BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Otitis Media Akut (OMA) merupakan suatu inflamasi telinga tengah bersifat akut
yang terjadi atau berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Telinga tengah
adalah sebuah ruang di dalam telinga yang letaknya dibatasi pada bagian lateral oleh
membran timpani dan bagian medial oleh telinga dalam dan juga berhubungan langsung
dengan nasofaring melalui tuba eustachius (Tortora, 2009). OMA berlangsung dalam
beberapa fase yaitu diawali efusi telinga tengah yang akan berlanjut menjadi pus oleh
karena terdapatnya infeksi mikroorganisme, adanya suatu tanda inflamasi akut, serta
munculnya gejala diantaranya otalgia, iritabilitas, dan demam (Kaneshiro, 2010; WHO,
2010).
Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai macam penyakit
yang umum terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006). OMA juga merupakan salah
satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di negara-negara dengan ekonomi
rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat (WHO, 2006).
Kasus OMA di Indonesia perlu menjadi perhatian lebih, sebab OMA yang tidak
ditanggulangi secara adekuat dan tetap bertahan dapat berkembang menjadi bentuk yang
lebih serius, yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), yang merupakan salah satu dari
empat gangguan THT yang menjadi prioritas di Indonesia untuk penanggulangan dan
pencegahan kecacatan, selain tuli sejak lahir (kongenital), pemaparan bising, dan
prebikusis (WHO-SEARO, 2007)
Otitis media memiliki potensi untuk menjadi serius karena komplikasi terjadi baik
ekstrakranial maupun intrakranial (Smith dan Danner, 2006) dan dapat menyebabkan
kematian (Paparella, Adams danLevine, 1997).
1
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari
OMA.
I.3 Tujuan Penulisan
I.3.1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis,
komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan, dan prognosis OMA
I.3.2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
I.3.3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian THT
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
I.4 Metode Penulisan
Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada
beberapa literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Penyakit ini terbagi menjadi otitis media
supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut
dan kronis, sehingga secara rinci penyakit ini terbagi menjadi otitis media supuratif akut
(OMA), otitis media supuratif kronis (OMSK), otitis media serosa akut, dan otitis media
serosa kronis. Selain itu, terdapat juga otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika, dan
otitis media adhesive.
II.2. Anatomi telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan
prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).
II.2.1 Membran timpani
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran ini memiliki panjang vertikal
rata-rata 9 -10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8 - 9 mm dengan ketebalannya
rata-rata 0,1 mm (Dhingra, 2007). Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2
bagian, yaitu bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian
bawah disebut pars tensa (membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian
luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus
bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis di tengah,
yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara
radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam (Djaafar, 2007).
Banyangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu
pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.
3
Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran
timpani. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak reflek cahaya mendatar,
berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius (Djaafar, 2007).
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian superior-anterior, superior-posterior, inferior-anterior dan inferior-
posterior (Djaafar, 2007).
Gambar 1 Membran timpani
II.2.2 Kavum timpani
Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh membran
timpani, disebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen timpani dan
inferior oleh bulbus jugularis dan n.Fasialis. Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai
satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid
melalui epitimpanum. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral, terdapat eminentia
piramidalis yang terletak di bagian superior-medial dinding posterior, kemudian sinus
posterior yang membatasi eminentia piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani.
Bagian anterior terdapat tuba eustachius, yang menghubungkan cavum timpani dengan
nasofaring (Helmi, 2005; Djaafar 2007).
Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani, kavum timpani
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang merupakan bagian kavum timpani
yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani, mesotimpanum yang merupakan
ruangan di antara batas atas dengan batas bawah membran timpani, dan hipotimpanum
yaitu bagian kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani.
4
Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke
dalam maleus, inkus dan stapes. Selain itu, terdapat juga korda timpani, muskulus tensor
timpani dan ligamentum muskulus stapedius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Gambar 2 Kavum timpani (Probst dan Grevers, 2006)
II.2.3 Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani, bentuknya
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani
dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu: bagian tulang yang terdapat
pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada
bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Gambar 3 Tuba Eustachius (Probst dan Grevers, 2006)
Tuba eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka
apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan
5
menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatine apabila
terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai 40
mmHg. Tuba eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan
drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindungi telinga tengah dari
tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga
tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga ke nasofaring
(Djaafar, 2007 ; Kerschner, 2007).
Anak lebih mudah terserang OMA dibandingkan dengan orang dewasa. Ini karena
pada anak dan bayi, tuba eustachius lebih pendek, lebar dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba eustachius orang dewasa, sehingga infeksi saluran nafas atas lebih
mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di
bawah umur 9 bulan 17,5 mm. Dengan perkembangan anak, tuba eustachius orang dewasa
bertambah panjang dan sempit serta mengarah ke bawah di sebelah medial (Djaafar,
2007).
Gambar 4 Perbedaan antara Tuba eustachius pada anak-anak dan orang dewasa
II.3 Otitis Media
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Otitis Media Akut (OMA) merupakan
6
inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson,
2010).
II.3.1 Klasifikasi Otitis Media
Klasifikasi otitis media ada 3 yaitu :
1. Otitis media akut
a. Risiko rendah
b. Risiko tinggi
2. Otitis media subakut
3. Otitis media kronik
a. Tipe aman
b. Tipa bahaya
II.4 Otitis Media akut (OMA)
II.4.1 Definisi
Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah,
mual, muntah, diare, serta otore apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya
efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore
(Kerschner, 2007).
II.4.2 Epidemiologi
Otitis media lebih sering timbul di musim dingin dari pada musim semi. Di
beberapa penelitian disebutkan penyakit ini banyak di derita laki-laki. Sementara diantara
anak-anak Amerika kulit putih dan kulit hitam tidak ada perbedaan. Insiden usia maksimal
kejadian otitis media akut antara 6 bulan dan 24 bulan (Ramakrishnan, 2007). Anak-anak
yang menderita pertama kali episode OMA kurang dari umur 12 bulan secara signifikan
akan lebih mudah mendapatkan OMA rekuren, anak – anak yang telah mengalami enam
kali serangan otitis media atau lebih disebut dengan istilah “cenderung otitis”.
7
II.4.3 Etiologi
a. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri
terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri
penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus
dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (groupA beta-
hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus
dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani
rawat inap dirumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada
anak-anak (Kerschner, 2007).
b. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri piogenik yang lain. Virus paling sering dijumpai pada anak-
anak, yaitu respiratory syncytical virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak
30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus.
Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba eustachius, mengganggu fungsi
imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan
teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah
pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Menurut Klein JO dan Pelton S (2007), Acuin J untuk WHO ( 2007) dan Rothman
R (2003) dalam Ramakrisnahnan (2007), distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari
cairan telinga tengah, seperti berikut:
8
Tabel 1 Organisme otitis media akut
Organisme frekuensi Keterangan
Streptococcus
pneumoniae
40 – 50 % Yang paling umum menyebabkan patogen
adalah serotipe 19F, 23F, 14, 6B, 6A, 19A,
dan 9V.
Haemophilus
influenzae
30 – 40 % Hampir satu setengah memproduksi β-
laktamase.
Moraxella
catarrhalis
10 – 15 % Kebanyakan memproduksi β-laktamase.
Group A
streptococcus
---- Sering terjadi pada anak yang lebih tua.
Lebih sering dikaitkan dengan membran
timpani yang perforasi dan mastoiditis.
Staphylococcus
aureus
Jarang Lebih sering terjadi pada infeksi kronis.
Anaerobik
organisme
Jarang Lebih sering terjadi pada infeksi kronis.
Gram-negatif
bacilli
---- Terdapat pada bayi baru lahir, pasien
imunosupresi, dan pasien dengan otitis media
supuratif kronik.
Virus Kurang dari
10%
Respiratory syncytial virus, adenovirus,
rhinovirus, atau virus influenza dapat
bertindak sinergi dengan bakteri. Koinfeksi
dengan bakteri lebih dari 40 persen anak-
anak dengan virus-diinduksi otitis media
akut.
Other Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumoniae, Chlamydia trachomatis(pada
9
bayi yang lebih muda dari enam
bulan),Mycobacterium tuberculosis (dalam
negara-negara berkembang), infestasi parasit
(misalnya, ascariasis), infeksi
mikotik(misalnya, kandidiasis, aspergillosis,
blastomycosis)
II.4.4 Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,
status sosio-ekonomi rendah, tidak mendapatkan ASI eksklusif, lingkungan merokok
(pasif), kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongengital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba eustachius, immatur
tuba eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
a. Usia
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insiden OMA pada
bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau
immatur tuba eustachius (Kerschner, 2007).
Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang cukup berkaitan dengan
terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan
kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase
perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba eustachius memang memiliki
posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih
dewasa (Tortora, 2009). Hal inilah yang membuat kecenderungan terjadinya OMA pada
usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan usia dewasa (Torpy, 2010).
b. Jenis kelamin
Insiden terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan
dengan anak perempuan (Ramakrishnan, 2007).
10
c. Infeksi saluran nafas akut (ISPA)
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuk
dan berkembang biaknya agent infeksi pada jaringan tubuh manusia yang berakibat
terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis. Saluran pernafasan adalah organ
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14
hari.
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan tubuh
anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat.
Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih
mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit
pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali
penyakit ISPA.
Infeksi saluran pernafasan akut yang tidak terobati dapat menjadi serius dan
menyebabkan komplikasi seperti otitis media, rinosinusitis, dan faringitis. Otitis media
merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat ISPA, baik bakteri atau virus (Kerschner,
2007). Indikasi daya tahan tubuh abnormal pada anak adalah adanya ISPA yang berulang.
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA (Djaafar, 2007).
Infeksi saluran nafas atas atau alergi dapat menyebabkan kongesti dan
pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba eustachius,hal ini dapat memicu
obstruksi tuba eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah terakumulasi.
Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat menghasilkan supurasi
dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan, 2007).
II.4.5 Gejala klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di
samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada
11
anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak
kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,50C (pada stadium
supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-
kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran
timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tengang
(Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang
kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005),
skor OMA adalah seperti berikut :
Tabel 2 Skor otitis media akut
Skor Suhu (0C) GelisahTarik
telinga
Kemerahan
pada membran
timpani
Bengkak
pada
membran
timpani
(bulging)
0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat
Berat,
termasuk
otore
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
12
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau
sedang, suhu lebih atau sama dengan 390C oral atau rektal 39,50C. OMA ringan bila nyeri
telinga tidak hebat dan demam kurang dari 390C oral atau 39,50C rektal (Titasari, 2005).
II.4.6 Patogenesis
Fungsi abnormal tuba eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.
Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga kearah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) atau alergi. Infeksi virus saluran pernafasan atas, sitokin dan mediator-mediator
kimia inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan terjadi kongesti dan edema pada
mukosa saluran nafas atas, termasuk nasofaring dan tuba eustachius sehingga terjadi
disfungsi tuba eustachius. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas
yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibandingkan
orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba eustachius sehingga
adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba eustachius. Selain itu, adenoid
dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba eustachius
(Kerschner, 2007).
Penyebab di atas menyebabkan tuba eustachius menjadi sempit dan tersumbat,
mengakibatkan tekanan negatif pada telinga tengah, dan drainase telinga tengah terganggu
terjadi akumulasi sekret ditelinga tengah. Karena fungsi tuba eustachius terganggu,
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk
ke dalam telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Virus
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu
pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak
dari proses inflamasi lokal, pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan
tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan
yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang
meninggi (Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.
Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi lalu timbul
edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian
13
besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba
eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ektraluminal seperti
tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
II.4.7 Stadium OMA
Berdasarkan keadaan membran timpani yang diamati melalui liang telinga luar
(Shaikh, 2010). Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas
5 stadium (Hendley, 2002; Dhingra, 2004; Yates, 2008), yaitu stadium oklusi tuba
eustachius, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.
Gambar 5 Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus
menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Selain retraksi, membran timpani
kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelaianan, atau hanya bewarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan
tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam
pada stadium ini (Djafaar, 2007; Dhingra, 2007)
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
14
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluh otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007 ;
Dhingra, 2007).
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen di telinga
tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu, edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di
kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging kearah liang
telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta
rasa nyeri di telinga bertambah berat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak,
dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi terjadi demam tinggi
dapat disertai muntah dan kejang.
Apabila tekanan nanah di kavum timpani terus bertambah dan tidak berkurang,
maka dapat terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis
pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis pada membran
timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna ke kuningan, di tempat
ini akan terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kacil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah ke liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani
akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih
sulit menutup kembali (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
15
Gambar 6 Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Kadang-
kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,
anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai
dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
Gambar 7 Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium terakhir OMA yang diawali dengan berkurangnya
dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal
hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang
dan akhirnya kering, pendengaran kembali normal. Bila daya tahan tubuh baik atau
virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,
dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif
16
akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi
jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani
(Djafaar, 2007; Dhingra, 2007).
II.4.8 Diagnosis
Menurut Rubin (2008) keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-
sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga
tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain
itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia,
gangguan pendengaran, tinitus, vertigo, dan kemerahan pada membran timpani. Tahap
berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi
390C dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
II.4.9 Penatalaksanaan
a. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditunjukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis
media adalah untuk menghindari komplikasi intrakranial dan ekstrakranial yang mungkin
terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari perforasi
membran timpani, dan memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik (Titasari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCL efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCL
efedrin 1% dalam larutan fisiologi untuk anak yang berumur di atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada atadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Di anjurkan pemberian golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga
tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan, antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap
17
penislin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari
yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberi antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang
dan tidak terjadi ruptur membran timpani (Djafaar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai
dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang
dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir ke
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berlanjut, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djafaar,
2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik,
observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua
sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera
dan dosis sesuai dapat menghindari dari terjadinya komplikasi supuratif dan seterusnya.
Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik
meningkat.
Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi antibiotik
sebagai berikut:
Tabel 3 Kriteria terapi antibiotik dan observasi pada anak denganOMA
UsiaDiagnosis pasti
(certain)
Diagnosis meragukan
(uncertain)
Kurang dari 6
bulanAntibiotik Antibiotik
6 bulan sampai
2 tahunAntibiotik
Antibiotik jika gejala
berat, observasi jika
gejala ringan
18
2 tahun ke atas
Antibiotik jika
gejala berat,
observasi jika
gejala ringan
Observasi
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, efusi telinga
tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga
ringan dan demam kurang dari 390C dalam 24 jam terakhir. Gejala berat adalah nyeri
telinga sedang-berat atau demam 390C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat
dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesik seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan
pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Menurut American Academic of Pediatrics (2004), amoksisilin merupakan first-
line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima
hari. Amoksisilin efektif terhadap streptococcus pneumonia. Jika pasien alergi ringan
terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti sefratin. Second-line terapi
seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis, termasuk streptococcus pneumonia (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-
valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media
(American Academic of Pediatric, 2004).
b. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis dan adenoidektomi (Buchman,
2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang
diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di
tengah telinga (Djaafar, 2007).
19
Indikasi miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem
saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan
miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang
memuaskan terhadap terapi second-line, untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui
kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesik lokal untuk mendapatkan sekret untuk
tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,
terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding
dengan plasebo dalam tiga penelitian prospektif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi
dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,
kecuali jika terjadi obstruktif jalan nafas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
II.4.10 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik,OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media kronik. Shambough (2003) dalam Djaafar (2005),
komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani,
mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses
subperiosteal), dan intrakranial (abses otak, tromboflebitis).
II.4.11 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA
pada bayi dan anak-anak, mengenai ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan
20
pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan
merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).
II.4.12 Prognosis
Prognosis pada OMA baik bila diberikan terapi yang adekuat (antibiotic yang tepat
dan dosis cukup).
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITASNama : Tn. I S
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Alamat : Kesongo, Tuntang
No. RM : 051724
21
II. Anamnesis : Autoanamnesis (kepada pasien)
Riwayat penyakit
A. Keluhan Utama :
Telinga kanan pendengarannya berkurang sejak ± 4 hari SMRS
B. Keluhan Tambahan :
Telinga kanan berdenging (hilang timbul), nyeri +
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
OS datang ke poli THT pada tanggal 10 Februari 2014 dengan keluhan
pendengaran telinga kanan berkurang, berdenging, dan nyeri sejak ± 4 hari
SMRS
D. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit yang sama berulang (sering kontrol THT)
- Riwayat penyakit asma : disangkal
- Riwayat penyakit alergi obat : disangkal
- Riwayat operasi dan pembiusan : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
- Anggota keluarga tidak ada yang mengeluh sakit seperti ini.
- Anggota keluarga tidak ada yang memiliki riwayat alergi.
III. Pemeriksaan FisikA. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg
RR: 18x/m
22
Nadi : 80x/m
Suhu : 36,5 C
Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Normocephal.
Mata : T.A.K (Tidak ada kelainan)
Mulut-Gigi : Lengkap, mulut basah
Status lokalis THT :
Telinga Kanan Kiri
Daun telinga N N
Liang telinga lapang lapang
Discharge - -
Membran timpani intak intak
Hiperemis + Hiperemis -
Tumor - -
Mastoid N N
Hidung Kanan Kiri
Hidung luar N N
Cavum nasi lapang lapang
Septum deviasi tidak ada
Discharge tidak ada tidak ada
Mukosa merah muda merah muda
Tumor - -
Concha N N
Sinus nyeri tekan tidak ada
Tenggorokan :
Sianosis : -
23
Mukosa : tidak ada kelainan
Dinding belakang faring : tidak ada kelainan
Suara : tidak ada kelainan
Tonsil : Kanan Kiri
Pembesaran - -
Hiperemis - -
Permukaan mukosa tidak rata tidak rata
(warna merah muda) (warna merah muda)
Kripte - -
Detritus - -
Leher : T.A.K
Thorax
Pulmo : Vesikuler (+), wheezing (-), ronkhi (-)
Cor : S1>S2, Reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Punggung : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Genitalia Eksterna : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Limfonodi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Turgor kulit : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Akral : Hangat, Sianosis (-)
Pemeriksaan Reflex
Patologis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Fisiologis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Pemeriksaan Otoskopi : AD : Serumen - , Membran Timpani Hiperemis +
AS : Serumen - , Membran Timpani Hiperemis -
IV. DD
- Otitis Media Akut Stadium Hiperemis
24
- Otitis Media Akut Stadium Perforasi
- Otitis Media Supuratif Kronik
V. Diagnosis : Otitis Media Akut Stadium Hiperemis AD
VI. Tindakan :
Otoskopi
VII. Terapi :
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Metil Prednisolon 3 x 8 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
VIII. Prognosis
Dubia ad Bonam, karena telah dilakukan penatalaksanaan secara optimal
.
BAB IV
PEMBAHASAN
III.1 Subjektif
Pasien Ny. I S, laki - laki 31 tahun datang ke klinik THT dengan keluhan pendengaran telinga kanan berkurang, berdenging, dan nyeri. Berdasarkan anamnesis, pasien menyangkal adanya riwayat asma, alergi obat, dan riwayat operasi sebelumnya.
III.2 Objektif
25
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal. Dari status generalis pasien tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan otoskopi ditemukan membran timpani telinga kanan hiperemis.
Dapat disimpulkan bahwa, pasien menderita otitis media akut, maka diberikan antibiotik, kortikostreoid, dan analgetik.
III.3 Assesment
Pasien datang ke poli THT RSUD Ambarawa pada tanggal 10 Februari 2014, dengan keluhan telinga kanan berkurang pendengarannya disertai dengan berdenging dan rasa nyeri. Setelah dilakukan pemeriksaan otoskopi ditemukan membran timpani telinga kanan hiperemis. Maka dari itu diberikan antibiotik, kortiko steroid dan analgetik.
III.4. Plan
Kontrol pada tanggal 17 Februari 2014, setelah obat yang diresepkan sudah habis. Untuk mengatasi adanya nyeri, oleh karena itu diberi Metil prednisolone dan Paracetamol, serta untuk mengantisipasi adanya infeksi diberikan Cefadroxyl.
DAFTAR PUSTAKA
Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut.Majalah Kedokteran Nusantara,
39 (3): 356.
Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003.Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed.
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc., 462-511.
Danner, C. J. (2006). Middle ear atelectasis: what causes it and how is it corrected?.
Otolaryngol Clin North Am 39(6): 1211-1219.
26
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Ed.New Delhi, India : Elsevier.
pp : 129-135; 145-148.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.
A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Donaldson JD. Middle Ear, acute otitis media, medical treatment.eMedicine Web site.
March 2, 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/859316-
overview.Accessed March 2, 2010.
Helmi, 2005. ‘Otitis Media Supuratif Kronis’ dalam Otitis Media Supuratif Kronis
Pengetahuan Dasar Terapi Medik Mastoidektomi Timpanoplasti’ Balai Penerbit
FK UI. Jakarta. hal: 55-69.
Kaneshiro, Neil K., MD., 2010. Otitis media with effusion.MedlinePlus.
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18 th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
Paparella MM, Adams GL, Levine SC, 1997. ‘Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid’
dalam Adams GL, Boies LR, Higler PA (Ed). Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi keenam.EGC. Jakarta. hal: 90, 95, 97, 88-118.
Probst R, Grevers G, 2006.The Middle Ear in Basic Otorhinolaryngology-A step-bystep
Learning Guide. Thieme. New York. p 241-9.
Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of
Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1650 – 1653.
Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and Other
Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysons’s Principles of
Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.
Shaikh N., Hoberman A., Kaleida P., et al. Diagnosing otitis media: otoscopy and cerumen
removal. N Engl J med. 2010;362(20):e62-e64.
Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media
Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American Medical Association
(JAMA), 304 (19): 2194.
27
Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B., dkk, ed.
Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International Student Version
Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 – 621.
World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training
Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.
World Health Organization (WHO)., 2010. Second Hand Smoke: Accessing The Burden
of Disease at National and Local Levels. Enviromental of Disease Series, 18: 12 –
13; 23 – 26.
28