskan tentang pembinaan secara umum dan tidak dibedakannya antara pembinaan narapidana biasa dengan narapidana residivis, maka penulis ingin melihat lebih jelas mengenai pembinaan terhadap narapidana residivis.Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pengertian residivis mengandung dua pengertian yaitu:

1. Mengandung masyarakatResidivis merupakan setiap orang yang setelah dipidana menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi yang ada pengulangan tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya.

2. Menurut hukum pidana

Residivis merupakan dasar pemberatan pidana yang tidaklah cukup hanya dengan melihat berulangnya pelaku melakukan tindak pidana tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan Undang-Undang.

Residivis terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Seseorang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang bekerjanya salah satu subsistem secara efektif dari salah satu sistem peradilan pidana di Indonesia, dan faktor ekonomi, sosial dan budaya. Pengulangan tindak pidana ini juga terjadi karena masalah pemidanaan mengenai standar dan pedoman pemberian pidana. Dalam hal pemidanaan pelaku tindak pidana harus cocok dengan pribadi orangnya sehingga pembinaan tersebut benar-benar bersifat individual dan diarahkan guna mempengaruhi tingkah lakunya.Dalam hal ini upaya pembinaan narapidana merupakan tugas dari Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir dalam rangkaian mata sistem peradilan pidana Indonesia setelah penyidikan dilakukan oleh Polri, penuntutan oleh Jaksa dan peradilan oleh Hakim. Pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan sepenuhnya dijalankan oleh Lembaga Pemasyarakatan dimana seorang narapidana menjalani pidananya terutama narapidana residivis.Narapidana residivis selama menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan diberi bekal keterampilan sebagai modal bagi si terpidana jika telah bebas dan lebih penting lagi adalah pembinaan mental spiritual narapidana sehingga dia benar-benar menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya adalah perbuatan dosa, perbuatan yang merugikan masyarakat, dan perbuatan yang meresahkan masyarakat, dengan demikian apabila si terpidana itu kembali ke masyarakat akan menjadi orang baik yang berguna bagi masyarakat. Dengan tujuan diharapkan bahwa narapidana residivis harus memiliki perilaku yang baik, dapat hidup wajar dan mandiri sehingga program-program pembinaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan haruslah menyentuh pada tujuan yang dimaksud. Sehingga pembinaan terhadap narapidana residivis dapat membawa pengaruh baik dan positif terhadap perilaku dan kecakapan/keterampilan narapidana residivis tersebut untuk tidak kembali lagi mengulangi perbuatannya.Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Jambi jumlah perkembangan residivis dari tahun 2009 sampai tahun 2011 dapat dilihat dari tabel di bawah ini:Tabel 1.

Jumlah Residivis Tahun 2009 Sampai Tahun 2011

di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A JambiTahunJumlah NarapidanaJumlah Residivis

200978015

201082462

201184391

Sumber: ............................................................................................... ?Berdasarkan penelitian penulis di Lembaga Pemasyrakatan Kelas II A Jambi tentang narapidana residivis dari tahun 2009-2011 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yakni pada tahun 2009 orang yang melakukan pengulangan tindak pidana (residivis) sebanyak 15 orang, pada tahun 2010 sebanyak 62 orang dan pada tahun 2011 sebanyak 91 orang. Hal ini menunjukkan bahwa usaha untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis) dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana residivis tersebut oleh Lembaga Pemasyarakatan belum mampu semaksimal mungkin mencegah atau mengurangi dari tahun ke tahun terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis). Maka dari itu diperlukannya metode dan pola pembinaan secara khusus terhadap narapidana residivis dalam suatu kebijakan hukum pidana.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dan menuliskannya dalam penulisan skripsi yang diberi judul Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pembinaan Narapidana Residivis.B. Perumusan MasalahBerdasarkan alasan-alasan di atas, maka penulis mencoba merumuskan permasalahan-permasalahan yang akan diteliti, yakni:1. Bagaimana pengaturan pembinaan narapidana residivis pada saat ini?

2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pembinaan narapidana residivis di masa yang akan datang?C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, antara lain yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaturan pola pembinaan naraipadana residivis pada saat ini.2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam pola pembinaan narapidana residivis.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan bagi masyarakat agar dapat menerima mantan narapidana untuk dapat hidup bersama dengan masyarakat agar tidak mengulangi perbuatannya berulang-ulang.b. Manfaat praktis penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk kalangan aktivitas akademika agar dapat menambah bahan literatur hukum pidana khususnya mengenai kebijakan hukum pidana terhadap pembinaan narapidana residivis.D. Kerangka KonseptualAdapun untuk mengetahui dan memahami maksud dari judul skripsi ini serta untuk dapat memudahkan dalam pembahasan, sekaligus untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran maka perlu dijelaskan beberapa konsepsi yang berkaitan dengan judul skripsi ini menjadi kerangka konseptual ini adalah:

1. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy)

Menurut Marc Ancel ialah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pada pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

Dari pengetahuan di atas, maka dapat disimpulkan kebijakan hukum pidana adalah suatu pembaharuan terhadap suatu Undang-Undang atau hukum positif yang sedang berlaku.2. Pembinaan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam Pasal 1 Ayat (1): pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sikap dan prilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.3. NarapidanaMenurut ketentuan Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 pengertian Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.4. ResidivisMenurut Satochid Kartanegara dan pendapat ahli hukum terkemuka, bahwa yang dimaksud dengan residivis adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan delict yang berdiri sendiri, akan tetapi salah satu atau lebih dijatuhi hukuman oleh hakim.

Berdasarkan pengertian peristilahan pada kerangka konseptual di atas, dapatlah penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan hukum pidana terhadap Pembinaan Narapidana Residivis adalah Upaya menentukan kearah mana pemberlakuan mengenai pengembangan hukum pidana Indonesia tentang narapidana residivis di masa yang akan datang dan bagaimana penegakannya serta mempertahankan ketentuan peraturan perUndang-Undangan dan melihat kenyataannya dalam kehidupan masyarakat. E. Landasan TeoritisUpaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concerto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa social welfare) dan social defence. Pencegahan dan penanggulanang kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap: tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yuridis), tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pdana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Dalam hal ini berupa kebijakan hukum pidana terhadap pembinaan narapidana residivis.Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula beroritentasi pada pendekatan nilai.Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaruan hukum pidana sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.2. Dilihat dari sudut pendekatan nilaiPembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukankah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHM lama atau Wvs).

Kebijakan atau politik hukum pidana tidak terlepas dari bagian dari politik kesejahteraan. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Pencegahan dan pengendalian kejahatan dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksi yang berupa pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan cara paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Akan tetapi hukum pidana itu memiliki keterbatasan kemampuan dalam menanggulangi kejahatan.

Undang-Undang tidak mengatur mengenai residivis umum yang menentukan residivis berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Mengenai residivis KUHP mengatur sebagai berikut:

1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi residivisnya dan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP.

2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386, 387, dan 388 KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus yang dapat terjadi residivis.

Dalam hal residivis, si pembuat harus sudah dipidana karena melakukan tindak pidana yang pertama kali, karena dalam Pasal 486, 487 dan 488 disebutkan telah menjalani pidana yang dijatuhkan. Walaupun tidak disebut perihal syarat telah dijatuhkan pidana, tetapi dengan menyebut syarat telah menjalani pidana, maka sudah pasti di dalamnya mengandung syarat telah dijatuhi pidana.Dalam doktrin hukum pidana dikenal adanya bentuk residivis kebetulan (accidentally) dan residivis kebiasaan (habitual recidive) selain dibedakannya antara bentuk residivis umum dan residivis khusus. Maksud dari residivis kebetulan adalah pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu mengatasinya. Misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan setelah masuk dari Lembaga Pemasyarakatan karena mencuri uang majikannya, setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dia mencuri sepotong roti karena kelaparan, jadi dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan pemberat pidana. Sedangkan residivis kebiasaan adalah yang menunjukkan perangai yang buruk karena tidak jarang narapidana yang keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak menjadikan perilaku yang lebih baik justru di Lembaga Pemasyarakatan menambah ilmu kejahatan. F. Metode Penelitian1. Tipe PenelitianDalam hal ini penulis melakukan penelitian Yuridisi normatif yaitu melakukan pengkajian mengenai kebijakan hukum pidana dalam pembinaan narapidana residivis.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, sesuai dengan rumusan masalah sebagai objek penelitian yang akan dibahas dan dijawab, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan perUndang-Undangan.a. Pendekatan PerUndang-Undangan

Yaitu penulis meneliti peraturan perUndang-Undangan yang berkaitan dengan masalah residivis.

b. Pendekatan Konseptual

Yaitu dengan meneliti azas-azas, doktrin-doktrin, teori mengenai kebijakan hukum pidana, serta bentuk pembinaan narapidana residivis yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti.3. Pengumpulan Bahan HukumMerupakan penelitian yuridis normatif, yang mana penelitian ini lebih memfokuskan penelitian kepustakaan untuk mengkaji lebih dalam bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian ini.Adapun bahan-bahan hukum yang digunakan yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yakni dengan mempelajari peraturan perUndang-Undangan yang berhubungan dengan masalah yang akan ditulis antara lain Undang-Undang No. 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan bahan pelajaran mengenai materi kebijakan hukum pidana.b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahwa yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder dengan mempelajari literatur atau bacaan-bacaan ilmiah yang menyangkut dengan penulisan skripsi ini.c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan hukum sekunder diperoleh dengan mempelajari materi-materi tentang hukum.4. Teknik Pengumpulan Bahan HukumDalam teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan:a. Pedoman wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung dengan responden sebagai informan yang dianggap lebih mengetahui tentang masalah yang diteliti.b. Studi dokumen, yaitu dengan mempelajari dan memilih bahan pustaka.

5. Analisa Bahan HukumAnalisis dilakukan dengan cara:

a. Menginterpretasikan semua peraturan perUndang-Undangan sesuai dengan masalah yang akan dibahas.b. Menilai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.c. Mengevaluasi perUndang-Undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

G. Sistematika PenulisanPenulisan skripsi ini ditulis dalam rangkaian yang sistematis, antara bagian-bagian di dalamnya satu dengan lainnya berkaitan erat. Guna memberikan gambaran umum hasil skripsi ini maka penulis membagi empat bagian yang terdiri atas empat bab antara lain:BAB I PENDAHULUAN

Dimana pada bab ini penulis sajikan mengenai latar belakang yang merupakan dasar pemikiran yang melatar belakangi pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teoritis, metode penelitian dan sistematika yang merupakan gambaran isi dari skripsi ini.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini dijelaskan tentang pengertian kebijakan hukum pidana, fungsi serta tujuan sistem pemasyarakatan dan pengertian residivis.BAB IIIPEMBAHASAN

Dalam bab ini dibahas mengenai bagaimana pengaturan pembinaan narapidana residivis saat ini dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pembinaan narapidana residivis di masa yang akan datang.

BAB IVPENUTUP

Merupakan bagian akhir dari skripsi ini terdiri dari kesimpulan dan saran, dimana pada bab ini penulis berdasarkan pada pokok-pokok pikiran yang telah dikemukakan pada baba sebelumnya membuat kesimpulan serta memberikan serta memberikan saran yang berguna bagi perbaikan pembinaan narapidana residivis untuk bisa diterima di tengah masyarakat.BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian Kebijakan Hukum PidanaKebijakan hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, maka kebijakan hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengemukakan pengertian Kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut para ahli antara lain:1. Mark AncelKebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pada pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan.

2. Sudarto

Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana adalah:a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Dari uraian di atas mengenai pengertian kebijakan hukum pidana menurut para ahli maka penulis menarik suatu kesimpulan tentang kebijakan hukum pidana, bahwa usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum.Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebainya. Dengan demikian menarik garis antara apa yang hukum dan apa yang melawan hukum. Hukum dapat mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau mendiskualisifikasinya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan, yang menjadi masalah ialah justru perbuatan yang tersebut terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Perhatian dan penggarapan itulah yang merupakan penegakan hukum. Terhadap perbuatan yang melawan hukum tersedia sangsi.

Adapun dari uraian di atas, Sudarto juga mengemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perUndang-Undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau juga mengemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perUndang-Undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perUndang-Undangan pidana yang baik. Dalam hal ini, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, wajar pula apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial. Dalam hal ini kebijakan sosial dapat pula diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.Jika dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanan pidana.Dalam hal ini makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofisiologis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum. Hal ini berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu.Dari penjelasan di atas, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi itu. Dengan demikian pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial. Adapun dalam hal ini pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau bagian dari politik hukum dan penegakan hukum pidana, serta politik kriminal dan politik sosial. Di dalam setiap kebijakan terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.Dari uraian di atas, dapatlah penulis simpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakana. Sebagian bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial termasuk masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);

b. Sebagian bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya upaya penanggulangan kejahatan;

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama WvS).

B. Pengertian, Fungsi, Serta Tujuan Sistem PemasyarakatanSecara filosofis dilukiskan bahwa, seorang yang dinyatakan bersalah melakukan tindakan pidana adalah seseorang yang secara sistem kemasyarakatan sakit dan tidak sinergis dengan anggota masyarakat lainnya, sehingga harus dikeluarkan dari sistem kemasyarakatannya. Oleh karena itu untuk dapat kembali pada masyarakatnya haruslah dilakukan rehabilitasi dan resosialisasi. Artinya memasyarakatkan kembali seseorang yang telah keluar dari tatanan masyarakat itu.Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, dirumuskan bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana membicarakan tentang pemasyarakatan memang tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan kerangka induknya, yaitu Sistem Peradilan Pidana dan Kebijakan Hukum Pidana. Di dalam sistem pembinaan pemasyarakatn, dilaksanakan berdasarkan asas yang mendasari di antaranya:1. Pengayoman, adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.2. Persamaan perlakuan dan pelayanan, adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.3. Pendidikan, adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembimbingan dilaksanakan berdasarkan pancasila antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.4. Penghormatan harkat dan martabat manusia, adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lapas, warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi.

6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di dalam lapas, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga. Dalam kerangka sistem peradilan pidana, pemasyarakaan merupakan salah satu subsistem di antara subsistem lainnya, yaitu Kepolisian, yang memiliki peranan sebagai penyidik. Selanjutnya yaitu Kejaksaan dalam hal ini peran kejaksaan di dalam sistem peradilan pidana yaitu sebagai pelaksanaan penuntutan, serta pengadilan. Sebagai subsistem peradilan pidana, pemasyarakatan merupakan subsistem terakhir sebelum seseorang pelaku kembali pada masyarakatanya semula atau kembali pada kehidupannya semula yang berbaur dengan masyarakat di lingkungannya. Sedangkan dari sisi kebijakan hukum pidana, pemasyarakatan mengemban suatu tahapan yang sangat menentukan yaitu tahap pelaksanaan pidana sebagai kelanjutan dari tahapan sebelumnya, yaitu tahapan perumusan hukum pidana dan tahap penerapan hukum pidana.Meskipun dalam kerangka sistem peradilan pidana, pemasyarakatan hanya merupakan salah satu subsistem, namun pemasyarakatan itu sendiri dapat dipandang sebagai sistem, yaitu sistem pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dirumuskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.Berdasarkan rumusan tersebut sistem pemasyarakatan dibangun dengan bertumpu pada tiga subsistem, yaitu pembinaan, yang dibina dalam hal ini adalah warga binaa, serta masyarakat. Sebagai suatu sistem maka ketiga subsistem ini harus sinergis sehingga pencapaian dan tujuan sistem tidak terganggu. Adapun tujuan dari sistem tersebut adalah meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapt hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Penempatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan mendapat perhatian sejak sebelum adanya Lembaga Pemasyarakatan, seperti yang disebutkan dengan penjara sebagai tempat melaksanakan pencabutan kemerdekaan.Dalam hal ini Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menjelaskan mengenai tujuan dari sistem pemasyarakatan yaitu untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya. Yang dimaksud agar menjadi manusia yang seutuhnya disinilah upaya untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya serta manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya.Memaknai dari tujuan sistem pemasyarakatan tersebut, terkesan tujuan tersebut sangatlah ideal, kemudian dalam kerangka sistem yang lebih luas yaitu sistem peradilan pidana, maka tujuan sistem pemasyarakatan tersebut haruslah sejalan atau diarahkan dalam rangka mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana, yaitu resosilasisasi, penanggulangan kejahatan dan kesejahteraan sosial.Dengan memperhatikan ketentuan dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menentukan bahwa, di dalam sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berani kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

C. Pengertian dan Ruang LingkupResidivis atau pengulangan tindak pidana berasal bahasa Perancis yaitu re dan cado. Re berarti lagi dan cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya bisa dilakukannya setelah dijatuhi penghukumannya. Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, satu atau lebih perbuatannya yang telah dijatuhkan hukuman oleh hakim.Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau residivis, yaitu:1. Pelakunya adalah orang yang sama.

2. Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.

3. Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya.

4. Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.

Residivis merupakan orang yang telah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan untuk kedua kalinya. Karena residivis telah menjadi narapidana dan menjalankan proses pembinaan agar diterima kembali oleh masyarakat dan tidak mengulang kembali kejahatan. Masalah residivis pada saat ini merupakan pembicaraan yang cukup urgen dibicarakan, karena tindakan atau perbuatan residivis itu merupakan subjek tindak pidana, sedangkan objeknya adalah sasaran dari perbuatan yang dilakukan atau menjadi korban.Berikut ini penulis akan menguraikan pengertian residivis merurut para ahli antara lain sebagai berikut:

1. Satochid Kartanegara

Merumuskan pengertian dari residivis yakni apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim.

2. Desy AnwarResidivis adalah orang yang pernah dihukum dan yang mengulangi melakukan tindak kejahatan yang serupa; penjahat kambuhan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu pengulangan tindak pidana dapat dinyatakan sebagai residivisme, haruslah memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain pelaku tindak pidana dimaksud adalah orang yang sama, tindak pidana berulang dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim, dan si terpidana harus pernah menjalani seluruhnya atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya.BAB IIIPEMBAHASANA. Pengaturan Pembinaan Narapidana Residivis Pada Saat Ini

Mengenai pengaturan masalah pembinaan narapidana residivis yang ada saat ini ataupun yang berlaku saat ini di Indonesia masih bertumpu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan serta bertumpu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Yaitu dengan kata lain masalah pengaturan mengenai pembinaan narapidana residivis di Indonesia masih disamakan dengan narapidana kasus kejahatan lainnya.Sistem pembinaan pemasyarakatan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dilaksanakan berdasarkan atas asas:

1. Pengayoman, adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan, adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.3. Pendidikan, adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembimbingan dilaksanakan berdasarkan pancasila antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

4. Penghormatan harkat dan martabat manusia, adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di lapas, warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, tempat tidur, latihan, keterampilan, olah raga, atau rekreasi.6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, adalah bahwa walaupun warga binaar pemasyarakatan berada di dalam lapas, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam lapas dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, dinyatakan bahwa: Pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilakukan di lapas dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan dilakukan oleh Bapas. Sedangkan pembinaan di lapas dilakukan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Selanjutnya, di dalam Undang-undang Pemasyarakatan, terdapat beberapa istilah yang penting untuk diketahui, yaitu:

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara pidana, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.3. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan Pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.4. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien Pemasyarakatan.

5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Pemasyarakatan.

6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

7. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.

8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah:

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak yang paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak yang paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

9. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan LAPAS.

Pada sisi lain, perubahan dari Sistem Kepenjaraan kepada Sistem Pemasyarakatan, juga menunjukkan terjadinya perubahan cara pandang terhadap tujuan atau fungsi pemidanaan. Sistem Pemasyarakatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang Pemasyarakatan, dimaksudkan sebagai berikut:Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara pidana, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.Dengan diberlakukannya Sistem Pemasyarakatan di atas, maka pemidanaan tidak lagi dipandang hanya bertujuan untuk melakukan pembalasan dan penjeraan terhadap pelaku kejahatan, tetapi dimaksudkan untuk terutama menyadarkan terpidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat pada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.Persepsi masyarakat yang masih belum memahami hakikat sebuah penjara, mengakibatkan timbul keragu-raguan terhadap efektifitas penjara sebagai pelaksana pidana dengan sistem pemasyarakatan.

Keraguan terhadap efektifitas pelaksanaan pidana penjara Harry Elmer Barnes sejak lama telah mengemukakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan tidak efektif menjalankan fungsi rehabilitasi narapidana. Menurutnya terdapat kecenderungan terjadi demoralisasi, penghukuman, dan terbentuknya penjahat-penjahat yang lebih ahli. Bahkan Ghersam M. Sykes menegaskan bahwa bentuk-bentuk pemidanaan dan pidana penjara khususnya, relatif tidak efektif sebagai upaya penjeraan maupun perbaikan.

Pandangan tentang efektifitas pelaksanaan pidana penjara tersebut nampaknya berhubungan dengan hasil yang secara empiris diukur oleh masyarakat dan intensistas kejadian di Lembaga Pemasyarakatan. Kejadian sensasional seperti kerusuhan, unjuk rasa, peredaraan gelap narkoba dan berbagai bentuk konflik di Lembaga Pemasyarakatan akan dipandang masyarakat sebagai bukti buruknya manajemen Lembaga Pemasyarakatan.Persepsi itu semakin melekat dalam benak masyarakat tatkala media melakukan pemberitaan yang sensasional dan berlebihan. Hal itu bisa dimengerti karena banyak masyarakat yang belum mengerti, bahwa penjara adalah sebuah realitas sosial yang di dalamnya sering terjadai kecenderungan-kecenderungan yang juga terjadi dan ada di dalam masyarakat, termasuk juga kecenderungan terjadi penyimpangan. Oleh karena itulah, para ahli menyatakan bahwa penjara adalah miniatur masyarakat.Untuk mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan terutama perlindungan terhadap hak-hak narapidana, maka dalam Undang-undang Pemasyarakatan, telah digariskan secara jelas hak-hak yang dimiliki oleh seorang pelanggar hukum selama yang bersangkutan menjalani pidananya. Ketentuan yang mengatur hak-hak tersebut, diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Pemasyarakatan, yang selengkapnya menyatakan bahwa:

(1) Narapidana berhak:a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan;b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesemapatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan adanya ketentuan yang menggariskan hak-hak narapidana seperti tersebut di atas, kiranya tepat apa yang dikatakan oleh Didin Sudirman, seorang Ahli pemasyaratan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan telah memberikan jaminan kepada pelanggar hukum untuk mendapatkan hak-haknya selama menjalani pidana. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang hak-hak narapidana, mengisyaratkan adanya suatu kepastian hukm bahwa setiap petugas pemasyarakatan wajib memberikan pelayanan seoptimal mungkin agar salah satu tujuan dari penegakan hukum yakni dalam rangka memanusiakan manusia dapat tercapai.

Dalam Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pembinaan Tahap Awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) meliputi:1. Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama satu tahun.

2. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.

3. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.Pada Ayat (2) Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, pembinaan tahap lanjutan meliputi:

1. Perencanaan program pembinaan lanjutan.2. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan.3. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan.

4. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

Dan selanjutnya menurut pasal 10 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, pembinaan tahap akhir meliputi:1. Perencanaan program integrasi.

2. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Dalam pelaksanaannya ada dua bentuk pembinaan pemasyarakatan yang dilakukan antara lain:1. Pembinaan secara Intramural, pembinaan ini dilakukan di dalam lapas, disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat.

2. Pembinaan secara Ekstramural juga dilakukan oleh Bapas yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan Bapas.Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dilakukan penggolongan atas dasar:1. Umur.

2. Jenis kelamin.

3. Lama pidana yang dijatuhkan.

4. Jenis kejahatan.

5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan binaan.

Adapun mengenai hak narapidana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan meliputi hak:1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

2. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

5. Menyampaikan keluhan.

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainnya yang tidak dilarang.

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya.

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana.

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

11. Mendapatkan kebebasan bersyarat.

12. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai keamanan dan ketertiban Kepala Lapas bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban yang dipimpinnya, Kepala Lapas berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di linkungan Lapas yang dipimpinnya.Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Narapidana wajib mengikuti secara lebih tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.Adapun sanksi yang dapat dikenakan bagi narapidana yang tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan baik itu kedisiplinan maupun yang lainnya dapat berupa:

1. Tutupan sunyi paling lama enam hari bagi narapidana dan anak pidana.2. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka tertentu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kedisiplinan petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin wajib.

1. Memperlakukan warga binaan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang.2. Mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib Lapas.

Menurut penulis masih banyak kelemahan pengaturan tentang narapidana residivis, maka dari itu diperlukannya sebuah kebijakan yang diambil untuk lebih menguatkan mengatur tentang masalah pembinaan narapidana residivis.

B. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pembinaan Narapidan Residivis di Masa Yang Akan DatangBicara mengenai kebijakan, kebijakan itu sendiri dapat disimpulkan sebagai suatu gagasan baru yang merupakan buah dari pemikiran serta mengacu pada sesuatu untuk diterapkan ataupun dijalankan di masa yang akan datang. Kebijakan juga merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dan memiliki peran yang sangat penting di dalam suatu aturan hukum yang sengaja ditetapkan dengan melihat jauh ke depan, sebagai upaya penanggualangan segala kejahatan dan peradaban manusia.Sebuah upaya pembinaan dan pembimbingan juga sangat memerlukan adanya suatu kebijakan, yang mengacu pada kepentingan pembinaan dan pembimbingan di masa yang akan datang, guna mewujudkan tujuan pembinaan dan pembimbingan di dalam sistem Pemasyarakatan yang tertera pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan khususnya terhadap residivis yang termasuk kejahatan yang cukup seriusDi dalam pola pembinaan dan pembimbingan terhadap pelaku tindak pidana residivis ini diharapkan berbeda dengan pola pembinaan terhadap narapidana kasus kejahatan lainnya, mengingatkan kejahatan residivis bukanlah merupakan kejahatan biasa namun kejahatan yang tergolong cukup berat dimana perilaku mereka yang cukup sulit untuk diperbaiki. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi (residivis).Pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan, dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. Penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil daripada penjara yang membiarkan penghuninya pelapuk dan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Kita melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. Juga kenyataan adanya kekerasan dalam penjara yang merendahkan martabat manusia di penjara. Yang dimaksud disini adalah, penjara telah mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar melalui sikap para petugas penjara terhadap para terpidana yang selalu diiringi rasa was-was mereka merasa setiap saat dalam keadaan bahaya karena mereka dikelilingi oleh penjahat yang dicurigai setiap saat memberontak. Selain itu jenis keterampilan atau pekerjaan yang ada sangat terbatas dengan upay yang tidak memadai. Ironisnya, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh sistem peradilan pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan dimana kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa direstorasi sehingga kondisi yang telah rusak dapat dikembalikan ke keadaan semula, dimana dalam keadilan restoratif dimungkinan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, dimana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yagn telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat.Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakan masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan pelayanan yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk ke dalam institusi penjara, situasi program pembinaan keterampilan kerja/latihan kerja yang sekarang ini berjalan di dalam dan di luar lembaga, dengan mencari hasil signifikansi program tersebut untuk menjadi faktor penghalang seorang mantan penghuni penjara kembali ke dalam penjara. Dan akan dianalisa seberapa besar signifikansi program pembinaan tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai restorative justice system.

Program pembinaan dititikberatkan pada kegiatan pembinaan agama karena pejabat yang berwenang memandang kejahatan sebagai dosa, sehingga konsep tentang tobat dan akhlak, masih sangat kental. Menurut mereka, persoalan kejahatan adalah persoalan tidak adanya iman yang kuat dari para pelakunya. Dalam melaksanakan Lapas terdapat faktor-faktor yang mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor yang menjadi kendala.Di samping itu, pidana penjara telah mengakibatkan efek negatif, tidak saja kepada pelaku kejahatan, tetapi sampai pada keluarganya. Adapun efek negatif yang muncul pada keluarga pelaku yang dimaksud adalah pemberian cap atau stigma sehingga kerapkali dikucilkan. Hal ini terjadi mungkin saja dikarenakan masyarakat maupun keluarga korban belum dapat menerima pidana yang dijatuhkan kepada pelaku. Keengganan masyarakat untuk menerima kembali kembali bekas narapida bahkan memberikan cap atau stigma merupakan akibat dari tidak responsifnya hukum bagi keadilan masyakarakat dimana kerugian akibat tindak pidana yang diderita masyarakat tidak bisa semata-mata dipulihkan karena hukuman yang kejam dan berat. Namun harus ada suatu bentuk pidana yang dapat memulihkan hubungan sosial pelaku dengan korban maupun masyarakat, sehingga hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku agar diterima masyarakat semata-matanya karena terpenuhinya rasa keadilan. Serta karena tidak adanya falsafah pemidanaan yang didasarkan karena masyarakat Indonesia maupun aparat penegak hukum serta petugas pemasyarakatan, masih tetap memandang pidana penjara itu yang tujuannya adalah memberikan rasa sakit, bahkan mencabut kebebasan narapidana selama dipenjara.Memahami hal di atas, berdasarkan rumusan masalah yang kedua tentang kebijakan hukum pidana dalam pembinaan narapidan residivis di masa yang akan datang maka diperlukan peranan perancang undang-undang (legislatif) sebagai pembentuk hukum. Oleh karena itu harus ada ketegasan dari negara melalui pembentuk Undang-Undang, agar merumuskan jenis pidana yang memberikan kesempatan kepada narapidana residivis untuk berdamai dengan korban maupun masyarakat. Dalam hal ini pembinaan terhadap narapidana residivis disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 yang tercermin dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan. Kebijakan hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali residivis tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan dan masyarakat. Oleh karena itu pemberian pidana agar benar-benar dapat terwujud direncanakan melalui beberapa tahap, yaitu:1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang.2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang, dan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Pola pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana residivis diharapkan di masa yang akan datang dilakukan suatu upaya pembinaan dan pembimbingan dengan cara semacam pencucian otak yang melibatkan seorang psikolog atapun pihak-pihak lain yang ahli dan mengerti di bidang ini serta yang mampu menanamkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme, sosialisme pada diri narapaidana residivis. Serta upaya pembinaan dan pembimbingan yang melibatkan pihak-pihak lain yang mengerti dan paham mengenai ilmu agama. Serta yang mampu melakukan pendekatan melalui bersosialisasi dengan baik terhadap para narapidana residivis untuk melakukan suatu kegiatan pembinaan dan pembimbingan yang berupa diskusi serta pendalaman dan pengkajian kembali mengenai ajaran Islam yang sebenarnya yang bertujuan meneruskan dan mengubah ideologi mereka.BAB IVPENUTUPA. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan skripsi ini, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:1. Pengaturan pembinaan narapidana residivis pada saat ini belum terdapat suatu aturan perundang-undangan yang dengan jelas terhadap narapidana residivis masih bertumpu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, bentuk dari pembinaan dan pembimbingan terhadap pelaku kejahatan yang luar biasa ini masih disamakan dengan pola pembinaan terhadap narapidana kasus kejahatan lainnya.2. Kebijakan hukum pidana dalam pembinaan narapidana residivis di masa yang akan datang dalam hal pola pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana residivis dalam pelaksanaannya telah memenuhi syarat tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dalam pembinaan narapidana residivis di masa yang akan datang perlu adanya suatu kebijakan hukum pidana yang sangat diperlukan dan memiliki peran yang sangat penting di dalam suatu aturan hukum yang sengaja ditetapkan dengan melihat jauh ke depan sebagai upaya penanggulangan segala tindak kejahatan yang berulang (residivis).B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini, saran-saran yang dapat penulis sajikan dan yang mungkin berguna baik bagi aparat penegak hukum khususnya maupun bagi para pembaca pada umumnya. Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut:1. Dalam hal mengenai pembinaan dan pembimbingan pada para narapidana residivis hendaknya dilakukan pembinaan dan pembimbingan secara khusus agar dalam rangka pengayoman serta pemasyarakatan warga binaan terutama narapidana residivis membawa hasil yang memuaskan sehingga tidak melakukan kejahatan lagi.2. Dalam hal pembinaan narapidana residivis di masa yang akan datang sangat diperlukan suatu kebijakan hukum pidana sebagai pembentuk hukum yang merupakan salah satu sarana melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki residivis tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKAA. BUKUArief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, 2010.Anwar, Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, Amelia, Surabaya.

Chazwi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 2, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Kasama, W. Mulyana, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Loqman, Loebby, Pidana dan Pemidanaan, Datacom, Jakarta, 2003.

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011.

Panjaitan, Petrus Irawan dan Pendapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1999.

Sudirman, Didin, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2007.B. PERATURAN Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan. LNRI Tahun 1995 Nomor 77. TLNRI Nomor 3614_______________ Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. LNRI Tahun 1999 Nomor 68. TLNRI Nomor 3845

C. Website

http://rommypranata.blogspot.com/2009/03/sistem-pembinaan-para-narapidana-untk.htmlhttp://hendrifisnaeni.blogspot.com/2008/08/reposisi-dan-revitalisasi-lembaga-htmlhttp://peunebah.blogspot.com/2012/02/residivis.html1

22

33

39

Mulyana, W. Kusuma, Analisa Krimologi Tentang Kejahatan Kekerasan. Ghalia Indonesia, Jakarta, Jakarta, 1982, hal. 41-42.

Petrus Irawan Panjaitan dan Pendapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 12.

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 105-106.

Loebby Loqman, Pidana dan Pemidanaan, datacom, Jakarta, 2003, hal. 61.

Adanu Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal. 80

Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2010, hal.23.

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Kedua, Balai Lektur Mahasiswa, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1983, hal.223.

Barda Nawawi Arief, OpCit, hal. 29.

Ibid, hal. 23.

Ibid, hal. 26.

Ibid, hal. 29-30

HYPERLINK "http://peunebah.blogspot.com/2012/02/residivis.html" http://peunebah.blogspot.com/2012/02/residivis.html (diakses tanggal 12 Februari 2013)

Satochid Kartanegara, Loc. Cit, hal. 223.

Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, Amelia, Surabaya, hal. 368.

HYPERLINK "http://hendrifisnaeni.blogspot.com/2008/08/reposisi-dan-revitalisasi-lembaga-html" http://hendrifisnaeni.blogspot.com/2008/08/reposisi-dan-revitalisasi-lembaga-html (diakses tanggal 12 Februari 2013)

Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2007, hal. 18

HYPERLINK "http://rommypratama.blogspot.com/2009/09/sistem-pembinaan-para-narapidana-untuk.html" http://rommypratama.blogspot.com/2009/09/sistem-pembinaan-para-narapidana-untuk.html (diakses tanggal 26 Januari 2013).

PAGE


Recommended