1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana
bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang
bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi
dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmatisma dan presbiopia (Ilyas,
2006).
World Health Organization (WHO), 2009 menyatakan terdapat 45 juta
orang yang mengalami buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision.
Kelainan refraksi (0,14%) merupakan penyebab utama kebutaan ketiga setelah
katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Dari 153 juta orang di dunia yang
mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang diantaranya mengalami kebutaan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Mata
Pemahaman tentang anatomi mata diperlukan untuk mengetahui berbagai
proses yang terjadi dalam mata. Pada penglihatan terdapat proses yang cukup
rumit oleh jaringan yang dilalui seperti membelokkan sinar, memfokuskan sinar
dan meneruskan rangsangan sinar yang membentuk bayangan yang dapat dilihat.
Berikut adalah bagian mata yang memegang peranan pembiasan sinar pada
mata:
a. Kornea
Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk
dan difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dan sifatnya
yang transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang
masuk 80% atau dengan kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh
kornea ini. Indeks bias kornea adalah 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai
kekuatan yang berkuatan sebagai lensa hingga 40,0 dioptri.
b. Iris
Iris atau selaput pelangi merupakan bagian yang berwarna pada mata. Iris
menghalangi sinar masuk ke dalam mata dengan cara mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam pupil melalui besarnya pupil.
c. Pupil
Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam bola mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil diserap
sempurna oleh jaringan dalam mata. Tidak ada sinar yang keluar melalui pupil
sehingga pupil akan berwarna hitam. Ukuran pupil dapat mengatur refleks
mengecil atau membesarkan untuk jumlah masuknya sinar. Pengaturan jumlah
sinar masuk ke dalam pupil diatur secara refleks. Pada penerangan yang cerah
pupil akan mengecil untuk mengurangi rasa silau. Pada tepi pupil terdapat
3
m.sfingter pupil yang bila berkontraksi akan mengakibatkan mengecilnya
pupil (miosis). Hal ini terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau dan pada
saat berakomodasi. Selain itu, secara radier terdapat m.dilator pupil yang bila
berkontraksi akan mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis). Midirasis
terjadi ketika berada di tempat gelap atau pada waktu melihat jauh.
d. Badan siliar
Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan
untuk akomodasi dan menghasilkan cairan mata. Di dalam badan siliar
didapatkan otot akomodasi dan mengatur besar ruang intertrabekula melalui
insersi otot pada skleral spur.
e. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di
dalam mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang
iris yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Lensa yang jernih ini
mengambil peranan membiaskan sinar 20% atau 10 dioptri. Peranan lensa
yang terbesar adalah pada saat melihat dekat atau berakomodasi.
f. Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya dan terletak di belakang pupil.
Retina akan meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda
sebagai rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal.
g. Saraf optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis
serabut saraf, yaitu: saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Saraf penglihat
meneruskan rangsangan listrik dari mata ke korteks visual untuk dikenali
bayangannya.
4
Gambar II.1
Anatomi Mata
II.2 Fisiologi Mata
Proses melihat bermula dari masuknya seberkas cahaya dari benda yang
diamati ke dalam mata melaui lensa yang kemudian dibiaskan pada retina
(makula). Terjadi perubahan proses sensasi cahaya menjadi impuls listrik yang
diteruskan ke otak melalui saraf optik untuk kemudian diinterpretasikan.
Kemampuan seseorang untuk melihat tajam (fokus) atau disebut juga tajam
penglihatan (acies visus) tergantung dari media refraktif di dalam bola mata.
Sistem lensa mata membentuk bayangan di retina. Bayangan yang
terbentuk di retina terbalik dari benda aslinya. Namun demikian, persepsi otak
terhadap benda tetap dalam keadaan tegak, tidak terbalik seperti bayangan yang
terjadi di retina, karena otak sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu
sebagai keadaan normal.
Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama,
pembiasan sinar / cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui perantaraan yang
berbeda kepadatannya dengan kepadatan udara, yaitu kornea, humor aquosus,
5
lensa, dan humor vitreous. Kedua, akomodasi lensa, yaitu proses lensa menjadi
cembung atau cekung, tergantung pada objek yang dilihat itu dekat atau jauh.
Ketiga, konstriksi pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat di
retina sehingga penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila cahaya yang
terlalu terang memasukinya atau melewatinya. Hal ini penting untuk melindungi
mata dari paparan cahaya yang tiba-tiba atau terlalu terang. Keempat,
pemfokusan, yaitu pergerakan kedua bola mata sedemikian rupa sehingga kedua
bola mata terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau melihat
benda yang dekat. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar,
mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola
mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula (Sheerwood, 2011).
II.2.1 Proses Refraksi
Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada media transparan lain
misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi,
berkas cahaya melambat (yang sebaliknya juga berlaku). Arah berkas berubah jika
cahaya tersebut mengenai permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak
lurus. Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Pada
permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan, semakin
besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa. Ketika suatu berkas cahaya
mengenai permukaan lengkung suatu benda dengan densitas lebih besar maka
arah refraksi bergantung pada sudut kelengkungan. Permukaan konveks
melengkung keluar (cembung, seperti permukaan luar sebuah bola), sementara
permukaan konkaf melengkung ke dalam (cekung, seperti gua). Permukaan
konveks menyebabkan konvergensi berkas sinar, membawa berkas-berkas
tersebut lebih dekat satu sama lain. Karena konvergensi penting untuk membawa
suatu bayangan ke titik fokus, maka permukaan refraktif mata berbentuk konveks.
Permukaan konkaf membuyarkan berkas sinar (divergensi). Lensa konkaf
6
bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan refraktif tertentu mata, misalnya
berpenglihatan dekat (Sheerwood, 2011).
II.2.2 Struktur refraktif mata
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah
kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung, struktur pertama yang
dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut masuk mata, berperan paling besar
dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan dalam densitas pada
pertemuan udara-kornea jauh lebih besar daripada perbedaan dalam densitas
antara lensa dan cairan di sekitarnya. Pada astigmatisme, kelengkungan kornea
tidak rata sehingga berkas sinar mengalami refraksi yang tidak sama. Kemampuan
refraktif kornea seseorang tidak berubah, karena kelengkungan kornea tidak
pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan refraktif lensa dapat diubah-ubah
dengan mengubah kelengkungannya sesuai kebutuhan untuk melihat dekat atau
jauh.
Berkas cahaya dari sumber sinar berjarak lebih dari 20 kaki (= 6 meter)
dianggap parallel pada saat berkas tersebut mencapai mata. Sebaliknya, berkas
cahaya yang berasal dari benda dekat masih tetap berdivergensi ketika mencapai
mata. Untuk kemampuan refraktif tertentu mata, diperlukan jarak lebih jauh di
belakang lensa untuk membawa berkas divergen suatu sumber cahaya yang dekat
ke titik fokus daripada membawa berkas parallel suatu sumber cahaya yang jauh
ke titik fokus. Akan tetapi, pada mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu
sama. Karena itu, tidak terdapat jarak yang lebih jauh setelah lensa untuk
membawa bayangan benda dekat ke fokus. Namun, agar penglihatan jelas maka
struktur-struktur refraktif mata harus membawa bayangan dari sumber cahaya
jauh atau dekat ke fokus di retina. Jika suatu bayangan sudah terfokus sebelum
mencapai retina atau belum terfokus ketika mecapai retina, maka bayangan
tersebut akan terlihat kabur. Untuk membawa bayangan dari sumber cahaya dekat
dan jauh jatuh di titik fokus di retina (yaitu dalam jarak yang sama) maka harus
digunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber cahaya dekat (Sheerwood, 2011).
7
II.2.3 Kemampuan Akomodasi Lensa
Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa dikenal sebagai akomodasi.
Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang selanjutnya dikendalikan oleh
otot siliaris.
Otot siliaris adalah bagian dari badan siliar, suatu struktur khusus lapisan
khoroid bagian anterior. Bagian siliaris memiliki dua komponen utama: otot siliar
dan anyaman kapiler yang menghasilkan humor aquosus. Otot siliaris adalah
suatu cincin melingkar otot polos yang melekat ke lensa melalui ligamentum
suspensorium.
Ketika otot siliaris melemas, ligamentum suspensorium menegang, dan
ligamentum ini menarik lensa menjadi bentuk gepeng dan kurang refraktif.
Sewaktu otot ini berkontraksi, kelilingnya berkurang sehingga tegangan pada
ligamentum suspensorium berkurang. Ketika tarikan ligamentum suspensorium
pada lensa berkurang, lensa menjadi lebih bulat karena elastisitas inherennya.
Meningkatnya kelengkungan karena lensa menjadi lebih bulat akan meningkatkan
kekuatan lensa dan lebih membelokkan berkas sinar. Pada mata normal, otot
siliaris melemas dan lensa menggepeng untuk melihat jauh, tetapi otot ini
berkontraksi agar lensa menjadi lebih konveks dan lebih kuat untuk melihat dekat.
Otot siliaris dikontrol oleh sistem saraf otonom, dengan stimulasi simpatis
menyebabkan relaksasi dan stimulasi parasimpatis menyebabkannya berkontraksi.
Pada saat seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi
trias akomodasi yaitu: (i) kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula
Zinii mengendor, lensa dapat mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat
difokuskan ke retina; (ii) konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul
konvergensi dan mata tertuju pada benda itu, (iii) konstriksi otot konstriksi pupil
dan timbullah miosis, supaya cahaya yang masuk tak berlebih, dan terlihat dengan
jelas (Sheerwood, 2011).
8
II.3 Kelainan Refraksi
II.3.1 Miopia
II.3.1.1 Definisi
Miopia adalah suatu kelainan refraksi karena kemampuan refraktif mata
terlalu kuat untuk panjang anteroposterior mata sehingga sinar datang sejajar
sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di depan retina (Ilyas, 2006).
II.3.1.2 Etiologi
Miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di dalam mata
untuk panjangnya bola mata yang diakibatkan oleh:
kornea terlalu cembung
pembiasan sinar oleh lensa yang kuat karena lensa mempunyai
kecembungan yang kuat
bola mata terlalu panjang.
faktor herediter atau keturunan
faktor lingkungan
II.3.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan bentuknya myopia dibagi menjadi:
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
yang tejadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat
9
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal. Bertambah panjangnya diameter
anteroposterior bola mata dari normal. Pada orang dewasa panjang axial bola
mata 22,6 mm. perubahan diameter anteroposterior bola mata 1 mm akan
menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri.
Berdasarkan derajat beratnya, miopia dibagi dalam:
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, miopia dikenal dalam bentuk:
a. Miopia simpleks, timbul pada umur masih muda, kemudian berhenti.
Dapat juga naik sedikit pada waktu atau segera setelah pubertas, atau
didapat kenaikan sedikit sampai umur 20 tahun. Besar dioptrinya kurang
dari -5D atau -6D. Tajam penglihatan dengan koreksi yang sesuai dapat
mencapai keadaan normal.
b. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
c. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
d. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan. Miopia ini dapat juga disebut
miopia pernisiosa atau miopia maligna atau miopia degeneratif. Disebut
miopia degeneratif atau miopia maligna, bila miopia lebih dari 6 dioptri
disertai kelainan fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai
membentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil
10
disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah
terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch
yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi
subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa biperplasi
pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan
dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.
II.3.1.4 Manifetasi klinik
Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan
melihat kabur apabila pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh sakit
kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Selain itu,
penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia
mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan
konvergensi. Hal ini yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau
esotropia.
II.3.1.5 Tata laksana
Penatalaksanaan miopia masih merupakan kontra diantara dokter mata.
Sejauh ini yang dilakukan adalah mencoba mencari bagaimana mencegah
kelainan refraksi pada anak atau mencegah jangan sampai menjadi parah.
a. Kacamata
Koreksi miopia dengan kacamata dapat dilakukan dengan
menggunakan lensa konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya
yang melewati suatu lensa cekung akan menyebar. Bila permukaan
11
refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila bola mata
terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat dinetralisir
dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata. Lensa cekung
yang akan mendivergensikan berkas cahaya sebelum masuk ke mata,
dengan demikian fokus bayangan dapat dimundurkan ke arah retina.
Gambar II.2
Koreksi Miopia dengan lensa Konkaf
b. Lensa kontak
Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa
kontak keras yang terbuat dari bahan plastik polymethacrylate
(PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat dari bermacam-macam plastik
hydrogen hydroxymethylmethacrylate (HEMA). Lensa kontak keras
secara spesifik diindikasikan untuk koreksi astigmatisma ireguler,
sedangkan lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati gangguan
permukaan kornea. Salah satu indikasi penggunaan lensa kontak
adalah untuk koreksi miopia tinggi, dimana lensa ini menghasilkan
kualitas bayangan lebih baik dari kacamata. Namun komplikasi dari
penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi kornea,
pembentukan pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan
kornea. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan berkala pada
pemakai lensa kontak.
12
Gambar II.3
Koreksi dengan lensa kontak
c. Bedah Refraksi
Ketidaknyamanan memakai kacamata bagi banyak pemakai dan
komplikasi yang berkaitan dengan lensa kontak mendorong pencarian
solusi bedah bagi masalah gangguan refraksi.
d. Lensa Intraokular
Penanaman lensa intraokular telah menjadi metode pilihan untuk
koreksi kelainan refraksi pada afakia. Tersedia sejumlah rancangan,
termasuk lensa lipat, yang terbuat dari plastik hidrogel, yang dapat
disisipkan kedalam mata melaui suatu insisi kecil dan lensa kaku yang
paling sering terdiri atas suatu optik terbuat dari polimetil metakrilat
dan lengkungan (haptik) terbuat dari bahan yang sama atau
polipropilen. Posisi paling aman bagi lensa intraokuler adalah didalam
kantung kapsul yang utuh setelah pembedahan ekstrakapsular
Daya lensa intraocular biasanya ditentukan dengan metode regresi
empiris yang menganalisis pengalaman penggunaan salah satu tipe
lensa pada banyak pasien. Dari metode ini diturunkan suatu rumus
matematis yang didasarkan pada suatu konstanta untuk lensa tertentu.
Turunnya adalah rumus SRK II. Namun rumus regresi sekarang
jarang digunakan. Rumus teoritik yang menggunakan konstanta lensa,
pembacaan keratometer dan panjang sumbu , bersama dengan
perkiraan kedalaman bilik mata depan setelah pembedahan meliputi
rumus SRK/T,Holladay, dan Hoffer Q dan tak ada satu pun rumus
yang dapat memperkirakan kekuatan lensa setiap pasien.
13
e. Ekstraksi lensa jernih untuk miopia
Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif
miopia sedang sampai tinggi. Hasil tindakan ini tidak kalah
memuaskan dengan yang dicapai oleh bedah keratorefraktif
menggunakan laser. Namun, perlu dipikirkan komplikasi operasi dan
pascaoperasi bedah intraokuler, khususnya pada miopia tinggi.
II.3.1.6 Pencegahan
Sejauh ini, hal yang dilakukan adalah mencegah kelainan atau mencegah
jangan sampai menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan
seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk membantu penglihatan, operasi,
penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata.
Pencegahan lainnya adalah dengan melakukan visual hygiene berikut ini:
a. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk, meliputi: membiasakan duduk dengan
posisi tegak sejak kecil; memegang alat tulis dengan benar; lakukan istirahat
tiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau melihat TV; batasi
jam membaca; aturlah jarak baca yang tepat (30 sentimeter) dan gunakanlah
penerangan yang cukup; serta tidak membaca dengan posisi tidur atau
tengkurap.
b. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk berlatih melihat jauh atau
melihat jauh dan dekat secar bergantian dapat mencegah miopia
c. Kenali jika ada kelainan pada mata dan perbaiki sejak awal, jangan menunggu
sampai ada gangguan pada mata
d. Anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi
dengan dokter spesialis mata anak agar tidak terjadi juling
e. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil
tetap perlu memperhatikan nutrisi termasuk vitamin A
f. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kaca mata. Oleh karena itu pahami perkembangan kemampuan melihat bayi
g. Kenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, kemudian
segeralah melakukan pemeriksaan.
h. Sebaiknya dilakukan skrining pada anak-anak di sekolah.
14
II.3.1.7 Komplikasi
a. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D – (- 4,75)D sekitar 1/6662.
Sedangkan pada (- 5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari
(-10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada
miopia rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.
b. Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air
dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara
perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi.
Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal,
penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut,
dapat terjadi kolaps badan vitreus sehingga kehilangan kontak dengan retina.
Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan
kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya
volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.
c. Miopic makulopaty
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah
kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapang pandang
berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa
menyebabkan kurangnya lapangan pandang. Miopia vaskular koroid/degenerasi
makular miopik juga merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal,
dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah
sentral retina.
d. Glaukoma
Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia
sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat
penyambung pada trabekula.
15
e. Skotoma
Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi
retina maka akan timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula terkena dan
daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi
dan mencair berkumpul di muscae volicantes sehingga menimbulkan bayangan
lebar diretina sangat menggangu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan
tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak
pernah menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya
tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat
atau ablasio retina.
II.3.2 Hipermetropia
II.3.2.1 Definisi
Hipermetropia adalah anomali refraksi yang mana tanpa akomodasi, sinar
sejajar akan terfokus di belakang retina. Sinar divergen dari objek dekat, akan
difokuskan lebih jauh di belakang retina (Ilyas, 2006).
Gambar II.4
Refraksi pada mata hipermetropia
II.3.2.2 Etiologi
1. Panjang axial (diameter bola mata) mata hipermetropia lebih kurang dari
panjang axial mata normal.
16
2. Berkurangnya konveksitas dari kornea atau kurvatura lensa
3. Berkurangnya indeks refraktif
4. Perubahan posisi lensa
II.3.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya
hipermetropia, dan status akomodasi mata.
Berdasarkan gejala klinis, hipermetropia dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hipermetropia simpleks yang disebabkan oleh variasi biologi normal,
etiologinya bisa axial atau refraktif
2. Hipermetropia patologik disebabkan oleh anatomi okular yang abnormal
karena maldevelopment, penyakit okular, atau trauma
3. Hipermetropia fungsional disebabkan oleh paralisis dari proses akomodasi
Berdasarkan derajat beratnya, hipermetropia juga dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hipermetropia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang
2. Hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D
3. Hipermetropia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi
Berdasarkan status akomodasi mata, hipermetropia dibagi menjadi empat yaitu:
1. Hipermetropia Laten
a. Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hipermetropia
yang dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata
b. Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia
c. Lebih muda seseorang yang hipermetropia, lebih laten hiperopia yang
dimilikinya
17
2. Hipermetropia Manifes
a. Hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa
menggunakan sikloplegia
b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif yang
digunakan dalam pemeriksaan subjektif
3. Hipermetropia Fakultatif
a. Hipermetropia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan
lensa positif, tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien
tanpa menggunakan lensa
b. Semua hipermetropia laten adalah hipermetropia fakultatif
c. Akan tetapi, pasien dengan hipermetropia laten akan menolak
pemakaian lensa positif karena akan mengaburkan penglihatannya.
d. Pasien dengan hipermetropia fakultatif bisa melihat dengan jelas tanpa
lensa positif tapi juga bisa melihat dengan jelas dengan menggunakan
lensa positif
4. Hipermetropia Absolut
- Tidak bisa dikoreksi dengan proses akomodasi
- Penglihatan subnormal
- Penglihatan jarak jauh juga bisa menjadi kabur terutama pada usia
lanjut
Hipermetropia Total bisa dideteksi setelah proses akomodasi diparalisis
dengan agen sikloplegia.
18
Hipermetropia
Hipermetropia Laten
Hipermetropia Manifes
Gambar II.5Klasifikasi hipermetropia berdasarkan status akomodasi mata
II.3.2.4 Gejala Klinis
1. Penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur
2. Asthenopia akomodatif (sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan mata)
3. Strabismus pada anak-anak yang mengalami hipermetropia berat
4. Gejala biasanya berhubungan dengan penggunaan mata untuk penglihatan
dekat (cth : membaca, menulis, melukis), dan biasanya hilang jika kerjaan
itu dihindari.
5. Mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara kronis
6. Mata terasa berat bila ingin mulai membaca, dan biasanya tertidur
beberapa saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah.
7. Bisa terjadi ambliopia
19
II.3.2.5 Penatalaksanaan Hipermetropia
1. Sejak usia 5 atau 6 tahun, koreksi tidak dilakukan terutama tidak
munculnya gejala-gejala dan penglihatan normal pada setiap mata.
2. Dari usia 6 atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut hingga waktu
presbiopia, hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa
memakai kaca mata atau lensa kontak.
Gambar II.6
Koreksi pada mata hipermetropi
3. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki hipermetropia
dengan membentuk semula kurvatura kornea. Metode pembedahan
refraktif termasuk
a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)
b. Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK)
c. Photorefractive keratectomy (PRK)
d. Conductive keratoplasty (CK)
20
II.3.2.6 Komplikasi Hipermetropia
1. Strabismus
2. Mengurangi kualitas hidup
3. Kelelahan mata dan sakit kepala
II.3.3 Astigmatisma
II.3.3.1 Definisi
Astigmatisme merupakan kondisi dimana sinar cahaya tidak direfraksikan
dengan sama pada semua meridian. Jika mata astigmatism melihat gambaran
palang, garis vertikal dan horizontalnya akan tampak terfokus tajam pada dua
jarak pandang yang berbeda. Mata astigmatisme bisa dianggap berbentuk seperti
bola sepak yang tidak memfokuskan sinar pada satu titik tapi banyak titik (Ilyas,
2006).
II.3.3.2 Etiologi
Mata mempunyai 2 bagian untuk memfokuskan bayangan – kornea dan
lensa. Pada mata yang bentuknya sempurna, setiap elemen untuk memfokus
mempunyai kurvatura yang rata seperti permukaan bola karet. Kornea atau lensa
dengan permukaan demikian merefraksikan semua sinar yang masuk dengan cara
yang sama dan menghasilkan bayangan yang tajam terfokus pada retina.
Jika permukaan kornea atau lensa tidak rata, sinar tidak direfraksikan
dengan cara yang sama dan menghasilkan bayangan-bayangan kabur yang tidak
terfokus pada retina.
21
Astigmatisme bisa terjadi dengan kombinasi kelainan refraksi yang lain,
termasuk:
1. Miopia.
Ini terjadi bila kurvatura kornea terlalu melengkung atau jika aksis mata
lebih panjang dari normal. Bayangan terfokus di depan retina dan
menyebabkan objek dari jauh terlihat kabur.
2. Hipermetropia.
Ini terjadi jika kurvatura kornea terlalu sedikit atau aksis mata lebih
pendek dari normal. Bayangan terfokus di belakang retina dan menyebabkan
objek dekat terlihat kabur.
Biasanya astigmatisme terjadi sejak lahir. Astigmatisme dipercayai
diturunkan dengan cara autosomal dominan. Astigmatisme juga bisa terjadi
setelah trauma atau jaringan parut pada kornea, penyakit mata yang termasuk
tumor pada kelopak mata, insisi pada kornea atau karena faktor
perkembangan. Astigmatisme tidak menjadi lebih parah dengan membaca di
tempat yang kurang pencahayaan, duduk terlalu dekat dengan layar televisi
atau menjadi juling.
Jika distorsi terjadi pada kornea, disebut astigmatisme kornea, sedangkan
jika distorsi terjadi pada lensa, disebut astigmatisme lentikular.
Astigmatisme juga bisa terjadi karena traksi pada bola mata oleh otot-otot
mata eksternal yang merubah bentuk sklera menjadi bentuk astigma,
perubahan indeks refraksi pada vitreous, dan permukaan yang tidak rata pada
retina.
22
2.3.3.4 Klasifikasi
Ada banyak tipe astigmatisme, tergantung dari kondisi optik.
1. Simple hyperopic astigmatism – Satu meridian prinsipal adalah
emmetropik; yang satu lagi hiperopik
Gambar II.7
Simple hyperopic astigmatism
2. Simple miopic astigmatism – Satu meridian prinsipal adalah emmetropik;
yang satu lagi miopik
Gambar II.8
Simple miopic astigmatism
3. Compound hyperopic astigmatism – Kedua meridian prinsipal hiperopik
pada derajat yang berbeda
23
Gambar II.9
Compound hyperopic astigmatism
4. Compound miopic astigmatism – Kedua meridian prinsipal miopik pada
derajat yang berbeda
Gambar II.10
Compound miopic astigmatism
5. Mixed astigmatism – Satu meridian prinsipal adalah hiperopik, yang satu
lagi miopik
Gambar II.11Mixed astigmatism
24
Terdapat beberapa bentuk dari astigmatisme:
1. Regular – Meridian-meridian prinsipal bersudut tegak antara satu dengan
yang lainnya. Kondisi ini bisa dikoreksi dengan lensa silinder
2. Irregular – Meridian-meridian prinsipal tidak bersudut tegak antara satu
dengan yang lainnya, biasanya disebabkan oleh ketidakrataan kurvatura
kornea. Tidak bisa dikoreksi dengan sempurna dengan lensa silinder
3. Oblique – Meridian-meridian prinsipal berada antara sudut 30o hingga 60o
atau antara sudut 150o hingga 180o
4. Symmetrical – Meridian-meridian prinsipal setiap mata berada pada posisi
simetris dari deviasi garis median. Jika aksis dari setiap mata dikoreksi
dengan lensa silinder dengan tanda yang sama dan jumlah sudutnya 180o,
astigmatisme itu simetris. Variasi maksimum yang bisa ditoleransi sebesar
15o. Contoh symmetrical astigmatism: O.D. : -cx. 600, O.S. : -cx. 120o
5. Asymmetrical – Tidak ada hubungan simetris dari meridian-meridian
prinsipal dari garis median. Kepala yang dimiringkan seringkali
disebabkan oleh asymmetrical astigmatism ataupun oblique. Ini adalah
salah satu jenis tortikolis tipe okular, yang akan hilang jika
astigmatismenya dikoreksi dengan benar. Asymmetrical lebih jarang
dibandingkan dengan symmetrical. Contoh asymmetrical astigmatism:
O.D. : -cx. 120o, O.S. : -cx. 180o
6. With-the-rule astigmatism – Meridian vertikal dari mata mempunyai
kurvatura yang terbesar antara sudut 60o hingga 120o. Kondisi ini dikoreksi
dengan –cx. 180o atau +cx. 90o
25
7. Against-the-rule astigmatism – Meridian horizontal dari mata mempunyai
kurvatura yang terbesar antara sudut 0o hingga 30o dan 150o hingga 180o.
Kondisi ini dikoreksi dengan –cx. 90o atau dengan +cx. 180o. Ini lebih
jarang dibandingkan dengan with-the-rule astigmatism.
II.3.3.3 Gejala Klinis
1. Distorsi dari bagian-bagian lapang pandang
2. Tampak garis-garis vertikal, horizontal atau miring yang kabur
3. Memegang bahan bacaan dekat dengan mata
4. Sakit kepala
5. Mata berair
6. Kelelahan mata
7. Memiringkan kepala untuk melihat dengan lebih jelas
II.3.3.4 Diagnosis Astigmatisme
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda astigmatisme
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus – tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan
Snellen Chart
b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan. Pasien
diminta untuk memperhatikan kartu tes astigmatisme dan menentukan
garis yang mana yang tampak lebih gelap dari yang lain. Contohnya,
pasien yang miopia pada meridian vertikal dan emmetropia pada
meridian horizontal akan melihat garis-garis vertikal tampak distorsi,
26
sedangkan garis-garis horizontal tetap tajam dan tidak berubah.
Sebelum pemeriksaan subjektif ini, disarankan menjadikan penglihatan
pasien miopia untuk menghindari bayangan difokuskan lebih jauh ke
belakang retina. Selain itu, untuk pemeriksaan objektif, bisa digunakan
keratometer, keratoskop, dan videokeratoskop
c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk
pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes
Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis
d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk
mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan astigmatisme.
Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi,
penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh
tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan
adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect
diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior
Gambar 2.13Kartu untuk tes Astigmatisme
27
II.3.3.5 Penatalaksanaan Astigmatisme
1. Astigmatisme bisa dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder
tergantung gejala dan jumlah astigmatismenya
2. Untuk astigmatisme yang kecil, tidak perlu dikoreksi dengan silinder
3. Untuk astigmatisme yang gejalanya timbul, pemakaian lensa silender
bertujuan untuk mengurangkan gejalanya walaupun kadang-kadang tidak
memperbaiki tajam penglihatan
4. Aturan koreksi dengan lensa silinder adalah dengan meletakkannya pada
aksis 90o dari garis tergelap yang dilihat pasien pada kartu tes
astigmatisme. Untuk astigmatisme miopia, digunakan silinder negatif,
untuk astigmatisme hiperopia, digunakan silinder positif
5. Untuk astigmatisme irregular, lensa kontak bisa digunakan untuk
meneutralisasi permukaan kornea yang tidak rata
6. Selain itu, astigmatisme juga bisa dikoreksi dengan pembedahan LASIK,
keratektomi fotorefraktif dan LASEK
II.3.4 Presbiopia
II.3.4.1 Definisi
Presbiopia adalah penglihatan di usia lanjut, merupakan perkembangan
normal yang berhubungan erat dengan usia lanjut dimana proses akomodasi yang
diperlukan untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Biasanya terjadi diatas
usia 40 tahun, dan setelah umur itu, umumnya seseorang akan membutuhkan kaca
mata baca untuk mengkoreksi presbiopianya (Ilyas, 2006).
28
II.3.4.2 Etiologi
1. Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut
2. Kelemahan otot-otot akomodasi
3. Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elasitasnya akibat
kekakuan (sklerosis) lensa
II.3.4.3 Klasifikasi
1. Presbiopia Insipien – tahap awal perkembangan presbiopia, dari anamnesa
didapati pasien memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak
tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak
preskripsi kaca mata baca
2. Presbiopia Fungsional – Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan
akan didapatkan kelainan ketika diperiksa
3. Presbiopia Absolut – Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia
fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali
4. Presbiopia Prematur – Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun
dan biasanya berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-
obatan
5. Presbiopia Nokturnal – Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi
gelap disebabkan oleh peningkatan diameter pupil
II3.4.4 Gejala Klinis
1. Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa pedih.
Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika membaca terlalu
lama
29
2. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca karena tulisan tampak
kabur pada jarak baca yang biasa
3. Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di malam
hari
4. Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca
5. Terganggu secara emosional dan fisik
II.3.4.5 Diagnosis Presbiopia
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda presbiopia
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus – Pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi presbiopia dengan
menggunakan Snellen Chart
b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan.
Pasien diminta untuk memperhatikan kartu Jaeger dan menentukan
kalimat terkecil yang bisa dibaca pada kartu. Target koreksi pada
huruf sebesar 20/30.
c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk
pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes
Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis
d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk
mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan presbiopia.
Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi,
penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh
tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan
30
adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect
diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior
II.3.4.6 Penatalaksanaan Presbiopia
1. Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopia. Tujuan koreksi adalah
untuk mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-
objek yang dekat
2. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif
sesuai usia dan hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu
membaca tulisan pada kartu Jaeger 20/30
3. Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan
yang dibaca terletak pada titik fokus lensa +3.00 D
Usia (Tahun) Kekuatan Lensa Positif yang dibutuhkan
40 +1.00 D45 +1.50 D50 +2.00 D55 +2.50 D60 +3-00 D
4. Selain kaca mata untuk kelainan presbiopia saja, ada beberapa jenis lensa
lain yang digunakan untuk mengkoreksi berbagai kelainan refraksi yang
ada bersamaan dengan presbiopia. Ini termasuk:
a. Bifokal – untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bisa yang
mempunyai garis horizontal atau yang progresif
31
b. Trifokal – untuk mengkoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh. Bisa
yang mempunyai garis horizontal atau yang progresif
c. Bifokal kontak - untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bagian
bawah adalah untuj membaca. Sulit dipasang dan kurang memuaskan
hasil koreksinya
d. Monovision kontak – lensa kontak untuk melihat jauh di mata dominan,
dan lensa kontak untuk melihat dekat pada mata non-dominan. Mata
yang dominan umumnya adalah mata yang digunakan untuk fokus pada
kamera untuk mengambil foto
e. Monovision modified – lensa kontak bifokal pada mata non-dominan,
dan lensa kontak untuk melihat jauh pada mata dominan. Kedua mata
digunakan untuk melihat jauh dan satu mata digunakan untuk
membaca.
Pembedahan refraktif seperti keratoplasti konduktif, LASIK, LASEK, dan
keratektomi fotorefraktif
32
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kelainan refraksi mata adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak
dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak
terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,
hipermetropia, astigmatisma, dan presbiopia.
Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi
dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah
serius jika tidak cepat ditanggulangi. Pencegahan juga sangat penting dilakukan,
meliputi: membiasakan duduk dengan posisi tegak sejak kecil, lakukan istirahat
tiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau melihat TV, aturlah jarak
baca yang tepat (30 sentimeter) dan gunakanlah penerangan yang cukup; serta
tidak membaca dengan posisi tidur atau tengkurap.
33
DAFTAR PUSTAKA
Bickley, Lynn. 2008. Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates: buku saku
Edisi 5. EGC. Jakarta
Dorland, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. EGC. Jakarta
Gardiner, P.A. 2009, Refractive Anomalie, British Medical Journal of Ophtalmology. P: 1555-1557
Ilyas, S, 2006, Kelainan Refraksi dan Kacamata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Ilyas, S, 2009, Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
James, B, 2006, Lecture Notes Oftalmologi, Jakarta: Erlangga
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. EGC.
Jakarta
Vaughan, D, Asbury, T, 2009, Oftalmologi Umum. EGC. Jakarta
WHO, 2009, Visual Impairment and Blindness. WHO Press Release. Geneva
Recommended