BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
Perdarahan pasca persalinan atau Postpartum hemorrhage (PPH) adalah salah
satu penyebab tersering kematian pada ibu.1,2,3,5,7,8 Setiap wanita hamil dengan
usia kehamilan sekitar 20 minggu beresiko untuk PPH. Pada Negara indusri,
PPH menempati urutan nomer 3 sebagai penyebab kematian ibu dengan
disertai emboli dan hipertensi. Pada beberapa Negara berkembang terdapat
kematian ibu sekitar 1000 wanita per 100.000 kelahiran, dan statistika WHO
menyebutkan sekitar 25% kematian ibu adalah akibat dari PPH, terhitung
lebih dari 100.000 kematian ibu per tahun.1 Disebutkan juga bahwa PPH lebih
sering terjadi di negara miskin, dan kematian ibu 1000 kali lebih besar dari
negara kaya.6 Perdarahan berat menyerang 5 sampai 15 persen wanita setelah
melahirkan.5
PPH di definisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL melalui
vaginal delivery (kelahiran pervaginam) atau kehilangan darah lebih dari
1000 mL melalui cesarean delivery. 1,2,3 Kehilangan sejumlah darah tersebut
dalam waktu 24 jam masa persalinan disebut PPH primer, dan disebut PPH
sekunder atau late PPH apabila kehilangan sejumlah darah tersebut dalam
waktu 24 jam setelah masa persalinan.1,3 Kehilangan darah melebihi 1000 mL
dapat menyebabkan perubahan fisiologi yang signifikan, dimana terjadi
ketidakstabilan hemodinamik seseorang.2 Kontrol fisiologi PPH terjadi oleh
kontraksi dan retraksi serat miometrium yg menyilang disekitar arteri spiral
ibu pada placental bed. Kontraksi miometrium menekan arteri dan vena spiral
sehingga akan merusak luminanya.3
2
PPH memiliki beberapa penyebab potensial, akan tetapi yang menjadi
penyebab tersering adalah atonia uteri. Atonia uteri adalah suatu kondisi
dimana uterus gagal untuk melakukan kontraksi setelah melahirkan. Beberapa
etiologi lainnya seperti adanya jaringan plasenta yang tertahan, trauma pada
traktus genitalia, abnormalitas pada faktor pembekuan darah juga dapat
menyebabkan perdarahan pasca persalinan.1,2,3,5,7 Riwayat PPH yang terjadi
pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor resiko utama terjadinya PPH
dan setiap usaha harus dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan dan
penyebabnya. Pada randomized trial terbaru di Amerika Serikat, berat badan
bayi, proses induksi dan augmentasi saat persalinan, chorioamnionitis,
penggunaan magnesium sulfate, dan riwayat PPH sebelumnya positif
berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya PPH.1 Setiap dokter
harus selalu menilai faktor resiko terhadap PPH karena bisa dilakukan
tindakan pencegahan.
Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan pemberian oksitosin pada
persalinan kala tiga. Tindakan ini dapat menurunkan resiko PPH lebih dari
40%. Oksitosin profilaksis setelah proses persalinan juga dapat menurunkan
resiko PPH.5 Gejala yang sering terjadi pada PPH salah satunya adalah
pendarahan vaginal berat yang bisa menyebabkan terjadinya gejala syok
hipovolemik.1 Selain terjadinya syok hipovolemia, komplikasi lain yang
dapat muncul juga berupa Orthostatic hypotension, anemia, lemas yang dapat
memperparah kondisi ibu. Anemia yang terjadi pasca persalinan akan
meningkatkan resiko postpartum depression. Pada kasus yang berat,
hemorrhagic shock dapat mengakibatkan terjadinya iskemia pituitari anterior
disertai kegagalan proses laktasi (nekrosis pituitari post partum).2 Pilihan
pengobatan utama seperti resusitasi, meningkatkan kontraksi uterus (seperti
Ergometrine, Oksitosin, dan Prostaglandin), tehnik operasi (seperti
menghambat arteri uterus), menggunakan obat-obatan hemostasis (seperti
asam tranexamic dan faktor VII rekombinan). Terapi jenis histerektomi
merupakan pilihan terakir dalam menangani kasus PPH.6,8 Pencegahan,
pengenalan secara dini, dan menyediakan intervensi secepatnya adalah kunci
untuk meminimalisasi dampak buruk dari perdarahan pasca persalinan.5
3
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah penyebab/etiologi terjadinya perdarahan pasca
persalinan?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan secara
umum?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang
disebabkan oleh atoni uterus?
4. Bagaimanakah penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang
disebabkan oleh trauma traktus genitalia?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang
disebabkan oleh jaringan yang tertahan?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang
disebabkan gangguan pembekuan darah?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
dengan menggunakan tehnik operasi?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui penyebab/etiologi terjadinya perdarahan pasca persalinan.
2. Mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan secara umum.
3. Mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan
oleh atoni uterus.
4. Mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan
oleh trauma traktus genitalia.
5. Mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan
oleh jaringan yang tertahan.
6. Mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan
gangguan pembekuan darah.
7. Mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan dengan
menggunakan tehnik operasi.
1.4. Manfaat Penulisan
4
1. Penulis dapat mengetahui penyebab/etiologi terjadinya perdarahan pasca
persalinan.
2. Penulis dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
secara umum.
3. Penulis dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh atoni uterus.
4. Penulis dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh trauma traktus genitalia.
5. Penulis dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh jaringan yang tertahan.
6. Penulis dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan gangguan pembekuan darah
7. Penulis dapat mengetahui penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan
dengan menggunakan tehnik operasi
5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Etiologi Terjadinya Perdarahan Pasca Persalinan
Penyebab perdarahan pasca persalinan diantaranya atonia uteri, laserasi
obstetrik, jaringan plasenta yang tertahan, dan kelainan koagulasi.
Perdarahan pasca persalinan secara fisiologis dikontrol oleh kontriksi dari
serat miometrial menyilang yang mengelilingi pembuluh darah tempat
suplai implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila miometrium tidak
dapat berkontraksi. Atonia uteri adalah penyebab terbanyak dari PPH
(sekitar 50% kasus). Beberapa hal yang dapat menyebabkan atonia uteri
diantaranya manipulasi uterus berlebihan, anastesi general (terutama yang
mengandung halogen), overdistensi uterus (pada bayi kembar, dan
polihdramnion), persalinan dengan waktu yang memanjang, multiparitas,
leimioma pada uterus, persalinan dengan seksio cesaria dan manipulasi
intrauterin, riwayat PPH sebelumnya, dan disfungsi miometrial intrinsik.
Perdarahan berat yang berasal dari epiostomi, laserasi maupun keduanya
ditemukan pada 20% kasus PPH. Laserasi bisa terjadi pada uterus, serviks,
vagina, atau vulva, dan biasanya merupakan hasil dari persalinan yang tidak
terkontrol atau persalinan seksio cesaria pada bayi yang besar. Laserasi pada
pembuluh darah disebelah dalam dari vagina maupun vulva dapat
menyebabkan terjadinya hematoma. Perdarahan yang tersembunyi
merupakan kondisi yang mengancam jiwa apabila tidak dapat diidentifikasi
selama beberapa jam dan akan menimbulkan syok. Epiostomi dapat
menyebabkan perdarahan berat apabila melibatkan arteri atau varicosities
yang besar, apabila epiostomi besar, apabila ada penundaan antara epostomi
dengan persalinan, apabila ada penundaan antara persalinan dengan
perbaikan epiostomi. Perdarahan yang persisten (terutama warna darah
merah terang) , kondisi uterus yang berkontraksi dengan baik, merupakan
pertanda bahwa perdarahan terjad akibat laserasi atau berasal dari epiostomi.
Ketika laserasi serviks atau vagina teridentifikasi sebagai sumber PPH maka
segera lakukan tindakan perbaikan disertai pemberian anastesi yang
6
adekuat. Ruptur uterus yang spontan jarang terjadi. Faktor esiko terjadinya
ruptur uterus seperti multiparitas, malpresentasi, riwayat operasi uterus
sebelumnya, persalinan yang diinduksi oksitosin.
Jaringan dan membran plasenta yang tertahan merupakan penyebab 5-10%
dari kasus PPH. Retensio jaringan plasenta pada kavum uterus terjadi dalam
plasenta akreta, pengeluaran plasenta secara manual, dan kesalahan
manajemen aktif kala tiga. Penemuan ultrasonografi dari massa uterus
ekogenik akan mendukung diagnosa dari retensio jaringan plasenta. Tehnik
ini dapat dilakukan beberapa jam setelah persalinan. Transvaginal Duplex
Doppler imaging juga efektif dalam mengevaluasi pasien.beberapa bukti
menyebutkan bahwa sonohysterography diperlukan dalam mendiagnosis
suatu jaringan trophoblastik yang tertinggal.
Koagulopati dalam kehamilan bisa berupa kelainan koagulasi yang di
dapat dan berhubungan dengan beberapa kelainan obstetrik seperti abruptio
placentae, thromboplastin yang berlebih, emboli pada cairan amniotik,
preeclampsia yg berat, sepsis. Koagulopati yang terjadi bisa berupa
hipofibrinogenemia, trombositopenia, disseminated intravascular
coagulation (DIC). Transfusi yang lebih dari 8 U darah juga dapat
menyebabkan dilutional coagulopathy. Von willebrand’s disease,
trombositopenia autoimun, dan leukemia mungkin terjadi pada wanita yang
sedang mengandung.10
2.2. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan Secara Umum
Diagnosis PPH ditentukan dengan melakukan observasi jumlah pendarahan
dan status klinis pasien. Jumlah hilangnya darah dan level kesadaran pasien
harus dinilai secara terus menerus. Penatalaksanaan pasien dengan PPH
memiliki 2 komponen utama yaitu (1) resusitasi dan perawatan pendarahan
obstetrik dan kemungkinan terjadinya syok hipovolemik dan (2) identifikasi
dan perawatan penyebab yang mendasarinya.1 Adapun penatalaksanaan
PPH dapat dilihat pada bagan 1 dibawah ini.2
7
Manajemen aktif persalinan kala tigaOksitosin (pitosin) diberikan dengan atau selama persalinanMengontrol penarikan tali pusatPemijatan uterus setelah melahirkan plasenta
Kehilangan darah > 500 mLPendarahan postpartum
Pendarahan cepatTekanan darah menurunDenyut nadi meningkat
Resusitasi2 large-bore IV needlesMasker oksigenPemantauan tekanan darah, denyut nadi, keluaran urineTeam approach
Pemijatan uterus bimanualOksitosin 20 IU per L saline normalInfus ditingkatkan sampai 500 mL lebih 10 menit
Pemeriksaan saluran genital bawahMempertimbangkan pemeriksaan uterus
Inspeksi plasenta
Observasi pembekuanMempertimbangkan pemeriksaan darah lengkap, tipe dan persilangan, coagulation screen
The Four Ts
Uterus lembekTONE
Sobekan saluran kencingInversi uterusTRAUMA
TONE
Plasenta tertahanTISSUE
Darah tidak menggumpalTROMBIN
Carboprost (hemabate) 0,25 mg IMMisoprostol (cytotec)1000 mcg melaui rektalMethylergonovine (methergine) 0,2 mg IM
Penjahitan laserasiPenyedotan hematoma > 3 mmMenggantikan inversio uterus
Pemindahan manualKuretaseMethotrexate
Faktor penggantiPlasma beku segarFaktor rekombinan VIIaTransfusi platelet
Kehilangan darah > 1000 – 1500 mLPendarahan berat
Transfusi sel darah merah, platelet, dan faktor pembekuanICU untuk anastesi, hematologi, pembedahanUterine packing/prosedur temponadeEmbolisasi pembuluh darah, ligasi, dan kompresi penjahitanHisterektomi
Terapi PPH membutuhkan pendekatan multidisiplin ilmu.6 Pencegahan,
pengenalan secara dini, dan menyediakan intervensi secepatnya adalah kunci
untuk meminimalisasi dampak buruk dari perdarahan pasca persalinan.
Mengenali terjadinya PPH sedini mungkin merupakan hal yang sangat penting
dalam melakukan terapi PPH. Apabila diagnosis telah ditetapkan maka segera
merencanakan tim obstetrik dimana diperlukan minimum 1 ahli obstetrik dan 1
ahli anastesi.1 Beberapan langkah terapi awal yang dapat dilakukan pada wanita
yang mengalami PPH, antara lain:
1) Resusitasi cairan
Resusitasi harus segera dilakukan dengan memberikan oksigen dan
memasang jalur intravena. Lakukan resusitasi awal dengan pemberian
larutan kristaloid dalam volume besar, atau normal saline (NS) atau
Lactated Ringer’s solution (LRS).1,4 Larutan ini secara cepat akan
membentuk suatu keseimbangan ke ruang ekstravaskuler, hanya 20%
kristaloid yang menetap pada sirkulasi setelah 1 jam.4 NS adalah cairan
yang paling disarankan karena harganya yang murah dan mampu
berinteraksi baik dengan obat dan ransfusi darah. Kehilangan 1 L darah
memerlukan 4-5 L kristaloid karena kebanyakan cairan yang diinfuskan
tidak disimpan dalam ruang intravaskuler tetapi secara bergantian akan
menuju ruang interstitial. Akibat sejumlah besar cairan kristaloid hilang
menuju ruang interstitial maka penggunaan koloid pada resusitasi harus
benar-benar diukur. Cairan koloid dalam volume besar (>1000-1500
mL/d) dapat memberkan efek samping terhadap hemostasis.1
2) Transfusi darah
Transfusi darah diberikan ketika kehilangan darah terus terjadi dan
sampai melebihi 2000 mL atau jika status klinis pasien menunjukan
perkembangan terjadinya syok.1 Transfusi darah lengkap (whole blood)
merupakan terapi yang digunakan untuk mengatasi hipovolemia akibat
perdarahan akut yang banyak. Darah lengkap memiliki waktu simpan
40 hari dan 70% sel darah merah yang di transfusikan tetap hidup
8
selama paling sedikit 24 jam setelah transfusi. Darah ini akan
menggantikan banyak faktor pembekuan darah terutama fibrinogen,dan
kandungan plasmanya untuk mengatasi hipovolemia akibat perdarahan.4
Pada beberapa kasus transfusi yang utama digunakan adalah Packed
Red Blood Cells (PRBC). Satu unit PRBC mengandung volume eritrosit
yang sama dengan darah lengkap dan juga akan meningkatkan
hemtokrit sebesar 3 sampai 4 persen volume. Sebanyak 2-4 U dari
PRBC ditransfusikan untuk menggantikan hilangnya kapasitas
pembawa oksigen (oxygen-carrying capacity) dan untuk menjaga
volume sirkulasi.1 Apabila perdarahan yang terjadi adalah berat,
penggantian dengan larutan kristaloid dan PRBC biasanya
menyebabkan kadar trombosit dan faktor pembekuan yang larut
berkurang sehingga terjadi koagulopati fungsional. Koagulopati ini
dapat mengganggu hemostasis dan memperparah perdarahan.4
3) Melakukan Tes laboratorium
Beberapa tes laboratorium darah yang dievaluasi pertama kali
diantaranya jumlah platelet dan coagulation screen. Pemantauan hasil
tes hemostatis harus dilakukan secara reguler pada wanita yang
membutuhkan transfusi dalam jumlah yang besar. Jumlah platelet
harus tetap terjaga lebih dari 50 x 109/L dengan menggunakan tranfusi
platelet. Setiap unit dari transfusi platelet meningkatkan jumlah platelet
kira-kira 10 x 109/L. Apabila perdarahan terus berlanjut dan jumlah
platelet kurang 50 x 109/L, diperlukan pada mulanya 10-12 U. Apabila
intervensi operasi diperlukan, jumlah platelet harus tetap terjaga lebih
dari 80-100 x 109/L. coagulation screen test digunakan untuk
melakukan deteksi suatu abnormalitas pada pembekuan darah, dengan
menggunakan fibrinogen, fibrin degradation product. Apabila hasil tes
koagulasi menunjukan suatu abnormalitas maka akan membuktikan
penyebab yang mendasari PPH seperti abruptio placenta, HELLP
syndrome, fatty liver of pregnancy, intrauterine fetal demise, amniotic
fluid embolus, septicemia, preexisting disorder. Dengan demikian harus
9
segera mengambil langkah untuk melakukan terapi terhadap penyebab
yang mendasari PPH tersebut dan abnormalitas hemostasis.1
4) Respon terhadap Resusitasi
Memperhatikan secara berlanjut terhadap tingkat kesadaran pasien,
denyut nadi, tekanan darah, pengeluaran urin selama menjalani
perawatan perdarahan tersebut. Pengeluaran urin sampai 30 mL/h atau
lebih dapat mengindikasikan suatu perfusi renal. Monitoring juga
jumlah CBC (complete blood count), koagulasi, gas darah untuk
mengetahui status asam-basa pasien. Pulse oximetry digunakan untuk
evaluasi perfusi jaringan dan saturasi oksigen. Auskultasi paru dapat
membantu mendeteksi apakah ada pulmonary edema atau
berkembangnya adult respiratory distress syndrome.1
5) Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan yang Berat
Ketika terjadi perdarahan yang berat, harus segera diketahui penyebab
terjadinya perdarahan dan dalam waktu yang bersamaan harus
dilakukan beberapa langkah yang dilakukan untuk menangani
perdarahan pasca persalinan yang masif atau berat, diantaranya:
Organisasi
1. Segera memanggil tenaga ahli (termasuk ahli obstetrik dan
anastesi).
2. Memberi laporan ke bank darah dan ahli hematologi
3. Meminta perawat untuk mencatat vital sign, pengeluaan urin,
cairan dan administrasi obat.
Resusitasi
1. Pemberian oksigen dengan menggunakan masker.
2. Meletakan 2 large-bore (14-gauge) intravenous lines.
3. Mengambil darah untuk melakukan crossmatch dari 6 U PRBC,
dan menghitung jumlah CBC, melakukan coagulation screen,
mengukur level urea, kreatinin, dan status elektrolit.
10
4. Memulai dengan segera pemberian pengganti cairan dengan NS
atau larutan Ringer lactate.
5. Melakukan transfusi darah dengan PRBC.
Kelainan pada Koagulasi Darah
1. melakukan coagulation screen (International Normalized Ratio,
activated partial thromboplastin time) apabila ada suatu
keabnormalitasan pada fibrinogen, thrombin time, blood film, and
D-dimer.
2. Memberikan FFP apabila hasil tes koaguasi adalah abnormal.
3. Memberikan cryoprecipitate apabila hasil tes koagulasi adalah
abnormal dan tidak dapat dikoreksi dengan FFP dan perdarahan
terus berlangsung.
4. Memberikan konsentrasi platelet apabila jumlah platelet kurang
dari 50 X 109/L dan perdarahan terus berlangsung..
5. Menggunakan cryoprecipitate dan konsentrasi platelet sebelum
melakukan intervensi operasi.
Evaluasi terhadap respon
1. Mengamati denyut nadi, tekanan darah, status gas darah, status
asam-basa, dan mengamati tekanan vena sentral.
2. Mengukur pengeluaran urin menggunakan indwelling catheter.
3. Melakukan jumlah CBC dan tes koagulasi untuk menuntun terapi
komponen darah.
Memperbaiki penyebab perdarahan
1. Apabila antepartum, lahirkan fetus dan plasenta.
2. Apabila postpartum, menggunakan oksitosin, prostaglandin, atau
ergonovine.
3. Melakukan pemeriksaan kavum uterus.
4. Melakukan pemeriksaan cervix dan vagina, ligasi pembuluh yang
terluka dan memperbaiki trauma.
5. Melakukan ligasi suplai darah uterus seperti arteri uterine, arteri
ovarium, dan arteri iliac internal.
6. Melakukan arterial embolization atau histerektomi
11
2.3. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan yang Disebabkan oleh
Atonia Uteri
Atonia uteri adalah penyebab terbanyak terjadinya perdarahan pasca
persalinan.1,2,3 Atonia uteri terjadi apabila miometrium tidak dapat
berkontraksi Atonia uteri yang dapat menyebabkan perdarahan dapat
diperkirakan apabila digunakan zat-zat anastetik berhalogen dalam
konsentrasi yang tinggi yang menyebabkan relaksasi uterus. Uterus yang
mengalami overdistensi kemungkinan besar mengalami hipotonia setelah
melahirkan. Dengan demikian wanita dengan janin besar, janin multiple,
hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri.2 Obesitas
dikatakan mempunyai hubungan dengan kondisi uterus yang lembek.11
Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak
efektif juga kemungkinan besar mengalami perdarahan berlebihan akibat
atonia uteri setelah melahirkan. Demikian juga persalinan yang dipicu oleh
oksitosin juga lebih rentan mengalami atonia uteri.4 Oleh karena hemostasis
berhubungan dengan pemisahan plasenta yang tergantung oleh kontraksi
miometrium, maka keadaan atonia harus segera di terapi dengan
menggunakan tehnik pemijatan dan penekanan uterus diikuti dengan
pemberian obat-obatan yang mendukung kontraksi uterus.2
Apabila uterus terlihat lembek maka mulai melakukan pemeriksaan ukuran
dan tonus uterus dengan meletakkan tangan pada fundus uterus dan memijat
uterus, yang dapat menekan proses pembekuan yang terakumulasi di uterus
dan vagina.1 Pemijatan dilakukan dengan meletakkan salah satu di vagina
dan menekan melawan uterus sedangkan tangan yang satunya menekan
fundus dari atas melalui dinding abdomen. Aspek posterior uterus dipijat
dengan tangan abdomen dan aspek anterior dengan tangan vagina.2
12
Gambar 1. Tehnik Pemijatan Bimanual untuk Atonia Uteri 2
Bila uterus tak dapat berkontraksi dengan baik, maka dilakukan pemijatan
dengan lebih kuat dan obat uterotonik. Oksitosin dapat diberikan sebanyak
5-U intravena bolus, 20 U dalam 1 L dari NS secara intravena, atau
diberikan 10 U secara intramyometrial dengan menggunakan jarum spinal
apabila akses intravena tidak tersedia.1 Oksitosin menstimulasi segmen atas
dari miometrium untuk berkontraksi dan menurunkan aliran darah yang
melewati uterus.1
Obat-obatan sebagai lini kedua adalah Methylergonovine (Methergine)
dan Ergonovine (atau ergotrate) diberikan dengan dosis awal 100 atau 125
mcg secara intravena atau secara intramyometrial atau dengan dosis 200
atau 250 mcg secara intramuskular. Dosis maksimum adalah 1.25 mg.1
Methylergonovine (Methergine) dan Ergonovine (atau ergotrate) merupakan
ergot alkaloid yang dapat mnimbulkan efek kontraksi otot polos pada
segmen atas dan bawah uterus. Hipertensi adalah kontraindikasi pemakaian
karena obat ini dapat meningkatkan tekanan darah, efek samping lainnya
adalah mual dan muntah.2. Obat lain yang dipakai sebagai lini kedua adalah
golongan 15-methylprostaglandin atau Carboprost (hemabate).
Prostaglandin meningkatkan kontraktilitas uterus dan menyebabkan
13
vasokonstriksi.2 Dosis yang direkomendasikan adalah 250 mcg secara
intramuskuler atau secara intramiometrial, tetapi tidak boleh melebihi
sampai 2 mg (8 dosis).1,2
Carboprost menunjukan keefektifannya sekitar 80-90% untuk
menghentikan PPH. Pemberian secara Intramuskular dari obat ini tidak di
rekomendasikan apabila pasien menunjukan tanda-tanda syok karena dapat
mengganggu absorpsi obat. Asthma merupakan kontraindikasi pemakaian
Carboprost. Efek samping dari pemakaian Carboprost diantaranya mual,
muntah, diare, hipertensi, sakit kepala, demam.2 Misoprostol juga bisa
dijadikan sebagai lini ketiga pengobatan PPH.1 Misoprostol adalah salah
satu golongan prostaglandin lainnya yang dapat meningkatkan tonus uterus
dan menurunkan perdarahan pasca persalinan.2,12 Misoprostol dapat
diberikan melalui oral maupun vaginal. Dikatakan dosis 100 µg oral
misoprostol memiliki keefektifan yang sama dengan dosis 50µg vaginal
misoprostol.9 Beberapa kasus melaporkan pemberian dosis sebesar 1000
mcg melalui rectal efektif dalam kasus PPH akut.1,2 Beberapa bukti
menunjukan bahwa misoprostol oral yg diberikan pada persalinan kala 3
dapat mengurangi kejadian PPH.13 Keuntungan Misoprostol diantaranya
harga yang murah dan tahan akan panas (tanpa perlu pendingin).1
Misoprostol memiliki efek samping seperti menggigil, demam, diare.2
2.4. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan yang Disebabkan oleh
Trauma Traktus Genitalia
Adanya suatu luka dan hematoma sebagai hasil dari trauma saat persalinan
dapat menyebabkan kehilangan darah yang signifikan. Penjahitan harus
segera dilakukan apabila penekanan secara langsung tidak dapat
menghentikan pendarahan. Epiostomi dapat meningkatkan kehilangan darah
dan resiko robekan spinter anal, sehingga prosedur ini harus di hindari
terkecuali pada keadaan darurat.
Kasus inversio uteri jarang terjadi dan manajemen aktif persalinan kala tiga
dapat mengurangi insiden terjadinya inversi uterus.3 Inversi total uterus
14
setelah janin lahir hampir selalu disebabkan oleh tarikan kuat terhadap tali
pusat yang melekt ke plasenta yang tertanm di fundus. Beberapa hal yang
ikut berperan dalam inversio uteri adalah tali pusat yang kuat dan tidak
mudah terlepas dari plasenta ditambah dengan tekanan pada fundus dan
uterus yang lemas.4 Uterus yang mengalami inversi terlihat sebagai masa
berwarna abu-abu kebiruan yang menonjol dari vagina.
Inversio uteri paling sering menimbulkan perdarahan akut yang mengancam
jiwa.3,4 Mereduksi inversio uteri dapat menggunakan metode Johnson.
Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta terlepas mungkin
dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara mendorong fundus yang
menonjol memakai telapak tangan dan jari tangan menuju posterior fornix.
Kemudian dipasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberikan larutan
ringer laktat serta darah untuk mengatasi hipovolemia. Apabila plasenta
masih melekat maka keluarkan plasenta terlebih dahulu. Setelah plasenta
dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian tengah fundus dengan jari
terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-tepi serviks. Kemudian dilakukan
tekanan dengan tangan sehingga fundus terdorong ke atas melalui serviks.
Mengembalikan uterus ke posisi nya dengan sedikit mengangkatnya
melewati pelvis menuju abdomen. Setelah uterus berada pada posisi
normalnya perlu diberikan obat-obatan uterogenik untuk mendukung tonus
uterus dan mencegah terjadinya kekambuhan. Pemberian magnesium sulfat,
terbutaline (Brethine), nitroglycerin, ritrodin digunakan untuk membantu
merileksasikan uterus.
Gambar 2. Metode Johnson untuk Inversio Uterus 2
15
Tehnik operasi adalah pikiran terakhir apabila semua metode awal gagal
dilakukan. Apabila uterus tidak dapat di reposisi dengan manipulasi vagina
karena ada cincin konstriksi yang tebal wajib dilakukan laparotomi. Secara
bersamaan, fundus kemudian dapat di dorong dari bawah dan ditarik ke atas.
Apabila cincin konstriksi tetap menghambat reposisi, secara hati-hati serviks
di insisi di sebelah posterior. Setelah fundus direposisi obat anastesi yang
digunakan untuk melemaskan miometrium dihentikan dan mulai diberi
oksitosin dan insisi uterus diperbaiki.3,4
Adanya suatu robekan serviks yang dalam harus dicurigai pada kasus
perdarahan berat selama dan setelah kala tiga persalinan, terutama apabila
uterus berkontraksi dengan kuat. Robekan serviks yang dalam memerlukan
perbaikan bedah. Apabila laserasi terbatas pada serviks, atau bahkan apabila
meluas ke dalam fornix vagina, penjahitan serviks harus segera dilakukan.4
Suatu hematoma traktus genitalia seperti hematoma puerperium dan
hematoma vulva juga dapat mengakibatkan kehilangan darah dalam jumlah
yag besar. Hematoma vulva mudah di diagnosis berdasarkan nyeri perineum
hebat dan munculnya benjolan yang tegang, fluktuatif, dan sensitif dengan
ukuran beragam serta adanya perubahan warna kulit. Terapi hematoma
vulva yang kecil dan teridentifikasi setelah masa persalinan dapat dilakukan
observasi saja. Akan tetapi apabila disertai rasa nyeri hebat, hematoma yang
membesar, harus segera melakukan insisi. Insisi dilakukan di titik distersi
maksimum disertai evakuasi darah dan bekuan serta ligasi titik-titik
perdarahan. Hipovolemia dan anemia berat harus dicegah dengan
penggantian darah secara adekuat. Hematoma subperitoneum dan
supravagina sulit di terapi. Hematoma jenis ini dapat di evakuasi dengan
insisi perineum atau laparotomi. Embolisasi angiografik dapat digunakan
untuk mengatasi hematoma puerperium.4
Ruptur uterus terjadi pada 0,6 sampai 0,7 persen dari kelahiran
pervaginam setelah kelahiran seksio cesria.3 uterus yang ruptur dapat
langsung terhubung dengan rongga peritoneum (komplit) atu mungkin
dipisahkan oleh peritoneum viseralis yang menutupi uterus atau olh
16
ligamentum latum (inkomplit).4 Resiko meningkat secara signifikan apabila
sebelumnya ada riwayat pernah melakukan insisi atau operasi uterus,
interval mengandung yang singkat, riwayat persalinan seksio cesria lebih
dari 2 kali, dan pada wanita yang tidak memiliki riwayat melahirkan
pervaginam sebelumnya. Penggunaan Misoprostol harus dihindari untuk
proses induksi cerviks pada persalinan pervaginam setelah persalinan seksio
cesria sebelumnya. Tanda primer ruptur uterus sebelum kelahiran adalah
braikardia fetus. Tanda lainnya berupa perdarahan vagina, takikardia
maternal, abdominal girth. Ruptur uterus yang simptomatik memerlukan
tindakan operasi perbaikan kelainan atau histerektomi.2
2.5. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan yang Disebabkan oleh
Jaringan yang Tertahan
Pada sebagian besar kasus, plasenta terlepas secara spontan dari tempat
implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. Penyebab
pasti tertundanya pelepasan masih belum jelas, tapi sering disebabkan oleh
kontraksi uterus yang tidak adekuat. Walaupun sangat jarang, tapi plasenta
dapat melekat erat ke tempat implantasi, dengan sedikit atau tanpa desisua,
sehingga tidak terdapat garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa
desidua. Akibatnya salah satu atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua
basalis atau miometrum.
Kelahiran plasenta dapat dicapai dengan menggunakan manuver Brandt-
Andrews untuk menarik tali pusat. Salah satu tangan menarik tali pusat
dengan kuat dan tangan yang lain melakukan penekanan di daerah
suprapubik. Waktu rata-rata dari persalinan hingga pengeluaran plasenta
sekitar 8 sampai 9 menit. Semakin lama interval maka akan meningkatkan
resiko perdarahan pasca persalinan.
17
Gambar 3. Manuver Brandt-Andrews untuk menarik tali pusat 2
Retensio plasenta adalah suatu kondisi dimana plasenta gagal lahir 30 menit
setelah melahirkan. Salah satu pilihan terapi adalah dengan melakukan
injeksi 20 ml larutan 0,9 % saline dan 20 unit oksitosin ke vena umbilikal. 3
Pengeluaran plasenta secara manual juga bisa dilakukan dengan
menggunakan analgesik atau anastesia yang adekuat dan menggunakan
tehnik bedah yang intensif. Setelah fundus dipegang melalui dinding
abdomen oleh salah satu tangan, tangan yang lain dimasukan ke dalam
vagina dan di dorong ke dalam uterus menelusuri tali pusat. Segera setelah
plasenta tercapai, tepinya di identifikasi, dan sisi ulnar tangan disisipkan
diantara plasenta dan dinding uterus. Kemudian dengan punggung tangan
berkontak dengan uterus, plasenta dikupas dari perlekatannya di uterus
dengan gerakan seperti memisahkan halaman-halaman buku. Setelah
seluruhnya dilepaskan, plasenta dipegang dengan seluruh tangan, kemudian
secara perlahan dikeluarkan. Selaput ketuban dikeluarkan pada saat yang
bersamaan dengan menyisirnya dari desidua secara hati-hati, bila perlu
menggunakan forcepcincin untuk menjepitnya. Fundus harus selalu di
palpasi setelah plasenta lahir untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi
dengan baik.4
18
Invasif plasenta merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Insidennya
meningkat dari 0,003% sampai 0,04% dari kelahiran. Klasifikasinya
berdasarkan dalamnya invasi plasenta: plasenta akreta (melekat pada
miometrium), placenta increta (menginvasi miometrium), plasenta perkreta
(menembus miometrium). Faktor resiko terjadinya invasif plasenta adalah
usia ibu, paritas tinggi, plasenta previa. Terapi umum untuk invasif plasenta
adalah histerektomi, pemberian darah segera, akan tetapi terapi konservatif
seperti pemberian Methotrexate secara oral terkadang juga berhasil.3
Tindakan alternatif yang bisa digunakan antara lain ligasi arteri uterina, dan
iliaka intern atau embolisasi angiografik.4 Wanita dengan retensio plasenta
harus terus dobservasi dengan resiko kemungkinan terkena infeksi dan
perdarahan pasca persalinan yang lambat.2
2.6. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan yang Disebabkan oleh
Gangguan Pembekuan Darah
Gangguan pembekuan darah adalah penyebab terjarang dari perdarahan
pasca persalinan. Kebanyakan gangguan pembekuan darah sudah terdeteksi
sebelumnya sebagai perencanaan untuk mencegah perdarahan pasca
persalinan. Beberapa penyakit gangguan pembekuan darah diantaranya
idiophatic thrombocytopenic purpura, thrombotic thrombocytopenic
purpura, von willbrand’s disease dan hemofilia. Beberapa penyakit juga
dapat muncul seperti sindrom HELLP (hemolisis, level enzim heper yang
meningkat, level platelet yang rendah), atau Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC). Faktor reiko terjadinya DIC adalah preeclampsia berat,
embolisasi cairan amnion, sepsis. Perdarahan berlebihan dapat mengurangi
faktor koagulasi dan menyebabkan consumptive coagulation yang dapat
memperparah perdarahan. Pemeriksaan jumlah platelet dan pengukuran
prothrombin time, partial thromboplastin time, level fibrinogen, fibrin split
product (D-dimer). Terapinya dengan mengobati penyakit yang
mendasarinya, memperhatikan volume intravaskuler, mengevaluasi stasus
koagulasi, dan mengganti komponen darah yang hilang. Terapi konservatif
19
juga bisa dilakukan dengan pemberian faktor VIIa rekombinan atau obat-
obatan yang menukung pembekuan darah seperti Tranexamic Acid.2
2.7. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan dengan Tehnik Operasi
Perdarahan pasca persalinan yang tidak mudah ditangani (intractable PPH)
merupakan penyebab kematian ibu secara langsung. Perencanaan terapi
operasi untuk PPH yang tidak mudah ditangani diantaranya laparotomi
dengan ligasi pada pembuluh uterus atau arteri iliaka internal dan
melakukan histerektomi. Pendekatan terhadap PPH yang tidak mudah
ditangani adalah secara individual tergantung pada situasi klinis,
kemampuan dan teknologi yang tersedia. Melakukan pemantauan dan
penggantian cairan dan komponen darah harus dilakukan secara terus-
menerus.
1. Ligasi Pembuluh Uterus
Prosedur ini pertama kali dilakukan pada tahun 1952 dan dilaporkan
berhasil pada 80-90 persen kasus. Pasien dengan PPH yang tidak mudah
ditangani akan dilakukan devaskularisasi uterus dimana dimulai dengan
ligasi pembuluh uterus unilateral dan ligasi pembuluh ovarium. Belum
ditemukan ada komplikasi berat yang terjadi setelah terapi ini. Pada
tehnik ligasi pembuluh uterus, arteri uterus akan di ligasi pada tingkat
dimana arteri tersebut berada disepanjang tepi uterus disamping bagian
atas dari segmen bawah uterus. Apabila dilakukan persalinan secara
seksio cesria maka ligasi dilakukan 2-3 cm di bawah insisi uterus. Arteri
dan vena uterus diligasi dengan menggunakan jarum 2-3 cm dari medial
melewati pembuluh, termasuk dinding miometrium, sampai broad
ligament pada area avaskular lateral terhadap pembuluh. Dalam hal untuk
mencapai massa ligasi maka harus dihindari adanya kerusakan pada
pembuluh uterus dan membantu perusakan cabang arteri intramiometrial
ascenden. Jahitan kedua dapat dilakukan apabila langkah awal tidak
memberikan hasil yang diinginkan dan perdarahan berlanjut di segmen
bawah uterus. Dengan keadaan kandung kemih yang dapat bergerak
20
dengan baik, ligasi kedua pembuluh uterus bawah bilateral dilakukan 3-5
cm di bawah benang jahitan atas. Benang jahitan akan dapat merusak
cabang dari arteri uterus menuju segmen uterus bawah dan perluasan
cabang hingga serviks. Apabila tetap terjadi perdarahan maka diakukan
ligasi pembuluh ovarium unilateral atau bilateral. Pada kebanyakan kasus
PPH yang tidak mudah ditangani, tindakan ligasi pembuluh uterus
merupakan langkah awal tindakan operasi karena pelaksanaannya lebih
sederhana dan cepat. Keuntungan melakukan ligasi di sekitar iliaka
internal adalah diseksi lebih mudah dilakukan, komplikasi rendah, oklusi
distal pada suplai arteri dengan potensi terjadinya perdarahan berulang
sedikit akibat kolateral. Ligasi pembuluh uterus efektif dalam mengontrol
PPH.5
2. Ligasi Arteri Iliaka Internal
Ligasi arteri iliaka internal merupakan prosedur yang sudah dilakukan
sejak tahun 1800 untuk menangani perdarahan akibat tumor pelvis dan
sekarang di aplikasikan untuk menangani perdarahan obstetrik. Efek dari
ligasi arteri iliaka internal adalah penukaran sirkulasi pelvis dengan
sistem vena dengan demikian dapat memungkinkan terjadinya pembekun
darah. Teniknya berupa mengidentifikasi percabangan arteri iliaka
komunis dimana dilewati oleh ureter. Dengan keadaan peritoneum,
terbuka ureter akan tertarik ke arah medial., dan arteri diligasi 2,5cm
distal terhadap percabangan dari iliaka internal dan eksternal. Harus
dihindari terjadinya trauma pada vena iliaka internal. Arteri iliaka
eksternal dan denyut nadi femoral harus diidentifikasi sebelum dan
sesudah dilakukan penjahitan. Ligasi arteri iliaka internal memerlukan
intervensi khusus karena berdampak pada aliran darah uterus. Dampak
yang mungkin terjadi seperti adanya trauma pada vena iliaka internal
yang dapat memperburuk perdarahan.5
3. Histerektomi Peripartum Emergensi
21
Histerektomi emergensi adalah modalitas terapi utama apabila
dibutuhkan intervensi operasi pada kasus perdarahan berat. Angka
insiden untuk histerektomi peripartum emergensi berkisar antara 7
sampai 13 persen dari 10.000 kelahiran anak. Dan semakin meningkat
apabila setelah melahirkan melalui seksio cesria. Selain itu plasenta
previa dan plasenta akreta juga memiliki hubungan dengan resiko
histerektomi. Beberapa indikasi untuk dilakukannya histerektomi
emergensi adalah ruptur uterus, ekstensi berat dari irisan insisi seksio
cesria, hematoma pada broad ligament, laserasi servix atau vagina, dan
chorioamnionitis. Untuk mencegah kerusakan ureter, arteri uterus harus
dijepit dibawah uterus dan mengambil pedicles kecil secara berturut-
turut. Karena serviks kemungkinan sulit dipalpasi,jalan terbaiknya adalah
membuka vagina dan mengelilingi serviks. Biasanya disarankan agar
vagina sekurang-kurangnya terbuka sebagian dengan atau tanpa drainase.
Histerektomi subtotal dapat mengurangi waktu operasi dan kehilangan
darah. Apabila perdarahan terjadi pada segmen bawah uterus atau servks,
sama halnya bila terjadi plasenta previa, perdarahan menjadi tidak
terkontrol karena disuplai oleh cabang servikalis dari arteri uterus.
Keuntungan dari histerektomi emergensi pada kondisi perdarahan berat
adalah mampu menghilangkan sumber perdarahan. Kerugian dari
histerektomi emergensi ini adalah hilangnya uterus. histerektomi juga
berhubungan dengan lamanya waktu operasi dan banyaknya kehilangan
darah,tapi histerektomi selalu disediakan pada kasus PPH yang berat.5
4. Embolisasi Arteri Uterus / Iliaka Internal
Tehnik embolisasi angiografi pertama kali digunakan untuk terapi
perdarahan pasca persalinan pada tahun 1979. tehnik ini dapat dilakukan
apabila isterektomi emergensi gagal menghentikan terjadinya
perdarahan.5 Tehnik ini dilakukan dengan menusuk arteri femoral diikuti
dengan kateterisasi arteri pelvis. Material yang biasanya digunakan
adalah gelfoam (gelatin).6 Kerugian dari tehnik ini adalah waktu yang
22
dibutuhkan sekitar 1-2 jam untuk pelaksanaannya.5 Komplikasi yang
dapat terjadi seperti panas, toksisitas pada renal, iskemia pada daerah
kaki.
23
BAB 3
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Penyebab / etiologi perdarahan pasca persalinan diantaranya atonia
uteri, laserasi obstetrik, jaringan plasenta yang tertahan, dan kelainan
koagulasi.
2. Penatalaksanaan pasien dengan PPH memiliki 2 komponen utama
yaitu (1) resusitasi dan perawatan pendarahan obstetrik dan
kemungkinan terjadinya syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan
perawatan penyebab yang mendasarinya
3. Atonia uteri adalah penyebab terbanyak terjadinya perdarahan pasca
persalinan. Penatalaksanaan pasien dengan atonia uteri adalah dengan
melakukan pemijatan bimanual dan pilihan pemberian oksitoin 20 IU
per liter dari saline normal, Carboprost (hemabate) 0,25 mg IM,
Misoprostol (Cystotec) 1000 mg melalui rektal, Methylegonovine
(Methergine) 0,2 mg IM dengan tujuan untuk meningkatkan kontraksi
uterus.
4. Adanya suatu laserasi, trauma atau robekan pada traktus genitalia,
adanya suatu inversio uterus, ditangani dengan melakukan penjahitan
terhadap laserasi atau robekan, melakukan drainase pada hematoma
dengan ukuran > 3 cm, dan mengembalikan uterus ke posisi normalnya
pada kasus inversio uterus.
5. Suatu jaringan / plasenta yang tertahan ditemukan pada 5-10% kasus
PPH. Penatalaksanaan adalah dengan pengeluaran secara manual,
melakukan kuretase, dan pemberian Methotrexate.
6. Koagulopati dalam kehamilan dapat ditangani dengan pemberian
faktor VIIa rekombinan, transfusi platelet, fresh frozen plasma, dan
pemberian Tranexamic Acid
7. Perencanaan terapi operasi untuk PPH yang tidak mudah ditangani
diantaranya laparotomi dengan ligasi pada pembuluh uterus atau arteri
iliaka internal dan melakukan histerektomi.
24
25
Recommended