Download pdf - MAKALAH Otitis Media Akut

Transcript

OTITIS MEDIA AKUT

TUGAS MATA KULIAH PERSEPSI SENSORI

NAMA KELOMPOK 3 :

1. ABDUL QODAS

(1410001)

2. ANA SULISTIYOWATI

(141000)

3. FANDI FATULLAH

(14100)

4. IKA RETNO PALUPI N. H

(1410021)5. LULUK BADRIYAH

(1410028)6. SYAIFUL ANAM

(14100)PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA

2015KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmatNya sehingga penulis menyelesaikan penulisan makalah ini. Adapun tujuan makalah kami yang berjudul OTITIS MEDIA AKUT (OMA) ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Persepsi Sensori.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing Bapak Heri, S.Kep, Ns. yang telah banyak membantu memberikan bimbingan dan arahan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Surabaya, 7 Desember 2015Kelompok 3DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

2DAFTAR ISI

3BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 4B. Rumusan Masalah 5C. Tujuan 5BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi OMA

7B. Anatomi dan Fisiologi 7C. Etiologi OMA 12D. Faktor Risiko 13E. Gejala Klinis 14F. Patofisiologi 15

G. Penyebab Anak Sering Terserang OMA 18

H. Pemeriksaan Diagnostik 23I. Penatalaksanaan 24J. Komplikasi 28K. Pencegahan 28

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN OMA

A. Pengkajian 30B. Diagnosa Keperawatan 31C. Intervensi Keperawatan 31

D. Laporan Kasus 34

E. Pembahsan 37BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 39B. Saran 39DAFTARPUSTAKA 40BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak-anak. Diperkirakan 70% anak mengalami satu atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun, dan setelah itu insidennya mulai berkurang.

Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA. Insiden sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian kecil anak menderita penyakit ini pada umur yang sudah lebih besar, pada umur empat dan awal lima tahun. Beberapa bersifat individual dapat berlanjut menderita episode akut pada masa dewasa. Kadang-kadang, orang dewasa dengan infeksi saluran pernafasan akut tapi tanpa riwayat sakit pada telinga dapat menderita OMA.

Faktor-faktor risiko terjadinya OMA adalah bayi yang lahir prematur dan berat badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang dititipkan kepenitipan anak, variasi musim dimana OMA lebih sering terjadi pada musim gugur dan musim dingin, predisposisi genetik, kurangnya asupan air susu ibu, imunodefisiensi, gangguan anatomi seperti celah palatum dan anomaly kraniofasial lain, alergi, lingkungan padat, sosial ekonomi rendah, dan posisi tidur tengkurap.Penatalaksanaan OMA tanpa komplikasi mendapat sejumlah tantangan unik. Pilihan terapi OMA tanpa komplikasi berupa observasi dengan menghilangkan nyeri (menggunakan asetaminofen atau ibuprofen), dan atau antibiotik. Di Amerika Serikat (AS), kebanyakan anak dengan OMA secara rutin mendapat antibiotik. Cepatnya perubahan spectrum patogen menyebabkan sulitnya pemilihan terapi yang paling sesuai. Berkembangnya pengetahuan baru tentang patogenesis OMA, perubahan pola resistensi, dan penggunaan vaksin baru memunculkan tantangan yang lebih lanjut pada penatalaksanaan efektif pada OMA. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan vaksin pneumokokus konjugat sebagai cara baru dalam menurunkan prevalensi OMA dan mencegah

sekuele dari infeksi telinga.Beberapa peneliti dari Eropa Barat, Inggris, dan AS menyarankan bahwa anak dengan OMA dapat diobservasi saja daripada diterapi segera dengan antibiotik. Di Belanda, pengurangan penggunaan antibiotik untuk OMA sudah dipraktekkan sejak tahun 1990an. Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American Academy of Family Physicians mengeluarkan rekomendasi diagnosis dan penatalaksanaan OMA. Menurut petunjuk rekomendasi ini, observasi direkomendasikan tergantung pada umur pasien, kepastian diagnosis dan berat-ringannya penyakit. Sekitar 80% anak sembuh tanpa antibiotik dalam waktu 3 hari.B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Otitis Media Akut ?2. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada Otitis Media Akut (OMA) ?3. Apa saja penyebab dari OMA ?

4. Apa saja manifestasi klinis dari OMA ?

5. Bagaimana Patofisiologi OMA ?

6. Apa saja pemeriksaan dianostik OMA ?

7. Bagaimana penatalaksanaan medis dari OMA ?

8. Apa saja komplikasi dari OMA ?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mahasiswa dapat memahami kelainan pendengaran pada pasien otitis media.2. Tujuan Khusus

Mahasiswa mampu memberikan pengkajian pada pasien dengan otitis media

Mahasiswa mampu memberikan diagnosa pada pasien dengan otitis media

Mahasiswa mampu memberikan intervensi pada pasien dengan otitis media

Mahasiswa mampu memberikan implementasi pada pasien dengan otitis media

Mahasiswa mampu memberikan evaluasi pada pasien dengan otitis media

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Definisi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).B. Anatomi

Anatomi Telinga Tengah

Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu : telinga luar, telinga tenga, dan telinga dalam. Telinga tenga adalah suatu rongga yang terletak di tulang tengkorak dan terdiri dari membrane timpani, kavum timpani, antrum mastoid, dan Tuba Eustachius.

Membran Timpani

Membran timpani dibagi menjadi dua bagian yaitu : pars tensa (Membran Sharpnell) yang terletak pada bagian atas dan pars tensa (membrane proria) yang terletak pada bagian bawah.

Pars Tensa yang merupakan bagian yang paling besar terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar disebut Kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel berlapis semu yang halus yang normalnya merefleksikan cahaya. Lapisan dalam disebut lapisan mukosa (mucosa layer) merupakan lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani serta lapisan yang terletak di antara keduanya.

Lapisan ini terdiri dari 2 lapis jaringan ikat fibrosa yang bersatu dengan cincin fibrokartilago yang mengelilingi membrane timpani. Pars flaksida tidak memiliki lapisan fibrosa sehingga bagian ini pertama kali akan mengalami retraksi bila terjadi tekanan negatif dalam telinga.Kavum timpaniKavum timpani di bagi menjadi tiga bagian yang berhubungan dengan lempeng membran timpani, yaitu epitimpanum,mesotimpanum,dan hipotimpanum

Epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis,yaitu tegmen timpani.

Bagian anterior epitimpanum terdapat ampula kanali superior.Pada bagian anterior dari ampula kanlis superior terdapat ganglion genikulatum yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik.Atik pada bagian posterior menyempitmenjadi jalan masuk ke antrum mastoid yaitu aditus ad antrum.Mesotimpanum,pada bagian medial dibatasi oleh kapsula otik yang terletak lebih rendah daripada n.fasilialis pars timpani. Promotorium berisi saraf-saraf yang membentuk plektus timpanikus. Promotorium pada bagian posterosuperior terdapat foramen ovale (vestibuler) pada bagian posteroinferior terdapat foramen rotundum (koklear) Orificium timpani tuba Eustachius terletak pada anterosuperior mesotimpanum.Hipotimpanum merupakan suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah

dari membran timpani. Hipotiompanum berbatasan dengan bulbus vena jugularis dan sel-sel mastoid.

Batas-batas kavum timpani meliputi

1. Atap : tegmen timpani

2. Dasar : dinding jugularis dan tonjolan stiloideus

3.Anterior:dinding karotis ostium tuba Eustachius, tensortimpani

4. Posterior : mastoid, stapedius tonjolan piramidal

5. Latelal : membran timpani, skutum

6. Medial : dinding labirin

Rangkaian tulang pendengaran di telinga tengah berukuran kecil dan di hubungkan oleh tendon-tendon otot yang tipis (tensor timpani dan stapedius) manubrium rnaleus menempel pada membran timpani dimana bagian atasnya. membentuk umbo yang merupakan landrmark yang penting clalam mengevaluasimembran timpani. Tulang selanjutnya adalah inkus yang berartikulasi dengan maleus. Kepala maleus dan badan inkus terletak di epitimpani. Prosesus longus inkus berartikulasi dengan stapes. Dasar stapes dihubungkan dengan tingkap lonjong oleh sebuah ligamentum yang elastis. Didalam kavum timpani juga terdapat korda timpani yang terletak transversal yang berasal dari nervus fasialis dan mengandung serat-serat pengecapan untuk 2/3 anterior lidah.Antrum Mastoid

Antrum mastoid adalah suatu rongga didalam proses mastoid yang terletak persis dibelakang epitirnpanum. Aditus ad antnrm adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura adalah bagian tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater. Lempeng sinus adalah bagian tulang yang tipis yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis. Sudut sinodura adalah sudut yang dibentuk oleh pertemuan duramater fossa media dan fossa posterior otak di superior dengan sinus lateral di posterior. Sudut ini ditemukan dengan cara membuang sebersih-bersihnya sel-sel pneumatisasi mastoid di bagian posterior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus.Sudut keras (solid angle, hard angle) adalah penulangan yang keras sekali yang dibentuk oleh pertemuan 3 kanalis semisirkular posterior di sebelah anteromedial sinus sigmoid. Sudut ini akan ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel-sel pneumatisasi mastoid di antara kanalis semisirkularis lateral dengan sudut sinodura. Segitiga Trautmann adalah daerah yang terletak di balik antrum yang dibatasi oleh sinus sigmoid, sinus lateral, dan tulang labirin. Batas medialnya adalah lempeng dura fossa posterior.Tuba EustachiusTuba Eustachius menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. panjang tuba Eustachius dewasa bervariasi antara 31 sampai 38 mm. Pada bayi dan anak-anak ukurannya lebih pendek dan lebih horizontal sehingga sekret dari nagofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Dua pertiga bagian anteromedial tuba (arah nasofaring) berdinding tulang rawan, sedangkan sisanya (arah kavum timpani) berdinding tulang. Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan M. tensor dan levator velli palatini. Tuba Eustachius akan terus berkembang bertambah panjang dan akan lebih membentuk sudut yang lebil besar dari bidang horizontal pada usia 5 sampai 7 tahun.

Fisiologi Tuba Eustachius

Fungsi tuba pertama kali dijelaskan oleh Du Veruey (1963), yang menyatakan bahwa tuba bukan merupakan suatu saluran baik untuk pernafasan maupun pendengaran, tetapi merupakan saluran untuk pembaharuan udara di kavum timpani. Antonio Valsava mempublikasikan de Aure Humana Tractus', yang memberikan eponom untuk TE, dengan mengasosiasikan pada suatu tehnik untuk memaksa masuknya udara dari nasof'aring ke dalam kavum timpani. Udara di telinga tengah secala normal berhubungan dengan atmosfer melalui TE. Orifisium tuba terletak di nasofaring dengan ujung yang sedikit terbuka Tuba Eustachius memiliki tiga fungsi lisiologis terhadap telinga tengah, yaitu (1) fungsi ventilasi untuk mengatur agar tekanan telinga tengah sama dengan telinga luar, (2) fungsi proteksi adalah untuk melindungi telinga tengah terhadap tekanan suara dan sekret nasofaring, (3) fungsi drainase yaitu mengalirkan sekret yang diproduksi mukosa telinga tengah ke arah nasofaring.Fungsi TE yang paling penting adalah mengatur tekanan telinga tengah, karena fungsi pendengaran akan optimum bila tekanan udara di telinga tengah lebih kurang sama dengan tekanan diluar telinga. Dalam keadaan normal teriadi pembukaan TE secara intermiten aktif akibat kontraksi dari M. Tensor veli platini selama proses menelan, yang akan mempertahankan tekanan di telinga tengah relatif sama dengan telinga luar.Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007)C. Etiologi1. BakteriBakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

2. VirusVirus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

D. Faktor RisikoFaktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

E. Gejala KlinisGejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:Tabel 1. Skor OMA

SkorSuhuGelisahTarik telingaKemerahan Pada Membran TimpaniBengkak Pada Membran Timpani

0< 38,0Tidak adaTidak adaTidak adaTidak ada

138,0 38,5RinganRinganRinganRingan

238,6 39,0SedangSedangSedangSedang

3> 39,0BeratBeratBeratBerat, termasuk otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari, 2005).

F. Patofisiologi OMA

OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret.

Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).WOC Otitis Media Akut

G. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMADipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius.Insidens terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa.

Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).Gambar 3. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

Stadium OMAOMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar 4. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba EustachiusPada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).Gambar 5. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 6. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).Gambar 7. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium ResolusiKeadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).H. Pemeriksaan diagnostik1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.

2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.

3. Pembuatan audiogram dan X- foto mastoidDiagnosis

Kriteria Diagnosis OMAMenurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan EfusiOMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.Table 2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

Gejala dan tandaOtitis Media Akut

Otitis Media dengan Efusi

Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga (tugging)+-

Inflamasi akut, demam+-

Efusi telinga tengah++

Membran timpani membengkak (bulging), rasa penuh di telinga

+/--

Gerakan membran timpani berkurang atau tidak ada

++

Warna membran timpani abnormal seperti menjadi putih, kuning, dan biru

++

Gangguan pendengaran++

Otore purulen akut+-

Kemerahan membrane timpani, erythema+-

I. Penatalaksanaan1. PengobatanPenatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.

Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi da lam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.

Table 3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

UsiaDiagnosis Pasti (certain)Diagnosis meragukan (uncertain)

Kurang dari 6 bulanAntibiotikAntibiotik

6 bulan sampai 2 tahunAntibiotikAntibiotik jika gejala berat, observasi jika gejala ringan

2 tahun ke atasAntibiotik jika gejala berat, observasi jika gejala ringanObservasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).

2. Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).

1. Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.

Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. AdenoidektomiAdenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).

J. KomplikasiSebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut , paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis). Komplikasi yang serius adalah: Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis) Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler) Kelumpuhan pada wajah, Tuli Peradangan pada selaput otak (meningitis).K. PencegahanTerdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN PADA OTITIS MEDIA AKUT A. Pengkajian1. Pengumpulan Data

Identitas Pasien : Nama pasien, umur, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat

Riwayat Penyakit Sekarang : Riwayat adanya kelainan nyeri pada telinga, penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat infeksi saluran atas yang berulang, riwayat alergi, riwayat OMA berkurang, riwayat penggunaan obat (sterptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin ), riwayat operasi

Riwayat penyakit keluarga : Apakah keluarga klien pernah mengalami penyakit telinga, sebab dimungkinkan OMK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik

2. Pengkajian Persistem

Tanda-tanda vital : Suhu meningkat, keluarnya otore

B2 ( Blood ) : Nadi meningkat

B3 (Brain): Nyeri telinga, perasaan penuh dan pendengaran menurun, vertigo, pusing, refleks kejut

B5 (Bowel) : Nausea vomiting

B6 (Bone) : Malaise, alergi

3. Pengkajian Psikososial

a. Nyeri otore berpengaruh pada interaksi

b. Aktivitas terbatas

c. Takut menghadapi tindakan pembedahan

4. Pemeriksaan diagnostik

a. Tes audiometri : pendengaran menurun

b. Xray : terhadap kondisi patologi, misal kolestetoma, kekaburan mastoid

5. Pemeriksaan pendengaran

- Tes suara bisikan, tes garputalaB. Diagnosa Keperawatan1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan

2. Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran

3. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.

4. Gangguan harga diri berhubungan dengan nyeri , otore berbau busuk

5. Defisit pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan

6. Resiko cedera berhubungan dengan keseimbangan tubuh

C. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri b/d proses peradangan

Intervesi prioritas NIC :

Pemberian analgetik : penggunaan agens-agens farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.

Sedasi sadar : pemberian sedatif, memantau respon pasien, dan pemberian dukungan fisiologis yang dibutuhkan selama prosedur diagnostik atau terapeutik.

Penatalaksanaan nyeri : mengurangi atau meringankan nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien.

Bantuan analgesia yang dikendalikan oleh pasien ( patient-control-trolled analgesia (PCA) : memudahkan pengendalian pasien pada pemberian dan pengaturan analgesic.

Aktivitas keperawatan :

Lakukan pengkajian nyeri yang komperehensif meliputi lokasi, karateristik, awitan/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas keparahan nyeri, dan factor presipitasinya.

Observasi isyarat ketidaknyamanan nonverbal, khususnya pada mereka yang tidak mampu mengkomunikasikannya secara efektif.

Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.

2. Perubahan persepsi sensori b/d infeksi telinga

Intervensi prioritas NIC :

Peningkatan komunikasi, defisit pendengaran : bantuan dalam pembelajaran dan penerimaan metode alternatif untuk menjalani hidup dengan kurangnya pendengaran.

Aktivitas keperawatan :

Berikan arahan yang sederhana dalam satu waktu

Tinggikan volume suara jika diperlukan

Tarik perhatian pasien dengan sentuhan

Jangan menutupi mulut, merokok, berbicara dengan mulut terbuka lebar, atau mengunyah permen karet saat berbicara

Hindari berteriak pada pasien dengan gangguan komunikasi

3. Cemas

Intervensi prioritas NIC :

Pengurangan ansietas : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan, berprasangka atau rasa gelisah yang dikaitkan dengan sumber bahaya yang tidak dapat diidentifikasi dari bahaya yang dapat diantisipasi.

Aktivitas keperawatan :

Menentukan kemampuan pengambilan keputusan pada pasien.

Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, perawatan, dan prognosis.

Instruksikan pasien tentang penggunaan tehnik relaksasi

Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur.

Berikan pengobatan untuk mengurangi ansietas sesuai kebutuhan4. Gangguan harga diri b/d otorea berbau busuk

Intervensi prioritas NIC :

Peningkatan harga diri : membantu pasien untuk meningkatkan penilaian penghargaaan terhadap diri

Aktivitas keperawatan :

Pantau pernyataan pasien tentang penghargaan diri

Tentukan rasa percaya diri pasien dalam penilaian diri

Pantau frekuensi pengungkapan diri yang negative

Ajarkan orang tuaakan pentingnya ketertarikan dan dukungannya terhadap perkembangan konsep diri yang positif5. Kurangnya pengetahuan

Intervensi prioritas NIC :

Pengajaran proses penyakit : membantu pasien dalam memahami informasi yang berhubungan dengan proses timbulnya penyakit

Aktivitas keperawatan :

Menjalin hubungan yang baik dengan pasien

Menyeleksi metode atau pengajaran yang tepat

Menyediakan informasi yang dibutuhkan pasien mengenai penyakit yang dialaminya

Mengikutsertakan keluarga atau angggota keluarga yang lain bila memungkinkan6. Resiko cedera b/d gangguan keseimbangan tubuh

Intervensi prioritas NIC :

Resiko cedera akan menurun

Pengendalian resiko akan ditunjukkan

Aktivitas keperawatan :

Bantu pasien dengan ambulasi sesuai dengan kebutuhan

Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan lingkungan saat ini bila dibutuhkan

Ajarkan pasien untuk meminta bantuan dengan gerakan bila memungkinkan.LAPORAN KASUSA. Identitas

Nama Pasien : An. DJenis Kelamin : Laki-lakiUmur: 8 tahun

Pekerjaan : PelajarAlamat: Sindurjan RT 01/02 PurworejoTanggal Masuk RS : 20 Agustus 2012Ruang: Poli THT RS BDokter yang merawat : dr. T, Sp. THT, KLB. Anamnesa

Keluhan Utama : Telinga kanan nyeri 1. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan telinga kanan nyeri. Nyeri dirasakan sudah sejak kemarin (1 hari). Anak mengatakan juga disertai demam. Pendengaran dirasakan anak tidak menurun dan merasakan penuh pada telinga. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Tidak ada keluar cairan dari telinga.

2. Riwayat Penyakit DahuluAnak belum pernah merasakan gejala yang sama. Riwayat sering membersihkan teling sendiri (+), Asthma (-), Alergi (-), Riwayat anak sering batuk dan bersin (-)3. Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.

4. Review SistemKepala & Leher : nyeri telinga (+), disfagia (-)

Respiratorius : sesak (-), batuk (-)

Cardiovascular : nyeri dada (-), sesak (-)

Gastrointestinal : Abdominal pain (-), mual (-), muntah (-)

Urogenital : BAK (+)

C. Pemeriksaan Fisik

1. Kesan umum: Baik.Kesadaran : Komposmentis.

2. Tanda utamaTekanan darah: 100/60 mmHg

Nadi : 84 x/m, isi dan tegangan : reguler

Suhu : 36,5 C

Pernapasan : 20 x/m Tipe : Thorakal

3. Status Generalisa. Kulit : Ikterik (-), sianosis (-), hiperpigmentasi (-), pucat (-).

b. Pemeriksaan Kepala

- Bentuk kepala: Mesosefal

- Rambut: Warna hitam, distribusi merata.

- Nyeri tekan : (-)

c. Pemeriksaan Mata

- Palpebra: Edema (-/-), Ptosis (-/-)

- Konjunctiva: Anemis (-/-)

- Sklera : Ikterik (-/-)

- Pupil: Reflek cahaya (+/+), isokor

d. Pemeriksaan Dada : Normochest, simetris, deformitas (-), ketinggalan gerak

(-).

e. Pemeriksaan Ekstremitas EkstremitasSuperiorInferior

KananKiriKananKiri

Pitting Edema----

Sensibilitas++++

Refleks Fisiologis++++

Refleks Patologis----

Status Lokalis THT

Telinga

Telinga KananTelinga Kiri

Normal, tragus pain (+) ringan, heliks sign (-), tidak mikrotiaAurikulaNormal, tragus pain (-), heliks sign (-), tidak mikrotia

Tenang, sedikit sempit, tampak hiperemis, tidak ada secret, ada serumenCanalis Aucusticus EksternaTenang, tidak hiperemis, tidak ada secret, tidak ada serumen

Intak, bulging (+) minimal, refleks cahaya (+), hiperemi (+), perforasi (-)Membran TympaniIntak, refleks cahaya (+), warna putih mengkilap

(+)Riene(+)

Lateralisasi (-)WeberLateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksaSchwabachSama dengan pemeriksa

Hidung

Cavum nasi : tidak ada massa, tidak ada benda asing / tidak ada massa , tidak ada benda asing

Mukosa

: Tidak hiperemis

Konkha

: edema -/-, hipertropi -/-

Meatus inferior: sekret -/-, polip -/-

Septum nasi

: lurus

Pasase udara

: +/+

Massa

: -/-

Nasofaring/ Orofaring

Mukosa

: tenang, granul (-), post nasal drip (-)

Tonsil

: T1 T1, kripte melebar -/-, debritus -/-

Gigi

: karies (-)

Leher

Pembesaran KGB submental -/-, submandibula -/-,

PEMBAHASANPasien an. D usian 8 tahun datang dengan keluhan telinga kanan nyeri. Nyeri dirasakan sudah 1 hari. Anak mengatakan juga disertai demam. Pendengaran dirasakan anak tidak menurun. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Secara garis besar gejala otalgia pada anak sangat mungkin merupakan gejala klinis OMA. Gejala bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Pada pemeriksaan telinga didapatkan aurikula telinga kanan normal, tragus pain (+), heliks sign (-), tidak mikrotia. Pada kanalis austikus eksternus telinga kanan tenang, tampak hiperemis, tidak ada secret, ada serumen. Pada pemeriksaan membran tympani telinga kanan intak, bulging (+) minimal, refleks cahaya (+), hiperemi (+), perforasi (-). Telinga kiri semua dalam batas normal. Dalam pemeriksaan ini anak masuk ke dalam stadium OMA hiperemis. Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.

Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis. Diberikan obat tetes hidung (dekongestan), dan obat antipiretik paracetamol 3x500 mg atau seperlunya.BAB IVPENUTUP

A. Kesimpulan

Otitis media akut merupakan infeksi bagian tengah telinga yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak. Tuba estachius yang lebih pendek pada anak-anak dan lebih horizontal dari pada orang dewasa memudahkan masuknya bakteri dan virus ke dalam telinga tengah. Infeksi telinga ini seringkali berkembang setelah infeksi virus,seperti pilek atau flu. Bagian di belakang gendang telinga akan membengkak dan mengumpulkan cairan (efusi).B. SaranBerdasarkan tinjauan teori dan asuhan keperawatan pada bagain sebelumya, pembaca dapat mengetahui defenisi, penyebab, gambran klinis, patofisiologi, komplikasi, serta asuhan keperawatan tentang penyakit otitis media akut (OMA). Untuk itu penulis menyarankan agar pembaca dapat memelihara lingkungan sekitar agar tetap bersih dan sehat, untuk menghindari terjadinya infeksi, termasuk OMA.

DAFTAR PUSTAKAAlho, O., Laara, E., Oja, H., 1996. Public Health Impact of Various Risk Factors for Acute Otitis Media in Northern Finland. Am. J. Epidemiol 143 (11).

American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians, 2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Pediatrics 113(5):1451-1465.

Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-1565.

Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and Eustachian Tube Dysfunction. In Bluestone, Stool, Kenna eds. Pediatric Otolaryngology. 3rd ed. London: WB Saunders, Philadelphia, 388-582.

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni, F., Romero-Diaz, R., 2000. Acute Otitis Media: Bacteriology and Bacterial Resistance in 205 Pediatric Patients. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 56: 23-31.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.

Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dalam: Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 49-58.

Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Sekolah. Dalam: Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 59-62.

Homoe, P., Christensen, R.B., Bretlau, P., 1999. Acute Otitis Media and Sociomedical Risk factors Amongst Unselected Children in Greenland. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 49: 37-52.

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

Klein, J.O., 2009. Acute Otitis Media in Children: Epidermiology, Pathogenesis, Clinical Manifestations, and Complications. Up to Date.Madiyono, B., Moeslichan, S.M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H., 2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., ed. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto, 302-331.

Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone, M.P., 2002. A Preventive Measure for Otitis Media in Children with Upper Respiratory Tract Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63: 111-118.

Onion, D.K., Taylor, C., 1977. The Epidermiology of Recurrent Otitis Media. Am. J. Public Health 67 (5).

Revai, K., Dobbs, L.A., Nair, S., Patel, J.A., Grady, J.J., Chonmaitree, T., 2007. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. Pediatrics 119 (6).

Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and Other Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysonss Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.

Teele, D.W., Klein, J.O., Rosner, B,. The Greater Boston Otitis Media Study Group. Epidemiology of Otitis Media During the First Seven Years of Life in Children in Greater Boston: A Prospective, Cohort Study. J. Infect. Dis. 160 (1): 83-94.

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.Vernacchio, L., Lesko, S.M., Vezina, R.M., Corwin, M.J., Hunt, C.E., Hoffman, H.J., Mitchell, A.A., 2004. Racial/Ethnic Disparities in the Diagnosis of Otitis Media in Infancy. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 68: 795-804.

Zakzuok, S.M., Jamal, T.S., Daghistani, K.J., 2002. Epidermiology of Acute Otitis Media Among Saudi Children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 62: 219-222.

Smelter, Suzanne C., 2001 Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8.Jakarta.EGC.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta. EGC.Djaafar ZA, Helmi. Kelainan telinga tengah. Buku ajar Ilmu kesehatan

telinga hidung tenggorok kepala dan leher.6th ed. Jakarta, 2007:p 64-8)

GAMBARAN UMUM TELINGA

Infeksi sekunder (ISPA)

Bakteri Streptococcus

Hemophylus Influenza

Trauma Benda Asing

Rupture Gendang Telinga

Invansi Bakteri

Infeksi Telinga Tengah

Kavum Timpani, Tuba Eutachius

Proses Peradangan

Nyeri

Peningkatan Produksi Cairan Serosa

Akumilasi Cairan Mucus dan Serosa

Tekanan Udara Pada Telinga Tengah (-)

Retraksi Membran Timpani

Retraksi Membran Timpani

Infeksi Berlanjut dapat sampai ke Telinga Dalam

Rupture Membran Timpani karena Desakan

Secret Keluar dan Berbau Tidak Enak (Otorrhoe)

Gangguan Harga Diri

Hantaran suara/udara yang diterima menurun :

Tinitus

Penurunan Fungsi Pendengaran

Tuli Konduktif

Gangguan Pesepsi Sensori Pendengaran

Terjadi Erosi Pada Kanal Semisirkularis

Kurang Informasi

Kurang Pengetahuan

Merusak Tulang Karena Adanya Epitel Skuamosa dalam Rongga Telinga Tengah (Kolesteatom)

Pening/Vertigo

Keseimbangan tubuh Menurun

Resiko Cedera

Tindakan Operasi dengan Mastoidektomi

Cemas

PAGE 17