Download pdf - Lapkas Trauma Kapitis

Transcript

LAPORAN KASUSTRAUMA KAPITIS

Disusun oleh:

Ester Sibarani090100091Grace A M Hutagalung090100245Shinly M Ginting090100251Handoko090100327Christine R T Simanjuntak090100335

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARARUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang berkontribusi dalam pembuatan laporan ini.Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.Besar harapan kami, melalui laporan kasus ini, pengetahuan dan pemahaman kita tentang penyakit saraf, yaitu trauma kapitis.Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon maaf.Kami juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kasus selanjutnya.Terima kasih.

Medan, Juni 2013 Penulis

BAB 1PENDAHULUAN

1. Latar BelakangTrauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktifTrauma merupakan penyebab utama kematian pada anak di atas usia 1 tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis, meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang.Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.Prediksi insiden per tahunnya di dunia akan menurun secara signifikan dengan adanya undang-undang pemakaian helm dan sabuk pengaman bagi pengendara motor/mobil. Diperkirakan sebanyak kurang lenih 10 juta orang menderita trauma kapitis berat dengan angka kematian sekitar separuhnya.Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma kapitis cukup tinggi.Oleh karena itu, pemahaman mengenai trauma kapitis perlu ditingkatkan sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma kapitis.1. TujuanPembuatan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai trauma kapitis serta sebagai syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1. Manfaat Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai trauma kapitis.

.

BAB 2 LAPORAN KASUS

2.1.AnamnesisIdentitas PribadiNo. Rekam Medis:56.05.14Nama:Kasmer SinagaJenis Kelamin:Laki-lakiUsia:53 tahunSuku Bangsa:BatakAgama:KristenAlamat:Jl. Barisan Nainggolan Kec.Parbulungan Kab.DairiStatus:KawinPekerjaan:PetaniTanggal Masuk: 10 Juni 2013 pukul 11.00Tanggal Keluar:14 Juni 2013

2.2.Riwayat Perjalanan Penyakit2.2.1.KeluhanKeluhan Utama: KejangTelaah:Hal ini dialami os sejak 5 hari yang lalu sebanyak 4 kali.Kejang bersifat kaku seluruh tubuh dengan mata terbuka. Mulut berbusa (-). Setelah kejang, os pingsan 15 menit. Kejang dialami os selama 2 menit. Riwayat kejang sebelumnya (-). Kejang dialami os setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 7 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor, menabrak mobil lalu terjatuh ke aspal. Kemudian kepala os membentur aspal. Pada saat kejadian, os tidak memakai helm. Os mengalami lupa ingatan selama 7 jam pasca trauma. Riwayat pingsan (-), muntah (-),Riwayat keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-). Riwayat Penyakit Terdahulu:-Riwayat penggunaan obat:-

2.2.2.Anamnesa TraktusTraktus Sirkulatorius:Nyeri dada (-), hipertensi (-)Traktus Respiratorius:Tidak dijumpai gangguan, sesak (-), batuk (-)Traktus Digestivus:Tidak dijumpai kelainan, mual (-), muntah (-) BAB normal.Traktus Urogenitalis:Tidak dijumpai kelainan, BAK normalPenyakit Terdahulu:Kecelakaan lalu lintasdan KecelakaanIntoksikasi dan Obat-obatan:(-)

2.2.3.Anamnesa KeluargaFaktor Herediter:-Faktor Familier:-Lain-lain:-

2.2.4.Anamnesa SosialKelahiran dan Pertumbuhan:Lahir normal, pertumbuhan baikImunisasi:Tidak jelasPekerjaan: PetaniPerkawinan dan Anak:Sudah menikah, 5 orang anak.

2.3.Pemeriksaan Jasmani2.3.1.Pemeriksaan UmumTekanan Darah:120/70mmHgNadi:72x/menitFrekuensi Nafas: 16x/menitTemperatur: 36,7CKulit dan Selaput Lendir:Sianosis (-), efloresensi primer dan sekunder (-),dalam batas normalKelenjar dan Getah Bening:Tidak terabaPersendian:Tidak dijumpai pembengkakan

2.3.2.Kepala dan LeherBentuk dan Posisi:Normosefalik, bulat, dan medialPergerakan:Bebas, dalam batas normalKelainan Panca Indera:Tidak dijumpaiRongga Mulut dan Gigi:Dalam batas normalKelenjar Parotis:Dalam batas normalDesah:Tidak dijumpaiDan Lain-lain:-

2.3.3. Rongga Dada dan AbdomenRongga DadaRongga AbdomenInspeksi: Simetris Fusiformis SimetrisPalpasi:SF ka=ki, kesan normalsoepel, H/L/R ttbPerkusi:sonor TimpaniAuskultasi :SP vesikuler, ST (-), SJ dbn Peristaltik(+) normal

2.3.4. GenitaliaToucher:Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.Pemeriksaan Neurologis2.4.1.Sensorium: Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)2.4.2.KraniumBentuk:BulatFontanella:TertutupPalpasi:Pulsasi a. temporalis (+), a. carotis (+), normal.Krepitasi kranium (+) Perkusi:Cracked pot sign (-)Auskultasi:Desah (-)Transilumnasi:Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.3. Perangsangan MeningealKaku Kuduk:(-)Tanda Brudzinski I:(-)Tanda Brudzinski II:(-)

2.4.4.Peningkatan Tekanan IntrakranialMuntah:(-)Sakit Kepala:(+)Kejang:(+)

2.4.5.Saraf Otak/Nervus KranialisNervus IMeatus Nasi DextraMeatus Nasi SinistraNormosmia:(+)(+)Anosmia:(-)(-)Parosmia:(-)(-)Hiposmia:(-)(-)

Nervus IIOculi Dextra (OD)Oculi Sinistra (OS)Visus:tdptdpLapangan PandangNormal:(+)(+)Menyempit:(-)(-)Hemianopsia:(-)(-)Scotoma:(-)(-)Refleks Ancaman:(+)(+)Fundus OkuliWarna:Tidak dilakukan pemeriksaanBatas:Tidak dilakukan pemeriksaanEkskavasio:Tidak dilakukan pemeriksaanArteri:Tidak dilakukan pemeriksaanVena:Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus III, IV, VIOculi Dextra (OD)Oculi Sinistra (OS)Gerakan Bola Mata:(+)(+)Nistagmus:tdptdpPupilLebar: 3 mm 3 mmBentuk:bulatbulatRefleks Cahaya Langsung:(+)(+)Refleks Cahaya tidak Langsung:(+)(+)Rima Palpebra:7 mm7 mmDeviasi Konjugate:(-)(-)Fenomena Dolls Eye:tdptdpStrabismus:(-)(-)Ptosis:(-)(-)

Nervus VKananKiriMotorikMembuka dan menutup mulut:dalam batas normaldalam batas normalPalpasi otot masseter dan temporalis:dalam batas normaldalam batas normalKekuatan gigitan:dalam batas normaldalam batas normalSensorik Kulit:dalam batas normaldalam batas normalSelaput lendir:dalam batas normaldalam batas normalRefleks KorneaLangsung:(+)(+)Tidak Langsung:(+)(+)Refleks Masseter:(+)(+)Refleks bersin:(+)(+)Nervus VIIKananKiriMotorikMimik:simetrissimetrisKerut Kening:(+)(+)Menutup Mata:(+)(+)Meniup Sekuatnya:tidak bocortidak bocorMemperlihatkan Gigi:simetrissimetrisTertawa:simetrissimetrisSensorikPengecapan 2/3 Depan Lidah : (+)(+)Produksi Kelenjar Ludah:(+)(+)Hiperakusis : (-)(-)Refleks Stapedial:(+)(+)

Nervus VIIIKananKiriAuditoriusPendengaran:(+)(+)Test Rinne:tdptdpTest Weber:tdptdpTest Schwabach:tdptdpVestibularisNistagmus:tidak dilakukan pemeriksaanReaksi Kalori:tidak dilakukan pemeriksaanVertigo:(-) (-)Tinnitus:(-)(-)

Nervus IX, XPallatum Mole:Arcus pharynx terangkat saat bersuara dan simetrisUvula:MedialDisfagia:(-)Disartria:(-)Disfonia:(-)Refleks Muntah:(+)Pengecapan 1/3 Belakang Lidah:(+)

Nervus XIKananKiriMengangkat Bahu:(+)(+) Fungsi Otot Sternocleidomastoideus:(+)(+) Nervus XIILidahTremor:(-)Atrofi:(-)Fasikulasi:(-)Ujung Lidah Sewaktu Istirahat:MedialUjung Lidah Sewaktu Dijulurkan:Tidak ada deviasi

2.4.6. Sistem MotorikTrofi:EutrofiTonus Otot:NormotoniKekuatan Otot:ESD : 55555/55555ESS: 55555/55555EID : 55555/55555 EIS : 55555/55555Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Baik baik baikGerakan Spontan AbnormalTremor:(-)Khorea:(-)Ballismus:(-)Mioklonus:(-)Atetotis:(-)Distonia:(-)Spasme:(-)Tic:(-)Dan Lain-lain:(-)

2.4.7.Tes SensibilitasEksteroseptif:Dalam batas normalProprioseptif:Dalam batas normalFungsi Kortikal Untuk SensibilitasStereognosis:(+)Pengenalan Dua Titik:(+)Grafestesia:(+)

2.4.8.RefleksKananKiriRefleks FisiologisBiceps:(+)(+)Triceps:(+)(+)Radioperiost:(+)(+)APR:(+)(+)KPR:(+)(+)Strumple:(+)(+)Refleks PatologisBabinski:(-)(-)Oppenheim:(-)(-)Chaddock:(-)(-)Gordon:(-)(-)Schaefer:(-)(-)Hoffman-Tromner:(-)(-)Klonus Lutut:(-)(-)Klonus Kaki:(-)(-)Refleks Primitif:(-)(-)

2.4.9.KoordinasiLenggang:Sulit dinilaiBicara:Bicara spontan, pemahaman baikMenulis: Dalam batas normal Percobaan Apraksia:Dalam batas normalMimik:Dalam batas normalTest Telunjuk-Telunjuk:(+) dapat dilakukanTest Telunjuk-Hidung:(+) dapat dilakukanDiadokhokinesia:(+) dapat dilakukanTest Tumit-Lutut:(+) dapat dilakukanTest Romberg:Dapat mempertahankan posisi

2.4.10.VegetatifVasomotorik:Dalam batas normalSudomotorik:Tidak dilakukan pemeriksaanPilo-Erektor:Tidak dilakukan pemeriksaanMiksi:Dalam batas normalDefekasi:Dalam batas normalPotens dan Libido:Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.11.VertebraBentukNormal:(+)Scoliosis:(-)Hiperlordosis:(-)

PergerakanLeher:Dalam batas normalPinggang:Dalam batas normal

2.4.12.Tanda Perangsangan RadikulerLaseque:(-)Cross Laseque:(-)Test Lhermitte:(-)Test Naffziger:(-)

2.4.13.Gejala-Gejala SerebelarAtaksia:(-)Disartria:(-)Tremor:(-)Nistagmus:(-)Fenomena Rebound:(-)Vertigo:(-)Dan Lain-lain:(-)

2.4.14.Gejala-Gejala EkstrapiramidalTremor:(-)Rigiditas:(-)Bradikinesia:(-)Dan Lain-lain:(-)

2.4.15.Fungsi LuhurKesadaran Kualitatif:Compos mentisIngatan Baru:-Ingatan Lama:dbnOrientasi Diri:dbnTempat:dbnWaktu:dbnSituasi: dbnIntelegensia:dbnDaya Pertimbangan:dbnReaksi Emosi:dbnAfasiaEkspresif:(-)Reseptif:(-)Apraksia:(-)AgnosiaAgnosia visual:(-)Agnosia Jari-jari:(-)Akalkulia:(-)Disorientasi Kanan-Kiri:(-)

2.5.Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium (10 Juni 2013)

Jenis PemeriksaanSatuanHasilNilai Normal

Hematologi

Hemoglobing/dl16,1013,2-17,3

Eritrosit Leukosit106/mm3103/mm34,7311,624,20-4,874,5-11.0

Trombosit 103/mm3207150-450

Kimia Klinik

Karbohidrat

Glukosa darah (sewaktu)mg/dL325,00 7 hari GCS = 3 8

3.4.3. Berdasarkan Morfologi A. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut:a. Gambaran fraktur, dibedakan atas: Linier Diastase Comminuted Depressed b. Lokasi Anatomis, dibedakan atas : Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak ) Basis cranii ( dasar tengkorak ) c. Keadaan luka, dibedakan atas : Terbuka Tertutup

B. Lesi Intra Kranial 1. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

3.5. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain: 1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi: GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat GCS 9 13 : cedera kepala sedang GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Pemeriksaan disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).

Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan4

Mata membuka setelah diperintah3

Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri2

Tidak membuka mata dengan rangsang apapun1

Best Motor Response

Menurut perintah6

Dapat melokalisir nyeri5

Menghindari nyeri4

Fleksi (decorticate)3

Ekstensi (decerebrasi)2

Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar5

Salah menjawab pertanyaan4

Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai3

Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya2

Tidak ada jawaban1

Jumlah15

2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

3.6. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis a. X-ray Tengkorak Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.

b. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007).

3.7. Pencegahan Trauma KapitisUpaya pencegahan Trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan lalu lintas yang berakibat trauma pada kepala. Upaya yang dilakukan yaitu :

3.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention) Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya Trauma kapitis seperti : lampu lalu lintas dan kendaraan bermotor, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

3.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder yaitu berupa upaya pencegahan pada saat peristiwa kecelakaan untuk menggurangi atau meminimalkan beratnya Trauma yang dialami.Dilakukan dengan memberikan pertolongan pertama, yaitu : menghentikan pendarahan, usahakan jalan nafas yang lapang, memberikan bantuan nafas buatan bila keadaaan berhenti bernafas. Tindakan Pengobatan Trauma kapitis craniotomy:a. Meningkatkan jalan nafas dan pola nafas yang efektif Pada pasien Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy kesadaran menurun tidak dapat mempertahankan jalan nafas dan pola nafas yang efekif, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik tanda-tanda vital, memberikan posisi ekstensi pada kepala, mengkaji pola nafas, memberikan jalan nafas tetap terbuka dan tidak ada sekret (sputum) yang mengganggu pola nafas b. Mempertahankan perfusi otak Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arteri dan tekanan intrakranial. Oleh karena itu pada Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy tekanan darah perlu diperhatikan supaya tidak menurun. Jika terdapat syok dan pendarahan, harus segera diatasi serta menghindari terjadinya infeksi pada otak c. Meningkatkan perfusi jaringan serebralPada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun perlu diberikan tindakan dengan cara meninggikan posisi kepala 15-30 derajat posisi midline (setengah terlentang) untuk menurunkan tekanan vena jugularis, dan menghindarkan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakraniald. Cairan dan elektrolit Pada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun atau pasien dengan muntahan, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada tubuh e. Nutrisi Pada pasien dengan Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadaan katabolik. Perlu diberikan makanan melalui sonde lambung.f. Pasien yang gelisah Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang, misalnya haloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberikan obat analgetik. 3.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) Pencegahan tersier yaitu upaya untuk menggurangi akibat patologis dari Trauma kapitis. Dilakukan dengan membawa penderita Trauma kapitis ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut dengan tindakan segera craniotomy.

3.8. Penatalaksanaan Trauma Kapitis AkutPenatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:1. Simple head injury (SHI)Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.2. Kesadaran terganggu sesaatPasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasib. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh laind. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakraniale. e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral

3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation / ABC)Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: Jalan nafas (Air way)Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan. Pernafasan (Breathing)Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator. Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah

b. Pemeriksaan fisikSetalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiologiDibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. HiperventilasiSetelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom.

2. DrainaseTindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.

3. Terapi diuretik Diuretik osmotik (manitol 20%): Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya: Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm Loop diuretik (Furosemid):Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv. Terapi barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari. StreroidBerguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

Posisi TidurPenderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar. Keseimbangan cairan elektrolitPada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah. NutrisiPada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari. Epilepsi/kejangEpilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

Pengobatan: Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic). Nilai VAS 0-4= nyeri ringan, 4-7= nyeri sedang, dan 7-10= nyeri berat. Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar strategi farmakologi mengikuti three step analgesic ladder yaitu:a. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.b. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiate secara intermiten.c. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiate yang lebih kuat.

BAB 4DISKUSI KASUS

Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis sedang. Hal ini ditegakkan pada pasien ini dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan:1. Ditemukan defisit neurologis yaitu kejang2. Ada riwayat kecelakaan lalu lintas dan terbentur benda tumpul3. Adanya temuan lesi pada bagian frontalis

TEORIKASUS

PENYEBABMenurut teori, cedera kepala dapat terjadi sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa yang disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun proses dari akselerasi deselerasi gerakan kepalaPasien di diagnosis dengan trauma kapitis karena ditemukan riwayat benturan langsung kepala dengan benda keras, dalam kasus ini terbentur dengan aspal pada saat kecelakaan.

DIAGNOSISBerdasarkan teori, untuk mendiagnosa trauma kapitis diperlukan anamnesa yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah ada gangguan pasien,Pada kasus, berdasarkan anamnesa, ditemukan bahwa pasien mengalami kejang sebanyak 4 kali dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada bagian frontalis.

Pemeriksaan Head CT-scan perlu dilakukan untuk menegakkan trauma kapitis secara pasti.Pada kasus, telah dilakukan pemeriksaan CT-scan pada pasien

PENATALAKSANAANBerdasarkan teori, pengobatan untuk kejang pertama setelah trauma adalah phenytoin.Untuk serangan kejang yang cenderung berulang diberikan diazepam. Dalam kasus ini pasien telah diberikan phenytoin dan diazepam.

Pada teori, untuk mencegah kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intracranial diberikan analgetika.Pada pasien telah diberikan analgetika yaitu asam mefenamat.

BAB 5KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien mengalami kejang sejak 5 hari yang lalu sebanyak 4 kali. Kejang bersifat kaku seluruh tubuh dengan mata terbuka. Mulut berbusa (-). Setelah kejang os pingsan. Kejang dialami os selama 2 menit. Riwayat kejang sebelumnya (-). Kejang dialami os setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 7 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor, menabrak mobil lalu terjatuh ke aspal. Kepala os membentur aspal. Os tidak memakai helm. Os mengalami amnesia selama 7 jam pasca trauma.Diagnosa pasien ini berasal dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan hasil head CT-scan sehingga akhirnya di diagnosa sebagai Moderate Head Injury.Pasien diberikan terapi antikonvulsan yaitu fenitoin dan diazepam apabila terjadi serangan kejang dan juga terapi analgetik berupa asam mefenamat.

BAB 6SARAN

Pasien ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan Elektro-ensefalografi dan pengobatan sementara untuk pasien tetap dilanjutkan.

46