Transcript
Page 1: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

PIOPNEUMOTORAKS DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

MEI SARAH PANE

NIM : 157041080

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

Universitas Sumatera Utara

Page 2: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

PIOPNEUMOTORAKS DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Kedokteran Paru dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik

Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MEI SARAH PANE

NIM : 157041080

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

Universitas Sumatera Utara

Page 3: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

i

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinis, Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis

cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika

penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata diketemukan seluruh atau sebagian tesis

ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian

tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang

penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku.

Medan, Agustus 2019

Penulis,

dr. Mei Sarah Pane

Universitas Sumatera Utara

Page 4: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

Universitas Sumatera Utara

Page 5: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

Universitas Sumatera Utara

Page 6: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Telah diuji dan ditetapkan di : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

Tanggal : 8 Agustus 2019

Program Magister Kedokteran Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Panitia Penguji Tesis

Ketua Program Studi : Dr. dr. Rodiah R. Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K)

Sekretaris Program Studi : Dr. dr. Mohd. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), Sp.OG

Penguji : Dr. dr. Pandiaman Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K)

Dr. dr. Amira P. Tarigan, M.Ked(Paru), Sp.P(K)

dr. Parluhutan Siagian, M.Ked(Paru), Sp.P(K)

Universitas Sumatera Utara

Page 7: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

v

TESIS

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Judul Penelitian : Pola Kuman dan Uji Kepekaan Kuman pada Pasien

Piopneumotoraks di RSUP H Adam Malik Medan

Nama : Mei Sarah Pane

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi : Program Studi Magister Kedokteran Klinik Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Lokasi

Penelitian

: RSUP H. Adam Malik Medan

Pembimbing I : Dr.dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K)

Pembimbing II : dr. Widirahardjo, Sp.P(K)

Pembimbing III : Dr. Putri Chairani Eyanoer, MSEpid, PhD

Pembimbing IV : dr. Rina Yunita, Sp.MK

Universitas Sumatera Utara

Page 8: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan

di bawah ini:

Nama : Mei Sarah Pane

NIM : 157041080

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik, Departemen Pulmonologi

dan Kedoteran Respirasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Pola Kuman dan Uji Kepekaan Kuman pada Pasien Piopneumotoraks di RSUP

H.Adam Malik Medan. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan

Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak

menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data

(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak

Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : FK-USU, Medan.

Pada tanggal : 8 Agustus 2019

Yang menyatakan

(dr. Mei Sarah Pane)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

vii

POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

PIOPNEUMOTORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Latar Belakang: Piopneumotoraks merupakan penyebab kesakitan dan kematian

yang signifikan. Mengetahui jenis kuman penyebab piopneumotoraks dan

memberikan antibiotik yang tepat sesegera mungkin merupakan hal yang sangat

membantu dalam penatalaksanaan piopneumotoraks disamping drainase rongga

pleura. Sayangnya, pemeriksaan kultur dan uji kepekaan antibiotik memerlukan

waktu yang cukup lama, sementara pemberian antibiotik tidak dapat ditunda.

Untuk itu diperlukan data pola kuman dan uji kepekaan antibiotik dari kuman

penyebab piopneumotoraks. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pola

kuman dan uji kepekaan kuman pada pasien piopneumotoraks

Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif observasional yg dilakukan

dengan menelaah data rekam medik pasien penderita piopneumotoraks yang

dirawat di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP H Adam

Malik Medan mulai Januari 2016. Data pola kuman dan uji kepekaan didapat dari

laporan hasil kultur di laboratorum mikrobiologi RSUP H Adam Malik Medan.

Hasil: Sebanyak 102 pasien dilibatkan sebagai subjek dalam studi ini, yang terdiri

atas 78.4% laki laki dan 21.6% perempuan. Kultur cairan pleura didapati

pertumbuhan bakteri pada 88 (86.3%) pasien, yang terdiri dari 77 (75.5%) pasien

bakteri tunggal, dan 11 (10.8%) pasien bakteri multipel, sementara pada 14

(13.7%) pasien tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. Pemeriksaan hapusan BTA

dijumpai positif hanya pada 16 (15.7%) pasien saja. Bakteri yang paling dominan

adalah Klebsiella sp (21.1%), Citrobacter freundii (17.9%) dan Serratia sp

(12.6%). Antibiotik dengan tingkat sensitivitas paling tinggi adalah Amikacin

(80%), Meropenem (64.2%), dan Cefoperazone-Sulbactam (46.3%), sementara

antibiotik dengan tingkat sensitivitas terendah adalah Ceftriaxone (7.4%),

Cefotaxime (4.2%) dan Ampicilin (3.2%).

Kesimpulan: Bakteri yang paling banyak menjadi etiologi piopneumotoraks

adalah Klebsiella sp, Citrobacter freundii dan Serratia sp, dan antibiotik dengan

tingkat sensitivitas yang tertinggi adalah Amikacin, Meropenem dan

Cefoperazone-Sulbactam

Kata Kunci: piopneumotoraks, kultur bakteri, uji kepekaan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

viii

BACTERIAL PATTERN AND DRUGS-SENSITIVITY TEST ON

PATIENTS WITH PIOPNEUMOTHORAX AT H. ADAM MALIK

GENERAL HOSPITAL, MEDAN

ABSTRACT

Background: Piopneumothorax is a cause of pain and death significantly.

Knowing the bacteria types that cause piopneumothorax and giving the right

antibiotics as soon as possible is a very helpful thing in the management of

piopneumothorax in addition to the drainage of the pleural cavity. Unfortunately,

examination of cultures and antibiotic sensitivity testing takes a long time, while

giving antibiotics can not be delayed. For this reason we need bacterial pattern

data and antibiotic sensitivity tests from germ that cause piopneumothorax. The

aim of this study was to determine the bacterial pattern and drugs sensitivity test

in piopneumothorax patients.

Methods: Descriptive observasional study conducted by examining the medical

record data of patients with piopneumothorax who were treated at H. Adam Malik

General Hospital from January 2016. Data on bacterial patterns and sensitivity

tests were obtained from culture reports in the microbiology laboratory.

Results: 102 patients were consisting of 78.4% men and 21.6% women. Pleural

fluid culture found bacteria growth in 88 (86.3%) patients, consisting of 77

(75.5%) single bacterial patients, and 11 (10.8%) patients with multiple bacteria,

while in 14 (13.7%) patients no bacterial growth was found. AFB smear

examination was found to be positive only in 16 (15.7%) patients. The most

dominant bacteria were Klebsiella sp (21.1%), Citrobacter freundii (17.9%) and

Serratia sp (12.6%). Antibiotics with the highest sensitivity level were Amikacin

(80%), Meropenem (64.2%), and Cefoperazone-Sulbactam (46.3%), while

antibiotics with the lowest sensitivity level were Ceftriaxone (7.4%), Cefotaxime

(4.2%) and Ampicilin (3.2 %).

Conclusion: The most common bacteria as the etiology of piopneumothorax are

Klebsiella sp, Citrobacter freundii and Serratia sp, and the highest antibiotic

sensitivity levels are Amikacin, Meropenem and Cefoperazone-Sulbactam.

Keywords: Piopneumothorax, bacterial culture, drugs-sensitivity test

Universitas Sumatera Utara

Page 11: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

ix

KATA PENGANTAR/ UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim,

Dengan mengucapkan syukur kepada ALLAH SWT, karena atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini yang berjudul “Pola

Kuman dan Uji Kepekaan Kuman pada Pasien Piopneumotoraks di RSUP

H.Adam Malik Medan”.

Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan

keahlian di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKSU/SMF Paru

RSUP H Adam Malik Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan

penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari

berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat di

Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non

medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis

menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Dr. dr. Pandiaman Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K), sebagai Ketua

Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H

Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu

Pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan

berperilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat

berguna di masa yang akan datang.

Dr. dr. Amira P. Tarigan. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) sebagai Ketua

Program Studi di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU/

SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan sekaligus sebagai pembimbing

utama dalam penelitian saya ini yang telah banyak memberikan bantuan,

dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan bagi penulis hingga dapat

menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran

Klinik.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

x

Dr. dr. Bintang Y.M. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) sebagai koordinator

penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU/

SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan sekaligus sebagai pembimbing

utama dalam penelitian saya ini yang telah banyak memberikan bantuan,

dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan

penyempurnaan tulisan ini.

Dr. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K), sebagai pembimbing

akademik dan pembimbing tesis saya ini yang telah banyak memberikan penulis

bantuan, masukan, arahan dan terutama motivasi kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan tulisan ini.

dr. Widirahardjo, Sp.P(K), sebagai pembimbing kedua tesis saya ini yang

telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan, arahan dan terutama

motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epid, PhD sebagai pembimbing statistik

yang telah begitubanyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang

statistik dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat

menyelesaikan tulisan ini.

dr. Rina Yunita, Sp.MK, sebagai pembimbing keempat tesis saya ini yang

telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan, arahan dan terutama

motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penghargaan dan rasa terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada

yang terhormat Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K), Prof. dr. H. Tamsil

Syafiuddin, Sp.P(K), dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K), dr.

Widirahardjo, Sp.P(K), Dr. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr. dr.

Pandiaman Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr. dr. Noni N. Soeroso,

M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P(K), dr. Syamsul Bihar,

M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Ade Rahmaini, M.Ked(Paru), Sp.P, dr. Netty Y.

Damanik, Sp.P, dr. Ucok Martin, Sp.P, dr. Nuryunita Nainggolan, Sp.P(K), yang

telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, masukan dan pengarahan selama

menjalani pendidikan.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xi

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang

terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan dan Direktur RSUP H. Adam

Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis

dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program

Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi khususnya

teman seangkatan, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat

inap, instalasi perawatan intensif, instalasi gawat darurat RSUP H Adam Malik

atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.

Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis

sampaikan kepada Ayahanda H. Armen Tua Pane dan Ibunda Hj. Sumaria Lubis

yang telah membesarkan, mendidik dan mendukung seluruh proses pendidikan

penulis, serta suami tercinta M. Ali Sahbudin, SE, ketiga anakku ananda Habib

Husein Harahap, Rafanul Hakim Harahap dan Putra Qori Ahnaf, beserta keluarga

besar saya yang memberi dorongan semangat serta doa yang tak henti sehingga

penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Tiada kata yang dapat diucapkan

selain ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas segala yang telah

Ayahanda dan Ibunda, suamiku, anakku beserta keluarga besarku yang diberikan

selama ini.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan

permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan

kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan

pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi

agama, nusa dan bangsa.

Medan, Agustus 2019

Penulis,

dr. Mei Sarah Pane

Universitas Sumatera Utara

Page 14: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS........................................................... iv

LEMBAR TESIS ...................................................................................................... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ...................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................................ vii

ABSTRACT ............................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH............................................. ix

DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii

DAFTAR TABEL..................................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xvi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvii

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... xviii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ----------------------------------------------------------------------------------- 1

1.2 Perumusan Masalah ---------------------------------------------------------------------------- 3

1.3 Tujuan Penelitian -------------------------------------------------------------------------------- 3

1.3.1 Tujuan Umum --------------------------------------------------------------------------- 3

1.3.2 Tujuan Khusus --------------------------------------------------------------------------- 3

1.4 Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------------------------------ 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Piopneumothoraks ------------------------------------------------------------------------------ 5

2.1.1 Definisi Piopneumothoraks ----------------------------------------------------------- 5

2.1.2 Klasifikasi Piopneumothoraks -------------------------------------------------------- 5

2.1.3 Etiologi Piopneumotoraks ------------------------------------------------------------- 8

2.1.4 Patogenesis Piopneumothoraks ------------------------------------------------------- 8

2.1.5 Epidemiologi Piopneumothoraks ---------------------------------------------------- 9

2.1.6 Diagnosis Piopneumothoraks ------------------------------------------------------- 10

Universitas Sumatera Utara

Page 15: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xiii

2.1.7 Penatalaksanaan Piopneumothoraks ----------------------------------------------- 14

2.1.8 Prognosis Piopneumothoraks ------------------------------------------------------- 14

2.2 Empiema ---------------------------------------------------------------------------------------- 15

2.2.1 Defenisi Empiema -------------------------------------------------------------------- 15

2.2.2 Patogenesis Empiema ----------------------------------------------------------------- 15

2.3 Bakteriologi ------------------------------------------------------------------------------------ 17

2.4 Terapi Antibiotik ------------------------------------------------------------------------------ 19

2.5 Uji Kepekaan Kuman ------------------------------------------------------------------------- 22

2.6 Kerangka Teori --------------------------------------------------------------------------------- 25

2.7 Hipotesis Penelitian ---------------------------------------------------------------------------- 26

2.8 Kerangka Konsep ------------------------------------------------------------------------------ 26

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian -------------------------------------------------------------------------------- 27

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian -------------------------------------------------------------- 27

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ------------------------------------------------------------ 27

3.3.1 Populasi ---------------------------------------------------------------------------------- 27

3.3.2 Sampel ----------------------------------------------------------------------------------- 27

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel -------------------------------- 28

3.4 Variabel Penelitian ---------------------------------------------------------------------------- 28

3.5 Pengumpulan Data ---------------------------------------------------------------------------- 28

3.5.1 Persiapan Pengumpulan Data -------------------------------------------------------- 28

3.5.2 Pengolahan Data ----------------------------------------------------------------------- 29

3.6 Defenisi Operasional ------------------------------------------------------------------------- 29

3.7 Kerangka Kerja Penelitian ------------------------------------------------------------------ 31

3.8 Jadwal Penelitian ------------------------------------------------------------------------------ 31

3.9 Perkiraan Biaya Penelitian ------------------------------------------------------------------ 32

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian --------------------------------------------------------------------------------- 33

4.1.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian -------------------------------------- 33

4.1.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian --------------------- 34

Universitas Sumatera Utara

Page 16: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xiv

4.1.3 Pola Kuman pada Penderita Piopneumotoraks ----------------------------------- 36

4.1.4 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pola Kuman ---------------------------- 39

4.1.5 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman ------------------- 40

4.2 Pembahasan ------------------------------------------------------------------------------------- 43

4.2.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian -------------------------------------- 43

4.2.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian --------------------- 46

4.2.3 Pola Kuman pada Pasien Piopneumotoraks--------------------------------------- 48

4.2.4 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman ------------------- 51

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------------------- 54

5.2 Saran --------------------------------------------------------------------------------------------- 54

DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------------------- 56

LAMPIRAN --------------------------------------------------------------------------------------- 59

Universitas Sumatera Utara

Page 17: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1 Pembagian Tingkatan Efusi Parapneumonia dan Empiema

dan Skema Terapi .................................................................. ......... ....... 16

2.2 Perbedaan Bakteriologis Sebagai Pedoman Terapi Antibiotik

Empiris .................................................................................. ................ 17

2.3 Regimen Pemberian Antibiotik pada Infeksi Pleura dengan

Kultur Negatif ........................................................................ ................ 22

3.1 Definisi Operasional .............................................................. ................ 29

3.2 Jadwal Penelitian ................................................................... ................ 31

4.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian ......................... ................ 33

4.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian .... ................ 35

4.3 Pola Kuman pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat

di RSUP HAM ....................................................................... ................ 37

4.4 Jenis Bakteri pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat

di RSUP HAM ....................................................................... ................ 37

4.5 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Jumlah Kuman ........ ................ 39

4.6 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pewarnaan Gram..... ................ 40

4.7 Persentase Sensitivitas Antibiotik pada Masing-Masing

Bakteri ................................................................................... ................ 40

Universitas Sumatera Utara

Page 18: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Foto Thoraks PA Laki-laki 18 Tahun dengan

Hidropneumothoraks Kanan Luas Disertai dengan

Bronkiektasis Kistik Bilateral Berat ...................................... ................ 11

2.2 Gambaran M Mode pada Pneumothoraks ............................. ................ 12

2.3 CT Scan Thoraks Menunjukkan Piopneumothoraks Kiri pada

Pasien dengan Pneumonia Bilateral dan ARDS .................... ................ 13

2.4 Kerangka Teori Penelitian ..................................................... ................ 25

2.5 Kerangka Konsep Penelitian ................................................. ................ 26

3.1 Kerangka Kerja Penelitian ..................................................... ................ 31

4.1 Diagram Batang Sensitivitas Antibiotik ................................ ................ 43

Universitas Sumatera Utara

Page 19: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ...................................................................... 59

Lampiran 2 Persetujuan Komite Etik (Ethical Clearance) .................................. 61

Lampiran 3 Data Sampel Penelitian .................................................................... 62

Lampiran 4 Hasil Analisis Data ........................................................................... 65

Universitas Sumatera Utara

Page 20: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

xviii

DAFTAR SINGKATAN

PSP = Pneumothoraks Spontan Primer

PSS = Pneumothoraks Spontan Sekunder

LAM = Lymphangioleiomyomatosis

WSD = Water Seal Drainage

PPOK = Penyakit Paru Obstruktif Kronik

ARDS = Acute Respiratory Distress Syndrome

PABA = Para Amino Benzoic Acid

PBP = Protein Pengikat Penisilin

RNA = Ribonucleic Acid

MIC = Minimal Inhibitory Concentration

LDH = Laktat Dehydrogenase

PMN = Polimorfonuklear

AIDS = Acquired Immunodeficiency Syndrome

RM = Rekam Medik

ICD-10 = International Classification of Disease and Related Health Problem 10

BTA = Basil Tahan Asam

DM = Diabetes Melitus

CHF = Congestif Heart Failure

MRSA = Methycillin Resistant Staphylococcus Aureus

MDRO = Multi Drugs Resistant Organism

GFM = Gas Forming Microorganism

BPF = Bronkopleural Fistula

Universitas Sumatera Utara

Page 21: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Piopneumotoraks didefenisikan sebagai kumpulan nanah dan udara dalam

rongga pleura. Piopneumotoraks ini sendiri dapat terlokalisasi (berkapsul) atau

melibatkan seluruh rongga pleura (Gupta et al., 2013). Biasanya piopneumotoraks

ini terjadi akibat timbulnya bronkopleural fistel spontan yang terjadi karena

pneumonia atau abses paru (Jagelavicius et al., 2015). Meskipun jarang,

pneumothoraks, empiema dan piopneumotoraks merupakan komplikasi dari TB

paru dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan. Biasanya,

komplikasi ini terjadi akibat rupturnya nodus parenkim atau kavitas kedalam

rongga pleura. Pada kebanyakan pasien TB paru, bronkopleural fistel dan atau

pleura kutaneus fistel merupakan manifestasi yang umum (Kartaloglu et al.,

2006)

Secara epidemiologi, insiden piopneumotoraks bervariasi di setiap negara,

seperti India, insidens piopneumotoraks umumnya terjadi pada kelompok usia

muda yang disebabkan oleh tuberkulosis. Menurut penelitian yang dilakukan Anil

Gupta dkk, dari 50 pasien, 19 pasien terdapat pada kelompok usia 21-30 tahun,

sedangkan 13 pasien berada dalam kelompok umur 11-20 tahun. Sedangkan

menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamat, dari 100 pasien, 29 kasus terdapat

pada usia dibawah 24 tahun dan 58 kasus berusia antara 25- 44 tahun (Gupta et

al., 2013).

Mengetahui jenis kuman penyebab piopneumotoraks dan memberikan

antibiotik yang tepat merupakan salah satu hal yang sangat membantu dalam

penatalaksanaan piopneumotoraks disamping drainase yang baik dari rongga

pleura. Untuk mengetahui jenis kuman tersebut dapat dilakukan dengan cara

pewarnaan langsung ataupun dengan mengkultur cairan piopneumotoraks

tersebut. Untuk mengetahui antibiotik yang tepat untuk kuman penyebab

piopneumotoraks tersebut, dilakukan pemeriksaan uji kepekaan kuman.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

2

Semua pemeriksaan ini memerlukan waktu yang cukup lama sementara

pemberian antibiotik tidak dapat ditunda menunggu hasil pemeriksaan tersebut.

Disinilah kita memerlukan pola kuman penyebab piopneumotoraks dan uji

kepekaan kuman terhadap antibiotik agar antibiotik yang kita berikan lebih tepat.

Disamping itu dari pola kuman tersebut dapat dibuat suatu hubungan antara

penyakit yang mendasari dan kuman yang didapat.

Pada penelitian prospektif yang dilakukan Setia Putra pada Januari 2007

sampai dengan Juni 2007 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan,

dijumpai hasil paling banyak etiologi empiema disebabkan pneumonia (50%)

kemudian diikuti TB paru (39,3%) dan tumor paru (7,1%). Bakteri aerob yang

paling banyak adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus haemolyticus dan

Streptococcus pneumoniae. Juga dijumpai bakteri anaerob Clostridium

perfringens dari kultur cairan pleura tersebut (Tarigan, 1997).

Pada penelitian yang dilakukan Anil Gupta dkk pada tahun 2010 sampai

dengan 2013 di Rumah Sakit Umum di Ahmedabad, dijumpai etiologi terbanyak

untuk piopneumotoraks adalah TB paru (92%), diikuti oleh pneumonia (6%) dan

amuba (2%). Sedangkan jenis mikroorganisme penyebab piopneumotoraks

tersering adalah pseudomonas (22%), diikuti oleh Staphylococcus Aureus (16%)

dan E Coli (12%). Sedangkan sebanyak 46 % hasil kultur tidak ditemukan jenis

mikroorganismenya (Gupta et al., 2013).

Dari paparan diatas terdapat perbedaan antara pola kuman

piopneumotoraks dengan empiema. Karena berbeda dengan empiema,

piopneumotoraks terjadi akibat adanya hubungan antara airway dengan rongga

pleura sehingga mikroorganisme dari saluran napas atas bisa masuk ke rongga

pleura. Hal ini menyebabkan pola kuman yang berbeda dengan empiema,

sehingga akan berbeda pula dalam hal pengobatannya. Hal inilah yang menjadi

latar belakang penulis untuk meneliti mengenai pola kuman dan uji kepekaan

kuman pada pasien piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

3

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka dapat dirumuskan

masalah yaitu bagaimana pola kuman dan uji kepekaan kuman pada pasien

piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pola kuman dan uji kepekaan kuman pada pasien

piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik demografis

pasien piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan

2. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik klinis dan

mikrobiologis pada pasien piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik

Medan

3. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan pola kuman pasien

piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan

4. Mengetahui hubungan antara karakteristik klinis pasien dengan pola

kuman pada pasien piopneumotoraks di RSUP H.Adam Malik Medan.

5. Mengetahui hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotik pada pasien

piopneumotoraks di RSUP H.Adam Malik Medan.

6. Mengetahui hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotik berdasarkan

jenis kuman pada pasien piopneumotoraks di RSUP H.Adam Malik

Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi peneliti, diharapkan dapat menambah wawasan penulis

dan sebagai pembelajaran mengenai pola kuman dan uji kepekaan

kuman pada pasien piopneumotoraks.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

4

2. Manfaat bagi institusi, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat

diketahui gambaran pola kuman pada pasien piopneumotoraks dan uji

kepekaan kuman terhadap antibiotik, di RSUP H. Adam Malik Medan

yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk pemberian antibiotika

secara empirik sebelum hasil pemeriksaan yang sessungguhnya

didapatkan.

3. Manfaat bagi penelitian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan

perbandingan untuk penelitian di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Piopneumotoraks

2.1.1 Definisi Piopneumotoraks

Piopneumotoraks didefenisikan sebagai kumpulan nanah dan udara dalam

rongga pleura. Piopneumotoraks ini sendiri dapat terlokalisasi (berkapsul) atau

melibatkan seluruh rongga pleura. Piopneumotoraks diakibatkan oleh infeksi,

yang mana infeksinya ini berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau

dari robekan septik jaringan paru atau esofagus kearah rongga pleura. Kebanyakan

jenis kuman yang sering terdapat adalah Mycobacterium tuberculosis,

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Escherichia coli (Gupta et

al., 2013; Light, 2013).

2.1.2 Klasifikasi Piopneumotoraks

Piopneumotoraks merupakan bagian dari pneumotoraks. Pneumotoraks

dapat dikelompokkan berdasarkan atas kejadian, luas kolaps paru, dan jenis fistel

yang terjadi.

Berdasarkan kejadiannya, pneumotoraks digolongkan ke dalam:

a. Pneumotoraks spontan,

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini

dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:

1. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara

tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas.

2. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan

didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya.

(Widirahardjo, 2017)

b. Pneumotoraks artifisial dan

c. Pneumotoraks traumatik

Yaitu terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun

bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

6

1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:

a) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/

komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasintesis dada,

biopsi pleura, biopsi transbronkhial, biopsi/ aspirasi paru perkutaneus,

kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik) (Widirahardjo,

2017).

b) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial

Yaitu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara

kedalam rongga melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya

untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik) atau untuk menilai

permukaan paru (Widirahardjo, 2017).

2. Pneumotoraks traumatik non iatrogenik

Yaitu terjadi karena luka lecet karena kecelakaan, misalnya luka lecet pada

dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotrauma (Widirahardjo,

2017).

Menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Pneumotoraks parsialis

Yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (<50%

volume paru).

b. Pneumotoraks totalis

Yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>50% volume

paru).

Menurut jenis fistelnya, Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan

kedalam tiga jenis, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 27: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

7

a. Pneumotoraks Tertutup (simple pneumotoraks)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di

dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah

menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi

tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,

meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi

gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif

(Widirahardjo, 2017) .

b. Pneumotoraks Terbuka (open pneumotoraks)

Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura

dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar, atau terdapat luka

terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan

tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.

Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh

gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada

waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi

mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum

bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)

(Widirahardjo, 2017).

c. Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks)

Yaitu pneumotoraks dengan tekana intrapleura yang positif dan makin

lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat

ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta

percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang

terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.

Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan

melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini

dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Widirahardjo,

2017).

Universitas Sumatera Utara

Page 28: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

8

2.1.3 Etiologi Piopneumotoraks

Pneumotoraks spontan primer (PSP), yang didefinisikan sebagai

pneumotoraks tanpa penyakit paru-paru yang mendasari, terutama terjadi pada

pria muda dan kurus. Hal ini biasanya disebabkan oleh rupturnya pleura blebs

atau bullae (Chen et al., 2008).

Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) biasanya terjadi dengan penyakit

paru yang mendasarinya, seperti PPOK sebanyak 70 persen dari kasus. Penyakit

paru lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya pneumothoraks adalah

tuberkulosis, pneumonia nekrotik, pneumocystis carini, kanker paru, sarkoma

yang mengenai paru, sarkoidosis, endometriosis, kistik fibrosis, asma persisten

berat, idiopathic pulmonary fibrosis, artritis rheumatoid, ankylosing spondilitis,

polymyositis dan dermatomyositis, sklerosis multipel, sindrom marfan dan

sindrom ehlers-danlos, histiositosis X dan lymphangioleiomyomatosis (LAM)

(Zarogoulidis et al., 2014).

2.1.4 Patogenesis Piopneumotoraks

Rongga pleura dalam keadaan normal tidak dijumpai udara. Bila ada

hubungan antara atmosfir dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara

akan masuk ke rongga pleura yang mengakibatkan terjadinya pneumotoraks.

Hubungan ini bisa akibat bocornya pleura visceralis atau robeknya dinding dada

yang menembus pleura parietal (Widirahardjo, 2017).

Patogenesis yang tepat dari Pneumotoraks Spontan Primer tidak diketahui.

Penyebab utamanya adalah terjadinya hubungan yang spontan antara ruang

alveolar dan pleura. Kebanyakan penulis percaya bahwa ruptur spontan dari bleb

subpleural, atau bulla, adalah penyebab Pneumotoraks Spontan Primer. Meskipun

mayoritas pasien Pneumotoraks Spontan Primer, termasuk anak-anak, adanya

blebs atau bullae saat ini (biasanya di bagian atas/ apeks paru-paru), tidak jelas

seberapa sering lesi ini sebenarnya menjadi tempat kebocoran udara. Hanya

sejumlah kecil blebs yang pecah pada saat thoracoscopy atau pembedahan,

sedangkan pada kasus yang tersisa lesi lain ada, sering disebut sebagai porositas

pleura, area sel mesothelial yang terganggu pada pleura viseral, digantikan oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 29: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

9

lapisan elastofibrotik inflamasi dengan porositas meningkat, memungkinkan

kebocoran udara ke ruang pleura. Fenomena terakhir dapat menjelaskan tingkat

kekambuhan yang tinggi hingga 20% dari bullektomy saja (tanpa pleurodesis

terkait) sebagai terapi. Perkembangan blebs, bullae dan daerah porositas pleura

dapat dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk radang saluran napas bagian

bawah, faktor keturunan, kelainan anatomi percabangan bronkus, fisiognomi

ektomorfik dengan tekanan intrapleural yang lebih negatif dan iskemia apikal

pada apeks, indeks massa tubuh rendah dan pembatasan kalori, dan jaringan ikat

abnormal (Noppen & Keukeleire, 2008).

Bronkopleural fistula (BPF) adalah saluran antara bronkus utama, lobus,

atau bronkus segmental dan ruang pleura. Bronkopleural fistula biasanya

ditemukan karena peningkatan risiko nekrosis iskemik atau kumpulan sekresi

yang mengarah ke pertumbuhan berlebih bakteri dan kolonisasi termasuk bakteri

tuberkulosis. Fistula bronkopleural menyebabkan piopneumotoraks sehingga,

pada saat drainase empiema, tidak hanya nanah tetapi juga udara keluar melalui

selang dada (Salik & Abramowitz, 2019).

2.1.5 Epidemiologi Piopneumotoraks

Pneumotoraks spontan primer tetap merupakan masalah kesehatan yang

signifikan, dengan angka kejadian sekitar 18-28 per 100.000 penduduk pada laki-

laki dan sekitar 1,2-6,0 per 100.000 penduduk pada wanita. Angka kejadian

pneumotoraks spontan sekunder sekitar 6,3 per 100.000 penduduk pada laki-laki

dan sekitar 2,0 per 100.000 penduduk pada wanita, dengan angka kejadian yang

bervariasi dari waktu ke waktu, misalnya selama Pneumocystis Carinii terkait

AIDS yang terjadi pada tahun 1980an dan 1990an. Angka kematian akibat

pneumothoraks spontan bisa tinggi, terutama pada subjek yang berusia tua dan

orang orang dengan pneumothoraks spontan sekunder. Jalannya pneumotoraks

spontan tetap tidak dapat diprediksi, dengan tingkat kekambuhan berkisar 25-54%

(Tschopp et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara

Page 30: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

10

2.1.6 Diagnosis Piopneumotoraks

Dari anamnesis dapat ditemui sulit bernapas yang timbul mendadak

dengan disertai nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu dan dapat

disertai batuk. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang

mendasari pneumotoraks, dan menyingkirkan adanya penyakit jantung. Gejalanya

bisa berupa nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba dan semakin nyeri jika

penderita menarik napas dalam atau terbatuk. Sesak napas, dada terasa sempit,

warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen (Widirahardjo, 2017).

Sesak napas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang

terkena dan gangguan pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami

kegagalan pernapasan akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya

pneumotoraks adalah asma atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada

umumnya tidak produktif, terutama pada pneumotoraks spontan idiopatik.

Keluhan lain yang dapat dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari

timbulnya pneumotoraks (Monaghan and Swan, 2008).

Penderita dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan

syok. Dapat ditemukan hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per menit, akral dingin,

serta pelebaran pembuluh darah vena leher dan dada. Tekanan dalam rongga

pleura yang tinggi dan pendorongan mediastinum beserta isinya ke arah sisi yang

sehat akan mengganggu aliran balik darah vena ke dalam jantung, sehingga curah

jantung menurun dan menyebabkan syok kardial. Perlu diingat bahwa syok juga

dapat disebabkan oleh perdarahan masif di dalam rongga pleura (Monaghan and

Swan, 2008).

Pada pemeriksaan fisik toraks ditemukan:

Inspeksi: dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi

dinding dada). Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya

tertinggal, trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat, deviasi trakea,

ruang intercostal melebar.

Palpasi: pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar,

iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat. Fremitus suara melemah

atau menghilang pada sisi yang sakit.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

11

Perkusi: suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak

menggetar, batas jantung terdorong kearah toraks yang sehat, apabila

tekanan intrapleural tinggi, pada tingkat yang berat terdapat gangguan

respirasi/ sianosis, gangguan vaskuler/ syok.

Auskultasi: pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai

menghilang, suara vocal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni

negatif (Widirahadjo, 2017).

Pemeriksaan penunjang :

1. Foto toraks

Radiografi toraks tetap merupakan pemeriksaan standar pada pasien

dengan dugaan pneumothoraks spontan primer dan dapat dikombinasikan dengan

foto toraks lateral dalam kasus yang sulit. Gambaran pleural line dan tidak

adanya gambaran corakan paru menunjukkan adanya pneumotoraks (Tschopp,

2015).

Gambar 2.1 Foto toraks PA laki-laki 18 tahun dengan hidropneumotoraks kanan

luas disertai dengan bronkiektasis kistik bilateral berat.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

12

2. USG Thoraks

Dalam dekade terakhir, usg paru merupakan teknik yang sensitif dalam

evaluasi penyakit pernapasan, dan telah digunakan rutin dalam mendiagnosis

pneumotoraks pada trauma dan pasien sakit kritis (Tschopp, 2014). Temuan

utama untuk mendiagnosis pneumotoraks adalah tidak adanya sliding sign. Jika

tidak dijumpai sliding sign, dilihat lung point, yang merupakan suatu tanda

spesifik pneumotoraks untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis. Lung point dapat

ditemukan di anterior ketika pneumotoraks kecil, dan di lateral jika

pneumotoraksnya besar. Evaluasi sliding sign harus dikonfirmasikan dengan

menggunakan m-mode. Pada pneumotoraks, pola granular parenkim paru hilang

dan garis horizontal linier terlihat di seluruh layar. Pola m-mode pneumotoraks

sering disebut stratosfer atau tanda barcode (Burguette, 2015).

Gambar 2.2 Gambaran M mode pada pneumotoraks

3. CT scan Thoraks

Frekuensi penggunaan CT scan thoraks meningkat pada pasien dengan

pneumotoraks. CT scan thoraks dperlukan untuk mendiagnosis pneumotoraks

pada pasien kritis ketika foto thoraks posisi tegak atau dekubitus tidak mungkin

dilakukan. CT scan juga dapat membantu dalam memprediksi tingkat

kekambuhan pada pasien (Burguette, 2015).

Universitas Sumatera Utara

Page 33: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

13

Gambar 2.3 CT Scan thoraks menunjukkan piopneumotoraks kiri pada pasien

dengan pneumonia bilateral dan ARDS.

4. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemia

meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan (Widirahardjo, 2017).

5. Punksi Pleura

Punksi pleura adalah tindakan memasukkan jarum untuk mengeluarkan

cairan dari rongga pleura. Adapun tujuan dari tindakan punksi pleura adalah untuk

membuktikan ada tidaknya cairan di rongga pleura, mengambil bahan

pemeriksaan (mikrobiologi dan sitologi) untuk efusi pleura dan

hidropneumotoraks yang belum diketahui penyebabnya serta untuk mengeluarkan

cairan/ udara untuk mengurangi keluhan sesak.

Prosedur tindakan punksi pleura adalah sebagai berikut:

1. Pasien dipersiapkan dengan posisi duduk atau setengah duduk, sisi yang

sakit menghadap dokter yang akan melakukan punksi.

2. Beri tanda daerah yang akan dipunksi berdasarkan pemeriksaan fisik (daerah

yang paling redup pada perkusi dan vesikuler mlemah pada auskultasi) dan

bantuan foto toraks/ USG. Tempat insersi jarum adalah satu interkosta

dibawah batas redup, pada ruang interkosta di tepi atas kosta sesuai lokasi

cairan, pada linea aksilaris anterior/ linea midaksilaris/ aksilaris posterior.

Hindari tepi bawah kosta karena didaerah tersebut terdapat arteri, vena, dan

saraf.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

14

3. Gunakan sarung tangan steril. Desinfeksi daerah yang telah diberi tanda

dengan cara memutar kasa yang telah diberi betadin, kemudian diulangi

dengan alkohol 70% dari titik pusat tanda, memutar dan melebar ke arah luar,

pasang duk steril dengan lubang pada tempat yang akan diaspirasi.

4. Anestesi daerah yang telah ditandai dengan lidokain 2% dimulai dari

subkutis, lalu tegak lurus ke arah pleura (lakukan tepat didaerah sela iga),

keluarkan lidokain perlahan hingga terasa jarum menembus pleura. Pastikan

tidak ada perdarahan.

5. Jika jarum telah menembus ke rongga pleura, kemudian dilakukan aspirasi

beberapa cairan pleura.

6. Bila jumlah cairan yang dibutuhkan untuk diagnostik telah cukup, tarik jarum

dengan cepat dengan arah tegak lurus pada saat ekspirasi dan bekas luka

tusukan segera ditutup dengan kasa betadin, tetapi jika bertujuan terapeutik

maka pada lokasi yang sama dapat segera dilakukan pengeluaran cairan/

udara (Mohammad, 2017).

2.1.7 Penatalaksanaan Piopneumotoraks

Setelah diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk

menyelamatkan nyawa penderita. Pemasangan selang dada disertai pemberian

antibiotik yang adekuat harus segera dilakukan untuk mengeluarkan udara dan

cairan dalam rongga pleura. Di India piopneumotoraks yang terjadi dengan

didasari riwayat penyakit paru sebelumnya diobati dengan beberapa obat

antimikroba dan pemasangan selang dada atau lewat operasi (Gupta et al., 2013).

2.1.8 Prognosis Piopneumotoraks

Prognosis pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan dan

kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua penderita dapat

diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini. Sekitar separuh kasus

pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan

komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang berhasil (Dural et

al., 2010).

Universitas Sumatera Utara

Page 35: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

15

2.2 Empiema

2.2.1 Definisi Empiema

Empiema dapat didefenisikan sebagai pus atau nanah di rongga pleura.

Weese mendefinisikan empiema sebagai cairan dengan karakteristik berat jenis

>1,018, jumlah leukosit > 500/mm3

atau kadar protein > 2,5 gr/dl. Vianna

mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri positif atau

jumlah leukosit > 1500/mm3

dengan kadar protein > 3 gr/dl (Light, 2013).

2.2.2 Patogenesis Empiema

Perkembangan empiema yang berhubungan dengan pneumonia adalah

proses yang progresif dan diklasifikasi dibagi menjadi 3 tahap yaitu:

1. Tahap 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi

pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan

peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun

masih sedikit. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan

jumlah sel darah putih yang rendah dan enzim laktat dehydrogenase

(LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal. Pemberian

antibiotik yang sesuai akan mempercepat perbaikan sehingga

pemasangan selang dada tidak perlu dilakukan.

2. Tahap 2 disebut juga dengan tahap fibropurulen yang ditandai dengan

inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan

kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear,

bakteri, debris selular. pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah

sedangkan LDH meningkat. Akumulasi protein dan fibrin disertai

pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi

dalam ruang pleura. Pada tahap ini penanganan tidak cukup hanya

dengan antibiotik tetapi memerlukan tindakan lain seperti torakostomi

dan pemasangan selang dada

3. Tahap 3 disebut juga tahap organisasi. Bila penanganan kurang baik,

penyakit akan berlanjut memasuki tahap akhir yaitu tahap organization.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

16

Pada tahap ini fibroblast akan berkembang ke eksudat dari permukaan

pleura visceralis dan parietalis membentuk membran yang tidak elastis

yang dinamakan pleural peel. Pleural peel akan menyelubungi paru dan

menghalangi paru untuk mengembang. Pada tahap ini eksudat sangat

kental dan bila penanganan tetap tidak baik, penyakit dapat berlanjut

menjadi empiema nesesitas akibat cairan pleura mengalir sendiri menuju

ke dinding toraks atau sebaliknya terjadi bronkopleural fistel akibat

cairan pleura mengalir menuju paru sehingga menimbulkan

piopneumotoraks. Secara lebih rinci, Light membagi cairan efusi

parapneumonik dan empiema ini menjadi 7 tingkatan berdasarkan

radiologis, analisa cairan, pewarnaan gram maupun kultur cairan (Light,

2013).

Tabel 2.1 Pembagian tingkatan efusi parapneumonia dan empiema dan skema

terapi (Light RW, 2013)

Kelas 1

Nonsignificant pleural effusion

Kecil, < 10 mm pada foto toraks posisi

dekubitus

Tidak diperlukan torakosintesis

Kelas 2

Typical parapneumonic pleural

effusion

10 mm. Glukosa >40 mg/dl, pH >7,2.

LDH < 3x batas atas normal. Pewarnaan

gram dan kultur negatif

Antibiotik saja

Kelas 3

Borderline complicated pleural

effusion

7< pH <7,2, dan/ atau LDH >3x batas

atas normal, glukosa > 40 mg/dl,

pewarnaan gram dan kultur negatif

Antibiotik dan torakosintesis berulang

Kelas 4

Simple complicated pleural

effusion

pH<7 dan/ atau glukosa <40mg/ dl atau

pewarnaan gram positif atau kultur

positif, tidak loculated, tidak pus

Tube thoracostomy ditambah antibiotik

Universitas Sumatera Utara

Page 37: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

17

Tabel 2.1 Pembagian tingkatan efusi parapneumonia dan empiema dan skema

terapi (Light RW, 2013) (lanjutan)

Kelas 5

Complex complicated pleural

effusion

pH,7 dan/ atau glukosa <40mg/dl atau

pewarnaan gram positif atau kultur

positif, multiloculated

Tube toracostomy ditambah fibrinolitik

Kelas 6

Simple empyema

Pus/ nanah, cairan bebas bergerak

Tube toracostomy, bisa dilakukan

dekortikasi

Kelas 7

Complex empyema

Pus/ nanah, multiloculated

Tube toracostomy, bisa ditambah

fibrinolitik. Sering diperlukan tindakan

bronkoskopi dan dekortikasi.

2.3 Bakteriologi

Isolasi patogen berbeda antara pasien dengan infeksi pleura komunitas

atau didapat di rumah sakit dan etiologi iatrogenik, contohnya setelah

pembedahan toraks.

Tabel 2.2 Perbedaan bakteriologis menolong sebagai pedoman terapi antibiotik

empiris (Davies, 2010)

Organisme

Pneumonia komuniti Streptococcus spp (52%)

S milleri

S pneumonia

S intermedius

Staphylococcus aureus (11%)

Bakteri aerob gram negatif (9%)

Enterobacteriaceae

Escherichia coli

Universitas Sumatera Utara

Page 38: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

18

Tabel 2.2 Perbedaan bakteriologis menolong sebagai pedoman terapi antibiotik

empiris (Davies, 2010) (lanjutan)

Pneumonia komuniti Anaerobes (20%)

Fusobacterium spp

Bacteroides spp

Peptostreptococcus spp

Mixed

Pneumonia nosocomial Staphylococcus

Meticillin resisten S aureus/MRSA

(25%)

S aureus (10%)

Bakteri aerob gram negatif (17%)

E coli

Pseudomonas aeruginosa

Klebsiella spp

Hasil kultur cairan empiema dari 33 pasien di Rumah Sakit Dr. Moewardi

pada tahun 2009 sampai dengan 2011 didapatkan 7 jenis kuman dengan urutan

terbanyak berturut-turut adalah Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter

cloacae (6,1%), Klebsiella pneumonia (3%), Acinetobacter spp (3%), Escherichia

coli (3%), Salmonella spp (3%) dan Serratia Marcessens (3%) (Surjanto, 2013).

Banyaknya bakteri anaerob yang didapat dari kultur sangat tergantung

pada cara mengkultur bakteri tersebut yang sangat berbeda dengan cara

mengkultur bakteri aerob. Cara pengambilan dan transport spesimen juga harus

dilakukan dengan benar bebas oksigen disamping media yang digunakan juga

berbeda dengan yang biasa dipakai untuk bakteri aerob. Cara pengambilan dan

transport spesimen juga harus dilakukan dengan benar bebas oksigen disamping

media yang digunakan juga berbeda dengan yang biasa dipakai untuk bakteri

aerob. Perlu juga dilihat populasi pasien yang diteliti. Pada populasi dengan

banyaknya pasien usia tua, aspirasi sering terjadi dan menjadi penyebab dari

pneumonia.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

19

Bakteri yang paling banyak dijumpai pada aspirasi adalah bakteri anaerob karena

bakteri anaerob banyak terdapat di rongga mulut. Pada pasien usia muda biasanya

banyak dijumpai Streptococcus pneumoniae dan pada anak umumnya dijumpai

Haemophylus Influenzae (Light, 2013).

2.4 Terapi Antibiotik

Antibiotik yang pertama kali ditemukan yaitu quinine untuk malaria dan

emetine untuk amubiasis yang ditemukan pada abad ke-17. Kemudian pada tahun

1929 ditemukan Penicilin, tahun 1935 ditemukan Sulfonamides, kemudian diikuti

penemuan Streptomycin, Tetracycline, Chloramphenicol, dan banyak lagi

antibiotik yang baru. Mekanisme kerja antibiotik dibagi kepada 4 jenis, yaitu:

1. Menginhibisi sintesis dinding sel. Yang termasuk jenis ini yaitu

Bacitracin, Cephalosporins, Cycloserine, Penicillins, Ristocetin,

Vancomycin.

2. Menginhibisi fungsi membrane sel. Yang termasuk jenis ini yaitu:

Amphotericin B, Colistin, Nystatin, Polymixyns.

3. Menginhibisi sintesis protein. Yang termasuk jenis ini yaitu:

Chloramphenicol, Erythromycins, Lincomycins, Tetracyclins, golongan

aminoglycosides seperti Amikasin, Gentamicin, Kanamycin, Neomycins,

Streptomycins, Tobramycins.

4. Menginhibisi sintesis dari asam nukleat. Yang termasuk jenis ini yaitu:

Nalidic acid, Novobiocin, Pyrimethamine, Sulfonamides, Trimethoprim,

Rifampisin (Jawetz, 2014).

Resistensi terhadap antimikroba/ antibiotik dapat terjadi melalui 5 mekanisme:

1. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat aktif. Contoh

Stafilokok yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan suatu

lactamase β yang merusak obat. Lactamase β lain dihasilkan oleh batang

gram-negatif. Bakteri gram negatif yang resisten terhadap aminoglikosida

(berkat plasmid tertentu) menghasilkan enzim pengadenilisasi,

pemfosforilasi, atau pengasetilisasi yang menghancurkan obat.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

20

2. Mikroorganisme mengubah permeabilitas mereka terhadap obat. Contoh:

Tetrasiklin terkumpul dalam bakteri yang sensitif, tetapi tidak dalam

bakteri yang resisten. Resistensi terhadap polimiksin juga disebabkan oleh

perubahan dalam permeabilitas obat. Streptococcus memiliki sawar

permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. Adanya sawar alami tersebut

dapat diatasi secara parsial dengan menambahkan obat yang aktif terhadap

dinding sel secara bersamaan, misalnya suatu penisilin. Reistensi terhadap

amikasin dan terhadap beberapa aminoglikosida lain mungkin disebabkan

oleh tidak permeabelnya membrane bakteri terhadap obat, tampaknya

akibat suatu perubahan pada membrane luar yang mengganggu

transportasi aktif ke dalam sel.

3. Mikroorganisme membentuk suatu target struktural yang telah

dimodifikasi untuk obat. Contoh : Organisme resisten eritromisin memiliki

suatu reseptor yang termodifikasi pada subunit 50S ribosom, sebagai hasil

dari metilasi RNA ribosomal 23S. Resistensi terhadap sebagian penisilin

dan sefalosporin mungkin merupakan akibat hilangnya atau

termodifikasinys PBP. Resistensi penisilin pada Streptococcus pneumonia

dan enterokok disebabkan oleh modifikasi PBP.

4. Mikroorganisme mengembangkan suatu jalur metabolik termodifikasi

yang memintas reaksi yang dihambat oleh obat. Contohnya : beberapa

bakteri resisten sulfonamide tidak memerlukan PABA ekstrasel, tetapi

seperti sel mamalia, dapat menggunakan asam folat yang telah jadi.

5. Mikroorganisme membentuk suatu enzim termodifikasi yang masih dapat

melakukan fungsi metaboliknya, tetapi jauh lebih tidak dipengaruhi oleh

obat. Contohnya : pada bakteri resisten trimethoprim, dihydrofolic acid

reductase dihambat secara jauh lebih tidak efisien dibandingkan pada

bakteri yang sensitif terhadap trimethoprim.

Resistensi mikroorganisme ini terhadap antibiotik bisa didapat secara

genetik atau non genetik (Jawetz, 2014). Antibiotik harus diberikan kepada semua

pasien dengan infeksi pleura dan jika mungkin harus didasarkan pada kultur

cairan pleura dan uji sensitivitas.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

21

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pilihan antibiotik adalah kemampuan

dari antibiotik menembus rongga pleura dan adanya gangguan ginjal dan hati

(Ahmed, 2010).

Pemilihan antibiotik yang tepat baru bisa dilakukan setelah hasil

pemeriksaan tes kepekaan didapatkan. Sebelum hasil itu didapat, pedoman untuk

memberikan antibiotik yang tepat bisa didasarkan penyebab dari empiema

tersebut. Bila empiema disebabkan oleh pneumonia komuniti yang kuman

penyebabnya biasanya bakteri gram positif, dianjurkan pemberian antibiotik jenis

fluoroquinolone saja seperti levofloxacin, sparfloxacin, atau greparfloxacin. Bila

keadaan lebih berat dapat dikombinasi dengan cefotaxime atau ceftriaxone atau

dengan betalaktam dan betalaktam inhibitor seperti ampicillin/ sulbactam.

Ticarcillin/ clavulanate, piperacillin/ tazobactam. Pilihan lain dapat diberikan

betalaktam dan betalaktam inhibitor saja atau bila keadaan lebih berat dapat

dikombinasi dengan macrolide seperti erythromycin, azithromycin, atau

clarithromycin selain dengan fluoroquinolone. Bila diduga kuman penyebabnya

adalah bakteri anaerob, dianjurkan pemberian fluoroquinolone kombinasi dengan

clindamycin atau metronidazole atau betalaktam dan betalaktamase inhibitor

(Light, 2013).

Bila empiema disebabkan pneumonia nosokomial yang didapat di rumah

sakit, kuman penyebabnya biasanya enterik gram negatif seperti Pseudomonas

Aeruginosa atau oleh bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus (Light,

2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 42: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

22

Tabel 2.3 Regimen pemberian antibiotik pada infeksi pleura dengan

kultur negatif (Davies, 2003)

Sumber

Infeksi

Pengobatan antibiotik intravena Pengobatan antibiotik oral

komuniti Cefuroxime 1,5 gr, 3x/hari, iv

+ Metronidazole 400mg,

3x/hari oral atau 500 mg,3x/

hari iv

Benzyl penicillin 1,2 gr,

4x/hari, iv + Ciprofloxacin

400mg, 2x/hari, iv

Meropenem 1 gr, 3x/hari, iv

+ Metronoidazole 400 mg,

3x/hari, oral atau 500 mg,

3x/hari, iv

Amoxycillin 1 gr, 3x/hari +

Clavulanic acid 125 mg, 3x/

hari

Amoxycillin 1 gr, 3x/hari +

Metronidazole 400 mg,

3x/hari

Clindamycin 300 mg,

4x/hari

Rumah sakit Piperacillin + Tazobactam 4,5

gr, 4x/hari, iv

Ceftazidime 2 gr, 3x/hari, iv

Meropenem 1 gr, 3x/hari, iv +

Metronidazole 400 mg,

3x/hari, oral atau 500 mg,

3x/hari, iv

Tidak tersedia

2.5 Uji Kepekaan Kuman

Pada prinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan

terhadap bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi

terhadap suatu antimikroba atau kemampuan suatu antimikroba untuk

menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih

sebagai antimikroba yang berpotensi untuk pengobatan (Jawetz, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Page 43: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

23

Uji kepekaan antimikroba (antimikrobial susceptibility testing) dilakukan

pada isolat mikroba yang didapatkan dari spesimen pasien untuk mendapatkan

agen antimikroba yang tepat untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan

oleh mikroba tersebut (Endriani, 2007).

Terdapat beberapa prinsip dasar pemeriksaan uji kepekaan terhadap

antimikroba, antara lain:

1. Merupakan metode yang langsung mengukur aktivitas satu atau lebih

antimikroba terhadap inokulum bakteri.

2. Merupakan metode yang secara langsung mendeteksi keberadaan mekanisme

resistensi spesifik pada inokulum bakteri.

3. Merupakan metode khusus untuk mengukur interaksi antara mikroba dan

antimikroba (Ani, 2015).

Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat diukur

menggunakan metode yang biasa dilakukan yaitu:

1. Metode dilusi

Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan, yaitu teknik dilusi

perbenihan cair dan teknik dilusi agar yang bertujuan untuk penentuan

aktivitas antimikroba secara kuantitaf, antimikroba dilarutkan kedalam media

agar atau kaldu, yang kemudian ditanami bakteri yang akan dites. Setelah

diinkubasi semalam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri disebut dengan MIC (Minimal Inhibitory

Concentration). Nilai MIC dapat pula dibandingkan dengan konsentrasi obat

yang didapat di serum dan cairan tubuh lainnya untuk mendapatkan perkiraan

respon klinik (Jawetz, 2014).

2. Metode difusi

Cakram kertas, yang telah dibubuhkan sejumlah tertentu antimikroba,

ditempatkan pada media yang telah ditanami organisme yang akan diuji

secara merata. Tingginya konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh difusi

dari cakram dan pertumbuhan organisme uji dihambat penyebarannya

sepanjang difusi antimikroba (terbentuk zona jernih disekitar cakram),

sehingga bakteri tersebut merupakan bakteri sensitif terhadap antimikroba.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

24

Ada hubungan persamaan yang hampir linear (berbanding lurus) antara log

MIC, seperti yang diukur oleh metode dilusi dan diameter zona daya hambat

pada metode difusi (Koneman, 2006).

Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme diklasifikasikan ke dalam dua

atau lebih kategori. Sistem yang sederhana menentukan dua kategori, yaitu

sensitif dan resisten. Meskipun klasifikasi tersebut memberikan banyak

keuntungan untuk kepentingan statistik dan epidemiologi, bagi klinisi merupakan

ukuran yang terlalu kasar untuk digunakan. Dengan demikian hasil dengan tiga

klasifikasi yang biasa digunakan (sensitif, intermediet, dan resisten) seperti pada

metode Kirby-Bauer (Jawetz, 2014).

Ukuran zona jernih tergantung kepada kecepatan difusi antimikroba,

derajat sensitifitas mikroorganisme, dan kecepatan pertumbuhan bakteri. Zona

hambat cakram antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan MIC.

Semakin luas zona hambat, maka semakin kecil konsentrasi daya hambat

minimum MIC. Untuk derajat kategori bakteri dibandingkan terhadap diameter

zona hambat yang berbeda-beda setiap antimikroba, sehingga dapat ditentukan

kategori resisten, intermediate atau sensitif terhadap antimikroba uji (Koneman,

2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 45: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

25

2.6 Kerangka Teori

Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian

Bronkopleural fistel

Masuknya bakteri ke rongga pleura

(Menghasilkan gas di rongga pleura)

Akumulasi cairan di rongga pleura

Paru kolaps

Piopneumotoraks

Analisa c pleura Sitologi c pleura Mikrobiologi c pleura

Destruksi pleura visceral

Infeksi di Parenkim Paru

Universitas Sumatera Utara

Page 46: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

26

2.7 Hipotesis Penelitian

Pola kuman dan uji kepekaan kuman pada piopneumotoraks dapat

digunakan sebagai alat bantu diagnostik dan terapeutik pada piopneumotoraks.

2.8 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini:

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Pola kuman pada pasien

piopneumotoraks

Piopneumotoraks Uji kepekaan kuman pada

pasien piopneumotoraks

Universitas Sumatera Utara

Page 47: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

27

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospektif jenis Deskriptif

observasional dengan desain cross sectional.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran

Respirasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dengan mengambil data dari

rekam medik mulai tahun 2016 sampai dengan Desember 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita piopneumotoraks,

sedangkan yang menjadi populasi terjangkau adalah seluruh penderita

piopneumotoraks yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi, tetapi

tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Jumlah sampel yang digunakan dalam

penelitian ini sebanyak 102 orang.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Kriteria Inklusi

1. Penderita piopneumotoraks yang ditemukan pus pada cairan pleuranya saat

torakosentesis atau penderita piopneumotoraks dimana leukosit cairan

pleuranya ≥ 1500.

2. Penderita piopneumotoraks yang telah diketahui penyakit yang

mendasarinya (underlying disease).

3. Berusia lebih atau sama dengan 18 tahun.

b.Kriteria Eksklusi

1. Tidak ada kriteria eksklusi pada penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

28

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling,

dimana semua populasi yang didapat dan memenuhi kriteria pemilihan

dimasukkan dalam penelitian sejak 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember

2018.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel yang akan dinilai pada penelitian ini adalah:

a. Variabel bebas (independen)

Jenis kuman

b. Variabel terikat (dependen)

Piopneumotoraks

3.5 Pengumpulan Data

3.5.1 Persiapan Pengumpulan Data

1. Data nomor rekam medik (RM) dan nama pasien didapat dengan

menggunakan International Classification of Disease and Related

Health Problem 10 (ICD-10).

2. Berdasarkan data tersebut kemudian didapatkan rekam medik pasien

yang dirawat inap (102 pasien)

3. Data kemudian disalin di lembar pengumpulan data. Data yang

dikumpulkan berupa:

Data demografi meliputi no.RM, nama, jenis kelamin, umur,

tingkat pendidikan, pekerjaan

Data terkait penyakit meliputi pola kuman, uji kepekaan kuman,

riwayat merokok, komorbid, warna cairan pleura, Direct Smear

BTA sputum dan penyakit yang mendasari.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

29

3.5.2 Pengolahan Data

Seluruh data yang diperoleh, dikumpulkan, dan diedit menggunakan

program excel 2007, diberi kode untuk mempermudah pengelompokan data dan

membaca hasil. Disajikan sebagai mean, dan simpangan baku memakai perangkat

lunak statistik. Dilakukan analisa deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi

berdasarkan gambaran karakteristik penderita, warna cairan pleura, riwayat

merokok, komorbid, kultur sputum bakteri, uji kepekaan kuman, penyebab

piopneumotoraks.

3.6 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1 Pola kuman Gambaran dari

kuman yang paling

sering muncul

pewarnaan cairan

pleura, kultur cairan

piopneumotoraks

Bakteri aerob,

bakteri anaerob

Nominal

2 Uji

Kepekaan

kuman

Uji yang dilakukan

untuk mengetahui

kuman yang masih

peka terhadap

suatu antibiotik

Metode VITEC 2

sesuai dengan clinical

and laboratory

Institute 2018

A. Sensitif

B. Intermediate

C. Resisten

Nominal

3 Piopneumo-

thoraks

Pasien yang

menderita

piopneumotoraks

Pasien

piopneumotoraks yang

telah diketahui

penyakit yang

mendasarinya

(underlying disease)

Piopneumoto

raks yang

disebabkan oleh

bakteri

Piopneumotoraks

yang disebabkan

tuberculosis

Nominal

4 Usia Usia atau umur

penderita

piopneumotoraks

Usia pasien penderita

piopneumotoraks

(dinyatakan dalam

tahun) didapat dari

data rekam medik

< 25 tahun

25-34 tahun

35-44 tahun

45-54 tahun

55-64 tahun

≥65 tahun

Ordinal

Universitas Sumatera Utara

Page 50: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

30

Tabel 3.1 Definisi Operasional (lanjutan)

No Variabel Definisi Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

5 Jenis

Kelamin

Jenis kelamin

penderita

piopneumotoraks

Jenis kelamin

penderita

piopneumotoraks

(perempuan-laki laki)

didapat dari data

rekam medik

Perempuan

Laki-laki

Ordinal

6 Warna

cairan pleura

Warna cairan

pleura pada

piopneumotoraks

Warna cairan pleura

didapati dari rekam

medik

Serous

Serous-hemoragis

Purulen

Hemoragis

Nominal

7 Tingkat

pendidikan

Pendidikan

penderita

piopneumotoraks

Pendidikan

piopneumotoraks

didapati dari rekam

medik

Tidak sekolah

Sd

Smp

Sma

S1 dan sederajat

Ordinal

8 Pekerjaan Pekerjaan

penderita

piopneumotoraks

Pekerjaan penderita

piopneumotoraks

didapati dari rekam

medik

Tidak bekerja

PNS, BUMN

Wiraswasta, Petani

Lain-lain

Nominal

9 Penyakit

yang

mendasari

Penyakit yang

mendasari

piopneumotoraks

Penyakit yang

mendasari

piopneumotoraks

didapati dari rekam

medic

TB

Pneumonia

Kanker Paru

Nominal

10 Direct

Smear BTA

Merupakan

pemeriksaan

kuman

mycobacterium

tuberkulosis

secara langsung

menggunakan

metode direct

smear

Direct smear BTA

didapati dari rekam

medic

Positif

Negatif

Nominal

11 Komorbid Penyakit

penyerta yang

dapat

mempengaruhi

kondisi pasien

komorbid didapat dari

data rekam medik

DM tipe 2

Hipertensi

CHF

Tidak ada

komorbid

Nominal

12 Riwayat

merokok

Riwayat merokok

pada pasien

Riwayat merokok

didapat dari data

rekam medic

Positif

Negatif

Nominal

Universitas Sumatera Utara

Page 51: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

31

3.7 Kerangka Kerja Penelitian

Medical Record Pasien Piopneumotoraks

Data demografi pasien Data klinis pasien Data Lab

mikrobiologi

Pola kuman Uji kepekaan kuman

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian

3.8 Jadwal Penelitian

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian

Januari Februari Maret

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pembuatan proposal √

Ujian proposal √

Ethical clearance √ √

Sampling √ √

Mengumpulkan data √ √ √ √ √

Pengolahan data √

Analisis data √

Penyusunan laporan

hasil

Penyusunan artikel √

Universitas Sumatera Utara

Page 52: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

32

3.9 Perkiraan Biaya Penelitian

Adapun biaya yang dikeluarkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Konsultasi Penelitian Magister dan Profesi Rp. 2.000.000,-

2. Pengumpulan kepustakaan Rp. 1.000.000

3. Penyusunan dan penggandaan proposal Rp. 1.000.000,-

4. Biaya penyusunan dan penggandaan laporan Rp. 1.000.000,-

Total biaya Rp. 5.000.000,-

Universitas Sumatera Utara

Page 53: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

33

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pola kuman

dan hasil uji sensitivitas antibiotik pada penderita piopneumotoraks di RSUP Haji

Malik Medan. Sebanyak 102 pasien yang dirawat dengan diagnosis

piopneumotoraks dilakukan telaah rekam medis dan kemudian dimasukkan

sebagai subjek penelitian. Adapaun karakteristik demografis dari subjek penelitian

ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Karakteristik demografis subjek penelitian

Karakteristi Demografis n %

Jenis Kelamin Laki laki 80 78.4

Perempuan 22 21.6

Usia

< 30 tahun 13 12.7

30-39 tahun 21 20.6

40-49 tahun 29 28.4

50-59 tahun 25 24.5

≥ 60 tahun 14 13.7

Pendidikan

SD 16 15.7

SMP 20 19.6

SMA 62 60.8

D3/S1 4 3.9

Pekerjaan

Petani 49 48.0

Wiraswasta / Pegawai 10 9.8

Ibu rumah tangga 13 12.7

PNS 17 16.7

Supir 11 10.8

Lain lain 2 2.0

Kebiasaan

Merokok

Ya 82 80.4

Tidak 20 19.6

Komorbid

DM 32 31.4

CHF

Hipertensi

13

12

12.7

11.74

Tanpa komorbid 45 44.11

Jumlah 102 100.0

Universitas Sumatera Utara

Page 54: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

34

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa mayoritas (78%) penderita

piopneumotoraks yang menjadi subjek penelitian ini berjenis kelamin laki laki.

Hal ini dapat menjadi masalah tersendiri karena pasien dengan diagnosis

piopneumotoraks umumnya membutuhkan masa rawatan yang cukup lama dan

dengan demikian akan menurunkan produktivitas pasien dalam mencari

penghasilan. Belum lagi jika dilihat dari distribusi usia, pasien penderita

piopneumotoraks umumnya berada dalam rentang usia di bawah 50 tahun (lebih

dari 60%), yang mana ini berarti bahwa kebanyakan pasien piopneumotoraks

yang dirawat masih berada dalam rentang usia produktif. Hampir setengah subjek

penelitian (48%) bekerja sebagai petani. Tentunya profesi sebagai petani

membutuhkan kebugaran fisik yang optimal, sehingga penyakit piopneumotoraks

akan sangat menurunkan produktivitas pasien dalam pekerjaan sehari-hari.

Berdasarkan kebiasaan merokok, didapati bahwa lebih dari 80% penderita

piopneumotoraks merupakan perokok. Rokok sendiri telah banyak diketahui

berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit paru, tidak hanya kasus infeksi

tetapi juga berbagai kasus malignansi. Adapun berdasarkan distribusi komorbid,

diketahui bahwa sebanyak 31.4% pasien memiliki komorbid penyakit penyerta

berupa diabetes melitus tipe 2.

4.1.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian

Seluruh pasien yang menjadi sampel penelitian ini dilakukan pemeriksaan

kultur cairan pleura yang dilanjutkan dengan uji kepekaan antibiotik. Selain itu

dilakukan juga pemeriksaan hapusan langsung (direct smear) BTA dari spesimen

sputum.

Hasil pemeriksaan kultur cairan pleura menunjukkan dijumpai

pertumbuhan kuman pada sebanyak 86.3% pasien, sedangkan 13.7% sisanya

menunjukkan tidak terdapat pertumbuhan kuman. Ternyata pola kuman yang

dijumpai pada cairan pleura penderita tidak selamanya hanya berjumlah satu

kuman saja. Pada sebagian kecil pasien (10.8%) pasien didapati pertumbuhan

kuman lebih dari 1 jenis (ko-infeksi).

Universitas Sumatera Utara

Page 55: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

35

Adapun berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan langsung BTA, dijumpai

15.7% pasien menunjukkan BTA positif dan mengkonfirmasi diagnosis

tuberkulosis secara mikrobiologis. Pada 21.6% kasus, tidak dilakukan

pemeriksaan BTA sputum karena memang secara klinis tidak menunjukkan

manifestasi klinis yang mengarah ke infeksi tuberkulosis dan sampel sputum yang

tidak dapat diperiksakan karena tidak dijumpai batuk berdahak pada keluhan

pasien.

Adapun karakteristik klinis dan mikrobiologis pasien dapat dilihat pada

Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian

Karakteristik Mikrobiologis n %

Kultur cairan pleura Positif 88 86.3

Negatif 14 13.7

Jumlah kuman

Tunggal 77 75.5

Multipel 11 10.8

Tidak ada pertumbuhan 14 13.7

Warna

Serous 13 12.7

Serous Keruh 60 58.8

Serous hemorrhagic 14 13.7

Purulen 15 14.7

Penyakit Mendasari

Tuberkulosis 89 87.3

Pneumonia 2 2.0

Tumor Paru 11 10.8

BTA smear

Positif 16 15.7

Negatif 64 62.7

Tidak diperiksa 22 21.6

Jumlah 102 100.0

Universitas Sumatera Utara

Page 56: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

36

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa pada 13.7% kasus piopneumotoraks,

tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. Banyak hal yang dapat mempengaruhi

terjadinya hal yang ini. Faktor yang paling utama adalah riwayat pemberian

antibiotik sebelumnya. Idealnya, pemeriksaan kultur cairan pleura haruslah

dilakukan sebelum pasien mendapatan antibiotik. Akan tetapi, untuk efektivitas

pengobatan, terkadang pasien sudah mendapatkan antibiotik empiris terlebih

dahulu sebelum dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur.

Akibatnya, kuman-kuman yang sensitif dengan antibiotik empiris yang diberikan

akan mati, dan mengakibatkan hasil pemeriksaan kultur menjadi negatif.

Adapun berdasarkan penyakit yang mendasari, mayoritas pasien

didiagnosis menderita TB. Meskipun hasil pemeriksaan BTA dijumpai positif

hanya pada 15.7% kasus, akan tetapi sebagian besar pasien memperlihatkan

gejala-gejala TB dan didukung dengan gambaran radiologis yang mendukung TB,

sehingga diagnosis TB dapat ditegakkan.

Adanya pertumbuhan kuman pada cairan pleura pasien yang didiagnosis

TB menandakan bahwa pasien tersebut juga mengalami infeksi sekunder

pneumonia oleh bakteri lain. Sebanyak 11 pasien (10.8%) didiagnosis dengan

tumor paru dan ditegakkan empiema karena dari hasil analisis cairan pleura,

dijumpai jumlah leukosit di atas 1500/mm3.

4.1.3 Pola Kuman pada Penderita Piopneumotoraks

Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi pola

kuman yang paling sering dijumpai pada penderita piopneumotoraks. Seluruh

pasien yang menjadi subjek penelitian, dilakukan pemeriksaan kultur cairan

pleura. Cairan pleura dari masing masing pasien dikirim ke laboratorium

mikrobiologi untuk pemeriksaan kultur bakteri aerob dan anaerob dan dilanjutkan

dengan uji kepekaan antibiotik.

Adapun hasil pemeriksaan pola kuman dari pasien piopneumotoraks yang

dilibatkan menjadi subjek penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai

berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 57: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

37

Tabel 4.3 Pola kuman pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat di RSUP

H.Adam Malik Medan

Jenis bakteri n %

Jenis pewarnaan gram Gram Positif 13 13.7

Gram Negatif 82 86.3

Jenis bakteri Aerob 89 93.6

Anaerob 6 6.4

Jumlah 95 100.0

Adapun jenis bakteri yang dijumpai pada pasien piopneumotoraks yang

dilibatkan menjadi subjek penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.4 sebagai

berikut:

Tabel 4.4 Jenis Bakteri pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat di RSUP

H.Adam Malik Medan

Jenis bakteri n %

Jenis pewarnaan gram Gram Positif 13 13.7

Gram Negatif 82 86.3

Jenis bakteri Klebsiella sp. 20 21.1

Citrobacter freundii 17 17.9

Serratia sp. 12 12.6

Staphylococcus sp. 10 10.5

Pseudomonas aeruginosa 9 9.5

Escherecia coli 5 5.3

Streptococcus sp 3 3.2

Morganella morganii 3 3.2

Raoultella ornithino

Proteus sp

Aeromonas hydrophilia

3

3

3

3.2

3.2

3.2

Enterobacter sp. 2 2.1

Lain lain 5 5.2

Jumlah 95 100.0

Universitas Sumatera Utara

Page 58: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

38

Berdasarkan Tabel 4.3 dan 4.4, dapat dilihat bahwa tidak dijumpai satu

jenis bakteri yang paling mendominasi pola kuman pasien piopneumotoraks.

Agen etiologi pasien piopneumotoraks dapat sangat bervariasi mulai dari bakteri

gram positif juga bakteri gram negatif. Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa

agen etiologi yang paling banyak menyebabkan piopneumotraks adalah bakteri

gram negatif (86.3%). Data ini menjadi penting karena informasi mengenai jenis

pewarnaan gram yang paling banyak mendominasi akan mempengaruhi pola

pemberian antibiotik empiris yang dapat diberikan. Tingginya angka pemberian

antibiotik spektrum luas di fasilitas kesehatan primer dan sekunder

mengakibatkan terjadinya pergeseran pola kuman. Infeksi saluran napas dan paru

yang dahulu didominasi oleh bakteri gram positif kini telah bergeser menjadi

bakteri gram negatif. Oleh karena itu, diperlukan pula penyesuaian terapi

antibiotik empiris yang akan diberikan sesuai hasil kultur.

Bakteri yang paling banyak dijumpai menjadi etiologi pada pasien

piopneumotoraks adalah Klebsiella sp yang mencapai 21.1%, terdiri dari

Klebsiella pneumonia (17%) dan Klebsiella oytoca (4.1%). Bakteri selanjutnya

yang paling sering ditemukan adalah Citrobacter freundii sebanyak 17.9%.

Kemudian diikuti dengan Serratia sp sebanyak 12.6% yang terdiri dari Serratia

marscescens (9%), Serratia liquefacien (1.2%), Serratia fonticola (1.2%) dan

Serratia ficaria (1.2%).

Pada 10.5% pasien dijumpai bakteri Staphylococcus aureus, dimana 3%

diantaranya terdeteksi sebagai bakteri MRSA (Methycillin Resistant

Staphylococcus Aureus). Bakteri MRSA merupakan bakteri yang perlu mendapat

perhatian khusus karena tingkat resistensinya terhadap antibiotik yang sangat

tinggi dan membutuhkan antibiotik khusus yang tidak selalu tersedia, yaitu

Vancomycin dan Linezolid. Selain itu, pada studi ini dijumpai pula 9.5% pasien

yang terinfeksi kuman Pseudomonas aeruginosa. Bakteri ini juga dikenal sebagai

salah satu bakteri yang tergolong ke dalam MDRO (Multi Drugs Resistant

Organism), dengan tingkat resistensi antibiotik yang sangat tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

39

Pada studi ini 5 pasien memperlihatkan infeksi dengan bakteri yang

beraneka ragam dan dikelompokkan sebagai infeksi lain lain. Pada pasien-pasien

ini, jenis bakteri yang ditemukan antara lain adalah:

Acinetobacter baumanii (1 kasus),

Achromobacter sp (1 kasus),

Sphingomonas paucimo (1 kasus),

Stenotrophomonas sp (1 kasus) dan

Veilonella sp (1 kasus)

4.1.4 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pola Kuman

Tabel 4.5 ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik

klinis pasien dengan pola kuman pada pasien piopneumotoraks.

Tabel 4.5 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Jumlah Kuman

Karakteristik Klinis

Jumlah Kuman

Tidak dijumpai

bakteri

Bakteri

Tunggal

Bakteri

Multipel

n % n % n %

Usia ≥ 60 tahun 2 14.3 11 14.3 1 9.1

< 60 tahun 12 85.7 66 85.7 10 90.9

Komorbid Dengan komorbid 3 21.4 36 46.8 6 54.5

Tanpa komorbid 11 78.6 41 53.2 5 45.5

DM tipe 2 DM 3 21.4 26 33.8 3 27.3

Tidak DM 11 78.6 51 66.2 8 72.7

Jumlah 14 100.0 77 100.0 11 100.0

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat pada pasien dengan usia dibawah 60

tahun lebih banyak dijumpai bakteri tunggal yang mencapai 85.7%. Berdasarkan

Tabel 4.5 dapat dilihat pula bahwa pada pasien dengan komorbid lebih sering

dijumpai bakteri multipel pada hasil pertumbuhan kuman pada pemeriksaan kultur

cairan kultur pleuranya yang mencapai 54.5%.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

40

Tabel 4.6 ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik

klinis pasien dengan hasil pewarnaan Gram pada pasien piopneumotoraks.

Tabel 4.6 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pewarnaan Gram

Gram Negatif Gram Positif

n % n %

Usia ≥ 60 tahun 11 13.4 2 15.4

< 60 tahun 71 86.6 11 84.6

Komorbid Dengan komorbid 40 48.8 7 53.8

Tanpa komorbid 42 51.2 6 46.2

DM tipe 2 DM 25 30.5 4 30.8

Tidak DM 57 69.5 9 69.2

Jumlah 82 100.0 13 100.0

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat pada pasien dengan usia dibawah 60

tahun lebih banyak dijumpai bakteri Gram negatif yang mencapai 86.6%.

Berdasarkan tabel 4.6 juga dapat dilihat bahwa pada pasien tanpa komorbid lebih

banyak dijumpai bakteri Gram negatif pada hasil pertumbuhan kuman pada

pemeriksaan kultur cairan kultur pleuranya yang mencapai 51.2%. Pasien tanpa

komorbid DM tipe 2 juga dijumpai pertumbuhan Gram negatifnya lebih banyak,

mencapai 69.5%.

4.1.5 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman

Tujuan selanjutnya dari penelitian ini adalah mengetahui hasil uji

sensitivitas antibiotik berdasarkan masing-masing jenis bakteri, sebagaimana

terlihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut:

Tabel 4.7 Persentase sensitivitas antibiotik pada masing-masing bakteri

% Sensitivitas

Klabsiella

sp.

Citrobacter

sp

Serratia

sp.

Staphylococcus

sp.

Pseudomonas

sp

Amikasin 95 100.0 100.0 0 66.7

Vancomycin 0 0.0 0.0 90 0.0

Azitromicin 0 0.0 0.0 50 0.0

Cefoperazone/

Sulbactam 69.2 91.6 66.7 50 85.7

Universitas Sumatera Utara

Page 61: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

41

Tabel 4.7 Persentase sensitivitas antibiotik pada masing-masing bakteri (lanjutan)

% Sensitivitas

Klabsiella

sp.

Citrobacter

sp

Serratia

sp.

Staphylococcus

sp.

Pseudomonas

sp

Ertapenem 66.7 100 50 66.7 0.0

Clindamisin 0 0.0 0.0 80 0.0

Meropenem 70 93.7 83.3 0 66.7

Cefoperazone 0 0.0 0.0 66.7 0.0

Moxifloxacin 0 0.0 0.0 60 0.0

Chloramfenikol 0 0.0 0.0 10 0.0

Erythomycin 0 0.0 0.0 60 0.0

Ofloxacin 0 0.0 0.0 50 0.0

Tetracycline 0 0.0 0.0 50 0.0

Trimethoprim/

Sulfametoksazol 0 40 50 60 0.0

Ciprofloxacin 28.5 40 0.0 50 66.7

Levofloxacin 15.3 41.6 11.1 40 66.7

Cotrimoksazol 0 0.0 0.0 50 0.0

Cefepime 33.3 40 0.0 50 50

Gentamycin 15 17.6 0.0 70 62.5

Cefuroxime 0 0.0 0.0 25 0.0

Doxycicline 7.6 33.3 11.1 50 0.0

Aztreonam 0 50 0.0 0 0.0

Ceftazidime 7.6 23.5 0.0 50 50

Ceftriaxone 0 11.8 0.0 66.7 0.0

Ampicillin/

Sulbactam 0 0.0 0.0 16.6 0.0

Cefotaxime 0 0.0 0.0 50 0.0

Cefalezin 0 0.0 0.0 14.2 0.0

Ampicillin 0 0.0 0.0 25 0.0

Tabel 4.7 menggambarkan tingkat sensitivitas antibiotik pada masing-

masing jenis bakteri. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, jenis bakteri

yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah Klebsiella sp, dimana

bakteri ini memiliki sensitivitas yang baik terhadap antibiotik Amikacin (95%)

dan Meropenem (70%).

Universitas Sumatera Utara

Page 62: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

42

Sedangkan pasien dengan infeksi Citrobacter freundii dapat diobati

dengan menggunakan antibiotik Amikacin (100%), Meropenem (93.7%) dan

Cefoperazone – Sulbactam (91.6%). Begitu juga dengan pasien yang terinfeksi

dengan bakteri Serratia sp, juga dapat diobati dengan ketiga jenis antibiotik

tersebut, yaitu Amikacin (100%), Meropenem (83.3%) dan Cefoperazone –

Sulbactam (66.7%).

Berkebalikan dengan itu, pasien dengan infeksi Staphylococcus sp justru

sebaiknya diterapi dengan menggunakan antibiotik Vankomisin (90%),

Klindamisin (80%) dan Gentamycin (70%), dan memperlihatkan respon yang

buruk dengan pemberian Meropenem maupun Amikacin (0%). Hal ini

dimungkinkan karena adanya strain MRSA pada penderita yang terinfeksi dengan

Staphylococcus aureus. Uniknya, pada sebagian penderita yang terinfeksi dengan

Staphylococcus aureus, justru memberikan respon kepekaan dengan pemberian

Ceftriaxone (66.7%), maupun Cefotaxime (50%), padahal kedua obat ini diduga

sudah banyak mengalami resistensi.

Pseudomonas sp selama ini dikenal sebagai jenis bakteri yang memiliki

tingkat resistensi terhadap antibiotik dalam spektrum yang sangat luas. Penelitian

ini mengkonfirmasi hak tersebut. Pasa studi ini, hanya dijumpai satu antibiotik

saja yang memiliki tingkat sensitivitas di atas 80% terhadap Pseudomonas, yaitu

Cefoperazone- Sulbactam (85.7%), yang mana ini berarti tingkat sensitivitas

antibiotik terhadap Pseudomonas sp kurang memuaskan. Antibiotik yang dapat

dicoba diberikan bagi pasien dengan infeksi Pseudomonas diantaranya adalah

Cefoperazone-sulbactam (85.7%) atau Amikacin, Meropenem, Ciprofloxacin dan

Levofloxacin (masing masing 66.7%).

Universitas Sumatera Utara

Page 63: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

43

Gambar 4.1 Diagram Batang Sensitivitas Antibiotik

Seluruh data ini memperlihatkan bahwa pola kuman dan hasil uji kepekaan

terhadap antibiotik senantiasa berubah dari masa ke masa khususnya pada

penyakit penyakit tertentu, dan oleh karena itu, data mengenai pola kuman

merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh semua rumah sakit, khususnya

rumah sakit rujukan yang memiliki instalasi laboratorium mikrobiologi klinik.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik Demografis dan Klinis Subjek Penelitian

Infeksi pleura merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas dan

mortalitas dengan insidens terus meningkat pada usia dewasa. Penyakit ini

dilaporkan 30% ditemukan pada semua kasus infeksi dewasa. Penelitian dari

tahun 1987–2004 ditemukan bahwa infeksi pleura meningkat 2,8% tiap tahun dari

4424 pasien yang diteliti di seluruh rumah sakit Amerika Serikat. Penelitian yang

dilakukan antara tahun 1996–2009 ditemukan infeksi pleura meningkat sebesar

7,6%–14,9% di seluruh rumah sakit Spanyol.

95 100 100

66.7 70

88.2 83.3

66.7

45

64.7

50

66.7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Klabsiella sp. Citrobacter sp Serratia sp. Pseudomonas aeruginosa

Persentase Sensitivitas Antibiotik

Amikasin Meropenem Cefoperazone/ Sulbactam

Universitas Sumatera Utara

Page 64: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

44

Angka kejadian infeksi pleura tahun 1997–2011 meningkat sebesar 2,5–3,5% tiap

tahun di seluruh rumah sakit Denmark (Eltario, 2018).

Infeksi pleura sering disebabkan karena komplikasi dari pneumonia tetapi

dapat juga disebabkan karena adanya infeksi dari tempat lain. Infeksi pleura dapat

juga disebabkan oleh suatu trauma, tindakan operasi, keganasan, kelainan

vaskuler, penyakit imunodefisiensi, dan adanya infeksi di tempat yang berdekatan

seperti di orofaring, esophagus, mediastinum atau jaringan di subdiafragma yang

memberikan manifestasi klinik bermacam-macam, tergantung dari organ utama

atau tempat yang terinfeksi, mikroba pathogen dan penurunan daya tahan tubuh

(Hasan dan Ambarwati, 2018)..

Infeksi pleura saat ini masih menjadi masalah penting dalam bidang

penyakit paru. Angka kematian penyakit ini berkisar antara 5 hingga 30 persen

dengan insiden bervariasi berdasar kondisi komorbid. Walaupun penatalaksanaan

infeksi pleura berkembang pesat, seperti pemberian terapi antibiotik, drainase

pleura dan pembedahan dekortikasi, tetapi hal ini belum dapat menurunkan angka

kematian akibat infeksi pleura. Pada 20-30% pasien dengan infeksi pleura,

pemberian antibiotika dan drainase dengan chest tube gagal mengendalikan

infeksi. Penelitian oleh Sahn menyatakan 5-10% pasien pneumonia yang dirawat

di rumah sakit berkembang menjadi infeksi pleura dan angka kematian meningkat

secara bermakna dibandingkan pasien pneumonia tanpa infeksi pleura. Angka

kematian juga akan meningkat hingga 40% pada kondisi immunocompromised

(Hasan dan Ambarwati, 2018).

Faktor risiko infeksi pleura sama dengan pneumonia, meskipun terdapat

beberapa kondisi lain untuk berkembang menjadi empiema termasuk diabetes

melitus, penggunaan kortikosteroid sebagai terapi imunosupresan, refluks

gastroesofagus, alkoholism dan penyalahgunaan obat intravena. Riwayat aspirasi

dan kebersihan mulut yang kurang baik sering menimbulkan infeksi bakteri

anaerob. Infeksi pleura iatrogenik sebagian besar disebabkan oleh intervensi pada

pleura dan toraks atau operasi pada esofagus dan beberapa kasus faktor risiko

tidak diketahui (Hasan dan Ambarwati, 2018).

Universitas Sumatera Utara

Page 65: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

45

Oleh karena itu, perlu diketahui karakteristik klinis dan demografis dari pasien

penderita infeksi pleura berupa piopneumotoraks pada penelitian ini.

Studi ini menemukan bahwa hampir 80% penderita piopneumotoraks yang

dirawat di bagian Paru RSUP H. Adam Malik Medan dari tahun 2016 – 2018

berjenis kelamin laki laki. Umumnya pasien yang dirawat masih berusia kurang

dari 50 tahun (± 60% pasien). Data ini mencerminkan besarnya beban yang

dialami oleh penderita piopneumotoraks. Karena laki laki pada usia produktif

yang menderita piopneumotoraks tentunya akan mengalami penurunan

produktivitas, dan dengan demikian juga menurunkan penghasilan untuk

menghidupi keluarga. Terlebih lagi, pasien dengan diagnosis piopneumotoraks

umumnya memerlukan masa rawatan yang lebih lama, dan dapat mencapai satu

bulan. Lamanya masa rawatan ini diperlukan guna mencapai tingkat sterilisasi

rongga pleura yang adekuat. Rongga pleura merupakan bagian tubuh yang tidak

dapat ditembus dengan efektif oleh sebagian antibiotik. Akibatnya, butuh waktu

yang relatif lama untuk benar benar mensterilkan rongga pleura dari agen etiologi

penyebab infeksi pleura tersebut.

Temuan yang didapat studi ini tidak berbeda dengan hasil yang didapatkan

oleh studi Tarigan di RSUP H. Adam Malik Medan yang juga mendapati bhawa

pasien dengan infeksi pleura didominasi oleh pasien berjenis kelamin laki laki dan

pada usia produktif (< 60 tahun) (Tarigan, 2008). Jika dibandingkan dengan studi

di sentra kedokteran lainnya, ternyata hasilnya juga tidak jauh berbeda. Studi yang

dilakukan oleh Eltario dkk di RSUP dr. Djamil Padang mendapati bahwa lebih

dari 60% pasien penderita infeksi pleura adalah laki laki.

Penyakit komorbid merupakan satu hal penting yang tidak boleh dilupakan

pada pasien dengan piopneumotoraks. Komorbid seperti Diabetes Mellitus tidak

hanya meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada rongga pleura, tetapi juga

menjadi penyulit dalam pengobatan pasien piopneumotoraks. Keadaan

hiperglikemia kronis yang dialami oleh pasien DM tipe 2 akan menyebabkan

aktifnya jalur metabolisme glukosa dalam tingkat yang sangat tinggi dan akan

banyak memakai persediaan molekul NADPH, padahal molekul ini merupakan

molekul yang sangat dibutuhkan untuk mobilitas dan aktivitas makrofag.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

46

Jika molekul NADPH ini banyak terpakai untuk metabolisme glukosa, maka

aktivitas makrofag akan sangat terganggu dan dengan demikian akan

meningkatkan kerentanan seseorang untuk terinfeksi dengan berbagai jenis

mikroba. Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 31% pasien merupakan

penderita diabetes melitus.

4.2.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian

Piopneumotoraks didefenisikan sebagai kumpulan nanah dan udara dalam

rongga pleura. Piopneumotoraks diakibatkan oleh infeksi, yang mana infeksinya

ini berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan septik

jaringan paru atau esofagus kearah rongga pleura. Empiema dapat didefenisikan

sebagai pus atau nanah di rongga pleura. Weese mendefinisikan empiema sebagai

cairan dengan karakteristik berat jenis > 1,018, jumlah leukosit > 500/mm3

atau

kadar protein > 2,5 gr/dl. Vianna mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura

dengan kultur bakteri positif atau jumlah leukosit > 1500/mm3

dengan kadar

protein > 3 gr/dl (Light RW, 2013). Oleh karena memang belum ada nilai patokan

pasti jumlah leukosit dalam cairan pleura untuk menegakkan diagnosis, maka

karakteristik warna cairan pleura lebih sering dan lebih praktis untuk digunakan

sebagai penegakan diagnosis empiema (Light, 2013).

Pada penelitian ini, empiema ditegakkan jika terbukti kadar leukosit pada

cairan pleura lebih dari 1500 /mm3. Berdasarkan angka ini, maka kemudian

didapat beberapa karakteristik warna cairan pleura. Ternyata, pasien yang benar

benar memiliki warna cairan pleura berupa seperti pus (purulen) hanya berjumlah

14.7% saja. Sedangkan warna yang paling banyak dijumpai adalah warna serous

keruh yang ditemukan pada sebanyak 58.8%. Bahkan pada sebagian kasus (12%),

warna cairan pleura secara makroskopis justru serous, tetapi karena jumlah

leukosit cairan pleura nya melebih 1500/mm3, maka diagnosis empiema

ditegakkan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan kultur cairan pleura, ternyata didapati

bahwa tidak semua pasien yang ditegakkan diagnosis empiema benar-benar

menunjukkan pertumbuhan bakteri pada cairan pleura.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

47

Sebanyak 86.3% pasien yang didiagnosis empiema didapati pertumbuhan bakteri,

tetapi pada 13.7% kasus tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. Hal yang identik

dengan penelitian ini didapati pula pada hasil penelitian yang dilakukan oleh SP

Tarigan pada tahun 2008 yang mendapati bahwa pertumbuhan kultur yang positif

dijumpai hanya pada 53.5% kasus, sedangkan pada 46,5% kasus lainnya tidak

dijumpai pertumbuhan bakteri. Meski demikian, hasil ini harus ditelaah dengan

lebih teliti lagi. Karena kepositifan hasil kultur bakteri sangat dipengaruhi oleh

prosedur pemeriksaan cairan pleura. Pemeriksaan spesimen cairan pleura

hendaknya diperiksa sesegera mungkin setelah spesimen diambil, karena

penundaan pemeriksaan spesimen cairan pleura bahkan hingga lebih dari 24 jam

akan membuat hasil pemeriksaan seringkali menjadi negatif karena sebagian

bakteri telah mati akibat proses pemeriksaan dan transpor spesimen yang lama.

Uniknya, pada sebagian pasien, ditemukan pertumbuhan kuman yang lebih

dari satu jenis, yaitu pada 10.8% pasien. Pada pasien ini, ditemukan dua jenis

mikroorganisme yang secara bersamaan menginfeksi rongga pleura. Meski

demikian, pada kasus kasus seperti ini perlu dipikirkan dua kemungkinan.

Pertama, pasien mungkin saja mengalami infeksi nosokomial akibat kuman

kuman yang sering dijumpai di rumah sakit. Kedua, adanya multi organisme ini

juga mungkin diakibatkan oleh kontaminasi spesimen saat transpor spesimen

cairan pleura menuju laboratorium yang tidak baik. Kontaminasi ini dapat terjadi

karena medium penampungan spesimen yang tidak steril atau terbuka dalam

waktu yang lama, atau akibat adanya infeksi pada selang dada dan tabung

penampungan cairan pleura yang dipakai oleh pasien.

Adapun karakteristik pasien berdasarkan penyakit yang mendasari,

didapati bahwa diagnosis yang paling banyak menyebabkan terjadinya

piopneumotoraks adalah tuberkulosis. Padahal, hasil pemeriksaan BTA yang

posiif pada sputum pasien menunjukkan BTA positif hanya dijumpai pada 15.7%

kasus saja. Terlebih lagi, temuan ini seolah olah bertolak belakang dengan

literatur yang menyatakan bahwa etiologi piopneumotoraks yang paling sering

dijumpai adalah pneumonia. Oleh karena itu, temuan ini harus ditelaah dengan

lebih mendalam dengan berbagai penjelasan.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

48

Pertama, diagnosis tuberkulosis tidaklah sema-mata hanya didasarkan

pada hasil pemeriksaan sputum BTA. Pasien dengan klinis mendukung TB, dan

foto toraks juga memperlihatkan lesi TB yang aktif seperti kavitas, infiltrat dan

efusi dapat didiagnosis TB meskipun hasil pemeriksaan BTA nya negatif. Selain

itu, hasil pemeriksaan BTA bisa saja menjadi negatif karena pasien telah terlebih

dahulu mendapatkan OAT dari fasilitas pelayanan kesehatan primer di Puskesmas

sebelum dirujuk ke RSUP H Adam Malik Medan. Sehingga sewaktu dilakukan

pemeriksaan BTA, hasilnya menjadi negatif.

Kedua, tingginya diagnosis TB pada pasien dengan piopneumotoraks

menandakan bahwa pada pasien-pasien TB tersebut terjadi infeksi sekunder

dengan bakteri lain berupa pneumonia. Ini berarti pasien tersebut tidak hanya

menderita TB, tetapi juga menderita pneumonia, dan bakteri penyebab pneumonia

ini yang kemudian mengakibtakn terjadinya infeksi pada pleura sehing aterjadi

empiema dan berujung pada terjadinya piopneumotoraks. Belum lagi adanya

kemungkinan oleh infeksi gas-forming microorganism yang akan menyebabkan

tumbuhnya bakteri pada cairan pleura.

Hal yang senada ditemukan pula pada studi yang dilakukan oleh Tarigan

(2008) yang mendapati bahwa pada 21 pasien yang terdiagnosis TB dengan BTA

positif, juga didapati koinfeksi dengan bakteri lain pada sebesar 15 kasus, yang

terdiri dari infeksi bakteri aerob gram negatif Pseudomonas (14.3%), Klebseilla

(7,1%) dan Staphylococcus aureus (7.1%) (Tarigan, 2008). Berdasarkan temuan

ini, maka pemberian antibiotik empiris pada pasien TB paru yang juga mengalami

empiema atau piopneumotoraks dapat dibenarkan secara rasional.

4.2.3 Pola Kuman pada Pasien Piopneumotoraks

Pelaporan pola kuman dan uji sensitivitas sangat penting dilakukan secara

berkala setiap tahun terutama terhadap pasien di ruangan rawat inap sebagai

pedoman klinisi dalam memberikan antibiotik yang tepat dan mencegah

penyebaran infeksi lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

49

Data mengenai pola kuman menjadi sangat penting terutama di rumah sakit

rujukan karena biasanya didominasi oleh bakteri yang tergolong ke dalam MDRO

(multi drugs resistant organism), terlebih lagi pola kuman dapat berubah dengan

cepat seiring waktu.

Mengetahui jenis kuman penyebab piopneumotoraks dan memberikan

antibiotik yang tepat merupakan salah satu hal yang sangat membantu dalam

penatalaksanaan piopneumotoraks disamping drainase yang baik dari rongga

pleura. Untuk mengetahui jenis kuman tersebut dapat dilakukan dengan cara

pewarnaan langsung ataupun dengan mengkultur cairan piopneumotoraks

tersebut. Untuk mengetahui antibiotik yang tepat untuk kuman penyebab

piopneumotoraks tersebut, dilakukan pemeriksaan uji kepekaan kuman. Semua

pemeriksaan ini memerlukan waktu yang cukup lama sementara pemberian

antibiotik tidak dapat ditunda menunggu hasil pemeriksaan tersebut. Disinilah kita

memerlukan pola kuman penyebab piopneumotoraks dan uji kepekaan kuman

terhadap antibiotik agar antibiotik yang kita berikan lebih tepat.

Berdasarkan literatur, mikroorganisme penyebab infeksi pleura yang

paling sering ditemukan adalah Pseudomonas aeruginosa, Enterobactriaceae,

Klebsiella spp, Escherichia coli, Enterobacter cloacae, Proteus mirabilis,

Staphylococcus aureus, Acinetobacter baumanni, Streptococcus pneumonia,

Candida spp. Penelitian retrospektif yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta antara Januari 2009-November 2011 menemukan bakteri terbanyak

adalah Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter cloacae (6,1%),

Klebsiella pneumoniae (3%), Acinetobacter spp (3%), dan Serratia marcessens

(3%) dan sensitif terhadap meropenem, imipenem, amikasin, pipperacillin,

ertapenem, colistin, levofloksasin (Hasan dan Ambarwati, 2018).

Sementara itu, studi lain yang dikerjakan di RSUP Dr, M Djamil Padang,

mendapatibahwa bakteri terbanyak yang ditemukan pada pasien infeksi cairan

pleura di bangsal paru dan penyakit dalam pada periode Januari-Desember 2015

adalah Klebsiella sp yang sensitif terhadap Meropenem dan resisten terhadap

Ampicilin, Erithromicin, Ceftriaxone, Cefoperazone dan Cefotaxime (Eltario,

2018).

Universitas Sumatera Utara

Page 70: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

50

Hasil yang didapat dalam studi ini tidak jauh berbeda dengan kedua studi

di atas, dimana sudi ini menemukan bahwa nakteri yang paling banyak dijumpa

pada pasien dengan piopneumotoraks adalah Klabsiella sp, Citrobacter freundii

dan Serratia sp. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Klabsiella sp

merupakan bakteri yang paling sering dijumpai pada kasus piopneumotoraks dan

dengan demikian, pemberian terapi antibiotik empiris terhadap Klabsiella

pneumonia juga perlu dilakukan bagi pasien dengan diagnosis piopneumotoraks.

Lima puluh persen pasien dengan infeksi nosokomial, kultur cairan pleura

positif Staphylococcus. Selanjutnya 2/3 kasus yaitu Meticillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri Escherichia coli, Enterobacter spp dan

Pseudomonas spp adalah bakteri gram negatif yang paling sering dilaporkan

terdapat pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Empiema yang

disebabkan oleh jamur jarang terjadi diperkirakan <1% dari penyebab infeksi

pleura. Mayoritas empiema yang disebabkan oleh jamur dari spesies Candida spp

banyak terdapat pada individu immunocompromised. Angka kematian empiema

yang diakibatkan jamur sangat tinggi yaitu 73% (Hasan dan Ambarwati, 2018).

Hasil kultur cairan empiema dari 33 pasien di Rumah Sakit Dr. Moewardi

pada tahun 2009 sampai dengan 2011 didapatkan 7 jenis kuman dengan urutan

terbanyak berturut-turut adalah Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter

cloacae (6,1%), Klebsiella pneumonia (3%), Acinetobacter spp (3%), Escherichia

coli (3%), Salmonella spp (3%) dan Serratia Marcessens (3%) (Surjanto, 2013).

Banyaknya bakteri anaerob yang didapat dari kultur sangat tergantung pada cara

mengkultur bakteri tersebut yang sangat berbeda dengan cara mengkultur bakteri

aerob. Cara pengambilan dan transport spesimen juga harus dilakukan dengan

benar (bebas oksigen) disamping media yang digunakan juga berbeda dengan

yang biasa dipakai untuk bakteri aerob.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

51

4.2.4 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman

Idealnya, pemberian terapi antibiotik haruslah disesuaikan dengan etiologi

yang menyebabkan penyakit tersebut. Etiologi penyebab penyakit dapat diketahui

dengan pasti melalui pemeriksaan kultur dari spesimen jaringan yang terinfeksi.

Sayangnya pemeriksaan kultur membutuhkan waktu yang tidak singkat. Di

Laboratorium Mikrobiologi RSUP H Adam Malik Medan, dibutuhkan waktu

sekitar 5 hari untuk mengetahui dengan pasti bakteri penyebab infeksi pada

pasien. Waktu yang lama inilah yang kemudian menjadi permasalahan dalam

pemberian antibiotik, karena pasien perlu mendapatkan antibiotik dengan segera

sebagai penatalaksanaan definit pada pasien dengan infeksi, terlebih lagi infeksi

pleura. Oleh karena itu, pemberian terapi empiris menjadi jalan yang dinilai

efektif guna mengeradikasi penyebab infeksi.

Untuk dapat menentukan jenis antibiotik empiris yang akan diberikan,

diperlukan data mengenai pola kuman dan pola uji kepekaan antibiotik. Satu hal

yang menjadi masalah, pola kuman dan uji kepekaan antibiotik ini tidak selalu

sama antara satu sentra pelayanana keodkteran dengan sentra yang lain. Terlebih

lagi untuk bakteri yang menjadi penyebab infeksi nosokomial, maka polanya akan

sangat berbeda bahkan antara satu instalasi dengan instalasi lain di rumah sakit

tersebut. Oleh karena itu, data pola kuman dan kepekaan antibiotik sangat

dibutuhkan guna menentukan terapi antibiotik empiris yang paling tepat bagi

pasien. Mikroba penyebab infeksi pleura bergeser secara perlahan dari Gram

positif menjadi Gram negatif sejak antibiotik semakin banyak digunakan.

Mortalitas meningkat 40% pada mikroba negatif Gram sehingga identifikasi

bakteri dengan segera sangat dibutuhkan untuk terapi yang adekuat.

Infeksi pada rongga pleura merupakan permasalahn tersendiri dalam

pemberian antibiotik. Hal ini dikarenaka tidak semua antibiotik mampu

mempenetrasi sampai ke rongga pleura dnegan optimal. Obat-obatan yang

memiliki penetrasi terbaik kedalam rongga pleura adalah aztreonam, klindamisin,

siprofloksasin, cefalosporin dan penisilin. Penisilin dan sefalosporin menunjukkan

penetrasi yang baik ke dalam rongga pleura. Penetrasi kuinolon lebih baik dari

pada penisilin. Konsentrasi sefalosporin stabil dan menetap didalam cairan pleura.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

52

Pemakaian aminoglikosida sebaiknya dihindari terutama untuk terapi empiema,

karena aminoglikosida memiliki penetrasi yang buruk di dalam rongga pleura dan

tidak efektif dengan keadaan cairan pleura yang bersifat asam dan purulen (Hasan

dan Ambarwati, 2018).

Berdasarkan organisme penyebab bakteri anaerob, gram negatif aerob dan

staphylococcus, terapi antibiotik empiris untuk empiema diberikan berupa terapi

tunggal dengan imipenem, ticarcilin, asam klavulanat atau terapi kombinasi

dengan klindamisin dan ceftazidime atau klindamisin dan aztreonam. Golongan

antibiotik beta laktam tetap merupakan pilihan untuk infeksi pneumococcal dan

streptococcus milleri. Golongan aminoglikosida dapat diberikan bila cairan

berbau busuk atau pengecatan gram positif. Klindamisin oral atau penisilin harus

tetap diberikan selama waktu pengobatan setelah antibiotika parenteral dihentikan,

karena kebanyakan empiema disebabkan bakteri anaerob (Hasan dan Ambarwati,

2018).

Hasil uji sensitivitas terhadap Klebsiella sp pada spesimen cairan pleura

pasien infeksi pleura yang dirawat di bangsal paru dan penyakit dalam RSUP Dr.

Djamil Padang periode Januari-Desember 2015 didapatkan bahwa kuman ini

sebagian besar resisten terhadap antibiotik yang diuji, tetapi beberapa masih

sensitif terhadap Meropenem (95,2%), Chloramphenicol (61,9%) dan

Ciprofloxacin (57,1%) (Eltario, 2018).

Hasil penelitian yang didapat pada studi ini tidak jauh berbeda dengan

temuan pola kuman di RSUP Dr. Djamil Padang. Studi ini mendapati bakteri yang

paling banyak dijumpai adalah Klabsiella pneumonia, yang sensitif dengan

pemberian Amikacin (95%), Meropenem (70%) dan Cefoperazone – Sulbactam

(45%). Meski demikian, walaupun amikacin memiliki tingkat sensitvitas paling

tinggi, penggunaan Amikacin pada pasien degan piopneumotoraks perlu

mendapat perhatian khusus karena beberapa hal.

Pertama, amikacin merupakan golongan aminoglikosida. Sebagaimana

telah dijelaskan sebelumnya, aminoglikosida memiliki daya penetrasi yang kurang

baik ke dalam rongga pleura.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

53

Ini berarti, antibiotik yang terbukti sensitif melalui cawan petri saat pemeriksaan

uji kepekaan, belum tentu dapat dipastikan efektif sepenuhnya untuk mengobati

pasien dengan piopneumotoraks. Kedua, Amikacin memiliki tingkat kepekaan

yang sangat tinggi untuk sekian banyak jenis bakteri. Jika Amikacin digunakan

secara bebas sebagai terapi empiris pada kasus kasus infeksi, dikhawatirkan dalam

beberapa tahun yang akan datang, akan muncul strain-strain bakteri yang resisten

dengan obat ini. Oleh karena itu, penggunaan Amikacin memang sebaiknya

direstriksi hanya pada kasus kasus tertentu saja, yaitu pada kasus dimana tidak ada

lagi antibiotik yang masih sensitif selain Amikacin, maka obat ini barulah dapat

diberikan. Resistensi terhadap antibiotik kemungkinan disebabkan oleh terapi

pasien secara empiris dengan antibiotik berspektrum luas dan polifarmasi yang

sering tidak bermanfaat.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

54

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Penderita piopneumotoraks di RSUP H Adam Malik Medan didominasi

oleh laki – laki sebanyak 80 (78.4%) orang yang didominasi laki dalam

rentang usia produktif.

2. Pola kuman yang banyak dijumpai pada penderita piopneumotoraks di

RSUP H Adam Malik Medan adalah bakteri gram negatif yaitu Klebsiella

sp (21.1%), Citrobacter freundii (17.9%), dan Serratia sp (12.6%).

3. Jenis antibiotik yang memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi pada

penderita piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan adalah

Amikacin (80%), Meropenem (64.2%) dan Cefoperazone – Sulbactam

(46.3%).

4. Jenis antibiotik yang memiliki tingkat sensitivitas yang paling rendah pada

penderita piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan adalah

Ceftriaxone (7.4%), Cefotaxime (4.2%) dan Ampicilin (3.2%).

5.2 Saran

Adapun beberapa hal yang dapat dijadikan saran berdasarka hasil

pemeriksaan ini adalah:

1. Diperlukan data hasil pemeriksaan uji kepekaan antibiotik yang lebih

lengkap, dengan menguji semua jenis antibiotik yang tersedia pada seluruh

spesimen agar diperoleh data hasil uji kepekaan yang lebih akurat.

2. Diperlukan standarisasi baku proses pengambilan, penyimpanan, dan

transpor spesimen ke laboratorium mikrobiologi agar hasil yang diperoleh

menjadi lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

55

3. Perlu dilakukan penelitian berkala mengenai pola kuman dan hasil uji

kepekaan antibiotik pada penderita pneumotoraks agar didapat data

mengenai perubahan pola kuman seiring waktu.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang bertujuan mengetahui faktor-

faktor apa sajakah yang berkaitan dengan infeksi bakteri MDRO (Multi

Drugs Resistant Organism).

5. Perlu dilakuksan sosialisasi hasil penelitian agar dapat menjadi

pertimbangan pemberian antibiotik empiris pada pasien dengan

piopneumotoraks.

6. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar terapi empiris pada pasien

piopneumotoraks dan empiema di RSUP. H.Adam Malik Medan dan hasil

penelitian ini dapat diteruskan ke pihak BPJS yang terkait.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

56

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A E H, Yacoub T E. Empyema Thoracis. Circulatory Respiratory and

Pulmonary Medicine 2010. Vol. 4. 1-8.2010.

Al-ani I, Zimmerman S, Reichling J, Wink Pharmacological sinergism of bee and

plant secondary metabolites againt multi-drugs resistants microbial

pathogens. International Journal of Phytotherapy and

Phytopharmacology.2015; 22(2):245-55.

Burguette S R, Dearmond D T, Soni N J, Peters J.Pneumothorax, vol(2). 1197-

1214. viewed 2015. McGraw-Hill Education. United States of America.

ISBN : 978-0-07-180719-7;MHID 0-07-180719-5. 2015.

Chen, Y.J., Luh, S.P., Hsu, K.Y., Chen, C.R., Tsao, T.C., Chen, Y.J, 'Video-

Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) for bilateral Primary

Spontaneous Pneumothorax', J. Zhejiang Univ.Sci.B, Vol.4, pp.335-340,

DOI :10.1631/jzus. B0720235. 2008.

Davies H E, Davies R J O, Davies C W H. Management of pleural infection in

adults: British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. British

Medical Journal 2010. vol 65. 41-53. DOI: 10.1136/thx.2010.137000.

2010.

Eltario, Mulya. Lillah. Prihandani, Tuty. Pola Kuman dan Uji Sensitivitas

terhadap Antibiotik pada Infeksi Pleura di RSUP dr. M Djamil Padang.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018. Vol 7 (4) : 56 – 61.

Endriani R, Supardi I, Sudigdoadi S, Wartadewi. Penentuan Konsentrasi Hambat

minimal (KHM), Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) dan Waktu Kontak

Ekstrak Bawang Putih (A.Sativum) Dibandingkan dengan Eugenol

terhadap S.mutans secara in vitro. JIK. 2007; 1:30-5.

Gupta A, Dutt N, Patel N. The Different Treatment Modalities of

pyopneumothorax- a study of 50 cases.International journal of medical

science and public health, vol 2. 609-612:

DOI:10.5455/ijmsph.2013.180420132.

Hasan, Helmia. Ambarwati, Devi. Empiema. Jurnal Resprasi Universitas

Airlangga. Vol 4 No 1. 2018 : 26 – 33.

Isa Mohammad. Punksi Pleura. Pada Buku Ajar Pulmologi dan Kedokteran

Respirasi. Vol 1.2017:457- 462.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

57

Jagelavicius Z, Vaitenas G, Jovaisas V, Janilionis R, Localized Pyopneumothorax

Treated With a Vacuum-assisted Closure System. Journal of Lithuanian

Surgery, vol 14(1). 46-51, 2015.

Jawetz, Melnick, Adelberg. Dasar dasar Mikrobiologi. Dalam buku Mikrobiologi

Kedokteran. California. Lange Medical Publication. 46-47. 2014.

K. Dural, G. Gulbahar, B. Kocer, and U. Sakinci, “A Novel and Safe Technique in

Closed Tube Thoracostomy,” Journal of Cardiothoracic Surgery, vol. 5,

No. 1, article 21, 2010.

.

Kartoglu Z, Okutan O, Isitmangil T, Kunter E et al. Pyo-Pnaumothorax in

Patients with Active Pulmonary Tuberculosis: An Analysis of 17 Cases

without Intrapleural Fibrinolytic Treatment. Journal of Medical

Principles and Practice vol 15.33-38. 2006.

Koneman EW. Koneman's Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology.

Edisi ke-6. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

Light RW. Parapneumonic Effusion and Empyema. In Light RW. Pleural disease

Vol 6. 212-214. Tennese: Lippincott Williams & Wilkins. 2013.

Light RW. Pneumothorax.In Light RW, Pleural disease vol 6. 363-366. Tennese:

lippincott williams & wilkins. 2013.

Noppen M, Keukeleire T D. Pneumothorax. Journal of Respiration vol.76. 121-

127. viewed 2008. DOI: 10.1159/000135932. 2008.

Salik Irim, Abramowitsz. Bronchopleural Fistula. Stats Pearl Publishing. 2019.

S. F. Monaghan and K. G. Swan, “Tube thoracostomy: the struggle to the

„standardof care‟,” Annals of Thoracic Surgery, vol. 86, no. 6, pp. 2019–

2022, 2008.

Surjanto E, Sutanto Y S, Harsini et al. Karakteristik Pasien Empiema di Rumah

Sakit Dr.Moewardi. J Respiratory Indo. vol 33 (2).117-21. 2013.

Tarigan S P. Pola kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema di RSUP.H.Adam

Malik. Medan. USU e Repository. 2008.

Tschopp J M, Bintcliffe O, Astoul P, Canalis E, Driesen P, Jansen J, et all.ERS

Task Force Statement: Diagnosis and Treatment of Primary Spontaneous

Pneumothorax. Journal of Euro Respiration, vol. 46. 321-335. viewed 25

June 2015. DOI:10.1183/09031936.00219214. 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

58

Widirahardjo.Pneumothoraks. Dalam Buku Ajar Respirasi. Vol(1). 476-482, USU

Press. Medan. ISBN: 979-458-962-4. 2017.

Zarongoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, Porpodis K, Lampaki S, Papaiwannou A,

et al.Pneumothorax: from Definition to Diagnosis and Treatment. J

Thorax dis, vol 6 (4), 372-376. 2014.

Universitas Sumatera Utara

Page 79: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

59

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS

1. Nama : dr. Mei Sarah Pane

2. NIP : 198405272011012007

3. Tempat tanggal lahir : Padangsidimpuan, 27 Mei 1984

4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Agama : Islam

6. Status perkawinan : Menikah

7. Alamat : Jln. Bunga Rinte Komplek Puri Zahara 1 Blok B

No. 6 Kel. Tanjung Slamat Kec. Medan

Tuntungan Kota Medan Sumatera Utara

8. Hp : 082273812999

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SDN 142431, Kota Padangsidimpuan, Kota Padangsidimpuan, Tahun

lulus 1996.

2. SLTPN 01 Padangsidimpuan, Kota Padangsidimpuan, Tahun lulus 1999.

3. SMU N 2 Matauli Pandan, Kota Pandan Sibolga, Tahun lulus 2002.

4. S1-Kedokteran Universitas Andalas Padang, Tahun lulus 2008.

5. Profesi Dokter Universitas Andalas Padang, Tahun lulus 2010.

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Dokter Pegawai Negeri Sipil Kota Padangsidimpuan Provinsi Sumatera

Utara Tahun 2012 sampai sekarang.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

60

KETERANGAN KELUARGA

1. Suami : M. Ali Sahbudin. SE.

2. Anak : 1. Habib Husein Harahap.

2. Rafanul Hakim Harahap

3. Putra Qori Ahnaf Harahap

PERKUMPULAN PROFESI

1. Ketua P2KB Organisasi IDI Cabang Padangsidimpuan Tahun 2013-2016.

2. Anggota Muda PDPI Cabang Medan.

TULISAN

-

Universitas Sumatera Utara

Page 81: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

61

LAMPIRAN 2

Persetujuan Komite Etik (Ethical Clearance)

Universitas Sumatera Utara

Page 82: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

62

LAMPIRAN 3

Data Sampel Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 83: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

63

Universitas Sumatera Utara

Page 84: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

64

Universitas Sumatera Utara

Page 85: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

65

LAMPIRAN 4

Hasil Analisis Data

umurrecode Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid >=60 14 13,7 13,7 13,7

0-29 13 12,7 12,7 26,5

30-39 21 20,6 20,6 47,1

40-49 29 28,4 28,4 75,5

50-59 25 24,5 24,5 100,0

Total 102 100,0 100,0

kelamin Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid lk 80 78,4 78,4 78,4

pr 22 21,6 21,6 100,0

Total 102 100,0 100,0

pendidikan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid S1 4 3,9 3,9 3,9

SD 16 15,7 15,7 19,6

SMP 20 19,6 19,6 39,2

SMU 62 60,8 60,8 100,0

Total 102 100,0 100,0

Pekerjaan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid IRT 13 12,7 12,7 12,7

nelayan 1 1,0 1,0 13,7

pedagang 3 2,9 2,9 16,7

pegawai 17 16,7 16,7 33,3

pelajar 1 1,0 1,0 34,3

petani 49 48,0 48,0 82,4

sopir 11 10,8 10,8 93,1

wiraswas 7 6,9 6,9 100,0

Total 102 100,0 100,0

rokok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak 20 19,6 19,6 19,6

ya 82 80,4 80,4 100,0

Total 102 100,0 100,0

jeniskomorbid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid DM 32 31,4 31,4 31,4

kardio 13 12,7 12,7 44,1

tidak 57 55,9 55,9 100,0

Total 102 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 86: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

66

kultur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid negatif 14 13,7 13,7 13,7

positif 88 86,3 86,3 100,0

Total 102 100,0 100,0

Jumlahkuman Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid multipel 11 10,8 10,8 10,8

tunggal 91 89,2 89,2 100,0

Total 102 100,0 100,0

umurrecode * kultur

Crosstab Count

kultur

Total negatif positif

umurrecode >=60 2 12 14

0-29 2 11 13

30-39 2 19 21

40-49 3 26 29

50-59 5 20 25

Total 14 88 102

komorbid * kultur

Crosstab Count

kultur

Total negatif positif

komorbid tidak 11 46 57

ya 3 42 45

Total 14 88 102

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper

Odds Ratio for komorbid (tidak / ya) 3,348 ,874 12,829

For cohort kultur = negative 2,895 ,859 9,759

For cohort kultur = positif ,865 ,745 1,004

N of Valid Cases 102

jeniskomorbid * kultur

Crosstab Count

kultur

Total negatif positif

jeniskomorbid DM 3 29 32

kardio 0 13 13

tidak 11 46 57

Total 14 88 102

dm * kultur

Universitas Sumatera Utara

Page 87: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

67

Crosstab Count

kultur

Total negatif positif

dm dm 3 29 32

tidakdm 11 59 70

Total 14 88 102

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper

Odds Ratio for dm (dm / tidakdm) ,555 ,144 2,144

For cohort kultur = negatif ,597 ,179 1,993

For cohort kultur = positif 1,075 ,925 1,250

N of Valid Cases 102

Bakteri Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Achromobacter 1 1,1 1,1 1,1

Acinobacter ba 1 1,1 1,1 2,1

Aeromonas hydr 3 3,2 3,2 5,3

Citrobacter Fr 17 17,9 17,9 23,2

E coli 5 5,3 5,3 28,4

Enterobacter a 1 1,1 1,1 29,5

Enterobacter A 1 1,1 1,1 30,5

Kebsiella pneu 1 1,1 1,1 31,6

Klebsiella oxy 3 3,2 3,2 34,7

Klebsiella pne 16 16,8 16,8 51,6

Morganella mor 3 3,2 3,2 54,7

Proteus hauser 2 2,1 2,1 56,8

Proteus mirabi 1 1,1 1,1 57,9

Psedomonas aer 9 9,5 9,5 67,4

Raoultella orn 3 3,2 3,2 70,5

Serratia ficar 1 1,1 1,1 71,6

Serratia fonti 1 1,1 1,1 72,6

Serratia lique 1 1,1 1,1 73,7

Serratia marce 8 8,4 8,4 82,1

Serratia Marce 1 1,1 1,1 83,2

Sphingomonas p 1 1,1 1,1 84,2

Staphylococcus 9 9,5 9,5 93,7

Staphylococus 1 1,1 1,1 94,7

stenotrophomon 1 1,1 1,1 95,8

Streptococcus 3 3,2 3,2 98,9

veillonella sp 1 1,1 1,1 100,0

Total 95 100,0 100,0

genus Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Citrobacter Fr 17 17,9 17,9 17,9

E coli 5 5,3 5,3 23,2

Enterobacter s 2 2,1 2,1 25,3

Klebsiella sp 20 21,1 21,1 46,3

lain lain 11 11,6 11,6 57,9

Universitas Sumatera Utara

Page 88: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

68

Morganella mor 3 3,2 3,2 61,1

Proteus sp 3 3,2 3,2 64,2

Psedomonas aer 9 9,5 9,5 73,7

Serratia sp 12 12,6 12,6 86,3

Staphylococcus 10 10,5 10,5 96,8

Streptococcus 3 3,2 3,2 100,0

Total 95 100,0 100,0

Frequency Table

AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 2 2,1 2,1 2,1

NA 15 15,8 15,8 17,9

R 2 2,1 2,1 20,0

S 76 80,0 80,0 100,0

Total 95 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 1,1 1,1 1,1

NA 10 10,5 10,5 11,6

R 81 85,3 85,3 96,8

S 3 3,2 3,2 100,0

Total 95 100,0 100,0

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 1,1 1,1 1,1

NA 33 34,7 34,7 35,8

R 57 60,0 60,0 95,8

S 4 4,2 4,2 100,0

Total 95 100,0 100,0

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 4 4,2 4,2 4,2

NA 12 12,6 12,6 16,8

R 65 68,4 68,4 85,3

S 14 14,7 14,7 100,0

Total 95 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 1,1 1,1 1,1

NA 17 17,9 17,9 18,9

R 70 73,7 73,7 92,6

S 7 7,4 7,4 100,0

Total 95 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 89: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

69

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 4 4,2 4,2 4,2

NA 39 41,1 41,1 45,3

R 8 8,4 8,4 53,7

S 44 46,3 46,3 100,0

Total 95 100,0 100,0

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 2 2,1 2,1 2,1

NA 39 41,1 41,1 43,2

R 43 45,3 45,3 88,4

S 11 11,6 11,6 100,0

Total 95 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 1,1 1,1 1,1

NA 6 6,3 6,3 7,4

R 67 70,5 70,5 77,9

S 21 22,1 22,1 100,0

Total 95 100,0 100,0

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 11 11,6 11,6 11,6

NA 26 27,4 27,4 38,9

R 31 32,6 32,6 71,6

S 27 28,4 28,4 100,0

Total 95 100,0 100,0

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 1,1 1,1 1,1

NA 15 15,8 15,8 16,8

R 18 18,9 18,9 35,8

S 61 64,2 64,2 100,0

Total 95 100,0 100,0

Frequency Table

AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid S 17 100,0 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 17 100,0 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 90: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

70

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 5 29,4 29,4 29,4

R 12 70,6 70,6 100,0

Total 17 100,0 100,0

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 13 76,5 76,5 76,5

S 4 23,5 23,5 100,0

Total 17 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 15 88,2 88,2 88,2

S 2 11,8 11,8 100,0

Total 17 100,0 100,0

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 5,9 5,9 5,9

NA 5 29,4 29,4 35,3

S 11 64,7 64,7 100,0

Total 17 100,0 100,0

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 5 29,4 29,4 29,4

R 8 47,1 47,1 76,5

S 4 23,5 23,5 100,0

Total 17 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 14 82,4 82,4 82,4

S 3 17,6 17,6 100,0

Total 17 100,0 100,0

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 2 11,8 11,8 11,8

NA 5 29,4 29,4 41,2

R 5 29,4 29,4 70,6

S 5 29,4 29,4 100,0

Total 17 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 91: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

71

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 1 5,9 5,9 5,9

R 1 5,9 5,9 11,8

S 15 88,2 88,2 100,0

Total 17 100,0 100,0

Frequency Table

AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid S 5 100,0 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 5 100,0 100,0 100,0

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 2 40,0 40,0 40,0

R 3 60,0 60,0 100,0

Total 5 100,0 100,0

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 5 100,0 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 5 100,0 100,0 100,0

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 2 40,0 40,0 40,0

R 1 20,0 20,0 60,0

S 2 40,0 40,0 100,0

Total 5 100,0 100,0

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 2 40,0 40,0 40,0

R 2 40,0 40,0 80,0

S 1 20,0 20,0 100,0

Total 5 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 4 80,0 80,0 80,0

S 1 20,0 20,0 100,0

Total 5 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 92: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

72

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 2 40,0 40,0 40,0

R 3 60,0 60,0 100,0

Total 5 100,0 100,0

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 1 20,0 20,0 20,0

S 4 80,0 80,0 100,0

Total 5 100,0 100,0

Frequency Table

AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 1 5,0 5,0 5,0

S 19 95,0 95,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 1 5,0 5,0 5,0

R 19 95,0 95,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 7 35,0 35,0 35,0

R 13 65,0 65,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 19 95,0 95,0 95,0

S 1 5,0 5,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 20 100,0 100,0 100,0

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 5,0 5,0 5,0

NA 7 35,0 35,0 40,0

R 3 15,0 15,0 55,0

S 9 45,0 45,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 93: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

73

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 7 35,0 35,0 35,0

R 12 60,0 60,0 95,0

S 1 5,0 5,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 17 85,0 85,0 85,0

S 3 15,0 15,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 7 35,0 35,0 35,0

R 11 55,0 55,0 90,0

S 2 10,0 10,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 1 5,0 5,0 5,0

R 5 25,0 25,0 30,0

S 14 70,0 70,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Frequency Table

AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 2 22,2 22,2 22,2

R 1 11,1 11,1 33,3

S 6 66,7 66,7 100,0

Total 9 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 2 22,2 22,2 22,2

R 7 77,8 77,8 100,0

Total 9 100,0 100,0

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 3 33,3 33,3 33,3

R 6 66,7 66,7 100,0

Total 9 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 94: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

74

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 2 22,2 22,2 22,2

NA 1 11,1 11,1 33,3

R 2 22,2 22,2 55,6

S 4 44,4 44,4 100,0

Total 9 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 11,1 11,1 11,1

NA 7 77,8 77,8 88,9

R 1 11,1 11,1 100,0

Total 9 100,0 100,0

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 2 22,2 22,2 22,2

R 1 11,1 11,1 33,3

S 6 66,7 66,7 100,0

Total 9 100,0 100,0

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 3 33,3 33,3 33,3

R 6 66,7 66,7 100,0

Total 9 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 1 11,1 11,1 11,1

R 3 33,3 33,3 44,4

S 5 55,6 55,6 100,0

Total 9 100,0 100,0

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 11,1 11,1 11,1

NA 3 33,3 33,3 44,4

R 1 11,1 11,1 55,6

S 4 44,4 44,4 100,0

Total 9 100,0 100,0

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 3 33,3 33,3 33,3

S 6 66,7 66,7 100,0

Total 9 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 95: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

75

Frequency Table AMK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid S 12 100,0 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 12 100,0 100,0 100,0

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 3 25,0 25,0 25,0

R 9 75,0 75,0 100,0

Total 12 100,0 100,0

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 12 100,0 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 12 100,0 100,0 100,0

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 2 16,7 16,7 16,7

NA 3 25,0 25,0 41,7

R 1 8,3 8,3 50,0

S 6 50,0 50,0 100,0

Total 12 100,0 100,0

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 3 25,0 25,0 25,0

R 8 66,7 66,7 91,7

S 1 8,3 8,3 100,0

Total 12 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 12 100,0 100,0 100,0

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 4 33,3 33,3 33,3

NA 3 25,0 25,0 58,3

R 4 33,3 33,3 91,7

S 1 8,3 8,3 100,0

Total 12 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 96: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

76

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 2 16,7 16,7 16,7

S 10 83,3 83,3 100,0

Total 12 100,0 100,0

Frequency Table

AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 9 90,0 90,0 90,0

R 1 10,0 10,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 6 60,0 60,0 60,0

R 3 30,0 30,0 90,0

S 1 10,0 10,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 6 60,0 60,0 60,0

R 2 20,0 20,0 80,0

S 2 20,0 20,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 6 60,0 60,0 60,0

R 2 20,0 20,0 80,0

S 2 20,0 20,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 7 70,0 70,0 70,0

R 1 10,0 10,0 80,0

S 2 20,0 20,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 9 90,0 90,0 90,0

R 1 10,0 10,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

Universitas Sumatera Utara

Page 97: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

77

DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid NA 9 90,0 90,0 90,0

S 1 10,0 10,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid R 3 30,0 30,0 30,0

S 7 70,0 70,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 10,0 10,0 10,0

R 5 50,0 50,0 60,0

S 4 40,0 40,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid I 1 10,0 10,0 10,0

NA 7 70,0 70,0 80,0

R 2 20,0 20,0 100,0

Total 10 100,0 100,0

murecodekolaps * Jumlahkuman

Crosstab Count

Jumlahkuman

Total multipel negatif tunggal

umurecodekolaps >=60 1 2 11 14

0-59 10 12 66 88

Total 11 14 77 102

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance (2-

sided)

Pearson Chi-Square ,224a 2 ,894

Likelihood Ratio ,246 2 ,884

N of Valid Cases 102

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.51.

komorbid * Jumlahkuman

rosstab Count

Jumlahkuman

Total multipel negatif tunggal

komorbid tidak 5 11 41 57

ya 6 3 36 45

Total 11 14 77 102

Universitas Sumatera Utara

Page 98: POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN

78

Chi-Square Tests Value df Asymptotic Significance (2-sided)

Pearson Chi-Square 3,625a 2 ,163

Likelihood Ratio 3,861 2 ,145

N of Valid Cases 102

a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.85.

jeniskomorbid * Jumlahkuman

rosstab Count

Jumlahkuman

Total multipel negatif tunggal

jeniskomorbid DM 3 3 26 32

kardio 3 0 10 13

tidak 5 11 41 57

Total 11 14 77 102

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance (2-

sided)

Pearson Chi-Square 5,850a 4 ,211

Likelihood Ratio 7,106 4 ,130

N of Valid Cases 102

a. 4 cells (44.4%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.40.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for jeniskomorbid (DM / kardio)

a

a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.

dm * Jumlahkuman

Crosstab Count

Jumlahkuman

Total multipel negatif tunggal

dm dm 3 3 26 32

tidakdm 8 11 51 70

Total 11 14 77 102

Chi-Square Tests

Value df Asymptotic Significance (2-sided)

Pearson Chi-Square ,934a 2 ,627

Likelihood Ratio ,980 2 ,613

N of Valid Cases 102

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.45.

Universitas Sumatera Utara


Recommended