Transcript
Page 1: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Industri telepon seluler mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade

terakhir ini, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Di Indonesia pun telepon

seluler telah mengubah peta industri telekomunikasi secara radikal. Dimana telepon yang

dulunya merupakan barang mewah, sehingga hanya kelompok tertentu yang bisa

menikmatinya, sekarang dengan mudah mendapatkannya, murah lagi, baik dalam sarana

telekomunikasi fixedline wireline ataupun fixedline wireless serta seluler. Semua lapisan

masyarakat memiliki akses untuk dapat menggunakan sarana telekomunikasi untuk berbagai

keperluan, baik untuk urusan bisnis, keluarga, ataupun keperluan lainnya. Demikian juga

semua lapisan masyarakat dari lapisan elit sampai pembantu rumah tangga dari kota besar

ataupun pelosok-pelosok di seluruh Indonesia dapat mengakses sarana telekomunikasi yang

ada. Apalagi program universal service obligation (USO) sudah menjadi program pemerintah

dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga pelayanan jasa telekomunikasi dibawa ke

daerah-daerah terisolir, meskipun hasilnya masih belum memuaskan.

Akhir-akhir ini kita melihat persaingan yang semakin ketat antar operator dalam

menarik konsumen supaya tertarik untuk menggunakan produknya, khususnya untuk

fixedline wireless ataupun seluler. Bahkan dalam beberapa media kita saksikan perang harga

untuk menarik pelanggan dilakukan oleh berbagai operator, sampai-sampai ada yang

menawarkan sms gratis ataupun percakapan gratis guna menarik konsumen. Sehingga

masyarakat ataupun konsumen pun yang mulai cerdas juga banyak memanfaatkan perang

harga tersebut untuk mendapatkan harga termurah dengan sering berganti operator ataupun

memiliki beberapa jasa pelayanan dari beberapa operator. Oleh karena itu pasar telepon

seluler di Indonesia diperkirakan memiliki tingkat perputaran pelanggan bulanan tertinggi di

dunia. Pelanggan telepon seluler di Indonesia begitu mudah untuk berganti nomor telepon ke

operator lain. Hal ini tidak terlepas dari persaingan antar operator telekomunikasi di

Indonesia.

Bahkan perangkat hardware-nya pun juga memanjakan konsumen dengan

diproduksinya telepon yang dapat digunakan sekaligus untuk GSM and CDMA dalam satu

handset. Jelas bahwa masyarakat secara umum diuntungkan dengan perkembangan tersebut

1 | P a g e

Page 2: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

sehingga pemakaian jasa pelayanan dari percakapan, sms, internet, bahkan 3G juga semakin

meningkat, memenuhi kebutuhan layanan komunikasi masyarakat yang semakin

berkembang. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tingkat pertumbuhan Produk Domestik

Bruto dari sub sektor Telekomunikasi dalam beberapa tahun terakhir ini selalu pada tingkat

dua digit, jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan yang pesat pada industri telekomunikasi akhir-akhir ini terutama

didorong oleh pekembangan yang pesat dari pasar seluler. Sementara telepon seluler sejak

awal sudah tidak ada hambatan masuk pasar bagi operator yang berminat dalam bisnis ini,

sehingga persaingan antar operator dalam pasar ini cukup sengit. Bahkan akhir-akhir ini

sudah menjurus pada perang harga. Dalam penjelasan berikut akan kita lihat betapa

perkembangan pasar seluler yang pesat juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat

antar operator, sehingga pelayanan yang ada di pasar juga semakin beragam dengan berbagai

fitur yang semakin menarik, jangkauan yang semakin luas, dan harga yang semakin murah.

Sehingga manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan semakin berkembangnya pasar

seluler dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Dalam uraian berikut akan disampaikan

kondisi pasar seluler dilihat dari structure, conduct dan perfomancenya.

2 | P a g e

Page 3: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pasar Oligopoli

Pasar Oligopoli adalah struktur pasar dimana hanya terdapat beberapa perusahaan

besar yang menguasai pasar. Beberapa dapat berarti paling sedikit 2 perusahaan dan paling

banyak 10-15 perusahaan. Kalau pasar hanya dikuasai oleh 2 perusahaan saja disebut pasar

Duopoli.

Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sebagai bagian yang

terikat dengan permainan-permainan pasar, dimana keuntungan yang mereka dapatkan

tergantung dari tindak tanduk pesaing mereka

Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan

perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk kedalam pasar. Perusahaan-perusahaan

melakukan oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba normal dibawah tingkat

maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas sehingga menyebabkan kompetisi harga

diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tidak ada.

Dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori

perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoly terjadi melalui reaksi, khususnya pada

barang-barang yang bersifat homogen atau identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang

mengatur tentang ini sebaiknya digabung dengan ketentuan yang mengatur menganai kartel.

2.2 Ciri-ciri dan Penyebab Terbentuknya Pasar oligopoli

Ciri-ciri Pasar Oligopoli :

1. Menghasilkan barang standar maupun berbeda corak . industri yang biasanya

menghasilkan barang standar dalam pasar oligopoli adalah industri bahan mentah

seperti industri semen dan bahan bangunan. Sedangkan pasar oligopoli yang

menghasilkan barang berbeda corak adalah barang akhir. Seperti industri mobil, truk,

industri rokok, industri sabun cuci dan sabun mandi.

2. Kekuasaan menentukan harga adakalanya lemah dan ada kalanya sangat tangguh.

Apabila perusahaan menurunkan harga, dalam waktu yang singkat ia akan menarik

3 | P a g e

Page 4: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

banyak pembeli. Perusahaan yang kehilangan pembeli akan mengurangi harga lebih

besar dari perusahaan pertama yang menurunkan harga sehingga perusahaan pertama

akan kehilangan pelanggan.

3. Pada umumnya perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi iklan. Kegitan

promosi sangat diperlukan bagi perusahaan yang menjual barang berbeda corak.

Kegiatan ini dilakukan untuk nenarik pembeli baru, mempertahankan pembeli lama

dan memelihara hubungan baik dengan masyarakat.

4. Adanya saling ketergantungan (mutual interdependensi) antara satu pasar atau

perusahaan dengan perusahaan lain.

Penyebab terbentuknya Pasar Oligopoli :

Efisiensi skala besar di dalam efisiensi teknis (teknologi) dan efisiensi ekonomi

(biaya produksi). Profit hanya bisa tercipta apabila perusahaan mampu mencapai

tingkat efisiensi. Efisiensi teknis menyangkut pada penggunaan teknologi dalam

proses produksi. Kemampuan produsen dalam menempatkan sumber daya secara

optimal. Efisiensi ekonomi menyangkut pada biaya produksi. Bagaimana

mengatur biaya pada komposisi yang tepat sehingga harga yang dipasarkan

merupakan harga yang bisa diterima pasar dan produsen.

Kompleksitas manajemen (tingkat kerumitan). Tingkat kerumitan dalam

manajemen pengelolaan di suatu perusahaan.

2.3 Kelebihan dan Kekurangan Pasar Oligopoli

Kelebihan :

1. Memberi kebebasan memilih kepada pembeli

2. Mampu melakukan penelitian dan pengembangan produk

3. Lebih memperhatikan kepuasan konsumen karena adanya persaingan penjual

4. Adanya penerapan teknologi baru

5. Terdapat sedikit penjual, karena dibutuhkan biaya investasi yang besar

6. Jumlah penjual yang sedikit membuat penjual dapat mengendalikan harga dalam

tingkat tertentu

7. Bila terjadi persaingan harga, konsumen akan diuntungkan

8. Operasi firma dapat mencapai efisiensi yang tinggi

4 | P a g e

Page 5: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

9. Menurunkan biaya produksi

10. Perusahaan dapat selalu melakukan pengembangan dan dapat selalu berinovasi

Kekurangan :

1. Menciptakan ketimpangan distribusi pendapatan atau dengan kata lain distribusi

pendapatan akan semakin tidak merata

2. Harga yang stabil dan terlalu tinggi bisa mendorong tumbuhnya inflasi

3. Bisa timbul pemborosan biaya produksi apabila ada kerjasama antar oligopolies

karena semangat bersaing yang kurang

4. Bisa timbul eksploitasi terhadap pembeli dan pemilik faktor produksi

5. Sulit ditembus/dimasuki perusahaan baru atau terdapat rintangan yang kuat untuk

dapat masuk ke pasar oligopoly

6. Bisa berkembang kearah monopoli

7. Dapat menimbulkan perang harga

8. Produsen dapat melakukan kerjasama (kartel) yang pada akhirnya akan merugikan

konsumen

2.4 Kebijaksanaan Umum untuk Mengurangi Efek-Efek Negatif Oligopoli

1. Pemerintah harus menjaga agar hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk kedalam

pasar industry tersebut ditekan sampai sekecil-kecilnya.

2. Diadakannya undang-undang anti monopoli, yang melarang adanya kerjasama di

antara para pengusaha monopoli. Adanya kerjasama tersebut akan mengurangi

dorongan untuk bersaing untuk mereka sendiri di bidang harga maupun non harga dan

sekaligus memperbesar kemampuan mereka untuk mengeksploiter konsumen dan

buruh.

3. Kemungkinan kebijaksanaan yang lebih drastic adalah merombak struktur pasar yang

oligopoly tersebut antara lain dengan : menentukan batas maksimum dari ukuran

suatu badan usaha dan melarang diadakannya penggabungan antara perusahaan-

perusahaan yang telah ada. Penggabungan perusahaan-perusahaan tersebut bertujuan

untuk menguasai pasar bukan meningkatkan efisiensi produksi.

5 | P a g e

Page 6: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

2.5 Kasus Oligopoli dalam Industri Telekomunikasi

Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui

telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah

memberikan harga terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku

tiga operator telepon seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT.

Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan menawarkan

tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang

ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon seluler kini sebenarnya sudah

memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau dikatakan sudah

membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.

Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu

mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali

penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp

0,1 per detik ke sesama operator;  sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5

per detik.  Indosat Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan

IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik

pertama dan selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per

detik ke operator lain.  Belum lagi, operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan

tarif paling murah ke sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.

Dengan perkembangan yang ada pelanggan tidak memiliki informasi yang cukup

mengenai berapa sebenarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh para operator untuk

menyediakan jasanya ke publik.  Memang bukan menjadi kewajiban operator untuk

mendeklarasi urusan internal perusahaannya ke publik, tetapi persaingan tarif yang terjadi

sebenarnya secara implisit mengindikasi adanya ketidakwajaran perolehan manfaat antara

produsen dan pelanggan telekomunikasi.  Pelanggan sebenarnya juga menyadari bahwa

investasi di telekomunikasi tidak bisa tergolong murah, terutama untuk mendapatkan lisensi,

memilih platform teknologi, dan kemudian membangun infrastruktur fisik yang tersebar di

seluruh wilayah negeri.  Masyarakat kemudian bisa menerima berapa pun tarif berbicara via

telepon seperti yang ditawarkan oleh para operator.  Pelanggan seolah tidak berdaya untuk

menolak tawaran harga yang disampaikan para operator karena masyarakat sendiri memang

seolah terbuai dengan janji manis dalam mobilitas berkomunikasi.  Lebih dari itu, “rasa haus”

berlebihan yang selama ini dirasakan masyarakat akibat adanya kelangkaan akses dan

6 | P a g e

Page 7: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

koneksi telepon seolah terobati dengan pemunculan peranti komunikasi bergerak, seperti

halnya mobile phone atau di Indonesia lebih populer dengan sebutan hand phone.

Mobilitas berkomunikasi kini seolah menjadi kebutuhan masyarakat, dan bukan lagi

barang mewah yang didominasi oleh sekelompok orang berduit yang mampu membeli

peranti telepon bergerak yang sekaligus juga berfungsi sebagai simbol status seperti halnya

yang terjadi pada era 1980-an yang lalu.  Masyarakat di negeri ini nampaknya kini lebih

cenderung untuk memperhatikan pada berapa besaran ongkos percakapan yang wajar

dibanding dengan membuat kalkulasi bertelepon dalam satuan waktu tarif percakapan per

detik yang murah.  Hampir semua operator memang memberi harga penawaran yang relatif

lebih murah untuk percakapan ke sesama operator dibanding tarif antar operator.  Satu hal

yang perlu mendapat perhatian bersama adalah bahwa jebakan tarif seperti yang terjadi ini

sebenarnya mengingatkan masyarakat pengguna jasa telepon seluler untuk lebih berhati-hati

atau lebih pas untuk dikatakan lebih cermat terhadap tawaran telepon murah yang

diluncurkan oleh para operator.

Makalah yang diajukan dalam tulisan ini sebenarnya adalah bahwa kalau industri

telekomunikasi di negeri ini bergerak secara efisien, sudah semestinya pelanggan mendapat

harga layanan yang wajar.  Jadi, pelanggan berhak mendapat kemanfaatan atas sejumlah

sumberdaya yang telah dikeluarkannya.  Itu pula sebabnya, tulisan ini tidak dimaksudkan

untuk menolak adanya kecenderungan penurunan tarif telepon ke sesama operator, tetapi

justru lebih sebagai upaya untuk menyadarkan pelanggan bahwa tawaran harga yang wajar,

yaitu harga yang mendekati daya-beli bagi pelanggan, sebenarnya adalah hak dan merupakan

suatu hal yang perlu didapat pelanggan dan bukan sekedar diberi iming-iming yang diumbar

oleh para operator telepon seluler.

Switching Behavior

Pada dasarnya iklim persaingan yang dihadapi oleh operator telepon seluler di

Indonesia kini sudah mendekati pada situasi yang bersifat oligopoly.  Ada tiga karakteristik

kunci yang melekat pada situasi pasar oligopoly, yaitu: (1) pergerakan industri didominasi

oleh kiprah beberapa operator dengan skala besar; (2) masing-masing operator menjual atau

menawarkan produk yang identik atau memiliki pembedaan yang relatif terbatas; dan (3)

industri memiliki barrier to entry yang signifikan besarannya sehingga tidak mudah bagi

pendatang baru untuk masuk ke dalam industri yang dimaksud.  Dari perspektif operator

7 | P a g e

Page 8: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

telepon seluler, penerapan strategi pemasaran pada situasi pasar yang bersifat oligopoli tentu

memerlukan upaya ekstra terutama dalam memaknai elastisitas harga terhadap besaran

permintaan pulsa oleh pelanggan.

Secara teoritis, elastisitas harga terhadap permintaan suatu produk akan sangat

ditentukan oleh karakteristik pasar, kategori produk, kategori branding yang melekat pada

suatu produk, preferensi terhadap waktu, dan kondisi perekonomian makro.1 Satu hal penting

dari temuan empiris itu adalah bahwa upaya korporasi dalam mengakomodasi price

endogeneity seperti yang dimaksudkan itu ternyata mempunyai imbas yang kuat pada besaran

elastisitas harga suatu produk. Itu artinya, bagi kepentingan pelaku industri telekomunikasi,

perang tarif yang selama ini telah berlangsung sebenarnya hanya dapat dijustifikasi sampai

pada suatu titik di mana kebijakan penurunan tarif per satuan waktu akan berimbas pada

penurunan jumlah permintaan pulsa telepon.  Dengan kata lain, rasionalitas ekonomis yang

ada dalam benak pelanggan akan menentukan tingkat sensitifitas mereka terhadap kebijakan

agresif mengenai tarif telepon.

Dengan mencermati perkembangan pasar yang ada sekarang ini, sebenarnya masih

ada peluang bagi para operator untuk mendongkrak tingkat penetrasi pasar, terutama untuk

segmen yang berpotensi menjadi pengguna jasa telekomunikasi di masa datang.  Hanya saja,

hal yang mungkin perlu diwaspadai oleh para operator adalah bahwa bisa saja, karena faktor

emosi sesaat dalam menetapkan tarif psikologis seperti yang diadopsi para operator selama

ini, justru akan berpengaruh pada pergeseran perilaku pelanggan untuk beralih operator

(switching behavior).  Kalau hal ini terjadi, maka tidak mustahil kalau pada gilirannya nanti

loyalitas pelanggan terhadap suatu produk atau operator telepon tertentu menjadi sesuatu

yang sulit dicapai.  Pelanggan mungkin saja tetap mendapat kepuasan terhadap suatu operator

tertentu, namun tetap saja mereka beralih operator, karena alasan satu dan lain hal.

1 Bijmolt, T.H.A., Van Heerde, J.H., dan Pieters, G.M.R.,”New Empirical Generalizations on the Determinants of Price Elasticity”, Journal of Marketing Research, Vol. XLII, May 2005, hal. 141-156.

8 | P a g e

Page 9: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

2.6 Analisis Kasus

2.6.1 Struktur Industri

Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar yang biasanya dilihat dari jumlah pelaku dan

pangsa pasarnya akan menentukan market conduct atau perilaku perusahaan, yang pada

akhirnya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Biasanya semakin bertambahnya jumlah

penjual maka persaingan akan meningkat, sehingga keuntungan akan menurun. Sementara

itu, derajat dari diferensiasi produk, pengetahuan penjual dan pembeli mengenai produknya

serta adanya hambatan untuk masuk pasar juga mempengaruhi kekuatan penjual di pasar.

Undang-undang RI no.36/1999 tentang Telekomunikasi memberikan pondasi bagi

kompetisi pasar telekomunikasi di Indonesia. Meskipun belum merubah posisi dominan PT

Telkom untuk penyelenggaraan jasa telepon tetap, baik untuk domestik maupun SLJJ sampai

sekarang. Namun demikian sampai saat ini ada 3 operator yang melayani jasa telepon tetap,

tetapi hanya PT Telkom yang dapat melayani seluruh wilayah Indonesia. PT Indosat (“Star

One”) hanya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya, dan wilayah

Joglosemar (Jogjakarta, Solo dan Semarang). Sementara pendatang baru seperti PT. Bakrie

Telecom, yang menyediakan layanan jasa telepon tetap nirkabel memiliki pangsa pasar yang

kecil dan terbatas (layanan daerah Jakarta, Banten dan sekitarnya, namun telah memiliki

lisensi FWA untuk seluruh Indonesia pada akhir 2006) meskipun sangat agresif dalam

memasarkan produknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kompetisi antara operator telepon

tetap terbatas di daerah padat penduduk.

Sementara itu kompetisi di telepon selular telah terjadi lebih intensif. Dimana PT

Telkomsel dan PT. Indosat memiliki cakupan nasional, sedangkan Exelcomindo memiliki

cakupan hampir di seluruh wilayah kecuali Maluku, dan Fren dari Mobile-8 hanya terdapat di

pulau Jawa, Madura dan Bali. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kompetisi antara operator

seluler secara praktis terjadi hanya pada 3 operator. Bahkan, PT Telkomsel menguasai 59,6%

pasar, yang berarti merupakan pemain dominan di pasar.  

Hingga saat ini di Indonesia telah hadir 10 operator yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat,

Excelcomindo (XL), Hutchison (3),Sinar Mas Telecom,Sampoerna Telecommunication,

Bakrie Telecom (Esia), Mobile-8 (Fren), dan Natrindo Telepon Selular (sebelumnya Lippo

Telecom). Dari jumlah ini, pelanggan fixed phone sekitar 9 juta dan pelanggan selular 64 juta

9 | P a g e

Page 10: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

pada tahun 2006. Kalau dibagi berdasarkan platform yang digunakan, pemakai GSM selular

sebanyak 88%, CDMA selular 3%, dan CDMA fixed wireless access (FWA) 9%. Namun dari

sepuluh operator itu hanya 3 operator yang memiliki pangsa pasar lebih dari 5% yaitu

Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo. Hal ini menyebabkan tingkat persaingan antar

operator di Indonesia mengalami peningkatan. Dan para pelanggan telepon seluler juga

menikmati manfaat dari persaingan tersebut.

2.6.2 Perilaku Pasar

Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar biasanya akan mempengaruhi perilaku

pelaku pasar. Ada beberapa indikator perilaku pasar yang sering digunakan selama ini, antara

lain penetapan harga, jumlah produk yang dijual, investasi, iklan, reaksi terhadap inisiatif

pesaing, penerapan teknologi baru dan inovasi. Dimana semakin tingginya persaingan karena

semakin banyaknya pelaku usaha seperti dalam industri telekomunikasi mengakibatkan

meningkatnya kegiatan periklanan, penurunan harga, dan munculnya berbagai ragam layanan

yang ditawarkan operator, sehingga pengguna menikmati rendahnya harga, kualitas layanan

yang lebih baik, dan beragam pilihan jasa. Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan tarif jasa

telepon dasar yang makin kompetitif untuk panggilan sesama pelanggan dari operator yang

sama (on-net), ataupun operator lain (off-net), untuk telepon tetap maupun telepon bergerak

selama jam sibuk (peak time).

10 | P a g e

Page 11: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa tarif telepon sangat beragam, bahkan tarif promosi

yang ditawarkan luar biasa murahnya, demikian iklan yang gencar banyak dilakukan oleh

operator. Perkembangan akhir-akhir ini bahkan menunjukkan bahwa persaingan dengan

menawarkan pulsa ataupun sms gratis dengan kondisi tertentu juga terjadi (lihat Tabel 6 dan

Tabel 7). Hal ini wajar pada tahap awal perkembangan pasar yang masih mencari

keseimbangannya. Apalagi untuk industri telekomunikasi yang sarat teknologi dan sangat

dinamis merupakan hal yang wajar bagi perusahaan-perusahaan untuk menguji pasar,

mengukur reaksi pesaing, dan mengubah tingkah laku mereka untuk menyesuaikan dengan

strategi dan kondisi pesaing.

Dari Tabel 4 dan Tabel 5 dapat dilihat bahwa PT Bakrie Telecom (Esia) adalah operator yang

menerapkan harga murah (Rp.50 per menit antar pelanggan on-net), dan Rp.800.- per menit

untuk panggilan ke pelanggan off-net. Sedangkan untuk telepon bergerak, PT Mobile-8

(Fren) tarifnya Rp.275 untuk menit pertama dan Rp.14 untuk tiap menit berikutnya untuk on-

net, dan Rp.800 per menit untuk panggilan off-net. Jelas dapat dilihat bahwa kedua operator

11 | P a g e

Page 12: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

tersebut menggunakan strategi tarif murah untuk menyaingi pesaingnya. Jadi dapat dilihat

bahwa new comer menggunakan tarif rendah untuk penetrasi pasar. Demikian juga pemain

lama (incumbent) juga tidak mau kalah, mereka juga menerapkan hal yang sama. Sehingga

perang harga antar operator tak terelakkan. 

Selain itu tarif promosi juga banyak dilakukan oleh operator, diantaranya PT

Excelcomindo Pratama menurunkan tarifnya sebesar kira-kira Rp.149 per 30 detik, sementara

Simpati (PT Telkomsel) memberlakukan tarif Rp.300 per menit untuk pelanggan yang

melakukan panggilan antara pukul 23.00 hingga 07.00. PT Indosat (Mentari) bahkan

memberikan gratis kepada pelanggan yang melakukan panggilan antara pukul 00.00 hingga

05.00. Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa industri telekomunikasi baik untuk

jaringan tetap tanpa kabel dan seluler di Indonesia pada saat ini telah memasuki situasi

perang tarif, sementara para operator baru berusaha memaksimalkan kapasitas jaringan yang

dimilikinya. Oleh karena itu perang tarif nampaknya akan tetap terjadi sampai dengan

kapasitas jaringan digunakan secara penuh. Perkembangan akhir-akhir ini bahkan

menunjukkan perang tarif yang semakin gencar sehingga banyak operator yang menawarkan

berbagai keuntungan seperti roaming gratis, tarif telepon interlokal sama dengan tarif lokal,

bonus pulsa, dan lain-lainnya. Adanya perang tarif antar operator tersebut menyebabkan tarif

telepon seluler cenderung mengalami penurunan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7

dibanding dengan tabel sebelumnya. Kecenderungan turunnya tarif seluler sebagai akibat

perang tarif antar operator mengindikasikan bahwa persaingan antar operator seluler semakin

ketat. 

12 | P a g e

Page 13: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

Pelaku dalam industri telekomunikasi tidak banyak sebagaimana halnya dalam

struktur pasar yang bersaing sempurna (perfect competition), yang didalam praktek struktur

pasar persaingan sempurna jarang ditemui. Struktur pasar oligopoli adalah ciri dari industri

telekomunikasi di seluruh dunia. Namun demikian pasar oligopoli tidak dengan sendirinya

diikuti oleh persekongkolan horisontal dalam bentuk kartel misalnya. Fakta di Indonesia

menunjukkan bahwa katel dalam bentuk price fixing atau market division tidak terjadi, justru

perang harga (price war) yang disertai dengan berbagai bentuk persaingan non-harga (non-

price competition).

Dibandingkan dengan tarif telepon di negara lain, tarif yang berlaku di Indonesia

berada di posisi tengah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Hal ini wajar

mengingat kebutuhan investasi, skala ekonomi, penggunaan teknologi, dan besarnya pasar

13 | P a g e

Page 14: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

berbeda antara satu negara-dengan negara lain, yang dengan sendirinya menyebabkan

perbedaan struktur biaya dan tingkat harga.

2.6.3 Kinerja

Kinerja dari industri telekomunikasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Meski

demikian dalam tulisan ini akan dilihat dari sisi output yang dihasilkan, ARPU dan

profitabilitasnya. Dari sisi output jelas bahwa semakin banyaknya operator dan juga semakin

baiknya pelayanan serta semakin murahnya tarif dan portabel nya handset telah membuat

jumlah pelanggan seluler juga meningkat pesat. Ini tentu saja menguntungkan masyarakat

luas sebagai pengguna jasa layanan seluler. Demikian juga dilihat dari luasnya jangkauan

layanan seluler yang sudah meliputi seluruh Indonesia (menurut klaim dari operator) jelas

menguntungkan pelanggan. 

Demikian juga semakin banyaknya operator baru yang masuk pasar telekomunikasi

telah meningkatkan kompetisi, menurunkan tarif, sehingga berdampak pada penurunan

tingkat Pendapatan Rata-rata per Pengguna (Average Revenue per User-ARPU) di banyak

operator. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar operator turun ARPU nya, kecuali

pada PT Telkom dan PT Bakrie Telekom. Flexi pun yang baru diluncurkan tahun 2003 ikut-

ikutan turun ARPU nya sejak PT Bakrie Telecom masuk, dan gencarnya promosi perang

harga operator jaringan bergerak. Demikian juga ARPU telepon seluler seperti PT Telkomsel,

PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama juga turun. Dimana ARPU campuran dari 3

operator seluler sudah dibawah Rp.100.000,-.

 

14 | P a g e

Page 15: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

BAB III

PENUTUP

15 | P a g e

Page 16: Makalah Mikro Kasus Oligopoli

DAFTAR PUSTAKA

http://persaingantelekomunikasi.wordpress.com/2009/04/27/persaingan-pada-industri-

telepon-selular-di-indonesia/

Bijmolt, T.H.A., Van Heerde, J.H.,  dan Pieters, G.M.R.,”New Empirical Generalizations on

the Determinants of Price Elasticity”, Journal of Marketing Research, Vol. XLII, May 2005

Sukirno, Sadono, Teori Pengantar Mikro Ekonomi, Edisi Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 2009

16 | P a g e