BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Industri telepon seluler mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade
terakhir ini, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Di Indonesia pun telepon
seluler telah mengubah peta industri telekomunikasi secara radikal. Dimana telepon yang
dulunya merupakan barang mewah, sehingga hanya kelompok tertentu yang bisa
menikmatinya, sekarang dengan mudah mendapatkannya, murah lagi, baik dalam sarana
telekomunikasi fixedline wireline ataupun fixedline wireless serta seluler. Semua lapisan
masyarakat memiliki akses untuk dapat menggunakan sarana telekomunikasi untuk berbagai
keperluan, baik untuk urusan bisnis, keluarga, ataupun keperluan lainnya. Demikian juga
semua lapisan masyarakat dari lapisan elit sampai pembantu rumah tangga dari kota besar
ataupun pelosok-pelosok di seluruh Indonesia dapat mengakses sarana telekomunikasi yang
ada. Apalagi program universal service obligation (USO) sudah menjadi program pemerintah
dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga pelayanan jasa telekomunikasi dibawa ke
daerah-daerah terisolir, meskipun hasilnya masih belum memuaskan.
Akhir-akhir ini kita melihat persaingan yang semakin ketat antar operator dalam
menarik konsumen supaya tertarik untuk menggunakan produknya, khususnya untuk
fixedline wireless ataupun seluler. Bahkan dalam beberapa media kita saksikan perang harga
untuk menarik pelanggan dilakukan oleh berbagai operator, sampai-sampai ada yang
menawarkan sms gratis ataupun percakapan gratis guna menarik konsumen. Sehingga
masyarakat ataupun konsumen pun yang mulai cerdas juga banyak memanfaatkan perang
harga tersebut untuk mendapatkan harga termurah dengan sering berganti operator ataupun
memiliki beberapa jasa pelayanan dari beberapa operator. Oleh karena itu pasar telepon
seluler di Indonesia diperkirakan memiliki tingkat perputaran pelanggan bulanan tertinggi di
dunia. Pelanggan telepon seluler di Indonesia begitu mudah untuk berganti nomor telepon ke
operator lain. Hal ini tidak terlepas dari persaingan antar operator telekomunikasi di
Indonesia.
Bahkan perangkat hardware-nya pun juga memanjakan konsumen dengan
diproduksinya telepon yang dapat digunakan sekaligus untuk GSM and CDMA dalam satu
handset. Jelas bahwa masyarakat secara umum diuntungkan dengan perkembangan tersebut
1 | P a g e
sehingga pemakaian jasa pelayanan dari percakapan, sms, internet, bahkan 3G juga semakin
meningkat, memenuhi kebutuhan layanan komunikasi masyarakat yang semakin
berkembang. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tingkat pertumbuhan Produk Domestik
Bruto dari sub sektor Telekomunikasi dalam beberapa tahun terakhir ini selalu pada tingkat
dua digit, jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan yang pesat pada industri telekomunikasi akhir-akhir ini terutama
didorong oleh pekembangan yang pesat dari pasar seluler. Sementara telepon seluler sejak
awal sudah tidak ada hambatan masuk pasar bagi operator yang berminat dalam bisnis ini,
sehingga persaingan antar operator dalam pasar ini cukup sengit. Bahkan akhir-akhir ini
sudah menjurus pada perang harga. Dalam penjelasan berikut akan kita lihat betapa
perkembangan pasar seluler yang pesat juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat
antar operator, sehingga pelayanan yang ada di pasar juga semakin beragam dengan berbagai
fitur yang semakin menarik, jangkauan yang semakin luas, dan harga yang semakin murah.
Sehingga manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan semakin berkembangnya pasar
seluler dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Dalam uraian berikut akan disampaikan
kondisi pasar seluler dilihat dari structure, conduct dan perfomancenya.
2 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pasar Oligopoli
Pasar Oligopoli adalah struktur pasar dimana hanya terdapat beberapa perusahaan
besar yang menguasai pasar. Beberapa dapat berarti paling sedikit 2 perusahaan dan paling
banyak 10-15 perusahaan. Kalau pasar hanya dikuasai oleh 2 perusahaan saja disebut pasar
Duopoli.
Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sebagai bagian yang
terikat dengan permainan-permainan pasar, dimana keuntungan yang mereka dapatkan
tergantung dari tindak tanduk pesaing mereka
Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan
perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk kedalam pasar. Perusahaan-perusahaan
melakukan oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba normal dibawah tingkat
maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas sehingga menyebabkan kompetisi harga
diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tidak ada.
Dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori
perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoly terjadi melalui reaksi, khususnya pada
barang-barang yang bersifat homogen atau identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang
mengatur tentang ini sebaiknya digabung dengan ketentuan yang mengatur menganai kartel.
2.2 Ciri-ciri dan Penyebab Terbentuknya Pasar oligopoli
Ciri-ciri Pasar Oligopoli :
1. Menghasilkan barang standar maupun berbeda corak . industri yang biasanya
menghasilkan barang standar dalam pasar oligopoli adalah industri bahan mentah
seperti industri semen dan bahan bangunan. Sedangkan pasar oligopoli yang
menghasilkan barang berbeda corak adalah barang akhir. Seperti industri mobil, truk,
industri rokok, industri sabun cuci dan sabun mandi.
2. Kekuasaan menentukan harga adakalanya lemah dan ada kalanya sangat tangguh.
Apabila perusahaan menurunkan harga, dalam waktu yang singkat ia akan menarik
3 | P a g e
banyak pembeli. Perusahaan yang kehilangan pembeli akan mengurangi harga lebih
besar dari perusahaan pertama yang menurunkan harga sehingga perusahaan pertama
akan kehilangan pelanggan.
3. Pada umumnya perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi iklan. Kegitan
promosi sangat diperlukan bagi perusahaan yang menjual barang berbeda corak.
Kegiatan ini dilakukan untuk nenarik pembeli baru, mempertahankan pembeli lama
dan memelihara hubungan baik dengan masyarakat.
4. Adanya saling ketergantungan (mutual interdependensi) antara satu pasar atau
perusahaan dengan perusahaan lain.
Penyebab terbentuknya Pasar Oligopoli :
Efisiensi skala besar di dalam efisiensi teknis (teknologi) dan efisiensi ekonomi
(biaya produksi). Profit hanya bisa tercipta apabila perusahaan mampu mencapai
tingkat efisiensi. Efisiensi teknis menyangkut pada penggunaan teknologi dalam
proses produksi. Kemampuan produsen dalam menempatkan sumber daya secara
optimal. Efisiensi ekonomi menyangkut pada biaya produksi. Bagaimana
mengatur biaya pada komposisi yang tepat sehingga harga yang dipasarkan
merupakan harga yang bisa diterima pasar dan produsen.
Kompleksitas manajemen (tingkat kerumitan). Tingkat kerumitan dalam
manajemen pengelolaan di suatu perusahaan.
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Pasar Oligopoli
Kelebihan :
1. Memberi kebebasan memilih kepada pembeli
2. Mampu melakukan penelitian dan pengembangan produk
3. Lebih memperhatikan kepuasan konsumen karena adanya persaingan penjual
4. Adanya penerapan teknologi baru
5. Terdapat sedikit penjual, karena dibutuhkan biaya investasi yang besar
6. Jumlah penjual yang sedikit membuat penjual dapat mengendalikan harga dalam
tingkat tertentu
7. Bila terjadi persaingan harga, konsumen akan diuntungkan
8. Operasi firma dapat mencapai efisiensi yang tinggi
4 | P a g e
9. Menurunkan biaya produksi
10. Perusahaan dapat selalu melakukan pengembangan dan dapat selalu berinovasi
Kekurangan :
1. Menciptakan ketimpangan distribusi pendapatan atau dengan kata lain distribusi
pendapatan akan semakin tidak merata
2. Harga yang stabil dan terlalu tinggi bisa mendorong tumbuhnya inflasi
3. Bisa timbul pemborosan biaya produksi apabila ada kerjasama antar oligopolies
karena semangat bersaing yang kurang
4. Bisa timbul eksploitasi terhadap pembeli dan pemilik faktor produksi
5. Sulit ditembus/dimasuki perusahaan baru atau terdapat rintangan yang kuat untuk
dapat masuk ke pasar oligopoly
6. Bisa berkembang kearah monopoli
7. Dapat menimbulkan perang harga
8. Produsen dapat melakukan kerjasama (kartel) yang pada akhirnya akan merugikan
konsumen
2.4 Kebijaksanaan Umum untuk Mengurangi Efek-Efek Negatif Oligopoli
1. Pemerintah harus menjaga agar hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk kedalam
pasar industry tersebut ditekan sampai sekecil-kecilnya.
2. Diadakannya undang-undang anti monopoli, yang melarang adanya kerjasama di
antara para pengusaha monopoli. Adanya kerjasama tersebut akan mengurangi
dorongan untuk bersaing untuk mereka sendiri di bidang harga maupun non harga dan
sekaligus memperbesar kemampuan mereka untuk mengeksploiter konsumen dan
buruh.
3. Kemungkinan kebijaksanaan yang lebih drastic adalah merombak struktur pasar yang
oligopoly tersebut antara lain dengan : menentukan batas maksimum dari ukuran
suatu badan usaha dan melarang diadakannya penggabungan antara perusahaan-
perusahaan yang telah ada. Penggabungan perusahaan-perusahaan tersebut bertujuan
untuk menguasai pasar bukan meningkatkan efisiensi produksi.
5 | P a g e
2.5 Kasus Oligopoli dalam Industri Telekomunikasi
Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui
telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah
memberikan harga terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku
tiga operator telepon seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT.
Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan menawarkan
tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang
ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon seluler kini sebenarnya sudah
memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau dikatakan sudah
membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.
Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu
mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali
penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp
0,1 per detik ke sesama operator; sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5
per detik. Indosat Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan
IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik
pertama dan selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per
detik ke operator lain. Belum lagi, operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan
tarif paling murah ke sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.
Dengan perkembangan yang ada pelanggan tidak memiliki informasi yang cukup
mengenai berapa sebenarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh para operator untuk
menyediakan jasanya ke publik. Memang bukan menjadi kewajiban operator untuk
mendeklarasi urusan internal perusahaannya ke publik, tetapi persaingan tarif yang terjadi
sebenarnya secara implisit mengindikasi adanya ketidakwajaran perolehan manfaat antara
produsen dan pelanggan telekomunikasi. Pelanggan sebenarnya juga menyadari bahwa
investasi di telekomunikasi tidak bisa tergolong murah, terutama untuk mendapatkan lisensi,
memilih platform teknologi, dan kemudian membangun infrastruktur fisik yang tersebar di
seluruh wilayah negeri. Masyarakat kemudian bisa menerima berapa pun tarif berbicara via
telepon seperti yang ditawarkan oleh para operator. Pelanggan seolah tidak berdaya untuk
menolak tawaran harga yang disampaikan para operator karena masyarakat sendiri memang
seolah terbuai dengan janji manis dalam mobilitas berkomunikasi. Lebih dari itu, “rasa haus”
berlebihan yang selama ini dirasakan masyarakat akibat adanya kelangkaan akses dan
6 | P a g e
koneksi telepon seolah terobati dengan pemunculan peranti komunikasi bergerak, seperti
halnya mobile phone atau di Indonesia lebih populer dengan sebutan hand phone.
Mobilitas berkomunikasi kini seolah menjadi kebutuhan masyarakat, dan bukan lagi
barang mewah yang didominasi oleh sekelompok orang berduit yang mampu membeli
peranti telepon bergerak yang sekaligus juga berfungsi sebagai simbol status seperti halnya
yang terjadi pada era 1980-an yang lalu. Masyarakat di negeri ini nampaknya kini lebih
cenderung untuk memperhatikan pada berapa besaran ongkos percakapan yang wajar
dibanding dengan membuat kalkulasi bertelepon dalam satuan waktu tarif percakapan per
detik yang murah. Hampir semua operator memang memberi harga penawaran yang relatif
lebih murah untuk percakapan ke sesama operator dibanding tarif antar operator. Satu hal
yang perlu mendapat perhatian bersama adalah bahwa jebakan tarif seperti yang terjadi ini
sebenarnya mengingatkan masyarakat pengguna jasa telepon seluler untuk lebih berhati-hati
atau lebih pas untuk dikatakan lebih cermat terhadap tawaran telepon murah yang
diluncurkan oleh para operator.
Makalah yang diajukan dalam tulisan ini sebenarnya adalah bahwa kalau industri
telekomunikasi di negeri ini bergerak secara efisien, sudah semestinya pelanggan mendapat
harga layanan yang wajar. Jadi, pelanggan berhak mendapat kemanfaatan atas sejumlah
sumberdaya yang telah dikeluarkannya. Itu pula sebabnya, tulisan ini tidak dimaksudkan
untuk menolak adanya kecenderungan penurunan tarif telepon ke sesama operator, tetapi
justru lebih sebagai upaya untuk menyadarkan pelanggan bahwa tawaran harga yang wajar,
yaitu harga yang mendekati daya-beli bagi pelanggan, sebenarnya adalah hak dan merupakan
suatu hal yang perlu didapat pelanggan dan bukan sekedar diberi iming-iming yang diumbar
oleh para operator telepon seluler.
Switching Behavior
Pada dasarnya iklim persaingan yang dihadapi oleh operator telepon seluler di
Indonesia kini sudah mendekati pada situasi yang bersifat oligopoly. Ada tiga karakteristik
kunci yang melekat pada situasi pasar oligopoly, yaitu: (1) pergerakan industri didominasi
oleh kiprah beberapa operator dengan skala besar; (2) masing-masing operator menjual atau
menawarkan produk yang identik atau memiliki pembedaan yang relatif terbatas; dan (3)
industri memiliki barrier to entry yang signifikan besarannya sehingga tidak mudah bagi
pendatang baru untuk masuk ke dalam industri yang dimaksud. Dari perspektif operator
7 | P a g e
telepon seluler, penerapan strategi pemasaran pada situasi pasar yang bersifat oligopoli tentu
memerlukan upaya ekstra terutama dalam memaknai elastisitas harga terhadap besaran
permintaan pulsa oleh pelanggan.
Secara teoritis, elastisitas harga terhadap permintaan suatu produk akan sangat
ditentukan oleh karakteristik pasar, kategori produk, kategori branding yang melekat pada
suatu produk, preferensi terhadap waktu, dan kondisi perekonomian makro.1 Satu hal penting
dari temuan empiris itu adalah bahwa upaya korporasi dalam mengakomodasi price
endogeneity seperti yang dimaksudkan itu ternyata mempunyai imbas yang kuat pada besaran
elastisitas harga suatu produk. Itu artinya, bagi kepentingan pelaku industri telekomunikasi,
perang tarif yang selama ini telah berlangsung sebenarnya hanya dapat dijustifikasi sampai
pada suatu titik di mana kebijakan penurunan tarif per satuan waktu akan berimbas pada
penurunan jumlah permintaan pulsa telepon. Dengan kata lain, rasionalitas ekonomis yang
ada dalam benak pelanggan akan menentukan tingkat sensitifitas mereka terhadap kebijakan
agresif mengenai tarif telepon.
Dengan mencermati perkembangan pasar yang ada sekarang ini, sebenarnya masih
ada peluang bagi para operator untuk mendongkrak tingkat penetrasi pasar, terutama untuk
segmen yang berpotensi menjadi pengguna jasa telekomunikasi di masa datang. Hanya saja,
hal yang mungkin perlu diwaspadai oleh para operator adalah bahwa bisa saja, karena faktor
emosi sesaat dalam menetapkan tarif psikologis seperti yang diadopsi para operator selama
ini, justru akan berpengaruh pada pergeseran perilaku pelanggan untuk beralih operator
(switching behavior). Kalau hal ini terjadi, maka tidak mustahil kalau pada gilirannya nanti
loyalitas pelanggan terhadap suatu produk atau operator telepon tertentu menjadi sesuatu
yang sulit dicapai. Pelanggan mungkin saja tetap mendapat kepuasan terhadap suatu operator
tertentu, namun tetap saja mereka beralih operator, karena alasan satu dan lain hal.
1 Bijmolt, T.H.A., Van Heerde, J.H., dan Pieters, G.M.R.,”New Empirical Generalizations on the Determinants of Price Elasticity”, Journal of Marketing Research, Vol. XLII, May 2005, hal. 141-156.
8 | P a g e
2.6 Analisis Kasus
2.6.1 Struktur Industri
Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar yang biasanya dilihat dari jumlah pelaku dan
pangsa pasarnya akan menentukan market conduct atau perilaku perusahaan, yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Biasanya semakin bertambahnya jumlah
penjual maka persaingan akan meningkat, sehingga keuntungan akan menurun. Sementara
itu, derajat dari diferensiasi produk, pengetahuan penjual dan pembeli mengenai produknya
serta adanya hambatan untuk masuk pasar juga mempengaruhi kekuatan penjual di pasar.
Undang-undang RI no.36/1999 tentang Telekomunikasi memberikan pondasi bagi
kompetisi pasar telekomunikasi di Indonesia. Meskipun belum merubah posisi dominan PT
Telkom untuk penyelenggaraan jasa telepon tetap, baik untuk domestik maupun SLJJ sampai
sekarang. Namun demikian sampai saat ini ada 3 operator yang melayani jasa telepon tetap,
tetapi hanya PT Telkom yang dapat melayani seluruh wilayah Indonesia. PT Indosat (“Star
One”) hanya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya, dan wilayah
Joglosemar (Jogjakarta, Solo dan Semarang). Sementara pendatang baru seperti PT. Bakrie
Telecom, yang menyediakan layanan jasa telepon tetap nirkabel memiliki pangsa pasar yang
kecil dan terbatas (layanan daerah Jakarta, Banten dan sekitarnya, namun telah memiliki
lisensi FWA untuk seluruh Indonesia pada akhir 2006) meskipun sangat agresif dalam
memasarkan produknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kompetisi antara operator telepon
tetap terbatas di daerah padat penduduk.
Sementara itu kompetisi di telepon selular telah terjadi lebih intensif. Dimana PT
Telkomsel dan PT. Indosat memiliki cakupan nasional, sedangkan Exelcomindo memiliki
cakupan hampir di seluruh wilayah kecuali Maluku, dan Fren dari Mobile-8 hanya terdapat di
pulau Jawa, Madura dan Bali. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kompetisi antara operator
seluler secara praktis terjadi hanya pada 3 operator. Bahkan, PT Telkomsel menguasai 59,6%
pasar, yang berarti merupakan pemain dominan di pasar.
Hingga saat ini di Indonesia telah hadir 10 operator yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat,
Excelcomindo (XL), Hutchison (3),Sinar Mas Telecom,Sampoerna Telecommunication,
Bakrie Telecom (Esia), Mobile-8 (Fren), dan Natrindo Telepon Selular (sebelumnya Lippo
Telecom). Dari jumlah ini, pelanggan fixed phone sekitar 9 juta dan pelanggan selular 64 juta
9 | P a g e
pada tahun 2006. Kalau dibagi berdasarkan platform yang digunakan, pemakai GSM selular
sebanyak 88%, CDMA selular 3%, dan CDMA fixed wireless access (FWA) 9%. Namun dari
sepuluh operator itu hanya 3 operator yang memiliki pangsa pasar lebih dari 5% yaitu
Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo. Hal ini menyebabkan tingkat persaingan antar
operator di Indonesia mengalami peningkatan. Dan para pelanggan telepon seluler juga
menikmati manfaat dari persaingan tersebut.
2.6.2 Perilaku Pasar
Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar biasanya akan mempengaruhi perilaku
pelaku pasar. Ada beberapa indikator perilaku pasar yang sering digunakan selama ini, antara
lain penetapan harga, jumlah produk yang dijual, investasi, iklan, reaksi terhadap inisiatif
pesaing, penerapan teknologi baru dan inovasi. Dimana semakin tingginya persaingan karena
semakin banyaknya pelaku usaha seperti dalam industri telekomunikasi mengakibatkan
meningkatnya kegiatan periklanan, penurunan harga, dan munculnya berbagai ragam layanan
yang ditawarkan operator, sehingga pengguna menikmati rendahnya harga, kualitas layanan
yang lebih baik, dan beragam pilihan jasa. Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan tarif jasa
telepon dasar yang makin kompetitif untuk panggilan sesama pelanggan dari operator yang
sama (on-net), ataupun operator lain (off-net), untuk telepon tetap maupun telepon bergerak
selama jam sibuk (peak time).
10 | P a g e
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa tarif telepon sangat beragam, bahkan tarif promosi
yang ditawarkan luar biasa murahnya, demikian iklan yang gencar banyak dilakukan oleh
operator. Perkembangan akhir-akhir ini bahkan menunjukkan bahwa persaingan dengan
menawarkan pulsa ataupun sms gratis dengan kondisi tertentu juga terjadi (lihat Tabel 6 dan
Tabel 7). Hal ini wajar pada tahap awal perkembangan pasar yang masih mencari
keseimbangannya. Apalagi untuk industri telekomunikasi yang sarat teknologi dan sangat
dinamis merupakan hal yang wajar bagi perusahaan-perusahaan untuk menguji pasar,
mengukur reaksi pesaing, dan mengubah tingkah laku mereka untuk menyesuaikan dengan
strategi dan kondisi pesaing.
Dari Tabel 4 dan Tabel 5 dapat dilihat bahwa PT Bakrie Telecom (Esia) adalah operator yang
menerapkan harga murah (Rp.50 per menit antar pelanggan on-net), dan Rp.800.- per menit
untuk panggilan ke pelanggan off-net. Sedangkan untuk telepon bergerak, PT Mobile-8
(Fren) tarifnya Rp.275 untuk menit pertama dan Rp.14 untuk tiap menit berikutnya untuk on-
net, dan Rp.800 per menit untuk panggilan off-net. Jelas dapat dilihat bahwa kedua operator
11 | P a g e
tersebut menggunakan strategi tarif murah untuk menyaingi pesaingnya. Jadi dapat dilihat
bahwa new comer menggunakan tarif rendah untuk penetrasi pasar. Demikian juga pemain
lama (incumbent) juga tidak mau kalah, mereka juga menerapkan hal yang sama. Sehingga
perang harga antar operator tak terelakkan.
Selain itu tarif promosi juga banyak dilakukan oleh operator, diantaranya PT
Excelcomindo Pratama menurunkan tarifnya sebesar kira-kira Rp.149 per 30 detik, sementara
Simpati (PT Telkomsel) memberlakukan tarif Rp.300 per menit untuk pelanggan yang
melakukan panggilan antara pukul 23.00 hingga 07.00. PT Indosat (Mentari) bahkan
memberikan gratis kepada pelanggan yang melakukan panggilan antara pukul 00.00 hingga
05.00. Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa industri telekomunikasi baik untuk
jaringan tetap tanpa kabel dan seluler di Indonesia pada saat ini telah memasuki situasi
perang tarif, sementara para operator baru berusaha memaksimalkan kapasitas jaringan yang
dimilikinya. Oleh karena itu perang tarif nampaknya akan tetap terjadi sampai dengan
kapasitas jaringan digunakan secara penuh. Perkembangan akhir-akhir ini bahkan
menunjukkan perang tarif yang semakin gencar sehingga banyak operator yang menawarkan
berbagai keuntungan seperti roaming gratis, tarif telepon interlokal sama dengan tarif lokal,
bonus pulsa, dan lain-lainnya. Adanya perang tarif antar operator tersebut menyebabkan tarif
telepon seluler cenderung mengalami penurunan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7
dibanding dengan tabel sebelumnya. Kecenderungan turunnya tarif seluler sebagai akibat
perang tarif antar operator mengindikasikan bahwa persaingan antar operator seluler semakin
ketat.
12 | P a g e
Pelaku dalam industri telekomunikasi tidak banyak sebagaimana halnya dalam
struktur pasar yang bersaing sempurna (perfect competition), yang didalam praktek struktur
pasar persaingan sempurna jarang ditemui. Struktur pasar oligopoli adalah ciri dari industri
telekomunikasi di seluruh dunia. Namun demikian pasar oligopoli tidak dengan sendirinya
diikuti oleh persekongkolan horisontal dalam bentuk kartel misalnya. Fakta di Indonesia
menunjukkan bahwa katel dalam bentuk price fixing atau market division tidak terjadi, justru
perang harga (price war) yang disertai dengan berbagai bentuk persaingan non-harga (non-
price competition).
Dibandingkan dengan tarif telepon di negara lain, tarif yang berlaku di Indonesia
berada di posisi tengah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Hal ini wajar
mengingat kebutuhan investasi, skala ekonomi, penggunaan teknologi, dan besarnya pasar
13 | P a g e
berbeda antara satu negara-dengan negara lain, yang dengan sendirinya menyebabkan
perbedaan struktur biaya dan tingkat harga.
2.6.3 Kinerja
Kinerja dari industri telekomunikasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Meski
demikian dalam tulisan ini akan dilihat dari sisi output yang dihasilkan, ARPU dan
profitabilitasnya. Dari sisi output jelas bahwa semakin banyaknya operator dan juga semakin
baiknya pelayanan serta semakin murahnya tarif dan portabel nya handset telah membuat
jumlah pelanggan seluler juga meningkat pesat. Ini tentu saja menguntungkan masyarakat
luas sebagai pengguna jasa layanan seluler. Demikian juga dilihat dari luasnya jangkauan
layanan seluler yang sudah meliputi seluruh Indonesia (menurut klaim dari operator) jelas
menguntungkan pelanggan.
Demikian juga semakin banyaknya operator baru yang masuk pasar telekomunikasi
telah meningkatkan kompetisi, menurunkan tarif, sehingga berdampak pada penurunan
tingkat Pendapatan Rata-rata per Pengguna (Average Revenue per User-ARPU) di banyak
operator. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar operator turun ARPU nya, kecuali
pada PT Telkom dan PT Bakrie Telekom. Flexi pun yang baru diluncurkan tahun 2003 ikut-
ikutan turun ARPU nya sejak PT Bakrie Telecom masuk, dan gencarnya promosi perang
harga operator jaringan bergerak. Demikian juga ARPU telepon seluler seperti PT Telkomsel,
PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama juga turun. Dimana ARPU campuran dari 3
operator seluler sudah dibawah Rp.100.000,-.
14 | P a g e
BAB III
PENUTUP
15 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
http://persaingantelekomunikasi.wordpress.com/2009/04/27/persaingan-pada-industri-
telepon-selular-di-indonesia/
Bijmolt, T.H.A., Van Heerde, J.H., dan Pieters, G.M.R.,”New Empirical Generalizations on
the Determinants of Price Elasticity”, Journal of Marketing Research, Vol. XLII, May 2005
Sukirno, Sadono, Teori Pengantar Mikro Ekonomi, Edisi Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
16 | P a g e