SOSIOLOGI POLITIK
MEMIKIRKAN KEMBALI SISTEM PEMERINTAHAN
Disusun Oleh Kelompok 6:
Diah Perwitasari (4115133783)
Gilang Ahmad (4115133801)
Khoirun Nisa (4115133774)
May Rinta Sari (4115133787)
Muhammad Hanif (4115133781)
Tyas Ayu Karyasih (4115137055)
Yulia Najeges (4115137050)
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kepada
penulis sehingga berhasil menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Memikirkan Kembali Sistem Pemerintahan”. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Sosioologi Poltik.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Mei 2016
Tim Penulis
i
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori-Teori Kontemporer Tentang Negara dan Masyarakat Sipil.......................................3
B. Peralihan Post-Modern........................................................................................................3
C. Konsep Konservatisme........................................................................................................5
D. Giddens: melampaui Kiri dan Kanan..................................................................................5
E. Beck : Masyarakat Risiko dan Penemuan Kembali Politik..................................................8
F. Penilaian Kritis terhadap Giddens dan Beck.....................................................................10
K. Memikirkan Kembali Kiri.............................................................................................12
L. Penilaian Kritis terhadap Miliband dan Wainwright.........................................................13
M. Pluralisme Radikal: Menuiu Konvergensi Teoretis.......................................................16
N. Pemerintahan Global.........................................................................................................21
O. Teori Hubungan dan Risiko Global...................................................................................22
P. Dilema Keamanan Baru....................................................................................................23
Q. Menuju Pemerintahan Global............................................................................................24
R. Rezim Rezim Internasional...............................................................................................25
S. Perserikatan Bangsa Bangsa..............................................................................................27
T. Masyarakat Sipil Global....................................................................................................31
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para sosiologi kontemporer telah memahami hubungan antara negara dan
masyarakat sipil dan telah berusaha menangkap persoalan yang dimunculkan
oleh hubungan ini terhadap pemerintahan manusia dan juga telah bergulat
dengan masalah tentang bagaimana hubungan negara dan masyarakat sipil dapat
direformasi agar bisa secara efektif menghadapi perubahan sosial.
Fokus utama sosiologi politik adalah relasi kekuasaan yang saling tergantung
antara negara dan masyarakat sipil. Kesimpulan ini akan mencakup tinjauan
terhadap elemen-elemen utama argumen ini, sekaligus pembahasan singkat
tentang cara-cara yang bisa ditempuh sosiologi politik untuk menjawab
persoalan kontemporer dalam pemerintahan.
Pertanyaan yang harus selalu dijawab oleh sosiologi politik adalah:
bagaimanakah kekuasaan didistribusikan dan dilembagakan dalam masyarakat?
Jika kita hendak menjawab pertanyaan ini, maka teks ini berpenierian bahwa
sangatlah penting untuk mengakui sentralisasi negara. Hal ini karena negara-lah
yang merupakan institusi politik yang paling mampu memusatkan semua sumber
daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kekuasaan ekonomi, komunikasi,
dan militer. Namun, arti penting negara belum dapat diterima oleh semua
sosiologi politik.
B. Rumusan Masalah
Jika dilihat dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka
rumusan masalah yang dapat ditarik adalah bagaimana para ahli sosiologi
kontemporer telah memikirkan kembali sistem pemerintahan dalam sorotan
berbagai tantangan global.
1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis dalam menyusun makalah ini adalah agar dapat meningkatkan
pemahaman tentang pengaruh berbagai perubahan sosial saat ini terhadap
hubungan negara-masyarakat sipil, dan permasalahan sistem pemerintahan
kontemporer. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menjadi
pengetahuan bagi kita semua.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori-Teori Kontemporer Tentang Negara dan Masyarakat Sipil
Proses perubahan sosial bukan hanya menunjukkan berlanjutnya kekuasaan
negara, namun juga memperlihatkan betapa probelematis dan kontradiktifnya
hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Jika pemerintahan hendak
diperbaiki, kemampuan negara untuk memusatkan kekuasaan harus diakui dan
dilawan. Relevansi berbagai ideologi kaum modernis dalam membentuk sistem
pemerintahan masa depan. Bagi Giddens dan Beck, liberalisme dan sosialisme
telah kehabisan tenaga, ketika berbagai proyek pencerahan telah menemui
keterbatasannya. Miliband dan Mainwright mempertahankan esensi sosialisme
sebagai teori emansipatoris (pembebasan).
Teori-teori ini melalui adaptasi besar-besaran terhadap teoriteori klasik, telah
mengalami konvergensi (pengerucutan) menuju posisi pluralis radikal, dengan
int berupa demokratisasi negara dan masyarakat sipil. Teori demokrasi asosiatif
oleh Paul Hirst, teorinya merupakan contoh tepat mengenai pluralisme radikal
dan uoaya paling menarik untuk memikirkan kembali hubungan negara-
masyarakat sipil. Pada awal abad ke-20 ini paling tepat digambarkan sebagai
dunia post-modern, dan karenanya berada di luar kemampuan logika kaum
modernis untuk menerangkannya.
B. Peralihan Post-Modern
Post-modernisime melontarkan kritikan tajam terhadap semua proyek teoritis
−¿termasuk liberalisme dan sosialisme−¿yang menawarkan pandangan holistik
(menyeluruh) terhadap eksistensi manusia. Kaum post modernis terutama
mengkritik pedas berbagai media-naratif, yakni teori-teori yang mengklaim
mampu memetakan arah masa depan masyarakat melalui analisis terhadap
3
kondisi umat manusia pada masa lampau dan sekarang (Lyotard, 1984). Untuk
menggantikan individualisme statis dalam liberalisme, dan kolektivisme opresif
Marxisme, post-modernisme menekankan fragmentasi, reativisme, dan multi-
identitas−¿yang seringkali saling bertentangan. Mengistimewakan satu
identitas, satu fragmen, atau satu ‘kebenaran', berarti menindas posisi lain yang
sama-sama sahih.
Sebagaimana identitas, kekuasaan dipahami mempunyai aneka segi. Seperti
dinyatakan Foucault, kekuasaan hadir dalam ‘institusi sosial, ketimpangan
ekonomi, bahasa, pada tubuh kita masing-masing' (Foucaut, 1980). Setiap sistem
pengetahuan, yang oleh kaum post-modernis disebut wacana (diskursus),
niscaya melibatkan pendayagunaan kekuasaan. Oleh karena itu, sifat kekuasaan
yang selalu-hadirdalam hubungan manusia, maka usaha untuk menetapkan
sumber utama kekuasaan−¿misalnya pada negara, suatu kelas, atau kelompok
korporasi−¿akan sia-sia.
Post-modernisme memiliki kekuatan. Marxisme dan liberalisme di
permukaan terlihat emansipatoris, namun bertumpu pada konsep-konsep
keadilan, peramaan hak, dan persaudaraan yang jelas-jelas bernuansa gender.
Dalam menegaskan bahwa kekuasaan dijalankan d tingkat mikro selain juga
makro, karya para penulis seperti Foucault terkait erat denan gagasan kaum
feminis tentang ‘pribadi adalah juga politik'. Konsep wacana kekuasaan yang
beroperasi melalui bahasa juga bermanfaat dalam analisis terminologi seksis
yang demikian merata, dan membantu mengkondisikan interaksi anatra pria dan
wanita dalam kehidupan sehari-hari, namun kontribusinya dari segi perhatian
sentral sosiologi politik bersifat terbatas. Hal ini karena kaum post-modernis
sangat kuat dalam kritik (tentang gagasan universalitas dan keterbatasan meta-
naratif) tetapi tidak banyak menawarkan jalan alternatif yang konstruktif
terhadap pendapat kaum modernis yang mereka cela.
Persoalan dalam pendekatan post-modern terhdap institusi sosial dalam
kekuasaan, tidak pernah dipandang sebagai aribut yang berpotesi positif,
sebagaimana dalam gagasan pemberdayaan. Dalam setiap pemerintahan harus
dibuat pilihan sulit antara berbagai bentuk institusional. Pemikiran post-
4
modernis mengisyaratkan dua kemungkinan pendirian politik. Pertama, suatu
relativisme yang ekstrim dan nihilistik, yang kembali kepada fatalisme pra-
modern, atau mengarah pada perebutan kekuasaan a la Nietzsche, di mana yang
kuat yang berjaya atas yang lemah. Kedua, kritik post-modern terhadap
liberalisme ironisnya justru memberikan suatu perspektif libertarian yang
radikal, ketika satu-satunya yang penting adalah kebebasan untuk memilih,
bukannya hakikta atau akibat pilihan itu sendiri.
C. Konsep Konservatisme
Giddens (1994) dan Beck (1992, 1997) mengakui keterbatasan post-
moderisme dalam mengenali persoalan pemerintahan yang dihadapi oleh
masyarakat modern. Bagi Giddens (1994), post-modernsime berujung pada
‘pengakan tentang ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan yang lebih
besar dibanding diri kita'. Beck lebih melihat potensi dalam post-modernisme,
namun Ia sependapat tentang gagasan kemodernan yang diskonstekstualkan
kembali bukannya sekadar asumsi kaum post-modernis bahwa perubahan sosial
yang mempengaruhi modernisasi lebih menandakan kematiannya dibandingkan
perubahannya enuju sebuah bentuk baru.
Kedua pemikir ini ingin memisahkan penyerupaan modernisasi semata-mata
dengan agasan industrialisme. Proses globalisasi dan tumbuhnya kesadaran
sosial berarti bahwa kemodernan mengandung benih-benih pembaruannya
sendiri, selain potensi penghancurannya. Seperti telah ditulis Beck (1977), ‘ada
banyak kemungkinan modernitas'. Kemiripan teori antara Giddens dan Beck
sangat mencolok.
D. Giddens: melampaui Kiri dan Kanan
Inti analisis Giddens dalam Beyond Left and Right (1994), tentang
‘modernisasi akhir’ adalah suatu pandangan radikal tentang globalisais.
Globalisasi terutama bukanlah suatu deskripsi tentang saling ketergantungan
5
ekonomi, melainkan menunjuk pada saling keterhubungan antara komunitas-
komunitas local dan proses global kemodernan. Produk-produk masyarakat
moderb, seperti telekomunikasi, mikrokomputer, dan satelit, telah
memungkinkan modernisasi menjadi sadar-diri, dan Giddens menggunakan
istilah refleksifitas sosial (social reflexivity)untuk menyebut proses ini.
Masalah pokok yang kita hadapi adalah ketidakpastian buatan (manufactured
uncertainty), yang berisi bahaya-bahaya yang kita buat sendiri, ‘pencapaian’
modernisasi dalam menciptakan teknologi pemusnahan dan komunikasi yang
semakin canggih, berarti bahwa kita dalam waktu bersamaan mengalami resiko
kepunahan yang lebih besar dan semakin sadar bahwa kemungkinan ini
memamng ada. Marxisme maupun liberalisme tidak dapat memberikan sebuah
program perubahan yang koheren, oleh karena itu diperlukan upaya melepaskan
diri dar dogma kiri an kanan. Sosialisme tidak menawarkan sebuah alternatif;
dengan runtuhnya komunisme, kaum kiri terdesak ke sikap ideologis defensif,
yang berpusat pada visi negara kesejahteraan yang ketinggalan jaman.
Persoalan yang ada pada ketidakpastian buatan adalah kebutuhan akan suatu
politik baru yang berpusat pada politik kehidupan, politik generatif, dan
demokrasi dialogis. Politik kehidupan menandai pergeseran dari suatu poitik
yang semata berurusan dengan ‘kesempatan hidup', yang dikaitkan dengan
menuju sebuah politik ‘gaya-hidup' dengan wawasan kesadaran tentang
bagaimana dampak pilihan hidup terhadap alam semesta. Keharusan untuk
menilai ulang hubungan kita dengan alam dan tradisi adalah inti dari
penggunaan Giddens atas filsafat konservatif, yang ‘memperoleh relevansi baru
bagi radikalisme politik sekarang ini'. Aspek-aspek konservatisme mempunyai
arti penting dalam sebuah dunia yang terkuras hingga ke batasnya, karena bagi
kalangan konservatif radikal, sebuah masa depan yang tak pasti memerlukan
penilaian kembali masa lalu. Giddens mengambil sejumlah tema yang
ditemukan dalam karya para teretisi konservatif seperti Burke dan Oakeshott.
Tema-tema konservatif ini mencakup skeptime terhadap kemajuan, etos
tanggung jawab individu dan kebutuhan untuk membangun solidaritas di tingkat
lokal, yang membantu menopang komunitas dan lingkingan yang lebih luas.
6
Peran politik generatif adalah mendirikan institusi yang menumbuhkan
otonomi pribadi maupun tanggung jawab individu kepada diri sendiri dan
kepada masyarakat yang lebih luas. Demokrasi yang dipahami bukan sebagai
pembelaan kepentingan golongan seperti dalam pendapat kaum pluralis klasik,
melainkan sebagai suatu proses yang mengedepankan ‘kepercayaan aktif',
toleransi dan keanekaragaman, melalui pembahasan masalah pemerintaan secara
kolektif. Demokasi seperti ini tidak dapat dibatasi sekadar pada institusi-institusi
demokrasi liberal (meskipun Giddens memandang semua ini tetap penting
artinya), tetapi juga meluas kepada gerakan sosial dan kelompok-kelompok
swadaya (delf help); ‘peleton-peleton kecil' ini (meminjam ungkapan Burke)
membantu membangun keercayaan-diri dan kesehatan mental yang menjadi inti
keberhasilan politik kehidupan.
Perkembangan solidaritas tidak dapat dipuouk dalam masyarakat sipil yang
direvitalisasi. Pertama, hak ini karena intensifikasi globalisasi berarti bahwa
tidaklah praktis merevitalisasi sebuah komsep yang terikat erat dengan negara
yang semakin ketinggalan zaman. Kedua, jika dimungkinkan untuk
meningkatkan otonomi masyarkat sipil, ia bisa menjadi dasar yang kuat bagi
penegasan kaum fundamentalis atas keanekaragaman bangsa dan etnis, yang
bertentangan dengan prinsip demokrasi dialogis.
Adanya ancaman ketidakadilan kekuasaan besar-besaran yang dihadapi
masyarakat modern. Namun, sistem kesejahteraan seperti yang dipertahankan
oleh sosialisme perlu diberi politik generatif dosis tinggi; ia tidak lagi memadai
untuk menghadapi masalah ketika timbul nanti. Sebaliknya, kesejahteraan harus
dipikirkan kembali sebagau pencegahan dan kehati-hatian. Hal ini
mengharuskan dekonstruksi terhadap kesejahteraan model statis, dan sebaliknya
melibatkan sebuah proses mendalam di antara berbagai penyedia kesejahteraan
dan penerima manfaat, untuk merancang bantuan tersebut guna memaksimalkan
otonomi pribadi.
Terdapat fakta bahwa ancaman ketidakpastian bantuan adalah suatu pondasi
untuk unviersalitas dan solidaritas. Melalui tumbuhnya refleksivitas sosial,
modernitas semakin tampak sebagai pedang bermata dua yang telah memberikan
7
kemakmuran dan peluang bagi banyak orang, sekaligus meningkatkan resiko
bagi kita semua. Hal ini menuntut kita untuk secara radikal meninjau kembali
pemahaman kita tentang pemerintahan, dan ironisnya memkasa kita untuk
menilai ulang kritik konservatif terhadap modernitas dan mengatur skeptisme
sehatnya untuk kondisi dunia saat ini.
E. Beck : Masyarakat Risiko dan Penemuan Kembali Politik
Beck memiliki kecemasan terhadap semakin menguatnya risiko dalam
moderenitas mutakhir. Oleh karena itu, pokok pertanyaanya politik dimasa
sekarang adalah “Bagaimana resiko dan bahaya yang secara sistematis
diproduksi sebagai bagian moderenisasi bisa dicegah, diminimalisir,
didramatisasi ataupun disalurkan?”
Efek samping industrilisasi dan sains telah menggantikan konflik kelas
sebvagai penggerak baru sejarah, menurut Back para penyokong ideologi
moderenisasi seperti orang buta yang sedang membahas warna”. Perjuangan atas
persamaan hak digantikan oleh pemeliharaan jaminan hidup. Seperti yang
diungkapkan Beck efek samping produksionis dan eksperimen para ilmuan yang
secara politik tidak dapat di pertanggungjawabkan memperlihatkan tidak adanya
rasa hormat terhadap batasan-batasan manusia, entah itu bersifat sosial ataupun
geografis. Bagi Beck negara telah kehilangan kredibelitasnya karena ia gagal
melindungi warganya dari resiko yang ia sendiri telah membantu
menciptakannya, tertib hukum tidak lagi memupuk kedamaian sosial karena
menenggang bahayanya berarti menyetujui dan melegitimasi kemunduran
masyarakat secara umum.
Dari analisis-analisis Beck juga mengambil aspek-aspek filsafa konservatif.
Sebuah tantangan terhadap penegasan kaum rasionalis atas kemoderenan dan
sains harus berada pada pusat politik baru dan dalamnya banyak bagian Risk
Society, kriik Beck terhadap rasionalitas ilmiah terdengar nyata konservatif ia
menulis bahwa “sins sepenuhnya tidak mampu bereaksi secara memadai
8
terhadap risiko-risiko peradaban, karena jelas terlibat dalam awal mula dan
berkembangnya semua resiko tadi.
Kaidah panduan bagin politik kontemporer haruslah berupa apa yang disebut
Beck sebagai “seni keraguan” optimisme solusi manusia untuk persoalan global
yang ditemukan dalam ideologi pencerahan liberalisme dan sosialisme harus
digantikan oleh skeptisme baru. Bahkan bagi Beck ‘Program politik untuk
kemoderenan yang teradikalisasi adalah skeptisme’. Skeptis disini pada
gilirannya harus diilhami oleh ide konservatif tentang harmoni umat manusia
dengan alam. Seperti ungkapan Beck, moderenitas refleksi melibatkan
‘berakhirnya anti-tesis antara alam dan masyarakat’. Etos moderenisasi tentang
menguasai alam harus memberi jalan bagi etika perawatan, perbaikan, dan
konservasi.
Menurut Beck, pembaharuan politik harus terjadi di tingkat yang disebut sub-
politic. Beck bukan hanya memaksudakan perlindungan institusi masyarakat
sipil yang telah mapan seperti media (yang memberi penyeimbang-yang sangat
dibutuhkan- terhadap negara), namun lebih besar lagi, Beck menyatakan bahwa
politik era moderenisasi mutakhir harus melibatkan etos kritik diri yang
menyebar luas ke seluruh badan publik dan swasta. Beck membuktikan bahwa
sebuah spirit baru demokrasi hadir dalam gerakan aksi-aksi sosial, dan juga
muncul dalam bisnis, dimana kebutuhan untuk merespon dengan semakin
fleksibel perubahan pasar menandakan adanya peluang untuk ‘perpaduan
reformasi demokrasi dengan rasionalisasi kapitalistik’. Semua ini mengandung
arti politisasi masyarakat sipil. Seperti ditulis Beck ‘politik terbongkar dan
meletus melampaui tanggung jawab dan hierarki formal’. Hal ini juga
melibatkan pergeseran dari negara otoriter menjadi negara yang bertindak
sebagai fasilitator perilaku politik dalam masyarakat sipil. Negara otoriter dan
paratai-partai politik yang terkait dengannya telah kehilantgan rasion d’etre
(alasan keberadaan) mereka dengan berakhirnya perang dingin, ancaman musuh
laternatif dan subversif dalam bentuk komunisme telah lenyap, sementara itu
partai politik berbasis kelas-kelas sia-sia saja mencari dukungannya kelas yang
9
telah menghilang. Akibatnya, sub-politik telah mengambil alih peran penting
dari politik dalam membentuk masyarakat.
Dengan berkembangnya masyarakat risiko, dan pendefinisian ulang politik
yang terkait dengannya, Beck menyatakan bahwa individu sedang dibebaskan
dari bentuk-bentuk sosial dalam masyarakat industri. NSMs sangat penting
dalam proses penghubungan antara aktualisasi diri individu dengan situasi risiko
baru. Dalam perlawananya terhadap negara dan intervensi perusahaan kedalam
ranah privat, NSMs (menurut Back), bisa menciptakan basis baru bagi
pemerintahan yang didirikan bukan diatas peran sosial yang telah tergariskan
namun muncul dari identitas diri yang dirancang secara dasar.
F. Penilaian Kritis terhadap Giddens dan Beck
Karya Giddens dan Beck memberikan analisis mendalam tentang persoalan
pemerintah ditengah apa yang diakui keduanya sebagai perubahan sosial yang
besar. Meskipun banyak sekali kesamaan dengan kritikan kaum post-modern
terhadap kemoderenan dan bentuk-bentuk politik yang terkait, namun kedua
pemikiran ini menghindari kesimpulan bahwa tak satupun yang yang bisa
dilakukan secara konstruktif untuk meredefinisi politik di tengah perubahan
keadaan yang mendasar. Hal yang inti bagi Gidens dan Beck adalah penekanan-
penekanan terhadap demokrasi sebagai sesuatu yang berkembang dan penuh
pertimbangan, bukannya bersifat defensif dan dogmatis. Dengan dibayangi
resiko-resiko buatan manusia, secara moral harus memperbaharui politik kita
dengan cara-cara yang melampaui politik kita dengan cara-cara yang melampaui
dorongan-dorongan destruktif dari produksionisme dan pemaksaan solusi
terpusat terhadap persoalan pemerintah. Namun ada sejumlah pertentangan yang
bisa diidentuifikasi dalam karya Giddens dan Beck, kebanyakan berakitan
dengan pertanyaan-pertanyaan sentral kita tenbtang hubungan negara-msyarakat
sipil.
10
Dalam penekanan mereka atas individualisasi kedua pemikiran ini,
mengabaikan alasan-alasan struktural yang menyebabkan ketidak adilan dan
masalah politik. Persoalan terus menerus dalam kapitalisme dan pembagian
kelas masyarakat sipil menjadi inti pendapat kaum sosialis seperti Miliband.
Namun selain kurang memperhitungkan dampak negatif kapitalisme, Giddens
dan Beck juga gagal memberi cukup perhatian terhadap masalah negara.
Giddens berakhir pada pandangan yang sangat liberal tentang hubungan negara
liberal menciptakan kondisi-kondisi umum legitimasi, namun suatu negara yang
menyandarkan legitimasi pada kekerasan itu sangat bermasalah. Bahan dalam
konteks lain Giddens mengakui bahwa ada kontradiksi antara kekerasan dan
legitimasi, karena legitimasi mengisyaratkan adanya komunikasi dan
persetujuan.
Giddens juga berasumsi bahwa sebagian besar aspek kehidupan harus benar-
benardijauhkan dari ranah publik, sebab jika tidak, negara akan cenderung
menjangkau mereka dan menjadi suatu otokrasi. Teori Giddens yang tersirat
leberal tentang negara menjadikan waspada terhadap masyarakat sipil yang
terlepas dari kemampuan mengatur seperti negara. Namun, hal ini bertentangan
dengan dukungannya terhadap politik generatif dan demokrasi deliberatif.
Kontradiksi ini muncul daloam teori Giddens, karena ia memahami masyarakat
sipil hanya dalam pengertian liberal, sebagai sisi lain dari negara. sehingga
ketika negara dihilangkan dari persamaan Giddens berasumsi bahwa ketegangan
laten, yang dimasa lalu diredakan oleh negara, akan diakibatkan pada
‘meningkatnya potensi kekerasan.
Sangat berbeda dengan Giddens, Beck berpendapat bahwa negara menjadi
semakin tidak terbedakan lagi dari bidang sub-politik. Bahkan logika yang
mendasari pendapat Beck adalah penyusutan negara liberal secara bertahap.
Namun yang menjanjikan, Beck mulai melihat adanya persoalan potensi negara
untuk mengandalkan kekerasan ketika ia menyatakan bahwa kaitan antara
kekerasan dan negara ‘sangatlah meragukan’.namun dalam hasratnya untuk
mengkritik penyelewengan fungsi sains ia kurang menyinggung relasi antara
11
antara teknologi, kapitalisme, dan negara. Namun dengan penolakan terhadap
kritik sosialis dan penegasanya tas individualisasi Beck agak nmengabaikan
konteks struktural yang menjadi inti dari kegagalan negara kapitalis liberal. Oleh
karena itu ia gagal membangun logika pendapatnya secara utuh.
G. Memikirkan Kembali Kiri
Bagi Miliband dalam Socialism for a sceptical Age (1994), dan Wainwright
dalam Argument for a new left (1994), ketimpangan kapitalisme lah yang
menjadikan sosialisme sebagai satu-satunya alernatif yang masih koheren dan
benar-benar radikalterhadap liberalisme. Bahkan ia menyatakan bahwa
sosialisme ini adalah suatu penolkan terhadap Marxisme klasik dan
menunjukan bahaya suatu hegemoni baru pengunduran diri di mana kita
berusaha hidup dengan sistem liberal yang sudah cacat sejak awal. Dalam
usaha merevitalisasi pemikiran sosialis klasik berkaitan dengan perubahan
sosial Miliband berusaha memberikan sebuah visi alternatif tentang
pemerintahan.
Millband mendefinisikan alternatif sosialis dalam istilah sederhana yakni
meliputi keberanjutan demokratisasi masyarakat, sebuah etika kesetaraan dn
sosialisasi ekonomi. Secara politik Millband mempertahankan banyak
mekanisme demokrasi liberal sebagai kebutuhan niscaya bagi setiap negara
demokratis. Ia menyerukan kedaulatan hukum, pemisahan kekuasan, dan
yudikatif yang di reformasi namun independen. Ui juga sangat menunjuk
pentingnya partai oposisi untu dapat memberikan kritikan yang bersifat
membangun kepada pemerintah yang disebut Millband sosialis. Namun ia
membayangkan membangun dan mengembangkan alat-alat demokrasi liberal
dengan mendesenbtralisasi kekuasan untuk mereduksi jurang antara wakil dan
warga negara. Menurut Millbend bukanlah moderenitas akan tetapi karena
hegomoni motif yang menomor duakan masyarakat dan lingkungan. Untuk itu
menurut ia sangat penting perubahan ekonomi diiringi dengan reformasi
ekonomi karena demokrasi politik tidak cocok dengan kontrol oligarki sarana
12
kekuasaan. Untuk itu millband lebih setuju jika unsur-unsur industri berada
dibawah pengawasan lembaga publik.
Winwirght salah satu yang menyokong solusi sosialis, ia menawarkan sebuah
visi pemerintahan yang lebih terpusat pad pergerakan sosial dan lebih sekeptis
terhadap peran negara dibanding teori Milband, dia berpendapat bahwa
pendekatan seperti itu khusunya relevan dengan konteks Eropa Timur, dimana
pengalaman komunisme yang negara sentris telah menggoda banyak orang
untuk beralih pada kritik neo liberal terhadap negara an meyokong pasar bebas
sebagai jalan keluar menuju kebebasannya.
Benang merah pendapat Wainwright adalah kritik terhadap teori pengetahuan
yang didukung oleh kaum neo-liberal. Menurut Wainwirght NSMs(gerkan
sosial baru) menegaskan produksi pengetahuan yang pada dasarnya bersifat
sosial. Melalui kampanye-kampanye lokal, struktur kekuasaan yang
terdesentraisasi dan tidak hierarkis serta pengambilan yang hati-hati, gerakan
bukan hanya membangun kepercayaan diri para anggotanya, melainkan juga
produksi bentuk pengethaun baru dan menciptakan cara berfikir baru tentang
persoaln pemerintah. Jalan maju bagi Wainwirght adalah desentralisasi
srtruktur kekuasaan untuk memungkikan lebih besarnya sewakelola politik
dalam ekonomi. Pengethuan inovatif NSMs juga harus terbangun di dalam
sistem perwakilan yang lebih luas.
H. Penilaian Kritis terhadap Miliband dan Wainwright
Berbeda dengan Beck dan Giddens, Miliband menawarkan suatu konteks
yang lebih terstruktur bagi persoalan modernitas mutakhir. Biang keladi
kesalahan adalah kapitalisme. Miliband jelas benar ketika menekankan aspek
dehumanisasi kapitalisme yang memandang individu, dan bahkan alam sebagai
komoditas yang bisa dibeli dan dijual di pasar. Namun. pendapatnya meski
hingga taraf tertentu mengakui pentingnya hubungan saling ketergantungan
antara negara dan masyarakat sipil ini mengesampingkan irasionalitns sistem
13
negara sebagai suatu faktor yang sangat penting dalam menciptakan jurang
pemisah, baik di dalam maupun antarnegara.
Khususnya, ada kecenderungan dalam pendapatannya bahwa Marxisme tidak
terkait dengan praktik negara komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur. la
mengakui bahaya negara otoriter, model Soviet, namun gagal menjelaskan
mengapa negara seperti ini telah muncul di semua negara yang telah mengklaim
Marxisme sebagai cahaya pemandunya. Jika hal ini karena para individu yang
salah menggunakan atau salah menafsirkan Marx, maka siapa yang bisa
mengatakan hal ini tidak akan terjadi lagi? Pandangan seperti itu berarti
mengabaikan lemahnya pandangan Marx tentang politik dan metode transisi
komunisme Persoalan konsep negara dalam karya Miliband digambarkan dalam
pembicaraannya tentang Nazi Jerman dan Perang Dingin.
Meski mengakui bahwa rencana Nazi didasarkan pada banyak dorongan hati
yang berbeda-beda, Miliband berpendapat bahwa hubungan erat antara
Sosialisme Nasional dan bisnis 'bertahan hingga berakhirnya rezim Nazi'
(Miliband, 1994: 36). Namun, banyaknya catatan sejarah dalam periode tersebut
menunjukkan bahwa Miliband meremehkan ketegangan antara tujuan negara
Nazi dan kepentingan bisnis. Seperti ditulis Kershaw (1993: 49), “momentun
irasional rezim Nazi yang pada akhirnya menghancurkan diri sendiri
(menegasikan)....potensi sistem sosial-ekonomi untuk mereproduksi dirinya
sendiri”. Hubungan antara bisnis dan rezim negara adalah sangat kompleks dan
melibatkan pergeseran dinamika kekuasaan antarberbagai sayap partai Nazi dan
berbagai bidang bisnis sebelum dan selama perang. Namun, tahun-tahun terakhir
perang memperlihatkan 'semakin memuncaknya nihilisme Nazisme radikal di
atas kepentingan ekonomi “rasional” (Kershaw, 1993:58). Hal ini menunjukkan
bahwa Nazisme adalah sebuah fenomena yang terbatas pada masalah kekuasaan
negara alih-alih persoalan kapitalisme: isu-isu militerisme negara dan rasisme
negara adalah sentral dalam memahami fenomena Nazi.
Demikian juga, dalam pendapatnya bahwa Perang Dingin pada hakikamya
adalah pergulatan untuk mempertahankan “persaingan bebas”. Miliband
meremehkan persoalan keamanan kekuasaan yang menjadi perhatian para
14
pemain utama yang inheren dalam setiap sistem negara, entah ada pembagian
ideologis yang mendalam ataupun tidak (Millband, 1994:36-42). Dalam kasus
Perang Dingin, seperti dalam analisisnya tentang rezim Nazi, Miliband berada
dalam bahaya ekonomisme, yang ikut andil dalam tiadanya teori yang maju
tentang negara dan pemerintahan dalam Marxisme
Kenyataan bahwa ada kekosongan dalam Marxisme mengenai pemerintahan
dalam suatu masyarakat pasca kapitalis, diakui secara tersirat ketika Millband
menegaskan bahwa “penolakan atas pernisahan antara legislatif dan eksekutif”
oleh Marx dan Lenin adalah “tidak realistis” (Miliband, 1994:82). Jawaban
Miliband terhadap masalah ini adalah dipertahankannya mekanisme demokrasi
liberal (meskipun sangat direformasi). Harapan Miliband terhadap sosialisme
pada akhirnya bersandar pada pergeseran dalam masyarakat industri menuju
dukungan pemilih kepada partai sosialis. Miliband membahas kemungkinan
penciptaan mesin media yang bias dan penggunaan kekuasaan darurat jika
diperlukan, untuk mengakhiri resistensi yang tak sah, ketika sosialisme
berkuasa. Solusi statis Miliband terhadap berbagai persoalan ini tentunya untuk
mengucilkan banyak kelompok radikal di blok kiri yang diidentifikasi oleh
Wainwright sebagai mewakili potensi baru metode desentralisasi pemerintahan
sosialis. Salah satu alasan mengapa harapan Miliband untuk suatu pemerintah
sosialis radikal dan terpilih tampaknya mustahil adalah kegagalan partai sosialis
untuk memperhitungkan kebutuhan akan sebuah jenis baru politik “generatife”
yang diteorisasikan oleh Giddens dan didukung oleh penegasan Wainwright atas
sifat sosial pengetahuan manusia. Seperti dijelaskan oleh Wainwright, agen-agen
individulah yang harus menjalankan tanggung jawab penciptaan masyarakat
alternatif (Wainwright, 1994:122).
Kaum sosialis yang terus mengistimewakan negara, berarti menafikan
keterasingan yang dirasakan oleh rakyat biasa sehubungan pengalaman mereka
dengan pelayanan negara dalam hal kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan.
Namun, dalam dukungan antusiasnya terhadap pencapaian NSMs, Wainwright
berada dalam bahaya melebihlebihkan dampaknya. Misalnya, pendiriannya
bahwa gerakan perdamaian adalah unsur utama yang mengakhiri Perang Dingin
15
adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan (Wainwright, 1994: 241). Kesulitan
ekonomi dan politik Uni Soviet dalam mempertahankan gudang persenjataan
militer yang banyak jauh melebihi tekanan apapun dari kelompok-kelompok
seperti Kampaye untuk Perlucutan Senjata Nuklir. Meski demikian, sosialisme
Wainwright adalah menarik dalam segi konvergensi atau pengerucutannya
menuju unsur-unsur pluralisme dan dalam penerimaan parsialnya terhadap kritik
atas negara yang dilontarkan oleh kalangan neo-liberal dan NSMs. Namun,
dilema NSMs, yang ingin mengadakan perubahan sosial radikal, dan sekaligus
berada di luar struktur politik tradisonal, menunjukkan pentingnya suatu metode
untuk mengkombinasikan struktur terdesentralisasi gerakan seperti itu dengan
sistem pemerintahan yang lebih tersentralisasi.
I. Pluralisme Radikal: Menuiu Konvergensi Teoretis
Argumen Wainwright tentang sosialisme secara tegas menyerukan kebutuhan
akan pertimbangan kembali hubungan antara liberalisme dan sosialisme, dan
antara negara dan masyarakat sipil. Dia menulis perlunya “suatu jenis kiri baru:
di mana suatu liberalisme yang telah bergerak melampaui individualisme
bekerja-sama dan bersaing dengan suatu bentuk sosialisme yang tidak lagi
bergantung pada negara bangsa” (Wainwright, 1994: 16). Argumen seperti ini
mewakili kecenderungan umum di antara banyak sosiolog politik yang menjadi
lebih beragam dalam pendekatan mereka terhadap persoalan hubungan negara
dengan masyarakat sipil. Kegagalan negara sosialisme, munculnya NSMs, post-
modernisme, dan neoliberalisme sebagai tantangan radikal terhadap statisme dan
diakuinya proses internasionalisasi, atau bahkan globalisasi, telah menjadi
sebagian alasan utama untuk konvergensi teoretis ini.
Marsh (1995; 270) telah menyatakan bahwa konvergensi ini telah mengarah
pada posisi elitis. Tentu saja, tidak banyak orang yang akan menyangkal bahwa
kaum elit memang mempertahankan kontrol terhadap negara, dan menggunakan
kekuasaan dengan kadar yang tinggi dalam institusi-institusi masyarakat sipil,
Asumsi-asumsi elitis masih mendasari praktik kewarganegaraan dan partisipasi
16
politik dalam demokrasi liberal. Sejumlah pengarang, terutama Etzioni-Halevy
(1993), bahkan telah membuat pembelaan kuat atas landasan normatif, dan juga
praktis, untuk melindungi otonomi elit, yang menurutnya telah menjadi basis
keberhasilan demokrasi liberal. Namun, semua teoretisi yang dikaji dalam bab
ini secara implisit maupun eksplisit menentang dipertahankannya kekuasaan elit,
Bahkan dalam karya Giddens dan Miliband, di mana konsep negara amat
problematis dalam argumen mereka, ada penerimaan atas kebutuhan untuk
pendekatan yang lebih bottom-up terhadap persoalan pemerintahan, di mana
individu memainkan peranan yang jauh lebih aktif dan bertanggung jawab.
Sebagian besar pemikir sekarang ini menerima bahwa keliru jika
mengidentifikasi kekuasaan sebagai terletak pada suatu bagian tunggal dalam
masya- rakat sipil, dan mereka menggunakan pendirian pluralis tentang
keanekaragaman, sebagai benteng pertahanan statisme otoritarian.
Sebagai akibat perubahan sosial yang sangat cepat, relasi yang tepat antara
negara dan masyarakat sipil telah menjadi sangat problematis. Hasilnya adalah
ketertarikan yang lebih besar kepada demokrasi, bukan hanya sekadar sarana
untuk meraih tujuan, namun sebagai suatu kebaikan itu sendiri. Misalnya,
Giddens dan Wainwright menekankan bagaimana perdebatan dan partisipasi
demokratis dapat membangun keyakinan dan kepercayaan antarindividu. Seperti
telah kita lihat, bahkan Miliband (dalam rekomendasi konstitusionalnya)
menerima potensi ketegangan antara Marxisme dan demokrasi. Jadi, sebagian
besar pemikir kontemporer mengecilkan demokrasi sebagai suatu pencarian
kebenaran tunggal, dan sebaliknya menekankan proses pertimbangan dan
pembangunan konsensus sebagai hal yang berharga. Semua pemikir yang telah
dikaji juga mendukung pendekatan pluralis terhadap ekonomi. Bahkan pengamat
Marxis sekarang ini cenderung menyokong suatu ekonomi campuran, atau
setidaknya yang sangat terdesentralisasi, dan sebagian besar telah menolak
pandangan deterministik sederhana tentang hubungan antara ekonomi dan jenis-
jenis kekuasaan yang lain.
Karya seorang neo-Marxis yang paling canggih, Bob Jessop, memberikan
contoh yang baik tentang konvergensi aspek-aspek pluralisme maupun
17
Marxisme saat ini. Jessop menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah analisis
tentang hubungan antara negara dan masyarakat, dimana tak satu pun dari
keduanya yang diberi signifikansi secara a priori. Jessop menyatakan bahwa
kekuasaan negara, “tidak bisa direduksi menjadi suatu realisasi sederhana dari
apa yang diakui sebagai kebutuhan atau kepentingan modal” (Jessop, 1990:
354). Dalam pendekatan “strategi rasionalnya”, Jessop dengan sadar berpindah
dari ekonomisme ke suatu pandangan pluralis radikal tentang dinamika negara-
masyarakat sipil. Baik negara maupun institusi masyarakat sipil memiliki
sumber daya independen yang menjadikan dominasi total satu terhadap yang
lainnya menjadi mustahil. Oleh karena itu, “negara membentuk masyarakat dan
kekuatan sosial membentuk negara” (Jessop, 1990:361-2).
Disebabkan kompleksitas hubungan ini, apapun strategi negara, yang
berusaha memerintah dengan cara baru, harus berusaha memperoleh dukungan
dari beberapa bagian masyarakat sipil. Terlebih lagi, peristiwa masa lalu,
konflik, krisis, kompromi dan perjuangan berarti bahwa sejurnlah projek
perubahan sosial cenderung lebih berhasil dibanding lainnya. Intinya adalah
bahwa karena kekuasaan sampai taraf tertentu selalu terfragmentasi, tidak ada
strategi apapun yang bisa sepenuhnya dominan: “kekuasaan negara berhadapan
dengan batasan dan perlawanan struktural, yang tak terelakkan membatasi
kemampuannya untuk menguasai formasi social” (Jessop, 1990:361-2). Oleh
karena itu, Jessop memberi perhatian besar terhadap tindakan dan kalkulasi
aktor-aktor politik dalam membentuk hakikat negara. Hal ini memungkinkan
lebih banyak variasi bentuk negara dibanding yang muncul dalam teori yang
lebih struktural dan deterministik yang terkait dengan Marxisrne klasik. Dengan
demikian, Jessop memandang negara dan masyarakat sipil berada dalam
hubungan yang tegang dan seringkali bertentangan. Pertentangan ini
mewujudkan bentuknya sendiri bukan hanya melalui konflik kelas, namun juga
dalam pergulatan berdasarkan gender, ras, generasi, dsb. “Paradoks pokok”
dinamika negara masyarakat sipil ini, seperti telah kita lihat sepanjang buku ini,
adalah hal yang inheren (melekat) dalam liberalisme, dan bagi kaum Marxis
merupakan sumber keterasingan dan penindasan.
18
Tugas yang dijalankan oleh pengamat pluralis radikal seperti Hirst (1994)
adalah berusaha mengatasi paradoks tadi dengan secara parsial melepaskan
hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Dalam bukunya Associative
Democracy (1994), Hirst membuat satu usaha yang paling menarik untuk
mendamaikan negara dan masyarakat sipil melalui seruan perubahan
fundamental terhadap hubungan keduanya. Menurut Hirst, tantangannya adalah
membangun di atas dasar ide-ide liberal seperti otonomi individu, kebebasan,
dan keragaman dengan menjadikan nilai-nilai tersebut riil bagi seluruh anggota
masyarakat.
Khususnya, dampak destruktif kemiskinan dan ketidakberdayaan atas
kehidupan individu perlu disoroti. Namun, pada saat yang sama, Hirst mencatat
bahaya solusi sosialis yang berusaha menyelesaikan masalah tadi melalui
intervensi negara. Pendekatan penganut statis ini berarti “pemberlakuan aturan
dan standar pelayanan yang sama terhadap tujuan yang semakin beragam dan
pluralistik dari anggota masyarakat modern” (Hirst, 1994:6). Oleh karena itu,
Hirst setuju dengan Beck dan Giddens tentang perlunya mengakui eksistensi
penduduk refleksif dalam masyarakat industri, dan karenanya keniscayaan untuk
mengadopsi model politik generatif. Apa yang ditawarkan Hirst adalah usaha
untuk menyusun politik generatif melalui gagasan asosiasionalisme:
Asosiasionalisme memungkinkan lagi demokrasi representatif yang
bertanggung jawab, dengan membatasi jangkauan administrasi negara, tanpa
mengurangi pemberian bantuan sosial. Hal ini memungkinkan masyarakat
berbasis-pasar untuk mewujudkan tujuan sebenarnya yang dikehendaki oleh
warga negara, dengan melekatkan sistem pasar ke dalam jaringan sosial institusi-
institusi yang koordinatif dan teregulasi (Hirst, 1994: 12).
Hirst menyarankan bahwa jalan ke depan adalah merekonstruksi institusi
politik untuk memungkinkan kelompok-kelompok individu membangun
komunitas swakelola sendiri dalam masyarakat sipil (Hirst, 1994: 14).
Perkumpulan-perkumpulan dalam masyarakat sipil harus menjadi kendaraan
utama untuk keputusan demokratik dan penyedia pokok kesejahteraan. Hal ini
jelas membutuhkan suatu negara federal dan terdesentralisasi, yang
19
menyediakan dana publik untuk perkurnpulan-perkumpulan ini, Sejumlah tugas,
seperti pertahanan nasional, masih perlu beroperasi di tingkat negara. Namun,
pemerintahan akan semakin melibatkan warga negara dalam membuat
keputusan, dan negara menetapkan sebuah kerangka regulasi dan standar umum
(Hirst, 1994:24). Menurut Hirst, permasalahan dalam sistem politik representatif
bukanlah representasi itu sendiri, namun lebih pada jangkauannya.
Dalam perhitungan Hirst, desentralisasi demokrasi akan membantu mencegah
tirani mayoritas di tingkat negara. Hal ini juga akan meningkatkan komunikasi
antara berbagai tingkat pemerintahan, dan dengannya menggali pengetahuan
yang dihasilkan di tingkat lokal yang biasanya diabaikan atau dilangkahi dalam
sistem yang lebih terpusat. Perkumpulan sukarela, yang diberdayakan dengan
uang publik, bisa juga menjadi suatu cara yang lebih sesuai untuk meningkatkan
hubungan dengan kelompok serupa di negara lain. Oleh karena itu,
asosiasionalisme mungkin lebih siap dibanding negara antagonistik dalam
menghadapi tantangan dunia semakin saling-tergantung (Hirst, 1994: 71),
Asosiasi-asosiasi yang dipromosikan oleh Hirst akan sangat beraneka-ragam,
meliputi organisasi gereja, kelompok sukarela, dan NSM. Masing-masing akan
mampu mengorganisasi diri mereka sendiri dengan cara apapun yang mereka
pilih, asalkan mereka tidak melanggar hak-hak asasi individu, termasuk hak
untuk keluar dari kelompok.
Batu pondasi sistem Hirst adalah gagasan tentang jaminan penghasilan bagi
warga negara, yang sekali lagi didanai melalui pajak terpusat. Dengan satu
tindakan saja hal ini akan merealisasikan prinsip kesukarelaan, dengan
menghilangkan keharusan untuk mencari pekerjaan yang kurang layak dengan
gaji rendah sekadar untuk bertahan hidup, dan dengan membebaskan warga
negara dari ketergantungan terhadap negara kesejahteraan yang birokratis dan
arbitrer (Hirst, 1994:134). Kebijakan seperti itu, yang juga merefleksikan sifat
sosial dari produksi ekonomi, cenderung akan menghasilkan masyarakat sipil
yang lebih kaya dan leih beraneka ragam, ketika individu dibebaskan dari beban
keharusan untuk memperoleh nafkah dasar, dan sebaliknya dapat memilih
20
menekuni kegiatan budaya, melakukan kerja sukarela atau membangun
kerjasama yang inovatif.
Dipandang dari segi ekonomi, Hirst membayangkan demokratisasi
perusahaan-perusahaan yang akan didorong untuk menjadi asosiasi-asosiasi
yang memerintah diri sendiri (Hirst, 1994: 146). Hirst menyarankan berbagai
macam undang-undang pemberian dana dan insentif pajak yang akan
memberikan kontrol lebih besar oleh tenaga kerja terhadap perusahaan.
Keterbatasan ruang tidak memungkinkan saya untuk memerinci hal ini di sini,
tapi poin intinya adalah bahwa sebuah ekonomi asosiatif akan berupa ekonomi
di mana “doktrin pengelolaan ekonorni yang lebih terdesentralisasi dan
bergantung pada mekanisme politik yang mengupayakan koordinasi dan
pemenuhan regulasi melalui kerjasama aktor-aktor ekonomi” akan membantu
mengurangi ketegangan antara negara dan masyarakat sipil (Hirst, 1994:96).
Teori Hirst bukanlah tanpa persoalan. Khususnya, para kkritikus bisa
menunjuk pada kekuatan perlawanan terhadap serangan atas keistimewaan yang
muncul akibat perubahan oleh asosiasionalisme, yang mungkin telah diremehkan
oleh Hirst. Para elit tradisional akan cenderung berusaha menghalangi metode
pemerintahan yang lebih kooperatif dan egaliter, terutama terhadap undang-
undang radikal seperti jaminan penghasilan. Para penganut sosialis mungkin
juga ingin menyatakan bahwa ketidakadilan pada tingkat global hanya dapat
dilawan dengan komitmen pada sosialisasi struktur ekonomi yang lebih radikal
dibanding yang dipertimbangkan oleh Hirst.
Namun, bentuk asosiasionalisme yang diteorisasikan oleh Hirst memang
menyajikan versi pluralisme radikal yang paling menjanjikan. Pluralisme radikal
menghasilkan penekanan yang lebih besar terhadap keagenan manusia,
pengakuan terhadap persoalan negara, dan kebutuhan akan struktur ekonomi dan
politik yang mencerminkan keanekaragaman masyarakat sipil. Gagasan-gagasan
seperti itu menyiratkan adanya satu titik konvergensi teoretis bagi yang sosiolog
politik kontemporer.
J. Pemerintahan Global
21
Globalisasi menyebabkan terjadinya berbagai resiko, negara pun ikut
bertanggung jawab sepenuhnya dalam penciptaan berbagai risiko yang terjadi
akibat global misalnya melalui penguayaan persenjataan yang semakin modern,
dan penggalakan liberalisasi telah menimbulkan ketidakadilan global dan
semakin memburukya kondisi lingkungan, negara juga tetap sebagai actor poitik
yang paling cakap dalam melawan risiko-risiko tadi.
Beberapa kelemahan dalam teori hubungan internasional sebagai sebuah
disiplin akademis yang paling berurusan dengan politik global merupakan
eksplorasi sejauh mana institusi pemerintahan global telah mulai berkembang.
K. Teori Hubungan dan Risiko Global
Teori hubungan internasional berkenaan dengan kekuatan-kekuatan yang
membentuk politik diluar batas suatu negara. Periode pasca-perang, alur teoretis
yang dominan dalam disiplin ini adalah Realisme. Bagi kaum realis, negara
adalah actor utama dalam hubungan dunia. Bagi penganut realis klasik, seperti
Morgenthau konflik adalah ciri yang selalu hadir dalam sistem negara, karena ini
ciri sifat manusia yang selalu ada. Gambaran yang dilukiskan Morgenthau
tentang hubungan anarkis sistem internasional itu serupa dengan teori Hobbes
tentang watak negara, yang menggambarkan ketidakamanan masyarakat tanpa
negara. Bagi Hobbes, individu seperti halnya negara didorong oleh pencarian
kepentingan sendiri dan akrenanya selalu ada kemungkinan adanya apa yang
disebut Hobbes sebagai suatu “perang semua melawan semua”.
Keadaan ini hanya dapat dicegah jika individu membuat kontrak dengan
suatu kekuasaan yang lebih tinggi untuk melindungi mereka dari orang lain.
Namun, analogi tersebut bagi kaum realis dikatakan sebagai hal yang terbatas.
Pemerintah global adalah sebuah ilusi utopia yang menyangkal kenyataan
kedauatan negara yang tetap menjadi landasan hubungan internasional.
Kedaulatan kemudian menjadi konsep utama dalam realisme. Namun, struktur
internasional yang menciptakan ketegangan antarnegara dengan tidak adanya
otoritas yanglebih tinggi, negara bersaing satu sama lain untuk menjamin
keamanan masing-masing. Sedangkan kekuatan realisme adalah karena ia
22
menyoroti irasionalitas yang mendasari pondasi logika tentang satu dunia yang
terbagi menjadi negara-negara. Persoaan teori hubungan hubungan internasional
mainstream terutama terletak dalam pemahamannya tentang kedaulatan dan
keamanan negara.
Kedaulatan negara telah menjadi pondasi di antara sistem negara semenjak
Treaty of Westphalia. Gambaran kaum realis klasik tentang sistem negara itu
ibarat sejumlah bola bilyar yang terpisah dan keras, yang kadangkala
bertabrakan dan tidak mampu membangun kepentingan bersama. Gambaran bola
bilyar yang padat pun tersingkir digantikan oleh kiasan tentang negara ‘yang
berlubang-lubang’. Dan negara tidak boleh dipandang dalam segi atomistiknya,
yang mana proses globalisasi semakin menghubungkan persoalan masyarakat.
L. Dilema Keamanan Baru
Perlindungan atas keamanan masyarakat merupakan janji utama negara. Taraf
memenuhi janji negara tergantung variasi pada penguasaannya atas sumber daya
kekuasaan. Demokrasi liberal telah membanggakan diri atas perlindungan
mereka terhadap hak dan partisipasi warga secara internal, namun dalam area
internasional mereka mendukung negara yang mengingkari hak ini bagi
warganya dimana kebebasan tadi hanya khayalan semata. Konsep kedaulatan
telah memberikan kedok bagi diktator berupa legalitas internasional, yang
menyembunyikan hak asasi manusia.
Pandangan sempit tentang keamanan seperti itu telah menjadi usang, saat ini
sedang menghadapi krisis yang saling berkaitan dan tidak bisa diprediksi.
Sehingga menyebabkan dilema keamanan yaitu isu ketidakadilan global, isu
tersebut sangatlah mengejutkan dampaknya. Terjadinya ketimpangan antara
negara Barat dan Timur mengenai kemiskinan dan serta pertumbuhan media
massa menandakan bahwa kesadaran atas ketidakadilan ini semakin meningkat
dengan cepat. Krisis kelaparan yang terjadi di Sudan seringkali dipotret media
massa sebagai bencana alam. Hal tersebut menjadi kedok untuk
menyembunyikan bahwa manusialah penyebab ketidakadilan ini. Ketidakadilan
23
global memiliki banyak konsekuensi yang berdampak pada negara kaya maupun
miskin. Salah satu tragedy dramatis yaitu ledakan jumlah pengungsi untuk
mencari perlindungan. Kelemahan lain dalam konsepsi tradsional tentang
kedaulatan dan keamanan, yaitu kebanyakan orang menderita dan dalam
keadaan bahaya lebih disebabkan oleh pemerintah mereka sendiri daripada
pemerintah asing.
Perpindahan jutaan orang menjadi titik fokus kestabilan regional dan
peningkatan jumlah senjata nuklir mengandung arti konflik regional semakin
sulit diatasi. Hal tersebut menyebabkan isu-isu kejahatan global menjadi genre
baru ancaman keamanan nasional. Seperti halnya banyak dilemma baru,
ketidakadila global adalah akar dari banyak aktivitas kejahatan yang paling
merusak. Kemiskinan dan ketidakadilan juga meningkatkan kerusakan
lingkungan. Yang dibutuhkan untuk menangkal kerusakan lingkungan dan
keamana lain adalah pendekatan global terhadap pemerintahan.
M. Menuju Pemerintahan Global
Dalam bulan Mei 1998, G-8 bertemu di Birmingham Inggris untuk
membahas serangkaian persoalan global, yang banyak diantaranya
mencerminkan dilemma kemanan baru yang diulas di atas. Poin utama
pembicaraan meliputi implementasi persetujuan Kyoto tahun 1997 (yang
bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca) masalah penggangguran global,
pengenalan pembangunan berkelanjutan dan pengintegrasian negara negara
sedang berkembang ke edalam ekonomi dunia, keharusan untuk meregformasi
arsitektur financial global untuk menghadapi krisis seperti ambruknya mata uang
Asia yang dimulai tahun 1997, dan kutukan terhadap tes nuklir India baru baru
ini (Guardian 1998).
Watak global persoalan persoalan ini menggambarkan tumbuhnya kebutuhan
untuk respon internasional yang koheren. Namun dengan tanpa adanya
pemerintah global, keberhasilan pemerintahan terutama sekali bersandarkan
pada kerjasama antar negara. Namun, lembaga seperti G-8 itu sendiri
mencotohkan watak tak demokratis dan tak dapat dipertanggung jawabkan dari
24
banyak institusi pemerintahan internasional, yang hampir selalu dikuasai oleh
elite lit dari negara barat. Karena itu tidak mengherankan jika prinsip prinsip
yang mendorong pemerintahan global adalah neo liberalisme dan kedaulatan
negara.
Meskipun demikian, adlaah jelas, seperti dinyatakan Shaw (1994) bahwa
bahkan negar anegara kuat telah mulai menyadari keterbatasan kedaulatan
mereka, dan telah mengupayakan kerjasama yang lebih besar dengan negara
lain. Meski dalam satu segi para penganut realis benar ketika mengidentifikasi
tingginya kadar kepentingan pribadi dalam perkembangan ini, namun nyatanya,
seperti telah diindikasikan, dikotomi antara kepentingan pribadi dan morealitas
semakin tidak tepat. Semakin negara negara menyadari bahwa pendekatan
global bagi persoalan dunia paling besar kemungkinannya untuk memastikan
keterlibatan, dan bahwa ketertiban ini harus didasari oleh etika keadilan dan
tanggung jawab bersama; semakin kita cenderung melihat diversifikasi institusi
pemerintahan.
Proses ini sudah berjalan dan digambarkan oleh tumbuhnya organisasi
internasional dan munculnya embrio masyarakat sipil global. Namun kita tidak
dapat sekedar menarik garis lurus dari pemerintahan yang berpusat pada negara
menuju sebuah jenis baru pemerintahan pada tingkat global. Organisais dan
actor actor ini telah berkembang sebagian besar dengan cara ad hoc, penuh
kontradiksi serta sering tidak mempunyai visi pemerintahan di luar capaian
jangka pendek dan manajemen krisis.
N. Rezim Rezim Internasional
Organisasi organisasi internasional selalu menjadi cirri politik dunia. Contoh
dair masa lalu termasuk concert of Europe yang dibentuk setelah kekalahan
napoleon dan liga bangsa bangsa yang didirikan setelah Perang Dunia I. Namun
anggota organisasi semacam itu hampir selalu negara. Sebaliknya konsep
modern tentang suatu rezim internasional merupakan suatu bentuk pemerintahan
yang meski didominasi oleh negara tersusun dair multi actor dan melibatkan
25
peran konsultatif untuk masyarakat sipil global. Bagi kaum liberal, melalui
institusi pemerintahan yang meski didominasi oleh negara tersusun dari multi
actor dan melibatkan peran konsultatif untuk masyarakat sipil global. Bagi kaum
liberal melalui institusi pemerintahan seperti inilah persoalan dunia dapat diatur
tanpa mengambil jalan perubahan lebih radikan terhadap sistem internaisonal.
Rezim yang paling penting “mengatur” ekonomi dunia. Ada banyak
organisasi yang ada untuk mengaswasi dan memajukan perdagangan serta
stabilitas financial. G-8 telah disebutkan tadi namun ada juga Bank Dunia,
Internasional Monetary Fund, World Trade Organisation dan Organisation for
Ecomnomic Coperation and Development (OECD). Walaupun organisasi
organisasi ini mempunyai independensi tertentu dari engara negara dan
berinteraksi dengan actor non negara seperti MNC, namun negara yang paling
kuat sajalah yang menyediakan hubungan di antara mereka. Secara keseluruhan,
berbagai organisais ini membentuk suatu rezim manajemen ekonomi yang begitu
berpengaruh dalam membentuk ekonomi dunia sehingga salah saut komentator
telah menyebutnya pemerintahan dunia secara de facto. Permaslaahan berkaitan
EMR adalah ia didominasi oleh ideologi neo liberal yang menurut Chomsky
dirancang untuk melayani kepentingan TNC, bank bank dan perusahaan
inverstasi.
Tentunya EMR tampak didorong oleh syarat syarat kepentingan korporasi
dan negara Barat. Ia telah dengan gigih menjaga hak barat atas kekayaan
intelektual dengan cara demikian mempertahankan control negara meaju
terhadpa kemajuan teknologi. Di waktu yang sama ia telah menggembar
gemborkan liberalisasi perdagangan di kawan kawasan yang menguntungkan
bagi negara maju. Yang mendasari EMR dan memperkuat argument para
kritikus seperti Chomsky.
Pertama Wade (1998) menyatakan bahwa reaksi abrat terhadap krisis
financial Asia yang memperlihatkan kejatuhan tajam dalam nilai mata uang dan
saham di negara negara seperti Singapura, Indonesia, Korea Selatan serta Jepang
ssekitar tahun 1997-1998 adalah keluru dan cenderung mendominasi. Berbagai
krisis ini telah mengancam terperosoknya kawasan ini atau bahkan dunia ke
26
dalam resesi. Namun reaksi EMR adalah berusaha memaksa negara negara
seperti Korea Selatan melalui persyaratan keras yang disodorkan sebagia paket
paket penyelamatan financial untuk menggunakan sistem deregulasi financial a
la neo liberal, terlepas dari fakta bahwa tidak adanya regulasi yang efektif di
sector financial dan sector lain dalam ekonomi lah yang terutama menyebabkan
persoalan di banyak negara Asia. Bagi Wade dan Venerovo taktik taktit
semacam itu mencerminkan konflik terus menerus antar sistem ekonomi yang
salin bersaing dengan EMR berusaha mendirikan suatu rezim mobilitas modal
skala dunia untuk kepentingan Anglo Amerika yang mendominasi sistem
ekonomi neo liberal.
Kedua EMR telah berusaha meliberalisasi investasi asing dengan cara yang
paling dramatis melalui pengajuan multilateral agreement on investment. Hal ini
pertama kali dibicarakan oleh OECD pada 1995 namun macet tahun 1998
sebagian karena tekanan dari kelompok kelompok lingkungan dan kekhawatiran
beberapa negara sedang berkembang. MAIs telah disebut sebagai Bill of
RIghtsnya MNC. Mereka akan melucuti kekuasaan bangsa bangsa dalam
melindungi diri dari investasi asing yang tidak berkelanjutan dan memberikan
hak yang sangat luas kepada korporasi multinasional dan investor lain. Jika
diimplementasikan kesepakatan ini akan mengubah keseimbangan kekuasaan
antara negara sedang berkembang dan MNC dengna cenderung pad aperusahaan
multinasonal ini.
Negara negara akan tak mampu menghalangi perusahaan asing dann
karenanya MAIS bisa menghalangi perkembangan perusahaan local skala kecil
di negara yang lebih miskin yang bisa merupakan satu satunya langkah realistis
menuju perkembangan yang berkelanjutan. Di bawah MAIs dikhawatirkan juga
bahwa perusahaan asing akan dibebaskan dair ektentuan upah minimum dan
legislasi perlindungan konsumen. Berbagai gerakan sosial juga telah
mengungkapkan keprihatianna tentang melemahnya regulasi lingkungan dan
juga implikasi negatif MAIS terhadap demokrasi.
EMR adalah tipikal kegagalan engar anegara kuat untuk melihat melampaui
kepentingan mereka sendiri yang sempit da untuk mereformasi serta
27
memeanfaatkan rezim rezim tersebut secara efektif mengelola bumi ini.
Kuhsusnya dominasi ideologi neo liberal dalam kebijakan ekonomi telah
menghalangi keberhasilan manajemen atas banyak poin ketegangan di dalam
sistem global, seperti krisis utan, pengangguran dunia, ketidakstabilan sistem
financial dunia, dan kerusakan lingkungan. Watak elitis dan tak demokratis dari
rezim rezim seperti itu juga telah memunculkan pertanyaan tentang hak mereka
untuk mengatur aspek apapun dalam hubungan dunia.
O. Perserikatan Bangsa Bangsa
PBB menawarkan bahan mentah yang lebih menjanjikan untuk membangun
sebuah sistem pemerintahan global, dibandingkan rezim internasional lainnya.
Hal ini sebagian karena ia menjadi satu satunya abdna hukum internasional yang
mempunyai keanggotaan hampir universal dari negara negara di dunia. PBB
berbeda dengan kebanyakan organisasi internasional lainnya, juga memiliki
unsure partisipatoris yang signifikan. Sidang umum PBB beroperasi berdasarkan
prinsip satu negara satu suara dna semua anggota mempunyai kesempatan untuk
menyuarakan opininya tentang hubungan dunia. Namun PBB adalah sebuah
institusi kontradiktif yang semakin melangkan arah tak pasti dari pemerintahan
global.
Di satu sisis, piagam PBB memperkuat doktrin kedaulatan engara. Pasal 2
ayat 7 menegaskan PBB atas doktrin tanpa campur tangnan dalam urusan
domestic negara negara dan badan hukum paling penting di PBB, Dewan
Keamanan, didominasi oleh lima anggota permanennya: AS, China, Rusia,
Inggris, dan Perancis. Struktur negara sentrisnya mencerminkan tujuan awal dan
utama PBB yakni menyediakan sarana di mana agresi militer oleh satu negara
terhadap negara lainnya bisa diselesaikan secara kolektif. Namun di sisi lain
PBB berpotensi subversive terhadpa sistem negara melalui perannya sebagai
pengajur HAM, yang diabadikan dalam Universal Declaration of Human Rights
pada 1948.
28
Ketegangan antar aspek PBB yang saling bertentangan ini menjadi lebih
menonjol pada tahun 1990 an karena perubahan sifat politik dunia. Perang
dingin dengan efektik menempatkan PBB dalam kerangkeng karenana negara
kapitalis barat maupun kekuatan komunis akan menggunakan hak vetonya untuk
menentang resolusi lawannya. Deengan kejatuhan komunisme, penggunaan hak
veto oleh anggota permanen dewan keamanan sangat menurun dan terciptan
kesempatan bagi PBB untuk memainkan peran lebih proaktif dalam hubungan
dunia. Akhir akhir ini PBB telah meningkatkan operasinya di akwaasan yang
mengaburkan perbedaan antar apemajuan HAM olehnya dan penghormatannya
pada kedaulatan negara.
Sejak tahun 1990 PBB telah berspekulasi ke wilayah yang tidak secara jelas
tercakup dalam piagamnya. Kuhsusnya PBB telah mengembangkan peranan
baru dalam menjaga perdamaian di negara seperti Somalia dan Yugoslabia yang
telah terkoyak oleh perang saudara. Namun konsep menjaga perdamaian bahkan
tidak disebutkan dalam dokumen pendirian PBB. Doktrin baru tentang penjaga
perdamaian ini telah diperluas menjadi gerakan penciptaan lokasi perlindungan
di Utara Irak tahun 1991 untuk melindungi rakyat suku Kurdi yang telah
menderita penganiayaan di tangan pemerintahan Saddam Husain. Doktri
menjaga perdamaian mencerminkan realitas dileman keamanan baru yang
semakin melibatkan perkmbangan ancaman terhadap perdamaian dalam batas
batas negara. Namun PBB telah lumpuh dalam peran barunya karena sejimlah
keterbatasan. Khususnya PBB mengalami kekurangan legitimasi dan sumber
daya.
Masalah utama dalm konsep menjaga perdamaian adalah baw=hwa ia telah
diterapkan secar apilih kasih. Resolusi PBB yang mengutuk pelanggaran HAM
yang dilakukan Indonesia di Timor Timur dan Israel di Palestina tela secara
konsisten diveto oleh anggota Dewan Keamanan. Kecurigaan bahwa PBB hanya
akan bertindak bila ia melayani kepentingan negara adidaya, sangat mencolok
ketika negara negara seperti AS bertindak secara unilateral, seperti dalam
invasinya ke Panama tahun 1989 yang telah dikutuk oleh sidanng umum PBB
29
sebagai suatu pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dann
independensi kedaulatan serta integritas territorial negara.
Legitimasi PBB juga dipertanyakan berdasar komposisi dewan kemanan.
Dominasi Dewan oleh Barat harus dikurangni dengan menambah jumlah
anggota permanen, melalui masuknya wakil wakil dari negara sedang
berkembang : Nigeria, Brazil dan India sering disebut sebagai calon calonnya.
Namun yang lebih mendasar, PBB perlu menjawab perubahan sifat isu negara
anggota. isu keamanan dan menyusun kembali piiagamnya agar secara jelas
menentukan tujuan tujuannya. Menurut sejumlah pengamat proses pembentukan
PBB harus melibatkan peran yang lebih besar bagi masyarakat sipil global.
Bannyak yang menyarankan adnaya forum organisasi non pemerintah atua
bahkan sejenis majelis rakyat yang anggota anggotanya dipilih secara
demokratis untuk berkerja berdampingan dengna sidang umum: dewan terpilih
tersebut setidaknya mempunyai peran konsultatif tentang aktivitas PBB.
Pesatnya pertumbuhan aktivitas PBB belum diiringi peningkatan dana iuran
anggota. Nyatanya beberapa negara dan khususnya AS tidak membayar iurannya
pada PBB pada Agustus 1997 AS berhutan 1.4 Miliar dolar. Penunggakan ini
ternyata didasari alasan yang meragukan. Misalnya partai republiik yang
mendominasi senat AS telah menyebut bahwa dukungan PBB terhadap aborsi
yang dianjurkan dalam sejumlah keadaan sebagai bagian dari usaha PBB untuk
melawan ledakan pertumbuhan penduduk global sebagai alasan tak mau
membayar iuran ini.
PBB juga terus menerus kekurangan sumber daya manusia untuk
menjalankan aktifitas menjaga perdamaian. Setelah kegagalan operasi penjagaan
perdamaian di negar aseperti Somalia, berbagia negara enggan mengirim
tetearanya karena khawatir menjadi korban, yang bisa merusak popularitas
pemerintah di dalam negeri. Bahkan pada Mei 1994 Presiden Clinton
menyatakan bahwa AS hanya akan berpartisipasi dalam operasi operasi PBB
jika melibatkan kepentingan AS di dalamnya.
Jika penjagaan perdamaian PBB hendak terus dihidupkan, dibuthkan suatu
pasukan reaksi cepat independen yang terdiri dari sukarelawan dari negara
30
anggota. Hal ini akna sangat meningkatan kecepatan reaksi PBB terhadpa krisis
internasional yang selama ini cenderung lambat dan setengah hati pada 1994
misalnya: Dewan keamanan memutuskan dengan suara bulat bahwa dibutuhkan
5500 tentara untuk di kirim ke Rwanda namun diperllukan waktu 6 bulan bagi
negara anggota untuk mengirim pasukannya. Pasukan permanen tersebut juga
akna membantuk menyelesaikan masalah struktur komando dan pembuatan
keputusan strategis ketika pasukan PBB ditempatkan di lapangan. Di masa lalu
hal ini menjadi persoalan rumit karena keengganan di antara negara untuk
menempatkan pasukannya di bawah komandan langsung PBB.
PBB memang menawarkan sebuah titik focus penting bagi pemerintahan
global dan ia telah mempunyai beberapa catatan keberhasilan dalam
emmulihkan stabilitas di negara negara seperti kamboja dan angola pada tahun
1990 an. Reformasi terhadap piagam PBB dan rasionalisasi terhadpa
organisasinya tak diragukan lagi akan membantu meningkatkan kekukuhannya
dan mungkin mendrong beberapa negara untuk membayar tunggakan iuran yang
belum dilunasi.
Namun peran masa depan PBB akan ditentukan oleh kemauan negara negara,
dan khususnya persepsi AS terhadpa kemampuannya sendiri untuk menghadapi
dilemma kemanan baru yang diidentifikasi dalam bab ini. Meski mungkin benar
bahwa dalam berhubungan dengna negara lain, AS dengna ekonomi yang sangat
kuat dan begitu banyak perlengkapan senjata militer lebih kuat daripada yang
sudah sudah namun benar juga bahwa dalam bidang bidang keamanan yang
penting semua negara berada dalam posisi yang lemah dan karenanya perlu
mencari metode kerjasama yang lebih berhasil di masa depan.
P. Masyarakat Sipil Global
Para penganjur pemerintah global telah sering menggantungskan banyak
harapan mereka kepada perkembangan masyarakat sipil global, sebagaimana
harapan mereka pada pembentukan organisasi internasional. Institusi penting
dari masyarakat sipil global yang tengah mencuat antara lain adalah media
31
massa dan MNCs. Media masa telah membantu menjadikan opini public sebagai
factor sentral dalam membentuk tindakan Negara demokratis di panggung dunia,
seperti diperlihatkan oleh peran yang dimainkan dalam mendukung intervensi
kemanusiaan oleh Negara barat dalam krisis Somalia dan bosnia pada awal
1990-an. MNCs umumnya telah dipandang lebih negative.
Mereka sering dianalisis dalam segi konflik mereka dengan actor lain dalam
masyarakat sipil, dan sebagai symbol kebutuhan akan pemerintah global yang
lebih baik untuk mengatur efek samping kapitalisme tak terkontrol yang sering
kali berbahaya (Sklair, 1995). Jadi MNCs telah berada dalam konflik dengan
serikat kerja perihal pengangguran yang timbul akibat perpindahan produksi ke
wilayah yang lebih murah dan buruhnya kurang bersatu.
Namun organisasi non pemerintah (NGO-)lah yang menjadi focus banyak
pembicaraan mengenai masyarakat sipil. Dalam segi angka belaka, NGO telah
tumbuh menjamur dewasa ini. pada tahun 1909, ada sekitar 109 NGOs yang
beroperasi di sedikitnya tiga Negara; pada 1993 jumlahnya menjadi 28.900.
contoh-contoh NGO meliputi kelompok lingkungan seperti, World wildlife fund
dan greenpeace, keloompok HAM seperti Amnesty dan human right watch, serta
organisasi-organisasi yang peduli dengan ketertinggalan dan kemiskinan, seperti
Christian Aid dan Oxfan. NGO cenderung non profit dan menjaga jarak dengan
Negara. Bahkan telah dikatakan bahwa aktifis NGO merupakan tantangan yang
paling serius terhadap ketentuan-ketentuan Negara dibidang integritas teritoral,
keamanan, otonomi, dan penghasilan.
NGO memiliki kekuasaan komunikatif yang besar, dan telah memainkan
peran penting dalam memunculkan kesadaran terhadap ketidakadilan global,
krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM di seluruh dunia. NGO juga
memainkan peran penting ekonomi dalam politik global, dan menerima semakin
banyak persentase bantuan puublik, dan juga pendapatan yang besar dari
sumbangan pribadi.
Uang ini telah digunakan untuk meringankan penderitaan dalam jangka
pendek, dan dalam jangka panjang, NGO telah bvertindak sebagai sumber kredit
dan investasi dalam pembangunan pedesaan dan perkotaan. NGO sering kali
32
didirikan oleh seorang figur karismatik dan akibatnya gagal membangun struktur
demokratis yang semestinya ada dalam organisasi mereka tersebut. hal ini
menjadikan mereka sangat birokratis dan tak tersentuh. Masalah ini ada pada
NGO barat yang memainkan peran pembangunan didaerah miskin di dunia.
Kesan yang timbul adalah NGO telah menampilkan hubungan paternalistic
dengan penerima bantuannya, dan lebih giat memberikan pelayanan dari pada
membangun partisipasi.
Hulme dan Edwards berpendapat bahwa alasan mengapa Negara semakin
banyak memanfaatkan NGO sejak tahun 1980-an adalah terkait dengan dominasi
pendekatan neo-luberal terhadap pemerintahan. Yang memprioritaskan solusi
suka rela dan pasar terhadap kemiskinan disbanding intervensi Negara.
Akibatnya NGO menjadi subkontraktor Negara dan pelaksana keputusan pihak
donor. Hal ini memungkinkan Negara untuk melepaskan diri dari kewajibanya
terhadap komunitas global. Namun, persoalannya adalah bahwa aksi NGO yang
tak terkoordinasi dan Ad hoc bukanlah pengganti aksi kolektif pemerintah untuk
meringankan akar penyebab ketidakadilan global.
Sifat aktifis NGO yang tak terkoordinasi ditambah lagi oleh fakta
ketergantungan mereka terhadap donor mendorong mereka bersaing satu sama
lain demi bantuan dana. Hal ini menuntut mereka hadir secara fisik ditempat
kekacauan diseluruh dunia. Agar para pemberi bantuan dapat melihat bahwa
uang mereka digunakan segera untuk mengatasi kelaparan atau bencana
lingkungan. Namun karena kompleksitas bantak persoalan global, respon
tergesa-gesa oleh NGOmalah memperburuk keadaan, bukannya menyelesaikan
krisis. NGO malah bersaing untuk dapat diberitakan di media dunia, untuk
menentramkan para donor bahwa mereka telah berbuat sesuatu adalah jelas
bukan pendekatan yang produktif untuk diambil.
NGO juga turut andil dalam memperpanjang krisis yang hendak mereka
hilangkan, seperti dalam dalam kasus pengungsi Rwanda. Tak diragukan lagi
NGO telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran atas
ancaman global. Namun mereka tidak dapat menjadi actor utama dalam
pemecahannya. Maksud baik mereka tanpa disadari bisa memperpanjang resiko
33
global dan memperlemah peluang untuk mangatasi akar penyebab masalahnya.
Organisasi internasional yang ada menderita karena deficit demokrasi dan
dijalankan oleh kepentingan elit-elit dari Negara-negara kuat, sedangkan actor
non-negara dalam masyarakat global tidak mempunyai koherensi dan legitimasi
untuk berhasil melaksanakan pemerintahan oleh diri mereka sendiri. Terlebih
lagi, dominasi neo-liberalisme terhadap ekonomi dunia telah meningkatkan
ketidakadilan global, yang menjadi akar dari banyak permasalahan dunia.
Ambruknya kekaisaran soviet dan Yugoslavia, bangkitnya islam fundamentalis
ditimur tengah dan ketegangan mengenai perbatasan Negara pasca-kolonial di
afrika, semuannya telah ikut andil menjadikan perebutan penguasaan wiilayah
dan kebutuhan akan kenegaraan sebagai cirri pokok dunia kontemporer.
Hungtington menyatakan bahwa, bukannya menciptakan kepentingan
bersama dan manjadi basis pemerintahan global, globalisasi malah mempertegas
perbedaan kultural yang telah lama mapan, seperti antara Kristen dan islam.
Teori demokrasi cosmopolitan yang diusulkan oleh para penulis seperti Held dan
Linklater, ada lagi usaha yang paling penting untuk membangun sebuah teori
pemerintahan global. Teori ini sangat penting bagi sosiologi politik kontemporer
karena ia kembali menyoroti kontradiksi hubungan masyrakat sipil-negara, dan
berusaha mengeksplorasi bagaimana perubahan sosial kontemporer bisa
menciptakan peluang untuk mengatasinya.
Oleh karenanya pembahasan tentang demokrasi cosmopolitan akan
mengembalikan kita kepada akar pokok bagi para pemikirnya yang paling
penting. Bagaimana pembahasan demokrasi cosmopolitan dapat meningkatkan
pemahaman kita tentang relasi problematic dan pasar. Relasi antara Negara dan
masyarakat sipil adalah inti dari persoalan pemerintahan global.
Pertama, tujuan demokrasi cosmopolitan adalah membangun organisasi
internasional dan masyarakat sipil global, dan menemukan cara untuk merajut
unsur-unsur ini bersama-sama dalam sebuah sistem pemerintahan global yang
koheren. Berlawanan dengan Huntington, kuncinya adalah melihat perbedaan
budaya sebagai hal yang saling mengisi dan bukan saling bersaing. Dan mencari
34
cara agar pemerintah global oni bisa dijadikan inklusif melalui proses
demokratisasi.
Kedua, demokrasi cosmopolitan adalah sebuah teori pasca liberal. Ia
berusaha menggunakan konsep-konsep liberal seperti kewarganegaraan
demokratis dan mewujudkannya untuk semua orang, tanpa memandang
keanggotaan mereka pada Negara tertentu. Oleh karenanya disini diituntut agar
konsep tersebut tidak dilepaskan dari Negara yang telah menciptakan
identitasnya melalui praktik eksklusi dan meluas ke tingkat global. Hukum
cosmopolitan yang pada pokoknya mencakup hak-hak demokratis dan
kewarganegaraan harus berlaku untuk masyarakat universal. Hal ini telah
menyingkap kemunafikan Negara liberal yang telah menggembor-gemborkan
hak-hak didalam negeri, namun juga mempertahannkan pengguna kekuatan
diluar negeri. Ia juga menyoroti sifat relasional dari konsep kewarganegaraan
dan demokrasi, terkecuali hak yang terkait dengan gagasan ini diperluas secara
global, mereka selalu bersifat parsial dan oleh karenanya rentan.
Akhirnya demokrasi cosmopolitan menentang logika dualistic liberalism yang
menekankan bahwa politik hendak dibatasi pada Negara. Dan bahwa masyarakat
sipil harus didominasi oleh pasar harus mengalahkan kehendak demokratis.
Pengakuan fakta ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan pasar secara
keseluruhan. Melainkan mengakui jika pasar adalah hamba yang baik namun
tuan yang jahat. Jika suattu pemerintahan global yang sejati hendak dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, sistem pasar harus direkatkan pada
gugusan hak dan kewajiban hukum demokratis.
35
BAB III
KESIMPULAN
Pada bagian I, kebanyakan sosiologi politik pada periode pasca-perang di
dominasi oleh perspektif yang mengabaikan atau menyangkal negara, atau
memperlakukan negara sebagai suatu yang tanpa masalah atau kurang signifikan
dibanding institusi lainnya. Bagi penganut behavioralisme, negara adalah entitas
yang terlalu rumit dan abstrak untuk didefinisikan. Oleh karena itu, negara tidak
berguna untuk menjelaskan distribusi kekuasaan. Dalam teori elit, negara tidak
terlalu signifikan, hanya mempresentasikan satu institusi diantara banyak lainnya,
dimana para elit bisa menguasai massa. Menurut marxisme klasik, negara hanya
memiliki arti sekunder
Namun, pada tahun 1970an, negara menjadi pusat perhatian dalam sosiologi
politik. Hal ini terutama sekali karena fakta bahwa di dunia nyata, negara lebih
kuat dibandingkan sebelumnya. Yang sangat penting, para penulis seperti Giddens
(1985) dan Mann (1986:1993) mengingatkan kita perihal pentingnya definisi Max
Weber tentang negara, yang menekankan signifikansi dominan negara atas
kekuasaan koersif. Namun, dalam bagian I telah diperjelas bahwa negara harus
dipahami dalam relasinya dengan asosiasi-asosiasi masyarakat sipil dan dalam
konteks proses perubahan sosial yang terjadi di dalam dan di luar batas-batasnya.
Terlebih lagi, tidaklah cukup untuk sekedar mengakui kekuasaan negara. Yang
penting pula adalah menantang kekuasaan negara. Oleh karena itu, keinginan
Marx untuk melihat ke luar negara tetap relevan saat ini.
Negara liberal, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mengklaim telah
melindungi ‘hak-hak universal’ warganya. Jadi, di dalam logikanya sendiri
tertebar benih kejatuhnya. Hal ini karena dalam realitas, ketidaksetaraan
masyarakat sipil (yang telah saya sebut sebagai struktur kekuasaan) memastikan
bahwa hak-hak liberal berupa hak hidup, kebebasan, dan hak milik hanyalah
dinikmati oleh suatu minoritas yang diistemawakan. Oleh karena itu, legitimasi
36
negara liberal niscaya ditentang oleh kelompok-kelompok yang tidak mampu
menentukan hak-hak yang dijanjikan oleh liberalisme. Dengan dibangun di atas
kritik Marx, saya telah menyatakan bahwa hubungan negara-masyarakat sipil
tidak dapat secara efektif memecahkan persoalan inheren manusia berupa
pemerintahan, yang saya definisikan sebagai manajemen persoalan abadi
mengenai tertib sosial dan distribusi sumber daya.
Sejak tahun 1980-an, bagi sejumlah pakar perubahan sosial yang sangat cepat
telah menggerogoti negara, sampai taraf bahwa sistem alternatif pemerintahan
yang lain saat ini akan lebih tepat. Teori-teori ekstrem tentang globalisasi telah
berlebihan dalam menilai perkembangan ekonomi dan budaya global sejati yang
tidak berakar serta tidak dibatasi oleh negara. Dalam realitas, globalisasi budaya
menegaskan perbedaaan antara masyarakat dan pada saat yang sama melampaui
perbedaan ini, sedangkan globalisasi ekonomi adalah hasil interaksi antara negara
dan asosiasi-asosiasi ekonomi masyarakat sipil. Inti utamanya, bahwa jika ada
kemauan politik negara dapat mengatur ekonomi dunia lebih efektif lagi. Yang
benar adalah, peraturan semacam itu sekarang ini tidak disukai oleh banyak
negara kuat.
Neoliberalisme telah menjadi sangat berpengaruh dalam membangun ekonomi
dunia, karena ia telah menekankan kebutuhan untuk memulangkan kembali
negara dan sebaliknya membiarkan hukum permintaan dan penawaran yang
menciptakan tertib sosial serta distribusi sumber daya.
Berbagai gerakan tersebut telah menjadi sangat penting dalam meningkatkan
partisipasi politik diantara unsur-unsur masyarakat yang kecewa dengan asumsi
statis partai politik dan kelompok penekan konvensional. Namun terlalu banyak
pendukungna, seperti tourine dan melucci, yang telah mendesak NSMs untuk
mengambil jarak dari negara. Bahwa sifat budaya poltik, kewarganegaraan, dan
partisipasi politik sedang ditransformasi oleh perubahan sosial dengan cara yang
mengisyaratkan perlunya evaluasi ulang sistem pemerintahan kita. Konsep ini
menengarai adanya perkembangan kesadaran yang lebih global, penduduk yang
krtis dan beraneka ragam, khususnya dalam demokerasi liberal.
37
Globalisasi mengandung manfaat, ini dibuktikan dalam konteks politik. Yakni,
globalisasi menunjuk pada semakin menyatunya persoalan global. Persoalan
keamanan baru ini membutuhkan solusi di tingkat global. Demokratisasi
pemerintahan bisa menjadi kunci untuk mencapai tertib sosial dan distribusi
sumber daya secara adil, karena demokrasi menandakan persetujuan, keadilan,
serta keunggulan politik diatas keuntungan ekonomi.
Meski demikian, demokratisasi hubungan negara masyarakat sipil dan
perluasan secara bertahap prinsip-prinsip demokrasi ditingkat global, merupakan
peluang terbaik yang dimiliki umat manusia untuk mengatur diri nya sendiri dan
bumi ini secara efektif. Buku ini telah membuktikan bahwa negara tetap memiliki
kekuasaan yang besar, yang mendapat menghalangi juga mendorong
perkembangan pemerintahan di masa depan. Menghadapi kemungkinan
pemusnahan massal satu sama lain, adalah tanggung jawab penganut demokerasi
dimana saja untuk membantu negara menuju kepentingan yang sejati. Seperti
dikatakan oleh Hoffman (1995:192), secara paradoks ini berarti bahwa negara
harus ‘bersedia bekerjasama mengatasi diri mereka sendiri’.
38