Transcript

MAKALAH FARMASI

EPILEPSI

Oleh :Anisa Febrina DG99122015

Pembimbing:Dyah Poerwohastuti, S.Farm., Apt

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASIFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDISURAKARTA2014BAB IPENDAHULUAN

Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namun epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi daripada perempuan (Meyer dkk, 2010).Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta maka sekitar 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus baru sekitar 250.000 pertahun (Hawari, 2012).Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Di lain pihak obat-obatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. DEFINISIEpilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Prasad et al, 1999).Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas (Pallgreno, 1996).B. PATOFISIOLOGISerangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron (Prasad et al, 1999).Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi karena: (Widiastuti, 2001)1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999).Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan (Joesoef, 1997).C. DIAGNOSISDiagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.I. AnamnesisAnamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:a. Pola / bentuk seranganb. Lama seranganc. Gejala sebelum, selama dan paska serangand. Frekwensi serangane. Faktor pencetusf. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarangg. Usia saat serangan terjadinya pertamah. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangani. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnyaj. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluargaII. Pemeriksaan fisik umum dan neurologisMelihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan dan organomegali. Perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.III. Pemeriksaan penunjanga. Elektro ensefalografi (EEG)Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.Rekaman EEG dikatakan abnormal bila:1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).b. Rekaman video EEGRekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.c. Pemeriksaan RadiologisPemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri (Foldvary & Wyllie., 1999).D. KLASIFIKASIBerdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :1. Kejang umum (generalized seizure) jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:a. Tonic-clonic convulsion = grand malMerupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.b. Abscense attacks = petit malJenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari.c. Myoclonic seizureBiasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.d. Atonic seizureJarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera recovered.2. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang parsial terbagi menjadi :a. Simple partial seizuresPasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.b. Complex partial seizuresPasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran (Ali, 2001).E. PENATALAKSANAAN1. Non farmakologia) Amati faktor pemicub) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.2. FarmakologiMenggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu :a. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ : Inaktivasi kanal Na, menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat.b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik: Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh: benzodiazepin, barbiturat. Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh: Vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA, contoh: Tiagabin. Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool, contoh: Gabapentin.

BAB IIIILUSTRASI KASUS

A. ANAMNESIS1. IdentitasNama: Ny.BUmur: 46 tahunJenis Kelamin: PerempuanAlamat: Laweyan, SurakartaPekerjaan: IRTAgama: IslamRM: 012383062. Keluhan utama :Kejang berulang3. Riwayat Penyakit Sekarang :1. Kejang berulang sejak 1 minggu yang lalu. Kejang terjadi seluruh tubuh, lama setiap kejang masing-masing 2 menit, frekuensi kejang 1 kali dengan diawali kaku seluruh tubuh 30 detik diikuti dengan kelonjotan 1 menit. Saat kejang pasien tidak sadar, mata mendelik ke atas, lidah tergigit, mulut berbuih.1. Setelah kejang pasien terlihat bingung dan kelelahan1. Demam tidak ada1. Mual dan muntah tidak ada4. Riwayat Penyakit DahuluRiwayat alergi: disangkalRiwayat asma: disangkalRiwayat hipertensi: disangkalRiwayat diabetes mellitus: disangkalRiwayat trauma di bagian kepala: disangkal5. Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini6. Riwayat Pekerjaan dan Sosio Ekonomi- Pasien seorang ibu rumah tangga- Riwayat kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang tidak ada.- Pasien lahir secara persalinan normal, cukup bulan, perkembangan pada masa anak-anak baikB. PEMERIKSAAN FISIKKesadaran: GCS 15 (E4 V5 M6)Tanda Vital:Tekanan darah: 110/80 mmHgNadi: 84 x/menitNapas: 20x/menitSuhu: 36,6oCStatus gizi: cukup.KulitWarna sawo matang, hiperpigmentasi (-), bercak-bercak hipopigmentasi (-), tebal (-), kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), turgor cukup

KepalaBentuk mesocephal, rambut rontok dan mudah dicabut (-), luka (-), atropi m.temporalis (-)

.MataKonjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), mata cowong (-), eksoftalmus (-/-).

.TelingaMembran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)

.HidungNafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi penghidung baik

.MulutSianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), produksi ludah sedikit (-), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)

.LeherJVP R+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran KGB (-), bruit (-)

.ThoraxBentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan sama dengan kiri, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)

Jantung :

InspeksiIktus kordis tidak tampak, pulsasi epigastrium (-), pulsasi precordial (-), pulsasi parasternal (-)

PalpasiIktus kordis teraba di SIC V, 2 cm medial linea midclavicularis sinistra

PerkusiBatas jantung kanan atas: SIC II Linea sternalis dextra Batas jantung kanan bawah SIC IV linea sternalis dextraBatas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistraBatas jantung kiri bawah: SIC V 2 cm medial linea mid clavicularis sinistraKesan: konfigurasi jantung kesan tidak melebar.

AuskultasiBunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).

Pulmo :

Depan

InspeksiStatisNormochest, simetris, sela iga melebar (-), retraksi (-)

DinamisPengembangan dada kanan sama dengan pengenbangan dada kiri, sela iga melebar (-), retraksi intercostal (-)

PalpasiStatisSimetris

DinamisPergerakan dada kanan sama dengan pergerakan dada kiri, tidak ada yang tertinggal, penanjakan dada kanan sama dengan penanjakan dada kiri , fremitus raba kanan sama dengan fremitus raba kiri

PerkusiKananSonor

KiriSonor

AuskultasiKananSuara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus basal paru (-/-), krepitasi (-/-)

KiriSuara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus basal paru (-/-), krepitasi (-/-)

Belakang

InspeksiStatisNormochest, simetris, sela iga melebar kanan dan kiri (-), iga mendatar (-)

DinamisPengembangan dada simetris kanan sama dengan kiri, sela iga melebar kanan dan kiri (-), retraksi interkostal kanan dan kiri (-)

PalpasiStatisDada kanan dan kiri simetris, sela iga melebar kanan dan kiri (-), retraksi intercostal kanan dan kiri (-), gerakan tertinggal kanan dan kiri (-)

DinamisPergerakan kanan sama dengan kiri, simetris, fremitus raba kanan sama dengan fremitus raba kiri, penanjakan dada kanan sama dengan kiri

PerkusiKananSonor

KiriSonor

AuskultasiKananSuara dasar vesikuler normal, wheezing (-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus di basal paru (-), krepitasi (-)

KiriSuara dasar vesikuler intensitas normal, wheezing (-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus di basal paru (-), krepitasi (-)

.Punggungkifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-)

.Abdomen

InspeksiDinding perut sejajar dinding dada, distended (-), sikatrik (-), striae (-)

AuscultasiBising usus (+) normal 10x/menit

PerkusiTimpani, area trobe pekak, pekak alih (-), undulasi (-)

PalpasiSupel, nyeri tekan (-), hepar lien kesan tidak teraba

GenitourinariaUlkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

Status Neurologis1. Kesadaran CM, GCS 15 (E4 M6 V5) 2. Tanda Rangsangan selaput otakKaku kuduk: -Kernig:-Brudzunsky I:-Brudzunsky II:-Laseque:-3. Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial Muntah proyektil :-Sakit kepala progresif:-4. Nervus Kranialis:Nervus I: penciuman baikNervus II: visus 6/6 ODS,pupil isokhor, diameter 3mm/3 mm, reflek cahaya +/+Nervus III, IV, VI: bola mata dalam posisi ortho, ptosis (-),gerakan bola mata bebas ke segala arah, Nervus V: buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+), menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan (+), refleks kornea(+)Nervus VII: raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata +/+, mengerutkan dahi (+),plica nasolabialis ki=kaNervus VIII: fungsi pendengaran baik, Nistagmus (-)Nervus IX&X: Refleks muntah (+), arkus faring simetris,uvula ditengahNervus XI: dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kananNervus XII: deviasi lidah (-), tremor (-),atrofi papil lidah (-), fasikulasi (-)5. Koordinasi : Cara berjalan: dalam batas normalRomberg test: -Rebound phenomen: -Tes tumit lutut: -Tes supinasi pronasi: -Disartria : -6. Motorik: ekstermitas superior dan inferiorDekstraSinistraPergerakan: aktifaktifKekuatan:555555555555Tonus: eutonuseutonus7. Sensorik :Sensibilitas halus dan kasar baik kiri dan kanan8. Fungsi otonomMiksi: neurogenik bladder (-)Defekasi: baikSekresi keringat:baik9. Reflek fisiologis Biseps: ++/++Triseps: ++/++Reflek APR: ++/++ReflekKPR: ++/++10. Reflek Patologis Babinski: -/-Gordon : -/-Chaddock: -/-schaffer: -/-Oppeinheim: -/- hoffmen trommer: -/-11. Fungsi luhur : reaksi emosi baik, fungsi bicara:bicara lancar

Laboratorium: -C. DIAGNOSISDiagnosis Klinis: epilepsi grand malDiagnosis Topik: intra kranialDiagnosis Etiologi: idiopatikD. PEMERIKSAAN ANJURAN0. Pemeriksaan darah lengkap0. EEG0. Brain CT Scan dengan kontrasE. TERAPI1. Umum:Diet TKTP 1500 kkal/hari2. Khusus:Fenintoin 3x100 mg (p.o)Resep:RSDMSurakarta

5 Agustus 2014Dokter : dr. Anisa

R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI 3 dd cap I

Pro : Ny. B (46 tahun)Alamat: Laweyan, Surakarta

F. PROGNOSISAd vitam: bonamAd fungtionam: bonamAd sanam: bonamBAB IVPEMBAHASAN

A. FENITOINFenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat pada mefenition dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif.2. FarmakodinamikFenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin.2. FarmakokinetikAbsorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap; 10% dari dosis oral diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3 12 jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600 800 mg, dalam dosis terbagi 8 12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%. Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas kira-kira 10% sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 5,8 12,6 %. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotramsformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanaya ialah derivat parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah menghilangkan efek antikonvulsinya. Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi.2. IndikasiFenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik, tonik atonik dan parsial (kompleks dan sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik. Obat ini merupakan kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang bermanfaat untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati epilepsi oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur, tetapi barangkali sebaiknya dihindarkan sebagai obat pilihan pertama pada wanita muda karena alasan efek samping kosmetik dan teratogenisitas. Ada sejumlah bukti yang menarik bahwa obat ini terutama bermanfaat untuk epilepsi simthomatik. Fenitoin merupakan obat yang sulit digunakan karena kadar dosis serum yang non linier dan indeks terapinya yang sempit; pengukuran kadar serum obat perlu dilakukan pada banyak pasien.Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik, sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks.Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung. Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT) untuk meringankan konvulsinya, dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik.2. KontraindikasiGangguan hati, hamil, menyusui, penghentian obat mendadak; hindari pada porfitia.2. Efek Samping SSP : diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, tremor Saluran cerna dan gusi : nyeri ulu hati, anoreksia, mual muntah, edema gusi Kulit : ruam morbiliform Lain-lain : hepatotoksisitas (ikterus, hepatitis), anemia megaloblastik2. PosologiDosis awal obat ini dapat dimulai dengan 200 mg malam hari dan dinaikkan sebanyak 20 100 mg setiap minggu. Dosis rumat biasanya berkisar antara 200 400 mg sehari untuk pasien dewasa dan antara 5 8 mg/kgBB untuk anak, walaupun dosis yang lebih tinggi dan lebih rendah diperlukan bagi beberapa pasien. Pengukuran kadar fenitoin serum penting untuk memantau dosis, karena adanya variasi intra-individual yang cukup besar, terlebih karena penambahan dosis kecil kadang-kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat dalam serum yang tak terduga.7. Interaksi ObatKadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin sehingga meninggikan juga kadarnya dalam plasma. Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena teofilin meningkatkan biotransformasi fenitoin juga mengurangi absorpsinya. Fenitoin juga dapat merangsang katabolisme warfarin dan kontrasepsi oral estrogen dosis rendah yang menyebabkan gagalnya kontrasepsi.

DAFTAR PUSTAKA

Utama H., Gan VHS., Sunaryo. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Anti Konvulsan. Jakarta : Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Shorvon SD. Epilepsi Untuk Dokter Umum. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1 32.

Ngoerah, I. Gusti. 1990. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga.