Download docx - Kortikosteroid Sistemik

Transcript

CLINICAL SCIENCE SESSION

KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Oleh:

Valentine Natasya 1301-1211-0630

Rani Pitta Omas1301-1211-0655

Preseptor:

Reiva Farah Dwiyana, dr., SpKK., M. Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN

BANDUNG

2012

Pendahuluan

Kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid adalah penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasinya, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Efek utama golongan mineralokortikoid adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar kecil. Golongan mineralokortikoid tidak mempunyai efek anti-inflamasi.

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan masa kerjanya, yaitu kerja singkat, sedang, dan lama. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

Kortikosteroid alami yang paling banyak dihasilkan oleh tubuh adalah kortisol. Kortisol disintesis dari kolesterol oleh kortex adrenal. Sekresi kortisol per hari berkisar antara 10 sampai 20 mg, dengan puncak diurnal sekitar pukul 8 pagi.

Cara pemberian dan dosis

Sediaan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parenteral (IV, IM, intrasinovial, dan intra lesi), topikal pada kulit dan mata (dalam bentuk salep, krim, losion), serta aerosol melalui jalan nafas. Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat tersebut memiliki efek anti-inflamasi.

Jika glukokortikoid oral diresepkan, prednison merupakan sediaan yang paling umum dipilih. Glukokortikoid biasanya diberikan harian, meskipun untuk penyakit akut dosis terpisah harian dapat diberikan. Dosis inisial sering diberikan harian untuk mengontrol proses penyakit, dapat berkisar antara 2,5 mg sampai beberapa ratus miligram per hari. Jika digunakan kurang dari 2 minggu, pengobatan glukokortikoid dapat dihentikan tanpa tapering. Dosis minimal yang memungkinkan dari agen short-acting untuk diberikan setiap pagi akan meminimalisir efek samping. Karena kadar kortisol memuncak pada sekitar jam 8 pagi, aksis HPA paling sedikit tersupresi bila diberikan pada pagi hari tersebut. Ini disebabkan karena feedback maksimal dari supresi sekresi ACTH oleh pituitari telah terjadi. Glukokortikoid kadar rendah saat malam memberikan efek sekresi yang normal dari ACTH.

Glukokortikoid intravena digunakan dalam dua situasi. Yang pertama adalah untuk penanganan stress pada pasien yang sakit akut atau yang menjalani operasi, dan untuk pasien yang memiliki adrenal supresi dari terapi glukokortikoid harian. Yang kedua adalah untuk pasien dengan penyakit tertentu, seperti resistent pyoderma gangrenosum, pemfigus atau pemfigoid bulosa yang parah, SLE yang serius, atau dermatomyositis, untuk mencapai pengendalian yang cepat terhadap penyakit. Methylprednisolone digunakan dengan dosis 500 mg sampai 1 g perhari karena potensinya yang tinggi dan aktivitas retensi sodium yang rendah. Efek samping serius yang berhubungan dengan pemberian intravena adalah reaksi anafilaktik, kejang, aritmia, dan sudden death. Efek samping lain adalah hipotensi, hipertensi, hiperglikemi, pergeseran elektrolit, dan psikosis akut. Pemberian yang lebih lambat, 2-3 jam, telah meminimalisir banyak efek samping yang serius.

Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plama secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid.

Efek

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh :

a. Glukokortikoid

Menimbulkan metabolisme perantara normal

Glukokortikoid membantu glukoneogenesis dengan jalan meningkatkan ambilan asam amino oleh hati dan ginjal serta meningkatkan aktivitas enzim glukoneogenik. Obat-obat ini merangsang katabolisme protein dan lipolisis.

Meningkatkan retensi terhadap stress

Dengan meningkatkan kadar glukosa plasma, glukokortikoid memberikan energi yang diperlukan tubuh untuk melawan stress yang disebabkan oleh trauma, infeksi, perdarahan, dan ketakutan. Glukokortikoid dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, dengan jalan meningkatkan efek vasokonstriksi rangsangan adrenergik pada pembuluh darah kecil.

Merubah kadar sel darah dalam plasma

Glukokortikoid menyebabkan penurunan eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit dengan jalan meredistribusinya ke dalam jaringan limfoid dari sirkulasi. Sebaliknya, glukokortikoid meningkatkan kadar haemoglobin trombosit, eritrosit, dan leukosit polimorfonuklear dalam darah.

Efek anti-inflamasi

Glukokortikoid memiliki kemampuan untuk mengurangi respon peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Penggunaan klinik kortikoteroid sebagai anti-inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu gejalanya dihambat sedangkan penyebabnya masih ada.

Mekanisme kerja anti-inflamasi glukokortikosteroid melalui difusi pasif glukokortikosteroid melalui membran sel, diikuti pengikatan ke protein reseptor di sitoplasma. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian bergerak menuju nukleus dan meregulasi transkripsi beberapa gen target. Terdapat 3 mekanisme utama dari glukokortikoid, sebagai berikut:

1. Efek langsung pada ekspresi gen dengan membentuk ikatan antara reseptor glukokortikoid (GRs) dan elemen responsif glukokortikoid (GREs). Hal ini menyebabkan induksi protein seperti annexin I dan MAPK phosphatase (menurunkan produksi phospholipase A2 mengurangi asam arakidonat berkurangnya formasi prostaglandin dan leukotrien)

2. Efek tidak langsung melalui interaksi antara GRs dengan faktor transkripsi lain. Hal ini menyebabkan efek inhibisi pada sintesis mediator-mediator pro-inflamatori (sitokin, interleukin, molekul adesi, dan protease)

3. Efek yang dimediasi oleh reseptor glukokortikoid melalui second messenger cascades, pada non-genomic pathway.

Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin

Penghambatan umpan balik produksi kortikotropin oleh peningkatan glukokortikoid menyebabkan penghambatan sintesis glukokortikoid lebih lanjut, sedangkan hormon pertumbuhan menurun.

Efek pada sistem lain

Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam lambung dan produksi pepsin yang dapat menyebabkan eksaserbasi ulkus. Efeknya pada susunan saraf pusat mempengaruhi status mental. Terapi glukokortikoid kronik dapat menyebabkan kehilangan massa tulang berat. Miopati mnimbulkan keluhan lemah.

b. Mineralokortikoid

Mineralokortikoid membantu kontrol volume cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, terutama Na, K.

Farmakokinetik

Lebih dari 90 % glukokortikoid yang diabsorbsi terikat dengan protein plasma, kebanyakan terikat dengan globulin pengikat kortikosteroid dan sisanya dengan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya tinggi. Pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat, jumlah hormon yang terikat albumin dan yang bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin. (3)

Kortikosteroid dimetabolisme dalam hati oleh enzim mikrosom pengoksidasi. Metrabolitnya dikonjugasi menjadi asam glukoronat dan sulfat. Produknya diekskesikan melalui ginjal. (1)

Indikasi

Penggunaan kortikosteroid lebih banyak bersifat empiris, kecuali untuk terapi substitusi pada defisiensi. Enam prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan obat kortikosteroid, yaitu :

untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, serta harus di re-evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit,

suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya,

penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis yang sangat besar,

bila pengobatan diperpanjang sampai beberapa minggu atau bulan hingga dosis melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan bertambah,

penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal atau kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya, kecuali untuk insufisiensi adrenal,

penghentiaan pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar mempunyai resiko insufisiensi adrenal hebat dan dapat mengancam jiwa.

Ada beberapa pertimbangan dalam pemilihan glukokortikoid :

sediaan dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih untuk menurunkan efek retensi sodium.

penggunaan prednisone atau obat sejenisnya dalam jangka panjang dengan afinitas steroid-receptor yang lemah dapat menurunkan efek samping. Penggunaan jangka panjang dari obat seperti dexametason yang memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan afinitas steroid-receptor yang tinggi dapat menghasilkan efek samping yang lebih banyak tanpa efek terapeutik yang lebih baik.

Jika pasien tidak merespon pada kortison atau prednison, penggantian dengan bentuk aktifnya, kortisol dan prednisolon, harus dipertimbangkan.

Indikasi penggunan kortikosteroid, yaitu :

1. Penyakit bula serius (pemfigus, pemfigoid bulosa, pemfigoid sikatrik, erythema multiforme, toxic epidermal necrolysis)

2. Penyakit jaringan ikat (dermatomyositis, systemic lupus erythematosus, mixed-connective tissue disorder, fasciitis eosinophilic, relapsing polychondritis)

3. Vasculitis

4. Dermatosa neutrofilik (pioderma gangrenosum, acut febrile neutrophilic dermatosis)

5. Sarcoidosis

6. Reaksi lepra tipe I

7. Hemangioma yang bermasalah pada bayi

8. Panniculitis

9. Urtikaria/angioedema.

Penggunakan glukokortikoid singkat, dapat dilakukan pada dermatitis yang berat (dermatitik kontak, dermatitik atopik, fotodermatitis, dermatitis exfoliatif, dan erythroderma).

Penggunaan glukokortikoid dengan dosis rendah dapat diberikan pada pasien pada saat tidur jika kondisinya tidak responsif hingga memerlukan terapi konservatif contohnya acne dan hirsutism pada pasien sindrome androgenital.

Table 391. Some Commonly Used Natural and Synthetic Corticosteroids for General Use.

Agent

Anti-Inflammatory

Topical

Salt-Retaining

Equivalent Oral Dose (mg)

Forms Available

Short- to medium-acting glucocorticoids

Hydrocortisone (cortisol)

1

1

1

20

Oral, injectable, topical

Cortisone

0.8

0

0.8

25

Oral

Prednisone

4

0

0.3

5

Oral

Prednisolone

5

4

0.3

5

Oral, injectable

Methylprednisolone

5

5

0

4

Oral, injectable

Meprednisone2

5

0

4

Oral, injectable

Intermediate-acting glucocorticoids

Triamcinolone

5

53

0

4

Oral, injectable, topical

Paramethasone2

10

0

2

Oral, injectable

Fluprednisolone2

15

7

0

1.5

Oral

Long-acting glucocorticoids

Betamethasone

2540

10

0

0.6

Oral, injectable, topical

Dexamethasone

30

10

0

0.75

Oral, injectable, topical

Mineralocorticoids

Fludrocortisone

10

0

250

2

Oral

Desoxycorticosterone acetate2

0

0

20

Injectable, pellets

1Potency relative to hydrocortisone.

2Outside USA.

3Acetonide: Up to 100.

Tabel 1. Glukokortikoid

Equivalent Glucocorticoid Potency (MG)

Mineralcorticoid Potency

Plasma Half-Life (menit)

Duration of Action (jam)

Short-acting

Hidrocortisone (Cortisol)

20

0,8

90

8-12

Cortisone

25

1

30

8-12

Intermediate-acting

Prednisone

5

0,25

60

24-36

Prednisolone

5

0,25

200

24-36

Methylprednisolone

4

0

180

24-36

Triamcinolone

4

0

300

24-36

Long-acting

Dexamethasone

0,75

0

200

36-54

Tabel 2. Penggunaan Kortikosteroid dan Penyakitnya

Nama penyakit

Kortikosteroid dan dosis sehari

Dermatitis

Prednison 4 x 5 mg atau 3 x 10 mg

Erupsi alergi obat ringan

Prednison 3 x 10 mg atau 4 x 10 mg

Steven-Johnson Syndrome berat dan TEN

Deksametason 6 x 5 mg

Eritroderma

Prednison 3 x 10 mg atau 4 x 10 mg

Reaksi lepra

Prednison 3 x 10 mg

Lupus eritematous diskoid

Prednison 3 x 10 mg

Pemfigus bulosa

Prednison 40 - 80 mg

Pemfigus vulgaris

Prednison 60 - 150 mg

Pemfigus foliaselus

Prednison 3 x 20 mg

Pemfigus eritematous

Prednison 3 x 20 mg

Psoriasis pustulosa

Prednison 4 x 10 mg

Efek Samping

Efek samping terapi kortikosteroid tergantung pada dosis, lama pengobatan, dan macam kotikosteroi. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) haru diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu :

diet tinggi protein dan rendah garam,

pemberian KCl (3 x 500 mg sehari) untuk orang dewasa jika terjadi defisiensi kalium,

obat anabolik,

antibiotik perlu diberikan (jika dosis besar),

antasida.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping, hendaknya diperiksa tensi dan berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan sekali)terutama pada usia 40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, LED, urin lengkap, kadar Na, K dalam darah, gula darah seminggu sekali), foto thorax (3 bulan sekali untuk melihat TB paru).

Efek samping dapat timbul karena penghentian obat tiba-tiba atau pemberian obat terus-menerus terutama dengan dosis besar. Efek samping terapi kortikosteroid yaitu :

- Osteoporosis

Osteoporosis terjadi pada 40% dari pasien-pasien dengan terapi kortikosteroid sistemik, terutama menonjol pada anak-anak, remaja, dan wanita postmenopause. Kira-kira sepertiga pasien terbukti memiliki fraktur vertebra setelah 5-10 tahun menggunakan steroid. Bone loss terjadi paling cepat pada 6 bulan pertama penggunaan glukokrtikoid, namun berlanjut lebih lambat setelah itu, dengan kehilangan 3-10& tulang per tahun pada banyak pasien. Beberapa bone loss dapat reversible setelah glukokortikoid dihentikan, paling tidak pada pasien yang muda.

Glukokortikoid menginhibisi osteoblas, meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal, menurunkan absorbsi kalsium intestinal, dan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Glukokortikoid juga mengurangi kadar estrogen dan testosteron, yang mungkin manjadi faktor yang penting dalam patogenesis osteoporosis.

- Avascular necrosis

Avascular necrosis (AVN) dimanifestasikan oleh nyeri dan terbatasnya pergerakan satu atau lebih sendi. Ditemukan hipertensi intraoseus, diikuti iskemik tulang dan nekrosis. Hipertrofi liposit intraoseus mungkin menyebabkan hiupertensi intraoseus ini. Glukokortikoid juga mendorong apoptosis dari osteoblas, yang juga mendukung terjadinya AVN. Penyakit yang telah ada sebelumnya, seperti SLE, meningkatkan kemungkinan adanya steroid-induced AVN. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien yang mengembangkan AVN memiliki trombofilia atau hipofibrinolisis, yang membawa pada oklusi trombotik dari aliran vena dari tulang, penurunan perfusi arterial, dan infark tulang.

-Aterosklerosis

Glukokortikoid meningkatkan banyak faktor resiko yang berkaitan dengan pembentukan aterosklerosis, diantaranya hipertensi arterial, resistensi insulin, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, dan obesitas sentral. Karenanya adalah wajar bahwa pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid memiliki peningkatan resiko untuk aterosklerosis. penderita dengan Cushings disease memiliki angka kematian 4 kali lebih tinggi dari komplikasi kardiovaskular, termasuk CAD, CHF, dan cardiac stroke. Resiko untuk aterosklerosis bertahan untuk paling tidak 5 tahun setelah normalisasi kadar serum kortisol pada Cushings disease, dan penemuan serupa dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan terapi glukokortikoid kronis.

-Suppresi aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal

Aksis HPA dengan cepat disupresi setelah onset terapi glukokortikoid. Jika terapi terbatas sampai 1-3 minggu, aksis HPA dapat kembali dengan cepat. Sementara penggunaan lebih lama berhubungan dengan supresi aksis HPA sampai satu tahun setelah terapi dihentikan. Gejala-gejala supresi adrenal diantaranya letargi, mual, anoreksia, demam, hipotensi ortostatik, hipoglikemi, dan kehilangan berat badan.

Juga ada withdrawal syndrome steroid, dimana pasien mengalami gejala-gejala insufisiensi adrenal meskipun memiliki respon kortisol yang tampaknya normal terhadap ACTH. Gejala-gejala umumnya termasuk anoreksia, letargi, malaise, mual, kehilangan berat badan, deskuamasi, nyeri kepala, dan demam. Lebih jarang, terjadi muntah, mialgia, dan athralgia. Pasien-pasien ini telah terbiasa pada kadar glukokortikoid yang tinggi, dan gejala menghilang setelah glukokortikoid dimulai lagi. Masalah ini dapat diatasi dengan tapering glukokortikoid yang lebih lambat, biasanya 1 mg prednison tiap minggu.

- Efek samping imunologis

Glukokortikoid mengganggu reaksi hipersensitivitas tipe lambat karena inhibisinya terhadap limfosit dan monosit.

Berkaitan dengan kehamilan dan laktasi

Glukokortikoid melintasi plasenta, namun tidak teratogenik. Infant yang terpapar, termasuk bayi yang diberi ASI dari ibu yang menggunakan glukokortikoid harus dimonitor untuk supresi adrenal dan supresi pertumbuhan.

Interaksi obat

Obat-obat seperti barbiturat, fenitoin, dan rifampin, yang menginduksi enzim mikrosomal hepar, dapat mempercepat metabolisme glukokortikoid Obat-obat seperti cholestyramine, colestipol, dan antasid mengganggu absorbsi glukortikoid. Glukokortikoid mengurangi kadar serum salisilat dan membuat kebutuhan dosis yang lebih tinggi untuk warfarin sebagai antikoagulan.

Strategi untuk mengurangi efek samping glukokortikoid

1. Evaluasi sebelum pengobatan.

Untuk meminimalisir masalah, evaluasi awal harus memasukkan riwayat pribadi dan keluarga, dengan perhatian lebih pada predisposisi terhadap diabetes, hipertensi, hiperlipidemi, glukoma, dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan terapi steroid. Tekanan darah dan berat badan awal harus diukur. Jika pengobatan diperkirakan diperpanjang, pemeriksaan mata dan tes PPD harus dilakukan, Pemeriksaan untuk infeksi lain harus berhubungan denga riwayat dan pemeriksaan fisik. Jika penggunaan jangka panjang glukokortikoid direncanakan, pengukuran densitas tulang spinal awal harus didapatkan.

2. Evaluasi selama pengobatan

Pada kunjungan follow-up, harus ditanyakan apakah ada keluhan poliuri, polidipsi, sakit perut, demam, gangguan tidur, dan efek psikologis pada pasien. Mungkin terdapat efek yang serius pada afek dan bahkan psikosis pada pasien dengan dosis tinggi glukokortikoid. Berat badan dan tekanan darah harus dimonitor. Elektrolit serum, gula darah puasa, dan kadar kolesterol serta trigliserida harus diukur. Pemeriksaan mata harus dilakukan dengan monitoring yang hati-hati untuk perkembangan katarak dan glukoma.

3. Pengukuran-pengukuran preventif

- Diet

Diet harus dalam rendah kalori, lemak, sodium, dan tinggi protein. Konsumsi alkohol, kopi, dan nikotin harus diminimalisir. Olah raga harus dianjurkan.

- Infeksi

Pasien dengan tes PPD positif harus diberikan profilaksis dengan isoniazid. Demam atau temuan fokus infeksi harus diperiksa dengan pendekatan diagnosa yang tepat.

- Komplikasi gastrointestinal

Terdapat peningkatan hampir sembilan kali lipat insidensi ulkus peptikum pada pasien dengan glukokortikoid dan NSAID. Pada pasien dengan dua atau lebih faktor resiko (seperti pasien yang mengkonsumsi NSAID, adanya riwayat ulkus peptikum, atau dosis total glukokortikoid >1000 mg, profilaksis harus dipertimbangkan. Profilaksis dapat berupa antasid, H2 receptor blocker, atau proton pump inhibitor.

- Supresi adrenal

Pasien yang menerima glukokortikoid lebih lama dari 3-4 minggu harus dianggap memiliki supresi adrenal yang membutuhkan tapering glukokortikoid untuk mengembalikan aksis HPA.Tapering paling baik dilakukan dengan mengganti dari dosis harian ke dosis selang hari, diikuti pengurangan dosis bertahap.

- Osteoporosis

Beberapa terapi dikembangkan untuk mencegah osteoporosis pada pangguna glukokortikoid. Pencegahan dapat dengan suplemen kalsium dan vitamin D. Pada wanita post menopause dan premenopause yang menjadi amenorheic karena glukokortikoid, hasil yang baik didapatkan dengan pemberian Hormon Replacement Therapy. Pria dengan kadar testosteron serum yang rendah yang menerima pengobatan glukokortikoid harus mendapatkan suplemen testosteron. Peningkatan osteolisis karena steroid menyembangkan digunakannya beberapa agen yang menghambat resorpsi tulang, seperti biphosphonate dan calcitonin. Rekomendasi saat ini termasuk pengukuran densitas tulang dan studi seerial untuk mengidentifikasi awal adanya densitas tulang yang hilang. Densitas tulang terbaik diukur di spina lumbal pada pasien kurang dari 60 tahun dan di leher femur pada pasien lebih dari 60 tahun.

- Aterosklerosis

Tekanan darah, lipid serum, dan jadar glukosa harus diperiksa secara serial. Abnormalitas harus diobati dengan manipulasi diet dan pengobatan yang perlu.

- Avascular necrosis

Deteksi awal penting karena intervensi awal dapat mencegah progressi pada penyakit degenerasi sendi. Pasien harus selalu dipantau apakah ada keluhan nyeri dan keterbatasan gerakan sendi. Pemeriksaan yang sensitif untuk deteksi AVN adalah bone scan dan MRI.

Tabel 2. Efek Samping Kortikosteroid

Penghambat Kortikosteroid

Metirapon

Metirapon mempengaruhi sintesis kortikosteroid dengn jalan menghambat langkah akhir (11-hidroksilasi) sintesis glukokortikoid yang menyebabkan peningkatan 11-deoksikortisol sama seperti androgen adrenal dan mineralokortikoid kuat, 11-deoksikortikosteron.

Aminoglutetimid

Aminoglutetimid bekerja dengan jalan menghambat konversi kolesterol menjadi pregnenolon. Akibatnya, sintesis semua steroid aktif berkurang. Aminoglutetimid diberikan bersama dengan deksametason pada pengobatan kanker payudara untuk mengurangi androgen dan produksi estrogen. Aminoglutetimid juga berguna pada pengobatan keganasan korteks adrenal untuk mengurangi sekresi steroid.

Ketokonazol

Ketokonazol menghambat dengn kuat sintesis hormon gonad dan hormon steroid.

Mifepriston

Mifepriston merupakan suatu antagonis glukokortkoid kuat. Obat ini membentuk kompleks dengan reseptor glukokortikoid, tetapi disosiasi obat yang cepat dari reseptor menyebabkankesalahan translokasi ke dalam nukleus.

Spironolakton

Spironolakton bersaing pada reseptor mineralokortikoid sehingga menghambat reabsorbsi Na di ginjal. Obat ini dapat juga mengantagonis sintesis aldosteron dan testosteron.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chrousos,George. Adrenocorticosteroid and Adrenocortical Antagonists. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed.USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2004 : 641-658

2. Valencia,Isabel,Kerdel,Fransisco. Topical Glukocorticosteroids. In:Wolff, Klaus, Jhonson, Richard, editor. Fitzpatricks Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 5th edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2005 : 2324 2327.


Recommended