Transcript
Page 1: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Clinical Science Session

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) PADA

TONSILITIS KRONIS

Oleh :

Riskawati Usman 07923076

Fahrurrozi Syarif 07923082

Rahmy Dyanovani 07923083

Preseptor :

Dr. Novialdi, Sp.THT-KL

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

RSUP DRM Djamil Padang

2012

1

Page 2: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang

berjudul “Obstructive Sleep Apnea Syndroms Pada Tonsilitis Kronis” ini.

Adapun referat ini penulis ajukan sebagai salah satu syarat dalam

mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok-

Kepala dan Leher. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan

terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian

penulisan referat ini terutama kepada Dr. Novialdi, Sp. THT-KL sebagai

pembimbing kami.

Penulisan referat ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh

karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari

semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi peningkatan

pemahaman di bidang Telinga Hidung Tenggorok-Kepala dan Leher,

terutama mengenai monitoring Hubungan Laringitis Dengan Sinusitis .

Padang, Oktober 2012

Pen

ulis

2

Page 3: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR…………………………………………… 2

DAFTAR ISI……………………………………………………. 3

DAFTAR TABEL………………………………………………. 5

DAFTAR GAMBAR………………………………………….... 6

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………….. 7

1.2 Batasan Masalah………………………………………….. 7

1.3 Tujuan Penulisan……………………………………… ....... 7

1.4 Metoda Penulisan………………………………………..... 7

1.5 Manfaat Penulisan…………......………………………….. 7

BAB II. TONSILITIS KRONIS

2.1.Tonsil........................................................................................

2.1.1.Embriologi Tonsilla Palatina..........................................

2.1.2. Anatomi Tonsil Palatina.................................................

2.1.3. Vaskularisasi...................................................................

2.1.4.Aliran getah bening.........................................................

2.1.5. Innervasi..........................................................................

2.1.6. Imunologi.........................................................................

2.1.7.Fungsi Tonsil...................................................................

2.2. Tonsilitis Kronik

2.2.1. Defenisi

2.2.2. Faktor Predisposisi

2.2.3. Etiologi

2.2.4. Patologi

2.2.5. Manifestasi Klinis

2.2.6. Diagnosis

2.2.7. Diagnosis Banding

3

Page 4: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

2.2.8. Komplikasi

2.2.9. Penatalaksanaan

BAB III. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Tonsilitis Kronis Hipertrofi

3.1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)

3.1.1.Definisi

3.1.2.Epidemiologi

3.1.3.Patogenesis

3.1.4.Faktor Risiko

3.1.5.Patofisiologi

3.1.6.Manifestasi klinis

3.1.7.Diagnosis

3.1.8.Pengobatan

3.1.9.Komplikasi

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan..................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 29

4

Page 5: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa............. 19

5

Page 6: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Gambaran Tonsil dalam Cincin Waldeyer................. 8

Gambar 2. Anatomi Tonsil.......................................... 9

Gambar 3. Pendarahan tonsil......................................... 17

Gambar 4. Hipertrofi tonsil...................................... 22

Gambar 5. Ukuran tonsil............. 24

6

Page 7: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya

merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.

Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk

seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan

insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis,

ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis

hipertrofi.1,2

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah suatu sindrom

obstruksi total atau parsial jalan nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis

yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Prevalensi OSAS adalah

0,7 . 10,3%. Beberapa keadaan dapat merupakan faktor risiko OSAS seperti

hipertofi adenoid dan atau tonsil, obesitas, disproporsi sefalometri, kelainan

daerah hidung.3

Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria,

usia pertengahan, dan obesitas. Di Amerika Serikat, prevalensi OSA pada

kelompok usia di bawah 40 tahun adalah 25 persen pria dan 10 hingga 15 persen

perempuan. Adapun pada kelompok usia di atas 40 tahun, prevalensinya mencapai

60 persen pada pria dan 40 persen pada perempuan.4

Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa.4

Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS,

sedangkan pada anak meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan

yang utama.5

Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai

gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif

sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA

merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran

7

Page 8: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen

secara periodik.2,6

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi

pada usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil

dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada

sindroma Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada

dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum

frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.5

Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi

merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis.

Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang

disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan

operatif.2,6

Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu

konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,

yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan

1 2 menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk

abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi

tonsilektomi perlu dilakukan.7,8

1.2 BATASAN MASALAH

Makalah ini membahas tentang Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada

Tonsilitis Kronis.

1.3 TUJUAN PENULISAN

Untuk mengetahui tentang Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Tonsilitis

Kronis.

1.4 METODE PENULISAN

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada

berbagai literatur.

8

Page 9: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

1.5 MANFAAT PENULISAN

Melalui penulisan makalah ini diharapkan akan bermanfaat dalam

memberikan informasi dan pengetahuan tentang Obstructive Sleep Apnea

(OSA) Pada Tonsilitis Kronis.

9

Page 10: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

BAB II

TONSILITIS KRONIS

3.2. Tonsil

Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang

letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ.9 Pada

tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler

dan kapsul jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.9,10

Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :9

1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.

2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus

glossopalatinus dsan arcus glossopharingicus.

3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari

nasofaring.

4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium

tuba auditiva.

5. Plaques dari Peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.

Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina,

tonsilla pharingica dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada

pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan

nama cincin Waldeyer.9,10,11 Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap

infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer

menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3

tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa

pubertas.11,12

Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal

kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan

dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas), dan sebagai surveilen imun.

Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah faring terjadi tikungan

jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar,

10

Page 11: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian

kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut

pada permukaan penyusun cincin Waldeyer itu semakin besar.13

Gambar 1. Gambaran Tonsil dalam Cincin Waldeyer

3.2.1. Embriologi Tonsilla Palatina

Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian

dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal

dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripte tonsillar pertama terbentuk pada

usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20

minggu.14

3.2.2. Anatomi Tonsil Palatina

Tonsil palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak

di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar

anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil

berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-

11

Page 12: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa

supratonsil.15

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah : 10,15

1. Anterior : arcus palatoglossus

2. Posterior : arcus palatopharyngeus

3. Superior : palatum mole

4. Inferior : 1/3 posterior lidah

5. Medial : ruang orofaring

6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh

jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang

dan lateral tonsila.

Gambar 2. Anatomi Tonsil

Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang

merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya

melekat pada dasar lidah. Permukaan medial bentuknya bervariaso dan

mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus ditemukan leukosit,

limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat

12

Page 13: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil, yang tidak melekat erat

pada otot faring.10,15

3.2.3. Vaskularisasi

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna

yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris

dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina

desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a.

faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor

superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri

palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior

menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil

melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke

pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika

posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina

artery member vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk

anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk

pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 10,16

Gambar 3. Pendarahan tonsil

13

Page 14: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

3.2.4. Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju

duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan

sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.12

3.2.5. Innervasi

Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n.

Palatina minor (cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX

menyebabkan anestesia pada semua bagian tonsil.12

3.2.6. Imunologi

Tonsil merupakan organ yang unik karena keterlibatannya dalam

pembentukan imunitas lokal dan pertahanan imunitas tubuh. Limfosit B

berproliferasi di “germinal center”. Imunoglobulin (Ig G, A, M, D), komponen

komplemen, interferon, lisosim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsillar.

Infeksi bakterial kronis pada tonsil akan menyebabkan terjadinya antibodi

lokal, perubahan rasio sel B dan sel T. Efek dari adenotonsilektomi terhadap

integritas imunitas seseorang masih diperdebatkan. Pernah dilaporkan adanya

penurunan produksi Imunoglobulin A nasofaring terhadap vaksin polio setelah

adenoidektomi atau adanya peningkatan kasus Hodgkin’s limfoma. Namun

bagaimanapun peran tonsil masih tetap kontroversial dan sekarang ini belum

terbukti adanya efek imunologis dari tonsilektomi.12

3.2.7. Fungsi Tonsil16,17:

1. Membentuk zat – zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma saat reaksi

seluler.

2. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun

mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut.

14

Page 15: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

2.2. Tonsilitis Kronik

2.2.1. Defenisi

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan

bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan keradangan

kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut

berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.10,15

Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara

serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil

diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang

mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.18

2.2.2. Etiologi

Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut

yaitu kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus,

Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Hemophilus

influenza, namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif.15

2.2.3. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronis, yaitu : 15

1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)

2. Higiene mulut yang buruk

3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)

5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)

6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.2.4. Patologi

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena

proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,

sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan

15

Page 16: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan melebar,

ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi

epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte

berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga

menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar

fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar submandibula.15

Gambar 4. Hipertrofi tonsil

2.2.5. Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan

tonsilitis akut yang berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-

menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada

sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan

pernafasan berbau.10,15, 16

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis

Kronis yang mungkin tampak, yakni :16,17

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke

jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang

purulen atau seperti keju.

2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang

seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,

kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

16

Page 17: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Gambar 5. Ukuran tonsil

Ukuran tonsil dibagi menjadi : 16

T0 : Post tonsilektomi

T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris

T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian

(pilar posterior)

T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median

T4 : Sudah melewati garis median

2.2.6. Diagnosis

1. Anamnesis

Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok

yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise,

kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.15, 18

2. Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan

parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat

diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta

membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak

terlihat pada kripta. 15, 18

17

Garis paramedian

Garis median

T1

T4

T3 T

2

Page 18: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

3. Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari

sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam

kuman dengan berbagai derajat keganasan, seperti Streptokokus beta

hemolitikus grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau

Pneumokokus.15, 18

2.2.7. Diagnosis Banding

Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronis, di

antaranya15 :

1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau adanya

membran semu yang menutupi tonsil /tonsilitis membranosa

a. Tonsilitis Difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua

orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini

tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin

sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar

imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal

dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala

infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu

makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.

Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi

bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk

pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila

diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung

dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf

kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot

pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39°C), nyeri di mulut,

gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah

18

Page 19: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran

putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus

alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau

(foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.

c. Mononukleosis Infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran

semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul

perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan

regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit

mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah

kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah

merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

2. Penyakit kronik faring granulomatus

a. Faringitis Tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien

buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat

di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar

limfa leher.

b. Faringitis Luetika

Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder

atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang

sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma

bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.

c. Lepra (Lues)

Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring

kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan

yang luas dan timbulnya jaringan ikat.

d. Aktinomikosis Faring

Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri,

bisa mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat

mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan

dasar jaringan granulasi yang lunak.

19

Page 20: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan

dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti

berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan/kultur, X

ray dan biopsi.

3. Tumor tonsil

2.2.8. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum

ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh

dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai

berikut : 15

1. Komplikasi sekitar tonsil

a. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus

dan abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi

berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus

kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah

bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus

paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.

d. Abses retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi

pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi

kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan

fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna

putih/berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)

20

Page 21: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan

tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi ke organ jauh

a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

b. Glomerulonefritis

c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

e. Artritis dan fibrositis

2.2.9. Penatalaksanaan15, 18

1. Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin

yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk

membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran

jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau

berulang-ulang.

2. Tindakan Operatif

Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang

diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis

tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali

didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).

Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu : 15

a. Obstruksi :

Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.

Sleep apnea atau gangguan tidur.

Kegagalan untuk bernafas.

Corpulmonale.

Gangguan menelan.

Gangguan bicara.

Kelainan orofacial / dental yang menyebabkan jalan nafas sempit.

21

Page 22: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

b. · Infeksi

Tonsilitis kronika / sering berulang.

Tonsilitis dengan :

o Absces peritonsilar.

o Absces kelenjar limfe leher.

o Obstruksi Akut jalan nafas.

o Penyakit gangguan klep jantung.

Tonsilitis yang persisten dengan :

o Sakit tenggorok yang persisten.

Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap terapi.

Otitis Media Kronika yang berulang.

c. Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna.

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,

Head and Neck Surgery : 10, 17, 19

1. Indikasi absolut:

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia

menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar

Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis

Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi

Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)

2. Indikasi relatif :

Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam

setahun meskipun dengan terapi yang adekuat

Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis

tidak responsif terhadap terapi media

Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang

resisten terhadap antibiotik betalaktamase

Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

22

Page 23: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus

dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai

kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi

absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang

dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. 7

Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh

mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi

absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini

boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan

kardiopulmoner. 7

Sedangkan kontraindikasi dari tonsilektomi adalah : 10, 11, 14, 19, 20

1. Kontraindikasi relatif

a. Palatoschizis

b. Radang akut, termasuk tonsilitis

c. Poliomyelitis epidemica

d. Umur kurang dari 3 tahun

2. Kontraindikasi absolut

a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia

b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol : DM, penyakit jantung, dan

Sebagainya.

Teknik Operasi 18

Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang

masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan

kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.

Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,

perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik

tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.

Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah

teknik Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :

23

Page 24: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

1. Guillotine

Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan

praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas

tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil

karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.

2. Teknik Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode

pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam

anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik

kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan

menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.

3. Teknik elektrokauter

Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai

kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi

berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan.

Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar

pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini

mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.

4. Radiofrekuensi

Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.

Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka

kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6

minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan

berkurang.

5. Skapel harmonik

Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan

mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.6

6. Teknik Coblation

Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena

dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk

mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan

energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media

24

Page 25: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar

elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung suatu partikel yang

terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang

akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan

molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu

rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan

sekitar.

7. Intracapsular partial tonsillectomy

Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan

dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi

bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak

ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam

membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.

8. Laser (CO2-KTP)

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium

Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.

Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan reses pada tonsil

yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

Komplikasi Tonsilektomi 15, 18

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal

maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan

komplikasi tindakan bedah dan anestesi.

1. Komplikasi anestesi

Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.

Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :

• Laringospasme

• Gelisah pasca operasi

• Mual muntah

• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan

henti jantung

25

Page 26: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

• Hipersensitif terhadap obat anestesi.

2. Komplikasi Bedah

a. Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).

Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau

dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien.

sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam

jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

b. Nyeri

Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut

saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus

yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot

diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.

c. Komplikasi lain

Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),

aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,

stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.

26

Page 27: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

BAB III

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) PADA TONSILITIS KRONIS

3.1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)

3.1.1.Definisi

Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya

episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan

kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran. Obstruktif apnea

adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun dengan

usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang

tidak disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas.

Obstruktif hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang

menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipoventilasi

digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti adanya

pengurangan aliran udara. 3

Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan

nafas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan

dampak klinis yang bervariasi. Istilah primary snoring (mendengkur primer)

digunakan untuk menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang

tidak berkaitan dengan obstruktif apnea, hipoksia atau hipoventilasi. 3,21

Guilleminault dkk mendefinisikan sleep apnea sebagai episode apnea

sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10 detik

dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM) dan non rapid

eye movement (NREM). 22 Terdapat istilah apnea index (AI) dan hypopnea

index (HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam. Apnea atau

hypopnea index dapat digunakan sebagai indikator berat ringannya OAS. 23

3.1.2.Epidemiologi

Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada orang dewasa

daripada anak-anak. Mendengkur karena kebiasaan, dijumpai pada masa

anak-anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-anak pra sekolah dan anak usia

sekolah. 24 Schechter, mendapatkan prevalensi snoring berkisar antara 3,2-

27

Page 28: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

12,1% bergantung kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernafasan

selama tidur didapat pada kira-kira 0,7-10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5

tahun. Kejadian OSAS terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus. 25

Pada masa neonatus insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan

berat badan lahir < 2500 gram dan 84% pada bayi dengan berat badan lahir

< 1000 gram. Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun karena pada

usia ini sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian

OSAS tidak berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa

lelaki lebih sering dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1.4 Terdapat

kecenderungan familial untuk terjadinya OSAS.7 Yoshizuwa dkk di Jepang

menggambarkan hubungan antara OSAS dan tipe HLA - A2 yang spesifik.

Prevalensi OSAS pada kelompok etnik yang berbeda tidak diketahui. 3

3.1.3.Patogenesis

Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui; terjadi jika

didapatkan gangguan antara faktor yang mempertahankan patensi saluran

nafas dan komponen jalan nafas bagian atas (misalnya ukuran anatomis)

yang menyebabkan kolapsnya jalan nafas. Faktor-faktor yang memelihara

patensi saluran nafas adalah a) respons pusat ventilasi terhadap hipoksia,

hiperkapnia, dan sumbatan jalan nafas; b) efek pusat rangsangan dalam

meningkatkan tonus neuromuskular jalan nafas bagian atas; c) efek dari

keadaan tidur dan terbangun.

Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan nafas yaitu : 3, 21

1. Teori balance of forces : ukuran lumen farings tergantung pada

keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama

inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan nafas atas. Tekanan transmural

pada saluran nafas atas yang mengalami kolaps disebut closing pressure.

Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan mempertahankan

tekanan tranmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas tetap

paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings

mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.

28

Page 29: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

2. Teori starling resistor : jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor

yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan farings untuk mengalami

kolaps yang menentukan aliran udara melalui saluran nafas atas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraluminal maupun fungsi otot

saluran nafas atas yang mempermudah terjadinya kolaps jalan nafas selama

tidur telah diketahui. Manifestasi OSAS timbul jika faktor yang

menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas bergabung dengan kelainan

kontrol susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot saluran nafas atas.

Kemungkinan kombinasi faktor-faktor ini dapat menerangkan mengapa

beberapa anak dengan kelainan struktur mengalami OSAS sementara yang

lainnya dengan derajat penyempitan saluran nafas yang sama menunjukkan

pernafasan yang normal selama tidur. 3

3.1.4.Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat

hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas.3, 5 Hipertrofi

adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan

OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan

berat ringannya OSAS. Terdapat anak dengan hipertrofi adenoid yang

cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih ringan, anak lain dengan

pembesaran adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. 5

Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit pada

anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak

OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil

akan menetap setelah dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak

dengan OSAS yang telah berhasil diatasi dengan operasi adenotonsilektomi

kemudian mengalami rekurensi gejalanya selama masa remaja. 3, 26 Anak

dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur saluran

nafas yang nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami

OSAS. Pada anak dengan disproporsi kraniofasial dapat menyebabkan

sumbatan saluran nafas meskipun tanpa disertai hipertrofi adenoid. 3, 27

29

Page 30: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa

obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas

bukan sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas

karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan

jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas,

maupun kompresi eksternal leher dan rahang. Penentuan obesitas dapat

dilakukan dengan cara menghitung body mass index (BMI) dan pengukuran

lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar

leher dibandingkan dengan BMI.12 Telah diketahui bahwa lingkar leher

yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan

penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan

mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah

leher dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan

lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai

velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat

mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur. 28

3.1.5.Patofisiologi

Pasien dengan OSAS mampu mempertahankan patensi saluran nafas

bagian atas selama bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot

saluran nafas akibat input dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Namun

selama tidur kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi dan

kadang-kadang meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering

mengalami periode obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan

hipoventilasi dibandingkan orang dewasa.

Keadaan apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih

singkat daripada orang dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat

siklus obstruksi parsial atau total. Obstruktif apneamenyebabkan

peningkatan aktifitas otot-otot dilatator saluran nafas atas sehingga

mengakibatkan berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSAS arousal jauh

lebih jarang, dan obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-

jam tanpa terputus. 28

30

Page 31: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA

adalah hipoksia dan hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian

menstimulasi baroreseptor dan kemoreseptor perifer. Terganggunya

kontinuitas tidur dan penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi pada

keadaan mudah mengantuk sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada

anak dengan hipertrofi tonsil disebabkan volume jaringan limfoid yang

meningkat pada usia 6 bulan sampai dengan masa pubertas, dan mencapai

maksimum pada usia anak sekolah. Meski demikian, OSA tidak selalu

muncul walaupun terjadi penyempitan saluran napas, karena pada keadaan

normal, tonsil yang hipertrofi tidak mengalami kolaps sewaktu tidur. 29

3.1.6.Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada

saat tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala

kesulitan bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula

timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap

tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya

anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari

luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan

gerakan badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan

dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan nafas, noisy

breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya

retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau

hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas. 28

Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut,

adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan

kraniofasial lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya

allergic shiners atau lipatan horizontal hidung.15 Patensi pasase hidung

harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran

lidah, integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum,

ukuran tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum.

Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan

31

Page 32: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya

peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan.

Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan

status perkembangan.28

Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSA

pada anak-anak dan dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu

diketahui, yaitu: 29

Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa

3.1.7. Diagnosis 28

A. Polisomnografi

Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan

polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku

emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Pada anak, tanda dan gejala obstructive

sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu diagnosisnya lebih

sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi. Polisomnografi juga akan

menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan selama tidur.

Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai beratnya

penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya

setelah operasi.

32

Page 33: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

B. Uji tapis

Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan

belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain

sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan

kuesioner. Brouillette dkk17 menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal

dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83

• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)

• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan

OSAS berdasarkan nilai:

• Skor < -1 : bukan OSAS

• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS

• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS

meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor

>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti

dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak

menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan

spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.

C. Observasi selama tidur

Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di suruh tidur

di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis dengan

melakukan review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah.3,18

Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan

selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan

mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai

prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif 88%. Observasi selama tidur dapat

dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau

33

Page 34: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse

oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat

memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS,

tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia.

Dengan menggunakan metode di atas nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai

prediksi negative 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi

selama tidur maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak

terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan

polisomnografi.

D. Pemeriksaan laboratorium

Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit

ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien

dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat

serum yang persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik.

Beberapa jenis sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan berperan

penting dalam proses tidur. Interleukin-1 dan TNF-a dapat meningkatkan slow

wave sleep dan pemberian anti TNF-a anti body dapat menghambat fase NREM.

Irama sirkadian dari pelepasan TNF-a mengalami gangguan pada pasien OSAS,

kadar puncak fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan pada siang

hari kadar puncaknya meningkat.

3.1.8. Pengobatan 28

Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan

bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah

tonsilektomi dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi

kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas

dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway Pressure ).

1 . Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi

merupakan tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar.

Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%.3,21 Pada anak

34

Page 35: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

dengan etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya tinggi

tetapi apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi

kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian,

karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran nafas atas relatif

kecil dibandingkan dengan ukuran absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli

berpendapat tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada

keadaan di atas. Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan

pemantauan dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadangkadang gejala

masih ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non

medis lainnya seperti penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah

dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.

2. Continuous positive airway pressure (CPAP)

Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi,

anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial.

Pada kelompok usia anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas

dan pasien dengan OSAS yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau

adenoidektomi. Sebenarnya indikasi pemberian CPAP adalah apabila setelah

dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala

OSAS atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.

Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut

memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.

Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau

dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan

pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran

udara di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering,

konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl

fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan humidifer dapat

mengurangi efek samping.

3. Penurunan berat badan

Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan

penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata.

Penurunan berat badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak

35

Page 36: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

dengan predisposisi obesitas. Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih

sulit dilakukan dari pada dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap

karena menurunkan berat badan secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu

kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam yang menangani

pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara

perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama. Selain memperbaiki diet

pada obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin

menyertainya seperti diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu sambil

menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus

digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan

berat badan akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat

menurunkan gejala OSAS. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di dalamnya

adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga (exercise), dan obat-obatan. Pada

pasien OSAS yang berat dan memberi komplikasi yang potensial mengancam

hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.

4. Obat-obatan

Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah

terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau

steroid inhaler. Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada

pasien anak dengan obesity hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian

obatobat tersebut kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat

penenang dan obat yang mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat

memperberat OSAS.

5. Trakeostomi

Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat

yang mengancam hidup, dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan

operasi tidak tersedia.

3.1.9. Komplikasi 28

Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep

fragmentation.

1. Komplikasi neurobehavioral

36

Page 37: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal dan sleep

fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang berlebihan dilaporkan

terjadi pada 31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain yang dapat menyertai

OSAS adalah keterlambatan perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang

baik, hiperaktifitas, sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan

sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat sering terjadi. Suatu

penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat menyebabkan perbaikan yang

nyata pada fungsi kognitif.

2. Gagal tumbuh

Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak dengan

OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS

adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,

peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi

setelah dilakukan adenotonsilektomi.

3. Komplikasi kardiovaskular

Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat

mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab

kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal.

Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui.

Brouilette dkk4 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan

OSAS dan Guilleminault dkk, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada

20% dari 50 pasien.

4. Enuresis

Enuresis dapat merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat

kelainan dalam regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis

khususnya yang sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan nafas bagian atas

dihilangkan.

5. Penyakit respiratorik

Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari respiratorik atas

yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan

terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan

tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil yang besar

37

Page 38: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko untuk

mengalami aspirasi pneumonia.

6. Gagal nafas dan kematian

Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan OSAS

yang berat atau akibat komplikasi perioperatif.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya

merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari

tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang

THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut,

38

Page 39: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan.

Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga

disebut tonsilitis kronis hipertrofi.

Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa.4

Pada dewasa, obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS,

sedangkan pada anak meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan

merupakan yang utama.

OSAS merupakan penyebab kesakitan yang cukup sering ditemukan pada

anak Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan

berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya

apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive

sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai

dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga

menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik.

Manifestasi klinis OSAS dapat berupa mendengkur dengan episode apnea,

infeksi respiratorik berulang, gangguan belajar dan tingkah laku,

mengantuk pada siang hari, gagal tumbuh, enuresis, bernapas melalui

mulut, dengan atau tanpa hipertrofi tonsil dan adenoid atau kelainan

kraniofasial.

Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan

diagnosis OSAS. Beberapa pemeriksaan seperti skor OSAS, dan pulse

oximetry, dapat digunakan sebagai uji tapis.

Tonsilektomi dan/atau adenoidektomi merupakan tatalaksana bedah yang

dianjurkan pada OSAS anak disamping CPAP dan penurunan berat badan.

39

Page 40: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

DAFTAR PUSTAKA

1. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo. Tonsilitis Kronis. Dalam Panitia Medik Farmasi dan terapi. Ed. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab UPF Ilmu Penyakit THT. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo 1994 : 53-54

2. Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan tonsillitis kronik dengan prestasi belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia Kedokteran 2007;155:87-92

3. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 475-91.

4. Yuan, 2007. Mendengkur Bisa Membunuh Diam-Diam. Diakses dari http://www.dechacare.com/Mendengkur-Bisa-Membunuh-Diam-diam-I89.html.

40

Page 41: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

5. Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants and children. J Pediatric 1982; 100:31-9.

6. Nűńez-Fernández D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Upper Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 18 Oktober 2012)

7. Hermani B, fachrudin D, Syahrial, et al. Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. HTA Indonesia, 2004. hal 1-25.

8. Aritomoyo, D. Insiden Tonsilitis Akuta dan Kronika Pada Poliklinik THT RS. Dr. Kariadi Semarang Tahun 1978 Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional VI PERHATI. Medan, 1980 : 249 – 255.

9. Wirawan, S. & Puthra, I.G.A.G. (1979), Arti Fungsionil dari Elemenelemen Histologis Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.

10. Rusmarjono & Kartosoediro, S. (2001), Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta.

11. Pracy, R. et al (1974) Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

12. Snell, R.S. (1991) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

13. Sudana, W, Indikasi Tonsiloadenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar.

14. Anonim (2003) The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds) Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA.

15. Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT. Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2006. p1183-1208

16. George LA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:Adams, Boies, Higler(eds).buku ajar penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC;1997.hal 327-337

17. Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E-medicine.com.inc. 2002:1-10

18. Gotlieb J. The Future Risk of Childhood Sleep Disorder Breathing, SLEEP, vol 28 No 7. 2005.

19. Adams GL. Penyakit – Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams GL, Boies LR, Higler PA. Ed. Buku Ajar penyakit THT. Jakarta : EGC, 1997 :320 -55

20. Masna, P.W. (1979), Tonsillectomy & Adenoidectomy, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.

21. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea syndrome in children. Pediatr Pulmonol 1992; 14:71-4.

41

Page 42: Referat OSAS Pada Tonsilitis Kronis

22. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children. Pediatrics 1976; 58:23-31.

23. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics 2002; 109:1-20.

24. Deegan MN. Clinical prediction rules in obstructive sleep apnea syndrome. Eur Respir J 1997; 10:1194-5.

25. Ali NJ. Pitson DJ, Stardling JR. The prevalence of snoring, sleep disturbance and sleep related disoders and their relation of daytime sleepiness in 4-5 year old children. Am Rev Respir Dis 1991; 143:381A.

26. Sankar V, Zapanta PE, Truelson JM. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Physiologic Approach. Emergency Medicine Textbook, 2007. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 20 oktober 2012)

27. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta 1993 : 19 – 21

28. Bambang S, Rusmala D. Obstruktif Sleep Apnea Sindrom Pada Anak. Dalam : Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 - 84

29. Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. in: Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.

42