Transcript
Page 1: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

45

SILABUS

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

HANDOUT

Mata Kuliah:

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA

Oleh :

Emizal Amri

Dibiayai Oleh:

Fellowship and Curriculum Development Program the Reconstruction

and Upgraiding Project State University of Padang

dengan Surat Perjanjian Kontrak Kerja

No. 1284/pr2p/unp/2014

Tanggal 8 Juli 2014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2014

PERANGKAT PEMBELAJARAN

Page 2: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

46

I. PENDAHULUAN

Tulisan ini merupakan perangkat pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi

Sosial Budaya sebagai sub-disiplin tersendiri dalam Antropologi. Antropologi Sosial

merupakan mata kuliah wajib bidang studi dalam struktur kurikulum Program Studi

Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS UNP, baik dalam kurikulum lama maupun

dalam Kurikulum berbasis KKNI yang baru mulai diterapkan. Hanya saja nama mata

kuliah ini dalam kurikulum lama Prodi Pendidikan Sosiologi FIS UNP adalah

Antropologi Sosial (sejak tahun 2001 sd. 2009). Lalu isinya juga sarat dengan muatan

aspek budaya dalam upaya memahami realitas sosial yang dikaji.

Kemudian dengan mempertimbangkan substansi perkuliahan, dan perdebatan

klasik di sekitar Antropologi Sosial dan/ atau Antropologi Budaya, akhirnya dalam

revisi kurikulum 2010 mata kuliah dimaksud dirubah menjadi Antropologi Sosial

Budaya. Alasannya tidak lain adalah karena obyek kajian Antropologi Sosial dan

Antropologi Budaya pada hakikatnya relatif sama: hanya saja terminologi dan

perspektif yang digunakan dalam batas-batas tertentu memang berbeda. Meskipun

demikian, dalam realitas kehidupan masyarakat dimensi sosial dan budaya itu sulit

untuk dipisahkan secara tegas, sebab ia sudah menggelimang menjadi suatu fenomena

yang khas dan unik. Bertolak dari pokok pikiran demikian, maka dalam rangka

pengembangan Kurikulum Berbasis KKNI, mata kuliah Antropologi Sosial Budaya

tetap dipertahankan sebagai sebuah mata kuliah wajib prodi Pendidikan Sosiologi

Antropologi, Jurusan Sosiologi FIS UNP.

Adapun yang menjadi fokus kajian dalam mata kuliah Antropologi Sosial

Budaya meliputi. Pertama, kajian kritis tentang konsep dasar Antropologi Sosial

Budaya dengan mencermati hakikat dan substansi dari Antropologi Sosial di satu

pihak; dan Antropologi Budaya di pihak lain. Kedua, mencermati dinamika adaptasi

manusia dan lingkungan dalam suatu masyarakat dengan bentuk/ tipe tertentu akan

dikaji secara khusus. Dengan begitu interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan

lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia

dengan khaliknya berpeluang untuk dimengerti secara proporsional. Ketiga,

membandingkan profil masyarakat petani tradisional (agraris) dengan masyarakat

pastoral, termasuk pandangan dunia dari kedua tipe masyarakat tersebut. Keempat,

mengupas interelasi desa – kota, dinamika pertubuhan kota, serta peluang perubahan

masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat perkotaan. Kelima,

Page 3: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

47

memperbincangkan manusia sebagai homo-economicus, serta mngidentifikasi sumber

daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural

masayarakat yang sedang berubah. Keenam, mengkaji konsep perkawinan, keluarga,

dan rumah tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial

dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Ketujuh, masih berkaitan dengan

perkawinan, pada sesi ini dikritisi secara mendalam hakikat dan konsekuensi

perkawinan dalam pembentukan institusi keluarga dan kekerabatan dengan segala

variannya. Kedelapan, memperbincang berbagai hal di sekitar konsep dan bentuk

komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial tertentu dengan segala

kosekuensinya

Di dalam pembahasan masing-masing tema di atas akan digunakan kombinasi

pendekatan sinkronik dan diakronik. Pendekatan sinkronik merupakan pendekatan

yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial secara konvensional, tujuannya adalah untuk

memahami struktur dan hukum-hukum (pola) yang terbentuk dan muncul dalam

realitas kehidupan kekinian. Sementara pendekatan diakronik yang secara

konvensional lazim digunakan dalam studi sejarah, fokusnya adalah pada upaya

memahami proses terjadinya suatu fenomena sosial tertentu. Pada abad ke-19,

pendukung masing-masing pendekatan itu saling meniadakan eksistensi yang lainnya:

pendukung pendekatan sinkronik menyatakan lawannya tidak ilmiah; sebaliknya

pendukung pendekatan diakronik menuduh lawannya tumpul dan tidak tahu proses

(ahistoris). Kemudian pada akhir abad ke-20 para ahli menyadari bahwa kedua

pendekatan itu sebenarnya memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri, dan jika

keduanya dikombinasikan maka ia akan membantu dalam memahami realitas tertentu

secara lebih komprehensif dan proporsional.

Bertolak dari alur pikir seperti diungkapkan di atas, maka dalam pembelajaran

Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan sinkronik dan

diakronik tersebut. Bagaimana pun penggunaan model ini dinilai dapat melatih

mahasiswa untuk memahami suatu fenomena secara komprehensif: tidak hanya

terbelenggu oleh realitas yang muncul ke permukaan di era kontemporer ini, tetapi

juga memahami akar dan proses (dinamika) yang mendorong terbentuknya fenomena

dimaksud. Dengan begitu pemahaman mereka terhadap realitas sosio-kultural yang

muncul ke permukaan akan ditopang oleh fakta dan perspektif historis yang kuat,

sehingga analisis yang dihasilkan akan lebih tajam.

Page 4: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

48

II. KOMPETENSI PEMBELAJARAN

Antropologi Sosial Budaya sebagai sub-disiplin ilmu Antropologi diharapkan

bisa membantu pengembangan wawasan akademik (knowledge dan psikomotorik), serta

sikap sosial dan religius mahasiswa dalam memahami realitas sosio-kultural yang

terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan bekal tersebut, tentu mahasiswa bisa bisa

mengerti/ memahami setiap fenomena sosio-kultural yang bersifat krusial secara

obyektif dan proporsional, tidak terjebak pada sikap apriori, apatis, taklid, dan

emosional (like dan dislike).

Setelah mengalami pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi Sosial Budaya

dalam rentang waktu satu semester, diharapkan mahasiswa mampu:

(1) menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya

(2) menjelaskan dinamika adaptasi makhluk manusia dengan lingkungan dalam upaya

pemenuhan kebutuhannya

(3) membandingkan masyarakat hortikultural dan papastoral: organisasi dan pandangan

dunia keduanya.

(4) mampu menjelaskan dinamika masyarakat: dari masyarakat agraris dan non-agrais

menjadi masyarakat perkotaan.

(5) mengidentifikasi sumber daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan konsumsi

dalam konteks sosiokultural masayarakat yang sedang berobah.

(6) menjelaskan konsep dasar dan dinamika perkawinan, keluarga, dan rumah tangga.

(7) menjelaskan hakikat dan konsekuensi perkawinan terhadap pembentukan institusi

keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya

(8) menjelaskan konsep komunitas dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas

sosial, diferensiasi dan stratifikasi dengan segala kosekuensinya

***

Page 5: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

49

III. SUBSTANSI PEMBELAJARAN

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA:

KULIAH PENGANTAR

A. Learning Outcome:

Mampu menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya

B. Materi Pokok

(1) Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual

(2) Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.

(3) Penggunaan Kombinasi Pendekatan Sinkronik dan Diakronik

dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya

(4) Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya

(5) Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

\

a. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual

Antropologi Sosial Budaya pada hakikatnya berakar pada dua sub disiplin

Antropologi, yaitu: Antropologi Budaya di satu pihak; dan Antropologi Sosial di

pihak lain. Kedua sub-disiplin itu mulai menemukan wujudnya pada paroan kedua

abad ke-19, dan makin meningkat perkembangannya pada dekade kelima abad ke-

20. Hal itu ditandai dengan penajaman fokus kajian dan metode yang digunakan

untuk memahami realitas sosio-kultural masyarakat diteliti.

Dalam kajian-kajian klasik, Antropologi Budaya lebih memusatkan

perhatiannya pada keunikan-keunikan (unique) dari beranekaragam masyarakat etnik

yang tersebar di berbagai penjuru dunia ini, khususnya menyangkut aspek prehistori,

etnolinguistik, maupun etnologinya masing-masing. Melalui kajian tersebut bisa

dipahami bagaimana perbedaan-perbedaan dan keunikan dari masing-masing

Kegiatan Belajar 1 & 2

1

Page 6: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

50

kebudayaan etnik di dunia. Puncak dari proses kerja demikian pada gilirannya

melahirkan beranekaragam kajian etnografi.

Jika diklasifikasikan hasil-hasil etnologi (yang menjadi cikal bakal kajian

etnografi) itu, secara umum dapat dibedakan ke dalam dua kategori pokok, yaitu:

descriptive integration; dan, generalizing approach. Dalam konteks descriptive

integration bahan-bahan etnografi diolah menjadi suatu dengan hasil penelitian

entolinguistik, prehistori, dan etnografi. Bahkan hasil kajian etnografi itu juga

diintegrasikan dengan bahan keterangan paleo-antropologi dan somatologi dalam

cakupan daerah yang sama. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencapai pengertian

tentang asal-usul dan sejarah perkembangan kelompok etnik yang dikaji, terutama

dengan menggunakan pendekatan diakronik. Di pihak lain generalizing approach

yang menjadi cikal bakal dari social anthropology, menekankan pada upaya untuk

menemukan prinsip-prinsip kesamaan di belakang aneka ragam kelompok etnik/

masyarakat dengan kebudayaan berbeda-beda yang tersebar di muka bumi ini. Pada

prinsipnya, metode yang digunakan untuk maksud tersebut adalah: (1) melakukan

kajian mendalam dan komprehensif terhadap sejumlah masyarakat dan kebudayaan

tertentu guna menemukan beberapa kesamaan di balik keberagaman yang muncul ke

permukaan; dan (2) melakukan studi komparasi terhadap sejumlah masyarakat/

kebudayaan masing-masing guna mendapatkan pemahaman tentang keragaman antar

masyarakat/ kebudayaan yang diteliti, sekaligus juga bisa diungkap kesamaan-

kesamaan di balik keberagaman itu.

Secara implisit uraian di atas mengisyaratkan, bahwa dalam batas-batas

tertentu kajian Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya memang berbeda, tetapi

keduanya memiliki titik persentuhan yang sangat esensial dalam rangka memahami

realitas masyarakat dan kebudayaan yang menjadi fokus kajiannya. Bukan hanya

itu, melainkan dalam kehidupan riil masyarakat, amat sulit untuk memisahkan

dimensi sosial dan kebudayaan yang mereka hasilkan, sebab keduanya sudah

membaur (menggelimang) menjadi satu. Berolak dari pokok pikiran demikian,

sejalan dengan ide monumental Immanuel Wellerenstain tentang lintas batas ilmu-

ilmu sosial, maka kuliah ini mencoba mengkombinasikan dua sub-disiplin

Antropologi di atas menjadi Antropologi Sosial Budaya.

Dalam konteks ini, Antropologi Sosial Budaya tidak dimaksudkan sebagai

kompilasi dari dua sub-disiplin ilmu Antropologi di atas, melainkan bahan atau fokus

kajiannya akan diseleksi dengan mempertimbangkan sub-disiplin Antropologi yang

dikaji di Jurusan Sosiologi FIS UNP seperti Etnologi, Antropologi Kebudayaan

Indonesia, dan Antropologi Agama, dsb. Tujuannya tidak lain adalah agar tidak

terjadi tumpang tindih bahan kajian antar beberapa mata kuliah terkait. Oleh karena

Page 7: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

51

itu kajian Antropologi Sosial Budaya di sini akan difokuskan pada kecenderungan

dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari berbagai masyarakat yang

tersebar di permukaan bumi ini, terutama berkaitan dengan: adaptasi manusia dengan

lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup; manusia dan sumber daya ekonomi;

sistem perkawinan dalam kaitannya dengan keluarga, rumah tangga, dan

kekerabatan; serta kesatuan sosial, kepemimpinan dan pengendalian sosial.

b. Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.

Antropologi Sosial Budaya yang kini sering dianggap sebagai sebuah sub-

disiplin tersendiri dalam Antropologi, sesungguhnya sudah mengalami perjalan yang

panjang. Ia berakar dari karya-karya etnologi yang dihasilkan para pelancong,

pedagang, dan misionaris dari Eropa pasca Abad Pertengahan. Bangsa Eropa yang

sudah tercerahkan oleh gerakan Renaissance, Reformasi, dan Aufklarung, ternyata

memiliki kebiasaan yang pada gilirannya berkontribusi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan modern. Kebiasaan dimaksud adalah, mereka menuliskan berbagai

keunikan dan keanehan di kalangan masyarakat etnik tertentu yang mereka temukan

di luar Eropa (Afrika, Asia, Amerika Latin, dan berbagai suku bangsa di Laut

Fasifik. Kemudia hasil pelukisan mereka tentang masyarakat etnik tersebut tersebar

di Eropa, terutama di berbagai museum terkemuka di benua biru itu.

Kemudian karya-karya etnografi tersebut diolah oleh para sarjana dengan

menggunakan perspektif teori (terutama teori evolusi) dan pendekatan/ metode

tertentu pada abad ke-19. Hasil pengolahan itulah yang melahirkan kajian etnografi

yang menjadi cikal-bakal dari antropologi pada umumnya, dan Antropologi Sosial

Budaya khususnya. Dalam perkembangannya, ketika Antropologi berubah dari ilmu

praktis menjadi disiplin ilmiah (tahun 1930-an), maka terjadilah penajaman fokus,

konsep/teori dan metode kajian Antropologi. Sejalan dengan itu lahirlah berbagai

sub-disiplin Antropologi, termasuk Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya.

Perkembangan kedua disiplin itu, banyak sedikitnya diwarnai oleh karya

monumental dua orang tokoh penting dalam antropologi, yaitu: Malinowski tentang

perdagangan Kula dalam Masyarakat Trobrian; dan Radclife-Brown tentang Tradisi

Meratapi Mayat dalam Masyarakat kepulauan Andaman (Andaman Islan). Karya

Malinowski tersebut menjadi inspirator bagi perkembangan studi Antropologi

Budaya di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang berkiblat padanya.

Sebaliknya, karya Radclife-Brown menjadi awal dari tumbuh suburnya kajian

Antropologi Sosial di Inggris dan Negara-negara lain yang berada di bawah

pengaruhnya. Namun kalau dicermati hakikat yang dikaji kedua tokoh terkemuka itu

pada prinsipnya tidak berbeda: mereka sama-sama mengkaji masyarakat dan budaya

Page 8: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

52

di masing-masing daerah penelitiaanya; hanya saja istilah yang dipopulerkan

keduanya berbeda. Malinowski menggunakan istilah kebudayaan, sedangkan

Radclife-Brown memakai istilah sosial.

Mungkin berangkat dari realitas seperti diungkapkan di atas, sejak beberapa

dasa warsa terakhir ini batas-batas antara Antropologi Budaya dan Antropologi

Sosial sudah semakin kabur. Realitas sosial dan budaya yang selama ini dikaji

secara terpisah olah ahli masing-masing pihak, kini justeru dikaji oleh ilmuan

kompeten dengan menggunakan konsep/ teori relevan dari dua sub-disiplin ilmu

terkait, bahkan juga meminjam konsep/teori ilmu-ilmu sosial dan humanitis yang

dinilai relevan. Dengan begitu mata kuliah Antropologi Sosial Budaya semakin eksis

di dunia akademik, termasuk di Indonesia.

c. Pendekatan Sinkronik dan Diakronik dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya

Dalam perkembangan sejarah ilmu pengetahuan, tercatatat dua pendekatan

keilmuan yang memberikan kontribusinya tersendiri. Kedua pendekatan dimaksud

adalah: pendekatan sinkronik di satu pihak; dan, pendekatan diakronik di pihak lain.

Secara konvensional, pendekatan pertama lazim dipakai dalam ilmu-ilmu sosial

(ekonomi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, georafi, dan lain-lain). Sementara

pendekatan kedua lebih popular dalam ilmu dan penelitian sejarah. Pendekatan

sinkronik berupaya untuk memahami dan menemukan pola-pola, struktur-struktur

ataupun hukum-hukum yang terbentuk dari realitas sosial yang terjadi. Mereka lebih

terkesimak oleh struktur-struktur yang terbentuk, dan cenderung mengabaikan akar

persoalan dari realitas terkait. Di pihak lain, pendekatan kedua menitikberatkan

perhatian pada proses yang terjadi, tanpa mempedulikan struktur yang terbentuk.

Sejak abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, pendukung masing-masing

pendekatan itu cenderung menggap merekalah yang paling benar, dan memendang

remeh yang lainnya. Bahkan tidak jarang masing-masing pihak meniadakan/

membatalkan eksistensi pihak lainnya: ilmuan-ilmuan sosial menilai sejarah itu tidak

ilmiah, sebab ia hanyalah menyibukkan diri untuk merekonstruksi peristiwa tertentu

di masa lampau, dan tidak berhasil membangun struktur/ hukum dari kajian-

kajiannya. Sebaliknya, sejarawan menilai hasil kajian ilmuan sosial amat dangkal,

sebab mereka tidak tahu tentang akar dari suatu fenomena yang dikaji. Komplain

dari kedua pihak, kiranya tidak berlebihan, bahkan hingga kini hal itu dengan mudah

ditemukan di ‘dunia akademik’ dan kehidupan paraktis. Sejarawan terlalu sibuk

untuk mendeskripsikan proses terjadinya suatu peristiwa dan tidak menggunakan

pendekatan sinkronik (konsep/ teori sosial relevan), maka uraiannya akan cenderung

membosankan, kering tanpa makna. Sebaliknya ilmuan sosial yang mengkaji

Page 9: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

53

realitas yang muncul ke permukaan di masa kini tanpa menggunakan pendekatan

diakronik, maka hasilnya tidak akan mendalam. Bahkan bisa diibaratkan laksana

membuat rumah di awang-awang, tanpa mempunyai tiang dan fondasi di tanah.

Berkaitan dengan pokok pikiran di atas, berikut dikemukakan dua buah

contoh. Fenomena rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia telah menimbulkan

kerisauan banyak pihak di negeri ini. Lalu utuk mengatasinya, ilmuan sosial yang

tidak memiliki wawasan historis merekomendasikan agar guru disertifikasi supaya

pendapatannya meningkat. Kalau sudah begitu maka komitmen mereka akan

meningkat pula, sehingga kualitas pendidikan pun akan membaik. Namun setelah

sertifikasi berlangsung, kualitas pendidikan tetap stagnan, bahkan ada indikasi

semakin mengalami penurunan. Contoh lain, kasus korupsi di instansi pemerintah/

birokrasi yang kian marak akhir-akhir ini. Lalu para ilmuan sosial yang ahistoris

cenderung mengaitkan hal itu dengan rendahnya gaji pegawai, sehingga banyak

orang yang tergoda melakukan korupsi. Berangkat dari alur pikir ahistoris semacam

itu, lalu mereka merekomendasikan untuk digulirkan program remunerasi agar gaji

pegawai meningkat. Kalau gaji mereka sudah mencukupi, maka kasus korupsi di

kalangan pegawai akan menurun dengan sendirinya. Namun hasil penelitian Dirjen

Otoda (2013) menunjukkan: kasus korupsi di enam departemen yang sudah

menerapkan remunerasi justeru tidak menunjukkan penurunan, bahkan cenderung

meningkat. Apabila rendahnya mutu pendidikan ataupun kasus korupsi yang

dicontohkan di atas dikaji dengan menggunakan kombinasi pendekatan sinkronik

dan diakronik, maka pemahaman terhadap kasus itu akan lebih detail, mendalam,

dan kompleks. Jika sudah demikian, tentu rekomendasi yang dihasilkan para peneliti

untuk para pengambil kebijakan akan lebih cocok dan bermakna, tidak dangkal

(‘gampangan) seperti diungkapkan di atas.

Bertolak dari pokok pikiran sebagaimana dipaparkan di atas, maka dalam

mata kuliah Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan

sinkronik dan diakronik. Pendekatan pertama akan banyak manfaatnya untuk

menjelaskan/ memahami realitas sosio-kultural dengan menggunakan konsep/ teori

ilmu-ilmu sosial dan humaniora relevan. Sementara pendekatan diakronik akan

menyumbangkan data historis terkait dengan pokok permasalahan yang dikaji.

Dengan begitu, pemanfaatan pendekatan sinkronik dan diakronik dalam menelaah

realitas sosial dan budaya yang dikaji akan menghasilkan analisis yang tajam, kritis,

argumentatif, dan mendalam, serta didukung oleh data/ fakta relevan.

Page 10: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

54

d. Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya

Adapun yang menjadi ruang lingkup kajian mata kuliah Antropologi Sosial

Budaya adalah realitas dan dinamika kehidupan sosial budaya umat manusia. Dalam

kaitan itu akan dilihat kecenderungan pola-pola yang hidup dan berkembang pada

berbagai masyarakat dalam rentang waktu tertentu.

Setelah mendudukkan konsep dasar dan perkembangan studi Antropologi

Sosial Budaya, selanjutnya secara berurutan akan dibahas: dinamika adaptasi

manusia dan lingkungannya; membahas masyarakat hortikultural dan pastoralis;

membandingkan masyarakat petani dan pastoralis, termasuk pandangan dunia

keduanya; dinamika masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat

perkotaan; mencermati keberadaan manusia sebagai homo-economicus dalam

kaitannya dengan telaahan sumber daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan

konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat yang sedang berubah; mengkaji

konsep dasar dan dinamika perkawinan, keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan;

serta, kajian tentang konsep dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial,

diferensiasi dan stratifikasi, serta pengendalian sosial dengan segala kosekuensinya.

e. Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

Berikut akan dikemukakan overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

yang akan dipresentasikan selama satu semester ini. Dalam kaitan ini ada delapan

tema/ topik perkuliahan yang akan dikupas secara simultan. Pada Minggu pertama

dan kedua akan dibahas konsep dasar, dan substansi perkuliahan Antropologi Sosial

Budaya dengan jalan mencermati hakikat Antropologi Sosial di satu pihak; dan

Antropologi Budaya di pihak lain. Seiring dengan hal itu, juga akan dicermati

perkembangan kajian dan pendekatan dalam studi Antropologi Sosial Budaya.

Pada minggu ketiga dan keempat akan dicermati dinamika adaptasi manusia

dan lingkungan dalam berbagai masyarakat dengan menggunakan kombinasi

pendekatan sinkronik dan diakronik. Melalui kajian dan pendekatan seperti itu,

interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan lingkungannya, baik lingkungan

fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia dengan khaliknya berpeluang untuk

dibahas secara proporsional. Di bawah topik ini akan dilihat dinamika adaptasi

manusia mulai dari era foodgatering sampai ke era foodproducing dengan segala

karakter dan konsekuensinya masing-masing.

Berikutnya, pada pertemuan kelima dan keenam akan dikupas topik tiga,

yaitu: kajian kritis terhadap masyarakat hortikultural dan masyarakat pastoral yang

akarnya sudah mulai muncul pada era prasejarah. Dalam kaitan ini, secara khusus

Page 11: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

55

juga akan dicermati pandangan dunia (word views) dari kedua tipe masyarakat

dimaksud.

Selajutnya pada minggu keenam dan ketujuh, akan dikupas interelasi desa –

kota, dinamika pertubuhan kota (baik secara alamiah maupun hasil rekayasa

pengembangan sebuah kota). Selanjutnya juga akan dikritisi peluang perubahan

masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat kota, baik pada taraf kota

kecil maupun kota besar).

Berngkat dari hasil kajian pada minggu-minggu sebelumnya, maka pada

minggu kedelapan akan diperbincangkan eksistensi manusia sebagai homo-

economicus. Di bawah topik/ tema ini akan diidentifikasi sumber daya ekonomi,

sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat

yang sedang berubah. Kemudian pada minggu berikutnya akan diadakan ujian

tengah semester.

Seminggu setelah ujian tengah semester, yakni pada minggu kesepuluh dan

kesebelas akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Secara khusus di

sini akan dikritisi dinamikan dan interelasi antara perkawinan, keluarga, dan rumah

tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial masyarakat

beradab.

Sebagai lanjutan dari kajian minggu sebelumnya, pada minggu kedua belas

pembahasan masih berkaitan dengan perkawinan. Pada sesi ini akan dikritisi secara

mendalam hakikat dan konsekuensi perkawinan dalam pembentukan institusi

keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya.

Terakhi pada minggu ke-13 sd. ke-15, akan dikupas berbagai hal di sekitar

konsep dan bentuk komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial,

serta kepemimpinan dan pengendalian sosial dengan segala kosekuensi yang

ditimbulkannya. Tema ini merupakan penutup dari kajian dalam mata kuliah

Antropologi Sosial Budaya, sebelum akhirnya dikunci dengan ujian akhir semester

pada minggu berikutnya.

1. Rangkuman

Berbeda dengan Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya sebagai dua sub-

disiplin dalam Antropologi, maka kuliah Antropologi Sosial Budaya hanya akan

difokuskan pada kecenderungan dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari

berbagai masyarakat yang tersebar di permukaan bumi ini, khususnya berkaitan

dengan: adaptasi manusia dengan lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup

manusia mulai dari masa foodgathering sampai ke foodproducing (masyarakat

Page 12: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

56

hortikultural, pastoral, masyarakat agraris yang mencakup peisan dan farmer, sera

masyarakat perkotaan); sistem dan seluk-beluk perkawinan dalam kaitannya dengan

keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan; serta kesatuan sosial (sistem dan stuktur

sosial, kepemimpinan dan kontrol sosial dengan segala konsekuensinya).

Kajian dalam mata kuliah ini segaja difokuskan pada beberapa aspek di atas

(tidak mencakup semua kajian dalam kedua sub-disiplin antropologi yang menjadi

akar dari Antropologi Sosial Budaya) dengan pertimbangan agar jangan terjadi

tumpang tindih pembahasan dengan mata kuliah Etnografi, Antropologi Kebudayaan

Indonesia, Antropologi Agama, dll yang sudah menjadi mata kuliah tersendiri dalam

struktur kurikulum prodi Sosiologi Antropologi. Sementara pendekatan yang

digunakan untuk mengupas topik-topik yang termaktup dalam fokus di atas adalah

kombinasi pendekatan sinkronik dan diakronik. Pertimbangannya adalah kombinasi

kedua pendekatan itu akan membuka pemahaman yang komprehensif dan mendalam

tentang fenomena sosio-kultural yang dikaji.

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya. Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

* * *

Page 13: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

57

ADAPTASI MANUSIA DALAM

UPAYA PEMENUHAN KEBUTUHAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan dinamika adaptasi makhluk manusia dengan lingkungan dalam upaya

pemenuhan kebutuhannya

B. Materi Pokok

Adaptasi Manusia dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhannya

(1) Adaptasi manusia dengan lingkungan alamiah, sosial, dan budaya.

(2) Dinamika kebutuhan hidup manusia dari era foodgathering ke foodproducing:

o Kehidupan manusia pada masa berburu dan meramu

o Kehidupan masyarakat penghasil pangan (hortikultural)

- Asal mula bercocok tanam

- Bercocok tanam di ladang

o Bercocok tanam menetap

(3) Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Adaptasi Manusia dengan Lingkungan Alamiah, Sosial, dan Budaya

Bertolak dari perspektif teori evolusi, makhluk manusia itu telah mengalami

proses evolusi yang panjang mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai ke

tingkat yang sangat kompleks seperti sekarang ini. Dengan bekal pemikiran (mind,

otak), jiwa, dan nafsu yang dikaruniakan sang Maha Pencipta, manusia berhasil

mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Para

peneliti dan pengamat budaya cenderung sependapat, bahwa kemampuan beradaptasi

merupakan salah satu kunci sukses manusia membangun peradaban dalam sejarah

perkembangan umat manusia.

Kegiatan Belajar 3 - 4

2

Page 14: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

58

Dalam menata kehidupan ini, manusia telah memperlihatkan kemampuan

mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, maupun

budaya. Berikut ini akan ditelusuri ketiga hal itu secara simultan. Pertama, adaptasi

dengan lingkungan fisik/ alamiah. Sejak awal kehadiran makhluk manusia di muka

bumi ini, manusia sudah menunjukkan kemampuan adaptasi melalui penyesuaian

kehidupan mereka dengan lingkungan fisik di mana mereka berada, sehingga mereka

bisa bertahan hidup dan survive. Mengingat kemampuan dan potensi otak mereka

yang masih terbatas, maka untuk mempertahankan hidupnya manusia beradaptasi

dengan lingkungan fisik/alamiah di mana mereka berada. Bahkan pada periode awal

sejarah kehidupan manusia, manusia memperlihatkan ketergantungan yang tinggi

pada alam: lingkungan alamlah yang menentukan cara hidup dan sistem teknologi

yang mereka pakai.

Kedua, adaptasi dengan lingkungan sosial. Adaptasi manusia tidak hanya

terbatas pada lingkungan fisik, melainkan juga dengan lingkungan sosial. Jika pada

zaman paleolitikum dan mesolitikum manusia hidup secara nomaden, maka pada

pergantian mesolitikum dan neolitikum manusia mulai mengenal hidup menetap.

Dengan dikenalnya hidup menetap, maka secara bertahap manusia pun mulai

mengenal dan membentuk kelompok/ kesatuan sosial. Sejalan dengan meningkatnya

kemampuan manusia, maka terjadi proses adabtasi dengan suasana dan lingkungan

baru itu, sehingga terjadi modifikasi dan perbaikan terhadap sistem sosial yang ada.

Pada gilirannya lingkungan sosial yang semula bersifat sederhana kemudian secara

bertahap berubah menjadi kesatuan-kesatuan sosial yang semakin kompleks.

Ketiga, adaptasi dengan lingkungan budaya. Selain adaptasi sosial, manusia

juga melakukan proses adaptasi dengan lingkungan budaya. Dengan kemampuannya

itu manusia mampu mengolah lingkungan alamiah menjadi lingkungan budaya.

Produk-produk budaya yang semula mereka ciptakan melalui proses trial and error

melalui proses adaptasi, kemudian semakin menemukan kesempurnaan sejalan

dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia itu sendiri. Melalui proses

adaptasi yang dilakukan manusia, lahirlah keanekaragaman budaya melalui rekayasa

yang semula berawal dari hasrat untuk menguasai alam, kemudian dalam batas-batas

tertentu justru berkembang seolah-olah lepas kendali menjadi keinginan untuk

mengeksploitasi alam dengan segala konsekwensinya di bidang sosial budaya.

b. Dinamika kebutuhan hidup manusia: dari foodgathering ke foodproducing

(1) Kehidupan Manusia pada Masa Meramu dan Berburu

Pada awal kehadiran makhluk manusia (homo sapiens) sekitar dua juta tahun

yang lalu, ciri pokok kehidupan manusia mengindikasikan ketergantungan yang

Page 15: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

59

sangat tinggi kepada alam. Dalam rentang waktu hampir dua juta tahun, manusia

hidup secara nomaden, tidak/ belum mengenal kehidupan menetap. Manusia ketika

itu hidup seperti sekawanan binatang, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain di

sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang tersedia di alam. Dalam

kajian prehistori dan paleo-antropologi, pola hidup seperti dikemukakan di atas lebih

dikenal dengan food gathering.

Konsep food gathering itu pada hakikatnya mengandung dua elemen (sub-

konsep) pokok, yaitu: gathering (meramu/ pengumpul) di satu sisi; dan hunting

(berburu/ menangkap ikan) di sisi lain. Untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan)

manusia prasejarah (zaman paleolitikum dan mesolitikum) mengumpulkan (baca

meramu, bukan mengumpulkan untuk disimpan) umbi-umbian yang tersedia di alam.

Maksudnya manusia-manusia nomad itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain

untuk mencari umbi-umbian: setelah didapat lalu mereka makan; kemudian setelah

kenyang mereka tinggalkan sisanya begitu saja. Demikian pula, mereka memburu

berbagai jenis binatang ataupun menangkap ikan untuk dimakan, setelah dapat lalu

mereka makan dan jika berlebih mereka tinggalkan begitu saja.

Sistem peralatan yang mereka pakai pun pada zama paleolitikum (batu tua)

hanya memanfaatkan apa yang disediakan alam tanpa mengolahnya sedikit pun.

Selanjutnya sejalan dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia, pada zaman

mesolitikum (batu tengah) manusia sudah mulai mengolah alat-alat yang dibutuhkan

dalam hidup dengan cara yang amat sederhana (masih kasar). Dengan peralatan dan

pola hidup seperti itu, manusia prasejarah itu selalu bergerak (nomad) dari suatu

tempat ke tempat lain secara terus menerus, tanpa mengenal tempat menetap.

Manusia prasejarah baru mulai mengolah (membakar) berbagai jenis umbi-

umbian, daging binatang dan ikan yang mereka dapatkan sebelum memakan

(mengkonsumsi) nya setelah penemuan api. Kemudian disusul dengan penemuan

garam sebagai bahan pengawet daging binatang,hal itu diperkiraan terjadi pada

pergantian zaman mesolitikum dan neolitikum. Sejak itu ketergantungan yang tinggi

terhadap alam, secara berangsur-angsur mulai berkurang di kalangan kelompok-

kelompok tertentu yang sudah agak lebih maju daripada banyak kelompok lain yang

masing amat tergantung pada alam. Artinya, manusia pra sejarah di berbagai tempat

di penjuru dunia ini mengalami tingkat perkembangan yang sangat variatif.

(2) Kehidupan Masyarakat Penghasil Pangan

Para ahli pre-histori dan paleo-antropologi cenderung sependapat, bahwa pada

akhir zaman mesolitikum dan awal neolitikum sebagaian manusia prasejarah sudah

mulai mengenal hidup menetap. Namun kurun waktu pengenalan pola menetap itu

Page 16: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

60

tidak sama di antara kelompok-kelompok manuasia prasejarah, bahkan perbedaan

waktunya kadang-kadang mencapai ratusan ribu tahun. Sebagai ilustrasi, sebagian

ahli berpendapat manusia pra sejarah di Indonesia meneganal kehidupan menetap

lima ribu tahun lebih kemudian dari manusia yang merintis pola hidup menetap di

daratan Asia.

Pola hidup menetap itu dinilai amat strategis dalam perkembangan peradaban

umat manusia. Dikatakan demikian karena dengan dikenalnya hidup menetap, maka

terjadi perkembangan luar biasa dalam kehidupan manusia, misalnya manusia mulai

mengenal kesatuan-kesatuan/ kelompok sosial, sistem perkawinan. Sejalan dengan

itu kemampuan manusia untuk mengolah alam mulai berkembang secara bertahap.

Berangkat dari alur pikir seperti itu, maka para ahli menyatakan hidup menetap itu

sebagai “revolusi kehidupan” pada zaman prasejarah. Konsep revolusi kehidupan di

sini harus dipahami sebagai perubahan yang sangat mendasar (fundamental) dalam

pola kehidupan manusia, jangan dipahami sebagai perubahan yang berlangsung

cepat. Dikatakan demikian karena untuk menemukan pola hidup menetap, manusia

prasejarah membutuhkan waktu hampir dua juta tahun lamanya. Jika dilihat dari

perspektif itu perubahan yang terjadi sebenarnya berlangsung secara evolusi, bahkan

bisa dikatakan sangat lamban.

Perubahan yang sangat mendasar dimaksud di atas tidak lain adalah perubahan

dari food gathering ke food procing (menghasilkan makanan). Dalam kaitan dengan

konsep terakhir ini, manusia mulai memiliki kemapuan mengolah alam untuk

menghasil sesuatu yang dibutuhkannya dalam hidup. Melalui proses trial and eror,

manusia mencoba menanam umbi-umbian yang diambil dari alam liar pada lahan di

sekitar kediaman mereka (goa-goa batu): jika berhasil, maka dikembangkan lebih

lanjut; sebaliknya jika gagal, lalu dicoba dengan cara dan teknik yang lain. Dari

sinilah asal dari era bercocok tanam (mengasilkan pangan, horticulture) yang akan

dikupas secara khusus di bawah ini. Selain itu, manusia prasejarah tersebut juga

mulai belajar menjinakkan binatang, baik untuk menjaga lingkungan maupun untuk

dikonsumsi. Dari sinilah asal dari masyarakat peternak (pastoralism) yang akan

dibahas secara khusus dalam topik/ tema tersendiri dalam perkuliahan berikut.

(a) Asal Mula Bercocok Tanam

Sebagaimana dikemukakan di atas, manusia prasejarah tidak serentak

mengenal tradisi bercocok tanam, melainkan berbeda antara satu kelompok dengan

lainnya. Menurut para ahli paleo-antropologi dan prehistori, kepandaian bercocok

tanam itu mulai dikenal manusia sekitar 10.000 (sepuluh ribu) tahun yang lalu. N.I.

Vavilov menyatakan kepandaian bercocok tanam itu berawal di delapan kawasan di

Page 17: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

61

permukaan bumi ini, yakni di daerah-daerah aliran sungai besar, danau dan pantai di

benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Kedelapan kawasan itu adalah sebagai

berikut: (1) daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti Mekong, Salwin,

dan Irawadi dengan produk unggulannya adalah padi dan keladi Dari sana menyebar

ke Gangga, Indonesia, dan Filipina; (2) daerah aliran sungai di Asia Timur seperti

Yang-tse dan Hoangho. Tanaman yang dikembangkan di sini adalah sayur-sayuran,

murbei, dan kedele; (3) daerah aliran sungai Eufrat dan Tigris di Asia Barat Daya

(Teluk Parsi), kemudian menyebar ke Iran, Afganistan, terus ke hulu sungai Shindu

di Pakistan. Janis tanaman yang dikembangkan anatar lain, gandum, anggur, dan

berbagai jenis buah-buahan yang kini banyak dibudidayakan di Eropa; (4) di daerah

aliran sungai yang bermuara ke Laut Tengah, seperti delta Nil, daerah lembah-

lembah sungai di Italia dan Spanyol, serta Palestina. Di kawasan ini banyak ditanam

zaitun, ara, dan sayur-sayuran; (5) daerah Abesinia di Afrika Timur dengan produk

unggulannya gandum; (6) daerah hulu sungai Sinegal (Afrika Barat) dengan tanaman

utamanya berbagai varietas gandum; (7) daerah Mexico dan daerah aliran sungai

Missisippi dengan produk unggulannya jagung, kapas, kasava, dan ubi; serta (8)

daerah Peru di Amerika Latin dengan tanaman unggulannya kentang, kasava, dan

ubi. Berbagai produk unggulan setiap kawasan tesebut, ternyata erat kaitannya

dengan kondisi tanah, iklim/cuaca, dan kebutuhan subsistensi manusia setempat.

Dari kedelapan kawasan itu, kemudian kepandaian bercocok tanam itu secara

bertahap tersebar ke berbagai penjuru bumi ini. Sebagian ahli menduga kepandaian

bercocok tanam itu baru masuk dan mulai dikenal di Nusantara oleh kelompok

tertentu, sekitar 6.000 tahun yang lalu. Sementara yang lainnya menduga jauh lebih

kemudian, yakni sekitar 5 abad Sebelum Masehi. Bagaimana pun, kedua pendapat

itu masih merupakan dugaan para ahli, sementara bukti-bukti yang kuat tentang hal

itu belum ditemukan. Namun demikian, para ahli cenderung sependapat bahwa

kepandaian bercocok tanam itu sudah mulai tumbuh di Nusantara ini pada pergantian

zaman mesolitikum dan neolitikum.

(b) Bercocok Tanam di Ladang

Terlepas dari perbedaan kapan manusia prasejarah di Indonesia mengenal

kepandaian bercocok tanam, para ahli kompeten cenderung sependapat bahwa

bercocok tanam di ladang (lahan kering, tanah gurun dalam terminologi Minang)-

lah yang mula-mula dikenal di daerah ini. Dengan mencermati cara dan teknik

bercocok tanam di ladang dalam periode awal tersebut, lalu para ahli menamakan

pola itu dengan berbagai terminologi, seperti: slash and burn agriculture (pertanian

dengan teknik tebang dan bakar) atau shifting cultivation (ladang berpindah).

Page 18: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

62

Di banyak kawasan tempat awalnya tradisi bercocok tanam yang telah

dikemukakan di atas, tempat yang dijadikan areal perladangan itu adalah hutan

rimba di Asia, Amerika dan di seputar Laut Tengah, serta hutan sabana terutama di

Afrika Timur dan Barat. Secara umum teknik yang digunakan masih sederhana, baik

dalam cara pengolahan maupun peralatan yang dipakai. Bahkan dalam periode yang

lebih awal teknologi yang digunakan masih berupa alat-alat dari batu, tetapi sudah

dihaluskan (diasah). Dalam perkembangannya, ketika manusia mulai mengenal

logam, barulah secara berangsur-angsur mereka membuat dan menggunakan

peralatan pertanian yang masih sederhana sifatnya, tetapi sudah memanfaatkan

bahan bakunya dari logam, seperti kapak, parang, alat penetak, cangkul, dsb.

Bercocok tanam di ladang tersebut umumnya dilakukan sebagai berikut: (1)

penentuan lahan yang akan dijadikan sebagai ladang, baik di kawasan hutan rimba

ataupun sabana; (2) kemudian hutan itu di tebang dan dibersihkan, serta ditunggu

sampai dedaunannya kering; (3) kemudian daun-daun yang sudah kering itu dibakar;

(4) beberapa hari kemudian, lalu ditanami dengan jenis tanaman tertentu; dan (5)

tanaman yang sudah tumbuh disiangi dan dipelihara sampai masa panen. Dilihat

dari cara pengolahan lahan seperti digambarkan di atas, maka sebagian ahli

kompeten mengistilahkan teknik ini dengan slash and burn agriculture. Biasanya

ladang yang dibuka itu akan dimanfaatkan untuk beberapa musim, sampai tingkat

kesuburan (humos) tanahnya menjadi rendah atau habis.

Setelah tingkat kesuburan tanah habis, umumnya mereka pindah dan

membuka lahan perladangan baru di sekitar ladang pertama dengan teknik

pengolahan yang relatif sama. Kemudian setelah humus tanahnya habis, mereka pun

akan pindah ke lahan baru di seputar lokasi semula. Dalam rentang waktu dua atau

tiga kali pindah, bekas ladang sebelumnya sudah tumbuh kembali menjadi hutan

belukar (rimba). Hutan rimba itu tentu telah membentu humos baru, sehingga

tingkat kesuburan tanah meningkat kembali. Setelah itu mereka bisa membuka

lahan baru di situ dengan teknik pengolahan lahan relatif sama. Bertolak dari

mekanisme seperti itu, maka sebagian ahli menyebutnya dengan istilah shifting

cultivation. Pada zaman prasejarah ladang berpindah itu terbuka untuk dilakukan

mengingat: tanah yang tersedia amat luas; dan, jumlah penduduk masih sedikit.

Para ahli cenderung sependapat, bahwa bercocok tanam di ladang lebih awal

dikenal dan dipraktekkan manusia dibandingkan dengan bercocok tanam di sawah.

Alasannya, bercocok tanam di ladang tidak membutuhkan teknik pengolahan lahan

yang rumit, tidak membutuhkan pengelolaan pengairan, cukup dengan hanya dengan

memanfaatkan air hujan saja secara alamiah, serta mengetahui perputaran musim/

cuaca berdasarkan pengalaman yang diwarisi secara turun temurun. Dengan begitu,

Page 19: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

63

mereka bisa mengkalkulasikan kapan lahan harus ditebang dan dibakar, dan kapan

pula proses penanaman harus dilakukan. Lain halnya dengan bercocok tanam di

sawah, hal ini sudah memerlukan teknik pengolahan yang lebih rumit, serta juga

harus ditopang dengan pengelolaan air secara lebih teknis dan terorganisir.

(3) Bercocok Tanam Menetap

Bercocok tanam menetap (di lahan kering/ ladang ataupun di lahan basah/

sawah) adalah suatu tipe berccok tanam yang dilakukan individu/ kelompok tertentu

(bukan oleh pemilik perkebunan besar) di sebuah areal pertanian secara tetap, tidak

berpindah-pindah. Pelaku bercocok tanam tipe ini lazim disebut sebagai masyarakat

agraris, dan kategori petaninya dikenal dengan peasant (peisan, ‘petani kecil’).

Sistem ini mulai tumbuh, ketika manusia semakin banyak tinggal di daerah-daerah

subur di berbagai penjuru dunia ini, sementara lahan pertanian kian terbatas. Pada

saat itulah manusia mulai menumbuhkembangkan pola bercocok tanam menetap.

Berbeda dengan bercocok tanam di ladang, bercocok tanam menetap ternyata sangat

variatif sifatnya, baik di daerah tropik, sub-ropik, di hutan rimba, maupun hutan

sabana. Jika dilihat dari perspektif teori dan mekanisme yang dikembangkan oleh

ahli pertanian maupun geografi lingkungan, maka waktu yang tersedia tidak

mungkinkan untuk melakukan hal tersebut dalam perkuliahan ini.

Bertolak dari pemikiran demikian, maka bercocok tanam menetap di sini

hanya akan dilihat dari perspektif antropologi budaya dengan pengkategorian yang

lebih sederhana. Pengkategorian dimaksud dibuat berdasarkan pada sistem peralatan

yang digunakan dalam sistem bercocok tanam tersebut. Dari aneka ragam bercocok

tanam menetap yang pernah ada, pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam dua

kategori pokok. Pertama, bercocok tanam tanpa bajak (hand agriculture/ hoe

agriculture/ horticulture). Dalam konteks ini sebelum menanam berbagai jenis

varietas di lahan pertanian, terlebih dahulu petani mengolah tanah dengan cangkul

(hoe). Peralatan ini tentu saja sifatnya sudah lebih maju dari sebelumnya yang hanya

menggunakan tugal (tuga). Dengan menggunakan cangkul, akhirnya tanah sudah

diolah secara lebih dalam dan intensif, sehingga lebih berpeluang untuk menjaga

tingkat kesuburan tanah.

Kedua, bercocok tanam dengan bajak (plough agriculture). Sebelum sebidang

tanah ditanami, terlebih dahulu petani mengolahnya dengan menggunakan bajak,

baik bajak yang ditarik oleh binatang maupun manusia. Dengan memanfaatkan

binatang atau tenaga kuli/ buruh, maka petani amat terbantu (lebih efisien dan

praktis) dalam mengolah lahan jika dibandingkan dengan menggunakan cangkul,

apalagi tugal. Hanya saja agar lebih efektif, teknik ini mengharuskan petani untuk

Page 20: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

64

memelihara binatang dan/ atau tenaga buruh untuk digunakan dalam mengolah

lahan. Dilihat dari segi jenisnya bajak itu dapat dibedakan kedalam dua kategori: (1)

bajak kecil yang biasanya disebut ard; dan (2) bajak berat yang dilengkapi dengan

roda yang lebih dikenal dengan plough.

Ard adalah alat pertanian yang terbuat dari cangkul yang dihubungkan dengan

bajak dan ditarik oleh binatang ataupun manusia. Bajak ini lebih kecil dan relatif

ringan, tetapi kemampuannya untuk ‘membalik’ tanah jauh lebih efektif dan efisien

dibandingkan dengan hanya menggunakan cangkul. Teknik ini ditemukan sekitar

500 tahun yang lalu di Mesopotamia dan di Mesir, kemudian menyebar ke daerah-

daerah lain dalam periode sesudahnya. Sementara plough adalah bajak beroda

dengan ukuran yang lebih berat, sehingga untuk menariknya dibutuhkan 4 ekor sapi

atau kuda. Bajak seperti ini ditemukan sekitar abad ke-4 SM di Jerman dan

Skandinavia, kemudian menyebar hampir ke seluruh penjuru Eropah dalam abad-

abad berikutnya.

Bercocok tanam menetap, serta teknik pengolahan lahan dengan bajak (baik

Ad maupun Plough) itu jangan hanya dipahami sebagai pengolahan lahan basah

belaka seperti lazimnya di Indonesia, melainkan juga mencakup pengolahan lahan

kering. Bercocok tanam menetap hanya mungkin dilakukan bila kesuburan tanah

bisa dipelihara, sehingga tanah dimaksud dapat memberikan hasil sepanjang musim.

Berbeda dengan kesuburan tanah yang disandarkan pada pemberian alam pada

perladangan berpindah, dalam pertanian menetap kesuburan tanah harus diusahakan

sendiri oleh petani. Untuk maksud tersebut, setidaknya ada empat cara yang bisa

dilakukan petani: (1) mengintesifkan pengolahan tanah agar tingkat kesuburannya

tidak menurun secara drastis; (2) memperbaiki cara pemupukan, sehingga tanah

tidak menjadi aus; (3) pengaturan pergantian tanaman (tanaman sela, “tumpang

sari” dalam istilah sekarang); dan (4) pengaturan irigasi agar tanah tidak mengalami

kekeringan (gersang), apalagi pada musim kemarau. Dalam kaitan dengan item

terakhir ini, sistem/ organisasi Subak di Bali dapat dijadikan contoh yang paling

aktual dan terlembaga sejak era tradisional dalam hal pengaturan pengairan lahan

pertanian. Keempat cara di atas, tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

kongkrit dan nyata, bukan pada kejakinan terhadap jampi-jampian dari seorang

dukun seperti yang masih ditemukan pada banyak kelompok petani di Indonesia.

Sejalan dengan berkembangnya tradisi bercocok tanam menetap itu,

kesadaran akan hak atas kepemilikan tanah pun mulai muncul di kalangan petani

setempat. Kepemilikan atas tanah itu pun bermula dari kemilikan oleh kelompok

atau klen yang dalam era kemudian lebih dikenal dengan tanah komunal (wulayat

kaum). Dalam perkembangan pada abad-abat berikutnya, secara bertahap mulai

Page 21: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

65

dikenal kepemilikan pribadi (privat) atas sebidang atau beberapa bidang tanah.

Sjalan dengan itu, keberadaan bercocok tanam menetap semakin eksis dalam sejarah

perkembangan peradaban manusia.

c. Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia

Apabila dicermati dari perspektif ilmu ekonomi yang bercorak diakronik,

cara-cara manusia memenuhi kebutuhan pokok (material)-nya mulai dari era

prasejarah sampai kini, dapat dikelompokkan kepada tahap-tahap sebagai berikut:

(1) pengumpul; (2) penghasil pangan; (3) fabrikasi; (4) industri; dan (5) pasca-

industri. Untuk memahami esensi dari masing-masing tahap itu, serta membedakan

antara satu tahap dengan lainnya, berikut akan diuraikan secara ringkas setiap tahap

itu, lengkap dengan contohnya yang relevan.

Pertama, pengumpul. Maksudnya adalah profil manusia yang memenuhi

kebutuhan pokoknya dengan cara mengumpulkan makanan dari yang disediakan

oleh alam. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua cara yang ditempuh manusia

ketika itu, yakni: meramu (gathering); dan berburu (hunting). Pola demikian

merupakan profil kehidupan makhluk manusia nomaden: secara umum berlangsung

sejak kehadiran manusia di muka bumi ini sampai mereka mengenal hidup menetap.

Pola hidup sebagai pengumbul dan pemburu tersebut, secara implisit mencerminkan

ketergantungan manusia yang sangat tinggi terhadap alam.

Kedua, penghasil pangan (horticultural). Konsep ini mengendung arti, untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tidak lagi mengantungkan hidup

sepenuhnya pada alam, melainkan mereka sudah menghasilan sesuatu dengan cara

mengolah alam. Contohnya untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka sudah

mengembangkan keterampilan bercocok tanam (terutama di lahan kering, ladang),

serta menyinakkan atau beternak binatang tertentu (pastoral). Selanjutnya

berkembang menjadi masyarakat agraris (peasant, peisan). Jadi ketika itu manusia

sudah mampu mengolah alam fisik menjadi alam budaya guna memenuhi kebutuhan

pokok mereka.

Ketiga, fabrikasi. Pada tahap ini manusia sudah memiliki skill (keterampilan)

untuk mengolah hasil-hasil pertanian atau peternakan mereka menjadi bentuk lain

dengan menggunakan peralatan tradisional (sederhana, ‘seadanya’). Tujuan

utamanya adalah untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil-hasil pertanian/

peternakan mereka. Contohnya antara lain keterampilan manusia untuk mengolah:

kacang kedele menjadi tempe; ketela pohon dan juga beras ketan (merah/ hitam)

menjadi tapai; tebu menjadi gula merah (gulo saka); mengolah air aren (‘nira’

mejadi minuman beralkohol, dan banyak lagi yang lainnya.

Page 22: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

66

Keempat, masyarakat industri. Pada tataran ini manusia sudah mampu

mengolah segala sesuatu yang dihasilkan dengan memanfaatkan mesin (teknologi

canggih) guna menghasilkan produk tertentu. Produk tersebut sudah bersifat massal,

tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ataupun masyarakat

setempat, melainkan diproduksi dalam partai besar untuk dilempar ke pasar.

Sebagian dari margin keuntungan yang mereka peroleh, kemudian digunakan untuk

membeli sesuatu berkaitan dengan kebutuhan primer mereka, di samping untuk

akumulasi modal, serta juga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier bagi

yang bersangkutan.

Kelima, masyarakat pasca industri, merupakan masyarakat negara-negara

maju yang tidak lagi mengandalkan pembukaan/ pengelolaan pabrik atau industri di

negara mereka, melainkan memindahkannya ke dunia ketiga. Hal itu mereka lakukan

dengan berbagai pertimbangan, dan yang terpenting di antaranya adalah: (1)

menhindari volusi atau pencemaran akibat limbah pabrik; (2) tenaga kerja di dunia

ketiga dan negera terkebelakang realtif murah; (3) menekan biaya produksi dan

distribusi barang ke daerah konsumen. Meskipun pabrik/ perusahaan dimaksud

dialihkan ke negara lain, tetapi kendali produksi dan quality control tetap dipegang

oleh investor atau pemilik perusahaan yang berasala dari negara maju dengan jalan

memanfaatkan teknologi canggih (shopisticated) berupa softwer tertentu.

2. Rangkuman

Dengan memanfaatkan akal pikir dan jiwa yang dikaruniakan sang Maha

Pencipta, manusia merupakan makhluk paling unggul dalam beradaptasi dibandingkan

dengan makhluk mana pun yang diciptakan-Nya. Melalui proses adaptasi itu, manusia

bisa survive dalam hidupnya hingga kini. Sementara berbagai jenis makhluk ciptaan

Yang Maha Kuasa yang tidak mampu (gagal) dalam beradaptasi dengan lingkungan

baru atau situasi yang selalu berubah, akhirnya tidak bisa bertahan hidup dan hilang dari

permukaan bumi ini.

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia harus bisa beradaptasi

dengan lingkungan fisik (alamiah), sosial, dan budaya. Dalam perjalan sejarah umat

manusia, homo sapiens ini sudah mencatatkan serangkaian keberhasilan. Pada periode

awal kehadirannya dengan potensi akal yang masih sangat terbatas dan pola hidup

nomaden, manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meramu dan

berburu. Selanjutnya sejalan dengan peningkatan akal budinya, manusia berhasil

mengurangi ketergantungannya pada alam. Hal itu ditandai dengan dikembangkannya

pola hidup menetap dan dengan menggunakan produk budaya prasejarah yang sudah

Page 23: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

67

mulai dihaluskan, muncul masyarakat penghasil pangan (hortikultural). Pemenuhan

kebutuhan manusia ketika itu dilakukan melalui dua cara, yaitu: (1) bercocok tanam

(berladang berpindah), terutama di hutan-hutan tropis; dan (2) memelihara binatang

ternak (masyarakat pastoral), khususnya di daerah-daerah padang rumput.

Kemudian dengan semakin meningkatnya akal budi, kemampuan, dan budaya

makhluk manusia, secara bertahap masyarakat hortikultural itu berubah menjadi

masyarakat agraris — peasant dengan pola pertanian menetap, baik di lahan kering

(ladang) maupun basah (sawah). Sementara segelintir dari masyarakat pastoral pun

berhasil meningkatkan usaha peternakan mereka dengan junlah binatang ternak yang

berlipatganda. Dalam periode selanjutnya, dari masyarakat agraris itu tumbuh dan

berkembang pula petani bermodal (farmer) dengan komoditi pertanian berorientasi

pasar. Dalam perjalanan panjang perkembangan masyarakat yang dikemukakan di atas,

muncul pula berbagai jenis pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan manusia di luar

sektor pertanian, seperti kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya.

D. Evaluasi E.

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.

F. Bacaan Pendalaman

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1985. Antropologi, Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

***

Page 24: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

68

MASYARAKAT PETANI DAN PASTORAL,

SERTA PANDANGAN DUNIANYA

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

membandingkan esensi masyarakat petani dan pastoral, serta membedakan pandangan

dunia keduanya.

B. Materi Pokok

Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris (petani peternak), Pastoral, dan Masyarakat

Perkotaan:

(1) Batasan Konseptual

(2) Dari Peasant ke Farmer

(3) Organisasi Sosial Petani

(4) Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar

(5) Pandanga Dunia (World Views) Masyarakat Petani dan Pastoral

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Batasan Konseptual

Masyarakat agraris merupakan masyarakat yang memanfaatkan tanah untuk

membudidayakan tanaman pertanian, dan sekaligus hal menjadi sumber mata pencarian mereka.

Dalam perkembangannya, konsep ini mencakup dua sub-konsep penting, yaitu: petani (peasant,

peisan); dan, farmer. Dalam kajian antropologi budaya dan botani, konsep peisan sering

dipahami sama dengan masyarakat hortikultural. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat

hortikultural adalah profil masyarakat yang berusaha/ bekerja mengolah tanah (lahan)

dengan menggunakan tenaga dan pelatan sederhana memenuhi kebutuhan hidup mereka

sendiri. Di pihak lain farmer (dalam istilah populer di Indonesia lazim disebut ‘petani

berdasi’ atau ‘petani bermodal), yaitu petani bermodal besar yang mengolah lahan

pertaniannya dengan memanfaatkan tenaga manusia (buruh tani) dan/ atau teknologi

moderen guna melipatgandakan margin keuntungan. Berbeda dengan peisan, produksi/

Kegiatan Belajar 5 - 6

3

Page 25: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

69

hasil pertanian farmer tidak dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi,

melainkan adalah untuk disuplai ke pasar.

Sejalan dengan kehadiran masyarakat hortikultural, muncul pula masyarakat pastoralis.

Yang dimaksud dengan masyarakat pastoralis (pastoral) adalah masyarakat peternak yang

menerapkan teknologi domestikasi hewan dalam pembudidayaan binatang (ternak) yang

mereka pelihara. Masyarakat tipe ini muncul dan berkembang di daerah-derah padang rumput

di Afrika, Asia, dan Amereka Latin. Di beberapa kawasan masyarakat pastoral itu masih

ditemukan hingga kini, namun sebagian di antaranya sudah berkembang lebih pesat menjadi

pengusaha peternakan moderen dalam era sekarang.

b. Dari Peasant ke Farmer

Kelompok berburu dan meramu merupakan bentuk ‘masyarakat’ paling

sederhana dalam perkembangan peradaban manusia. Kegiatan utama mereka hanya

terfokus pada meramu (gathering) hasil tumbuh-tumbuhan non-budidaya dan berburu

(hunting) binatang liar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem peralatan yang

mereka gunakan pun masih sangat sederhana, yakni berupa alat-alat yang tersedia di

alam (belum diolah) sebagai produk budaya. Akibatnya teknologi yang mereka gunakan

hanya mampu mengolah alam secara pasif, sehingga waktu mereka habis hanya untuk

mencari makanan demi untuk memenuhi kebutuhan secukupnya (subsistensi).

Setelah menempuh perjalan panjang (hampir 2 juta tahun), akhirnya terjadi

perubahan mendasar dalam pola kehidupan manusia sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Ketika itu manusia yang semula memperlihatkan ketergantungan yang tinggi pada

alam, mulai memanfaatkan potensinya untuk mengolah alam dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Hal itu ditandai dengan munculnya masyarakat hortikultural

dan pastoral, masing-masing merupakan perkembangan lebih lanjut dari kelompok

manusia meramu (gathering) dan berburu (hunting) pada zaman sebelumnya.

Walaupun masyarakat hortikultural dan masyarakat pastoral sudah mulai

memanfaatkan potensinya untuk mengolah alam. Hanya saja dalam periode awal

perkembangannya, mereka hanya menggunakan tenaga dan pelatan sederhana untuk

memproduksi sesuatu (kebutuhan mereka). Walaupun demikian, berbeda dengan zaman

sebelumnya, penghasilan masyarakat hortikultural dan pastorial sudah lebih dari cukup

sebagaimana diungkapkan J.J. Macionis: “material surplus –jumlah kebutuhan subsisten

mereka lebih besar daripada hanya sekadar untuk bertahan hidup…….” Lebih jauh dia

menegaskan, produksi makanan mereka bisa ditingkatkan karena teknologi yang

digunakan (meskipun sifatnya masih sederhana) sudah memungkinkan campur tangan

manusia untuk meningkatkan produksi atas tanaman maupun hewan peliharaan. Hal itu

berkontribusi terhadap tingkat kesehatan manusia, dan lebih lanjut berkorelasi dengan

peningkatan populasi masyarakat hortikultural dan pastorial. Seiring dengan itu,

Page 26: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

70

masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman dan tempat bercocok tanam

menetap untuk beberapa waktu (selama tanahnya dianggap masih subur).

Ketika suatu masyarakat mengalami surplus material, maka memungkinkan bagi

sebagian anggotanya memiliki waktu luang. Lebih jauh bagi sebagian kecil individu,

waktu luang itu mendorong munculnya kreatifitas teknologi, dan berwujud dalam

spesialisasi pekerjaan baru, seperti kerajinan, aneka ragam pertukangan, dagang, dsb.

Hal ini memungkinkan semakin berkembang, mengingat semakin banyak orang yang

tidak perlu lagi terlibat langsung dalam kegiatan subsistensi, sebab pemanfaatan

teknologi bisa mempercepat penyelesaian pekerjaan mereka. Lebih lanjut, kemunculan

sebuah teknologi biasanya akan disusul oleh penemuan teknologi baru yang lebih maju

(shopisticated) pada zamannya, sehingga peluang peningkatan taraf hidup manusia

makin terbuka.

Perkembangan teknologi dalam masyarakat hortikultural dan pastoral secara

tidal langsung telah mendorong munculnya kelompok yang lebih kaya dan berkuasa,

sehingga ketimpangan sosial pun mulai muncul. Dengan begitu, dalam masyarakat itu

akan muncul pihak yang mendominasi pihak lainnnya. Kelompok dominan biasanya

berupaya untuk memanfaatkan ‘sumber daya politik’ yang ada mempertahankan dan

menambah kuat posisinya. Hanya saja harus diakui, bahwa jangkauan kekuasaan

kelompok dominan dalam masyarakat hortikultural dan pastoral masih sangat terbatas

sifatnya, terutama karena populasi penduduk dan disparitas pekerjaan ketika itu masih

belum berkembang secara signifikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian dari kelompok dominan dalam

masyarakat hortikultural dan pastoral kian berhasil mengungguli yang lainnya, hal itu

ditandai dengan munculnya masyarakat agraris (pertanian). Ciri pokok dari masyarakat

agraris itu antara lain: (1) sudah memiliki tempat bercocok tanam menetap secara

permanen; (2) kegiatan bercocok tanamnya sudah mulai berskala besar (tetapi bukan

dalam artian berorientasi pasar); (3) sudah menafaatkan teknologi untuk meningkatkan

produksi, seperti tenaga binatang dan juga tenaga manusia (dari kelompok yang

didominasi, inferior). Masyarakat agraris ditenggarai sudah mengenal bajak, sistem

irigasi, dan peralatan yang terbut dari logam untuk pengolahan lahan, serta mulai bisa

melakukan revitalisasi kesuburan tanah garapan. Diduga masyarakat agraris itu sudah

mulai berkembang di sekitar pergantian zaman neolitikum dan zaman logam, dan kian

menemukan kesempurnaan dalam periode-periode selanjutnya (kuno dan modern).

Dengan memanfaatkan teknogi untuk mengolah lahan, masyarakat agraris

berhasil melipat-gandakan produksi pertanian. Peningkatan ‘material surplus’ itu

ternyata berkorelasi dengan komposisi penduduknya: populasinya semakin meningkat;

diferensiasi dan spesialisasi pekerjaan pun semakin kompleks. Sejalan dengan itu,

Page 27: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

71

dalam masyarakat agraris jaringan perdagangan mulai tumbuh dengan pesat, dan uang

mulai digunakan sebagai alat tukar. Fenomena terakhir ini sudah tercatat dengan tegas

dalam sejarah masyarakat petani di sekitar Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno.

Penemuan uang tersebut ternyata juga ibarat pisau bermata dua: di satu sisi ia

berkontribusi pada peningkatan taraf hidup manusia; tetapi di sisi lain uang juga telah

mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kelompok yang

terkategori ekonomi mapan cenderung mendominasi kelompok ekonomi lemah.

Kelompok mapan akan memanfaatkan kekayaan (uang) dan kedudukan mereka guna

meraup keuntungan secara ekonomi. Kelompok dominan itu lazimnya mengerahkan

individu-individu dari kelompok subordinat (petani penggarap dan/ atau budak) untuk

memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dalam perkembangannya, ketimpangan sosial

dalam masyarakat agraris itu semakin melebar dan permanen. Bahkan di era modern

ini dalam masyarakat agraris itu akan ditemukan perbedaan yang tajam antara: petani

pemilik modal (farmer); petani pemilik lahan (peasant, peisan); dan petani penggarap

(buruh tani) yang nasibnya selalu ‘diujung tanduk’ atau termarginalkan.

Masyarakat agraris yang berhasil menjadi farmer hanyalah segelintir saja,

sebagian besar justeru terjerat sebagai peasant (petani pemilik lahan terbatas, dan

mereka juga langsung sebagai pekerja dalam mengolah lahan pertaniannya). Lain

halnya dengan farmer, mereka adalah petani bermodal yang memiliki lahan luas, dan

selalu memanfaatkan kekayaan (modalnya) dan teknologi canggih (shopisticated) dalam

mengolah lahan pertaniannya guna melipatgandakan keuntungan secara ekonomi.

Orientasi produksinya tidak lagi untuk pemenuhan ekonomi subsistensi, melainkan

adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dewasa ini farmer itu bisa ditemukan (dalam

ukuran terbatas jumlahnya) di semua bangsa yang bercorak agraris dan juga di negara

industri besar. Salah seorang contoh paling tersohor sebagai farmer di pergantian abad

ke-20 dan 21 ini adalah Jimmy Carter (pendahulu Bill Clinton, kini mantan Presiden

Amerika Serikat).

Uraian di atas mengisyaratkan, masyarakat hortikultural dan masyarakat agraris

(khususnya peasant dan sub-ordinatnya seperti petani penggarap) pada hakikatnya

orientasi ekonomi mereka masih bercorak ekonomi subsistensi. Dengan kata lain,

produksi pertanian yang mereka hasilkan dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan

secukupnya (sufficiently), dan kalau ada surplus, barulah dilempar ke pasar. Di pihak

lain farmer menggeluti sektor pertanian dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan

pasar. Contohny para pemilik perkebunan (besar) seperti perkebunan teh, sawit, tebu,

kopi, kina, jati, dll. Dalam batas tertentu farmer tidak selalu berasal dari petani

(peasant), tetapi justeru dari pengusaha/ industrialis yang menginvestasikan modalnya

di sektor perkebunan guna meraih margin keuntungan yang lebih prospektif.

Page 28: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

72

c. Organisasi Sosial Petani

Dengan mencermati dinamika masyarakat hortikultural menuju masyarakat

agraris (peasant, ‘peisan’) dalam poin b di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi

sosial petani itu sangat variatif. Keberagaman itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

tempat tinggal, di samping tingkat perkembangan pemikiran dan peradaban masyarakat

petani setempat. Artinya masyarakat petani di lain tempat atau pun masyarakat petani

tertentu dalam kurun waktu berbeda, cenderung memiliki dan menumbuhkembangkan

organisasi sosial berbeda-beda pula. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari

pengaruh lingkungan dan jiwa zaman (zetgeist) suatu masyarakat terhadap realitas

sosiokultural yang dikembangkan tiap-tiap masyarakat.

Bertolak dari pokok pikiran di atas, pada kini hanya akan diperbinacngkan

karakteristik pokok dari organisasi sosial petani (dalam artian peasant), dan contoh-

contohnya dicarikan sendiri oleh pembaca dengan jalan mencermati realitas masyarakat

tertentu. Berbeda dengan masyarakat moderen, organisasi sosial masyarakat petani

kebanyakan dibangun di atas kesamaan kepentingan antar warganya. Kebanyakan dari

organisasi itu bertumpu pada ikatan-ikatan kekerabat dan kedekatan sosial antar warga.

Di samping itu, skopnya bisa pada tataran rumah tangga, keluarga (nuclear dan/ atau

exteded family) maupun komunitas. Dalam masyarakat tradisional, organisasi sosial itu

sifatnya non-formal dan informal, bukan bercorak organisasi resmi.

Sekedar untuk inspirasi, organisasi sosial yang masih banyak ditemukan dalam

masyarakat petani tradisional, antara lain: oraganisasi dalam lapangan pertanian dan

pengerjaan lahan dengan nama yang bermacam-macam; organisasi adat dengan

terminologi yang beragam pula; organisasi sosial yang berbasis tempat tinggal (rukun

kampung, rukun warga, dsj); organisasi pemuda/ pemudi. Berikut akan dikemukakan

salah satu contoh dari bermacam-macam organisasi berbasis adat/ budaya: dalam

masyarakat nagari di Minangkabau misalnya, dikenal organisasi Kerapatan Adat

Nagari (KAN). Organisasi ini beranggotakan niniak mamak (pimpinan suku), ditambah

dengan unsur alim ulama dan cediak pandai sebagai eleman pimpinan tradisional pada

tingkat nagari Minangkabau yang dikenal dengan “tali tigo sapilin.” KAN memiliki

tupoksi untuk menjaga keberlanjutan adat dan budaya di tengah-tengah masyarakat dan

pembangunan nagari sebagai unit sosial terpenting di Minangkabau. Kemudian contoh

lainnya akan diidentifikasi secara detail dalam proses perkuliahan.

d. Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar

Ketika membahas masyarakat hortikultural, beberapa segi dari masyarakat

pastoral sudah disinggung. Pada kesempatan ini hanya akan diuraikan beberapa hal

penting yang perlu diungkap tentang masyarakat pastoralis. Sebagaimana dikemukakan

Page 29: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

73

sebelumnya, masyarakat pestoral bukanlah masyarakat menetap secara permanen,

melainkan mereka meniti kehidupan secara nomaden. Hanya saja berbeda dengan

profil nomad pada era foodgathering, mereka sudah memiliki kesadaran wilayah yang

tegas. Lalu pengembaraan yang mereka lakukan adalah dari suatu lokasi ke lokasi lain

di dalam wilayah yang sama. Siklus perpindah itu berlangsung dalam dua atau tiga

generasi, tergantung potensi dan tingkat keamanan warga dalam mengembalakan

binatang ternak di kawasan padang rumput yang diklaim sebagai daerah mereka.

Selain itu, sedikit berbeda dengan masyarakat hortikultural, masyarakat pastoral

menerapkan teknologi domestikasi hewan guna meningkatkan produksi binatang

peliharaannya. Mereka memelihara binatang ternak bukan semata-mata untuk

memenuhi kebutuhan subsistensinya, melainkan juga diedarkan (dipertukarkan) dengan

bahan makanan yang mereka butuhkan, khususnya untuk jenis tumbuhan yang tidak

bisa mereka hasilkan sendiri. Oleh karena itu, mekanisme pertukaran (sosial dan barter)

yang lazim dilakukan masyarakat pastoral dalam rangka memenuhi kebutuhan

sufficiently mereka, merupakan akar dari keterlibatan mereka dalam perdagangan yang

menggunakan uang sebagai alat tukar dalam periode berikutnya.

Dengan dikenalnya uang sebagai alat tukar, maka teterlibatan masyarakat

pastoral dalam perdagangan menunjukkan peningkatan di beberapa kawasan. Surplus

yang mereka dapatkan dalam berdagang tersebut, ternyata juga berkontribusi pada

peningkatan populasi penduduk setempat. Sejalan dengan itu diferensiasi penduduknya

juga semakin meningkat: individu/kelompok pengembala yang lebih eksis cenderung

mendominasi kelompok pengembala yang lebih kecil. Kemudian kelompok yang lebih

dominan, berhasil mengusai kelompok pengemla yang tersubordinasi, sekaligus mereka

juga menjadi ujung tombak dalam membuka jaringan dengan masyarakat hortikultural

di sekitarnya. Dalam periode kemudian, ditengarai kelompok dominan itu pulah yang

berhasil membangun jaringan perdagangan dengan masyarakat agraris dan kota di

zaman kuno, dan surplus perdagangan yang mereka raih pada gilirannya mendorong

munculnya diferensiasi pekerjaan yang lebih kompleks. Sejalan dengan itu, sebagian

kecil di antara mereka berpindah melakoni pekerjaan sebagai pedagang binatang ternak,

serta pemasok barang-barang dari daerah pedesaan dan perkotaan di sekitarnya.

Dalam perkembangannya kemudian, terutama sejak zaman kuno sebagian kecil

dari masyarakat pastoral itu pun mengembangkan peternakan secara menetap dengan

populasi binatang peliharaan lebih banyak. Hal inilah yang menjadi embrio kelahiran

peternakan moderen, baik di beberapa tempat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Lalu

mereka itu menjadi penyuplai berbagai kebutuhan protein hewani bagi masyarakat desa

(village) dan kota lain, bukan hanya pada taran lokal, melainkan juga pada tingkat

regional maupun global.

Page 30: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

74

e. World Views Masyarakat Petani dan Pastoral

Yang dimaksud dengan world views di sini adalah “pandangan dunia”

masyarakat petani (peasant) dan pastoral). Maksudnya, bagaimana masyarakat petani

dan/ atau pastoral itu memandang dunia mereka. Jadi world viws petani, bukan berarti

bagaimana dunia memahami petani (mohon hal ini dicamkan, sebab banyak sekali

mahasiswa memahami konsep ini sebagai pandanga publik terhadap petani).

Para ahli sebenarnya memang memiliki pemahaman berbeda terhadap petani,

bahkan kadang-kadang terlihat kontradiktif. Sebagai contoh dua ilmua terkemuka

(Popkin dan Scott) yang meneliti beberapa kelompok/ masyarakat petani di kawasan

Asia Tenggara, ternyata keduanya menghasilkan temuan yang sangat berbeda. Popkin

dalam penelitiannya yang kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku terkenal “Petani

Rasional,” mengungkapkan: petani adalah orang-orang yang rasional, penuh

perhitungan dan kehati-hatian dalam menentukan pilihan, serta visioner dalam bersikap.

Sebaliknya Scott dalam penelitiannya yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku

dengan judul “Moral Ekonomi Petani,” menyatakan petani itu sebagai kelompok yang

tidak berdaya, tunduk pada alam, tidak independen, lemah pendiriannya, serta

termarginalkan dalam hidup dan kehidupann ini. Bahkan dia mengibaratkan petani itu

bagaikan ‘orang yang terapung-apung di tengah lautan, sedikit saja ombak menerpa,

maka ia akan tenggelam.’ Kedua temuan ilmuan yang reputasinya tidak perlu

diragukan lagi itu, tentu berangkat dari realitas kehidupan petani di masing-masing

tempat. akhirnya Popkin melihat petani dengan penuh optimis, sebaliknya Scott

melihatnya dengan pesimis.

Problem serupa juga akan ditemukan ketika kita merumuskan “pandangan

dunia” dari petani, terasa amat sulit untuk membuat batasan yang bisa diterima semua

pihak. Alasannya terdapat keberagaman pandangan petani terhadap dunianya,

perbedaan itu juga dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu. Artinya pandangan

dunia petani di suatu daerah/ kawasan akan berbeda dengan petani di belahan bumi

lainnya. Bukan hanya itu, masyarakat petani di sebuah daerah dalam kurun waktu yang

berbeda, hampir dapat dipastikan pandangan dunia mereka tidak akan persis sama.

Hanya saja dalam keberagaman itu, meskipun terasa rumit, tetapi pasti bisa ditemukan

kecenderungan yang bisa dijadikan dasar berpijak untuk merumuskan world views

petani dimaksud.

Berangkat dari kerumitan itu, berikut ini akan dicoba merumuskan pandangan

dunia petani dengan mengacu pada kerangka Kluckhohn tentang lima masalah dasar

dalam hidup yang benentukan orientasi nilai budaya sekelompok orang. Kelima

masalah dasar itu berkaitan dengan hakikat hidup; kakikat karya; hakikat waktu;

hakikat hubungan manusia dengan alam; serta hakikat hubungan manusia dengan

Page 31: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

75

sesamanya. Berangkat dari kerangka tersebut di bawah ini dicoba merumuskan

kecenderungan pandangan petani (peisan, petani tradisional) terhadap dunianya,

sebagai berikut. Pertama, petani cenderung melihat hidup itu sebagai sesuatu yang

baik. Mengingat hidup itu hanya sebentar, maka ia harus dinikmati dan tidak harus

bersusah payah dalam menjalankan hidup dan kehidupan ini. Kedua, umunya petani

bekerja (berkarya) untuk mencari nafkah hidup, dan jika kebutuhan hidup (subsistensi,

sufficiently) mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak perlu bekerja keras lagi untuk

mendapatkan taraf hidup yang lebih tinggi. Ketiga, kebanyakan petani berorientasi ke

masa kini dan masa lampau. Mereka kurang/ kurang berorintasi ke masa depan yang

belum jelas ujungnya. Dalam ungkapan Melayu hal itu tergambar dengan jelas:

maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang (mengambil contoh ke

yang sudah terjadi, dan mengambil pembelajaran dari yang menang); di mano tumbuah,

di situ disiang (ketika terjadi suatu kasus, barulah dicarikan solusinya) Keempat,

umumnya petani tunduk pada alam: mereka cenderung pasrah dalam menghadapi

kedahsyatan alam; tidak kreatif mengolah alam. Contohnya, tidak sedikit dari petani

yang mewarisi sawah ‘tadah hujan’ dari nenek moyangnya, kemudia setelah puluhan

generasi tetap tidak ada ikhtiar untuk membangun irigasi meskipun peluang ke arah itu

terbuka lebar. Kelima, dalam kaitan dengan hubungan antar sesama, petani cenderung

berorientasi kolateral dan mengindikasdikan ketergantungan terhadap sesama. Rasa

kebersamaan yang berlebihan mengakibatkan motivasi dan kreativitas individu untuk

menunjukkan potensi dirinya rendah. Akibatnya skala prioritas untuk kepentingan

individu hanyut di bawah arus kepentingan bersama (kelompok).

Pandangan dunia petani seperti dikemukakan di atas tentu masih terbuka untuk

diperdebatkan, sebab tidak semua petani tradisional memiliki pandangan demikian.

Oleh sebab itu, dalam paparan di atas selalu ditekankan kata-kata kecenderungan/

umumnya petani (dalam artian ada juga yang tidak seperti itu). Di pihak lain

pandangan dunia masyarakat pastoralis untuk poin 1, 2, dan 3 relatif sama,

perbedaannya terdapat pada poin 4 dan 5. Berkaitan dengan poin keempat, masyarakat

pastoral lebih menekankan pada usaha menjaga keselarasan dengan alam. Hal itu

terjadi karena padang rumput tempat mereka mengembalakan ternak relatif terbatas,

yakni terletak di sela-sela hutan sabana yang mengitarinya. Kemudian poin kelima,

masyarakat pastoral dengan tantangan alam yang lebih keras, orientasi vertikal dan

ketergantungan kepada atasan (kepala-kepala suku) lebih menonjol, sembari tidak

mengabaikan hubungan kolateral (terutama dalam hubungan internal masing-masing

kelompok). Bertolak belakang dengan pandangan dunia petani (peisan) di atas,

pandangan dunia farmer hampir dapat dikatakan bertolak belakang sama sekali.

Page 32: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

76

Bahkan pandangan dunia farmer relatif dekat dengan world views masyarakat perkotaan

dan industri.

2. Rangkuman

Masyarakat agraris yang dibangun di atas masyarakat hortikultural, pada

prinsipnya mencakup dua profil masyarakat yang bisa disederhanakan ke dalam dua

konsep penting, yaitu: peasant (peisan, petani kecil) dan pastoral (peternak) yang

embrionya juga berakar pada masyarakat hortikultural. Peasant dan pastoral dalam

konteks masyarakat agraris ini memiliki ciri utama: (1) memiliki tempat yang tetap

untuk membudidayakan bidang pekerjaannya, seperti lahan pertanian yang tetap untuk

bercocok tanam (ladang dan/ atau sawah) maupun areal padang rumput untuk

peternakan; (2) memanfaatkan teknologi untuk mengolah lahan, seperti bajak dan

peralatan lainnya; (3) mulai tumbuhnya keterampilan disertifikasi lahan; (4) surplus

produksi dan kelebihan dari kebutuhan subsistensi, sudah mulai dilempar ke pasar; dan

(5) muncul diferensiasi pekerjaan di luar sektor pertanian dan peternakan, seperti

kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya. Semakin lama diferensiasi dan

variasi pekerjaan itu semakin komplek dan berkembang terus.

Sejalan dengan perkembangan di atas, dengan memanfaatkan uang dan status,

serta otoritas yang dimilikinya, sebagian dari masyarakat agraris (peasant dan juga

pastoral) berhasil melalui lompatan lebih jauh dalam bidang ekonomi. Sebagian kecil

dari kalangan peasant itu tumbuh menjadi farmer (petani pemilik modal). Dalam

usahanya meningkatkan ‘material surplus’ bidang pertanian, yang bersangkutan

memanfaatkan modal, buruh, dan teknologi maju secara lebih efektif dan efisien. Di

pihak lain, sebagian kecil dari masyarakat pastoral juga telah berhasilannya dalam

mengembangkan peternakan yang lebih besar dan maju dengan orientasi produksi untuk

kebutuhan pasar.

Mengingat hanya sebagian kecil saja dari peasant dan pastoral itu yang berhasil

meningkatkan taraf hidup dan usaha mereka, sementara yang lainnya tetap terperangkap

dalam pola kehidupan petani dan peternak tradisional, maka menarik untuk memahami

world views keduanya. Pandangan dunia masyarakat petani dan pastoral pada prinsip-

nya: “mereka lebih berorientasi ke dalam (inward looking), memiliki keterikatan yang

kuat pada tradisi lama, dan relatif lemah dalam mengatasi tantangan alam, serta kurang

kompetitif melakukan perersaingan dengan pihak lain dalam rangka meraih kualitas

kehidupan yang lebih baik dan lebih maju.” Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan

pandangan dunia masyarakat perkotaan dan masyarakat industri yang lebih berorientasi

Page 33: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

77

keluar, mengandalkan sain dan teknologi, serta kompentitif dalam persaingan untuk

meraih kemajuan.

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

----------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

.

* * *

Page 34: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

78

DINAMIKA MASYARAKAT:

DARI MASYARAKAT AGRARIS DAN NON-AGRARIS

MENUJU MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan dinamika masyarakat agraris dan non-agraris menjadi masyarakat

perkotaan.

B. Materi Pokok

(1) Evolusi Pertumbuhan Kota

(2) Dari Masyarakat Petani dan Pastoral Menuju Masyarakat Kota

(3) Kompleksitas Kehidupan Kota: Kota sebagai Pusat Pemerintahan, Industri, dan

Jasa

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Evolusi Pertumbuhan Kota

Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan

penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,

budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, kehadiran sebuah

kota dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya sudah mengalami proses

evolusi yang panjang. Secara alamiah, akar perkembangan kebanyakan kota-kota yang

menjadi pusat peradaban kuno berasal dari band yang berkembang menjadi desa

(village) zaman neolitikum. Mesopotamia, Iskandariah, Mohenyodaro-Harappa, Sian,

Mesoamerika, merupakan beberapa contoh kota besar yang dibangun antara abad ke-6

sampai dengan abad ke-3 Sebelum Masehi (perkembangan kota secara alamiah tersebut

akan dibahas lebih lanjut dalam poin b di bawah ini). Di pihak lain, sebuah kota

(apalagi di era modern ini) bisa saja lahir tanpa melalui proses evolusi yang panjang,

melainkan dibangun dan direkayasa dari sebidang tanah untuk menjadi sebuah kota.

Kegiatan Belajar 7

4

Page 35: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

79

Menurut Kingsley Davis, tahap perkembangan kota adalah sebagai berikut: co-

polis; polis; metropolis; megapolis; oligopolis; dan, nakropolis. Di bawah ini akan

dipaparkan karakteristik dari setiap pertumbuhan kota tersebut secara simultan.

Pertama, co-polis (embrio kota). Konsep ini dapat diartikan sebagai kawasan pedesaan

di mana mata pencaharian penduduknya tidak lagi bertumpu pada sektor agraris belaka,

melainkan sektor non-agraris sudah mulai menunjukkan perkembangan di sana.

Artinya mata pencaharian pokok sebagian penduduknya sudah beralih dari sektor

pertanian ke sektor jasa (perdagangan, industri, jasa dan/ atau pegawai).

Kedua, polis (kota). Areal pemukiman yang sudah mengalami perkembangan

lebih pesat dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Pengembangan pemukiman

sudah mulai beralih dari yang bersifat horizontal ke vertikal: rumah-rumah penduduk

tidak lagi dikembangkan ke samping, melainkan sudah muncul rumah-rumah/ gedung

bertingkat. Di samping itu, sebagian besar mata pencarian pokok penduduknya sudah

beralih ke sektor jasa, sperti pedagang, pegawai, dan bidang jasa lainnya. Sementara

penduduk yang bergerak di sektor agraris sudah semakin berkurang jumlahnya,

sehingga ciri-ciri pedesaannya sudah semakin terkikis.

Ketiga, metropolis (ibu kota). Maksudnya adalah kota yang sudah semakin

berkembang, baik dilihat dari segi fisik maupun lingkungan sosialnya. Pada taraf ini

kota dimaksud sudah menjadi ibu kota bagi polis, copolis, dan desa-desa yang ada di

sekitarnya. Dengan kata lain ia sudah menjadi pusat pemerintahan, di samping itu

sektor jasa semakin menunjukkan perkembangan berarti dan pola kehidupan agraris

sudah semakin berkurang. Di samping sebagai pusat pemerintahan, metropolis juga

menjadi satelit dan barometer perkembangan berbagai aspek kehidupan moderen bagi

kota-kota kecil dan desa-desa di sekitarnya.

Keempat, megapolis (kota besar). Konsep ini mengandung makna, bahwa kota

tersebut sudah semakin luas wilayahnya, dan di sana juga sudah menjulang gedung-

gedung bertingkat. Gedung-gedung itu umumnya difungsikan sebagai kantor-kantor

birokrasi pemerintahan, badan usaha, perusahaan, industri, toko-toko grosir, lembaga

pendidikan (mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi). Penduduk

metropolis sudah sangat majemuk dengan sektor jasa sebagai mata pencarian pokok

warganya. Sementara sektor agraris hampir dapat dikatakan sudah tidak ditemukan di

kota-kota besar tersebut.

Kelima, oligopolies (kota berantai). Oligopolis merupakan sebuah kota besar

yang sudah berantai dengan kota tetangganya (kota kembar): kedua kota hanya dibatasi

dengan rambu-rambu atau petunjuk praktis batas kota. Jadi tidak seperti biasanya,

antara satu kota dengan kota lainnya dibatasi oleh tanah kosong ataupun wilayah

pedesaan yang cukup luas. Kehidupan masyarakatnya sudah sangat individualis, dan

Page 36: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

80

sumber ekonomi warganya bertumpu pada sektor industri dan jasa. Kompetisi dan

persaingan dalam berbagai aspek kehidupan mulai berlangsung dengan tajam.

Keenam, nakropolis (kota mati). Apabila perkembangan kota sudah tidak bisa

dikendalikan, kejahatan dan tindakan kekerasan terjadi di mana-mana ataupun terjadi

peperangan dahsyat yang berkepanjang di sebuah kota, maka waganya cenderung pergi

meninggalkan kota untuk menyelamatkan diri. Akibatnya kota tersebut menjadi

kosong, tinggal hanya puing-puing bangunan yang tidak terurus, sehingga ia sering juga

diibaratkan sebagai ‘kuburan besar’ yang sunyi dari aktifitas dan hiruk pikuk warganya.

Jika sudah demikian halnya, maka ia lazim disebut sebagai nakropolis (berakar dari

suku kata nacros = mati dan polis = kota). Dalam sejarah dunia, kondisi kota semacam

itu ditemukan di berbagai kawasan, misalnya di Babilonia, Yunani dan Romawi Kuno,

Mesir Kuno, Meksiko, dan belahan dunia lainnya. Bahkan di zaman sekarang hal

serupa juga terjadi di beberapa negara, seperti di Afganistan, Palestina, Sudan, Irak,

Suriah, Libiya, dan beberapa negara lainnya.

b. Dari Masyarakat Petani dan Pastoral Menuju Masyarakat Kota

Mengawali sub-judul ini bisa diajukan pertanyaan pokok: apakah masyarakat

petani pedesaan dan masyarakat pastoral bisa tumbuh menjadi masyarakat perkotaan?

Jawaban terhadap pertanyaan ini secara sepintas bisa: ya dan/ atau tidak. Kedua-dua

jawaban itu bisa dicarikan contohnya dalam perkembangan sejarah peradaban manusia.

Berikut ini akan dikemukakan penjelasan singkat berkaitan dengan dua kemungkinan

jawaban pendek tersebut.

Berkaitan dengan pertanyaan itu, terlebih dahulu akan dijelaskan duduk

persoalan dari kemungkinan dua jawaban di atas. Bagaimanapun, berawal dari

perkembangan band-band pada zaman Neolitikum, lahirlah desa-desa yang relatif

bersahaja dalam era prasejarah. Kemudian dalam periode sesudahnya, sejak zaman

kuno bermunculanlah desa-desa (village) dengan pola yang kian kompleks, hingga

jumlahnya mencapai milyaran pada saat ini. Dalam perkembangannya itu hanya

segelintir saja dari desa-desa itu yang berkembang menjadi kota, lalu sebagian besar

(bahkan kalau dihitung bisa mencapai angka di atas 95%) tetap eksis sebagai desa

(dalam artian tidak berubah menjadi kota). Dengan kata lain, penduduknya tetap eksis

sebagai masyarakat petani (rural society) ataupun masyarakat peternak (pastoralism),

terutama di beberapa daerah padang rumput di Afrika dan Asia.

Walaupun kebanyakan masyarakat petani dan pastoralisme itu tidak berubah

menjadi masyarakat perkotaan (urban society), namun mereka tidak steril dari pengaruh

kehidupan perkotaan. Kecenderungan seperti itu sudah terlihat dalam realitas kehidupan

di zaman kuno seperti pengaruh kota-kota tertua di Babilonia dan Mesir Kuno terhadap

Page 37: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

81

desa-desa di sekitarnya. Mirip dengan trend di era modern ini, kota-kota kuno itu sudah

menjadi satelit bagi masyarakat desa dan masyarakat pastoralis yang ada di sekitarnya.

Untuk beberapa aspek kehidupan kedua profil masyarakat yang disebut belakangan ini,

mendapat pengaruh kuat dari kota-kota satelitnya.

Mengacu pada pokok pikiran dan ilustrasi yang disebutkan terakhir ini, menarik

untuk menjawab sebuah pertanyaan elementer berikut: bagaimanakah proses masuknya

pengaruh kota ke derah pedesaan? Jawaban terhadap pertanyaan ini mengindikasikan,

setidaknya ada tiga mekanisme masuknya pengaruh kota ke desa. Pertama, terjadinya

urbanisasi: perpindahan masyarakat desa ke kota, baik karena ada faktor pendorong

(push factor) dari desa ataupun faktor penarik (pull factor) dari kota. Apapun penyebab

dari urbanisasi yang terjadi, konsekuensinya masyarakat pedesaan itu secara berangsur-

angsur harus beradaptasi dengan pola-pola kehidupan masyarakat kota. Lama

kelamaan ciri-ciri kehidupan rural society dan pastoralism yang mereka junjung tinggi

selama ini secara bertahap akan berubah menjadi pola kehidupan urban society. Kedua,

urbanisme. Maksudnya, meluasnya pengaruh kota ke daerah pedesaan yang berpangkal

pada intensifnya kontak antara kedua tipe masyarakat dan perkembangan media

komunikasi. Orang-orang kota yang datang ke desa dan perantau yang pulang ke

kampung halamannya, serta media informasi (elekronik dan cetak) yang masuk ke

derah pedesaan, pada gilirannya secara bertahap (baik disadari atau tidak) akan

berpengaruh pada masyarakat desa. Pengaruh itu bisa menyangkut sikap mental, gaya

hidup ataupun gaya berbicara. Ketiga, perluasan administratif sebuah kota. Akibatnya

masyarakat desa ataupun suburb (masyarakat pinggiran kota) yang terkena perluasan

kota, secara bertahap tetapi pasti warga setempat harus menyesuaikan pola hidup

mereka secara bertahap dengan masyarakat kota. Jika tidak, mereka hampir dapat

dipastikan akan menjadi warga kota yang termarginalkan.

Bertolak dari uraian di atas, dapat diambil konkluasi: dalam batas-batas tertentu

rural society dan pastoralism bisa berkembang menjadi urban society. Secara kasat

mata hal itu bisa dideteksi dari beralihnya: pola hidup mereka dari sektor agraris dan

bertenak ke sektor industri dan jasa; dari masyarakat homogen ke masyarakat yang

heterogen. Jika kedua karakter pokok itu belum terlihat dominan dalam kehidupan

suatu masyarakat, maka berarti mereka masih tergolong ke dalam masyarakat pedesaan:

rural society dan/ atau pastoralism. Dikatakan demikian, karena pada hakikatnya

masyarakat perkotaan (urban society) adalah profil masyarakat non-agraris. Urban Society

adalah warga yang bermukim di daerah perkotaan dengan mata pencaharian utamanya

bertumpu pada sektor jasa dan industri. Berbeda dengan masyarakat agraris yang banyak

terikat oleh hubungan-hubungan yang berbasis pada kebersamaan (sosial) dan ikatan

kekerabatan, masyarakat perkotaan lebih bersifat individualis.

Page 38: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

82

c. Kompleksitas Kehidupan Kota

Konklusi di atas mengindikasikan, bahwa kompleksitas kehidupan adalah ciri

pokok dari masyararakat kota. Dalam konteks demikian sebagaimana dikemukakan

oleh Davis yang telah dikemukakan sebelumnya, selain sebagai pusat industri dan jasa,

kota juga merupakan pusat pemerintahan. Dalam ketiga sektor itu, hampir dapat

dipastikan kota akan menjadi barometer bagi kota-kota kecil dan desa-desa sekitarnya.

Contoh: Jakarta akan menjadi barometer bagi kota-kota dan desa-desa lain di Indonesia.

Begitu juga Kota Padang akan menjadi barometer bagi kota-kota dan desa-desa yang

ada di Sumatera Barat; dan, Bukittinggi akan menjadi barometer bagi kota-kota kecil

dan desa-desa di Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, bahkan juga kota-kota dan

desa-desa lain di luar Kabupaten Agam.

Kota-kota (apalagi dalam perspektif konvensional), selalu dicirikan oleh

keberadaannya sebagai pusat perkembangan industri dan jasa. Hal ini mungkin erat

kaitannya dengan keberadaan kota sebagai corong dari kemajuan (modernisasi),

sehingga pertumbuhan industrinya lebih awal dan maju dibandingkan dengan daerah

pedesaan di sekitarnya. Bermacam ragam industri umumnya tumbuh dan berkembang

di perkotaan atau daerah pinggiran kota, kemudian baru menjalar ke daerah pedesaan.

Bahkan dalam banyak kasus, justeru yang menjalar ke pedesaan itu bukan pertumbuhan

industrinya, melainkan hanya produknya saja. Pada hal kalau dilihat dari sumber bahan

bakunya kebanyakan besaral dari pedesaan, tetapi pengolahannya justru berkembang di

kawasan perkotaan.

Selain itu sektor jasa pun berkembang pesat di kawasan perkotaan dibandingkan

dengan daerah pedesaan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari keberagaman kehidupan

perkotaan dengan berbagai infrastruktur yang lebih kompleks. Dengan begitu sektor

jasa berpeluang tumbuh lebih pesat, seperti: berkembangnya pekerjaan (profesi) sebagai

pegawai (PNS, ABRI, BUMN/BUMD, Swasta); bidang jasa (anekaragam teknisi,

wartawan, pedagang, sopir, security, clining service, dan lain-lain seumpamanya); dan

sektor informal (pembantu rumah tangga, dsb.). Bahkan di berbagai kota besar di era

modern ini, juga muncul berbagai jenis pekerjaan tertentu, seperti: ajudan pribadi;

bodyguard, dept collector, dan sebagainya.

Terakhir, kota juga merupakan pusat pemerintahan. Hal ini bukan suatu

fenomena baru, melainkan pada kota-kota kuno sekali pun realitas tersebut dengan

mudah bisa ditemukan. Misalnya: Kairo merupakan pusat pemerintahan Mesir Kuno

sejak awal berdirinya; Roma menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan Romawi Kuno.

Begitu juga Kediri menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Dalam konteks

kota di era kontemporer fenomena serupa relatif lebih gampang untuk dipahami dan

dicarikan realitasnya. Dalam konteks Indonesia modern misalnya, kota dalam semua

Page 39: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

83

tingkatan dan ukurannya, pada hakikatnya merupakan pusat pemerintahan dalam

cakupannya sendiri. Pusat pemerintahan kecamatan sebagai contoh, umumnya terdapat

di kawasan yang masih bertaraf co-polis; lalu polis merupakan pusat pemerintahan

kabupaten/ kota; serta metropolis menjadi pusat pemerintahan tingkat provinsi; dan

megapolis (metropololis) menjadi pusat pemerintahan negara (NKRI). Lalu dari kota-

kota itulah aparatur birokrasi menggerakkan roda pemerintahan dalam cakupan wilayah

dan otoritasnya sampai pada akhirnya menjangkau areal pedesaan.

2. Rangkuman

Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan

penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,

budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, asal usul kota

dapat dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, berasal dari sebuah pemukiman

penduduk yang sederhana berubah menjadi desa, dan selanjutnya secara bertahap

berubah menjadi kota dalam segala tingkatannya. Kedua, sebidang lahan yang cukup

luas dirancang/ dibangun menjadi sebuah kota, dan dalam perjalannya berkembang

menjadi kota yang semakin besar dan kompleks. Jika kita bermaksud mempelajari

sebuah kota, maka kita bisa mlihat latar sejarahnya melalui salah satu dari fua kategori

tersebut.

Pokok pikiran di atas mengisyaratkan bahwa masyarakat desa (rural society)

dengan pola kehidupan agraris, tetap terbuka untuk berubah menjadi masyarakat

perkotaan (urban society). Seiring dengan penemuan uang dan meningkatnya

difeferensias pekerjaan masyarakat desa di luar sektor agraris, maka sebagian warganya

mulai menekuni usaha di bidang jasa, keterampilan, dan industri. Jika pembangunan

fisik areal pemukiman itu semakin pesat, pekerjaan di luar sektor agraris semakin

berkembang, pengaruh kehidupan moderen semakin mendalam di kalangan warga

dimaksud, maka ciri-ciri kehidupan abrarisnya makin luntur dan berubah menjadi

masyarakat perkotaan.

Ketika sebuah desa telah berubah statusnya menjadi kota, maka ia akan

memperlihatkan heterogenitas dalam berbagai aspek. Heterogenitasnya itu dapat dilihat

dari segi latar belakang penduduk (ras, etnik, sosial budaya), tingkat pendidikan, taraf

ekonomi, afiliasi politik, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, realitas demikian

akan semakin komplek sifatnya, mengingat kota sering diposisikan sebagai agen

modernisasi, pusat perkembangan ekonomi/ perdagangan, pusat industri, pusat

pendidikan, dan juga pusat birokrasi/ pemerintahan tertentu. Dengan demiakian

kehidupan kota akan menjadi semakin kompleks, apalagi ia akan menjadi satelit dan

barometer dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (kota maupun desa) sekirtanya.

Page 40: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

84

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

-------------------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga

Penerbit FE-UI

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian

Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gama Press.

Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Zubaidi, 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Pengembangan dan

Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Razz Media.

Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gama

Press.

Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIPJkt – BKKBN.

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

* * *

Page 41: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

85

PERTUMBUHAN EKONOMI:

SUMBER DAYA EKONOMI, SISTEM PRODUKSI, DISTRIBUSI, DAN

KONSUMSI DALAM MASYARAKAT YANG SEDANG BERUBAH

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

mencermati pertumbuhan ekonomi, sembari mengidentifikasi sumber daya ekonomi,

sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat

yang sedang berubah.

B. Materi Pokok

Dinamika Perekomian, Sumber Daya Ekonomi, dan Distribusi:

(1) Manusia sebagai Homo-economicus

(2) Sumber Daya Ekonomi

(3) Hakikat Ekonomi: Produksi; Distribusi; dan Konsumsi

(4) Anekaragam Distibusi: Tukar Menukar (Sosial); Reciprositas; Tukar Menukar

(Ekonomi); dan Redistribusi Kekayaan.

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Manusia sebagai Homo-economicus

Uraian pada topik-topik sebelumnya secara implisit sudah membawa kita pada

pemahaman, bahwa manusia sesungguhnya merupakan makhluk multidimensional, di

samping sebagai homo socius (makhluk sosial) dan homo faber (makhluk budaya/

pembuat alat), manusia sekaligus juga merupakan homo economicus. Konsep terakhir

ini mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Maksudnya untuk

memenuhi kebutuhan materialnya: manusia tidak hanya mengandalkan instingnya,

melainkan ia berusaha mengolah alam dengan memanfaatkan akal pikirnya. Dengan

jalan demikian, manusia tidak hanya sekedar berusaha bertahan hidup, melainkan lebih

dari itu, ia berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup dari waktu ke waktu.

Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, sudah dikupas bagaimana

ketergantungan manusia pada alam di awal kehadirannya di muka bumi ini. Kemudian

Kegiatan Belajar 8

5

Page 42: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

86

setelah melalui proses yang panjang, dengan memanfaatkan akal budinya, manusia

berhasil mengurangi ketergantungan pada alam dan akhirnya mampu mengolah alam.

Bahakan dalam era modern itu, manusia sudah melangkah lebih jauh dari sekadar hanya

mengolah alam, menjadi makhluk yang berhasrat untuk mengeksploitasi alam. Dalam

kaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, setelah terjebak dengan pola berburu

dan meramu selama jutaan tahun, akhirnya pada penghujung era mesolitikum manusia

mulai memanfaatkan kemampuannya untuk mengolah alam (bercocok tanam dan

memelihara binatang). Kemudian kedua cara pemenuhan kebutuhan ekonomi itu

berhasil mereka kembangkan: mulai dari teknik pengolahan dengan menggunakan

peralatan sederhana ke teknik yang lebih maju (kompleks); dari orientasi subsistensi

(pemenuhan kebutuhan sendiri) ke orientasi pasar untuk mendapatkan keuntungan

(profit). Ilustrasi di atas secara implisit mengindikasikan telah terjadinya dinamika

ekonomi dalam perkembangan peradaban umat manusia.

b. Sumber Daya Ekonomi

Berbicara tentang manusia sebagai makhluk ekonomi, menarik untuk mengupas

“sumber daya ekonomi” sebagai salah satu konsep strategis dalam studi ekonomi dan

pembangunan. Yang dimaksud dengan sumber daya ekonomi adalah segala potensi

yang dimiliki, baik berupa barang ataupun jasa guna memenuhi kebutuhan manusia.

Sumber daya dimaksud dapat berupa sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya

manusia (SDM) yang bisa memberikan manfaat/ keuntungan (benefit). Kedua jenis

sumber daya (SDA dan SDM) tersebut pada hakikatnya dapat diolah sebagai modal

dasar dalam pengembangan ekonomi manusia.

Dilihat dari perspektif ilmu ekonomi moderen, sumber daya ekonomi juga

sering dipahami sebagai sebuah bentuk sumber daya konsumen. Dalam konteks

demikian, setidaknya sumber daya ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1) sumber

daya alam, yaitu semua sumber/ kekuatan yang berasal dari alam, seperti tanah, air,

udara, mineral, dan energy; (2) sumber daya manusia, yaitu potensi yang dimiliki oleh

manusia (baik fisik maupun psikis) yang bisa diarahkan untuk kegiatan produksi; (3)

sumber daya modal, yakni segala sesuatu yang bisa dijadikan modal oleh manusia, baik

berupa uang maupun barang (bahan baku, mesin, bangunan/ pabrik) yang dapat

digunakan dalam proses produksi; (4) sumber daya kewirausahaan, yaitu segala potensi

yang berkaitan dengan sikap, prilaku, etos kerja, dan semangat dalam menggerakkan

sebuah usaha/ kegiatan ekonomi dalam rangka meraih keuntungan.

Penguasaan sumber daya ekonomi oleh seseorang maupun sekelompok orang

akan berkorelasi dengan pendapatan dan kekayaan yang bersangkutan. Yang termasuk

ke dalam kekayaan dalam konteks ini meliputi asset (nilai bersih); dan kredit dari

Page 43: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

87

seseorang atau suatu badan usaha. Kekayaan dan asset itu bisa saja dikelompokkan

pada sumber daya ekonomi; individu, rumah tangga, keluarga, ataupun badan usaha

(terutama dalam masyarakat modern). Sementara dalam masyarakat kuno/ tradisional

sumber daya ekonomi itu umumnya merupakan asset keluarga/ suku/ klen (komunal),

sedangkan asset individu relatif belum dikenal ketika itu.

c. Hakikat Ekonomi: Produksi; Distribusi; dan Konsumsi

Berbicara tentang ekonomi, pada hakikatnya ada tiga konsep kunci yang selalu

menjadi mainstream pembahasan dalam kajian ekonomi, yaitu: produksi; distribusi;

dan konsumsi. Kalau ditelusuri sejarah perkembangan makhluk manusia, terutama sejak

manusia mulai mengenal hidup menetap, terlihat dengan jelas bahwa manusia tidak bisa

menghasilkan (memproduksi) segala kebutuhkan (konsumsi)-nya secara individual

(sendiri), melainkan dalam banyak hal ia membutuhkan pasokan (distribusi) dari pihak

lain. Profil dan dinamika perekonomian tiap-tiap masyarakat pada hakikatnya tercermin

dan sekaligus dipengaruhi oleh interelasi anatar ketiga faktor tersebut.

Pada awal kehadiran homo sapiens di mukaka bumi ini sekitar 2 juta tahun yang

lalu, manusia justeru belum bisa menghasilkan (memproduksi) kebutuhan ekonominya

sendiri. Dalam kurun waktu yang sangat panjang (skitar 1.990.000) tahun manusia

justeru mengindikasikan ketergantungan yang tinggi pada alam. Dalam rentang waktu

tersebut, manusia hanya memanfaatkan apa yang tersedia pada alam untuk memenuhi

kebutuhan subsistensi mereka (dalam artian mereka belum mampu menghasilkan dan

mengolahnya sama sekali).

Para ahli paleoantropologi dan prehistori cenderung sependapat: kemampuan

manusia untuk menghasilkan sesuatu yang mereka butuhkan dengan cara mengolah

alam lingkungan, baru mulai muncul pada pergantian zaman mesolitikum ke neolitikum

(sekitar 10.000 tahun yang lalu). Itupun masih sangat terbatas sifatnya, yakni hanya di

delapan kawasan di permukakan bumi ini sebagaimana yang telah dibahas dalam topik

sebelumnya. Manusia-manusia yang sudah mulai menunjukkan kemampuan mengolah

alam itu, berhasil meletakkan fondasi penting bagi perkembangan peradaban manusia,

termasuk di bidang ekonomi. Proses tersebut akan ditelusuri satu per satu dalam uraian

ringkas di bawah ini.

Pertama, manusia menetap pada periode awal itu memproduksi sesuatu yang

mereka butuhkan dengan mengolah alam lingkungan untuk memenuhi ekonomi paling

mendasar dalam hidup manusia, yaitu makanan. Caranya adalah dengan bercocok

tanam untuk memenuhi kebutuhan makan, serta menjinakkan binatang (baik untuk

kebutuhan lauk-pauk maupun menjaga lingkungan tempat tinggal dan berburu). Bahkan

dalam tasas-batas tertentu, jika proses produksi yang mereka lakukan belum bisa

Page 44: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

88

memenuhi kebutuhan mendasar dalam hidup, lalu mereka pun melengkapinya dengan

berburu dan meramu. Hal terakhir ini dalam prehistori lebih dikenal dengan era

meramu dan berburu tingkat lanjut. Orientsi ekonomi mereka pada masa itu masih

bersifat untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang dalam ilmu ekonomi lebih dikenal

dengan pemenuhan kebutuhan subsistensi (sufficiently, ekonomi secukupnya).

Walaupun demikian para ahli menduga, bahwa pada masa itu sudah mulai berlangsung

tukar menukar barang yang dibangun di atas prinsip sistem barter dan reciprocitas. Hal

itu adalah konsekuensi logis dari perbedaan lingkungan tempat tinggal yang berbeda

dan kebutuhan manusia yang beragam. Lalu melalui sistem barter dan hubungan timbal

balik itu terjadilah distribusi barang untuk memenuhi kebutuhan pihak konsumen.

Kedua, sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kemampuannya, manusia

berhasil menemukan cara/ proses produksi dan memanfaatkan lahan secara menetap.

Untuk memberi nuansa perbedaan dengan pola sebelumnya: sistem ini lebih cocok

disebut dengan istilah bertani; dan masyarakatnya disebut dengan masyarakat agraris.

Sistem produksi masyarakat petani dan juga masyarakat pastoralis pada zaman kuno itu

masih tetap berorientasi pada pamanuhan kebutuhan sensiri (ekonomi subsistensi),

tetapi kelebihan produksi sudah mulai didistribusikan ke luar kelompok produsen, baik

melalui barter, reciprocitas, maupun jual beli dengan menggunakan benda yang

diperlakukan sebagai uang. Lain halnya dengan masyarakat pastoralis, binatang ternak

mereka memang dimaksudkan untuk dipertukarkan dengan berbagai kebutuhan dasar

yang tidak bisa mereka hasilkan, terutama karena keterbatasan alam di padang rumput.

Selain melalui dua proses distribusi di atas, beredarnya barang dari pihak konsumen ke

produsen bisa terjadi melalui tukar menukar secara ekonomi, apa lagi sejak masyarakat

mengenal uang. Dengan begitu, hubungan produsen - konsumen semakin terjalin

melalui proses distribusi barang dan jasa, baik inter maupun antar kelompok terkait.

Ketiga, berbeda dengan petani tradisional, petani dan peternak modern justru

memproduksi sesuatu dengan tujuan utama untuk menyuplai kebutuhan pasar. Profil

petani/peternak seperti ini tidak lagi mengandalkan tenaga mereka untuk menggerakkan

usahanya, melainkan mereka menggunakan modal yang dimiliki, tenaga buruh untuk

memaksimalkan produksi. Sementara kebutuhan subsistensi mereka diperoleh dengan

membeli segala sesuatu dari pihak produsen melalui jasa pihak distributor terkait.

Dengan kata lain, dalam tahap perkembangan ini, proses produksi, distribusi, dan

konsumsi sarat dengan hal-hal bersifat profit.

d. Anekaragam Distibusi

Uraian pada poin c di atas, secara implisit mengisyaratkan proses distribusi

barang dari pihak produsen ke konsumen, berlangsung melalui berbagai macam cara,

Page 45: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

89

yang terpendting diantaranya adalah: tukar menukar sosial; reciprocitas; tukar menukar

ekonomi; dan redistribusi kekayaan. Berikut ini akan dijelaskan implementasi masing-

masing konsep tersebut dalam kaitan dengan perkebangan peradaban manusia.

Tukar Menukar (Sosial) diduga merupakan mekanisme distribusi barang dan

jasa yang paling tua dalam sejarah perkembangan umat manusia. Dalam masyarakat

bersahaja pun tukar menukar seperti ini sudah lazim dilakukan oleh berbagai eleman

masyarakat, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebab tidak satupun

manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri, didorong oleh kenyataan

demikian hidup dan tumbuhlah tukar menukar soiial. Pola tukar-menukar seperti itu

tidak hanya dikenal dalam masyarakat bersahaja dan kuno, tetapi dalam masyarakat

modern prinsip itu masih berlangsung dengan modifikasi dalam beberapa aspeknya.

Selajutnya, reciprositas (hubungan timbal balik). Konsep ini juga menjadi

landasan berlangsungnya distribusi barang dari pihak produsen ke pihak konsumen,

sehingga barang yang dihasilkan pihak lain bisa beredar di kalangan konsumen

(pemakai). Mirip dengan tukar menukar sosial, reciproritas juga dilandasi oleh

kesurelaan pihak terkait, tanpa maksud untuk meraih keuntungan dari proses tersebut.

Pertukaran barang melalui reciprocitas itu biasanya tidak berlangsung pada momen

yang sama (seperti jual beli), melain tukar menukar itu terjadi pada momen berbeda.

Melalui hubungan timbal balik yang dilandasai kesukarelaan itu, terjadilah peredaran

barang secara luas dengan harapan untuk membangun kebersamaan dan solidaritas

dalam suatu masyarakat dan/ atau antara individu-individu yang berasal dari masyarakat

berbeda. Pemahaman konsep ini akan semakin mendalam jika dikaitkan dengan konsep

the gift (pemberian) yang diperkenalkan Marcell Mauss. The Gift juga amat besar

kontribusinya bagi terbinanya hubungan timbal balik antar pihak-pihak terkait, sehingga

integrasi masyarakat akan semakin kuat.

Selain tukar menukar sosial dan reciprositas sebagaimana yang telah disinggung

di atas, para ahli menduga sejak manusia mengenal hidup menetap, manusia sudah

mulai mengembangkan tukar menukar ekonomi. Pertukaran tersebut diawali dari pola

yang bersifat sederhana, yakni melalui sistem yang kemudian lebih dikenal dengan

barter. Manusia pra sejarah yang hidup dalam kelompok-kelompok di kawasan terentu,

telah mulai menghasilkan untuk kebutuhan sufficience mereka dengan memanfaatkan

tanah dengan jenis dan tingkat kesuburan berbeda-beda. Beranjak dari keterbatasan

demikian, tidak mungkin bagi suatu kelompok untuk memproduksi sendiri kebutuhan

mereka, sehingga mereka harus membangun hubungan dengan kelompok lain yang

menghasilkan sesuatu yang mereka perlukan itu. Dalam konteks masyarakat sederhana,

terjadilah transaksi ekonomi yang paling elementer, yaitu pertukaran barang dengan

barang (barter). Dalam perkembangannya kemudian, mekanisme perturana ekonomi

Page 46: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

90

yang amat sederhana itu makin disempurnakan dari waktu ke waktu, baik berkaitan

dengan proses produksi, mekanisme, dan alat yang digunakan dalam proses pertukaran.

Setelah menggunakan alat yang diberlakukan sebagai alat tukar dan logam mulia,

akhirnya kelompok tertentu menemukan uang sebagai alat tukar. Berbeda dengan

barter yang memiliki berbagai keterbatasan, penggunaan uang sebagai alat tukar

memiliki banyak kelebihan dan memberikan keuntungan. Dengan demikian, mucullah

perdagangan sebagai salah satu mekanisme penting dalam proses distribusi barang dari

produsen ke pihak konsumen.

Terakhir, redistribusi kekayaan. Tukar menukar sosial, reciprositas, dan tukar

menukar ekonomi di atas, terjadilah ikatan antara individu dan kelompok, inter dan

antar kelompok, terutama berkaitan dengan barang dan jasa sebgai wahananya. Sejalan

dengan itu, secara implisit juga terjadi distribusi kekayaan di dalam kelompok dan/ atau

antar kelompok yang terimplementasikan dalam bentuk distribusi barang dan jasa di

kalangan pihak terkait. Bukan hanya itu, dalam banyak kasus disribusi kekayaan itu

tidak hanya berhenti pada dua pihak, melainkan ia akan beredar lebih jauh dalam

bentuk distribusi kekayaan dalam skop yang lebih luas. Realitas demikian, merupakan

salah satu daya dorong bagi terwujudnya dinamika ekonomi masyarakat yang semakin

kompleks, apalagi di era kontemporer ini.

2. Rangkuman

Dalam kapasitasnya sebagai homo economicus, untuk memenuhi kebutuhan

materialnya manusia memanfaatkan akal budinya dalam mengelola “sumber daya

ekonomi” guna mendapatkan material surplus dari aktifitas yang dijalankannya.

Setelah terjebak dengan pola berburu dan meramu selama jutaan tahun, akhirnya pada

penghujung zaman mesolitikum manusia mulai menunjukkan kemampuan untuk

mengolah alam (bercocok tanam dan memelihara binatang). Kemudian kedua cara

pemenuhan kebutuhan ekonomi itu berhasil mereka kembangkan, baik dari segi

peralatan yang digunakan maupun orientasnya.

Sumber daya ekonomi yang diolah manusia dalam upaya memperbaiki kualitas

ekonominya, pada hakikatnya mencakup: sumber daya alam (SDA); dan sumber daya

manusia (SDM) yang bisa memberikan manfaat/ keuntungan (benefit). Sumber daya

ekonomi itu sering juga dipahami sebagai sebuah bentuk sumber daya konsumen.

Dalam konteks ini, setidaknya sumber daya ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1)

sumber daya alam, yaitu semua sumber/ kekuatan yang berasal dari alam; (2) sumber

daya manusia, yaitu segala potensi manusia yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan

produksi; (3) sumber daya modal, yakni segala sesuatu yang bisa dijadikan modal

untuk proses produksi; (4) sumber daya kewirausahaan, yaitu segala potensi yang

Page 47: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

91

berkaitan dengan sikap, prilaku, etos kerja, dan semangat untuk menggerakkan sebuah

usaha/ kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Penguasaan sumber daya ekonomi oleh

seseorang maupun sekelompok orang akan berkorelasi dengan pendapatan dan

kekayaan yang bersangkutan.

Mengingat kemampuan manusia tidak sama dan kebutuhan mereka juga

beragam, sementara sumber daya ekonomi yang mereka miliki juga berbeda, maka

otomatis manusia tidak bisa mengasilkan semua kebutuhannya. Dihadapkan pada

kenyataan itu, dalam batas tertentu ada manusia yang menjadi produsen kebutuhan

tertentu, dan di pihak lain ada pula yang menjadi konsumen. Lalu untuk menjaga

ketimpangan dan mendapatkan nilai tambah dalam hubungan produsen dan konsumen

itu, maka kegiatan distribusi menjadi hal yang sangat krusial.

Interelasi yang konstruktif di antara produsen, konsumen, dan distributor akan

memberikan nilai tambah bagi semua eleman masyarakat terkait, sekaligus juga

mencerminkan dinamika ekonomi suatu masyarakat. Distribusi barang dari produsen

ke pihak konsumen itu berlangsung melalui berbagai macam cara dan yang terpenting

di antaranya adalah: pertukaran (sosial), reciprocitas, the gift, dan barter, dan tukar

menukar ekonomi (jual-beli dengan menggunakan uang sebagai alat tukar).

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-menukar di Masyarakat

Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:

Pustaka Grafika

Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers

Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gama

Press.

Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIPJkt–BKKBN.

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

* * *

Page 48: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

92

PERKEMBANGAN PERKAWINAN, KELUARGA,

DAN RUMAH TANGGA

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan hakikat, konsekuensi dan perkembangan perkawinan dalam kaitannya

dengan keluarga, dan rumah tangga.

B. Materi Pokok

Perkawinan, Keluarga, dan Rumah tangga:

(1) Perkawinan: Telaahan Konseptual

(2) Dinamika dan Evolusi Perkawinan

(3) Tabu dan Pematasan Jodoh dalam Perkawinan

(4) Syarat-syarat Perkawinan (Bride price, Bride Service, Bride Exchange)

(5) Adat Menetap Setelah Kawin

(6) Rumah Tangga

(7) Keluarga (Konjungal dan Konsanguin)

(8) Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Perkawinan: Telaahan Konseptual

Perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang sangat penting dalam realitas

sosial hampir semua masyarakat di muka bumi ini. Semua masyarakat, komunitas, dan

kelompok sosial menilai perkawinan sebagai sesuatu hal yang sangat esensial dalam

kehidupan manusia yang beradab. Perkawinan bukan hanya berfungsi untuk mengatur

hubungan biologis antara insan yang berlainan jenis, melainkan ia sarat dengan muatan

nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi masyarakat terkait. Pokok pikiran ini

relevan dengan pendapat para ahli, yang mengungkapkan fungsi perkawinan sebagai

berikut: pengatur reproduksi; fungsi sosialisasi; afeksi; penentuan status; perlindungan;

dan fungsi ekonomi, Bertolak dari alur fikir dan fungsi perkawinan di atas, dapat

ditegaskan bahwa perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang amat strategis

Kegiatan Belajar 10 - 11

6

Page 49: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

93

dalam pengaturan pergaulan antar individu berlainan jenis, dan juga dalam penataan

hidup berkeluarga dan bermasyarakat.

Untuk memahami hakikat perkawinan itu, menarik untuk mencari jawaban

terhadap pertanyaan pokok: apakah yang dimaksud dengan perkawinan? Para ahli dari

berbagai latar belakang disiplin ilmu dan profesi, cenderung merumuskan konsep

perkawinan sesuai dengan latar belakang keilmuan, keyakinan keagamaan dan sosio-

kultural yang bersangkutan. Antropolog, sosiolog, pakar hukum, rohaniawan, dan

budayawan misalnya, ketika mendefinisikan perkawinan, maka rumusan masing-

masing cenderung berbeda satu dengan lainnya.

Walaupun demikian, dari berbagai rumusan yang amat beragam itu pada

hakikatnya untuk kepentingan ilmu-ilmu sosial dapat dibuat rumusan yang relatif

netral, tanpa meniadakan eksistensi rumusan lainnya. Rumusan dimaksud adalah

sebagai berikut: “perkawinan merupakan hubungan yang permanen antara laki-laki dan

perempuan berdasarkan adat istiadat (sistem norma) tertentu, serta diakui sah oleh

masyarakat.” Coba bandingkan batasan ini dengan konsep perkawinan dalam Undang-

undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia: rumusannya pasti berbeda, tetapi

substansi perkawinan dalam undang-undang itu tetap terakomodasi di dalam rumusan di

atas. Substansi perkewinan dimaksud adalah: (1) ikatan yang bersifat permanen antara

laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membina rumah tangga. Maksudnya

hubungan itu tidak terikat oleh jangka waktu tertentu (kontrak), dan jika perlu hanya

maut yang membatasi ikatan dimaksud; (2) hubungan itu harus antara laki-laki dan

perempuan, dalam artian bukan hubungan antar individu sejenis (homo seksual,

lesbian); (3) hubungan itu harus dibangun di atas sistem adat-istiadat atau norma

tertentu yang didukung dan diyakini pihak terkait; dan (4) hubungan tersebut harus

mendapat pengakuan dari masyarakat di mana mereka hidup dan bertempat tinggal.

Resepsi pernikahan pada hakikatnya adalah wahana yang paling strategis untuk

mendapatkan legitimasi/ pengakuan dari warga masyarakat terkait.

Apabila keempat hal di atas terpenuhi, maka barulah terjadi perkawinan antar

insan berlainan jenis. Sebaliknya, jika salah satu dari empat persyaratan itu tidak

terpenuhi, maka hubungan keduanya tidak bisa disebut sebagai perkawinan. Apa bila

terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti disebut terakhir, maka ia akan

dikategorikan sebagai penyimpangan dalam perkawinan. Di era kontemporer ini,

dikenal beraneka ragam penyimpangan tersebut, seperti: ‘kumpul kebo,’ kawin piaraan,

samenleven, key-mariage, sek bebas, dan penyimpangan seksual lainnya. Bahkan ada

pula penyimpangan itu yang diklaim sebagai suatu keyakinan keagamaan tertentu,

seperti Children of God, Kawin Kontrak, ‘Zakat Badan,’ dan lain-lain sejenisnya.

Page 50: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

94

b. Dinamika dan Evolusi Perkawinan

Dilihat dari perspektif sejarah, perkawinan itu sudah mengalami perjalanan

panjang dalam perkembangan peradaban umat manusia. Ia bermula dari hubungan

biologis tanpa ikatan yang jelas antar laki-laki dan perempuan, kemudian sampai pada

hubungan yang tegas berlandaskan ketentuan hukum formal. Dengan kata lain, ia

berkembang dari tingkat yang paling sederhana sampai ke tingkat kompleks, tegas, dan

didasarkan pada ketentuan perundang-undang resmi (formal).

Dilihat dari perspektif teori evolusi, perkembangan perkawinan antara lain bisa

dirujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Bachofen dan Morgan. Menurut kedua

tokoh ini perkembangan perkawinan berlangsung melalui tahap-tahap berikut. Pertama,

promescited/ promiscuity (berasal dari terminologi Latin: promes + cust) yang berarti

‘kawin campur aduk.’ Maksudnya hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan

tanpa dilandasi oleh ikatan yang jelas dan sifatnya tidak permanen. Menurut Bachofen

dan juga Morgan, fenomena serupa sudah mulai sejak makhluk manusia (homo sapiens)

itu muncul di muka bumi ini. Pola hubungan seperti itu berlangsung sangat lama

(hampir dua jutaan tahun), yakni dari zaman Paleolitikum sampai penghujung zaman

Mesolitikum. Dengan kata lain, fenomena itu berlangsung selama manusia hidup secara

nomaden, mirip dengan hidup sekawanan binatang. Kemudian pada penghujung

Mesolitikum (kurang lebih 10.000 tahun yang lalu), barulah manusia mengenal hidup

menetap. Sejak itu, kelompok-kelompok yang terbentuk secara bertahap dalam kurun

waktu berbeda mulai mengenal hubungan biologis yang dilandasi ikatan perkawinan,

namun sifatnya masih amat sederhana.

Kedua, ‘Kawin Kelompok.’ Terma ini dipernelkan oleh Morgan, menurutnya

dalam ‘kawin kelompok’ sudah ada ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan. Dia sebut sebagai kawin kelompok, karena ikatan perkawinan

yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis itu, memiliki konsekuensi

hubungan biologis yang melibatkan sejumlah individu dari masing-masing pihak di luar

inces. Artinya, seorang laki-laki (A) yang melaksanakan ikatan perkawinan dengan

perempuan (B), diperbolehkan melakukan hubungan biologis dengan isterinya, saudara-

saudara perempuan dan keponakan-keponakan perempuan dari si B (isterinya).

Sebaliknya si B (isteri si A) juga boleh melakukan hubungan biologis dengan A,

saudara-saudara laki-laki dan keponakan laki-laki dari suaminya. Walaupun demikian,

hubungan biologis dengan orang tua dan mertua kedua belah pihak dilarang atau sudah

dianggap tabu ketika itu. Menurut Morgan kawin kelompok itu disbut dengan

“Panalua” dalam masyarakat bersahaja di Hawaii.

Ketiga, ‘Matriarchaad dengan poligami’ (baca: poliandri). Yang dimaksud

oleh Bachofen dan Morgan dengan “matriarchaad dengan poligami” itu adalah seorang

Page 51: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

95

perempuan boleh bersuami lebih dari satu dalam rentang waktu yang sama. Dengan

begitu, dalam konteks kekinian konsep tersebut amat keliru, sebab matri berarti ibu

(perempuan) dan archaad (archy) adalah ibu. Jadi matriarchaat mengandung arti

kekuasaan berada di tangan ibu (perempuan). Pada hal yang dimaksud adalah seorang

perempuan dibenarkan bersuami lebih dari satu, dan konsep yang tepat untuk fenomena

demikian adalah “poliandri.” Menurut Bachofen dan Morgan, sistem perkawinan ini

diduga dibolehkan pada periode awal manusia mengenal “hidup menetap.” Alasannya,

pada saat itu manusia belum bisa memenuhi kebutuhan dasar (sufficiently) mereka dari

lingkungan tempat tinggalnya, melainkan mereka harus meramu dan berburu ke luar

lingkungan tempat tinggal mereka untuk beberapa hari. Dihadapkan pada kenyataan

demikian, maka seorang perempuan diperbolehkan bersuami lebih dari satu: sementara

suami ke- (1, 2, dan 3) pergi mencari makanan dan/ atau berburu misalnya, maka suami

ke (4, 5, dan 6) bisa mengawasi isteri dan anak-anak di sekitar goa tempat tinggal

mereka. Kemudian pada tahap berikutnya kelompok suami yang lain pula yang pergi

berburu dan meramu. Di Indonesia fenomena ini dianggap asing dan aneh, tetapi pada

beberapa kelompok etnik di Mongolia, Asia Tengah dan di India poliandri hingga kini

masih diperbolehkan. Sebagai ilustrasi dapat dinikmati tayangan AN TV (2014) dalam

kisah Mahabrata, di mana Draupadi bersuamikan 5 orang Padawa (Pandawa Lima).

Keempat, ‘Patriarchaad dengan poligami’ (baca: poligini). Bachofen dan

Morgan menyatakan dalam ‘Patriarchaad dengan poligami’ seorang laki-laki boleh

beristeri lebih dari satu. Kalau begitu konsep yang tepat untuk fenomena ini adalah

poligini, bukan kekuasaan berada di tangan bapak (laki-laki). Poligini dikenal pada

hampir semua kelompok etnik di Indonesia, bahkan elit tradisional cenderung

menerapkan sistem ini. Bahkan bukan hanya kelompok elit, melaikna tidak sedikit

kalangan orang kebanyakan (massa) juga menjalankan paktek poligini.

Kelima, Monogami (perkawinan tunggal). Menurut Bachofen dan Morgan,

monogami merupakan puncak dari evolusi perkawinan. Yang dimaksud dengan

monogamy adalah: seorang laki-laki hanya boleh beristeri satu orang dalam suatu

rentang waktu; dan sebaliknya seorang perempuan hanya boleh bersuamikan satu orang

laki-laki. Kebanyakan warga masyarakat di berbagai belahan dunia menganut azas

perkawinan monogam di era modern ini. Bahkan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, prinsipnya menganut azas monogami.

Dikatakan demikian, karena seorang laki-laki (PNS/ ABRI) hanya boleh kawin lebih

dari satu, kalau mendapat izin dari istrinya yang pertama. Dalam keadaan normal dan

tanpa mengalami penyakit yang kronis, hampir tidak mungkin bagi seorang perempuan

memberi izin suaminya untuk menikah lagi (kedua dan seterusnya). Begitu juga dalam

Islam, seorang suami boleh menikahi perempuan sampai empat orang dengan syarat dia

Page 52: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

96

yakin akan mampu berlaku adil. Ini tentu berlawanan dengan falsafah alam seperti

termaktup dalam ungkapan tradisional Minangkabau: condong mato ka nan rancak,

condong salero ka nan lamak. Dalam konteks demikian, keadilan itu adalah suatu yang

riskan untuk diwujudkan.

Kembali pada poin keempat dan kelima di atas, di dalamnya ada dua konsep

penting, yaitu: poliandri; dan, poligini. Kedua konsep itulah yang disebut dengan

istilah poligami. Maksunya, seorang perempuan dan/ atau laki-laki boleh kawin dengan

beberapa orang dalam rentang waktu tertentu. Apabila seorang perempuan dan/ atau

laki-laki sudah kawin dan kemudian mereka bercerai, selanjutnya yang bersangkutan

kawin kembali, ini tidak termasuk ke dalam poligami. Tegasnya, poligami mengandung

arti ‘kawin jamak’ yang dilakukan seseorang dalam suatu rentang waktu tertentu.

c. Tabu dan Pembatasan Jodoh dalam Perkawinan

Setiap kelompok etnik yang tersebar di berbagai penjuru bumi ini, memiliki

konsepsi tentang tabu (sumbang, incest) dalam perkawinan. Oleh karena itu, dalam

setiap masyarakat dikenal konsep pembatasan jodoh dalam perkawinan. Hampir semua

masyarakat di dunia ini melarang kawin sedarah. Orang tua (ayah dan/ ibu) dilarang

kawin dengan anak-anaknya, dan kawin dengan saudara kandung. Bahkan dalam

kebanyakan masyarakat (terutama penganut Islam) juga ada larangan kawinan dengan

saudara sepersusuannya. Jika ada orang yang melakukan hubungan biologis dengan

pihak-pihak yang dilarang itu, maka ia dianggap melakukan incest.

Selain beberapa larangan di atas, setiap masyarakat/ kelompok etnik memiliki

pembatasan-pembatasan tersendiri tentang pemilihan jodoh. Di dalam masyarakat yang

menganut azas exogamy dalam perkawinan, maka seseorang dilarang mencari pasangan

dalam kelompoknya. Orang Minang dan Batak, merupakan dua kelompok etnik yang

menganut azas exogamy, sehingga sesorang harus mencari pasangan ke luar

kelompoknya. Hanya saja ada terminologi berbeda dalam kedua kelompok etnik itu:

Etnik Minang yang menaganut azas “eksogami suku,” maka ia dilarang mengawini

orang yang suku dengannya, misalnya seorang dari suku Caniago harus mencari

pasangan hidupnya ke dalam suku Koto, Piliang, Bodi, Sikumbang ataupun suku-suku

lainnya di luar Caniago. Di pihak lain, orang Batak yang menganut azas “eksogami

marga,” maka dia dilarang kawin dengan orang yang semarga dengannya. Contoh

seorang pemuda marga Siregar tabu kawin dengan gadis dari marga Siregar, tetapi dia

bisa mencari jodohnya dari marga Nasution, Hasibuan, Simanjuntak, dst.

Sementara itu, di kalangan masyarakat yang menganut azas endogamy, maka dia

dilarang mencari pasangan dari luar kelompokknya. Sama dengan exogamy di atas,

endogamy pun sifatnya relatif. Oleh karena itu konsep endogami ini pun harus

Page 53: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

97

diberikan pembatasan yang tegas, misalnya: endogami kasta, endogami desa, endogami

nagari (di Minangkabau). Dalam masyarakat Hindu Bali sebagaimana masyarakat

India, seseorang harus mencari pasangan dalam kasta yang sama, dan tabu mencari

pasangan di luar kastanya (apalagi dari kasta yang lebih rendah).

Bertolak dari uraian di atas, orang Minang yang sangat dikenal berazaskan

Eksogami, tetapi pada hakikatnya mereka juga penganut Endogami. Oleh karena itu

konsep yang lebih tepat bagi orang Minang adalah: penganut azas “Eksogami Suku dan

Endogami Nagari.” Maksudnya, seseorang pemuda harus mencari pasangan untuk

dikawini ke luar sukunya, tetapi kalau dapat harus dari nagari yang sama. Di beberapa

nagari di Minangkabau, seorang pemuda yang mencari pasangan di luar nagari-nya

akan dikenakan denda adat, yaitu membayar “uang lompek paga” dan/ atau “uang

lompek banda”. Denda itu dibayarkan oleh niniak mamak (kepala sukunya yang

biasanya bergelar Dt., akronim dari Datuak ……) dalam sebuah jamuan adat yang

dihadiri oleh para niniak mamak di nagari bersangkutan. Setelah denda dibayarkan,

barulah sang niniak mamak akan dianggap selevel dengan para niniak mamak lainnya,

seperti diungkapkan: duduak samo randah, tagak samo tinggi dengan para niniak

mamak (penghulu) lainnya. Mengapa dia harus membayar denda secara adat?

Jawabannya relatif sederhana, yaitu: anak kemenakan sang niniak mamak itu telah

melanggar tabu/ sumbang dalam perkawinan.

Selain tabu yang sudah ditelusuri di atas, pada tataran etnik/ lokal tertentu juga

dikenal berbagai macam yang dianggap tabu atau sumbang. Misalnya pada beberapa

masyarakat etnik, tabu mengawini seseorang yang tidak jelas ayah/ bapaknya, di

samping ada pula kelompok sosial tertentu yang menganggap tabu kawin dengan orang

dari status sosial yang lebih rendah.

d. Persyaratan Perkawinan (Bride price, Bride Service, Bride Exchange)

Uraian di seputar pembatasan perkawinan di atas, mengisyaratkan bahwa

perkawinan itu bukan hanya menyangkut hubungan kedua insan yang berinisiatif untuk

kawin, melainkan memiliki konsekuensi sosial budaya yang mendalam. Setiap

masyarakat memiliki “persyaratan perkawinan” (jangan dipahami syarat-syarat yang

harus dipenuhi seseorang untuk kawin) tertentu. Dari persyaratan perkawinan yang

amat beragam pada berbagai kelompok etnik di dunia, pada prinsipnya dapat

disederhanakan ke dalam tiga kategori pokok berikut: Bride-price; Bride-service: dan,

Bride-exchange. Di bawah ini akan diuraikan secara ringkas substansi dari masing-

masing konsep itu secara simultan.

Pertama, Bride-price (mas kawin). Mas kawin adalah “sejumlah harta yang

diberikan oleh pemuda kepada pihak si ganis dan/ atau keluarganya sebagai persyaratan

Page 54: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

98

untuk kawin.” Mekanisme pemberian mas kawin itu juga berbeda-beda pada tiap

masyarakat: ada yang mengharuskan pemberian itu sebelum pelaksanaan perkawinan;

sementara dalam kebanyakan masyarakat pemebrian itu dilaksanakan pasca perkawinan

(ritual pernikahan). Jadi konsep ini harus dibedakan secara tajam dengan “mahar”

(dalam Islam), sebab mahar mengandung makna: “serahan wajib yang harus diberikan

oleh si pemuda kepada calon isterinya (sesuai dengan permintaan si perempuan)

sebagai syarat sahnya perkawinan antar kedua insan.” Secara umum budaya dari hampir

semua kelompok etnik di berbagai penjuru bumi ini mensyaratkan mas kawin itu

sebagai pemberian dari pemuda terhadap calon istri dan atau keluarganya sebagai

persyaratan perkawinan. Namun pada segelintir etnik/ sub etnik, pemberian tersebut

dilakukan oleh si gadis kepada calon suami dan/ atau keluarganya. Apa dan bagaimana

pun prosedurnya, mas kawin itu merupakan persyaratan perkawinan paling esensial

dalam adat/ kebudayaan hampir semua kelompok etnik.

Kedua, Bride-service (penyerahan tenaga). Konsep ini mengandung arti: “untuk

melamar/ mengawini seorang gadis, sang pemuda harus bekerja pada keluarga pihak

perempuan.” Para ahli menduga tradisi ini tumbuh dalam masyarakat tradisional, karena

ada anggapan pada kebanyakan etnik, bahwa setiap orang merupakan aset penting

sebuah keluarga. Lalu ketika seorang gadis dikawini oleh seorang pemuda, maka si

perempuan akan tercabut dari keluarganya, dan masuk menjadi anggota keluarga

suaminya (terutama pada adat menetap patrilokal dan virilokal). Oleh sebab itu, sebagai

penggantinya seorang laki-laki disyaratkan bekerja pada keluarga pihak perempuan

ketika ia berniat menyunting si gadis. Lalu ‘penyerahan tenaga’ oleh pemuda terkait

dapat dilakukan sebelum dan/ atau setelah pelaksanaan perkawinan.

Ketiga, Bride-exchange (pertukaran gadis). Bride-exchange: suatu kewajiban

yang dibebankan kepada seorang pemuda yang bermaksud melamar seorang gadis

untuk menyediakan gadis dari kerabatnya yang bersedia menikah dengan pemuda dari

pihak keluarga calon isterinya. Dari mekanisme seperti itu, terlihat bahwa perkawinan

tersebut mengandung makna sebagai pertukaran gadis antar keluarga dari yang terlibat

dalam suatu ikatan perkawinan. Adat semacam ini sangat terbatas pendukungnya,

antara lain ditemukan dalam bebera kelompok suku di Irian, Melanesia, orang Aborigin

(Australia) dan pada segelintir suku di Afrika dan Amerika Latin.

Hal lain yang perlu disinggung di sini adalah prosedur yang harus dilakukan

oleh dua pihak yang bermaksud untuk melakukan hubungan perkawinan. Berkaitan

dengan hal ini, setiap masyarakat memiliki aturan/adat-istiadat yang berbeda-beda pula.

Bahkan pihak mana yang harus mengambil inisiatif terlebih dahulu juga berbeda

ketentuan adatnya: masyarakat tertentu mengharuskan inisiatif datang dari pihak laki-

laki; sementara yang lain harus dari pihak pihak perempuan terlebih dahulu. Manapun

Page 55: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

99

adat yang dipakai, secara umum proses yang lazim dilakukan adalah sebagai berikut:

penjajakan; peminangan; penetapan jadwal perkawinan; upacara perkawinan; dan upara

adat saling mengunjungi antar kedua kerabat setelah perkawinan.

e. Adat Menetap Setelah Kawin

Setelah menempuh serangkaian aktifitas yang panjang di sekitar perkawinan

mulai dari pemilihan jodoh, pinang-meminang, pernikahan, resepsi perkawinan dan

berbagai upacara yang mengitarinya, lalu pasangan pengantin baru itu akan berurusan

dengan adat menetap setelah kawin. Di dalam kajian budaya, dikenal bermacam-

macam adat menetap (tempat pasangan baru itu bermukim/ bertempat tinggal) sesudah

kawain. Agar jangan keliru dalam memahami konsep ini, terlebih dahulu perlu

ditegaskan bahwa “adat” dalam artian kelaziman yang dilakukan oleh mayoritas

anggota masyarakat setempat. Di sini tidak termasuk realitas yang bersifat kasuistik,

yakni praktek yang dilakukan oleh pasangan tertentu di luar adat yang dijunjung tinggi

oleh masyarakat setempat.

Dari beraneka ragam adat menetap sesudah kawin itu, dan yang terpenting di

antaranya adalah: matrilokal, uxorilokal, patrilokal, virilokal, bilokal, utrolokal,

natalokal, dan neo-lokal. Berikut ini akan ditelusuri esensi dari masing-masing adat

menetap setelah kawin itu satu persatu secara simultan:

Pertama, matrilokal. Konsep ini mengandung arti bahwa pasangan penganten

baru menetap di rumah orang tua perempuan pihak perempuan (isteri). Adat menetap

seperti ini sangat lazim ditemukan dalam masyarakat tradisional Minangkabau, di mana

pasangan suami istri yang baru menikah tinggal di rumah orang tua sang isteri untuk

beberapa lama, terutama selama pasangan itu belum mampu membangun rumah sendiri.

Namun hal itu juga bisa berkelanjutan, terutama jika tercipta kerukunan dan saling

menghargai antara pasangan baru itu dengan orang tua dan saudara-saudara sang isteri.

Kedua, uxorilokal, yaitu adat menetap setelah kawin, di mana pasangan

penganten baru itu tinggal di sekitar rumah orang tua pihak isteri. Fenomena ini juga

lazim ditemukan dalam masyarakat Minang tradisional. Dalam kaitan ini pasangan

penganten baru itu tinggal di rumah tersendiri di sekitar rumah orang tua sang isteri:

rumah baru itu bisa dibangun oleh orang tua sang isteri sebelum ia menikah; dan bisa

juga dibangun oleh pasangan baru itu segera setelah mereka menikah. Ditemukannya

banyak perkempungan yang berbasis suku di beberapa nagari Minangkabau, diduga

erat kaitannya dengan berlangsungnya adat uxori-lokal di masa lalu, seperti Kampueng

Sikumbang, Kampueng Tanjung, Kampung Caniago, dan seterusnya. Areal

pemukiman seperti ini biasanya disebut oleh para peneliti sosial-budaya Minangkabau

dengan campound.

Page 56: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

100

Ketiga, patrilokal. Konsep ini mengandung makna, pasangan penganten baru

menetap/bertempat tinggal di rumah orang tua laki-laki sang suami. Dalam konteks ini

sang isteri tinggal di rumah mertua yang notabene merupakan rumah orang tua laki-laki

suaminya. Contoh, adat menetap seperti ini dianut oleh etnik Batak, khususnya pada

masyarakat tradisional setempat. Hal itu terjadi ketika masyarakat belum begitu padat,

dan hubungan antara anak/menantu dan orang tua suami, serta saudara-saudaranya tetep

terjalin baik, konstruktif, dan akomodatif.

Keempat, virilokal. Konsep ini mirip dengan uxori-lokal, tetapi pasangan

penganten baru tinggal (menetap) di sekitar rumah orang tua laki-laki pihak suami.

Adat seperti ini ditemukan dalam berbagai masyarakat tradisional Batak, Bugis,

Ambon, dan sebagainya.

Kelima, bilokal. Maksudnya penganten baru tinggal secara bergantian: pada

rentang waktu tertentu tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami;

kemudian pada rentang waktu yang lain mereka harus tinggal di rumah/ di sekitar

rumah orang tua pihak perempuan (isteri). Pola itu berlangsung sampai habis masa

‘penganten baru’ sebagai mana yang diadatkan oleh masyarakat setempat.

Keenam, utrolokal. Pasangan penganten baru bebas menentukan tempat

menetap setelah kawin: pasangan itu boleh tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua

pihak suami dan/ atau pihak isteri. Namun ketika mereka memilih untuk tinggal di

rumah atau di sekitar rumah orang tua pihak suami misalnya, maka hak-hak mereka di

keluarga isteri dalam batas-batas tertentu akan hilang. Demikian juga sebaliknya. Adat

menetap seperti itu, antara lain ditemukan dalam beberap sub-etnik Dayak di

Kalimantan.

Ketujuh, natalokal. Konsep ini dianggap aneh/ asing oleh banyak masyarakat di

dunia, tetapi ia dijalankan masyarakat tradisional dari sub-etnik Indian Amerika, dan

juga etnik tertentu di laut Fasifik. Yang dimaksud dengan nata lokal adalah pasangan

penganten baru tinggal di rumah orang tua masing-masing untuk beberapa lama, sampai

saatnya dilakukan upacara untuk menentukan rumah tangga yang akan mereka jalani.

Dalam rentang waktu demikian, pasangan penganten baru itu bertemu ditempat-tempat

tertentu untuk beberapa saat yang bisa dimanfaatkan kedua penganten. Namun setelah

pertemuan tersebut, suami dan istri itu kembali ke rumah orang tua masing-masing.

Kemudian dalam upacara mengakhiri masa hidup terpisah antar pasangan itu, maka

orang tua kedua pihak membekali anak mereka dengan berbagai peralatan yang

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam membangun rumah tangga baru.

Setelah itu, barulah pasangan suami isteri tersebut tinggal bersama dalam suatu rumah.

Kedelapan, neo-lokal. Konsep ini mengandung arti, bahwa pasangan penganten

baru tinggal di rumah baru, di luar rumah atau lingkungan orang tua pihak laki-laki

Page 57: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

101

maupun perempuan. Adat menetap seperti ini lazim ditemukan dalam masyarakat

perkotaan, terutama di negara-negara maju. Namun dalam batas-batas tertentu pola

tersebut sudah mulai menjalar pengaruhnya ke kota-kota besar di luar Eropah dan

Amerika, terutama di kalangan pasangan dengan latar belakang ekonomi kuat. Hanya

saja fenomena tersebut belum dapat dikategorikan sebagai adat menetap setelah kawin

dalam hampir semua kelompok etnik di Indonesia, mengingat keberlakuannya hanya

terbatas pada individu dari kalangan profesional dan/ atau pasangan yang berlatar

belakang ekonomi menengah ke atas..

f. Rumah Tangga

Rumah tangga (household) merupakan unit sosial yang terbentuk sebagai

konsekuensi dari sebuah perkawinan. Dikatakan demikian, karena dua insan yang

terikat oleh hubungan perkawinan itu akan hidup bersama di suatu rumah. Jika

pasangan itu sudah berhasil membentuk unit sosial yang mencerminkan suatu kesatuan

ekonomi yang berdiri sendiri, berarti terbentuklah rumah tangga baru. Dengan begitu,

rumah tangga sebagai suatu konsep dapat diartiakan sebagai unit sosial yang

mencerminkan suatu kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri. Di dalam banyak

kelompok etnik, kesatuan tersebut ditandai dengan “dapur.” Jadi konsep rumah tangga

tidak bisa disamakan dengan keluarga inti atau pun rumah sebagai tempat tinggal

pasangan dimaksud.

Dalam banyak kasus di Indonesia, apalagi pada masyarakat tradisional berbagai

kelompok etnik di tanah air (kecuali dalam era modern ini), pasangan penganten baru

biasanya menumpang di rumah orang tuanya untuk beberapa lama. Oleh karena itu

pada suatu rumah, misalnya rumah gadang di Minangkabau bisa saja ditempati oleh

dua keluarga inti atau lebih: keluarga inti senior; dan keluarga inti junior. Selama

keluarga inti junior itu belum membetuk sebuah unit ekonomi sendiri yang terpisah dari

keluarga inti senior, maka ia tidak bisa dianggap sebagai rumah tangga. Lain halnya

ketika keluarga inti yunior itu membentuk ‘dapur’ (baca: unit ekonomi tersendiri),

meskipun secara fisik dapurnya sama, maka berarti pasangan baru itu telah membentuk

“rumah tangga” tersendiri. Dengan kata lain, rumah tangga dapat diartikan sebagai

suatu kesatuan ekonomi (dapur) dari sebuah keluarga inti/ nuclear family (ayah, ibu,

dan anak-anaknya yang belum kawin).

g. Keluarga (Konjungal dan Konsanguin)

Keluarga pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam dua kategori pokok, yaitu:

Keluarga Konjungan; dan, Keluarga Konsanguin. Keluarga konjunggal biasanya

terbentuk dari sistem perkawinan monogami. Dalam antropologi, keluarga konjungan

Page 58: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

102

sering disebut dengan istilah nuclear family (keluarga inti, keluarga batih). Secara

konseptual, Keluarga Konjungal dapat diartikan sebagai kesatuan sosial terkecil yang

terbentuk dari perkawinan monogami dengan anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan

anak-anaknya.

Di pihak lain, Keluarga Konsanguin dalam studi antropologi lebih dikenal

dengan extended family (keluarga luas, bukan keluarga besar). Extended family selalu

terbentuk dari beberapa keluarga batih yang memiliki ikatan/ hubungan yang erat satu

dengan lainnya. Selain itu dalam kelompok etnik tertentu, keluarga luas juga dipahami

sebagai keluarga inti minus suami dan/atau isteri sesuai dengan sistem kekerabatan

yang dianut masyarakat setempat, misalnya kesatuan sosial dalam bentuk suku di

Minangkabau atau pun marga di Batak.

Di pihak lain, di kalangan etnik-etnik tertentu, keluarga luas juga dihubungkan

dengan tempat tinggal (menetap) dari beberapa keluarga batih terkait. Dalam

hubungan ini keluarga luas dapat dibedakan menjadi: (1) keluarga luas utrolokal,

yakni suatu keluarga yang terdiri dari keluarga inti senior ditambah dengan beberapa

keluarga batih dari anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan; (2)

keluarga luas virilokal, yaitu keluarga yang dibangun di atas adat virilokal dengan

anggotanya satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga batih dari

anak lelakinya; dan (3) keluarga luas uxorilokal yang terbentuk berdasarkan adat

uxorilokal dengan keanggotaanya terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan

beberapa keluarga batih dari anak-anak perempuannya. Contoh dalam masyarakat

Minang, di sebuah rumah gadang atau di lingkungan rumah gadang tertentu tinggal

beberapa keluarga inti dari keturunan yang sama. Kesatuan hidup yang disebut

terakhir ini melahirkan konsep campound. Para peneliti sosio-kultur Minangkabau

cenderung sependapat: perkampungan tradisional yang berazaskan ikatan darah

(lineal) seperti Kampueng Koto, Kampueng Piliang, Kampueng Bodi, Kampung

Caniago, Kampueng Melayu, Kampung Tanjung, dsj itu, tidak lain adalah kesatuan

sosial yang terbentuk dari adat uxorilokal dimaksud.

Uraian ringkas di atas, setidaknya menggiring kita pada dua rumusan konseptual

dari keluarga luas sebagai berikut. Pertama, keluarga luas merupakan kesatuan sosial

yang terbentuk dari perkawinan dan/ atau ikatan tempat tinggal di mana para

anggotanya memiliki hubungan yang erat. Kedua, keluarga luas adalah kesatuan sosial

yang berbasiskan ikatan kekerabatan yang erat, di mana para anggotanya ‘meyakini’

bahwa mereka berasal dari satu nenek dan/ atau kakek yang sama. Kedua batasan ini

sekaligus mengisyaratkan, bahwa Keluarga Luas (extended family) memang tidak bisa

disamakan dengan istilah Keluarga Besar sebagai lawan dari Keluarga Kecil yang

dipopulerkan oleh BKKBN sejak beberapa tahun terakhir ini.

Page 59: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

103

1. Rangkuman

Perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang sangat penting dalam realitas

sosial semua masyarakat di muka bumi ini. Perkawinan bukan hanya berfungsi untuk

mengatur hubungan biologis antara insan yang berlainan jenis, melainkan ia sarat

dengan muatan nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat

terkait.

Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, perkawinan dapat dipahami sebagai

“hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan berdasarkan adat istiadat/

sistem norma tertentu, serta diakui sah oleh masyarakat.” Kaum evolusionis

berkeyakinan bahwa perkawinan itu sudah mengalami proses panjang: bermula dari

hubungan biologis tanpa ikatan yang jelas berkembang menjadi hubungan yang tegas

berlandaskan adat/ketentuan hukum yang tegas. Menurut Bachofen dan Morgan.

perkawinan berkembang melalui tahap-tahap berikut: (1) Promescited (promiscuity);

(2) ‘Kawin Kelompok’; (3) Matriarchaad dengan poligami (baca: poliandri); (4)

Patriarchaad dengan poligami (baca: poligini); dan (5) Monogami (perkawinan

tunggal). Poliandri dan poligini itu dalam antropologi lebih dikenal dengan poligamy.

Setiap kelompok etnik memiliki konsepsi tentang tabu (sumbang, incest) dalam

perkawinan, sehingga muncul pembatasan jodoh dalam perkawinan. Hampir semua

masyarakat di dunia ini melarang kawin sedarah (antara ayah dan/ ibu dengan anak-

anaknya, saudara kandung), bahkan ada larangan kawinan dengan saudara sepersusuan.

Selain itu setiap kelompok etnik juga memiliki pembatasan tersendiri dalam pemilihan

jodoh. Dalam masyarakat yang menganut azas exogamy, seseorang dilarang mencari

pasangan dalam kelompoknya. Sebaliknya pada masyarakat yang menganut azas

endogamy, seseorang dilarang mencari pasangan dari luar kelompokknya.

Perkawinan pada prinsipnya bukan hanya urusan dua insan yang berinisiatif

untuk kawin, melainkan mencakup urusan adat dan budaya suatu masyarakat. Setiap

masyarakat memiliki “persyaratan perkawinan” tertentu. Pada hakikatnya persyaratan

perkawinan itu dapat disederhanakan ke dalam tiga kategori: Bride-price (mas kawin);

Bride-service (penyerahan tenaga); dan, Bride-exchange (pertukaran perempuan).

Selain ketiga persyaratan pokok itu, setiap masyarakat juga menetapkan persyaratan

perkawinan lainnya sesuai adat setempat.

Setelah menempuh serangkaian aktifitas yang panjang di sekitar perkawinan

mulai dari pemilihan jodoh, pinang-meminang, pernikahan, resepsi perkawinan dan

berbagai upacara yang mengitarinya, lalu pasangan pengantin baru itu akan berurusan

dengan adat menetap setelah kawin. Di dalam kajian budaya, dikenal bermacam-

macam adat menetap (tempat pasangan baru itu bermukim/ bertempat tinggal) sesudah

kawain. Dari beraneka ragam “adat menetap sesudah kawin” yang dianut berbagai

Page 60: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

104

masyarakat dari latar belakang kebudayaan berbeda, dapat disederhana sebagai berikut:

(1) matrilokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua perempuan isteri;

(2) uxor lokal: pasangan pengenten baru tinggal di sekitar rumah orang tua perempuan

isteri; (3) patrilokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua laki-laki sang

suami; (4) virilokal: pasangan pengenten baru tinggal di sekitar rumah orang tua laki-

laki sang suami; (5) bilokal: penganten baru tinggal secara bergantian (pada rentang

waktu tertentu tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami; kemudian

pada rentang waktu yang lain mereka tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak

perempuan); (6) utrolokal: pasangan penganten baru bebas memilih tempat menetap:

di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami ataukah pihak isteri; (7) natalokal:

pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua masing-masing untuk beberapa

lama, sampai saat upacara penentuan rumah tangga yang akan mereka jalani; dan, (8)

neo-lokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah baru, di luar lingkungan rumah

orang tua pihak laki-laki maupun perempuan.

Setelah melakukan perkawinan dan menjalankan adat menetap setelah kawin,

maka terbukalah peluang terhadap pembentukan rumah tangga (household) yang

merupakan konsekuensi logis dari sebuah perkawinan. Dikatakan demikian, karena dua

insan yang terikat oleh hubungan perkawinan itu akan hidup bersama di suatu rumah.

Jika pasangan itu sudah membentuk unit sosial yang mencerminkan suatu kesatuan

ekonomi yang berdiri sendiri, berarti terbentuklah rumah tangga baru.

Mengingat perkawinan itu sarat dengan muatan sosial dan budaya, maka pada

gilirannya ia melahirkan konsep keluarga. Keluarga pada hakikatnya dapat dibedakan

kepada: Keluarga Konjungan; dan, Keluarga Konsanguin. Keluarga Konjunggal

biasanya terbentuk dari sistem perkawinan monogami. Dalam antropologi, keluarga

konjungal sering disebut dengan nuclear family (keluarga inti, keluarga batih). Secara

konseptual, Keluarga Konjungal dapat diartikan sebagai kesatuan sosial terkecil yang

terbentuk dari perkawinan monogami dengan anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan

anak-anaknya. Di pihak lain, Keluarga Konsanguin dalam studi antropologi lebih

dikenal dengan extended family (keluarga luas). Extended family selalu terbentuk dari

beberapa keluarga batih yang memiliki ikatan/ hubungan yang erat satu dengan lainnya.

Selain itu keluarga luas juga dipahami sebagai keluarga inti minus suami dan/atau isteri

sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut masyarakat setempat.

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

Page 61: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

105

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga.

Kuper, Adam. 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi (Terj.). Jakarta: Bhratara

Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:

Pustaka Grafika

Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian

Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:

LP3ES.

* * *

Page 62: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

106

KELOMPOK KETURUNAN, SISTEM ISTILAH KEKERABATAN,

DAN SOPAN SANTUN PERGAULAN KEKERABATAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan konsep kelompok keturunan dengan segala bentuknya, sistem istilah

kekeraban, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.

B. Materi Pokok

Kelompok Keturunan dan Esensi Kekerabatan:

(1) Batasan Konseptual: Kelompok Keturunan, Kekerabatan, dan Sopan Santun

Pergaulan Kekerabatan

(2) Prinsip-prinsip Keturunan

(3) Sistem Istilah Kekerabatan: Term of Adress; dan Term of Reference.

(4) Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Batasan Konseptual

Semua masyarakat pada hakikatnya mengenal unit sosial yang sepadan dengan

konsep kelompok keturunan, kekerabatan, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.

Hanya saja setiap kelompok cenderung memahaminya secara berbeda dalam batas

ruang dan rentang waktu tertentu. Selain itu terminologi kelompok keturunan dan

kekerabatan dalam masyarakat tertentu dipahami sebagai hal yang sama, dalam arti

keduanya tidak dibedakan denga tegas. Bagaimanapun secara biologis, seseorang dapat

menyebut kerabatnya meliputi semua orang yang memiliki hubungan darah (genes)

dengannya. Sementara terminologi genes/ lineal adalah terma kunci dalam konsep

keturunan.

Kegiatan Belajar 12

7

Page 63: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

107

Bertolak pada ilustrasi di atas, berikut ini akan dikemukakan pengertian pokok

yang lebih praktis dari konsep kelompok keturunan dan kekerabatan. Secara sederhana

kelompok keturunan dapat diartikan sebagai unit sosial yang anggotanya terdiri dari

orang-orang yang memiliki hubungan darah yang jelas/ tegas, baik yang diperhitungkan

berdasarkan darah ibu dan/ atau darah ayah. Sementara kelompok kekerabatan adalah

unit sosial yang jangkauannya lebih luas daripada kelompok keturunan. Kelompok

kekerabatan itu dapat diartikan sebagai kesatuan sosial yang terbentuk dari hubungan

perkawinan, di mana para anggotanya terdiri dari orang-orang memiliki hubungan

daerah atau orang-orang yang mengaku mereka berasal dari satu keturunan, ditambah

dengan kerabat ayah dan ibunya. Minangkabau dengan sistem matrilineal-nya: yang

dianggap kerabat adalah sekumpulan orang yang memiliki hubungan darah, ditambah

orang-orang yang ‘diyakini’ berasal dari nenek yang sama (sepersukuan). Bahkan

karib-kerabat (keluarga matrilineal) ayah pun masih dikelompokkan sebagai kerabat.

Selanjutnya dalam konteks hubungan kelompok keturunan dan kekerabatan,

dikenal pula adat sopan santun pergaulan kekerabatan (kinship behavior). Yang

dimaksud dengan konsep ini adalah aturan tentang bagaimana sesorang harus bersikap

atau berprilaku, dan bertutur-kata bila berhubungan dengan kerabat tertentu, dan

bagaimana pula jika mengahadapi kerabat lainnya yang menempati posisi berbeda.

Seseorang anggota kerabat harus menunjukkan sikap, tindakan, dan cara berkomunikasi

berbeda bila ia berhadapan dengan: pamannya, saudara-saudaranya yang sejenis, kakak/

adiknya yang berlainan jenis, keponakan laki-laki, keponakan perempuannya, kerabat

yang hubungan darahnya sangat dekat, kerabat yang hubungan darahnya sudah relatif

jauh, dan seterusnya.

b. Prinsip-prinsip Keturunan

Batas kekerabatan sosiologis seseorang (individu) dalam konteks kehidupan

bermasyarakat umumnya mengacu pada keseluruhan kaum “kerabat biologisnya,”

sementara diluar itu dianggap bukan kerabat. Namun termilogi dari kerabat biologis itu

sendiri tidak jelas batas-batasnya, sehingga setiap orang bisa memberi arti dan makna

berbeda-beda. Oleh karena itu, konsepsi tersebut perlu dijernihkan agar mudah untuk

dipahami.

Batasan kerabat sosiologis di atas dalam kerangka kehidupan bermasyarakat,

pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam tiga kategori. Pertama, batas kesadaran

kekerabatan (kinship awerenes). Konsep ini mengandung arti, kesadaran orang akan

batas-batas kekerabatan (siapa saja yang dianggap kerabat dan siapa pula yang bukan

kerabat) amat bervasiasi antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kaum

bangsawan (termasuk priayi) Jawa misalnya, memiliki kesadaran kekerabatan yang

Page 64: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

108

lebih luas dibandingkan dengan ‘orang kebanyakan’ (massa) di pedesaan Jawa. Contoh

lain, secara kultural etnik Sunda memiliki kesadaran kekerabatan yang jauh lebih luas

daripada orang Minang dalam kurun waktu yang sama. Kedua, batas pergaulan

kekerabatan (kinship affiliations). Masyarakat atau kelompok etnik tertentu ada yang

memiliki pergaulan kekerabatan yang cukup luas, terutama karena pengetahuan

kekerabatan mereka memang relatif tinggi. Sementara yang lainnya cukup terbatas

pergaulan kekerabatannya. Kaum priayi Jawa misalnya memiliki pengetahuan dan

pergaulan kekerabatan yang amat luas, misalnya mencapai 9 angkatan ke atas dan 9 ke

samping. Sementara kelompok tertentu dalam etnik lain, hanya memiliki pergaulan

kekerabatan tiga angkatan ke atas dan tiga ke samping. Ketiga, batas hubungan-

hubungan kekerabatan (kinship relations). Konsep ini mengandung makna batas dari

hubungan pergaulan kekerabatan yang mengindikasi-kan hak-hak dan kewajiban

tertentu. Batas hubungan kekerabatan ini cenderung juga beragam antar masyarakat dari

latar belakang kebudayaan berbeda.

Batas-batas hubungan kekerabatan di atas, pada hakikatnya juga ditentukan oleh

prinsip-prinsip keturunan (principle of descent). Prinsip-prinsip keturunan itu sekaligus

mempunyai fungsi kekerabatan, apalagi dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang

bersifat lineal atau ancestor oriented. Dari sudut pandang seperti itu, setidaknya prinsip

keturunan dapat dibedakan kepada empat kategori. Pertama, prinsip patrilineal

(patrilineal descent); yakni penghitungan hubungan kekerabatan hanya melalui lineal

laki-laki saja. Bagi setiap individu dalam masyarakat yang menganut prinsip ini, semua

kerabat ayahnya dikelompokkan sebagai kerabatnya. Sementara semua kerabat ibunya

dikategorikan sebagai yang bukan kerabatnya. Kedua, prinsip matrilineal (matrilineal

descent) yakni penghitungan hubungan kekerabatan melalui ‘darah’ ibu (perempuan)

saja, sementara kerabat ayah tidak dianggap sebagai kerabatnya; Ketiga, prinsip

bilineal (bilineal descent) yaitu penghitungan hubungan kekerabatan berdasarkan: ayah

saja untuk beberapa hak dan kewajiban tertentu; dan berdasarkan darah ibu untuk

beberapa hak dan kewajiban yang lainnya. Sebagai sebuah ilustrasi misalnya pada etnik

Umbundu di Anggola, yaitu masyarakat peternak yang hidup di padang rumbut yang

subur. Etnik ini menjunjung tinggi hubungan kekerabatan yang unik: anak

mendapatkan sejumlah hak dan kewajiban dalam beternak dari kerabat ayah; sementara

dari kerabat ibunya dia mendapat hak-hak dan kewajiban dalam bertani. Keempat,

prinsip bilateral (bilateral discent), yaitu prinsip keturanan yang menghitung hubungan

kekerabatan melalui dua lineal: kali-laki (ayah) dan sekaligus juga perempuan (ibu).

Bilateral tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam empat prinsip

pokok, yakni: ambilineal; konsentris; promogenitur; dan prinsip ultimogenetur. Berikut

akan ditelusuri esensi masing-masing prinsip itu secara simulatan: (1) prinsip

Page 65: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

109

ambilineal, penghitungan hubungan kekerabatan dalam sebuah masyarakat: melalui

darah ayah oleh sub-kultur tertentu, dan berdasarkan darah ibu untuk sub-kultur lain

dalam masyarakat yang sama; (2) prinsip konsentris, penghitungan hubungan

kekerabatan yang terkonsentrasi pada sejumlah angkatan tertentu; (3) prinsip

promogenitur, pengitungan hubungan kekerabatan melalui ayah dan ibu, khususnya

untuk keturunan (anak) sulung saja; dan (4) prinsip ultimogenetur, pengitungan

hubungan kekerabatan melalui ayah dan ibu, tetapi hanya untuk yang termuda saja.

c. Sistem Istilah Kekerabatan: Term of Adress; dan Term of Reference

Setiap masyarakat memiliki sistem istilah kekerabatan (sistem of kinship

terminology), khususnya berkaitan dengan terminologi yang digunakan untuk menyebut

dan menyapa kaum kerabat. Sebagian ahli antropologi budaya berependirian sistem

istilah kekerabatan itu menunjukkan kedekatan seseorang dengan kerabatnya yang lain

dalam posisi tertentu. Bahkan cara menyebut dan menyapa itu diduga juga ada

kaitannya dengan hak dan kewajiban seseorang dalam konteks hubungan kerabat

dimaksud.

Dilihat dari sudut penggunaan istilah kekerabatan, setiap masyarakat cenderung

memiliki terminologinya sendiri. Namun di balik keberagaman itu sesungguhnya

sistem istilah kekerabatan itu dapat dibedakan ke dalam dua terma pokok. Pertama,

istilah menyapa (term of address). Istilah ini dipakai oleh “ego” untuk memanggil

kerabat tertentu bila dia berhadapan secara langsung dengan yang bersangkutan. Istilah

dimaksud esensinya dapat dikelimpokkan: (1) sama untuk sejumlah kerabat dalam

tataran tertentu, seperti yang dicontohkan Morgan pada masyarakat Indian Iroquois

yang menggunakan istilah “Hanih” untuk menyapa bapak, saudara laki-laki bapak, dan

saudara laki-laki ibu; (2) menggunakan istilah berbeda untuk kerabat dalam posisi yang

dicontohkan di atas seperti pada masyarakat Amerika yang menggunakan terminologi:

father untuk bapak, uncle untuk saudara laki-laki bapak dan saudara laki-laki ibu; dan

(3) menggunakan modifikasi istilah untuk anggota kerabat seperti di atas, seperti pada

masyarakat Minang: istilah bapak (pak, abak) untuk untuk menyapa ayah; pakwo untuk

saudara laki-laki bapak yang lebih tua, dan pak etek untuk yang lebih muda; serta mak

dang untuk saudara laki-laki ibu yang lebih tua, dan mak etek untuk yang lebih muda.

Kedua, istilah menyebut (term of reference). Istilah menyebut diartikan sebagai

terminologi yang dipakai ‘ego” ketika ia berhadapan dengan orang lain tentang

kebatanya dalam kapasitasnya sebagai orang ketiga. Contoh, sebutan orang tua untuk

merujuk ayah dan/ atau pun ibunya; mamak untuk menyebutkan saudara laki-laki ibu,

baik saudara kandung maupun “keluarga luas” di Minangkabau.

Page 66: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

110

Dalam menganalisis sistem-sistem istilah kekerabatan itu ada beberapa prinsip

yang ditemukan dalam semua bahasa, namun setiap bahasa tidak memiliki pemahaman

yang sama terhadap penting istilah dimaksud. Prinsip dimaksud menyangkut hal-hal

berikut: (1) angkatan; (2) pencabangan keturunan; (3) umur; (4) jenis kelamin (sex)

dari para kerabat; (5) sex/ jenis kelamin dari para kerabat yang menghubungkan; (6)

jenis kelamin dari sang pembicara; (7) perbedaan antar kerabat: lineal ataupun kerabat

karena perkawinan; (8) keadaan kerabat yang mengubungkan, apakah masih hidup

ataupun sudah maninggal; serta (9) polarisasi (kelompok umur dari kerabat

penghubung). Hampir semua etnik mengenal ke-9 istilah kekerabatan sebagaimana

dikelompokkan di atas, tetapi setiap etnik memiliki pemahaman yang berbeda

terhadapnya: suatu etnik memandang penting terminologi tertentu, sementara etnik lain

mengabaikan istilah yang sama.

d. Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan

Hubungan antar individu dalam sistem kekerabatan tiap-tiap kelompok etnik

pada hakikatnya dibangun di atas adat sopan santun pergaulan (kinship behavior) yang

berlaku dan dijunjung tinggi masyarakat terkait. Adat sopan santun pergaulan

kekerabatan itulah yang menentukan bagai mana sesorang harus bersikap, berbicara,

dan bertingkah laku dalam berhadapan dengan anggota kerabatnya yang menempati

status dan peran yang berbeda-beda. Tegasnya kinship behavior itu mengatur “ego”

harus berprilaku atau bersikap terhadap: ibu dan bapaknya, saudara-saudara laki-laki

ataupun saudara perempuannya, saudara sepupunya, isterinya, saudara laki-laki dan/

atau saudara perempuan isterinya (baik dalam kapasitas sebagai kakak ataupun adik

iparnya), mertuanya (baik laki-laki maupun perempuan), dsj. Artinya sesorang tidak

bisa berinteraksi/ berkomunikasi dengan kerabat sesuka hatinya, melainkan ia harus

mengacu pada adat sopan santun yang dijunjung tinggi masyarakatnya.

Dalam banyak masyarakat di dunia, adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu

menuntun semua eksponen kerabat untuk bersikap terhadap anggota lainnya. Secara

ekstrim sikap dan prilaku tersebut dapat dibedakan menjadi: amat hormat kepada

kerabat tertentu di satu sisi; dan, sikap bebas di sisi lainnya. Sikap pertama melahirkan

apa yang disebut dengan sikap “sungkan,” dan kedua membuahkan sikap “bergurau”

pada ujung ekstrim yang lain. Lalu di antara dua ujung ekstrim tersebut, bermunculan

prilaku dan sikap yang amat variatif sebagaimana dikembangkan oleh masing-masing

masyarakat. Artinya, sesorang akan menunjukkan sikap dan prilaku sungkan bila

berhadapan dengan anggota kerabat tertentu, tetapi terhadap kerabatnya yang lain ia

bisa menunjukkan sikap bergurau.

Page 67: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

111

Berbeda dengan kebanyakan kelompok etnik di Indonesia, pada beberapa

kelompok etnik di Afrika dan Australia terdapat sikap sungkan yang berlebihan dari ego

terhadap kerabat tertentu, sehingga melahirkan pantangan memandang muka dan

pantangan berbicara secara langsung. Contoh pada orang Zulu di Afrika Selatan, ada

larangan bagi menantu berpapasan dengan mertuanya di jalan. Oleh sebab ketika

seorang menantu melihat mertuanya dijalan yang berlawanan arah dengannya, maka

buru-buru sang menantu harus mencari tempat sembunyi agar dia tidak berpapasan

dengan mertuanya di jalan. Kalau berpapasan, maka mereka akan mendapat sanksi

karena telah melanggar pantangan dalam masyarakatnya. Selain itu, pada masyarakat

Arunta di Australia menantu pantang berbicara secara langsung dengan mertuanya.

Jika hal itu dilanggar, bukan hanya yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi,

melainkan diyakini segenap anggota masyarakat akan ditimpa musibah).

Kedua contoh ekstrim di atas, jelas kontradiktif dengan adat sopan santun

pergaulan kekerabatan pada masyarakat etnik di Indonesia: seorang menantu yang

bersembunyi agar tidak berpapasan dengan sang mertua ataupun tidak mau berbicara

secara langsung dengan mertuanya, justeru dianggap prilaku yang tidak terpuji. Namun

di Indonesia, tetap dikenal sikap sungkan menantu kepada mertuanya. Hal itu biasanya

diekspresikan melalui sikap berbicara dan pilihan kausa kata yang lebih sopan. Bukan

hanya menantu, melainkan mertua juga harus menunjukkan prilaku dan sikap tertentu

kepada menantunya. Pada masyarakat Minang misalnya, bila mertua tidak menyetujui

prilaku menantunya yang sering terlambat bangun pagi, maka mertua akan memilih

kata-kata sindiran (kata malereng). Contoh, sambil membersihkan/ merapikan ruang

tengah: mertua berkata, kuciang ko lalok ka lalok sajo karajonya, ndak tahu hari lah

ampia tangah hari (kucing ini tidur saja kerjanya, tidak tahu bahwa hari sudah hampir

tengah hari).

Di pihak lain, dengan anggota kerabat tertentu sesorang bisa bersikap bebas,

bahkan dalam batas-batas tertentu juga dapat mengeluarkan kata-kata kasar dan ‘kotor.’

Misalnya ego membicarakan kasus perkosaan yang terjadi di tempat tertentu kepada

keponakan bapaknya, maka ia bisa menceritakan kasus itu secara fulgar dan kadang-

kadang juga bernuansa “jorok’ (kotor). Lalu pilihan sikap dan kausa katanya akan

berbeda sama sekali, ketika ia menceritakan kasus itu kepada ibu/ bapaknya;

mertuanya; saudara laki-laki/ perempuannya; iparnya; dan lain-lain sebagainya.

Bertolak dari uraian di atas, sebagai seorang yang belajar antropologi sosial

budaya, kita harus arif memahami adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu sesuai

dengan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam konteks ini sesorang akan keliru

kalau menggunakan pespektif etik (referensi yang dia miliki), melainkan harus

menyelami realitas masyarakat setempat (dalam arti menggunakan perspektif emik).

Page 68: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

112

2. Rangkuman

Semua masyarakat pada hakikatnya mengenal unit sosial yang sepadan dengan

konsep kelompok keturunan, kekerabatan, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.

Hanya saja terminologi yang dipakai cenderung berbeda-beda. Bahkan istilah kelompok

keturunan dan kekerabatan dalam masyarakat tertentu dipahami sebagai hal yang sama

oleh masyarakat tertentu. Hal itu bisa dipahami, mengingat secara biologis, seseorang

dapat menyebut kerabatnya meliputi semua orang yang memiliki hubungan darah

(genes) dengannya. Sementara terminologi genes/ lineal adalah terma kunci dalam

konsep keturunan.

Batas kekerabatan sosiologis seseorang dalam kehidupan bermasyarakat

umumnya mengacu pada keseluruhan kaum “kerabat biologisnya,” sementara diluar itu

dianggap bukan kerabat. Untuk menghindari kerancuan pemahaman, batasan

kekerabatan sosiologis itu bisa dibedakan ke dalam: (1) batas kesadaran kekerabatan

(kinship awerenes), yakni kesadaran orang akan batas-batas kekerabatan (siapa saja

yang dianggap kerabat dan siapa yang bukan); (2) batas pergaulan kekerabatan (kinship

affiliations), yaitu cakupan pergaulan kekerabatan dalam masyarakat tertentu yang

dipengruhi oleh pengetahuan dan kesadaran kekerabatan; (3) batas hubungan-hubungan

kekerabatan (kinship relations), yakni batas dari hubungan pergaulan kekerabatan yang

mengindikasikan hak-hak dan kewajiban tertentu.

Dalam kaitan dengan kekerabatan tersebut, setiap masyarakat memiliki sistem

istilah kekerabatan (sistem of kinship terminology), khususnya berkaitan dengan

terminologi yang digunakan untuk menyebut dan menyapa kaum kerabat. Istilah

menyapa (term of address), maksudnya adalah istilah yang dipakai oleh “ego” untuk

memanggil kerabat tertentu bila dia berhadapan secara langsung dengan yang

bersangkutan. Sementara istilah menyebut (term of reference) maksudnya adalah

istilah yang dipakai ‘ego” ketika ia berhadapan dengan orang lain untuk menyebut

kerabat tertentu dalam kapasitasnya sebagai orang ketiga.

Hubungan antar individu dalam sistem kekerabatan tiap-tiap kelompok etnik

pada hakikatnya dibangun di atas adat sopan santun pergaulan (kinship behavior) yang

berlaku dan dijunjung tinggi masyarakat terkait. Adat sopan santun pergaulan

kekerabatan itulah yang menentukan bagai mana sesorang harus bersikap, berbicara,

dan bertingkah laku dalam berhadapan dengan anggota kerabatnya yang menempati

status dan peran yang berbeda-beda. Adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu

menuntun semua eksponen kerabat untuk bersikap terhadap anggota lainnya. Secara

ekstrim sikap dan prilaku tersebut dapat dibedakan ke dalam dua sisi yang ekstrim:

amat hormat (sungkan) kepada kerabat tertentu di satu sisi; dan, sikap bebas (bergurau)

Page 69: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

113

di sisi lainnya. Di antara dua sisi ekstrim itu, terdapat sikap yang lebih moderat yang

bisa dipakai untuk kerabat dalam statusnya masing-masing.

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga.

Kuper, Adam. 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi (Terj.). Jakarta: Bhratara

Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:

Pustaka Grafika

Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian

Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:

LP3ES.

* * *

Page 70: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

114

KEANEKARAGAMAN DALAM MASAYARAKAT:

KONSEP DAN BENTUK KOMUNITAS KECIL, SERTA

DIFERENSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan konsep komunitas dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial,

diferensiasi dan stratifikasi dengan segala kosekuensinya

Materi Pokok

Keragaman Masyarakat: Diferensiasi, dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat:

(1) Batasan Konseptual

(2) Bentuk-bentuk Komunitas Kecil

(3) Solidaritas dalam Masyarakat Kecil

(4) Gotongroyong (Tolong menolong / kerjasama vs. Kerja bakti)

(5) Sistem dan Struktur Sosial

(6) Pengelompokan Sosial

(7) Kepemimpinan dan Kontrol Sosial

(8) Kategori Kepemimpinan dalam Masyarakat

(9) Dinamika dan Kontrol Sosial dalam Masyarakat:

B. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Batasan Konseptual

Kesatuan hidup manusia, pada hakikatnya dapat diklasifikasi ke dalam beberapa

konsep penting, seperti bangsa, masyarakat, komunitas, kelompok sosial, organisasi

sosial, dan sebagainya. Topik ini hanya dibatasi pada komunitas dengan berbagai

persoalan yang terkait dengannya, seperti penegrtian, bentuk-bentuk komunitas kecil,

struktur sosialnya (stratifikasi dan diferensiasi), solidaritas dalam masyarakat kecil,

serta kepemimpinan dan pengendalian sosial. Untuk memudahkan dalam mendapatkan

persetujuan awal dan sekaligus untuk memudahkan dalam memahami uraian dan

interelasi antar berbagai eleman dalam topik ini, terlebih dahulu akan dipaparkan

Kegiatan Belajar 13 - 15

8

Page 71: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

115

batasan konseptual dari terminologi kunci terkait. Banyak sekali batasan konseptual

tentang terminologi di bawah ini yang dirumuskan para ahli, namun di sini hanya akan

dipilihkan batasan yang lebih netral dan dinilai mengakomodasi beraneka ragam

batasan yang dipublikasikan para perumusnya.

Pertama, Komunitas. Konsep ini mengandung arti sebagai suatu kesatuan hidup

manusia yang menempati wilayah tertentu, berinteraksi satu dengan lainnya secara

kontinu berdasarkan adat istiadat tertentu, serta memiliki rasa identitas komunitas.

Batasan ini mengandung arti, bahwa konsep komunitas mengandung empat elemen

pokok: (1) kesatuan hidup manusia yang mendiami wilayah yang tegas; (2) anggota

komunitas itu membangun interaksi secara kontiniu; (3) interaksi itu dibangun di atas

adat istiadat, nilai, dan norma tertentu; dan (4) memiliki identitas komunitas. Para ahli

tertentu, menekankan bahwa kesadaran wilayah dan identitas komunitas merupakan

teminologi kunci dari konsep Komunitas. Terakhir perlu ditegaskan di sini, jika salah

satu dari keempat persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka secara konseptual ia tidak

bisa dikatakan komunitas, meskipun unit itu menyebut dirinya sebagai komunitas.

Kedua, Stratifikasi Sosial. Secara sederhana, stratifikasi sosial dapat diartikan

sebagai pengelompokan seseorang dalam suatu struktur sosial secara bertingkat

(berlapis). Dengan kata lain, pengelompokkan ini mencerminkan urutan yang tegas,

misalnya dengan mengambil kubus sosial Pareto sebagai ilustrasi, struktur sosial paling

sederhana dimiliki suatu masyarakat dapat dibedakan kepada: elit pada lapisan atas;

dan massa menempati lapisan bawah. Kemudian lapisan elit dan massa itu dapat dibagi

lebih lanjut kepada tingkatan-tingkatan yang lebih kompleks berdasarkan kriteria

tertentu. Dalam realitas kehidupan masyarakat, kelompok elit itu jumlahnya relatif

sedikit, tetapi otoritas/ kewenangannya lebih luas. Sebaliknya massa merupakan

kelompok mayoritas dari segi jumlah, tetapi otoritas dan kewengannya sangat terbatas.

Ketiga, Diferensiasi Sosial. Dari berbagai batasan yang dirumuskan para ahli,

konsep diferensiasi sosial dapat disimpulakan sebagai pengelompokan sosial secara

horizontal. Artinya, pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial tertentu secara

mendatar (dalam artian tidak mencerminkan tinggi rendahnya posisi seseorang dalam

suatu struktur sosial). Contoh pengelompokan warga masyarakat berdasarkan: etnis,

kebudayaan, dan agama/ keyakinan tertentu.

Keempat, Gotongroyong. Banyak batasan yang dirumuskan ahli terkait tentang

konsep ini. Namun dari berbagai definisi itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa Gotong

Royong adalah tolong menolong (kerja sama) antar individu dalam suatu masyarakat

yang dilandasi oleh kesukarelaan, tanpa mengharapkan pambrih (imbalan). Kata kunci

dari konsep ini adalah “tolong-menolong yang dilandasi oleh sikap kesukarelaan.”

Artinya juka tolong menolong (kerja sama) yang berlangsung didasarkan atas

Page 72: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

116

keterpaksaan atau mengharapkan imbalan tertentu, maka secara konseptual ia tidak bisa

disebutkan sebagai Gotong Royong.

Kelima, Kepempinan. Konsep ini berakar pada terminologi pemimpin (leader),

dan secara antropologis ia bisa dipahami dari dua sisi: pertama, pemimpin dapat

dipahami sebagai suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh

seseorang/ suatu badan yang menenpati status yang lebih tinggi. Kedua, sebagai suatu

proses sosial, pemimpin meliputi segala kewenangan yang dapat dilakukan oleh

seseorang/ suatu badan dalam menggerakkan warga masyarakat untuk maksud-maksud

tertentu. Jadi konsep kepemimpinan sosial itu meliputi hak dan kewajiban, serta

otoritas seseorang/ suatu badan dalam menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya

berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kewenangannya.

Keenam, Kontrol Sosial. Konsep ini mengandung makna: pengendalian yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas tertentu untuk menjaga tatanan

sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pengendalian itu dinilai amat krusial

menginga, perbedaan kepentingan dan interes antar individu yang menjadi anggota

masyarakat bisa merusak tatanan sosial yang menjadi wadah integritas sosial. Oleh

karena itu perlu pengendalian (kontrol) dari pihak-pihak yang diberikan otoritas untuk

itu, sehingga tindakan (prilaku) yang bercorak deviant bisa diminimalisir dan kesatuan

sosial dalam masyarakat terkait bisa ditumbuhkembangkan.

b. Bentuk-bentuk Komunitas Kecil

Sebelum membahas bentuk-bentuk komunitas kecil, terlebih dahulu perlu

dilengkapi batasan konseptual di atas: tujuannya tidak lain adalah untuk menghindari

kesalahan pemahaman tentang terminologi yang sering dicampuradukkan dengan

konsep komunitas dalam bahasa popular atau bahasa sehari-hari. Diantara konsep

dimaksud adalah masyarakat. Secara definisional, konsep komunitas memang ada

kemiripan dengan masyarakat, tetapi bila dicermati dengan kritis, ternyata substansinya

amat berbeda. Di antara definisi masyarakat dimaksud adalah: kesatuan hidup manusia

yang berinteraksi satu dengan lainnya secara continue berdasarkan adat istiadat tertentu,

serta terikat oleh identitas bersama. Jika definisi ini dibandingkan dengan konsep

komunitas yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditegaskan perbedaan pokok

keduanya sebagai berikut: kesatuan hidup dalam komunitas terkait dengan wilayah

yang tegas, sementara masyarakat tidak terikat dengan wilayah secara tegas; komunitas

diikat oleh identitas komunitas (sesuai dengan latar belakang dan skopnya masing-

masing), sementara masyarakat diikat oleh identitas bersama yang sifatnya lebih umum

dan abstrak, misalnya etnik, kebudayaan, dsb.

Page 73: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

117

Kecuali kesatuan wilayah yang tegas dan identity community (kepribadian

komunitas), suatu komunitas juga bisa diberikan sifat tambahan sebagai berikut: (1)

komunitas kecil biasanya warganya masih saling mengenal satu dengan lain dan saling

bergaul secara lebih intensif; (2) antar sub-kelompok dalam komunitas kecil biasanya

tidak terjadi perbedaan yang menonjol; dan (3) erat kaitannya dengan kedua poin di

atas, dalam komunitas kecil pada umumnya warga setempat mampu menghayati seluk-

beluk lapangan kehidupan komunitasnya secara komprehensif dan mendalam.

Kembali ke sub-judul sesi ini, pada hakikatnya bentuk-bentuk komunitas kecil

dapat dipetakan mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai ke tingkat yang lebih

komplek di era modern ini. Pertama, band (kelompok berburu) pada zaman pra

sejarah yang hidup berpindah-pindah, tetapi mereka sudah memiliki kesadaran wilayah.

Maksudnya mereka berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dalam batas-batas

wilayah tertentu. Dalam realitasnya, band itu bisa menempati suatu lokasi secara

berulang dalam cakupan wilayah yang mereka kuasai (tempati). Kelompok band-band

berburu semacam itu, hampir tidak ditemukan lagi pada abad ke-21 ini. Namun band

berburu dengan pola yang sudah agak lebih maju, hingga kini masih ditemukan dalam

ukuran yang amat terbatas, terutama di daerah-daerah pedaman dan terisolir.

Kedua, desa (village) yaitu: suatu kesatuan hidup dengan jumlah anggota relatif

kecil dan menetap pada wilayah tertentu. Diduga kesatuan hidup (village) seperti itu

sudah mulai dikenal sejak pergantian zaman mesolitikum ke neolitikum. Kemudian

dalam periode-periode selanjutnya, kesatuan hidup semacam itu telah mengalami

penyempurnaan sejalan dengan perkembangan pemikiran, budaya, dan kompleksitas

kehidupan manusia di berbagai tempat terkait. Jika dalam periode lebih awal, basis

ekonomi mereka lebih bertumpu pada sektor agraris, kini sudah melebar ke sektor lain,

misalnya kerajinan dan industri. Dengan kata lain, di abad modern ini sudah terbentuk

desa-esa (village) yang sudah relatif lebih maju dengan mata pencaharian pokok

warganya tidak semata-mata bertumbu pada sektor agraris. Bahkan dalam batas-batas

tertentu, desa bukan hanya dipahami sebagai kesatuan hidup manusia yang sudah

menetap, melainkan ia juga dipahami sebagai sebuah unit pemerintahan, seperti yang

dapat ditemukan pada beberapa kelompok etnik di Indonesia.

Ketiga, distrik (Kabupaten/ Kota) dan unit pemukiman yang lebih kecil yang

berada di bawahnya. Dengan syarat kesatuan sosial itu memiliki kesadaran dan cinta

wilayah, identitas komunitasnya cukup tegas, seperti Rukun Tetangga (RT), Rukun

Warga (RW), dan Kelurahan seperti terdapat dalam struktur birokrasi pemerintahan

Republik Indonesia, khususnya di kawasan perkotaan. Kesatuan hidup manusia mulai

dari tingkat RT sampai ke tingkat Kota, dapat dianggap sebagai komunitas karena

keempat persyaratan seperti tertuang dalam konsep komunitas bisa terpenuhi secara

Page 74: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

118

kompleks. Dikatakan demikian, karena anggota kesatuan hidup dimaksud memiliki

ciri-ciri pokok berikut: kesatuan hidup yang memiliki wilayah yang jelas; beriteraksi

(baik secara langsung ataupun tidak langsung) secara kontiniu; memiliki adat istiadat/

sistem nilai/ norma yang mengikat para anggotanya; serta memiliki kecintaan terhadap

wilayah (community identity) sebagai wadah integrasi antar individu yang menjadi

warga dari komunitas terkait.

Di pihak lain, provinsi dan negara pada prinsipnya juga memiliki batas-batas

wilayah yang tegas, tetapi dalam kajian antropologi sosial budaya ia tidak lazim

dikategorikan sebagai komunitas, apalagi komunitas kecil. Hal itu terutama karena

kesadaran wilayah, rasa memiliki, serta identity comunity warganya relatif rendah.

Khusus dalam konteks kenegaraan, kesatuan hidup warga dalam batas-batas wilayah

tertentu lebih tepat (lazim) disebut sebagai bangsa daripada sebagai kumunitas.

c. Solidaritas dalam Masyarakat Kecil

Pada kesatuan hidup manusia yang berbentuk komunitas di mana pun di

permukaan bumi ini, terdapat rasa saling tolong menolong (solidaritas) yang mengingat

mereka satu dengan lainnya. Dalam terminologi Indonesia, sikap demikian lebih

dikenal dengan istilah gotong royong (khusus tentang hal ini akan dibahas secara

khusus dalam sub-judul di bawah ini). Solidaritas tersebut terwujud bukan hanya karena

adanya sikap “altruisme” (rasa ingin mengabdi terhadap sesama), tetapi juga karena ada

kesadaran dan kenyataan saling membutuhkan yang terdapat dalam jiwa warga suatu

komunitas. Hal ini tentu merupakan konsekuensi logis dari keberadaan manusia

sebagai mkhluk sosial (homo socius).

Berkaitan dengan pokok pikiran di atas, Malinowski memperkenalkan principle

of reciprocity (prinsip timbal balik). Dalam penelitiannya tentang Kula di Trobrian, dia

menemukan: sistem tukar-menukar kewajiban maupun benda yang dibangun di atas

principle of reciprocity dalam berbagai lapangan kehidupan (baik pertukaran tenaga dan

benda dalam lapangan produksi/ ekonomi; pertukaran harta mas kawin antar keluarga

kedua pihak terkait, maupun pertukaran wajib dalam ritual keagamaan) merupakan

daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat setempat. Ilustrasi serupa masih tetap

relevan untuk memahami relitas “prinsip timbal balik” dalam berbagai aspek kehidupan

yang terjadi pada masyarakat lain, meskipun di era modern ini sekalipun.

Prinsip seperti dikemukakan di atas akan lebih mudah untuk dipahami bila

dikaitkan dengan konsep “pertukaran sosial” dengan segala konsekuensinya sebagai

mana dikemukakan oleh Homans, dan/ atau konsep the Gift (pemberian) yang

diperkenalkan oleh Marcell Mauss. Lebih jauh Mauss menyatakan: pada prinsipnya

tidak ada pemberian yang bersifat cuma-cuma; setiap pemberian pasti mengharapkan

Page 75: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

119

pemeberian kembali. Orang yang pernah mendapatkan pemberian biasanya akan

mengusahakan “pemberian kembali”-nya itu lebih tinggi nilai (manna)-nya, setidaknya

sama dengan yang pernah diperolehnya. Melalui mekanisme semacam itu, tentu ikatan

dan solidaritas dalam suatu komunitas khususnya atau masyarakat luas terkait umunya

akan semakin terbangun. Sementara individu-individu yang keluar dan mengabaikan

prinsip di atas, cenderung akan mendapat sangsi sosial, bahkan bisa disisihkan dalam

pergaulan kelompok dimasud.

Selain itu, dalam batas-batas tertentu tukar-menukar dalam bidang ekonomi juga

tidak bisa diabaikan dalam memberikan daya pengikat dan daya dorong suatu kelompok

sosial (komunitas ataupun masyarakat). Berbeda dengan prinsinsip timbal balik, tukar

menukar sosial, dan the gift, tukar menukar ekonomi justru lebih berkonotasi untuk

mendapatkan profit. Di lihat dari segi waktunya, tukar menukar ekonomi pun

berlangsung pada momen yang sama: barang/jasa diperoleh; lalu imabalan (tukarannya)

diserahkan secara langsung. Sementara dalam the gift yang sarat dengan prinsip tukar

menukar sosial: pemberian dan pemberian kembali dilakukan pada momen berbeda.

Bila dilakukan pada momen yang sama, pada kebanyakan komunitas/ masyarakat

dianggap tidak etis, bahkan bisa melukai perasaan sang pemberi. Bertolak dari pokok

pikiran di atas dan kenyataan bahwa manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya

sendiri, maka tukar menukar secara ekonomi dapat dimasukkan sebagai salah satu

aspek yang memiliki kontribusi penting dalam membangun solidaritas masyarakat, baik

pada tataran komunitas kecil maupun dalam masyarakat dalam artian yang lebih luas.

d. Gotong royong (Tolong menolong / kerjasama vs. Kerja bakti)

Solidaritas dalam masyarakat dapat berwujud sebagai gotong royong (dalam

artian tolong menolong yang didasarkan atas azas kesukarelaan) seperti telah ditegaskan

batasannya pada poin a topik ini. Pada “komunitas kecil” gotong royong itu dapat

terimplementasi dalam: (1) tolong menolong dalam aktifitas pertanian; (2) tolong

menolong dalam aktivitas di sekitar rumah tangga; (3) tolong menolong dalam aktivitas

pesta dan upaca tertentu; (4) tolong menolong dalam menghadapi musibah tertentu

seperti bencana alam, kebakaran, kecelakaan, dll. Di dalam masyarakat tradisional,

apalagi di dalam komunitas kecil, tolong menolong dalam menghadapi keempat hal

pokok di atas terlihat sangat kental. Dalam seiring dengan perkembangan zaman, nilai-

nilai kegotong royongan dalam kesemua hal itu mulai mengalami kemunduran, dan

dalam batas-batas tertentu kini sudah mengarah pada tolong menolong yang bernuansa

ekonomis. Dengan kata lain, tolong menolongnya tidak lagi berbasis kerelaan, tetapi

juga sudah mengharapkan profit (keuntungan) secara ekonomi.

Page 76: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

120

Dalam bahasa Indonesia, ada konsep lain tentang tolong menolong yang sering

dicampuradukkan dengan gotong royong, yaitu kerja bakti. Berbeda dengan gotong

royong, konsep kerja bakti mengandung makna: kerja sama sejumlah warga komunitas

dan/ atau masyarakat untuk pengerjaan fasilitas umum. Kerja bakti tidak dilandasi oleh

kesukarelaan, melainkan lebih kental dengan nuansa pengerahan tenaga atau mobilisasi

warga komunitas/ masyarakat untuk mengerjakan fasilitas umum tertentu. Namun

dalam konteks tersebut, kerja bakti bisa dibedakan atas sifat dari fasilitas umum yang

dikerjakan bersama-sama. Pertama, proyek-proyek yang tumbuh dari masyarakat

(bottom-up). Mengingat proyek semacam itu biasanya relevan dengan kebutuhan suatu

komunitas, biasanya nuansa kesukarelaannya masih kental, tidak sepenuhnya

mengindikasikan mobilisasi massa untuk pengerjaannya secara bersama-sama. Kedua,

proyek-proyek yang dipaksakan/ turun dari atas (top-down), dan dalam banyak kasus ia

tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kerja sama untuk pengerjaan proyek-

proyek sejenis ini, biasanya sarat dengan nuansa mobilisasi daripada kerelaan warga

setempat.

e. Sistem dan Struktur Sosial

Setiap sistem sosial apa pun wujudnya (masyarakat, komunitas, kelompok

sosial, organanisasi sosial, dsj) hampir dapat dipastiakan: para anggotanya bisa

dibedakan ke dalam pengelompokan tertentu. Secara garis besar pengelompokkannya

itu dapat dibedakan ke dalam dua kategori: Stratifikasi Sosial; dan, Diferensiasi Sosial.

Berikut ini kedua kategori itu akan ditelusuri satu per satu lengkap dengan contohnya

masing-masing.

Pertama, Stratifikasi Sosial. Seperti yang telah dikemukakan pada poin a topik

ini: stratifikasi sosial adalah pengelompokan seseorang ke dalam suatu struktur sosial

secara bertingkat (berlapis). Sebagai sebuah konsep, stratifikasi itu pada prinsipnya

netral, karena itu kehadirannya tidak perlu ditakuti/ dikhawatirkan. Tidak ada satupun

masyarakat di dunia ini yang tidak memiliki stratifikasi. Konsep ini akan selalu hadir,

selama ada penghargaan warga masyarakat terhadap sesuatu, yang terpenting di

antaranya adalah: (1) kualitas kepandaian (keterampilan, skill); (2) senioritas dari segi

umur; (3) sifat keaslian; (4) pengaruh dan kekuasaan; (5) pangkat; (6) kekayaan; (7)

pengetahuan/ keahlian; (8) dan lain-lain sebagainya. Penghargaan setiap masyarakat

terhadap beberapa alasan yang melandasi susunan berlapis di atas, berbeda satu dengan

lain. Bahkan dalam satu masyarakat dalam kurun berbeda pun bisa berbeda aspek yang

dihargai. Konsekuensinya stratifikasi yang terdapat dalam setiap masyarakat cenderung

berbeda-beda, baik landasan maupun startumnya.

Page 77: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

121

Penghargaan tersebut selanjutnya akan menempatkan seseorang pada stratum

yang lebih tinggi daripada orang-orang lain dalam kesatuan sosial setempat. Apabila di

dalam suatu masyarakat, kekayaan amat dihargai oleh warganya, maka akan terbentuk

pengelompokan sosial berdasarkan ekonomi. Dalam masyarakat sederhana misalnya,

orang kaya (the have) akan ditempatkan pada strata paling atas. Sementara orang

miskin (the have-not) pada strata bawah. Lalu dalam masyarakat yang lebih kompleks,

stratanya pun akan kian kompleks pula. Contoh pengelompokan sosial berdasarkan

ekonomi (kelas sosial dalam terminologi Karl Marx), dia membagi tingkatan

masyarakat itu kepada tiga kelas. Dalam pembagian yang dikembangkan Marx,

dengan menggunakan kekayaan (ekonomi) sebagai landasan pelapisan masyarakat, lalu

dia sampai kepada stratifikasi sebagai berikut: Kelas Atas (upper class); Kelas Tengah

(midle class); dan Kelas Rendah (lower class).

Kedua, Diferensiasi Sosial. Selain pengelompokan individu dalam suatu

struktur sosial yang mencerminkan tingkatan seperti dikemukakan di atas, setiap

masyarakat di dunia ini juga mengenal pengelompokan yang lebih dikenal dengan

Diferensiasi. Dari berbagai batasan yang dirumuskan para ahli, konsep diferensiasi

sosial dapat disimpulkan sebagai pengelompokan sosial secara horizontal. Artinya,

pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial bukan mencerminkan tingkatan

tertentu, melainkan pengelompokan yang hanya mencerminkan polarisasi yang sifatnya

mendatar. Landasan dari pengelompokan secara mendatar itu antara lain adalah: ras,

etnik, kebudayaan, agama/ keyakinan tertentu.

Dalam kaitan dengan ras, mengacu pada pembagian ras yang dikemukakan

Kroeber, makhluk manusia ini bisa dikategorikan kepada empat ras utama (Austroloid,

Negroid, Mongoloid, dan Kaukasoid), serta ras khusus (seperti Ainui di Jepang,

Bushman di Afrika, Semang di Semenanjung Malaya, dll). Semua ras itu berbeda-beda

dan bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, tetapi yang satu tidak bisa

dianggap lebih tinggi dari yang lain. Dengan kata lain, konsepsi yang dikembangkan

oleh Hitler bahwa bangsa Arya lebih tinggi dan unggul daripada semua ras yang ada di

dunia, adalah isapan jempol belaka dan tidak bisa dibenarkan secara ilmiah. Orang-

orang yang berbeda ras itu harus dipahami sebagai hal yang setara, bukan ras yang satu

lebih lebih tinggi daripada ras lainnya.

Demikian juga dalam hal agama, tidak bisa dikatakan status pemeluk agama

tertentu lebih tinggi dari yang lainnya. Dalam contoh agama remi yang diakui di

Indonesia, terdapat agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Bahwa masing-masing pemeluk agama itu memang berbeda satu dengan lainnya, tetapi

ia harus diposisikan sebagai hal yang setara: yang satu tidak bisa ditempatkan pada

posisi yang lebih tinggi dari yang lain. Hanya saja perlu disadari bahwa setiap agama

Page 78: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

122

itu dipahami oleh penganutnya sebagai agama yang paling tinggi dan paling benar.

Dalam ritual keagamaan hal itu adalah suatu pandangan yang wajar, tetapi dalam

reliatas kehidupan sosial pandangan tersebut tidak bisa diperjuangkan secara radikal,

sebab ia bisa memicu terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.

f. Kepemimpinan dan Kontrol Sosial

Kepempinan. Pada awal pembahasan topik ini sudah ditegaskan, bahwa konsep

ini berakar pada kata dasar pemimpin (leader). Secara antropologis kepemimpinan itu

dapat dipahami dari dua sisi, yakni menyangkut: hak dan kewajiban; serta kewenangan

dari seseorang ataupun suatu badan dalam menggerakkan sekelompok orang yang

berada di bawah otoritasnya. Dalam konteks pertama, pemimpin dapat diartikan

sebagai suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseorang atau

suatu badan yang menenpati status yang lebih tinggi dalam suatu kehidupan sosial. Di

pihak lain, pemimpin juga dapat dipahami sebagai suatu proses sosial. Dalam artian ini

pemimpin mencakup segala kewenangan yang dapat dilakukan oleh seseorang atau

suatu badan dalam menggerakkan anggota masyarakat untuk maksud-maksud tertentu.

Batasan konsep pemimpin/ kepemimpinan sosial sebagaimana dikemukakan di

atas, pada hakikatnya kepemimpinan itu meliputi hak dan kewajiban, serta otoritas

seseorang atau suatu badang dalam menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya,

khususnya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kewenangannya.

Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin itu cenderung bersifat asimetris, dalam

artian: pihak pertama akan memberikan pengaruh kepada pihak kedua, sehingga dalam

batas-batas tertentu pihak kedua pada umumnya menunjukkan sikap kepatuhan/

ketundukan kepada pihak pertama (pemimpin). Profil atau tingkat pengaruh yang

ditunjukkan pihak pertama terhadap pihak kedua akan dipengaruhi oleh banyak faktor,

di antaranya: sifat, kepribadian, dan otoritas yang dimiliki oleh pemimpin, serta

zeitgeist (jiwa zaman) di mana pemimimpin (kepemimpinan) hidup dan menjalankan

fungsinnya.

Bertolak dari pokok pikiran terakhir di atas, menarik untuk mencari jawaban

terhadap pertanyaan elementer berikut: mengapa pihak pertama (pemimpin) bisa

mempengaruhi pihak kedua (yang dipimpin) ? Secara antropologis inti jawaban

terhadap pertanyaan di atas dapat ditegaskan: karena sifat-sifat yang melekat pada

pemimpin, di mana sifat-sifat dimaksud mengarahkan dukungan orang-orang yang

dipimpin terhadap yang memimpin. Di antara sifat-sifat tersebut ialah sebagai berikut:

(1) disenangi oleh mayoritas anggota masyarakat; (2) sifat-sifatnya yang sesuai dengan

harapan dan cita-cita warga masyarakat pada umumnya; (3) keahlian sang pemimpin

yang mendapat pengakuan dari masyarakat; (4) power/ kekuatan secara fisik dan/ atau

Page 79: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

123

kekuatan psikis (termasuk kemampuan magic) yang dimiliki pemimpin; (5) sifat-sifat

pemimpin yang sesuai/ relevan dengan sistem nilai dan norma yang dijunjung tinggi

masyarakat; (6) memiliki simbol-simbol kepemimpinan sesuai dengan yang ketentuan

adat dan/ atau ketentuan formal yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Dilihat dari segi legalitas kehadirannya, pemimpin (kepemimpinan) itu dapat

dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: pemimpin formal (resmi); dan pemimpin non-

formal (tidak resmi). Berikut akan dipaparkan secara ringkas sifat dari kepemimpinan

dimasud secara simultan. Pertama, pemimpin formal adalah pemimpin yang diangkat

secara resmi untuk mengatur aspek-aspek kehidupan tertentu. Eksistensi dan

kewenangan pemimpin formal selalu didapatkan dengan adanya legalitas formal yang

diberikan kepada orang dan/ atau badan yang akan menjalankan kepemimpinannya.

Dalam masyarakat tradisional wujudnya bisa berupa pembaiatan yang dilakukan secara

adat melalui upacara tertentu. Sementara dalam masyarakat modern, legalitas formal

itu didapatkan melalui Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh pihak yang

berwewenang. Jika belum mendapatkan SK, maka kepemimpinan yang bersangkutan

tidak/ belum dianggap sah. Kedua, pemimpin tidak resmi. Dalam tataran ini seorang

pemimpin tidak perlu mendapatkan SK, melaikan eksistensinya akan diterima sejalan

dengan mengalirnya pengakuan dari masyarakat, baik melalui ungkapan (penyataan),

sikap, dan prilaku yang ditampilkan warga dalam berhadapan dengan sang pemimpin.

g. Kategori Kepemimpinan dalam Masyarakat

Dilihat dari segi sifat, bentuk, dan kewenangannya, setidaknya pemimpin

(kepemimpinan) dalam masyarakat di berbagai penjuru bumi ini dapat dibedakan ke

dalam: (1) pemimpin kadangkala; (2) pemimpin terbatas; (3) pemimpin mencakup;

dan (4) pemimpin pucuk. Di bawah ini akan ditelusuri esensi dari masing-masing profil

kepemimpinan itu secara simultan.

Pertama, pemimpin kadangkala. Yang dimaksud dengan pemimpin kadangkala

adalah pemimpin yang hadir hanya untuk momen-momen tertentu dan sifatnya tidak

resmi, dan tidak berkelanjutan. Dengan kata lain, kehadirannya dibutuhkan karena

alasan-alasan tertentu, seperti pengetahuan, pengalaman, keterampilan, keberanian

seseorang dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Kemudian di luar momen dimaksud,

yang bersangkutan akan kembali menjalankan tugas dan fungsinya seperti sedia kala,

bahkan boleh jadi dia akan menjadi ‘orang kebanyakan’ atau warga biasa saja.

Pada masyarakat yang masih sederhana seperti band-band tradisional dengan

keanggotaan yang relatif kecil misalnya, seringkali mereka belum/ tidak memiliki

pemimpin resmi yang kekuasaannya mencakup berbagai aspek kehidupan kelompok

sosial setempat. Hanya saja dalam menghadapi aktifitas ataupun kasus tertentu, maka

Page 80: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

124

akan muncul pemimpin yang menjadi panutan anggota kelompok dalam aspek khusus

itu saja. Contoh ketika mereka akan melakukan kegiatan berburu, maka mereka akan

mengambil seorang pemimpin yang memiliki kekuatan, keberanian, pengalaman,

kemampuan untuk bergerak dengan cepat dari suatu tempat ke tempat lain disekitarnya.

Begitu pula, ketika akan melakukan kegiatan menangkap ikat, maka kelompok akan

mengikuti seorang sebagai pemimpin karena pengalaman dan keterampilan yang

bersangkuntan dalam menggunakan trisula, menyelam, dan sebagainya. Kemudian

ketika terjadi konflik antara dua band, maka mereka bisa saja mengambil pemimpin

dari band ketiga yang dinilai terpercaya, berpengalaman dan memiliki kearifan guna

mencari solusi yang bisa diterima kedua pihak yang bersengketa.

Ketiga contoh di atas, mengindikasikan bahwa kehadiran dan kewenangan

seorang pemimpin itu hanyalah berkaitan dengan suatu kasus, dan eksistensinya sebagai

pemimpin diperoleh karean kelebihan (keunggulan) yang bersangkutan dibandingkan

yang lainnya untuk menuntaskan pekerjaan/ kasus dimaksud. Setelah aktifitas/ kasus

dimaksud tuntas, maka keberadaan kepemimpinan yang bersangkutan akan hilang

dengan sendirinya, dan ia akan menjadi penganut (pengikut) pimpinan lain khusus

untuk aspek kehidupan yang lainnya. Profil kepemimpinan semacam itu lebih dikenal

dengan istilah ‘primus inter pares.’ Namun perlu diingat, bahwa pemimin kadangkala

itu bukan hanya terjadi dalam masyarakat tradisional, melainkan dalam masyarakat

modern pun hal itu banyak ditemukan.

Kedua, pemimpin terbatas. Konsep ini mengandung arti, kepemimpinan yang

diperoleh seseorang dari pimpinan tetap untuk mengurusi aspek-aspek khusus, karena

keunggulan yang bersangkutan dalam bidang itu. Dalam masyarakat bersaja contohnya

pada band-band berburu dan meramu suku Tindiga di Tanganyika (Afrika Timur).

Band-band dalam suku tersebut sudah memiliki pemimpin tetap yang diwariskan

menurut prinsip keturan patrilinial. Kewenangan pimpinan tetap itu mencakup semua

aspek kehidupan masyarakat, tetapi untuk aspek tertentu pemimpin tetap memberi

peluang munculnya pimpinan yang bisa dijadikan panutan untuk aktifitas tertentu,

seperti: penentuan arah untuk melakukan aktifitas meramu dan berburu; memilih

tempat untuk mendirikan tenda guna tempat peristirahatan dalam pengembaraan;

menentukan kapan harus melangkah untuk memulai aktifitas tertentu; mengatur

aktivitas dalam ritual tertentu, dsb. Pimpinan terbatas itu hanya akan menjadi panutan

dalam aktifitas yang terbatas, trutama karena kelebihan/ keunggulannya dalam sebuah

bidang itu. Sementara kewenangan dalam aspek kehidupan secara keseluruhan tetap

dipegang oleh pimpinan tetap.

Ketiga, pemimpin mencakup. Yang dimaksud dengan pimpinan mencakup

adalah pimpinan tetap dengan cakupan kewenangan meliputi hampir semua lapangan

Page 81: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

125

kehidupan masyarakat. Kewenangan pimpinan mencakup itu biasanya juga mendapat

dukungan adat yang memberi kewibawaan bagi yang bersangkutan untuk memjalankan

kepemimpinannya. Pimpinan mencakup semacam itu mulai sejak dikenalnya hidup

menetap yang berbasis desa-desa (village) pertanian, baik pada masyarakat bercocok

tanam berpindah maupun menetap. Desa-desa menetap itu sudah mengenal pimpinan

tetap dengan kewenangan yang luas, mencakup hampir semua aspek kehidupan sosial

setempat. Dalam masyarakat tradisional pimpinan atau kelompok kepemimpinan

serupa itu biasa berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dan diwariskan sesuai

dengan sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat setempat. Lazimnya

kelompok kekerabatan itu diambil dari pendatang pertama (frountir, panaruko) desa

dimaksud. Kemudian dalam masyarakat desa di era kontemporer ini, tidak semua

pemimpin mencakup itu berazaskan sistem kekerabatan, melainkan didasarkan pada

pertimbangan praktis tertentu, misalnya: kemampuan tulis baca (tulisan latin), akses

terhadap pimpinan yang menempati struktur yang lebih tinggi, dan sebagainya.

Keempat, pemimpin pucuk. Dilihat dari segi substansinya “pimpinan pucuk”

(paramount chief) juga merupakan pimpinan mencakup, tetapi otoritas dan cakupan

kepemimpinannya jauh lebih luas. Jika dirumuskan secara konseptual, pimpinan pucuk

dapat dipahami sebagai pemimpin dengan cakupan kepemimpinan lebih luas: meliputi

sujumlah community, band, dan village. Dalam implementasinya pimpinan pucuk

memegang kewenangan tertinggi, dan pelaksanaannya di lapangan bisa dijalankan oleh

para pemimpin yang berada di bawah kendali dan kuasa pimpinan pucuk dimaksud.

Dalam masyarakat tradisional, biasanya kewenangan seorang pimpinan pucuk

disandarkan pada adat, kesaktian, serta simbol-simbol tertentu untuk menjaga dan

melanggengkan kewenangan yang mereka miliki. Contoh pimpinan pucuk yang banyak

ditemukan dalam masyarakat kuno/tradisional adalah: raja dan/ atau sulthan. Raja/

Sultan itu memegang kendali pimpinan tertinggi dalam wilayah kerajaannya, lalu dalam

menjalankan otoritasnya ia dibantu oleh maha-mentri, patih, tumenggung, adipati, dan

sejenisnya.

Kemudia dalam masyarakat modern dan maju, pimpinan pucuk itu juga banyak

ditemukan, namun fondasinya pada adat dan kesaktian sebagai wadah untuk menjaga

kewibawaan kuasanya sudah mulai hilang secara formal. Kini untuk mendapatkan

posisi sebagai pimpinan pucuk dengan segala kewenangannya, perlu dibangun di atas

ketentuan dan mekanisme yang bersifat rasional. Misalnya dengan menerapkan sistem

managemen modern (termsuk penetapan division of labor berdasarkan prinsip-prinsip

profesionalisme), dan penegakkan/ supremasi hukum. Melalui mekanisme demikian

pimpinan pucuk ditenggarai bisa mempertahankan eksistensi, tanpa harus berlandaskan

pada hal-hal yang bersifat irasional, megic ataupun kekuatan sakti.

Page 82: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

126

h. Dinamika dan Kontrol Sosial dalam Masyarakat

Sebuah masyarakat terbentuk dari sejumlah individu yang berinteraksi satu

dengan lainnya secara kontinu berdasarkan adat-istiadat tertentu, serta diikat oleh

identitas bersama. Adat, sistem nilai dan norma yang hidup dan ditumbuhkembangkan

masyarakat merupakan landasan penting untuk dijadikan acuan bagi setiap individu

yang menjadi anggota masyarakat, terutama untuk keharmonisan, kebersamaan, dan

integrasi masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran terhadap sistem nilai bersama itu,

maka integrasi masyarakat akan terganggu dan bisa menimbulkan kekacauan

(disintegrasi).

Peluang ke arah terjadinya disintegrasi itu terbuka lebar, baik karena masuknya

sistem nilai baru dari luar yang berbeda dengan nilai-nilai lama, maupun berpangkal

penyimpangan yang dilakukan individu tertentu yang menjadi warga suatu masyarakat.

Bagaimanapun individu-indivudu yang menjadi warga suatu masyarakat pasti memiliki

bermacam ragam kebutuhan, keinginan dan harapan. Lalu untuk merealisasikan semua

hal itu individu-individu tentu harus menempuh jalan tertentu. Strategi yang pilih untuk

maksud tersebut, tidak jarang berbenturan dengan keinginan/ harapan individu lain atau

pun kepentingan umum masyarakat setempat. Hal itu akan memicu terjadinya konflik

dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat tersebut, sehingga keberlangsungannya

akan terganggu. Namun hal itu tidak perlu ditakuti, apalagi di era globalisasi ini, tidak

ada satu masyarakat pun yang steril dari pengaruh luar. Dalam kaitan ini yang penting

adalah strategi untuk memenej perubahan, sehingga masyarakat terhindar dari anomie.

Lagi pula menurut sementara ahli perkembangan masyarakat itu selalui melalui

dialektika berkepanjangan yang diawali dari kehidupan yang harmonis, kemudian

terjadi konflik, setelah itu akan berlangsung akomodasi, dan pada gilirannya kembali

terwujud harmoni/ integrasi; demikian seterusnya terjadi pola yang hampir serupa.

Walaupun demikian, agar tidak terjadi gangguan dalam hidup bermasyarakat

yang bisa menimbulkan disintegrasi (bahkan anomie), maka diperlukan adanya kontrol

sosial. Pengendalian itu dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk

menjaga tatanan sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan meminimalisir

munculnya individu-indivi yang menyimpang (deviant). Pengendalian itu dinilai amat

krusial mengingat, perbedaan kepentingan dan interes antar individu yang menjadi

anggota suatu masyarakat/ komunitas bisa merusak tatanan sosial yang menjadi wadah

pemersatu segenap lapisan masyarakat terkait.

Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pengendalian sosial, dan yang

terpenting di antaranya adalah: (1) mempertebal dan memperkuat komitmen warga

terhadap adat, norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya; (2)

memberikan ganjaran (reinforcement) pada invidu yang taat kepada adat istiadat,

Page 83: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

127

norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (3) memberikan sanksi hukum

yang berat untuk membuat efek jera bagi warga masyarakat yang melakukan ataupun

terindikasi melakukan pelangaaran sistem nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (4)

memberikan sanksi sosial bagi pelanggar aturan yang berlaku; (5) gossip atau

memperbicangkan secara sembunyi (dari mulut ke mulut) tentang prilaku seseorang

yang dianggap melanggar aturan yang berlaku dalam nasyarakat; dan lain-lain

sebagainya. Serangkaian cara pengendalian di atas mengindikasikan, bahwa untuk

memerangi pelanggaran dalam masyarakat bisa dilakukan melalui cara-cara yang

bersifat: persuasif - edukatif dan/ atau represif.

Untuk mengefektifkan pengendalian sosial di setiap masyarakat, diperlukan

komitmen dan partisipasi semua elemen masyarakat. Jadi hal ini bukan hanya tanggung

jawab elit ataupun aparat yang berwewenang semata. Bagaimana pun perlu disadari

bahwa pengendalian sosial itu memang diperlukan oleh semua masyarakat, terutama

untuk menjaga keharmonisan dan integrasi masyarakat terkait. Dengan kata lain,

pengandalian sosial adalah prasyarat untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat,

tetapi perlu juga diingat pengendalian yang dilakukan secara serampangan bisa pula

menghambat perkembangan suatu masyarakat.

Cara pengendalian sosial dan pihak yang memiliki otoritas untuk menjadi ujung

tombak dalam pelaksanaannya akan berbeda dalam setiap masyarakat. Bahkan pada

masyarakat yang sama dalam kurun waktu berbeda juga tidak akan sama. Cara-cara

pengendalian sosial yang dipilih biasanya akan disesuaikan dengan realitas dan

tantangan yang dihadapi suatu masyarakat (kontekstual). Sementara lembaga yang

menjalankannya juga bisa beragam, mulai dari lembaga adat/ sosial tertentu sampai ke

lembaga resmi yang sengaja dibentuk dengan tupoksi untuk melakukan pengendalian,

sehingga pelanggaran di dalam masyarakat bisa diminimalisir di tengah-tengah

dinamika dan perkembangan yang berlangsung pesat di era moderen ini.

2. Rangkuman

Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah

tertentu, berinteraksi satu dengan lainnya secara kontinu berdasarkan adat istiadat

tertentu, serta memiliki rasa identitas komunitas. Lebih jauh para ahli cenderung

menekankan kesadaran wilayah dan community identity sebagai kata kunci dari konsep

komunitas. Unit sosial apa pun (meskipun ia dilabeli dengan kata-kata kumunitas),

secara konseptual ia tidak bisa disebut sebagai komunitas, dan ia tidak relevan untuk

kajian akademik.

Page 84: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

128

Dilihar dari perspektif historis, komunitas itu sebenarnya bukan hal yang baru

dalam realitas kehidupan manusia, bahkan ia sudah muncul sejak manusia mengenal

hidup menetap yang dalam kajian antropologi budaya disebut dengan komunitas kecil.

Suatu komunitas kecil memiliki ciri-ciri pokok berikut: (1) warganya masih saling

mengenal satu dengan lain dan saling bergaul secara lebih intensif; (2) tidak ada

perbedaan yang menonjol antar sub-kelompoknya; dan (3) pada umumnya warga

setempat mampu menghayati seluk-beluk lapangan kehidupan komunitasnya secara

komprehensif dan mendalam.

Wujud komunitas kecil itu dalam masyarakat bersahaja dan tradisional adalah:

band dan desa. Band adalah kelompok berburu pada zaman pra sejarah yang hidup

berpindah-pindah, tetapi mereka sudah memiliki kesadaran wilayah. Sementara, desa

(village) merupakan suatu kesatuan hidup dengan jumlah anggota relatif kecil dan

menetap pada wilayah tertentu. Fenomena desa yang berakar era pra sejarah itu hingga

kini masih berlanjut dengan beberapa modifikasi. Adapun ujud komunitas kecil di era

kontemporer ini selain desa, adalah Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),

Kelurahan, Kota dan/ atau Kabupaten. Semua persyaratan dari komunitas bisa

terpenuhi oleh kesatuan-kesatuan sosial yang disebut terakhir ini.

Pada kesatuan hidup manusia yang berbentuk komunitas di mana pun di

permukaan bumi ini, terdapat rasa saling tolong menolong (solidaritas) yang mengikat

mereka satu dengan lainnya. Solidaritas itu tumbuh bukan semata karena adanya sikap

altruisme, tetapi juga karena ada kesadaran dan kenyataan saling membutuhkan di

kalangan warga komunitas. Solidaritas itu terbangun berkat adaya principle of

reciprocity (prinsip timbal balik); pertukaran sosial; the gift (pemberian); dan gotong

royong berazaskan kesukarelaan, bukan paksaan/ mobilisasi seperti kerja bakti. Wujud

gotong royong dalam “komunitas kecil” dapat berupa tolong menolong dalam aktifita:

pertanian; aktivitas di sekitar rumah tangga; persiapan/ pelaksanaan pesta dan upaca

tertentu; menghadapi musibah tertentu.

Dilihat dari satu sisi, tiap-tiap komunitas itu memiliki struktur sosial tersendiri

sesuai dengan cakupannya masing-masing. Sebagai sebuah konsep, komunitas itu

mengandung dua sub-konsep, yaitu: stratifikasi dan diferensiasi sosial. Pertama,

Stratifikasi sosial adalah pengelompokan seseorang dalam suatu struktur sosial secara

bertingkat (berlapis), misalnya: elit dan massa; uper class, midle class, dan lower class;

serta, bangsawan, rakyat biasa, dan budak. Stratifikasi itu selalu akan ada di setiap

masyarakat, selama ada sesuatu yang dihargai oleh warga terkait. Kedua, Diferensiasi

sosial, yakni pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial tertentu secara

mendatar/ horizontal (tidak mencerminkan tinggi rendahnya posisi seseorang), misalnya

berdasarkan etnik, kebudayaan, agama/ religi, dsj.

Page 85: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

129

Dilihat dari sisi lain, konsep struktur sosial secara implisit juga mengindikasi-

kan adanya pemimpin dan yang dipimpin dalam setiap unit sosial. Pemimpin itu yang

bersifat resmi dan ada pula yang tidak resmi. Dalam kajian antropologi sosial, dilihat

dari segi sifat, bentuk, dan kewenangannya, setidaknya pemimpin (kepemimpinan)

dalam masyarakat di berbagai penjuru bumi ini dapat dibedakan ke dalam empat

kategori: Pertama, pemimpin kadangkala, yaitu pemimpin yang hadir hanya untuk

momen-momen tertentu dan sifatnya tidak resmi, dan tidak berkelanjutan. Kedua,

pemimpin terbatas adalah kepemimpinan yang diperoleh seseorang dari pimpinan tetap

untuk mengurusi aspek-aspek khusus, karena keunggulan yang bersangkutan dalam

bidang tertentu. Ketiga, pemimpin mencakup, yakni pimpinan tetap dengan cakupan

kewenangan dalam hampir semua lapangan kehidupan masyarakat. Keempat, pemimpin

pucuk (paramount chief) yaitu pimpinan mencakup dengan otoritas dan kewenangan

kepemimpinannya jauh lebih luas, meliputi sujumlah community, band, dan village.

Dalam implementasinya, pimpinan pucuk memegang kewenangan tertinggi, dan

pelaksanaannya di lapangan bisa dijalankan oleh para pemimpin yang berada di bawah

kendali dan kuasa pimpinan pucuk dimaksud.

Sebuah masyarakat/ komunitas terbentuk dari sekumpulan individu dengan

persyaratan seperti yang telah ditegaskan sebelumnya. Mengingat setiap individu itu

memiliki kepentingan, pengetahuan, sikap, dan tujuannya sendiri, maka dalam banyak

hal terjadi pelanggaran terhadap adat dan sistem nilai yang dijunjung tinggi mayoritas

warganya. Jika hal terakhir ini terjadi, maka integrasi masyarakat akan terancam.

Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi hal itu, maka diperlukan adanya pengendalian

sosial.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk pengendalian sosial, dan yang

terpenting di antaranya adalah: (1) mempertebal dan memperkuat komitmen warga

masyarakat tentang adat, norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakatnya;

(2) memberikan ganjaran (reinforcement) bagi yang taat kepada adat istiadat, norma,

dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (3) memberikan sanksi hukum yang

berat untuk membuat efek jera bagi warga masyarakat yang melakukan ataupun

terindikasi melakukan pelangaaran sistem nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (4)

memberikan sanksi sosial bagi pelanggar aturan yang berlaku; (5) gossip atau

memperbicangkan secara sembunyi (dari mulut ke mulut) tentang prilaku seseorang

yang dianggap melanggar aturan yang berlaku; dll. Serangkaian cara pengendalian yang

dikemukakan di atas mengindikasikan bahwa untuk memerangi pelanggaran dalam

masyarakat bisa dilakukan melalui tindakan yang bersifat: persuasif- edukatif dan/ atau

represif.

Page 86: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

130

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian

Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Zubaidi, 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Pengembangan dan

Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Razz Media.

Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:

LP3ES.

* * *

Page 87: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

131

DAFTAR BACAAN

1. Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

2. -------------------. 2005. Pengantar Antropologi, Jilid II. Jakarta: Rineka Cipta

3. -------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta

4. -------------------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga

Penerbit FE-UI

5. Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

6. Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

7. ------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

8. Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

9. Kuper, Adam. 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi (Terj.). Jakarta: Bhratara

10. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-menukar di Masyarakat

Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

11. Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta.

12. Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:

Pustaka Grafika

13. Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian

14. Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

15. Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

16. Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

17. Dirjosanjoto, Pradjarto. 2006. Perencanaan Pembangunan Partisipatif untuk Good

Governance. Bandung: Forum Komunikasi Pengembangan Partisipasi

Masyarakat (FPPM).

18. ---------------, ed., 2006. Merumuskan Konsep dan Praktek Partisipasi Warga dalam

Pelayanan Publik. Bandung: Forum Komunikasi Pengembangan Partisipasi

Masyarakat (FPPM).

19. Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gama

Press.

20. Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

21. Zubaidi, 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Pengembangan dan

Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Razz Media.

22. Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta:

Gama Press.

Page 88: PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

132

23. Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIP Jkt – BKKBN.

24. Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan

Antropologis.

25. Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:

LP3ES.

Sumber-sumber lain yang relevan akan ditentukan dalam proses perkuliahan. File: Tim PMk Antrososbud

@2014