Download doc - Lapsus Tht Oma

Transcript
Page 1: Lapsus Tht Oma

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Otitis Media Akut (OMA) merupakan suatu inflamasi telinga tengah bersifat akut

yang terjadi atau berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Telinga tengah

adalah sebuah ruang di dalam telinga yang letaknya dibatasi pada bagian lateral oleh

membran timpani dan bagian medial oleh telinga dalam dan juga berhubungan langsung

dengan nasofaring melalui tuba eustachius (Tortora, 2009). OMA berlangsung dalam

beberapa fase yaitu diawali efusi telinga tengah yang akan berlanjut menjadi pus oleh

karena terdapatnya infeksi mikroorganisme, adanya suatu tanda inflamasi akut, serta

munculnya gejala diantaranya otalgia, iritabilitas, dan demam (Kaneshiro, 2010; WHO,

2010).

Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu dari berbagai macam penyakit

yang umum terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006). OMA juga merupakan salah

satu gangguan THT terkait infeksi yang umum terjadi di negara-negara dengan ekonomi

rendah dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran moderat (WHO, 2006).

Kasus OMA di Indonesia perlu menjadi perhatian lebih, sebab OMA yang tidak

ditanggulangi secara adekuat dan tetap bertahan dapat berkembang menjadi bentuk yang

lebih serius, yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), yang merupakan salah satu dari

empat gangguan THT yang menjadi prioritas di Indonesia untuk penanggulangan dan

pencegahan kecacatan, selain tuli sejak lahir (kongenital), pemaparan bising, dan

prebikusis (WHO-SEARO, 2007)

Otitis media memiliki potensi untuk menjadi serius karena komplikasi terjadi baik

ekstrakranial maupun intrakranial (Smith dan Danner, 2006) dan dapat menyebabkan

kematian (Paparella, Adams danLevine, 1997).

1

Page 2: Lapsus Tht Oma

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui definisi, etiologi,

patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari

OMA.

I.3 Tujuan Penulisan

I.3.1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis,

komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan, dan prognosis OMA

I.3.2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

I.3.3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian THT

Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

I.4 Metode Penulisan

Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada

beberapa literatur.

2

Page 3: Lapsus Tht Oma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pendahuluan

Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Penyakit ini terbagi menjadi otitis media

supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut

dan kronis, sehingga secara rinci penyakit ini terbagi menjadi otitis media supuratif akut

(OMA), otitis media supuratif kronis (OMSK), otitis media serosa akut, dan otitis media

serosa kronis. Selain itu, terdapat juga otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika, dan

otitis media adhesive.

II.2. Anatomi telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan

prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).

II.2.1 Membran timpani

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga

dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran ini memiliki panjang vertikal

rata-rata 9 -10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8 - 9 mm dengan ketebalannya

rata-rata 0,1 mm (Dhingra, 2007). Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2

bagian, yaitu bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian

bawah disebut pars tensa (membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian

luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus

bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis di tengah,

yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara

radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam (Djaafar, 2007).

Banyangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut

sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu

pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan.

3

Page 4: Lapsus Tht Oma

Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran

timpani. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak reflek cahaya mendatar,

berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius (Djaafar, 2007).

Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan

prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga

didapatkan bagian superior-anterior, superior-posterior, inferior-anterior dan inferior-

posterior (Djaafar, 2007).

Gambar 1 Membran timpani

II.2.2 Kavum timpani

Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh membran

timpani, disebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen timpani dan

inferior oleh bulbus jugularis dan n.Fasialis. Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai

satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid

melalui epitimpanum. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral, terdapat eminentia

piramidalis yang terletak di bagian superior-medial dinding posterior, kemudian sinus

posterior yang membatasi eminentia piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani.

Bagian anterior terdapat tuba eustachius, yang menghubungkan cavum timpani dengan

nasofaring (Helmi, 2005; Djaafar 2007).

Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani, kavum timpani

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang merupakan bagian kavum timpani

yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani, mesotimpanum yang merupakan

ruangan di antara batas atas dengan batas bawah membran timpani, dan hipotimpanum

yaitu bagian kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani.

4

Page 5: Lapsus Tht Oma

Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke

dalam maleus, inkus dan stapes. Selain itu, terdapat juga korda timpani, muskulus tensor

timpani dan ligamentum muskulus stapedius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Gambar 2 Kavum timpani (Probst dan Grevers, 2006)

II.2.3 Tuba Eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani, bentuknya

seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani

dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu: bagian tulang yang terdapat

pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada

bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

Gambar 3 Tuba Eustachius (Probst dan Grevers, 2006)

Tuba eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka

apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan

5

Page 6: Lapsus Tht Oma

menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatine apabila

terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai 40

mmHg. Tuba eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan

drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah

selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindungi telinga tengah dari

tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga

tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga ke nasofaring

(Djaafar, 2007 ; Kerschner, 2007).

Anak lebih mudah terserang OMA dibandingkan dengan orang dewasa. Ini karena

pada anak dan bayi, tuba eustachius lebih pendek, lebar dan kedudukannya lebih

horizontal dari tuba eustachius orang dewasa, sehingga infeksi saluran nafas atas lebih

mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di

bawah umur 9 bulan 17,5 mm. Dengan perkembangan anak, tuba eustachius orang dewasa

bertambah panjang dan sempit serta mengarah ke bawah di sebelah medial (Djaafar,

2007).

Gambar 4 Perbedaan antara Tuba eustachius pada anak-anak dan orang dewasa

II.3 Otitis Media

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,

tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Djaafar, 2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan

tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Otitis Media Akut (OMA) merupakan

6

Page 7: Lapsus Tht Oma

inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson,

2010).

II.3.1 Klasifikasi Otitis Media

Klasifikasi otitis media ada 3 yaitu :

1. Otitis media akut

a. Risiko rendah

b. Risiko tinggi

2. Otitis media subakut

3. Otitis media kronik

a. Tipe aman

b. Tipa bahaya

II.4 Otitis Media akut (OMA)

II.4.1 Definisi

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang

berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Gejala dan tanda klinik lokal atau

sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah,

mual, muntah, diare, serta otore apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada

pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya

efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada

membran timpani atau bulging, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore

(Kerschner, 2007).

II.4.2 Epidemiologi

Otitis media lebih sering timbul di musim dingin dari pada musim semi. Di

beberapa penelitian disebutkan penyakit ini banyak di derita laki-laki. Sementara diantara

anak-anak Amerika kulit putih dan kulit hitam tidak ada perbedaan. Insiden usia maksimal

kejadian otitis media akut antara 6 bulan dan 24 bulan (Ramakrishnan, 2007). Anak-anak

yang menderita pertama kali episode OMA kurang dari umur 12 bulan secara signifikan

akan lebih mudah mendapatkan OMA rekuren, anak – anak yang telah mengalami enam

kali serangan otitis media atau lebih disebut dengan istilah “cenderung otitis”.

7

Page 8: Lapsus Tht Oma

II.4.3 Etiologi

a. Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian

65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri

terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-

patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri

penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh

Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus

dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (groupA beta-

hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus

dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani

rawat inap dirumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis

mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada

anak-anak (Kerschner, 2007).

b. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau

bersamaan dengan bakteri piogenik yang lain. Virus paling sering dijumpai pada anak-

anak, yaitu respiratory syncytical virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak

30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus.

Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba eustachius, mengganggu fungsi

imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan

menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan

teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked

immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah

pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

Menurut Klein JO dan Pelton S (2007), Acuin J untuk WHO ( 2007) dan Rothman

R (2003) dalam Ramakrisnahnan (2007), distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari

cairan telinga tengah, seperti berikut:

8

Page 9: Lapsus Tht Oma

Tabel 1 Organisme otitis media akut

Organisme frekuensi Keterangan

Streptococcus

pneumoniae

40 – 50 % Yang paling umum menyebabkan patogen

adalah serotipe 19F, 23F, 14, 6B, 6A, 19A,

dan 9V.

Haemophilus

influenzae

30 – 40 % Hampir satu setengah memproduksi β-

laktamase.

Moraxella

catarrhalis

10 – 15 % Kebanyakan memproduksi β-laktamase.

Group A

streptococcus

---- Sering terjadi pada anak yang lebih tua.

Lebih sering dikaitkan dengan membran

timpani yang perforasi dan mastoiditis.

Staphylococcus

aureus

Jarang Lebih sering terjadi pada infeksi kronis.

Anaerobik

organisme

Jarang Lebih sering terjadi pada infeksi kronis.

Gram-negatif

bacilli

---- Terdapat pada bayi baru lahir, pasien

imunosupresi, dan pasien dengan otitis media

supuratif kronik.

Virus Kurang dari

10%

Respiratory syncytial virus, adenovirus,

rhinovirus, atau virus influenza dapat

bertindak sinergi dengan bakteri. Koinfeksi

dengan bakteri lebih dari 40 persen anak-

anak dengan virus-diinduksi otitis media

akut.

Other Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia

pneumoniae, Chlamydia trachomatis(pada

9

Page 10: Lapsus Tht Oma

bayi yang lebih muda dari enam

bulan),Mycobacterium tuberculosis (dalam

negara-negara berkembang), infestasi parasit

(misalnya, ascariasis), infeksi

mikotik(misalnya, kandidiasis, aspergillosis,

blastomycosis)

II.4.4 Faktor risiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,

status sosio-ekonomi rendah, tidak mendapatkan ASI eksklusif, lingkungan merokok

(pasif), kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongengital, status imunologi,

infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba eustachius, immatur

tuba eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

a. Usia

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insiden OMA pada

bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau

immatur tuba eustachius (Kerschner, 2007).

Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang cukup berkaitan dengan

terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan

kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase

perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba eustachius memang memiliki

posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih

dewasa (Tortora, 2009). Hal inilah yang membuat kecenderungan terjadinya OMA pada

usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan usia dewasa (Torpy, 2010).

b. Jenis kelamin

Insiden terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan

dengan anak perempuan (Ramakrishnan, 2007).

10

Page 11: Lapsus Tht Oma

c. Infeksi saluran nafas akut (ISPA)

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini

diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah

ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuk

dan berkembang biaknya agent infeksi pada jaringan tubuh manusia yang berakibat

terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis. Saluran pernafasan adalah organ

mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga

telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14

hari.

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan tubuh

anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat.

Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih

mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit

pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali

penyakit ISPA.

Infeksi saluran pernafasan akut yang tidak terobati dapat menjadi serius dan

menyebabkan komplikasi seperti otitis media, rinosinusitis, dan faringitis. Otitis media

merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat ISPA, baik bakteri atau virus (Kerschner,

2007). Indikasi daya tahan tubuh abnormal pada anak adalah adanya ISPA yang berulang.

Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, makin besar kemungkinan

terjadinya OMA (Djaafar, 2007).

Infeksi saluran nafas atas atau alergi dapat menyebabkan kongesti dan

pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba eustachius,hal ini dapat memicu

obstruksi tuba eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah terakumulasi.

Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat menghasilkan supurasi

dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan, 2007).

II.4.5 Gejala klinis

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada

anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di

samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada

11

Page 12: Lapsus Tht Oma

anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan

pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak

kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,50C (pada stadium

supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-

kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran

timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tengang

(Djaafar, 2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu

penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien

tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang

kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005),

skor OMA adalah seperti berikut :

Tabel 2 Skor otitis media akut

Skor Suhu (0C) GelisahTarik

telinga

Kemerahan

pada membran

timpani

Bengkak

pada

membran

timpani

(bulging)

0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan

2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang

3 >39,0 Berat Berat Berat

Berat,

termasuk

otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,

berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

12

Page 13: Lapsus Tht Oma

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau

sedang, suhu lebih atau sama dengan 390C oral atau rektal 39,50C. OMA ringan bila nyeri

telinga tidak hebat dan demam kurang dari 390C oral atau 39,50C rektal (Titasari, 2005).

II.4.6 Patogenesis

Fungsi abnormal tuba eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media.

Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan

nasofaring yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga kearah nasofaring dan

sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) atau alergi. Infeksi virus saluran pernafasan atas, sitokin dan mediator-mediator

kimia inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan terjadi kongesti dan edema pada

mukosa saluran nafas atas, termasuk nasofaring dan tuba eustachius sehingga terjadi

disfungsi tuba eustachius. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas

yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibandingkan

orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba eustachius sehingga

adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba eustachius. Selain itu, adenoid

dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba eustachius

(Kerschner, 2007).

Penyebab di atas menyebabkan tuba eustachius menjadi sempit dan tersumbat,

mengakibatkan tekanan negatif pada telinga tengah, dan drainase telinga tengah terganggu

terjadi akumulasi sekret ditelinga tengah. Karena fungsi tuba eustachius terganggu,

pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk

ke dalam telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Virus

respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu

pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak

dari proses inflamasi lokal, pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan

tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan

yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang

meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.

Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi lalu timbul

edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian

13

Page 14: Lapsus Tht Oma

besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba

eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ektraluminal seperti

tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

II.4.7 Stadium OMA

Berdasarkan keadaan membran timpani yang diamati melalui liang telinga luar

(Shaikh, 2010). Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas

5 stadium (Hendley, 2002; Dhingra, 2004; Yates, 2008), yaitu stadium oklusi tuba

eustachius, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi.

Gambar 5 Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba eustachius yang ditandai oleh retraksi

membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,

dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus

menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Selain retraksi, membran timpani

kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelaianan, atau hanya bewarna keruh pucat.

Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan

tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam

pada stadium ini (Djafaar, 2007; Dhingra, 2007)

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

14

Page 15: Lapsus Tht Oma

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang

ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret

eksudat serosa yang sulit terlihat. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang

menyebabkan pasien mengeluh otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran

mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses

hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.

Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007 ;

Dhingra, 2007).

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen di telinga

tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu, edema pada mukosa telinga tengah menjadi

makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di

kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging kearah liang

telinga luar.

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta

rasa nyeri di telinga bertambah berat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak,

dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi terjadi demam tinggi

dapat disertai muntah dan kejang.

Apabila tekanan nanah di kavum timpani terus bertambah dan tidak berkurang,

maka dapat terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis

pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis pada membran

timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna ke kuningan, di tempat

ini akan terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah

kacil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah

akan keluar dari telinga tengah ke liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani

akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih

sulit menutup kembali (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

15

Page 16: Lapsus Tht Oma

Gambar 6 Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa

nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Kadang-

kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh

terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,

anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap

berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif

subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai

dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007;

Dhingra, 2007).

Gambar 7 Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium terakhir OMA yang diawali dengan berkurangnya

dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal

hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang

dan akhirnya kering, pendengaran kembali normal. Bila daya tahan tubuh baik atau

virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media

supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,

dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif

16

Page 17: Lapsus Tht Oma

akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi

jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani

(Djafaar, 2007; Dhingra, 2007).

II.4.8 Diagnosis

Menurut Rubin (2008) keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-

sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga

tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang

membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain

itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia,

gangguan pendengaran, tinitus, vertigo, dan kemerahan pada membran timpani. Tahap

berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi

390C dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

II.4.9 Penatalaksanaan

a. Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada

stadium awal ditunjukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian

antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis

media adalah untuk menghindari komplikasi intrakranial dan ekstrakranial yang mungkin

terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba eustachius, menghindari perforasi

membran timpani, dan memperbaiki sistem imun lokal dan sistemik (Titasari, 2005).

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba

eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung

HCL efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCL

efedrin 1% dalam larutan fisiologi untuk anak yang berumur di atas 12 tahun pada orang

dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).

Pada atadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.

Di anjurkan pemberian golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat

diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal

diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga

tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan

kekambuhan, antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap

17

Page 18: Lapsus Tht Oma

penislin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang

terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari

yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberi antibiotik, pasien harus dirujuk untuk

melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang

dan tidak terjadi ruptur membran timpani (Djafaar, 2007).

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara

berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai

dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang

dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak

ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir ke

liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan

sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berlanjut, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djafaar,

2007).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik,

observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua

sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera

dan dosis sesuai dapat menghindari dari terjadinya komplikasi supuratif dan seterusnya.

Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik

meningkat.

Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),

mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi antibiotik

sebagai berikut:

Tabel 3 Kriteria terapi antibiotik dan observasi pada anak denganOMA

UsiaDiagnosis pasti

(certain)

Diagnosis meragukan

(uncertain)

Kurang dari 6

bulanAntibiotik Antibiotik

6 bulan sampai

2 tahunAntibiotik

Antibiotik jika gejala

berat, observasi jika

gejala ringan

18

Page 19: Lapsus Tht Oma

2 tahun ke atas

Antibiotik jika

gejala berat,

observasi jika

gejala ringan

Observasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, efusi telinga

tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga

ringan dan demam kurang dari 390C dalam 24 jam terakhir. Gejala berat adalah nyeri

telinga sedang-berat atau demam 390C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat

dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat

pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up

dilaksanakan dan pemberian analgesik seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan

pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatrics (2004), amoksisilin merupakan first-

line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima

hari. Amoksisilin efektif terhadap streptococcus pneumonia. Jika pasien alergi ringan

terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti sefratin. Second-line terapi

seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenza dan Moraxella

catarrhalis, termasuk streptococcus pneumonia (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-

valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media

(American Academic of Pediatric, 2004).

b. Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,

seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis dan adenoidektomi (Buchman,

2003).

1. Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi

drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan

secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat

dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang

diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di

tengah telinga (Djaafar, 2007).

19

Page 20: Lapsus Tht Oma

Indikasi miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,

komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem

saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami

kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan

miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang

memuaskan terhadap terapi second-line, untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui

kultur (Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan

pungsi pada membran timpani, dengan analgesik lokal untuk mendapatkan sekret untuk

tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,

terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh

rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA

seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding

dengan plasebo dalam tiga penelitian prospektif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. Adenoidektomi

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi

dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba

timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA

rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,

kecuali jika terjadi obstruktif jalan nafas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).

II.4.10 Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik,OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses

subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut

biasanya didapat pada otitis media kronik. Shambough (2003) dalam Djaafar (2005),

komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani,

mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses

subperiosteal), dan intrakranial (abses otak, tromboflebitis).

II.4.11 Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA

pada bayi dan anak-anak, mengenai ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan

20

Page 21: Lapsus Tht Oma

pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan

merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

II.4.12 Prognosis

Prognosis pada OMA baik bila diberikan terapi yang adekuat (antibiotic yang tepat

dan dosis cukup).

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITASNama : Tn. I S

Umur : 31 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Alamat : Kesongo, Tuntang

No. RM : 051724

21

Page 22: Lapsus Tht Oma

II. Anamnesis : Autoanamnesis (kepada pasien)

Riwayat penyakit

A. Keluhan Utama :

Telinga kanan pendengarannya berkurang sejak ± 4 hari SMRS

B. Keluhan Tambahan :

Telinga kanan berdenging (hilang timbul), nyeri +

C. Riwayat Penyakit Sekarang :

OS datang ke poli THT pada tanggal 10 Februari 2014 dengan keluhan

pendengaran telinga kanan berkurang, berdenging, dan nyeri sejak ± 4 hari

SMRS

D. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat penyakit yang sama berulang (sering kontrol THT)

- Riwayat penyakit asma : disangkal

- Riwayat penyakit alergi obat : disangkal

- Riwayat operasi dan pembiusan : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga

- Anggota keluarga tidak ada yang mengeluh sakit seperti ini.

- Anggota keluarga tidak ada yang memiliki riwayat alergi.

III. Pemeriksaan FisikA. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign :

TD : 120/80 mmHg

RR: 18x/m

22

Page 23: Lapsus Tht Oma

Nadi : 80x/m

Suhu : 36,5 C

Pemeriksaan kepala

Bentuk kepala : Normocephal.

Mata : T.A.K (Tidak ada kelainan)

Mulut-Gigi : Lengkap, mulut basah

Status lokalis THT :

Telinga Kanan Kiri

Daun telinga N N

Liang telinga lapang lapang

Discharge - -

Membran timpani intak intak

Hiperemis + Hiperemis -

Tumor - -

Mastoid N N

Hidung Kanan Kiri

Hidung luar N N

Cavum nasi lapang lapang

Septum deviasi tidak ada

Discharge tidak ada tidak ada

Mukosa merah muda merah muda

Tumor - -

Concha N N

Sinus nyeri tekan tidak ada

Tenggorokan :

Sianosis : -

23

Page 24: Lapsus Tht Oma

Mukosa : tidak ada kelainan

Dinding belakang faring : tidak ada kelainan

Suara : tidak ada kelainan

Tonsil : Kanan Kiri

Pembesaran - -

Hiperemis - -

Permukaan mukosa tidak rata tidak rata

(warna merah muda) (warna merah muda)

Kripte - -

Detritus - -

Leher : T.A.K

Thorax

Pulmo : Vesikuler (+), wheezing (-), ronkhi (-)

Cor : S1>S2, Reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Punggung : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Genitalia Eksterna : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Ekstremitas : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Limfonodi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Turgor kulit : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Akral : Hangat, Sianosis (-)

Pemeriksaan Reflex

Patologis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Fisiologis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

Pemeriksaan Otoskopi : AD : Serumen - , Membran Timpani Hiperemis +

AS : Serumen - , Membran Timpani Hiperemis -

IV. DD

- Otitis Media Akut Stadium Hiperemis

24

Page 25: Lapsus Tht Oma

- Otitis Media Akut Stadium Perforasi

- Otitis Media Supuratif Kronik

V. Diagnosis : Otitis Media Akut Stadium Hiperemis AD

VI. Tindakan :

Otoskopi

VII. Terapi :

- Cefadroxil 2 x 500 mg

- Metil Prednisolon 3 x 8 mg

- Paracetamol 3 x 500 mg

VIII. Prognosis

Dubia ad Bonam, karena telah dilakukan penatalaksanaan secara optimal

.

BAB IV

PEMBAHASAN

III.1 Subjektif

Pasien Ny. I S, laki - laki 31 tahun datang ke klinik THT dengan keluhan pendengaran telinga kanan berkurang, berdenging, dan nyeri. Berdasarkan anamnesis, pasien menyangkal adanya riwayat asma, alergi obat, dan riwayat operasi sebelumnya.

III.2 Objektif

25

Page 26: Lapsus Tht Oma

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal. Dari status generalis pasien tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan otoskopi ditemukan membran timpani telinga kanan hiperemis.

Dapat disimpulkan bahwa, pasien menderita otitis media akut, maka diberikan antibiotik, kortikostreoid, dan analgetik.

III.3 Assesment

Pasien datang ke poli THT RSUD Ambarawa pada tanggal 10 Februari 2014, dengan keluhan telinga kanan berkurang pendengarannya disertai dengan berdenging dan rasa nyeri. Setelah dilakukan pemeriksaan otoskopi ditemukan membran timpani telinga kanan hiperemis. Maka dari itu diberikan antibiotik, kortiko steroid dan analgetik.

III.4. Plan

Kontrol pada tanggal 17 Februari 2014, setelah obat yang diresepkan sudah habis. Untuk mengatasi adanya nyeri, oleh karena itu diberi Metil prednisolone dan Paracetamol, serta untuk mengantisipasi adanya infeksi diberikan Cefadroxyl.

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut.Majalah Kedokteran Nusantara,

39 (3): 356.

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003.Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed.

Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill

Companies, Inc., 462-511.

Danner, C. J. (2006). Middle ear atelectasis: what causes it and how is it corrected?.

Otolaryngol Clin North Am 39(6): 1211-1219.

26

Page 27: Lapsus Tht Oma

Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Ed.New Delhi, India : Elsevier.

pp : 129-135; 145-148.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.

A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Donaldson JD. Middle Ear, acute otitis media, medical treatment.eMedicine Web site.

March 2, 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/859316-

overview.Accessed March 2, 2010.

Helmi, 2005. ‘Otitis Media Supuratif Kronis’ dalam Otitis Media Supuratif Kronis

Pengetahuan Dasar Terapi Medik Mastoidektomi Timpanoplasti’ Balai Penerbit

FK UI. Jakarta. hal: 55-69.

Kaneshiro, Neil K., MD., 2010. Otitis media with effusion.MedlinePlus.

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of

Pediatrics. 18 th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

Paparella MM, Adams GL, Levine SC, 1997. ‘Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid’

dalam Adams GL, Boies LR, Higler PA (Ed). Boies Buku Ajar Penyakit THT.

Edisi keenam.EGC. Jakarta. hal: 90, 95, 97, 88-118.

Probst R, Grevers G, 2006.The Middle Ear in Basic Otorhinolaryngology-A step-bystep

Learning Guide. Thieme. New York. p 241-9.

Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of

Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1650 – 1653.

Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and Other

Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysons’s Principles of

Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.

Shaikh N., Hoberman A., Kaleida P., et al. Diagnosing otitis media: otoscopy and cerumen

removal. N Engl J med. 2010;362(20):e62-e64.

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media

Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta.

Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American Medical Association

(JAMA), 304 (19): 2194.

27

Page 28: Lapsus Tht Oma

Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B., dkk, ed.

Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International Student Version

Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 – 621.

World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training

Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.

World Health Organization (WHO)., 2010. Second Hand Smoke: Accessing The Burden

of Disease at National and Local Levels. Enviromental of Disease Series, 18: 12 –

13; 23 – 26.

28