Transcript
Page 1: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

Seadasdadasdfsdf

Pasien dengan Wajah Pucat dan Kelelahandengan Splenomegali serta

Konjungtiva Anemis dan Sklera IkterikBlok 24 – Semester 6 – Tahun Ajaran 2013/2014

Alfonso - 102011236/D1

Abstrak

Destruksi prematur dari eritrosit akibat adanya antibodi patologis yang menempel

pada eritrosit dan menyebabkan lisinya eritrosit disebut juga dengan anemia hemolitik

autoimun. Anemia hemolitik autoimun dapat dikelompokkan berdasarkan jenis antibodi yang

timbul dapat dikelompokkan kedalam autoantibodi, alloantibodi dan antibodi terkait dengan

obat-obatan. Sekitar 20% dari kasus anemia hemolitik terjadi akibat adanya konsumsi obat-

obatan. Kasus ini dapat timbul pada rentang umur yang luas, tetapi sering muncul pada

individu pada usia pertengahan keatas.1-4

Kata kunci: anemia, hemolitik, autoimun, autoantibodi, alloantibodi

Abstract

Premature destruction of erythrocytes as the result of attachment of pathologic

antibodies to erythrocytes that lead to hemolysis of red blood cell is called autoimmune

hemolysis anemia. The immune hemolytic anemias can be grouped according to the presence

of autoantibodies, alloantibodies or drug-related antibodies. Approximately 20% of acquired

immune hemolytic anemias (AIHA) are related to drug therapy. These cases can occur in

persons of any age, but more likely to occur in middle-aged and older individuals.1-4

Keyword: anemia, hemolytic, autoimmune, autoantibodies, alloantibodies

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universtas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510

[email protected]

1

Page 2: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

PENDAHULUAN

Destruksi prematur dari eritrosit akibat adanya antibodi patologis yang menempel

pada eritrosit dan menyebabkan lisinya eritrosit disebut juga dengan anemia hemolitik

autoimun. Anemia hemolitik autoimun dapat dikelompokkan berdasarkan jenis antibodi yang

timbul dapat dikelompokkan kedalam autoantibodi, alloantibodi dan antibodi terkait dengan

obat-obatan. Sekitar 20% dari kasus anemia hemolitik terjadi akibat adanya konsumsi obat-

obatan. Kasus ini dapat timbul pada rentang umur yang luas, tetapi sering muncul pada

individu pada usia pertengahan keatas.1-5

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah agar pembacanya dapat mengerti tentang

Anemia Hemolitik Autoimun secara umum serta kaitan Anemia Hemolitik Autoimun dalam

anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, serta penegakkan working dan differential

diagnosis dari Anemia Hemolitik Autoimun. Juga akan dibahas tentang etiologi,

epidemiologi, patofisiologi, penatalaksanaan, prognosis serta komplikasi dari Anemia

Hemolitik Autoimun.

PEMBAHASAN ISI

Seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3 minggu

yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah,

serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi.

Anamnesis

Anamnesis pasien dilakukan secara auto-anamnesis kepada pasien itu sendiri. Hal-hal

yang perlu ditanyakan saat anamnesis adalah keluhan utama pasien, keluhan penyerta, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga. Diketahui pada

skenario bahwa pasien mengeluh mudah lelah sejak 3 minggu belakangan. Gejala yang

muncul pada anemia hemolitik memiliki rentang yang luas, akan tetapi merupakan gejala

anemia pada umumnya. Gejala ini bervariasi tergantung dari mekanisme kompensasi yang

terjadi pada anemia yang lama, pengobatan sebelumnya dan penyakit yang mendasari

terjadinya anemia. Pasien dengan anemia ringan biasanya tidak memiliki keluhan dan adanya

hemolisis diketahui saat pemeriksaan laboratorium secara tidak sengaja.4

Takikardia, dispnea, angina dan lemas dapat muncul pada pasien dengan anemia yang

merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah, hal

ini terjadi karena sensitivitas fungsi jantung pada anoxia. Sedangkan hemolisis yang terus-

2

Page 3: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

menerus dapat berujung pada pembentukan batu empedu bilirubin yang dapat bermanifestasi

sebagai nyeri abdominal. Warna kulit kecoklatan dapat timbul akibat hematosiderosis yang

terjadi akibat kelebihan zat besi pada pasien akibat transfusi yang berlebih. Sedangkan urin

yang gelap dapat terjadi akibat hemoglobinuria.4

Selain itu juga dapat ditanyakan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan

hemolisis seperti penilisin, quinin, quinidin dan metildopa utnuk menyingkirkan diagnosis

banding dengan drug-induced hemolytic anemia.4

Pemeriksaan Fisik

Pada hasil pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak pucat dengan konjungtiva

anemis ODS, sklera ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II.

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan anemia hemolitik dapat menimbulkan gejala

dan tanda-tanda anemia, komplikasi dari hemolisis dan gejala-gejala lain yang merupakan

bagian dari gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia itu sendiri. Pasien tampak pucat

secara umum dengan konjungtiva dan kuku tangan yang pucat mengindikasikan anemia akan

tetapi bukan merupakan gejala yang spesifik untuk anemia hemolitik. Terlebih anemia

hemolitik autoimun. Jaundice dapat timbul akibat adanya peningkatan bilirubin indirek akibat

hemolisis. Peningkatannya tidak spesifik untuk gangguan hemolisis karena juga dapat timbul

pada penyakit hati dan obstruksi bilier. Biasanya pada anemia hemolitik, peningkatan

bilirubin jarang melebihi 3 mg/dL, kecuali dengan adanya komplikasi penyakit hati atau

kolelitiasis.4

Splenomegali dapat muncul pada anemia hemolitik, akan tetapi juga dapat muncul

pada sferositotis herediter, akan tetapi tidak muncul pada G6PD. Nyeri pada kuadran kanan

atas pasien dapat timbul akibat adanya kolelitiasis akibat pemecahan eritrosit berlebih.

Takikardia dan dispnea timbul pada anemia yang berat serta angina dan gagal jantung dapat

timbul pada pasien yang telah memiliki penyakit jantung sebelumnya.4

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30

pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc, Trombosit 230.000 per mikroliter

dan Retikulosit 6%. Sedangkan nilai normalnya adalah Hb diatas 11 gr/dL, Ht 35-38%, MCH

25-35 pg/cell, MCV 78-101 fL, MCHC 31-35 g/dL, Leukosit 4500-10.000 sel/cc dan

Trombosit 150.000-450.000 per mikroliter.5

3

Page 4: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

Complete Blood Count dan Peripheral Blood Smear. Dapat mendeteksi anemia,

pansitopenia dan infeksi. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit serta retikulositosis

merupakan parameter yang ditemukan pada anemia. Disamping itu, RDW juga dapat

dilakukan yang dapat menemukan anisositosis yang ditemukan pada anemia hemolitik.

Retikulositosis terjadi akibat kompensasi peningkatan pembentukan eritrosit, yang merupakan

salah satu indikator adanya anemia hemolitik, akan tetapi tidak spesifik untuk hemolisis.

Pengambilan sampel dilakukan dan dijaga agar sampel tetap pada suhu 37 derajat Celcius

yang dapat didapatkan dengan pengambilan darah vena dicampurkan dengan EDTA

kemudian ditaruh didalam gelas beaker berisi air 37 derajat Celcius. Apabila sampel akan

dikirimkan ke tempat lain, lebih baik sampel dikirim dalam bentuk terpisah yakni serum dan

whole blood yang ditambahkan ACD atau CPD dikirim secara terpisah dalam suhu 37 derajat

Celcius. Sedangkan apusan darah tepi dapat membantu untuk menentukan adanya hemolisis

yang didasari oleh keganasan. Pada anemia hemolitik dapat ditemukan adanya sferosit. Pada

defisiensi G6PD dapat ditemukan Heinz bodies. Dan pada sickle cell anemia dapat ditemukan

gambaran sickle cell pada apusan darah tepi.1,4,5

Serum Lactate Dehydrogenase dan Serum Haptoglobin. Kenaikan serum LDH

merupakan suatu kriteria adanya hemolisis dan sensitif untuk hemolisis walaupun tidak

spesifik karena juga dapat naik pada pasien dengan infark miokard. Penurunan serum

haptoglobin dapat menjadi salah satu penanda adanya hemolisis. Akan tetapi, serum

haptoglobin merupakan reaktan fase akut yang juga dapat meningkat pada penyakit-penyakit

infeksi, yang juga kadarnya bergantung pada fungsi hepar dan stress sistemik.1,4

Indirect Billirubin. Bilirubin yang tak terkonjugasi merupakan suatu kriteria adanya

hemolisis, akan tetapi tidak spesifik karena juga dapat meningkat pada penyakit lain seperti

Gilbert Disease. Pada anemia hemolisis biasanya peningkatan tidak melebihi dari 3 mg/dL.

Apabila terdapat peningkatan melebihi angka diatas dapat diduga akibat adanya komplikasi

penyerta seperti fungsi hepar dan kolelitiasis.4

Direct Antiglobulin (Coombs) Test. Adanya tampilan sel darah merah dengan

permukaan yang berikatan dengan immuno-globulin atau fiksasi komplemen dapat mendu-

kung diagnosis anemia hemolitik autoimun. Dasar dari uji ini adalah adanya aglutinasi pada

sel darah merah yang berlapis dengan immunoglobulin, komplemen atau keduanya. Antisera

dengan immunoglobulin manusia reaktif dan/atau komplemen ditambahkan kedalam suspensi

sel darah merah yang tidak diketahui ada-tidaknya ikatan dengan immunoglobulin. Untuk

4

Page 5: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

kasus ini, antiglobulin reagen

spesifik untuk IgG, IgM, IgA,

C3c dan C3d dapat digunakan.

Sampel yang digunakan adalah

darah EDTA dan sampel dicuci

terlebih dahulu dengan air salin

(9 g/L NaCl yang dibuffer

hingga pH 7.0, dengan suhu 37

derajat Celcius) untuk

menghilangkan antibodi yang

tidak menempel pada eritrosit.

Suspensi 2-5% sel darah merah

yang telah dicuci 4 kali pada

salin dibuat. Kemudian satu

tetes dari suspensi ini

ditambahkan dua tetes dari

reagen antiglobulin. Kemudian

disentrifugasi kembali selama

10-60 detik dengan kecepatan 1000 putaran per menit. Sentrifugasi dilakukan untuk

mempercepat proses aglutinasi. Apabila positif, akan ditemukan gumpalan yang dapat dilihat

pada latar terang atau pada mikroskop dengan tenaga yang lemah sehingga tidak terlalu

terang.1,5 Hasil DAT dapat positif pada5:

1. Adanya autoantibodi pada eritrosit dengan atau tanpa anemia hemolitik

2. Adanya alloantibodi pada permukaan sel darah merah seperti pada

inkompatibilitas ABO dan haemolytic disease of newborn

3. Antibodi yang muncul akibat obat-obatan

4. Adanya globulin normal yang teradsorpsi oleh permukaan sel darah merah akibat

konsumsi obat-obatan (terutama sefalosporin)

5. Adanya komplemen pada permukaan sel darah merah

6. Infus pasif alloantbodi di plasma donor atau derivatnya yang kemudian bereaksi

dengan sel darah merah resipien

7. Pemberian anti-D pada pasien dengan autoimun TTP

5

Sumber: Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D, et al, editor. Wintrobe’s clinical hematology. 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.961.

Gambar 1. Algoritma Interpretasi Uji Coombs

Page 6: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

8. Antibodi yang terbentuk dari limfosit penumpang pada transplantasi baik organ

maupun sumsum tulang

9. Reaksi silang antara antibodi antifosfolipid yang menempel pada membran sel

darah merah yang kemudian berikatan dengan epitop fosfolipid dependen

10. Positif palsu yang dapat terjadi apabila pemeriksaan dilakukan pada penggunaan

bahan dasar gel silika untuk gelas dasar uji Coombs

Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coombs Test). Sekitar 80% dari pasien AIHA

memiliki autoantibodi pada serum yang juga terdapat pada permukaan sel darah merah.

Antibodi pada serum atau plasma dan antibodi yang terdapat pada plasma dapat dideteksi

dengan uji Coombs indirek. Berbeda dengan uji Coombs direk yang menggunakan eritrosit

pasien dengan serum reagen, uji Coombs indirek menguji serum pasien dengan reagen

eritrosit.1

Differential Diagnosis

Anemia Defisiensi Glucose 6-Phosphate Dehydrogenase. Merupakan suatu penyakit

genetik dengan mutasi pada Xq28 yang bermanifestasi dengan adanya jaundice pada neonatus

dengan riwayat dilakukannya transfusi tukar. Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemia dan

kadang (amat jarang) ditemukan splenomegali. Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku

emas untuk penyakit ini adalah aktivitas enzim G6PD (menurun). Selain itu juga dapat

dilakukan CBC untuk melihat retikulosit (meningkat), bilirubin indirek (meningkat) dan

serum haptoglobin (menurun). Selain itu pada apusan darah tepi dapat ditemukan Heinz

bodies yang merupakan hemoglobin yang terdenaturisasi.6

Sickle Cell Anemia. Dikarakteristikkan dengan pergantian satu asam amino pada beta

globin (pergantian asam glutamat menjadi

valin pada residu keenam) yang kemudian

memproduksi suatu molekul dengan

penurunan kelarutan oksigen dalam

darah. Walau anemia dan hemolisis dapat

muncul, akan tetapi gejala mayor yang

dapat timbul adalah vasooklusi dari

bentuk bulan sabit oleh eritrosit. Infark

multi organ dapat terjadi terutama pada

paru (hipertensi pulmonal), tulang

6

Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewis SM, editor. Practical haematology. 11th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2013.p.77.

Gambar 3. Sickle Cell pada apusan darah tepi

Page 7: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

(nekrosis avaskular terutama pada caput femoris dan caput humerus), limpa (pembesaran

yang cepat dengan peningkatan angka retilukosit), retina (retinitis proliferatif), otak (stroke)

dan organ-organ lain. Anemia dan hemolisis bukan merupakan gejala yang utama.

Pemeriksaan yang menjadi baku emas adalah skrining HbS dan morfologi darah tepi yang

dapat ditemukan adanya gambaran eritrosit menyerupai bulan sabit dan eritrosit normositik

normokrom dengan leukositosis dan trombositosis.1,7,8

Drug-Induced Anemia. Akibat adanya hapten yang melibatkan antibodi tergantung

obat, pembentukan kompleks ternary, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit

tanpa ada lagi obat pemicu serta oksidasi hemoblogin, akan menyebabkan uji Coombs positif

tanpa adanya kerusakan eritrosit. Obat yang menginduksi pembentukan autoantibodi antara

lain metildopa, kinin, kuinidin, sulfonilurea dan tiazid serta analog purin seperti fludarabine,

cladribine dan pentostatin.Tanda hemolisis dapat dilihat terutama Heinz bodies, blister cell,

bites cell dan eccentrocytes. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia,

retikulosis, MCV tinggi, uji Coombs positif, leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia

dan juga hemoglobinuria.1,9

Hereditary Spherocytosis. Merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan

gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Hal ini

terjadi akibat defek protein

pembentuk membran eritrosit,

akibat defisiensi spectrin, ankryn,

dan/atau protein pita 3 atau protein

pita 4.2. Gejala klinis meliputi

anemia, splenomegali dan ikterus.

Pada pemeriksaan sumsum tulang

dapat ditemukan hiperplasia sel

eritroid sebagai kompensasi

destruksi sel eritrosit terjadi melalui

perluasan sumsum merah ke bagian

tengah tulang panjang. Pada

pemeriksaan mikroskopik dapat

ditemukan sel eritrosit yang kecil

berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat dengan diameter yang lebih kecil dan

7

Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewis SM, editor. Practical haematology. 11th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2013.p.77.

Gambar 3. Sferositosis pada apusan darah tepi

Page 8: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

adanya fragilitas osmotik. Hitung MCV yang normal atau sedikit menurun dan MCHC yang

meningkat. Dapat juga ditemukan peningkatan katabolisme pigmen dan hiperplasia eritroid

serta retikulositosis. Pada sferositosis herediter yang merupakan penyakit anemia hemolitik

non-imun, didapatkan uji Coombs negatif.2,10

Hemorrhagic-Induced Anemia. Merupakan anemia akibat kehilangan darah dari

sirkulasi baik eksternal maupun internal menuju ke ruang-ruang tubuh seperti peritoneum.

Individu sehat dapat mengkompensasi kehilangan darah hingga 20% dari seluruh total darah

yang beredar. Dan gejala yang timbul adalah akibat hipovolemia. Setelah beberapa hari darah

dapat kembali ke sirkulasi akibat infusi cairan ke dalam tubuh dan anemia dapat menjadi

gejala yang timbul. Awalnya adalah peningkatan kadar trombosit yang timbul pada jam

pertama, dan kemudian timbul leukositosis neutrofilik dengan shifting to the left yang timbul

menjadi maksimal pada 2-5 jam. Hb dan Ht turun 2 hingga 3 hari kemudian. Anemia yang

timbul adalah anemia normokromik normositik dengan MCV dan MCHC normal disertai

dengan anisositosis dan poikilositosis. Akan tetapi kemudian dapat meningkatkan sekresi

eritropoetin yang kemudian menstimulasi proliferasi eritroid pada sumsum tulang dan

retikulosit mencapai darah dalam 3-5 hari (meningkat). Pada periode ini akan terdapat

makrositosis transien yang ditandai dengan peningkatan MCV, polikromasia dan normoblas.

Leukosit kembali normal dalam 2-4 hari dan eritrosit lebih lambat lagi. Akan tetapi pada

Anemia Hemorragic Chronic kadar retikulosit dapat normal atau meningkat sedikit dan

menjadi gejala anemia defisiensi besi. Perdarahan merupakan suatu penyebab anemia yang

kemudian dapat bermanifestasi sebagai Anemia Defisiensi Besi. Gejala klinis yang dapat

timbul adalah spoon nail, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa gaster

dan keinginan untuk menelan benda-benda yang tidak lazim merupakan gejala khas defisiensi

besi. Ditambah dengan gejala anemia umum seperti lemas, lesu, tinnitus dan berkunang-

kunang. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan penurunan kadar Hb dan Ht dengan

gambaran apusan darah tepi berupa hipokromik mikrositer anisositosis dan poikilositosis.

Serum besi akan menurun dibawah 50 mikrogram/dL, TIBC meningkat diatas 350

mikrogram/dL dan saturasi transferin menurun dibawah 15% dengan feritin serum dibawah

20 mg/dL. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat ditemukan hiperplasia normoblastik

ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.2,11

Working Diagnosis

8

Page 9: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

Pada kasus didapatkan seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah

lelah sejak 3 minggu yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan

demam, mual, muntah, serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat dengan konjungtiva anemis ODS, sklera

ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar

Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30 pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc,

Trombosit 230.000 per mikroliter dan Retikulosit 6%. Sedangkan pemeriksaan penunjang

diagnostik seperti Coombs Test dan bilirubin indirek belum dilakukan. Dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami

Anemia Hemolitik Autoimun.

Gambaran Umum Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

Anemia hemolitik auto-

imun merupakan suatu kelainan

dimana terdapat antibodi

terhadap sel-sel eritrosit

sehingga umur eritrosit menjadi

memendek. Maka, dari definisi

tersebut, baik antibodi patologis

dan eritrosit yang lisis harus

ada di setiap kasusnya. Kondisi

ini dapat dibedakan

berdasarkan karakteristik

aktivitas antibodi ini pada

temperatur yang berbeda.

Antibodi yang aktif pada

suasana dingin hanya memiliki sedikit aktivitas pada suhu tubuh, akan tetapi afinitas akan

meningkat apabila suhu tubuh menjadi semakin mendekat 0 derajat Celcius. Berkebalikan

pada tipe hangat yang memiliki afinitas paling baik pada suhu tubuh (sekitar 37 derajat

Celcius).1,9

Antibodi tipe dingin biasanya adalah IgM, yang merupakan fixed complement dan

berujung pada destruksi eritrosit intravaskular dengan segera. Berkebalikan dengan IgG yang

meurpakan IgG, yang bisa jadi bukan merupakan fixed complement dan berujung pada

9

Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewis SM, editor. Practical haematology. 11th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2013.p.77.

Gambar 5. Anemia hemolitik pada apusan darah tepi

Page 10: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

kehilangan eritrosit akibat destruksi oleh limpa atau sensitisasi sel. Biasanya satu pasien dapat

memiliki baik antibodi tipe dingin maupun tipe hangat.1

Anemia hemolitik autoimun dapat diklasifikasikan sebagai berikut9:

1. Anemia Hemolitik Autoimun

a. Anemia Hemolitik Autoimun tipe Hangat

i. Idiopatik

ii. Sekunder (karena CLL, Limfoma, SLE)

b. Anemia Hemolitik Autoimun tipe Dingin

i. Idiopatik

ii. Sekunder (karena infeksi Mycoplasma sp., Mononucleosis, virus,

keganasan limforetikular)

c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri

i. Idiopatik

ii. Sekunder (karena virus dan sifilis)

d. Anemia Hemolitik Autoimun tipe atipik

i. Anemia Hemolitik Autoimun tes antiglobulin negatif

ii. Anemia Hemolitik Autoimun tipe hangat dan dingin

2. Anemia Hemolitik Autoimun diinduksi obat

3. Anemia Hemolitik Autoimun diinduksi alloantibodi

a. Reaksi Hemolitik Transfusi

b. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir

Etiologi Anemia Hemolitik Autoimun

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi

karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit

autoreaktif residual. Fenomena central tolerance merujuk pada delesi limfosit T dan B yang

self reactive ketika maturasi di organ limfoid sentral seperti timus untuk limfosit T dan limpa

untuk limfosit B. Toleransi sentral mencegah penyebaran autoimun secara luas dengan

memilih sel T nonautoreaktif untuk diteruskan ke perifer. Pada anemia hemolitik autoimun,

fenomena toleransi sentral tidak terjadi secara komplit yang menyebabkan adanya sel T

autoreaktif yang masuk kedalam sirkulasi. Pada beberapa kondisi, sel ini dapat menjadi aktif

dan menyebabkan penyakit autoimun baik spesifik organ maupun sistemik.1,9

10

Page 11: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

Apabila ada sel T reaktif yang masuk ke sirkulasi yang kemudian dihancurkan di

perifer merupakan fenomena peripheral tolerance. Mekanisme toleransi perifer terdiri dari

anergi, surpresi dari sel T regulatori dan delesi dengan apoptosis induksi. Anergi merupakan

fungsi sel limfosit yang mengalami inaktivasi ireversibel. Aktivasi sel T antigen-spesifik

memerlukan dua sinyal yakni pengenalan antigen peptida oleh molekul self-MHC pada

permukaan APC dan ko-stimulasi sinyal yang diciptakan oleh APC. Apabila salah satu dari

kedua mekanisme diatas absen, maka anergi akan terjadi. Regulasi sel T adalah sel CD4 yang

mengekspresikan CD25 yang merupakan rantai alfa dari IL-2, apabila CD4 tidak

mengekspresikan CD25, maka surpresi dapat terjadi yang juga merupakan salah satu

fenomena toleransi perifer.1

Delesi klonal akibat aktivasi kematian sel terinduksi mengarah pada proses dimana sel

T CD 4 yang diaktivasi oleh self-antigen mendapat sinyal yang menyebabkan apoptosis.

Limfosit mengekspresikan Fas (CD95) yang merupakan salah satu anggota famili reseptor

TNF, dan mengaktivasi FasL yang merupakan protein membran yang secara struktur mirip

dengan TNF sitokin. Pertemuan antara Fas dan FasL akan menginduksi apoptosis. Self-

antigen yang berada pada jaringan perifer menyebabkan stimulasi persisten dan berulang dari

sel T spesifik self-antigen, yang kemudian menyebabkan eliminasi mereka melalui apoptosis

melalui Fas. Sedangkan FasL pada sel T akan berikatan dengan Fas pada sel B yang juga

menyebabkan penghapusan sel B self-reactive.1

Epidemiologi Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia hemolitik terjadi pada sekitar 5% dari semua kasus anemia. Dan anemia

hemolitik autoimun hanya terjadi 1-3 kasus dari 100.000 populasi per tahunnya. Penyakit ini

tidak spesifik ras dan kelamin. Tetapi kadang lebih sering timbul pada wanita daripada pria.

Juga tidak spesifik umur, akan tetapi biasanya lebih sering timbul pada usia pertengahan

keatas. Jarang mengenai usia anak dan remaja.4

Patofisiologi Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

IgM-Mediated Red Blood Cell Destruction. Destruksi eritrosit yang telah tersensititasi

dengan mediasi melalui antibodi IgM dengan sistem komplemen. Terjadi karena adanya

sitolisis atau secara tidak langsung interaksi antara aktivasi RBC dan degradasi fragmen C3

dengan reseptor spesifik pada sel retikuloendotelial, terutama sel makrofag pada liver (sel

Kupffer). Titer IgM yang tinggi dapat menyebabkan hemolisis intravaskular secara langsung

11

Page 12: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

dengan mekanisme sitolitik MAC komplemen pada permukaan RBC. Dengan densitas

antibodi yang cukup, aktivasi komplemen dapat cukup kuat untuk menghambat aktivitas

inhibitor dari protein regulasi komplemen DAF (CD55) dan MIRL (CD59) pada permukaan

sel darah merah yang kemudian berujung pada hemolisis. Akan tetapi biasanya antibodi

terhadap sel darah merah biasanya hanya terdiri dari kuantitas yang sedikit yang

menyebabkan DAF (CD55) dan MIRL (CD59) dapat mencegah lisisnya sel darah merah

(eritrosit).1

Akan tetapi, beberapa C3b terdeposisi pada permukaan sel darah merah sebagai

konsekuensi dari aktivasi komplemen terinduksi-IgM, dan interaksi dari C3b dengan iC3b

(ligan) dengan reseptor komplemen spesifik (CR) pada sel Kupffer dapat menyebabkan

destruksi eritrosit imun pada kondisi sublitik.1

Aktivasi sistem

komplemen secara

kese-luruhan akan

meng-hancurkan

membran sel eritrosit

dan terjadilah

hemolisis intravaskular

yang ditandai dengan

hemoglobinemia dan

hemoglobinuria.

Terda-pat dua macam

sistem komplemen

yakni jalur klasik dan

jalur alternatif. Pada

jalur klasik reaksi

diawali dengan

aktivasi C1 suatu

protein yang dikenal

sebagai recog-nition

unit. C1 akan beri-

katan dengan

12

Sumber: Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D, et al, editor. Wintrobe’s clinical hematology. 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.961.

Gambar 6. Ilustrasi skematik tentang mekanisme fenomena toleransi sentral dan toleransi perifer

Page 13: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi

pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b

yang dikenal sebagai C3-convertase. C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan

C3a. C3b akan mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara

kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi).

C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan dengan

membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk

kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5-convertase) yang akan memecah C5 menjadi

C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks

penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8 dan beberapa molekul C9.

Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran

sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam

sel sehingga sel membengkak dan ruptur.9

Sedangkan aktivasi komplemen jalur alternatif akan mengaktifkan C3 dan C3b yang

terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada

C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin,

dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3a menjadi

C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.

Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.9

IgG-Mediated Red Blood Cell Destruction. IgG merupakan salah satu inisiator jalur

komplemen klasik inefektif, maka sitolisis akibat IgG biasanya jarang terjadi. Tidak adanya

aktivasi komplemen menyebabkan eritrosit tersensitisisasi IgG dihancurkan oleh limpa.

Terdiri dari dua proses yakni pengikatan reseptor Fc yang diekspresikan oleh jaringan

makrofag pada pulpa merah di limpa dapat menyebabkan fagositosis direk dan komplit.

Kedua, fagositosis parsial, dimana fagosit menghilangkan sebagian porsi membrannya,

menyebabkan penurunan rasio area dibandingkan volume. Proses ini yang menyebabkan

munculnya gambaran sferosit pada kasus ini. Hal ini akan menyebabkan penyerapan dari sel

darah merah abnormal pada pulpa merah akibat sel-sel ini terlalu kaku untuk melintasi tali

limpa menuju sinus. Sferosit yang terperangkap ini lebih mudah untuk difagositosis oleh

makrofag yang ditemukan lumayan melimpah pada tali limpa. Sehingga, waktu hidup sel

darah merah yang terperangkap menjadi lebih pendek, hanya beberapa menit setelah

13

Page 14: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

terperangkap. Sedangkan peranan hati dalam eliminasi sel darah merah yang terlapisi IgG

kurang efisien dibandingkan dengan limpa.1

Penatalaksanaan Anemia Hemolitik Autoimun

Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari dapat memperbaiki respon klinis dalam 2 minggu

(Ht meningkat, retikulosit meningkat, Coombs test positif lemah dan Coombs test indirek

negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada

tanda respons terhadap steroid, dapat diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20

mg/hari. Terapi steroid dosis dibawah 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari.

Beberapa pasien akan memerlukan tearpi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila

dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka perlu segera

dipertimbangkan modalitas lain.9

Efek samping dari penggunaan steroid dapat timbul akibat dua penyebab, yakni

penghentian pemberian secara mendadak atau pemberian terus-menerus dengan dosis besar.

Efek samping utama adalah insufisiensi adrenal dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan

malaise yang terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak

memproduksi steroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid

eksogen. Selain itu dapat timbul gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria,

rentan terkena infeksi, perdarahan pada pasien tukak peptik, osteoporosis, miopati

karakteristik, psikosis, dan reaksi Cushingoid. Sampai sekarang tidak ada kontraindikasi

absolut untuk kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid harus diawasi dengan ketat

(kontraindikasi relatif) pada pasien diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat,

hiperteni atau gangguan sistem kardiovaskular lain.12

Splenektomi dapat dilakukan bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan

tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan

menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus

berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi

dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.

Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%. Namun tidak bersifat permanen.9

Efek samping dari splenektomi adalah pasien post-op splenektomi akan mengalami

waktu yang lebih panjang dalam penyembuhan penyakit-penyakit infeksi seperti pneumonia,

meningitis, infuenza e.c. Human Influenza Virus B, sepsis, infeksi nosokomial, malaria, dan

penyakit lainnya dan penyakit gram negatif dari gigitan binatang. Pasien-pasien ini juga

14

Page 15: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

memiliki mikropartikel di darah yang menyebabkan naiknya angka resiko demesia dan

penyakit jantung dari gumpalan darah. Juga penyakit-penyakit pembuluh darah lain.13-19

Danazol 600-800 mg/hari biasanya digunakan bersama steroid. Apabila terjadi

perbaikan dapat diturunkan atau dhentikan. Danazol merupakan suatu sediaan androgen

dengan gugus 17-alkil yang diberikan per-oral dengan pemakaian klinis terutama untuk

endometriosis, mammae fibrositik dan edema angioneurotik herediter. Preparat ini dapat

merangsang pembentukan eritropoietin, karena itu dapat digunakan untuk kasus yang

refrakter. Danazol dikombinasikan bersama steroid untuk anemia hemolitik dan trombotik

trombositopenik purpura yang resisten terhadap pengobatan primer. Efek sampingnya adalah

maskulinisasi, feminisasi, penghambatan spermatogenesis, hiperplasia prostat, gangguan

pertumbuhan, edema, ikterus dan hiperkalesmia.9,20

Mycophenolate mofetil 500-1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang baik

pada AIHA refrakter. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan

respon yang cukup baik sebagai salvage therapy. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama

4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Rituximab merupakan suatu

antibodi monoklonal, demikian pula dengan alemtuzumab yang digunakan untuk CLL,

limfoma sel B (Rituximab) dan limfoma sel T (Alemtuzumab). Rituximab merupakan antigen

CD20 dan alemtuzumab memiliki target CD52. Pasien dengan terapi rituximab, walau hanya

sementara dapat mengalami deplesi sel B. Pada pasien dengan AIHA tipe dingin, mengalami

penurunan serum aglutinin dan deplesi muncul pada infusi ketiga rituximab dengan durasi 96

minggu. Sedangkan sekitar 13-18 minggu pada pasien dengan ITP. Terapi transfusi bukan

kontraindikasi mutlak, pada kondisi dimana Hb dibawah 3 g/dL dapat digunakan sembari

menunggu steroid dan immunoglobulin intravena berefek. Immunoglobulin intravena

menujukkan perbaikan pada 40% pasien dan hanya sementara.9,21,22

Prognosis Anemia Hemolitik Autoimun

Dubia. Prognosis tergantung dari kausa dan tipe anemia hemolitik yang diderita

pasien. Kematian biasanya jarang terjadi akan tetapi akan meningkat pada pasien dengan

penyakit kardiovaskular, paru, dan penyakit cerebrovaskular. Anemia dapat memperburuk

penyakit-penyakit diatas.4,23

Komplikasi Anemia Hemolitik Autoimun

15

Page 16: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

Komplikasi dari anemia hemolitik dapat bermanifestasi sebagai komplikasi trombotik

termasuk tromboembolisme vena, trombosis pulmonal in situ dan stroke. Dan gejala-gejala

lain yang mengikuti splenektomi seperti yang telah dibahas sebelumnya.24

PENUTUP

Seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3 minggu

yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah,

serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada anamnesis dapat ditanyakan

tentang takikardia, dispnea, angina dan lemas dapat muncul pada pasien dengan anemia yang

merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah, hal

ini terjadi karena sensitivitas fungsi jantung pada anoxia. Pembentukan batu empedu bilirubin

yang dapat bermanifestasi sebagai nyeri abdominal. Warna kulit kecoklatan dapat timbul

akibat hematosiderosis yang terjadi akibat kelebihan zat besi pada pasien akibat transfusi yang

berlebih. Sedangkan urin yang gelap dapat terjadi akibat hemoglobinuria. Selain itu juga

dapat ditanyakan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan hemolisis seperti

penilisin, quinin, quinidin dan metildopa utnuk menyingkirkan diagnosis banding dengan

drug-induced hemolytic anemia.

Pasien dengan anemia hemolitik dapat menimbulkan gejala dan tanda-tanda anemia,

komplikasi dari hemolisis. Jaundice dapat timbul akibat adanya peningkatan bilirubin indirek

akibat hemolisis. Peningkatannya tidak spesifik untuk gangguan hemolisis karena juga dapat

timbul pada penyakit hati dan obstruksi bilier. Biasanya pada anemia hemolitik, peningkatan

bilirubin jarang melebihi 3 mg/dL, kecuali dengan adanya komplikasi penyakit hati atau

kolelitiasis. Splenomegali dapat muncul pada anemia hemolitik.

Complete Blood Count dan Peripheral Blood Smear. Dapat mendeteksi anemia,

pansitopenia dan infeksi. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit serta retikulositosis

yang merupakan parameter yang biasanya ditemukan pada anemia. Disamping itu, RDW juga

dapat dilakukan yang dapat menemukan anisositosis yang ditemukan pada anemia hemolitik.

Retikulositosis terjadi akibat kompensasi peningkatan pembentukan eritrosit, yang merupakan

salah satu indikator adanya anemia hemolitik, akan tetapi tidak spesifik untuk hemolisis.

Direct Antiglobulin (Coombs) Test. Adanya tampilan sel darah merah dengan

permukaan yang berikatan dengan immunoglobulin atau fiksasi komplemen dapat mendukung

diagnosis anemia hemolitik autoimun. Dasar dari uji ini adalah adanya aglutinasi pada sel

darah merah yang berlapis dengan immunoglobulin, komplemen atau keduanya. Antisera

16

Page 17: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

dengan immunoglobulin manusia reaktif dan/atau komplemen ditambahkan kedalam suspensi

sel darah merah yang tidak diketahui ada-tidaknya ikatan dengan immunoglobulin.

Pada kasus didapatkan seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah

lelah sejak 3 minggu yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan

demam, mual, muntah, serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat dengan konjungtiva anemis ODS, sklera

ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar

Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30 pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc,

Trombosit 230.000 per mikroliter dan Retikulosit 6%. Sedangkan pemeriksaan penunjang

diagnostik seperti Coombs Test dan bilirubin indirek belum dilakukan. Dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami

Anemia Hemolitik Autoimun.

Anemia hemolitik autoimun merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi

terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit menjadi memendek. Kondisi ini dapat

dibedakan berdasarkan karakteristik aktivitas antibodi ini pada temperatur yang berbeda.

Antibodi yang aktif pada suasana dingin hanya memiliki sedikit aktivitas pada suhu tubuh,

akan tetapi afinitas akan meningkat apabila suhu tubuh menjadi semakin mendekat 0 derajat

Celcius. Berkebalikan pada tipe hangat yang memiliki afinitas paling baik pada suhu tubuh

(sekitar 37 derajat Celcius. Antibodi tipe dingin biasanya adalah IgM, yang merupakan fixed

complement dan berujung pada destruksi eritrosit intravaskular dengan segera. Berkebalikan

dengan IgG yang meurpakan IgG, yang bisa jadi bukan merupakan fixed complement dan

berujung pada kehilangan eritrosit akibat destruksi oleh limpa atau sensitisasi sel. Biasanya

satu pasien dapat memiliki baik antibodi tipe dingin maupun tipe hangat.

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi

karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit

autoreaktif residual. Fenomena central tolerance merujuk pada delesi limfosit T dan B yang

self reactive ketika maturasi di organ limfoid sentral seperti timus untuk limfosit T dan limpa

untuk limfosit B. Apabila ada sel T reaktif yang masuk ke sirkulasi yang kemudian

dihancurkan di perifer merupakan fenomena peripheral tolerance. Mekanisme toleransi

perifer terdiri dari anergi, surpresi dari sel T regulatori dan delesi dengan apoptosis induksi.

Anemia hemolitik terjadi pada sekitar 5% dari semua kasus anemia. Dan anemia

hemolitik autoimun hanya terjadi 1-3 kasus dari 100.000 populasi per tahunnya. Penyakit ini

17

Page 18: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

tidak spesifik ras dan kelamin. Tetapi kadang lebih sering timbuk pada wanita daripada pria.

Juga tidak spesifik umur, akan tetapi biasanya lebih sering timbul pada usia pertengahan

keatas. Jarang mengenai usia anak dan remaja.

IgM-Mediated Red Blood Cell Destruction. Destruksi eritrosit yang telah tersensititasi

dengan mediasi melalui antibodi IgM dengan sistem komplemen. Terjadi karena adanya

sitolisis atau secara tidak langsung interaksi antara aktivasi RBC dan degradasi fragmen C3

dengan reseptor spesifik pada sel retikuloendotelial, terutama sel makrofag pada liver (sel

Kupffer). Aktivasi sistem komplemen secara keseluruhan kana menghancurkan membran sel

eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular y ang ditandai dengan hemoglobinemia dan

hemoglobinuria. Terdapat dua macam sistem komplemen yakni jalur klasik dan jalur

alternatif.

Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari dapat memperbaiki respon klinis dalam 2 minggu

(Ht meningkat, retikulosit meningkat, Coombs test positif lemah dan Coombs test indirek

negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Splenektomi

dapat dilakukan bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis

selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan

tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah

splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang

jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca

splenektomi mencapai 50-75%. Namun tidak bersifat permanen.

Prognosis tergantung dari kausa dan tipe anemia hemolitik yang diderita pasien.

Kematian biasanya jarang terjadi akan tetapi akan meningkat pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular, paru, dan penyakit cerebrovaskular. Anemia dapat memperburuk penyakit-

penyakit diatas.

Komplikasi dari anemia hemolitik dapat bermanifestasi sebagai komplikasi trombotik

termasuk tromboembolisme vena, trombosis pulmonal in situ dan stroke. Dan gejala-gejala

lain yang mengikuti splenektomi seperti yang telah dibahas sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J,

Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D, et al, editor. Wintrobe’s clinical

hematology. 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.956-62.

18

Page 19: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

2. McPherson RA, Pincus MR, editor. Henry’s clinical diagnosis and management by

laboratory methods. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.571-3,93-6.

3. Wallach J, editor. Interpretation of diagnostic tests. 8 th ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2007.p.426-8.

4. Schick P, Talavera F, Sacher RA, Besa EC. Hemolytic anemia. Diunduh dari Medscape

for iPad. 11 April 2014.

5. Bain BJ, Win N. Acquired heamolytic anemias. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewis

SM, editor. Practical haematology. 11th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier;

2013.p.274-82.

6. Raghavan VA, Corenblum B, Kline GA, Ziel FH, Talavera F, Schalch DS, et al. Glucose-

6-Phosphate deficiency. Diunduh dari Medscape for iPad. 11 April 2014.

7. Maakaron JE, Taher AT, Besa EC, Alson R, Arnold JL, Arceci RJ, et al. Sickle cell

anemia. Diunduh dari Medscape for iPad. 11 April 2014.

8. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison’s manual of medicine. 18 th

ed. United States of America: McGrawHill; 2013.p.381.

9. Parjono E, Taroeno-Hariadi KW. Anemia hemolitik autoimun. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi

ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1152-5.

10. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:

Interna Publishing; 2009.h.1157-60.

11. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1131-3.

12. Suherman SK, Ascobat P. Adrenokortikotropin, adrenokortikosteroid, analog-sintetik dan

antagonisnya. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor.

Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2012.h.513-4.

13. Provan A, et al. International consensus report on the investigation and management of

primary immune thrombocytopenia. Blood, 14 January 2010, Vol. 115, No. 2, p.168-86.

http://bloodjournal.hematologylibrary.org/cgi/content/full/115/2/168#B110 / .

19

Page 20: PBL 24 - Pasien Dengan Wajah Pucat Dan Kelelahan Dengan Splenomegali Serta Sklera Ikterik Dan Konjungtiva Anemis

14. Ahn YS, et al. Vascular dementia in patients with immune thrombocytopenic purpura. J

Clin Lab Med 119:334, 1992; Throm Res 107:337, 2002. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pubmed/12565721. Diunduh 11 April 2014.15.

15. Chotivanich K, et al. Central role of the spleen in malaria parasite clearance. J Infect Dis.

2002 May15: 185(10):1538-41. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11992295. Diunduh

11 April 2014.

16. Fontana V, et al. Increased procoagulant cell-derived microparticles (C-MP) in

splenectomized patients with ITP. Thromb Res. 2008: 122(5):599-603.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18334267. Diunduh 11 April 2014.

17. Thomsen RW et al. Risk for hospital contact with infection in patients with splenectomy:

a population-based cohort study. Ann Intern Med. 2009, Oct 20; 151(8): 546-55.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19841456. Diunduh 11 April 2014.

18. Crary SE, et al. Vascular complications after splenectomy for hematologic disorders.

Blood. 2009 Oct 1: 114 (14):2861-8. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19636061.

Diunduh 11 April 2014.

19. Sarangi J, et al. Prevention of post splenectomy sepsis: a population based approach. J

PublicHealthMed.1997 Jun: 19 (2):208-

12.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9243438. Diunduh 11 April 2014.

20. Ascobat P. Androgen, antiandrogen dan anabolik steroid Dalam: Gunawan SG, Setiabudy

R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.h.474-6.

21. Nafrialdi, Gan S. Antikanker Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth,

editor. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2012h.754-5.

22. Zaja F1, Iacona I, Masolini P, Russo D, Sperotto A, Prosdocimo S, et al. B-cell depletion

with rituximab as treatment for immune hemolytic anemia and chronic thrombocytopenia.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11836170. Diunduh 11 April 2014.

23. Chen Y, Zieve D. Hemolytic anemia. Edisi Februari 2012. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pubmedhealth/PMH0001597/. Diunduh 11 April 2014.

24. Ataga KI. Hypercoagulability and thrombotic complications in hemolytic anemias.

Haematologica. Nov 2009; 94(11): 1481–4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/

PMC2770956/. Diunduh 11 April 2014.

20