Download doc - makalah peradilan

Transcript
Page 1: makalah peradilan

PERADILAN

MAKALAHDiajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Hierarki Intensial

Disusun Oleh:

Nama : ROBIANTONPM : 10.2222.1Tk./Smt. : Syari’ah/ASFak. / Jur : III/V

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNGSINGAPARNA TASIKMALAYA

2012

1

Page 2: makalah peradilan

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim……

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan

nikmat yang tak terhingga, shalawat beserta salam marilah kita junjungkan kepada

Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua kepada kemenangan.

Sehubungan dengan pembuatan makalah ini, kami ucapakan terima kasih

kepada semua pihak yang mendukung terutama kepada dosen pembimbing kami

yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan,

karena masih dalam tahap pembelajaran, tapi meskipun demikian mudah-

mudahan makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi

masyarakat.

Cipasung, Desember 2012

Penyusun,

i

Page 3: makalah peradilan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1

B. Perumusan Masalah.................................................................... 3

C. Tujuan Makalah.......................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4

A. Peradilan Negeri......................................................................... 4

1. Pengertian ............................................................................4

2. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum................................ 4

3. Susunan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.............. 5

B. Peradilan Agama........................................................................ 7

1. Pengertian Peradilan Agama................................................ 7

2. Kewenangan Peradilan Agama............................................ 9

C. Peradilan Tata Usaha Negara..................................................... 12

1. Ihwal Peradilan Tata Usaha Negara..................................... 12

2. Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara........................ 15

3. Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara...... 15

BAB III PENUTUP........................................................................................ 17

A. Kesimpulan................................................................................. 17

B. Saran........................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

ii

Page 4: makalah peradilan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan

masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap

konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau

diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara

konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak

secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan

kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum

dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu

badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh

apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat

dan bertujuan mencegah " eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).

Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat

dalam UU no.14 tahun 1970. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya

merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem

peradilan di Indonesia ini?

Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang--

undang", sedangkan ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan

kehakiman itu diatur dengan undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi:

"Syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan

dengan undang-undang". Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan

organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam

Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan

negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal

11 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa organisatoris,

administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing

Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa

1

Page 5: makalah peradilan

Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri.

Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan

bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD.

Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan

vertikal. Susunan horizontal menyangkut berbagai lingkungan badan peradilan

(peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha

negara dan peradilan pajak). Selain itu ada juga badan peradilan khusus dalam

lingkungan peradilan umum, dan Mahkamah Konstitusi. Khusus untuk daerah

Nanggroe Aceh Darussalam diadakan pula badan peradilan yaitu Mahkamah

Syariah dan Mahkamah Syari’ah Propinsi.

Susunan vertikal adalah susunan tingkat pertama, banding dan kasasi.

Terhadap susunan horizontal didapati pemikiran untuk mengadakan

lingkungan baru baik yang mandiri maupun yang berada dalam lingkungan

yang sudah ada.

Lingkungan badan peradilan untuk perkara – perkara sederhana

berkaitan dengan sususan vertikal, yaitu kalaupun ada banding hanya ke

pengadilan negeri. Hal serupa untuk perkara – perkara sederhana ini sekaligus

berkaitan dengan susunan vertikal yaitu kalaupun ada banding hanya ke

pengadilan negeri. Hal serupa untuk perkara – perkara di bidang kekeluargaan

seperti perceraian, hak pemeliharaan anak, pembagian kekayaan bersama, atau

warisan. Untuk perkara perceraian dan hak pemeliharaan anak tidak perlu

sampai tingkat kasasi, cukup sampai pemeriksaan tingkat banding.

Dengan begini, setidaknya ada dua hal yang dapat dicapai dari sistem

ini;

pertama, bagi pencari keadilan akan cepat sampai pada putusan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap (kepastian hukum).

kedua, sebagai cara membatasi kasasi. Dengan cara ini dapat dihindari

bertumpuk – tumpuknya permohonan kasasi.

2

Page 6: makalah peradilan

B. Perumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri?

2. Apakah yang dimaksud dengan Pengadilan Agama?

3. Apakah yang dimaksud dengan Pengadilan Tata Usaha Negara?

C. Tujuan Makalah

1. Ingin mengetahui pengertian Pengadilan Negeri

2. Ingin mengetahui pengertian Pengadilan Agama

3. Ingin mengetahui pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara

  

3

Page 7: makalah peradilan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Negeri

1. Pengertian

Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan

daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Negeri (biasa

disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan

Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai

Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari

keadilan pada umumnya. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan

(Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan

Jurusita. Pengadilan Negeri di masa kolonial Hindia Belanda disebut

landraad.

2. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum

Sedangkan kewenangan pengadilan Negeri dapat dilihat dalam pasal

84 KUHAP yang isinya adalah sebagai berikut:

a. Pengadilan berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana

yang dilakukan dalam daerah hukumnya.

b. Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat

tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya

berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman

sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan

negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. 

c. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam

daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri

itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.

d. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut

pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai

4

Page 8: makalah peradilan

pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan

ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

3. Susunan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi

Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 2004 pasal 10 ayat (1)

menyatakan bahwa susunan Pengadilan Negeri terdiri dari:

a. Pimpinan Pengadilan Negeri.

Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua Pengadilan

Negeri dan seorang Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Untuk dapat diangkat

menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang bersangkutan

harus berpengalaman sebagai atau menjadi hakim di Pengadilan Negeri

minimal 10 tahun. Mengenai pengangkatan dan pemberhentian ketua dan

Wakil Ketua Pengadilan Negeri adalah menjadi wewenang Ketua

Mahkamah Agung. 

b. Hakim Anggota Pengadilan Negeri

Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku

Kepala Negara atas usul dari Ketua Mahkamah Agung. Seseorang dapat

diangkat menjadi hakim Pengadilan Negeri apabila telah memenuhi syarat

yang telah ditentukan oleh undang-undang. Menurut pasal 14 ayat (1)

undang-undang nomor 8 tahun 2004 persyaratan yang dimaksud adalah :

1) Warga Negara Indonesia.

2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

4) Sarjana Hukum;

5) Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;

6) Sehat jasmani dan rohani;

7) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan

8) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,

termasuk organisasi massanya, atau bukan seseorang yang terlibat

langsung dalam Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia.

5

Page 9: makalah peradilan

c. Panitera Pengadilan Negeri

Dalam pelaksanaan pengelolaan administrasi pengadilan, tugas

panitera adalah menangani administrasi pengadilan khususnya

administrasi yang bersifat teknis peradilan. Panitera ini dalam pelaksanaan

tugasnya dibantu oleh seorang wakil panitera, beberapa orang panitera

pengganti serta beberapa juru sita.

Apabila untuk jabatan hakim pengangkatan dan pemberhentiannya

dilakukan oleh presiden atas usul dari Mahkamah Agung, untuk panitera,

wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan

dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini dinyatakan dala pasal 37

undang-undang nomor 8 tahun 2004.

d. Sekretaris Pengadilan Negeri

Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang

dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil

sekretaris. Di dalam pasal 45 undang-undang nomor 8 tahun 2004 tentang

Peradilan Umum dinyatakan bahwa panitera pengadilan merangkap

sekretaris Pengadilan.

Tugas dari pada sekretariat pengadilan adalah menangani

administrasi umum di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan

kantor, dan sebagainya. Untuk menjadi sekretaris pengadilan harus

memenuhi syarat yang sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.

Seperti halnya panitera, wakil sekretaris pengadilan diangkat dan

diberhentikan oleh Mahkamah Agung.

e. Juru Sita

Selain sekretaris, pada setiap Pengadilan Negeri juga ditetapkan

adanya juru sita dan juru sita pengganti, Juru sita adalah seorang pejabat

pengadilan yang ditugaskan melakukan panggilan-panggilan dan

peringatan-peringatan atau ancaman-ancaman secara resmi (terhadap

orang yang berutang atau yang telah dikalahkan dalam suatu perkara

perdata dan juga melakukan penyitaan-penyitaan).

6

Page 10: makalah peradilan

Persyaratan untuk menjadi juru sita tergolong lebih rendah

dibanding persyaratan untuk menjadi Hakim, Panitera, dan Sekretaris.

B. Peradilan Agama

1. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak

(Bahasa Belanda), berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;

keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan , yaitu daya upaya mencari

keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut

peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan

bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah

peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama

adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan

yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan

Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau

menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama

Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan

kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di

bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di

Indonesia. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan

7

Page 11: makalah peradilan

Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Lingkungan Peradilan Agama meliputi:

1) Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di

lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi.

Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki

tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan

Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang

untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan

mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang

dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan

Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim

Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

2) Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga

peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

kabupaten atau kota.

Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki

tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

o Perkawinan

o warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

o wakaf dan shadaqah

o ekonomi syari’ah

Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan

daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan

Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim

Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.

8

Page 12: makalah peradilan

2. Kewenangan Peradilan Agama

a. Pengertian Kewenangan

Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi

berasal dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-

undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang

mengadili. Kompetensi dalam bahasa Belanda disebut competentie,

kekuasaan (akan) mengadili; kompetensi. Kompetensi disebut juga

kekuasaan atau kewenangan mengadili yang berkaitan dengan perkara

yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana yang berhak

memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau

kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan

kewenangan absolut.

Sebelum membahas tentang kewenangan relatif dan kewenangan

absolut sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis perkara yang

diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang

diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam,

yaitu permohonan (voluntaire) dan gugatan (contentieus).

b. Permohonan dan Gugatan

Pemohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-

pihak lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang

terdapat sengketa antara dua belah pihak. Perbedaan antara permohonan

dan gugatan adalah sebagai berikut.

- Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam

gugatan terdapat dua pihak yang bersengketa.

- Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara gugatan

terdapat sengketa antara kedua belah pihak.

- Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive power

atau administratif saja sehingga permohonan disebut jurisdictio

voluntaria atau peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam

gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus

9

Page 13: makalah peradilan

pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut juga

Jurisdictio contentieus atau peradilan yang sesungguhnya.

- Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan atau

beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang

sifatnya menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status

tertentu. Produk pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan

atau vonnis, yang putusan dapat berupa putusan condemnatoir yaitu

putusan yang bersifat menghukum kepada para pihak yang

bersengketa.

- Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak

mempunyai kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat

dilaksanakan/eksekusi. Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada

kedua belah pihak sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial.

c. Kewenangan Relatif Peradilan Agama

Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie)

adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan

Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang

memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif

adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam

perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan

tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan

Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan

Agama Baturaja.

Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah

kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam

lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan

dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat

kediaman atau domisili pihak yang berperkara.

1) Kewenangan Relatif Perkara Gugatan

Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah

hukumnya meliputi:

10

Page 14: makalah peradilan

gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi

wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat

kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal;

apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan

kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah

satu kediaman tergugat;

apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat

tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak

diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah

hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat;

apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat

diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda

tidak bergerak.

Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan

diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.

Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama

terdapat beberapa pengecualian, yaitu: perkara cerai talak dan perkara

gugat cerai,

2) Kewenangan Relatif Perkara Permohonan

Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam

perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah

hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama

telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara

tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.

Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang

wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.

Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang

belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16

tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan

kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman

pemohon.

11

Page 15: makalah peradilan

Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama

yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan

Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya

pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.

d. Kewenangan Absolut Peradilan Agama

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan

yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan

pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di

kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama

Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada

pokoknya adalah sebagai berikut:

perkawinan;

waris;

wasiat;

hibah;

wakaf;

zakat;

infaq;

shadaqah; dan

ekonomi syari’ah.

C. Peradilan Tata Usaha Negara

1. Ihwal Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas

negara menegakkan hukum dan keadilan (J.T.C Simorangkir dalam S.F

Marbun, 2003: 30). Menurut Muchsan, SH di dalam bukunya “Peradilan

Administrasi Negara” menyatakan bahwa : Peradilan Administrasi Negara

12

Page 16: makalah peradilan

adalah suatu badan yang mengatur tata cara penyelesaian persengketaan antara

sesama instansi administrasi Negara dan warga masyarakat, atau dapat pula

dirumuskan sebagai persengketaan intern administrasi dan persengketaan

ekstern Administrasi Negara.

Secara normatif, Pasal 4 UU NO. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun

2004, mengartikan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai salah satu

pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa

Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul

dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di

daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,

termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU PTUN). Istilah Peradilan Tata Usaha

Negara dapat disebut juga dengan Peradilan Administrasi Negara, hal ini dapat

kita temukan dasar hukumnya dalam Pasal 144 UU PTUN. Pengertian-

Pengertian Dasar dalam UU PTUN (Pasal 1) Tata Usaha Negara adalah

Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lalu Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi

tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

 Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,

sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku

13

Page 17: makalah peradilan

Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan

putusan. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang

dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Pemahaman tehadap Peradilan Adminstrasi akan lebih mudah jika terlebih

dahulu dimengerti unsur-unsur yang melengkapinya. Menurut S.F Marbun,

setidaknya terdapat lima unsur dalam Peradilan Adminstrasi, yaitu :

1. Adanya suatu instansi atau badan yang netral dan dibentuk berdasarkan

peraturan perundangundangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk

memberikan putusan (S.F Marbun, 2003: 38). Dalam hal ini adalah adanya

Pengadilan Tata Usaha Negara (dibentuk dengan Kepres), Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara (dibentuk dengan UU.) dan Berpuncak pada

Mahkamah Agung yang diatur tersendiri Dalam UUMA.

2. Terdapatnya suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan kepastian

hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya Sengketa Tata

Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh

pejabat TUN.

3. Terdapatnya suatu peristiwa hukum yang abstrak dan mengikat umum.

Aturan hukum tersebut terletak di lingkungan Hukum Administrasi

Negara.

4. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak (S.F. Marbun, 2003: 38). Sesuai

dengan ketentuan hukum positif, yakni Pasal 1 angka 4 UU PTUN. dua

pihak disini adalah Badan atau Pejabat Buku Ajar Hukum Acara PTUN,

Tata Usaha Negara yang selalu sebagai Tergugat dan rakyat pencari

keadilan (orang perorang atau badan hukum privat).

5. Adanya hukum formal. Hukum formal disini adalah Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan-peraturan lainnya.

14

Page 18: makalah peradilan

2. Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

a. Pasal 10 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh pengadilan dalam

b. lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan

Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.14 Tahun 1970 diperbaharui dengan

UU No.4 Tahun 2004).

c. TAP MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan

Negara menjamin

d. eksistensi PTUN; o UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara diundangkan (UU No.5 Tahun 1986 diubah dengan UU No.9

Tahun 2004);

e. UU No.10 Tahun 1990 dan Kepres No.52 Tahun 1990 (tentang

pembentukan pengadilan tinggi dan pengadilan tata usaha negara); o PP

No.7 Tahun 1991 tentang Penerapan UU No.5 Tahun 1986.

3. Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Adapun ciri khas dari Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

terletak pada asas-asas yang melandasinya, yaitu :

a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid : presumptio

iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu

harus dianggap rechtmatige sampai ada pembatalan. Dalam asas ini

gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat

(1) UU No.5 tahun 1986);

b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal

ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW. Asas ini dianut oleh Pasal 101

UU No.5 tahun 1986, hanya saja masih dibatasi ketentun Pasal 100;

c. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan

untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena Tergugat adalah Pejabat

Tata Usaha Negara sedangkan Penggugat adalah orang atau badan hukum

15

Page 19: makalah peradilan

perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58,

63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85;

d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.

Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan

pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang

bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang

intervensi bertentangan dengan asas erga omnes.

Selain empat asas yang tela tersebut di atas, Zairin Harahap

menambahkan asas-asas yang lainnya, yang menurut hemat penulis adalah

asas yang juga berlaku di Peradilan lainnya. Berikut ini asas-asas tersebut

setelah penulis kurangi asas-asas yang dikemukakan Philipus M. Hadjon,

sebagai berikut:

a. “Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)para pihak

mempunyai kedudukan yang sama;

b. “Asas kesatuan beracara” (dalam perkara yang sejenis);

c. “Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas” (Pasal 24 UUD

1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);

d. “Asas sidang terbuka untuk umum”~putusan mempunyai kekuatan hukum

jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 70 UU

PTUN);

e. ”Asas pengadilan berjenjang” (tingkat pertama (PTUN), banding (PT

TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);

f. “Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)”, sengketa

sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah

mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU

PTUN);

g. “Asas obyektivitas”.

h. “Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

16

Page 20: makalah peradilan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan

daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Negeri (biasa

disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan

Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.

2. Kekuasaan Peradilan Agama setelah adanya Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi semakin luas

tetapi masih terbatas dalam bidang hukum perdata Islam.

3. Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha

Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

B. Saran

Akhir dari rangkaian penyusunan makalah ini akan disampaikan saran-

saran bahwa seorang praktisi hukum wajib menjalankan tugasnya harus sesuai

dengan peraturan yang telah ditetapkan dalam kode etik profesi hukum.

17

Page 21: makalah peradilan

DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L..J. Van. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.

Indroharto. 1999. Peradilan Tata Usaha Negar. Jakarta:Sinar Harapan.

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.

Kansil, C. S. T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Marbun, S. F. 1997. Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Yogyakarta: Liberty

Wahyudi, Abdullah Tri. 2012. Kekuasaan Peradilan Agama (Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009). http://advosolo.wordpress.com

Wiyono, R.. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara..Jakarta: Sinar Grafika.

18


Recommended