Transcript
Page 1: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

PASAREAN GUNUNG KAWI:PERUBAHAN SOSIAL DAN DINAMIKA EKONOMI

Diajukan Sebagai Laporan Kuliah Lapangan di Kawasan Wisata Ziarah Pasarean Gunung Kawi, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari,

Kabupaten Malang, Jawa Timur

Disusun oleh:

Fajar Alam Pawaka 070316858Ani Pamungkas 070316962Devinta Friyandina 070316972M. Helmy Anggoro S 070316995Khaerul Umam Noer 070317043Uswatun Hasanah 070317044Muhammad Choyrudin 070317067Indraini Puji L 070317086Mochammad Helmi 070317094Amir Salaf 070116411

JURUSAN ANTROPOLOGI SOSIALFAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGASURABAYA

2006

1

Page 2: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Segala sesuatu pasti akan berubah, demikian pula masyarakat

utamanya masyarakat Indonesia yang dikenal dengan keanekaragaman suku

bangsa dan budaya. Perubahan selalu ada, kapan pun dan dimana pun.

Perubahan merupakan sesuatu yang pasti terjadi dan tak terelakkan.

Perubahan merupakan suatu proses waktu. Waktu merupakan faktor yang

paling paling penting dalam proses perubahan, faktor yang menentukan hal

apa yang berubah, kapan, dan bagaimana perubahan dan derajat perubahan

itu terjadi (Bee, 1976:12-15). Secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu

proses perubahan membutuhkan waktu, dan waktu yang dibutuhkan sangat

berpengaruh terhadap hasil dari perubahan yang terjadi.

Banyak faktor yang dapat menjadi suatu pendorong bagi terjadinya

suatu perubahan, adanya pariwisata salah satunya. Tidak dapat dipungkiri,

adanya pariwisata yang berkembang cukup pesat mendorong terjadinya

perubahan di dalam suatu masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi.

Seperti halnya berbagai masyarakat diseluruh dunia, yang berubah karena

adanya pariwisata, demikian pula masyarakat di sekitar Kawasan Wisata

Ziarah Pasarean Gunung Kawi. Kawasan ini telah ramai sejak tahun 1960-an,

tidak mengherankan jika kawasan ini telah berkembang menjadi salah satu

objek wisata ziarah yang terkenal di Indonesia.

Jika dilihat secara historis, kawasan Gunung Kawi merupakan tempat

Pasarean (pemakaman) dari dua orang tokoh kharismatis yang berdakwah

dan turut berperang bersama Diponegoro. Selama berdakwah dan melawan

penjajah Belanda, tidak sedikit masyarakat yang menjadi 'pengikut' dari Mbah

Djoego dan R.M. Iman Soedjono. Yang menjadi pengikut tidak hanya berasal

dari agama Islam, namun juga dari pemeluk agama lain. Yang paling

menyolok dari kawasan Gunung Kawi adalah terjadinya akulturasi dari

berbagai kebudayaan, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya para peziarah

2

Page 3: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

ataupun pelaku ekonomi yang berasal dari berbagai latar kebudayaan yang

berbeda. Adanya akulturasi telah menjadi suatu penyebab penting terjadinya

perubahan sosial dan kebudayaan di masyarakat Gunung Kawi.

I.2. Perumusan Masalah

Dari dasar uraian yang terdapat pada Latar Belakang Masalah, maka

permasalahan yang hendak ditelusuri adalah:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan

pada masyarakat di Kawasan Wisata Ziarah Gunung Kawi; dan

2. Sejauhmana perubahan yang terjadi pada masyarakat, terutama

dalam bidang ekonomi, terkait dengan Kawasan Wisata Ziarah

Gunung Kawi.

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka secara umum penelitian

ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya

perubahan pada masyarakat di Kawasan Wisata Ziarah Gunung

Kawi; dan

2. Untuk mengetahui sejauhmana perubahan terutama dalam bidang

ekonomi khususnya perubahan mata pencaharian masyarakat di

Kawasan Wisata Ziarah Gunung Kawi.

I.4. Kerangka Teori

Dikalangan antropolog, terdapat tiga pola yang penting sehubungan

dengan perubahan kebudayaan, yaitu: evolusi, difusi, dan akulturasi.

Landasannya adalah penemuan atau inovasi. Inovasi merupakan aspek yang

mungkin paling penting dan menentukan dalam pertumbuhan kebudayaan.

Penemuan disini dapat berarti penemuan sesuatu atau secara etimologis

'menerima sesuatu yang baru' (Kroeber, 1948:352).

Perkembangan teori mengenai perubahan sosial dan kebudayaan

dapat dikatakan sangat mencengangkan. Kemunduran pemikiran evolusi

yang disponsori oleh Spencer, Comte maupun Morgan telah terjadi sejak

3

Page 4: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

awal abad 20. Trend yang terjadi adalah pemikiran mengenai difusi, yang

menekankan sifat mobilitas berbagai unsur kebudayaan dan mencoba

mengetahui bagaimana cara berbagai unsur yang membentuk satu

kebudayaan tertentu menyatu bersama (Lauer, 1989:389-402). Namun

demikian, bagi golongan fungsionalisme memandang bahwa perubahan akan

mengganggu dan mengacaukan fungsi kooperatif dan koordinatif elemen-

elemen yang sebelumnya menopang harmoni masyarakat. Dengan kata lain,

proses transpormatif, terutama yang merupakan hasil dari kontak-kontak yang

merupakan agen diluar masyarakat dipandang sebagai merusak organisme

atau keseimbangan dari masyarakat (Budiwanti, 2000:54-55).

Namun demikian, perubahan merupakan satu hal pasti terjadi, adanya

mobilitas, re-organisasi di masyarakat, dan heterogenitas yang semakin tinggi

menjadi suatu indikator dari adanya perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kroeber (1948:412) mengatakan bahwa difusi selalu menimbulkan perubahan

bagi kebudayaan yang menerima unsur kebudayaan lain yang menyebar itu.

Yang terjadi adalah suatu usaha untuk beradaptasi atau memodifikasi

kebudayaan yang datang dengan tetap mempertahankan sebisa mungkin

kebudayaan yang dimiliki. Modifikasi ini menyangkut unsur kebudayaan

dalam bentuk materi maupun non-materi. Masalah yang penting terakhir yang

perlu diperhatikan adalah, bahwa proses difusi sering merupakan proses

timbal-balik.

Perubahan tidak hanya terjadi melalui proses difusi, namun juga

akulturasi. Dapat dikatakan bahwa akulturasi adalah suatu pola perubahan

dimana terjadi penyatuan antara dua kebudayaan. Penyatuan ini dihasilkan

dari adanya kontak yang berlanjut. Akulturasi mengacu pada pengaruh satu

kebudayaan terhadap kebudayaan lain, atau saling mempengaruhi antar

kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Adanya

kolonisasi, pendudukan, peperangan, misi agama, migrasi, pariwisata dan

perdagangan merupakan cara-cara yang menyebabkan terjadinya kontak

antara dua kebudayaan yang berbeda dan otonom satu sama lain. Secara

singkat akulturasi dapat digambarkan sebagai pola penyatuan antara dua

kebudayaan, penyatuan disini tidak berarti bahwa kesamaannya lebih banyak

daripada perbedaannya, namun berarti kedua kebudayaan yang saling

4

Page 5: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

berinteraksi menjadi semakin serupa dibanding sebelum terjadinya kontak

antara keduanya (Lauer, 1989:402-407).

Perubahan sosial secara singkat dapat digambarkan sebagai

perubahan bagaimana masyarakat dan perilaku manusia berubah,

disebabkan karena adanya perubahan invensi, hukum, revolusi, fashion,

penyakit, dan pergerakan sosial (Rose, 1987 S:228). Perubahan sosial

selanjutnya terjadi dengan munculnya kelas menengah, yang terdiri dari

golongan intelektual, pedagang, dan pengusaha. Pada mulanya golongan ini

tidak memusatkan perhatian pada masalah kebudayaan, tetapi pada masalah

politik dan ekonomi (Kuntowijoyo, 1999[1987]:26-27). Dengan demikian,

perubahan sosial secara nyata terjadi pada berbagai masyarakat, dalam hal

ini masyarakat yang ada di sekitar Kawasan Wisata Ziarah Gunung Kawi

yang menjadi fokus pembahasan.

Masyarakat di Kawasan Wisata Ziarah Gunung Kawi dapat dikatakan

telah mengalami suatu perubahan sosial melalui proses difusi dan akulturasi.

Pada awalnya para pengikut Mbah Djoego dan Iman Soedjono merupakan

kumpulan masyarakat dengan berbagai latar belakang kebudayaan yang

berbeda, lambat laun mereka terus berinteraksi dengan intens, yang pada

akhirnya akan bermuara pada terjadinya akulturasi pada masyarakat tersebut,

dimana berbagai kebudayaan yang berbeda berbaur, membentuk suatu

konfigurasi kebudayaan yang lebih unik, kompleks, dan terutama sekali telah

mendorong terjadinya perubahan sosial yang penting dalam masyarakat.

I.5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode partisipasi observasi yang

bertujuan untuk memberikan deskripsi yang menyeluruh tentang gejala yang

ada di suatu komunitas. Metode partisipasi observasi berarti berpartisipasi

dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, dan mengamati tingkah laku

banyak warga dari kelompok masyarakat yang bersangkutan, dan memahami

suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk (Spradley, 1997:3).

Dalam program perubahan kebudayaan terencana, di mana faktor-faktor

sosial, psikologi dan budaya hampir tak terbatas dan tak di ketahui dengan

jelas, pendekatan yang eksploratif dengan tujuan terbuka menghasilkan hal-

5

Page 6: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

hal yang sering kali penting. Oleh karena itu, penelitian partisipasi observasi

melibatkan belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat,

mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda-

beda, sehingga si peneliti sedikit-banyak akan mengerti mengenai dunia

orang-orang tersebut.

I.5.1. Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di sebelah selatan lereng Gunung Kawi, kira-

kira empat puluh kilometer disebelah barat Kabupaten Malang, di Desa

Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kawasan

ini sebagai Pasarean Gunung Kawi atau Komplek Wisata Ziarah Gunung

Kawi.

I.5.2. Teknik Penentuan Informan

Informan adalah orang-orang yang diharapkan mengetahui tentang

hal-hal yang menjadi fokus penelitian. Oleh karena itu, dalam pemilihan

informan dipilih orang-orang yang telah lama menetap atau mengetahui

dengan jelas hal-hal yang menjadi fokus. Dalam hal ini, informan yang di

ambil selain para pejabat dilingkungan desa Wonosari, namun juga para

pedagang, dan pengunjung atau peziarah yang datang ke Kawasan Wisata

Ziarah Gunung Kawi.

I.5.3. Teknik Pengumpulan Data

Data didapatkan dengan cara studi lapangan yang hasilnya

dipergunakan sebagai data penelitian. Selain itu juga digunakan berbagai

data seperti monografi desa, observasi, dan wawancara.

I.5.4. Teknik Analisa Data

Analisa data tidak dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang

telah dirumuskan sebelumnya. Proses analisis data dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang didapatkan, yang pada

akhirnya diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan yang telah

dirumuskan sebelumnya.

6

Page 7: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

BAB II

PROFIL DESA WONOSARI

II.1. Profil Wilayah Desa Wonosari

Kawasan Wisata Ziarah Pasarean Gunung Kawi terletak kurang lebih

empat puluh kilometer disebelah barat Malang, di Desa Wonosari, Kecamatan

Wonosari, Kabupaten Malang. Terletak dilereng sebelah selatan Gunung

Kawi. Berada diketinggian kira-kira 800 mdpl, kawasan wisata ini cukup

dingin, dan kadangkala berkabut ketika malam atau pagi hari. Tidak sulit

menuju Pasarean Gunung Kawi. Untuk menuju desa Wonosari dapat

ditempuh arah perjalanan dari jurusan: Malang – Kepanjen – Talang Agung.

Dari sini berbelok ke kanan melewati Kecamatan Ngajum menuju Desa

Kebobang. Dari desa Kebobang lalu membelok ke kiri melewati dusun

Bumirejo, terus ke utara ke desa Wonosari. Jarak dari terminal desa

Wonosari sampai ke Pasarean sekitar 750 meter dengan kondisi jalan

menanjak dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sedangkan untuk

kendaraan pribadi atau bukan kendaraan umum telah disediakan areal parkir

yang cukup luas didekat pintu gerbang Pasarean.

II.2. Sejarah Berdirinya Pasarean Gunung Kawi

Pasarean Gunung Kawi adalah tempat pemakaman bagi dua tokoh

kharismatis yang hingga saat ini masih tetap di ziarahi, bahkan pada saat-

saat tertentu ribuan orang berziarah ke tempat ini. Di pasarean tersebut

dimakamkan tokoh yang berasal dari keraton Mataram abad ke-19, yakni

Kanjeng Kyai Zakaria II dan Raden Mas Iman Soedjono. Yang pertama

disebut adalah keturunan penguasa Mataram Kartasura yang memerintah

pada abad ke-18, sedangkan yang kedua adalah keturunan penguasa

keraton Mataram Yogyakarta yang memerintah pada abad yang sama

(Soeryowidagdo, 1989:3).

Kedua tokoh ini dikabarkan menurut sejarah lisan sebagai guru dan

murid. Kyai Zakaria II atau R.M. Soeryokoesoemo adalah keturunan dari Kyai

7

Page 8: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Zakaria I, dimana Kyai Zakaria I adalah anak dari B.P.H. Diponegoro. Beliau

adalah pengikut setia dari Pangeran Diponegoro dan turut bertempur

melawan Belanda pada Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Ketika

Diponegoro ditangkap oleh Belanda di Magelang, beliau dan muridnya (Iman

Soedjono) mengembara ke berbagai daerah di Jawa. Ketika Diponegoro

tertangkap Kyai Zakaria II tidak lagi menggunakan nama bangsawannya dan

berganti nama menjadi Sadjoego atau disingkat menjadi Mbah Djoego.

Adapun Raden Mas Iman Soedjono memiliki daftar silsilah yang lebih

lengkap dan tercatat dalam Surat Kekancingan atau Surat Bukti Silsilah dari

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tertanggal 23 Juni 1964. R.M. Iman

Soedjono adalah keturunan dari R.A. Tumenggung Notodipo dan K.R.

Tumenggung Notodipo, atau cicit dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. R.M.

Iman Soedjono menikah dengan anggota Laskar Langen Koesoemo, laskar

prajurit wanita dari laskar Diponegoro, Raden Ayu Saminah.

Seperti halnya Kyai Zakaria II, R.M. Iman Soedjono juga turut berjuang

melawan Belanda, ketika Diponegoro tertangkap ia dan Kyai Zakaria II

mengembara ke berbagai daerah terpencil. Kyai Zakaria II berganti nama

menjadi Mbah Djoego, sedangkan R.M Iman Soedjono tetap menggunakan

namanya, hanya saja ia meninggalkan gelar kebangsawanannya. R.M. Iman

Soedjono juga dikenal dengan nama Mbah Kromoredjo. Kyai Zakaria II

meninggal di padepokannya di desa Sanan Jugo, Kecamatan Kesamben,

Blitar, tanggal 1 Bulan Zulhijjah tahun 1799 atau 22 Januari 1871. Sedangkan

R.M. Iman Soedjono meninggal pada 12 Muharram 1805 atau 8 Februari

1876. Saat ini yang menjadi juru kunci dari Pasarean Gunung Kawi adalah

keturunan dari R.M. Iman Soedjono, yakni Raden Asim Nitirejo

(Soeryowidagdo, 1989:8-17).

8

Page 9: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

BAB III

PASAREAN GUNUNG KAWI:

PERUBAHAN SOSIAL DAN DINAMIKA EKONOMI

III.1. Akulturasi di Pasarean Gunung Kawi

Ketika Pangeran Diponegoro tertangkap, dan Kyai Zakaria II dan

Raden Mas Iman Soedjono memilih untuk meneruskan perjuangan melawan

Belanda dengan cara berdakwah dan menjalin solidaritas melawan

penjajahan Belanda. Ketika itu, tidak sedikit masyarakat dari berbagai daerah

yang tertarik dan akhirnya menjadi pengikut setia dari Kyai Zakaria II dan

Iman Soedjono. Bergabungnya berbagai komponen masyarakat tanpa

melihat latar belakang budaya, suku, ras, maupun agama, akhirnya

membentuk suatu komunitas yang heterogen. Pemilihan lokasi di Desa

Wonosari, tempat adanya Pasarean Gunung Kawi merupakan amanat dari

Kyai Zakaria II, bahwa ketika ia meninggal, ia minta untuk dimakamkan di

lereng Gunung Kawi, yang sekarang menjadi Pasarean Gunung Kawi.

Akulturasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses

perubahan kebudayaan secara sistematis pada suatu masyarakat yang

dibawa oleh 'alien (asing)', masyarakat yang dominan (King dan Wright, tt:4).

Kroeber (1948:425) menyatakan bahwa akulturasi terdiri dari berbagai

perubahan-perubahan dalam kebudayaan, dimana perubahan terjadi akibat

bertemunya dua kebudayaan yang menyebabkan meningkatnya persamaan

antara dua budaya. Tipe perubahan dapat berupa hubungan resiprositas,

namun seringkali proses yang terjadi asimetris dan hasilnya berupa

penyerapan satu budaya kedalam budaya lainnya. Bagi Kroeber, akulturasi

bersifat berangsur-angsur, tidak mendadak. Difusi dan akulturasi tidak dapat

dipisahkan. Difusi memberikan kontribusi bagi akulturasi, dan akulturasi

berkontribusi terhadap difusi (King dan Wright, tt:4)

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh

manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat

model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk

9

Page 10: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk

mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya

(Suparlan, 1986:8).

Masyarakat di sekitar Kawasan Wisata Ziarah pasarean Gunung Kawi

dapat dikatakan merupakan contoh yang baik dari adanya akulturasi. Difusi

yang merupakan penyebaran kebudayaan dan akulturasi dapat dilihat

sebagai salah satu pendorong terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan

di masyarakat desa Wonosari. Bagi masyarakat desa Wonosari, adanya

heterogenitas budaya adalah sesuatu yang wajar terjadi, karena jika dirunut

dari sejarahnya, hal tersebut tidak mengherankan. Akluturasi terjadi terutama

sekali dapat dilihat di area Pasarean, dimana semua orang, tanpa melihat

latar belakang budaya maupun agama datang berziarah, mendoakan, atau

juga berbagai ritual lainnya sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.

Dari observasi yang dilakukan, tidak sedikit orang Islam yang datang

setelah berziarah datang ke Ciamsi untuk melihat peruntungan mereka.

Ciamsi merupakan tempat untuk melihat suatu peruntungan nasib dengan

cara mengocok wadah yang berisikan bambu, dan berusaha agar salah satu

bambu jatuh. Dipercaya bahwa bambu yang jatuh itulah yang akan

menunjukkan peruntungan atau nasib sesuai dengan harapan yang

dipanjatkan. Di Ciamsi, tidak terjadi perbedaan perlakuan antara orang yang

datang dengan berbagai latar belakang budaya dan agama, hal ini

merupakan salah satu contoh terjadinya akulturasi di wilayah Pasarean

Gunung Kawi. Di kawasan ini juga ada pusat-pusat keagamaan bagi ummat

Islam dan Budha. Di tempat ini ada Masjid Iman Soedjono dan Klenteng

Kwan Im yang letaknya tidak terlalu jauh, hal ini menunjukkan toleransi antar

ummat beragama.

Terjadi kontak yang intens antara berbagai kebudayaan di Pasarean

Gunung Kawi, tanpa melihat latar belakang budaya, semua orang berbaur

dan menyatu dalam melakukan ritual keagamaan. Intensitas merupakan

salah satu syarat bagi terjadinya akulturasi (Murdock et.al, 1965:12), dengan

adanya intensitas kontak, akulturasi lebih mudah terjadi. Salah satu faktor

yang pendorong penerimaan akulturasi di Pasarean Gunung Kawi adalah sisi

historis, dimana ketika Kyai Zakaria dan R.M Iman Soedjono berdakwah,

10

Page 11: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

mereka tidak hanya berdakwah, namun juga membentuk sebuah masyarakat

yang mau berjuang mempertahankan tanah air, mereka tidak melihat

perbedaan latar belakang dari masyarakat yang didatanginya. Bagi orang

Islam, Kyai Zakaria selain berdakwah juga mengajarkan ilmu kanuragan.

Sedangkan bagi orang non-islam, Kyai Zakaria hanya mengajarkan ilmu

kanuragan tersebut, hal ini mungkin dimaksudkan agar terjadi suatu

hubungan yang erat antara pemeluk agama, tanpa perlu memaksakan begi

pengikutnya untuk masuk Islam. Dengan demikian, tidak terjadi pembatas

antara berbagai pemeluk agama, setiap orang yang mau berjuang

mempertahankan tanah air masuk dalam kelompok masyarakat yang dibuat

oleh Kyai Zakaria dan R.M Iman Soedjono. Jika dilihat dari sisi historis,

akulturasi telah terbentuk sejak lama, tidak terjadinya diskriminasi rasial

ataupun agama telah menjadi faktor utama heterogenitas yang ada di

Pasarean Gunung Kawi.

Di Pasarean Gunung Kawi dapat dengan mudah dijumpai orang

dengan berbagai latar belakang datang untuk berziarah, untuk memenuhi

kebutuhan tersebut, berbagai fasilitas telah dibangun. Toleransi beragama

sangat terlihat, dimana Masjid dan Klenteng terletak berdekatan. Salah satu

sisi dari akulturasi adalah modifikasi adaptif dari berbagai elemen (Murdock

et.al, 1965:12). Dari bangunan Klenteng yang dibangun, mungkin orang akan

terkecoh jika melihat sepintas, selain atap dengan bentuk khas, lilin dengan

ukuran raksasa, dan bau dupa yang menyengat, tidak terdapat perbedaan

mendasar antara klenteng Kwan Im dengan bangunan sekitarnya, tidak ada

pintu dengan hiasan naga atau warna-warna yang menyolok sebagaimana

klenteng pada umumnya, yang terlihat justru kesederhanaan dan 'membumi'.

Hal ini mungkin merupakan pola adaptif, dimana Pasarean merupakan

makam bagi orang Islam, maka mungkin dianggap tidak pantas jika dibangun

klenteng dengan megah dan menyolok, atau mungkin saja terjadi tuntutan

tidak hanya dari masyarakat, namun juga dari penganutnya sendiri untuk

membangun klenteng dengan sederhana. Yang cukup megah justru adalah

Masjid Iman Soedjono, yang merupakan bantuan dari para donatur,

diresmikan oleh Bupati Malang pada tanggal 4 Februari 1885. Bangunan

utama pendopo makam Kyai Zakaria dan R.M. Iman Soedjono juga dibangun

11

Page 12: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

dengan cukup megah, namun tetap mempertahankan kesederhanaannya.

Daun pintu berukir, atap tumpang, dan interior perpaduan antara nuansa

Jawa, Cina dan Eropa sangat terasa di dalam pendopo. Puluhan jam dengan

berbagai merek terdapat dalam ruangan tersebut, aroma sedap malam,

mawar, kenanga berpadu dengan dupa dan hio. Tidak terdapat tempat

perbedaan antara guci dari Cina, kandelar dari Eropa dengan payung

kebesaran khas Jawa, semua dapat dilihat dalam ruang pendopo.

Sebagaimana interior yang sangat akulturatif, puluhan orang yang dengan

khusyu berdoa juga memperlihatkan hal yang sama.

III.2. Perubahan Struktur dan Dinamika Ekonomi

Secara sederhana struktur dapat dikatakan sebagai pola hubungan

yang berkaitan dengan kedudukan dan peran sosial di masyarakat. Struktur

sosial merupakan pola-pola yang relatif stabil dari kepercayaan, aturan-

aturan, atau prinsip-prinsip dari intergroup, interpersonal, dan hubungan

institusional, dimana terbentuk suatu kerangka kerja bagi aksi-aksi korporasi

dari kelompok sosial (Brittan, 2000 2:1004-1005).

Jika dilihat dari pendefinisian di atas, dapat di aplikasikan pada

masyarakat yang hidup di Kawasan Wisata Ziarah Gunung Kawi. Banyak

faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur. Munculnya para

pendatang dan juga kaum intelektual turut mendorong terjadinya perubahan

struktur di masyarakat. Banyak studi mengenai perubahan struktur, Collier

(dalam Triyono dan Nasikun, 1992:10) misalnya menyebutkan bahwa

munculnya petani komersial menyebabkan masyarakat Jawa tidak lagi

egaliter dan simetris.

Perubahan struktur dapat dilihat dengan adanya stratifikasi di bidang

sosial dan ekonomi. Pada umumnya, di masyarakat kawasan tersebut dapat

dilihat adanya stratifikasi sosial yang cukup jelas. Dalam bidang sosial, yang

berada dipuncak adalah Juru Kunci, yakni Raden Asim Nitiredjo, hal ini

disebabkan karena beliau selain sebagai pemimpin juru kunci, juga

merupakan keturunan (cucu) dari R.M. Iman Soedjono, hal ini memberikan

pada "para keturunan" suatu legitimasi sosial uantuk memimpin 'kancah

sosial' dan terutama sekali adalah penguasaan dibidang ekonomi di sekitar

12

Page 13: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Kawasan Ziarah Pasarean Gunung Kawi. Dari pelegalitasan seseorang

sebagai "cucu" dari R.M. Imam Soedjono seringkali terjadi permasalah yang

cukup pelik dikalangan pengurus yayasan yang mengelola wisata religi

Gunung Kawi ini.

Kenapa terjadi hal semacam ini, apakah pengurus yayasan haruslah

keturunan dari R.M. Imam Soedjono? Apakah orang lain yang bukan

keturunan langsung dari R.M. Imam Soedjono tidak bisa menjadi pengurus?

Jawaban dari pertanyaan ini kami dapatkan dari beberapa penuturan

masyarakat yang tinggal di sekitar pesarean R.M. Imam Soedjono dan Kyai

Zakaria, hal ini dikarena alasan dari pengurus awal dari yayasan yang

menginginkan agar para pengurus selanjutnya merupakan keturunan asli dari

Eyang Imam Soedjono dan Kyai Zakaria, sesuai dengan pesan dari beliau

berdua sebelum wafat agar tanah di daerah pesarean tidak jatuh kepada

orang selain orang pribumi, dengan pemahaman mereka bahwa semua

penduduk asli daerah ini orang pribumi dan yang berhak menjalankan tampuk

kepemimpinan di daerah ini hanya keturunan asli dari Mbah Imam Soedjono

dan Kyai Zakaria.

Dalam bidang ekonomi, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah

perubahan kawasan, dari yang semula tempat ziarah biasa, namun perlahan

berubah menjadi suatu kawasan wisata spiritual, dalam hal ini Pasarean

Gunung Kawi. Perubahan status menjadi tempat wisata ziarah membawa

suatu konsekuensi logis, yakni tumbuhnya geliat ekonomi di kawasan

tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa berdirinya kawasan wisata ziarah

sedikit-banyak telah memberikan kemajuan terutama dalam bidang ekonomi

dan infrastruktur desa Wonosari. Banyak penduduk asli maupun pendatang

yang berjualan di sekitar area makam. Umumnya terdapat kegiatan ekonomi

yang bertujuan untuk membantu para peziarah yang datang, seperti: (a)

penjualan bunga, dupa, hio, lilin, dan kemenyan untuk berziarah; (b)

penjualan pernik souvenir bagi peziarah yang ingin membeli oleh-oleh; (c)

penjualan makanan dan minuman; dan (d) penyewaan kamar, mulai dari

losmen hingga hotel yang cukup representatif.

13

Page 14: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Dari beragamnya tindakan ekonomi yang ada disekitar kawasan

Pasarean, dapat di identifikasi tiga golongan, yakni: (a) golongan elite, yakni

pemilik hotel dan penginapan yang representatif yang ada disepanjang jalur

utama; (b) golongan menengah, adalah para pengusaha rumah makan dan

souvenir yang memiliki toko permanen; dan (c) golongan bawah adalah para

penjual kelontong, makanan dan minuman dengan bakul, dan juga peminta-

minta. Bukannya tanpa alasan pemilik hotel menempati posisi utama, selain

bahwa modal untuk mendirikan hotel cukup besar, juga 'pajak' yang

dikenakan paling besar diantara golongan lainnya. Para pemilik hotel mungkin

merajai dalam bidang ekonomi, banyak pemilik hotel yang tidak berasal dari

Desa Wonosari.

Perubahan yang signifikan dapat dilihat dari perubahan okupasi lahan.

Karena berada di daerah ketinggian, banyak yang kemudian menanam

tanaman seperti kopi, coklat, ketela, ataupun tanaman lain yang tumbuh

subur didaerah tersebut. Adanya tuntutan wisata spiritual telah menuntut agar

tersedianya sarana yang memadai bagi para peziarah yang datang. Hal ini

disatu sisi merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat desa, karena

mereka dapat dengan langsung merasakan dampak dari adanya wisata

tersebut, yakni dengan meningkatnya perekonomian mereka. Namun disisi

lain, tidak sedikit yang telah menjual lahan yang mereka miliki, dan lahan-

lahan tersebut kini telah berubah menjadi sarana untuk menunjang kegiatan

wisata spiritual tersebut. Adanya pergeseran okupasi lahan telah mendorong

munculnya golongan elite baru dalam tatanan struktur sosial masyarakat

desa Wonosari pada umumnya.

Sebagaimana telah dimaklumi, adanya pergeseran okupasi lahan tidak

serta merta berpengaruh dalam kehidupan masyarakat desa. Pada daerah

yang padat populasinya dimana hanya sedikit pekerjaan menguntungkan

diluar pertanian, tanah merupakan faktor yang penting dalam produksi, dan

akses terhadap tanah memnungkinkan seseorang untuk meningkatkan

penghasilan yang diperlukan untuk membeli lebih banyak (Hefner, 1999:208).

Bagi masyarakat Wonosari, tanah tetap sangat penting, namun perubahan

status dari daerah ziarah biasa menjadi Kawasan Wisata Ziarah yang

menguntungkan, telah membuka berbagai pekerjaan bagi masyarakat, tidak

14

Page 15: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

hanya bertani, namun juga berbagai usaha lain yang dirasakan cukup

menguntungkan. Hal ini mendorong warga desa untuk bekerja diluar sektor

pertanian, selain bahwa sektor ini mulai kurang diminati, juga karena lahan

yang ada menjadi sangat terbatas. Segala derap pembangunan bertujuan

untuk memajukan daerah tersebut menjadi objek wisata yang representatif

telah mengambil alih tanah masyarakat, hingga yang tersisa hanya sebagian

kecil lahan yang masih dapat bertahan. Dari sebagian yang masih bertahan

pun hanya terkonsntrasi di daerah bawah lereng, bukan pada lokasi yang

strategis, sedangkan loksi-lokasi yang strategis telah beralih fungsi dan

kepemilikan, tidak lagi menjadi milik masyarakat pada umumnya.

Berkurangnya profesi sebagai petani telah lama terlihat, di saat objek

wisata ziarah di rasa lebih menguntungkan, profesi ini kemudian tidak lagi

diminati. Sebagian besar lahan yang digunakan ditanami oleh jagung, ubi,

dan kopi. Tidak mengherankan memang, komoditas yang ditanam memang

bertujuan untuk dijual dalam kawasan wisata tersebut, yang ini berarti terjadi

pergeseran tujuan penggunaan lahan, jika sebelumnya orang menanam

hanya untuk konsumsi sendiri (subsistens), namun kini bahkan komoditas

yang ditanam ditujukan untuk dijual bagi pengunjung. Tidak dapat dipungkiri,

adanya tekanan dari pariwisata akan menyebabkan masyarakat untuk

beradaptasi dengan hal tersebut. Bagi Scott (1981:7), satu hal yang khas

bahwa yang dilakukan oleh petani adalah berusaha menghindari kegagalan

yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh

keuntungan besar dengan mengambil resiko. Tindakan tersebut merupakan

keputusan 'enggan resiko' (risk-averse) yang meminimumkan kemungkinan

subyektif dari kerugian maksimum. Selain itu juga adanya prinsip 'dahulukan

selamat' (safety first) yang memungkinkan terjaganya eksistensi mereka.

Moral subsistensi mereka secara tidak langsung telah menjaga

eksistensi mereka, namun tekanan dari pariwisata telah mengubah ekonomi

moral mereka, tiadk lagi hanya subsistens, namun juga diusahakan untuk

dijual sebagian dari hasil ladang mereka. Jagung dan ubi merupakan barang

jual, selain biji kopi baik yang sudah digiling ataupun belum, dan tidak lupa

tanaman khas, pohon Dewa Ndaru atau buah Shian Tho. Akhirnya

masyarakat disekitar lokasi Wisata Ziarah harus terbebani oleh kelangkaan

15

Page 16: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

tanah yang makin meningkat, kompetisi dengan pemodal dari luar daerah dan

membumbungnya harga tanah. Kelak mereka yang tidak mampu bersaing

dan tidak lagi mampu menjaga kepemilikan mereka akan tanah akan

menemukan situasi yang jauh lebih sulit.

III.3. Geliat Ekonomi dan Konflik Para Elite

Geliat ekonomi tidak hanya nampak dari adanya perubahan struktur

bangunan rumah misalnya, namun juga dari beragamnya mata pencaharian

masyarakat disekitar Kawasan Wisata Ziarah Pasarean Gunung Kawi. Tidak

dapat dipungkiri bahwa geliat ekonomi sudah sangat terasa ketika baru

memasuki kawasan tersebut, ketika kali pertama menginjakkan kaki di

kawasan ini, dapat dilihat bahwa kawasan ini mungkin tidak lebih dari salah

satu tujuan wisata alternatif yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Timur.

Pertumbuhan ekonomi di sekitar kawasan wisata pada umumnya

hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para peziarah yang datang.

Setelah melihat target pasar, maka dapat dimaklumi jika produk yang dijual

hanya memiliki satu tujuan utama, membantu para peziarah yang datang

dengan menjual atau menyediakan kebutuhan yang dibutuhkan selama

berziarah. Tidak mengherankan jika geliat muncul pada gilirannya akan

menyebabkan terjadinya konflik diantara golongan elite.

Permasalahan kemudian muncul setelah kawasan yang dulunya

tenang kemudian berubah menjadi suatu kawasan wisata dengan prospek

dan nilai jual yang menguntungkan. Para pemilik rumah makan yang ada

disepanjang jalan utama menuju pasarean umumnya terbagi menjadi dua

kelompok. Batasan antara kedua kelompok berada pada pintu gapura kedua

Pasarean. Di bawah gapura pengelolaannya diserahkan pada juru kunci

rumah Mbah Djoego, sedangkan yang setelah gerbang hingga pintu utama

Pasarean dikelola oleh juru kunci Pasarean. Dengan memanfaatkan

legitimasi mereka, para kuru kunci Pasarean "menarik" retribusi tidak kurang

dari Rp.1,500,000.- pertahun bagi depot makanan, dan Rp.2,000,000.-

pertahun bagi pemilik hotel dengan alasan operasional dan pembangunan

Pasarean. Menurut beberapa penjual, masa kontrak minimum sekitar lima

tahun. Hal ini telah mendorong terjadinya konflik antar elite, bagi juru kunci

16

Page 17: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

rumah Mbah Djoego, penarikan retribusi dianggap tidak menguntungkan

karena dua hal: (1) mayoritas penjual dengan toko permanen terdapat di atas,

dan (2) tidak ada pembagian keuntungan yang di anggap merata. Hal inilah

yang mendorong juru kunci rumah Mbah Djoego turut menarik retribusi

dengan besaran sekitar Rp.1,200,000.- pertahun bagi setiap hotel dan rumah

makan permanen yang ada di sekitar rumah Mbah Djoego. Yang harus

diperhatikan adalah penggunaan alasan legitimasi. Penjaga pasarean yang

merupakan keturunan dari R.M Iman Soedjono merasa lebih berhak karena

merupakan keturunan, ketimbang penjaga rumah Mbah Djoego dan Mata Air

Sumber Manggis yang hanya keturunan dari murid Mbah Djoego dan R.M

Iman Soedjono.

Satu hal yang mungkin kurang disadari oleh para elite adalah konflik

ditingkat masyarakat. Dengan berdirinya berbagai sarana, dan sudah menjadi

rahasia umum bahwa sarana yang dibangun umumnya merupakan

sumbangan atau donasi dari pihak-pihak yang telah sukses setelah datang

dari Pasarean. Kabarnya Masjid Iman Soedjono merupakan bantuan dari

"Dinasti" Liem, bahkan kuil Kwan Im dan Ciamsi yang baru dan sedang

dibangun merupakan sumbangan dari pengusaha dari Singapore. Adanya

pembangunan tanpa henti, sumbangan dari para donatur telah menyebabkan

munculnya rasa tidak puas dari masyarakat sekitar. Selain bahwa

pengelolaan dana tidak transparan, masyarakat juga tidak menerima hasil

signifikan dari pembangunan. Tidak sedikit yang justru lebih percaya pada

kepala desa beserta aparatnya ketimbang para juru kunci, yang notabene

memegang otoritas sosial. Karena merupakan keturunan dari R.M. Iman

Soedjono, tidak sedikit yang memilih untuk diam, pilihan tersebut karena tidak

ingin merusak nama baik dari Mbah Djoego dan R.M. Iman Soedjono, selain

bahwa mereka takut jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.

Perubahan struktur sosial dengan masuknya para pemilik modal sedikit

banyak telah mencampuri konflik yang telah ada sehingga makin rumit. Para

pemilik hotel yang umumnya tidak berasal dari masyarakat desa Wonosari di

satu sisi menuntut adanya keringanan dalam adanya 'pungutan liar', disisi lain

mereka menginginkan porsi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.

Hal ini tentu membuat masyarakat yang ada disekitar kawasan cukup

17

Page 18: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

dibingungkan. Diamnya para elite sosial turut menambah kebingungan, pada

gilirannya masyarakat akhirnya lebih bersifat apatis, dan berusaha untuk

hidup sebagaimana biasa, dan banyak yang berpura-pura tidak mengetahui

konflik yang sedang terjadi di Kawasan Wisata Ziarah Pasarean Gunung

Kawi.

Konflik yang terjadi pada dasarnya merupakan konflik dalam bidang

ekonomi, bagaimana setiap pihak yang berkepentingan mampu

memanfaatkan potensi ekonomi yang ada semaksimal mungkin. Setiap

pelaku ekonomi selalu dihadapkan pada usaha untuk mendapatkan

keuntungan, meskipun dilain sisi mereka akan berbenturan dengan aturan

yang ada. Pun di kawasan Pasarean Gunung Kawi. Meskipun tidak terlihat

dengan jelas, aroma pertarungan antar elite tetap terjadi dalam perebutan

sumber-sumber ekonomi. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk

'menguasai' sumber ekonomi, juga untuk tetap mempertahankan eksistensi

dari Pasarean Gunung Kawi.

Konflik yang ada memang tidak membesar, namun demikian, konflik

yang ada lebih seperti 'bara dalam sekam', setiap pelaku ekonomi akan

berhadapan dengan para juru kunci selaku pemegang otoritas sosial. Seakan

menjadi sesuatu yang umum terjadi, para elite di dataran tinggi menjadi lebih

terlibat dalam masalah-masalah politik dan ekonomi justru diluar sektor

pertanian (Hefner, 1999:192). Dalam bidang ekonomi, konflik yang ada

memang semakin besar, tidak hanya bagi penjaga Rumah Mbah Djoego yang

menyesalkan kurangnya transparansi aliran dana, namun juga bagi penjaga

mata air Sumber Manggis, yang terletak jauh di bawah Pasarean. Bagi

pengelola rumah Mbah Djoego dan masyarakat sekitar menyesalkan bahwa

rumah Mbah Djoego tidak lebih dari tempat menyimpan pusaka dan tempat di

adakannya pertunjukkan wayang jika ada yang melakukan nazar atau kaul.

Karena hampir seluruh prosesi diadakan di pendopo Pasarean, maka penjaga

rumah hanya mendapat porsi yang kecil dari berbagai prosesi acara kaul.

Pada berbagai kegiatan, seperti tahlil akbar atau ritual bulan syuro

(muharram), juru kunci yang memegang peranan paling penting adalah

Raden Asim Nitiredjo, yang secara simbolis membuka pintu Pasarean,

dimana berbagai sesaji akan diletakkan. Sebagai pemegang kunci,

18

Page 19: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

kedudukan Raden Asim Nitiredjo jelas tidak dapat dipandang remeh. Dapat

dikatakan bahwa Raden Asim merupakan menerus hubungan dengan

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini jelas merupakan suatu jawaban,

bahwa di tangan Raden Asim Nitiredjo lah segala keputusan mengenai

Pasarean dan para pendukungnya diambil dan dilaksanakan. Tidak

mengherankan jika ketidakpuasan hanya dalam pribadi masing-masing,

jarang ada yang berani terang-terangan mengambil tindakan konfrontasi

langsung. Berbagai usaha yang diambil pada umumnya berdasarkan atas

prinsip kekeluargaan dan demi mewujudkan kerukunan. Dalam nilai budaya

Jawa yang kental, yang tetap dipilihara, setiap orang selalu berusaha

menempatkan dirinya pada tempat yang tepat dan tidak bersinggungan

dengan apapun dan siapapun. Ambisi probadi bukannya tidak ada sama

sekali, namun ditampilkan sedemikian rupa – secara implisit – dan

pencapaiannya sedapat mungkin tidak menimbulkan banyak goncangan.

Dengan demikian, usaha untuk menjadikan kekeluargaan dan kerukunan

tidak lebih sebagai usaha dari pencegahan konflik, terutama yang bersifat

terbuka.

Konflik yang selama ini terlihat dipermukaan tidak lebih merupakan

fenomena gunung es, dimana konflik atau pertarungan yang sesungguhnya

berada jauh didalamnya. Jika pada umumnya sistem pelapisan sosial di

masyarakat agraris didasarkan pada kepemilikan tanah, pada pada

masyarakat desa Wonosari hal ini mungkin tidak terlalu berlaku. Selain tanah

yang dimiliki, salah satu faktor yang paling penting adalah legitimasi dari

pihak Keraton dan status sebagai golongan 'darah biru' dalam hal ini sebagai

priyayi. Akhirnya konflik memang harus terjadi, dengan adanya konflik, setiap

orang harusnya menjadi lebih sadar akan tanggung jawabnya.

19

Page 20: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri, adanya Kawasan Wisata Ziarah Pasarean

Gunung Kawi telah mengubah banyak sisi dari kehidupan masyarakat yang

ada disekitar kawasan Pasarean, terutama dalam bidang ekonomi.

Perubahan yang mungkin paling signifikan adalah adanya pembangunan

yang pesat dari sarana dan prasarana untuk menunjang adanya wisata

ziarah. Salah satu hal yang umumnya muncul dalam kegiatan pariwisata

adalah munculnya tindakan ekonomi dengan menyediakan kebutuhan dari

para peziarah yang datang, mulia dari kebutuhan untuk beribadah, makanan

dan minuman, hingga penginapan.

Berbagai tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi

telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur dalam masyarakat. Adanya

pengelompokkan kelas ekonomi, dan munculnya elite baru adalah

konsekuensi logis dari adanya kawasan wisata. Kawasan wisata selalu

menuntut banyak hal, dan terutama sekali menyebabkan banyak hal. Geliat

ekonomi sebagai akibat langsung dari adanya wisata ziarah telah

menyebabkan terjadinya konflik antar para elite. Disinilah dibutuhkan

kebijaksanaan para elite, bukan untuk meredam konflik yang ada, namun

lebih pada usaha untuk mencarikan jalan keluar terbaik, untuk

mempertahankan eksistensi dari Kawasan Wisata Ziarah Pasarean Gunung

Kawi.

Jika dilihat sepintas, masyarakat di Kawasan Wisata Ziarah Pasarean

Gunung Kawi terlihat sangat berbaur, toleran, dan menghormati satu sama

lain. Tidak terlihat adanya konflik, yang ada adalah usaha untuk membuat

suasana setenang mungkin demi terselenggaranya kegiatan ritual. Segala

tindakan ekonomi bertujuan mulia, yakni membantu para peziarah yang

datang. Namun jauh didalam yang terlihat, terjadi konflik yang mungkin akan

semakin membesar dan melebar. Dalam konteks buaday Jawa, konflik adalah

hal terakhir yang akan terjadi, setiap orang harus menjaga keselarasan,

20

Page 21: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

dengan demikian 'konflik dilarang tampil dimuka umum'. Segala macam

konflik mungkin bersumber pada masalah ekonomi, namun ekonomi juga lah

yang menjadi salah satu pondasi bagi terselenggaranya perubahan sosial di

Desa Wonosari. Perubahan akibat ekonomi memang tidak selalu membawa

dampak negatif, namun juga positif. Disinilah dibutuhkan ketelitian dalam

mengambil tindakan, terutama tindakan ekonomi. Karena bagaimanapun

kegiatan ekonomi di Kawasan Wisata Ziarah Pasarean Gunung Kawi dapat

menjadi bumerang bagi masyarakat sekitar.

21

Page 22: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

DOKUMENTASI

Jalan Aspal Mulus, setelah jalan utama Malang – Kepanjen - Talang Agung di kaki Gunung

Kawi, jalanan menuju lokasi Pesarean R.M. Imam Soedjono dan Kyai Zakaria tampak

beraspal mulus hingga daerah sekitar pesarean, yang dijadikan sebagai jalur penghubung

utama.

Keasrian yang mempesona, suasana yang terpelihara disekitar pesarean Gunung Kawi

yang terlihat mempesona, merupakan gaya tarik terhadap para peziarah dan wisatawan yang

dating ke pesarean Gunung Kawi.

22

Page 23: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Paving di Jalanan Kecil, jalan kecil (gang) sekitar pesarean di paving dari hasil donator para

peziarah yang sudah berhasil usaha atau terkabul keinginannya. Jalanan inilah juga yang

menghubungkan antara satu desa dengan desa lain di sekitar kompleks pesarean.

Plakat Sumbangan, plakat sumbangan seperti ini banyak kita lihat di bangunnan-bangunan

kompleks pesarean, disamping itu juga terpasang dibeberapa tempat fasilitas umu lainnya.

Selain itu para peziarah yang sudah berhasil menyumbang jam-jam besar, lilin besar, kertas

untuk Chiamsi dan sebagainya sesuai janji saat memohon keberhasilan.

23

Page 24: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Gerbang Komplek Pesarean, gapura ini satu-satunya pintu utama menuju makam R.M.

Imam Soeedjono dan Kyai Zakaria. Dari area parkir mobil sampai makam para peziarah

melewati 3 gapura yang terletak di awal, tengah dan akhir (utama) ini.

Padepokan R.M Imam Soedjono dan Kyai Zakaria, rumah yang dulu pernah ditempati Eyang Imam Soedjono dan Kyai Zakaria atau Eyang Djoego terletak 5 meter sebelum gapura tengah. Kini disini terdapat ruangan khusus untuk menggelar wayang dan sebuah Klenteng .

24

Page 25: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Toko dan Warung Sepanjang Jalan, dari area parkir menuju pesarean rumah-rumah penduduk telah berubah sebagai tempat usaha mereka mulai warung, penginapan, restoran,

took cidera-mata dan took klontong.

Suasana Pasar yang Ramai, banyak pendagang kaki lima yang berjualan disepanjang jalan ini. Utamanya pada hari-hari khusus seperti malam Jumat Legi pedagang disini bisa meraup

keuntungan lebih dari peziarah yang dating dikompleks pesarean pada hari-hari khusus tersebut.

25

Page 26: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Pohon Dewa Ndaru, pohon ini sama dengan yang ada didepan pesarean Mbah Djoego dan Eyang Soedjono, tapi pohon didepan pesarean dikeramatkan karena dianggap bertuah. Apabila kita kejatuhan daun bahkan buahnya maka keinginan kita akan terpenuhi dan

usahanya akan lancer

26

Page 27: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

DAFTAR PUSTAKA

Bee, R.L 1976 Patterns and Processes, an Introduction to Anthropological

Strategies for the Study of Sociocultural Change. New York: The Free Press

Brittan, A. 2000 "Social Structure and Structuration". Dalam Adam Kuper dan

Jessica Kuper (ed.) "Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial",. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Budiwanti, E. 2000 Islam Sasak, Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS

Hefner, R.W 1999 Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Cet-

1. Yogyakarta: LKiS

King, G. dan Meghan W. t.t. "Diffusion and Aculturation" dalam

www.as.ua.edu/ant/Faculty/murphy/diffusion.htm

Kroeber, A.L 1948 Anthropology: Race, Language, Culture, Psychology, Prehistory.

New York: Harcourt, Brace & Co.

Kuntowijoyo 1999 Budaya dan Masyarakat. Cet-2. Yogyakarta: Tiara Wacana

Lauer, R.H. 1989 Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Aksara

Murdock, G.P., et.al 1965 Outline of Cultural Materials. 4th revised edition. New Heaven:

Human Relations Area Files, Inc

Rose, A.M. 1987 "Social Change". Dalam The Book of Knowledge. Glorier Inc.

Scott, J.C. 1981 Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara. Cetakan pertama. Jakarta: LP3ES

Soeryowidagdo, R.S. 1989 Pasarean Gunung Kawi. Malang: Yayasan Ngesti Gondho

Spradley, J.P. 1997 Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana

27

Page 28: Pasarean Gunung Kawi, Perubahan Sosial Budaya

www.umamnoer.co.cc – spread your wings and soar

Suparlan, P. 1986 "Kebudayaan dan Pembangunan" dalam "Dialog" No. 21,

September. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. Hlm. 7-24.

Triyono, L., dan Nasikun 1992 Proses Perubahan Sosial di Desa Jawa, Teknologi, Surplus

Produksi, dan Pergeseran Okupasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

28


Recommended