Transcript

LAPORAN AKHIR

KAJIAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM

RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS

PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2016

Pengarah:

Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri

Penanggung Jawab:

Tarman

Tim Penyusun:

Hasni

Naufa Muna

Sahari

Septika Tri Ardiyanti

Ayu Sinta Saputri

Nanang Andrian

Fitria Faradila

Narasumber Pendamping Kajian:

Wayan R. Susila

Rahdi Sumitro

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii

KATA PENGANTAR

Di tengah pelambatan ekonomi global yang belum menunjukkan perbaikan

signifikan, Indonesia perlu mempertimbangkan sektor usaha yang lebih tahan krisis

sebagai pendorong kinerja ekspor non migas. Sektor Usaha Kecil dan Menengah

(UKM) merupakan usaha yang dapat bertahan di tengah melambatnya

perekonomian global. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia pada lima tahun

terakhir yang mengalami peningkatan signifikan rata-rata sebesar 6,56% per tahun,

sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun.

Namun disisi lain, UKM masih memiliki beberapa keterbatasan dalam

melakukan ekspor. Salah satu upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah

tersebut adalah melalui pengembangan Trading House bekerjasama dengan UKM

dengan tujuan peningkatan ekspor sekaligus peningkatan kesejahteraan pelaku

UKM. Hal ini sejalan dengan reformasi kebijakan UMKM dan koperasi yang

dilaksanakan pada periode tahun 2015-2019 dan tertuang dalam Buku II Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi

bahwa “integrasi fasilitasi pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun

ekspor yang didukung sistem informasi pasar, dan pengembangan trading house

untuk produk-produk UMKM dan koperasi”.

Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun kajian

tentang Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non

Migas. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya

mempertahankan kesinambungan kinerja ekspor Indonesia khususnya peningkatan

ekspor dari sektor produk yang dihasilkan oleh UKM melalui peran Trading House

sebagai agregator ekspor nasional.

Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Pengembangan

Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas

segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini.

Jakarta, September 2016

PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii

ABSTRAK

KAJIAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE

DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS

Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi (kembali) permasalahan

yang menyebabkan Trading House di Indonesia belum efektif mendorong ekspor

non migas Indonesia; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis

pengelolaan Trading House di beberapa negara benchmarking dalam

mendorong ekspor; (3) Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor

yang akan dimasukkan dalam Trading House; (4) Membangun model

kelembagaan operasional Trading House dalam rangka mendukung peningkatan

ekspor sektor UKM. Metode pengumpulan data yang digunakan berupa survey

dan FGD serta dianalisis menggunakan metode benchmarking dan ANP. Hasil

kajian menunjukkan bahwa Trading House di Indonesia belum berkembang

karena banyak UKM belum memahami fungsi Trading House secara utuh

sementara lembaga sejenis Trading House hanya melaksanakan sebagian kecil

fungsi Trading House. Akibatnya, UKM hanya memanfaatkan sebagian kecil

fungsi Trading House. Faktor kritis kesuksesan Trading House di luar negeri

antara lain perlu adanya: landasan hukum, status kelembagaan, peran

pemerintah, tingkat keragaman produk, lembaga pendukung, dan kerangka

dasar operasional Trading House yang komprehensif. Kriteria prioritas untuk

menentukan produk Trading House adalah pangsa ekspor, impor dunia dan

ketersediaan bahan baku lokal. Produk prioritas Trading House adalah perhiasan

dan aksesoris, furnitur, makanan olahan, produk tekstil dan garmen, minyak atsiri

(produk spa aromaterapi). Model operasional Trading House sudah berhasil

dibangun dengan 5 fungsi utama yaitu fasilitasi pemberdayaan UKM,

perancangan dan pengembangan produk, koordinasi produksi, networking dan

distribusi informasi, serta pemasaran. Upaya mendesak yang perlu dilakukan

adalah mengimplemetasikan model Trading House yang telah disusun untuk

dijadikan semacam pilot proyek.

Kata kunci: Trading House, ekspor, produk UKM, benchmarking, dan ANP

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv

ABSTRACT

STUDY ON DEVELOPMENT OF TRADING HOUSE

TO INCREASE INDONESIA’S NON OIL EXPORTS

This study aims to (1) re-identify problems causing the ineffectiveness of

Trading House in Indonesia for boosting its non-oil exports; (2) Identify the critical

success factors of Trading House management in some benchmarking countries

for boosting their exports; (3) Develop criterias and priorities of potential export

products that will be included in the Trading House; (4) Establish operational

institutional model for Trading House in order to support the SME sector to

encourage their exports. Data collection methods used are survey and FGD. The

data are then analyzed using benchmarking methods and ANP. The results

showed that the Trading House in Indonesia has not evolved as many SMEs do

not understand the overall functions of the Trading House, while similar

institutions that are existing nowadays only carry a small part of Trading House’s

functions. As a result, SMEs only utilize a small part of Trading House’s

functions. Critical success factors of Trading House in other countries include the

need for: legal foundation, institutional status, the role of government, the level of

product diversity, supporting institutions, and basic framework of a

comprehensive operational Trading House. Moreover, criterias to determine

which products should be included in the Trading House are the share of exports,

world imports and the availability of local’s raw materials. Priority products to be

included in Trading House are jewelry and accessories, furniture, processed

foods, textile products and garment, essential oils (aromatherapy spa products).

Operational Model for Trading House has been successfully constructed with 5

main roles, namely facilitation of SMEs empowerment, design and product

development, production coordination, networking and distribution of information,

and marketing. Urgent action needs to be done is to implement a model Trading

House that have been compiled into a pilot project.

Keywords: Trading House, export, SME’s product, benchmarking, and ANP

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

ABSTRAK .................................................................................................. iii

ABSTRACT ................................................................................................ iv

DAFTAR ISI ................................................................................................ v

DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4

1.3 Tujuan Pengkajian .................................................................... 5

1.4 Output Pengkajian..................................................................... 5

1.5 Dampak/Manfaat ....................................................................... 6

1.6 Ruang Lingkup .......................................................................... 6

1.7 Sistematika Laporan ................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9

2.1 Definisi dan Fungsi Trading House ........................................... 9

2.2 Kebijakan dan Model Kelembagaan Trading House di Beberapa

Negara .................................................................................... 10

2.3 Kebijakan, Kendala dan Kinerja Trading House di Indonesia . 15

2.4 Tinjauan Terhadap Metode Analisis (Benchmarking dan ANP)

................................................................................................ 18

BAB III METODE PENGKAJIAN ............................................................ 27

3.1 Metode Analisis ....................................................................... 27

3.1.1 Kerangka Berfikir ...................................................... 27

3.1.2 Metode Benchmarking ............................................. 28

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vi

3.1.3 Metode Pemilihan Produk Ekspor dengan Analitycal

Network Process (ANP) ........................................... 30

3.2 Data ........................................................................................ 32

BAB IV KELEMBAGAAN TRADING HOUSE DI NEGARA

BENCHMARKING DAN INDONESIA ......................................... 33

4.1 Faktor-faktor Keberhasilan Trading House di Negara

Benchmarking ......................................................................... 33

4.1.1 Kebijakan Pendukung Trading House di Negara

Benchmark ................................................................... 33

4.1.2 Kelembagaan Operasional ............................................. 40

4.2 Tinjauan Trading House di Indonesia ............................................. 44

4.2.1 Jenis dan Kelembagaan Trading House Eksisting ......... 44

4.2.2 Peta Permasalahan Trading House Indonesia .............. 45

BAB V PRODUK PRIORITAS TRADING HOUSE INDONESIA ............ 53

5.1 Kriteria untuk Menyusun Produk Prioritas Trading House Dalam

Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas .............................. 53

5.2 Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan

Ekspor Non Migas ................................................................... 55

5.2.1 Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan

Baku Lokal .................................................................... 57

5.2.2 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai

Output ........................................................................... 58

5.2.3 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan

Ekspor .......................................................................... 59

5.2.4 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan

Pangsa Ekspor ............................................................. 60

5.2.5 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren pertumbuhan

Impor Dunia .................................................................. 61

5.2.6 Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap

Perekonomian .............................................................. 62

5.2.7 Bobot Kriteria Berdasarkan Produk Prioritas ................ 63

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vii

5.2.8 Produk Prioritas dalam Trading House Indonesia ........ 67

BAB VI MODEL KELEMBAGAAN OPERASIONAL DAN KEBIJAKAN

PENDUKUNG TRADING HOUSE INDONESIA ......................... 68

6.1 Model Kelembagaan Operasional ............................................ 69

6.1.1 Pemasaran Secara Integral ........................................... 69

6.1.2 Networking dan Distribusi Informasi .............................. 85

6.1.3 Perancangan dan Pengembangan Produk .................... 89

6.1.4 Koordinator Produksi .................................................... 100

6.1.5 Fasilitasi pemberdayaan UKM ..................................... 104

6.2 Alternatif Bentuk Trading House dan Kebijakan Pendukungnya

.............................................................................................. 107

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............... 111

7.1 Kesimpulan ............................................................................... 111

7.2 Rekomendasi Kebijakan ........................................................... 112

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 113

LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 116

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Manfaat Trading House Bagi Produsen dan Pembeli di Luar Negeri ………………………………………………...

12

Tabel 2.2 Penelitian Menggunakan Metode ANP…………………. 23

Tabel 3.1 Kriteria Benchmarking Sebagai Pembanding Kinerja .... 29

Tabel 4.1 Benchmarking Trading House Korea Selatan dan

Jepang ……………………………………………………... 39

Tabel 4.2 Faktor Keberhasilan Kritis Trading House di Negara

Benchmarking …………………………………………….. 40

Tabel 4.3 Benchmarking Lembaga Pelaksana Trading House di

Indonesia …………………………………………………... 49

Tabel 5.1 Hasil Pembobotan Prioritas Kriteria Produk yang akan

ditangani melalui Trading House ……………………….. 54

Tabel 5.2 Kelompok Pilihan Produk Prioritas yang Diusulkan

untuk ditangani melalui Trading House ………………… 57

Tabel 5.3 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan

Bahan Baku Lokal ……………………………………….. 58

Tabel 5.4 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren

Pertumbuhan Nilai Output ……………………………….. 59

Tabel 5.5 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren

Pertumbuhan Ekspor …………………………………….. 60

Tabel 5.6 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren

Pertumbuhan Pangsa Ekspor …………………………… 61

Tabel 5.7 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren

Pertumbuhan Impor Dunia ………………………………. 62

Tabel 5.8 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi

Terhadap Perekonomian ………………………………… 63

Tabel 5.9 Bobot Produk Prioritas Menurut Semua Kriteria ……… 66

Tabel 5.10 Total Bobot Produk Prioritas ……………………………. 67

Tabel 6.1 Perbandingan Keunggulan Tiga Alternatif Bentuk atau

Status Trading House …………………………………….. 109

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbandingan Hirarki Linier dan Jaringan Feedback .... 24

Gambar 3.1 Pola Pikir Kajian …………………………………………... 28

Gambar 4.1 Hubungan Pemerintah Jepang dengan Sogo Shosha… 42

Gambar 4.2 Operasional Kelembagaan KGTC ………………………. 43

Gambar 4.3 Fungsi Trading House yang Dimanfaatkan UKM ……… 45

Gambar 4.4 Fungsi Trading House yang Jarang Dirasakan

Manfaatnya Oleh UKM …………………………………… 47

Gambar 4.5 Masalah UKM Ketika Berhadapan dengan Buyer……... 48

Gambar 6.1 Kerangka Operasional Trading House …………………. 68

Gambar 6.2 Bagan Alur Networking & Distribusi Informasi Trading

House ………………………………………………………. 87

Gambar 6.3 Bagan Alur Perancangan & Pengembangan Produk

Trading House …………………………………………….. 91

Gambar 6.4 Beberapa Hubungan Timbal Balik dalam Perencanaan

dan Pengembangan Produk……………………………… 94

Gambar 6.5 Urutan Proses Kerja Perencanaan ……………………… 95

Gambar 6.6 Bagan Alur Koordinasi Produksi Trading House ………. 101

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam upaya mempercepat laju ekspor Indonesia, peningkatan

ekspor dari sektor usaha kecil dan menegah (UKM) merupakan

pendekatan yang strategis. UKM adalah sektor yang mampu

bertahan dalam situasi ekonomi domestik dan global yang

mengalami krisis. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia yang

mengalami peningkatan signifikanselama lima tahun terakhir (2010-

2014) rata-rata sebesar 6,56% per tahun, sedangkan jumlah usaha

besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun (BPS, 2015).

Selain itu, UKM menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan

usaha besar. Pada tahun 2013, usaha besar dan sedang hanya

menyerap 4,38 juta tenaga kerja, sebaliknya UKM dapat menyerap

9,73 juta tenaga kerja (BPS, 2015).

UKM memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung

pertumbuhan ekonomi suatu negara karena tahan akan krisis,

kecepatan dalam inovasi dan fleksibel terhadap kondisi pasar

(Partomo dan Soejoedono, 2002). Meskipun demikian, potensi UKM

di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kinerja

ekspor sektor UKM masih sangat rendah dengan pangsa sekitar 2%

dari total ekspor non migas nasional pada tahun 2013. Pada periode

tersebut, nilai ekspor sektor UKM mencapai Rp 28,04 triliun, hanya

meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya. Masih lemahnya kinerja

ekspor UKM nasional terutama disebabkan oleh beberapa faktor

seperti rendahnya kualitas produk, kelemahan dalam memperoleh

informasi pasar, volume ekspor secara individual masih sangat kecil,

kualitas produk yang belum memenuhi standar, kemasan yang

kurang efektif, belum ada grading, promosi yang sangat terbatas,

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2

serta kemampuan teknis melakukan ekspor yang masih sangat

terbatas (Tambunan, 2002) dan (Puslitbang Dagri, 2009).

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meminimalkan

masalah tersebut adalah dengan mengembangan Trading House

guna mendukung ekspor produk UKM. Secara teoritis, Trading

House memiliki fungsi untuk mengatasi masalah tersebut seperti

untuk mencari informasi pasar dan pemasaran internasional,

peningkatakan skala ekspor dengan melakukan fungsi pengumpul

sehingga mendapat manfaat dari economies of scale, Pengadaan

bahan baku, Pengurusan asuransi, transportasi, Akses teknologi

produksi dan kemasan, Riset pasar dan informasi bisnis/pasar dan

Peningkatan kompetensi UKM untuk memenuhi standar mutu dan

taste setiap pasar (Puslitbang Dagri, 2009).

Secara empiris, pengembangan ekspor dengan memanfaatkan

Trading House oleh Jepang dengan sogo shosha mulai tahun

1950an dan Korea Selatan dengan Korean Global Trading company

(KGTC) sejak tahun 1970-an. Nilai ekspor manufaktur yang didukung

oleh manajemen sogo shosha meningkat dari USD 2 miliar di tahun

1973 menjadi USD 8 miliar di tahun 1976. Sementara nilai ekspor

Korea Selatan setelah melibatkan KGTC meningkat 277% selama

periode 1975-1979 dari USD 5 miliar menjadi USD 15 miliar. Negara

lain yang juga mengembangkan konsep Trading House untuk

meningkatkan ekspornya antara lain Kanada, AS, Hongkong, dan

Brazil.

Berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa peran

intermediaries yang dilakukan oleh Trading House efektif untuk

meningkatkan ekspor terutama ditujukan kepada para pelaku UMKM.

Biesebroeck et. al. (2010) menyebutkan bahwa salah satu hambatan

pasar yang dihadapi eksportir adalah besarnya sunk costs yang

antara lain mencakup biaya untuk memperoleh informasi pasar yang

spesifik, membangun jaringan distribusi, identifikasi pelanggan, dan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3

memahami peraturan di negara importir. Sementara Tsao (2004)

menyimpulkan bahwa Small and Medium Sized Export Trading

Companies (SMETC) juga berperan besar dalam peningkatan sarana

bagi jaringan produksi (production network) domestik di Taiwan.

Feenstra dan Hanson (2004) menunjukkan besarnya peranan

intermediaries di Hongkong dalam meningkatkan ekspor RRT.

Llamazares (2015) memperkirakan peran Trading House akan

semakin meningkat dan berkembang di masa mendatang khususnya

di negara-negara emerging market seperti negara-negara di kawasan

Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Hal ini sejalan dengan reformasi kebijakan UMKM dan koperasi

yang akan dilaksanakan pada periode tahun 2015-2019 dan tertuang

dalam Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2015-2019 yang berbunyi bahwa “integrasi fasilitasi

pemasaran dan sistem distribusi baik domestik maupun ekspor yang

didukung sistem informasi pasar, dan pengembangan trading house

untuk produk-produk UMKM dan koperasi”. Dalam RPJMN juga

disebutkan peningkatan fungsi Lembaga Layanan Pemasaran

Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah (LLP – KUKM) sebagai

trading house bagi produk UMKM dan koperasi secara nasional,

merupakan salah satu kerangka kelembagaan yang dibutuhkan

dalam rangka mendukung peningkatan daya saing UMKM dan

koperasi.

Namun demikian, peran Trading House di Indonesia untuk

mendorong ekspor Indonesia belum efektif. Sebagai contoh, potensi

industri meubel dan furniture dalam negeri sangat besar,

permasalahan utama dalam sektor tersebut khususnya untuk UKM

adalah kesulitan dalam akses bahan baku seperti melakukan stok

terhadap bahan baku seperti kayu dan rotan serta impor aksesoris

dari luar negeri. Kesulitan tersebut disebabkan karena besarnya

biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan stok bahan baku

serta ketidakmampuan UMKM dalam memahami beberapa peraturan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4

terkait ekspor-impor. Namun demikian, hingga saat ini, belum ada

Trading House yang berperan dalam pembiayaan serta kemudahan

akan akses bahan baku (Goenawan, 2014). Hal ini disebabkan oleh

jumlah dan peran Trading House yang masih minimal serta hanya

berfokus pada produk tertentu. Beberapa contoh Trading House di

Indonesia adalah PT PPI dan Sarinah yang perannya masih minimal

dan hanya berfokus pada produk furnitur (Puspadewi, 2015).

Beberapa faktor penyebab peran Trading House di Indonesia

yang masih minimal antara lain adalah masih lemahnya konsep

kelembagaan Trading House. Walau sudah memiliki landasan hukum

seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997

tentang kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil dan

menengah (UKM), konsep kelembagaan (model) Trading House

belum jelas. Dengan konsep yang belum jelas tersebut Trading

House yang sudah ada, tidak memiliki model kelembagaan seperti

yang dimiliki oleh Trading House di Jepang atau Korea Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

maka rumusan masalah dalam pengkajian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah permasalahan utama yang menyebabkan Trading House

di Indonesia belum efektif untuk mendorong ekspor non migas

Indonesia, khususnya sektor UKM?

b. Apakah yang menjadi faktor penentu keberhasilan Trading House

di beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor?

c. Apakah produk yang diprioritaskan dalam Trading House?

d. Bagaimanakah model kelembagaan operasional Trading House

yang sesuai di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan

ekspor non migas?

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5

1.3 Tujuan Pengkajian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

maka tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan

Trading House di Indonesia belum efektif mendorong ekspor non

migas Indonesia;

b. Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan

Trading House di beberapa negara benchmarking dalam

mendorong ekspor;

c. Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang

akan dimasukkan dalam Trading House;

d. Membangun model kelembagaan operasional Trading House

dalam rangka mendukung peningkatan ekspor sektor UKM.

1.4 Output Pengkajian

Kajian Pengembangan Trading House dalam Rangka

Peningkatan Ekspor Non Migas diharapkan menghasilkan beberapa

output sebagai berikut:

a. Peta permasalahan yang menyebabkan Trading House belum

berkembang di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan

target ekspor non migas Indonesia;

b. Faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di

negara benchmarking;

c. Rekomendasi prioritas produk-produk yang akan dimasukkan

dalam Trading House;

d. Rekomendasi kebijakan pengembangan Trading House di

Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan target ekspor

non migas Indonesia;

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6

1.5 Dampak/Manfaat

Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk

peningkatan kinerja ekspor non migas Indonesia, khususnya produk-

produk yang dihasilkan oleh UKM dan sesuai untuk diperdagangkan

melalui konsep pengembangan Trading House yang tepat.

1.6 Ruang Lingkup

Adapun yang menjadi ruang lingkup dari kajian ini adalah:

a. Konsep/Model Trading House

b. Metode Benchmarking dilakukan dengan negara yang sukses

dalam mengembangkan Trading House

c. Produk potensial ekspor yang sesuai untuk dikembangkan

melalui Trading House, dibatasi pada produk-produk yang

dihasilkan oleh UKM.

Sementara kegiatan survey dengan metode wawancara dan

kunjungan lapangan akan dilaksanakan di daerah sentra-sentra

pengembangan produk UKM yaitu di provinsi Bali, Jawa Tengah,

Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat.

Sedangkan kegiatan Focuss Group Discussion (FGD)

diselenggarakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

1.7 Sistematika Laporan

Laporan penelitian terdiri dari tujuh Bab dengan isi masing-

masing Bab sebagai berikut:

a. BAB I Pendahuluan

Pada bagian ini diuraikan masalah umum yang berkaitan dengan

kinerja ekspor sektor UKM. Faktor umum yang menghambat

peningkatan ekspor UKM. Masalah penelitian selanjutnya

diuraikan secara fokus pada peran dan lemahnya peran Trading

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7

House di Indonesia serta beberapa contoh Trading House di

beberapa negara yang berhasil mendorong ekspor. Dalam

pendahuluan juga diuraikan rumusan masalah, tujuan, output,

dampak/manfaat, ruang lingkup kajian, dan sistematika laporan.

b. BAB II Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini diuraikan studi literatur yang berkaitan dengan

studi ini. Pada bagian pertama dari tinjauan pustaka dibahas

berbagai aspek yang berkaitan dengan definisi dan fungsi Trading

House di Indonesia. Tinjauan juga membahas berbagai hasil studi

secara empiris dari model kelembagaan Trading House di

berbagai negara termasuk kebijakan dan model Trading House di

beberapa negara. Sub bab selanjutnya, pembahasan lebih

difokuskan pada metode analisis data yang digunakan yaitu

metode benchmarking dan metode ANP baik dari sisi teori

maupun aplikasinya di berbagai bidang studi.

c. BAB III Metode Pengkajian

Bab ini diawali dengan kerangka berpikir yang terdiri dari uraian

latar belakang secara singkat, metode pengkajian dan

rekomendasi yang diharapkan sebagai output dari kajian ini.

Selanjutnya dibahas dua hal yaitu metode analisis data dan teknik

pengumpulan data. Pada metode analisis data diuraikan bentuk

model benchmarking yang digunakan, dan metode ANP untuk

penyusunan kriteria dan produk prioritas untuk ditingkatkan

ekspornya melalui Trading House. Pada bagian ini juga diuraikan

data yang dibutuhkan serta sumber data.

d. BAB IV Trading House di Indonesia dan Negara Benchmark

Pada sub bab awal dari bab ini dibahas tinjauan atau kondisi

eksisting Trading House yang ada di Indonesia selama ini. Sub

bab selanjutnya membahas faktor keberhasilan Trading House di

negara benchmark, termasuk kebijakan pendukung Trading

House dan kelembagaan operasional di negara-negara tersebut.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8

e. BAB V Produk Prioritas Trading House Indonesia

Pada bab ini pembahasan ditekankan pada pengembangan

kriteria untuk menentukan produk yang sesuai diperdagangkan

melaluiTrading House. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut,

pembahasan dilanjutkan dengan penyusunan komoditas prioritas

untuk Trading House dalam rangka meningkatkan ekspor non

migas dengan menggunakan metode ANP.

f. BAB VI Model Kelembagaan Operasional dan Kebijakan

Pendukung Untuk Trading House Indonesia

Bab ini akan menyajikan usulan model kelembagaan operasional

untuk Trading House Indonesia. Selain itu, dipaparkan juga

kebijakan pendukung dalam penerapan Trading House termasuk

keberadaan pendanaan, asuransi, dan lembaga terkait Trading

House lainnya.

g. BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Bagian pertama dari bab ini membahas kesimpulan yang ditarik

dari bab-bab sebelumnya terutama mengenai hasil benchmarking

dan usulan model dasar operasionalisasi Trading House serta

produk prioritas yang diusulkan untuk ditangani oleh Trading

House Indonesia. Pada sub bab berikutnya dibahas mengenai

rekomendasi dan implikasi kebijakan berkaitan dengan

pengembangan Trading House dalam rangka meningkatkan

ekspor non migas.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Fungsi Trading House

Beberapa negara keberhasilan peningkatan ekspornya

didukung oleh keberadaan suatu lembaga yang berperan dalam

memfasilitasi eksportir untuk dapat meningkatkan kinerja ekspor.

Fasilitas tersebut mulai dari proses produksi hingga pengiriman

produk ke negara tujuan ekspor, lembaga ini disebut Trading House.

Trading House merupakan commercial intermediaries yang lebih

berfokus pada kegiatan ekspor dan impor yang menjadi aktivitas

utamanya dan menjadikan pasar luar negeri sebagai pasar utama

(Ontario Association for Trading House/OATH, 2015).

Sementara itu, menurut The World Federation of Trading House

Associations (WFTA) dalam Puslitbang Dagri, 2009 disebutkan

bahwa Trading House are commercial intermediaries involved in

Trading accros international borders in goods and services mainly

supplied by others.

Peran Trading companies kerap berkembang seiring

berjalannya waktu. Pada akhir tahun 1990, karena keterkaitannya

yang erat dengan dengan aktivitas lain seperti shipping, insurance,

finance dan manufacturing, hanya sedikit trading companies yang

diklasifikasikan sebagai pure trading companies. Definisi Trading

companies yang lebih luas ini lalu disebut dengan hybrid Trading

companies. Kendati demikian, fokus utama Trading companies

adalah sebagai perantara antara penjual dan pembeli.

Trading companies dapat berperan sebagai broker atau

reseller. Baik perusahaan kecil maupun perusahaan besar dapat

memanfaatkan Trading companies. Bagi perusahaan kecil, trading

companies dapat membantu menembus pasar internasional.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10

Sedangkan bagi perusahaan besar, Trading companies dapat

dimanfaatkan untuk mencari dan menembus pasar baru.

Menurut Fedorowicz (2004) fungsi Trading House meliputi

antara lain: (1) Pemilihan pasar dan riset pasar; (2) Identifikasi dan

evaluasi konsumen; (3) Negosiasi komersial dan teknis; (4)

Pengembangan vendor; (5) Adaptasi produk/kemasan dan

peningkatan teknologi; (6) Impor, terutama barang yang dibutuhkan

untuk produksi ekspor; (7) Pengaturan keuangan termasuk

mengamankan kredit; (8) Counter-Trading; (9) Perlindungan

terhadap risiko ekspor termasuk asuransi; (10) Memastikan

pembayaran; (11) Dokumentasi ekspor dan pengiriman; (12)

Mengelola krisis dan bencana; (13) Pengurusan klaim; (14)

Ketersediaan layanan purna jual dan suku cadang; (15) Proyek

ekspor, konsorsium dan bisnis tender; (16) Menciptakan jaringan

distribusi luar negeri; (17) Hubungan khusus dengan pemerintah.

2.2 Kebijakan dan Model Kelembagaan Trading House di Beberapa

Negara

Beberapa kebijakan dan model kelembagaan Trading House di

berbagai negara dapat dijadikan sebagai usulan model Trading

House di Indonesia, antara lain Kanada, Taiwan dan Swedia.

a. Kanada

Trading House yang terdapat di beberapa negara memiliki

karakteristik yang berbeda-beda di setiap negara, termasuk salah

satunya adalah Kanada. Asosiasi Trading House di Kanada

dikenal dengan nama Ontario Association of Trading House

(OATH) yang berpusat di Ontario, Kanada yang didirikan pada

tahun 1996. OATH di Kanada adalah profit organization yang

berkomitmen untuk pengembangan perdagangan internasional

Kanada. OATH tersebut dikelola oleh para ahli di bidang

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11

perdagangan internasional dan beranggotakan para produsen

(manufacturer) yang terlibat dalam perdagangan internasional

serta perusahaan yang menyediakan layanan perdagangan.

OATH mulai didirikan karena pada saat itu belum terdapat

asosiasi Trading House yang dinilai cukup kohesif di Kanada.

Pembentukan Trading House di Kanada dimulai pada tahun 1984,

pada saat pemerintah federal membentuk satuan tugas (task

force) Trading House. Trading House di Kanada merupakan

murni lembaga swasta atau Private entrepreneurial effort dan

tidak terdapat spesialisasi produk.

Trading House di Kanada berperan sebagai perantara bisnis

antara produsen yang terdapat di Kanada dengan para konsumen

atau pembeli yang terdapat di luar negeri. Salah satu Trading

House Kanada adalah melakukan ekspor, impor dan terlibat

dalam perdagangan dengan negara ketiga sehingga secara

umum bertindak sebagai:

a. Agen ekspor yang bertindak atas nama pihak lain dan dibayar

berdasarkan komisi;

b. Perusahaan manajemen ekspor yang menangani sebagian

dari ekspor perusahaan induk;

c. Dapat terlibat kegiatan imbal dagang (countertrade) jika

diperlukan;

d. Agen pembelian yang menjadi supplier bagi perusahaan

asing.

Dengan demikian, Trading House yang berperan sebagai

trade intermediaries diharapkan dapat memberikan keuntungan

bagi kedua belah pihak produsen dan buyer (Tabel 2.1).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12

Tabel 2.1 Manfaat Trading House Bagi Produsen dan Pembeli di Luar Negeri

PRODUSEN PEMBELI DI LUAR NEGERI

Barang dikumpulkan dan

pembayaran dilakukan di depan

pintu.

Kehandalan terbukti untuk

kualitas, harga dan pengiriman

Realisasi harga yang lebih baik

karena organisasi pemasaran di

luar negeri

Biaya lebih rendah karena

jaringan fasilitas pengadaan

Semua risiko dan kesulitan untuk

ekspor dihindari.

Fasilitas one stop shopping

Jaringan global untuk informasi

techno-komersial

Layanan purna jual terjamin

Masuk pasar dengan biaya yang

lebih rendah

Transportasi dan penanganan

dengan biaya lebih rendah.

Perspektif bisnis jangka panjang Perspektif bisnis jangka

panjang

Sumber: OATH (2015)

b. Taiwan

Pemerintah Taiwan mendirikan Large Trading Companies

(LTC) pada tahun 1978. Pendirian ini didorong oleh keberhasilan

Sogo shosha di Jepang dan Global Trading Companies (GTC) di

Korea Selatan. Sama seperti alasan pendirian Sogo shosha dan

GTC, LTC didirikan oleh pemerintah Taiwan juga untuk

mengurangi kontrol foreign companies dalam perdagangan

internasional di wilayahnya, dimana untuk kasus Taiwan sebagian

besar dikuasai oleh perusahaan Jepang.

Pada akhir tahun 1970, foreign traders menguasai 70 persen

export Taiwan dan pada tahun 1986 masih menguasai 65 persen

export. Namun, latar belakang pendirian LTC Taiwan berbeda

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13

dengan latar belakang pendirian Sogo shosha di Jepang dan

GTC Korea Selatan. Sogo shosha terbentuk secara natural

dibawah support Keiretsu dan GTC di Korea Selatan dibentuk

dengan dukungan penuh dari pemerintah dan support dari

chaebols. Masing-masing Keiretsu dan Caebols kemudian

menggunakan Sogo shosha dan GTC sebagai perpanjangan

usaha perdagangan internasionalnya. LTC Taiwan tidak

mendapat dukungan dari konglomerat dan tidak didukung dengan

kebijakan pemerintah yang solid.

LTC Taiwan didirikan untuk melaksanakan beberapa tujuan,

antara lain:

a. Untuk mengurangi kontrol pedagang asing dalam

perdagangan internasionalnya, sehingga diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan perusahaan Taiwan untuk

melakukan ekspor secara langsung ke pasar internasional

dengan menggunakan merek (brand) Taiwan sendiri. Secara

tidak langsung juga diharapkan dapat meningkatkan

diversifikasi pasar karena Taiwan terlalu bergantung pada

pasar Amerika Serikat, Jepang dan Hong Kong

b. Membantu UKM untuk mempromosikan produk ekspornya;

c. Membangun subsidiaries dan jaringan perdagangan di luar

negeri untuk meningkatkan kemampuan memperoleh

informasi yang dapat membantu eksportir Taiwan agar dapat

bersaing di pasar internasional

d. Memperoleh material bahan baku secara lebih efektif.

Selain tujuan utama tersebut di atas, LTC juga diharapkan

dapat menjalankan beberapa fungsi berikut:

a. Mengumpulkan informasi komersial;

b. Pemasaran produk dan mengunjungi pelanggan di luar

negeri;

c. Mengembangkan pasar;

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14

d. Mendapatkan dukungan dari bank - pendanaan modal;

e. Mendirikan pusat-pusat distribusi di luar negeri

f. Berbagi risiko dengan UKM.

Pada tahun 1978, LTC yang pertama di Taiwan berdiri dan

pada tahun 1983 telah terdapat 7 LTC. Ketujuh perusahaan

tersebut dan tahun pendiriannya adalah: 1) Pan Overseas

International, 1978; 2) Collins, 1979; 3) Tainan Textuile

Enterprises, 1979; 4) Great International, 1979; 5) E-Hsin

International, 1980; 6) Peacock, 1984; dan 7) Taipoly, 1984.

Namun demikian, tidak semua LTC ini dapat bertahan lama. Pada

tahun 1989 hanya 3 perusahaan yang bertahan (E-Hsin, Collins

dan Pan Overseas) dan pada tahun 2000 hanya satu

perusahaan, yaitu Collins yang mampu bertahan.

c. Swedia

Sejarah munculnya Trading House di Swedia diawali oleh

kebutuhan perusahaan-perusahaan Swedia akan perusahaan

perantara dalam melakukan ekspor karena kurangnya

pengalaman dalam melakukan ekspor serta pengetahuan

mengenai regulasi di negara tujuan ekspor. Pada abad ke-19,

Trading House di Swedia hanya berperan sebagai agen

perdagangan beberapa komoditas, seperti gandum-ganduman,

besi dan baja, serta pulp. Seiring dengan kemajuan industri dan

telekomunikasi Swedia, dimana informasi pasar bisa didapatkan

dengan mudah, sebagian besar Trading House Swedia tutup.

Hanya beberapa Trading House masih dapat bertahan hingga

saat ini karena memiliki pengembangan strategik dan

mempertahankan peran penting.

Salah satu Trading House Swedia, Ekman & Co., Ltd.,

merupakan salah satu Trading House tertua di dunia. Ekman &

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15

Co., Ltd. merupakan perusahaan penjualan dan pemasaran hasil

industri kehutanan, seperti pulp, kertas dan packaging, recovered

materials, dan bioenergi, yang didirikan pada tahun 1802. Selain

berperan sebagai trader, Ekman & Co., Ltd. juga melayani

analisis pasar, invoicing dan dokumen, administrasi logistik dan

pergudangan, transportasi dan asuransi, pembiayaan

perdagangan, serta lindung nilai suku bunga dan price risk.

Selain Ekman & Co., Ltd., Business Sweden adalah Trading

House Swedia yang dimiliki oleh pemerintah Swedia, dibawah

Kementerian Luar Negeri, dan swasta dari Sveriges Allmanna

Utrikeshandelsforening. Tujuan utama didirikannya Business

Sweden adalah untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan

Swedia, terutama UMKM, untuk melakukan ekspor serta untuk

membantu perusahaan asing untuk melakukan bisnis dan

investasi di Swedia. Business Sweden terdapat di 50 negara di

dunia dan bekerjasama dengan kedutaan dan konsulat Swedia,

serta kantor dagang di seluruh dunia. Fokus industri dari

Business Sweden antara lain teknologi lingkungan dan energi,

industri makanan, ilmu alam dan perawatan kesehatan, ritel,

keamanan dan pertahanan, teknologi informasi, serta otomotif

dan transportasi. Beberapa layanan yang disediakan oleh

Business Sweden adalah konsultasi mengenai pasar, akuisisi,

pembentukan perusahaan, penjualan dan pemasaran; pendidikan

dan panduan mengenai peraturan perdagangan dan ekspor;

pertemuan bisnis; international procurement; dan layanan untuk

UMKM.

2.3 Kebijakan, Kendala dan Kinerja Trading House di Indonesia

Konsep mengenai Trading House di Indonesia telah tertuang

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang

Kemitraan antara Usaha Besar dengan Usaha Kecil dan Menengah

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16

(UKM). Di dalam peraturan tersebut dijabarkan mengenai pola-pola

kemitraan antara kedua skala usaha tersebut serta hak dan

kewajiban baik untuk usaha besar maupun UKM dalam menjalankan

kemitraan. Terdapat lima pola kemitraan antara kedua usaha

tersebut yang memiliki kesamaan dengan konsep Trading House

negara-negara lain.

Pada pola kemitraan inti-plasma, usaha besar merupakan inti

dan UKM merupakan plasma, dengan demikian usaha besar

bertindak sebagai pembina bagi UKM dengan menyediakan sarana

produksi, bimbingan teknis, dan pemasaran hasil produksi kedua

usaha. Kemitraan pola subkontrak merupakan kerjasama antara

usaha besar dengan UKM, dimana UKM memproduksi komponen

untuk produksi usaha besar.

Pada kemitraan pola dagang umum, usaha besar melakukan

pemasaran produk UKM dapat bertindak sebagai pemasok untuk

kebutuhn usaha besar. Pola kemitraan yang lain adalah pola

waralaba dimana usaha besar sebagai pemberi waralaba

memberikan kepada UKM hak penggunaan lisensi, merek dagang,

dan saluran distribusi perusahaannya dengan disertai bantuan

manajemen. Pola yang terakhir adalah pola keagenan dimana UKM

diberi hak oleh usaha besar untuk memasarkan produknya.

Trading House di Indonesia selain dilaksanakan oleh sektor

swasta juga dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti BUMN

dan lembaga tinggi negara setingkat kementerian. Trading House

yang berasal dari sektor swasta umumnya merupakan perusahaan

asing yang kemudian mendirikan branch office di Indonesia. Selain

itu, terdapat juga beberapa asosiasi pengusaha dan perusahaan

dagang di Indonesia yang berupaya melaksanakan tugas dan fungsi

Trading House seperti Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft

Indonesia (ASEPHI) yang telah membantu UKM yang menjadi

anggota untuk melakukan kegiatan ekspor.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17

Sementara The Indonesia Trading company (Indotraders)

merupakan Trading House yang membantu untuk memfasilitasi dan

melakukan ekspor termasuk masalah packaging dan shipping untuk

produk furnitur dan kerajinan yang berasal dari Bali. Selain sektor

swasta, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) merupakan

satu-satunya BUMN yang berperan sebagai Trading House yang

bergerak di bidang distribusi, ekspor dan impor. Kementerian

Koperasi dan UKM juga telah membentuk Lembaga Layanan

Pemasaran (LLP-KUKM) yang berfungsi untuk memasukkan seluruh

produk UKM ke pasar global dan memberikan pencitraan bagi

produk UKM Indonesia termasuk salah satunya dengan labelling

(Kementerian Koperasi dan UKM, 2015).

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan merencanakan

untuk mendorong dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

selama ini telah bergerak di bidang perdagangan yaitu PT.

Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT. PPI) dan PT. Sarinah

untuk dapat berperan sebagai Trading House dalam rangka

mendukung peningkatan ekspor non migas.

Beberapa kendala dalam pelaksanaan Trading House di

Indonesia antara lain (Puslitbang Dagri, 2009);

a. PP No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan belum ditindaklanjuti

dengan kebijakan operasional yang berkaitan dengan

pengembangan Trading House;

b. Kepmenperindag No. 402 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Perizinan Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing,

peraturan mengenai penetapan PPn dirasa menghambat Trading

House;

c. Belum ada Peraturan daerah (Perda) yang mengatur pembinaan

dan dukungan bagi pengembangan Trading House di daerah.

Trading House di Indonesia umumnya dilaksanakan oleh

swasta dan merupakan kepanjangan tangan dari pembeli di luar

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18

negeri. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa asosiasi

pengusaha berupaya mengoperasikan Trading House di beberapa

daerah di dalam dan luar negeri, seperti HIPMI Jateng yang telah

membuka pusat promosi di Rotterdam untuk mempromosikan produk

yang dihasilkan propinsi Jawa Tengah ke pasar Eropa. Kementerian

Koperasi dan UKM melalui LLP-KUKM telah membuka Trading

House di Plodiv Bulgaria, bekerja sama dengan mitra lokal (Log

Consultant Ltd), yang bertanggung jawab memasarkan produk

Indonesia di Eropa. Departemen Perdagangan juga pernah

menginisiasi pendirian beberapa Trading House di beberapa daerah,

seperti di Pekalongan (industri batik), Ciputat (industri konveksi) dan

Jakarta Timur (industri meubel), namun Trading House tersebut

dinilai belum maksimal dalam memberikan layanan bagi UKM mitra

usahanya (Puslitbang Dagri, 2009).

2.4 Tinjauan Terhadap Metode Analisis (Benchmarking dan ANP)

Efektivitas organisasi (organizational effectiveness) adalah

tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi dan sasaran-sasaran

yang direncanakan, serta tingkat penyelesaian terhadap masalah-

masalah yang dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan.

Efektivitas juga berarti bahwa organisasi telah melaksanakan atau

mengerjakan hal-hal dan pekerjaan-pekerjaan yang benar sesuai

dengan tugas pokok, fungsi, dan tujuan keberadaan organisasi yang

bersangkutan (Anonymous, 2007). Efektivitas organisasi ditentukan

oleh beberapa faktor yang terkait langsung dengan proses

operasional yang dilakukan untuk menjalankan tugas pokok dan

fungsinya, dengan melakukan proses transformasi terhadap

beberapa faktor input untuk menghasilkan keluaran (output) yang

sesuai dengan tujuan dan sasarannya.

Berbagai riset telah banyak dilakukan untuk mengukur dan

mengevaluasi efektivitas suatu organisasi. Ashraf dan Kadir (2012)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19

dan Love dan Skitmore (1996) menyatakan bahwa ada empat

metode pendekatan yang paling sering digunakan di dalam menilai

efektivitas suatu organisasi, yaitu melalui pendekatan pencapaian

tujuan (goal approach) atau juga disebut dengan model tujuan

rasional, pendekatan sumber daya sistem (resource system

approach), pendekatan proses operasi (process approach) atau juga

disebut model proses manajerial, dan pendekatan konstituen

strategis (strategic constituent approach). Cunningham (1977) juga

mengungkapkan bahwa selain keempat pendekatan tersebut, riset

tentang efektivitas organisasi juga ada yang menggunakan

pendekatan-pendekatan lainnya. Model tawar-menawar (bargaining

model) digunakan jika pertukaran antar kemampuan individu, atau

antara kelompok individu di dalam organisasi serta kemampuan

pembuatan keputusan yang tepat dan seimbang dalam

mengakomodasikan tujuan-tujuan individu dan kelompok menjadi

faktor yang penting.

Selanjutnya, Cunningham (1977) juga menguraikan bahwa

model fungsional struktur pernah digunakan jika efektivitas

organisasi sangat ditentukan oleh perbaikan dalam hal kemampuan

pengembangan struktur, aliansi, tradisi, doktrin, kontrak, dan

komitmen, serta mekanisme partisipasi. Jika efektivitas organisasi

lebih dipengaruhi oleh aktivitas sosial dan konsekuensinya, maka

model fungsional dapat digunakan. Dalam hal ini setiap sistem harus

mampu mendefinisikan maksud keberadaannya, menentukan

sumber daya yang diperlukan untuk mencapai maksud tersebut,

memantapkan arti untuk mengkoordinasikan dirinya dalam

mengurangi tekanan dan ketegangan terhadap lingkungannya.

Dalam kondisi suatu organisasi mengalami lingkungan yang

kompetitif dan perlu dikembangkan nilai-nilai penting untuk dapat

bersaing secara efektif Yu dan Wu (2009) serta Love dan Skitmore

(1996) menguraikan suatu model penilaian efektivitas yang disebut

kerangka nilai-nilai kompetisi (competing value frame work), yang

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 20

pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Dalam hal

ini ada dua dimensi internal yang penting bagi suatu organisasi untuk

dapat bersaing dan bertahan secara efektif, yaitu dimensi nilai-nilai

internal dan pengembangan sumberdaya manusia untuk mampu

menanggapi lingkungan makro yang meliputi orientasi kepada tujuan

individu dan orientasi kepada tujuan organisasi, serta dimensi terkait

dengan struktur organisasi yang sesuai dalam aspek keseimbangan

antara kemapanan dan keluwesan untuk merespon lingkungan

tersebut. Kedua dimensi tersebut akan mangarah kepada nilai-nilai

dan budaya organisasi yang dikembangkan untuk dapat bertahan

pada lingkungan yang kompetitif. Hossein et al. (2011)

mengungkapkan bahwa model ini juga banyak dipakai di dalam

mengevaluasi efektivitas dalam olahraga dan organisasi yang

bergerak dalam bidang keolahragaan.

Untuk lembaga yang sedang berkembang dan pada fase untuk

memperkuat kompetensinya, Cunningham (1977) menunjuk model

pengembangan organisasi (organizational development model)

merupakan pendekatan yang lebih sesuai dalam penilaian

efektivitasnya. Pada dasarnya, model pengembangan organisasi

yang menekankan pentingnya mengatasi permasalahan organisasi

dan pembaruan tentang kemampuan dan kapasitas organisasi.

Dalam model ini beberapa parameter penting yang digunakan ada

empat, yaitu perilaku supervisi terhadap karyawan, semangat tim,

keyakinan kepercayaan dan komunikasi antara karyawan dan

manajemen, serta kebebasan untuk mencapai tujuan.

Pendekatan dengan metode Balanced Scorecard (BSC) pernah

dilakukan oleh Banwet et al. (2006) untuk mengevaluasi institusi

penelitian dan pengembangan. Sesuai dengan konsep dasar BSC,

keseimbangan antara proses innovasi, pembelajaran, dan

pertumbuhan organisasi dengan aspek pasar dan konsumen,

keuangan, dan internal proses merupakan faktor penting bagi

organisasi untuk mencapai efektivitas dan keberhasilannya.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21

Keterpaduan antara strategi inovasi dan arah pengembangan harus

sejalan dengan kebutuhan konsumen/pasar, serta dapat

dioperasionalisasikan dalam proses manajemen internal dan

ketersediaan keuangan organisasi.

Pemilihan komoditas prioritas harus sejalan dengan kebijakan

pemerintah yang terus berupaya menggalakkan diversifikasi produk

ekspor dan negara tujuan ekspor, namun tetap terus menjaga dan

meningkatkan ekspor di negara-negara yang selama ini menjadi

mitra dagang utama Indonesia. Oleh karena itu, dalam menentukan

komoditas prioritas, pengambil keputusan dihadapkan dengan situasi

yang cukup kompleks dan rumit. Keputusan pemilihan produk UKM

yang tepat merupakan salah satu aspek yang krusial dalam

mengembangkan Trading House untuk mencapai peningkatan

ekspor non migas. Oleh karena itu dalam pengkajian ini juga

dilakukan pemilihan prioritas kriteria produk UKM yang akan

memanfaatkan Trading House dengan metode Analitycal Network

Process (ANP).

Metode ANP adalah salah satu metode yang

mempertimbangkan tingkat kepentingan berbagai pihak dengan

memperhatikan saling keterkaitan antar kriteria dan subkriteria yang

ada. Model ini merupakan pengembangan dari AHP sehingga lebih

memiliki kompleksitas dibanding metode AHP. Metode ANP mampu

memperbaiki kelemahan AHP berupa kemampuan mengakomodasi

keterkaitan antar kriteria atau alternatif. Keterkaitan pada metode

ANP ada 2 jenis yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner

dependence) dan keterkaitan antar elemen yang berbeda (outer

dependence). Adanya keterkaitan tersebut menyebabkan metode

ANP lebih kompleks dibanding metode AHP. Berbeda dengan AHP,

ANP dapat menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level

seperti pada hirarki yang digunakan dalam AHP. Konsep utama

dalam ANP adalah pengaruh (influence), sementara konsep utama

dalam AHP adalah preferensi (preference).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22

Prinsip-prinsip dasar ANP ada tiga, yaitu dekomposisi, penilaian

komparasi (comparative judgements), dan komposisi hirarki atau

sintesis dari prioritas. Prinsip dekomposisi diterapkan untuk

menstrukturkan masalah yang kompleks menjadi kerangka hirarki

atau jaringan cluster, sub cluster, sub-subcluster, dan seterusnya.

Dengan kata lain dekomposisi adalah memodelkan masalah ke

dalam kerangka ANP. Prinsip penilaian komparasi diterapkan untuk

membangun pembandingan pasangan (pairwise comparison) dari

semua kombinasi elemen-elemen dalam cluster dilihat dari cluster

induknya. Pembandingan pasangan ini digunakan untuk

mendapatkan prioritas lokal dari elemen-elemen dalam suatu cluster

dilihat dari cluster induknya. Prinsip komposisi hirarkis atau sintesis

diterapkan untuk mengalikan prioritas lokal dari elemen-elemen

dalam cluster dengan prioritas global dari elemen induk, yang akan

menghasilkan prioritas global seluruh hirarki dan menjumlahkannya

untuk menghasilkan prioritas global untuk elemen level terendah

(biasanya merupakan alternatif).

Kelebihan ANP dibandingkan dengan metode AHP adalah:

a. Kekuatan ANP terletak dalam penggunaan rasio skala untuk

menangkap semua jenis interaksi dan membuat prediksi yang

akurat, dan bahkan lebih, untuk membuat keputusan yang lebih

baik.

b. Kemampuannya untuk membantu kita dalam melakukan

pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hirarki

atau jaringan.

c. Kesederhanaan metode ANP menjadikannya metode yang lebih

umum dan lebih mudah diaplikasikan untuk studi kualitatif yang

beragam, seperti pengambilan keputusan, forecasting, evaluasi,

mapping,strategizing, alokasi sumber daya, dan lain sebagainya.

d. Apabila dibandingkan dengan metode AHP, metode ANP

memiliki banyak kelebihan, seperti komparasi yang lebih

obyektif, prediksi yang lebih akurat, dan hasil yang lebih stabil

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23

dan kuat. Software ANP yang digunakan dalam kajian ini adalah

Super Decisions.

e. ANP akan sangat membantu perusahaan dalam riset evaluasi

dan pengambilan keputusan, yang berhubungan dengan

pengembangan organisasi dan manajemen, produk, layanan dan

marketing, karena akan lebih akurat dan sangat efisien.

Adapun beberapa penelitian yang menggunakan metode ANP

antara lain;

Tabel 2.2 Penelitian Menggunakan Metode ANP

Peneliti/tahun Goal Penggunaan Metode ANP

Ascarya,

Yumanita/2005

Mencari solusi rendahnya pembiayaan bagi hasil perbankan syariah Indonesia

Jaharnsyah,

et.al/2013

Merumuskan Strategi Pengembangan Ekspor UKM Sepatu Di Surabaya

Gorener/2012 Menentukan prioritas faktor dari SWOT untuk mengambil keputusan pada perusahaan Manufaktur.

Endri/2009 Permasalahan Pengembangan Sukuk Korporasi Di Indonesia Menggunakan Metode ANP

Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, sub kriteria,

dan alternatif, dimana masing-masing level memiliki elemen.

Sementara itu, pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster

yang dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya, yang

sekarang disebut simpul (Gambar 2.1).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24

Gambar 2.1. Perbandingan Hirarki Linier dan Jaringan Feedback Sumber: Azis (2003)

Dengan feedback, alternatif-alternatif dapat bergantung/terikat

pada kriteria seperti pada hirarki tetapi dapat juga bergantung/terikat

pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria itu sendiri

dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan pada sesama kriteria.

Oleh karena itu, hasil dari ANP diperkirakan akan lebih stabil.

Dari jaringan feedback pada gambar 2.1 dapat dilihat bahwa

simpul atau elemen utama dan simpul-simpul yang akan

dibandingkan dapat berada pada cluster-cluster yang berbeda.

Sebagai contoh, ada hubungan langsung dari simpul utama C4 ke

cluster lain (C2 dan C3), yang merupakan outerdependence.

Sementara itu, ada simpul utama dan simpul-simpul yang akan

dibandingkan berada pada cluster yang sama, sehingga cluster ini

terhubung dengan dirinya sendiri dan membentuk hubungan loop,

disebut innerdependence.

Elemen dalam suatu komponen/cluster dapat mempengaruhi

elemen lain dalam komponen/cluster yang sama (innerdependence),

dan dapat pula mempengaruhi elemen pada cluster yang lain

(outerdependence) dengan memperhatikan setiap kriteria. Akhirnya,

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25

hasil dari pengaruh ini dibobot dengan tingkat kepentingan dari

kriteria, dan ditambahkan untuk memperoleh pengaruh keseluruhan

dari masing-masing elemen.

Pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa pairwise comparison

(pembandingan pasangan) antar elemen dalam cluster untuk

mengetahui mana di antara keduanya yang lebih besar pengaruhnya

(lebih dominan) dan seberapa besar perbedaannya dilihat dari satu

sisi. Skala numerik 1-9 yang digunakan merupakan terjemahan dari

penilaian verbal. Pengisian kuesioner oleh responden harus

didampingi peneliti untuk menjaga konsistensi dari jawaban yang

diberikan. Pada umumnya, pertanyaan pada kuesioner ANP sangat

banyak jumlahnya. Sehingga faktor-faktor non teknis dapat

menyebabkan tingginya tingkat inkonsistensi.

Menurut Saaty et.al (2006) ANP digunakan untuk menurunkan

rasio prioritas komposit dari skala rasio individu yang mencerminkan

pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling

berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol.ANP merupakan teori

matematika yang memungkinkan seseorang untuk memperlakukan

dependence dan feedback secara sistematis yang dapat menangkap

dan mengombinasi faktor-faktor tangible dan intangible.

Berkaitan dengan kajian ini, dalam melakukan pengembangan

dalam kinerja ekspor, diperlukan prioritas dalam menerapkan strategi

pengembangan. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah

dengan menggunakan metode Metode ANP. Metode ANP digunakan

untuk mengetahui bobot dari masing-masing alternatif sehingga

terpilih sebuah prioritas strategi pengembangan ekspor yang terbaik

dan paling diprioritaskan. Sebelum dilakukan penentuan bobot

kriteria, sub-kriteria, dan alternatif, dilakukan terlebih dahulu

identifikasi hubungan antar kriteria, antar sub-kriteria, dan antara sub

kriteria dan alternatif.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26

Metode ANP dilakukan dengan bantuan software Super

Decision, dimana pada prosesnya diawali dengan pembuatan model

cluster yang menunjukkan hubungan antara goal, kriteria, sub-

kriteria, dan alternatif. Melalui model ini pula akan terlihat hubungan

antar kriteria, antar sub-kriteria, serta antara sub-kriteria dengan

alternatif produk.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27

BAB III

METODE PENGKAJIAN

Bab ini akan menjelaskan kerangka berfikir kajian secara

keseluruhan yang dimulai dari latar belakang singkat dan usulan

rekomendasi yang diharapkan muncul setelah kajian ini selesai

dilaksanakan. Selanjutnya sesuai dengan tujuan pengkajian maka ada

dua metode analisis yang akan digunakan dalam pengkajian ini. Metode

yang digunakan adalah metode benchmarking dan ANP. Benchmarking

untuk membangun model kelembagaan Trading House yang terdiri dari

kriteria landasan hukum, fungsi Trading House, status kelembagaan,

peran pemerintah, keragaman produk, lembaga pendukung dan kerangka

dasar operasi. Sedangkan metode ANP untuk memilih kriteria produk

prioritas yang akan diperdagangkan melalui Trading House.

3.1 Metode Analisis

3.1.1 Kerangka Berfikir

Terlihat dari pertumbuhannya yang cukup signifkan dan

daya resistensi yang kuat terhadap kondisi ekonomi global,

potensi ekspor UKM sangat besar. Kendati demikian, hingga

saat ini potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik.

Pangsa ekspor UKM masih sangat rendah yakni 2% dari total

ekspor non migas di tahun 2013. UKM menghadapi beberapa

kendala dalam melakukan ekspor seperti skala uaha yang

kecil dan sulitnya serta mahalnya UKM dalam mencari

informasi pasar.

Keberadaan Trading House dapat mengatasi kendala-

kendala yang dihadapi oleh UKM. Dengan fungsinya sebagai

agen ekspor, promotor, integrator, manajemen ekspor impor

sekaligus agen pembelian, Trading House dapat secara aktif

membantu UKM dalam melakukan ekspor. Kesuksesan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28

Trading House dalam mendorong ekspor UKM sudah

dibuktikan di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan,

Kanada, Taiwan dan Swedia. Berbeda dengan kondisi di

negara tersebut, peran Trading House di Indonesia belum

efektif dalam mendukung ekspor, khususnya UKM.

Untuk itu diperlukan suatu model pengembangan Trading

House untuk mendukung ekspor UKM melalui identifikasi

masalah Trading House di Indonesia dan benchmarking

kelembangan dan kebijakan Trading House di negara lain

serta pemilihan kriteria dan produk prioritas Trading House

dengan ANP. Pada gambar 3.1 berikut disajikan kerangka

berfikir kajian secara ringkas.

Gambar 3.1. Pola Pikir Kajian

3.1.2 Metode Benchmarking

Benchmarking merupakan salah satu teknik mengukur

kinerja dalam suatu perusahaan atau organisasi dengan

tujuan untuk melakukan perbaikan. Benchmarking adalah cara

sederhana pengukuran kinerja suatu perusahaan dengan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 29

membandingkannya kepada industri yang terkait. Pada

dasarnya teknik benchmarking merupakan bagian dan

tahapan dari suatu learning process bagi organisasi tersebut.

Dengan teknik ini, maka suatu unit atau perusahaan dapat

belajar dari unit atau perusahaan lain dalam mencapai kinerja

yang optimal (Lankford, W.M, 2001)1.

Pemilihan unit, perusahaan atau organisasi lain sebagai

pembanding dilakukan dengan mempertimbangkan

kemiripannya dengan unit, perusahaan atau organisasi yang

bersangkutan dalam melaksanakan proses operasi/proses

bisnis. Dalam melaksanakan benchmarking, proses

perbandingan unsur-unsur kinerja perlu memperhatikan rantai

nilai dan proses operasinya, di samping produk atau keluaran

yang dihasilkan oleh unit, perusahaan, atau organisasi yang

bersangkutan. Terkait hal itu perlu dipilih beberapa faktor

keberhasilan kunci (Lankford, W.M, 2001). Berdasarkan

proses operasi yang diterapkan oleh Trading House, maka

kriteria benchmarking yang merupakan faktor pembanding

kinerja Trading House Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Kriteria Benchmarking Sebagai Pembanding Kinerja

N Kriteria Benchmarking Indikator

1 Landasan hukum UU, Peraturan

2 Fungsi Trading House Agen pembelian, packaging, promosi, pendanaan, dst.

3 Status Kelembagaan Pemerintah, Swasta, BUMN/BUMD

4 Peran Pemerintah Kebijakan, Anggaran, Fasilitas

5 Keragaman Produk Tinggi, Sedang, Rendah

6 Lembaga Pendukung Warehouse, Bank, Transportasi/ekspedisi

7 Kerangka Dasar Operasi Koordinasi, Katalog, Promosi, Negosiasi, Transaksi, Asuransi, Ekspedisi.

1Lankford, W.M. (2001). Benchmarking: Understanding the basics. The Coastal Business Journal.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30

3.1.3 Metode Pemilihan Produk Ekspor dengan Analitycal

Network Process (ANP)

Metode untuk memilih kriteria dalam penentuan

kelompok produk atau komoditas UKM yang akan dimasukkan

dalam konsep Trading House menggunakan metode

Analitycal Network Process (ANP). Penyusunan prioritas akan

dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah

melakukan penyusunan prioritas awal kriteria produk

berdasarkan beberapa kriteria antara lain;

a) Sumber bahan baku (domestik atau impor)

b) Tren nilai output

c) Pertumbuhan ekspor Indonesia

d) Pertumbuhan pangsa ekspor

e) Pertumbuhan impor dunia

f) Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia

Tahap kedua adalah menentukan kriteria dan produk

prioritas UKM yang akan dimasukkan dalam Trading House

dengan menggunakan hasil dari penentuan kirteria prioritas

tersebut. Kajian ini akan menggunakan metode ANP yang

telah banyak digunakan oleh penelitian-penelitian sebelumnya

untuk membuat prioritas sehingga diperoleh keputusan yang

tepat. Metode ANP terdiri dari dua bagian yaitu;

a. Bagian pertama terdiri dari suatu hirarki kontrol atau

jaringan kriteria dan sub kriteria yang mengontrol interaksi

dalam sistem.

b. Bagian kedua adalah suatu jaringan yang memperlihatkan

pengaruh antar elemen dalam suatu kluster atau antar

kluster.

Suatu masalah pengambilan keputusan dengan ANP

digambarkan melalui suatu jaringan atau control hirarchy.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31

Jaringan keputusan terdiri dari kluster-kluster, elemen-elemen

dan jaringan (links). Suatu kluster terdiri dari elemen-elemen

yang bersesuaian dalam suatu jaringan atau sub jaringan.

Untuk masing-masing jaringan, kluster dari suatu sistem

dengan elemen-elemennya dilakukan perhitungan. Semua

interaksi dan umpan balik di dalam suatu kluster disebut

innerdependence, sedangkan interaksi dan umpan balik antar

kluster disebut outerdependence. Melalui innerdependence

dan outerdependence, pengambil keputusan dapat

menggambarkan konsep hubungan interaksi antar kluster dan

antar elemen di dalam suatu kluster.

Struktur jaringan ANP digambarkan dengan panah dua

jalur (busur lingkaran) yang menghadirkan saling

ketergantungan antar kluster atau jika di dalam tingkatan

faktor yang sama menghadirkan saling ketergantungan antar

elemen dalam kluster atau jika di dalam tingkatan faktor yang

sama akan terbentuk loop. Arah busur lingkaran menandakan

ketergantungan. Busur lingkaran berasal dari pengendalian

atribut yang menghubungkan atribut dengan atribut lain yang

saling mempengaruhi. Adapun langkah-langkah dalam

menggunakan metode ANP:

a. Menyusun suatu hirarki jaringan keputusan yang

menunjukkan hubungan antar faktor keputusan

b. Membuat perbandingan berpasangan di antara faktor

yang mempengaruhi keputusan

c. Menghitung relative importance weight vectors dari

faktor-faktor tersebut.

d. Membuat suatu supermatriks yang tersusun dari relative

importance weight vectors.

e. Menghitung bobot akhir dengan supermatriks.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32

Adapun pengolahan data dengan metode ANP pada

kajian ini akan menggunakan software Super Decision.

3.2 Data

Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam kajian yaitu data

primer dan sekunder. Data primer diambil dengan dua metode yaitu

survey dengan melakukan teknik wawancara dan Focus Group

Discussion (FGD). Survey dilakukan kepada pelaku UKM, dan

lembaga yang telah menjalankan fungsi Trading House di provinsi

Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan

Sumatera Barat. Survey ke daerah dilakukan bekerja sama dengan

perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag),

Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) dan

Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Republik Indonesia

(APIKRI) di lokasi survey tersebut. Adapun tujuan survey adalah

untuk memperoleh informasi dan usulan model kelembagaan

Trading House serta permasalahan UKM yang terkait dengan

Trading House. Survey dilakukan dengan panduan kuisioner yang

telah disusun, yaitu untuk pelaku UKM dan lembaga pelaksana

Trading House.

Selain itu, Focussed Group Discussion (FGD) juga dilakukan

untuk memilih kriteria produk ekspor UKM yang dimasukkan dalam

Trading House dan memberi masukan terhadap usulan model

kelembagaan operasional Trading House. FGD diselenggarakan di

Mataram, provinsi NTB dengan peserta FGD yang diundang antara

lain para pelaku UKM, eksportir, dan lembaga yang terkait Trading

House.

Data sekunder yang digunakan dalam kajian ini antara lain,

data kinerja ekspor Indonesia menurut produk dan negara tujuan,

pangsa nilai ekspor Indonesia, jenis produk UKM Indonesia. Data

sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti BPS dan

COMTRADE.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33

BAB IV

KELEMBAGAAN TRADING HOUSE DI NEGARA BENCHMARKING

DAN INDONESIA

4.1 Faktor-faktor Keberhasilan Trading House di Negara

Benchmarking

Bab ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong

keberhasilan pengembangan Trading House pada kedua negara

benchmarking, termasuk sub bab di dalamnya membahas tentang

kebijakan pendukung dan kelembagaan operasional dari masing-

masing negara.

4.1.1 Kebijakan Pendukung Trading House di Negara Benchmark

a. Sogo Shosha di Jepang

Jepang merupakan salah satu negara yang berhasil

menerapkan konsep Trading companies atau yang disebut

sogo shosha. Sogo shosha muncul pada zaman restorasi Meiji

di Jepang pada abad ke 18. Zaman restorasi Meiji merupakan

zaman dimana Jepang melakukan proses industrialisasi dan

komersialisasi secara masif melalui pembangunan infrastruktur

dan industri. Pada periode ini, peranan pebisnis sangat besar

bagi ekonomi Jepang. Pebisnis besar atau yang disebut

Zaibatsu banyak melakukan perdagangan luar negeri. Kondisi

ini diperkirakan sebagai lahirnya Trading company di Jepang.

Trading company memiliki kontribusi yang sangat besar bagi

ekonomi Jepang. Sekitar tahun 1980, total transaksi yang

dilakukan Trading company berkontribusi sekitar 30% PDB

Jepang. Impor Trading company tercatat 65% dari total impor

Jepang dan ekspor tercatat 50% (Ryan, 2013).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 34

Sogo shosha memiliki konsep yang unik. Pertama, satu

Sogo shosha menangani sekitar 30.000 produk yang berbeda.

Produk-produk ini memiliki variasi yang beragam dari barang

mentah ke produk teknologi tinggi. Dalam hal ini, sogo shosha

menerapkan prinsip economies of scale dan economies of

scope. Prinsip economies of scale dilakukan ketika sogo

shosha menangani perdagangan dengan produk yang sudah

memiliki pangsa ekspor yang besar di Jepang. Sementara

economies of scope dimana sogo shosha menangani

perdagangan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Selanjutnya, perusahaan sogo shosha merupakan

perusahaan Multinational Corporation (MNC) yang mempunyai

anak perusahaan di industri yang beragam dengan ruang

lingkup global. Bisnis sogo shosha sering kali dibedakan

tergantung jenis industrinya, seperti energi, makanan, kimia,

mineral dan logam dan manufaktur. Selain berdasarkan

industry, sogo shosha juga merupakan perusahaan global yang

tersebar di dunia melalui kantor perwakilan di negara lain.

Selain itu, semua aktivitas yang dilakukan oleh sogo

shosha terintegrasi menjadi satu organisasi. Selain menjadi

intermediary/broker/reseller, sogo shosha juga menaungi aspek

lain seperti informasi, logistik, keuangan, manajemen resiko,

koordinasi dan organisasi. Hal ini menandakan bahwa sogo

shosha memiliki aspek economies of function.

Adapun kunci sukses sogo shosha antara lain: (i) Sogo

shosha mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan,

mengevaluasi dan menerjemahkan informasi pasar menjadi

peluang bisnis melalui sistem informasi yang baik; (ii) Jumlah

transaksi yang ditangani banyak sehingga memberikan

keuntungan berupa pengurangan biaya; (iii) Sogo shosha

melayani pasar dengan pangsa yang besar di dunia sehingga

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 35

memberikan keuntungan transaksi. Selain itu terdapat konsep

unik dalam sogo shosha, seperti mekanisme barter trade; dan

(iv) Sogo shosha memiliki akses volume modal yang besar baik

di pasar modal Jepang maupun internasional. Dengan modal

yang besar, sogo shosha dapat melayani transaksi yang besar

dan beresiko (Tanaka, 2012).

b. KGTC di Korea Selatan

Sistem General Trading Companies (GTCs) di Korea

Selatan dibentuk dengan mencontoh Sogo shosha di Jepang.

Sistem GTCs di Korea dimulai dengan Presidential Decree for

Enforcement for Trade dan dilanjutkan dengan sosialisasi

Kementerian Perdagangan dan Industri (MCI) dalam MCI

Notice Nomor 10607 tanggal 30 April 1975. Namun, diskusi

panjang tentang perlunya sistem GTC telah mengemuka sejak

pertengahan 1960-an karena ekonomi Korea telah berkembang

pesat sejak awal tahun 1960-an dengan pelaksanaan

serangkaian Rencana Ekonomi Lima Tahun. Dalam proses

pertumbuhan ekonomi yang cepat, terjadi berbagai masalah

karena ketergantungan pada dukungan pemerintah yang

ditawarkan untuk banyak perusahaan ekspor (Jun, 2009).

Pertama, pemerintah tidak mampu memberikan dukungan

keuangan untuk semua perusahaan ekspor. Hal tersebut tidak

mampu untuk terus mendukung peningkatan jumlah dan ukuran

semua perusahaan ekspor dengan peningkatan jumlah subsidi.

Kedua, pemerintah tidak mampu memberikan insentif

yang tepat untuk membuat perusahaan ekspor mandiri.

Kurangnya insentif pemerintah tersebut mengakibatkan

perusahaan ekspor tidak cukup kuat untuk mengelola

pemasaran ekspor. Ketiga, dukungan pemerintah untuk

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 36

perusahaan-perusahaan tersebut dengan partisipasi produsen

skala kecil di pasar internasional yang sama malah

menyebabkan persaingan berlebihan di antara mereka.

Persaingan tersebut menyebabkan harga ekspor menurun

sehingga berdampak pada keuntungan yang juga menurun

(Jun, 2009).

Dalam situasi tersebut, pembuat kebijakan pemerintah

harus merenovasi sistem ekspor untuk mengikuti laju

peningkatan ekspor. Kebutuhan perusahaan yang berdaya

saing tinggi di pasar luar negeri sehingga memutuskan untuk

mengadopsi sistem Sogo shosha Jepang (mesin penggerak

pertumbuhan ekonomi melalui ekspor di Jepang).

Pemerintah Korea Selatan mengarahkan Korean Global

Trading Company (KGTC) sekurangnya harus memiliki dua

fungsi dasar. Pertama, keterampilan pemasaran internasional

yang kuat untuk mengatasi proteksionisme negara-negara

industri dan harus dapat mendekati konsumen di negara-

negara industri serta memanfaatkan potensi yang belum

dimanfaatkan.

Kedua, membantu ekspor produk dari produsen yang

sudah menunjukkan inefisiensi karena persaingan berlebihan,

dumping, atau hambatan yang timbul dari terlalu banyaknya

eksportir. Selain itu diperlukan fungsi pendukung lainnya seperti

networking dan distribusi informasi, perancangan dan

pengembangan produk melalui market research, koordinasi

produk dan fasilitasi pemberdayaan UKM. Selanjutnya

Kementerian Perdagangan dan Industri Korea Selatan

mengumumkan prosedur dan persyaratan formal untuk KGTC

untuk dibentuk pada bulan April 1975.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 37

Syarat minimum yang ditetapkan pemerintah untuk

penunjukan KGTC antara lain: 1) memiliki modal minimal satu

miliar Won Korea; 2) nilai ekspor per tahun mencapai USD 50

juta; 3) memiliki sepuluh kantor cabang di luar negeri; 4)

memiliki minimal 10 negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor

masing-masing sebesar USD 1 juta; 5) memiliki 7 kategori

produk dengan nilai ekspor masing-masing lebih dari USD

500.000 per tahun; dan 6) penawaran publik dari saham KGTC.

KGTC yang didirikan oleh pemerintah, sehingga pemerintah

dapat menentukan target ekspor minimum, persyaratan

kapitalisasi, jumlah barang-barang ekspor, jumlah kantor

cabang luar negeri dan tingkat kepemilikan saham publik untuk

setiap KGTC.

Samsung ditunjuk sebagai KGTC pertama pada bulan Mei

1975, diikuti oleh Ssangyong, Daewoo, Kukjae dan Hanil pada

tahun yang sama. Kemudian enam perusahaan yang ditunjuk

sebagai KGTC bertambah pada tahun 1976 yaitu Koryo,

Hyosung, Bando, Sunkyoung, Samwha dan Kumho. Pada

tahun 1978, Yulsan dan Hyundai juga ditunjuk, sehingga jumlah

total KGTC Korea untuk 13. Namun, Yulsan bangkrut pada

tahun 1979, yang mengakibatkan likuidasi perusahaan

perdagangan Yulsan. Sekali lagi Hanil, Samwha dan Kumho

juga gagal mempertahankan status KGTC, karena tidak dapat

mencapai pangsa 2% dari total ekspor Korea, yang merupakan

persyaratan untuk mendapatkan insentif KGTC.

Selama periode 1975 - 1981, tata cara yang mengatur

sistem GTCs Korea Selatan menjalani serangkaian perubahan

karena perubahan dalam lingkungan ekonomi dan kebijakan

pemerintah. Sebagian besar kelompok bisnis besar Korea

Selatan (Chaebol) sangat ingin untuk mendapatkan status

KGTC, karena banyaknya insentif yang diberikan pemerintah.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 38

Pertama, status KGTC dapat meningkatkan kredibilitas

kelompok bisnis baik di Korea Selatan dan di pasar dunia.

Kedua, dengan status KGTC, kelompok usaha dapat

meningkatkan kemungkinan memperoleh konsesi pemerintah

pada berbagai proyek-proyek yang diprakarsai pemerintah,

seperti pabrik kimia dan alat berat. Selain imbalan fisik tersebut,

KGTC juga memiliki banyak insentif yang ditawarkan

pemerintah, seperti dalam perdagangan dan administrasi,

keuangan, valuta asing dan pajak.

Dalam hal perdagangan dan administrasi insentif, KGTC

diperlakukan istimewa dalam penawaran internasional seperti

kemudahan untuk mengakses impor bahan baku untuk mereka

gunakan sendiri. Dalam insentif keuangan, mereka memiliki

prioritas dalam memperoleh pinjaman bank berdasarkan kinerja

ekspor masa lalu. Insentif juga diberikan pada bidang valuta

asing dan pajak. Pemerintah mengizinkan KGTC untuk

meningkatkan batas kepemilikan mata uang asing oleh cabang

luar negeri dan membebaskan mereka dari pajak penghasilan

bisnis. Selain insentif langsung di atas, beberapa insentif tidak

langsung juga diberikan. Setiap KGTC juga memiliki pertemuan

rutin dengan KGTC lain dan konsultasi rutin dengan instansi

pemerintah.

Untuk mengetahui bentuk kelembagaan Trading House

yang efektif di Indonesia dilakukan benchmarking dengan

Trading House Korea Selatan dan Jepang. Alasannya karena

Trading House Korea Selatan dan Jepang telah berhasil

meningkatkan kinerja ekspor secara signifikan dan turut

membantu pemasaran produk UKM.

Berlandaskan pada Teori Benchmarking dari Lankford,

faktor keberhasilan Trading House di negara Korea Selatan dan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 39

Jepang berhasil diidentifikasi melalui kriteria pada Tabel 4.1

berikut:

Tabel 4.1 Benchmarking Trading House Korea Selatan dan Jepang

No Kriteria Benchmarking Korea Selatan Jepang

1 Landasan hukum Keputusan

Presiden

Accelerate

Economic

Development

2 Fungsi Trading House

- Pemasaran √ √

- Networking & Distribusi Informasi √ √

- Perancangan & Pengembangan Produk √ √

- Koordinasi Produk √ √

- Fasilitasi Pemberdayaan UKM √ -

3 Status Kelembagaan Pemerintah Swasta

4 Peran Pemerintah

Insentif pajak,

Prioritas akses

pinjaman,

Kemudahan

impor bahan baku

Fasilitas

keuangan,

Penyediaan

asuransi

5 Keragaman Produk Tinggi Tinggi

6 Lembaga Pendukung Bank

JETRO,

JIBC/Bank,

NEXI/Asuransi

7 Kerangka Dasar Operasi

Market

Research,

Information

Network, Market

Penetration

Bisnis Model

Sumber: Hasil Benchmarking

Berdasarkan hasil identifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis

pengelolaan Trading House di negara benchmarking dan hasil

survey serta FGD maka dapat diambil usulan rekomendasi

kebijakan pemerintah sebagai salah satu upaya

pengembangan Trading House dalam rangka meningkatkan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 40

ekspor non migas melaui sektor UKM sebagaimana yang

disajikan pada Tabel 4.2 berikut

Tabel 4.2 Faktor Keberhasilan Kritis Trading House di Negara Benchmarking

Negara Deskripsi Faktor Keberhasilan Kritis

Usulan Trading House Indonesia

Korsel Awal mula KGTC di Korsel: • Perusahaan

ditunjuk sebagai GTC melalui Keputusan Presiden

• Sekitar 70 persen produk ekspor dari sektor UKM

• Insentif pemerintah bagi perusahaan TH yang mampu melakukan ekspor pada level tertentu

• GTC di Korsel modal awal minimal 1 miliar Won dengan 7 jenis produk ekspor dan 10 negara tujuan.

• Trading House dibangun dengan dukungan aktif dari Atdag, ITPC dan Trade Commisioner Officer (TCO) di berbagai negara tujuan ekspor

• Modal 3 tahun pertama dari APBN

• Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku dan mesin-mesin

• Tax holiday diberikan kepada perusahaan yang aktif dalam Trading House selama masa awal pengembangannya

• Insentif pajak diberikan kepada pelaku Trading House

Jepang • Sogo Shosha dimulai dari perusahaan swasta mencari info pasar luar negeri

• Memanfaatkan orang Jepang yang tinggal di luar negeri untuk mengetahui info kebutuhan produk di suatu negara

• Perusahaan yang terlibat Sogo shosha mempunyai cabang di berbagai negara.

• Pendanaan bekerja sama dengan bank internasional

• Produksi dan pemasaran terpisah

• Pasar domestik kuat dan ada diversifikasi pasar

Sumber: Hasil Benchmarking, survey dan FGD

4.1.2 Kelembagaan Operasional

a. Sogo Shosha Jepang

Besarnya peranan sogo shosha untuk meningkatkan ekspor

Jepang dimulai dengan memanfaatkan keberadaan orang-orang

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 41

Jepang yang tinggal di luar negeri. Jaringan orang-orang Jepang

tersebut kemudian dikenal sebagai shosha man’s dan bertugas

memberikan informasi mengenai selera dan kebutuhan

masyarakat yang ada di negara tersebut. Dari informasi tersebut

kemudian Jepang menciptakan produk yang sesuai dengan

permintaan konsumen luar negeri tersebut. Sogo shosha

mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan, mengevaluasi

dan menerjemahkan informasi pasar menjadi peluang bisnis

melalui sistem informasi yang baik. Hal ini sejalan dengan

Program Akselerasi Pengembangan Ekonomi Jepang melalui

penyusunan rencana aksi pemerintah Jepang dengan penetapan

target peningkatan ekspor dan investasi. Setidaknya terdapat

tiga lembaga pemerintah yang mendukung program Sogo

shosha yaitu;

1. The Japan External Trade Organization (JETRO) yang

mengarahkan rencana pemerintah berkolaborasi dengan

jaringan shosha man’s.

2. Japan International Bank for Corporation (JIBC) yang

menyediakan fasilitas keuangan untuk Perdagangan dan

Investasi.

3. Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) yang

menyediakan asuransi untuk kegiatan Perdagangan dan

Investasi.

Sogo shosha juga didukung oleh perusahaan swasta yang

membantu dalam hal penyediaan resiko finansial, ekspor dan

bisnis investasi. Akses modal yang besar di Jepang maupun

internasional mendukung Sogo shosha untuk dapat memenuhi

permintaan dalam jumlah besar. Lebih jelasnya hubungan antara

pemerintah Jepang dengan Sogo shosha dapat dilihat pada

Gambar 4.1 berikut.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 42

Gambar 4.1 Hubungan Pemerintah Jepang dengan Sogo shosha Sumber: JETRO, 2015

b. KGTC Korea Selatan

Trading company di Korea Selatan dimulai dengan

ditetapkannya Keputusan Presiden untuk dasar penunjukan

perusahaan sebagai Korean Global Trading Company (KGTC).

Syarat untuk diangkat sebagai KGTC di Korsel adalah

perusahaan tersebut harus memiliki modal awal minimal 1 miliar

Won dengan 7 jenis produk ekspor dan 10 negara tujuan.

Pemerintah kemudian akan memberikan insentif bagi

perusahaan KGTC yang mampu melakukan ekspor pada level

tertentu. Cakupan wilayah KGTC cukup luas memiliki kantor

cabang di 63 negara dan 397 kota dan didukung oleh 4932

karyawan (1184 karyawan kantor pusat dan 3748 karyawan

lokal).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 43

Sekitar 70 persen produk ekspor dari sektor UKM

Operasional kelembagaan KGTC dimulai dari kegiatan penetrasi

pasar. Penetrasi pasar KGTC didukung melalui dua aspek yaitu

kecanggihan informasi teknologi dan penetrasi pasar regional

dengan bantuan mediator Global Trading Company.

Kerjasama dan dukungan pada sektor UKM (Usaha Kecil

dan Menengah) terutama untuk melakukan kegiatan ekspor

dengan menaikkan standar kualitas produk yang dihasilkan,

sehingga dapat meningkatkan kinerja ekspor dari produk yang

dihasilkan oleh sektor UKM. Secara lebih detail operasional

kelembagaan KGTC disajikan pada Gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.2 Operasional Kelembagaan KGTC Sumber: PT. Bumi 1ndawa Niaga, 2015

Jaringan Bisnis Internasional yang luas dengan melibatkan

berbagai pihak di banyak negara dengan banyak channel. Selain

menjadi Mediator antara produsen dan konsumen di luar negeri

juga sebagai hub pasar internasional, penyelenggara proyek dan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 44

investor bisnis. Bentuk dan lingkup kegiatan kerjasama yang

dilakukan dengan UKM dapat berbeda diantara KGTC.

Kerjasama dan dukungan bagi UKM dilakukan melalui berbagai

langkah antara lain;

Penghubung antara produsen dengan konsumen di LN.

Menyediakan Financial service, dimana KGTC memberikan

pelayanan keuangan bagi pelaku UKM.

Management support dan sales, dukungan manajemen dan

penjualan bagi pelaku UKM, sehingga UKM dapat lebih

fokus dalam produksi.

4.2 Tinjauan Trading House di Indonesia

Pada sub bab ini akan menguraikan kondisi eksisting Trading

House yang ada di Indonesia. Selain itu juga dibahas berbagai

masalah yang menghambat berkembangnya Trading House di

Indonesia.

4.2.1 Jenis dan Kelembagaan Trading House Eksisting

Trading House di Indonesia ada beberapa yang sudah

pernah ada, namun fungsinya belum komprehensif seperti

Trading House di Jepang maupun di Korea Selatan. Jumlah

Trading House yang pernah ada di Indonesia, setidaknya ada

tujuh yaitu PT. PPI dan Sarinah (BUMN), LLP-KUKM

(Kementerian Koperasi & UKM), JCC dan Imah Tasik (Pemda),

PT Alun-alun dan Mitra Bali (Puslitbang Dagri, 2009).

Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan ke lima

daerah, menurut para pelaku UKM secara umum fungsi Trading

House yang selalu dimanfaatkan adalah melakukan

pemasaran. Sedangkan fungsi Trading House yang paling

sering dirasakan manfaatnya oleh UKM adalah mengurus

kegiatan packaging (Gambar 4.3).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 45

Gambar 4.3 Fungsi Trading House yang Dimanfaatkan UKM

Sumber: Hasil Olahan Survey

4.2.2 Peta Permasalahan Trading House Indonesia

Pengembangan Trading House di Indonesia dinilai

belum efektif untuk menjadi lokomotif pemasaran produk

UMKM dengan melakukan fungsi-fungsi, antara lain: (a)

membantu memperoleh pasar (buyer dan order) dengan

promosi melalui showroom, pameran, kontak dagang, dan

pembuatan katalog; (b) pengembangan produk, baik sumber

daya sendiri maupun dengan sumber daya mitra Trading House

melalui pengembangan desain dan produk, pengembangan

kemasan dan label, pengembangan dan pendaftaran merk, dan

fasilitasi penyediaan bahan baku. Penyebabnya sangat

bervariasi dengan spektrum permasalahan yang sangat luas,

antara lain:

1. Peraturan perundang-undangan UKM dan kemitraan belum

ditindaklanjuti dengan kebijakan operasional yang berkaitan

dengan pengembangan Trading House.

2. Kurang harmoninya peraturan perundang-undangan lain

untuk mendukung pengembangan Trading House,

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 46

misalnya: peraturan penetapan PPn, peraturan pengurusan

Surat Keterangan Asal.

3. Koordinasi lintas instansi di pusat dan daerah, serta

koordinasi antara instansi terkait kurang optimal yang

berpengaruh terhadap efektifitas pengembangan Trading

House.

4. Pola kemitraan antara KUMKM dan Trading House belum

terbentuk secara efektif dan efisien;

5. Belum terciptanya manajemen yang terintegrasi mengenai

potensi komoditi KUMKM menuju berfungsinya Trading

House yang efektif;

6. Skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading

House;

7. Sumber daya manusia pengelola Trading House belum

memadai secara jumlah dan kompetensinya;

8. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi masih

memberatkan.

Dari kegiatan survey yang dilakukan oleh tim kajian Trading

House ke beberapa daerah yaitu provinsi Bali, Jawa Tengah,

Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat

diperoleh identifikasi permasahan Trading House di Indonesia

antara lain;

1. Belum ada regulasi yang jelas sebagai dasar untuk

mendirikan Trading House di Indonesia.

2. Lembaga yang mirip Trading House memang sejak awal

tidak dirancang melaksanakan fungsi Trading House secara

utuh, sehingga hanya melaksanakan sebagian dari fungsi

Trading House saja.

3. Kurangnya dukungan dari berbagai lembaga terkait seperti

lembaga terkait riset pasar, koordinasi produksi, perbankan,

asuransi, logistik.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47

4. Belum terciptanya manajemen yang terintegrasi terutama

mengenai potensi komoditas UKM

5. Skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading

House dan ruang lingkup layanan yang masih terbatas.

Selain itu, masih banyak UKM yang belum memahami fungsi

Trading House secara utuh, lembaga sejenis Trading House

yang ada saat ini juga hanya melakukan sebagian kecil saja

dari fungsi Trading House. Sehingga tidak mengherankan

UKM hanya memanfaatkan sebagian kecil fungsi Trading

House. Beberapa fungsi Trading House yang penting, namun

masih jarang dirasakan manfaatnya oleh UKM seperti

memastikan pembayaran dari buyer dan melakukan proteksi

resiko ekspor termasuk asuransi (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Fungsi Trading House yang Jarang Dirasakan Manfaatnya oleh UKM

Sumber: Hasil Olahan Survey

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 48

Sementara itu beberapa masalah yang dihadapi UKM

ketika berhadapan dengan buyer antara lain a) standar produk

yang diiinginkan oleh buyer terlalu tinggi, b) harga yang

ditawarkan kurang menarik, c) spesifikasi produk yang diminta

kurang jelas, d) volume permintaan terlalu besar melampaui

kemampuan UKM, e) frekuensi permintaan tidak pasti. Masalah

yang banyak dihadapi oleh UKM dalam memenuhi permintaan

buyer (importir) diharapkan dapat teratasi dengan dijalankannya

fungsi Trading House secara optimal (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Masalah UKM Ketika Berhadapan dengan Buyer

Sumber: Hasil Olahan Survey

Semua kriteria benchmarking sudah berhasil

diimplementasikan oleh Trading House di Korea Selatan dan

Jepang. Sementara dari hasil temuan lapangan di lima daerah

survey, ternyata lembaga yang menjalankan peran sebagai

Trading House di Indonesia masih sangat jauh dibandingkan

lembaga serupa di negara benchmarking. Lembaga sejenis

Trading House di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan

dari berbagai kriteria, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. 3.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 49

Tabel 4.3 Benchmarking Lembaga Pelaksana Trading House di Indonesia

No Kriteria Benchmarking Bali Jawa Tengah NTB D. I. Yogyakarta Sumatera Barat SMESCO PT. Sarinah

1 Landasan hukum - - - - - RPJMN 2015-2019 -

2

- Fasilitasi Pemberdayaan UKM √ - - √ √ √ √

- Perancangan & Pengembangan Produk - - √ √ - - -

- Koordinasi Produk √ √ √ - - - -

- Network ing & Distribusi Informasi - √ - - - - -

- Pemasaran √ - √ √ √ √ √

3 Status Kelembagaan Perusahaan Asosiasi Perusahaan Asosiasi Perusahaan BLU BUMN

4 Peran Pemerintah Izin ekspor -

Bantuan operasional

melalui Balai Besar

Keramik

- - - -

5 Keragaman Produk Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah

6 Lembaga Pendukung - Ekspedisi, BankEkspedisi, Balai

Besar Keramik

World Fair Trade

Organization

International (WFTO)

- Kemenkop & UKM BUMN lain

7 Kerangka Dasar Operasi

Koordinasi produksi

dengan pengrajin

binaannya

Koordinasi dengan

para UKM dilakukan

sebulan sekali,

namun pembagian

informasi dilakukan

setiap hari melalui

Whatsapp,

Facebook, Twitter

Identifikasi dan

evaluasi buyer ,

teknologi dan

packaging ,

menerima

pembayaran,

membangun relasi

dengan pemerintah

Membantu UKM

berproduksi dan

memasarkan

produknya

Memamerkan produk

kreatif dari berbagai

daerah di Sumbar

Menampilkan produk

KUKM di UKM

GALLERY,

Mempromosikan dan

memasarkan produk

ke luar negeri melalui

kegiatan Trading

House,

Melaksanakan

pelatihan bagi KUKM

Membantu UKM

memasarkan

produknya dan

menyediakan

pinjaman khusus

untuk membiayai

kegiatan usaha mitra

binaan

Fungsi Trading House

Keterangan: Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat adalah hasil survey.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 50

Berdasarkan sintesa dari benchmarking, temuan lapangan

dan hasil FGD, maka hal-hal yang perlu diperhatikan terutama

dalam membangun model kelembagaan Trading House yang

operasional adalah melalui lima fungsi utama Trading House

yaitu fasilitasi pemberdayaan UKM, perancangan dan

pengembangan produk, koordinasi produksi, networking dan

distribusi informasi, dan pemasaran. Lebih jauh lembaga sejenis

Trading House harus di daerah harus memperbaiki:

a. Fasilitasi pemberdayaan UKM

Trading House di Jawa Tengah dan NTB belum melakukan

fungsi fasilitasi pemberdayaan UKM. Pemberdayaan UKM

dapat dilakukan dengan melibatkan pihak lain (pemerintah

dan mitra pendukung) guna meningkatkan kemampuan UKM

dalam beberapa aspek seperti (i) pelatihan dan

pendampingan; (ii) akses modal kerja dan investasi; (iii)

akses bantuan fasilitas produksi seperi bahan baku dan

mesin-mesin; (iv) akses informasi pasar; dan (v) penanganan

klaim.

b. Perancangan dan pengembangan produk

Trading House di Bali, Jawa Tengah dan Sumatera Barat

belum melakukan fungsi perancangan dan pengembangan

produk. Fungsi ini dibangun melalui riset pasar dan masukan

dari lembaga lain, termasuk lembaga pemerintah terkait.

Aspek rancangan dan pengembangan produk antara lain

mencakup jenis dan fitur produk, teknologi produksi, mutu

dan grade, volume dan harga, serta model kerjasama

produksi. Trading House bekerja sama dengan instansi

pemerintah dan mitra kerja lainnya perlu membantu UKM

seperti dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan bantuan

sumber daya berupa bahan baku dan pendanaan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 51

c. Koordinasi produksi

Trading House di D.I. Yogyakarta dan Sumatera Barat belum

melakukan koordinasi produksi. Fungsi ini dilakukan dengan

mengkoordinasikan UKM dan lembaga atau sektor

pendukung (bahan baku dan penolong, kemasan, asuransi,

pergudangan, logistik distribusi) guna menghasilkan produk

secara tepat waktu, jumlah, mutu, memenuhi skala produksi

dan berdaya saing. Produk diharapkan memiliki kontrol

kualitas, sertifikat, hak paten, dan merek dagang, untuk

selanjutnya disusun katalog sebagai salah satu sarana

promosi.

d. Networking dan distribusi informasi

Trading House di Bali, NTB, D. I. Yogyakata dan Sumatera

Barat belum melakukan fungsi networking dan distribusi

informasi. Fungsi ini mencakup networking dengan (i)

produsen khususnya UKM dalam hal jenis produk,

rancangan produk, teknologi produksi, volume dan harga,

serta persyaratan mutu/standard; (ii) pembeli atau calon

pembeli dalam hal katalog produk, volume dan harga, fitur

produk, dan jaminan/konsistensi mutu; (iii) mitra pendukung

seperti penyedia bahan baku dan komponen, kemasan,

pengiriman, promosi, logistik, pembiayaan dan avalis dan

asuransi; (iv) pemerintah pusat dan daerah yang mencakup

kebijakan insentif untuk UKM dan Trading House, seperti

pemberian tax holiday pada tahap awal pengembangan

Trading House, serta insentif pajak apabila memenuhi target

ekspor tertentu, mampu menembus pasar baru dan

diversifikasi produk.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 52

e. Pemasaran

Trading House di Jawa Tengah belum melakukan

pemasaran secara integral yang antara lain mencakup (i)

perumusan dan implementasi strategi pasar terpadu (bauran

produk, harga, distribusi); (ii) monitoring dan riset pasar

termasuk pemilihan dan pengembangan pasar dan produk;

(iii) pelaksana promosi, komunikasi dan pengelola umpan

balik dari pembeli atau calon pembeli; (iv) pengelola

transaksi penjualan; (v) pengaturan logistik dan distribusi;

dan (vi) melakukan kerjasama dengan Atase Perdagangan,

ITPC, dan lembaga riset.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 53

BAB V

PRODUK PRIORITAS TRADING HOUSE INDONESIA

5.1 Kriteria untuk Menyusun Produk Prioritas Trading House Dalam

Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas

Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas

kelompok produk yang akan ditangani melalui Trading House

merupakan gabungan dari beberapa masukan dan pertimbangan

melalui diskusi dan FGD dengan stakeholder terkait. Sehingga

dengan demikian diperoleh kriteria untuk menyusun produk prioitas

Trading House sebagai berikut;

a) Ketersediaan bahan baku lokal menunjukkan bahwa produk

prioritas memiliki sumber bahan baku yang tersedia di dalam

negeri, sehingga tidak bergantung pada bahan baku impor. Selain

itu, peningkatan ekspor produk prioritas dengan kandungan bahan

baku lokal yang tinggi akan mendorong pula sektor hulunya.

b) Tren pertumbuhan nilai output yang diindikasikan oleh rata-rata

pertumbuhan nilai produksi selama 2009-2013. Tren pertumbuhan

nilai output digunakan untuk melihat kekonsistenan proses

produksi dari produk prioritas.

c) Tren pertumbuhan ekspor Indonesia, yakni rata-rata pertumbuhan

ekspor Indonesia selama 2011-2015. Tren pertumbuhan ekspor

merupakan indikator untuk melihat kemampuan Indonesia dalam

memasok produk prioritas ke pasar internasional.

d) Tren pertumbuhan pangsa ekspor untuk mengetahui ukuran

kemampuan ekspor Indonesia. Instrumen yang digunakan dalam

kriteria ini adalah rata-rata pertumbuhan pangsa produk terhadap

ekspor non migas Indonesia selama 2011-2015.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 54

e) Tren pertumbuhan impor dunia yang ditunjukkan oleh rata-rata

pertumbuhan impor dunia selama 2010-2014. Kriteria ini

menunjukkan tren permintaan impor di pasar dunia.

f) Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia untuk melihat

dampak sektor produk prioritas terhadap aktivitas ekonomi, baik

sektor hulu maupun hilirnya. Indikator yang digunakan adalah

indeks kepekaan dan penyebaran dalam tabel Input-Output (IO).

Tabel 5.1 Hasil Pembobotan Prioritas Kriteria produk yang akan ditangani melalui Trading House

KRITERIA

Ke

ters

ed

iaa

n B

ah

an

Ba

ku

Lo

ka

l

Nila

i O

utp

ut

Nila

i E

ks

po

r

Pa

ng

sa

Ek

sp

or

Imp

or

Du

nia

Ko

ntr

ibu

si te

rha

da

p E

ko

no

mi

TO

TA

L

PE

RIN

GK

AT

BO

BO

T

Ketersediaan Bahan Baku Lokal 1,0 1,4 1,2 0,8 0,8 0,8 6,0 3 0,17

Nilai Output 0,6 1,0 0,8 0,8 0,8 0,8 4,8 6 0,13

Nilai Ekspor 0,8 1,2 1,0 0,6 1,0 1,0 5,6 4 0,16

Pangsa Ekspor 1,2 1,2 1,4 1,0 1,2 1,2 7,2 1 0,20

Impor Dunia 1,2 1,2 1,0 0,8 1,0 1,4 6,6 2 0,18

Kontribusi terhadap Ekonomi 1,2 1,2 1,0 0,8 0,6 1,0 5,8 5 0,16

Sumber: Hasil ANP

Adapun kriteria prioritas untuk menetapkan produk yang

akan ditangani melalui Trading House adalah; 1. Pangsa ekspor

tinggi, 2. Impor dunia tinggi, 3. Bahan baku lokal tersedia, 4. Nilai

ekspor tinggi, 5. Kontribusi ekonomi tinggi, 6. Nilai output tinggi.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 55

5.2 Produk Prioritas Trading House Dalam Rangka Meningkatkan

Ekspor Non Migas

Penyusunan produk yang diprioritaskan untuk ditingkatkan

ekspornya melalui Trading House diperoleh dari hasil sintesa

masukan dan usulan beberapa pihak terkait, antara lain Smesco,

Asephi dan Sarinah. Adapun kelompok produk yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

A. Usulan SMESCO-Kemenko UKM (Produk UKM Berdaya

saing)

1. Pakaian dan Batik

2. Perhiasan dan Aksesoris

3. SPA Product

4. Handycraft

5. Furniture

6. Tas dan Sepatu

7. Songket dan Tenun

8. Food dan Snack

B. Usulan produk UKM yang diusulkan untuk memperoleh

fasilitas Trading House dari ASEPHI adalah:

1. Produk Industri-Kerajinan;

Produk yang bahan bakunya banyak tersedia di

Indonesia, seperti produk kayu, rotan, keranjang dan

barang anyaman lainnya;

Produk yang didukung oleh keterampilan kerja (Skill),

seperti furniture, ukiran, dan lukisan;

Kelompok Perhiasan (Jewelry), termasuk mutiara

(kultivasi);

Produk Alas Kaki, yakni Sepatu dan Sandal;

Alat bepergian (Tas, Dompet, dan produk lain dari kulit

dan bahan baku lainnya serta kombinasinya);

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 56

Produk Tekstil & pakaian jadi (garmen), baik motif

batik, tenun ikat dan tenunan tradisional lainnya;

Kerajinan logam dan keramik;

Barang dekoratif.

2. Produk Perikanan;

Ikan Hias dan tanaman Aquarium;

Rumput Laut;

Teripang, hoi som, ubur-ubur.

3. Produk Pertanian (Produk yang diperdagangkan bisa

juga sebagai produk olahannya)

Tanaman Hias;

Buah-buahan (manggis, dll);

Kayu manis;

Minyak Atsiri;

Gambir;

Kopi;

Coklat;

Jambu Mete;

Jahe;

Ijuk dan sabut kelapa.

C. Usulan Produk Trading House dari Sarinah

1. Produk Furniture

2. Produk Batik

3. Virgin Coconut Oil (VCO) dan produk kelapa lainnya.

Dari ketiga usulan tersebut, maka dibentuk suatu kelompok

produk prioritas yang mencakup semua usulan. Kelompok produk

prioritas ini akan diolah lebih lanjut menggunakan metode ANP.

Kelompok produk prioritas tersebut antara lain:

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 57

Tabel 5.2 Kelompok Pilihan Produk Prioritas yang Diusulkan untuk Ditangani Melalui Trading House

Kelompok Produk

Produk Industri Kerajinan

Furniture

Produk kayu* dan anyaman rotan

Kerajinan gerabah, keramik logam dan produk

dekoratif

Perhiasan dan aksesoris

Produk tekstil dan garmen

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik,

kulit dan kombinasi

Produk Perikanan

Rumput laut

Ikan hias

Teripang, hoi som, ubur-ubur

Produk Berbasis Pertanian

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi)

Tanaman hias

Produk turunan kelapa seperti VCO dan isi jok

dari sabut kelapa

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir,

manggis, kopi, coklat, jahe

Makanan olahan (snack/camilan, juice buah,

bumbu olahan)

Sumber: SMESCO, ASEPHI, Sarinah Keterangan: *Produk kayu yang dimaksud adalah ukiran, lukisan.

5.2.1 Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan

Baku Lokal

Produk prioritas berbasis perikanan, yakni ikan hias,

tanaman hias dan kelompok teripang memiliki bobot tertinggi

dalam kriteria ketersediaan bahan baku lokal sebesar 0,0834.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ketiga produk tersebut lebih

banyak menggunakan bahan baku lokal sebagai input

produksi. Selain itu, produk makanan olahan berupa camilan

dan rumput laut juga memiliki bobot yang besar dalam kriteria

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 58

ini yakni 0,08. Sementara, produk sandal, sepatu, tas, dompet

kerajinan dari batik memiliki bobot yang terendah

dibandingkan pilihan produk prioritas lainnya sebesar 0,0573.

Tabel 5.3 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Ketersediaan Bahan Baku Lokal

Opsi Kelompok PrioritasKetersediaan bahan

baku lokal

Ikan hias 0,0834

Tanaman hias 0,0834

Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0834

Makanan olahan (Camilan, Juice Buah dll) 0,0800

Rumput laut 0,0800

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0797

Furniture 0,0767

Perhiasan dan aksesoris 0,0700

Produk kayu dan anyaman rotan 0,0677

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0642

Produk tekstil dan garmen 0,0583

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0583

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0576

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0573 Sumber: Hasil ANP

5.2.2 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai

Output

Berdasarkan kriteria tren pertumbuhan nilai output, produk

furniture memiliki bobot tertinggi yakni 0,2789. Kondisi ini

menunjukkan bahwa produksi furniture di Indonesia

cenderung konsisten dan lebih tinggi dibandingkan kelompok

produk lainnya. Selain furniture, produk lainnya yang

memiliki bobot yang tinggi dalam kriteria ini adalah produk

perkebunan, makanan olahan (snack, juice buah) dan

produk turunan kelapa. Di sisi lain, produk kerajinan

gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya memiliki bobot

terkecil. Adapun produk ikan hias, perhiasan, tanaman hias

dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria tren

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 59

pertumbuhan nilai output karena memiliki nilai tren

pertumbuhan yang negatif.

Tabel 5.4 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Nilai Output

Opsi Kelompok PrioritasBobot Nilai

Output

Furniture 0,2789

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,1432

Makanan olahan 0,1394

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,1335

Rumput laut 0,1095

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0812

Produk kayu dan anyaman rotan 0,0642

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0268

Produk tekstil dan garmen 0,0161

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0073

Ikan hias 0,0000

Perhiasan dan aksesoris 0,0000

Tanaman hias 0,0000

Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0000

Sumber: Hasil ANP

5.2.3 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan

Ekspor

Produk perhiasan dan aksesoris memiliki nilai bobot tertinggi

dalam kriteria tren pertumbuhan ekspor. Bobot produk

perhiasaan dan aksesoris sebesar 0,6233, jauh lebih tinggi

dibandingkan pilihan produk prioritas lainnya. Kondisi ini

menunjukkan bahwa produk tersebut mengalami kenaikan

rata-rata lima tahunan yang lebih besar dibandingkan produk

lainnya. Sebaliknya, produk kerajinan gerabah, keramik

logam dan dekoratif lainnya memiliki nilai tren pertumbuhan

ekspor lima tahunan yang lebih rendah dibandingkan produk

lainnya, sehingga nilai bobot pun cenderung rendah. Adapun

produk ikan hias, produk kayu dan anyaman rotan, produk

turunan kelapa dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60

ini karena memiliki tren pertumbuhan ekspor yang negatif

atau cenderung menurun selama 2011-2015.

Tabel 5.5 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Ekspor

Opsi Kelompok PrioritasBobot Tren

Pertumbuhan Ekspor

Perhiasan dan aksesoris 0,6233

Produk tekstil dan garmen 0,1375

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0472

Rumput laut 0,0430

Tanaman hias 0,0430

Furniture 0,0376

Makanan olahan 0,0236

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0230

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0164

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0055

Ikan hias 0,0000

Produk kayu dan anyaman rotan 0,0000

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0000

Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0000

Sumber: Hasil ANP

5.2.4 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan

Pangsa Ekspor

Produk perhiasan dan aksesoris memiliki bobot tren

pertumbuhan pangsa ekspor tertinggi sebesar 0,5010.

Produk tekstil dan garmen juga memiliki bobot yang cukup

tinggi sebesar 0,1268. Adapun ikan hias memiliki bobot

terendah sebesar 0,0196. Produk kayu dan anyaman rotan,

produk turunan kelapa dan teripang tidak dimasukkan dalam

kriteria ini karena pangsa ekspor ketiga produk tersebut rata-

rata menurun selama 2011-2015.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 61

Tabel 5.6 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Pangsa Ekspor

Opsi Kelompok Prioritas

Bobot Tren

Pertumbuhan

Pangsa Ekspor

Perhiasan dan aksesoris 0,5010

Produk tekstil dan garmen 0,1268

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0574

Rumput laut 0,0544

Tanaman hias 0,0542

Furniture 0,0499

Makanan olahan 0,0392

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0388

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0337

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0250

Ikan hias 0,0196

Produk kayu dan anyaman rotan 0,0000

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0000

Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0000

Sumber: Hasil ANP

5.2.5 Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren pertumbuhan

Impor Dunia

Minyak atsiri dan kerajinan gerabah, keramik logam serta

dekoratif lainnya memiliki bobot tren pertumbuhan impor

dunia tertinggi dibandingkan produk prioritas lainnya yakni

masing-masing sebesar 0,31 dan 0,2786. Kondisi ini

menunjukkan bahwa kedua kelompok produk tersebut

memiliki tren permintaan impor dunia yang lebih tinggi

dibandingkan produk lainnya. Sementara itu, produk kayu

dan anyaman rotan justru memiliki nilai bobot terendah

sebesar 0,0045. Beberapa produk seperti ikan hias, produk

perkebunan, produk turunan kelapa, rumput laut, tanaman

hias dan teripang tidak dimasukkan dalam kriteria tren

pertumbuhan impor dunia karena permintaan impor produk-

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 62

produk tersebut cenderung menurun atau memiliki nilai tren

pertumbuhan yang negatif.

Tabel 5.7 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Tren Pertumbuhan Impor Dunia

Opsi Kelompok PrioritasBobot Tren

Pertumbuhan Impor

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,3100

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,2786

Furniture 0,1312

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0914

Produk tekstil dan garmen 0,0908

Perhiasan dan aksesoris 0,0561

Makanan olahan 0,0376

Produk kayu dan anyaman rotan 0,0045

Ikan hias 0,0000

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0000

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0000

Rumput laut 0,0000

Tanaman hias 0,0000

Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0000

Sumber: Hasil ANP

5.2.6 Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap

Perekonomian

Berdasarkan kriteria kontribusi terhadap perekonomian,

produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabuk kelapa

memiliki bobot tertinggi sebesar 0,095. Selain produk

turunan kelapa, kerajinan gerabah, keramik logam dan

dekoratif juga memiliki nilai bobot yang tinggi sebesar

0.0835. Keduanya memiliki nilai indeks daya penyebaran

dan indeks daya kepekaan di atas 1 yang menunjukkan

bahwa upaya pengembangan kedua industri ini dapat

berkontribusi pada pertumbuhan sektor hulu maupun

hilirnya. Selain kedua produk tersebut, produk prioritas

lainnya yang memiliki bobot yang cukup tinggi antara lain: (i)

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 63

makanan olahan (camilan, juice buah); (ii) ikan hias; (iii)

furniture; (iv) produk kayu dan anyaman rotan; (v) perhiasan

dan aksesoris; dan (vi) sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan

dari batik, kulit dan kombinasi.

Tabel 5.8 Bobot Produk Prioritas Menurut Kriteria Kontribusi Terhadap Perekonomian

Opsi Kelompok PrioritasBobot Kontribusi Thp

Perekonomian

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 0,0951

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 0,0835

Makanan olahan 0,0821

Ikan hias 0,0773

Furniture 0,0763

Produk kayu dan anyaman rotan 0,0763

Perhiasan dan aksesoris 0,0717

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 0,0702

Produk tekstil dan garmen 0,0673

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 0,0672

Rumput laut 0,0619

Tanaman hias 0,0588

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 0,0575

Teripang, hoi som, ubur-ubur 0,0542

Sumber: Hasil ANP

5.2.7 Bobot Kriteria Berdasarkan Produk Prioritas

Pada metode ANP, dimungkinkan adanya hubungan

timbal balik yang dapat dilihat dari alternatif yakni produk

prioritas. Pada tahap timbal balik, masing-masing kriteria

akan dibandingkan menurut produk prioritasnya. Adapun

kriteria ketersediaan bahan baku lokal dan kontribusi

terhadap perekonomian tidak dapat dibandingkan dengan

kriteria lain karena jenis datanya yang berbeda. Kriteria tren

pertumbuhan nilai output, tren pertumbuhan ekspor

Indonesia, tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren

pertumbuhan impor dunia memiliki sifat data yang sama

yakni persentase pertumbuhan, sehingga keempat kriteria ini

dapat dibandingkan untuk setiap produk prioritas.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 64

Berdasarkan produk prioritas furniture, kriteria yang

unggul adalah tren pertumbuhan nilai output, sehingga

kriteria ini diberikan nilai bobot tertinggi yakni 0,7275.

Selanjutnya, bobot tertinggi kedua dalam produk furniture

adalah tren pertumbuhan pangsa ekspor dengan nilai

0,1546. Sementara itu pada produk ikan hias, kriteria tren

pertumbuhan pangsa ekspor merupakan satu-satunya yang

unggul, sehingga bobotnya 1. Adapun kriteria lain untuk

produk tersebut memiliki nilai pertumbuhan yang negatif,

sehingga diberikan bobot 0.

Kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor juga memiliki

bobot yang tinggi pada produk kerajinan gerabah, keramik

logam dan dekoratif lainnya sebesar 0,4380. Selain itu,

kriteria pertumbuhan impor dunia dalam produk tersebut juga

memiliki bobot yang cukup tinggi sebesar 0,3874. Sementara

berdasarkan produk makanan olahan, tren pertumbuhan nilai

output merupakan kriteria yang unggul dibandingkan dengan

kriteria yang lain dilihat dari bobotnya yang lebih tinggi

sebesar 0,6633.

Apabila dilihat dari sudut pandang produk makanan

olahan, kriteria tren pertumbuhan nilai output lebih unggul

dibandingkan dengan kriteria lain. Bobot kriteria ini sebesar

0,6633 angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kriteria yang

lain. Selanjutnya kriteria tersebut diikuti oleh tren

pertumbuhan pangsa ekspor dengan bobot 0,2217; tren

pertumbuhan ekspor Indonesia dengan bobot 0,0981; dan

tren pertumbuhan impor dunia sebesar 0,0169.

Pada opsi produk minyak atsiri atau produk spa

aromaterapi, keempat kriteria yang dibandingkan rata-rata

memiliki bobot yang hampir sama. Bobot tertinggi diperoleh

dari kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor sebesar

0,3769; diikuti oleh tren pertumbuhan impor dunia sebesar

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 65

0,2393; tren pertumbuhan nilai output sebesar 0,2190; dan

tren pertumbuhan ekspor Indonesia sebesar 0,1649.

Kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor dan tren

pertumbuhan nilai ekspor memiliki bobot yang hampir sama

dilihat dari produk perhiasan dan aksesoris yakni masing-

masing sebesar 0,5198 dan 0,4755. Adapun bobot tren

pertumbuhan impor dunia sangat rendah sebesar 0,0046.

Pada produk kayu dan anyaman rotan, kriteria tren

pertumbuhan nilai output memiliki bobot jauh lebih besar

dibandingkan bobot kriteria tren pertumbuhan impor dunia.

Bobot tren pertumbuhan nilai output tercatat sebesar 0,9934,

sementara tren pertumbuhan impor dunia hanya tercatat

0,0066.

Kriteria tren pertumbuhan nilai output juga memiliki bobot

yang tinggi pada produk perkebunan, seperti jambu mete,

gambir, manggis, kopi, coklat dan jahe yakni sebesar 0,7250.

Tren pertumbuhan pangsa ekspor berada di urutan kedua

dengan nilai bobot 0,2024. Adapun krieria pertumbuhan nilai

ekspor memiliki bobot terendah sebesar 0,0726.

Pada produk tekstil dan garmen, kriteria tren

pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot tertinggi dengan

nilai 0,5101. Selain pertumbuhan pangsa ekspor, kriteria

pertumbuhan nilai ekspor juga memiliki bobot yang cukup

tinggi sebesar 0,4063. Sementara itu, bobot kriteria tren

pertumbuhan nilai output dan tren pertumbuhan impor dunia

cenderung memiliki bobot yang rendah yakni masing-masing

sebesar 0,0545 dan 0,0290.

Sementara itu, pada produk rumput laut hanya ada dua

kriteria yang dapat dibandingkan, yakni tren pertumbuhan

pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor. Kendati

demikian, kriteria tren pertumbuhan pangsa ekspor memiliki

bobot yang lebih besar dibandingkan tren pertumbuhan nilai

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 66

ekspor yakni sebesar 0,6307. Adapun bobot kriteria tren

pertumbuhan ekspor Indonesia tercatat 0,3693.

Selanjutnya pada produk sandal, sepatu, tas, dompet

kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi, kriteria tren

pertumbuhan nilai output memiliki bobot yang paling tinggi

sebesar 0,4077 dan diikuti oleh kriteria tren pertumbuhan

pangsa ekspor dan tren pertumbuhan nilai ekspor yang

masing-masing memiliki bobot sebesar 0,3421 dan 0,2069.

Adapun kriteria tren pertumbuhan impor dunia memiliki

kriteria terendah sebesar 0,433.

Sama halnya dengan produk rumput laut, kriteria tren

pertumbuhan pangsa ekspor memiliki bobot yang lebih besar

dibandingkan tren pertumbuhan nilai ekspor pada produk

tanaman hias. Bobot tren pertumbuhan pangsa ekspor

tercatat 0,6314, sementara bobot tren pertumbuhan nilai

ekspor hanya sebesar 0,3686.

Tabel 5.9 Bobot Produk Prioritas Menurut Semua Kriteria

FurnitureIkan

hias

Kerajinan

gerabah,

keramik

logam dan

dekoratif

lainnya

Makanan

olahan

Minyak

atsiri

(produk

spa

aromatera

pi)

Perhiasan

dan

aksesoris

Produk

kayu dan

anyaman

rotan

Produk

perkebunan

seperti

jambu

mete,

gambir,

manggis,

kopi, coklat,

jahe

Produk

tekstil dan

garmen

Produk

turunan

kelapa

seperti

VCO dan

ijuk/sabut

kelapa

Rumput

laut

Sandal,

sepatu,

tas,

dompet

kerajinan

dari batik,

kulit dan

kombinasi

Tanaman

hias

Teripang,

hoi som,

ubur-ubur

Ketersediaan bahan baku lokal 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

Tren pertumbuhan nilai output 0,7275 0,0000 0,1076 0,6633 0,2190 0,0000 0,9934 0,7250 0,0545 1,0000 0,0000 0,4077 0,0000 0,0000

Tren pertumbuhan ekspor Indonesia 0,0855 0,0000 0,0670 0,0981 0,1649 0,4755 0,0000 0,0726 0,4063 0,0000 0,3693 0,2069 0,3686 0,0000

Tren pertumbuhan pangsa ekspor 0,1546 1,0000 0,4380 0,2217 0,3769 0,5198 0,0000 0,2024 0,5101 0,0000 0,6307 0,3421 0,6314 0,0000

Tren pertumbuhan impor dunia 0,0323 0,0000 0,3874 0,0169 0,2393 0,0046 0,0066 0,0000 0,0290 0,0000 0,0000 0,0433 0,0000 0,0000

Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

Produk Prioritas

Kriteria

Sumber: Hasil ANP

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 67

5.2.8 Produk Prioritas dalam Trading House Indonesia

Berdasarkan kalkulasi bobot dalam metode ANP dengan

menggunakan software Super Decision, maka diperoleh

hasil bahwa produk perhiasan dan aksesoris merupakan

produk prioritas utama yang perlu dikembangkan dalam

Trading House di Indonesia. Perhiasan dan aksesoris unggul

dalam kriteria pertumbuhan ekspor baik secara nilai maupun

pangsa. Pertumbuhan ekspor perhiasan dan aksesoris lebih

tinggi dibandingkan opsi produk prioritas lainnya. Namun

demikian, produk ini lemah dalam kriteria pertumbuhan

output yang berarti produksi cenderung mengalami

penurunan. Selain perhiasan dan aksesoris, produk lainnya

yang potensial antara lain: (i) furniture; (ii) makanan olahan

berupa camilan dan juice buah; dan (iii) produk tekstil dan

garmen. Sementara itu, produk ikan hias dan teripang, hoi

sum, ubur-ubur dikategorikan sebagai produk yang kurang

diprioritaskan dalam Trading House di Indonesia.

Tabel 5.10 Total Bobot Produk Prioritas

Tren

pertumbuhan

pangsa ekspor

Tren

pertumbuhan

impor dunia

Ketersediaan

bahan baku

lokal

Tren

pertumbuhan

ekspor

Indonesia

Tren

pertumbuhan

nilai output

Kontribusi

terhadap

perekonomian

Indonesia

Perhiasan dan aksesoris 1 6 8 1 12 7 1

Furniture 6 3 7 6 1 5 2

Makanan olahan 7 7 4 7 3 3 3

Produk tekstil dan garmen 2 5 11 2 9 9 4

Minyak atsiri (produk spa aromaterapi) 8 1 10 8 8 13 5

Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi 3 4 14 3 6 8 6

Rumput laut 4 12 5 4 5 11 7

Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe 9 10 6 9 2 10 8

Kerajinan gerabah, keramik logam dan dekoratif lainnya 10 2 13 10 10 2 9

Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa 13 11 12 13 4 1 10

Tanaman hias 5 13 2 5 13 12 11

Produk kayu dan anyaman rotan 12 8 9 12 7 6 12

Ikan hias 11 9 1 11 11 4 13

Teripang, hoi som, ubur-ubur 14 14 3 14 14 14 14

Peringkat

Urutan per masing-masing Kriteria

PRODUK PRIORITAS

Sumber: Hasil ANP

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 68

BAB VI

MODEL KELEMBAGAAN OPERASIONAL DAN KEBIJAKAN

PENDUKUNG TRADING HOUSE INDONESIA

Dengan mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai dalam

membantu peningkatan ekspor, budaya kerja masyarakat Indonesia,

kondisi dan karakter para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), serta

posisi Trading House yang akan dikembangkan, harus melibatkan peran

aktif dari berbagai lembaga pendukung. Secara umum gambaran dari

hubungan Trading House dan UKM dengan lembaga terkait disajikan

pada gambar 6.1 berikut.

Gambar 6.1 Kerangka Operasional Trading House

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 69

6.1 Model Kelembagaan Operasional

Setidaknya ada enam faktor keberhasilan yang perlu menjadi

fokus perhatian dalam pengembangan Trading House di Indonesia.

Adapun keenam faktor tersebut merupakan rancangan operasional

utama dari suatu Trading House yang harus dikembangkan dalam

menjabarkan perannya sebagai mediator antara produsen dengan

konsumen. Ini merupakan Konsep Dasar Operasionalisasi Manajemen

Trading House agar Optimalisasi peran Trading House untuk

meningkatkan ekspor non migas dapat diwujudkan. Berikut adalah

uraian keenam peran Trading House tersebut.

6.1.1 Pemasaran Secara Integral

Pemasaran secara terintegrasi (Integrated Marketing)

merupakan salah satu peran utama yang harus dimiliki oleh

Trading House yang ada di Indonesia. Pemasaran secara

terintegrasi (Integrated Marketing/IM) merupakan salah satu

terminologi yang menjadi sangat populer pada awal abad ke-

20. Konsep tersebut muncul sebagai dampak adanya

perubahan pola komunikasi (communication environment)

masyarakat saat ini.

Menurut Kotler dan Keller (2008), terdapat dua faktor penting

yang memicu adanya perubahan dalam communication

environment:

1) pemasaran secara massal (mass marketing) yang kemudian

berubah menjadi pemasaran terfragmentasi sehingga para

tenaga pemasar saat ini telah beralih dari pemasaran secara

massal menjadi pemasaran yang terfokus pada

pengembangan program tertentu dan menyasar pada

segementasi pasar tertentu.

2) Perkembangan yang sangat cepat di bidang Informasi dan

Teknologi (IT) yang kemudian semakin mendukung adanya

pemasaran terfragmentasi.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 70

Konsep pemasaran terintegrasi serta komunikasi pemasaran

terintegrasi sendiri kemudian menjadi salah satu topik yang

banyak dibahas dalam beberapa jurnal seperti Saeed, et al.

(2013), Raman dan Naik (2005), Rehman dan Ibrahim (2011),

dan sebagainya. Raman dan Naik (2005) menyatakan bahwa

komunikasi dalam pemasaran terintegrasi adalah

menggabungkan berbagai kegiatan pemasaran sehingga

didapat dampak total yang lebih besar. Sementara itu, Saeed,

et al. (2013) menyatakan bahwa pemasaran terintegrasi

merupakan konsep pemasaran yang berorientasi pada

konsumen.

Pemasaran terintegrasi juga didefinisikan sebagai strategi

pemasaran yang menekankan pada pentingnya konsistensi dan

memberikan multi dimensional brand experince kepada para

konsumen. Multi-dimensional brand experince yang dimaksud

adalah dalam memberikan citra produk di berbagai media baik

televisi, internet, media cetak, dll dapat disajikan dalam hal

serupa sehingga dapat memperkuat pesan yang ingin

disampaikan pada produk tersebut (Marketing-School, 2016).

Dengan menggunakan beberapa definisi dan konsep

pemasaran terintegrasi di atas, maka Trading House Indonesia

diharapkan memiliki peran untuk menggabungkan dan memilih

metode promosi yang paling efektif untuk memberikan citra

produk Indonesia khususnya UKM yang kuat bagi para

konsumen di luar negeri. Selain itu, Trading House juga harus

berorientasi pada konsumen sehingga dapat memenuhi

kebutuhan konsumen di luarr negeri dengan produk UKM

Indonesia yang sesuai.

Di dalam implementasinya terkait dengan pemasaran produk-

produk usaha kecil dan menengah yang pada dasarnya

bertumpu kepada keterampilan dan kekhasan lokal, penerapan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 71

konsep pemasaran terintegrasi bermakna bahwa Trading

House tidak hanya memerankan peranan sebagai trader atau

pedagang perantara, tetapi juga terlibat secara langsung atau

tidak langsung dalam perancangan produk dan perencanaan

proses produksinya. Hal demikian dimaksudkan agar apa yang

dihasilkan oleh pengusaha kecil dan menengah memang

sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pasar. Sesuai dengan

prinsip dasar penetapan strategi pemasaran, maka peranan

penting Trading House dalam pemasaran produk-poduk usaha

kecil dan menengah mencakup aspek (Kotler dan Keller, 2008):

Pemilihan produk yang sesuai untuk dapat dijual kepada

konsumen dan memenangkan persaingan dengan produk-

produk lain yang sejenis;

Penetapan harga jual produk yang profitable dan mampu

meningkatkan / mempertahankan daya saingnya; dan

Memilih Bauran promosi yang efektif dan efisien sesuai

dengan sasaran pasar dan sasaran konsumennya; serta

Penyampaian produk kepada konsumen secara aman, tepat

waktu, dan efisien.

Atas dasar konsep di atas, maka meskipun secara formal

Trading House secara organisasi terpisah dengan para

pengusaha kecil dan menengah, secara operasional harus

dapat bekerjasama secara erat sehingga seakan-akan satu

sama lain merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Dengan demikian, Trading House Indonesia dalam

melaksanakan peran sebagai lembaga pemasaran produk yang

terintegrasi setidaknya harus memiliki fungsi-fungsi sebagai

berikut:

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 72

1. Perumus dan Implementasi strategi pemasaran terpadu

Dengan mempertimbangkan kondisi para pengusaha kecil dan

menengah Trading House harus dapat menjalankan

peranannya secara proaktif, dalam proses penetapan strategi

pemasaran yang tepat. Artinya secara cermat Trading House

harus mencermati produk-produk dari usaha kecil dan

menengah, dan juga mampu mengenali pasar potensial untuk

produk-produk yang bersangkutan, dan selanjutnya secara aktif

mampu merumuskan strategi yang tepat.

Beberapa langkah operasional di dalam merumuskan strategi

pemasaran terpadu ini secara ringkas adalah sebagai berikut :

a) Menginvetarisasi produk-produk dari usaha kecil dan

menengah, dan mengenali jenis, kagunaan, dan

Keunggulan/kelemahannya.

b) Mengkaji kebutuhan konsumen terkait dengan produk-

produk yang bersangkutan, dan sebaran keberadaannya.

c) Mencermati dinamika pasar untuk produk yang

bersangkutan, meliputi produk-produk sejenis yang ada dan

produk-produk substitusinya.

d) Menganalisis biaya produksi atau harga pokok dan biaya

pemasaran secara keseluruhan.

e) Melakukan optimalisasi produk, termasuk modifikasi atau

penyempurnaan produk serta biaya dan volume produksi

dengan berkomunikasi secara intensif dengan para pelaku

usaha kecil dan menengah.

f) Merumuskan strategi pemasaran terpadu, antara lain

mengenai jenis dan produk dan fiturnya, harga jual, serta

promosi, dan distribusi yang sesuai.

g) Melakukan sosialisasi dan menjadikan sebagai alat

komunikasi dan kerja sama dengan para pelaku usaha kecil

dan menengah.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 73

2. Pemilihan dan Pengembangan Pasar

Sesuai dengan peran utamanya, Trading House harus mampu

untuk memilih dan mencari target pasar yang sesuai bagi

produk UKM yang terpilih dalam skema Trading House.

Pemilihan pasar dipertimbangkan pada potensi pasar (daya

serap/volume kebutuhan konsumen) dan daya saing produk,

dan kondisi persaingannya, di samping pertimbangan sinergitas

dari poduk-produk hasil usaha kecil dan menengah yang

dipasarkan.

Selanjutnya, sebagai upaya peningkatan volume dan

pendapatan penjualan, pengembangan pasar merupakan

langkah yang harus ditempuh melalui beberapa cara oleh

Trading House. Pemilihan dan pengembangan pasar tersebut

termasuk melakukan riset pasar terkait selera dan preferensi

konsumen, serta daya saing produk di pasar terpilih, terhadap

produk-produk pesaing terkait dengan fitur produk (masalah

warna, design, bentuk dan sebagainya), serta harga dan

elemen-elemen pemasaran lainnya.

Dalam menjalankan peran Trading House tersebut, maka bebe-

rapa langkah operasional yang perlu dilakukan secara ringkas

adalah sebagaimana di bawah ini.

a) Dilakukan pencermatan terhadap beberapa pasar potensial,

dengan mengenali berbagai segmen yang terkait dengan

produk-produk yang akan dipasarkan. Selanjutnya dipilih

pasar sasaran awal yang sebagai pijakan strategis dalam

pengembangan pasar selanjutnya.

b) Pada pasar sasaran yang terpilih, langkah pemasaran

diawali dengan kegiatan promosi untuk wilayah pasar yang

bersangkutan sesuai dengan bauran promosi yang sesuai.

Kegiatan promosi secara konsisten dilakukan sampai

produk/produk-produk dikenal dan memiliki posisi yang

mapan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 74

c) Secara konsisten dilakukan langkah-langkah penetrasi pada

pasar yang bersangkutan sehingga mencapai tingkat pangsa

pasar yang optimal dan profitable dengan menerapkan

taktik-taktik pemasaran yang sesuai untuk menerapkan

strategi pemasaran yang telah ditetapkan.

d) Selanjutnya, dengan mempertimbangkan segmen-segmen

yang ada pada wilayah yang bersangkutan, dilakukan

pengembangan pasar, yakni menyesuaikan taktik-taktik

pemasar melayani segmen-segmen pasar yang lainnya.

e) Langkah pengembangan pasar diteruskan ke wilayah atau

negara lain dengan melakukan langkah-langkah

sebagaimana diuraikan dalam butir a) sampai dengan butir

d).

3. Pemilihan dan Pengembangan Produk

Selain melakukan pemilihan dan pengembangan pasar,

Trading House juga harus mampu memilih produk yang akan

dipasarkan di negara tertentu. Potensi, Kegunaan, dan

keunggulan produk merupakan aspek penting yang

dipertimbangkan dalam memilih produk yang akan dipasarkan

pada pasar yang memerlukannya. Di samping itu, kesesuaian

dengan masalah standar dan regulasi lain merupakan

pertimbangan lanjutan untuk mencapai keberhasilan

pemasaran.

Dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki oleh

para pelaku usaha UKM sebagai produsen, pengembangan

produk perlu secara konsisten direncanakan dan dilaksanakan.

Tujuan pokok dari langkah ini ada dua, yaitu untuk

meningkatkan dan mempertahankan daya saing, serta

merespon kebutuhan konsumen sesuai dengan perilakunya

dan gaya hidup yang berkembang. Dengan demikian,

pengembangan produk dilaksanakan berdasarkan:

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 75

Kondisi/dinamika persaingan, antara lain perkembangan

produk-produk pesaing dan produk-produk substitusi, baik

design, bahan, fitur, dan kelengkapannya; maupun

perubahan harga jual.

Umpan balik dan saran-saran atau permintaan dari

konsumen.

Perubahan kondisi ketersediaan bahan baku dan bahan-

bahan pembantu.

Perubahan teknologi yang terkait dengan proses produksi

dan pemasaran produk.

Sebagai contoh, Trading House melihat potensi bahwa negara

Amerika Latin memiliki pasar yang cukup besar untuk furnitur

rotan, dan dari hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa ada

beberapa design produk yang laku di negara tersebut, maka

kemudian bagian produksi memberikan informasi kepada

produsen UKM untuk mengembangkan produk menghasilkan

produk sesuai dengan spesifikasi di pasar Amerika Latin.

4. Pelaksana Promosi

Promosi merupakan tahapan yang sangat penting di dalam

komunikasi dan penyampaian pesan-pesan bisnis. Tahapan ini

merupakan ujung tombak dalam pemasaran produk, karena

akan mengalirkan informasi tentang produk, manfaat produk,

dan keunggulannya dalam upaya memenuhi kebutuhan

konsumen. Secara tidak langsung pelaksanaan promosi juga

akan menjadi pintu masuk aliran informasi mengenai preferensi

mereka terhadap produk-produk yang diperlukan.

Trading House harus dapat berperan aktif dalam melakukan

promosi melalui berbagai media terpilih yang telah disesuaikan

dengan pasar yang menjadi target. Oleh karena itu, setiap

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 76

pasar dimungkinkan dapat memiliki media promosi yang

berbeda bergantung pada produk dan preferensi konsumen.

Menetapkan bauran promosi (promotion mix), merencanakan

pelaksanakaan, dan melakukan promosi merupakan rangkaian

kegiatan yang harus ditangani Trading House. Promosi dan

riset pasar sangat penting bagi keberhasilan bisnis, karena

hidup matinya perusahaan ditentukan oleh respon pasar

terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Tetapi secara

langsung kedua hal tersebut tidak dapat dilakukan secara

efektif oleh para pelaku usaha kecil dan menengah selaku

produsen. Oleh karena itu kegiatan ini harus diambil alih oleh

Trading House bersama-sama pemerintah yang berkewajiban

melindungi usaha kecil dan menengah.

Oleh karena itu, Trading House juga harus mampu berperan

sebagai pusat informasi pasar dan agen promosi bagi UKM.

Menurut Biesebroeck et al. (2010), perusahaan menghadapi

kendala yang cukup besar dalam memasarkan produknya,

yaitu kendala berupa pengeluaran sunk cost untuk memperoleh

informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan distribusi,

identifikasi pelanggan, dan promosi. Kegiatan tersebut cukup

berisiko, karena jika riset pasar dan promosi mengalami

kegagalan, selain tidak mendapatkan pasar atau pelanggan

baru, perusahaan juga akan kehilangan biaya tersebut. Baik

perusahaan besar maupun UKM cenderung memilih untuk

bekerjasama dengan perusahaan perantara, seperti Trading

House sehingga memperoleh keuntungan mendapat pasar

baru atau akses ke pasar peripheral (de Geer, 1998). Cakupan

area kerja Trading House sebagai pusat informasi pasar dan

agen promosi antara lain:

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 77

Merumuskan Bauran Promosi

Sebagai kegiatan yang sangat penting bagi Trading House,

promosi dapat meningkatkan nilai dan citra produk dari UKM

mitra dalam bersaing dengan produk sejenis yang diproduksi

oleh perusahaan lain. Dengan demikian, promosi yang

dilakukan secara efektif dan efisien diharapkan mampu

meningkatkan penjualan produk-produk UKM serta

mengoptimalkan keuntungan dengan biaya yang relatif rendah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah utama yang perlu

dilakukan oleh Trading House adalah menetapkan strategi

promosi melalui perumusan bauran promosi yang efektif.

Menurut Kotler dan Keller (2008) unsur bauran promosi terdiri

atas lima perangkat utama, yaitu:

a) Advertising: merupakan semua penyajian pesan bisnis

non personal, dengan menyampaikan ide-ide, tentang

produk atau jasa yang dilakukan sponsor tertentu (yang

dibayar) melalui media-media publik.

b) Sales Promotion: kegiatan pengenalan produk kepada

konsumen disertai berbagai insentif jangka pendek untuk

mendorong keinginan mencoba atau membeli suatu

produk atau jasa.

c) Direct marketing: penggunaan surat, telepon, faksimil, e-

mail dan alat penghubung nonpersonal lain untuk

berkomunikasi secara langsung dengan atau

mendapatkan tanggapan langsung dari pelanggan tertentu

dan calon pelanggan.

d) Personal Selling: Interaksi langsung dengan calon pembeli

atau lebih untuk melakukan suatu presentasi tentang

suatu produk, serta menjawab langsung dan menerima

pesanan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 78

e) Public relation and publicity: berbagai program untuk

mempromosikan dan/atau melindungi citra perusahaan

atau produk individualnya.

Terkait dengan pemasaran produk-produk dari usaha kecil dan

menengah, yang umumnya berupa hasil kerajinan dan

busana/fashion bercirikan ke-Indonesia-an, maka promosi

sebagaimana pada uraian b), c) dan d) perlu mendapat porsi

yang lebih besar, tanpa menghilangkan kemungkinan untuk

melaksanakan cara a) dan e). Di samping itu, karakteristik

produk dan kondisi persaingan juga akan berpengaruh

terhadap rumusan Bauran promosi tersebut.

Dalam merumuskan bauran promosi, Trading House perlu

mempertimbangkan produk apa yang akan dipromosikan serta

siapa pasar yang akan dibidik. Hal ini karena setiap produk dan

konsumen memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga,

bauran promosi yang dipilih dapat berbeda.

Melaksanakan Kegiatan Promosi dan Komunikasi dengan

calon pembeli

Setelah bauran promosi ditetapkan, selanjutnya Trading House

diharapkan dapat melakukan kegitan promosi secara aktif.

Selain itu, Trading House juga perlu membangun komunikasi

yang baik dengan calon pembeli terkait produk-produk yang

dipromosikan. Komunikasi tersebut juga dapat difungsikan

sebagai pengukur dampak promosi yang telah dilakukan,

menerima respon calon pembeli mengenai produk yang

dipromosikan, jumlah calon pembeli yang berminat membeli

produk yang dipromosikan, dan berapa banyak calon pembeli

yang menyukai produk yang dipromosikan. Melalui komunikasi

tersebut, dapat diketahui tingkat efektivitas promosi yang telah

dilakukan serta memungkinkan Trading House untuk mendapat

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 79

konsumen yang tepat dengan penyempurnaan promosi pada

waktu, pasar, dan biaya promosi yang tepat.

Kerjasama dengan ITPC/Atdag dan Instansi Terkait lain

Untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan efisiensi

pelaksanakan promosi, salah satu tugas penting dalam

kegiatan pemasaran dalam suatu perusahaan adalah

membangun hubungan dengan perusahaan lokal, pemerintah,

serta stakeholder lainnya di negara pasar sasaran. Namun,

tugas ini membutuhkan biaya yang cukup besar serta

memakan waktu cukup lama, sehingga perusahaan menjadi

ragu dalam menjalankannya. Oleh karena itu, di dalam kegiatan

promosi, Trading House diharapkan dapat melakukan

kerjasama dengan ITPC/Atdag dan mitra instansi terkait

lainnya. ITPC/Atdag memiliki tugas, pokok, dan fungsi

mengenai pengembangan jaringan kerjasama dengan berbagai

pihak serta analisis pasar. Dengan demikian, kerja Trading

House akan menjadi lebih efektif dalam melayani UKM mitra.

Menyusun rencana dan melaksanakan Riset Pasar

Hasil riset pasar merupakan sumber informasi penting bagi

perusahaan dalam beberapa aspek operasional bisnis antara

lain perancangan produk, pelaksanaan promosi, pengelolaan

transaksi penjualan, serta delivery produk kepada para

konsumen. Di samping itu, riset pasar juga dapat mengungkap

kondisi calon pasar, antara lain daya serap/volume kebutuhan,

kondisi persaingan, dan dinamika respon pasar terhadap

berbagai tatik pemasaran.

Dalam hal riset pasar, beberapa peran Trading House

mencakup penyusunan rencana dan pelaksanaan riset pasar.

Pemilihan pasar yang dibidik harus berdasarkan kriteria yang

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 80

tepat dan jelas sesuai hasil riset pasar, dan ini tentu akan

berbeda untuk setiap produk. Beberapa aspek yang perlu

diperhatikan dalam mengelola riset pasar, antara lain adalah

sebagai berikut:

1) Pada tahapan awal, Trading House harus mampu

mengidentifikasi produk ekspor, kegunaan, serta keunggulan

komparatifnya.

2) Selanjutnya perlu diidentifikasi perilaku konsumen dan

preferensinya terhadap jenis produk yang bersangkutan,

sehingga diketahui karakteristik segmen-segmen pasar yang

ada.

3) Diidentifikasi pula kondisi calon pasar sasaran, antara lain

mencakup daya serap produk, kondisi persaingan, dan

karakteristik respon pasar terhadap taktik pemasaran.

4) Selain itu, Trading House juga harus dapat mendefinisikan

karakteristik-karakteristik pasar yang sesuai untuk produk

tersebut.

Oleh karena itu, Trading House harus memiliki akses terhadap

informasi-informasi tersebut melalui pelaksanaan riset pasar.

Riset pasar yang dilakukan Trading House harus komprehensif,

meliputi kriteria kuantitatif dan kualitatif. Kriteria kuantitatif

meliputi shipping cost, jumlah pesaing, harga produk pesaing,

serta hambatan perdagangan. Sementara kriteria kualitatif

meliputi selera konsumen, culture konsumen, dan kondisi politik

pasar. Selain itu, riset pasar juga diharapkan mampu mencakup

analisa risiko maritim dan fluktuasi mata uang, menentukan

mode dan rute transportasi barang dengan biaya yang rendah

namun tetap menjaga keamanan dan kualitas barang, serta

spesifikasi barang yang memenuhi kebutuhan pasar, standar

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 81

dan peraturan namun tetap sesuai dengan kemampuan UKM

mitra.

Monitoring dan Evaluasi Pasar

Kondisi pasar akan terus berubah secara dinamis dengan

berjalannya waktu, antara lain akibat dari berbagai perubahan

yang terjadi pada produk, persaingan, aktivitas/perubahan tatik

pemasaran, dan faktor-faktor makro pada pasar yang

bersangkutan. Oleh karena itu, pasar yang sudah ada perlu

terus dimonitor dan dievaluasi oleh Trading House. Kegiatan

monitoring dan evaluasi pasar tersebut berguna untuk menjaga

dan memperbarui informasi komersial masing-masing produk

dan pelaksanaan berbagai aktivitas pemasaran untuk

merespon perkembangan pasar, sehingga sasaran pemasaran

dapat tercapai.

Di samping itu monitoring dan evaluasi pasar juga dapat

memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang timbul,

baik untuk keberhasilan produk yang dipasarkan dengan cara

penyempurnaan, maupun untuk meluncurkan produk-produk

lain yang belum ada di pasar yang bersangkutan.

Beberapa parameter yang dimonitor dan dievaluasi antara lain:

a) Perkembangan harga produk;

b) Volume penjualan produk termasuk produk Trading House

dan pesaingnya;

c) Jumlah merk dan ukuran kemasan

d) Kemunculan produk sejenis dan produk Substitusi serta

hilang/menyusutnya beberapa produk.

e) Perkembangan model kemasan, ragam label, dan fitur

produk, serta saluran distribusi/outlet penjualan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 82

Kerjasama dengan lembaga riset

Disadari sepenuhnya bahwa Trading House memiliki

keterbatasan sumberdaya untuk dapat melakukan kegiatan

riset pasar yang akurat dan mutakhir. Padahal, kegiatan ini

merupakan faktor penting bagi keberhasilan pemasaran secara

integral dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dengan

demikian menjalin kerjasama dengan lembaga riset, terutama

lembaga riset pemerintah merupakan suatu keharusan untuk

dapat memperoleh hasil riset yang baik. Lembaga riset pada

umumnya memiliki SDM yang kompeten dan peralatan yang

memadai, sehingga efektivitas, efisiensi, dan akurasinya akan

jauh lebih baik dibanding jika dilaksanakan oleh Trading House

secara sendirian.

Untuk meningkatkan pelayanan kepada UKM mitra, salah satu

cara yang dapat dipilih oleh Trading House adalah kerjasama

dengan lembaga riset, mengingat Riset pasar membutuhkan

biaya dan waktu yag tidak sedikit. Dengan bekerja sama

dengan lembaga riset, Trading House dapat melakukan

efisiensi waktu dan biaya.

Beberapa hal yang harus dikomunikasikan dengan baik, antara

lain:

a) Potensi produk yang akan dipasarkan

b) Calon konsumen yang potensial

c) Beberapa negara atau segmen pasar yang mungkin ada

terkait dengan jenis produk, manfaat, dan Keunggulan

komparatifnya.

d) Beberapa informasi lain yang diperlukan dalam

pemasaran produk, terkait dengan perilaku konsumen,

kondisi sosial ekonomi dan budaya negara tujuan ekspor,

dan sebagainya.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 83

Mengelola umpan balik dari pembeli dan mitra

Pembelajaran secara langsung melalui pengalaman dalam

melayani konsumen akan sangat baik dalam upaya

memperkaya dan meningkatkan kompetensi perusahaan.

Dalam hal ini, Trading House juga harus mengelola umpan

balik dari pembeli dan mitra. Tanggapan dan sikap konsumen

terhadap produk dan pembelian produk merupakan informasi

berharga dalam upaya pengembangan produk dan pelayanan

kepada pembeli. Opini, permintaan/tuntutan, dan saran-saran

yang diberikan oleh pembeli harus dicatat/didokumentasikan

dan dievaluasi serta dianalisis lebih lanjut. Selanjutnya hasil

analisis dapat ditindaklanjuti dalam proses produksi dan

pemasaran, baik dalam aspek perbaikan dan pembenahan

produk dan sistem pemasaran, maupun dalam pengembangan

produk dengan memperkaya fitur, menyempurnakan design,

atau dalam aspek lain yang dapat meningkatkan kepuasan dan

nilai gunanya bagi pelanggan.

Di samping itu, kegiatan pengelolaan umpan balik tersebut

bertujuan untuk menanggapi dan menyelesaikan klaim dari

konsumen. Dengan cara ini, Trading House dapat memastikan

bahwa hubungan dengan konsumen dan mitra berjalan mulus.

Pengelolaan umpan balik juga dapat menjadi masukan bagi

Trading House atau UKM mitra dalam hal memberikan after-

sales service bagi para pelanggannya.

5. Pengelolaan Transaksi Penjualan

Penjualan produk merupakan tujuan utama kegiatan

pemasaran dan hal ini terjadi setelah ada pemahaman dan

kesepakatan dari konsumen untuk menggunakan produk-

produk yang ditawarkan oleh Trading House. Transaksi

penjualan dapat terjadi pada saat promosi diselenggarakan,

sehingga promosi juga dapat terintegrasi dan harus mencakup

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 84

pengelolaan dalam melakukan transaksi penjualan. Namun,

transaksi penjualan akan terpisah dengan kegiatan promosi,

sehingga harus ditangani dengan sistem yang tepat dan

dilaksanakan secara professional. Sistem harus dapat

menangani transaksi secara face to face pada outlet atau di

lokasi yang disepakati, secara jarak jauh melalui order yang

jelas atau melalui transaksi online.

Kejelasan produk yang dipesan/dibeli, termasuk model/tipe dan

ukuran, volume pembelian, pengemasan, cara pembayaran,

cara pengiriman, dan lokasi serta tujuan Pengiriman.

Pengaturan penyiapan barang pesanan, pengecekan, dan

pemeriksaan barang serta pembayarannya merupakan aspek

penjualan yang harus ditangani dengan baik.

Dalam kaitannya dengan penanganan transaksi penjualan,

bagian promosi juga harus dapat menjembatani dan membantu

buyer di luar negeri untuk memilih media pembayaran serta

media pengiriman barang yang akan digunakan. Sebagai

contoh, untuk media pembayaran yang akan digunakan tentu

harus menguntungkan kedua belah pihak yaitu pihak Trading

House dan buyer di luar negeri. Bagi Trading House,

pengelolaan penjualan harus menjamin adanya kepastian

waktu pembayaran serta kemudahan dan keamanan dalam

melakukan transaksi sehingga dapat meminimalisir resiko gagal

bayar bagi produsen dalam negeri. Sementara bagi buyer,

pengelolaan penjualan harus menjamin waktu dan kepastian

pengiriman barang serta barang yang dikirimkan telah

memenuhi spesifikasi dan segala persyaratan kepabeanan.

6. Pengaturan Logistik dan Distribusi

Untuk mendukung tata kelola transaksi penjualan, maka harus

didukung dengan pengaturan logistik dan distribusi yang cukup

baik. Trading House harus memilih dan mengatur media

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 85

distribusi dan logistik yang akan digunakan dengan

mempertimbangkan: 1) Keamanan dan ketepatan waktu

pengiriman; 2) Media yang digunakan memiliki biaya yang

cukup efisien; 3) Kualitas dari barang dapat tetap terjaga, serta

4) Administrasi kepabeanan yang diperlukan telah terpenuhi.

Sesuai dengan karakter masing-masing produk dan perilaku

para konsumen, pembelian pada tingkat konsumen dapat

terjadi dalam dua sifat. Kategori yang pertama adalah membeli

dan segera digunakan atau dikonsumsi, sehingga para

konsumen akan membeli produk yang telah tersedia. Kategori

yang kedua adalah dengan cara memesan terlebih dahulu

untuk digunakan pada waktu kemudian. Untuk mengatasi

kedua hal tersebut, maka Trading House harus memiliki sistem

pengelolaan Persediaan (stok) minimal, agar dapat melayani

konsumen dengan baik. Prinsip Just in time tetap diterapkan,

namun tentu secara luwes harus dapat menjaga keseimbangan

antara modal kerja dan kecukupan persediaan.

Untuk dapat memenuhi kelompok permintaan konsumen

kategori pertama, maka secara dinamis pengelolaan

persediaan perlu dilakukan di tiga titik yang penting, yaitu (i) di

negara-negara tujuan ekspor yang dapat dilakukan oleh

importir (mitra bisnis) atau oleh agen; (ii) di gudang dalam

negeri; dan/atau (iii) di tempat penyimpanan produsen, dalam

hal ini adalah para pelaku usaha kecil dan menengah, jika

mudah dalam operasi pengumpulan dan pengiriman, serta

penyimpanan dapat dilakukan oleh produsen.

6.1.2 Networking dan Distribusi Informasi

Sesuai dengan sasaran pengembangan Trading House yang

akan diawali dengan penanganan industri kecil dan menengah,

maka Trading House akan berhubungan dengan banyak sekali

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86

produsen serta mitra bisnis yang berasal dari perusahaan

swasta, BUMN, usaha perorangan, dan instansi pemerintah.

Dalam konstelasi yang demikian, keberhasilan akan sangat

ditentukan oleh dua hal utama, yaitu distribusi informasi yang

cepat dan tepat, serta kontribusi yang efektif dan efisien oleh

masing-masing pihak sesuai peranan dan kewenangannya.

Pada faktanya, salah satu kendala UKM dalam melakukan

ekspor adalah kurangnya akses informasi baik kepada pembeli,

pemerintah maupun mitra pendukung lainnya. Pasalnya UKM,

terutama UKM yang baru akan merambah pada tujuan ekspor

kerap diharapi berbagai kendala seperti pemahaman

preferensi, perilaku konsumen dan informasi produk, khusunya

mengenai spesifikasi dan standar produk. Selain itu, UKM juga

kerap tidak memiliki akses jaringan/network yang cukup

terhadap pihak lainnya, seperti pemerintah selaku regulator dan

mitra pendukung. Oleh karena itu, salah satu fungsi strategis

Trading House dalam mendorong ekspor UKM adalah

membangun jaringan serta mendistribusikan informasi antara

UKM dan stakeholder lainnya.

Dengan demikian, pengembangan Trading House harus sangat

memperhatikan masalah networking dan komunikasi dengan

berbagai pihak yang menentukan keberhasilan proses produksi

dan pemasaran, di samping menangani promosi, penjualan,

dan distribusi, serta transaksi penjualan. Pada posisinya

sebagai trader/mediator aliran barang dan jasa dari produsen

kepada pembeli, dan aliran finansial dari pembeli kepada

produsen, ada empat kelompok yang harus dilayani melalui

komunikasi yang baik dan jejaring kerja yang efektif. Keempat

kelompok tersebut memiliki karakteristik komunikasi dan tata

kerja yang berbeda, sesuai dengan peranan masing-masing

(Gambar 6.2).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 87

Gambar 6.2 Bagan Alur Networking & Distribusi Informasi Trading House

Kelompok yang pertama adalah kelompok pelaku usaha kecil

dan menengah sebagai produsen barang dan jasa, yang antara

lain jumlahnya sangat banyak, keinginan dan kemampuannya

beragam, memiliki sumber daya yang sangat terbatas, serta

kemampuan akses informasi dan pasar sangat kecil. Dengan

demikian, beberapa informasi yang perlu disampaikan Trading

House kepada UKM antara lain: (i) jenis produk yang memiliki

permintaan yang tinggi di luar negeri; (ii) rancangan produk

mencakup desain produk itu sendiri dan packaging; (iii)

teknologi produksi yang efisien; (iv) volume dan harga produk;

dan (v) persyaratan dan mutu.

Kelompok yang kedua adalah buyer, terutama yang berada di

manca negara. Sebagai pembeli tentu menginginkan

memperoleh informasi yang lengkap dan jelas terkait dengan

produk yang ditawarkan kepada mereka. Hal demikian

merupakan aspek penting dalam pembuatan keputusan untuk

memilih dan membeli produk. Dengan demikian, dalam

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 88

berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pembeli, Trading

House perlu menyampaikan beberapa hal yakni katalog produk,

volume dan harga, fitur produk dan jaminan atau konsistensi

mutu.

Disamping berkomunikasi kepada dua kelompok yang

merupakan lini dari proses pertukaran manfaat antara produsen

dan konsumen tersebut, Trading House juga harus berperan

sebagai penghubung jaringan dan distribusi informasi bukan

hanya antara UKM dan pembeli saja. Namun stakeholder

terkait lainnya seperti pemerintah dan mitra pendukung yang

tergabung dari pemasok bahan baku, Atase perdagangan dan

ITPC, asuransi, dan lembaga keuangan. Kepada instansi

pemerintah (kelompok ketiga), koordinasi antara Trading House

dan pemerintah mencakup kebijakan dan regulasi serta

bantuan untuk UKM.

Hal demikian akan menjadi faktor penting dalam

pengembangan kompetensi para pelaku usaha kecil dan

menengah, mengingat tidak memungkinkan bagi Trading

House untuk melakukan pembinaan sepenuhnya dan

memberikan bantuan semua yang diperlukan oleh usaha kecil

dan menengah. Trading House perlu memberikan informasi

yang jelas tepat, dan mutakhir mengenai kondisi pasar ekspor

dalam kaitannya dengan produk-produk yang dihasilkan oleh

usaha kecil dan menengah sedemikian rupa sehingga

merupakan masukan yang tepat bagi instansi terkait untuk

membuat regulasi yang melindungi terhadap produk dan

kegiatan ekonomi para pelaku usaha kecil dan menengah.

Disamping itu, juga merupakan informasi bagi pmerintah untuk

menetapkan kebijakan yang membantu kompetensi dan

prasarana lain yang diperlukan untuk pengembangan usaha

kecil dan menengah.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 89

Adapun terhadap kelompok ke-empat, yaitu para pemasok

barang dan jasa kepada para pelaku usaha kecil dan

menengah dan Trading House, komunikasi dan koordinasi

yang sesuai dengan peran mitra pendukung antara lain

dengan: (i) pemasok mencakup bahan baku dan komponen; (ii)

Atdag dan ITPC terkait persyaratan kemasan di negara tujuan,

mekanisme pengiriman dan kegiatan promosi; (iii) asuransi

terkait keperluan asuransi atau perlindungan finansial; (iv)

lembaga keuangan terkait fasilitas modal atau avalis. Melalui

fungsi intermediasi informasi yang kuat, maka keempat elemen

stakeholder akan menjadi satu jaringan yang solid dan

terintegrasi.

6.1.3 Perancangan dan Pengembangan Produk

Dalam kaitannya memenuhi kebutuhan konsumen,

perancangan produk merupakan induk dari rangkaian proses

operasional suatu organisasi/perusahaan. Proses manufaktur,

perencanaan produksi, proses dan pengujian kualitas yang

didasarkan pada sifat suatu produk sesuai dengan

rancangannya. Bahkan logistik dan pengiriman suatu produk

didasarkan pada bagaimana dan produk apa yang telah

dirancang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa

perencanaan merupakan cetak biru (blueprint) bagi

keberhasilan suatu perusahaan.

Dalam suatu perusahaan, perencanaan harus dimulai dengan

konsep yang memiliki dasar pendukung yang jelas, mampu

memberikan nilai kepada konsumen, dan menghasilkan laba

atas investasi, serta meningkatkan daya saing perusahaan.

Secara operasional, perencanaan produk akan memiliki

dampak langsung pada bahan baku dan komponen yang akan

digunakan, suplier yang ditugaskan, mesin dan proses seperti

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 90

yang digunakan untuk membuatnya, di mana akan disimpan,

dan bagaimana produk ekspor tersebut akan didistribusikan.

Perancangan dan pengembangan produk pada umumnya

dilaksanakan berdasarkan kebijakan kualitas dan harga. Hasil-

hasil survei pasar dapat memberikan informasi mengenai

sasaran perancangan produk dalam aspek fungsional,

operasional, kehandalan, dan persyaratan daya tahan dan

kemungkinan. Pemilihan ruang lingkup fungsional dan

penerapan standardisasi, penyederhanaan, dan prinsip-prinsip

spesialisasi ternyata terkait erat dengan efisiensi pabrik dan

untuk laba bersih sehingga harus menjadi bagian integrasi dari

kebijakan manajemen.

Nilai ekonomi dari suatu produk baru yang diusulkan atau

model baru harus dianalisis untuk menentukan ukuran pasar

yang akan disesuaikan dengan produksi. Pertimbangan

estetika datang biasanya pada stadium lanjut, tapi kadang-

kadang dapat menjadi faktor dominan dalam desain, terutama

dengan barang-barang konsumsi. Akhirnya, pengembangan

produk dan desain harus dilakukan dengan hubungan dekat

dengan departemen produksi, dalam rangka untuk memastikan

bahwa bahan yang tepat dan proses yang digunakan dan yang

implikasinya dianggap pada tahap cukup awal.

Hal-hal tersebut di atas sudah menjadi suatu keharusan dan

mudah dilaksanakan dalam suatu perusahaan, yang bahkan

akan menjadi prosedur operasi baku yang dilaksanakan secara

rutin. Namun, hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh Trading

House dengan prosedur baku yang persis sama, karena

pelaksana produksi dan perancangan berada pada organisasi

yang terpisah. Oleh karena itu dalam menjalankan perannya,

Trading House mengelola proses perancangan dan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 91

pengembangan produk sesuai alur proses sebagaimana

diperlihatkan pada Gambar 6.3. di bawah ini.

Gambar 6.3 Bagan Alur Perancangan dan Pengembangan Produk Trading House

Gambar 6.3 tersebut menginformasikan hubungan dan

keterkaitan antar berbagai pihak dalam proses perancangan

produk yang diharapkan akan mampu memenuhi preferensi

dan kebutuhan konsumen. Secara ringkas hubungan tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Sesuai dengan uraian di atas, perancangan produk

harus dimulai dari hasil riset pasar dan pemahaman atas

kebutuhan konsumen terkait dengan manfaat produk

yang akan ditawarkan kepada mereka.

b) Riset pasar dilakukan untuk mengumpulkan informasi

dari beberapa informan kunci, antara lain dari: (i)

konsumen yang akan menggunakan produk yang

bersangkutan; (ii) mitra usaha yang memasok bahan,

barang, dan jasa; dan (iii) instansi pemerintah yang

terkait dengan UKM dan produk yang dihasilkan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 92

c) Atas dasar hasil riset pasar, maka secara sendiri atau

bersama-sama dengan para pelaku usaha kecil dan

menengah, Trading House melakukan proses

perancangan produk, dengan tahapan utama seba-

gaimana telah diuraikan di atas.

d) Aspek utama yang akan dihasilkan antara lain meliputi:

jenis produk dan rancang bangunnya, fitur, mutu/grade,

dan teknologi untuk menghasilkannya. Teknologi

produksi ini akan mencakup aspek bahan baku dan

bahan pembantu, peralatan, dan tahapan proses

produksinya.

e) Dalam pelaksanaan produksi setelah rancangan jadi,

juga perlu direncanakan secara lebih pasti mengenai

volume produksi, jadwal produksi, harga/biaya produksi,

serta kerjasama dengan pihak-pihak terkait.

f) Rancangan ini juga harus diinformasikan secara tepat

waktu kepada instansi pemerintah dan mitra kerja.

Pemerintah diharapkan secara antisipatif memberikan

bantuan pelatihan dan fasilitas kepada para pelaku

usaha kecil dan menengah untuk keberhasilan

produksinya. Para mitra pemasok dapat merencanakan

barang dan jasa yang sesuai dengan rancangan produk

tersebut.

g) Selanjutnya Trading House dapat memberikan bantuan

pula kepada para pelaku usaha kecil dan menengah

yang akan menghasilkan produk yang telah dirancang

tersebut. Bantuan dapat berupa pelatihan in situ,

pendampingan proses produksi, dan problem solving

atas masalah yang timbul, serta bantuan lainnya yang

memungkinkan. Secara teknis, proses perancangan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 93

produk dapat dilakukan dengan cara sebagaimana dirinci

dalam uraian di bawah ini.

1. Analisis Produk

Berbagai faktor dapat dianalisis terkait perancangan dan pe-

ngembangan, faktor yang berbeda dalam karakter dan

kompleksitas, faktor yang bergabung dengan bidang yang

berbeda pada produksi dan teknik industri. Beberapa faktor

tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

a. Aspek pemasaran

b. Karakteristik produk

Aspek fungsional

Aspek operasional

Aspek ketahanan dan kehandalan, dan

Nilai estetik

c. Analisis ekonomi

Pertimbangan keuntungan

Dampak standardisasi, penyederhanaan, dan

spesialisasi, dan

Analisis break-even

d. Aspek produksi

Semua faktor tersebut saling terkait dan masing-masing

menyajikan banyak masalah yang harus dipertimbangkan

dengan cermat, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6.4.

riset pasar dapat memandu pencipta produk dalam

pekerjaan mereka untuk meningkatkan produk yang sudah

ada atau untuk mengembangkan yang baru. Desain dan

karakteristiknya harus menjalani analisis ekonomi dan harus

dipelajari dalam terang fasilitas produksi yang tersedia dan

teknik. Analisis penetapan biaya secara alami tergantung

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 94

pada volume penjualan; maka desain disarankan harus

dievaluasi kembali oleh riset pasar sehingga perkiraan

penjualan dapat bekerja. Volume penjualan diharapkan

dapat menjadi dasar untuk studi lebih lanjut dari aspek

metode produksi, dan analisis ekonomi harus dicek dan

mungkin diubah. Dengan demikian pengembangan produk

dan desain adalah contoh yang sangat baik dari saling

ketergantungan dari banyak faktor yang harus disesuaikan

dan diintegrasikan dalam komposisi akhir.

Gambar 6.4. Beberapa Hubungan Timbal Balik dalam Perencanaan dan Pengembangan Produk

2. Kerangka Kerja Untuk Perencanaan Produk

Perencanaan proses dapat dilihat sebagai latihan interaktif

dimana berbagai hambatan diselesaikan satu per satu dan

secara berurutan; kemudian setelah setiap tahap, atau

mungkin setelah beberapa tahap, tahap sebelumnya kembali

diperiksa untuk melihat apakah langkah tersebut

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 95

mempengaruhi cara terbaik di mana langkah-langkah

tersebut harus dirancang.

Gambar 6.5. Urutan Proses Kerja Perencanaan

a. Perencanaan Produk

Perencanaan produk berfungsi sebagai masukan untuk

proses desain produk. Namun, dalam banyak kasus

tanggung jawab untuk fase tersebut terletak dalam

kelompok-kelompok, seperti pemasaran dan teknik, yang

pada umumnya ditemukan di luar domain proses desain.

Pada tahap awal, kebutuhan yang dibutuhkan konsumen

mulai diidentifikasi.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 96

Jika proses berorientasi pada layanan, maka kebutuhan

akan tercermin dengan kualitas, kecepatan, biaya, dan

keandalan layanan. Jika di sisi lain, proses berorientasi

manufaktur, dari kebutuhan tersebut akan tercermin dalam

diusulkan kualitas, biaya, fungsi, keandalan dan penampilan

produk.

Pada saat layanan atau produk parameter tersebut diubah

menjadi produk, desain, penting diketahui bahwa aliansi

lintas-fungsional antara produk, perencanaan dan proses

kelompok desain dibentuk untuk memastikan bahwa tujuan

produk dapat menguntungkan. Jika tidak, maka hanya tujuan

lokal yang dapat dikejar. Sebagai contoh, departemen

pemasaran dan teknik bekerja sendirian maka mungkin

rancangan produk yang sangat mahal untuk diproduksi dan

sangat sulit untuk dilayani.

Secara singkatnya, proses transformasi harus

dipertimbangkan dengan baik sebelum desain selesai.

Informasi dari tahap pengembangan produk dapat diarahkan

untuk unit yang bertanggung jawab untuk proses penelitian

dan pengembangan (R & D). Unit tersebut pada gilirannya

dapat menentukan apakah kemampuan proses untuk produk

tersebut sekarang ada di dalam perusahaan, apakah itu ada

di luar perusahaan atau apakah penelitian dan upaya

pengembangan akan diperlukan untuk memenuhi tujuan

tertentu.

Perkiraan biaya kasar juga dibuat untuk setiap alternatif

diidentifikasi. Pada perusahaan besar, departemen khusus R

& D dapat diselenggarakan hanya untuk tujuan tersebut.

Namun pada perusahaan-perusahaan kecil, fungsi tersbeut

kurang formal dan lebih ketergantungan akan ditempatkan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 97

pada pemasok luar peralatan pengolahan dan teknik

perusahaan.

Sebagai proses fase R & D berlangsung, informasi umpan

balik kepada kelompok pengembangan produk. Jika R &

grup D akan dapat memenuhi spesifikasi produk, maka

tahap desain produk akhir dapat dimulai. Jika ada masalah,

namun, dalam memenuhi spesifikasi produk, maka

modifikasi dalam tahap pengembangan produk harus terjadi.

Informasi dari kedua produk akhir desain dan proses R & D

merupakan masukan untuk tahap desain proses.

Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan cara-cara

alternatif untuk memenuhi tujuan diformalkan dalam tahap

desain akhir, menentukan kriteria yang mereka akan

dievaluasi, dan membuat seleksi akhir.

b. Desain Proses: Makro

Proses desain dalam hal makro terdiri dari dua aspek antara

lain workstation dan alur kerja. Pilihan workstation

melibatkan pilihan mesin untuk dimasukkan dalam proses,

sedangkan analisis alur kerja menyangkut aliran kerja antara

workstation tersebut. Di dalam proses ini, keputusan dibuat

apakah proses akan terus menerus, intermiten, atau

beberapa kombinasi dari keduanya.

Dalam pengolahan terus menerus, proses ini beroperasi

konstan dan biasanya melibatkan rasio modal-untuk-kerja

yang tinggi. Beberapa contoh orientasi terus-proses ini

adalah industri otomotif, pengolahan kimia, plastik, beberapa

volume tinggi produsen elektronik, dan beberapa utilitas

seperti telepon, listrik dan transmisi gas.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 98

Karakteristik industri dengan proses berkesinambungan

adalah tata letak produk di mana semua workstation yang

ditujukan khusus untuk satu produk dan dikelompokkan

sesuai dengan persyaratan pengolahan produk tersebut.

Dalam banyak kasus daripada tidak, mesin yang ditemukan

di workstation tujuan khusus dan mahal dan memiliki sedikit

fleksibilitas di luar lini produk sendiri. Alur kerja sebagian

besar ditentukan oleh karakteristik fisik yang memiliki tata

letak produk.

Kriteria yang digunakan untuk membuat pilihan antara dua

layout ini termasuk biaya investasi, biaya material handling,

biaya tenaga kerja langsung, kebutuhan ruang, fleksibilitas

peralatan perubahan pertemuan dalam kuantitas output,

keandalan sistem dan biaya pemeliharaan. Faktor-faktor

ekonomi dan non-ekonomi harus, pada gilirannya, ditimbang

sebelum membuat keputusan akhir.

c. Desain Proses: Mikro

Dalam tahap berikutnya bergeser kepada rincian yang

membuat pekerjaan benar di setiap workstation. Hal yang

perlu diperhatian adalah dengan isi operasional dan metode

operasional Tugas konten operasional berfokus pada

kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang harus

diberikan kepada stasiun kerja. Metode operasional, pada

sisi lain, berkaitan dengan pelaksanaan yang efisien dari

langkah-langkah tersebut.

3. Sistem Perencanaan Pabrik

Jika pabrik baru akan dibangun, kemudian memproses hasil

perencanaan dalam pengaturan yang relatif bebas kendala.

Jika, Namun, proses tersebut harus dipasang di pabrik yang

ada, maka satu set kendala khusus harus diamati. Oleh

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 99

karena itu, sistem perencanaan proses harus berinteraksi

dengan sistem perencanaan pabrik untuk memastikan layout

yang layak.

4. Proses Desain Sebagai Kegiatan Yang Terus Menerus

Proses desain tidak terbatas hanya untuk desain baru.

Setiap kali biaya input berubah dalam jumlah besar, atau

setiap kali tingkat output atau sasaran mutu berubah, proses

penyesuaian segera dilakukan. Jika alasan untuk

pemeriksaan ulang adalah perubahan harga dalam faktor

input, kemudian masukan baru mencerminkan rasio harga

yang berbeda dari input pengganti yang mungkin diperlukan.

Sebagai contoh, jika upah tarif meningkat secara substansial

sebagai akibat dari kontrak kerja baru, ada kemungkinan

bahwa urutan otomatis di lini produksi yang penggunaan

modal secara tidak efisien dari sebelumnya yang mungkin

menguntungkan. Desain proses, harus menjadi aktivitas

berkelanjutan dimana tidak hanya mempercepat saat produk

atau jasa baru diperkenalkan. Sebagai proses berkelanjutan,

pertanyaan tentang berapa banyak uang untuk

menghabiskan dalam mengejar adalah sangat penting.

Jumlah yang harus menghabiskan tergantung, tentu saja,

pada manfaat yang didapatkan. Pada batasnya, upaya harus

terus selama manfaat marginal dari perbaikan lebih besar

dari biaya marjinal. Jika desain ulang memerlukan investasi,

tampaknya masuk akal untuk menggunakan investasi untuk

peninjauan proses modal penganggaran. Oleh karena itu,

investasi tersebut, bersama dengan semua lain yang

perusahaan adalah mempertimbangkan, harus menghadapi

proses seleksi akhir di mana hanya yang paling

menguntungkan dapat bertahan hidup.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 100

6.1.4 Koordinator Produksi

Sebagaimana disampaikan oleh ASEPHI dalam Diskusi

Terbatas Kajian yang diselenggarakan pada tanggal 18

Februari 2016, salah satu kendala UKM dalam melakukan

ekspor adalah kurangnya product specialist yang bisa

membantu mengembangkan produk sehingga sesuai

dengan persyaratan teknis barang dan lolos kontrol kualitas

di negara tujuan ekspor. Untuk mengatasi kendala tersebut

maka Trading House harus berperan sebagai Koordinator

Produksi, atau bisa juga diistilahkan kurator produksi bagi

UKM.

Artinya, Trading House tidak boleh bersifat pasif dan

menyerahkan proses produksi sepenuhnya kepada UKM

sebagai produsen, tetapi harus bersifat proaktif untuk ikut

merencanakan, mengawasi, dan mengendalikan hasil

produksi. Telah disadari bahwa beberapa aspek penting

terkait dengan pemasaran produk-produk usaha kecil dan

menengah ke manca negara, adalah adanya berbagai

ketentuan sebagai berikut:

Produk harus jelas darimana asalnya dan dapat

ditelusuri;

Produk harus memiliki identitas yang jelas, sehingga

merek produk merupakan aspek penting yang harus

dipenuhi;

Informasi produk berupa Spesifikasi atau label

kandungan dan cara penggunaan harus disertakan;

Mutu produk harus konsisten;

Produk harus terdaftar dan tersertifikasi;

Tidak boleh ada pelanggaran HKI dalam produksi dan

pemasarannya.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 101

Berbagai ketentuan tersebut di atas sering menjadi kendala,

dan tentu saja tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada

UKM sebagai produsen, sehingga Trading House harus

terlibat secara proaktif agar mampu memenuhi ketentuan

tersebut di atas. Dengan demikian, bagan yang

menggambarkan peran Trading House sebagai Koordinator

Produksi dapat dilihat pada Gambar 6.6 di bawah ini.

Gambar 6.6 Bagan Alur Koordinasi Produksi Trading House

Agar produk yang dihasilkan dapat memenui order buyer di

luar negeri dengan baik, maka Trading House harus mampu

menjamin produk dapat diterima oleh buyer tepat waktu,

berkulitas baik dan memiliki harga yang bersaing. Beberapa

prinsip yang perlu menjadi key competencies produk-produk

Trading House adalah just in time, bermutu tinggi, efisien,

pemenuhan skala pasar (Economic of Scale) dan berdaya

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 102

saing (competitive). Karena produsen merupakan organisasi

yang terpisah dari Trading House, maka Trading House

harus mampu mengkoordinasikan penerapan prinsip-prinsip

tersebut oleh para mitra kerjanya.

Untuk dapat mencapai prinsip-prinsip tersebut di atas, maka

peran Trading House sebagai Koordinator atau Kurator

Produksi menjadi sangat penting. Beberapa hal yang harus

dilaksanakan oleh Trading House dalam menjalankan

perannya sebagai Koordinator Produksi bagi UKM adalah

sebagaimana uraian berikut ini.

1) Dalam menjalankan peran ini, Trading House

menyampaikan rancangan produk berdasarkan hasil

riset dan analisis pasar kepada para UKM (telah

diuraikan pada 6.1.1.) yang siap memproduksi barang

sesuai permintaan. Trading House juga membantu UKM

yang mendapat order tersebut dalam berhubungan

dengan Mitra Produksi seperti Pemasok Bahan Baku,

Pemasok Bahan Pembantu dan Kemasan, Bank dan

Asuransi, Pergudangan dan Ekspedisi jika dibutuhkan

dalam proses produksi.

2) Pada tahap perencanaan, Trading House harus

berunding dengan para pengusaha kecil dan menengah

mengenai rencana produksi yang meliputi jadwal

produksi, jenis produk dan volume produksinya.

3) Setelah proses produksi, barang yang diproduksi juga

harus dapat lolos sertifikasi dan kulitas sesuai

permintaan di pasar ekspor. Oleh karena itu Trading

House harus membantu UKM.

a. Melakukan pengecekan/pemeriksaan/pengawasan

terhadap mutu produk yang dihasilkan;

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 103

b. Dalam berhubungan dengan lembaga sertifikasi,

antara lain Trading House membantu memastikan

UKM telah menghasilkan produk yang memenuhi

standar, baik sesuai yang diminta buyer, maupun

memenuhi SNI atau standar lainnya yang menjadi

ketentuan pemerintah Indonesia dan negara tujuan

ekspor.

c. Mengurus dan memperoleh Sertifikat/sertifikasi

yang diperlukan.

4) Untuk dapat menjamin keberlangsungan produk, Trading

House juga harus dapat membangun merek untuk

produk-produk yang akan dipasarkan. Dua skema yang

tersedia untuk tujuan tersebut, yakni (i) merek yang

dimiliki langsung oleh produsen, dalam ini adalah

masing-masing UKM; dan (ii) merek dimiliki oleh Trading

House. Masing-masing memiliki Keunggulan dan

kelemahan, sehingga perlu dipertimbangkan dengan

cermat di dalam penetapannya. Namun, Trading House

tetap harus membatu para pengusaha kecil dan

menengah untuk mendapatkan merek produk mereka,

jika mereka menginginkannya.

5) Melakukan pemeriksaan, apakah produk yang dihasilkan

telah ada perlindungan HKI-nya, baik di Indonesia

maupun di negara tujuan ekspor.

a. Jika sudah ada, apakah harus ada royalty yang harus

dibayar.

b. Jika belum, perlu dipertimbangkan apakah harus

dilindungi dengan HKI

c. Jika diperlukan Trading House mendaftarkan desain

atau karya tersebut kepada Ditjen Hak Kekayaan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 104

Intelektual (HKI) dan/atau lembaga yang menangani

Intellectual Properties di negara tujuan ekspor. Jika

produk merupakan temuan/rancangan UKM, Trading

House perlu membantu UKM dalam pendaftaran

paten/hak cipta tersebut.

6) Dalam menjalin komunikasi yang efektif dengan calon

pembeli sekaligus untuk dapat menjamin ketelusuran

(traceability), maka perlu dibuat sistem basis data dan

katalog yang baik untuk menampung seluruh informasi

mengenai bahan baku yang digunakan dan produk yang

dihasilkan. Basis data dan Katalog ini akan menjadi alat

yang bagus dalam pemasaran, terutama dalam hal

pelaksanaan promosi serta mengembangkan komunikasi

tertulis melalui situs web, e-mail, brochure, dan sarana

komunikasi jarak jauh lainnya.

7) Selain sistem katalog produk, Trading House juga perlu

mempunyai sistem dan menerapkan manajemen yang

baik (Good Management Practices) sehingga informasi

mengenai proses produksi, sertifikasi, kualitas, desain

produk dan lain-lain dapat dikelola dengan baik. Dengan

sistem manajemen ini, maka Trading House akan lebih

mudah memasarkan produk-produk UKM.

6.1.5 Fasilitasi pemberdayaan UKM

Pada peran keenam ini, Trading House berupaya untuk

mendorong kemampuan UKM memaksimalkan kuantitas dan

kualitas produk yang dihasilkan dalam rangka meningkatkan

ekspor non migas dari sektor UKM. Dalam menjalankan

peran fasilitasi pemberdayaan UKM, Trading House

melakukan komunikasi dengan instansi dan mitra terkait

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 105

tentang aspek-aspek tuntutan keterampilan dan fasilitas

produksi UKM untuk memenuhi tuntutan konsumen dan

kompetisi.

Pemberdayaan UKM bukan semata-mata menjadi tanggung

jawab Trading House, tetapi juga menjadi tanggung jawab

pemerintah. Oleh karena itu, dalam melakukan

pemberdayaan agar mampu memenuhi tuntutan pasar dan

menghasilkan produk yang memiliki daya saing bagus, maka

Trading House harus bekerjasama secara erat dengan

berbagai instansi yang terkait dengan pembinaan dan

pengembangan UKM.

Dengan mencermati berbagai kondisi, kendala, dan tuntutan

pasar sebagaimana diuraikan di atas, maka kegiatan untuk

memfasilitasi pemberdayaan UKM antara lain meliputi

beberapa hal sebagaimana di bawah ini.

1. Pelatihan dan pendampingan

Melalui kegiatan ini lembaga Trading House mampu

memberikan pelatihan dan pendampingan bagi UKM

untuk dapat memproduksi produk ekspor yang berkualitas

dan mutu konsisten serta dapat memenuhi persyaratan

yang diinginkan oleh buyer di luar negeri, sehingga ekspor

dapat dilakukan secara berkelanjutan.

2. Bimbingan dan pemecahan masalah

Apabila UKM menghadapi berbagai hambatan terkait

dengan ketrampilan dan kemampuan dalam kegiatan

produksi ataupun pemasaran, Trading House akan

membantu mencari alternatif solusi permasalahan ter-

sebut. Misal untuk mendapatkan mutu produk handmade

yang konsisten maka UKM diberikan bimbingan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 106

ketrampilan khusus agar terlatih membuat produk dengan

kualitas seragam.

3. Akses bantuan fasilitas produksi.

Trading House memberi bantuan fasilitas dan kemudahan

untuk pengembangan teknologi produksi, termasuk

dengan memanfaatkan fasilitas dari pemerintah seperti

bantuan mesin bagi UKM. Trading House dapat

menyediakan bantuan dalam tahapan labelling dan

packaging, sehingga dapat menyesuaikan dengan

permintaan buyer di luar negeri.

4. Akses informasi pasar

Apabila UKM belum memiliki informasi yang lengkap

mengenai pasar yang dituju khususnya negara tujuan

ekspor, Trading House dapat memberikan bantuan

informasi tersebut, dan juga dapat menjadi penghubung

antara UKM dengan buyer.

5. Akses modal kerja & investasi

Trading House dapat melakukan kerjasama dengan

lembaga keuangan baik pemerintah atau swasta yang

memiliki dana sehingga UKM mempunyai akses untuk

mendapatkan modal dan investasi untuk pengembangan

usaha khususnya bidang produksi.

6. Bantuan pengurusan sertifikasi dan Hak Kekayaan

Intelektual (HKI)

Trading House membantu pengurusan sertifikasi dan HKI

di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Kemenhum dan HAM) dengan memanfaatkan skema

kerjasama antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 107

dan Menengah (Kemenkop dan UKM) dengan Kemenhum

dan HAM yang memberikan secara gratis untuk mengurus

HKI produk UKM yang akan diekspor.

7. Penanganan Klaim dan Gagal kirim/bayar

Jika dalam melakukan ekspor terjadi masalah dalam

penanganan klaim atau gagal kirim dan bayar, maka

Trading House dapat membantu penyelesaian masalah

tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena

itu lembaga Trading House diharapkan sudah berbentuk

badan hukum.

8. Manajemen umpan balik

Trading House dapat memberikan saran bagi perbaikan

produksi dan pemasaran produk UKM ke luar negeri.

Demikian juga apabila terdapat kritik terhadap kualitas

produk maupun proses ekspor dari pihak buyer dapat

diatasi oleh UKM bekerja sama dengan Trading House.

6.2 Alternatif Bentuk Trading House dan Kebijakan Pendukungnya

Demi mewujudkan Trading House yang mampu berperan secara

signifkan dalam rangka meningkatkan ekspor non migas khususnya

untuk produk UKM, maka Kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh

organisasi dan SDM pengelola Trading House antara lain:

1. Kompetensi Dasar Organisasi dan SDM

- Pemasaran dan perdagangan

2. Keterampilan Pendukung

- Ekonomi dan bisnis

- Komunikasi bisnis

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 108

- Teknologi komunikasi dan informasi

- Disain produk

- Visual design

- Teknologi industri

- Manajemen produksi dan operasi

3. Sarana Pendukung

- Etalase/display room

- Perlengkapan komunikasi dan informasi

- Bangunan operasi dan business meeting

- Peralatan disain dan pengembangan produk

Trading House merupakan salah satu wadah untuk

mendongkrak ekspor produk yang dihasilkan dari para pelaku UKM.

Dari kegiatan Diskusi Terbatas dan wawancara dengan beberapa

stakeholder terkait, setidanya ada tiga bentuk alternatif dari Trading

House. Setiap alternatif bentuk tersebut memiliki keunggulan dan

kelemahan masing-masing. Tabel 6.1 berikut menyajikan

perbandingan keunggulan dan kelemahan dari setiap alternatif bentuk

Trading House tersebut:

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 109

Tabel 6.1 Perbandingan Keunggulan Tiga Alternatif Bentuk atau Status Trading House

Dukungan kebijakan pemerintah untuk pengembangan Trading

House berupa:

a) Akses modal kerja & investasi

b) Promosi, Informasi Pasar & Riset Pasar

c) Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku

dan mesin-mesin

d) Tax holiday selama masa awal pengembangan

e) Insentif pajak apabila: (i) memenuhi target ekspor tertentu;

(ii) ekspansi ke pasar baru; (iii) diversifikasi produk ke pasar

tradisional

Sesuai dengan peran Trading House yang akan diupayakan

secara maksimal maka minimal ada 6 bidang atau divisi yang

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 110

terdapat dalam organisasi lembaga pengelola Trading House

yaitu;

1. Promosi dan riset pasar

2. Penjualan dan pengembangan pasar

3. Perancangan dan pengembangan produk

4. Produksi dan perlindungan HKI

5. Persediaan dan ekspedisi

6. Keuangan dan SDM

Sedangkan dukungan pemerintah bagi UKM dapat dilakukan

dengan berkoordinasi antar kementerian antara lain melalui

kegiatan:

a) Bimbingan dan pelatihan

b) Akses Bantuan fasilitas produksi

c) Akses modal kerja dan investasi

d) Bantuan kemudahan penanganan sertifikasi dan HKI.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 111

BAB VII

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

7.1 Kesimpulan

1. Trading House belum berkembang di Indonesia karena belum ada

regulasi yang jelas sebagai dasar untuk mendirikan Trading House

di Indonesia, kurangnya dukungan dari berbagai lembaga terkait,

belum terciptanya manajemen Trading House yang terintegrasi,

skema pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House dan

ruang lingkup layanan Trading House yang masih terbatas.

2. Berdasarkan hasil benchmarking dengan Trading House di Korea

Selatan dan Jepang, unsur-unsur penting dalam pengembangan

Trading House adalah perlu adanya: landasan hukum, status

kelembagaan, peran pemerintah, tingkat keragaman produk,

lembaga pendukung, dan kerangka dasar operasi dan fungsi

Trading House yang komprehensif.

3. Kriteria prioritas untuk menentukan produk yang dimasukkan dalam

Trading House adalah 1. pangsa ekspor, 2. impor dunia dan 3.

ketersediaan bahan baku lokal. Dengan menggunakan kriteria

tersebut hasil studi berhasil mengidentifikasi 14 produk yang perlu

ditangani melalui Trading House, lima produk prioritas adalah (i)

perhiasan dan aksesoris; (ii) furnitur; (iii) makanan olahan; (iv)

produk tekstil dan garmen; (v) minyak atsiri (produk spa

aromaterapi).

4. Model operasional Trading House disarankan:

a) Badan usaha berbentuk BUMN atau BUMD guna memudahkan

dukungan pendanaan dari pemerintah dan melaksanakan misi

pemerintah meningkatkan ekspor UKM.

b) Trading House dengan lima fungsi utama yaitu (i) fasilitasi

pemberdayaan UKM, (ii) perancangan dan pengembangan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 112

produk, (iii) koordinasi produksi, (iv) networking dan distribusi

informasi, serta (v) pemasaran.

7.2 Rekomendasi Kebijakan

1. Pemerintah perlu mensosialisasikan Trading House dan fungsinya

kepada para pelaku usaha khususnya UKM.

2. Dukungan kebijakan pemerintah yang diharapkan untuk

pengembangan Trading House dalam rangka mendukung ekspor

non migas, khususnya dari sector UKM adalah:

a) Bantuan atau akses modal kerja dan investasi;

b) Fasilitas pembiayaan ekspor produk dan impor bahan baku

dan mesin-mesin;

c) Tax holiday pada tahap awal pengembangan Trading House;

d) Insentif perpajakan apabila (i) memenuhi target ekspor

tertentu; (ii) mampu menembus pasar baru; (iii) diversifikasi

produk baik secara vertikal (berbagai jenis produk turunan)

maupun horizontal (berbagai sektor).

e) Penguatan payung hukum yang lebih jelas dan kuat guna

mendukung terbentuknya Trading House yang efektif dalam

bentuk peraturan pemerintah atau Keputusan Presiden,

seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan.

3. Rekomendasi berdasarkan hasil kajian, agar pemerintah

memfasilitasi pengembangan Trading House dengan:

a) Memperkuat lembaga yang sudah melakukan sebagian fungsi

Trading House seperti SMESCO dan PT. Sarinah.

b) Membangun dari awal sebuah Trading House yang baru

dalam bentuk pilot project dengan model operasional yang

komprehensif.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 113

DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. (2006). Analitycal Network Process (ANP): Pendekatan Baru Dalam Penelitian Kualitatif. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.Bank Indonesia.

Ascarya, Yumanita. D. (2005). Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil Di Perbankan Syariah Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005, pp. 8-43.

Ashraf, G., Kadir, S. A. (2012). A Review on The Models of Organizational Effectiveness: A look at Cameron’s Model in Higher Education. International Education Studies, 5 (2), pp.80-87.

Azis, Iwan J. (2003). Analytic Network Process With Feedback Influence: A New Approach to Impact Study. Mimeo, paper presented in seminar organized by the Department of Urban and Regional Planning, University of Illinois, Urbana Champaign.

Banwet, D. K., Deshmukh, S. G., Joyti. (2006). Balanced Scorecard for Performance Evaluation of R&D Organization: A Conceptual Model. Journal of Scientific and Industrial Research, 65 (11), pp. 879-886.

Biesebroeck, J. V., Yu, E., Chen, S. (2010). The impact of trade promotion services on Canadian exporter performance. pp. 145-190. Diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1612209.

Cunningham, J. B. (1977). Approaches to The Evaluation of Organizational Effectiveness. Academy of Management Review, 2(3), pp. 463–474.

Endri. (2009). Permasalahan Pengembangan Sukuk Korporasi Di Indonesia Menggunakan Metode Analitycal Network Process (ANP). Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.13, No.3 September, pp. 359-372.

Fedorowicz, J. (2004). Promoting Trading Houses In Egypt. Arab Republic of Egypt. Ministry of Foreign Trade.

Feenstra, R. dan G. Hanson (2004). Intermediaries in Entrepôt Trade: Hong Kong Re-Exports of Chinese Goods. Journal of Economics & Management Strategy, 13: pp. 3-35.

Goenawan. (2014). Ekonomi & Bisnis. 10 Agustus 2014. Pengusaha Mebel Butuh Trading House. Diunduh kembali dari Infopublik: http://infopublik.id/read/86019/pengusaha-mebel-butuh-trading-house.html.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 114

Gorener, Ali. (2012). Comparing AHP and ANP: An Application of Strategic Decisions Making in a Manufacturing Company. International Journal of Bussiness and Social Science, Vol.3, No.11: pp. 194-268.

Hossein, E., Ramezanineghad, R., Yosefi, B., Sajjadi, S. N., Malekakhlagh, E. (2011). Compressive review of organizational effectiveness in sport. Sport Management International Journal 2011 Vol. 7 No. 1, pp. 5-21.

Jaharnsyah, M., Novianti, T., dan Ernaning W. (2013).Rumusan Strategi Pengembangan Ekspor UKM Sepatu Di Surabaya Dengan Menggunakan Pendekatan ANP. Jurnal Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo Madura: pp. 1-9.

Japan External Trade Organization (JETRO). (2015). Role of Japanese Government and Sogo-Syosya to increase export and investment. Presentation. Jakarta.

Jun, I. W. (2009).The Strategic Management of Korean And Japanese Big Business Groups: A Comparison Study between Korean General Trading Companies and Japanese Sogo Shoshas. Thesis. The University of Birmingham. United Kingdom.

Kotler, P., Keller, K. L. (2008). Marketing Management (13th edition). New

Jersey: Prentice Hall.

Lankford, W.M. (2001). Benchmarking: Understanding The Basics. The Coastal Business Journal, 1 (1), pp. 57-72.

Llamazares, O. (2015, July 9). What is Trading Company? Blogs and Articles: Global Negotiator. Diunduh dari http://www.globalnegotiator.com.

Love, Peter E.D., Skitmore, Martin R. (1996). Approaches to Organisational Effectiveness and Their Application to Construction Organisations.A paper to be submitted to the ARCOM Conference, Sheffield Hallam University, UK, 11-13th Sept. 1996, pp. 1-10.

OATH. (2015, July 9). About Trading House: Ontario Association for Trading House. Diambil kembali dari Ontario Association for Trading House Web site: http://www.oath.on.ca.

Partomo, S. T., Soejoedono, A. R. (2002). Ekonomi Skala Kecil/Menegah & Koperasi. Ghalia Indonesia. Jakarta

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 115

Prabowo, D. W. (2014). Pengelompokan Komoditi Bahan Pangan Pokok Dengan Metode Analytical Hierarchy Process. Buletin Ilmiah Perdagangan Vol 8, No. 02 Desember 2014, pp. 163-182.

PT. Bumi 1ndawa Niaga. (2015). Designation For General Trading Company As a National Export Booster: Case Study of South Korea’s Export Leap Jump. Presentation. Jakarta.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri (Puslitbang Dagri), Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan. (2009). Kajian Inventarisasi dan Evaluasi Trading House. Jakarta.

Puspadewi, I. (2015). Trading House in Furniture Industry. Presentation. Jakarta.

Raman, K., Naik, P. A. (2005). Integrated Marketing Communication in

Retailing, pp. 339 – 353.

Rehman, S. U., Ibrahim, M. (2011). Integrated Marketing Communication

and Promotion. Journal of Arts, Science & Commerce Vol. II, pp.

187-191.

Ryan, P. (2013). The Sogo Shosha - The Insider’s Perspective. Marubeni Research Institute.

Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G. (2006). Decision Making with the Analitic Network Process. Economic, Political, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunities, Costs and Risks. Springer. RWS Publication. Pittsburgh.

Saeed, R., Naeem, B., Bilal, M., & Naz, U. (2013). Integrated Marketing Communication: A Review Paper. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business Volume 5, No. 5, pp. 124 - 133.

Tanaka, T. (2012). Research on Sogo Sosha: Origins, Establishment and Development. Japan Foreign Trade Council, Inc.

Tambunan, T. (2002). Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia Beberapa Isu Penting. Salemba Empat. Jakarta.

Tsao, Juliana. (2004). The Role of Small and Medium Sized Export Tradinng Companies in Taiwan’s Economic Transition 1950-1990. Thesis. The Faculty of International Business and Asian Studies. Griffith University.

Yu, T., Wu, N. (2009). A Review of Study on the Competing Values Framework. International Journal of Business and Management, 4 (7), pp. 37-42.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 116

LAMPIRAN

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 117

Lampiran 1. Kuesioner Untuk Pelaku UKM

KUESIONER 1: FUNGSI DAN PERAN TRADING HOUSE (Untuk Pelaku UKM)

Hari/Tanggal: Lokasi:

Nama Responden :

……………………………………..

Posisi : ………………………………………………..

No Telp. / HP:

…………………………..……………………

Email : ………………………………………………..

VERIFIKASI

Tanda Tangan dan Cap

UKM/Perusahaan/Instansi

Petunjuk Umum

Kegiatan survey lapangan ini merupakan bagian dari kajian PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI.

Responden diharapkan memberikan jawaban yang paling sesuai serta memberikan elaborasi penjelasan lebih jauh terhadap jawaban yang telah diberikan.

Isi dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya menjadi milik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Hasil Pengolahan kuesioner digunakan sebagai dasar ilmiah penyusunan kebijakan perdagangan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 118

1. IDENTITAS

Nama UKM :

Alamat :

Tahun Berdiri :

Status Perusahaan : BUMN Perusahaan Swasta Koperasi Perorangan

Jenis Produk :

JumlahPekerja :

Omzet : Rp /Bulan

2 PEMANFAATAN FUNGSI TRADING HOUSE

A- Selain melalui Trading House, Apakah Anda menjual langsung produk Anda kepada konsumen/eksportir ?

Ya Tidak

B- Berapa % produk yang anda jual sendiri ? ……………………. C- Selain melalui Trading House, Apakah Anda juga menggunakan mitra lain untuk

menjual produk Anda?

Ya Tidak

D- Berapa % produk yang anda jual melalui mitra-mitra selain Trading House? …………………….

E- Mengapa Anda menggunakan Trading House, apa saja fungsi Trading House yang Anda manfaatkan? (boleh lebih dari satu)

1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

FUNGSI TRADING HOUSE 1 2 3 4 5

1. Melakukan seleksi pasar dan riset pasar

2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi pembeli

di Luar Negeri

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 119

3. Melakukan negosiasi komersial dan teknis

4. Melakukan pengembangan vendor

5. Mengurus kegiatan packaging dan

pengembangan teknologi

6. Menangani kegiatan impor, khususnya

barang input yang diperlukan untuk produksi

ekspor

7. Mengatur keuangan termasuk kredit

8. Menerima pembayaran dari pembeli

9. Melakukan proteksi resiko ekspor termasuk

asuransi

10. Memastikan pembayaran dari pembeli

11. Mempersiapkan dokumen ekspor dan

pengiriman

12. Mengatur apabila terjadi permasalahan

13. Membantu pengurusan klaim

14. Melayani garansi dan menyediakan suku

cadang

15. Mencari proyek ekspor, konsorsium dan

tender bisnis

16. Mengembangkan jaringan distribusi di luar

negeri

17. Membangun relasi/hubungan dengan

pemerintah

3 PERMASALAHAN

3.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KETIKA BERHADAPAN DENGAN TRADING

HOUSE / PEMBELI / PEMESAN

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 120

Apa saja permasalahan apakah yang timbul selama ini dalam memanfaatkan

Trading House untuk memasarkan produk UKM Anda? Berapa sering terjadi?

(Bisa lebih dari satu masalah)

1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

MASALAH YANG TIMBUL 1 2 3 4 5

1. Negosiasi harga/Tingkat harga kurang menarik

2. Standar produk yang diminta oleh Buyer sulit dipenuhi

3. Spesifikasi teknis produk yang diminta kurang jelas/tidak bisa diproduksi

4. Mekanisme pembayaran terhambat/ lama cairnya

5. Bahan2 untuk memenuhi Spesifikasi sulit diperoleh/harganya mahal

6. Volume permintaan terlalu besar/terlalu kecil dan kurang ekonomis

7. Permintaan ulang terlalu jarang/tidak menentu.

8. Kemasan dan persyaratan lain terlalu berat

9. Biaya Pengiriman atau biaya lain mahal, dan tinggi risiko kegagalan/kerusakannya

10. .....

11. .....

4 USULAN KEBIJAKAN

4.1. BANTUAN YANG DIINGINKAN

Bantuan apa saja yang Anda harapkan dari pemerintah/lembaga lain untuk kelancaran usaha Anda melalui Trading House (boleh lebih dari satu).

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 121

3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera

JENIS BANTUAN 3 4 5

1. Bantuan modal berupa pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan lain

2. Sarana dan Prasarana produksi & pengemasan, seperti mesin dan peralatan

3. Kerjasama bimbingan pelatihan dan bimbingan teknis UKM

4. Promosi dan komunikasi kepada calon pembeli, a.l. label produk, rancangan kemasan, dsb

5. Ruang terbuka publik, untuk wahana berinteraksi antar komunitas dalam rangka kegiatan promosi dan komersialisasi

6. …

7. …

4.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH

Apakah usulan Anda terhadap kebijakan pemerintah agar usaha Anda lebih maju? Apakah ada yang harus diubah/diganti atau perlu ada kebijakan baru (boleh lebih dari satu).

3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera

JENIS KEBIJAKAN 3 4 5

1. Penyederhanaan peraturan perundang-undangan yang mendukung pengembangan Trading House

2. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi yang perlu dipersingkat

3. Perpajakan , pungutan ekspor, dan retribusi.

4. Sosialisasi informasi terhadap event-event di luar negeri yang perlu ditambah

5. …

6. …

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 122

Lampiran 2. Kuesioner Untuk Lembaga Trading House

KUESIONER 2: FUNGSI DAN PERAN TRADING HOUSE (Untuk Lembaga Trading House)

Hari/Tanggal: Lokasi:

Nama Responden : …………………………………….. Jabatan : ………………………………………

No Telp. / HP: ……………………………………………… Email: ……………………………………………….

VERIFIKASI

Tanda Tangan dan Cap

Perusahaan/Lembaga /Instansi

Petunjuk Umum

Kegiatan survey lapangan ini merupakan bagian dari kajian PENGEMBANGAN TRADING HOUSE DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR NON MIGAS yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI.

Responden diharapkan memberikan jawaban yang paling sesuai, serta memberikan elaborasi penjelasan lebih jauh terhadap jawaban yang telah diberikan.

Isi dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya menjadi milik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Hasil Pengolahan kuesioner digunakan sebagai dasar ilmiah penyusunan kebijakan perdagangan.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 123

1. IDENTITAS TRADING HOUSE

Nama Trading House :

Alamat :

Tahun Berdiri :

Status Perusahaan

: BUMN Perusahaan Swasta Koperasi Perorangan PMDN/PMA

Jumlah UKM yang dilayani :

Jumlah Pembeli :

Eksportir Dalam Negeri :

Importir Luar Negeri :

Omzet : Rp Juta/bulan

2 FUNGSI TRADING HOUSE

Sebagai Trading House, fungsi apa saja yang pernah Anda lakukan dalam menjalin bisnis dengan pemasok dan pembeli produk ? Dan seberapa sering fungsi itu dilaksanakan (fungsi boleh lebih dari satu)

1: Tidak Pernah; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

BEBERAPA FUNGSI TRADING HOUSE 1 2 3 4 5

1. Melakukan seleksi pasar dan riset pasar

2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi pembeli di Luar Negeri

3. Melakukan negosiasi komersial dan teknis

4. Melakukan pengembangan vendor

5. Mengurus kegiatan packaging dan pengembangan teknologi

Menangani kegiatan impor, khususnya barang input yang diperlukan untuk

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 124

6. produksi ekspor

7. Mengatur keuangan termasuk kredit

8. Menerima pembayaran dari pembeli

9. Melakukan proteksi resiko ekspor termasuk asuransi

10. Memastikan pembayaran dari pembeli

11. Mempersiapkan dokumen ekspor dan pengiriman

12. Mengatur apabila terjadi permasalahan

13. Membantu pengurusan klaim

14. Melayani garansi dan menyediakan suku cadang

15. Mencari proyek ekspor, konsorsium dan tender bisnis

16. Mengembangkan jaringan distribusi di luar negeri

17. Membangun relasi/hubungan dengan pemerintah

3. PRODUK YANG DITANGANI TRADING HOUSE

Produk-produk apa saja yang dikelola oleh Trading House Anda? Bagaimana porsi produk-produk tersebut terhadap keseluruhan bisnis Anda (boleh lebih dari satu).

JENIS/KATEGORI PRODUK Jumlah jenis

barang

Pangsa volume

(%)

Pangsa

Nilai

(%)

Pangsa

untuk Ekspor

(%)

1. Produk industri kerajinan

- Produk kayu dan anyaman rotan termasuk gerabah dan akar kayu

- Perhiasan dan aksesoris termasuk dari mutiara,

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 125

emas dan perak

- Produk tekstil dan garmen termasuk batik

- Sandal, sepatu, tas, dompet kerajinan dari batik, kulit dan kombinasi

- Kain tenun dan songket

- Kerajinan perak dan besi

2. Produk Perikanan

- Ikan hias

- Rumput laut

- Teripang, hoi som, ubur-ubur

3. Produk berbasis pertanian

- Produk spa

- Tanaman hias

- Produk turunan kelapa seperti VCO dan ijuk/sabut kelapa

- Produk perkebunan seperti jambu mete, gambir, manggis, kopi, coklat, jahe

- Makanan olahan

4. LEMBAGA PENDUKUNG TRADING HOUSE

Apakah Anda memanfaatkan lembaga-lembaga pendukung untuk membantu kelancaran operasional Trading House (boleh lebih dari satu)

1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

LEMBAGA PENDUKUNG 1 2 3 4 5

1. Bank

2. Asuransi

3. Pergudangan

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 126

4. Ekspedisi

5. Agen Periklanan

6. Atdag/ITPC

7. Agen Penjualan di luar negeri

8. …

9. …

10. …

5. MANAJEMEN TRADING HOUSE

5.1. SUMBER DAYA MANUSIA LEMBAGA TRADING HOUSE

Berapakah jumlah SDM/staf yang terlibat dalam Trading House Anda

Pendidikan

- Lulusan S1 Orang

- Lulusan S2 Orang

- Lulusan S3 Orang

- Karyawan Tetap Orang

- Tenaga lepas / kontrak Orang

Kompetensi

- Memiliki pengalaman komunikasi bisnis dan promosi

Orang

- Menguasai komoditas ekspor (ke negara yang bersangkutan) dengan baik

Orang

5.2. ORGANISASI TRADING HOUSE

Apakah ada pembagian tugas yang jelas/pilah di antara staf Trading House

- Khusus Menangani Promosi Orang

- Khusus Menangani Analisis / Informasi Pasar

Orang

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 127

- Khusus Pengembangan Jejaring Ekspor & Perdagangan

Orang

- Khusus Menangani Perkembangan peraturan dan mediasi perselisihan

Orang

- Khusus Berkoordinasi dengan Pemerintah

Orang

5.3. KOORDINASI KEGIATAN TRADING HOUSE

Bagaimanakah Trading House mengkoordinasikan kegiatan/fungsinya

Berapa sering dilakukan pertemuan dengan instansi, UKM, eksportir, dan importir.

Kali/tahun

Media Komunikasi yang digunakan

- Review pasar Kali/tahun

- Newsletter Kali/tahun

- Laporan berkala Kali/tahun

- Katalog Produk Kali/tahun

- Leaflet & Booklet Kali/tahun

- Situs Web selalu dimutakhirkan

Kali/tahun

6. PERMASALAHAN TRADING HOUSE

6.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DENGAN UKM

Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi ketika berhadapan dengan UKM (boleh lebih dari satu)

1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

MASALAH DENGAN UKM 1 2 3 4 5

1. Keterbatasan bahan baku untuk kegiatan produksi

2. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk kemampuan manajerial, teknik produksi, kontrol

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 128

kualitas, pengembangan produk dan teknik pemasaran

3. Etos atau lingkungan kerja yang kurang mendukung

4. Kemampuan pembiayaan melakukan pesanan yang jumlahnya konsisten

5. Keterbatasan teknologi produksi/masih menggunakan teknologi tradisional

6. Pengawasan Mutu melalui program sertifikasi mutu ISO

7. Ketidakmampuan memenuhi kapasitas pesanan yang telah disepakati

8. Kesulitan dalam hal pemasaran

9. Desain produk yang tidak bersifat marketable

10. …

6.2. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KETIKA BERHADAPAN DENGAN PEMBELI

Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi ketika berhadapan dengan Pembeli (boleh lebih dari satu)

1:Tidak Pernah ; 2: Jarang; 3: Kadang-kadang; 4: Sering; 5: Selalu

MASALAH DENGAN PEMBELI 1 2 3 4 5

1. Negosiasi harga

2. Standar atau Spesifikasi produk yang diminta oleh Buyer atau yang diperbolehkan masuk ke pasar tujuan ekspor

3. Ketidaksesuaian Spesifikasi teknis produk komoditi yang disepakati

4. Mekanisme pembayaran terhambat

5. Informasi Produk & Harga kurang jelas

6. Klaim barang rusak/cacat/tidak sesuai

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 129

7. Barang lambat diterima pembeli

6.3. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN USAHA TRADING HOUSE

Sebutkan permasalahan yang Anda hadapi Dalam pengembangan skala/omset usaha dan meningkatkan ekspor

1:Tidak Pernah ; 2: sekali-2kali; 3:kadang-kadang; 4:Sering; 5:Selalu

MASALAH PENGEMBANGAN OMZET/USAHA

1 2 3 4 5

1. Kekurangan Modal investasi untuk sarana, prasarana, dan pemantapan jaringan

2. Kekurangan Modal kerja/likuiditas untuk peningkatan stok barang sesuai pesanan

3. Peralatan dan sarana usaha

4. Memperoleh Mitra Usaha yang tepat dan dapat dipercaya

5.

7. USULAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TRADING HOUSE

7.1. BANTUAN YANG DIINGINKAN TRADING HOUSE

Bantuan apakah yang Anda ingin peroleh dari pemerintah dan lembaga lainnya di dalam/luar negeri (boleh lebih dari satu)

3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera

JENIS BANTUAN 3 4 5

1. Bantuan likuiditas berupa pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan lain

2. Sarana dan Prasarana, seperti tempat pameran dan kegiatan promosi lainnya

3. Kerjasama bimbingan pelatihan dan bimbingan teknis UKM

4. Ruang terbuka publik, untuk wahana berinteraksi antar komunitas dalam rangka kegiatan promosi

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 130

dan komersialisasi

5. …

7.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH TRADING HOUSE

Pilih usulan kebijakan pemerintah yang Andarekomen-dasikan, terkait pencabutan atau Penambahan kebijakan (boleh lebih dari satu)

3: Penting; 4: Segera; 5: Penting dan Segera

USULAN PERUBAHAN KEBIJAKAN TRADING HOUSE 3 4 5

A. Penyederhanaan peraturan atau perundang-undangan yang mendukung pengembangan Trading House, Sebutkan :

1. ……………………………………………………………………..

2. ……………………………………………………………………..

3. ……………………………………………………………………..

4. ……………………………………………………………………..

B. Birokrasi dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi yang perlu dipersingkat

C. Sosialisasi informasi terhadap event-event di luar negeri yang perlu ditambah

D. Pengurangan Pajak, pungutan ekspor, retribusi, dsb, Sebutkan

1. ……………………………………………………………..

2. ……………………………………………………………..

3. ……………………………………………………………..

E. …

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 131

Lampiran 3. Panduan FGD

PANDUAN FGD BAGI PESERTA Kajian Pengembangan Trading House Dalam Rangka Peningkatan Ekspor Non Migas

PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2016

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 132

I. PENDAHULUAN

Dalam upaya mempercepat laju ekspor Indonesia, peningkatan ekspor dari

sektor usaha kecil dan menegah (UKM) merupakan pendekatan yang strategis. UKM

adalah sektor yang mampu bertahan dalam situasi ekonomi domestik dan global yang

mengalami krisis. Hal ini terlihat dari jumlah UKM di Indonesia yang mengalami

peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir (2010-2014) rata-rata sebesar 6,56%

per tahun, sedangkan jumlah usaha besar dan sedang hanya tumbuh 0,48% per tahun

(BPS, 2015). Selain itu, UKM menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan usaha

besar. Pada tahun 2013, usaha besar dan sedang hanya menyerap 4,38 juta tenaga

kerja, sebaliknya UKM dapat menyerap 9,73 juta tenaga kerja (BPS, 2015).

UKM memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung pertumbuhan

ekonomi suatu negara karena tahan akan krisis, kecepatan dalam inovasi dan fleksibel

terhadap kondisi pasar (Partomo dan Soejoedono, 2002). Meskipun demikian, potensi

UKM di Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kinerja ekspor sektor

UKM masih sangat rendah dengan pangsa sekitar 2% dari total ekspor non migas

nasional pada tahun 2013. Pada periode tersebut, nilai ekspor sektor UKM mencapai Rp

28,04 triliun, hanya meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya. Masih lemahnya kinerja

ekspor UKM nasional terutama disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya

kualitas produk, kelemahan dalam memperoleh informasi pasar, volume ekspor secara

individual masih sangat kecil, kualitas produk yang belum memenuhi standar, kemasan

yang kurang efektif, belum ada grading, promosi yang sangat terbatas, serta kemampuan

teknis melakukan ekspor yang masih sangat terbatas (Tambunan, 2002) dan (Puslitbang

Dagri, 2009).

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meminimalkan masalah tersebut

adalah dengan mengembangan Trading House guna mendukung ekspor produk UKM.

Secara teoritis, Trading House memiliki fungsi untuk mengatasi masalah tersebut seperti

untuk mencari informasi pasar dan pemasaran internasional, peningkatakan skala ekspor

dengan melakukan fungsi pengumpul sehingga mendapat manfaat dari economies of

scale, Pengadaan bahan baku, Pengurusan asuransi, transportasi, Akses teknologi

produksi dan kemasan, Riset pasar dan informasi bisnis/pasar dan Peningkatan

kompetensi UKM untuk memenuhi standar mutu dan taste setiap pasar (Puslitbang

Dagri, 2009). Secara empiris, pengembangan ekspor dengan memanfaatkan Trading

House oleh Jepang dengan Sogo Shosha mulai tahun 1950an dan Korea Selatan

dengan Korean Global Trading Company (KGTC) sejak tahun 1970-an. Nilai ekspor

manufaktur yang didukung oleh Sogo Shosha meningkat dari USD 2 miliar di tahun 1973

menjadi USD 8 miliar di tahun 1976. Sementara nilai ekspor Korea Selatan setelah

melibatkan KGTC meningkat 277% selama periode 1975-1979 dari USD 5 miliar menjadi

USD 15 miliar. Negara lain yang juga mengembangkan konsep Trading House untuk

meningkatkan ekspornya antara lain Kanada, AS, Hongkong, dan Brazil.

Berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa peran intermediaries yang

dilakukan oleh Trading House efektif untuk meningkatkan ekspor terutama ditujukan

kepada para pelaku UMKM. Biesebroeck et. al. (2010) menyebutkan bahwa salah satu

hambatan pasar yang dihadapi eksportir adalah besarnya sunk costs yang antara lain

mencakup biaya untuk memperoleh informasi pasar yang spesifik, membangun jaringan

distribusi, identifikasi pelanggan, dan memahami peraturan di negara importir. Sementara

Tsao (2004) menyimpulkan bahwa Small and Medium Sized Export Trading Companies

(SMETC) juga berperan besar dalam peningkatan sarana bagi jaringan produksi

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 133

(production network) domestik di Taiwan. Feenstra dan Hanson (2004) menunjukkan

besarnya peranan intermediaries di Hongkong dalam meningkatkan ekspor RRT.

Llamazares (2015) memperkirakan peran Trading House akan semakin meningkat dan

berkembang di masa mendatang khususnya di negara-negara emerging market seperti

negara-negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Peran Trading House di Indonesia untuk mendrong ekspor Indonesia belum

efektif. Sebagai contoh, potensi industri mebel dan furniture dalam negeri sangat besar,

permasalahan utama dalam sektor tersebut khususnya untuk UKM adalah kesulitan

dalam akses bahan baku seperti melakukan stok terhadap bahan baku seperti kayu dan

rotan serta impor aksesoris dari luar negeri. Kesulitan tersebut disebabkan karena

besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan stok bahan baku serta

ketidakmampuan UMKM dalam memahami beberapa peraturan terkait ekspor-impor.

Namun demikian, hingga saat ini, belum ada Trading House yang berperan dalam

pembiayaan serta kemudahan akan akses bahan baku (Goenawan, 2014). Hal ini

disebabkan oleh jumlah dan peran Trading House yang masih minimal serta hanya

berfokus pada produk tertentu. Beberapa contoh Trading House di Indonesia adalah PT

PPI dan Sarinah yang perannya masih minimal dan hanya berfokus pada produk

furniture (Puspadewi, 2015).

Beberapa faktor penyebab peran Trading House di Indonesia yang masih

minimal antara lain adalah masih lemahnya konsep kelembagaan Trading House. Walau

sudah memiliki landasan hukum seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44

Tahun 1997 tentang kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah

(UKM), konsep kelembagaan (model) Trading House belum jelas. Dengan konsep yang

belum jelas tersebut, Trading House yang sudah ada tidak memiliki model kelembagaan

seperti yang dimiliki oleh Trading House di Jepang atau Korea Selatan. Beberapa

keterbatasan lain dari Trading House yang terdapat di Indonesia adalah kurangnya

dukungan dari lembaga terkait dalam pengembangan Trading House, belum terciptanya

manajemen yang terintegrasi terutam mengenai potensi komoditas UKM, skema

pembiayaan yang kurang kompetitif bagi Trading House serta ruang lingkup layanan

yang masih terbatas (Puslitbang Dagri, 2009).

II. TUJUAN DAN MANFAAT

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan kajian

ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi (kembali) permasalahan yang menyebabkan Trading House di

Indonesia belum efektif mendorong ekspor non migas Indonesia;

2. Mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis pengelolaan Trading House di

beberapa negara benchmarking dalam mendorong ekspor;

3. Menyusun kriteria dan prioritas produk potensial ekspor yang akan ditangani melalui

Trading House;

4. Membangun model kelembagaan operasional Trading House dalam rangka

mendukung peningkatan ekspor sektor UKM.

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 134

Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk peningkatan

kinerja ekspor non migas Indonesia, khususnya produk-produk yang dihasilkan oleh UKM

dan sesuai untuk diperdagangkan melalui konsep pengembangan Trading House yang

tepat.

III. PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1. Sambutan dan Pembukaan (Waktu 20 menit)

Sambutan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTB.

Pembukaan dilakukan oleh Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri.

3.2. Perkenalan dan Keakraban (Waktu 10 menit)

Setiap peserta secara bergantian memperkenalkan dirinya. Perkenalan

mencakup nama dan pekerjaan. Para peserta hendaknya juga menceritakan

pengalaman menarik dalam pekerjaannya. Hal-hal yang bersifat pribadi seperti daerah

asal atau tentang keluarga dapat juga dikemukakan secara santai. Pada waktu seorang

peserta memperkenalkan dirinya, peserta lainnya diperbolehkan bertanya dan

memberikan komentar.

3.3. Paparan Singkat Kajian dan Diskusi Model Kelembagaan Trading House

(Waktu 180 menit)

Paparan singkat mengenai Kajian Pengembangan Trading House Dalam Rangka

Peningkatan Ekspor Non Migas dan isu-isu yang terkait dengan kajian tersebut terutama

terkait dengan kriteria-kriteria untuk memilih produk ekspor yang akan ditangani Trading

House dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman para peserta atas pokok-pokok

persoalan yang berkaitan hal tersebut. Dari paparan tersebut, diharapkan perserta

memiliki pemahaman tentang kriteria pemilihan produk ekspor yang akan ditangani

melalui Trading House. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi

peserta untuk proses diskusi selanjutnya.

3.4. Penetapan dan Pembobotan Kriteria, Scoring, Valuation Kriteria dan Sintesa

(Waktu 90 menit)

Kriteria-Kriteria atau indikator yang digunakan dalam pemilihan produk ekspor

yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House

Tujuan: Untuk mengetahui kriteria-kriteria yang digunakan dalam pemilihan produk

ekspor yang akan ditangani dalam implementasi konsep Trading House

Setiap peserta diminta untuk mendiskusikan dan memberikan jawaban mengenai

kriteria-kriteria dalam pemilihan produk ekspor yang akan ditangani dalam implementasi

konsep Trading House. Calon kriteria untuk pemilihan produk tersebut antara lain:

1. Sumber bahan baku (domestik atau impor)

2. Tren nilai output

3. Pertumbuhan ekspor Indonesia

4. Pertumbuhan pangsa ekspor

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 135

5. Pertumbuhan impor dunia:

6. Kontribusi terhadap perekonomian Indonesia

Fasilitator akan memandu diskusi dengan melakukan konfirmasi dari enam (6)

calon kriteria tersebut. Fasilitator juga akan mempertanyakan beberapa jawaban yang

dianggap kurang jelas serta melakukan pengembangan dari kriteria-kriteria tersebut jika

dianggap perlu berdasarkan hasil diskusi. Hal ini untuk memastikan bahwa kriteria-

kriteria pemilihan produk ekspor prioritas untuk Trading House dapat teridentifikasi

secara komprehensif.

Setelah kriteria pemilihan negara telah ditentukan, maka langkah selanjutnya

adalah pemberian penilaian prioritas atau pemberian skor/bobot untuk setiap elemen

kriteria yang dipasang-pasangkan. Pemberian bobot tersebut diberikan berdasarkan

penilaian subyektif peserta diskusi. Adapun sistem pembobotan yang digunakan adalah

sebagai berikut (Tabel 1):

Tabel 1. Skor Penilaian

Hasil Penilaian Nilai A Nilai B

Elemen A mutlak lebih penting penting

dari elemen B

1,6 0,4

Elemen A lebih penting dari elemen B 1,4 0,6

Elemen A sedikit lebih penting dari

elemen B

1,2 0,8

Elemen A sama penting dengan

elemen B

1,0 1,0

Elemen A sedikit kurang penting dari

elemen B

0,8 1,2

Elemen A kurang penting dari elemen

B

0,6 1,4

Elemen A mutlak kurang penting dari

elemen B

0,4 1,6

Setelah didapatkan skor penilaian untuk kriteria pemilihan negara prioritas, maka

kemudian dilakukan skor penilaian terhadap alternatif-alternatif produk prioritas yang

telah lebih dahulu diseleksi. Pembobotan dilakukan dengan cara yang sama yaitu

membuat matrik pairwase comparison untuk tiap pasangan alternatif berdasarkan tiap-

tiap kriteria.

Sintesis prioritas dilakukan dengan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap

alternatif produk untuk tiap-tiap kriteria setelah kriteria evaluasi telah diberikan bobot atau

skor penilaian. Produk dengan peringkat tinggi akan menjadi produk prioritas ekspor

yang ditangani melalui Trading House.

IV. PENUTUP

Panduan FGD ini disusun secara khusus untuk digunakan oleh para peserta

dalam rangka menggali dan membahas persepsi-persepsi dan pemikiran-pemikiran yang

berkaitan dengan penentuan kriteria pemilihan produk ekspor prioritas yang ditangani

melalui Trading House. Panduan ini seyogyanya dipelajari dengan seksama oleh calon

peserta sehingga diskusi dapat berjalan dengan lancar dan produktif.


Recommended