Transcript
  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    1/37

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat

    penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati. Dan pada

    pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1

    Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi sistem saraf dengan

    reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi dermatomal

    yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia paska herpetika.

    Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan rasa terbakar,

    gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya.2

    Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas

    menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan penderita

    HIV.2

    1

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    2/37

    BAB II

    ANATOMI DAN FISIOLOGI

    Sistem sensorik berfungsi untuk menghantarkan informasi dari internal dan external

    tubuh ke otak. Sistem ini berawal dari reseptor yang sesuai dengan jenis rangsang

    informasinya, berjalan dengan jalur saraf khusus serta berakhir di tempat yang khusus

    tergantung jenis informasi yang disampaikan.4,5

    Berdasarkan asal informasinya, sensoric pathway dapat dibedakan menjadi 4 macam:

    Superficial information(sensation), meliputi tekanan, nyeri, suhu, serta

    membedakan 2 titik.

    Deep sensation, meliputi propiosepsi, nyeri otot-otot dalam, vibration sense.

    Visceral sensation yang diperantarai jaras otonom afferent yang dapat berupa

    rasa lapar, pusing, serta nyeri organ dalam.

    Special sense, meliputi penciuman, penglihatan, pendengaran, rasa, serta

    keseimbangan, sensasi ini diperantarai oleh nervus kranialis.

    Jaras secara umum

    Secara umum impuls diawali dari reseptor, kemudian berjalan melalui jalur persarafan

    dan berakhir di otak.4

    Reseptor

    Reseptor merupakan bagian dari sistem saraf yang berfungsi sebagai alat penerima

    sensor. Reseptor bekerja dengan cara merubah energi stimulus dari dalam dan luar tubuh

    kedalam satu unit bahasa yang mampu ditranmisikan oleh sistem saraf. Stimulus dapat

    mempengaruhi sistem saraf dengan adanya interaksi stimulus dengan reseptor. Stimulus

    2

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    3/37

    tersebut harus melewati ambang rangsang agar dapat menimbulkan rangsangan ke saraf.

    Cara kerja reseptor secara mudah dapat digambarkan sebagai berikut :4

    Reseptor dapat dibagi berdasarkan energi stimulus yang merangsangnya, yaitu :

    o Mechanoreseptor

    Ditemukan di kulit, otot, sendi, serta organ-organ dalam. Mekanoreseptor ini

    sensitif terhadap perubahan mekanis pada jaringan dan membran sel.

    Perubahan mekanis ini dapat berupa banyak hal, meliputi penekanan, regangan

    dan pergerakan rambut. Mekanoreseptor ini dapat mendeteksi perubahan

    mekanis sebagai berikut :5

    Sentuhan ringan oleh reseptor Meissner corpuscle, Merkel's disk, dan hair

    root plexus.

    Deep pressur eoleh reseptor Pacinian corpuscle.

    Tekanan (sentuhan kuat/kasar) oleh reseptor krause's end bulb.

    Panjang otot, posisi ekstremitas dan tendon oleh golgi tendon, dan

    joint/kinesthetic receptor.

    Pendengaran dan keseimbangan oleh sel rambut.

    Tekanan darah oleh baroreseptor aortic dan carotis.

    Thermoreceptor

    Sensasi panas dan dingin dikonversi oleh thermoreceptor, yang dideteksi oleh free

    nerve ending berupa perubahan panas atau dingin, juga merespon stimulus yang dapat

    3

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    4/37

    menyebabkan rasa nyeri. Sedangkan untuk perubahan temperature internal tubuh dideteksi

    oleh thermostas di hypothalamus.5

    Chemoreceptor

    Sejumlah stimulus kimiawi secara alami dideteksi oleh kemoreseptor. Olfactory

    receptor cells mendeteksi bau dari lingkungan. Taste receptor cells di lidah mendeteksi

    substansi yang ada di makanan seperti manis dan asin. Kemoreseptor yang lain mendeteksi

    perubahan internal di tubuh seperti perubahan kadar oksigen darah yang dideteksi oleh sel

    sensorik di carotis dan aorta. Perubahan osmolaritas darah dideteksi oleh osmoreseptor

    yang ada di hypothalamus, sedangkan perubahan kadar glukosa darah dideteksi oleh

    glucoreceptor di hypothalamus.5

    Photoreceptor

    Retina yang merupakan bagian saraf penglihatan berisi fotoreseptor yang mampu

    mendeteski energi cahaya dan mengonversinya menjadi potensial aksi. 5

    Jalur Persarafan

    Setelah energi dari lingkungan dikonversi oleh reseptor menjadi potensial aksi,

    selanjutnya potensial aksi tersebut akan berjalan di nervus menuju medula spinalis dan

    otak. Perjanalan ini melewati jalur-jalur saraf yang biasa dikenal dengan jalur persarafan.

    Pada penghantaran potensial aksi melalui jalur persarafan ini dikenal adanya "doctrin

    of specific nerve energy" yang mengatakan bahwa setiap serabut saraf hanya akan

    menghantarkan satu jenis stimulus, diduga hal ini karena setiap serabut saraf hanya

    berhubungan dengan satu jenis reseptor saja. Kondisi ini mungkin yang menyebabkan

    bagaimana sistem saraf mampu membedakan setiap jenis rangsang yang dideteksi oleh

    4

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    5/37

    sistem saraf sehingga otak dapat mempersepsi stimulus tersebut.

    Perjalanan impuls ini pada saraf dapat dibagi menjadi 3 tempat :5

    First order neuron, berawal dari reseptor sampai ganglia dorsalis medula

    spinalis atau ganglion somatic afferent pada nervus kranialis.

    Second order neuron, badan sel second order neuron berada pada neuraxis

    (diantara medulla spinalis dan batang otak). Axon second order neuron

    biasanya menyilang dan berakhir di thalamus.

    Third order neuron, badan selnya yang berada di thalamus (sebagian besar)

    selanjutnya memproyeksikan potensial aksi ke korteks serebri. Selanjutnya

    jaringan saraf di korteks mengolah potensial aksi ini untuk menentukan lokasi,

    kualitas, dan intensitas untuk selanjutkan menentukan respon tubuh.

    Jalur Sensorik

    Multipel neuron dari sejumlah reseptor yang sama akan membentuk traktus yang

    selanjutnya akan menjadi jalur sensorik. Jalur sensorik akan berjalan ke otak. Sejumlah

    jalur sensorik tersebut dapat dilihat sebagai berikut :6,7

    5

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    6/37

    Gambar 1. Skematik somatosensoric pathway

    Traktus columna dorsalis

    Traktus ini merupakan bagian sistem lemniscus medialis. Menghantarkan

    impul sentuhan ringan, getaran, membedakan 2 titik, serta propriosepsi. Traktus ini

    naik tanpa menyilang, berjalan ipsilateral di bagian posterior medula spinalis ke

    batang otak bagian bawah. 6,7

    Fascilculus gracilis berada di bagian posterolateral medula spinalis membawa

    impuls dari setengah bagian bawah tubuh dengan bagian yang paling distal berada di

    paling medial. Fascilculus cuneatus berada diantara fasciculus gracilis dan columna

    dorsalis, membawa impuls dari setengah tubuh bagian atas, dengan serabut yang

    berasal dari bagian bawah (thorakalis) berada lebih medial dibandingkan serabut yang

    berasal dari bagian atas (cervikalis). Dengan demikian columna dorsalis membawa

    impuls dari seluruh bagian tubuh secara ipsilateral dan tersusun secara somatotopic

    fashion dari medial ke lateral.5,7

    Fascilulus gracilis dan cuneatus yang berjalan ascenden berakhir di bagian

    6

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    7/37

    paling bawah medula oblongata tepatnya di nukleus gracilis dan nukelus cuneatus

    (nukleus columna dorsalis). Kemudian second order neuron berjalan menyilang

    sebagai lemniscus decusation (traktus arcuata interna) dan berjalan keatas sebagai

    lemniscus medialis ke thalamus tepatnya di nukleus ventro posterlateral thalamus.

    Informasi sensoris kemudian dikirim ke kortek somatosensoris di girus

    postcentralis.5,7

    Traktur spinothalamikus.

    Traktus Spinothalamikus memasuki cornu dorsalis, kumpulan serabut yang

    menyilang ini disebut fasciculus dorsolateralis atau Lissaeur's tract, kemudian

    bersinaps di dorsal column neuron terutama di lamina I, II dan V. Setelah naik satu

    atau dua segmen, serabut ini menyeberangi medulla spinalis kemudian naik ke

    thalamus menjadi traktus spinothalamikus atau ventrolateral system.5,7

    Traktus spinotalamikus terdiri atas 2 bagian, yaitu traktus spinothalamikus

    anterior yang berjalan di anterior cornu anterior untuk menghantarkan impuls

    sentuhan, tekanan dan getaran. Bagian yang lain adalah traktus spinothalamikus

    lateral yang berjalan di lateral cornu anterion untuk menghantarkan impuls nyeri dan

    temperatur. Pada saat traktur spinothalamikus berjalan naik, serabut ini akan

    bergabung dengan serabut dari segmen medula spinalis diatasnya dengan meletakkan

    penambahan di bagian medial. Sehingga pada segmen servikalis serabur sakral

    merupakan serabur yang terletak di sisi lateral.5

    Pada peralihan antara medulla spinalis dan medula oblongata traktus

    spinothalamikus anterior dan lateral bergabung menjadi satu sebagai traktus

    spinothalamikus, kemudian di medula oblongata bergabung dengan traktus

    spinoretikularis menjadi lemniscus medialis dan berjalan ke atas menenembus

    7

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    8/37

    mesencephalon berakhir di thalamus tepatnya di nucleus ventral posterolateral atau

    intralaminar thalamic nuclei.1,5,7

    Dari thalamus menyebar third order neuron sebagai somatic radiation yang

    memproyeksikan impuls sensorik ke gyrus post centralis. Pada semua tempat

    pemberhentian jalur sensoris, impuls sensorik disaring dan diintergrasikan sehingga

    impuls yang datang ke korteks merupkan impuls yang tinggal mengalami proses "fine

    tuning".5,6

    Gambar 2. Traktus Talamikus

    Akson-akson first order neuron memasuki medulla spinalis melalui cornu

    dorsalis dan berakhir di substansia grisea medulla spinalis. Selanjutnya second order

    neuron akan berjalan keatas dan berakhir di formation retikularis. Sebagian besar

    serabut ini tidak menyilang dan berakhir dengan cara bersinaps dengan neuron-neuron

    formation retikularis di medulla oblongata, pons dan mesencephalon. Traktus

    spinoretikularis berperan dalam sensasi nyeri terutama nyeri dalam. Traktus

    8

    http://1.bp.blogspot.com/_N-RTY7s9S4A/SKJ-cGbwGVI/AAAAAAAAAWs/vENRJB82JFI/s1600-h/traktus+spinotalamikus.jpg
  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    9/37

    spinoretikularis memberikan lintasan aferen untuk formatio retikularis yang berperan

    penting dalam tingkat kesadaran.7

    Traktus spinocerebellaris.

    Beberapa impuls aferen berjalan dari sistem musculoskeletal melalui traktus

    spinocerebellaris dan berakhir di cerebellum yang salah satu fungsinya untuk

    keseimbangan dan koordinasi. Di medulla spinalis traktus spinocerebellaris terdapat 2

    macam, satu di anterior dan satu di posterior.7

    Traktus spinocerebellaris posterior

    Serabut aferen yang berasal dari otot dan kulit memasuki medulla spinalis

    melalui cornu dorsalis setinggi T1 sampai L2 dan bersinap dengan second order

    neuron di nucleus dorsalis (Clarke's column). Serabut aferen tersebut berjalan

    ascenden setelah memasuki cornu dorsalis dan mencapai nucleus dorsalis yang

    terbawah. Pada segmen C8 keatas tidak terdapat nucleus dorsalis,digantikan oleh

    nucleus cuneatus aksesorius. Serabut saraf aferen pada level cervical bersinaps dengan

    second order neuron di nucleus cuneatus aksesorius.7

    Second order neuron dari nukleus dorsalis membentuk traktus

    spinocerebellaris posterior. Sedangkan second order neuron dari nukleua cuneatus

    aksesorius membentuk traktus cuneocerebellaris. Kedua traktus tersebut berjalan

    ascenden secara ipsilateral kemudian memasuki cerebellum melalui pedunkulus

    cerebellaris inferior dan berakhir di kortek paleocerebellar dibagian vermis

    cerebellar.6,7

    9

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    10/37

    Gambar 3. Skematis spinocerebellaris anterior.

    Traktus spinocerebellaris anterior

    Traktus ini berperan dalam pengontrolan gerakan. First order neuron bersinap

    dengan second order neuron di lamina Rexed V, VI dan VII pada segemen lumbal dan

    sacral. Second order neuron berjalan ascenden, kemudian melalui pedunkulus

    cerebellaris superior, traktus ini berakhir di paleocerebellar kortek. Traktur

    spinocerebellaris anterior sebagian besar menyilang tetapi ada sebagian kecil yang

    tidak menyilang.7

    Pengolahan informasi somatosensorik di pusat

    Third order neuron dari thalamus berjalan melalui limbus posterior capsula

    interna menuju korteks somatosensorik yang terletak di gyrus postcentralis (area 3, 1,

    10

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    11/37

    dan2). Untuk memudahkan gambaran, maka gyrus postcentralis dapat digambarkan

    houmunculus sebagai berikut :1,7

    Gambar 4. Area sensorik di girus Post centralis

    Pada homunculus tersebut setiap reseptor terwakili oleh satu lokasi (titik) di

    gyrus area sensorik. Sehingga dengan demikian setiap rangsangan pada satu reseptor

    dapat diinterpretasi dengan benar oleh sistem saraf.

    11

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    12/37

    Gamba 5. Distribusi Dermatom

    Gambar 6. Distribusi dermatom tubuh dan wajah

    12

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    13/37

    BAB III

    NEURALGIA PASCA HERPETIKA

    3.1. Definisi

    Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri

    disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.

    Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik

    yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). 2

    3.2. Epidemiologi

    Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan

    data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di

    Asia, Australia dan Amerika Selatan.2

    Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 10-

    70 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada

    penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9

    tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan

    4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau

    dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok

    sehat usia sama.1,2

    3.3. Etiologi

    13

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    14/37

    Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi

    manusia.Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah

    icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat

    DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. 1,3

    Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian

    menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang

    bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.3

    14

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    15/37

    Gambar 7.

    Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk

    reaktivasi selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.Setelah infeksi primer, virus ini

    akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus

    bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang

    menyakitkan. Setelah resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari

    ruam (postherpetic neuralgia).2

    3.4. Faktor Resiko

    Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah

    meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam

    HZ. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes

    zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain

    yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah

    gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia,

    15

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    16/37

    limfoma), lama terjadinya ruam.1

    3.5. Patogenesis

    Periode inkubasi virus Varisella zooster sekitar 14-16 hari setelah paparan awal.

    Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara

    dorman selama bertahun-tahun.8,9

    The enveloped virus creates the chickenpox rash and can travel from the

    skin to sensory nerves. Once in the sensory nerves, the virus moves to the

    sensory ganglia where it becomes latent. If reactivated, the virus travels

    from the sensory ganglia back to the skin where it creates the shingles

    rash.

    Gambar 8.

    Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus

    varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan

    dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan

    mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan

    bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi

    klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada

    16

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    17/37

    kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-

    sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis

    sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan

    namaLipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses

    peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf

    perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat

    menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses

    perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. Beberapa perubahan patologi

    yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:9

    1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau

    saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.

    2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.

    3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat

    dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar

    dan ganglion.

    4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan

    akar saraf yang terlibat.

    17

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    18/37

    Gambar 9. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster

    Mekanisme nyeri

    Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis:

    1. Proses stimulasi singkat10

    2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi

    jaringan

    3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf

    Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan

    timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya

    lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat.

    Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal

    18

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    19/37

    sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor, dolor

    dan fungsiolaesa.

    Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan

    mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi

    saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal

    dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya.

    Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik,

    melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal

    (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral

    (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf

    aferen akibat lesi, yaitu:10

    1. aktivitas ektopik

    2. sensitisasi nosiseptor

    3. interaksi abnormal antar serabut saraf

    4. hipersensitifitas terhadap katekolamin

    Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal

    semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut A yang

    biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada

    allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh

    adanya: 1,10,11

    1. sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi

    sebagai respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang

    rangsan sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.

    19

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    20/37

    2. perubahan serabut A dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada

    nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang

    dari perifer berupa ectopic discharge

    3. hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau

    glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati

    potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas

    inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi) .Sehingga

    terjadi eksitasi berlebihan.

    Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik

    merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan

    proses signal sistem saraf pusat. Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens

    pada area kulit yang terlibat merupakan akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut

    yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan pembuluh darah), trombosis

    intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia (kukurangan aliran darah)

    dari saraf tersebut.10 Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf tepi secara

    spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.

    Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru

    yang justru memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih.

    Aktivitas perifer (saraf tepi) yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus

    perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya, terjadi respon sistem saraf pusat yang

    berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini sangat kompleks

    sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.11

    Sympathetically Maintained Pain (SMP). SMP didefinisikan sebagai nyeri

    yang dipertahankan oleh sistem saraf otonom (simpatis) atau oleh hormon

    20

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    21/37

    katekolamin yang bersirkulasi. Nyeri neuropatik didiagnosis sebagai tipe SMP bila

    ditemukan respon positif terhadap suatu simpatolisis (blok simpatis, tindakan

    pemberian obat bius lokal). Terdapat beragam nyeri neuropatik yang bisa mencakup

    SMP ini, diantaranya phantom pain, complex regional pain syndrome, neuropati

    metabolik, neuralgia dan herpes zoster sendiri. Namun bagaimana mekanisme SMP

    terjadi, sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan walau telah banyak hipotesis

    yang dilontarkan oleh para ahli.1,2

    Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang

    diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan

    sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang

    aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap

    stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang

    juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut

    menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada

    akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua

    rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses

    sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika

    memerlukan beberapa macam pendekatan pula.1,2

    Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya

    gangguan sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana

    gangguan sensorik (allodinia / hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase

    deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi,

    penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih berguna dibandingkan dengan

    tipe deaferentasi.2,3

    21

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    22/37

    Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska

    herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami

    herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi

    kornu dorsalis.1

    3.6. Manifestasi Klinis [4]

    Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa

    terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom

    yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala,

    mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi

    makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat

    berubah bentuk menjadi lesi vesikular.12,13

    Gambar 10. Reaktivasi infeksi virus Varicella zoster

    22

    http://gardenrain.files.wordpress.com/2009/05/aricella-zoster-virus-neuropathy.gif
  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    23/37

    Gambar 11. perjalanan infeksi oleh virus Varicella zooster

    Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi :

    1. Herpes zoster oftalmikus

    Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang

    mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang

    ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

    Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai

    gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1

    sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata,

    kelopak mata

    23

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    24/37

    Gambar12. Herpes zoster oftalmikus sinistra.

    2. Herpes zoster fasialis

    Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian

    ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi

    herpetik unilateral pada kulit.13

    Gambar13. Herpes zoster fasialis dekstra.

    3. Herpes zoster brakialis

    Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

    pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

    24

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    25/37

    Gambar14. Herpes zoster brakialis sinistra.

    1. Herpes zoster torakalis

    Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

    pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

    Gambar 15. Herpes zoster torakalis sinistra.

    25

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    26/37

    Gambar 16. Rash hipopigmentasi pada lesi postherpetik dermatome torakalis

    5. Herpes zoster lumbalis

    Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

    pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

    Gambar 17. Herpes zooster lumbal dekstra

    6. Herpes zoster sakralis

    26

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    27/37

    Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

    pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

    Gambar 18. Herpes zoster sakralis dekstra.

    Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat

    sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu

    penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai

    mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit

    kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi

    dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian

    acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.12.13

    Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat

    mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh

    rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri

    yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood

    sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka

    panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum

    timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti

    27

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    28/37

    rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia

    yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/

    tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/

    normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus

    bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,2,13

    Dworkin membagi neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase:1

    - Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan

    - Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit

    atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa

    seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang

    dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia dimana

    sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri

    tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien

    dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat

    tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif

    terhadap perubahan temperatur.

    13

    3.7.. Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27

    28

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    29/37

    1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.

    2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus

    3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus

    4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22%

    kasus.

    5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.

    6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan

    herpes simpleks dengan herpes zoster

    7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung

    diagnosis herpes zoster subklinis.

    3.8. Terapi

    Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika

    Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan

    neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan

    terapi non farmakologis.1

    Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:

    (1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3) mengurangi

    insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan, mengingat sekali NPH

    terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi. Sejumlah modalitas terapi perlu

    dipertimbangkan dengan arif dan bijaksana, mengingat beragam variasi pasien

    terhadap terapi (usia lanjut, efek samping dan komplikasi-komplikasi terapi yang bisa

    29

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    30/37

    terjadi). Obat-obatan harus dipertimbangkan dengan dosis minimal yang efektif serta

    follow-up perjalanan nyeri pasien. Kombinasi obat-obatan tetap perlu

    dipertimbangkan dengan mengevaluasi keuntungan dan kerugiannya.1

    Terapi farmakologis:

    Analgesik

    Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek

    analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri

    neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih

    baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja

    sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan

    serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari

    dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo dalam

    pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya

    amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat

    lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek

    toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek

    yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan

    tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada NPH.1,2

    Anti epilepsi

    Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-

    gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan

    3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.1

    Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya

    30

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    31/37

    kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,

    gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin,

    lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga

    terjadi hambatan.1

    Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti

    halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan

    dengan subunit dari voltage-gated calcium channel , sehingga mengurangi influks

    kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-

    related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian

    pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska

    herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma

    medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. 1

    Anti depressan

    Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia

    paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake

    (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri

    melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji

    klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami

    pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan

    reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam

    pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor )

    seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin

    dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin,

    sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin.1,2

    31

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    32/37

    Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular

    seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat

    meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi

    ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika

    adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.1

    Terapi topikal

    Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-

    gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls

    ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi

    sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.

    Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA. Lidokain topikal

    merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri

    neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine

    patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik

    selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama

    bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.1

    Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim

    capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia

    paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah

    diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P

    yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini.

    Pada suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,

    dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok

    yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok

    32

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    33/37

    kontrol (p

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    34/37

    Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada

    penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska

    herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan

    mencegah kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam

    mengurangi nyeri dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan

    kulit lebih cepat.13

    3.10. Komplikasi

    Neuralgia Pasca Herpetik (NPH) sendiri merupakan salah satu komplikasi dari herpes

    zoster. Yang perlu diperhatikan, NPH tidak berakibat fatal, walaupun penderita merasa

    nyeri yang dirasa berat sekali, ditambah dengan waktu yang panjang.1,2

    Tidak ada komplikasi secara fisik dari NPH. Tetapi tentunya secara sosial NPH sangat

    mengganggu bagi penderitanya. Nyeri yang dirasakan oleh penderita sangatlah berat

    sehingga penderita selalu merasa takut telah terjadi sesuatu yang parah pada tubuhnya.

    Disini pentingnya penjelasan bagi penderita, karena ketakutan malah memperburuk nyeri

    yang dirasa.1,2

    3.11. Prognosis

    Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak

    menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu

    fungsi sensorik.1,2

    Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan

    nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1,2

    34

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    35/37

    Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ

    masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik

    kemungkinan timbul kembali kecil.1,2

    BAB IV

    KESIMPULAN

    Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik

    merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan

    perubahan proses signal sistem saraf pusat

    Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala

    35

  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    36/37

    prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit

    sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai

    dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian,

    setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral

    mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi

    vesikular.

    Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat

    mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat

    oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan

    hiperalgesia. yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia

    yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti

    terkena/ tersetrum listrik.

    Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:

    (1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3)

    mengurangi insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan,

    mengingat sekali NPH terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi.

    Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak

    menyebabkan kematian. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena

    setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik

    seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko

    berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai

    daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Noname. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from:

    http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id

    2. Werdiningsih, Retno. Neuralgia Pasca Herpetik.Unifersitas Airlangga. RSU dr.Soetomo, Surabaya 2004 16:3 available from:

    36

    http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&idhttp://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id
  • 7/28/2019 Referat Saraf Semarang Silminati

    37/37

    http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20

    Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdf

    3. Mardjono, Mahar, Sidarta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat.

    Jakarta: 2004. Hal 21-26.

    4. Duus, Peter.Diagnosis Topik Neurologi. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 29, 44 Snell, S,

    Richard.Neuroanatomi Klinik. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 365-383.

    5. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit

    FKUI : 2000. Hal 115-131.

    6.Snell RS. Neuroanatomi Klinik : Pendahuluan dan Susunan Saraf Pusat. 5th Ed.

    Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. p. 1-16.

    7. Sherwood L. Human Physiology : The Central Nervous System. 7th ed. Canada:

    Brooks/ColeCengangeLearning:2010.p.176-79.availablefromhttp://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hl

    8. Canadian Paediatric Society. Chickenpox. 2009. Retrived April 6, 2009 available

    from http://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htm.

    9. University of Maryland Medical Center. 2009 Chicken pox and Shingles. Retrived

    April 6, 2009 available

    from:http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_0000

    82_4.htm

    10. Garcia, E.2007. Gender differences in pressure pain threshold in a repeated

    measures assessment. Psychology, Health and Medicine, 12, 567-579. Available

    from: http://dx.doi.org/10.1080/13548500701203433

    11. Singer, T Seymour. 2004. Placebo-induced changes in fMRI in the anticipation and

    experience of pain. Science, 303, 1162-1167. Journal weblink:

    http://www.sciencemag.org/

    12. Silverthorn. Human Physiology : Homeostatis and Control. 5th Ed. San Fransisco:

    Pearson;2010. p.449-57. The Fuctional Imaging Lab in London:

    http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/13. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia.Jakarta.2005.Harrison.PrinciplesofInternalMedicine.Avilablefrom:

    http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.ht

    ml

    15. Vorvick, Linda J. 2010. Encyclopedia and displayimage. Department of Medicine,

    Massachusetts General Hospital. available from

    http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx?

    gcid=18069&ptid=2

    http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20%20%20%20%20%20Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdfhttp://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20%20%20%20%20%20Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdfhttp://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hlhttp://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htmhttp://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_000082_4.htmhttp://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_000082_4.htmhttp://dx.doi.org/10.1080/13548500701203433http://www.sciencemag.org/http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.htmlhttp://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.htmlhttp://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx?gcid=18069&ptid=2http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx?gcid=18069&ptid=2http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20%20%20%20%20%20Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdfhttp://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20%20%20%20%20%20Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdfhttp://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hlhttp://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htmhttp://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_000082_4.htmhttp://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_000082_4.htmhttp://dx.doi.org/10.1080/13548500701203433http://www.sciencemag.org/http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.htmlhttp://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.htmlhttp://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx?gcid=18069&ptid=2http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx?gcid=18069&ptid=2