Download docx - Referat Rjp Airway Rqo

Transcript

REFERAT

ILMU ANESTESI

RESUSITASI JANTUNG PARU

DAN AIRWAY MANAGEMENT

Pembimbing:

dr. Nicolaas P. Simamora, Sp.An

Penyusun:

Enrico J Hartono 2015.04.2.0124

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2015

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

ILMU ANESTESI

RESUSITASI JANTUNG PARU

DAN AIRWAY MANAGEMENT

Judul Referat ”Resusitasi Jantung Paru dan Airway Management” telah

diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi

kepaniteraan klinik di bagian Anestesi RSAL dr. Ramelan – Fakultas Kedokteran

Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, Februari 2016

Mengetahui:

Pembimbing

dr. Nicolaas P. S., Sp.An

i

Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat-Nya, referat yang berjudul ”Resusitasi Jantung Parudan Airway

Management” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulisan referat ini merupakan bagian dari proses belajar selama kepaniteraan klinik

di bagian Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing, dr.

Nicolaas P. S., Sp.An, karena beliau telah meluangkan banyak waktu dan pikiran

untuk membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan

baik.

Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa

referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran

yangmembangun selalu diharapkan.

Surabaya, 27 Desember 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan................................................................................... i

Kata Pengantar........................................................................................... ii

Daftar Isi.................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................... 1

BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................... 3

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru.......................................... 3

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru.......................................... 3

2.3 Resusitasi Jantung Paru........................................................ 5

2.4 Basic Life Support................................................................ 9

2.5 Airway Management............................................................. 13

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010....................... 15

2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi........................................... 21

2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi.................. 22

2.9 Komplikasi........................................................................... 23

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 25

iii

BAB 1

PENDAHULUAN

Meskipun sudah banyak kemajuan penting dalam pencegahan kematian,

serangan jantung masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama dan

merupakan penyebab utama kematian di banyak negara.Serangan jantung bisa terjadi

baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Di AS dan Kanada, sekitar 350.000 orang

per tahun (sekitar 50% terjadi di rumah sakit) menderita serangan jantung dan

menerima pertolongan resusitasi. Perkiraan ini tidak termasuk jumlah korban yang

menderita serangan jantung tanpa mendapatkan pertolongan resusitasi. Ditambah

lagi, pertolongan resusitasi tidak selalu dilakukan dengan cara yang tepat. Banyak

pasien meninggal karena karena tindakan resusitasi yang kurang tepat dan adekuat.

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di

rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru

otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral resuscitation (CPCR). Menurut

American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru mempunyai hubungan

erat dengan rantai kehidupan (chain of survival), karena bagi penderita yang terkena

serangan jantung, dengan dilakukannya RJPO maka akan mempunyai kesempatan

yang amat besar untuk dapat hidup kembali.

Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti, sirkulasi darah dan

transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh

terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi

korban dan mengalami kerusakan. Meskipun pendekatan yang optimal untuk CPR

dapat bervariasi, tergantung pada penyelamat, korban, dan sumber daya yang

tersedia, tantangan mendasar adalah bagaimana melakukan RJP secara dini dan

efektif.Mengingat tantangan ini, mengetahui adanya arrest dan tindakan cepat oleh

penyelamat terus menjadi prioritas dari 2015AHA Guidelines for CPR and ECC.

Basic life support bukan merupakan suatu tindakan tunggal melainkan terdiri

dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest, pernapasan, dan resusitasi

jantung paru. Pada konsensus AHA 2005 membahas mengenai semua aspek deteksi

1

dan penanganancardiac arrest. Konsensus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar

dengan prinsip ABC (airway, breathing, and circulation), namun kembali dilakukan

konsensus pada tahun 2010, dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB (circulation,

airway and breathing). Tahun 2015 pun dilakukan konsensus yang merupakan

consensus terbaru mengenai resusitasi jantung paru.

Tujuan dari referat ini adalah untuk mengintegrasikan ilmu resusitasi dengan

praktek dunia nyata dalam rangka meningkatkan hasil dari RJP.

2

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan kembali,

dimaksudkan usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode

henti jantung yang dapat berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung

Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah rangkaian tindakan

penyelamatan nyawa yang meningkatkan probabilitas untuk hidup setelah henti

jantung.

2.2Indikasi Resusitasi Jantung Paru

RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernapas

atau bernapas tidak normal (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti

jantung.Penilaian aktivitas listrik jantung dengan rapid "rhythm strip" dapat

memberikan analisis yang lebih rinci dari jenis serangan jantung, serta menunjukkan

pilihan tambahan pengobatan.

Hilangnya aktivitas jantung yang efektif umumnya karena inisiasi spontan

dari aritmia nonperfusi, kadang-kadang disebut sebagai aritmia ganas.Contoh aritmia

nonperfusi paling umum adalah ventricle fibrillation (VF), pulseless ventricle

tachycardia (VT), pulseless electrical activity, asystole, pulseless bradycardia.

Meskipun defibrilasi cepat telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup

untuk VF dan iramapulseless VT, RJP harus dimulai sebelum irama diidentifikasi dan

harus dilanjutkan sementara defibrillator sedang dipersiapkan.Selain itu, RJP harus

segera kembali dilakukan setelah defibrillatory shocksampai nadi berdenyut

kembali.Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa "jeda preshock"

pada RJPmemberikan hasil yang lebih rendah dalam keberhasilan defibrilasi dan

pemulihan pasien.

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,

misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/ gas,

3

obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan

infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.

Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,

pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.

Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan

hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung. Untuk orang

awam, jika tidak ada gerakan dada dan napas tidak normal (gasping), segera lakukan

Resusitasi Jantung Paru.

Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi

kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat

kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan menyebabkan

kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung

terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti

jantung.

Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau

penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu

gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot jantung

(decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti, aliran darah

koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan

koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia

berat, hiperkalemia, aliran listrik.

Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,

miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama ventrikel

takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi asistol.

Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode

hipoperfusi, miokard mungkin rusak.

4

2.3Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi jantung paru (RJP) selalu mengintegrasikan kompresi dada dan

penyelamatan napas dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan

oksigenasi.Karakteristik penyelamat dan korban bisa mempengaruhi keoptimalan dari

komponen RJP.

Penyelamat

Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa korban

serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada pelatihan,

pengalaman, dan konfidensi penyelamat.

Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat, terlepas dari

tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan kompresi dada pada semua

korban serangan jantung. Karena pentingnya tindakan tersebut, kompresi dada harus

menjadi tindakan RJP paling awal untuk semua korban tanpa memandang usia.Jika

mampu melakukan, penyelamat juga sebaiknya menambahkan ventilasi setelah

kompresi dada. Penyelamat terlatih yang bekerja sama harus berkoordinasi dalam

melakukan kompresi dada dan ventilasi secara kompak dalam tim.

Korban

Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba, yang

penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang dihasilkan oleh kompresi

dada merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan.Sebaliknya, serangan jantung pada

anak-anak yang paling sering terjadi karena asfiksia, yang membutuhkan ventilasi

dan penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh karena itu, bantuan

pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa pada

serangan jantung.

5

Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan

gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam chain of survival,

yang meliputi :

a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency

response system

Aktivasi kegawatdaruratan yang cepat dan inisiasi RJP membutuhkan

pengenalan cepat akan terjadinya serangan jantung. Serangan jantung

membuat seseorang tidak responsif. Pernapasan tidak ada atau tidak normal.

Agonal gasps (napas terengah yang mengancam nyawa) biasa terjadi pada

tahap permulaan dari serangan jantung mendadak dan dapat terjadi salah

penafsiran dengan pernapasan normal.

Deteksi denyut nadi sendiri sering tidak dapat diandalkan bahkan

ketika dilakukan oleh penolong terlatih, dan mungkin memerlukan waktu

yang lebih lama. Akibatnya, tim penyelamat harus mulai RJP segera jika

korban dewasa tidak responsif dan tidak bernapas atau tidak bernapas secara

normal (yaitu, hanya terengah-engah). Panduan tentang "look, listen and feel

for breathing" untuk membantu pengenalan akan obstruksi jalan napas tidak

lagi dianjurkan.

6

Petugas kegawatdaruratan harus danbisa membantu memberikan

penilaian dan arah untuk memulai RJP. Seorang profesional kesehatan dapat

menggabungkan informasi tambahan untuk membantu pengenalan akan

terjadinya suatu henti jantung.

b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada

Inisiasi cepat dari kompresi dada yang efektif adalah aspek

fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan

probabilitaspasien untuk hidup dengan memberikan sirkulasi jantung dan

otak. Tim penyelamat harus melakukan kompresi dada untuk semua pasien

serangan jantung, tanpa melihat tingkat keterampilan penyelamat,

karakteristik korban, atau sumber daya yang tersedia.

Penyelamat harus fokus pada pemberian RJP berkualitas tinggi:

Memberikan penekanan dada dari tingkat yang memadai (setidaknya

100-120x / menit)

Memberikan kompresi dada dengan kedalaman yang memadai

o Dewasa: kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak

lebih dari 2,4 inci (6 cm)

o Bayi dan anak: kedalaman setidaknya sepertigaanterior-

posterior (AP) diameter dada atau sekitar 1,5 inci (4 cm) pada

bayi dan sekitar 2 inci (5 cm)pada anak-anak.

Memungkinkan dada untuk mengembang secara penuh setelah setiap

kompresi

Meminimalkan interupsisaat kompresi

Menghindari ventilasi berlebihan

Jika ada beberapa penyelamat, sebaiknya kompresi dilakukan setiap 2

menit per orang.

Pembukaan jalan napas (dengan head tilt – chin liftataujaw thrust)

diikuti dengan bantuan napas buatan dapat meningkatkan oksigenasi dan

ventilasi. Namun, manuver ini bisa sulit dilakukan dan ada interupsi karena

7

kompresi dada, terutama untuk penyelamat tunggal yang belum terlatih.

Dengan demikian, penyelamat yang tidak terlatih boleh memberikan Hands-

OnlyCPR (kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat yang mampu boleh

membuka jalan napas dan memberikan napas buatan dengan kompresi dada.

Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki risiko tinggi terjadinya asfiksia

(misalnya pada bayi, anak, atau korban tenggelam).

Setelah advanced airway terpasang, petugas kegawatdaruratan dapat

memberikan ventilasi dengan rate normal, yaitu 1 napas setiap 6 detik (10

napas per menit) dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.

c. Defibrilasi yang cepat

Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan meningkatnya

interval antara henti jantung dan defibrilasi. Defibrilasi dini tetap merupakan

terapi utama untuk ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardia tanpa nadi

(pulseless VT).

Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah efektivitas

kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome yang baik jika

interupsi (untuk penilaian irama, defibrilasi, atau perawatan lanjutan) pada

kompresi dada dikurangi seminimal mungkin.

d. Advanced life support yang efektif

e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi

Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian tersebut

diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita henti jantung

sebesar 50%.Akan tetapi, pada sebagian besar sistem kegawatdaruratan, rata-rata

kelangsungan hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan

untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan mengecek kembali semua

komponen dari chain of survivaldan memperkuat komponen yang lemah.Komponen

8

chain of survival yang satu bergantung dengan komponen yang lainnya, dan

kesuksesan dari setiap komponenbergantung dari keefektifan komponen sebelumnya.

Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan

kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga

bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini

seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.

RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas buatan

dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik

penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen

RJP.

Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.

Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah

mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap

penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi

tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah

terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan

ventilasi, sebagai suatu tim.

Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai

akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada

menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak

seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi

dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti jantung

menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.

2.4. Basic Life Support

Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu

konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek dasar

dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-

tiba dan aktivasi emergency response system(activation), resusitasi jantung paru yang

dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated

9

External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan

jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.

a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response system

Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara

tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa

penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau

berkurangnya respon napas.

Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus

memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan

memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak

terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan

menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency

response system semua penolong harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak

terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek

nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk

mengecek nadi.

Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.

Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan

harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi penolong

yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas

tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru yang dini

1)Kompresi Dada

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga

pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah

10

dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan

jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan

otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama

RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan

kompresi dada.

Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan

cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling

sedikit 100-120 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm)

dan tidak lenih dari 2.4 inchi (6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar

daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk

memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi

berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan

durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah

kompresi yang diberikan tiap menit.

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi

hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil

terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian

tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inci.

2)Penyelamatan pernapasan

Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2015

adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun

tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan

30 kompresi daripada memulai dengan dua ventilasi yang menunjukkan hasil

yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada.

Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan

selama seluruh proses resusitasi.

Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan

memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut-ke

mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu. Memulai RJP

11

dengan 30 kompresi daripada dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih

singkat.

Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus

memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui bag-

mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:

Memberikan setiap napas buatan selama satu detik

Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan

dada yang terlihat (visible chest rise)

Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2

Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau

laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang selama RJP dengan dua

orang penyelamat, berikan napas setiap 6 detik tanpa menyesuaikan

napas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk

memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED

Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang

diri harus mencari AED (Automated External Defibrillator) (bila AED dekat dan

mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan

menggunakan AED.Penolong lalu memberikan RJP berkualitas tinggi.

Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera

memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency

response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada

kebanyakan rumah sakit).AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua

penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.

Tahapan defibrilasi:

Nyalakan AED

Ikuti petunjuk

Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

12

13

2.5 Airway Management

2015AHA Guidelines adalah untuk merekomendasikan inisiasi kompresi dada

sebelum ventilasi (CAB bukan ABC).Perubahan ini mencerminkan bukti yang

berkembang tentang pentingnya penekanan dada dan fakta bahwa persiapan untuk

memberikan jalan napas membutuhkan waktu lebih.

Pola pikir ABC memperkuat gagasan bahwa kompresi harus menunggu

sampai ventilasi telah dimulai.Pola pikir ini dapat terjadi bahkan ketika lebih dari 1

penyelamat hadir karena "jalan napas dan pernapasan sebelum ventilasi" begitu

mendarah daging dalam banyak penyelamat.Penekanan baru pada CAB membantu

memperjelas bahwa manuver jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan efisien

sehingga gangguan dalam kompresi dada diminimalkan dan kompresi dada harus

mengambil prioritas dalam resusitasi orang dewasa.

Penyelamat awam

Penyelamat awam terlatih yang merasa yakin bahwa ia dapat melakukan

kedua kompresi dan ventilasi harus membuka jalan napas menggunakan head tilt –

chin lift maneuver. Untuk penyelamat menyediakan Hands-Only CPR, tidak ada

bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan nafas pasif tertentu (seperti

hiperekstensi leher untuk memungkinkan ventilasi pasif).

Petugas kesehatan

Sebuah penyedia layanan kesehatan harus menggunakan head tilt –chin lift

maneuver untuk membuka jalan napas dari korban dengan tidak ada bukti trauma

kepala atau leher. Meskipun head tilt – chin lift maneuverdikembangkan pada

relawan dewasa yang tidak sadar dan lumpuh dan belum diteliti pada korban dengan

serangan jantung, bukti klinis, radiografi, dan serangkaian kasus telah menunjukkan

keefektifan.

Antara 0,12 dan 3,7% dari korban dengan trauma tumpul memiliki cedera

tulang belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat jika korban mengalami

cedera kraniofasial, skor Glasgow Coma Scale<8. Untuk korban yang diduga

14

mengalami cedera tulang belakang, tim penyelamat harus memberikan pembatasan

gerak pada tulang belakang secara manualterlebih dahulu (misalnya, menempatkan 1

tangan di kedua sisi kepala pasien untuk menahan kepala dan tulang belakang pada

tempatnya). Perangkat imobilisasi tulang belakang dapat mengganggu dalam

mempertahankan jalan napas, tapi penggunaan alat tersebut tetap diperlukan untuk

menjaga imobilisasitulang belakang selama transportasi.

Jika penyedia layanan kesehatan menduga cedera tulang belakang servikal,

jalan napas harus dibuka dengan menggunakan jaw thrust tanpa ekstensi kepala.

Karena mempertahankan jalan napas yang paten dan menyediakan ventilasi yang

memadai adalah prioritas dalam RJP, tetap lakukan head tilt – chin lift maneuverjika

jaw thrust tidak cukup untuk membuka jalan napas.

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010

a. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus

Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang

penting dalam resusitasi henti jantung.RJP meningkatkan kemungkinan

kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan

15

paru.Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti

jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber

daya yang tersedia.AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 mengutamakan

kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:

Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit

Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak lebih dari

2.4 inci (6 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter

anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inci

(4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm) pada anak-anak).Batas antara 1,5 hingga 2

inci tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan

anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for

CPR and ECC.

Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap

setiap kali selesai kompresi.

Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.

Menghindari ventilasi yang berlebihan.

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi

yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru

lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk

memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan,

kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling

sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Napas buatan

kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 detik (sekitar 10 napas per

detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.

b. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B

Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation

berubah menjadi Compression-Airway-Breathingpada orang dewasa, anak – anak,

dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). Hal ini untuk menghindari

penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif.

16

Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang

memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang

seorang diri.

Serangan jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa dan penyebab

paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless ventricular

tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life

Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-

C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk

memberikan napas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau

mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system

hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hal ini

berarti tidak ada lagi "look, listen, feel", sehingga komponen ini dihilangkan dari

panduan.

Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai

sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus

pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar

penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan

pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal

tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang

dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan napas dan

memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat

mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

c. Penekanan pada kompresi dada

Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA

mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008.Untuk penolong yang belum terlatih

diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.

Jika penyelamat tidak terlatih dalam melakukan RJP, Hands Only CPR bisa

dilakukan pada korban dewasa yang mendadak kolaps dengan penekanan "push

hard and fast".Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk

17

dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh

penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR)

memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan

ventilasi.

d. Kecepatan kompresi

Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah

kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk

menentukan kembalinya sirkulasi spontan Return of Spontaneous

Circulation(ROSC) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk

memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada

dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk

membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED

(Automated External Defibrillator).

Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak dihubungkan

dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit

dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.

Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan

tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan

gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi yang inadekuat

atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total

kompresi yang diberikan per menit.

e. Kedalaman kompresi

Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak lebih

dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat)

menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan

otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan

tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.Kompresi

18

menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke

jantung dan otak.

f. Identifikasi pernapasan agonal oleh petugas medis

kegawatdaruratan(Dispatcher Identification of Agonal Gasps)

Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan baik

untuk mengidentifikasi antara pernapasan normal dengan pernapasan agonal,

selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak

bernapas atau sulit bernapas.Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan

untuk memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak

normal.Pengecekan pernapasan dilakukan secara cepat sebelum aktivasi

emergency response system.

g. Penekanan krikoid

Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian tekanan

pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan

menekan esophagus ke vertebra servikal.Penekanan krikoid dapat menghambat

inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi

dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.

Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.

Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan

airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah

lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.

Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu

(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).

h. Aktivasi Emergency Response System

Aktivasi Emergency Response System seharusnya dilakukan setelah

penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak

ditunda.Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem

kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon.Jika penyedia

19

pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi dalam 10 detik, RJP harus segera

dimulai dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.

i. Tim resusitasi

Langkah – langkah algoritma BLS sejak dahulu dipresentasikan dalam

keadaan di mana hanya ada satu penyelamat. Pada AHA 2015 lebih difokuskan

untuk memberikan RJP dalam suatu timagar resusitasi berjalan dengan baik dan

efektif. Misalnya, satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan

sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga

membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernapasan dan

penolong keempat mempersiapkan defibrilator

Tabel ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk

RJP pada neonatus).

20

2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi

Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan

kelompok.Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat, dan penyedia

21

layanan kesehatan.Pihak kelompok adalah masyarakat, petugas medis

kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem EMS, rumah sakit,

kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat lokal, dan negara.

Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu sama

lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu dan kelompok untuk

bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of care.Fondasi untuk RJP yang

suksesadalah penilaian kembali tantangan yang ada dari masing – masing komponen

chain of survival.Dengan demikian individu dan kelompok harus bekerjabersama-

sama, berbagi ide dan informasi, untuk mengevaluasi danmeningkatkan sistem

resusitasi. Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah komponen penting di dalam

suatu tim.

Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya melalui

proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa ditingkatkan.Prosesnya meliputi evaluasi

secara keseluruhan dari tindakan resusitasi dan outcome yang didapatkan, patokan

dengan feedback dari seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk

mengetetahui kekurangan yang ada.

2.8Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi

22

Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari

berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada

orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga

tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai

resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal

suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan bahwa fungsi

serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada

normotermia tanpa RJPO.

Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi

spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.

Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada

pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap

selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek

barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak

adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun

dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah

titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.

2.9 Komplikasi

Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah fraktur iga atau sternum karena

kompresi dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi buatan

menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang bisa

menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan jalan napas;

insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.

BAB 3

23

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, American Heart Association telah membuat

beberapa perubahan dalam panduan RJP, yang terdapat dalam American Heart

Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2015. Panduan RJP yang terbaru ini

juga menekankan pada pemberian RJP yang berkualitas tinggi, dengan kecepatan

kompresi paling sedikit 100-120 kali/menit dan kedalamannya paling sedikit 5cm dan

tidak lebih dari 6 cm pada dewasa dan anak-anak, serta 4cm pada bayi. AHA juga

menyarankan pemberian RJP hanya dengan tangan (hands only CPR) atau RJP tanpa

ventilasi dengan maksud untuk memudahkan penolong yang tidak terlatih dalam

menyelamatkan penderita henti jantung.

Dengan adanya panduan RJP tahun 2015 yang lebih ringkas ini diharapkan

dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih untuk menyelamatkan penderita

yang mengalami henti jantung, sehingga rata-rata kelangsungan hidup penderita yang

mengalami henti jantung dapat meningkat.

Setiap sistem, baik di rumah sakit atau di luar rumah sakit, harus menilai

kinerja dan menerapkan strategi untuk meningkatkan perawatan dalam kasus-kasus

serangan jantung.Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung

membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan

segera henti jantung dan aktivasiemergency response system, RJP awal dengan

menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support yang

efektif, perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi. Dengan melakukan

rangkaian tindakan tersebut secara benar, potensi dariChain of Survival dapat dicapai

secara penuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

24

American Heart Association, 2015. Highlights of the 2015 American Heart

Association Guidelines for CPR and ECC. Guidelines CPR and ECC 2015, p.

28.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis

Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed. 2000.

Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,

editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William &

Wilkins; 2006, p. 791-811.

Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in

the lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007,

98: 420-8.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy

4th ed. McGraw-Hill; 2007.

25