BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian)
di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun
yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum.”
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan judul
“Hak Warga Negara Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia”.
1
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mendapat hasil yang sesuai dan tidak keluar dari judul pembahasan maka kami
merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Siapa Saja Yang Boleh Memiliki Hak Atas Tanah?
2. Apakah WNA Boleh memiliki Hak Atas Tanah?
3. Bagaimana Hak Guna Bangunan,Hak Pakai Dan Hak Milik?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui siapa saja yang boleh memiliki Hak Atas Tanah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah WNA boleh memiliki Hak Atas Tanah atau tidak.
3. Mengetahui hokum undang – undang agrarian di Indonesia
2
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Subjek Hak Milik Atas Tanah
Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijke
persoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah
dan telah dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.
Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai dengan hak
eigendom, baik ia warga negara maupun warga asing, baik bukan Indonesia asli maupun
bukan Indonesia asli. Bahkan badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom, baik
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu
aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik
bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun
demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek
kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam
berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
2.2 Hirarki Hak-Hak Atas Penguasaan Atas Tanah
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak menguasai negara atas tanah;
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;
1Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.Hlm,42
3
4. Hak-hak perseorangan, meliputi :1
a. Hak-hak atas tanah, meliputi :
1). Hak milik atas;
2). Hak guna usaha;
3). Hak guna bangunan;
4). Hak pakai;
5). Hak sewa;
6). Hak membuka tanah;
7). Hak memungut hasil hutan;
8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 53 (UUPA).
a. Wakaf tanah hak milik;
b. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
c. Hak milik atas satuan rumah susun.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga
negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa
larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing.
Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan perbedaan antara sesama warga
negara dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang
berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.
12Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika Aditama.Hlm 28
4
Berkewarganeragaan rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia
dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama
seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia
tidak dapat mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam
hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang
yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan
lain dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan
demikian, maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara
Indonesia tunggal saja. Sekarang kedudukan anak tetap mengikuti kewarganegaraan orang
tuanya, juga setelah ia menjadi dewasa.
Kalau orang tuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap
berkewarganegaraan Indonesia. Untuk menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara
pewarganegaraan, atau naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat
kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusu untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan
syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum luas
tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. 6 UU Nomor 56
(Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang luasnya kurang dari
dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).
UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara
absentee atau guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964).
Kalau syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum
bagi perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib
dipenuhi oleh setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh peraturan-peraturan
Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian.
Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.
2.3 Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Asing
Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang
dapat memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih
memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan
3Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.Hlm,53
5
rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah
atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.
Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24
september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran
harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan
kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan
Indonesia itu. Bagaimanakah ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian
seorang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula
berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat, S.H.), pasal
21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA.
Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa
melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak
yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak
diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah,
dan pemberian dengan wasiat (legat).
Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi
orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi
dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya?
Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus
dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan
tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Maksudnya,
setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali tanah yang bersangkutan
dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing hak pakai dan bagi orang Indonesia
yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB, atau hak pakai.2
BAB III24Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.Hlm,72
6
PEMBAHASAN
3.1 Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Proses pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali
dengan pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan. Perjanjian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA
haruslah berbentuk otentik dan dituangkan dalam akta PPAT yang berjudul: Akta Pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut
PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997), sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai
pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek
keabsahan dari sertipikat Hak Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.
Oleh karena perbuatan hukum pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak
Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak
atau Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-
pajak dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan
terhadap seluruh tanah Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati
para pihak secara tegas dalam Akta PPAT.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut
memuat syarat-syarat yang disepati oleh para pihak, yakni :
3.2 Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996) menetapkan Hak
5Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.Hlm,44
Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
7
Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25
tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang, akan tetapi atas kesepakatan antara
para pihak, pembebanan hak tersebut dapat diperbaharui dengan pembuatan akta PPAT dan
hak tersebut wajib didaftarkan.
Permasalahannya, dengan jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang, apakah
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik menguntungkan bagi para
investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?
Bandingkan dengan jangka waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas
tanah negara dan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat
diperpanjang dan diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan penanaman modal,
Pasal 28 juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan perpanjangan dan
pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan membayar
uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk
perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai hanya dikenakan biaya
administrasi. Hal ini berarti investor dapat memperoleh jaminan kepastian hukum atas jangka
waktu penggunaan tanah Hak Guna Bangunan selama 80 tahun dan untuk tanah Hak Pakai
selama 70 tahun dengan pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak kepada pemegang hak yang
bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik yang
menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai tersebut.
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani Hak Milik yang
bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau dialihkan oleh pemegang Hak Milik
kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat
melaksanakan haknya sampai jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.
Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut, pemegang Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda batas pada tanah.
6Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung: Alumni.Hlm,65
Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan tidak boleh membangun
bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak.
8
Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib
memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendirian bangunan
dan rencana tata ruang wilayah serta wajib memiliki ijin-ijin yang disyaratkan. Pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku menjadi tanggung jawab pemegang
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang bersangkutan.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara dan mengelola
bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya, dan apabila
ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan memberi kuasa kepada
pemegang Hak Milik untuk mengelola dan memeliharanya hingga jangka waktu pemberian
haknya berakhir.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperkenankan menjual dan/atau
dengan cara apapun mengalihkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di
atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik.
Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak diperkenankan
untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di
atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik.
Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan)
termasuk obyek hak tanggungan, namun karena hingga saat ini belum ada Peraturan
Pemerintah yang mengaturnya lebih lanjut, sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan.
3.3 Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib :
1. Mengosongkan bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek
pemberian hak dan menyerahkannya kepada pemegang Hak Milik berikut bangunan
7Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.Hlm,76
9
dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas bidang tanah tersebut, tanpa
pembayaran ganti rugi berupa apapun.
2. Membongkar bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek
pemberian hak dan menyerahkannya kembali kepada pemegang Hak Milik seperti
keadaan semula.
3. Bahwa mulai hari ditandatanganinya akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
atas tanah Hak Milik tersebut, segala keuntungan yang didapat dari, dan segala
kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut menjadi hak/beban pemegang Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai.
4. Untuk itu pemegang Hak Milik menjamin bahwa obyek pemberian hak tersebut tidak
tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan
untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertipikat dan bebas dari beban-beban
lainnya yang berupa apapun.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut wajib
didaftarkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan.
3.4 Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan pada Kantor
Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
Sertipikat Hak Milik;
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di hadapan
PPAT yang berwenang;
Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai;
Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam hal bea
tersebut terhutang;
8Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.Hlm,55
Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut terhutang.
10
Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat Hak Milik
yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat Hak Milik dikembalikan kepada pemegang Hak
Milik. Sedangkan untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku Tanah dan
Surat Ukur tersendiri dan kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diterbitkan
Sertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya disebutkan asal sertipikat Hak
Milik
3.5 Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan
Hukum Asing Pada pertengahan tahun 1996, tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (untuk selanjutnya
disebut PP 41 Tahun 1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku, peraturan tersebut dirasa
belum mampu memacu minat orang asing untuk memiliki properti di Indonesia.
Pemerintah saat ini tengah gencar melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi di
bidang penanaman modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran negara berkembang yang
mempunyai daya tarik bagi para investor, terutama investor asing.
Dengan masuknya investor asing ke Indonesia, maka banyak warga negara asing yang
bekerja di Indonesia. Di samping itu dengan telah diberlakukannya Peraturan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Permohonan dan Tata Cara
Permohonan Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari 2010 dan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal pada tanggal 25 Mei 2010, maka
akan semakin banyak investor asing yang membutuhkan tanah dan properti untuk kegiatan
proyek usahanya.
Dengan hal tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah menuntaskan Rancangan
Peraturan Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk selanjutnya disebut RPP). RPP ini
diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga lokal, meningkatkan arus wisatawan,
serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia di luar negeri.
9Sudaryo Soimin, S.H.,Status Hak dan Pembebasan Tanah. Hlm.15
11
Hingga makalah ini dibuat, RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena masih
menunggu disetujuinya amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
10Urip Santoso, S.H.,M.H, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.Hlm,44
12
BAB IV
TINJUAN PUSTAKA
4.1 DEFINISI HUKUM AGRARIA
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-
beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan,
perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-
beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada
tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2. Seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik
Indonesia;
3. Seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4. Sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan
galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha
industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5. Sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman
maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai
bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita
nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. Menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian
kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
11Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
13
2. Mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin
memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. Mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan
sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi
masing-masing;
4. Mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala
hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. Memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut
tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh
para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang
bersangkutan;
6. Menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang
menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi
tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
4.2 SEJARAH HUKUM AGRARIA
Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi-sendi Hukum Agraria, membagi kronologi
sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:
Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal meramu
sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula;
Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu yang
dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan
buruan yang ada;
Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni beternak
meskipun system pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan secara nomaden pula.
Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap barulah
manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam tahap inilah
manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah mengingat
kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi
pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu sangat sederhana dan
12Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.Hlm 57
14
sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah
yang tengah dihadapinya saja.
Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia manusia talah
mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam taraf,pola dan sistim
yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula mata
pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap bidang
pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai lahir meskipun
baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitif, masih sangat jauh
dari memadai.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang
mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga
sekarang ini.
Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat
diklasifikasikan menjadi 2 fase, yaitu;
1. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;
Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak
ulayat.
Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak
eigendom (hak milik), hak opsal( hak guna pakai), hak erfpacht ( hak guna usaha), hak
gebruik (hak guna bangunan) dan sebagainya.
2. Fase Kedua
Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang
melahirkan hak atas tanah seperti: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya
13Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.Hlm,14
15
4.3 . SUMBER HUKUM AGRARIA
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;
1. Perundang-undangan;
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian
d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
2. Hukum Kebiasaan
3. Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
14Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.Hlm,42
16
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam Pasal 1 dan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang Undang
No. 5/1960 – UUPA dikenal dengan istilah Hak Bangsa Indonesia, dimana berdasarkan Hak
ini, maka konsep hukum tanah Indonesia dinyatakan bahwa pada dasarnya seluruh tanah
yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa
Indonesia.
Karena keseluruhan tanah yang ada di Indonesia konsepnya merupakan karunia dari
Tuhan Yang Maha Esa, maka untuk menghindari kekacauan dalam peruntukan dan
pemilikannya, diperlukan suatu pengaturan terhadap peruntukan dan pemilikan tanah
tersebut. Untuk itu lebih lanjut dalam pasal 2 juncto pasal 8 UUPA dikenal dengan Hak
Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara adalah hak yang dimiliki oleh Negara untuk melakukan
pengaturan tanah yang merupakan Karunia dari Tuhan Yang Maha Esa baik dalam
peruntukan maupun kepemilikan terhadap tanah di Indonesia.
Dengan pengaturan yang dilakukan oleh Negara diharapkan cita-cita Undang Undang
Dasar pasal 33 ayat 3 dapat tercapai, yaitu; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Dalam Hak Bangsa Indonesia, terdapat hak yang diberi kewenangan khusus, yaitu
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak Ulayat pada dasarnya hampir sama dengan Hak
Bangsa Indonesia, karena Hak Ulayat adalah milik semua anggota masyarakat hokum adat
setempat. Kepala adat berhak dalam melakukan pengaturan penggunaan maupun pengelolaan
tanah atas Hak Ulayat. Hak Ulayat ini sebagaimana telah dipertegas dalam ketentuan pasal 3
juncto pasal 5 UUPA.
Kepada Hak Menguasai Negara, maka konsekuensinya mengakibatkan seluruh tanah
yang belum ada kepemilikannya (kecuali tanah ulayat sebagaimana dijelaskan sebelumnya),
17
adalah dikuasai oleh Negara. Sehingga jika ada seorang warga Negara Indonesia hendak
memiliki atau mempergunakan sebuah lahan tanah, maka warga tersebut hanya dapat
dinyatakan sebagai pemilik jika sudah mengajukan permohonan hak atas tanah. Atau, jika
orang ini sudah menempati lahan tanah tersebut selama lebih dari 30 tahun, maka dapat
mengajukan permohonan pengakuan hak.
5.1 Saran
Kami menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menguasai hak-hak yang
seharusnya dikuasai oleh negara. Dan lebih mempertanggung jawabkan atas konsekuensinya
yang telah dicatat dan yg telah dipertanggung jawabkan oleh pemerintah agar pemerintah
lebih menguasai hak atas tanahnya dan dibatasi mana yg milik negara dan mana yang bukan
milik negara karna hak atas milik tanah negara sudah tercampur dengan hak milik atas tanah
orang lain.
18
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika
Aditama.
Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.
Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung:
Alumni.
Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Sudaryo Soimin, S.H.,Status Hak dan Pembebasan Tanah. Hal.1
Urip Santoso, S.H.,M.H, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah
Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.
Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika
Aditama.
Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.
Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung:
Alumni.
Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
19