BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kejang, convulsion, seizure, atau insult pada anak sering kali merupakan
gejala atau keluhan utama yang menyebabkan orang tua berusaha mendapatkan pertolongan
antara lain dengan membawa berobat ke tempat layanan kesehatan. Keluhan tersebut
mungkin disertai dengan keluhan tambahan misalnya demam, sakit kepala, tidak nafsu
makan, batuk, tidak sadar, dan lain-lain.
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali
kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.
Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti
sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari
penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak
dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat
dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang
atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik dan atau perilaku yang bersifat bangkitan
(paroxysmal) dalam waktu terbatas akibat dari adanya aktivitas listrik abnormal di dalam
otak. Kejang terdapat pada anak dengan frekuensi sampai 10%. Kejang pada anak umumnya
disebabkan oleh provokasi yang dapat berasal dari tubuh sendiri di luar otak seperti suhu
meningkat, infeksi, sinkop, trauma kepala, hipoksia, toksin, aritmia jantung, atau karena obat.
Sepertiga dari kasus kejang disebabkan oleh ayan (epilepsy) yaitu kejang yang terjadi karena
letupan pelepasan muatan listrik di sel saraf secara berulang tanpa ada provokasi. Setelah
mengalami kejang yang pertama, kemungkinan selanjutnya ialah anak tidak mengalami
kejang lagi, atau kejang pertama tersebut merupakan awal dari epilepsi.1
1
BAB II
KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS II
Nama Mahasiswa : Tezar Andrean .B Pembimbing : dr. Daniel E, Sp.A
NIM : 030. 09. 253 Tanda tangan:
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MFF
Umur : 1 tahun 5 bulan
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 1 Februari 2013
Alamat : Jln. Otista Raya 99, Tanjung Lekong, RT 4/ 7, Kel. Bidara
Cina, Kec. Jatinegara
Pendidikan Terakhir : -
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Masuk Bangsal Tanggal : 30 Juni 2014
IDENTITAS ORANG TUA/ WALI
Ayah: Ibu :
Nama : Tn. S
Umur : 23 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Penghasilan : Rp. 1.500.000,00/ bulan
Alamat : Jln. Otista Raya 99, Tj.
Nama : Ny. N
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Penghasilan : -
Alamat : Jln. Otista Raya 99, Tj.
2
Lekong, RT 4/ 7, Kel. Bidara Cina, Kec.
Jatinegara.
Lekong, RT 4/ 7, Kel. Bidara Cina,
Kec. Jati Negara
Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan Ny. N (ibu kandung
pasien).
Lokasi : Bangsal lantai V Timur, kamar 511
Tanggal / waktu : 1 Juni 2014
Tanggal masuk : 30 Juni 2014 pukul 09. 08 WIB
Keluhan utama : Kejang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Keluhan tambahan : Demam, diare
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien dirawat di bangsal RSUD Budhi Asih melalui UGD pada hari Senin tanggal 30
Juni 2014 dengan keluhan kejang sejak dua hari SMRS. Pasien sudah kejang 14 kali dalam
dua hari, timbul mendadak. Awalnya pasien sedang tiduran seperti biasa kemudian tiba-tiba
kejang. Kejang kelojotan, baik kaki maupun tangan, mata mendelik keatas, kurang dari dua
menit, tapi tidak disertai busa. Dalam dua hari itu, jarak antara kejang tidak menentu, kurang
lebih setengah sampai setengah sampai dua jam, atau lebih. Setelah kejang pasien selalu
menangis, tapi akhir-akhir ini pasien menjadi lemas setelah kejang. Riwayat jatuh dan
membentur daerah kepala disangkal. Ibu pasien mengaku ini bukan kali pertama anaknya
sakit seperti ini, sebelumnya pasien juga pernah mengalami kejang seperti ini sejak umur 11
bulan. Pada saat umur 11 bulan, pasien kejang serupa dengan frekuensi 3 kali dirumah dan
satu kali di UGD RSBA dalam satu hari. Dahulu kejangnya diawali demam dan diare, sempat
dirawat juga sampai sekitar 5 hari. Kemudian pulang dan mendapat obat. Pada umur satu
tahun, pasien mengalami kejang serupa lagi dengan durasi yang agak lebih lama sampai dua
menit dan frekuensinya dalam satu hari adalah dua kali dirumah dan enam kali di rumah sakit
daerah Bangka Belitung. Saat itu tidak diawali demam. Ibu pasien mengaku pada saat itu
bibir pasien sampai menjadi biru. Ibu pasien kontrol untuk kejang anaknya dan mendapatkan
obat depaken sejak pertama kali demam atau umur 11 bulan, tiga kali sehari tapi untuk
dosisnya tidak diketahui. Pasien pernah diperiksa menggunakan EEG dan MRI dan
didiagnosis epilepsi.
3
Selain kejang, pasien juga disertai demam dan diare sejak 4 hari SMRS. Demam
dirasakan timbul perlahan, dan tinggi terus menerus, turun saat diberi obat penurun panas tapi
lekas naik lagi. Timbul bintik merah disangkal, keluhan mimisan, gusi berdarah disangkal.
Nyeri sendi disangkal. Mata tidak merah ataupun berair. Keluar cairan dari telinga disangkal.
Batuk sesekali, pilek atau sesak nafas disangkal. Lidah yang berselaput (kotor di tengah
berwarna putih tapi pinggir warna merah dan terlihat bergetar sendiri) sejak sakit disangkal.
Berpergian ke tempat endemis malaria disangkal. Demam diakui berbarengan dengan diare
yang menyertai pasien.
Diare dikeluhkan sejak 4 hari SMRS juga, bersamaan dengan demam. Frekuensi
kurang lebih 10 kali dalam sehari, tiap kali sekitar seperempat gelas aqua, konsistensi cair,
ampas (+), lendir (-), darah (-), bau busuk. Nafsu makan pasien menurun, tapi masih mau
minum susu. Pasien tampak rewel dan gelisah. Sudah dibawa ke klinik umum dan mendapat
obat penurun panas dan diarenya tapi tidak ada perubahan. Saat dirumah, selain obat dari
klinik, pasien hanya diberi minum dan kompres air hangat. Pasien hanya diberi makan bubur
halus dan susu soya dan susu LLM yang disarankan bidan, tapi karena pasien tidak mau
minum susu LLM pasien diberikan susu soya. Buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan,
diakui produksi banyak, warna kuning jernih.
B. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
KEHAMILANMorbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan, imunisasi TT (+)
KELAHIRAN Tempat persalinan Praktek bidan
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinanSpontan
Penyulit : lahir lama
Masa gestasi 36 minggu
Keadaan bayi Berat lahir : 2900 gram
Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : Ibu OS tidak tahu
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
4
Kelainan bawaan : -
Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran : Kehamilan kurang bulan tidak disertai
kelainan yang lainnya.
C. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I : Umur 9 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 8 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : - (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : - (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : - (Normal: 13 bulan)
Bicara : - (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas
Rambut pubis : -
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Pada pasien didapatkan
keterlambatan perkembangan. Ibu pasien mengaku anaknya baru bisa tengkurap padahal
umurnya sudah mencapat satu tahun lima bulan.
D. RIWAYAT MAKANAN
Umur
(bulan)ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0 – 2 ASI - - -
2 – 4 ASI+PASI - - -
4 – 6 PASI + + +
6 – 8 PASI + + +
8 – 10 PASI + + +
10 -12 PASI + + +
Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah
Nasi / Pengganti 3x/hari (bubur halus), sekali makan 1/2
piring
Sayur -
5
Daging -
Telur -
Ikan -
Tahu -
Tempe -
Susu (merk / takaran) Susu soya, ± 7 x/hari (botol 120 ml)
Lain – lain Biskuit
Kesimpulan riwayat makanan : Asupan makanan dinilai kurang karena kurang variasi, dan
cenderung terlalu banyak diberikan susu. Tidak ditemukan adanya kesulitan makan.
E. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Campak - - 9 bulan
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : Pasien telah mendapatkan 5 imunisasi dasar dan sesuai
jadwal yang ada.
F. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
NoTanggal lahir
(umur)
Jenis
kelaminHidup
Lahir
matiAbortus
Mati
(sebab)
Keterangan
kesehatan
1 1 Februari 2013 L V - - - Pasien
b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. S Ny. N
6
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 22 tahun 19 tahun
Pendidikan terakhir Tamat SMA Tamat SMA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada - -
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang dan riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal. Riwayat darah tinggi,
kencing manis, penyakit paru, dan penyakit jantung disangkal.
Kesimpulan Riwayat Keluarga : Tidak terdapat riwayat penyakit yang sama dengan pasien.
G. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (+) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang
Pada usia
11 bulan,
dan
dirawat
selama 5
hari
karena
kejang
demam +
diare
Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain: (-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : Pasien pernah mengalami kejang
disertai demam dan diare juga pada usia 11 bulan.
7
H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya di rumah berlantai 1, dengan dua kamar, 1
kamar mandi, dan 1 dapur. Menurut pengakuan, ventilasi di rumah cukup baik,
pencahayaannya baik, sumber air bersih berasal dari air PAM, dan sumber air minum berasal
dari air galon. Diakui lingkungan sekitar rumah cukup baik, merupakan kawasan padat
penduduk.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Lingkungan rumah cukup baik. Tapi daerah tempat
tinggal merupakan tempat padat penduduk.
I. RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI
Ayah pasien saat ini bekerja sebagai wiraswasta, dengan penghasilan Rp
1.500.000,00/ bulannya. Sedangkan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga, yang mengurus
anaknya.
Kesimpulan sosial ekonomi: dilihat dari riwayat sosial ekonomi, mungkin menjadi faktor
resiko dalam pemenuhan kebutuhan gizi selama kehamilan maupun setelah lahir yang bisa
menjadi kelainan pada otak.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 1 Juli 2014 jam 07.00 WIB)
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi cukup
Data Antropometr i
Berat Badan sekarang : 10,4 kg
Panjang Badan : 79 cm
Lingkar Kepala : 44 cm (Mikrosephali, terletak dibawah -2 dan +2 SD Kurva
Neillhaus)
Status Gizi
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
- BB / U = 10,4 / 10,8 x 100 % = 96,29 % (Gizi baik)
- TB / U = 79 / 81 x 100 % = 97,53 % (Tinggi baik)
- BB / TB = 10,4/ 11 x 100 % = 94,54 % (Gizi baik)
8
Status gizi diatas berdasarkan kurva NCHS, dapat disimpulkan bahwa pasien gizi baik
dengan tinggi normal.
Tanda Vital
Tekanan Darah : - mmHg
Nadi : 76 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Nafas : 32 x / menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 2
Suhu : 37,5°C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)
Status Generalis
KEPALA : Mikrosephali, ubun-ubun besar sudah menutup
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
WAJAH : wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA :
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjunctiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/+ Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
Cekung : -/-
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : sempit Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum : -
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : -
BIBIR : mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
9
MULUT : trismus (-) , oral hygiene cukup baik, tidak terdapat caries pada gigi-geligi,
mukosa gusi berwarna merah muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus
palatum simetris dengan mukosa palatum berwarna merah muda
LIDAH : Normoglotia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-), atrofi papil (-),
tremor (-), lidah kotor (-)
TENGGOROKAN : tonsil T1/T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, uvula terletak di
tengah
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak tampak dan tidak
teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea tampak dan teraba di tengah
THORAKS :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan
yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal, tidak didapatkan adanya retraksi sela
iga, warna kulit sawo matang, sternum mendatar, tulang iga normal, ictus cordis
terlihat pada ICS V linea midclavicularis kiri, pulsasi abnormal (-)
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sulit dinilai, teraba ictus cordis pada ICS V linea midclavicularis kiri,
denyut kuat
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, jantung dalam batas normal
Auskultasi : suara napas vesikuler, reguler, ronchi (-/-), wheezing (-/-), bunyi jantung
I-II reguler, punctum maksimum pada ICS V 1 cm linea midclavicularis kiri, murmur
(-), gallop (-)
ABDOMEN :
Inspeksi : perut buncit, warna kulit sawo matang, tidak dijumpai adanya efloresensi
pada kulit perut, kulit keriput (-), umbilicus normal, gerak dinding perut saat
pernapasan simetris, tidak tampak bagian yang tertinggal, gerakan peristaltik (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) hampir menyeluruh di regio abdomen, turgor kulit
baik. Hepar tidak teraba membesar. Lien tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut
Auskultasi : bising usus (+), frekuensi 5 x / menit
GENITALIA : tidak ditemukan adanya kelainan
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
10
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan
kaki, serta sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas.
MAURICE KING SCORE
0 1 2
Keadaan umum Sehat anak cengeng,
apatis dan
ngantuk
anak mengigau,
koma atau syok.
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun – ubun
besar
Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering dan
sianosis
Denyut nadi /
menit
Kuat ( < 120
kali / menit)
sedang (120 – 140
kali / menit)
lemah (> 140 kali /
menit.)
Pada pasien skornya: 1 (tanpa dehidrasi)
STATUS NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biseps + +
Triceps + +
Patella + +
Achiles + +
11
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Brudzinski I - -
Brudzinski II - -
Saraf cranialis
- N. I (Olfaktorius)
Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Opticus dan Occulomotorius)
Pupil bulat isokor 3mm / 3mm, RCL +/+, RCTL +/+
- N. IV dan VI (Trochlearis dan Abducens)
Gerakan bola mata baik ke segala arah, kedudukan mata kiri esotrophia
- N. V (Trigeminus)
Tidak ada gangguan sensibilitas wajah
- N. VII (Facialis)
Wajah simetris
Motorik: dapat menutup mata sempurna, dapat mengernyitkan dahi, dan dapat
tersenyum dengan baik
Sensorik: tidak ada gangguan pengecapan
- N. VIII (Vestibulo-kokhlearis)
Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Tidak ada gangguan menelan
12
- N. XI (Aksesorius)
Gerakan leher dan bahu tidak terganggu
- N. XII (Hipoglosus)
Gerakan lidah tidak terganggu
KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
lembab, pengisian kapiler < 2 detik, petechie (-)
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-), nyeri
tekan (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Lab. Dari IGD pada tanggal 30 Juni 2014)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Leukosit 7,2 ribu/ μL 6 – 17
Eritrosit 4.2 jt/ μL 3.6 - 5.2
Hemoglobin 11,5 g/ dL 10,8-12,8
Hematokrit 33 % 35-43
Trombosit 293 ribu / μL 217 – 497
MCV 79.0 fL 73 – 101
MCH 27.1 pg 23 – 31
MCHC 34.5 g/dL 26 – 34
RDW 14,9 % <14
Kimia Klinik
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah
Sewaktu
96 mg/dL 33 – 111
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 145 mmol /L 135-155
13
Kalium 3,6 mmol/L 3,6-5,5
Chlorida 99 mmol/L 98-109
IV. RESUME
Pasien dirawat di bangsal RSUD Budhi Asih melalui UGD pada hari Senin tanggal 30
Juni 2014 dengan keluhan kejang sejak dua hari SMRS. Pasien sudah kejang 14 kali dalam
dua hari, timbul mendadak. Awalnya pasien sedang tiduran seperti biasa kemudian tiba-tiba
kejang. Kejang kelojotan, baik kaki maupun tangan, mata mendelik keatas, kurang dari dua
menit, tapi tidak disertai busa. Dalam dua hari itu, jarak antara kejang tidak menentu, kurang
lebih setengah sampai setengah sampai dua jam, atau lebih. Setelah kejang pasien selalu
menangis, tapi akhir-akhir ini pasien menjadi lemas setelah kejang. Riwayat jatuh dan
membentur daerah kepala disangkal. Ibu pasien mengaku ini bukan kali pertama anaknya
sakit seperti ini, sebelumnya pasien juga pernah mengalami kejang seperti ini sejak umur 11
bulan. Pada saat umur 11 bulan, pasien kejang serupa dengan frekuensi 3 kali dirumah dan
satu kali di UGD RSBA dalam satu hari. Dahulu kejangnya diawali demam dan diare, sempat
dirawat juga sampai sekitar 5 hari. Kemudian pulang dan mendapat obat. Pada umur satu
tahun, pasien mengalami kejang serupa lagi dengan durasi yang agak lebih lama sampai dua
menit dan frekuensinya dalam satu hari adalah dua kali dirumah dan enam kali di rumah sakit
daerah Bangka Belitung. Saat itu tidak diawali demam. Ibu pasien mengaku pada saat itu
bibir pasien sampai menjadi biru. Ibu pasien kontrol untuk kejang anaknya dan mendapatkan
obat depaken sejak pertama kali demam atau umur 11 bulan, tiga kali sehari tapi untuk
dosisnya tidak diketahui. Pasien pernah diperiksa menggunakan EEG dan MRI dan
didiagnosis epilepsi. Selain kejang, pasien juga disertai demam dan diare sejak 4 hari SMRS.
Demam dirasakan timbul perlahan, dan tinggi terus menerus, turun saat diberi obat penurun
panas tapi lekas naik lagi. Demam diakui berbarengan dengan diare yang menyertai pasien.
Diare dikeluhkan sejak 4 hari SMRS juga, bersamaan dengan demam. Frekuensi kurang lebih
10 kali dalam sehari, tiap kali sekitar seperempat gelas aqua, konsistensi cair, ampas (+),
lendir (-), darah (-), bau busuk. Pasien baru bisa tengkurap padahal sudah berumur 1 tahun 5
bulan.
14
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang. Lingkar kepala pasien 44 cm
(mikrosefali). Selain itu, kedudukan mata kiri pasien cenderung esotrogia. Dari pemeriksaan
lab didapatkan penurunan hematokrit (33 %) dan peningkatan RDW (14,9 %).
V. DIAGNOSIS BANDING
- Kejang epileptik (tonik klonik)+ GEA + Delayed Development
- Kejang demam + GEA + Delayed Development
- Ensefalitis + GEA + Delayed Development
VI. DIAGNOSIS KERJA
- Kejang epileptik (tonik klonik)+ GEA + Delayed Development
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan darah : kadar kalsium, darah rutin dan elektrolit
- Pemeriksaan feses dan urin lengkap
- EEG
- Foto CT scan atau MRI
VIII. PENATALAKSANAAN
Non medika Mentosa
1. Edukasi orang tua pasien tentang penyakit pasien.
2. Observasi keadaan umum dan tanda vital
3. Diet susu LLM 8x60 cc
Medika Mentosa
- Tatalaksana IGD
- Rawat
- IVFD Kaen I B 3 cc/ kgBB/ jam
- PCT 4 x 120mg
- Tatalaksana Bangsal
- IVFD Kaen IB 3cc/kgBB/jam
- Paracetamol 120 mg jika suhu ≥ 38oC
- Depaken 3 x 1,5 cc
- Probiokid 1 x1
15
- Zinkid 1 x 1
- Cotrimoksazol syr 2 x 1
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
FOLLOW-UP
Tgl S O A P
1/7/14 - Kejang (+)
1x selama
<1 menit
- Demam (+)
- Mual (+)
- BAB 5x,
warna
kuning,
ampas (+),
lendir (+)
- BAK (+)
- Nafsu
makan
turun
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: compos
mentis
TTV :
Nadi : 76 x/m
Suhu : 37,5 0 C
RR : 32 x/ m
Kepala : mikrosefali,
UUB tertutup
Mata : CA -/-, SI -/-,
cekung -
Hidung : nch -/-,
sekret -/-
Mulut :
kering - sianosis –,
oral hygiene baik
Tho : simetris, retraksi
(-)
P: SN vesikuler, rh -/-,
wh -/-
J: BJ I-II reg, m (-),
- Kejang epilepsi
- GEA tanpa
dehidrasi
- Delayed
development
- IVFD Kaen IB
3cc/kgBB/jam
- LLM 8x60cc
- Depaken 3 x
1,5 cc
- Paracetamol
120 mg bila
suhu ≥ 38oC
- Probiokid 1x1
sach
- Zinkid 1 x 1
20mg
16
gallop (-)
Abdomen : datar, bu
(+), supel
Ekstremitas : akral
hangat, CRT <2”,
Status neurologis :
KK –
Ref. Fisiologis –
Ref. Patologis –
TRM –
MK score : 1
Lab: 30/6/14
Ht 33%
2/7/14 - Kejang (-)
- Demam
sumeng2
(37,8)
- Muntah (-)
- BAB 2 x
lembek,
warna
kuning,
lendir +
- BAK
normal
- Nafsu
makan
membaik
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: compos
mentis
TTV :
Nadi : 136x/m
Suhu : 36,6 0 C
RR : 40 x/ m
Kepala : mikrosefali,
UUB tertutup,
Mata : CA -/-, SI -/-,
Hidung : nch -/-,
sekret -/-
Mulut :
kering - sianosis –,
oral hygiene baik
Tho : simetris, retraksi
(-)
P: SN vesikuler, rh -/-,
- Kejang epilepsi
- GEA tanpa
dehidrasi
- Delayed
development
- IVFD Kaen IB
3cc/kgBB/jam
- LLM 8x60cc
- Depaken 3 x
1,5 cc
- Paracetamol
120 mg bila
suhu ≥ 38oC
- Probiokid 1x1
sach
- Zinkid 1 x 1
20mg
- Cotrimoxazol
syr 2 x 1
17
wh -/-
J: BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : datar, bu
(+), supel
Ekstremitas : akral
hangat, CRT <2”,
Status neurologis :
dalam batas normal
Hasil feses: dbn
18
3/7/14
4/7/14
- Kejang (+)
2 x
- Demam (-)
- Muntah (-)
- BAB 4x,
warna
kuning,
lendir
- BAK +
- Nafsu
makan
hanya mau
susu
Demam (-),
Kejang (+)
semalam, 1x, <
5-10 detik, mual
KU : tampak sakit
sedang
Kesadaran: compos
mentis
TTV :
Nadi : 132x/m
Suhu : 36,9 0 C
RR : 36 x/ m
Kepala : mikrosefali,
UUB tertutup,
Mata : CA -/-, SI -/-,
Hidung : nch -/-,
sekret -/-
Mulut :
kering - sianosis –,
oral hygiene baik
Tho : simetris, retraksi
(-)
P: SN vesikuler, rh -/-,
wh -/-
J: BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : datar, bu
(+), supel
Ekstremitas : akral
hangat, CRT <2”,
Status neurologis :
dalam batas normal
KU : tampak sakit
ringan
Kesadaran: compos
mentis
- Kejang epilepsi
- GEA tanpa
dehidrasi
- Delayed
development
- Kejang epilepsi
- GEA tanpa
dehidrasi
- Delayed
- IVFD Kaen IB
3cc/kgBB/jam
- LLM 8x60cc
- Depaken 3 x
1,5 cc
- Paracetamol
120 mg bila
suhu ≥ 38oC
- Probiokid 1x1
sach
- Zinkid 1 x 1
20mg
- Cotrimoxazol
syr 2 x 1
- Depaken jadi 2
cc
- IVFD Kaen IB
3cc/kgBB/jam
- LLM 8x60cc
- Depaken 3 x 2
19
5/7/14
muntah (-),
batuk pilek (-),
BAB 5x,
lembek, ampas
(+), kuning, bau
asam, BAK (+)
Demam (-),
kejang (-), mual
muntah (-),
makan (-),
maunya minum
susu, muntah
jika diberi zinc,
BAB 4 x,
TTV :
Nadi : 140x/m
Suhu : 36,5 0 C
RR : 44 x/ m
Kepala : mikrosefali,
UUB tertutup,
Mata : CA -/-, SI -/-,
Hidung : nch -/-,
sekret -/-
Mulut :
kering - sianosis –,
oral hygiene baik
Tho : simetris, retraksi
(-)
P: SN vesikuler, rh -/-,
wh -/-
J: BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : datar, bu
(+), supel
Ekstremitas : akral
hangat, CRT <2”,
Status neurologis :
dalam batas normal
KU : tampak sakit
ringan
Kesadaran: compos
mentis
TTV :
Nadi : 120x/m
Suhu : 36,8 0 C
RR : 48 x/ m
development
- Kejang epilepsi
- GEA tanpa
dehidrasi
- Delayed
development
cc
- Paracetamol
120 mg bila
suhu ≥ 38oC
- Probiokid 1x1
sach
- Zinkid 1 x 1
20mg
- Cotrimoxazol
syr 2 x 1
- Minum jadi 4 x
90 cc
- IVFD Kaen IB
3cc/kgBB/jam
- LLM 8x60cc
- Depaken 3 x 2
cc
- Paracetamol
120 mg bila
suhu ≥ 38oC
20
sedikit-sedikit,
lembek, kuning,
ampas (+), bau
asam, BAK (+)
Kepala : mikrosefali,
UUB tertutup,
Mata : CA -/-, SI -/-,
Hidung : nch -/-,
sekret -/-
Mulut :
kering - sianosis –,
oral hygiene baik
Tho : simetris, retraksi
(-)
P: SN vesikuler, rh -/-,
wh -/-
J: BJ I-II reg, m (-),
gallop (-)
Abdomen : datar, bu
(+), supel
Ekstremitas : akral
hangat, CRT <2”
Status neurologis :
dalam batas normal
- Probiokid 1x1
sach
- Zinkid 1 x 1
20mg
- Cotrimoxazol
syr 2 x 1
- Minum jadi 4 x
90 cc
Lampiran Hasil EEG (6/ 6/2014)
Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur alami
Tampak gelombang irama dasar dengan frekuensi 5-6 spd, bervoltage sedang
Tak tampak gelombang epileptiform
Tak tampak asimetri
Photik stimulasi tak menyebabkan perubahan berarti
Selama rekaman pasien tertidur hingga stadium I-II non REM tidur
21
IMPRESSION
EEG dalam batas normal
Tak tampak gelombang epileptiform
Hasil MRI
22
23
Kesimpulan
MRI Kepala dalam batas normal
Ventrikulomegali ec brain atrofi
Tak tampak massa/ SOL maupun perdarahan/ infark
Mastoiditis bilateral
24
BAB III
ANALISA KASUS
Identitas Pasien
Dari identitas pasien, orang tua pasien memlikki pendapatan sekitar Rp 1. 500.000/
bulan. Hal ini memungkinkan saat pra lahir maupun setelah lahir, terdapat faktor resiko
kurangnya pemenuhan gizi pada pasien yang bisa menyebabkan kelainan pada otak pasien
maupun timbulnya penyakit dan penanganan yang kurang pada pasien yang bisa berefek
dalam perkembangan otak.
Apakah diagnosa pada kasus ini sudah tepat?
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, diagnosa kasus di atas tepat, karena
berdasarkan :
Anamnesa :
- Pasien An MFF, laki-laki Usia 1 tahun 5 bulan
- Mengalami kejang berulang sebanyak 14 kali dalam 2 hari dengan lama kurang dari
15 menit, tipe kejang tonik klonik, setelah kejang pasien menangis.
- Kejang disertai demam
- Kejang sejak umur 11 bulan sehingga dalam satu tahun lebih dari 3 kali
- 4 hari SMRS pasien mengalami mencret ± 10 x, cairan >> ampas, ± ¼ gelas aqua,
lendir (+), darah (-)
- Dari riwayat perkembangan, pasien baru bisa terngkurap padahal usianya sudah satu
tahun 5 bulan
- Sudah pernah perawatan dan didiagnosis epilepsi dan dapat obat depaken
Dari kriteria kejang pada pasien, tidak masuk dalam kriteria kejang demam
Livingstone, oleh karena itu pasien masuk dalam kategori kejang epileptik, selain itu
ada riwayat pengobatan epilepsi
Dari anamnesis berat badan lahir yang dalam batas normal, seharusnya pasien
mempunyai modal yang baik untuk tumbuh kembangnya, oleh karena itu, ada
kemungkinan sakit yang mendasari terhadap gangguan tumbuh kembangnya
25
Pemeriksaan Fisik :
Status Present
Data Antropometr i
Berat Badan sekarang : 10,4 kg
Panjang Badan : 79 cm
Lingkar Kepala : 44 cm (Mikrosephali, terletak dibawah -2 dan +2 SD Kurva
Neillhaus)
Status Gizi
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
- BB / U = 10,4 / 10,8 x 100 % = 96,29 % (Gizi baik)
- TB / U = 79 / 81 x 100 % = 97,53 % (Tinggi baik)
- BB / TB = 10,4/ 11 x 100 % = 94,54 % (Gizi baik)
Status gizi diatas berdasarkan kurva NCHS, dapat disimpulkan bahwa pasien gizi baik
dengan tinggi normal.
Tanda Vital
Tekanan Darah : - mmHg
Nadi : 76 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Nafas : 32 x / menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 2
Suhu : 37,5°C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)
Status Neurologis : dalam batas normal, refleks patologis (-) dan refleks fisiologis
dalam batas normal, motorik dan sensorik dalam batas normal
Tanda perangsangan selaput otak: tidak ada
dari pemeriksaan fisik didapatkan ukuran kepala mikrosefali, hal ini memungkinkan
adanya penyakit yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan otak sehingga
timbul gejala pada pasien
MRI
Ventrikulomegali ec brain atrofi
Tak tampak massa/ SOL maupun perdarahan/ infark
Mastoiditis bilateral
26
Dari hasil MRI didapatkan atrofi otak. Oleh karena itu, perlu tatalaksana khusus untuk
memaksimalkan sel saraf yang masih baik untuk optimalisasi pertumbuhan dan
perkembangan pasien sehingga tidak terus bergantung kepada orang tuanya saat dewasa
nanti.
Ditemukan juga mastoiditis bilateral. Hal ini kemungkinan bisa menjadi fokus infeksi
pada pasien yang menyebabkan kerusakan otak karena komplikasinya. Tetapi tidak
diketahui kapan onset mastoiditis pada pasien. Apakah sebelum timbulnya gejala atau
setelah gejala awal.
Apakah tatalaksana pada pasien sudah tepat?
Non medika Mentosa
4. Edukasi orang tua pasien tentang penyakit pasien.
5. Observasi keadaan umum dan tanda vital
6. Diet susu LLM 8x60 cc
Medika Mentosa
- Tatalaksana IGD
- Rawat
- IVFD Kaen I B 3 cc/ kgBB/ jam
- PCT 4 x 120mg
- Tatalaksana Bangsal
- IVFD Kaen IB 3cc/kgBB/jam
- Paracetamol 120 mg jika suhu ≥ 38oC
- Depaken 3 x 1,5 cc 2 cc
- Probiokid 1 x1
- Zinkid 1 x 1
- Cotrimoksazol syr 2 x 1
Dari gejala klinis yang ada pada pasien, menuru literatur sudah tepat. Pada pasien
diberikan kotrimoksazol sirup karena dari gejala diare yang disertai demam yang
timbul perlahan dan lendir, dimungkinan penyebabnya adalah bakteri. Diberikan susu
LLM untuk menghindari adanya penyebab diare yang lain karena intoleransi laktosa.
Diberikan antipiretik jika suhu diatas 38 derajat celsius untuk mempertahankan
mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dosis depaken dinaikkan karena pada
saat pemberian 1,5 cc masih didapatkan kejang pada pasien.
27
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG
4.1 DEFINISI
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak.1,2
4.2 KRITERIA KEJANG
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang,
sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel berikut:3
28
4.3 KLASIFIKASI
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan jenis
kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi
International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981, yaitu dapat dilihat
pada tabel berikut:2,3,4
4.4 ETIOLOGI
Langkah selanjutnya, setelah diyakini bahwa serangan saat ini adalah kejang adalah
mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk
tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Adapun
etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada tabel berikut:
29
Etiologi kejang menurut usia:
1. Neonatus : Infeksi, perdarahan intrakranial, malformasi otak, asfiksia
neonatorum, hiperbilirubinemia, meabolik (hipoglikemia dan defisiensi
piridoksin), prematuritas.
2.Bayi dan Anak : Kejang demam, epilepsi, infeksi, idiopatik, gangguan elektrolit
(hiponatremia, hipernatremia dan hipokalsemia), keracunan teofilin,
alkohol, kokain, hipoglikemia, gangguan asam basa, defisiensi
piridoksin, genetik, penghentian OAE mendadak, tumor otak,
perdarahan intrakranial dan idiopatik.
3. Dewasa muda : Trauma, tumor, genetik, idiopatik, alkoholisme/ NAPZA.
4. Dewasa lanjut : CVD, metabolik, tumor, degeneratif
Secara umum penyebab kejang dapat dibagi menjadi :
Penyebab intrakranial
1. Infeksi
a. Meningitis
Menigitis adalah infeksi akut yang mengenai selaput otak yang dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dengan ditandai oleh adanya gejala
30
spesifik dari sistem saraf pusat yaitu gangguan kesadaran, tanda rangsang
meningen, gejala peningkatan tekanan intrakranial, dan gejala defisit
neurologis. Kejang merupakan salah satu dari komplikasi meningitis.
b. Ensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi akut yang mengenai jaringan otak dan
selaput otak, disebabkan oleh terutama oleh berbagai jenis virus, berlangsung
self-limited, dan sebagian kasus adalah berat serta berakibat fatal. Ensefalitis
jarang disebabkan oleh penyebab lain seperti mikoplasma, riketsia, parasit,
atau jamur.15
c. Abses serebri
Abses serebri jarang pada anak dan terjadi terutama pada neonatus dan
anak umur 4-8 tahun, anak laki-laki 2 – 4 kali terjadi lebih sering daripada
anak perempuan dan penyebabnya adalah emboli pada penyakit jantung
bawaan. Mikroorganisme penyebab adalah bermacam-macam termasuk
golongan streptokokus, gram (+) / (-), bakteri anaerob dan jamur. Sepertiga
dari abses otak adalah kriptogenik.
2. Injuri serebral
a. Hipoksia-Iskemia serebri (HIE)
Hipoksi menunjukkan bahwa kadar oksigen dalam arteri adalah
berkurang, sedangkan arti dari iskemia ialah aliran darah ke sel atau
jaringan/organ adalah tidak cukup untuk menjaga agar fungsi organ
berlangusng tetap normal. Gejala klinis yang muncul adala tergantung dari
tingkat keparahan dari HIE, gejala kejang sendiri muncul jika tingkat HIE
sudah mencapai tingkat berat.
b. Hematoma ekstradural ataupun subdural
c. Perdarahan intrakranial ataupun intraventrikular
d. Heatstroke (HS)
HS merupakan stadium terberat dari 6 stadium injuri panas, ditandai
dengan suhu tubuh >41oC disertai dengan disfungsi neurologik. Gejala dari
disfungsi sistem saraf pusat adalah delirium, konfusi, delusi, kejang,
halusinasi, ataksia, tremor, disartria, gejala serebrum dan saraf otak dan
kontraksi otot bersifat tonik-klonik.
3. Ensfalopati
31
a. Palsi Serebral
Palsi serebral adalah sekelompok kelainan dari perkembangan gerakan
dan postur yang mengakibatkan keterbatasan aktifitas, meliputi gangguan
yang tidak progresif yang terjadi pada perkembangan otak janin dan bayi.
Kelainan motorik seringkali disertai gangguan sensasi, kognitif, komunikasi,
persepsi,dan atau perilaku dan atau kejang.
4. Tumor otak
Tumor otak terbanyak lebih dari separuh berasal dari sel saraf dalam otak dan
sisanya merupakan penyebaran dari keganasan di luar otak. Tumor dengan berbagai
cara dapat menimbulkan gangguan pada saraf, antara lain ialah walaupun kecil
keberadaannya dapat mengganggu fungsi dan hantaran rangsang di saluran saraf yang
melintasi otak. Tumor dapat menimbulkan invasi, infiltrasi, dan menempati jaringan
yang ada dan menimbulkan gangguan fungsi normal dari struktur otak yang terkait.
Penyebab ekstrakranial
1. Infeksi
a. Kejang demam
b. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut dengan gejala spasme disebabkan oleh
tetanospasmin, suatu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanus biasanya berhbungan dengan luka akibat cedera benda kotor, melalui
suntikan obat yang akhir-akhir ini sering terjadi, bisa juga melalui gigitan
binatang, abses, gangren, sirkumsisi, bahkan bisa pada pembedahan karena
benang yang terkontaminasi. Trimus didapatkan pada setengah kasus yang
ada. Jika terjadi spasme pada otot-otot di pinggang, perut, panggul, dan paha
maka posisi tubuh melengkung kaku disebut opistotonus. Kejang pada tetanus
bersfiat mendadak, kontraksi tonik yang kuat pada otot-otot sehingga posisi
tangan mengepal, lengan fleksi dan aduksi, sedang anggota bawah adalah
hiperekstensi.
2. Metabolik
a. Hipokalsemia
b. Asidosis metabolik
c. Hipomagnesia
d. Hipoglikemia
32
e. Hiponatremia
3. Intoksikasi
Kasus intoksikasi yang berjumlah 2 juta per tahun, >50% adalah anak berumur
≤5 tahun, > 90% terjadi di rumah serta 77% adlah terjadi dengan cara ingesti dan
berlangung secara tidak dengan kesengajaan. Diperkirakan 50% dari kejadian
intoksikasi adalah terhadap obat-obatan dan sebagian lainnya adalah bahan kimia
yang lazim dipakai untuk keperluan rumah tangga. Trycyclic antidepressant adalah
obat yang paling banyak dipakai oleh kalangan remaja termasuk siswa sekolah
lanjutan dan dapat menimbulkan intoksikasi disertai dengan gejala kejang. Sedang
dari kelompok bahan bukan obat yang banyak dipakai untuk keperluan rumah tangga,
salah satu dari yang terbanyak adalah insektisida.1,3,5
4.5 PATOFISIOLOGI
Mekanisme tentang timbulnya kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
fisiologi ikut terlibat dalam berkembangnya gejala kejang. Kejang dapat terjadi karena
adanya sel neuron yang mampu menimbulkan letupan lepas muatan, dan gangguan pada
sistem hambatan GABA (ɣ-aminobutyric acid). Kejang dapat timbul dari daerah dengan sel
saraf yang rusak, dan di area ini mendorong timbulnya sinaps yang rentan rangsang
(hyperexcitable) yang dapat mengakibatkan kejang.
33
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh;
1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan
listrik yang berlebihan;
2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gamma amino butirat [GABA];
atau
3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui
jalur eksitasi yang berulang.
Faktor genetika mempunyai peran pada 20% dari kasus epilepsi, dan pada kasus-
kasus epilepsi pada keluarga telah dapat diidentifikasi kromosom yang mempunyai hubungan
dengan epilepsi tersebut, seperti kejang benigna (20q dan 8q), kejang mioklonik juvenilis
(6p), epilepsi mioklonik progresif (21q22.3), dan lain-lain. Dari adanya data-data tersebut
makan dapat disimpulkan hipotesis terjadinya kejang ialah bahwa fungsi inhibitor dari sel
menjadi tidak berjalan akibat adanya kelainan, kemudian neuron dengan fungsi eksitasi yang
masih ada menjadi hiperfungsi.
Hipotesis lain ialah terbentuknya aberrant excitatory circuits sebagai bagian dari
mekanisme reorganisasi bila terjadi injuri. Dampak dari kejang ditentukan oleh intensitas dan
ekstensitas kontraksi otot yang mengalami kejang yang bervariasi tergantung pada jenis
kejang yaitu apakah fokal atau umum dan berapa lama kejang tersebut berlangsung.1,2,6
4.6 DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan
penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya faktor
pencetus atau penyebab kejang. Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang
berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau
cedera akibat kejang.
34
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut
kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan
neurologis fokal. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari faktor penyebab.
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi,
dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa
darah, elektrolit, dan hitung jenis.1,2
4.7 TATALAKSANA1,3
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada saat anak kejang posisikan secara lateral
decubitus agar sekresi dapat mengalir keluar dan posisi lidah tidak mengganggu jalan nafas.
Upayakan agar leher dalam posisi lurus untuk menjaga saluran nafas tetap terbuka. Menjaga
agar lidah tidak tergigit dengan memasang baying elastic atau yang terbungkus dengan kain
di antara rahang atas dan bawah serta menjaga anak tidak trauma dengan membaringkan di
tempat yang aman dan pakaian dilonggarkan. Membersihkan jalan nafas pasien dan memberi
dukungan ventilasis seusai dengan kebutuhan pasien. Awasi tanda vital sperti kesadaran,
suhu, tekanan darah, pernapasan, dan fungsi jantung.
Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara intravena atau intrarektal.
Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan
dapat diberikan diazepam rektal, dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
35
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tatalaksana penghentian kejang yaitu:
0 - 5 menit:
- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 – 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5
mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg).
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5-10
menit
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 – 15 menit:
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum
dosis 30 mg/kgbb.
30 menit:
36
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 – 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit,
gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda -tanda depresi
pernafasan.
- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan
intensif.
KEJANG EPILEPTIK
4.1 DEFINISI
Kejang epileptik hanya merupakan suatu manifestasi dari penyakit neurologik atau
penyakit metabolisme, dengan penyebab yang bermacam-macam termasuk predisposisi
genetika, trauma kepala, stroke, tumor otak, dan lain-lain.
Pada tahun 2005 International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) mengusulkan definisi dari epilepsi yaitu gangguan otak ditandai
37
oleh suatu predisposisi yang menimbulkan kejang epileptik disertai dengan konsekuensi
neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial. Secara tradisional diagnosis epilepsi
ditegakkan bila terdapat kejang tanpa provokasi paling sedikit 2 kali dengan jarak 24 jam.1,2
4.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas,
sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Di
Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak - anak.
Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi
seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan pada
susunan saraf pusat.
Penelitian dari Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar selama Januari 2007-Desember 2010. Data yang dikumpulkan adalah umur, jenis
kelamin, status gizi, gambaran klinis epilepsi, penyakit neurologis penyerta, status tumbuh
kembang, riwayat kejang demam, riwayat epilepsi keluarga, gambaran EEG dan pencitraan
kepala. Ditemukan 276 kasus epilepsi, dengan insidens 5,3%. Sebagian besar laki-laki
(56,9%), terbanyak (42%) umur 1–5 tahun dan onset tersering umur <1 tahun (46%) kasus.
Diagnosis epilepsi umum tonikklonik (62%), dan sindrom epilepsi yang ditemukan spasme
infantil 6,9% kasus. Sebagian besar tumbuh kembang normal (75%), riwayat kejang demam
sebelumnya 10,1% kasus dan riwayat epilepsi keluarga 13% kasus. Pemeriksaan EEG
pertama ditemukan abnormal 42,4% kasus dan pada CT scan kepala ditemukan kelainan pada
51,4 % kasus.10
4.3 KLASIFIKASI
38
Klasifikasi Internasional Bangkitan Epilepsi yaitu :2,4,11
I. Bangkitan Parsial
A. Bangkitan Parsial Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Bangkitan Parsial Kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
39
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Bangkitan Umum Sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik )
1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
4. kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
II. Bangkitan Umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1. Bangkitan lena
2. Bangkitan mioklonik
3. Bangkitan tonik
4. Bangkitan atonik
5. Bangkitan klonik
6. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan Epileptik yang tidak tergolongkan
4.4 ETIOLOGI
Etiologi epilepsi dapat dibagi atas 3 kelompok :
1. Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi ± 50% dari penderita
epilepsi anak umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3
tahun. Biasanya tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan juga tidak bodoh.
Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok ini
makin kecil.
40
2. Epilepsi simptomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intrakranial maupun ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital,
trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut.
Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian juga mengganggu fungsi otak
misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolism (hipoglikemia,
hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan
hidrasi.
3. Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinik sesuai dengan ensefalopati difus.12
4.5 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform
pada EEG. Epilepsi merupakan diagnosis klinis, pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan
neurofisiologi yang diperlukan untuk melihat adanya fokus epileptogenik, menentukan
sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan menentukan prognosis. Pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang paling terpilih adalah magnetic resonance imaging (MRI)
untuk melihat adanya fokus epilepsi dan kelainan struktural otak lainnya yang mungkin
menjadi penyebab epilepsi.
Pemeriksaan fisis umum dan neurologis dilakukan pemeriksaan yang meliputi
pemeriksaan secara pediatris dan neurologis. Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital,
kepala, jantung, paru, perut, hati dan limpa, anggota gerak dan sebagainya. Hal yang perlu
diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan kanker.
Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan, motoris dan mental,
tingkah laku, berbagai gejala proses intrakranium, fundus okuli, penglihatan, pendengaran,
saraf otak lain, sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak terkendali,
koordinasi, ataksia), sistem sensorik (parastesia, hipestesia, anastesia), refleks fisiologis dan
patologis. Pemeriksaan laboratorium dapat juga dilakukkan (pemeriksaan darah, meliputi
41
hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit dan apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula,
fungsi hati, fungsi ginjal) dan pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi
SSP.10
4.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi bertujuan agar kualitas hidup optimal
untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya dapat tercapai. Tujuan tersebut hanya akan dicapai melalui beberapa upaya
yang diolah serta diterapkan secara holistik antara lain adalah menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka
kesakitan dan kematian serta mencegah timbulnya efek samping obat anti epilepsi.
Terapi dapat dibagi dalam 2 golongan :
1. Terapi kausal
Terapi kausal dapat dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya dapat ditemukan,
misalnya :
- Infeksi SSP dan selaputnya, diberikan antibiotic atau obat-obat lain yang dapat
memberantas penyebabnya
- Pada neoplasma dan perdarahan di dalam rongga intrakranium mungkin diperlukan
tindakan operatif
- Pada gangguan peredaran darah otak pemberian oksigen mungkin dapat membantu
mengatasi keadaan hipoksia yang terjadi.
2. Terapi medikamentosa anti kejang
Prinsip terapi farmakologik pasien epilepsi anak pada umumnya sama dengan prinsip
terapi farmakologik pasien dewasa yaitu:
1. Obat-obat anti epilepsi mulai diberikan bila:
- Diagnosis epilepsi telah ditegakkan
- Pasien, terutama keluarga pasien telah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
42
- Pasien maupun keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
obat anti epilepsi yang akan timbul.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai mencapai dosis
efektif.
4. Bila dengan pemberian dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan,
maka perlu ditambahkan obat anti epilepsi kedua. Bila obat anti epilepsi telah mencapai
kadar terapi maka obat anti epilepsi pertama diturunkan perlahan-lahan (tapering off).
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua obat anti epilepsi pertama.
6. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
• Dijumpai fokus epilepsi yang luas pada EEG
• Pada pemeriksaan CT scan atau MRI dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan,
misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
• Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan
otak
• Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
• Riwayat bangkitan simptomatik
• Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
• Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
7. Efek samping obat-obat anti epilepsi perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan
interaksi farmakokinetik antar obat anti epilepsi.
Obat-obatan Epilepsi
a. Golongan Hidantoin
Fenitoin
43
Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Indikasi : epilepsi umum khususnya grandma tipe tidur, epilepsi fokal dan dapat juga
untuk epilepsi lobus temporalis
Dosis : dewasa 300-600 mg/hari, anak 4-8 mg/hari, maksimal 300 mg/hari
b. Golongan barbiturate
Fenobarbital
Merupakan golongan barbiturate yang bekerja lama (long acting). Kerjanya membatasi
penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang Indikasi : epilepsi
umum khusus epilepsi grandmal tipe sadar, epilepsi fokal
Dosis : dewasa 200 mg/hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari
c. Golongan benzodiazepine
Diazepam
Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama status epileptik
Dosis : dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak >5 tahun 5-10 mg im/iv,
anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv
d. Golongan suksinimid
Etosuksimid
Indikasi : epilepsi petit mal murni
Dosis : 20-30 mg.kgBB/hari
e. Golongan anti epilepsi lainnya
- Sodium valproat
Indikasi : epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi mempunyai cara kerja
menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak
Dosis : sehari total 8-30 mg/kgBB
44
- Karbamazepin
Indikasi : epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi grandmal
Dosis : dewasa 800-1200 mg/hari
Pemakaian Obat Anti Epilepsi pada Anak
Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa
faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang tidak dapat
diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak, dapat pula
menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat pentingnya pemberian
antikonvulsan pada pasien epilepsi. Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan
mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan
anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain. Terdapat dua
mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:
1) Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam focus
epileptik
2) Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi,
Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan terakhir ini.
Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik
otak, terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.
Akhir-akhir ini karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam
pengobatan epilepsi; karbamazepin untuk bangitan parsial sederhana maupun kompleks,
sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena
dengan bangkitan tonik klonik.
Penghentian Obat Anti Epilepsi
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menghentikan terapi obat antiepilepsi, yaitu:
1) Syarat umum untuk menghentikan pemberian obat antiepilepsi :
45
- Pasien menjalani terapi secara teratur dan telah bebas dari bangkitan selama minimal
dua tahun
- Gambaran EEG normal
- Dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan
- Penghentian dimulai dari satu obat antiepilepsi yang bukan utama.
2) Kekambuhan setelah penghentian obat antiepilepsi
Kekambuhan setelah penghentian obat antiepilepsi akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:
- Semakin tua usia
- Epilepsi simptomatik
- Gambaran EEG yang abnormal
- Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
- Tergantung banyak sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa kanak-kanak, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simptomatik, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak.
- Penggunaan lebih dari satu obat antiepilepsi
- Masih mendapatkan satu atau lebih bangitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali makagunakan dosis
efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis obat anti terapi), kemudian dievaluasi
kembali.12,13,14
4.7 PROGNOSIS
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas dari serangan paling sedikit 2
tahun dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak
mengalami serangan epilepsi lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30%
pasien tidak mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi,
kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada epilepsi tonik-klonik dan
46
epilepsi parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah
remisi.13
47
BAB V
KESIMPULAN
Masalah kejang, convulsion, seizure, atau insult pada anak sering kali merupakan
gejala atau keluhan utama yang menyebabkan orang tua berusaha mendapatkan pertolongan
antara lain dengan membawa berobat ke tempat layanan kesehatan.
Pada saat pasien datang dengan keluhan kejang, maka kita harus memilah apakah
kejang tersebut dikarenakan infeksi atau non infeksi. Apabila dikarenakan non infeksi, maka
harus dicari apakah terdapat kelainan metabolik, kelainan elektrolit, keganasan atau epilepsi.
Hal yang terpenting dalam kejang sendiri adalah tatalaksana kejang saat kejang itu sendiri
terjadi dan pencarian etiologi serta tatalaksana etiologinya. Untuk semua tatalaksana awal
kejang adalah sama sesuai dengan algoritme yang ada, yang berbeda adalah pada saat
penatalaksanaan etiologinya.
48
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Widagdo. Tatalaksana masalah penyakit anak dengan kejang. Jakarta: Sagung Seto.
2011. P. 4-8; 31-42; 47-58.
2. Johnston MV. Seizures in childhood. In: Behrman RE, Kliegman RM, and Jenson
HB, editors. Nelson textbook of pediatric. 17th ed. India: Elsevier. 2004. p. 1993-
2009.
3. UNDIP. Kejang pada anak. Available at:
http://eprints.undip.ac.id/29064/2/Bab_2.pdf. Accessed on June 19th, 2014.
4. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. 8th ed. Jakarta: Erlangga. 2008. p. 79-88; 122-33.
5. Raftery AT, Lim E, and Ostor AJ. Differential diagnosis. UK: Elsevier. 2010. p.80-3.
6. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi Konsep klinis proses-proses
penyakit, Volume 2 Edisi 6. Jakarta: ECG, 2006.p.1157-66.
7. Pusponegoro H., Widodo D., Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2006.p.1-2.
8. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada
Anak.Sari Pediatri 2010; 12(3): 142-9.
9. Baumann R., Duffner P. Treatment of Children with Simple Febrile Seizures. The
AAP Practice parameter. Pediatr Neurol 2000; 23: 11-17.
10. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri
2011; 13(2): 123-8.
11. Octaviana F. Epilepsi. Medicinus. Vol 21 Desember 2008. FKUI.
12. Pudjiaji, Antonius. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat: Kejang. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. p. 31-8.
13. Lazuardi S. Buku Ajar Neurologi Anak. In: Soetomenggolo T, Ismael S, editors.
Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2000. p. 237-38.
14. Widagdo. Masalah dan tatalaksana penyakit anak dengan demam. Jakarta: Sagung
Seto. 2012. p. 90-9.
49
15. Tidy C. Encephalitis and Meningoencephalitis. Available at.
http://www.patient.co.uk. Accessed on June 20th, 2014.
50
Recommended