Transcript
Page 1: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

KONSEP PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM

EKONOMI ISLAM

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

MUHAMMAD IQBAL

125020500111004

JURUSAN ILMU EKONOMI

PRODI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

THE CONCEPT OF POVERTY ERADICATION IN

ISLAMIC ECONOMICS

SCIENTIFIC JOURNALS

By :

MUHAMMAD IQBAL

125020500111004

DEPARTMENT OF ECONOMICS

FACULTY OF ECONOMICS AND BUSINESS

UNIVERSITY OF BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 3: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam
Page 4: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

KONSEP PENGENTASAN KEMIS KINAN DALAM EKONOMI ISLAM

Muhammad Iqbal

Prof. Dr. M. Umar Burhan, SE.,MS.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang

Email : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghimpun, menganalisis, membuat interpretasi

serta generalisasi mengenai konsep pengentasan kemisk inan dalam Ekonomi Islam dan

menganalisis relevansinya dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini

merupakan penelitian bibliografis dengan pendekatan kualitatif grounded theory method yang

mengambil fokus mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang terkait dan relevan dengan topik

penelitian berupa literatur, artikel jurnal ilmiah, buku teks, dan makalah ilmiah. Teknik

pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah studi literatur. Hasil

pembahasan terhadap konsep-konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam terhimpun

dalam sebuah sintesis yang membagi subyek pelaku pengentasan kemiskinan menjadi tiga yakni

Pemerintah, Masyarakat, dan Individu. Terdapat syarat yang harus dipenuhi agar konsep

pengentasan kemiskinan di dalam Ekonomi Islam dapat menjadi solusi konkrit dan efektif untuk

mengatasi masalah kemiskinan, yakni: (1) Pengentasan kemiskinan yang dilakukan da lam Islam

kesemuanya haruslah berjalan beriringan dengan usaha rohaniah. (2) Untuk melakukan

pengentasan kemiskinan di dalam ekonomi Islam haruslah dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah .

Selain itu, secara umum dapat dikatakan bahwa konsep pengentasan kemiskinan dalam Ek onomi

Islam relevan dengan Pengentasan kemiskinan di Indonesia. Bagi penelitian -penelitian terapan

terkait dengan pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam yang akan dil akukan di masa depan

perlu kiranya untuk melakukan pengujian dan pengembangan terhadap konsep ini. Kata Kunci : Konsep Pengentasan Kemiskinan, Penelitian Bibliografis, Ekonomi Islam, Sintesis.

A. PENDAHULUAN

Kajian Ilmu Ekonomi Islam dewasa ini mengalami perkembangan cukup pesat di dunia.

Ekonomi Islam yang tengah berkembang sekarang adalah ilmu ekonomi yang dibangun ekonom

Muslim modern setelah melakukan proses “Islamisasi” ekonomi modern (klasik & neo -klasik)

(Hoetoro, 2007:153) yang diawali dari sebuah gerakan Islamisasi Pengetahuan (Islamization of

Knowledge/IOK) yang mengusahakan pembebasan pengetahuan dan cabang-cabang keilmuannya

dari interpretasi sekuler atau menyesatkan menjadi selaras dengan worldview (pandangan-dunia)1

dan visi Islam tentang realita dan kebenaran yang wujud sebelum pengelihatan manusia mampu

mengungkapnya.2 Hoetoro (2007:157) menyebutkan adanya proyek Islamisasi pengetahuan

semakin menguatkan berkembangnya kajian-kajian ekonomi Islam yang juga diikuti dengan

didirikannya institusi keuangan dan perbankan Islam yang didirikan sebagai wadah aktualisasi

dari teori ekonomi Islam pada tahun 1980-an. Saat ini pun dalam tataran akademis dan praktis

ekonomi Islam masih dan terus berkembang, hal ini terlihat dengan semakin banyaknya

universitas-universitas di dunia yang membuka program studi ekonomi Islam dan munculnya

institusi keuangan dan perbankan Islam beserta instrumen-instrumennya. Keadaan tersebut tidak

hanya terjadi di negara mayoritas muslim namun juga di negara barat seperti Inggris.

Ilmu ekonomi modern yang ada saat ini mendikotomikan antara ilmu dan agama, dan sarat

akan visi-visi barat di dalamnya. Ada ketidak-sesuaian antara ilmu ekonomi modern dengan visi

Islam, meskipun sebenarnya dari aspek kesejarahan ekonomi modern tidak bisa dilepaskan dari

ekonomi Islam karena banyak sekali sebenarnya kontribusi para ulama dan cendekiawan muslim

1Alparslan dalam Hoetoro (2007:193) mengatakan bahwa fungsi worldview adalah sebagai dasar

bagi keseluruhan bangunan teori pengetahuan. 2 Pengertian Islamisasi Pengetahuan ini mengacu dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas, untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada (Al-Attas, 1978:44-46) dan (Hoetoro, 2007:163-168)

Page 5: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

pada masa The Golden Age of Islam yang mempengaruhi ekonomi modern, namun dengan

dimitoskannya secara sistematik penguatan tesis “the Great Gap” yang ditulis Joseph Schumpeter

(1954) dan sekaligus penafikan kontribusi pemikiran ekonomi di masa Islam Klasik oleh sebagian

besar sarjana Barat (Hoetoro, 2007:29), alhasil pemikiran ekonomi dari para ekonom Islam yang

ber-worldview Islam menjadi tidak kelihatan dan ilmu ekonomi menjadi terde-islamisasi.

Dalam penelitian ini diambil tema mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi

Islam. Setelah pemaparan mengenai asal-usul adanya ekonomi Islam dan sedikit gambaran

mengenai perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi mainstream (yang selanjutnya

akan disebut sebagai ekonomi konvensional) maka dapat disimpulkan bahwa hal-hal tersebut akan

menyebabkan berbedanya pula perumusan dan pemecahan masalah serta pendefinisian fenomena -

fenomena sosial yang ada, yang menjadi orbit dari ilmu ekonomi. Termasuk fenomena dan

masalah sosial yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kemiskinan.

Kemiskinan dalam ekonomi Islam lebih kompleks dan mendekati realita jika dibandingkan

dengan kemiskinan yang ada dalam ekonomi konvensional, kemiskinan dalam ekonomi Islam

tidak melulu masalah duniawi saja tapi juga masalah ukhrawi, meskipun ada juga beberapa

persamaan dengan ekonomi konvensional untuk pemaknaan kemiskinan material. Yang paling

penting adalah, Islam sebagai agama yang pertengahan 3 juga memerangi kemiskinan. Berbeda

dengan motif ekonomi konvensional yang berangkat dari sebab bahwa kemiskinan merupakan

penghambat pertumbuhan ekonomi sebagaimana diungkapkan di atas, dalam Islam “permusuhan”

terhadap kemiskinan berangkat dari rasa cinta atau mahabbah kepada Allah, kemudian

pengharapan atau roja’ terhadap rahmat serta ampunan Allah, dan rasa takut atau khouf pada siksa

dan azab dari Allah, yang ketiganya ini merupakan implementasi dari pengesaan terhadap Allah.

Melihat kondisi saat ini jika menggunakan pendekatan Ekonomi Islam mengenai nisab zakat

sebagai ukuran kemiskinan maka jumlah orang miskin akan melebihi dari jumlah yang

dikategorikan menggunakan pendekatan dari Worldbank4 oleh ekonomi konvensional yakni $

2/hari untuk orang miskin dan $ 1.25/hari untuk orang yang sangat miskin (extremely poor),

karena jumlah orang yang hartanya tidak mencapai nisab dan hidupnya lebih dari $2/hari tidak

dikategorikan sebagai orang miskin oleh Worldbank. Selain itu, saat ini dengan tidak adanya

pemerintahan berlandaskan Islam seperti zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin5

Ekonomi Islam ditantang untuk dapat memecahkan masalah kemiskinan yang sebagaian besar

terjadi di Afrika dan Asia di mana di benua tersebut banyak negera-negara yang penduduknya

mayoritas Muslim.

Indonesia merupakan Negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam terbesar di dunia.

Berdasarkan laporan dari Pew Research Center (2015:74) mengenai perkembangan populasi

agama-agama di dunia per-tahun 2010, Indonesia menduduki posisi puncak negara dengan

populasi muslim terbesar di dunia dengan total populasi muslim sebesar 209,120,000. Angka

tersebut merupakan representasi dari 85% total penduduk Indonesia dan menyumbang 13.1%

penduduk muslim sedunia. Memiliki kurang lebih seperempat miliar manusia yang 85%-nya

beragama Islam, berbeda dengan Negara mayoritas muslim lain Indonesia cenderung mengalami

jumlah penurunan penduduk miskin yang penurunannya cenderung melambat tahun ke tahun dari

tahun 1996 sampai 2012, sebagaimana terlihat pada (gambar 1) di mana penduduk miskin pada

tahun 1996 berjumlah 34.01 juta jiwa yang merupakan representasi dari 17.47% total penduduk

saat itu. Kemudian pada 2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 28.59 juta jiwa yang

merupakan representasi dari 11.66% dari total penduduk di Indonesia.

3 Lihat Q.S. Al Baqarah (2:143) 4 World Bank. 2014. Poverty Overview, Artikel (online).

http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/overview diakses 26 Agustus 2015 5 Khalifah yang diberi petunjuk oleh Allah, yakni pengganti Nabi setelah Nabi wafat, Abu Bakar

Asy Sidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun ada sebagian

ulama yang menambahkan Umar bin Abdul Aziz karena saking sukses dan fantastisnya era

kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dan karena dekatnya ciri-ciri dan sifat-sifat Umar bin Abdul

Aziz dengan Khulafaur Rasyidin sebelumnya.

Page 6: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Gambar 1 : Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia (1996-2012)

Kendati Indonesia mengalami jumlah penurunan angka kemiskinan namun ternyata

ketimpangan pendapatan malah semakin meningkat, berdasarkan informasi dari World Bank

(2014a) Indonesia memiliki tingkat ketimpangan tertinggi di kawasan Asia Timur, dengan naiknya

koefisien Gini dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012. Hal ini menunjukkan tidak meratanya

distribusi kekayaan di Indonesia dan masih perlunya perbaikan dalam kebijakan penanggulangan

kemiskinan di Indonesia. Menurut Suyanto (2013:243) belum adanya kerjasama yang benar-benar

terpadu, dan ditambah lagi dengan orientasi program yang belum bersifat kontekstual, maka bisa

dipahami jika pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan belum memperlihatkan hasil

yang signifikan apalagi memperlihatkan daya ungkit yang benar-benar nyata.

Terlepas dari faktor politik dan faktor-faktor lain yang ada, miris rasanya melihat kaum

Muslimin dengan ajaran Islam yang paripurna dan diridhoi Rabb semesta alam hingga akhir

zaman mengalami penyakit kemiskinan yang sesungguhnya penyakit tersebut sudah ditemukan

penawarnya. Oleh karena itu, dewasa ini cukup banyak cendekiawan dari kaum muslimin yang

mencoba menghidupkan tradisi keilmuan dalam Islam untuk mengatasi problematika yang ada

dalam umat, termasuk ekonomi Islam yang lahir dari gerakan Islamisasi Ilmu yang telah dijelaskan

sebelumnya. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena pemikiran-pemikiran yang ada tersebut

akan bertemu dengan realita dan tantangan modernitas yang ada.

Di lain sisi walaupun saat ini angka penurunan kemiskinan di Indonesia melambat

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan ketimpangan pendapatan makin meningkat, pencapaian

aktifitas pengentasan kemiskinan di Indonesia relatif cukup baik dibanding negara-negara dengan

penduduk mayoritas muslim lainnya. Hal ini tak lepas dari program-program dan kebijakan-

kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah Indonesia, diikuti oleh sinergitas gerak dari

masyarakat sendiri yang turut andil dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Adanya

fenomena kegiatan pengentasan kemiskinan beserta pencapaiannya di Indonesia sebagai negara

dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan sebagai negara yang bisa dikatakan

cukup baik bergelut melawan masalah kemiskinan menjadi menarik untuk dikaji juga. Karenanya

atas latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran -pemikiran

mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam dari para cendekiawan/ekonom

Islam modern6 dan relevansinya dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang dituangkan

dalam penelitian berjudul “Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam”.

6 Sedikit Berbeda dengan periodisasi M. Nejatullah Siddiqi yang telah disebutkan sebelumnya,

Islahi dalam Hoetoro (2007:47) membagi periode pengembagan ekonomi Islam dalam tujuh

periode: 1. Al-Quran dan Sunnah; 2. Pemikiran ekonomi para ahli hukum Islam (10-240H/630-

855M); 3. Periode Inovasi, Translasi, dan Adaptasi (240-500 H/855-1100 M); 4. Periode

Transmisi (500-900 H/1100-1500 M); 5. Periode Imitasi dan Stagnasi (900-1200 H/1500-1785 M);

Sumber: Kementrian Sektetariat Negara (2013)

Page 7: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Fokus Penelitian

Berdasarkan pemaparan tersebut maka fokus penelitian dalam penelitian ini adalah

menguraikan konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam dari pemikiran -pemikiran

para ekonom/cendekiawan Islam modern yang tertuang dalam literatur-literatur, kemudian

membuat interpretasi serta generalisasi atasnya. Setelah itu penulis akan mencoba menganalisis

konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam dan relevansinya dengan pengentasan

kemiskinan di Indonesia.

Pemikiran-pemikiran ekonom Muslim Modern dipilih karena sudah barang tentu pemikiran-

pemikiran tersebut tidak akan jauh dari akar pemikiran yang telah diwariskan oleh ekonom muslim

periode sebelumnya, yang merujuk pada sumber ilmu sepanjang masa dalam Islam yakni Al-

Qur’an dan Hadits. Kemudian pemikiran ekonomi Islam modern telah mengkompromikan

pemikiran Islam klasik dengan fenomena ekonomi di dunia modern sehingga terdapat hal-hal baru

yang belum terbahas sebelumnya oleh pemikiran Islam Klasik, termaktub dalam pemikiran

ekonomi Islam Modern.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bibliografis dengan pendekatan kualitatif grounded

theory method yang mengambil fokus mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi

Islam. Menurut Nazir (2011:53) Penelitian bibliografis merupakan penelitian dengan metode

sejarah untuk mencari, menganalisis, membuat interpretasi serta generalisasi dari fakta-fakta yang

merupakan pendapat para ahli dalam suatu masalah atau suatu organisasi. Hal ini senada dengan

Buku Pedoman yang dikeluarkan oleh Jurusan Ilmu Ekonomi (2015:3) bahwa skripsi atau

penelitian kajian pustaka diperoleh dari telaah yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah

yang bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif grounded theory method karena memiliki

sifat induktif. Pendekatan grounded theory method dijelaskan oleh Babbie (2013:392) bahwasanya

pendekatan ini berangkat dari observasi daripada hipotesis dan berusaha untuk menemukan pola

dan mengembangkan teori dari bawah ke atas, dengan tidak ada persepsi. Selain itu, berdasarkan

Glaser dan Strauss (1967) dalam Babbie (2013:392-393) dijelaskan bahwa pendekatan grounded

theory method terdiri dari empat langkah, yakni: 1) menspesifikasi alam dan dimensi dari berbagai

macam konsep yang muncul dari data; 2) mencari dan menandai hubungan antar konsep; 3)

membuang konsep yang tidak relevan dengan penelitian; 4) menulis hasil penemuan.

Lebih jauh lagi penelitian ini termasuk dalam penelitian dasar (Basic Research) yang

diterangkan oleh Nazir (2011:26) bahwa

“Penelitian dasar dikerjakan tanpa memikirkan ujung praktis atau titik terapan. Hasil dari

penelitian dasar adalah pengetahuan umum dan pengertian-pengertian tentang alam serta

hukum-hukumnya. Pengetahuan umum ini merupakan alat untuk memecahkan masalah -

masalah praktika, walaupun ia tidak memberikan jawaban yang menyeluruh untuk tiap

masalah tersebut. Tugas penelitian terapanlah yang akan menjawab masalah -masalah

praktis tersebut.”

Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang terkait dan relevan

dengan topik penelitian berupa literatur, artikel jurnal ilmiah, buku teks, dan makalah ilmiah. Hal

ini didasarkan pada Buku Panduan Jurusan Ilmu Ekonomi (2015:37) bahwa sumber data untuk

penelitian kajian pustaka dapat berupa buku teks, jurnal penelitian, skripsi, laporan penelitian,

proceding seminar dan lain-lain asal masih memenuhi kriteria keilmuan/ilmiah. Kemudian data

kualitatif sendiri merupakan data yang terdiri dari rekaman tertulis dari perilaku yang diobservasi

yang dapat dianalisis secara kualitatif (Bordens & Abbott, 2005:207). Jadi, sumber data penulis

merupakan sumber pustaka yang berkaitan dengan topik pengentasan kemiskinan dan ekonomi

Islam.

Teknik Pengumpulan Data

6. Periode Pemantapan Kembali (1200-1350 H/1785-1930 M); 7. Ekonomi Islam Modern (1350

H-…/1930 M-…)

Page 8: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah studi literatur.

Menurut Nazir (2011:93) studi literatur selain mencari sumber data sekunder yang akan

mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan

dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degeneralisasi yang

telah dibuat, sehingga situasi yang diperlukan dapat diperoleh. Pernyataan tersebut sejalan dengan

Bordens & Abbott (2005:60) yang mendeskripsikan literature review sebagai proses memetakan,

mendapatkan, membaca, dan mengevaluasi literatur riset di area yang menjadi minat peneliti.

Bordens & Abbott (2005:60-61) juga mengemukakan tiga alasan pentingnya studi literatur yaitu

menghindari duplikasi, mempermudah desain penelitian, dan membuat peneliti tetap up to date

terhadap diskusi/kontroversi empiris dan teoritis dalam sebuah area penelitian.

B. EKONOMI ISLAM

Pengertian Ekonomi Islam

Termasuk dalam bagian dari sistem Islam yang sempurna adalah sistem ekonomi Islam.

Sistem ekonomi dalam syariat Islam masuk dalam tataran muamalah. Adapaun muamalah

diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial

(Antonio, 2014:4). Secara garis besar, sistem ini dapat dibagi menjadi tiga sektor besar: (1) sektor

publik, (2) sektor swasta, (3) sektor kesejahteraan sosial. Masing-masing dari tiga sektor di atas

mempunyai fungsi, isnstitusi, dan landasan syariah tersendiri.

Berkenaan dengan definisi ekonomi Islam, secara umum menurut Pusat Pengkajian dan

Pengembangan Ekonomi Islam (2008:44) ekonomi Islam didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu

pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan

permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami. Yang dimaksudkan dengan

cara-cara yang Islami di sini adalah cara-cara yang didasarkan atas Al Quran dan Sunnah. Jadi,

ilmu ekonomi Islam mendasarkan segala aspek, tujuan metode penurunan ilmu, dan nilai-nilai

yang terkandung pada agama Islam.

Penyelesaian masalah-masalah ekonomi menggunakan ilmu ekonomi Islam haruslah

bertujuan untuk menggapai falah. Falah dalam bahasa Indonesia berarti kemenangan. Sakti

(2007:31) menyatakan falah adalah kebahagiaan dunia-akhirat, sedangkan menurut Mustafa Edwin

Nasution, dkk. dalam Rivai & Buchari (2013:91) falah yang dimaksud adalah mencakup

keseluruhan aspek kehidupan manusia, yang meliputi aspek spiritualitas, moralitas, ekonomi,

sosial, budaya, serta politik, baik yang dicapai di dunia maupun di akhirat.

Mematuhi dan menegakkan syariat dalam bidang muamalah saat berekonomi yang islami

merupakan sebuah ibadah. Ibadah ini akan mendapat balasan dari Allah berupa pahala yang

banyak dan surga yang abadi apabila dilakukan dengan niat yang Ikhlas semata-mata hanya untuk

Allah, oleh karena itu ibadah maka yang menjadi orientasinya adalah falah (kebahagiaan di dunia

dan akhirat), bukan hanya kebahagiaan dunia sahaja.

Dasar-Dasar Ekonomi Islam

Berdasarkan Yusuf Qardhawi dalam Fathurrahman (2010:6-9) ekonomi Islam tidak berbeda

dengan sistem ekonomi laiannya, dari segi bentuk, cabang, rincian, dan cara pengaplikasian yang

beraneka ragam. Tetapi menyangkut gambaran global yang mencakup pokok-pokok petunjuk,

kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang

bersifat spesifik ada perbedaannya. Hal itu karena sistem Islam selalu menetapkan secara global

dalam masalah-masalah yang mengalami perubahan karena perubahan lingkungan dan zaman.

Sebaliknya menguraikan secara rinci pada masalah-masalah yang tidak mengalami perubahan.

Ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu tauhid, akhlak, dan keseimbangan yang

mana sangat berbeda dari ekonomi konvensional. Abdul Mannan (1993) dalam Hakim (2012:4)

menambahkan ekonomi Islam didasarkan pada tiga konsep fundamental, yaitu : keimanan kepada

Allah (tauhid), kepemimpinan (khilafah) dan keadilan (a’dalah).

Karakteristik dan Tujuan Ekonomi Islam

Terdapat beberapa karakteristik yang merupakan kelebihan dalam ekonomi Islam, di mana

karakteristik ini menggambarkan kekhasan atau keunikan bagi ekonomi Islam. Berdasarkan

Abdullah At-Tariqi (2004) dalam Hakim (2012:10-12); Rivai & Buchari (2013:91-94);

Adinugraha (2013:58), karakteristik ekonomi Islam tersebut adalah :

1. Ekonomi Illahiyyah

Page 9: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Karena titik awalnya dari Allah, tujuannya mencari rida Allah dan cara-caranya tidak bertentangan

dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi,

diikatkan pada prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan Ilahiyyahm sebagaimana firman Allah azza wa

jalla dalam Surat Al-Mulk ayat 15 :

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala

penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali

setelah) dibangkitkan.”

Ekonomi adalah bagian dari Islam. Ia adalah bagian yang dinamis dan bagian yang sangat

penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan Islam, bukan titik pangkal ajarannya, bukan

tujuan risalahnya, bukan ciri peradabannya dan bukan pula cita-citanya. Ekonomi Islam adalah

ekonomi yang memiliki pengawasan internal atau hati nurani, yang ditumbuhkan oleh iman di

dalam hati seorang muslim, dan dijadikan pengawas bagi dirinya sendiri.

2. Ekonomi akhlak

Ekonomi Islam memadukan antara ilmu dan akhlak, karena akhlak adalah daging dan urat

nadi kehidupan Islami karena risalah Islam adalah risalah akhlak, sesuai sabda Rasulullah saw. :

“Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak” (Al-

Hadits). Sesungguhnya Islam sama sekali tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan

kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Kesatuan

antara ekonomi dan akhlak ini semakin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang

berkaitan dengan produksi, distribus i, peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim baik secara

pribadi maupun secara bersama-sama, tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya atau

apa yang menguntungkannya.

3. Ekonomi kemanusiaan

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berwawasan kemanusiaan, mengingat tidak ada

pertentangan antara aspek Ilahiyyah dengan aspek kemanusiaan, karena menghargai kemanusiaan

adalah bagian dari prinsip Ilahiyyah yang memuliakan manusia dan menjadikannya sebagai

Khalifah di muka bumi ini. Ekonomi Islam juga bertujuan untuk memungkinkan manusia

memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyariatkan. Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan

yang Rabbani sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksanakan kewajibannya kepada

Allah, dirinya, keluarganya, dan kepada sesama manusia, sebagaimana firman Allah swt. dalam

surat Al-Baqarah ayat 30 :

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan

khalifah di bumi,’ Merka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan

menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?’

Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’”

Nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang ditunjukkan

Islam di dalam Al Quran dan Sunnah. Dengan nilai tersebut muncul warisan yang berharga dan

peradaban yang istimewa.

4. Ekonomi Pertengahan

Artinya bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandaskan pada prinsip pertengahan

dan keseimbangan yang adil. Islam menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara individu dan

masyarakat. Di dalam individu diseimbangkan antara jasmani dan rohani, antara akal dan hati,

antara realita dan fakta.

5. Ekonomi Pertumbuhan dan Keberkahan

Ekonomi Islam memiliki kelebihan dari sistem yang lain, yaitu beroperasi atas dasar

pertumbuhan dan investasi harta secara legal, agar tidak berhenti dari rotasinya dalam kehidupan

sebagai bagian dari meditasi jaminan kebutuhan pokok manusia. Islam memandang harta dapat

dikembangkan hanya dengan bekerja. Hal itu hanya dapat terwujud dalam usaha keras untuk

menumbuhkan kemitraan dan memperluas unsur-unsur produksi demi terciptanya perumbuhan

ekonomi dan keberkahan secara bersamaan.

Mengenai tujuan ekonomi Islam, Purwana (2014:10-24) menerangkan bahwa

kesejahteraan merupakan tujuan ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan yang

dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan materi dan non materi, dunia dan diakhirat berdasarkan

kesadaran pribadi dan masyarakat untuk patuh dan taat (sadar) terhadap hukum yang dikehendaki

oleh Allah Swt melalui petunjuk-Nya dalam Al Quran, melalui contoh dalam keteladanan

Rasulullah Saw, dan melalui ijtihad dan kebaikan para ulama.

Lebih lanjut, Adinugraha (2013:58) menerangkan bahwasanya tujuan ekonomi Islam

adalah pemberian keselarasan bagi kehidupan dunia (likay laa yakuna daulatan baina al

Page 10: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

aghniyaa). Norma dan nilai Islam bukan semata-mata diperuntukkan bagi kehidupan muslimin

saja, akan tetapi pada seluruh makhluk di muka bumi. Esensi proses ekonomi Islam adalah

pemenuhan kebutuhan manusia yang dilandaskan pada syariat agar mencapai kesejahteraan

duniawi sekaligus kebahagiaan ukhrowi (falah).

C. KEMIS KINAN DALAM EKONOMI ISLAM

Makna Kemiskinan dalam Islam

Islam melalui kitab suci Al-Quran menggunakan beberapa kata dalam mengambarkan

kemiskinan, yaitu faqiir, miskiin, al-sa’iil, dan al-mahruum. Tetapi kata fakir dan miskin serta

berbagai bentuk lain dari keduanya paling banyak disebutkan dalam ayat Al-Quran. Menurut

Ridwan (2011:31) kata faqir dan miskiin yang disebut dalam Al Quran berjumlah 36 ayat, kata

faqiir dijumpai sebanyak 12 kali dan kata miskiin disebut sebanyak 25 kali. Dalam bab ini akan

dicoba dilakukan pembahasan mengenai makna kemiskinan dalam ekonomi Islam melalui ayat -

ayat suci al Quran yang menggunakan kata faqiir dan miskiin dengan berbagai bentuknya. Berbeda

dengan Ridwan (2011), setelah melakukan penelitan lebih jauh penulis menemukan ternyata kata

miskiin dalam konteks kemiskinan hanya disebut pada 24 ayat, karena pada ayat ke 72 surat At -

Taubah kata masaakin merupakan kata yang bermakna tempat, bukan merupakan jamak dari

miskiin, pada ayat tersebut konteksnya adalah janji Allah kepada orang-orang yang beriman bahwa

mereka akan mendapatkan surga dan tempat yang baik di dalamnya. Dan ada tambahan pada ayat

yang terdapat kata faqiir di dalamnya menjadi 13 ayat yaitu pada Surat An-Nur ayat 32. Oleh

karena itu, dalam bab kali ini ayat yang dibahas berjumlah 36 ayat7.

Pembahasan dilakukan dengan menggunakan urutan surat dalam Al-Quran Rasm Utsmani,

yakni cara penulisan yang ditempuh oleh panitia penulisan wahyu pada masa Utsman ra. (Shihab,

2011:530-531) yang dimulai dari surat al-Fatihah hingga An-Nas. Dalam penguraian makna

dibalik ayat-ayat tersebut akan digunakan/merujuk pada tafsir al-Qur’an al-Azhim yang ditulis

Imaduddin Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimsyaiqi al-Qurasyi as-Syafi’i atau yang

lebih dikenal dengan Ibnu Katsir (Katsir 2003g; Katsir 2003c; Katsir 2003e; Katsir 2003d; Katsir

2003f; Katsir 2003b; Katsir 2003a), karya disertasi Dr. HM. Sa’ad Ibrahim tentang Kemiskinan

dalam perspektif al-Qur’an (Ibrahim, 2007) , dan kemudian Tafsir Ayat Ekonomi Prof. Dr. H.

Muhammad Amin Suma (Suma, 2015), dan beberapa sumber lain yang relevan.

Setelah dilakukan pembahasan di atas mengenai ayat-ayat Al Quran tentang kemiskinan,

terlepas dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, dapat disimpulkan bahwa antara

fakir dan miskin mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya sama-

sama sebagai pihak yang memerlukan bantuan untuk mengentaskan diri da ri kepapaan.

Perbedaannya adalah, orang fakir memiliki potensi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sedang

orang miskin tidak memiliki potensi tersebut, atau jika memiliki, potensinya sangat rendah,

sehingga tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sejalan dengan

pendapat dari Ibrahim (2007:46) dan Yusuf Qaradhawi (2009:5-7). Korayem & Mashhour (2014)

menambahkan golongan Gharim dan Ibn Sabil ke dalam golongan yang membutuhkan dalam

Islam, yang membutuhkan bantuan secara temporer untuk dapat lepas dari kepapaan.

Kemudian Güner (2005) membedakan kemiskinan dalam Al Quran menjadi dua yaitu

kemiskinan spiritual dan kemiskinan material. Kemisikinan s piritual sebagaimana pada surat Fatir

35:15, Muhammad 47:38, dan Al-Hashr 59:8 yang menunjukkan kebutuhan manusia yang fakir

akan karunia dari Allah. Sedangkan pada selain ayat-ayat tersebut Al Quran lebih banyak

menunjukkan kemiskinan material. Sejalan dengan hal tersebut, Peerzade (1997:87) juga

menyatakan bahwa kemiskinan dalam Islam terkait dengan aspek metafisik yakni rasa

membutuhkan terhadap ampunan dari Allah. Ridwan (2011:30) menambahkan juga bahwa

kemiskinan dalam Islam mencakup ranah mental/psikis sebagaimana keadaan miskin yang

kebanyakan malah membuat orang-orang miskin menikmati bantuan dari orang lain, bukan malah

membuat mereka bangkit dan berubah untuk menjadi orang yang membantu daripada yang

7 QS. Al Baqarah(2) ayat 61, 177, 184, 215, 268, 271, dan 273; Ali ‘Imran(3) ayat 112 dan 181;

An-Nisa(4) ayat 6, 8, 36, dan 135; Al-Ma’idah(5) ayat 89 dan 95; Al-Anfal(8) ayat 41; At-

Taubah(9) ayat 60; surat Al-Isra’(17) ayat 27; Al-Kahfi(18) ayat 79; QS. Al-Hajj(22) ayat 27; An-

Nur(24) ayat 22 dan 32; QS. Al-Qashash(28) ayat 24; Ar-Rum(30) ayat 38; Fatir(35) ayat15;

Muhammad(47) ayat 38; Al-Mujadalah(58):4; Al-Hashr ayat(59) 7 dan 8; Al-Qolam(68) ayat 24;

Al-Haqqah(69) ayat 34; Al-Muddatsir(74) ayat 44; QS. Al-Insan(76) ayat 8; Al-Fajr(89) ayat 18;

Al-Balad(90) ayat 16; Al-Ma’un(107) ayat 3

Page 11: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

dibantu. Jadi, dapat dipahami di sini bahwa makna kemiskinan dalam Islam adalah suatu keadaan

di mana manusia yang sangat butuh karunia dari Allah SWT tidak dapat mencukupi kebutuhan

hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.

Kemiskinan maupun kekayaan pada dasarnya merupakan ujian bagi seorang muslim di dunia.

Miskin dan kaya bukan ukuran seseorang hina atau mulia. Kemiskinan dan kekayaan keduanya

sama-sama merupakan cobaan dan ujian bagi seorang hamba. Orang yang miskin diuji dengan

kekafirannya, apakah ia dapat bersabar ataukah tidak. Sementara orang kaya diuji dengan

kekayaannya, apakah ia dapat bersyukur ataukah kufur terhadap nikmat Allah Ta’ala.

Pengukuran Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Berdasarkan pembahasan pada sub-bab sebelumnya dijelaskan bahwa kemiskinan dalam

Islam salah satu pengertiannya adalah keadaan di mana manusia tidak dapat mencukupi kebutuhan

hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Kebutuhan hidup yang dimaksudkan di sini

dijelaskan oleh Hassan (2010:263) sebagai: 1) Agama; 2) Kesehatan Jasmani (Jiwa); 3)

Intelektualitas atau pengetahuan (Akal); 4) Keturunan; 5) Harta.

Korayem & Mashhour (2014:1) dalam kajiannya “Poverty in Secular and Islamic Economics;

Conceptualization and Poverty Alleviation Policy, with Reference to Egypt ” menjelaskan lebih

jauh lagi mengenai kebutuhan hidup manusia di dunia dan hubungannya d engan kemiskinan.

Mereka menyatakan bahwa dalam mengestimasi kemiskinan ilmu Ekonomi Sekuler

(konvensional) dan ilmu Ekonomi Islam berbeda, meskipun menurut Rasool et al. (2012:813)

hampir mirip. Kemiskinan dalam ekonomi konvensional diestimasi dengan melihat siapa yang

hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kemiskinan dalam ekonomi Islam

diestimasi dengan tingkat kecukupan (sufficiency level); barangsiapa yang hidup di bawah tingkat

kecukupan itu tergolong miskin. Tingkat kecukupan di sini dapat dilihat dari terpenuhinya tujuan -

tujuan syariah (maqashid al-syariah), yaitu: terlindunginya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Tujuan-tujuan ini kemudian dibagi ke dalam 3 tingkat hierarki kebutuhan (Zarqa dan Ulhaq dalam

Korayem & Mashhour (2014:5-6)), yaitu:

1) Necessities (necessary needs): terdiri dari semua hal dan aktivitas yang esensial dalam

pemeliharaan lima fondasi atau syarat yang diperlukan (maqashid syariah) untuk

membentuk individu dan kehidupan sosial yang baik berdasarkan Islam. Hal ini

membentuk subsistence level (tingkat dasar) dalam kehidupan. Contohnya adalah

mengambil protein/makanan dari sayur-sayuran (seperti beras di Indonesia, kacang-

kacangan di Mesir yang banyak digunakan oleh orang-orang miskin).

2) Convenience (convenience of sufficiency needs): terdiri dari semua hal dan aktivitas yang

tidak begitu vital terhadap pemeliharaan dari lima tujuan syariat, tetapi lebih pada bagian

untuk meringankan dan menghilangkan kesulitan dan kesukaran dalam kehidupan.

Terdiri dari semua hal yang meringankan beban atau yang memfasilitasi manusia dalam

melakukan tugas di dunia sebagai khalifatullah. Hal ini sebagaimana yang dipraktikkan

oleh Umar bin Khathab ra. yakni seperti: pemberian ransum makanan, uang pensions

yang mencukupi untuk orang-orang fakir, miskin, dan cacat. Sufficiency needs termasuk

juga dalam hal fasilitas publik yaitu kebutuhan akan masjid, perkantoran, jalan, pasar,

toko-toko, dll. Contohnya yang lain adalah mengambil protein/makanan dari hewan

(seperti daging ayam, daging sapi).

3) Refinements: mencakup semua hal yang melebihi batas dari conveniences/level

kebutuhannya lebih tinggi dari conveniences. Terdiri dari barang-barang yang sifatnya

hanya sebagai pelengkap, memperindah atau menghiasi kehidupan. Membentuk tingkat

kekayaan dan kebutuhan mewah. Contohnya adalah makan makanan mewah (seperti

kaviar, smoked salmon).

Rasool et al. (2011:127-128) mengajukan sebuah cara pengukuran baru yang disebut sebagai

Islamic Poverty Indicator (IPI) yang menggabungkan berbagai dimensi yang akan memberikan

pengaruh terhadap institusi Islam karena memberikan perspektif baru dalam mengukur kemiskinan

melalui perspektif mikro. Menggunakan index, IPI menggambarkan fenomena multi-dimensi dari

kemiskinan dengan lebih menyeluruh. Ini akan dapat mengupgrade pengukuran kemiskinan dari

perspektif Islam karena terdiri dari komponen moneter dan non-moneter dengan menggunakan

prinsip maqasid al-syariah. Berikut adalah Formula dari IPI:

Page 12: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

di mana Z1,Z2,...Zn adalah dimensi kesejahteraan, dan W1,W2,...Wn- adalah weightage (nilai

yang diberikan pada variabel-dimensi kesejahteraan-berdasarkan seberapa pentingnya atau

seberapa signifikannya itu).

Komponen-komponen dari IPI terdiri dari:

Gambar 2 Komponen Islamic Poverty Indicator

Religion, dianggap sebagai dimensi penting dari kebutuhan manusia terutama keyakinan

terkait dengan tauhid. Physical self adalah kebutuhan akan: tempat tinggal, pakaian, kesehatan,

dan transportasi. Knowledge sangat penting dalam pengembangan tingkat intelektualitas dan skill

dari seorang individu. Family atau offspring merupakan elemen terpenting dari kehidupan

manusia. Wealth acccumulation berhubungan dengan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan

dari kehidupan manusia. IPI akan menggabungkan komponen dari dimensi-dimensi ini

berdasarkan pendapat para cendekiawan dan para pakar.

Kajian yang paling mutakhir tentang pengukuran kemiskinan dalam Ekonomi Islam adalah

kajian yang dilakukan oleh cendekiawan asal Indonesia, yakni Irfan Syauqi Beik dan Laily Dwi

Arsyanti. Penelitian mereka berjudul “Construction of CIBEST Model as Measurement Of Poverty

and Welfare Indices from Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam jurnal Al-Iqthisad Vol

VII. No.1, Januari 2015. Alat ukur yang digunakan dalam studi tersebut didasarkan pada

kuadran CIBEST yang terbagi menjadi empat kuadran, yaitu : welfare quadrant (I), material

poverty quadrant (II), spiritual poverty quadrant (III), dan absolute poverty quadrant (IV).

Penetapan kuadran ini dibuat berdasarkan kriteria dan indikator kebutuhan dasar material dan

kebutuhan dasar spiritual. Dengan menggunakan rumah tangga sebagai unit analisis, penelitian

ini berhasil memformulasikan model CIBEST yang terdiri dari indeks kesejahteraan, indeks

kemiskinan material, indeks kemiskinan spiritual dan indeks kemiskinan absolut.

Gambar 3. Kuadran CIBEST

Sumber : Beik & Arsyianti (2015:87)

Pada gambar diatas, kuadran CIBEST dibagi menjadi empat kuadran. Kebutuhan material

ditunjukkan pada sumbu horizontal, sementara itu kebutuhan spiritual ditunjukkan den gan sumbu

vertikal. Tanda (+) pada sumbu horizontal mengindikasikan bahwa kebutuhan material rumah

tangga telah terpenuhi sedangkan tanda (-) mengindikasikan yang sebaliknya yang artinya rumah

Sumber : Rasool et al. (2011)

Page 13: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

tangga kekurangan kebutuhan material. Demikian pula pada sumbu vertikal di mana tanda (+)

menunjukkan terpenuhinya kebutuhan spiritual rumah tangga, dan tanda (-) menunjukkan

sebaliknya.

Model CIBEST yang berbasiskan pada CIBEST kuadran di atas terdiri dari empat index

yang diberi nama (1) welfare index, (2) material poverty index, (3) spiritual poverty index, dan (4)

absolute poverty index. Formula dari index-index tersebut adalah seperti di bawah ini :

di mana:

W = Welfare Index; 0 < W < 1

w = Jumlah dari rumah tangga yang makmur (yang kaya secara spiritual dan material)

N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

di mana:

Pm = Material Poverty Index; 0 < Pm < 1

Mp = Jumlah rumah tangga miksin secara material namun kaya secara spiritual

N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

di mana:

Ps = Spiritual Poverty Index; 0 < Ps < 1

Sp = Jumlah rumah tangga miksin secara spiritual namun kaya secara material

N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

di mana:

Pa = Absolute Poverty Index; 0 < Pa < 1

Ap = Jumlah rumah tangga yang miskin absolut (miskin material dan miskin s piritual)

N = Jumlah rumah tangga yang diobservasi

Namun, nilai dari w, Mp, Sp, dan Ap tidak dapat dihitung sampai kita mengetahui

standar/indikator yang menentukan kemiskinan material dan kemiskinan spiritual. Oleh sebab itu,

Beik & Arsyianti (2015:97) mengembangkan material line dan spiritual line. Material line sebagai

basis untuk memisahkan rumah tangga yang miskin secara material dengan rumah tangga yang

kaya secara material, sedangkan spiritual line sebagai basis untuk memisahkan rumah tangga yang

miskin secara spiritual dengan rumah tangga yang kaya secara spiritual . Material line (MV)

berasal dari standar minimal dari kebutuhan material, yang harus dipenuhi oleh rumah tangga.

Secara matematis MV dapat dilihat seperti di bawah ini:

di mana:

MV = standar minimum kebutuhan material (dalam Rp atau mata uang lokal)

Pi = harga dari barang dan jasa (dalam Rp atau mata uang lokal)

Mi = Jumlah minimal dari barang dan jasa yang dibutuhkan

Berdasarkan persamaan di atas, rumah tangga dikatakan miskin material ketika pendapatan

dari rumah tangga yang bersangkutan kurang dari nilai MV. Jika sebaliknya, rumah tangga

diklasifikasikan kaya secara material. Untuk spiritual line (SV) indikator yang digunakan adalah

seperti pada tabel 3.1 di bawah ini :

Page 14: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Tabel 1. Indikator Spiritual Line

Sumber : Beik & Arsyianti (2015)

Berdasarkan tabel 3.1 di atas, skala likert digunakan berkisar pada nilai 1 sampai 5. Nilai 1

menunjukkan indikator terburuk sedangkan nilai 5 menunjukkan kondisi terbaik. Standar spiritual,

yang memisahkan rumah tangga yang miskin secara spiritual dan kaya secara spiritual, bernilai

sama dengan 3. Atau secara matematis dapat ditulis menjadi:

di mana:

SV = garis absolut (standar) untuk kemiskinan spiritual.

Penentuan jumlah rumah tangga di masing-masing kuadran CIBEST didasarkan pada

kombinasi dari hasil standar MV dan standar SV. Mengkombinasikan semua nilai dari welfare

index, material poverty index, spiritual poverty index dan absolute poverty index, akan didapatkan

nilai total dari semua index-index tersebut sama dengan 1. Inilah yang disebut sebagai model

umum CIBEST :

Total penjumlahan dari semua indeks harus sama dengan satu. Index-index ini dapat

digunakan untuk melakukan pemetaan populasi, pada kuadran mana mayoritas populasi berada.

Hal ini akan membantu pemerintah untuk mendesain kebijakan strategis yang efektif untuk

dieksekusi. Di mana goal dari pemerintah ketika menggunakan model CIBEST ini adalah untuk

membuat kebijakan yang dapat mengarahkan masyarakat yang masih berada pada kuadran II, III,

IV menuju kuadran I yaitu welfare quadran.

SV=3

CIBEST Model = 1 = W + Pm + Ps + Pa

Page 15: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Dari literatur-literatur ilmiah yang telah dipublikasikan sejauh ini, hasil kajian terbaru

mengenai pengukuran kemiskinan dalam ekonomi Islam telah mencoba untuk mengintegrasikan

antara pengukuran kemiskinan material dan kemiskinan spirtiual. Namun berdasarkan Ridwan

(2011:30) kemiskinan dalam Islam juga mencakup ranah mental/psikis. Terlepas dari apakah ranah

mental/psikis itu termasuk dalam ranah spiritual atau terpisah, perlu kiranya kajian mengenai

pengukuran kemiskinan mental/psikis dikembangkan agar dapat mendapatkan gambaran yang

lebih komprehensif mengenai kondisi kemiskinan di suatu area melalui perspektif Islam.

D. KONSEP PENGENTASAN KEMIS KINAN DALAM EKONOMI ISLAM

Qaradhawi (2002) menggagas konsep pengentasan kemiskinan yang bertumpu pada

instrumen: (1) bekerja, (2) jaminan dari famili dekat yang mampu, (3) zakat, (4) jaminan negara

dari berbagai sumbernya, (5) hak-hak selain zakat, (6) derma suka rela/filantropi. Selain itu dalam

gagasannya Qaradhawi juga memberikan gagasan mengenai solusi untuk mengatasi hambatan bagi

orang fakir-miskin yang kesulitan untuk menjalankan aktivitas pengentasan kemiskinan dengan

bekerja. Qaradhawi mensyaratkan agar gagasan ini dapat bekerja maka masyarakat dan negara

harus menjalankan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Namun penulis beranggapan bahwa

sebenarnya kendati masyarakat dan negara belum menjalankan syariat Islam secara menyeluruh

konsep dari Qaradhawi masih dapat diimplementasikan meski tidak semuanya.

Pengimplementasian yang terhambat mungkin hanya dari segi jaminan negara dari segala

sumbernya, mengingat yang dimaksud Qaradhawi di sini adalah jaminan melalui perbehandaraan

negara yang memiliki sumber penghasilan seperti fa’i, ghanimah, jizyah yang saat ini mungkin

sudah tidak didapati lagi sumber perbehandaraan seperti itu.

Baidhawy (2009) menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan dapat dilakukan melalui 3 hal

pokok yakni merevitalisasi peran negara, menegakkan daulat masyarakat, dan penguatan institusi

keluarga. Negara menurut Baidhawy harus menegakkan keadilan ekonomi politik melalui

kerjasama multilateral, menyusun berbagai regulasi pro-masyarakat miskin dan pro-syariat yang

berhubungan dengan kegiatan perekonomian, menghidupkan tanah mati untuk dibuat lahan

pertanian atau usaha yang lain agar dapat menambah lapangan pekerjaan dan mendukung proses

pengentasan kemiskinan, menghentikan eksploitasi SDA demi kepentingan publik dan masyarakat

miskin. Kemudian menegakkan kedaulatan masyarakat melalui jalur politik, ekonomi, dan

kebudayaan. Serta yang tidak kalah penting adalah menguatkan institusi keluarga dengan

menanamkan nilai islami berupa sikap konsumsi sederhana dan proporsional.

Jawas (2013:6) dalam konsepnya kurang lebih identik dengan pemikiran Qaradhawy (2002).

Namun ada sedikit perbedaan di mana selain menekankan mengenai pentingnya wakaf produktif,

Jawas dalam pemikirannya lebih menekankan dan memperhatikan terhadap bagaimana sikap dan

tindakan yang harusnya dilakukan oleh orang-orang miskin agar dapat mengentaskan dirinya

sendiri dari kemiskinan dengan izin dari Allah Ta’ala dan melakukan hal-hal yang tidak berkaitan

langsung dengan kegiatan pengentasan kemiskinan yang penulis sebut sebagai “usaha rohaniah”

dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Usaha atau upaya ini ada yang dapat dilaksanakan oleh

orang miskin itu sendiri dan yang lainnya. Di antaranya usaha rohaniah tersebut adalah: (1)

Istighfar (meminta ampun kepada Allah) dan bertaubat kepada-Nya, dengan perkataan maupun

perbuatan; (2) Bertakwa kepada Allah; (3) Bertawakkal kepada Allah (4) Bersungguh-sungguh

dalam beribadah kepada Allah; (5) Melaksanakan haji dan umrah; (6) Menyambung silaturahim;

(7) Berinfak di jalan Allah; (8) Berinfak untuk para penuntut ilmu; (9) Menyambung Silaturahim;

(10) Hijrah di jalan Allah Ta’ala, dari negeri kafir ke negeri Islam; (11) Senantiasa berdo’a kepada

Allah memohon rezeki yang halal dan berlindung kepada Allah dari kefakiran; (12) Jujur, amanah,

dan menjauhi sifat malas; (13) Bersabar dan bersyukur; (14) Memiliki sifat qona’ah; (15) Tidak

menuruti hawa nafsu untuk berutang.

Ridwan & Ibrahim (2012) mempunyai fokus gagasan mengenai konsep pengentasan

kemiskinan yang sasarannya adalah anak-anak jalanan. Ridwan & Ibrahim memberikan contoh

pengentasan kemiskinan khususnya untuk mengatasi al-laqiit di masa khalifah Umar bin Khathab.

Pada masa Khalifah Umar dibentuk lembaga diwan yang concern terhadap hal ini yang menurut

Ridwan & Ibrahim lembaga diwan tersebut perlu diadakan karena saat ini di Indonesia masalah

anak jalanan yang sama prinsipnya dengan al-laqiit ini masih belum diatasi secara serius. Selain

itu, Ridwan & Ibrahim juga mengusulkan kegiatan takaful ijtima’i berupa inisiasi pihak

masyarakat untuk mengasuh dan merawat anak-anak jalanan yang diharapkan dapat mengatasi

problema ini dan diharapkan dapat berkontribusi mengurangi kemiskinan yang ada di sebuah

Page 16: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Indonesia. Terkait dengan takaful ijtima’i ini pemikiran Ridwan & Ibrahim identik deng an

pemikiran dari Haneef et al. (2015).

Haneef et al. (2015) memberikan sebuah konsep pengentasan kemiskinan melalui Integrated

Waqf-based Islamic Microfinance Model (IWIMM). Dana wakaf dari badan pengelola wakaf baik

itu dari pihak pemerintah ataupun masyarakat diserahkan pengelolaannya ke lembaga keuangan

mikro. Dari situ digunakan untuk melakukan program pembiayaan takaful (asuransi) bagi orang -

orang miskin yang mengusung semangat takaful ijtima’i. Selain itu digunakan untuk pembiayaan

proyek UMKM dan pengembangan SDM. Yang menarik dalam proses pembentukan model

tersebut Haneef et al. juga melakukan uji empiris menggunakan Confirmatory Factor Analysis

(CFA) sehingga model yang diusulkannya berdasarkan uji empiris tersebut memang benar-benar

dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan ketika diterapkan.

Selanjutnya Amuda & Embi (2013) dalam konsepnya menekankan pentingnya

pengintegrasian pengelolaan dana sosial dalam Islam di antara negara-negara Organisasi

Kerjasama Islam (OIC). Fokus dari gagasannya adalah tentang pengelolaan dana sosial dalam

Islam (Infak, Sedekah, Wakaf) melalui investasi untuk mengentaskan kemiskinan. Amuda & Embi

juga mengidentifikasi bidang mana saja yang saat ini jika dilakukan investasi di sana dapat

menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan secara efektif. Sektor-sektor yang

potensial saat ini adalah agrikultur, pendidikan, dan UMKM sehingga dana zakat yang terintegrasi

dari negara-negara OIC tersebut disarankan untuk diinvestasikan ke sektor tersebut agar

pengentasan kemiskinan berjalan efektif.

Sedikit berbeda dengan Amuda & Embi (2013), pemikiran dan konsep Hoque et al. (2015)

juga memfokuskan mengenai pengelolaan dana sosial dalam Islam dan pengelolaannya yang

dilakukan melalui investasi, hanya saja di sini Hoque et al. membahas mengenai dana zakat yang

merupakan kewajiban bagi umat muslim yang sangat berbeda dengan dana-dana sosial lain dalam

Islam. Di sini Hoque et al. memiliki visi yang sama dengan Amuda & Embi (2013) mengenai

pentingnya penguatan dan koordinasi terutama dalam urusan pengelolaan dana sosial dalam Islam

di antara negara-negara OIC. Dana zakat yang terkumpul dan terintegrasi tersebut digunakan untuk

melakukan investasi pembiayaan kepada para mustahiq yang telah diseleksi. Seleksi tersebut

mengharuskan mustahiq yang terpilih sebagai mitra pembiayaan memiliki kemauan dan potensi

kemampuan untuk dapat melakukan wirausaha. Setelah itu Hoque et al. mengusulkan konsep

melalui sebuah model pengembangan kewirausahaan yang melalui 5 tahap: (1) Pengumpulan dan a

oleh Pemerintah/NGO; (2) Seleksi kandidat mustahiq yang potensial; (3) Pelatihan SDM; (4)

Evaluasi menggunakan Kirkpatrick training evaluation taxonomy; (5) mustahiq yang lolos hasil

evaluasi dapat mendirikan usaha dengan dibiayai dana zakat. Model ini d iusulkan untuk

memastikan bahwa usaha yang dilakukan oleh para mustahiq tadi berhasil sehingga pengentasan

kemiskinan akan berjalan efektif.

E. PENGENTASAN KEMIS KINAN DI INDONES IA

Kondisi Umum

Setelah Penasbede pada orde lama, pada orde baru hingga saat ini cukup banyak program-

program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh pemerintahan Republik

Indonesia. Pemerintah mengganti dan mengembangkan kebijakan pengentasan kemiskinan sesuai

dengan era jabatan Presiden. Secara ringkas kebijakan penanggulangan kemiskinan mulai dari era

Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebagai berikut (Prihatini dalam

Multifiah, 2011:19):

1. Era Presiden Soekarno :

a. Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun (Penasbede)

2. Era Presiden Soeharto :

a. Repelita I – IV melalui program Sektoral & Regional

b. Repelita IV – V melalui program Inpres Desa Tertinggal

c. Program Pembangunan Keluarga Sejahtera

d. Program Kesejahteraan Sosial

e. Tabungan Keluarga Sejahtera

f. Kredit Usaha Keluarga Sejahtera

g. GN-OTA

h. Kredit Usaha Tani

3. Era Presiden Habibie :

a. Jaring Pengaman Sosial

Page 17: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

b. Program Penanggulangan Kemiskinan & Perkotaan

c. Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal

d. Program Pengembangan Kecamatan

4. Era Presiden Gusdur :

a. Jaring Pengaman Sosial

b. Kredit Ketahanan Pangan

c. Program Penangggulangan Kemiskinan & Perkotaan

5. Era Presiden Megawati:

a. Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan

b. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

6. Era Presiden SBY :

a. Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

b. Bantuan Langsung Tunai

c. Program Pengembangan Kecamatan

d. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

e. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Selain program-program di atas telah dibuat juga Strategi Nasional Penanggulangan

Kemiskinan (SNPK) yang kemudian diintegrasi menjadi dokumen Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009; 2010-2014; 2015-2019; dan Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN).

Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah (Era Presiden Joko Widodo)

Di era Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh yaitu Presiden Joko Widodo yang pada

saat tulisan ini ditulis masih menjabat, program pengentasan kemiskinan yang diadakan oleh

pemerintah masih meneruskan program pengentasan kemiskinan dari era Presiden sebelumnya,

yang juga berpedoman pada RPJP Nasional, RPJMN, dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

(Pemerintah Republik Indonesia, 2016:II-5).

Berdasarkan RPJMN 2015-2019, sesuai amanat RPJP Nasional 2005-2025 dan

mempertimbangkan tingginya tingkat ketimpangan dan pola penurunan tingkat kemiskinan selama

ini, permasalahannya, serta tantangan yang akan dihadapi dalam lima tahun mendatang (2015-

2019), maka sasaran utama pembangunan yang ditetapkan dalam bidang Pemerataan dan

Penanggulangan Kemiskinan adalah (BAPPENAS, 2014:1- 67) :

1. Menurunnya tingkat kemiskinan pada kisaran 7 – 8 persen pada akhir 2019.

2. Mengupayakan penurunan tingkat ketimpangan pada akhir tahun 2019 sekitar 0,36, agar

pendapatan penduduk 40,0 persen terbawah meningkat, dan beban penduduk miskin

berkurang.

Sejak era SBY-Boediono pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

(TKPKD). TNP2K merupakan tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat

untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan. Sedangkan TPKD merupakan tim

lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten kota untuk

melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan di masing-masing daerah yang bersangkutan

(TNP2K, 2011:4-8). TNP2K dan TPKD dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada tahun

2015 pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyesuaikan

keanggotaan TNP2K demi memperlancar tugas dan operasional TNP2K.

TNP2K saat ini merupakan “pasukan khusus” dari kompi pemerintahan yang menjadi ujung

tombak pengentasan kemiskinan di Indonesia. TNP2K mempunyai tugas pokok untuk: (1)

Menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (2) Melakukan sinergi melalui

sinkronisasi, harmonisasi dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan di

kementerian/lembaga; (3) Melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan program dan

kegiatan penanggulangan kemiskinan. Saat ini untuk melaksanakan tugas pokok dan demi

menunjang penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan mewujudkan percepatan

penanggulangan kemiskinan di Indonesia, TNP2K telah merumuskan empat strategi utama.

Strategi-strategi penanggulangan kemiskinan tersebut di antaranya adalah :

1. Memperbaiki program perlindungan sosial;

2. Meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar;

3. Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin; serta

Page 18: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

4. Menciptakan pembangunan yang inklusif.

Pengentasan Kemiskinan yang dilakukan oleh Swasta

Di Indonesia selain pihak Pemerintah yang aktif dalam melakukan pengentasan kemiskinan,

pihak swasta dari masyarakat maupun korporasi-korporasi juga turut serta dalam tindak

pengentasan kemiskinan. Jika dilihat dari pihak masyarakat, selain karena adanya dorongan dari

Pemerintah untuk turut serta melakukan pengentasan kemiskinan, pergerakan masyarakat juga

sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan nilai-nilai kearifan lokal serta agama yang telah ada

sejak sebelum berdirinya Republik ini. Sedangkan dari pihak korporasi sebagaimana disebutkan

oleh Asy’ari (2009:49) kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada

Chief Executive Officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan

visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran tentang moral bisnis yang berwajah

manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak.

Sebaliknya, jika orientasi CEOnya hanya pada kepentingan kepuasan shareholders (produktivitas

tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, maka boleh jadi

kebijakan CSR hanya sekedar kosmetik dan pemenuhan mandatory saja.

Saat ini beberapa jenis kegiatan pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh sektor swasta

adalah:

1. Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)

Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau dalam bahasa Inggris disebut Public Private

Partnership adalah mekanisme pembiayaan alternatif dalam pengadaan pelayanan publik yang

telah digunakan secara luas di berbagai negara khususnya negara maju. Hingga kini KPS diuji dan

digunakan lebih sering pada infrastruktur keras (listrik, pelabuhan, jalan, dan lain -lain)

dibandingkan dengan sektor sektor sosial seperti kesehatan dan pendidikan. (Aid for Development

Effectiveness Secretariat, 2012). Di Indonesia sendiri KPS sosial pada tahun-tahun sebelumnya

belum pernah diadakan hingga tahun 2015, dan itupun berdasarkan Public Private Partnerships

Book 2015 (BAPPENAS 2015) hanya ada satu yaitu di bidang kesehatan. Proyek tersebut adalah

pembangunan DKI Jakarta Sewage Treatment Plant (Pabrik Pengolahan Limbah) yang

dilaksanakan pada 2015 yang bertujuan untuk membuat dan meningkatkan sistem pembuangan

limbah padat dan sanitasi di daerah tersebut.

2. Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan

Wibisono (2007) dalam Widokarti (2014:19) menjelaskan bahwa Tanggung jawab sosial yang

dilakukan oleh perusahaan dibagi menjadi 3 model, yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan

atau organisasi sosial perusahaan, dan bermitra dengan pihak lain. Adapun bentuknya sebagai

berikut : Pertama, melalui grant (hibah), yaitu bantuan dana tanpa ikatan yang diberikan oleh

perusahaan untuk membangun investasi sosial. Kedua, melalui award (penghargaan), yaitu

pemberian bantuan oleh perusahaan kepada sasaran yang dianggap berjasa bagi masyarakat

banyak dan lingkungan usahanya. Biasanya penghargaan dalam bentuk sertifikat dan sejumlah

uang kepada perorangan atau institusi atau panti yang diselenggarakan secara berkelanjutan dan

dalam waktu tertentu. Ketiga, melalui Community Funds (Dana Komunikasi Lokal), yaitu bantuan

dana atau dalam bentuk lain bagi komunitas untuk meningkatkan kualitas di bid angnya secara

berkesinambungan.

3. Kegiatan Organisasi Non-Profit/Filantropi/Charity

Kehadiran organisasi atau lembaga filantropi seolah-olah menjawab kejumudan program

pemerintah yang sifatnya temporer. Banyak diantara penggiat filantropi adalah mereka yang

menempati jabatan strategis, berlimang harta namun ‘haus’ akan kenikmatan hubungan sosial

kemasyarakatan. Kebutuhan sosial inilah yang diwujudkan dalam aksi-aksi filantropi (Abidin,

2012:198). Bentuk dari filantropi di Indonesia banyak seperti filantropi yang berlabel sektarian

agama, pluralis, multi national corporates (MNC), keluarga, dan lain-lain.

F. SINTESIS TEORITIS

Sintesis berdasarkan pada Kamus Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Bahasa Indonesia

2008:1357) memiliki arti paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan

kesatuan yang selaras. Secara estimologis, sintesis berasal dari bahasa Yunani syn-tithenai yang

dapat diartikan dengan meletakkan atau menempatkan. Selain itu, sintesis juga dapat diartikan

sebagai: 1) kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren; 2) komposisi atau

kombinasi dari bagian-bagian atau elemen-elemen untuk membentuk satu bentuk yang utuh; 3)

Page 19: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

kombinasi elemen-elemen dari perasaan atau pemikiran menjadi satu kesatuan (Merriam-Webster

Dictionary dalam Rahmat et al., 2011:9; Merriam-Webster Inc., 2007).

Lebih lanjut diterangkan oleh Cooper et al. (2009:6) bahwa sintesis penelitian adalah :

“the conjunction of a particular set of literature review characteristics. Most definitional

about research syntheses are their primary focus and goal: research syntheses attempt to

integrate empirical research for the purpose of creating generalizations. ….Also, research

syntheses almost always pay attention to relevant theories, critically analyze the research

they cover, try to resolve conflicts in the literature, and attempt to identify central issues for

future research.”

Jadi, sintesis penelitian merupakan penggabungan dari beberapa bagian khusus yang ada

pada penelitian-penelitian sebelumnya untuk kemudian dilakukan generalisasi atasnya. Kemudian

sintesis penelitian juga memperhatikan mengenai isu-isu sentral yang perlu diperhatikan untuk

digunakan dalam pembahasan sebuah penelitian di masa depan.

Untuk proses sintesis dalam penelitian ini sendiri terdiri dari tiga tahap yang mengacu pada

Pound & Campbell (2015) yaitu:

(1) Synthesis preparation : Ekstrasi dari konsep/teori yang terkait dengan penelitian;

penjelasan mengenai konsep/teori yang ada dan relevan dengan tujuan penelitian;

kemudian membuat ringkasan atasnya

(2) Synthesis : mengkomparasi masing-masing konsep/teori; mengkomparasi konsep/teori

yang ada dengan menampilkannya berdasarkan poin konvergensi (persamaannya) dan

divergensi (perbedaannya)

(3) Syinthesis refinement : Analisis lebih dalam terhadap produk dari proses Synthesis (2),

tujuannya adalah untuk membuat interpretasi baru atau pengembangan konseptual. Ini

menurut Pound & Campbell bisa juga disebut sebagai sintesis lines-of-argument (LOA).

Proses ini mempunyai potensi untuk dapat memunculkan sebuah hasil akhir yang lebih

baik dibandungkan bahan-bahan yang menjadi bagiannya.

Untuk tahap (1) synthesis preparation telah dilakukan pada bab sebelumnya. Maka 2

tahapan lainnya akan dibahas pada bagian berikutnya di bab ini.

Selanjutnya akan dillakukan proses synthesis dengan menampilkan komparasi mengenai

konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam melalui sebuah matriks. Sebelum

melakukan input pada matriks konsep pengentasan kemisikinan dalam Ekonomi Islam (Lampiran

5), dibuat terlebih dahulu proposisi model mengenai konsep pengentasan kemiskinan dalam

Ekonomi Islam berdasarkan pada uraian di bab “D” dengan intepretasi dari penulis. Hal ini

bertujuan agar lebih mudah memahami konsep-konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi

Islam tersebut dan sebagai salah satu bentuk dari iteration (repetisi dari proses review) yang

merupakan bagian dari proses sintesis (Barnett-Page & Thomas, 2009:12). Proposisi-proposisi

tersebut ada pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4. Setelah melakukan penguraian dan komparasi antar

konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam tersebut, maka dilakukan sintesis atas

konsep-konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam tersebut melalui sebuah model pada

gambar yang terdapat di lampiran 6.

Lampiran 6 menunjukkan bagaimana konsep pengentasan kemiskinan secara umum yang ada

di dalam kajian-kajian ekonomi Islam sampai dengan saat ini. Islam sebgaimana yang terurai di

dalam bab “C” memandang sebuah kemiskinan sebagai suatu masalah yang multi-dimensi, jauh

sebelum ekonomi konvensional modern yang ada saat ini mencetuskan dan mempopulerkan hal

tersebut. Dalam Ekonomi Islam dimensi-dimensi tersebut mencakup dimensi rohani dan jasmani.

Maka dari itu untuk mengentaskan kemiskinan dalam ekonomi Islam upaya-upaya multi-dimensi

juga perlu dilakukan. Tidak hanya upaya mengatasi kemiskinan material saja (jasmani), n amun

perlu juga mengatasi kemiskinan spiritual (rohani) karena kehidupan di dunia ini hanya temporer

dan yang menjadi tujuan utama bagi semua umat Islam adalah menuju surga dan terhindar dari api

neraka di negeri akhirat yang kekal nanti. Itu pula yang menjadi tujuan utama pengentasan

kemiskinan dalam ekonomi Islam yang masuk dalam urusan dunia dan diatur dalam sistem

ekonomi Islam, tujuannya adalah falah atau mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ada sebuah syarat yang harus dipenuhi agar konsep pengentasan kemiskinan di dalam

Ekonomi Islam dapat menjadi solusi konkrit dan efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan,

yakni: Pertama, Konsep pengentasan kemiskinan di dalam Ekonomi islam dapat dibagi

berdasarkan pelakunya, yakni individu (orang miskin itu sendiri), masyarakat, dan pemerintah.

Pengentasan kemiskinan yang dilakukan dalam Islam kesemuanya haruslah berjalan beriringan

Page 20: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

dengan usaha rohaniah. Usaha rohaniah (gambar lampiran 6 lingkaran no. I) yang dimaksudkan di

sini adalah usaha-usaha yang tidak berkaitan langsung dengan Pengentasan kemiskinan seperti

bekerja, menjalankan program pemberdayaan, mengumpulkan dan menyalurkan/mendistribusikan

harta dari golongan orang-orang kaya ke golongan orang-orang papa.

Usaha Rohaniah ini harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat mulai dari individu

sampai dengan pemerintah. Selain diharapkan agar usaha rohaniah ini berdampak positif terhadap

upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, usaha rohaniyah ini juga diharapkan dapat

digunakan sebagai alat untuk mengatasi kemiskinan spiritual dan mencapai kesejahteraan hakiki di

akhirat nanti. Usaha-usaha rohaniah tersebut yakni: : (1) Istighfar (meminta ampun kepada Allah)

dan bertaubat kepada-Nya, dengan perkataan maupun perbuatan; (2) Bertakwa kepada Allah; (3)

Bertawakkal kepada Allah (4) Bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah; (5)

Melaksanakan haji dan umrah; (6) Menyambung silaturahim; (7) Bersedekah di jalan Allah; (8)

Bersedekah untuk para penuntut ilmu; (9) Menyambung Silaturahim; (10) Hijrah di jalan Allah

Ta’ala, dari negeri kafir ke negeri Islam; (11) Senantiasa berdo’a kepada Allah memohon rezeki

yang halal dan berlindung kepada Allah dari kefakiran; (12) Jujur, amanah, dan menjauhi sifat

malas; (13) Bersabar dan bersyukur; (14) Memiliki sifat qona’ah; (15) Tidak menuruti hawa nafsu

untuk konsumsi secara berlebih-lebihan.

Kedua, usaha-usaha yang berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan (gambar yang

berada pada lampiran 6 lingkaran no. II) kesemuanya itu haruslah dilandasi oleh ukhuwah

Islamiyah atau yang secara bahasa dapat diartikan sebagai persaudaraan Islam. Ukhuwah

Islamiyah menurut Al-Qudhat dalam Rahayuningsih (2005:14) merupakan merupakan suatu ikatan

akidah yang dapat menyatukan hati semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka

berjauhan, bahasa dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu di umat Islam senantiasa

terikat antara satu sama lainnya, membentuk suatu bangunan umat yang kokoh. Lebih dari itu

menurut Shihab (2011:243) ukhwuah Islamiyah dapat diartikan sebagai ukhuwah yang bersifat

Islami dan diajarkan oleh agama Islam, di dalamnya sudah termasuk ukhuwah

basyariyah/insaaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ukhuwah khalqiyah (persaudaraan

semakhluk).

Di antara manifestasi ukhwah Islamiyah menurut Al-Banna (2007) adalah takaful yang

berarti saling menanggung beban dan puncaknya adalah itsar yakni mendahulukan kepentingan

saudaranya. Ukhuwah Islamiyah menjamin lestarinya lingkungan dan alam sebagai wujud

ukhuwah khalqiyah (Persaudaraan antar makhluq). Selain itu, Ukhuwah Islamiyah juga menjamin

terjaganya kehormatan dan terpenuhinya kebutuhan dasar umat non -Islam sebagai wujud dari

ukhuwah insaniyah dan manifestasi rahmatan lil ‘aalamin agama Islam. Allah berfirman :

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang -orang yang tidak

memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:8)

“Sesungguhnya Allah hanya melarangmu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang -

orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung

halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan

mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah:9)

Allah melalui ayat al-Qur’an di atas mengajarkan prinsip toleransi yaitu hendaklah setiap

muslim berbuat baik pada lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama. Ibnu

Katsir menyatakan bahwa Allah tidak melarang umat muslim berbuat baik kepada non muslim

yang tidak memerangi umat muslim seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di

antara mereka. Hendaknya kita berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yan g berbuat

adil (Katsir, 2003h:142).

Nabi Muhammad Saw. ketika membuat Piagam Madinah yakni perjanjian tertulis untuk

mengatur kehidupan sosial politik komunitas Islam dan non Islam, menggunakan kata ummat

(umat) dalam dua pengertian. Pada pasal 1 dinyatakan bahwa orang-orang mukmin-muslim adalah

umat yang satu, tidak termasuk golongan lain. Penggunaan kata ummat di sini bersifat eksklusif

dan dasarnya adalah "persaudaraan seagama." Tapi pada pasal 25 dinyatakan bahwa kaum Yahudi

dan sekutunya (kaum musyrik dan munafik) adalah satu umat bersama orang-orang mukmin.

Penggunaan kata ummat di sini bersifat inklusif dan dasarnya adalah 'persaudaraan sosial dan

kemanusiaan, al-ukhuwah al-ijtima'iyah waal-insaniyah (Hamidah, 2015:328). Artinya,

berdasarkan uraian-uraian di atas dalam mengentaskan kemiskinan Islam tidak memandang suku,

Page 21: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

agama, dan ras seseorang karena dalam Islam Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan

menjadi rahmat bagi alam semesta dan seisinya.

Ukhuwah Islamiyah sendiri juga menjadi spesial dikarenakan borderless, tidak memandang

warna kulit, dan dalam menjaga serta mempererat ikatan persaudaraan itu semata-mata hanya

mengharapkan keridaan Allah semata. Maka dalam tindakan pengentasan kemiskinan yang

dilakukan oleh para pelaku pengentasan kemiskinan tersebut tidak terdapat motif untuk mencari

keuntungan duniawi sebagaimana di dalam ekonomi modern di mana pengentasan kemiskinan

baru mendapat perhatian lebih di abad millenium ini.

Menurut Shoimuddin (2011:37-40) ukhuwah mempunyai syarat dan pilar yang tanpanya

maka keutamaan-keutamaan dari ukhuwah tidak akan didapatkan. Diantara syarat dan pilar itu

adalah : (1) Ikhlas mengharapkan ridho Allah; (2) Dilandaksan keimanan dan ketaqwaan; (3)

Berprinsip saling menasihati karena Allah; (4) Saling tolong menolong dalam kesenangan dan

kesusahan. Maka dari itu, untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah yang kokoh diperlukan

keimanan dan ketaatan yang kuat terhadap Allah. Untuk meningkatkan keimanan dan ketaatan

pada Allah yang nantinya akan berimplikasi pada kuatnya Ukhuwah Islamiyah maka tindakan

yang perlu dilakukan di sini haruslah bermula dan dilaksanakan oleh tiap individu muslim.

Sebagaimana menurut Abdullah Gymnastiar dalam Murtini (2010:95) yang menyatakan bahwa

suatu kebaikan harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu dengan “3M”, yakni Mulai dari diri

sendiri, Mulai dari yang terkecil, dan Mulai saat ini.

Hal di atas selaras dengan Pasiak (2007) yang menyatakan berdasarkan surat Ar-Ra’du ayat

11 bahwa untuk membuat sebuah perubahan besar haruslah dimulai dari sendiri, ketika diri sendiri

sudah berubah menjadi lebih baik maka sunnatullah akan berlaku, lingkungan dan bangsa (kaum

individu tersebut) juga akan berubah menjadi lebih baik. Dalam hal ini jika tiap individu secara

sadar menerapkan syarat dan pilar ukhuwah di atas tanpa perlu nyinyir terhadap orang lain maka

niscaya ukhuwah Islamiyah akan menjadi kuat dan konsep pengentasan kemiskinan yang ada

dalam ekonomi Islam dapat mengeluarkan seluruh potensinya. Kemudian selanjutnya adalah

penjelasan usaha-usaha pengentasan kemiskinan di dalam sistem ekonomi Islam yang dijabarkan

berdasarkan subyek pengentaskan kemiskinan (yang ada pada lampiran 6 lingkaran no. II).

Pemerintah sebagai pelaku pengentasan kemiskinan

Pemerintah yang dalam konteks kekinian adalah negara memiliki tanggung jawab utama

dalam mengatasi masalah kemiskinan. Dalam Al-Qur’an terdapat surat yang bernama al-balad

yang secara bahasa dapat diartikan sebagai negeri, kota. Pada surat al-balad ini utamanya pada

ayat 10 sampai 14 Allah memberikan petunjuk tentang peran negara berupa tanggung jawab dalam

mengentaskan kemiskinan. Ayat surat al-balad 10-14 tersebut berbunyi :

10. “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)”

11. “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar?”

12. “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?”

13. “(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),”

14. “atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan”

Pada ayat 10-11 Allah menunjukkan kepada manusia melalui utusan-utusanNya dua jalan,

yakni jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Tetapi manusia tidak mengambil jalan yang mendaki

dan sukar yang sejatinya adalah jalan menuju kebajikan yang dijelaskan Allah pada ayat

berikutnya. Jalan kebajikan tersebut yang juga sebenarnya merupakan petunjuk dari Allah

mengenai peran sebuah pemerintah di sebuah negeri (balad) adalah melepaskan perbudakan,

memberi makan pada hari terjadi kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat,

kepada orang miskin yang berada dalam puncak penderitaan, kemudian beriman dan saling

berpesan untuk bersabar dan berkasih sayang.

Melepaskan perbudakan atau memerdekakan budak (ayat 13), maknanya adalah segala jenis

perbudakan yang ada. Segala jenis dominasi serta intimidasi satu individu atau kelompok terhadap

individu atau kelompok yang lainnya. Jika dilihat pada saat ini, perbudakan dapat bermakna

penjajahan yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara yang lain. Selain itu dapat bermakna

penentuan upah yang dilakukan oleh perusahaan terhadap buruh yang tidak proporsional dan

semena-mena, eksploitasi asing atas sumber daya alam yang berdampak merugikan negara dan

kepentingan umum. Kesemuanya itu, harus dapat dimerdekakan untuk menjamin kesejahteraan

masyarakat dan tereradikasinya kemiskinan.

Peran negara yang lain dalam surat al-balad adalah memberi makan pada hari terjadi

kelaparan (ayat 14). Yaumi dzin masghobah di sini menurut terjemahan Al-Qur’an bahasa

Page 22: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Indonesia artinya adalah hari kelaparan (Anonim, 2010:594). Hari kelaparan di sini dapat

dimaknai sebagai krisis ekonomi yang terjadi di dunia modern, di mana inflasi melangit, banyak

perusahaan gulung tikar, pengangguran merajalela, dan jumlah orang -orang miskin dan papa

karena hal itu menjadi membludak. Sehingga, kebutuhan dasar berupa makanan pun tidak dapat

terpenuhi. Di sinilah negara yang harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

Dalam sejarah Islam, pernah suatu ketika kota Madinah yang dip impin oleh ‘Umar bin

Khathab menghadapi krisis dan banyak sekali masyarakat kelaparan. ‘Umar sebagai pucuk

pimpinan umat Muslim nomor wahid kala itu bahkan sampai rela hanya memakan sedikit tepung

dan minyak, sampai-sampai tubuhnya sangat kurus dan menjadi berwarna kuning, hal itu

dilakukan dalam rangka menghemat dan memberikan jatah makanannya (memberi makan pada

hari kelaparan) sebagai khalifah ke rakyat lain yang masih kelaparan (Katsir, 2012). Dari ayat

Qur’an dan sekelumit kisah lampau itu dapat dipastikan bahwasanya negara memang wa jib

menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, lebih-lebih apabila sebuah krisis terjadi.

Selanjutnya, berdasarkan hasil sintesis, maka usaha lain yang dapat dilakukan oleh negara

dalam rangka bertanggung jawab untuk mengatasi kemiskinan adalah :

a) Menjalin kerjasama antar negara Organisasi Kerjasama Islam (OIC)

Dalam konteks saat ini di mana kekhalifahan Islam tidak ada dan negara-negara dengan

penduduk mayoritas beragama Islam terpisahkan secara dzahir oleh batas-batas teritorial

dan doktrin nasionalisme yang menurut Al-Attas merupakan strategi musuh-musuh Islam

untuk memecah belah Islam, maka Ukhuwah Islamiyah haruslah tetap terjaga untuk

menjalankan ajaran Islam khususnya untuk menyejahterakan umat dan memerangi

kemiskinan umat.

Adanya Organisasi Kerjasama Islam (OIC) merupakan hal yang sangat urgen untuk saat

ini. Di antara kerjasama yang dapat di bangun antar negara-negara anggota OIC untuk

mengentaskan kemiskinan adalah kerjasama dalam bidang politik ekonomi. Selain itu,

hal yang dapat dilakukan agar pengentasan kemiskinan dapat berjalan dengan lebih

efektif adalah pengintegrasian dana sosial antar negara OIC. Karena di negara manapun

umat Islam berada tetaplah terikat dengan ukhuwah Islamiyah. Dana yang diintegrasikan

tersebut dapat disalurkan sesuai dengan kesepakatan untuk mengentaskan kemiskinan di

negara-negara OIC.

b) Memanfaatkan perbendaharaan negara

Perbendaharaan negara (Baitul Maal) dalam Islam dipandang sebagai kepemilikan umat

yang dikelola untuk kemaslahatan umat, baik dikelola sendiri, disewakan, atau dikelola

bersama pihak lain. Di antara perbendaharaan negara dalam Islam yang diperuntukkan

dan dapat digunakan untuk kegiatan pengentasan kemiskinan adalah: Wakaf; 20% harta

rampasan perang (ghanimah); harta rampasan yang didapat tanpa melalui peperangan

(fa’i); pajak bumi (Kharaj); atau pungutan lainnya merupakan hak bagi orang-orang yang

kekurangan; Pajak perkapita yang dipungut dari kafir dzimmi yang kaya (Jizyah); Aset

negara berupa kas, logistik, dan SDA yang dapat dimanfaatkan dan dikelola khusus untuk

kepentingan orang miskin, pemerintah dapat juga menghidupkan tanah mati (ihya’ al-

mawaat) untuk diproduktifkan kembali yang hasilnya diperuntukkan bagi orang miskin;

Pajak/pungutan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang miskin, hal ini dapat

dilakukan oleh pemerintah apabila perbendaharaan negara memang benar-benar sudah

tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin.

c) Menyusun regulasi pro-syari’at

Yang dimaksud dengan syari’at di sini adalah syari’at yang berhubungan dengan

pengentasan kemiskinan. Diantaranya adalah regulasi untuk mewajibkan penunaian zakat

dan kewajiban-kewajiban lain selain zakat; larangan riba; larangan melakukan distorsi

terhadap pasar; pengaturan hukum waris; dan kemudian pemberian punishment bagi yang

melanggarnya. Khalifah Abu Bakar As Shidiq bahkan pada masa kekhalifahannya sampai

memerangi orang-orang mampu yang tidak mau membayar zakat, sikap tegas dari

khalifah yang terkenal kelembutannya pada masalah ini menjadi titik tekan bagaimana

pentingnya permasalahan ini. Pada zaman saat ini sikap tegas semacam ini bagi pelanggar

regulasi yang mendukung pengentasan kemiskinan patut diterapkan walaupun tak harus

sama persis (dengan peperangan). Karena pada saat ini potensi dari zakat saja jumlahnya

sangat besar, namun realisasi perwujudan dana tersebut kecil sekali.

Selain pemberian punishment yang dilakukan pemerintah, perlu juga adanya regulasi

yang berhubungan dengan strategi pendidikan masyarakat dan sosialisasi terkait masalah

Page 23: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

ini. Pemerintah wajib juga memberikan edukasi mengenai pentingnya pemenuhan

syari’at-syari’at wajib yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan kepada seluruh

elemen masyarakat terutama para muzakki.

Pemerintah harusnya juga menjadi pionir utama penegakan hukum di sebuah negara.

Selain melakukan edukasi (amar ma’ruf) penegakan hukum sesuai dengan regulasi yang

dibuat (nahy munkar) haruslah dilakukan tanpa pandang bulu. Jika pihak pemerintah

termasuk pegawai-pegawai pemerintah menjadi tauladan dalam pelaksanaan regulasi

yang mereka susun sendiri tersebut maka niscaya regulasi tersebut juga akan berjalan

dengan baik.

d) Menjaga sumber daya alam (SDA) untuk publik

Pada hakikatnya SDA yang dimiliki oleh negara adalah milik Allah yang pemanfaatannya

diberikan kepada manusia untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia agar

manusia mampu beribadah kepada Allah. Dalam pengelolaan SDA dalam Islam Negara

dapat membuat batasan pemanfaatan, waktu penggunaan, dan hukuman bagi

penyalahgunaan SDA. Nabi Muhammad Saw misalnya, sebagai pemimpin pada

zamannya telah menasionalisasi sumber daya alam dan lingkungan seperti hutan, air dan

rumput sehingga SDA tersebut dapat diakses seluruh masyarakat.

e) Pembentukan lembaga pemerintah yang khusus menangani masalah kemiskinan

Pembentukan sebuah lembaga atau badan khusus untuk menangani masalah kemiskinan

sangat penting. Hal ini agar terdapat pihak dari pemerintah yang fokus menyelesaikan

masalah kemiskinan. Sebagai contoh pada masa Khalifah Umar bin Khathab beliau

membentu lembaga diwan yang memiliki tugas untuk menjalankan sensus penduduk.

Berdasarkan data dari sensus tersebut, pemerintah membuat bantuan tahunan yang

diberikan kepada golongan yang memerlukan.

f) Melakukan kerjasama dengan pihak non-pemerintah

Pemerintah perlu juga menjalin kerjasama dengan pihak-pihak non-pemerintah yang

memiliki visi yang sama untuk mengentaskan kemiskinan, baik itu pihak masyarakat

maupun perusahaan. Bentuk kerjasama yang penting dalam hal pengelolaan dana sosial

Islam adalah integrasi antara badan amil yang dimiliki oleh pemerintah dengan amil yang

ada di masyarakat. Dalam proses edukasi dan pengumpulan dana pemerintah dapat

memanfaatkan masyarakat. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang ada dapat juga

dimanfaatkan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui di dalam sejarah banyak sahabat -

sahabat nabi yang berprofesi sebagai pengusaha dan mempunyai perusahaan, dan

sumbangsih mereka sangat besar dalam Islam terutama dalam hal pendanaan.

Masyarakat sebagai pelaku pengentasan kemiskinan

Peran kolektif masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan dalam Ekonomi Islam sangat

besar. Di sinilah lingkup di mana urgensi ukhuwah Islamiyah bermula. Dalam sejarah, terutama

yang dilakoni oleh para sahabat Nabi Muhammad saw., peran masyarakat sangat dominan dan

bahkan bisa menentukan jalannya sebuah peperangan. Berikut dibawah ini usaha-usaha yang dapat

dilakukan oleh masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan:

a) Memenuhi kebutuhan famili

Islam telah menjadikan antar anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi.

Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Yang kuat membantu yang lemah.

Yang kaya mencukupi yang miskin. Yang mampu memperkuat yang tidak mampu.

Hubungan persaudaraan Islam, faktor kasih sayang, cinta mencintai, dan saling

membantu adalah ikatan yang kokoh, karena mereka merupakan satu keluarga dan

kerabat yang lebih berhak diutamakan. Anggota keluarga terhadap keluarganya

mempunyai hak (kewajiban) yang lebih banyak daripada terhadap orang lain, karena

adanya ikatan nasasb dan keluarga. Kewajiban tersebut berarti pemberian bantuan dan

nafkah kepada keluarga yang tidak mampu. Bahkan dalam Islam sedekah yang paling

utama adalah kepada keluarga, saudara, dan sanak famili yang terdekat. Sebagaimana

sabda Nabi saw.: “Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah dan sedekah kepada

kerabat mendapat dua: sedekah dan menyambung kekerabatan.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i,

Ibnu Majah, dan Darimi).

b) Menunaikan zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan komponen utama konsep

pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam. Zakat sifatnya wajib dibebankan kepada

Page 24: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

orang-orang muslim yang mampu. Golongan fakir dan miskin diutamakan dalam

penyaluran zakat di banding golongan-golongan yang lainnya sebagaimana perintah Nabi

saw. kepada Mu’adz bin Jabal ra. ketika ia ditugaskan ke Yaman untuk memungut zakat

dari orang-orang kaya yang kemudian harus dibagikan kepada orang-orang fakir dari

kalangan mereka juga. Rasulullah saw. bersabda: “...Sesungguhnya Allah telah

mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka

lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka...” (HR. Bukhari).

Zakat bisa dikatakan sebagai pengaturan sistemik yang melandasi jaminan sosial. Ia tidak

hanya mengandalkan pada sumbangan suka rela individual, tapi dilaksanakan melalui

koordinasi pemerintah secara terencana dan teratur. Sebuah kerjasama yang tujuan

akhirnya adalah menjamin kebutuhan semua orang yang memerlukan bantuan.

Kebutuhan tersebut menyangkut kebutuhan pangan, sandang, papan, dan semua jenis

kebutuhan hidup lainnya. Baik kebutuhan itu menyangkut pribadi atau orang yang dalam

tanggung jawabnya (keluarga). Pemberian zakat tidak hanya terbatas pada masyarakat

muslim, tapi juga mencakup semua anggota masyarkat yang hidup di bawah naungan

negara, baik mereka Yahudi atau Kristen.

c) Menunaikan kewajiban selain zakat

Selain zakat ada hal-hal yang wajib dipenuhi oleh seorang muslim, karena berbagai sebab

dan hubungan. Kesemuanya itu merupakan sumber dana bantuan bagi orang -orang fakir

dan miskin dan merupakan sumber kekuatan untuk mengentaskan kemiskin an. Di

antaranya adalah: Hak bertetangga; Kurban hari raya haji (‘Idul Adha); Kaffarat sumpah;

Kaffarat Dzihar; Kaffarat karena bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan; Fidyah orang

yang lanjut usia dan wanita hamil serta menyusui yang tidak sanggup berpua sa

Ramadhan; Kewajiban membagikan tanaman pada saat panen; Kewajiban mencukupi

fakir miskin.

Kewajiban mencukupi fakir miskin merupakan kewajiban yang paling utama, Nabi

Muhammad saw. bersabda: “Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya.

Karena itu, janganlah berlaku zhalim kepadanya dan jangan membiarkan terlantar” (HR.

Bukhari). Yang dimaksyd “jangan membiarkan ia terlantar” ialah janganlah bersikap

dingin dan acuh tak acuh terhadap derita, kesulitan, dan bahaya yang sedang mengancam

seorang muslim, tanpa melakukan usaha dan bantuan untuk mengatasinya. Kemudian

Rasulullah saw. juga bersabda: “Orang-orang yang membantu kebutuhan para janda dan

orang-orang miskin kedudukannya seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR.

Bukhari, dan Muslim). Di mana kita ketahui jihad merupakan amalan yang agung di

dalam ajaran Islam.

d) Melaksanakan sedekah sukarela

Seorang muslim adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka

mendermakan lebih dari apa yang diminta. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak

diminta. Ia suka bersedekah (memberikan infak) di kala senang maupun susah, pada

waktu siang maupun malam, secara diam-diam (sembunyi-sembunyi) maupun secara

terang-terangan. Orang yang berakhlak mulia itu mencintai orang lain, lebih dari dirinya

sendiri. Bahkan ia rela mengalahkan dirinya, kendati dirinya dalam keadaan susah (itsar)

yang merupakan puncak dari ukhuwah Islamiyah. Ini dilakukan karena seorang muslim

telah menyadari bahwa harta itu tidak lebih hanya sebagai suatu alat untuk b ersedekah

dan berbuat baik dengan sesama manusia, bukan suatu tujuan. Mereka melakukan ini

semua semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharap rida Allah dan pahala-Nya.

Bukan karena mereka mabuk pujian, sanjungan, atau kepopuleran, dan bukan pula karena

takut adanya hukuman dari pihak penguasa. Dan hal ini sangat didorong dalam Islam

dengan banyaknya nash-nash yang menganjurkan untuk melakukan hal ini.

e) Membangun bisnis dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan

Berbisnis merupakan sesuatu yang mubah dan akan menyumbangkan banyak benefit

terhadap pengentasan kemiskinan jika dilakukan sesuai dengan koridor syariat. Dalam

konteks pengentasan kemiskinan masyarakat yang membangun sebuah bisnis mestilah

memperhatikan eksternalitas dari adanya bisnis tersebut terhadap lingkungan sosial dan

alam. Ini juga merupakan pengejewantahan Ukhuwah Islamiyah. Bisnis yang

bertanggung jawab sosial dan lingkungan selain dapat meningkatkan kualitas hidup

individu-individu yang dipekerjakan secara jasmani dan rohani juga menjaga kelestarian

SDA dengan tidak melakukan eksploitasi dan tetap menjaga keberlanjutannya.

Page 25: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

f) Menunaikan wakaf

Wakaf merupakan amal jariyah dan bentuk sedekah yang spesifik. Jika sedekah biasa

semisal memberi makan orang miskin maka ketika makanan itu telah habis , maka habis

juga manfaat dari sedekah tersebut. Sedangkan wakaf, akan terus langgeng terus menerus

sepanjang masa selama sesuatu yang diwakafkan tersebut (tanah, perkebunan, al-Qur’an)

ada.

Dari Ibnu ‘Umar ra., ia menuturkan bahwa ayahnya (‘Umar bin al-Khathab) ketika

mendapat sebidang tanah dari perkampungan Khaibar, ia bertanya kepada Rasulullah

saw., “Ya Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar, dan selama ini

saya tidak pernah mendapat kekayaan yang lebih daripada ini, apa perintah en gkau

kepadaku dengan tanah itu?” Kemudian Nabi saw. menjawab, “Bila engkau suka,

tahanlah pokoknya, dan engkau sedekahkan dia (wakafkan)”. Lalu ‘Umar melaksanakan

perintah Nabi saw. tersebut. Ia menyedekahkan tanah itu, dengan ketentuan tidak boleh

dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Diwakafkan (disediakan)

untuk kepentingan orang-orang fakir miskin dan kaum kerabatnya, untuk keperluan

memerdekakan budak, untuk (jihad) di jalan Allah, ibnu sabil (musafir yang kehabisan

bekal) dan para tamu. Adapun orang-orang yang mengurusnya diperbolehkan mengambil

bagiannya dengan cara yang patut, serta menikmatinya dengan tidak berlebih -lebihan”

(HR. Bukhari dan Muslim).

Dari situ dapat dilihat bahwasanya wakaf memang diperuntukkan bagi orang -orang

miskin. Akan menjadi lebih bermanfaat lagi ketika orang-orang yang mengelola wakaf

tersebut juga merupakan orang miskin itu sendiri, ini akan menimbulkan dampak positif

yang lebih besar terhadap pengentasan kemiskinan.

Individu sebagai pelaku pengentasan kemiskinan

Individu yang dimaksud disini adalah orang miskin itu sendiri. Seorang yang miskin

mempunyai peran sentral dan utama dalam mengentaskan kemiskinan dalam Ekonomi Islam. Dan

bekerja merupakan alat paling utama dalam mengentaskan kemiskinan. Islam sangat mendorong

seorang Muslim untuk bekerja apapun selama itu halal. Allah dalam Al-Qur’an memerintahkan

untuk mencari rizki-Nya di dunia, dan bekerja adalah bentuk dari mencari rizki Allah di muka

bumi. Bahkan bekerja termasuk ibadah yang mulia dan pahalanya disejajarkan dengan jihad di

jalan Allah sebagaimana sebuah hadits: dari Abu Hurairah yang berkata, “Tatkala kami duduk-

duduk di sisi Rasulullah tiba-tiba ada seorang pemuda yang keluar dari jalan bukit. Ketika kami

memperhatikannya maka kamipun berkata, ‘Kalau saja pemuda ini menggunakan kekuatan dan

masa mudanya untuk jihad di jalan Allah?!’ Apa yang kami ucapkan ternyata didengar oleh

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliaupun berkata, ‘Memangnya jihad di jalan Allah

itu hanya yang terbunuh (dalam perang) saja? Siapa yang bekerja untuk menghidupi orang tuanya

maka dia di jalan Allah, siapa yang berkerja menghidupi keluarganya maka dia di jalan Allah, tapi

siapa yang bekerja untuk bermewah-mewahan (memperbanyak harta) maka dia di jalan thaghut.’”

(HR. Thabarani).

Di sisi lain dari segi masyarakat Islam secara umum merupakan tanggung jawab untuk

bekerja sama dalam mengatasi segala rintangan agar terwujud kesejahteraan hidup, termasuk di

dalamnya saling membantu dan mendorong seseorang un tuk bekerja dengan mengusahakan

terbukanya lapangan kerja; perburuhan, perusahaan, perdagangan, industri, dll. Ini semua adalah

kewajiban bersama (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Bila sebagian telah melaksanakannya,

lepaslah dosa dan tanggung jawab seluruh umat. Tetapi, bila tidak ada seorangpun yang

melaksanakannya seluruh umat memikul dosanya, khususnya pemerintah (ulil amri) dan orang-

orang kaya.

Perlu digaris bawahi bahwa Pengentasan kemiskinan di dalam ekonomi Islam yang menjadi

orientasinya adalah akhirat, maka yang menjadi perhatian utama adalah proses dalam kegiatan

pengentasan kemiskinan itu baik yang dilakukan oleh individu (orang miskin itu sendiri),

masyarakat, dan pemerintah. Para pelaku pengentasan kemiskinan terutama pihak individu mesti

menyadari betul hal ini, apabila segala daya dan upaya telah dilakukan untuk mengentaskan

kemiskinan dengan bekerja dan berusaha namun hasil akhir tidak seperti yang diharapkan maka

harus tetap optimis dan percaya bahwasanya Allah tidak akan mencabut nyawa seorang hamba

sampai telah sempurna rizki yang diberikan Allah kepada hamba tersebut, sebagaimana hadits dari

Nabi Muhammad saw. “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah di

dalam mencari (rezeki), karena sesungguhnya setiap yang yang bernyawa tidak akan pernah mati

Page 26: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

sampai dia menyempurnakan rezekinya, meskipun kadang terlambat datang untuknya, maka

bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rezeki), (yaitu) ambillah apa

yang telah dihalalkan tinggalkanlah apa yang telah diharamkan” (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits tersebut dapat kita pahami bahwasanya seseorang tidak akan dicabut nyawanya

sampai sempurna rizki yang Allah berikan kepadanya. Apabila nafas masih dikandung badan

artinya rizki seseorang masih belum sempurna dan masih ada potensi yang tak terhingga, tinggal

menunggu kita untuk menjemputnya. Di lain sisi beberapa kali terjadi ada seseorang sampai

dicabut nyawanya masih tetap dalam keadaan miskin meskipun telah melakukan usaha dan bekerja

keras untuk mengentaskan kemiskinan pada dirinya sendiri dan keluarganya, itu bukanlah

merupakan suatu yang hina. Seseorang itu justru mendapat pahala dan ganjaran yang besar karena

telah mendapat pahala yang besar dari Allah melalui upaya dan amal dunia yang telah ia lakukan

tersebut. Dan kesuksesan hakiki dari sebuah upaya seorang muslim, tidaklah dinilai di dunia

melainkan di nilai di akhirat. Seseorang dikatakan sukses apabila telah memasuki surga-Nya.

Namun, optimisme dan semangat untuk mengentaskan diri sendiri dan orang lain dari

kemiskinan harus tetap ada karena Allah Ta’ala berfiriman:

“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan

dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak

merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan

apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat

menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S Ar-Ra’du:13)

Melalui ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa selama seseorang itu berusaha dan bekerja

keras pasti Allah akan memberikan hasil yang setimpal. Sunnatullah telah menetapkan terhadap

semua makhluk, bahwa rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah

disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan, kesemuanya itu tidak akan dapat

dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Allah pasti akan

memberikan rezeki kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi sebagaimana

firmannya juga di dalam Al-Quran surat Al-Mulk ayat 15 dan Al-Jumu’ah ayat 10. Barangsiapa

berjalan di muka bumi ini sambil mengharapkan karunia dan rezeki Allah, niscaya ia termasuk

orang-orang yang berhak menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-

malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia dari Allah.

Demikianlah konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam secara umum. Allah

Ta’alaa berfirman

Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri Akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah

kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada

orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat

kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan” (QS.

Al-Qasas: 77)

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan manusia agar memanfaatkan nikmat dunia yang

Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akhirat. Lalu Allah juga menjelaskan agar jangan

melupakan bagian kita dari dunia. Ini menunjukkan meskipun sama-sama penting namun porsi

akhirat lebih penting jika dibandingkan dengan dunia. Selanjutnya Allah berfirman:

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah

kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat)

Pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam adalah salah satu bentuk ibadah yang

dilakukan oleh individu, masyarakat, dan pemerintah. Yang tujuan dan ganjaran hakikinya dalam

beribadah ada di akhirat. Maka dalam proses mengentaskan kemiskinan dalam ekonomi Islam

orientasinya lebih kepada proses dibandingkan hasil. Di mana harus berupaya secara bersungguh -

sungguh kemudian hasilnya diserahkan kepada Allah. Jika proses telah dilakukan secara baik

dengan melakukan upaya jasmaniah dan rohaniah maka niscaya falah akan didapatkan.

Relevansi Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam dengan Pengentasan

Kemiskinan di Indonesia

Pengentasan kemiskinan di Indonesia dilandaskan pada konstitusi Negara Kesatuan Republik

Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pancasila yang merupakan dasar

negara Indonesia. Pancasila pada sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima

“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” jelas menghendaki kesejahteraan bagi rakyat

Page 27: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

dengan adanya pembangunan yang merata serta terentaskannya rakyat Indonesia dari jerat

kemiskinan. Kemudian landasan pada UUD 1945 terdapat pada bagian preambule (pembukaan)

UUD 1945 pada paragraf ke-4 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

2011) yang berbunyi:

“...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”

Selain itu, Bab XIV UUD 1945 yang terdiri dari pasal 33 & 34 secara khusus memberikan

perhatian terhadap usaha pengentasan kemiskinan, Pasal 33 & 34 UUD 1945 berbunyi :

• Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang -undang.

• Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan s osial bagi seluruh rakyat dan

memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya, akan dibahas bagaimana pengentasan kemiskinan di Indonesia serta

relevansinya dengan konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam mengacu pada kajian

di bab V dan sintesis di sub bab 6.1. Berikut pembahasannya:

1. Dari sisi pemerintah selaku subyek pengentasan kemiskinan, saat ini kerjasama

multilateral dengan negara-negara OIC secara ekonomi masih belum optimal. Alih-alih

pengintegrasian dana sosial untuk mengentaskan kemiskinan, bentuk kerjasama Indonesia

dengan negara-negara OIC dalam perdagangan antar negara saja saat ini masih sangat

rendah (Hidayat 2016). Tetapi, kerjasama yang telah terjadi patut diapresiasi, terlebih

yang baru-baru ini terjadi yaitu deklarasi Jakarta yang merupakan bentuk Ukhuwah

Islamiyah dan peran Indonesia yang secara tidak langsung memiliki implikasi dalam

pengentasan kemiskinan di dunia Islam.

2. Dalam pemanfaatan perbendaharaan negara untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesa,

Pemerintahan Indonesia saat ini telah cukup baik secara konsep dalam menanggulangi

kemiskinan. Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi dalam APBN tahun 2016

menunjukkan bahwa fungsi perlindungan sosial mendapatkan peringkat ke-3 teratas

dalam jumlah total APBN, sejumlah 158,1 Triliun Rupiah (Pemerintah Republik

Indonesia, 2016b). Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menanggulangi

kemiskinan di Indonesia.

3. Kemudian dalam penyusunan regulasi pro-syariat yang berhubungan langsung dengan

pengentasan kemiskinan, untuk pemberian sanksi yang tegas bagi pelanggar syari’at

tersebut seperti melanggar zakat, Pemerintah masih terlihat hanya melaksanakan sisi

amar ma’ruf namun belum sampai pada nahy munkar. Sebagai contoh terkait regulasi-

regulasi yang mengatur tentang zakat yang ada saat ini8 masih belum terlihat ada sanksi

tegas yang diberlakukan bagi orang-orang yang tidak menunaikan zakat.

4. Semangat untuk menjaga Sumber Daya Alam yang dilakukan oleh Pemerintah di

Indonesia sudah sangat jelas, sebagaimana yang teratur dalam konstitusi khususnya UUD

8 1. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2011 dan Penjelasan UU no.23 tahun 2011; 2 . Peraturan Pemerintah RI Nomor

14 Tahun 2014; 3. Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2014

Page 28: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.”. Di antara contoh lain adalah adanya Undang -Undang nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam Undang-undang tersebut

pemerintah berusaha pro-rakyat dengan lebih mempersempit lagi ruang gerak korporasi-

korporasi yang menguasai mineral dan batu bara di Indonesia untuk mengeruk SDA demi

kepentingan privat. Selain itu pemerintah juga telah berkomitmen untuk melaksanakan

gerakan global Sustainable Development Goals (SDG).

5. Di Indonesia sudah terdapat lembaga khusus untuk menangani masalah pengentasan

kemiskinan yaitu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

TNP2K merupakan tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat

untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan. TNP2K mempunyai tugas

pokok untuk: (1) Menyusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (2)

Melakukan sinergi melalui sinkronisasi, harmonisasi dan integrasi program-program

penanggulangan kemiskinan di kementerian/lembaga; (3) Melakukan pengawasan dan

pengendalian pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

6. Pemerintah Indonesia telah menjalin kerjasama dengan pihak swasta dalam pengentasan

kemiskinan, diantaranya dilakukan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta

(KPS), Corporate Social Responsibility (CSR), dan kerjasama dengan Organisasi Non-

Profit/Filantropi/Charity. Selain itu, dalam pengintegrasian dana zakat pemerintah juga

telah berhasil melaksanakan kerjasama berupa integrasi pengelolaan zakat yang dilakukan

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dari pihak

swasta.

7. Dari segi masyarakat, penerapan konsep pengentasan kemiskinan di Indonesia menjadi

terbantu dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama

Islam. Namun, ada hal yang cukup miris terjadi yakni, di Indonesia pada tahun 2011

diperkirakan potensi dana zakat yang terkumpul adalah 217 Triliun Rupiah, namun

kenyataannya dana yang terkumpul hanya 1,7 Triliun Rupiah.Selain itu, informasi World

Bank (2014a) menunjukkan kendati tiap tahun tingkat kemiskinan di Indonesia semakin

berkurang, namun tingkat ketimpangan semakin bertambah. Indonesia memiliki tingkat

ketimpangan tertinggi di kawasan Asia Timur, dengan naiknya koefisien Gini dari 0,32

pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012, ini mengindikasikan distribusi kekayaan di antara

orang-orang miskin dan kaya masih belum berjalan dengan baik yang artinya adalah

nilai-nilai dalam ajaran Islam untuk mendorong distribusi kekayaan menjadi lebih adil

dan merata masih belum diterapkan secara optimal. Serta, implementasi dari konsep

ekonomi kekeluargaan berdasarkan konstitusi yang ada pada UUD 1945 Bab XIV yang

diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah masih tidak efektif dan tidak mampu

mengatasi masalah kemiskinan.

Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa konsep pengentasan kemiskinan

dalam Ekonomi Islam relevan dengan Pengentasan kemiskinan di Indonesia. Jika dilihat melalui

visi dan strategi pembangunan yang ada sebenarnya Indonesia telah on the right track untuk

mengatasi kemiskinan baik itu dari segi jasmani maupun rohani dan linier dengan cita -cita Islam

untuk menyejahterakan dan memelihara alam semesta dan seisinya. Akan tetapi masih ada

beberapa kekurangan terutama dalam pengimplementasian visi dan strategi tersebut, terutama pada

sisi penysunan regulasi pro-syariat yang masih kurang memberikan sanksi tegas terhadap para

pelanggar syariat. Salah satu akibatnya, dapat dilihat dari jumlah zakat yang terkumpul di

Indonesia hanya 0.7 % dari total potensi szakat yang ada. Padahal jika potensi zakat sejumlah 217

triliun rupiah tersebut terealisasi dengan nyata, maka dana zakat tersebut sebenarnya bisa untuk

mengcover Belanja Negara pada fungsi Perlindungan Sosial yang hanya sebesar 158.1 triliun

rupiah. Kemudian hal ini juga menunjukkan masih kurang kuatnya ikatan Ukhuwah Islamiyah

yang merupakan landasan pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam di Indonesia yang

selaras dengan Bab XIV UUD 1945.

Konsep pengentasan kemiskinan di dalam Islam satu paket dengan pengukuran kemiskinan

dalam ekonomi Islam. Saat ini Pemerintah Indonesia masih belum secara khusus menggunakan

standar Islam dalam melakukan pengukuran kemiskinan. Tentu saja hal ini berimplikasi terhadap

strategi-strategi pengentasan kemiskinan pemerintah dan implementasinya yang menyebabkan

potensi konsep pengentasan kemiskinan dalam ekonomi Islam untuk menjadi solusi atas

permasalahan kemiskinan dan wasilah pencapaian falah menjadi tidak maksimal.

Page 29: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

G. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya yang membahas mengenai

konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam dan relevansinya dengan pengentasan

kemiskinan di Indonesia, maka kesimpulan dan saran penelitian dari penelitian ini ad alah sebagai

berikut:

Kesimpulan

1. Ekonomi Islam memandang sebuah kemiskinan sebagai suatu masalah yang multi-dimensi.

2. Dimensi-dimensi tersebut mencakup dimensi rohani dan jasmani. Maka dari itu untuk

mengentaskan kemiskinan dalam ekonomi Islam upaya-upaya multi-dimensi juga perlu

dilakukan. Tidak hanya upaya mengatasi kemiskinan material saja (jasmani), namun perlu juga

mengatasi kemiskinan spiritual (rohani).

3. Tujuan dari pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam adalah untuk menggapai falah

(Kebahagiaan di dunia dan di akhirat)

4. Konsep pengentasan kemiskinan di dalam Ekonomi islam dapat dibagi berdasarkan pelakunya,

yakni individu (orang miskin itu sendiri), masyarakat, dan pemerintah.

5. Ada sebuah syarat yang harus dipenuhi agar konsep pengentasan kemiskinan di dalam

Ekonomi Islam dapat menjadi solusi konkrit dan efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan,

yakni: (1) Pengentasan kemiskinan yang dilakukan dalam Islam kesemuanya haruslah berjalan

beriringan dengan usaha rohaniah. (2) Untuk melakukan pengentasan kemiskinan di dalam

ekonomi Islam haruslah dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah.

6. Secara umum dapat dikatakan bahwa konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam

relevan dengan Pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Saran

1. Dari literatur-literatur ilmiah yang telah dipublikasikan sejauh ini, hasil kajian terbaru

mengenai pengukuran kemiskinan dalam ekonomi Islam telah mencoba untuk

mengintegrasikan antara pengukuran kemiskinan material dan kemiskinan spirtiual. Namun

berdasarkan Ridwan (2011:30) kemiskinan dalam Islam juga mencakup ranah mental/psikis.

Terlepas dari apakah ranah mental/psikis itu termasuk dalam ranah spiritual atau terpisah, perlu

kiranya kajian mengenai pengukuran kemiskinan mental/psikis dikembangkan agar dapat

mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai kondisi kemiskinan di suatu area

melalui perspektif Islam.

2. Bagi penelitian-penelitian terapan terkait dengan pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi

Islam yang akan dilakukan di masa depan adalah untuk melakukan pengujian terhadap konse p

ini. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara menjadikan konsep dalam penelitian ini

menjadi variabel-variabel yang dapat mewakili konsep tersebut, Sebagaimana yang dilakukan

oleh Haneef et al. (2015) yang melakukan pengujian terhadap konsep wakaf men ggunakan

teknik Confirmatory Factor Analysis (CFA).

3. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan kembali dan melakukan refleksi terhadap visi

pembangunan Indonesia yang diantara tujuannya adalah untuk membentuk manusia yang

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan evaluasi tentang pemaknaan dan

pengukuran kemiskinan yang selama ini digunakan. Tidak ada salahnya menjadi out-of-the

box, dengan menerapkan metode pengukuran kemiskinan yang sesuai dengan Ekonomi Islam.

Selain itu, pada saat ini metode mengenai pengukuran kemiskinan dalam Islam yang terbaru

justru ditemukan oleh cendekiawan Indonesia yakni Beik & Arsyianti (2015) dengan CIBEST-

nya. Tidak ada salahnya melakukan penerapan metode pengukuran tersebut sebagaima na

langkah Buthan yang menerapkan Gross National Happiness (GNH).

Page 30: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., 2012. Manifestasi dan Latensi Lembaga Filantropi Islam dalam Praktik Pemberdayaan

Masyarakat: Suatu studi di Rumah Zakat Kota Malang. Jurnal Studi Masyarakat Islam,

15(2), pp.197–214. Available at:

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/1630.

Adinugraha, H.H., 2013. Norma dan Nilai dalam Ilmu Ekonomi Islam. Media Ekonomi dan

Teknologi Informasi, 21, pp.49–59.

Aid for Development Effectiveness Secretariat, 2012. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)

Pembiayaan KPS Infrastruktur dan Kesesuaiannya pada KPS Sosial , Jakarta.

Al-Attas, S.M.N., 1978. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic

Thought and Civilzation (ISTAC). Available at: http://www.getcited.org/pub/102125437.

Al-Banna, H., 2007. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin , Jakarta: Era Adicitra Intermedia.

Amuda, Y.J. & Embi, N.A.C., 2013. Alleviation of Poverty among OIC Countries through Sadaqat

, Cash Waqf and Public Funding. International Journal of Trade, Economics, and Finance ,

4(6).

Anonim, 2010. Al Qur’an: Terjemah dan Tafsir Per Kata , Bandung: Jabal.

Antonio, M.S., 2014. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik , Jakarta: Gema Insani Press.

Asy’ari, H., 2009. Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Modal Sosial

Pada PT Newmont. Universitas Diponegoro.

Babbie, E., 2013. The Practice of Social Research, Thirteenth Edition, International Edition,

Wadsworth: Cengage Learning.

Baidhawy, Z., 2009. Teologi Neo Al-Ma’un: Manifesto Islam Menghadapi Globalisasi Kemiskinan

Abad 21, Jogjakarta: Civil Islamic Institute.

BAPPENAS, 2015. Public Private Partnerships Infrastrutucture Projects Plan in Indonesia 2015 ,

Jakarta: BAPPENAS.

BAPPENAS, 2014. Rencana Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku II Agenda

Pembangunan Bidang, Indonesia.

Barnett-Page, E. & Thomas, J., 2009. Methods for the synthesis of qualitative research: a critical

review, London.

Beik, I.S. & Arsyianti, L.D., 2015. Construction of CIBEST Model as Measurement of Poverty

and Welfare Indices From Islamic Perspective. Al-Iqtishad: Journal of Islamic Economics,

7(1).

Bordens, K.S. & Abbott, B.B., 2005. Research Design and Methods: A Process Aprroach , New

York: McGraw-Hill.

Cooper, H., Hedges, L. V & Valentine, J.C., 2009. The Handbook of Research Synthesis and

Meta-Analysis, New York: Russell Sage Foundation.

Fathurrahman, A., 2010. Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di Indonesia

(Telaah atas Teori Kontruksi Fiqh Klasik). Al-Mawarid, XI(1), pp.1–16.

Güner, O., 2005. Poverty in Traditional Islamic Thought : Is it Virtue or Captivity ? Studies in

Islam and the Middle East [SIME] Journal , 2(1).

Hakim, L., 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Penerbit Erlangga.

Hamidah, 2015. Al-Ukhuwah Al-Ijtima’iyah wa Al-Insaniyah: Kajian terhadap Pluralisme Agama

dan Kerjasama Kemanusiaan. Intizar, 21(2), pp.321–341.

Page 31: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Haneef, M.A. et al., 2015. Integration of waqf-Islamic microfinance model for poverty reduction.

International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management , 8(2),

pp.246–270.

Hassan, M.K., 2010. an Integrated Poverty Alleviation Model Combining Zakat , Awqaf and

Micro-Finance. The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy, (1), pp.261–281.

Hoetoro, A., 2007. Ekonomi Islam Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi , Malang:

Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Hoque, N., Khan, M.A. & Mohammad, K.D., 2015. Poverty alleviation by Zakah in a transitional

economy : a small business entrepreneurial framework. Journal of Global Entrepreneurship

Research (2015), 5(7), pp.1–20.

Ibrahim, S., 2007. Kemiskinan dalam Perspektif Al-Qur’an, Malang: UIN-Malang Press.

Jawas, Y. bin A.Q., 2013. Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Bogor: Pustaka At-Taqwa.

Jurusan Ilmu Ekonomi, 2013. Buku Pedoman Skripsi, Malang: Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Katsir, I., 2003a. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003b. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003c. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003d. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003e. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003f. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2003g. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Katsir, I., 2012. Umar bin Khaththab Radhiallahu ’Anhu A. Sami, ed., Jakarta: Perisai Qur’an.

Kementrian Sekretariat Negara, 2013. Kajian Kebijakan - Penguatan Peran Pemerintah Daerah

dalam Percepatan Pengentasan Kemiskinan , Jakarta.

Korayem, K. & Mashhour, N., 2014. Poverty in Secular and Islamic Economics;

Conceptualization and Poverty Alleviation Policy, with Reference to Egypt. Middle Eastern

and African Economies, 15(2).

Merriam-Webster Inc., 2007. Merriam-Webster Electronic Dictionary.

Multifiah, 2011. Telaah Kritis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Tinjauan Konstitusi.

Journal of Indonesian Applied Economics, 5(1), pp.1–27. Available at:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=259609&val=7037&tit le=TELAAH

KRITIS KEBIJAKAN PENANGGULAN KEMISKINAN DALAM TINJAUAN

KONSTITUSI.

Murtini, 2010. Konsep Manajemen Qalbu menurut Abdullah Gymnastiar Relevansinya dengan

Tujuan Pendidikan Islam. IAIN Walisongo.

Nazir, M., 2011. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.

Pasiak, T., 2007. Brain Management for Self Improvement , Bandung: Mizan.

Peerzade, S.A., 1997. The Definition and Measurement of Poverty: An Integrated Islamic

Approach. The Pakistan Development Review, 36(1). Available at:

http://www.pide.org.pk/pdf/PDR/1997/Volume1/87-97.pdf.

Pemerintah Republik Indonesia, 2016. Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017 , Indonesia.

Page 32: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Pew Research Center, 2015. The Future of World Religions: Population Growth Projections,

2010-2050”. , p.245.

Pound, P. & Campbell, R., 2015. Exploring the feasibility of theory synthesis: A worked example

in the field of health related risk-taking. Social Science and Medicine, 124, pp.57–65.

Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.socscimed.2014.11.029.

Purwana, A.E., 2014. Kesejahteraan dalam Perspektif Ekonomi Islam. Justicia Islamica: Jurnal

Kajian Hukum dan Sosial, 11.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008. Ekonomi Islam, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Qaradhawi, Y., 2009. Fiqh Al Zakah (Volume II) , Jeddah: Scientific Publishing Centre King

Abdulaziz University.

Qaradhawi, Y., 2002. Teologi Kemiskinan: Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem

Kemiskinan, Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Rahayuningsih, Y., 2005. Konsep Ukhuwah Islamiah dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan

Sikap Sosial Anak . IAIN Walisongo Semarang.

Rahmat, A. et al., 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan S. Akhadiah & W. D. Listyasari, eds., Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Rasool, M.S.A. et al., 2011. Poverty measurement in Malaysian zakat institutions: A theoretical

survey. Jurnal Ekonomi Malaysia, 45(1), pp.123–129.

Rasool, M.S.A., Shalleh, A.M. & Harun, M.F.M., 2012. Poverty Measurement by Islamic

Institutions. International Journal of Social, Behavioral, Educational, Economic, Business,

and Industrial Engineering, 6(5), pp.489–491.

Ridwan, A.M., 2011. Geliat Ekonomi Islam: Memangkas Kemiskinan, Mendorong Perubahan ,

Malang: UIN-Maliki Press.

Ridwan, B.R. & Ibrahim, I.A., 2012. Ahkam al-Laqit: Konsep Islam dalam Menangani Anak

Jalanan di Indonesia. Jurnal TSAQAFAH, 8(2).

Rivai, V. & Buchari, A., 2013. Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi!,

Jakarta: Bumi Aksara.

Sakti, A., 2007. Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern , PARADIGMA &

AQSA Publishing.

Shihab, M.Q., 2011. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Tangerang: Penerbit Lentera Hati.

Shoimuddin, 2011. Ukhuwwah dalam Perspektif Al Qur’an . UIN Syarif Hidayatullah.

Suma, M.A., 2015. Tafsir Ayat Ekonomi: Teks, Terjemah, dan Tafsir, Jakarta: Amzah.

Suyanto, B., 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya, Malang: Intrans Publishing.

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

TNP2K, 2011. Percepatan Penanggulangan Kemiskinan , Jakarta: TNP2K.

Widokarti, J.R., 2014. Masalah Dasar Pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) di

Indonesia. In Border and Development International Conference (BDIC) . Pontianak:

Universitas Terbuka, pp. 1–25.

World Bank, 2014a. Menurunkan Ketimpangan di Indonesia. Available at:

http://www.worldbank.org/in/country/indonesia/brief/reducing-inequality-in-indonesia

[Accessed February 24, 2016].

Page 33: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

World Bank, 2014b. Poverty Overview. Poverty. Available at:

http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/overview [Accessed January 1, 2015].

Page 34: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

LAMPIRAN 1. Model Qaradhawi (2002)

Sumber : Qaradhawi (2002) diolah

Page 35: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

LAMPIRAN 2. Model Baidhawy (2009)

Sumber : Baidhawy (2009) diolah

Page 36: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

LAMPIRAN 3. Model Jawas (2013)

Sumber : Jawas (2013) diolah

Page 37: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

LAMPIRAN 4. Model Ridwan & Ibrahim (2012); Amuda & Embi (2013); Hoque et al. (2015); Haneef et al. (2015)

Sumber : Ridwan & Ibrahim (2012); Amuda & Embi (2013); Hoque et al. (2015); Haneef et al. (2015) diolah

Page 38: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

LAMPIRAN 5. Matriks konsep pengentasan kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Konsep

Pengentasan

Kemiskinan

Qaradhawi

(2002)

Baidhawy

(2009) Jawas (2013)

Ridwan &

Ibrahim (2012)

Amuda & Embi

(2013)

Hoque et al.

(2015)

Haneef et al.

(2015)

Pelaku

adalah

individu

Bekerja Penguatan

institusi keluarga

dengan

menanamkan

dan

mempraktekan

sikap konsumsi

yang sederhana dan proporsional

• Bekerja dan berusaha

• Melakulan usaha rohaniah

Pelaku

adalah Masyarakat

• Jaminan dari famili dekat yang mampu

• Zakat

• Hak-hak selain zakat

• Derma suka

rela/filantropi

• Politik : dengan deliberasi

kolektif dan kontrak politik

• Ekonomi : dengan

filantropi sosial, menyuarakan

hak dan mengadvokasi orang miskin,

• Mencukupi famili yang miskin,

• zakat dan berbagai jenisnya,

• Kewajiban

memenuhi hak-hak selain zakat,

• Sedekah suka rela/filantropi

• Takaful ijtima’i

• Berinisiatif mengasuh

anak-anak jalanan/miskin

• Pengentasan kemiskinan melalui

penguatan pengelolaan sedekah,

wakaf, dan pendanaan publik.

• Pengelolaan zakat yang digunakan

untuk kegiatan produktif melalui

pembiayaan UMKM

• Model pengembanga

n kewirausahaan yang

• Pengelolaan dana wakaf/sedekah

diserahkan kepada Lembaga

Keuangan (LKS) (Channeling).

• LKS kemudian mengelola dana tersebut untuk kemudian

Page 39: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

membangun

bisnis dengan tanggung jawab sosial

dan lingkungan

• Kebudayaan : dengan

membuat masyarakat menjadi agen

pembaharu dan dakwah yang

mengajak pada jalan Allah, agen

stabilitas dengan melakukan

amar ma’ruf, dan agen transformasi

dengan melakukan nahi munkar

• Wakaf sosial berupa

sedekah jariyah dan sejenisnya

• Melakulan usaha rohaniah

diusulkan

melalui 5 tahap: (1) Pengumpulan

dana oleh Pemerintah/NGO; (2)

Seleksi kandidat mustahiq yang

potensial; (3) Pelatihan SDM; (4)

Evaluasi menggunakan Kirkpatrick

training evaluation taxonomy; (5)

mustahiq yang lolos hasil evaluasi dapat

mendirikan usaha dengan dibiayai dana

zakat

disalurkan

untuk program takaful, pelatihan SDM,

dan pembiayaan usaha/proyek.

Page 40: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Pelaku

adalah

Pemerintah

Jaminan negara

dari berbagai sumbernya

• Penegakkan keadilan

ekonomi politik melalui kerjasama

multilateral

• Penyusunan regulasi

tentang : konsumsi; pembuatan

program untuk tenaga kerja yang kesulitan

mendapat pekerjaan; larangan

penimbunan (ihtikar, ik tinaz);

larangan riba; penegakan Zakat, Infaq,

Sodaqoh (ZIS) dan yang sejenisnya;

penegakan waris

• Menghidupkan

tanah mati

• Menghentikan eksploitasi Sumber Daya

• Dana bantuan dari

perbendaharaan Islam dari berbagai

sumbernya,

• Melakulan usaha rohaniah

Pembentukan

lembaga diwan

seperti pada

masa Khalifah

Umar bin

Khathab yang

memiliki tugas

untuk

menjalankan

sensus

penduduk.

Berdasarkan

data dari sensus

tersebut,

pemerintah

membuat

bantuan tahunan

yang diberikan

kepada

golongan yang

memerlukan,

terutama (a)

wanita yang

ditinggal mati

suaminya dan

anak yatim, (b)

mereka yang

berjuang untuk

Islam (c) mereka

yang cacat

anggota

• Pendirian institusi zakat di

masing-masing negara Islam untuk

fundraising

• Negara-negara anggota OIC

(Organisation of Islamic Cooperation)

harus mengintegrasikan dana

sedekah, wakaf, dan pendaanaan

publik untuk kemudian diinvestasikan

untuk membuka usaha dan lapangan kerja.

Investasi dilakukan di sektor

Agrikultur, pendidikan, dan Usaha Kecil

Mikro dan Menengah (UMKM).

Page 41: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Alam (SDA)

melalui proses pengambilan retribusi atas

penggunaan SDA dan Nasionalisasi

SDA yang dikuasai privat/korporat

untuk publik

tubuhnya, dan

orang jompo.

Sumber : Berbagai sumber diolah (2017)

Page 42: Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

LAMPIRAN 6. Konsep Pengentasan Kemiskinan dalam Ekonomi Islam

Sumber: Berbagai sumber diolah (2017)

Ukhuwah Islamiyah

Usaha Rohaniah

II

I