Download docx - LESI FURKASI

Transcript
Page 1: LESI FURKASI

BUKU 1

PENDEKATAN KONSERVATIF PADA PERAWATAN LESI FURKASI

Molar merupakan tipe gigi yang memperlihatkan jumlah kerusakaan

periodontal tertinggi pada penyakit yang tidak dirawat dan paling banyak hilang

secara periodontal. Pada bab ini, keterlibatan furkasi didefinisikan sebagai

resorpsi tulang dan hilangnya attachment pada ruang interadikular yang berasal

dari penyakit periodontal karena plak. Kondisi seperti ini dilaporkan sangat

meningkatkan resiko hilangnya gigi. Selanjutnya, kerusakan furkasi

merepresentasikan permasalahan rumit dalam perawatan penyakit periodontal,

terutama berkaitan dengan anatomi furkasi yang kompleks dan tidak beraturan.

Selanjutnya, respon terhadap terapi bisa dikomplikasi oleh adanya permukaan

radikular lebih luas yang berpotensi memberikan toksin bakteri dan terbentuknya

kalkulus, saat dibandingkan dengan kerusakan di sekeliling satu gigi. Jika lesi

telah terbentuk, diskrepansi antar permukaan gigi dan jaringan lunak periodontal

yang mengalami gangguan bakteri bisa menjadi penyebab turunnya respon

penyembuhan. Terakhir, lokasi distal pada lengkung dan akses yang sukar bisa

mengganggu prosedur kontrol plak yang dilakukan sendiri maupun prosedur

profesional pada bagian furkasi, yang membatasi efektifitas.

Prinsip-prinsip terapi dari keterlibatan furkasi bisa dibahas dalam tiga

bagian utama: konservatif, resektif dan regeneratif. Namun harus diingat bahwa

batasan antara istilah konservatif dan resektif kadang-kadang tidak memiliki

definisi tajam, karena agak sukar dalam setting klinis untuk memisahkan secara

menyeluruh perawatan konservatif dan resektif. Ini benar-benar terjadi saat pada

1

Page 2: LESI FURKASI

keterlibatan furkasi. Prosedur resektif terkadang harus dilakukan untuk

mendapatkan suatu hasil yang bisa dianggap lebih konservatif. Contohnya,

preparasi saluran merupakan contoh dari terapi konservatif yang dilakukan untuk

menghindari bentuk-bentuk perawatan yang lebih radikal dan resektif untuk

keterlibatan furkasi Kelas II dan III. Namun, preparasi saluran seringkali

diselesaikan mencakup tulang dan substansi gigi didalam bagian furkasi untuk

mencapai ruang yang mencukupi untuk alat pembersih interdental. Amputasi akar

merepresentasikan bentuk prosedur resektif lain yang sering digunakan untuk

tujuan konservatif.

Pendekatan konservatif yang didefinisikan disini mencakup perawatan

bedah dan non bedah yang digunakan untuk debridasi bagian-bagian furkasi untuk

mengenyampingkan prosedur regenerasi dan pemisahan akar. Perawatan ini

terkadang disertai oleh prosedur yang bisa mengubah anatomi gigi dan struktur

periodontal disekelilingnya untuk memperbaiki akses untuk kontrol plak,

walaupun tidak mengimplikasikan restorasi mahkota.

Berbagai prosedur terapeutik telah dikemukakan oleh para klinisi dengan

tujuan memperbaiki prognosis dari gigi furkasi. Ruang lingkup dari tinjauan ini

adalah untuk membicarakan literatur tentang pendekatan konservatif dalam

perawatan keterlibatan furkasi.

Epidemiologi

Prevalensi dari periodontitis parah telah dilaporkan bervariasi dari 5%

sampai 20% pada berbagai populaasi yang diinvestigasi berdasarkan kriteria yang

dipergunakaan untuk mengukur luas dan jumlah kerusakan periodontal.

2

Page 3: LESI FURKASI

Studi-studi longitudinal yang dilakukan untuk menggambarkan

perkembangan periodontitis yang tidak dirawat telah memperlihatkan bahwa

mayoritas bagian-bagian yang kehilangan attachment hanya masuk kedalam

kelompok kecil populasi. Molar terlihat sebagai gigi yang paling banyak terkena

dan tipe gigi yang paling banyak hilang.

Disamping terdapat bukti yang sudah terdokumentasi baik bahwa terapi

periodontal efektif dalam menghambat perkembangan penyakit, hilangnya gigi

tampak tidak dapat dihindarkan pada sejumlah pasien yang berhasil dirawat,

walaupun dalam jumlah yang sangat kecil setiap tahunnya dibandingkan dengan

populasi yang tidak dirawat. Molar sekali lagi merepresentasikan tipe gigi yang

merespon paling sedikit terhadap terapi dan beresiko lebih besar untuk ekstraksi

dibandingkan dengan tipe gigi lainnya.

Jumlah mortalitas lebih besar yang terlihat pada molar maksila dan

mandibula setidaknya dapat dijelaskan dengan adanya furkasi. Ketika furkasi pada

awalnya dipengaruhi oleh hancurnya pendukung periodontal, konfigurasi anatomi

yang ganjil, bersamaan dengan lokasi distal, sepertinya mempercepat

perkembangan penyakit, sebaliknya kontrol infeksi oleh pasien menjadi lebih

sulit. Demikianlah, hubungan antara deteksi keterlibatan furkasi secara klinis dan

radiografi, dan peningkatan resiko hilangnya gigi dilaporkan telah terjadi.

Prevalensi dari Keterlibatan Furkasi

Sudah banyak informasi yang tersedia berkaitan dengan prevalensi dari

keterlibatan bagian furkasi molar yang sedang terjadi pada populasi umum dalam

survey epidemiologi. Hampir seluruh data yang tersedia diambil dari studi-studi

3

Page 4: LESI FURKASI

berbasis observasi yang dilakukan pada tulang tengkorak kering. Hasil-hasil ini

harus dijabarkan dengan cermat: jumlah observasi relatif sedikit dan spesimen

anatomi diambil dari populasi yang cukup khas secara etnis dan sosial.

Demikianlah, hasil-hasil dari studi ini tidak mengaplikasikan penelitian etnis dan

sosial.

Pada studi oleh Volkansky & Cleaton-Jones pada mandibula kering orang

Bantu Afrika Selatan, 30,9% gigi molar yang ada mengalami keterlibatan furkasi.

Tal memeriksa 100 mandibula kering dari tulang kepala Afrika Selatan dan

menemukan bahwa 85,4% molar-molar mandibula memperlihatkan resorpsi

osseous pada bagian furkasi. Dia juga melaporkan bahwa tingkat keterlibatan

furkasi, seperti dikemukakan dalam istilah kedalaman horizontal dari kerusakan

osseous, meningkat seiring bertambahnya usia. Pada studi selanjutnya terhadap

molar-molar mandibula, Tal & Lemmer mengkonfirmasikan temuan bahwa

keterlibatan tingkat sedang sampai parah terutama terjadi pada orang dewasa,

dimana molar-molar pertama lebih banyak terkena daripada molar-molar kedua.

Bjorn & Hjort memperkirakan secara longitudinal prevalensi radiografi,

tingkat dan perkembangan kerusakan tulang pada furkasi molar mandibula pada

sampel 221 pekerja pabrik yang diamati selama 13 tahun. Prevalensi keterlibatan

furkasi terus menerus meningkat dari nilai awal 18% menjadi 32% pada akhir

periode observasi. Molar-molar kedua dan ketiga memiliki frekuensi kerusakan

lanjutan lebih tinggi daripada molar-molar pertama.

Data tambahan diberikan oleh investigasi menggunakan subjek-subjek

yang mengalami gangguan periodontal yang dirujuk atau mencari perawatan

4

Page 5: LESI FURKASI

periodontal secara spontan. Selanjutnya, temuan-temuan dari survey ini mungkin

tidak bisa digunakan untuk membuat kesimpulan tentang populasi umum. Molar-

molar maksila lebih sering terpengaruh daripada molar-molar mandibula,

walaupun nilai prevalensi bisa sangat berbeda. Prevalensi dari keterlibatan bagian

furkasi pada molar-molar maksila dan mandibula bisa berkisar dari 25% sampai

52% dan dari 16% sampai 35%. Svardstrom & Wennstrom meneliti secara detail

prevalensi dari keterlibatan furkasi pada kelompok 222 pasien yang dirujuk untuk

perawatan periodontal. Mereka melaporkan bahwa, dari usia 30 tahun keatas,

sekitar 50% molar pada maksila memperlihatkan paling tidak 1 bagian furkasi

dengan keterlibatan dalam, sambil pada maksila prevalensi yang sama pertama

sekali terlihat pada usia 40. Kehancuran periodontal paling sering terlihat pada

aspek distal dari molar-molar pertama dan kedua (53% dan 35%). Pada

mandibula, entrance/tempat masuk bukal dan lingual dari furkasi terpengaruh

dengan frekuensi sama.

Keterlibatan furkasi lebih sering terdeteksi pada para perokok (72%)

dibandingkan orang yang tidak merokok (36%); odd rasio yang terhitung bagi

para perokok untuk mengalami keterlibatan furkasi pada lebih dari satu molar

adalah 4,6. Juga sudah terlihat bahwa molar dengan mahkota atau restorasi

proksimal memiliki persentase keterlibatan furkasi lebih tinggi dibandingkan

dengan molar tanpa restorasi. (Gambar 1).

Klasifikasi dari Lesi Furkasi

Telah dikemukakan berbagai metode berbeda untuk mengklasifikasikan

luasnya keterlibatan furkasi. Glickman awalnya menggunakan klasifikasi tiga

5

Page 6: LESI FURKASI

tingkatan berdasarkan luasnya kerusakan jaringan pada furkasi. Ramfjord & Ash

menggambarkan indeks untuk mengevaluasi dalamnya keterlibatan dengan

menggunakan increment pengukuran probing periodontal 2 mm. Dengan tingkat

1, probe penetrasi secara horizontal antara akar sampai 2 mm; dengan tingkat 2

lebih dari 2 mm dan dengan tingkat 3, probe penetrasi furkasi sampai ke bagian

sebelahnya.

Hamp dkk mengemukakan pendekatan sama seperti Ramfjord & Ash

dengan pengecualian menggunakan increment 3 mm untuk menggambarkan 3

kelas keterlibatan (Gambar 2), sambil Tarnow & Fletcher mengemukakan

subklasifikasi yang mencakup bagian vertikal lesi dalam usaha menggambarkan

keparahan lesi dengan lebih baik.

Reproduksibilitas dan realibilitas dari diagnosa dan ukuran diagnosa

Probing

Ukuran vertikal sepanjang akar-akar yang berdekatan dengan lesi furkasi

terlihat direproduksi kembali pada sisi fasial dari molar-molar maksila dan pada

sisi fasial dan lingual dari molar-molar mandibula. Sebaliknya, kemampuan

reproduksi antar pemeriksa menurun dengan bertambahnya kedalaman saku dan

meningkatkan pemisahan akar karena, seiring probe penetrasi lebih dalam, lebih

sukar untuk mempertahankan kontak dengan permukaan akar. Reproduksibilitas

dari pengukuran horizontal sepertinya tidak sebagus pencatatan vertikal.

Namun realibilitas dari ukuran vertikal yang diambil pada bagian saku

interradikular paling dalam sangat buruk, karena probe penetrasi jaringan

penghubung furkasi dengan kedalaman rata-rata 2,1 mm, seperti tampak pada

6

Page 7: LESI FURKASI

bagian-bagian histologi. Ahli lainnya telah mencari korelasi reliabel antara

diagnosa klinis dari keterlibatan furkasi dan luasnya kerusakan yang terlihat

setelah refleksi flap. Zappa dkk menggunakan indeks Ramfjord dan Hamp untuk

membandingkan perkiraan klinis horizontal yang diindikasikan dalam tingkat

keparahan dengan yang dicatat setelah pembukaan dengan bedah. Baik

menggunakan probe Nabers kalibrasi dan nonkalibrasi, hasil-hasilnya

memperlihatkan perkiraan yang beragam. Sebaliknya, Eickholz & Staehle dan

Eickholz menemukan realibilitas bagus dalam tingkatan keterlibatan furkasi

ketika membandingkan ukuran klinis sebelum dan saat pembedahan, kecuali

untuk bagian-bagian disto-palatal dimana hanya terlihat sedikit kesamaan antara

kedua tipe pencatatan. Kesulitan dalam menentukan luas dan keparahan

keterlibatan furkasi yang diperlihatkan oleh sejumlah studi sebelumnya sangat

memberikan gambaran, karena telah terlihat bahwa klinisi mendasarkan opsi dan

strategi perawatan pada perkiraan klinis dari tingkat kerusakan interadikular.

Kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosa luas dan keparahan dari keterlibatan

furkasi bisa menimbulkan kesalahan-kesalahan pada pilihan perawatan.

Diagnosa radiografi

Diagnosa radiografi dari keterlibatan furkasi biasanya lebih mudah

dilaksanakan pada molar-molar mandibula, karena pendempetan dari akar palatal

pada filem radiografi bisa menyembunyikan morfologi tulang sesungguhnya dari

bagian interadikular pada molar-molar maksila. Hardekopf dkk mengklaim bahwa

identifikasi dari bayangan radiografi triangular (furcation arrow) pada ronsen dari

molar-molar maksila bisa menjadi indikator yang berguna untuk keberadaan

7

Page 8: LESI FURKASI

keterlibatan furkasi kelas 2 atau 3. Walaupun hubungan dari gambaran panah

furkasi dengan keterlibatan furkasi kelas 2 atau 3 jauh kearah mesial dan bukal

ketika dibandingkan dengan furkasi yang tidak terlibat, tidak adanya gambaran

panah furkasi tidak mesti berarti tidak adanya keterlibatan furkasi tulang.

Keberadaan bagian interadikular radiosulen mungkin tidak selalu hasil dari

keterlibatan furkasi sesungguhnya karena alasan-alasan periodontal, karena

trauma dari oklusi dan pathosis endodonti karena pembuluh saluran paten yang

menghubungkan dengan ruang interadikular bisa menjadi penyebab resorpsi

tulang yang menyerupai yang terjadi selama periodontitis.

Ross & Thompson mendeteksi keterlibatan furkasi lebih sering pada

molar-molar maksila dengan pemeriksaan radiografi daripada inspeksi klinis,

sebaliknya hal yang berlawanan terjadi untuk molar-molar mandibula. Mereka

juga mengamati bahwa diagnosa keterlibatan furkasi yang lebih akurat

dilaksanakan dengan gabungan pemeriksaan radiografi dan klinis.

Pendekatan konservatif pada perawatan melibatkan Furkasi

Survey klinis jangka panjang longitudinal telah memperlihatkan bahwa

terapi periodontal efektif dalam menghambat proses penyakit pada hampir setiap

pasien dan bagian-bagiannya. Hasil-hasil ini telah dicapai dengan terapi bedah dan

tanpa bedah, asalkan terapi periodontal pendukung dilaksanakan dengan secara

reguler. Namun, porspektif longitudinal dan studi retrospektif memperlihatkan

bahwa, pada molar yang mencakup furkasi, hasil-hasilnya tidak sebagus yang

didapatkan untuk gigi akar tunggal atau molar-molar non furkasi. Namun, studi-

studi ini memperlihatkan angka daya tahan fungsional jangka panjang untuk

8

Page 9: LESI FURKASI

molar-molar furkasi, yang mengindikasikan bahwa keberadaan dari keterlibatan

furkasi tidak merupakan alasan untuk menimbulkan prognosis meragukan atau

buruk pada gigi-gigi ini.

Studi berdasarkan pada mortalitas gigi (Tabel 2)

Ross & Thompson mengamati 387 molar-molar maksila dengan bukti

radiografi keterlibatan furkasi pada 100 pasien dengan penyakit periodontal

destruktif kronis untuk periode yang berkisar antara 5 dan 24 tahun. Perawatan

terdiri dari kombinasi dari prosedur-prosedur yang termasuk skeling, kuretase,

koreksi oklusal dengan reshaping koronal, bedah periodontal pada jaringan lunak

dan instruksi oral higienis. Tidak dilakukan bedah osseous; 305 dari 387 (84%)

molar memiliki prognosis meragukan sampai buruk pada awal studi: setidaknya

satu akar dengan tulang hilang minimum 50%. Total 341 (88%) masih berfungsi

efisien tanpa rasa sakit pada akhir studi, sebaliknya molar-molar lain telah di

ekstraksi pada berbagai interval waktu. Namun, 15 (33%) dari 46 gigi yang di

ekstraksi selama 11-18 tahun dan 10 (22%) setidaknya dalam 6 tahun.

Studi retrospektif oleh Hirscfeld & Wasserman, McFall, Goldman dkk dan

Wood dkk berfokus pada observasi jangka panjang dengan berbagai bentuk terapi

periodontal. Kualitas dari respon terhadap perawatan oleh pasien individual

dievaluasi dengan mempertimbangkan jumlah gigi yang hilang selama periode

observasi. Ini memungkinkan klasifikasi pasien menjadi tiga kategori: kelompok

yang dipertahankan dengan baik (hilang 0-3 gigi), kelompok yang mengalami

penurunan ( hilang 4-9 gigi) dan kelompok yang mengalami penurunan parah

(hilang 10-23 gigi). Subdivisi seperti ini telah dipertahankan pada tinjauan ini

9

Page 10: LESI FURKASI

untuk mengkonstruksi tabel yang melaporkan angka mortalitas gigi untuk molar-

molar furkasi (Tabel 3).

Hirscfeld & Wasserman memeriksa secara retrospektif kondisi periodontal

dari 600 pasien yang sebelumnya telah dirawat pada klinik pribadi selama 15

sampai 53 tahun. (rata-rata 22 tahun). Total 76,5% pasien awalnya telah

diklasifikasikan mengalami penyakit periodontal lanjutan, sebaliknya 16,5%

mengalami penyakit dengan keparahan sedang dan hanya 7% memperlihatkan

tanda-tanda awal periodontitis. Perawatan periodontal yang dilakukan sepanjang

tahun terdiri dari skeling subgingiva, gingivektomi dan bedah flap. Amputasi akar

(17 gigi) atau hemiseksi juga dilakukan. Pasien menjalani pemeliharaan periodik,

dan skeling subgingiva dilakukan ketika benar-benar perlu. Evaluasi dari respon

terhadap terapi berdasarkan jumlah gigi yang hilang selama periode observasi.

Kelompok dengan pemeliharaan bagus berjumlah 499 (83,2%), kelompok yang

mengalami penurunan 76 (12,6%), dan yang mengalami penurunan sangat parah

25 (4,2%) dari sampel yang diinvestigasi. Walaupun mayoritas pasien pada

awalnya diklasifikasikan mengalami penyakit lanjutan, hampir seluruh mereka

merespon bagus terhadap terapi, yang meninggalkan sekelompok kecil pasien

dengan mengalami kondisi periodontal terus saja memburuk meski dilakukan

perawatan. Data ini mengkonfirmasikan temuan-temuan epidemiologi yang

dilaporkan dari studi terhadap bentuk sebenarnya penyakit, yang menunjukkan

bahwa subfraksi kecil dari populasi menjadi penyebab untuk mayoritas kerusakan

periodontal yang tercatat disini. Selama fase pemeliharaan, 7,1% dari seluruh gigi

hilang karena sebab periodontal; 460 dari 1455 (31,6%) molar yang mengalami

10

Page 11: LESI FURKASI

furkasi sudah hilang, mayoritasnya masuk ke dalam kelompok yang mengalami

penurunan kedaan, sebaliknya hanya 19,3% yang berasal dari kelompok dengan

pemeliharaan bagus. Keseluruhan, proporsi dari molar hilang dengan keterlibatan

furkasi adalah sekitar 5 kali lipat dimana molar tanpa keterlibatan furkasi.

Mc Fall menganalisa sampel 100 pasien yang telah dirawat dan

dipertahankan selama 15 tahun atau lebih (durasi rata-rata 19 tahun, kisaran 15

sampai 29 tahun). Keparahan penyakit periodontal diklasifikasikan menurut

kriteria Hirscfeld & Wasserman: 36 dari 100 didiagnosa dengan penyakit lanjutan,

53 memperlihatkan tingkat keparahan sedang dan 11 mengalami tanda-tanda

penyakit awal. Selanjutnya, studi populasi ini memiliki jumlah kasus tingkat

lanjut lebih sedikit dibandingkan yang dimonitor oleh Hirschfeld & Wasserman.

Seluruh pasien dirawat dengan cara sama selama periode preparasi awal dengan

skeling supragingiva dan subgingiva, penyesuaian oklusal dan instruksi oral

higienis. Perawatan terdiri dari gingivektomi dan gingivoplasti. Kerusakan

infrabony dirawat dengan osteotomi dan osteoplasti dimana pembuangan saku

benar-benar memungkinkan. Amputasi akar hanya dilakukan pada 5 gigi. Molar

lain dengan keterlibatan furkasi dirawat dengan pembedahan atau dipertahankan

dengan kuretasi terbuka dan tertutup. Mayoritas pasien telah menjalani telah

menjalani pemeliharaan dengan interval 3, 4 atau 6 bulan. Selama periode ini,

ketika diindikasikan, pasien dijadwal ulang untuk prosedur bedah. Populasi studi,

dibagi berdasarkan gigi hilng, terdistribusi seperti berikut: 77 kelompok yang

mempertahankan dengan baik, 15 kelompok yang mengalami penurunan

pemeliharaan, dan 8 kelompok yang mengalami penurunan pemeliharaan sangat

11

Page 12: LESI FURKASI

jauh. Penyakit periodontal merupakan penyebab hilangnya 259 gigi (9,8%);

56,7% gigi dengan keterlibatan furkasi hilang selama periode observasi, dan

kelompok dengan pemeliharaan bagus hanya memiliki 27% gigi terlibat furkasi

yang di ekstraksi. Dari 600 molar tanpa keterlibatan furkasi, hanya 46 (7,6%)

yang hilang. Yang mengagumkan, molar dengan keterlibatan furkasi telah

berfungsi sebelum ekstraksi selama rata-rata 14 tahun pada kelompok dengan

pemeliharaan bagus, 10,5 tahun pada kelompok dengan pemeliharaan kurang dan

9 tahun pada kelompok dengan pemeliharaan sangat kurang.

Goldman dkk memeriksa catatan klinis dari 211 pasien yang dirawat dan

dipertahankan selama 15 sampai 34 tahun (waktu rata-rata 22,2 tahun). Perawatan

yang diberikan terdiri dari skeling supragingiva dan subgingiva, instruksi oral

higienis dan penyesuaian oklusal ketika diperlukan. Pembedahan terdiri dari

gingivektomi dan gingivoplasti, dan sejumlah kecil kasus dilakukan flap atau

kuretase terbuka. Menurut respon mereka terhadap perawatan, pasien

diklasifikasikan seperti berikut: 131 (62%) kelompok yang dipertahankan dengan

baik, 59 (28%) kelompok yang mengalami penurunan, dan 21 (10%) kelompok

dengan penurunan sangat besar. Tidak satupun yang menjalani pembuangan

jaringan. Furkasi dirawat dengan gingivektomi atau gingivoplasti atau flap yang

diposisikan kearah apikal dan dipertahankan dengan skeling dan kuretase. Hanya

pada lima kasus dilakukan amputasi akar. Dari seluruh gigi yang awalnya masih

ada, 13,4% akhirnya hilang. Dari 630 gigi yang awalnya terdiagnosa mengalami

furkasi, 270 di ekstraksi (43,5%), sebaliknya pada kelompok dengan pemeliharaan

12

Page 13: LESI FURKASI

bagus jumlah gigi hilang karena keterlibatan furkasi adalah 56 dari 335 (16,7%).

Diantara molar-molar nonfurkasi, 190 dari 1112 (17,0%) hilang selama studi.

Wood dkk meneliti 63 pasien yang menerima perawatan periodontal

paling tidak 10 tahun sebelumnya (durasi rata-rata 13,6 tahun, kisaran 10-34).

Terapi awalnya terdiri dari skeling supragingiva dan subgingiva yang disertai

dengan instruksi oral higienis. Terapi bedah selanjutnya termasuk gingivektomi,

bedah flap, kuretase flap, kontur osseous, graft osseous, dan amputasi akar.

Interval pemeliharaan sangat beragam antar pasien, dari <6 sampai >9 bulan.

Berdasarkan respon terhadap terapi, pasien dibagi seperti berikut: 54 (85,7%)

kelompok dengan pemeliharaan bagus, 7 (11,1%) kelompok dengan penurunan

dan 2 (3,2%) kelompok dengan penurunan parah. Selama periode pemeliharaan,

5% gigi yang awalnya masih ada akhirnya hilang karena berlanjutnya kerusakan

periodontal. Tiga puluh delapan (23,2%) dari gigi furkasi akhirnya hilang. Pada

kelompok dengan pemeliharaan bagus, hilang 21 dari 126 (16,6%) gigi dengan

keterlibatan furkasi. Diantara 261 molar tanpa keterlibatan furkasi, 36 di ekstraksi

(13,8%).

Pada studi terhadap 24 pasien yang dirawat dengan prosedur mekanis atau

bedah, Wang dkk memperlihatkan bahwa molar-molar dengan keterlibatan furkasi

sepertinya lebih cenderung untuk hilang 2,54 kali lebih sering dibandingkan

dengan gigi tanpa furkasi selama periode pemeliharaan 8 tahun.

Studi-studi longitudinal yang disebutkan diatas memperlihatkan bahwa

molar-molar dengan keterlibatan furkasi benar-benar lebih mudah hilang

dibandingkan molar-molar nonfurkasi (Tabel 2). Namun, jumlah molar yang

13

Page 14: LESI FURKASI

mengalami keterlibatan furkasi yang hilang karena alasan-alasan periodontal bisa

lebih rendah, karena sejumlah gigi, terutama molar-molar ketiga, mungkin telah di

ekstraksi karena sebab-sebab lain yang berkaitan dengan penyelesaian rencana-

rencana perawatan komprehensif, seperti ekstrusi karena tidak adanya gigi

antagonist atau kompatibilitas buruk dengan rekonstruksi prostesis. Sebaliknya,

sejumlah molar furkasi yang di ekstraksi pada studi ini pada saat perawatan tidak

dimasukkan dalam penghitungan jumlah gigi yang bertahan. Selanjutnya, adanya

keterlibatan furkasi mungkin telah luput karena kesalahan diagnosa. Sehingganya

gambaran yang dilaporkan pada survey mungkin tidak sesuai dengan angka

mortalitas sesungguhnya untuk molar-molar dengan keterlibatan furkasi.

Persentase dari hilangnya molar-molar yang awalnya furkasi selama

periode pengamatan pada studi-studi ini bervariasi dari 11,8% sampai 56,7%.

Namun, kelompok dengan pemeliharaan bagus, yang merepresentasikan

mayoritas pasien yang masuk ke dalam survey (berkisar dari 62% sampai 85,7%),

benar-benar memiliki angka molar dengan keterlibatan furkasi lebih rendah yang

di ekstraksi (16,7% sampai 27,3%) dibandingkan dengan pasien pada kelompok

dengan respon buruk (Tabel 3). Temuan ini sesuai dengan asumsi bahwa

mayoritas pasien pada studi ini, mungkin karena kerentanan lebih rendah terhadap

penyakit atau kontrol plak efektif, merespon bagus terhadap perawatan

periodontal. Demikianlah, molar-molar dengan keterlibatan furkasi sepertinya

tidak berasosiasi dengan prognosis yang meragukan, karena hampir seluruhnya

berada pada kelompok dengan pemeliharaan bagus selama bertahun-tahun.

Selanjutnya, banyak dari molar furkasi yang hilang dianggap berfungsi bagus

14

Page 15: LESI FURKASI

dalam waktu cukup lama sebelum ekstraksi. Sebaliknya, meski dengan kenyataan

bahwa gigi furkasi bisa dirawat dan dipertahankan dengan baik pada individual

yang tidak begitu rentan, adanya keterlibatan furkasi masih harus dianggap

sebagai faktor resiko sesungguhnya, seperti terlihat jelas pada penghitungan yang

telah dilakukan, untuk masing-masing kategori respon terhadap perawatan, dari

odd rasio untuk ekstraksi antar molar dengan dan tanpa keterlibatan furkasi dalam

studi jangka panjang yang menjadi sumber data yang diolah. Meta-analisis jelas

sekali mengindikasikan bahwa gigi furkasi memiliki kesempatan sangat besar

untuk hilang dibandingkan dengan molar-molar nonfurkasi, bagaimanapun respon

terhadap perawatan, tanpa kecuali pada kelompok dengan respon pemeliharaan

sangat buruk pada survey oleh Hirscfeld & Waserman.

Namun, belum ada investigasi jangka panjang yang dilaporkan pada Tabel

2 memberikan data tentang frekuensi distribusi dari keterlibatan furkasi menurut

luas dan parah kerusakan, juga tidak terdapat laporan tentang pilihan perawatan

yang berkaitan dengan tingkat keterlibatan. Selanjutnya tidak memungkinkan

untuk mengambil kesimpulan dari artikel ini tentang efisiensi dari berbagai

perawatan periodontal yang diaplikasikan menurut parahnya keterlibatan yang

awalnya terdiagnosa. Baru-baru ini, studi lain telah dilakukan untuk

menginvestigasi efektifitas dari perawatan periodontal spesifik pada furkasi

dengan berbagai tingkat kerusakan. Hal ini dibicarakan pada bagian lain.

15

Page 16: LESI FURKASI

Studi-studi berdasarkan pengukuran klinis, parameter mikrobial dan

efisiensi instrumentasi akar

Studi longitudinal yang dikemukakan diatas seluruhnya berdasarkan pada

kesimpulan terhadap mortalitas gigi. Studi prospektif lebih singkat, karena durasi

dari periode investigasi yang terbatas, berfokus pada respon perawatan

berdasarkan pengukuran dari parameter klinis seperti level attachment dan

kedalaman saku daripada mortalitas gigi. Sejumlah kecil studi juga

menginvestigasi efek-efek dari terapi periodontal pada mikroflora subgingiva dan

distribusi dari deposit kalkulus.

Studi prospektif 2 tahun meneliti efek-efek dari debridement akar dan

kontrol plak pada pasien periodontitis dewasa. Bagian-bagian furkasi molar

merespon tidak begitu bagus terhadap perawatan dibandingkan dengan permukaan

datar molar dan bagian-bagian non-molar. Ini terlihat dengan rata-rata perdarahan

lebih tinggi pada skor probing, rata-rata hilangnya attachment yang lebih tinggi

dan penurunan kedalaman probing yang lebih sedikit*.

Kecenderungan yang sama juga ditemukan oleh peneliti lain. Kaldahl dkk

menemukan bahwa furkasi dari gigi molar selalu merespon tidak begitu bagus

dibandingkan bagian lain terhadap terapi periodontal bedah dalam hal pengukuran

level attachment, bagaimanapun kedalaman probing awal. Terakhir, Wang dkk

melaporkan bahwa selama 8 tahun terapi periodontal pendukung, molar-molar

dengan keterlibatan furkasi hilang rata-rata 1,12 mm pada level attachment,

sambil molar tanpa keterlibatan furkasi hanya hilang 0,6 mm.

16

Page 17: LESI FURKASI

Respon klinis lebih buruk secara komparatif dari bagian furkasi molar juga

direfleksikan pada hasil mikrobiologi yang terlihat pada studi yang dilakukan oleh

Loos dkk. Para ahli ini melalukan monitoring 52 minggu efek-efek klinis dan

mikrobiologi dari kontrol plak dan debridement akar dengan ultrasonik pada 24

bagian non molar dan pada 31 bagian molar furkasi tingkat II dengan kedalaman

probing ≥ 5 mm pada 11 pasien. Disepanjang studi, jumlah dan persentase dari

spirochetes, total unit pembentuk koloni anaerobik dan jumlah dari

Porphyromonas gingivalis selalu lebih tinggi pada furkasi dibandingkan pada

bagian-bagian non-molar. Temuan ini bisa dijadikan penyebab sulitnya mencapai

debridement menyeluruh pada bagian-bagian furkasi. Demikianlah, sudah terlihat

bahwa lebih banyak kalkulus residual yang masih tersisa setelah debridement

pada bagian furkasi dibandingkan permukaan akar lain. Parashis dkk meneliti 30

molar-molar mandibula yang dijadwalkan untuk ekstraksi dengaan keterlibatan

furkasi kelas II dan III dan Indeks Kalkulus ≥2 memperlihatkan bahwa nilai rata-

rata dari kalkulus residual secara statistik lebih rendah untuk permukaan eksternal

daripada bagian-bagian furkasi ketika menggunakan pendekatan tertutup.

Pengaruh dari anatomi furkasi

Penurunan angka keberhasilan yang dialami pada pendekatan konservatif

dalam perawatan keterlibatan furkasi sepertinya berasal dari pembuangan debris

keras dan lunak yang tidak menyeluruh yang terdapat pada bagian interadikular

karena anatomi tertentu pada ruang furkasi (proyeksi enamel servikal, ridge

bifurkasi, konveksitas, konkavitas, dan dimensi awal furkasi).

17

Page 18: LESI FURKASI

Svardstrom & Wennstrom telah menggambarkan secara mendetail

topografi dari bagian furkasi pada molar-molar pertama maksila dan mandibula.

Dengan mengimplementasikan metode fotogrametrik, para ahli ini memplot

bagian interadikular untuk mendapatkan peta kontur tiga dimensi. Kompleksitas

dari permukaan internal dari bagian-bagian furkasi digambarkan sehingga

memperlihatkan lekukan, ridge dan pit dengan ukuran kecil.

Bower menemukan bahwa, pada molar pertama maksila, aspek furcal dari

akar berbentuk konkav pada 94% akar-akar mesiobukal, 31% dari akar-akar

distobukal dan 17% dari akar-akar palatal. Selanjutnya, dia mengamati bahwa

konkavitas dari aspek furcal terdapat pada 100% pada akar mesial dan 99% pada

akar distal mandibula. Jika bagian plak telah mencapai bagian furkasi, konfigurasi

ini menjadikan prosedur pembersihan cukup sulit.

Dimensi entrance/tempat masuk furkasi sangat penting untuk keberhasilan

terapi, karena mempengaruhi kemungkinan untuk mencapai akses ke bagian

interadikular dengan instrumentasi mekanis, seperti dikemukakan oleh Matia dkk

dan Parashis dkk, yang menemukan bahwa jumlah dari kalkulus residual

berkaitan dengan lebar awal furkasi ketika dilakukan root planing terbuka.

Bagian tempat masuk furkasi yang tidak mungkin untuk di akses dengan

instrumen mekanis merupakan temuan yang cukup umum. Pada studi yang

dilakukan oleh Bower, diameter bagian awal furkasi pada sampel 114 maksila dan

103 molar pertama mandibula ditemukan lebih sempit daripada lebar kuretase

yang biasa dipergunakan pada 58% furkasi yang diperiksa. Studi selanjutnya oleh

Chiu dkk menemupkan pada 185 molar maksila pertama orang Cina bahwa

18

Page 19: LESI FURKASI

dimensi tempat masuk furkasi ukuran ≤ 0,75 mm terdapat pada bukal 79%, mesial

39% dan distal 43%. Pada 178 molar mandibula, tempat masuk furkasi ≤0,75 mm

terdeteksi pada 36% aspek bukal dan 47% aspek lingual. Setengah dari seluruh

dimensi tempat masuk furkasi pada molar-molar pertama ini lebih kecil dari lebar

mata pisau pada kuret Gracey terbaru. Hou dkk memeriksa dimensi tempat masuk

furkasi pada 89 molar maksila orang Cina (49 molar pertama dan 40 molar kedua)

dan 93 molar mandibula (50 pertama dan 43 kedua). Mayoritas tempat masuk

furkasi pada molar kedua memiliki dimensi lebih kecil dibandingkan lebar kuret

Gracey (0,76 mm), walaupun lebih besar daripada dimensi rata-rata dari ujung

ultrasonik standar baru. Insersi ultrasonik mungkin kemudian memiliki akses

lebih mudah terhadap bagian-bagian furkasi dibandingkan blade kuret, khususnya

pada keterlibatan furkasi yang dalam. Asumsi seperti ini sesuai dengan hasil-hasil

klinis dan mikrobiologi yang dilaporkan oleh Leon & Vogel, yang

membandingkan debridment instrumen manual dengan ultrasonik pada

keterlibatan furkasi kelas I, II dan III dengan memperkirakan aliran cairan

crevicular gingiva dan komposisi dari mikroflora subgingiva dengan

menggunakan mikroskop dark-field. Sambil pada kelas I kedua perawatan sama

efektifnya, instrumen ultrasonik terbukti lebih efektif dibandingkan skeling

manual dalam mengurangi aliran cairan gingivaa dan proporsi spirochetes bakti

dan organisme motile lainnya pada kelas II dan III. Temuan ini memperkuat hasil-

hasil yang dilaporkan oleh Matia dkk, yang menemukan kalkulus residual yang

jauh lebih banyak pada furkasi lebar ≤2,3 mm setelah debridement dengan kuret

daripada dengan scaler ultrasonik.

19

Page 20: LESI FURKASI

Selanjutnya, usaha-usaha telah dilakukan untuk mengkonstruksi ujung

ultrasonik berdesain khusus untuk memperbaiki kemampuan akses terhadap

bagian-bagian paling dalam pada ruang interadikular. Studi in vitro telah menguji

berbagai ujung sonik dan ultrasonik yang dibuat untuk mencapai akses pada

bagian furkasi, yang memberikan hasil-hasil bagus dalam hal pembuangan

kalkulus artifisial. Percobaan klinis terkontrol longitudinal terhadap penggunaan

instrumen baru sangat diperlukan untuk membuktikan efektifitasnya. Namun,

perbaikan dalam pembuangan kalkulus padaa furkasi dengan dimensi tempat

masuk <2,4 mm juga telah dicapai dengan menggunakan rotary diamond bur,

sehingga mengatasi komplikasi karena berkaitan dengan adanya tempat masuk

furkasi yang kecil.

Metode dan Teknik Terapi Konservatif

Studi klinis retrospektif yang dikemukakan diatas menggunakan prosedur

bedah dan tanpa bedah secara luas. Namun, seperti dikatakan diatas, tidak terdapat

informasi mengenai aplikasi dan hasil dari berbagai teknik berdasarkan tingkat

keterlibatan yang terdiagnosa secara klinis, yang mengenyampingkan

kemungkinan untuk membuat kesimpulan tentang kemampuan dari masing-

masing prosedur dalam berbagai tipe kerusakan pada furkasi. Bagian-bagian

berikut akan membicarakan efek dari prosedur bedah dan tanpa bedah, kemoterapi

dan preparasi tunnel yang lebih invasif serta amputasi akar.

Prosedur bedah dan non bedah

Sejumlah kecil studi jangka pendek tersedia untuk perbandingan berbagai

bentuk teknik konservatif dalam perawatan lesi furkasi tertentu. Efektifitas dari

20

Page 21: LESI FURKASI

berbagai pendekatan bedah dan non bedah yang digunakan telah diteliti berkaitan

dengan jumlah residual dari kalkulus subgingiva, parameter klinis, dan perubahan

kepadatan tulang interadikular. Studi lainnya menggunakan debridement mekanis

sebagai kontrol positif untuk menentukan apakah setiap efek tambahan bisa

didapat dari penggunaan terapi antibiotik yang diberikan secara lokal melebihi

root planing itu sendiri.

Laporan awal oleh Wylam dkk memperlihatkan tidak memadainya root

planing dengan dan tanpa akses bedah pada bagian furkasi tingkat II dan III pada

gigi yang rusak: plak residual dan kalkulus ditemukan pada 89% pada molar yang

dirawat dengan pembedahan dan 95% pada molar yang dirawat tanpa

pembedahan. Artikel terbaru oleh ahli yang sama melaporkan bahwa deposit

kalkulus residual mencakup 93,2% dan 91,1% permukaan akar furcal setelah

instrumentasi tertutup dan terbuka.

Sebaliknya, Matia dkk menemukan kalkulus residual yang jauh lebih

banyak setelah root planing tertutup daripada terbuka pada molar-molar furkasi

dengan lesi dalam (kelas II dan III). Tidak terlihat perbedaan antara penggunaan

scaler ultrasonik dan kuretase pada kedua kelompok. Namun, ketika data

distratifikasi menurut dimensi dari tempat masuk furkasi, debridement terbuka

dengan ultrasonik meninggalkan lebih sedikit kalkulus dibandingkan kuretase

pada tempat masuk yang berukuran ≤2,3 mm. Sama juga halnya, Fleisher dkk

memperkirakan jumlah kalkulus residual pasca ektrasi setelah satu kali skeling

dan root planing dengan dan tanpa akses bedah yang dilakukan oleh operator

dengan dua level skill berbeda. Pada operator yang lebih berpengalaman, root

21

Page 22: LESI FURKASI

planing terbuka meninggalkan lebih banyak furkasi bebas kalkulus daripada

debridement tertutup (68% berbanding 44%), namun perbedaan ini tidak

signifikan secara statistik. Ketika prosedur-prosedur ini dilakukan oleh dokter gigi

yang sedikit pengalaman, furkasi terjadi jauh lebih sering dengan akses flap

daripada setelah debridement tertutup (43% berbanding 8%). Demikianlah,

tingkat pengalaman sepertinya memiliki peran tambahan dalam debridement

furkasi, dimana ahli periodonti yang lebih berpengalaman sering memperoleh

permukaan furkasi bebas kalkulus lebih banyak dibandingkan operator yang tidak

berpengalaman, apapun tipe pendekatannya, walaupun perbedaan signifikan

hanya terlihat pada lesi-lesi yang dirawat dengan root planing tertutup. Tidak

terdapat informasi yang dikemukakaan Fleisher dkk berkaitan dengan tipe dan

distribusi dari kerusakaan furcal yang dirawat. Parashis dkk mengevaluasi secara

detil efisiensi pembuangan kalkulus pada furkasi kelas II dan III yang dicapai

melalui skeling dan root planing dengan dan tanpa akses bedah. Pendekatan ketiga

mencakup penggunaan rotary diamond bur untuk membuang deposit kalkulus

pada bagian furkasi setelah eksposure bedah. Perawatan gabungan ini paling baik

dalam membuang kalkulus dari furkasi, khususnya pada bagian flute dan ketika

tempat masuk furkasi berukuran <2,4 mm. Studi oleh Matia dkk, Wylam dkk,

Fleisher dkk dan Parashis dkk dilakukan pada molar-molar yang direncanakan

akan di ekstraksi, yang bercirikan dengan adanya kerusakan tulang parah dan

deposit kalkulus tebal. Apakah hasil-hasil yang dilaporkan pada artikel ini dapat

diaplikasikan pada molar-molar dengan keterlibatan furkasi tidak begitu dramatis

dan pertambahan kalkulus masih belum dilakukan oleh investigasi lain.

22

Page 23: LESI FURKASI

Bisa disimpulkan bahwa operator berpengalaman membuang lebih banyak

kalkulus daripada operator yang kurang berpengalaman. Disamping itu,

pendekatan terbuka terbukti lebih efektif dalam membuang deposit kalkulus dari

bagian furkasi, khususnya ketika dikombinasikan dengan penggunaan diamond

bur.

Namun, hasil-hasil yang tampaknya lebih menguntungkan dengan

kombinasi dari root planing dan akses bedah dalam hal pembuangan kalkulus

yang dikemukakan oleh Matia dkk, Parashis dkk dan Fleisher dkk tidak disertai

oleh superioritas tetap ketika berkaitan dengan parameter klinis, seperti

dikemukakan oleh Kalkwarf dkk, Schroer dkk, dan Wang dkk.

Kalkwarf dkk mengevaluasi respon klinis dari bagian-bagian furkasi pada

empat tipe terapi periodontal: skeling supragingiva, root planing, bedah flap

Widman modifikasi atau bedah flap dengan osteoktomi. Bedah flap dengan

reseksi tulang secara bersamaan jauh lebih baik dalam mengurangi kedalaman

saku dibandingkan prosedur-prosedur lain, yang menimbulkan penurunan rata-

rata 1,65 mm. Sebaliknya, ini merupakan satu-satunya tipe perawatan untuk

menghasilkan rata-rata hilangnya attachment vertikal (0,36 mm) pada akhir

periode observasi 2 tahun. Skeling supragingiva, root planing dan bedah flap

Wildman modifikasi memperlihatkan pencapaian attachment probing 0,32 mm,

0,44 mm dan 0,44 mm. Seluruh prosedur, kecuali root planing, menyebabkan

hilangnya attachment probing horizontal pada furkasi. Hilangnya attachment yang

berkaitan dengan bedah osseous jauh lebih besar (0,51 mm) dibandingkan dari

yang terbentuk oleh skeling supragingiva (0,13 mm) dan flap Wildman modifikasi

23

Page 24: LESI FURKASI

(0,14 mm). Hasil-hasil terbaik untuk level attachment (vertikal dan horizontal)

dan kedalaman saku dicatat dalam tahun pertama setelah operasi. Meskipun

dengan reduksi kedalaman saku yang terbatas dibandingkan prosedur bedah, root

planing terbukti lebih efisien dalam melindungi level attachment vertikal dan

horizontal pada furkasi, dan bahkan hasilnya bagus pada sejumlah bagian.

Menariknya, implementasi dari bedah osseous yang dilaksanakan pada banyak

molar-molar furkasi (n=55) dibandingkan dengan prosedur-prosedur lain.

Sebaliknya, furkasi yang masih tersisa, jika dirawat dengan bedah resektif tulang,

memperlihatkan persentase bagian lebih kecil yang memperlihatkan kerusakan

signifikan secara klinis selama 2 tahun pemeliharaan. Ini bisa didapat dengan

pemisahan margin gingiva kearah apikal, sehingga dapat membantu kemampuan

pembersihan tempat masuk furkasi.

Schroer dkk meneliti level attachment dan perubahan kedalaman probing

antara debridement tertutup dan terbuka pada furkasi molar kelas II fasial. Pada 16

bulan, kedua prosedur telah mengurangi kedalaman saku 1,2–1,5 mm. Pencapaian

rata-rata dalam level attachment dari awal di observasi setelah skeling subgingiva

tertutup (0,6 mm), sebaliknya furkasi yang dirawat kehilangan attachment (-0,46

mm). Namun, perbedaaan ini tidak signifikan secara statistik. Sama saja, Wang

dkk tidak melaporkan perbedaan besar dalam perubahan level attachment setelah

bedah penghilangan saku, kuretase atau flap Wildman modifikasi.

Hasil klinis lebih bagus dalam level attachment klinis yang diobservasi

oleh sejumlah peneliti dengan debridement tertutup juga telah diperkuat oleh

sejumlah studi yang bertujuan memperkirakan perubahan-perubahan

24

Page 25: LESI FURKASI

densitometrik kuantitatif dari tulang alveolar didalam bagian-bagian furkasi baik

yang menjalani skeling atau root planing ataau dibuka dengan bedah flap.

Payot dkk merawat keterlibatan furkasi kelas I atau II dengan kuretase

gingiva atau flap Wildman modifikasi atau dengan osteoplasti furkasi. Ketiga

prosedur menimbulkan hilangnya kepadatan awal lapisan luar tulang

interradikular selama 2 bulan pertama setelah perawatan. Hilangnya lapisan luar

tulang ini kemudian diikuti oleh penyembuhan signifikan secara statistik, yang

menjadi sangat padat 1 tahun setelah operasi hanya pada bagian-bagian yang

dirawat dengan kuretase. Begitu juga, hilangnya tulang awalnya ditemukan pada

lapisan dalam setelah dua prosedur bedah. Namun, pencapaian kepadatan yang

signifikan terdeteksi pada akhir studi, 1 tahun setelah terapi.

Hasil-hasil ekuivalen dilaporkan oleh Bragger dkk. Hilangnya kepadatan

tulang segera terjadi setelah eksposure bedah, sebaliknya pencapaian diketahui

pada bagian-bagian furkasi yang dirawat dengan root planing tertutup, yang

menjadi pembeda utama antara kedua perawatan. Namun, pencapaian kepadatan

tulaang terlihat dengan besar sama pada bagian bedah dan non bedah 1 tahun

setelah operasi.

Kesimpulannya, walaupun skeling dan root planing yang dikombinasikan

dengan bedah flap lebih efektif dalam membuang kalkulus, evaluasi klinis tidak

mengindikasikan perbedaan dramatik antara perawatan bedah maupun non bedah

seberapapun tingkat keterlibatan furkasi. Skeling tertutup dan root planing

terbukti lebih efektif dalam melindungi level attachment yang sudah ada,

bersamaan dengan terbentuknya remineralisasi tulang yang lebih baik, walaupun

25

Page 26: LESI FURKASI

fenomena ini disertai dengan reduksi kedalaman saku yang lebih rendah.

Ekuivalen dari efisiensi klinis antara prosedur tertutup dan terbuka bisa

dipengaruhi prosedur, variabel operator, kenyamanan dengan rekomendasi

profesional, atau, bahkan kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Sejumlah kecil studi juga sudah ada untuk membandingkan efek-efek dari

perawatan konservatif (debridement terbuka) setelah akses bedah yang digunakan

sebagai kontrol positif, dengan sejumlah prosedur regeneratif. Allograf seperti

porous hydroxyapatite atau tricalcium phospate dalam kombinasi dengan

doxycycline dan membran kolagen menghasilkan reduksi saku lebih besar dan

pengisian kerusakan dibandingkan debridemen bedah saja pada kerusakan furkasi

kelas II dan III.

Kemoterapi

Kesulitan dalam melakukan debridement adekuat pada furkasi secara

mekanis telah membawa eksperimentasi dengan agen-agen kemoterapi pada

bagian ini. Needleman & Watts menguji efek tambahan dari irigasi gel

metronidazole 1% ke bagian-bagian furkasi dengan keterlibatan kelas II dan III

selama pemeliharaan periodontal dengan skeling subgingiva. Secara klinis, tidak

terlihat perubahan lebih baik pada bagian furkasi yang dirawat dengan

metronidazole. Begitu juga, kurangnya efek tambahan yang dikeluarkan oleh gel

metronidazole dilaporkan untuk proporsi spirochetes, motile rod dan cocci yang

terlihat pada mikroskop dark field.

Nylud & Egelberg mengevaluasi efek-efek terapeutik dari irigasi

subgingiva dengan tetrasiklin sebagai suplement pada debridement mekanis pada

26

Page 27: LESI FURKASI

furkasi dengan keterlibatan kelas I, II dan III. Irigasi profesional dengan larutan

tetrasiklin 50 mg/ml dilakukan setiap minggu kedua selama 3 bulan. Evaluasi 1

tahun terhadap level attachment dan kedalaman saku memperlihatkan

memperlihatkan variasi pengabaian klinis yang sama (<1 mm) pada furkasi yang

diirigasi dengan tetrasiklin dan saline. Selanjutnya dapat disimpulkan dari studi-

studi ini bahwa pemberian substansi antibiotik lokal sporadis dan tidak terkontrol

sepertinya tidak mengeluarkan efek suplemental dibandingkan yang dihasilkan

oleh perawatan mekanis subgingival. Sehingganya, Minabe dkk menempatkan

tetrasiklin pada filem kolagen silang untuk mendapatkan obat dengan efek lepas

lambat. Filem ini telah digunakan secara tunggal atau bersamaan dengan root

planing pada keterlibatan furkasi kelas II pada percobaan klinis acak terkontrol.

Penurunan dramatis dalam frekuensi bagian-bagian yang mengalami perdarahan

pada probing terlihat pada kelompok yang dirawat dengan kombinasi tetrasiklin

dan debridement mekanis. Ukuran penurunan jauh lebih besar daripada yang

dihasilkan oleh root planing atau tetrasiklin saja disepanjang periode studi (8

minggu). Level attachment probing dan kedalaman saku sama-sama menurun

dengan ketiga cara perawatan ini. Begitu juga, penurunan yang sama pada ketiga

kelompok terlihat untuk jumlah mikroba total dan proporsi spirochetes, yang

turun dari nilai sebelum operasi 10-17% menjadi 2-3% pada akhir perawatan

aktif (4 minggu). Pada 8 minggu, spirochetes pada ketiga kelompok perawatan

masih jauh dibawah jumlah awal, walaupun terlihat kembali sedikit meningkat.

Data terbaru oleh Tonetti dkk memperlihatkan bahwa serat mengandung

tetrasiklin mengurangi perdarahan dan kedalaman saku signifikan daripada yang

27

Page 28: LESI FURKASI

hanya dihasilkan oleh skeling dan root planing, walaupun temuan ini hanya

terbatas pada 3 bulan pertama setelah insersi serat. Namun tidak terlihat adanya

perbedaan perawatan pada follow up 6 bulan, kecuali lebih banyaknya bagian

dengan reduksi kedalaman saku > 2 mm pada kelompok yang menerima skeling

dan root planing serta terapi serat. Kesimpulannya, disamping efek anti-inflamasi

jangka pendek yang terlihat dengan berkurangnya perdarahan pada probing,

tetrasiklin pada peralatan lepas lambat sepertinya tidak begitu mendorong atau

memperlama efektifitas dari debridement subgingiva yang umum digunakan pada

furkasi kelas II.

Secara keseluruhan, hasil-hasil dari studi diatas tidak memperlihatkan

secara jelas terhadap implementasi terapi obat lokal tambahan pada keterlibatan

furkasi, bagaimanapun tingkat keparahannya.

Prosedur saluran/tunnel

Preparasi tunnel dari gigi akar gabungan merupakan pendekatan sangat

konservatif dalam perawatan keterlibatan furkasi kelas II dan III (Gambar 4).

Tujuan dari perawatan ini adalah untuk mendapatkan kemungkinan pembersihan

bagian furcal oleh pasien dengan sikat gigi interdental. Manfaat utama dari teknik

ini adalah menghindari rekonstruksi prostetis dan, untuk molar-molar mandibula,

terapi endodonti. Namun, preparasi saluran masih dapat dipergunakan hanya

ketika dimensi tempat masuk furkasi cukup lebar dan terletak pada arah koronal

untuk memudahkan penggunaaan alat pembersih. Restriksi anatomi membatasi

penggunaan teknik ini terutama sekali pada molar-molar pertama mandibula,

meskipun kadang-kadang dapat diimplementasikan pada molar-molar maksila.

28

Page 29: LESI FURKASI

Namun pada situasi ini, satu dari tiga akar bisa di reseksi untuk memperbaiki

akses ke bagian furkasi.

Sangat sedikit studi yang telah meneliti kemungkinan-kemungkinan

preparasi saluran. Pada sebuah studi 5 tahun, Hamp dkk menemukan bahwa

empat dari tujuh gigi yang dirawat dengan teknik ini mengalami karies akar, dan

tiga diantaranya telah diekstraksi selama waktu observasi.

Hellden dkk mengevaluasi pada studi retrospektif hasil klinis dari

preparasi saluran 102 pasien (149 gigi) dengan waktu observasi rata-rata 37,5

bulan (kisaran 10 sampai 107 bulan). Enam puluh tiga maksila dan 35 molar

pertama mandibula merupakan gigi yang paling banyak dirawat. Prophilaksis

fluoride dilakukan setelah tunnelling pada bagian-bagian furkasi. Sepuluh gigi

(7%) di ekstraksi dan 7 gigi (5%) dirawat ulang dengan hemiseksi. Pada 12 dari

17 gigi ini, ekstraksi dan hemiseksi telah dilaksanakan kaarenaa karies akar.

Diantara 132 gigi yang masih ada, 23 (15%) memperlihatkan karies awal atau

yang sudah terbentuk. Karena sekitar 75% dari gigi yang dirawat masih bebas

karies dan berfungsi pada akhir periode observasi, para ahli berpendapat bahwa

preparasi saluran memiliki prognosis jauh lebih baik daripada yang sebelumnya

dilaporkan oleh Hamp dkk dan selanjutnya bisa dianggap sebagai alternatif

perawatan yang valid. Namun, ini bukan merupakan kesimpulan yang berdasarkan

bukti namun lebih bersifat pembuktian prinsipal. Dalam hal apa prosedur lebih

baik atau lebih buruk daripada bentuk-bentuk perawatan konservatif lain tidak

bisa dikemukakan sampai dilakukan percobaan klinis terkontrol.

29

Page 30: LESI FURKASI

Bisa dikatakan bahwa waktu observasi rata-rata lebih singkat bisa

disebabkan oleh persentase lesi karies akar baru relatif rendah yang dilaporkan

oleh Hellden dkk ketika membandingkan hasil-hasil yang mereka peroleh dengan

penelitian Hamp dkk. Namun, Helden mengamati peningkatan perkembangan lesi

karies akar terutama sekali selama 19 bulan pertama dari periode follow up. Ini

sesuai dengan data yang dilaporkan oleh Ravald & Hamp dan Ravald dkk, yang

memperlihatkan bahwa setelah bedah periodontal, perkembangan karies akar

terutama sekali terjadi dalam 2 tahun setelah perawatan. Hasil-hasil yang

diperoleh oleh Hellden dkk berkaitan dengan perkembangan karies akar bisa

disebabkan oleh prophilaksis fluoride yang dilakukan oleh pasien pada furkasi.

Pada studi terbaru, kemungkinan prosedur preparasi saluran telah dievaluasi pada

18 subjek, masing-masingnya memiliki molar dengan keterlibatan furkasi

Glickman kelas II atau III, yang diikuti untuk waktu observasi rata-rata 5,8 tahun.

Gigi yang dirawat adalah lima molar maksila daan 13 molar mandibula. Pada

akhir periode observasi, karies akar terdeteksi hanya pada tiga gigi (16,7%) yang

mengkonfirmasikan hasil-hasil yang didapat oleh Hellden dkk. Disamping itu,

tidak ditemukan perbedaan pada level attachment dan pada evaluasi tulang

radiografi pada molar-molar mandibula melalui saluran dibandingkan dengan

bagian-bagian berdekatan yang dirawat dengan bedah osseous.

Amputasi akar

Amputasi akar merupakan suatu teknik yang digunakan pada molar-molar

maksila dengan membuang saatu dari tiga akar untuk menghilangkan masalah

furkasi dan untuk mencapai akses bagus untuk kontrol plak yang tepat. Karena

30

Page 31: LESI FURKASI

teknik ini dapat diaplikasikan tanpa perubahan besar dalam anatomi gigi dan tanpa

rekonstruksi prostesis, cara ini bisa dianggap sebagai pendekatan konservatif

untuk merawat keterlibatan furkasi. Teknik ini diperkenalkan oleh Farrar pada

1884 dan diperkenalkan kembali oleh Messinger & Orban pada tahun 1954. Cara

ini dianjurkan untuk digunakan pada lesi endodonti-periodontal gabungan serta

hilangnya tulang yang berkaitan dengan periodontitis. Hanya sejumlah kecil studi

mengikuti bentuk klinis setelah pembuangan akar. Green mengamati 122 kasus

hemiseksi molar atau amputasi akar sampai 25 tahun. Pada kelompok ini, 41 dari

101 molar maksila yang menerima amputasi akar dibuang, hampir seluruhnya 8

tahun. Penyebab hilangnya molar pada hampir seluruh kasus adalah kerusakan

berkelanjutan dari tulang periodontal meskipun dengan oral higienis bagus dan

kontrol plak cermat oleh pasien. Pasien pada studi kedua tampak lebih baik,

dengan 33 dari 34 molar maksila yang bertahan selama 11 sampai 84 bulan

setelah amputasi akar. Pengalaman klinis telah menunjukkan bahwa prosedur ini

sering merupakan langkah interim dan dalam persentase besar gigi-gigi ini gagal

dalam beberapa tahun pembuangan akar.

Kesimpulan

Studi-studi yang ditinjau disini telah memunculkan pandangan baru

terhadap topik, yang mentransformasi konsep-konsep terapeutik dan

paradigma prognosa yang berkaitan dengan lesi furkasi.

Saat ini tidak terdapat data untuk menyimpulkan bahwa salah satu dari

berbagai pendekatan yang disarankan untuk perawatan lesi furkasi harus

menjadi pilihan karena pendekatan tersebut memberikan hasil jangka

31

Page 32: LESI FURKASI

panjang lebih baik dalam hal daya tahan fungsional. Demikian juga, studi-

studi yang membandingkan efek-efek dari berbagai pendekatan didalam

subjek yang sama masih sangat kurang.

Studi jangka panjang retrospektif berdasarkan pada mortalitas gigi

memperlihatkan bahwa gigi-gigi dengan keterlibatan furkasi awal bisa

memiliki angka keberhasilan mengagumkan setelah perawatan konservatif

pada pasien yang merespon bagus terhadap perawatan.

Namun, gigi-gigi furkasi hilang dengan proporsi lebih tinggi dibandingkan

dengan gigi akar tunggal atau dengan molar-molar nonfurkasi.

Kecenderungan yang sama terlihat pada studi-studi berdasarkan pada

parameter klinis, yang membandingkan hasil dari perawatan antara gigi

dengan keterlibatan furkasi dengan permukaan datar molar dan gigi akar

tunggal.

Hasil-hasil ini bisa disebabkan oleh sukarnya memperoleh debridement

adekuat pada gigi dengan keterlibatan furkasi. Anatomi ganjil pada bagian

ini dan dimensi dari diameter tempat masuk sepertinya sebagai alasan

untuk kemungkinan adanya furkasi pada bagian residual plak subgingiva

dan kalkulus. Dalam hal ini, debridement lebih efektif dicapai pada

keterlibatan furkasi kelas II dan III ketika akses bedah disediakan dan

scaler ultrasonik atau rotary diamond bur dipergunakan.

Namun, hasil klinis dari pendekatan bedah dan non bedah tampak sama

dalam jangka waktu panjang serta juga studi longitudinal jangka pendek.

Pada sejumlah keadaan root planing tertutup terlihat lebih baik melindungi

32

Page 33: LESI FURKASI

level attachment klinis dan mengeluarkan remineralisasi lebih cepat pada

tulang alveolar interadikular.

Studi-studi yang dikemukakan diatas memperlihatkan bahwa pembuangan

debris subgingiva yang tidak menyeluruh pada furkasi dengan

menggunakan perawatan konservatif mungkin tidak mempengaruhi respon

klinis dan biologi pada suatu bagian atau pasien secara menyeluruh. Pada

suatu bagian, prosedur yang dipergunakan selama pendekatan konservatif

mungkin telah mendorong kontrol plak profesional dan yang dilakukan

sendiri. Dari sisi pasien, respon bagus pada perawatan dari hampir seluruh

subjek yang diamati pada studi retrospektif jangka panjang bersamaan

dengan jumlah daya tahan fungsional lama pada hampir seluruh molar-

molar furkasi mungkin berkaitan dengan dengan kontrol plak adekuat dan

kerentanan rendah terhadap penyakit pada mayoritas pasien-pasien

periodontal, sehingga menjelaskan hasil-hasil perawatan yang dapat

diterima. *

Sangat sedikit studi yang sudah dilakukan untuk preparasi saluran, dengan

hasil-hasil beragam. Namun, studi oleh Hellden dkk yang mencakup

pasien dalam jumlah besar, memperlihatkan hasil yang menjanjikan,

waalaun waktu observasi rata-rata masih terbatas. Selanjutnya, studi

prospektif dan terkontrol jangka panjang pada teknik-teknik ini diperlukan

untuk mendukung temuan-temuan yang sudah ada.

Sangat sedikit terdapat informasi yang ada mengenai amputasi akar dan

odontoplasti. Namun, amputasi akar belum digunakan secara luas pada

33

Page 34: LESI FURKASI

studi klinis jangka panjang. Selanjutnya, harus hati-hati ketika

menjabarkan data publikasi yang masih terbatas.

Penggunaan obat-obatan sepertinya tidak memberikan manfaat jangka

panjang terhadap manfaat yang bisa didapatkan dengan root planing.

Namun, penurunan perdarahan jangka pendek pada penurunan kedalaman

saaku yang diobservasi oleh Tonetti dkk mengindikasikan bahwa

konsentrasi tinggi obat antimikroba disertai dengan perawatan

konvensional memiliki potensi untuk memperbaiki respon klinis pada

bagian-bagian furkasi, selama perawatan periodontal pendukung.

Meskipun penanganan dari keterlibatan gigi furkasi dengan pendekatan

konservatif tidak memberikan hasil yang sama seperti dengan gigi akar

tunggal atau permukaan datar molar, perawatan alternatif berdasarkan

reseksi atau regenerasi tidak banyak menjanjikan. Studi pada regenerasi

telah memperlihatkan tidak bisa diperkirakannya penutupan keterlibatan

furkasi keseluruhan. Sejumlah laporan pada reseksi akar atau separasi akar

telah memperlihatkan angka kegagalan yang sangat rendah, walaupun

studi jangka panjang lain memperlihatkan hasil-hasil yang kurang bagus

dengan terapi seperti ini, mortalitas gigi setelah 10 tahun antara 32 – 38%.

Pembentukan prognosis

Prognosis dari gigi-gigi furkasi yang dirawat dengan pendekatan

konservatif dengan sendirinya masuk kedalam tingkat optimisme sedang, dengan

mengingat bahwa timbulnya kerusakan tulang alveolar interadikular masih

dianggap faktor resiko lokal untuk hilangnya gigi.

34

Page 35: LESI FURKASI

Faktor-faktor lokal lainnya bisa mempercepat jumlah perkembangan

penyakit, sehingga meningkatkan resiko untuk ekfoliasi gigi-gigi furkasi: restorasi

dan kebiasaan merokok*

BUKU 2

FURKASI: MASALAH DAN PENANGANAN

Perkembangan penyakit periodontal inflamasi, jika tidak ditangani,

menimbulkan hilangnya attachment yang cukup memadai untuk mempengaruhi

bifurkasi atau trifurkasi dari gigi akar gabungan. Furkasi merupakan bagian

dengan morfologi anatomi kompleks yang mungkin sukar atau tidak mungkin

menjalani debridasi dengan instrumentasi periodontal rutin. Metode perawatan

harian rutin mungkin tidak bisa menjaga bagian furkasi bebas plak. Adanya

keterlibatan furkasi merupakan salah satu temuan klinis yang bisa membawa

diagnosa pada periodontiti lanjutan dan berpotensi menimbulkan prognosis buruk

bagi gigi yang terkena. Keterlibatan furkasi selanjutnya menimbulkan dilema

diagnosa dan terapeutik.

FAKTOR-FAKTOR ETIOLOGI DARI MASALAH FURKASI

Faktor etiologi utama dalam perkembangan kerusakan furkasi adalah plak

bakteri dan konsekuensi inflamasi yang berasal dari keberadaan jangka panjang.

Besarnya attachment hilang yang diperlukan untuk menghasilkan kerusakan

furkasi sangat bervariasi dan berkaitan dengan faktor-faktor anatomi lokal seperti

panjang root trunk, morfologi akar, dan anomali developmental seperti proyeksi

enamel servikal. Faktor-faktor lokal bisa mempengaruhi jumlah deposisi plak atu

mengkomplikasi performa dari prosedur oral higienis sehingga berkontribusi pada

35

Page 36: LESI FURKASI

perkembangan periodontitis dan hilangnya attachment. Sejumlah

mengindikasikan bahwa prevalensi dan keparahan keterlibatan furkasi meningkat

seiring pertambahan usia. Karies gigi dan matinya pulpa bisa juga mempengaruhi

giig dengan keterlibatan furkasi atau bahkan bagian furkasi. Seluruh faktor-faktor

ini harus dipertimbangkan selama diagnosa, rencana perawatan dan terapi dari

pasien dengan kerusakan furkasi.

DIAGNOSA DAN KLASIFIKASI DARI KERUSAKAN FURKASI

Pemeriksaan klinis menyeluruh merupakan kunci pada diagnosa dan

rencana perawatan. Probing cermat diperlukan untuk menentukan keberadaan dan

luas keterlibatan furkasi, posisi dari attachment relatif terhadap furca, dan

besarnya konfigurasi kerusakan furkasi. Transgingival sounding selanjutnya bisa

mendefinisikan anatomi dari kerusakan furkasi. Tujuan dari pemeriksaan ini

adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan luas keterlibatan furkasi

dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin berkontribusi pada

perkembangan kerusakan furkasi atau yang bisa mempengaruhi hasil perawatan.

Diantara faktor-faktor ini adalah 1) morfologi dari gigi yang terkena, 2) posisi gigi

relatif terhadap gigi berdekatan, 3) anatomi lokal dari tulang alveolar, 4)

konfigurasi dari setiap kerusakan tulang,dan 5) keberadaan dan luas dari penyakit

gigi lain seperti karies dan nekrose pulpa.

Dimensi dari tempat masuk furkasi merupakan suatu variabel namun

biasanya cukup kecil. Delapan puluh satu persen daari furkasi biasanya memiliki

mulut saluran 1 mm atau kurang, dan 58% sebesar 0,75 mm atau kurang. Dimensi

ini, bersamaan dengan anatomi lokal pada bagian furkasi, harus diingat pada

36

Page 37: LESI FURKASI

seleksi instrumentasi untuk probing. Sebuah probe dengan penampang kecil

diperlukan jika akan mendeteksi keterlibatan furkasi awal.

KLASIFIKASI KETERLIBATAN FURKASI

Luas dan konfigurasi dari kerusakan furkasi merupakan faktor-faktor pada

diagnosa dan faktor-faktor perawatan. Ini telah menimbulkan perkembangan

sejumlah indeks untuk mencatat keterlibatan furkasi. Indeks ini berdasarkan pada

ukuran hilangnya attachment pada furkasi, dalam kombinasi ukuran horizontal

dan vertikal, atau kombinasi dari temuan-temuan ini dengan konfigurasi

terlokalisasi pada kerusakan tulang. Glickman membagi keterlibatan furkaai

kedalam empat kelas berikut:*

FAKTOR-FAKTOR ANATOMI LOKAL PADA PERAWATAN FURKASI

Pemeriksaan klinis dari pasien harus memungkinkan ahli terapi untuk

tidak saja mengidentifikasi kerusakan furkasi tetapi juga berbagai faktor-faktor

anatomi lokal yang bisa mempengaruhi hasil dari terapi (prognosis). Radiografi

gigi yang bagus, sambil tidak memungkinkan klasifikasi keterlibatan furkasi

definitif, memberikan informasi tambahan vital untuk rencana perawatan. Faktor-

faktor lokal penting dibicarakan pada bagian berikut:

Gigi

Selama rencana perawatan, ciri-ciri anatomi berikut dari gigi yang

mengalami gaangguan harus dipertimbangkan:

Panjang bagian utama akar: Ini merupakan faktor kunci pada

perkembangan dan perawatan dari keterlibatan furkasi. Jarak dari persambungan

cementoenamel ke tempat masuk furkasi bisaa sangat bervariasi. Gigi bisa

37

Page 38: LESI FURKASI

memiliki bagian utama sangat pendek, panjang sedang atau akar-akar yang bisaa

melebar ke titik dekat apeks (Gambar 64-3). Kombinasi dari panjang bagian

utama akar dengan jumlah dan konfigurasi akar-akar mempengaruhi keberhasilan

terapi. Semakin singkat bagian utama akar, semakin sedikit attachment yang harus

hilang sebelum furkasi terjadi. Jika furkasi terbuka, gigi dengan bagian utama akar

pendke bisa lebih dapat diakses untuk mempertahankan prosedur dan bagian

utama akar pendek bisa membantu sejumlah prosedur bedah. Secara alternatif,

gigi dengan panjang bagian utama sangat berlebihan atau akar melebar mungkin

bukanlah kandidat tepat untuk perawatan jika furkasi telah terpengaruh.

Panjang akar: panjang akar berkaitan langsung dengan kuantitas

attachment yang menyokong gigi. Gigi dengan bagian utama panjang dan akar-

akar pendek mungkin telah kehilangan mayoritas sokongan sebelum furkasi. Gigi

dengan akar panjang dan bagian utama berukuran sedang atau pendek lebih

mudah dirawat karena masih terdapat attachment yang memadai utuk memenuhi

keperluan fungsional.

Bentuk akar: Akar mesial dari hampir seluruh molar pertama dan kedua

mandibula dan akar mesiofasial dari molar pertama maksila secara umum

lengkung ke distal pada sepertiga apikal. Disamping itu, aspek distal dari akar ini

biasanya sangat lengkung. Kelengkungan dan fluting bisa meningkatkan potensi

untuk perforasi akar selama endodonti atau mengkomplikasi penempatan selama

restorasi. Ciri-ciri anatomi ini bisa juga menimbulkan makin meningkatnya

kejadian fraktur akar vertikal. Ukuran dari pulpa radikular mesial bisa

menimbulkan mayoritas bagian gigi selama preparasi.

38

Page 39: LESI FURKASI

Anatomi dari furkasi: Anatomi dari furkasi bentuknya kompleks.

Keberadaan dari ridge bifurkasi, konkavitas pada puncak/dome, dan kemungkinan

saluran tambahan tidak saja mengkomplikasi skeling, root planing, dan terapi

bedah, tetapi juga pemeliharaan periodontal. Odontoplasti untuk mengurangi ridge

ini mungkin diperlukan selama terapi bedah untuk hasil optimal.

Proyeksi enamel servikal: Proyeksi enamel servikal (CEP) dilaporkan

terjadi pada 8,6% sampai 28,6% molar. Prevalensi paling tinggi pada molar kedua

maksila dan mandibula. Besarnya CEP diklasifikasikan oleh Masters dan Hoskins

pada 1964. Contoh dari CEP Grade III terlihat pada Gambar 64-4. Proyeksi ini

bisa mempengaruhi pembuangan plak, mengkomplikasi skeling dan root planing,

dan bisa menjadi faktor lokal dalam perkembangan gingivitis dan periodontitis.

Semuanya harus dihilangkan untuk membantu pemeliharaan.

ANATOMI DARI LESI TULANG

Pola dari Hilangnya Attachment

Bentuk dari lesi tulang yang berasosiasi dengan furkasi bisa sangat

bervariasi. Hilangnya tulang horizontal bisa membuka furkasi sebagai plate

lingual/fasial tulang yang bisa benar-benar hilang selama resorpsi. Secara

alternatif, bagian-bagian dengan ledge tulang tebal bisa bertahan dan

mempengaruhi perkembangan furkasi dengan komponen-komponen vertikal

dalam. Pola hilangnya tulang pada permukaan lain dari gigi yang terpengaruh dan

gigi berdekatan juga harus dipertimbangkan selama rencana perawatan. Respon

perawatan pada kerusakan tulang di berbagai sisi berbeda dari yang terjadi pada

bagian-bagian hilangnya tulang horizontal. Kerusakan pada berbagai sisi tulang

39

Page 40: LESI FURKASI

dengan komponen-komponen vertikal interadikular dalam bisa menjadi kandidat

untuk terapi regeneratif. Secara alternatif, molar-molar dengan hilang attachment

lanjutan pada satu akar saja bisa dirawat dengan prosedur resektif.

TEMUAN-TEMUAN GIGI LAIN

Kondisi gigi dan periodontal dari gigi berdekatan harus dipertimbangkan

selama rencana perawatan untuk keterlibatan furkasi. Kombinasi dari keterlibatan

furkasi dan rapatnya akar dengan gigi berdekatan merepresentasikan

permasalahan sama yang terjadi pada furkasi tanpa pemisahan akar adekuat.

Temuan seperti ini bisa membantu pembuangan pada gigi yang paling

terpengaruh atau pembuangan akar (Gambar 64-5).

Adanya band gingiva adekuat dan vestibula ukuran sedang sampai dalam

akan membantu performa dari prosedur bedah jika diindikasikan.

PERAWATAN PADA KERUSAKAN FURKASI

Tujuan dari furkasi adalah untuk 1) membantu pemeliharaan, 2) mencegah

hilang attachment lebih lanjut, dan 3) obliterasi kerusakan furkasi sebagai masalah

pemeliharaan periodontal. Pemilihan bentuk terapi bervariasi menurut kelas

keterlibatan furkasi, luas konfigurasi dari hilangnya tulang, dan faktor-faktor

anatomi lain.

Terapi untuk kerusakan furkasi awal: Kelas I

Kerusakaan furkasi ringan atau awal (kelas I) cocok untuk terapi

periodontal konservatif. Karena saku pada suprabony dan belum furkasi, oral

higienis, skeling dan root planing masih efektif. Setiap margin overhanging tebal,

groove fasial, atau proyeksi enamel servikal harus dihilangkan dengan

40

Page 41: LESI FURKASI

odontoplasti, kontur ulang, atau penempatan kembali. Resolusi dari inflamasi dan

selanjutnya perbaikaan ligament periodontal dan tulang bisanya memadai untuk

merestorasi kesehatan periodontal.

Terapi untuk keterlibatan furkasi: Kelas II

Jika komponen horizontal pada furkasi telah berkembang (kelas II), terapi

menjadi lebih rumit. Keterlibatan horizontal dangkal tanpa hilang tulang vertikal

signifikan biasanya merespon bagus terhadap operasi flap terlokalisasi dengan

odontoplasti dan osteoplasti. Furkasi kelas II dalam terisolasi bisa merespon

terhadap prosedur flap dengan osteoplasti dan odontoplasti (Gambar 64-4, A dan

B). Ini menurunkan puncak dari furkasi dan mengubah kontur gingiva untuk

membantu pembuangan plak pasien.

Terapi untuk kerusakan furkasi lanjutan: Kelas II-IV

Perkembangan komponen horizontal signifikan pada satu atau lebih

furkasi dari gigi akar gabungan (Kelas II akhir, kelas III, dan kelas IV) dan/atau

perkembangan komponen vertikal yang dalam pad furca memiliki permasalahan

tambahan. Perawatan tanpa bedah secara umum tidak efektif karena kemampuan

untuk menggunakan instrumen pada permukaan gigi dengan bagus akan

terganggu. Bedah periodontal, endodonti, dan restorasi gigi mungkin diperlukan

untuk mempertahankan gigi.

TERAPI BEDAH UNTUK KETERLIBATAN FURKASI

Reseksi akar

Reseksi akar bisa diindikasikan pada gigi akar gabungaan dengan

keterlibatau furkasi grade II sampai IV. Reseksi akar bisa dilakukan pada gigi

41

Page 42: LESI FURKASI

vital atau gigi yang dirawat secara endodonti. Namun lebih dipilih untuk

menyelesaikan terapi sebelum reseksi akar. Jika hal ini tidak memungkinkan,

maka pulpa harus dibuang, patensi akar ditentukan, dan kamar pulpa diberi

medikasi sebelum reseksi. Merupakan hal yang berat untuk melakukan reseksi

akar vital dan selanjutnya menghadapi hal yang tidak diinginkan seperti perforasi,

fraktur akar, atau ketidakmampuan untuk instrumentasi saluran.

Indikasi dan kontraindikasi untuk reseksi akar disimpulkan oleh

Bassaraba. Secara umum, gigi yang direncanakan untuk reseksi akar harus

termasuk seperti berikut:

1. Gigi yang sangat penting untuk rencana perawatan gigi keseluruhan.

Contohnya gigi-gigi yang berperan sebagai gigi pegangan dari restorasi

cekat atau lepasan dimana hilangnya gigi tersebut akan menimbulkan

longgarnya prostesis dan memerlukan perawatan ulang prostesis.

2. Gigi yang memiliki attachment memadai untuk fungsi. Molar-molar

dengan tulang hilang tingkat lanjut pada zona interproksimal dan

interadikular, kecuali lesi memiliki tiga dinding tulang, bukan merupakan

kandidat untuk amputasi akar.

3. Gigi-gigi yang diperkiraan tidak laagi bisa menjalani metode terapi lain

atau metode terapi dengan biaya efektif. Contohnya gigi-gigi dengan

kerusakan furkasi yang sudah berhasil dirawat dengan endodonti namun

sekarang muncul dengan fraktur akar vertikal, tulang hilang lanjutan atau

karies pada akar tulang.

42

Page 43: LESI FURKASI

4. Gigi-gigi pada pasien dengan oral higienis bagus dan aktifitas karies

rendah merupakan kandidat yang tepat. Pasien yang tidak mampu atau

tidak ingin melakukan oral higienis bagus dan cara-cara preventif bukan

merupakan kandidat yang tepat untuk reseksi akar atau hemiseksi. Gigi

dengan reseksi akar memerlukan perawatan endodonti dan secara umum

memerlukan restorasi cast.

Terapi-terapi ini bisa merepresentasikan biaya investasi finansial besar

dari sisi pasien dalam usaha menyelamatkan gigi. Terapi-terapi alternatif dan

pengaruhnya pada rencana perawatan keseluruhan harus selalu dipertimbangkan

dan dikemukakan pada pasien.

Reseksi akar: Akar mana yang akan dibuang dan mengapa? Gigi

dengan kerusakan furkasi terisolasi pada segmen gigi penuh bisa memunculkan

sejumlah kecil masalah diagnosa. Namun, timbulnya kerusakan furkasi gabungan

dengan berbagai keparahan ketika dikombinasikan dengan periodontitis lanjutan

umum bisa menjadi rencana perawatan yang menantang. Diagnosa cermat

biasanya memungkinkan ahli terapi untuk menentukan kelayakan dari reseksi akar

dan indentifikasi akar mana yang akan dibuang sebelum pembedahan.

Berikut merupakan pedoman untuk menentukan akar mana yang harus

dibuang pada kasus-kasus ini:

1. Buang akar yang akan menghilangkaan furkasi daan memungkinkan

produksi dari arsitektur yang dapat dipertahankaan pada akar yang masih

tersisa.

43

Page 44: LESI FURKASI

2. Buang akar dengan jumlah hilang tulang dan attachment terbesar. Nyata

bahwa attachment periodontal yang memadai harus tersisa setelah

pembedahan agar gigi dapat menahan beban fungsional yang diberikan.

Gigi dengan hilangnya tulang horizontal sangat banyak bukanlah kandidat

untuk reseksi akar.

3. Buang akar yang paling berkontribusi untuk menghilangkan masalah-

masalah periodontal pada gigi berdekatan.*

4. Buang akar dengan jumlah masalah anatomi terbesar seperti kurvatur

parah, groove developmental, flute akar, atau saluran akar gabungan dan

tambahan.

5. Buang akar yang paling tidak menyulitkan pemeliharaan periodontal di

masa datang.

HEMISEKSI

Hemiseksi adalah pemisahan dari gigi dua akar menjadi dua bagian

terpisah. Proses ini telah disebut bicuspidisasi atau separasi karena mengubah

molar menjadi dua akar terpisah. Hal ini terutama dilakukan pada molar-molar

mandibula dengan keterlibatan furkasi Kelas II atau III bukal dan lingual. Seperti

dengan reseksi akar, molar dengan tulang hilang lanjutan paada zona

interproksimal dan interadikular bukanlah kandidat bagus untuk hemiseksi.

Setelah pemisahan gigi, satu atau kedua akar bisa dipertahankan. Keputusan ini

berdasarkan pada luas dan pola hilangnya tulang, bagian utama akar dan panjang

akar, kemampuan untuk menghilangkan kerusakan osseous, dan pertimbangan-

pertimbangan endodonti dan restoratif. Anatomi dari akar mesial dari molar-molar

44

Page 45: LESI FURKASI

mandibula sering menimbulkan ekstraksi dan retensi dari akar distal untuk

memfasilitasi endodonti dan restorative dentistry.

Dimensi interadikular antara kedua akar pada gigi yang akan menjalani

hemiseksi juga penting. Zona interadikular kecil bisa menyulitkan prosedur

bedah. Retensi dari kedua akar molar bisa menyulitkan restorasi gigi, karena

secara virtual tidak mungkin untuk menyelesaikan margin atau menyediakan

embrasure adekuat antara kedua akar untuk oral higienis efektif dan pemeliharaan.

Selanjutnya separasi orthodonti dari akar secara umum diperlukan agar terbentuk

restorasi dengan embrasure adekuat. Hasilnya bisa berupa perlunya prosedur

gabungan dan terapi interdisiplin yang luas. Pada pasien seperti ini ketersediaan

dari alternatif perawatan lain seperti regenerasi tulang penuntun atau penggantian

dengan implant dental osseointegrasi harus dipertimbangkan.

RESEKSI AKAR/PROSEDUR HEMISEKSI

Reseksi akar yang paling umum dilakukan adalah akar distobukal dari

molar pertama maksila. Reseksi ini bisa dilihat pada Gambar 64-11, A-F. Setelah

anestesi lokal yang tepat, flap mukoperiosteal tebal penuh di elevasi. Reseksi atau

hemiseksi gigi dengan hilangnya attachment lanjutan biasanya memerlukan

pembukaan flap fasial dan lingual/palatal. Bab 60 dari teks ini menggambarkan

proses elevasi flap. Merupakan hal yang tidak lazim untuk bisa melakukan reseksi

akar tanpa elevasi flap. Flap harus memberikan akses adekuat untuk visualisasi

dan instrumentasi dan untuk meminimalkan trauma selama operasi.

Setelah debridment, reseksi akar mulai dengan eksposure furkasi pada akar

yang akan dibuang (Gambar 64-11,A). Pembuangan dari sejumlah kecil tulang

45

Page 46: LESI FURKASI

fasial ataau palatal mungkin diperlukan untuk memberi akses bagi elevasi dan

membantu pembuangan akar (lihat Gambar 64-11,B). Pemotongan kemudian

diarahkan dari apikal ke titik kontak gigi, melalui gigi, ke mulut saluran fasial dan

distal dari furkasi (lihat Gambar 64-11,C). *

Jika reseksi akar vital akan dilaksanakan, disarankan pemotongan lebih ke

horizontal. Pemotongan miring membuk bagian permukaan besar pada pulpa

radikular dan/atau kamar pulpa gigi. Ini bisa menimbulkan rasa sakit setelah

operasi dan bisa mengkomplikasi performa endodonti. Pemotongan horizontal,

walaupun bisa mengkomplikasi pembuangan akar, memiliki komplikasi lebih

sedikit pasca operasi. Tunggul akar ini bisa dibuang dengan odontoplasty setelah

selesainya terapi endodonti atau pada saat preparasi gigi.

Setelah pemisahan, akar di elevasi dari soketnya (lihat Gambar 64-11,E).

Harus sangat cermat agar tidak menimbulkan trauma tulang pada akar yang tersisa

atau merusak gigi berdekatan. Pembuangan akar menghasilkan visibilitas ke aspek

furkasi dari gigi yang bertahan dan menyederhanakan debridement dari furkasi

dengan instrumen manual, rotari, ataupun ultrasonik. Jika perlu, odontoplasti

dilakukan untuk membuang bagian-bagian dari ridge developmental yang akan

mendorong retensi plak atau pembuangan plak yang berpengaruh buruk.

Pasien-pasien dengan periodontitis lanjutan secara umum menjalani

reseksi akar yang dilakukan bersamaan dengan prosedur bedah lainnya. Contoh

kombinasi reseksi akar dan bedah osseous periodontal terlihat pada Gambar 64-

12, A-1. Lesi tulang yang bisa muncul pada gigi berdekatan kemudian dirawat

menggunaakan terapi resektif dan regeneratif. Setelah reseksi flap kemudian

46

Page 47: LESI FURKASI

dirapatkan untuk menutupi setiap graft jaringan atau sedikit menutupi margin

tulang disekitar gigi. Jahitan kemudian ditempatkan untuk mempertahankan posisi

flap. Bagian ini bisa ditutupi atau tidak dengan dressing bedah.

Pembuangan akar merubah distribusi dari tekanan oklusal pada akar yang

tersisa. Selanjutnya bijaksana untuk mengevaluasi oklusi dari gigi tempat akar

telah di reseksi daan jika perlu untuk menyesuaikan oklusi. Penahan sentrik harus

dipertahankan, namun tekanan esentris harus dihilangkan dari bagian diatas akar

yang dibuang. Pasien dengan hilang attachment lanjutan bisa memperoleh

manfaat dari stabilisasi sementara dari akar yang di reseksi untuk mencegah

pergerakan (Gambar 64-13, A-I).

REGENERASI

Literatur periodontal telah mencatat dengan baik usaha-usaha terapeutik

yang didesain untuk menghasilkaan attachment baru dan/atau regenerasi pada

molar dengan kerusakan furkasi. Berbagai prosedur bedah yang menggunakan

berbagai material graft telah diuji pada gigi dengan berbagai kelas keterlibatan

furkasi. Sejumlah peneliti melaporkan keberhasilan klinis dengan teknik-teknik

ini, sebaliknya peneliti lain mengatakan bahwa penggunaan material ini pada

furkasi kelas II, III atau IV memberikan sedikit manfaat dibandingkan dengan

kelompok yang menjalani pembedahan.

Kerusakan furkasi pada tiga bagian sisi yang signifikan bisa menjadi

kandidat untuk prosedur regenerasi. Kerusakan tulang vertikal ini merespon bagus

pada berbagai prosedur bedah lain seperti debridement dengan dan tanpa

membran dan graft tulang.

47

Page 48: LESI FURKASI

EKSTRAKSI

Ekstraksi gigi kerusakan furkasi menyeluruh (kelas III dan IV) dan

hilangnya attachment lanjutan mungkin merupakan terapi paling tepat untuk

sejumlah pasien. Ini benar-benar terjadi pada individual yang tidak bisa atau tidak

mau melakukan kontrol plak adekuat, memiliki level aktifitas karies tinggi, tidak

komit dengan program pemeliharaan yang bagus, atau memiliki faktor-faktor

sosioekonomi yang bisa menghambat terapi yang lebih kompleks. Sejumlah

pasien enggan untuk menerima bedah periodontal atau bahkan membiarkan

pembuangaan gigi dengan keterlibatan furkasi lanjutan meskipun prognosis

jangka panjang buruk. *

PROGNOSIS UNTUK RESEKSI AKAR/HEMISEKSI

Selama bertahun-tahun keberadaan dari keterlibatan furkasi signifikan

benar-benar membuat gigi prognosis jangka panjang yang buruk. Namun

penelitian klinis telah mengindikasikan bahwa furkasi tidak separah komplikasi

yang diperkirakan jika bisa dilakukan mencegah perkembangan karies pada

furkasi. Terapi periodontal yang relatif sederhana sudah cukup untuk

mempertahankan gigi-gigi ini berfungsi dalam waktu lama. Para peneliti lainnya

mendefinisikan penyebab kegagalan klinis dari gigi yang menjalani reseksi akar

atau hemiseksi. Data mereka mengindikasikan bahwa penyakit periodontal

rekuren bukan merupakan penyebab utama kegagalan pada gigi-gigi ini. *

48

Page 49: LESI FURKASI

BUKU 3

PERAWATAN GIGI YANG MELIBATKAN FURKASI

Pemahaman mendetail tentang morfologi dari gigi akar gabungan dan

posisinya pada lengkung gigi merupakan prasyarat utama untuk pemahaman yang

baik pada permasalahan yang mungkin terjadi ketika gigi-gigi ini mengalami

penyakit periodontal destruktif.

ISTILAH

Root complex merupakan bagian gigi yang terletak apikal dari persambungan

cemento-enamel (CEJ)

Root trunk mendefinisikan bagian akar yang belum bercabang.

Root cone termasuk bagian dari akar yang sudah bercabang

Furcation merupakan daerah yang terletak antara root cone individual

Furcation entrance: daerah peralihan antara bagian akar yang belum memisah dan

sudah memisah.

Furcation fornix: atap dari furkasi

Divergence merupakan jarak antara dua akar; jarak ini biasanya meningkat pada

arah apikal.

Coefficient of Separation : panjang dari root cone berkaitan dengan panjang root

complex.

ANATOMI

Secara umum, molar pertama maksila lebih besar dari molar keduaa, yang

selanjutnya lebih besar daripada molar ketiga. *

49

Page 50: LESI FURKASI

Tiga tempat masuk furkasi dari molar pertama dan kedua maksila lebarnya

bervariasi dan terletak dengan beragam jarak apikal ke CEJ. Biasanya, molar

pertama memiliki bagian utama akar lebih pendek dibandingkan molar kedua.

Pada molar pertama tempat masuk furkasi mesial terletak 3 mm dari CEJ, sambil

bukal sebesar 3,5 mm dan tempat masuk distal 5 mm apikal dari CEJ. Ini

mengimplikasikan bahwa furcation fornix terinklinasi; pada bidang mesiodistal,

fornix secara komparatif dekat ke CEJ pada mesial namun lebih dekat ke apeks

pada permukaan distal. Tempat masuk furkasi bukal lebih sempit dibandingkan

bagian distal dan mesial yang berseberangan. *

Premolar maksila

Pada sekitar 40% kasus, premolar pertama maksila memiliki dua cone akar

– satu bukal dan satu palatal, dan furkasi mesiodistal. Konkavitas (kedalaman

sekitar 0,5 mm) sering muncul pada aspek furkasi dari akar bukal. Furkasi pada

berbagai kasus terletak pada bagian tengah atau pada sepertiga apikal dari root

complex (Gambar 29-6). Jarak rata-rata antara CEJ dan tempat masuk furkasi

adalah sekitar 8 mm. Lebar dari tempat masuk furkasi adalah sekitar 0,7 mm.

Molar-molar mandibula

Molar pertama mandibula lebih besar daripada molar kedua, yang

selanjutnya lebih besar daripada molar ketiga. *

Gigi-gigi lainnya

Furkasi bisa juga terjadi pada gigi-gigi yang biasanya memiliki satu akar.

Kenyataannya, insisivus dua akar (Gambar 29-9a), kaninus (Gambar 29-9b) dan

50

Page 51: LESI FURKASI

premolar mandibula bisa terbentuk. Kadang-kadang premolar maksila tiga akar

(Gambar 29-10a) dan molar mandibula tiga akar juga ditemukan.

DIAGNOSA

Keberadaan gigi dengan furkasi pada pasien periodontal akaan

mempengaruhi rencana perawatan. Pemilihaan prosedur yang akan digunakan

pada perawatan penyakit periodontal pada gigi akar gabungan pertama bisa dibuat

ketika keberadaan dan dalamnya lesi furkasi telah diperkirakan. Pada pemeriksaan

ini dapat digunakan cara-cara pengukuran penyakit periodontal bisa (lihat Bab 18)

namun harus diberikan perhatian terhadap temuan-temuaan klinis dari probing

klinis dan analisis radiografi dari bagian premolar-molar.

Deskripsi klasifikasi dari furkasi yang berlibat berdasarkan jumlaah

kerusakan jaringan periodontal yang telah terjadi pada bagian interadikular,

seperti tingkat “eksposure akar horizontal” atau hilangnya attachment yang terjadi

didalam root complex. Hamp dkk (1975) mengemukakan klasifikasi berikut pada

keterlibatan furkasi.

Tingkat I: hilangnya pendukung periodontal horizontal tidak lebih 1/3

lebar gigi

Tingkat II: Hilangnya pendukung periodontal horizontal melebihi 1/3 lebar

gigi, namun tidak mencakup lebar keseluruhan dari bagian furkasi.

Tingkat III: Kerusakan jaringan periodontal horizontal “ menyeluruh”

pada bagian furkasi.

51

Page 52: LESI FURKASI

Penting untuk memahami bahwa masing-masing tempat masuk furkasi

harus diperiksaan dan masing-masing tempat masuk harus diklasifikasikan

menurut kriteria diatas.

Probing

Tempat masuk furkasi bukal dari molar-molaar maksila dan tempat masuk

furkasi bukal dan lingual dari molar-molar mandibula biasanya dapat diakses

untuk pemeriksaan menggunakan probe periodontal lengkung (Gambar 29-12

a,b), eksplorer atau kuret kecil. Pemeriksaan dari furkasi aproksimal lebih sukar,

khususny ketika terdapat gigi di dekatnya. Bagian kontak besar antara gigi

semakin mengganggu akses ke tempat masuk furkasi aproksimal.

Pada molar-molar maksila, tempat masuk furkasi mesial terletak jauh lebih

dekat ke palatal daripada ke permukaan gigi bukal. Demikianlah, furkasi mesial

harus di probe dari aspek palatal gigi (Gambar 29-13). Tempat masuk furkasi

distal daari molar maksila secara umum terletak di bagian tengah antara

permukaan bukal dan palatal, dan, sebagai konsekuensi, furkasi ini bisa di probe

dari aspek bukal atau palatal gigi.

Pada premolar maksila, antomi akar sering sangat bervariasi. Akar-akar

juga bisa bentuknya tidak beraturan seperti furrow longitudinal, invaginasi atau

furkasi sesungguhnya, yang bisa membuka pada berbagai jarak dari CEJ. Karena

variasi diatas dan karena akses terbatas, perkiraan klinis dari keterlibatan furkasi

pada premolar maksil seringkali sukar. Pada sejumlah pasien, keterlibatan furkasi

bisa pertama kali teridentifikasi setelah elevasi dari flap jaringan lunak.

52

Page 53: LESI FURKASI

Radiografi

Radiografi harus selalu didapatkan untuk mengkonfirmasi temuan-temuan

yang dibuat selama probing dari gigi dengan furkasi. Pemeriksaan radiografi

harus termasuk pensejajaran dari radiografi “periapikal” dan “bite-wing”. Pada

radiogafi, lokasi dari tulang interdental serta level tulang didalam root complex

harus diperiksa (Gambar 29-14). Situasi-situasi ini bisa terjadi ketika temuan-

temuan dari probing klinis dan dari radiografi tidak konsisten. *

DIAGNOSA BANDING

Lesi pada ruang interdikular dari gigi akar gabungan bisa berasosiasi

dengan masalah-masalah yang berasal dari saluran akar atau bisa juga hasil dari

overload oklusal. Perawatan dari gigi dengan furkasi belum boleh dimulai sampai

dibuatnya diagnosa banding yang tepat dari lesi.

Pathosis pulpa kadang-kadang menyebabkan lesi pada jaringan dari

furkasi (lihat Bab 14). Bentuk radiografi dari kerusakan seperti ini bisa memiliki

sejumlah ciri yang sama dengan lesi furkasi yang berasosiasi dengan plak. *

Trauma dari oklusi

Tekanan-tekanan yang dihasilkan oleh gangguan-gangguan oklusal,

seperti pasien bruksim dan clencher bisa menyebabkan inflamasi dan kerusakan

jaringan atau adaptasi didalam bagian interadikular dari gigi akar gabungan. Pada

gigi seperti ini, radiolusensi bisa terlihat pada radiografi dari root complex. Gigi

bisa memperlihatkan bertambahnya mobilitas. Namun probing gagal mendeteksi

keterlibatan furkasi. Pada situasi khusus ini, penyesuaian oklusal harus selalu

mengikuti terapi periodontal. Jika kerusakan yang terlihat didalam root complex

53

Page 54: LESI FURKASI

berasal dari ‘oklusal’ gigi akan distabilisasi dan kerusakan hilang dalam beberapa

minggu setelah koreksi overload oklusal.

TERAPI

Perawatan dari kerusakan pada bagian furkasi dari gigi akar gabungan

ditujukan untuk memenuhi dua tujuan:

1. Menghilangkan plak mikroba dari permukaan root complex terbuka

2. Pembentukan anatomi dari permukaan yang terkena sehingga membantu

kontrol plak yang dilakukan sendiri secara tepat.

Direkomendasikan berbagai metode terapi:

Keterlibatan furkasi tingkat I

Terapi yang direkomendasikan: skeling dan root planing. Furkasi plasti

Keterlibatan furkasi tingkat II

Terapi yang direkomendasikan: furkasi plasti. Preparasi saluran. Reseksi akar.

Ekstraksi gigi. Regenerasi jaringan tertuntun pada mandibula.

Keterlibatan furkasi tingkat III

Terapi yang direkomendasikan: preparasi saluran. Reseksi akar. Ekstraksi gigi.

Skeling dan root planing

Skeling dan planing dari permukaan akar pada tempat masuk furkasi

tingkat I pada hampir seluruh situasi menghasilkan resolusi lesi inflamasi pada

gingiva. Penyembuhan akan menghasilkan kembali anatomi gingiva normal

dengan jaringan lunak diadaptasikan secara tepat ke dinding jaringan lunak dari

tempat masuk furkasi (Gambar 29-18a,b).

54

Page 55: LESI FURKASI

Furkasi plasti

Furkasi plasti (Gambar 29-19a-f) merupakan cara perawatan resektif yang

harus menghilangkan kerusakan interadikular. Substansi gigi dibuang

(odontoplasti) dan crest tulang alveolar menjalani remodel (osteoplasti) pada level

tempat masuk furkasi. Furkasi plasti terutama digunakan pada furkasi bukal dan

lingual. Akses permukaaan aproksimaal terlalu sedikit untuk perawatan ini.

Furkasi plasti mencakup prosedur berikut:

Diseksi dan refleksi jaringan lunak untuk mendapatkan akses ke bagian

interadikular dan struktur tulang sekelilingnya

Pembuangan jaringan lunak inflamasi dari bagian furkasi yang diikuti

dengan skeling dan root planing yang hati-hati pada permukaan akar

terbuka.

Pembuangan mahkota dan substansi akar pada bagian furkasi

(odontoplasti) untuk menghilangkan atau mengurangi komponen

horizontal dari kerusakan dan untuk memperlebar tempat masuk furkasi.

Kontur ulang crest tulang alveolar untuk mengurangi dimensi bukal-

lingual dari kerusakan tulang pada bagian furkasi.

Penempatan dan jahitan pada flap mukosal di level crest alveolar untuk

menutupi tempat masuk furkasi dengan jaringan lunak. Setelah

penyembuhaan jaringan seperti “papilla” harus menutup tempat masuk

furkasi.

55

Page 56: LESI FURKASI

Harus hati-hati ketika odontoplasti dilaksanakan pada gigi vital.

Pembuangan struktur gigi berlebihan akan menimbulkan resiko peningkatan

sensitifitas akar.

Preparasi saluran

Preparasi saluran merupakan suatu teknik yang digunakan untuk merawat

kerusakan furkasi tingkat II yang dalam dan tingkat III pada molar-molar

mandibula. Tipe dari terapi resektif ini bisa diberikan pada molar-molar

mandibula yang memiliki bagian utama akar pendek, sudut pemisahan lebar dan

divergensi panjang antara akar mesial dan distal. Prosedur termasuk eksposur

bedah dan penanganan dari bagian furkasi keseluruhan dari molar-molar yang

terkena. *

Separasi dan reseksi akar (RSR)

Separasi akar meliputi pemisahan dari akar kompleks dan pemeliharaan

seluruh akar. Reseksi akar meliputi pemisahan dan pembuangan satu atau dua

akar pada gigi akar gabungan.

RSR seringkali digunakan pada kasus-kasus molar dengan furkasi tingkat

II yang dalam dan furkasi tingkat III.

Sebelum pelaksanaan RSR, harus dipertimbangkan faktor-faktor berikut:

- Panjang dari bagian utama akar

- Divergensi antara cone akar

- Panjang dan bentuk cone akar

- Fusi antara cone akar

- Jumlah penyokong yang tersisa disekitar gigi individual

56

Page 57: LESI FURKASI

- Stabilitas akar individual

- Akses untuk peralatan oral higienis

Molar-molar maksila

Sejumlah keputusan harus dibuat ketika RSR direncanakan untuk molar

maksila dengan furkasi. Karena gigi-gigi ini memiliki tiga cone akar, satu satu dua

cone bisa dipertahankaan setelah separasi. Terdapat berbagai alternatif perawatan.

Sebelum RSR, morfologi dari akar-akar individual serta bagian

permukaaaan dari masing-masing akar harus dianalisa secara hati-hati.*

Premolar Maksila

Reseksi akar dari premolar pertama maksila hanya memungkinkan pada

sejumlah kecil keadaan karena anatomi dari root complex. Furkasi pada premolar

ini sering terletak pada level apikaal sehingga pemeliharaan dari satu akar tidak

ada tujuannya. Selanjutnya, pada hampir seluruh kasus, keberadaan dari

keterlibatan furkasi dalam tingkat II atau tingkat III pada premolar pertama

maksila memerlukan ekstraksi.

Molar-molar mandibula

Jika RSR harus diaplikasikan pada molar-molar mandibula dengan furkasi,

terdapat tiga alternatif perawatan:

1. Pisahkan kedua akar, namun pertahankan kedua akar (premolarisasi)

2. Pisahkan dan ekstraksi akar mesial

3. Pisahkan dan dan ekstraksi akar distal

57

Page 58: LESI FURKASI

Sekuen perawatan RSR

Jika karakteristik anatomi dan patologi dari akar kompleks dari gigi akar

gabungan telah diketahui, perawatan harus mengikuti rencana logis.

Perawatan endodonti

Jika gigi yang akan di reseksi vital atau jika tambalan saluran akar yang

tidak tepat ditempatkan pada gigi non-vital, RSR mulai dengan terapi endodonti.

Rubber dam bisa ditempatkan, dan kondisi optimal terbentuk untuk penanganan

penting (pembersihan dan pembentukan) pada saluran akar. Integritas struktural

dari akar harus dipertahankan dan jumlah dentin akar yang dibuang harus

minimal. Tambalan langsung dengan amalgam atau cured composite kimia dari

gigi yang dirawat secara endodonti harus dilaksanaakn sebelum RSR (Gambar 29-

30c). Masing-masing gigi harus memiliki retensi individual untuk restorasi yang

tidak boleh pecah atau lepas selama RSR, pembuangan dan reline dari restorasi

sementara, pencetakan dan trysin prostesis.

BUKU 4

PERAWATAN KERUSAKAN FURKASI KELAS II DENGAN

REGENERASI JARINGAN TERTUNTUN ATAU PROTEIN DERIVATIF

MATRIKS ENAMEL – STUDI KLINIS KOMPARATIF 12 BULAN

Baru-baru ini penggunaan protein derivatif matriks enamel (EMD) telah

diperkenalkan sebagai suatu perawatan alternatif untuk regenerasi periodontal.

Namun, efek-efek klinis pada furkasi Kelas II manusia masih belum banyak

diteliti.

58

Page 59: LESI FURKASI

Tujuan studi ini adalah untuk membandingkan hasil-hasil klinis yang

didapat untuk furkasi Kelas II yang dirawat dengan regenerasi jaringan tertuntun

(GTR) dengan yang didapat dari aplikasi EMD.

Dua puluh pasang furkasi mandibula Kelas II dirawat pada 10 pasien tidak

merokok diamati pada studi ini. Masing-masing kerusakan dirawat secara acak

dengan membran e-PTE (GTR) atau dengan EMD. Setelah terapi awal, dilakukan

pencatatan dasar, termasuk kedalaman probing (PD) dan level attachment klinis

relatif (CAL-R). Pengukuran jaringaan keras dilakukan selama bedah untuk

menentukan level kerusakan tulang vertikal (BDL-V) dan horizontal (BDL-H).

Pada prosedur entri ulang, dievaluasi kembali pengukuran jaringan lunak dan

keras.

Kedua prosedur menghasilkan reduksi PD signifikan secara statistik dan

pencapaian paad CAL-R tanpa perbedaan signifikan antar kedua kelompok.

Resolusi BDL-V signifikan pada kedua kelompok (GTR: 2,5 ±1,14 mm dan

EMD: 1,5 ±0,77 mm), serta resolusi BDL-H (GTR: 3,3 ±1,82 mm dan EMD: 2,2

±1,75 mm), tanpa perbedaan signifikan pada kedua kelompok.

Berdasarkan hal ini, terapi GTR dan EMD bisa direkomendasikan untuk

perawatan furkasi Kelas II, yang menghasilkaan perbaikan jaringan lunak dan

keras dengn jumlah sama. Namun, jika teknik GTR memberikan hasil lebih baik

secara numerik pada parameter jaringan lunak, ini sepertinya memberikan sedikit

manfaat pada prosedur ini ketikaa terdapat kerusakan.

59

Page 60: LESI FURKASI

PENDAHULUAN

Lesi furkasi berasosiasi dengan peningkatan resiko hilangnya attachment

jaringan penghubung secara berkelanjutan, resorpsi tulang alveolar, dan mortalitas

gigi, (Bjorn dan Hjort, 1982; Becker dkk, 1984) yang merepresentasikan salah

satu tantangan terbesar pada terapi periodontal. Penanganan bedah memberikan

akses untuk debridement akar dan dekontaminasi, odontoplasti, kontur ulang

osseous dan regenerasi periodontal. Prosedur ini bertujuaan untuk menghambat

proses penyakit, perlindungan attachment periodontal yang masih ada dan yang

terpenting – pada kasus terapi regeneratif adalah pembentukan tulang alveolar

baru, cementum baru dan serat ligament periodontal baru yang dimasukkan secara

fungsional.

Hasil bagus dari perawatan kerusakan furkasi secara klinis didefinisikan

dengan penghilangan komponen-komponen kerusakan horizontal dan vertikal

dengan pengisian tulang. Namun evaluasi histologis merupakan satu-satunya cara

untuk verifikasi regenerasi periodontal, yang berarti pembentukan jaringan

periodontal baru diatas permukaaan akar yang sebelumnya terkontaminasi. Karena

bukti histologis untuk keberhasilan perawatan kerusakan furkasi tidak viable

untuk percobaan klinis terkontrol, setiap perubahan pada pengukuran tulang

langsung (pada pembedaaan dan entri ulang) telah dipahami sebagai variabel

primer untuk mengevaluasi keberhasilan klinis. Pengisian tulang yang terlihat

pada prosedur entri ulang menunjukkan regenerasi periodontal dari bagian yang

terlibat, serta perubahan pada level attachment klinis, reduksi kedalaman probing

dan perbaikan radiografi.

60

Page 61: LESI FURKASI

Regenerasi jaringan tertuntun (GTR), dengan menggunakan membran

expanded polytetrafluorethylene (e-PTFE), telah diterima sebagai prosedur yang

berhasil untuk perawatan kerusakan furkasi tingkat sedang (Kelas II). Observasi

klinis setelah penggunaaan material penghambat ini membuktikan kemampuannya

membuat ligament periodontal dan sel-sel tulang untuk mengisi kembali secara

selektif ruang terisolasi, yang menghasilkan pembentukan apparatus attachment

baru. Studi-studi klinis juga mendukung efektifitas dari terapi GTR pada

perawatan kerusakan furkasi Kelas II dengan cara reduksi saku, pencapaian pada

level attachment klinis dan pengisian kerusakan tulang.

Namun, prosedur ini memiliki kelemahan: ini merupakan teknik sensitif

dan memerlukan tingkat keahlian pembedahan yang tinggi (Parodi dkk 2000).

Disamping itu bisa terjadi permasalahan yang berkaitan dengan kolonisasi bakteri

pada membran terbuka yang bisa berpengaruh buruk pada hasil dari terapi

regeneratif (Bower dkk, 2003).

Baru-baru ini, penggunaan protein derivatif matriks enamel (EMD) – yang

mudah diaplikasikan berupa gel – diperkenalkan sebagai alternatif perawatan baru

bagi regenerasi periodontal (Hammarstrom, 1997). Telah dikatakan bahwa

aplikasi dari protein ini pada permukaan akar yang sebelumnya terkontaminasi

menimbulkan regenerasi periodontal, yang menyerupai kejadian yang berlangsung

selama perkembangan jaringan periondontal. Studi morfologi telah

memperlihatkan bahwa sel-sel dari pelindung akaar epiteliel Hertwig, yang

merupakan perluasan dari organ dental pembentuk enamel, memiliki fase eksresi

selama protein matriks berkaitan dengan enamel di sekresi dan secara temporer

61

Page 62: LESI FURKASI

terdeposit kedalam permukaan akar yang memberikan langkah awal penting

dalam pembentukaan cementum aselular (Hammarstrom, 1997). Selanjutnya, sel-

sel yang dekat ke permukaan akar sepertinya membawa pesan tidak saaja untuk

membentuk cementum acellular tetapi juga ligament periodontal yang berkaitan

dan tulang alveolar (Andreasen, 1981; Hoffman, 1960). Analisis histologis dari

kerusakan interproksimal pada kera (Sculean dkk 2000), serta biopsi manusia

(Heijl, 1997), setelah aplikasi EMD memperlihatkan pembentukan cementum

baru dengan insersi serat kolagen pada permukaan akar yang sebelumnya

mengalami gangguan. Aplikasi EMD pada perawatan kerusakan intrabony pada

percobaan klinis juga menghasilkaan attachment baru signifikan. Namun, efek

klinis pada keterlibatan furkasi tingkat II msih memerlukan investigasi.

Selanjutnya, tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan hasil-hasil klinis

yang didapat untuk furkasi kelas II yang dirawat dengan terapi GTR,

menggunakan membran e-PTFE, dengan yang didapatkan dari aplikasi EMD.

PEMBAHASAN

Hasil dari percobaan klinis acak terkontrol ini mengindikasikan bahwa

perawatan kerusakan furkasi Kelas II dengan GTR atau EMD bisa menimbulkan

reduksi signifikan secara statistik pda PD dan pencapaiaan CAL-R pada

pemeriksaan satu tahun setelah pembedahan. Tidak ditemukan perbedaan

signifikan secara statistik pada parameter klinis antaara kedua kelompok setelah

periode evaluasi.

Walaupun perbedaaan pada perbaikan jaringan lunak antara kedua

percobaan sepertinya sering pada kerusakan furkasi, lebih banyak pada kerusakan

62

Page 63: LESI FURKASI

intrabony, perbaikan yang tampak pada studi ini sesuai dengan data klinis

sebelumnya setelah terapi GTR, yang mengkonfirmasikan hasil-hasil regeneratif

bagus yang diperoleh dengan prosedur ini dalam perawatan kerusakan furkasi

mandibular Kelas II. Disamping itu, perubahan-perubahan jaringan lunak yang

terlihat disini juga lebih besar dari yang dicapai dengan debridement flap terbuka

ketika digunaakan sebagai kelompok kontrol pada studi terapi GTR, yang

memperlihatkan manfaat tambahan pada kedua teknik regeneratif dalam studi ini.

Eksposure bedah dan entri ulang merupakan satu-satunya cara untuk

mengkonfirmasikan tingkat penutupan kerusakan, walaupun regenerasi hanya

dapat dikonfirmasi dengan bukti histologis. Pengukuran jaringan lunak saja bisa

tidak tepat, jika attachment jaringan penghubung kuat lebih menghambat penetrasi

probe daripada pengisian furkasi. *

Menurut observasi klinis dan hasil studi ini, bisa dikatakan bahwa EMD

berperan khususnya pada permukaan akar, yang memodifikasi proses

penyembuhan secara lokal dan menciptakan lingkungan kondusif untuk

pembentukan cementum. Hal ini bisa menimbulkan pembentukan attachment baru

dan selanjutnya menghasilkan reduksi PD dan pencapaian CAL-R, namun tidak

selalu berkaitan dengan perbaikan level tulang baru. *

KESIMPULAN

Menurut hasil-hasil dari studi ini, terapi GTR dan EMD berhasil dalam

perawatan lesi furkasi Kelas II manusia, yang menghasilkan perbaikan pada

jaringan lunak dan keras. Namun, teknik GTR secara numerik lebih baik pada

parameter jaringan keras setelah evaluasi 12 bulan, walaupun perbedaan-

63

Page 64: LESI FURKASI

perbedaan tidak signifikan secara statistik. Demikianlah, penggunaan kedua terapi

bisa direkomendasikan untuk perawatan kerusakan furkasi Kelas II, dengan

memiliki manfaat lebih banyak untuk GTR.

BUKU 5

REGENERASI JARINGAN TERTUNTUN PADA PERAWATAN

FURKASI TINGKAT II PADA MOLAR MAKSILA

Abstrak. Percobaan klinis ini di desain untuk mengevaluasi efek klinis

dari GTR pada perawatan kerusakan furkasi tingkat II pada molar-molar maksila.

28 pasien usia 21 sampai 59 tahun, dirujuk untuk perawatan penyakit periodontal

lanjutan ikut dalam studi ini. Mereka memperlihatkan lesi periodontal sama pada

bagian molar maksila kiri dan kanan, namun hanya memiliki satu permukaan yang

memperlihatkan keterlibatan furkasi. Total 28 pasang kerusakaan furkasi

kontralateral tingkat II yang termasuk 18 pasang interproksimal (10 mesial, 8

distal) dan 10 pasang bukal, terdapat pada studi ini. Setelah selesainya terapi

awal, molar dengan furkasi pada kuadran kiri dan kanan pada masing-masing

pasien ditempatkan secara acak pada prosedur perawatan tes dan kontrol. Setelah

elevasi flap, skeling, root planing dan pembuangan jaringan granulasi, membran

ePTFE pada bagian tes disesuaikan untuk mencakup tempat masuk pada

kerusakan furkasi dan tulang berdekatan dan dipertahankan pada posisi ini dengan

jahitan sling. Flap mukoperiosteal selanjutnya disesuaikan dan ditempatkan untuk

menutupi seluruh permukaan dari membran dan dipertahankan pada posisinya.

Prosedur bedah identik dilakukan pada bagian gigi kontrol dengan pengecualian

pada penempatan membran teflon. Tidak digunakan dressing periodontal. Mulai

64

Page 65: LESI FURKASI

satu hari sebelum operasi dan berlanjut selama 7 hari, pasien menerima 1+1 g

amoksisilin perhari; pagi dan malam. Jahitan dilepas setelah 10 hari. Pada bagian

tes, membran dilepas setelah 6 minggu penyembuhan. Bagian yang dirawat

menjalani pemeriksaan dan prosedur entry ulang dilakukan 6 bulan setelah terapi

rekonstruktif. Debridement flap terbuka pada furkasi maksila tingkat II

menimbulkan sejumlah resesi gingiva dan reduksi kedalaman probing, namun

tidak terjadi perubahan dalam parameter yang menggambarkan attachment

probing atau level tulang. Penambahan GTR pada furkasi bukal memperbagus

hasil perawatan dengan mendorong attachment probing dan pencapaian tulang dan

mengurangi jumlah resesi jaringan lunak diatas bagian yang sudahh diselesaikan

dengan debridement flap. Tidak terlihat manfaat dari terapi membran pada furkasi

mesial dan distal.

Pada pasien dengan bentuk periodontitis lanjutan, molar dengan

keterlibatan furkasi memperlihatkan masalah khusus. Terapi non resektif yang

ditujukan untuk reduksi saku, pencapaian attachment, perbaikan atau regenerasi

pada gigi-gigi seperti ini sering gagal dan prognosis jangka panjang dari molar

yang terlibat secara periodontal sangat meragukan. Terapi resektif, termasuk

hemiseksi, reseksi akar dan “tunnelisasi” bisa menambah hasil terapi furkasi

namun seringkali memerlukan cara-cara endodonti dan restoratif yang bisa

menghambat prognosis jangka panjang. Lebih lanjut, reseksi akar dari molar-

molar maksila pada sejumlah studi memberikan keberhasilan kecil. Usaha-usaha

telah dilakukan untuk regenerasi lesi-lesi furkasi dengan penggunaan cara-cara

tambahan seperti (a) pengkondisian akar, (b) penempatan graft dari tulang atau

65

Page 66: LESI FURKASI

substitusi tulang, (c) penanganan novel dari flap jaringn lunak, dan (d) teknik-

teknir yang menggunakan barrier membran (regenerasi jaringan tertuntun: GTR)

yang ditempatkan antara flap primer, furkasi dan kerusakan osseous. Studi

terhadap manusia telah melaporkan berbagai keberhasilan setelah GTR pada

perawatan kerusakan furkasi tingkat II dan III pada molar-molar mandibula

(Becker dkk 1988) dan terdapat sedikit informasi berkaitan dengan jenis

perawatan ini pada molar-molar maksila.

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi efek klinis dari regenerasi

jaringan tertuntun pada perawatan kerusakan furkasi tingkat II pada molar-molar

maksila manusia.

Perawatan

Bedah rekonstruktif

Setelah incisi sulcus, flap mukoperiosteal dinaikkan pada aspek bukal dan

palatal dari molar-molar maksila dan premolar berdektan pada sextant. Jaringan

granulasi dibuang dan permukaan akar terbuka menjalani debridasi dan planing

yang hati-hati. Dengan penggunaan probe periodontal standar, pengukuran dicatat

pada pusat kerusakan furkasi terbuka.

A) Jarak (pada arah apiko-koronal) antara CEJ dan crest tulang (CEJ-BC).

B) Jarak (pada arah apiko-koronal) antara CEJ dan basis kerusakan osseous

(CEJ-BD)

C) Jarak ‘horizontal’ antara level puncak dari dua akar dan level tulang pada

pusat kerusakan furkasi (level tulang probing horizontal: HPBL)

66

Page 67: LESI FURKASI

D) Tinggi dan lebar tempat masuk dari kerusakan furkasi: tempat masuk

dianggap memiliki bentuk segitiga dan diperkirakan bagian permukaan

(mm2).

Setelah perkiraan parameter diatas, membran e-PTFE pada bagian tes

disesuaikan untuk menutupi tempat masuk ke furkasi rusak dan tulang berdekatan

dan dipertahankan pada posisi ini dengan jahitan sling. Flap mukoperiosteal

selanjutnya disesuaikan daan ditempatkan untuk mencakup seluruh permukaan

dari membran dan dipertahankan pada posisi tersebut dengan jahitan

interproksimal dan jahitan sling. Prosedur bedah identik dilaksanakan pada bagian

gigi kontrol dengan pengecualian pada penempatan membran teflon.

Tidak digunakan dressing periodontal. Mulai sehari sebelum pembedahan

dan berlanjut 7 hari, pasien menerima 1+1 g amoksisilin/hari, pagi dan malam.

Mereka diinstruksikan untuk membilas 2x sehari, selama 4 minggu dengan larutan

chlorheksidine gluconate. Jahitan dilepas setelah 10 hari. Pada bagian tes,

membran dibuang setelah 6 minggu penyembuhan dengan menggunakan teknik

dan prosedur follow-up yang digambarkan oleh Pontoriero dkk (1988).

Pemeliharaan

Selama periode 6 bulan penyembuhan setelah pembedahan, pasien

dipertahankan dalam program kontrol plak yang termasuk pembersihan gigi

profesional setiaap minggu ke 2 (Axelsson & Lindhe 1974).

Pemeriksaan ulang dan operasi entri ulang

Pasien diperiksa kembali 6 bulan setelah pembedahan. Perubahan jaringan

lunak diteliti dengan memperkirakan parameter sama yang dicatat pada awal

67

Page 68: LESI FURKASI

pemeriksaan. Operasi entri ulang juga dilaksanakan untuk mengulangi

pengukuran yang dibuat selama bedah rekonstruktif.

Pembahasan

Investigasi ini memperlihatkan bahwa pada pasien dengan oral higienis

bagus, debridement flap terbuka pada furkasi maksila tingkat II menimbulkan

sejumlah resesi gingiva dan reduksi kedalaman probing namun tidak terjadi

perubahan pada parameter yang menggambarkan attachment probing atau level

tulang. Penambahan GTR pada furkasi bukal mendorong hasil perawatan dengan

mempromosikan attachment probing dan pencapaian tulang dan mengurangi

jumlah resesi jaringan lunak diatas bagian yang sudah menjalani debridement.

Tidak terlihat adanya manfaat terapi pada furkasi mesial dan distal. Pada konteks

ini, harus ditekankan bahwa pada percobaan ini, molar-molar maksila diseleksi

sehingga memperlihatkan satu permukaan tunggal dengan keterlibatan furkasi,

dan penanganan flap tidak dikomplikasi. Namun, hanya tiga kerusakan ( 2 bukal

dan 1 mesial, Gambar 7) sembuh dengan pengisian tulang menyeluruh.

Temuan-temuan yang dilaporkan pada studi ini juga cocok dengan yang

sebelumnya dilaporkan oleh Metzler dkk (1991). Mereka mengevaluasi terapi

GTR pada 17 pasien dengan paling tidak satu pasang molar makisla dengan

keterlibatan furkasi tingkat II. Masing-masing pasien pertama menyelesaikan fase

terapi awal yang termasuk instruksi oral higienis, dan debridement subgingiva

setelah dicapainya skor plak rendah. 12 pasang bukal dan 5 pasang interproksimal

yang rusak selanjutnya dirawat dengan debridement flap terbuka saja atau

kombinasi dengan penggunaan membran e-PTFE. Seluruh pasien menerima

68

Page 69: LESI FURKASI

doxycycline selama 21 hari setelah operasi, dibilas dengan chlorheksidine 0,12%

dan menerima pembersihan profesional secara reguler. Membran dibuang setelah

4-6 minggu dan pasien diperiksa kembali setelah 6 bulan. Tidak terdapat

perbedaan signifikan yang terlihat berkaitan dengan resesi jaringan lunak, reduksi

kedalaman saku probing, perubahan attachment probing atau resorpsi dari crest

tulang antara prosedur tes dan kontrol. Pada ahli menyimpulkan bahwa prosedur

GTR memiliki “aplikasi terbatas sebagai modalitas perawatan untuk furkasi kelas

II dari molar-molar maksila.

Temuan-temuan pada studi ini merupakan variant dari data yang

sebelumnya dilaporkan oleh Pontoriero dkk (1988) dari perawatan furkasi tingkat

II pada molar-molar mandibula manusia. Mereka memaparkan bukti bahwa terapi

GTR pada kerusakan seperti ini (i) hampir seluruh bagian menimbulkan resolusi

menyeluruh pada keterlibatan furkasi, (ii) jumlah rata-rata pencapaian attachment

probing adalah 4,1 mm untuk furkasi bukal dan 2,9 mm untuk lingual. Temuan-

temuan yang sama selanjutnya dikemukakanoleh Becker dkk (1988) yang

menemukan pencapaian rata-rata 2,3 mmm pada furkasi mandibula dan Lekovic

dkk (1989) yang pada entri ulang memperoleh pencapaian attachment probing 2,9

mm untuk bagian-bagian yang dirawat dengan GTR. Pada studi ini, hanya

didapatkan perbaikan level attachment sangat kecil setelah perawatan GTR.

Demikianlah, pencapaian rata-rata dari attachment probing bervariasi antara 1,5

mm (bukal) dan 0,5 mm (distal) pada bagian-bagian yang dirawat dengan GTR

dan sekitar 0,1-0,2 m pada bagian-bagian kontrol. Level pencapaian attachment

setelah GTR hanya 40-50% dari yang dilaporkan pada molar-molar mandibula

69

Page 70: LESI FURKASI

namun sangat cocok dengan data dari molar-molar maksila. Demikianlah, Metzler

dkk (1991) menemukan pencapaian attachment keseluruhan 0,1 mm pada bagian

maksila yang dirawat dengan GTR dan 0,2 mm pada bagian kontrol.

Alasan untuk hasil berbeda pada terapi GTR pada kerusakan furkasi

maksila dan mandibula sepertinya berkaitan dengan anatomi dari kerusakan,

keberadaan groove dalam pada permukaan akar dari furkasi maksila, akses

terbatas untuk debridement permukaan akar, dan jumlah periodontium yang

tersisa yang mengarah pada bagian rusak.

Furkasi yang dirawat pada studi ini memiliki bagian tempat masuk rata-

rata antara 4,5 mm2 (furkasi bukal) dan 5,5-5,8 mm2 (mesial dan distal).

Perbedaan rata-rata utmaa antara material ini dan yang dikemukakan oleh Metzler

dkk adalah kedalaman keterlibatan furkasi. Demikianlah, pada furkasi kelas II,

dimensi CEJ-BC dan CEJ-BD juga lebih besar dari 1 mm sebelum operasi

dibandingkan kerusakan yang dirawat oleh Metzler dkk (1991). Ini bisa

mengimplikasikan bahwa dalamnya kerusakan, paling tidak diatas level tertentu,

tidak berpengaruh besar pada penyembuhan.

BUKU 6

STUDI KOMPARATIF DARI DERIVATIF MATRIKS ENAMEL

DENGAN DAN TANPA GTR PADA PERAWATAN LESI FURKASI

KELAS II PADA ANJING

Lesi furkasi kelas II kronis diciptakanpada empat ekor anjing. Setelah 21

hari, kelompok satu menjadi kontrol, kelompok 2 dirawat dengan membran dan

derivatif matriks enamel (EMD), dan kelompok 3 menerima EMD sama.

70

Page 71: LESI FURKASI

Penyembuhan pada kelompok 1 bercirikan dengan epitelium persambungan

panjang dan pembentukan tulang terpisah; kelompok 2 memperlihatkan

penurunan pembentukan tulang; dan kelompok 3 memperlihatkan regenerasi

tulang signifikan (bagian tulang baru = 67,36%±3,93%; jarak dari akar furkasi ke

crest tulang = 0,57±0,15 mm). level EMD menimbulkan regenerasi signifikan

pada lesi furkasi, dan hubungan dengan membran buruk.

Tujuan dari perawatan periodontal adalah untuk menurunkan dan

mengontrol proses inflamsi untuk attachment jaringan penghubung baru, atau

bahkan regenerasi struktur periodontal yang hilang karena penyakit periodontal.

Perawatan dari lesi furkasi tergantung pada tingkat keterlibatan. Perawatan klasik

untuk kelas II dan III adalah perbaikan furkasi dan preparasi saluran atau reseksi

akar. Metode bedah konvensional ini tidak menghasilkan perbaikan jaringan

periodontal keseluruhan dengan pembentukan cementum baru dan insersi jaringan

penghubung pada permukaan akar yang sebelumnya rusak, tidak juga

menghasilkan tulang alveolar baru. Perbaikan tidak menyeluruh biasanya

disebabkanoleh migrasi apikal dari epitelium persambungan dan/atau kolonisasi

baktei pada bagian subgingiva.

Dengan kemajuan teknik regeneratif, konsep baru perawatan periodontal

berdasarkan prinsip-prinsip seleksi seluler, regenerasi jaringan tertuntun (GTR),

memungkinkan perawatan gigi dengan lesi furkasi dengan metode bedah lebih

konservatif. GTR dianggap memiliki kemungkinan terbaik untuk keberhasilan

ketika diaplikasikan pada molar-molar mandibula dengan lesi furkasi Kelas II.

Banyak peneliti melaporkan pencapaian pada attachment klinis vertikal, dengan

71

Page 72: LESI FURKASI

penutupan keseluruhan pada furkasi sampai 67% kasus dengan menggunakan

bebagai tipe barrier mekanis yang dari polytetrafluorethylene, kolagen, cellulose,

dan polylactic acid.

Protein yang diambil dari matriks enamel (EMD) diperkenalkan sebagai

metode baru perawatan untuk regenerasi periodontal. Studi-studi histologis pada

binatang dan manusia memperlihatkan bahwa EMD menstimulasi pembentukan

lapisan baru cementum aselular, dengan insersi serat kolagen dan tulang alveolar

baru. Studi radiografi juga memperlihatkan bahwa aplikasi dari protein ini pada

kerusakan periodontal intrabony menimbulkan pencapaian signifikan pada

attachment klinis dan regenerasi tulang. Studi klinis melaporkan bahwa perawatan

dengan EMD mengurangi kedalaman probing 3,1 sampai 4,3 mm dan peningkatan

attachment 2,1 sampai 3,3 mm pada kerusakan periodontal intrabony dengan dua

dan/atau tiga dinding. Tidak adanya reaksi buruk, seperti reaksi alergi, abses, atau

inflamasi akut, mengindikasikan potensi imunologi rendah dari material ini ketika

digunakan pada bedah periodontal rekonstruktif. Namun, konsistensi semi liquid

dari gel merupakan faktor pembatas untuk penggunaan pada kerusakan

periodontal yang lebar atau dalam karena tekanan yang diberikan oleh flap tidak

menciptakan ruang adekuat untuk pembentukan tulang baru dan pengisian penuh

pada kerusakan tulang. Kapasitas dari EMD untuk menghambat pertumbuhan

apikal dari epitelium persambungna, salah satu kondisi dasar untuk regenerasi,

belum terlihat secara adekuat.

72

Page 73: LESI FURKASI

Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisa, secara histomorfometrik

pada anjing, efektifitas dari EMD untuk menimbulkan regenerasi jaringan

periodontal pada lesi furkasi Kelas II, dengan dan tanpa GTR.

Pembahasan

Studi eksperimental dengan EMD menunjukkan aplikasinya pada

regenerasi kerusakan periodontal menghasilkan pembentukan signifikan pada

cementum, ligament periodontal, dan tulang, sama dengan yang didapat dengan

GTR. Namun, asosiasi dari EMD dengan GTR tidak memberikan hasil lebih baik

pada regenerasi kerusakan intrabony.

Mekanisme mendapatkan regenerasi periodontal dengan GTR didasarkan

pada prinsip penghilangan sel-sel epiteliel dan penghubung dari jaringan gingiva.

Penempatan dari membran antara bagian pembedahan dan flap memberikan

perlindungan untuk pembentukan gumpalan darah dan penyatuan ke permukaan

akar, dengan menghindari migrasi apikal dari epitelium persambungan.

Penempatan dari membran juga melindungi ruang untuk migrasi koronal dari sel-

sel ligament periodontal dan sel-sel endosteal dari basis kerusakan, yang penting

untuk terjadinya pertumbuhan tulang koronal signifikan. Studi ini memperlihatkan

tidak adanya migrasi epitelium persambungan pada kerusakan dalam kelompok 2

dan 3, yang bisa dijelaskan dengan daya cytostatik dari EMD pada sel-sel

epiteliel, atau dengan sifat mekanis dari membran yang dikemukakan diatas.

Menurut Kawase dkk, EMD berperan pada sel-sel epiteliel sebagai agen

antiproliferatif, namun tanpa daya citotoksis, dengan memberi penilaian pada

73

Page 74: LESI FURKASI

observasi klinis bahwa aplikasi dari EMD mencegah migrasi apikal dari epitelium

persambungan.

Pada tujuh bagian yang dianalisa pada kelompok 1 (kontrol), empat

mengalami migrasi apikal. Epitelium persambungan pada bagian-bagian lain

hanya terlihat pada bagian bukal di dekat bagian yang digunakan untuk analisis

morphometrik. Sebuah studi melaporkan variasi signifikan dari migrasi epitelium

persambungan pada kelompok kontrol, yang diukur dengan ekstensi bukolingual.

Sama dengan studi ini, bagian-bagian histologis pada bagian paling sentral dari

kerusakan, dan jarak tertentu dari persambungan cemento enamel (CEJ): seperti

diharapkan, berdasarkan variasi pada migrasi yang dicatat diatas, epitelium tidak

terlihat pada sejumlah bagian.

Analisis histologis dan histomorphometrik dari pembentukan tulang baru

memperlihatkan persentase tulang baru yang tinggi untuk kelompok 3 (67,36%),

yang jauh lebih besar daripada kelompok 1 (31,65%) dan kelompok 2 (28,49%).

Dengan mempertimbangkan regenerasi tulang maksimum merepresentasikan 80%

bagian furkasi total ketika mengurangi ketebalan rata-rata 0,3 mm, nilai yang

didapatkan untuk kelompok 3 hampir sama dengan regenerasi tulang lengkap.

Dengan menganalisa jarak dari crest tulang ke atap furkasi, kelompok 3 memiliki

nilai terendah, yang berbeda secara statistik dari kelompok 1 dan 2. Ini sesuai

dengan persetujuan dengan data persentase tulang baru.

Dengan mempertimbangkan bahwa efektifitas dari membran nonresorpsi

saja pada regenerasi lesi furkasi Kelas II pada anjing telah dicatat, termasuk studi

dari teknisi labor, dan penggunaan EMD saja sepertinya efektif, seperti terlihat

74

Page 75: LESI FURKASI

pada studi ini, bisa dikatakan bahwa permasalahan berkaitan asosiasi GTR dan

EMD. Studi dari lesi periodontal intrabony dan lesi furkasi Kelas III pada kera

memperlihatkan bahwa perawatan dengan GTR, dengan menggunakan membran

resorbable, dan dengan EMD menimbulkan regenerasi periodontal; gabungan dari

kedua perawatan ini tidak memberikan hasil lebih baik. Kenyataannya, terdapat

lebih sedikit pembentukan tulang dengan GTR dan dengan EMD+GTR ketika

terdapat eksposure membran. Pada studi ini, penggunaan membran nonresorbable,

juga terdapat eksposure membran, yang bisa mempengaruhi hasil-hasil dari

kelompok ini, walaupun tidak terdapat migrasi epiteliel dari inflamasi. Terdapat

jaringan penghubung padat, cementum baru, dan attachment jaringan

penghubung. Dengan mempertimbangkan bahwa tinggi dari vorteks furkasi

premolar pada binatang-binatang ini sama dengan CEJ, pembukaan kecil pada

membran bisa menjadi faktor penentu dalam pembentukan tulang baru pada

kelompok 2. Juga penting untuk mempertimbangkan bahwa pembentukan

gumpalan darah dan selanjutnya jaringan granulasi, keduanya penting untuk

keberhasilan GTR, bisa diubah dengan pengisian kerusakan dengan EMD. Studi

lebih lanjut harus mengevaluasi pengaruh dari EMD+GTR pada penyembuhan

awal dan selama fase maturasi tulang yang baru terbentuk. Ini akan

mengkonfirmasikan apakah pada studi ini terjadi hambatan dan gangguan

mineralisasi dari matriks ekstraleluler jaringan penghubung.

Faktor lain yang akan dianalisa adalah konsistensi dari gel EMD.

Konsistensi semi liquid dianggap sebagai faktor terbatas untuk pemeliharan ruang

75

Page 76: LESI FURKASI

pada kerusakan lebar atau dalam. Namun, hasil-hasil yang didapatkan untuk

kelompok 3 memperlihatkan regenerasi jaringan periodontal signifikan.

Setelah 8 minggu, tulang yang baru terbentuk adalah tulang woven pada

ketiga kelompok. Temuan ini sesuai dengan hasil-hasil sebelumnya pada

kerusakan furkasi Kelas II pada anjing setelah GTR. Pada 4 minggu, para ahli ini

mengamati pengisian kerusakan dengan jaringan penghubung padat; pada 8

minggu, tulang woven mendominasi; dan pada 20 minggu, tulang telah matang

pada tulang sekunder atau lamellar dan tulang medular.

Analisis histomorphometrik dari pembentukan cementum baru

memperlihatkan persentase cementum baru yang tinggi pada kelompok 3

(94,44%), secara statistik sama dengan kelompok 1 dan 2. Meski dengan fakta

bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok, kelompok 1 memiliki

nilai terendah (71,95%), yang bisa dipengaruhi migrasi dari epitelium

persambungan dan bagian focal pada resorpsi akar eksternal. Cementum baru

memiliki struktur variabel dan ketebalan berbeda pada kelompok 2 dan 3.

Keberadaan atau kurangnya cementocyte dan berbagai proporsi serat intrinsik dan

ekstrinsik terdistribusi secara acak pada permukaan akar, menyatu atau memisah.

Hanya sejumlah kecil bagian cementum yang bersifat aselular, tipis, dan dengan

kepadatan serat Sharpey padat, yang sesuai dengan studi sebelumnya. Namun,

hasil-hasil ini tidak sesuai dengan cementum baru yang terbentuk dengan EMD.

Pada studi dari lesi furkasi Kelas III pada anjing dengan menggunakan GTR

setelah aplikasi EMD, cementum baru pada basis lesi bercirikan sebagai aselular

dengan serat ekstrinsik, tipis dan menyatu kuat ke permukaan dentin, berbeda dari

76

Page 77: LESI FURKASI

yang ditemukan pada atap furkasi, yang bersifat seluler dan lebih tebal dan sama

seperti kelompok kontrol.

77