Transcript

Laporan Arsitektur dan Lingkungan Green Architecture di Masyarakat Baduy

Elyta Muliawati. 2006720007

JURUSAN FISIKA FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN SAINS UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN 2010

Green Architecture di Masyarakat Baduy Elyta Muliawati 2006720007 Jurusan Fisika. Fakultas Teknologi Informasi dan Sains Universitas Katolik Parahyangan Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Perkembangan jaman seiring dengan perkembangan teknologi menyebabkan para arsitek menitik beratkan kecanggihan teknologi dan estetika bangunan sehingga melupakan kaitan arsitektur dengan lingkungannya. Rusaknya alam menyebabkan banyak profesi arsitek saat ini sedang mengalami tekanan yang kuat untuk melakukan perubahan besar dalam metode merancang dan juga melakukan absorbsi teknologi yang cepat agar dapat menghasilkan rancangan yang kontemporer yang berorientasi pada Arsitektur Hijau (green architecture), yang lebih tanggap pada isu-isu lingkungan. Untuk memahami arsitektur hijau diperlukan pemahaman jiwa masyarakat tradisional dan karya arsitektur mereka. Suku baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang menggunakan arsitektur tradisional. Konsep green architechture atau arsitektur hijau banyak mengadopsi dari arsitektur tradisional. I. Latar Belakang Green architecture atau lebih dikenal dengan arsitektur hijau merupakan salah satu konsep arsitektur yang sedang berkembang dengan pesat. Saat ini istilah green architecture atau arsitektur hijau sangat kerap kita dengar, lihat dan baca baik dimedia cetak eletronik maupun jadi pembicaraan dalam pertemuan-pertemuan dan diskusidiskusi. Istilah ini timbul akibat gencarnya peringatan yang mendunia atas issue pemanasan global. Green dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building (bangunan dengan performa sangat baik). Ukuran 'green' ditentukan oleh berbagai faktor, dimana terdapat peringkat yang merujuk pada kesadaran untuk menjadi lebih hijau. Arsitektur hijau mulai mencuat ketika Komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan menelurkan deklarasi, populer dengan Brundtland Report (1987). Deklarasi ini sarat dengan kepentingan

arsitek, melibatkan permasalahan lingkungan binaan: kota, bagian kota, maupun bangunan, yang dituntut selaras dengan daya dukung lingkungan guna meminimalkan penurunan kualitas lingkungan. Bagaimana agar arsitek mampu meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa merusak lingkungan. Standardisasi dan penilaian tingkat hijau suatu bangunan dimulai di Inggris tahun 1990 ketika lembaga penelitian bangunan milik pemerintah, Building Research and Establishment (BRE), memformulasikan standar Building Research and Establishments Environmental Assessment Method (BREEAM) yang merupakan acuan penilaian tingkat hijau paling lengkap, paling ilmiah, dan paling banyak digunakan saat ini. Acuan BREEAM membedakan terpisah delapan tipologi bangunan dalam penilaian: bangunan pendidikan, industri, kesehatan, penjara, pengadilan, perkantoran, perdagangan, dan hunian, termasuk rumah susun, apartemen, dan hotel. Di negara-negara maju terdapat award, pengurangan pajak, insentif yang diberikan pada bangunan-bangunan yang tergolong 'green'.

Gambar 1. Green Buiding dengan pembukaan udara dan cahaya yang baik. II. ISI Arsitektur hijau tentunya lebih dari sekedar menanam rumput atau menambah tanaman lebih banyak di sebuah bangunan, tapi juga lebih luas dari itu, misalnya memberdayakan arsitektur atau bangunan agar lebih bermanfaat bagi lingkungan, menciptakan ruang-ruang publik baru, menciptakan alat pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya. Arsitektur hijau akan tercipta dengan sendirinya ketika manusia berpikir dan berperilaku hemat, tidak boros energi, menggunakan sesuatu seperlunya dan

secukupnya. Tanpa itu semua, arsitektur hijau hanya muncul sebagai label, semboyan tanpa makna.

Ada 10 parameter bangunan dikatakan menggunakan konsep arsitekur hijau yang dinilai: manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan inovasi. Standar ini memberi lima kategori hasil penilaian: pass, good, very good, excellent, dan outstanding ( contoh gambar dapat dilihat pada gambar 2 dan 3). Meskipun diklaim dapat digunakan universal, standar ini tidak praktis digunakan di sejumlah negara berkembang, seperti

Gambar 2 dan 3. Thai Temple Built From One Million Recycled Bottles dan Amazing Green Roof Art School in Singapore

di Negara Indonesia, karena keterbatasan data dan standar bangunan pendukung lain. Standar hijau lain adalah Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), dicetuskan United States Green Building Council (USGBC) tahun 1994, mengadopsi dan mengembangkan konsep BREEAM untuk aplikasi lebih praktis. Standar lain, seperti the National Australian Building and Environment Rating System (NABERS) dikeluarkan Pemerintah Australia, kemudian Green Stars dicetuskan Australia Green Building Council, dan Green Marks dikeluarkan Singapore Green Building Council, mencoba lebih spesifik menghadirkan standar hijau yang lebih praktis dan mudah diaplikasikan di negara masing-masing. Gerakan membangun lembaga akreditasi arsitektur hijau di Tanah Air sudah dimulai, sementara penawaran produk arsitektur berlabel hijau sudah lebih cepat mendahului. Masyarakat beramai-ramai menggunakan label green agar tidak ketinggalan kereta tanpa peduli apakah label yang disandang memang sungguh hijau. Di Indonesia arsitektur hijau sebenarnya sudah lama diterapkan oleh salah satu suku di Indonesia. Tren arsitektur hijau di Indonesia tidak harus membuntuti yang ada di negara maju. Tatap kembali dan becermin pada arsitektur tradisional di Tanah Air, tatap perilaku masyarakat tradisional yang hemat, tidak konsumtif sumber daya alam, minim menggunakan teknologi dan peralatan boros energi yang mencemari lingkungan dan mengakibatkan pemanasan global. Suku baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang menggunakan arsitektur tradisional. Konsep green architechture atau arsitektur hijau banyak mengadopsi dari arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional merupakan sublimasi arsitektur tradisional. Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Kehidupan orang baduy yang tinggal di daerah pedalaman serta jauh dari pola hidup modern, tidak ada kendaraan yang digunakan, tidak ada bahan bakar fosil pengemisi CO dikonsumsi. Kegiatan di dalam maupun di luar rumah pun demikian. lahir jauh sebelum istilah arsitektur hijau muncul, maka secara mendasar arsitektur hijau

Hampir semua aktivitas, sengaja atau tidak, minim mengonsumsi sumber daya alam, sumber daya energi dan mineral, serta minim mencemari alam dan lingkungan. Bangunan tidak memerlukan AC, tidak memerlukan lampu listrik, menggunakan minyak tumbuhan, ranting, atau daun kering untuk penerangan. Material bangunan dari kayu, bambu, dan dedaunan merupakan material terbarukan yang diambil dari lingkungan setempat. beberapa gambar mengenai kebudayaan orang baduy yang menganut konsep arsitektur hijau.

Gambar 4. Arsitektur bangunan mayarakat Baduy

Gambar 5. Lumbung padi orang baduy

Hal tersebut ternyata menjadi pusat perhatian tersendiri bagi kalangan arsitektur Indonesia. Hampir semua arsitektur tradisional di Indonesia yang masih difungsikan memiliki ciri serupa arsitektur Baduy. Suatu karya arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, minim mengonsumsi energi, minim mengemisi CO, memanfaatkan material terbarukan, dan minim menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia, sebagaimana disyaratkan dalam konsep arsitektur hijau. Terlihat pada gambar 4 tampak serumpun rumah-rumah panggung hampir tak terbedakan. Satu sama lain berjejer berhadapan teratur membentuk satuan-satuan ruang terbuka. Satu konsep cluster yang lahir tidak dari rahim akademik. Tetapi dari keniscayaan naluri dan habitus (vernaculus) yang kelak justru diadopsi oleh para teoritikus dan praktisi dengan jumawa. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior dan interiornya.

Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya. Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunanbangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpakumpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya. Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponenkomponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk. Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk

menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering. Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis. Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbedabeda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil. Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba. Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah. Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri. Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak

untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku. Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya. Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur. Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga. Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya. Selain dari arsitektur rumah atau bangunan yang hijau ada pula konservasi hutan, alam dan air. Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buahbuahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Mengingat kenyataan bahwa wilayah desa kenes hamper seluruhnya berupa bukit bukit dengan kemiringan lereng yang cukup terjal, maka factor keadaan bentang ala mini cukup berpengaruh dalam pola bercocok tanam. Namun masyarakat baduy tidak mau kehilangan kesempatan untuk menggarap lahan lahan yang umumnya berlereng terjal tersebut. Ada sikap khas dari orang Baduy dalam menghadapi kenyataan tersebut, yakni dengan melakukan tindakan pencagaran tanah dan bukit

yang sangat baik pada lahan lahan pertanian berbukit bukit. Tindakan ini menunjukkan sikap adaptif terhadap keadaan alam, sehingga meniadakan kesan kemiringan lereng lapangan yang umumnya terjal tersebut sebagai factor pembatas pada usaha berhuma. Adapun tindak pencagaran tanah dan air tersebut, antara lain: menutup permukaan tanah dengan sisa sisa ranting, semak belukar, sisa-sisa pembakaran belukar, dan limbah pertanian sebagai mulsa. Selanjutnya mereka menempatkan batang batang bamboo melingkar (sejajar kontur) untuk menahan mulsa. Becermin dari arsitektur tradisional yang digambarkan oleh masyarakat Baduy, tidak harus mengikuti sesuatu tepat sama atau kembali ke masa lalu. Mengutip pernyataan Pangeran Charles saat pembukaan lembaga pendidikan arsitektur Prince of Waless Institute of Architecture di London beberapa tahun silam, becermin dari arsitektur tradisional tidak bermaksud mengembalikan kenangan arsitektur masa lampau: What I would like to be taught and explored and studied in my institute, is the fact that architecture that nourishes the spirit is not so much a traditional architecture, which resembles or apes the past, but rather a particular kind of architecture whose forms, plans, materials are based on human feeling.