Download docx - Lapkas - SLE

Transcript

Laporan Kasus ILMU PENYAKIT DALAMSystemic Lupus Erythematosus

Disusun oleh:Febriyanti Meylie 07120100038Kelompok 65

Pembimbing:dr. Widya Wirawan , SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPANRUMKITAL MARINIR CILANDAK14 JULI 20 SEPTEMBER 2014DAFTAR ISI

I.IDENTITAS3II.ANAMNESIS3III.PEMERIKSAAN FISIK5IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG6V.FOLLOW UP9VI.DIAGNOSIS18VII.PENATALAKSANAAN18VIII.PROGNOSIS19IX.PEMBAHASAN KASUS19X.KESIMPULAN32XI.DAFTAR PUSTAKA32

IDENTITAS1. Nama: Ny.E2. Jenis Kelamin: Perempuan3. Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta,13 Januari 19844. Usia: 30 tahun5. Alamat: Jl. M. Kahfi 66, Jagakarsa6. Status Menikah: Sudah Menikah7. Agama: Islam8. Telepon: 08131565xxxx9. Pekerjaan: Ibu rumah tangga10. No. Rekam Medis: 31 89 85ANAMNESISAnamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada Ny. E pada Jumat, 22 Agustus 2014 di bangsal Cempaka Atas bed 3.a. Keluhan UtamaPasien datang dengan keluhan demam sejak tiga hari SMRS.b. Keluhan TambahanPusing, telinga berdenging, batuk berdahakc. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke UGD pada Rabu, 20 Agustus 2014 dengan keluhan demam sejak tiga hari SMRS (18 Agustus 2014). Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari, namun setiap malam pasien merasa suhu tubuhnya semakin meningkat hingga keesokan pagi harinya, yang disertai menggigil dan berkeringat. Kemudian suhunya sedikit turun ketika siang dan sore hari. Selain itu pasien juga merasa pusing yang terjadi setiap pagi hari. Pasien juga merasa telinganya berdenging sejak tiga hari SMRS yang dirasakan hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak sejak satu bulan SMRS, dahak berwarna putih kekuningan, tidak terdapat darah. Batuk terjadi ketika pasien berubah posisi, seperti ketika pasien berubah posisi dari tidur ke posisi duduk, atau ketika pasien memiringkan badannya saat terlentang. Perubahan posisi tersebut memicu pasien untuk batuk. Pasien sudah berobat ke dokter untuk batuknya dan diberikan OBH hitam, namun tidak memberikan efek. Sejak satu bulan itu, bersamaan dengan batuk berdahak yang diderita pasien, pasien juga mengatakan mulai adanya berkeringat di malam hari. Penurunan berat badan tidak diketahui pasien, karena setiap kali diukur berat badan pasien selalu konstan sekitar 38-40 kg, dan disaat itu juga pasien sudah mengalami pembengkakan sehingga penurunan berat badan pasien tidak dapat dipastikan. Pembengkakan tersebut terjadi satu bulan SMRS, yang diawali dari kedua kaki yang meluas ke paha, lalu ke vagina dan perut, sehingga pasien kesulitan berjalan. Pasien tidak merasa mual, tidak ada muntah dan tidak merasakan nyeri badan. Nafsu makan berkurang, makanan yang disediakan selalu tidak habis. BAB tidak terdapat keluhan, tidak adanya BAB berdarah ataupun BAB hitam. BAK juga tidak terdapat keluhan, tidak terasa nyeri saat BAK ataupun perubahan warna BAK. Pada tanggal 8 Agustus 2014 pasien telah diterminasi secara normal (per vaginam) pada usia kehamilan 22 minggu, dengan status G2P2A0. Bayi pasien meninggal dunia, namun setelah lahir sempat bertahan selama 5 hari di dalam inkubator. Selama ini pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun makanan tertentu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi ataupun diabetes melitus. Pasien memiliki riwayat SLE (Systemic Lupus Erythematosus) yang telah didiagnosis pada September 2012. Obat yang rutin dikonsumsi oleh pasien adalah methylprednisolon.d. Riwayat Penyakit DahuluPasien sempat dirawat selama lima hari pada September 2012, yang pada tanggal tersebut pasien telah didiagnosis menderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Pada saat itu pasien memiliki keluhan berupa lemas, mual, muntah, demam, seluruh sendi nyeri, rambut rontok, pusing dan munculnya ruam kemerahan di kulit pipi kirinya. Ruam kemerahan tersebut berbentuk dua bulatan dengan diameter sekitar 3 cm masing-masing, tidak terasa perih ataupun panas. Pasien tidak mengetahui apa penyebab ruam kemerahan tersebut muncul. Pasien mengaku jarang melakukan aktivitas di luar rumah, pasien lebih banyak diam di rumah. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin rendah, pemeriksaan imunologi ANA (Anti-Nuclear Antibodies) positif 150,4 unit (positif: >60 unit) dan pemeriksaan anti-dsDNA positif kuat 1576 IU/ml (positif kuat :> 801 IU/ml). Pada saat itu pasien berusia 28 tahun dan sudah memiliki anak berusia 4 tahun.Setelah itu, 1 tahun kemudian pada September 2013 pasien juga mengalami gejala serupa hingga sempat dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 1 minggu, dan kadar hemoglobin pasien mencapai 3 gr/dl, sehingga pasien di transfusi. Sebelum pasien dirawat, pengobatan yang pasien rutin konsumsi untuk SLE-nya sempat sudah remisi.e. Riwayat Penyakit KeluargaKeluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa dengan pasien.f. Riwayat Kebiasaan dan SosialPasien tinggal bersama suami, satu orang anak dan ibu pasien.PEMERIKSAAN FISIK1. Keadaan Umum: tampak sakit sedang2. Kesadaran: komposmentis3. Tanda-tanda Vital:a. Tekanan darah: 180/100 mmHgb. Nadi: 112x/mc. Pernapasan: 28x/md. Suhu: 38oC4. Kepala: normosefali, penyebaran rambut merataa. Mata: pupil bulat reaktif isokor ,reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,b. Mulut : oral mukosa basah, bau mulut (-)c. Bibir: mukosa kering, simetris, tidak pucatd. Gigi: utuh, karies (-)e. Lidah: bersihf. Uvula: intak di tengahg. Tonsil: T1T1h. Faring: faring tenang i. Leher: tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, jugular venous pressure (JVP) : 5 + 1 cm5. Thorax: Kulit : bekas luka(-) perubahan warna (-) spider naevi (-) Bentuk : tidak ada deformitas, bentuk dada simetris Gerak : tidak ada gerak napas tertinggal, retraksi interkostal(-)a. Jantungi. Inspeksi:iktus kordis tidak terlihatii. Palpasi:iktus kordis teraba pada ICS 5 midclavicular kiri

iii. Perkusi: batas jantung kanan ICS 5 parasternal kanan batas jantung kiri ICS 5 midclavicular kiri pinggang jantung ICS 2 parasternal kiriiv. Auskultasi :bunyi jantung S1,S2 reguler, gallop (-), murmur (-)b. Parui. Palpasi:vocal fremitus normal dan seimbang pada kedua sisi, pengembangan dada simetrisii. Perkusi:bunyi sonor pada seluruh lapangan paruiii. Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-)/(-) , rhonki (-)/(-), irama nafas teratur6. Abdomen:a. Inspeksi: cembung, bekas luka(-) perubahan warna (-) kaput medusa (-)b. Auskultasi: bising usus (+) normal, 14x per menitc. Perkusi: shifting dullness (+), ruang trobe tidak terisid. Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba. Massa abnormal (-)7. Ekstremitas:a. Akral hangat, edema tungkai (+)/(+) , pergerakan aktif dan pasif normal/tidak terganggub. Kekuatan motorik 5 5 5 5 | 5 5 5 5 5 5 5 5 | 5 5 5 5 c. Reflek fisiologis : positif, normal. Hipo/Hiper reflex (-)d. Reflek patologis : Babinski (-)e. Sensorik : sensitif terhadap rangsang sentuh dan nyeriPEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan Laboratorium (22/8/2014)PemeriksaanHasilNilai Normal

Hemoglobin8,0 gr/dl12-16 gr/dl

Hematokrit25 %37-54 %

Leukosit 3,8 rb/ul5 rb 10 rb/ul

Trombosit78 rb/ul150 rb -400 rb/ul

SGOT18 u/l 3+, ataub. Celular cast dapat berupa sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.8. Kelainan neurologisa. Kejang spontan bukan karena obat-obatatn atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit, ataub. Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.9. Kelainan hematologika. Anemia hemolitik dengan retikulositosis,ataub. Leukopenia kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih pengukuranc. Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih pengukurand. Trombositopenia kurang dari 100.000/mm3 tanpa obat-obatan yang dapat menimbulkan trombositopenia10. Kelainan immunologi a. Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA,ataub. Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos atauc. Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan padai. Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin atauii. Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode standar atauiii. Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi oelh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema 11. Antibodi Antinuclear : titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunoflurosensi atau cara lain yang setara, yang dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obatUntuk mempermudah dalam mengingat kriteria diagnosis SLE dari ACR tersebut, dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu: Discoid rash Oral ulcers Photosensitivity Arthritis Malar rash Immnunologic disorder Neurologic disorder Renal disorder Antinuclear antibody Serositis Hematologic disorder. Selain itu juga terdapat kriteria mengenai derajat ringan beratnya keadaan pasien SLE diantaranya : Kriteria SLE ringan:a. Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigaib. Secara klinis tenangc. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam jiwad. Fungsi organ normal atau stabile. Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan Kriteria SLE berat atau mengancam jiwa apabila ditemukan keadaan sebagai berikut:a. Jantung : vaskulitis arteri koronari, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi malignab. Paru-paru : hipertensi pulmona, perdahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstitialc. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterikad. Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonefritis), sindroma nefrotike. Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)f. Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma demielinisasig. Hematologi :anemia hemolitik, netropenia (leukosit 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.5. Monitor ketatPenderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Penatalaksanaan farmakologis yang dapat diberikan diantaranya:1. Terapi Imunomodulatora. Siklofosfamid merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

b. Mycophenolate mofetil (MMF) merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

c. Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

d. Leflunomide (Arava) merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.

e. Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

f. Siklosporin diberikan dengan dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman

2. Anti malariaObat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.

3. Hormon SeksBromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

4. Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intraSLEi digunakan untuk SLEi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari. Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.

5. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

6. Immunoglobulin IntravenaImmunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

Perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan meningkatkan angka harapan hidup lebih dari 90% pasien bertahan hidup lebih dari sepuluh tahun dan banyak yang relatif tanpa gejala. Penyebab kematian yang paling sering adalah infeksi akibat imunosupresan sebagai hasil dari pengobatan dari penyakit ini. Prognosis normalnya lebih buruk pada pria dan anak-anak dibandingkan pada wanita. Untungnya, bila gejala timbul setelah umur 60 tahun, penyakitnya menjadi lebih jinak.

KESIMPULANSystemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen anti-nuklear, sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.Untuk dapat mendiagnosis lupus diperlukan pemahaman yang baik mengenai patofisiologinya. Selain gejala dan tanda yang tercantum dalam kriteria ACR kita perlu mengetahui bahwa banyak variasi manifestasi lain terutama pada kulit dan susunan syaraf pusat dan perifer. Seingkali penanganan harus segera dilaksanakan pada pasien yang tidak lengkap memenuhi kriteria ACR tapi mengalami life threatening condition semisal CNS lupus, krisis hemolitik, nefritis berat dan poliserositis yang tidak terbukti ada penyebab lain.DAFTAR PUSTAKA1. Berthies G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical features. Available at : http://www.eular.org/myuploaddata/files/sample%20chapter20_mod%2017.pdf2. Man Fu S, et al. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. April 2011. Available at : http://www.virginia.edu/inauguration/posters/2.83.Bioscience.Fu.Gaskin.pdf.3. Jivanti F, Mappiase A.Studi retrospektif lupus erithematosusdi subdivisi alergi imunologi. Majalah kesehatan pharmamedika. 2010. Vol 2 No.2.4. Belmont HM. Lupus Clinical Overview. 2007. Available at: http://www.cerebl.com/lupus/nephritis.php5. Bartels C.M, et al. Systemic lupus syndrome. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview

3