Transcript
Page 1: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

1

Page 2: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

2

Page 3: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

3

Page 4: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

4

Page 5: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

5

PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN

YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE

MULYANI ZULAEHA,SH.MH

[email protected]

Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Abtract :

Abstrak : Penyelesaian sengketa kepailitan yang mengandung klausula arbitrase

menimbulkan permasalahan tentang siapa yang berwenang untuk

menyelesaikan apakah Pengadilan Niaga atau badan arbitrase. Pasal 303

UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang menyatakan bahwa “pengadilan tetap berwenang

memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para

pihak yang terkait perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang

utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi

unsur Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini”. Unsur dimaksud adalah :

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih

c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau

lebih krediturnya

Kata Kunci : Penyelesaian, Sengketa Kepailitan, Klausula Arbitrase

I. Pendahuluan

Pengaruh globalisasi disegala bidang membawa dampak pula pada

perkembangan perekonomian dan perdagangan sekarang ini. Dunia usaha baik skala

besar maupun kecil berkembang dengan pesat. Untuk dapat mendukung

berkembangnya usaha tersebut, maka tidaklah terlepas dari modal yang dimiliki.

Namun tidak semua pengusaha memiliki modal yang besar dalam menjalankan

bisnisnya, sehingga untuk dapat mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat

melakukan pinjaman modal dari berbagai sumber dan dari beberapa orang kreditur

secara bersamaan.

Pinjaman yang dilakukan antara debitur dan kreditur pada dasarnya dilakukan

berdasarkan pada asas kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan

utang/pinjaman tepat pada waktunya. Pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur

tidak selalu dapat berjalan lancar, adakalanya debitur tidak dapat membayar utang

walaupun telah jatuh tempo karena suatu alasan tertentu, seperti terjadinya krisis

moneter/finansial, terjadinya bencana alam yang mengakibatkan tidak lancarnya

usaha tersebut dilakukan. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada kemampuan

debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.

Debitur yang tidak mampu melunasi utangnya, maka menurut Pasal 1131

KUHPerdata pada dasarnya dapat dibebankan pada harta kekayaan debitur baik yang

bergerak atau tidak bergerak, yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari

sebagai jaminan utangnya. Pasal tersebut selain menyatakan bahwa harta kekayaan

Page 6: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

6

seseorang (debitur) demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban berupa membayar

utang, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul dari

perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun

karena perjanjian selain pinjam meminjam uang. Selanjutnya dalam Pasal 1132

KUHPerdata menjelaskan pula bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama

terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena

memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya. Kedua

pasal tersebut sebenarnya merupakan jaminan bagi kreditur untuk dapat mendapatkan

pelunasan bagi semua piutangnya. Namun walaupun sudah secara tegas dinyatakan

dalam KUHPerdata tentang jaminan pelunasan utang ternyata permasalahan berkaitan

dengan utang piutang terutama pada saat debitur tidak melaksanakan kewajiban

membayar utang masih sering terjadi.

Sehingga dalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang antara debitur

dan kreditur biasanya perihal tentang kemungkinan terjadinya kondisi dimana debitur

tidak dapat membayar utang dimasukan dalam salah satu pasal atau ketentuan yang

diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Kesepakatan berkaitan dengan penyelesaian

sengketa karena kemungkinan terjadinya sengketa atau perselisihan tersebut dapat

dilakukan para pihak dengan cara membuat perjanjian tersendiri atau menjadi bagian

dari perjanjian pinjam meminjam uang.

Ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa antara debitur dan kreditur

dalam perjanjian pinjam meminjam uang, yaitu melalui jalur litigasi (jalur

pengadilan) maupun jalur non litigasi (jalur diluar pengadilan). Jalur diluar pengadilan

yang saat ini banyak diminati oleh kalangan dunia usaha adalah melalui arbitrase

Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan

kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur

litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara

formal (Eman Suparman : 2004 : 15).

Jika para pihak memilih jalur pengadilan, maka pengadilan yang berwenang

untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Niaga. Menurut ketentuan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang dalam kondisi dimana debitur berhenti membayar atau tidak dapat

membayar utangnya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih maka kreditur dapat

mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga. Syarat-syarat yang harus

dipenuhi dalam permohonan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) adalah ;

1. Debitur mempunyai 2 atau lebih kreditur

2. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih

3. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya

Kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus sengketa kepailitan

tersebut adalah bersifat absolut/mutlak.

Sedangkan jika para pihak memilih jalur penyelesaian sengketa ini melalui

jalur arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1) arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang

dimaksud dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul

arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak

sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase yang dibuat para pihak

menyebabkan sengketa tersebut berada dalam kewenangan mutlak arbiter. Sehingga

Page 7: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

7

klausula arbitrase yang dibuat para pihak baik sebelum atau setelah timbulnya

sengketa tersebut menjadikan pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa

para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase serta pengadilan wajib

menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang

telah ditetapkan melalui arbitrase.

Permasalahan yang muncul adalah ketika suatu sengketa yang berkaitan

dengan kepailitan sementara didalam perjanjiannya juga memuat adanya klausul

arbitrase yang menyatakan bahwa bila ada timbul sengketa kelak dikemudian hari

para phak memilih penyelesaiaannya melalui arbitrase. Kondisi yang demikian

menimbulkan permasalahan tentang siapa yang berwenang. Apakah kreditur dapat

mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga ataukan diselesaikan melalui

arbitrase sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dalam penulisan ini

penulis akan membahas permasalahan tentang bagaimana penyelesaian sengketa

kepailitan yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase. Fokus pembahasan

adalah pada siapa yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut, apakah menjadi

kewenangan mutlak Pengadilan Niaga ataukah menjadi kewenangan mutlak dari

arbitrase ?.

II. Tinjauan Pustaka

A. Pengertian Kepailitan

Secara etimologi istilah kepailitan berasal dari kata “pailit” Secara tata bahasa,

kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit (Ahmad Yani dan

Gunawan Widjaja : 1999 : 11). Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite”

berarti kemacetan pembayaran (Rahayu Hartini : 2003 : 4).

Dalam peraturan kepailitan yang lama, yaitu Faillisement Verordening (Fv) S.

1905 No 217 jo. 1906 No 348 yang dimaksud dengan pailit adalah setiap berutng

(debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri

maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur) dengan putusan

hakim dinyatakan dalam keadaan pailit. Selanjutnya menurut UU No 4 Tahun 1998

Tentang Kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan kepailitan adalah “Debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang

berwenang.

Menurut undang-undang kepailitan yang baru yakni UU No 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam Pasal 2

disebutkan kepailitan adalah “sita umum atas semua harta kekayaan debitur pailit

yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan

Hakim Pengawas”.

Munir Fuady menyebutkan kepailitan adalah suatu sita umum atas dan

terhadap seluruh harta debitur agar dicapainya suatu perdamaian antara debitur

dangan para krediturnya atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagikan secara adil dan

proporsional diantara dan sesama para kreditur sesuai dengan besarnya piutang dari

masing-masing para kreditur terhadap debiturnya tersebut (Daniel Suryana : 2007 :

33-34).

Dalam Black Law Dictionary pailit atau bankrupt adalah “the state our

condition of a person (individual, patnership, corporation, municipality) who is

unable to pay its debt as they are, or became due, the term inclueds a person againts

Page 8: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

8

whom aninvoluntary petition ha been filed, or who has filed a voluntary petition, or

who has been adjudged a bankrupt” terjemahan dari Black Law Dictionary bahwa

pengertian pailit dihubungkandengan ketidakmampuan membayar dari seorang

debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus

disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan baik yang dilakukan secara

sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas pemintaan pihak ketiga diluar debitur,

suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan ( Ahmad Yani dan Gunawan :

2000 : 11).

B. Asas-Asas Hukum Kepailitan

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi

penting. Menurut Sri Rezeki Hartono lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai

dua fungsi sekaligus, yaitu :

a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur

tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-

utangnya kepada semua kreditur-krediturnya.

b. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi oleh

kreditur-krediturnya (Sri Rezeki Hartono dalam Rahayu Hartini : 2003 : 10-11).

Dalam peraturan perundangan yang lama yakni Fv kemudian dalam PERPU

No 1 Tahun 1998 maupun Undang-Undang Kepailitan No 4 tahun 1998 tidak diatur

secara eksplisit tentang asas-asas yang berlaku dalam kepailitan, namun pada UU No

37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU menjelaskan asas-asas kepailitan

adalah :

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan

dari asas keseimbangan yaitu terdapat pengaturan yang dapat mencegah terjadinya

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur,

dilain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan

pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan

debitur yang prospektif tetap berlangsung

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan

mengenai kepialitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak

penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap

debitur dengan tidak memperhatikan kreditur lainnya

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem

hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari

sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

C. Syarat Pengajuan Pailit dan Pihak yang Mengajukan Pailit

Untuk dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1):

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

b. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih

Page 9: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

9

c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya

Sedangkan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah :

a. Debitur sendiri

b. Seorang atau lebih krediturnya

c. Kejaksaan utuk kepentingan umum

d. Bank Indonesia

e. Badan Pengewas Pasar Modal, dan

f. Menteri Keuangan

D. Klausula Arbitrase

Dalam UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan klausula

arbitrase. Namun secara tersirat terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu perjanjian

arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam

suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu

perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Klausula arbitrase pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan (pasal) di

dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang

mungkin timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut

diajukan kepada arbiter untuk diputus.

Arbitation Clause adalah alas hak, dasar hukum diatas mana para arbiter

duduk dan punya kewenangan. Dengan adanya arbitation clause para arbiter memiliki

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang sebenarnya menjadi

kewenangan pengadilan, tapi karena adanya arbitation clause tersebut menjadi

kewenangan arbitrase ( Setiawan : 2003 : 77)

Dalam praktek cara pencantuman klausula arbitrase pada umumnya langsung

bersamaan atau menjadi satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Cara demikian

merupakan bentuk klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulnya sengketa

(pactum decompromittendo). Dalam bentuk ini rumusan klausula tidak dibuat secara

rinci, karena belum diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi dan belum

diketahui pula bagaimana para pihak menyelesaikan sengketa tersebut (M. Yahya

Harahap : 1990 : 116).

Namun dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa setelah sengketa

terjadi (acta compromis), maka menurut ketentuan UU No 30 Tahun 1999 persetujuan

mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani

para pihak, namun dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian

tersebut maka perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

Substansi perjanjian tertulis harus disusun secara pasti dan rinci sesuai keadaan

sengketanya. Dalam Pasal 9 ayat (1) memuat tentang al-hal yang harus dimuat dalam

perjanjian tersebut yaitu :

1. masalah yang dipersengketaka

2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak

3. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase

4. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan

5. nama lengkap sekretaris

6. jangka waktu penyelesaian sengketa

7. pernyataan kesediaaan dari arbiter

Page 10: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

10

8. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketauntuk menanggung segala

biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

9. Perjanjian tertulis yang tidak mencantumkan syarat ketentuan tersebut diatas

adalah batal demi hukum (Pasal 9 ayat (4))

Menyusun serta mermuskan isi klausula arbitrase dalam perjanjian antara para

pihak tidaklah mudah oleh karena isi pasal yang terlalu singkat akan menyulitkan

penafsiran manakala sengketa terjadi, sebab tidak ada petunjuk dimana arbitrase

dilakukan, hukum apa yang akan dipakai, pengaturan tentang bagaimana tata cara

pemilihan arbiter dan lain-lain.

Menurut Setiawan,untuk merumuskan klausula arbitrase yang paling penting

ada lima hal yang harus diperhatikan, yaitu :

1. The place or the vennue of arbitation, karena tiap-tiap negara memiliki undang-

undang abitrasenya sendiri-sendiri.Jika arbitrase diseleggarakan di Jakarta, maka

hukum yang digunakan adalah undang-undang Indonesia

2. The rule of arbitation, aturan atau cara main para arbiter dalam memeriksa perkara

3. The way to choose the arbitation, tata cara untuk memilih atau menunjuk para

arbiter apakah tunggal atau majelis

4. Language of arbitation, bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan

5. The proper law of the contract or choise of law, hukum yang berlaku atau pilihan

hukum (Setiawan : 2003 : 79)

Klausula arbitrase yang dibuat baik dengan cara pactum decompromittendo

atau acta compromis, keduanya melahirkan suatu kewenangan mutlak dalam

penyelelesaian sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No 30 Tahun

1999 yaitu “pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Selanjutnya ditegaskan lagi dalam Pasal

11 yaitu “dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak

untuk mengajukan sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke

pengadilan negeri, dan pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur

tangan dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali

dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.

Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase apakah dapat

dikesampingkanoleh para pihak, ada dua aliran/teori yang berkembang, yaitu :

1. Klausula Arbitrase Bukan Publik Orde

Aliran ini menetukan bahwa klausula arbitrase adalah “niet van ovenbar orde”

(bukan ketertiban umum). Sebagai akibatnya sengketa yang timbul dari perjanjian

yang memuat klausula arbitrase tetap dapat diajuka ke pengadilan. Pengadlan

tetap berwenang sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi terhadap

klausula arbitrase. Dengan tidak mengajukan eksepsi maka pihak lawan dianggap

telah melepaskan klausula arbitrase tersebut.

2. Klausula Arbitrase Berdasarkan Pacta Sunt Servanda

Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengatakan bahwa perjanjian

yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang. Oleh

karenanya setiap perjanjian hanya dapat gugur atau ditarik kembali berdasarkan

kesepakatan bersama para pihak (Sutanto : 2003 : 15)

E. Kewenangan Pengadilan Niaga

Berdasarkan PERPU No 1 Tahun 1998 yang kemudian ditingkatkan menjadi

Undang-Undang Kepailitan No 4 Tahun 1998 yang berwenang menyelesaikan

masalah kepailitan adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan

Page 11: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

11

pengadilan dibdang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum, dengan

menggunakan hukum acara perdata kecuali undang-undang ini menentukan lain.

Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan differensiasi atas peradilan umum yang

dimungkinkan pembentukkan berdasarkan UU No 14 tahun 1970 tentang Pokok-

Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dalam PERPU pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga akan khusus

bertugas menangani permintaan pernyataan pailit. Dalam perjalanannya PERPU ini

kemudian ditingkatkan menjadi UU No 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan

mengenai Pengadilan Niaga diatur secara khusus dalam Bab III mulai Pasal 280 –

289. Pengadilan ini pertama kali dibentuk di Jakarta Pusat.

Kemudian tahun 2004 lahir UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menggantikan UU No 4 tahun 1998

Tentang Kepailitan. Dalam undang-undang ini pengaturan tentang Pengadilan Niaga

dimasukkan dalam Bab V mulai Pasal 299 - 302 dan juga tersebar dalam berbagai

pasal lainnya. Dalam undang-undang ini penyebutannya cukup dengan kata

“Pengadilan” saja tanpa kata “Niaga”. Hal ini dengan merujuk pada Pasal 1 poin (7)

bahwa “pengadilan” adalah “Pengadilan Niaga” dalam lingkungan peradilan umum.

Berkenaan dengan kewenangan Pengadilan Niaga sekarang ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 300 ayat (1) UU No 37 Tahun 2004 bahwa “kewenangan

Pengadilan Niaga ialah memeriksa dan meutus perkara permohonan pernyataan pailit

dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di bidang perniagaan

yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang”. Sengketa perniagaan

dimaksud adalah berkaitan dengan sengketa Hak Kekayaan Intelektual, sedangkan

ruang lingkup lebih luas dari kata “sengketa perniagaan” belum jelas sengketa-

sengketa apa saja.

F. Arbitrase

Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Penyelesaian Sengketa sebagai dasar hukum dari penyelenggaraan penyelesaian

sengketa diluar pengadilan di Indonesia, yang dimaksud dengan arbitrase termuat

dalam Pasal 1 angka 1 yaitu, “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa

perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihakyang dalam suatu perjanjian tertulis bersangkutan”.

Perjanjian arbitrase yang dimaksud diatur dalam Pasal 1 angka 3, “Perjanjian arbitrase

adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum yang dibuat para

pihak sebelum sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

pihak setelah timbul sengketa”. Berdasarkan pada bunyi pasal tersebut, maka dapat

disimpulkan pertama, arbitrase harus dilakukan dengan bentuk perjanjian arbitrase

yang tertulis, kedua, arbitrase harus dibuat dalam bentuk perjanjian, maka dengan

demikian secara tidak langsung ketentuan dari hukum perjanjian juga berlaku dalam

arbitrase ini.

Kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase yang

tertuang dalam perjanjian arbitrase, membawa konsekuensi tidak berwenangnya

Pengadilan Negeri untuk memeriksa sengketa tersebut. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Hal ini

juga dipertegas melalui Pasal 11 yang menentukan bahwa “Dengan adanya suatu

perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke

Page 12: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

12

Pengadilan Negeri”. Kompetensi absolut forum arbitrase ini sebagai akibat adanya

pilihan yurisdiksi melalui perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate) baik melalui

klausula arbitrase secara pactum de compromittendo maupun dengan akta kompromis.

Dengan demikian maka hakim Pengadilan Negeri harus menyatakan dirinya tidak

berwenang secara ex officio tanpa adanya eksepsi antara para pihak manakala ia

menerima kasus yang ada klausula arbitrase.

Namun menurut Konvensi New York dalam Artikel II ayat (3) pengadilan

tidak secara otomatis akan menolak untuk mengadili suatu sengketa dimana

sebelumnya telah diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul melalui

arbitrase, yaitu jika pengadilan menemukan bahwa perjanjian tersebut null and wid,

inoperative or incapable of being performed.

Menurut Frans Liemena (Frans Liemena : 1999 : 89), null and wid

mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian arbitrase dipengaruhi oleh hal-hal

yang tidak ada pada saat dibuatnya perjanjian. Misalnya para pihak sepenuhnya belum

sepakat tentang klausula arbitrase, atau pencantuman klausula arbitrase dilakukan

karena salah duga atau salah menafsirkan. Inoperative, bahwa pihak telah

membatalkan atau mencabut klausula arbitrase. Incapable of being performed,

diartikan bahwa perjanjian arbitrase tidak dapat dilaksanakan secara efektif, karena

kurang jelas atau hanya dibuat sebagai formalitas saja.

Dengan demikian keadaan tidak berwenangnya hakim Pengadilan Negeri

untuk memeriksa sengketa yang timbul dari suatu perjanjian yang mencantumkan

klausula pilihan forum arbitrase tidak mutlak sama sekali. Artinya pada suatu ketika

hakim Pengadilan Negeri akan kembali berwenang atau berkompeten untuk

memeriksa sengketa yang terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

1. apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan forum

2. apabila sengketa yang timbul nyata-nyata diluar substansi perjanjian

3. putusan yang djatuhkan diluar kewenangan forum arbitrase atau bertentangan

dengan undang-undang atau peratutan yang berlaku sehingga hakim menganggap

kausanya tidak halal (Eman Suparman : 2004 : 107).

Ruang lingkup sengketa yang boleh diajukan melalui arbitrase adalah terbatas

pada sengketa di bidang perdagangan yang meliputi bidang perniagaan, perbankan,

keuangan, penanaman modal, industri dan kekayaan intelektual dan mengenai hak

yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh

pihak yang bersengketa. Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undagan tidak dapat

diadakan perdamaian.

Mengacu pada Konvensi New York 1958 dan ketentuan yang terdapat dalam

Uncitral Arbitration Ruler serta ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 maka

dapat dikemukakan jenis-jenis arbitrase, yaitu :

1. Arbitrase ad hoc

Merupakan arbitrase yang dibentuk oleh para pihak khusus untuk menangani

suatu kasus tertentu, arbitrase bentuk ad hoc ini para pihak dapat mengatur cara-cara

bagaimana pemilihan para arbiter, mengatur kerangka kerja prosedur arbitrase dan

aparatur administratif dari arbiter. Dalam bentuk ini persetujuan atau kata sepakat

para pihak mutlak diperlukan terhadap metode yang ditentukan.

2. Arbitrase Institusional

Merupakan bentuk arbitrase yang berbentuk lembaga atau badan arbitrase yang

sengaja didirikan yang ditunjuk oleh para pihak berdasarkan kesepakatan untuk

menyelesaiakan suatu sengketa. Arbitrase bentuk ini para pihak tidak dapat mengatur

sendiri tentang cara pemilihan atau kerangka kerja prosedur arbitrase, tetapi harus

Page 13: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

13

mengikuti format penyelesian menurut lembaga atau badan arbitrase yang ditunjuk

tersebut. Sebagai contoh adalah lembaga arbitrase adalah BANI, ICSID, American

Arbiter, ICC.

Kesepakatan untuk menyerahkan suatu sengketa pada arbitrase baik yang ad

hoc maupun yang institusional dapat dilakukan sebelum suatu sengketa terjadi

maupun setelah sengketa terjadi yang dimuat dalam suatu perjanjian tertulis.

Kesepakatan yang dibuat sebelum terjadinya sengketa sering disebut dengan istilah

pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang merupakan suatu ketentuan

yang tercantum didalam perjanjian yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang

timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian tersebut akan diserahkan pada

arbitrase untuk diputuskan. Klausul arbitrase yang harus dalam bentuk tertulis

sebagaimana dituntut secara tegas dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999.

Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memungkinkan arbitrase

dilakukan secara online, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (3) yang

berbunyi “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam

bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, facsimile, e-mail atau

dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan

penerimaan oleh para pihak”.

Kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya ke arbitrase yang

muncul setelah sengketa terjadi dilakukan melalui sebuah akta kompromis. Akta

kompromis diatur dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (4), yaitu jika para pihak

memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan

mengenai hal itu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh

para pihak. Jika mereka tdak dapat menandatangani perjanjian tertulis tersebut,

perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) sampai (4) tersebut, maka jika para

pihak ingin menyelesaikan sengketa mereka ke arbitrase setelah sengketa terjadi ada

dua kemungkinan perjanjian yang dibuat yaitu dalam bentuk perjanjian tertulis biasa

yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam bentuk akta notaris jika para pihak

tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut.

Berkaitan dengan bentuk tertulis secara konvensional dan dalam bentuk

dokumen elektronik dalam perjanjian arbitrase maka dapat diuraikan sebagai berikut,

Konvensi New York mengatur mengenai persyaratan bahwa suatu perjanjian arbitrase

harus tertulis, yang termuat dalam ketentuan Article IV Konvensi NewYork. Menurut

Article IV, persyaratan mengenai bentuk perjanjian adalah :

To obtain the recognition and enforcement mentioned in the preceding Article, the

party appling for recognition on and enforcement shall, at the time of the

application supply :

(a). ……..

(b). The Original agreement referred to in Article II or a duly certified copy

thereof

Untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan, pihak yang mengajukan

permohonan pengakuan dan pelaksanaan pada waktu pengajuan permohonan harus

menyerahkan perjanjian yang asli sebagaimana disebut dalam Article II atau salinan

yang sudah dilegalisir sebagaimana mestinya. Dari ketentuan-ketentuan dalam

Konvensi New York tersebut terdapat tiga persyaratan perjanjian arbitrase yaitu

tertulis, ditandatangani dan asli.

Penafsiran mengenai article IV diatas bahwa keaslian hanya dapat dipenuhi

jika perjanjian dibubuhi tanda tangan, berarti perjanjian yang dibuat melalui

pertukaran faks, e-mail dan perjanjian online tidak memenuhi persyaratan mengenai

Page 14: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

14

keaslian. Sehingga pertukaran e-mail atau melalui perjanjian online tidak sah adanya.

Jika hendak diakui keasliannya maka diperlukan tindakan dengan membubuhkan

tanda tangan pada print out dari faks, email dan perjanjian online.

Berkaitan dengan sifat tertulis dari perjanjian arbitrase, Indonesia melalui

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 juga secara tegas menyatakan bahwa persyaratan

perjanjian arbitrase harus tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir 1 dan 3

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, walaupun dengan menggunakan istilah yang

berbeda-beda seperti istilah perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis (Pasal 1

butir 1) sedangkan Pasal 1 butir 3 menggunakan istilah perjanjian tertulis dan

perjanjian arbitrase sendiri. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) menggunakan

istilah dokumen , dalam Pasal 4 ini dapat dilihat bahwa diperlukan adanya tanda

tangan, yaitu :

(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan

diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang,

maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan

kewajiban para pihak jka hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka

(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani

oleh para pihak.

Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) tersebut berlaku secara umum baik

untuk klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri. Ketentuan tersebut

menyebut istilah dokumen. Dokumen tidak hanya berupa sesuatu yang tertulis diatas

kertas saja tetapi juga dalam bentuk file yang dibuat secara elektronik. Tanda tangan

untuk informasi elektronik juga dapat tidak berupa tanda tangan dalam pengertian

tradisional (Paustinus Siburian : 2004 : 114).

Dalam Pasal 4 dan Pasal 9, dapat di tarik kesimpulan bahwa untuk perjanjian

arbitrase yang dibuat sebelum sengketa (Pasal 4) maka perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis tersebut tidak mengharuskan dibuat dalam bentuk diatas kertas

saja, melainkan ia dapat juga berupa informasi elektronik. Sedangkan untuk perjanjian

arbitrase yang dibuat setelah sengketa tidak demikian, ia harus dibuat dalam bentuk

konvensional diatas kertas karena harus dalam bentuk akta notaris. Perjanjian

arbitrase setelah sengketa, dibedakan lagi antara arbitrase institusional dan arbitrase

ad hoc. Untuk arbitrase institusional perjanjian arbitrase tidak perlu ditandatangani

sedangkan untuk arbitrase ad hoc perjanjian tertulis yang dibuat harus ditandatangani.

Kesimpulan diatas diperkuat dengan ketentuan Pasal 62 ayat (2) dan (3) UU

Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi :

(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum

memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan

arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta tidak bertentangan

dengan kesusilaan dan ketertiban umum

(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) maka Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan

eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka

upaya hukum.

Ketentuan Pasal 62 ayat (2) diatas mensyaratkan dokumen yang harus diperiksa dalam

hal dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase. Ketentuan Pasal 62 ayat (2) dan (3)

merujuknya pada Pasal 4. Tidak ada persyaratan apakah perjanjian tertulis tersebut

harus asli atau tidak. Dengan demikian perjanjian tertulis tersebut dapat diartikan

tidak harus diatas kertas dan tanda tangan tidak harus dibuat dengan tinta diatas

Page 15: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

15

kertas. Hal ini berarti merujuk untuk perjanjian tertulis dalam arbitrase nasional dapat

berupa informasi elektronik.

Hukum acara arbitrase diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun

1999 menyatakan bahwa, “Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis,

bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”. Ketentuan

ini merupakan prinsip party autonomy yang memberi para pihak kebebasan penuh

untuk memutuskan prosedur beracara arbitrase, penggunaan arbitrase institusi

nasional atau internasional, dan pilihan hukum. Pasal 31 ayat (3), menyebutkan bahwa

“Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat

arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan”.

Selain kebebasan untuk menentukan hukum acara arbitrase, maka para pihak

juga diberi kebebasan untuk memilih apakah arbitrase akan dilaksanakan berdasarkan

peraturan hukum atau menurut kepatutan dan kebijaksanaan (ex aequo et bono).

Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun

1999 yaitu “Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan

hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan”. Dalam dunia perdagangan,

pemeriksaan arbitrase berdasarkan prinsip ex aequo et bono tampak lebih serasi dan

kecenderungan untuk mendasarkan arbitrase atas prinsip tersebut terlihat pula di

Indonesia (Sudargo Gautama : 1989 : 12).

Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan

secara tertutup (konfidensial). Sifat konfidensial inilah sebenarnya yang merupakan

nilai tertinggi bagi penyelesaian sengketa terutama bisnis melalui arbitrase disamping

sifat putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan

mengikat para pihak, serta jangka waktu yang singkat untuk mendapatkan sebuah

putusan yang final yakni selesai dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh)

hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.

Dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian putusan

arbitrase nasional yang justru disebutkan adalah pengertian putusan arbitrase

internasional. Dalam Pasal 1 angka 9 disebutkan “Putusan arbitrase internasional

adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbitrase

perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga

arbitrase atau arbitrase perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik

Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional”. Dengan menggunakan

penafsiran argumentum a contrario dapat dirumuskan pengertian putusan arbitrase

nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di wlayah hukum Republik Indonesia. Dari

rumusan itu untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan arbitrase nasional

atau internasional digunakan prinsip kewilayahan ( prinsip teritorial).

Prinsip teritorial juga dianut oleh Konvensi New York 1958 pada Pasal 1 ayat

(1) yang menyebutkan “….arbitral awards made in the territority of a state other

than the state where the recognition and enforcement of such awards are sought, and

arising out of differences between person wether physical or legal.” Ketentuan

tersebut lebih menegaskan prinsip kewilayahan, bahkan tidak melihat lagi perbedaan

mengenai status kewarganegaraan para pihak dan hukum yang digunakan. Jadi

putusan arbitrase dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing atau internasional

jika diputuskan diluar wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan

aksekusi (enforcement).

Berdasarkan uraian tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui

alternatif pennyelesaian sengketa yang meliputi negosiasi, mediasi, konsiliasi dan

Page 16: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

16

arbitrase maka menyangkut penyelesaian sengketa bisnis alternatif penyelesaian

sengketa dianggap tepat dan efisien terutama melalui arbitrase. Dimana kedudukan

arbitrase dalam penyelelesaian sengketa bisnis telah dianggap sebagai “a business

exective court” (Basuki Rekso Wibowo : 2005 :14). Martin Hunter (Sudargo Gautama

: 1989 : 12) mengemukakan bahwa secara teoritis terdapat beberapa kelebihan

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan melalui peradilan, antara lain

meliputi, (1) flexibility, (2) focusing on the main issues, (3) speed, (4) cost. Hal senada

juga dikemukakan oleh Chaterine Tay Swee Kian (Sudargo Gautama : 1989 : 12),

beberapa kelebihan cara arbitrase dibandingkan penyelesaian sengketa melalui

peradilan meliputi, (1) choice of tribunal, (2) privacy and confidentiality, (3) speed,

(4) technical expertice, (5) enforceability of award, (6) cost, (7) refresentation, (8)

flexibility of procedure, (9) extent of jurisdiction.

Selanjutnya menurut Priyatna Abdurrasyid (Priyatna Abdurrasyid : 2001 : 10)

arbitrase adalah bentuk yang paling disukai oleh kalangan bisnis untuk penyelesaian

sengketa komersialnya, hal ini antara lain karena :

1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri, dan untuk ini

tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai, memiliki integritas, kejujuran dan

profesionalisme di bidangnya masing-masing.

2. Pelaksanaan majelis arbitrase yang konfidensial, dan oleh karena itu dapat

menjamin kerahasiaan dan publisitas yang tidak dikehendaki.

3. Putusan arbitrase sesuai dengan kehendak dan niat para pihak , merupakan

putusan yang final dan mengikat para pihak terhadap sengketanya.

4. Tata cara arbitrse lebih informal dari tata cara pengadilan, oleh karena itu terbuka

untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan

damai. Sehingga memberi kesempatan yang luas untuk dapat meneruskan

hubungan komersial para pihak dikemudian hari setelah berakhirnya proses

penyelesaian sengketa

Arbitrase merupakan salah satu cara yang paling menonjol dibandingkan

dengan cara lain dalam alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi, mediasi dan

konsiliasi. Beberapa kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase meliputi ,

Pertama, para pihak berdasarkan suatu perjanjian memiliki kebebasan memilih forum,

hukum, tempat arbitrator serta bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase.

Pemilihan forum (choice of forum) menentukan penggunaan arbitrase ad hoc atau

arbitrase institusional, arbitrase nasional atau arbitrase internasional. Pemilihan

tersebut berkaitan dengan pilihan tempat arbitrase . Pilihan tempat arbitrase

merupakan persoalan penting dalam arbitrase internasioal mengingat dalam electronic

commerce dapat melibatkan pihak yang berasal dari negara yang berlainan. Pilihan

hukum ( choice of law) menentukan hukum yang diberlakukan atau diterapkan

terhadap perjanjian maupun penyelesaian sengketa. Pemilihan hukum hanya relevan

bagi perjanjian electronic commerce yang terdapat unsur asing. Para pihak memiliki

kebebasan memilih arbiter ( choice of arbitrator) yang memiliki pengetahuan,

keahlian serta pengalaman yang sesuai dengan substansi sengketa.

Kedua, pada proses arbitrase terdapat jaminan kerahasiaan persona, substansi,

proses pemeriksaan, maupun proses arbitrase sesuai dengan prinsip private and

confidencial. Prinsip ini sesuai dengan karakteristik sengketa dagang yang

menjunjung tinggi privasi pihak-pihak yang bersengketa. Prinsip ini salah satu daya

tarik penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Ketiga, proses pelaksanaan yang cepat

dalam menghasilkan putusan, dan yang Keempat sifat putusan yang final dan

mengikat.

Page 17: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

17

III. Pembahasan

A. Sikap Mahkamah Agung Dalam Yurisprudensi Berkaitan Dengan Klausula

Arbitrase Terhadap Kewenangan Pengadilan

Klausula arbitrase pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan (pasal) di

dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang

mungkin timbul atau yang sudah timbul sengketa sebagai akibat dari atau hubungan

dengan perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase. Dengan adanya klausula

arbitrase maka telah menempatkan status hukum dan kewenangan arbitrase memiliki

kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian dalam

kedudukan sebagai extra judicial berhadapan dengan kewenangan pengadilan.

Permasalahan klausula arbitrase yang berkaitan dengan kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa antara pengadilan dengan lembaga arbitrase dapat

ditunjukkan dengan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang dapat dijadikan

sebagai indikator, sebagai berikut :

1. Putusan MA No 294K/Sip/1981 tanggal 8 Pebruari 1982

Dalam putusan ini telah dinyatakan bahwa didalam perjanjian dasar basic

agreement antara pihak yaitu segala perselisihan akan diselesaikan melalui

arbitrase, maka atas dasar itu Mahkamah Agung berpendapat bahwa judex facti

tidak lagi berwenang mengadili perkara ini, karena basic agreement telah diangkat

para pihak sebagai undang-undang sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata.

2. Putusan MA No 2424K/Sip/1981 tanggal 22 Pebruari 1982

Dalam putusan ini seorang pemohon kasasi telah mengajukan keberatan antara

lain mengatakan bahwa ketentuan mengenai dewan arbitrase sebagaimana

disebabkan dalam basic agreement for joint venture telah mengikat para pihak

sebagai undang-undang (Pasal 1338 KUHPerdata). Oleh karenanya putusan judex

facti bertentangan dengan Pasal 615 Rv.

3. Putusan MA No 794K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983

Dalam putusan ini menyatakan bawa secara ex officio tanpa adanya eksepsi para

pihak, hal tersebut telah mematikan kekuasaan pengadilan atas pokok perkara (to

oust the jurisdiction of the court).

4. Putusan MA No 455K/Sip/1982 tanggal 27 Mei 1983

Dalam putusan ini dinyatakan bahwa klausula arbitrase telah mewujudkan

yurisdiksi yng bersifat absolut, akibatnya Pengadilan Negeri menjadi tidak

berwenang untuk mengadilinya, lebih lanjut ditegaskan sekiranya pihak tergugat

tidak mengajukan klausula arbitrase dimaksud sebagai eksepsi, hakim atau

pengadilan secara ex officio harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk

mengadilinya.

5. Putusan MA No 225K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983

Dalam putusan ini secara tegas telah mempertimbangkan bahwa :

a. sejak para pihak mengadakan perjanjian yang memuat klausul arbitrase, para

pihak terikat secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul kepada

lembaga arbitrase

b. kemutlakan keterikatan pada klausul arbitrase tersebut dengan sendirinya

mewujudkan kewenangan/kompetensi absolut arbitrase, para pihak terikat

secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul kepada lembaga

arbitrase

Page 18: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

18

c. Gugurnya kewenangan mutlak arbitrase dalam menyelesaikan sengketa hanya

dapat dibenarkan apabila pihak-pihak secara tegas telah sepakat menarik

kembali perjanjian arbitrase itu

Dari berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa dengan adanya klausula arbitrase maka apabila terhadap perkara

tersebut diajukan ke pengadilan maka hakim pemeriksa harus menyatakan dirinya

tidak berwenang. Pendapat atau putusan tersebut mendasarkan pada aliran yang

menentukan apabila dasar klausula arbitrase adalah “facta sunt servanda” (Sutanto :

2003 : 16 ). Bahkan dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menegaskan bahwa

ketidakwenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

memuat klausula arbitrase didasarkan pada ketentuan Pasal 134 HIR dimana hakim

karena jabatan (ex officio) harus menyatakan tidak berwenang sekalipun tidak ada

eksepsi perihal ketidakwenangan tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya mengenai penerapan klausula arbitrase ini

kemudian mengalami perubahan secara signifikan, dimana sikap Mahkamah Agung

yang sebelumnya menyatakan kekuatan klausula arbitrase sebagai kekuasaan mutlak

terhadap kewenangan pengadilan mengalami perubahan haluan sebagaimana terlihat

dalam Putusan MA No 1951K/Sip/Pdt/1984 tanggal 24 Desember 1985. Perkara

tersebut adalah mengenai sengketa jual beli tractor antara PT. Pulau Intan Cemerlang

dengan PT. United Tractor yang dalam kontrak jual belinya terdapat klausula

arbitrase. Mahkamah Agung memutuskan bahwa “meskipun dalam suatu perjanjian

para pihak telah bersepakat satu sama lain yang isi kesepakatannya kemudian

dituangkan dalam perjanjian untuk menyerahkan penyelesaiannya melalui badan

arbitrase namun ketentuan perjanjian ini tidak berlaku mutlak”. Putusan ini

mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 AB yang menyebutkan bahwa hakim yang

menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya tidak jelas atau tidak

lengkap dapat dituntut karena menolak untuk mengadili. Berdasarkan putusan ini

maka sikap Mahkamah Agung berubah haluan dari aliran klausula arbitrase facta sunt

servanda kepada aliran klausula arbitrase Bukan Publik Orde (Sutanto : 2003 : 17 ).

Sikap Mahkamah Agung kemudian mengalami perubahan lagi pada tahun

1988, sebagaimana terlihat dalam Putusan MA No 3197K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei

1988 kasus antara PT. Arpeni Pratama Ocean Line dengan PT. Shorea Mas. Isi

putusan MA adalah “apabila dalam perjanjian memuat klausula arbitrase, pengadilan

negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam Konvensi

maupun Rekonvensi”. Putusan MA ini menunjukan perubahan kembali lagi sikap

Mahkamah Agung kepada aliran facta sunt servanda yaitu semua persetujuan yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,

oleh karena itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith) sebagaimana

ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, sehingga setiap perjanjian yang mencantumkan

klausula arbitrase adalah kewenangan mutlak dari arbiter.

Sikap Mahkamah Agung terlihat kurang konsisten berkaitan dengan

kedudukan klausula arbitrase terhadap kewenangan pengadilan atau arbiter, yang

tercermin dalam beberapa putusannya. Putusan demikian pada dasarnya tidak

mengikat bagi hakim untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan – putusan yang

sebelumnya yang dijatuhkan oleh hakim yang lebih tinggi dalam perkara sejenis

karena Indonesia tidak menganut azas the binding force of precedent ( Bambang

Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari : 2005 : 66).

Page 19: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

19

B. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase Dalam Klausula Arbitrase Terhadap

Kompetensi Absolut Pengadilan.

Masalah awal terhadap konsekuensi pilihan forum arbitrase oleh para pihak

yang tertuang dalam klausula arbitrase adalah masalah yurisdiksi. Yurisdiksi mengacu

pada kewenangan, sedangkan forum mengacu pada lembaga atau badan tempat suatu

sengketa diperiksa dan diadili (Setiawan : 2003 : 107).

Sebagaimana dipahami arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa

diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbirase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Mengenai masalah kesepakatan diantara

para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase ini diatur dalam Pasal 4

UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

bahwa persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam

suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

Dengan adanya klausula arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa (acta kompromi) atau kesepakatan yang dibuat sebelum timbul sengketa

(pactum decompromittendo) akan meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri (Pengadilan Niaga) dan Pengadilan

Negeri (Pengadilan Niaga) wajib menolak/tidak akan ikut campur tangan. Hal in

ditentukan secara tegas dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam

perjanjian arbitrase”. Ketentuan demikian semestinya menjadi pegangan yang

konsisten bagi para pihak yang memilih jalur arbitrase ( Hartini Mochtar Kasran :

2000 : 8).

Walaupun pengadilan berkewajiban menolak dan tidak akan ikut campur

tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan dengan jelas melalui

arbitrase akan tetapi pada dasarnya hakim pengadilan tidak dapat menyatakan secara

langsung penolakan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, tanpa ada

pemeriksaan lebih dulu, karena prinsipnya hakim tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan

apapun. Hal ini secara implisit diakui dan dinyatakan dalam Artikel II ayat (3)

Konvensi New York (Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan-

Keputusan Arbitrase Luar Negeri) dimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi

tersebut melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang bunyinya sebagai berikut ; “The

court of the contracting state, when seized of in action in a matter in respect of which

the praties have made an agreement within the meaning of this article, shall at the

requestof one of the parties, rever th parties to arbitration, unless it finds that the said

agreement is null and void, inoverative or incapable of being fermormed” (Sudargo

Gautama : 1979 : 188). Dari ketentuan ini maka dapat diketahui maka pengadilan

tidak secara otomatis akan menolak untuk mengadili suatu sengketa dimana

sebelumnya telah diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul melalui

arbitrase, kecuali pengadilan menemukan bahwa perjanjian atau kontrak tersebut null

and void, inoveratif or incapable of being performed.

Menurut Frans Liemena, null and void mengandung pengertian bawasuatu

perjanjian arbitrase dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak ada pada saat dibuatnya

perjanjian mialnya para pihak sepenuhnya belum sepakat dengan klausula arbitrase,

atau pencantuman klausula arbitrase dilakukan karena salah duga atau salah

menafsirkan. Inoveratif maksudnya bahwa para pihak telah mencabut atau

membatalkan klausula arbitrase. Sedangkan incapable of being performed diartikan

Page 20: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

20

bahwa perjanjian arbitrase tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena kurang jelas

atau hanya dibuat sebagai formalitas saja (Frans Liemina : 1988 : 189).

Dengan demikian keadaan tidak berwenangnya hakim pengadilan untuk

memeriksa sengketa yang timbul dari suatu kontrak atau perjanjian yang

mencantumkan klausula arbitrase tidak mutlak sama sekali. Artinya pada suatu ketika

hakim pengadilan akan berwenang atau berkompeten unuk memeriksa sengketa yang

terjadi dalam hal-hal sebagai berikut (Eman Suparman : 2004 : 107) :

1. Apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan forum

2. Apabila sengketa yang timbul secara tegas mencabut klausula diluar substansi

kontrak

3. Putusan yang dijatuhkan diluar kewenangan forum arbitrase atau bertentangan

dengan undang-undang atau peraturan yag berlaku, sehingga hakim

menganggap kausanya tidak halal.

C. Penyelesaian Sengketa Kepailitan yang Dalam Perjanjiannya Terdapat

Klausula Arbitrase

Pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan kepailitan

adalah Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam Pasal 280 – 289 Undang-Undang

Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 kemudian diatur lebih lanjut undang-undang

kepailitan yang baru UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang yang diatur mulai Pasal 299-302 dan juga menyebar di

berbagai pasal lainnya serta penyebutan istilah di undang-undang ini cukup dengan

kata-kata “Pengadilan” saja tanpa ada kata “Niaga” hal ini dengan merujuk pada

bunyi Pasal 1 poin (7) UUK PKPU bahwa pengadilan adalah pengadilan niaga dalam

lingkungan peradilan umum.

Permohonan kepailitan yang dapat diajukan ke Pengadilan Niaga harus

memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun

2004 yaitu :

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih

c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya

Jika syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut telah terpenuhi maka

kreditur atau beberapa orang kreditur dapat mengajukan permohonan kepailitan pada

Pengadilan Niaga. Kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan sengketa

kepailitan bersifat mutlak karena bersandar pada amanah undang-undang. Satu-

satunya pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa kepailitan di Indonesia

adalah Pengadilan Niaga.

Ketika seseorang atau badan usaha melakukan suatu hubungan dengan mitra

usahanya yang diawali dengan sebuah kontrak atau perjanjian yang mengatur semua

hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk diatur juga mengenai cara

penyelesaiannya apabila dikemudian hari timbul masalah atau sengketa berkaitan

dengan isi perjanjian, apakah akan diselesaikan melalui pengadilan atau diluar

pengadilan dengan mengangkat/menunjuk pihak ketiga sebagai juru damai atau

wasit/arbiter. Pilihan ini sebaiknya ditetapkan secara tegas dalam perjanjian. Apabila

sudah mencantumkan pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase

sebagaimana tertuang dalam klausula arbitrase. Dengan adanya klausula arbitrase

maka pengadilan menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut,

Page 21: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

21

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif

Penyelesaian Sengketa. Konflik akan muncul dalam hal sengketa kepailitan antara

debitur yang punya utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih berhenti

membayar/tidak dapat membayar utangnya pada kreditur dan kreditur membuat

permohonan pailit pada pengadilan niaga, dimana dalam perjanjian antara mereka

terdapat klausula arbitrase yang secara tegas menyatakan tentang pilihan penyelesaian

sengketa akan diserahkan melalui badan arbitrase. Jika dikaji dari dasar hukum yang

melandasi maka akan ada dua undang-undang yang terkait dengan permasalahan ini

yaitu apakah para pihak tunduk pada ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999 karena

dengan klausula arbitrase maka penyelesaian sengketa mutlak harus diserahkan pada

arbiter (Pasal 3 jo Pasal 11) ataukah tunduk pada ketentuan UU Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang

mengatur kewenangan mutlak pengadilan niaga untuk menyelesaikan sengketa

kepailitan.

Kedua undang-undang tersebut diatas sama – sama memiliki kewenangan

yang bersifat mutlak/absolut untuk menyelesaikan sengketa kepailitan yang

mengandung klausula arbitrase, disatu sisi pengadilan niaga berwenang karena

sengketa kepailitannya sedangkan disisi lain arbiter berwenang karena adanya

klausula arbitrase.

Kewenangan dalam penyelesaian suatu sengketa tentunya harus mengikuti

ketentuan atau aturan hukum yang sesuai dengan berlakunya asas peraturan

perundangan. Ada enam asas yang mengatur berkaitan dengan hal ini ( Rahayu

Hartini : 2009 : 116), yaitu :

a. Undang-undang tidak berlaku surut

b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi pula

c. Undang-undang yang berlaku khusus mengenyampingkan undang-undang

yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).

d. Undang-undang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang

berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori).

e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai

kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui

pembaharuan dan pelestarian ( asas welfarestaat).

Bila merujuk pada berlakunya asas perundang-undangan “lex specialis

derogat lex generalis” maka mana yang dianggap sebagai peraturan yang khusus yang

dapat mengesampingkan berlakunya peraturan yang umum diantara UUK PKPU dan

UU Arbitrase. Penyelesaian melalui Pengadilan Niaga atau diluar pengadilan

(arbitrase).

Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausul arbitrase, apakah bisa

dikesampingkan oleh para pihak. Untuk itu ada teori hukum yang mengatur yaitu

(Sutanto : 2003 : 15) :

a. Aliran yang menyatakan bahwa klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase bukan

public policy. Aliran ini menegaskan walaupun ada klausul arbitrase, pengadilan

tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan karena

klausul arbitrase bukan openbare orde.

b. Aliran yang menekankan asas pacta sunt servanda pada kekuatan klausul atau

perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan klausul atau perjanjian arbitrase

mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan

bersama para pihak yag tegas untuk itu.

Page 22: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

22

Kedua aliran ini pernah diterapkan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang

mengandung klausula arbitrase seperti terlihat dalam Putusan MA No

1951K/Sip/Pdt/1984 tanggal 24 Desember 1985 (aliran klausula arbitrase bukan

public policy) dan Putusan MA No 225K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983

(aliran yang menekankan asas pacta sunt servanda).

Kewenangan arbitrase menyelesaikan sengketa sebagai extra judicial lahir

berdasarkan klausula arbitrase, sedangkan kewenangan Pengadilan Niaga sebagai

extra ordinary yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan

mengadili penyelesaian kepailitan lahir berdasarkan ketentuan undang-undang (Eman

Suparman : 2004 : 113-114).

Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 tidak mengatur secara tegas

tentang siapa berwenang menyelesaikan sengketa kepailitan dengan klausula

arbitrase. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai penafsiran yang dilakukan oleh

hakim, sebagaimana yang terjadi pada kasus PT. Environmental Network Indonesia

(PT Enindo). Karena tidak adanya kejelasan maka kasus ini terdapat beberapa

putusan yang berbeda antara Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung (Kasasi) dan

putusan Peninjauan Kembali. Dimana putusan Pengadilan Niaga menyatakan tidak

berwenang memeriksa dan memutus sengketa kepailitan yang terdapat klausula

arbitrase, sedangkan Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi kemudian menyatakan

pengadilan berwenang, dan dilanjutkan oleh putusan Peninjauan Kembali yang

menegaskan kembali bahwa pengadilan tidak berwenang.

Undang-Undang Kepailitan yang baru yaitu UU Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberikan

jawaban secara tegas berkaitan dengan penyelesaian sengketa kepailitan dengan

klausula arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 303 yaitu bahwa “pengadilan tetap

berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para

pihak yang terkait perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang

menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1)

undang-undang ini”. Unsur Pasal 2 ayat (1) dimaksud adalah :

d. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

e. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih

f. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa pengadilan

niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit

dari pihak, sekalipun terdapat klausul arbitrase dalam perjanjian utang piutang yang

mereka buat. Ketentuan Pasal 303 UUK PKPU memberikan jawaban atas

ketidakjelasan permasalahan sengketa kepailitan yang mengandung klausul arbitrase

yang diatur dalam UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998.

Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 303 UUK PKPU maka tidak

ada lagi ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam penerapan hukum sebagai dasar

pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kepailitan yang mencantumkan

klausul arbitrase dalam perjanjiannya.

Makna sebaliknya dari Pasal 303 UUK PKPU adalah sepanjang unsur Pasal 2

ayat (1) tidak terpenuhi, maka penyelesaian sengketa kepailitan yang mengandung

klausul arbitrase menjadi kewenangan mutlak arbiter. Hal ini karena Pasal 303

menyandarkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutus segketa

kepailitan yang terdapat klausul arbitrase pada terpenuhinya unsur Pasal 2 ayat (1)

sebagai pemenuhan unsur syarat permohonan kepailitan di Pengadilan Niaga.

Page 23: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

23

Kewenangan absolut arbitrase menyelesaikan sengketa dalam kedudukannya

sebagai extra judicial yang lahir berdasarkan klausula arbitrase, tidak dapat

mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga sebagai extra ordinary yang secara

khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian kepailitan

lahir berdasarkan ketentuan undang-undang.

Sehingga dapat dikatakan dalam persoalan penyelesaian sengketa kepailitan

yang mengandung klausula arbitrase dan memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) UUK

PKPU maka kedudukan UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berlaku sebagai hukum khusus (lex

specialis) sementara UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternati

Penyelesaian Sengketa berlaku sebagai hukum umum (lex generalis).

IV. Simpulan

1. Penyelesaian sengketa kepailitan yang dalam perjanjiannya memuat klausula

arbitrase adalah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga jika utang yang

menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi unsur Pasal 2

ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.Unsur yang dimaksud adalah :

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat

ditagih

c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih

krediturnya

2. Jika unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak terpenuhi

maka penyelesaian sengketa kepailitan yang dalam perjanjiannya memuat

klausula arbitrase adalah menjadi kewenangan mutlak arbiter sesuai dengan

perjanjian yang dibuat para pihak.

V. Saran

Sebaiknya dalam hal membuat sebuah kesepakatan antara para pihak

mengenai tata cara penyelesaian suatu perselisihan baik yang timbul kemudian

atau yang sudah timbul diatur secara tegas dalam perjanjian tentang pilihan

penyelesaian apakah melalui jalur pengadilan ataukah melalui bantuan pihak

ketiga/wasit/arbiter, sehingga tercipta kepastian bagi kedua belah pihak.

Daftar Pustaka

a. Buku

Abdurrasyid, Priyatna. 2001. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta

:BPHN

Gautama, Sudargo. 1989. Perkembangan Arbitrase Dagang Interasional di Indonesia.

Bandung : Eresco.

Hartini, Rahayu. 2003. Hukum Kepailitan. Cetakan Pertama. Malang : Bayu Media

Page 24: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

24

--------. 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia (Dualisme Kewenangan

Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta : Kencana Prenada Media

Group

Siburian, Paustinus. 2004. Arbitrase Online : Alternatif Penyelesaian Sengketa

Elektronik. Jakarta : Djambatan

Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk

Keadilan. Jakarta : PT. Tata Nusa

Suryana, Daniel.2007. Hukum Kepailitan. Cet. I. Bandung : Pustaka Sutra

Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia . Cet. I. Yogyakarta : UII Press

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2000. Kepailitan, Seri Hukum Bisnis. Cetakan

Kedua. Jakarta : RajaGrafindo Persada

b. Artikel dan Makalah

Harahap, M. Yahya. 1990. Penerapan Klausula Arbitrase dan Pelaksanaan Putusan

Abitrase Dalam dan Luar Negeri di Indonesia. “Varia Peradilan”. Tahun IV No

37. Jakarta : IKAHI

Hartini, Rahayu. 2004. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Perkara

Kepailitan yang Berklausula Abitrase. “Pusat Lembaga Penelitian”. Malang

Kasran, Hartini Moctar. 2000. UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS.

Makalah Seminar tentang Arbitrase dan E – Commerce. Tanggal 6 Sepetember

2000

Liemina, Frans.1999. Klausula Arbitrase Dihubungkan Dengan Kompetensi

Pengadilan. “Varia Peradilan” Tahun III No. 29 Tahun 1999 . Jakarta :

IKAHI.

Setiawan. 2003. Beberapa Catatan Hukum Tentang Klausula Arbitrase. “Proceeding”

Pusat Kajian Hukum Mahkamah Agung RI

Sutanto.2003. Perkembangan Penerapan Klausula Arbitrase Dalam Hubungannya

Dengan Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri. “Varia Perlindungan

Konsumen” Edisi Sep-Okt. YLKI

Wibowo, Basuki Rekso. “Menyelesaikan Sengketa Bisnis Diluar Pengadilan”. Orasi

Ilmiah pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Airlangga tanggal 17 Desember 2005

c. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan

Page 25: PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN - ULM

25

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang