Download docx - Konjungtivitis penyuluhan

Transcript

BAB ISATUAN ACARA PENYULUHAN MANDIRI

Pokok Bahasan: Konjungtivitis / Peradangan pada konjungtiva mataHari / Tanggal: Jumat, 10 Juli 2011Waktu: 14.00 14.15 WIBTempat: Poli SiangSasaran: Pasien Poli SiangSetelah dilakukannya penyuluhan selama 15 menit, diharapkan audiens mengerti mengenai konjungtivitis dan cara mencegahnya.1. Tujuan KhususSetelah dilakukannya penyuluhan selama 15 menit, diharapkan :a. Audiens mengetahui dan mengerti tentang Konjungtivitisb. Audiens mengetahui penyebab timbulnya Konjungtivitisc. Audiens mengetahui gejala dan tanda Konjungtivitisd. Audiens mengetahui komplikasi Konjungtivitise. Audiens mengetahui cara mencegah KonjungtivitisA. Metode1. Ceramah2. Tanya jawabB. Media1. LeafletC. Kegiatan Penyuluhan KesehatanKegiatan PenyuluhKegiatan AudiensWaktu

PENDAHULUAN

Penyuluh memberikan salam dan memperhatikan kesiapan warga terhadap materi yang akan dipresentasikanMenjawab salam dan memperhatikan penyuluh30 detik

Menyampaikan tujuan penyuluhan yang akan dicapaiMenyimak1 menit

Kegiatan Inti

Menjelaskan pengertian KonjungtivitisMenyimak 1 menit

Menjelaskan penyebab KonjungtivitisMenyimak1 menit

Menjelaskan tanda dan gejala KonjungtivitisMenyimak2 menit

Menjelaskan Komplikasi KonjungtivitisMenyimak 2 menit

Menjelaskan pencegahan KonjungtivitisMenyimak

PENUTUP2 menit

Menyimpulkan semua materi yang dibahasBerperan aktif3 menit

Diskusi dan tanya jawabBerperan aktif30 detik

Memberikan salam penutup dan pesan singkatMenjawab salam dan menyimak1 menit

E. MateriMateri tentang Konjungtivitis terdiri dari : Menjelaskan pengertian Konjungtivitis Menjelaskan penyebab Konjungtivitis Menjelaskan gejala Konjungtivitis Menjelaskan komplikasi Konjungtivitis Menjelaskan cara mencegah Konjungtivitis

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1.Pengertian Konjungtivitis Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009). Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).

II.2.KlasifikasiII.2.1.Konjungtivitis Bakteri

II.2.1.1. DefinisiKonjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005). II.2.1.2. Etiologi dan Faktor ResikoKonjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla, 2009). Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009). II.2.1.3. PatofisiologiJaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva II.2.1.4. Gejala KlinisGejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).

II.2.1.5. DiagnosisPada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009). II.2.1.6. KomplikasiBlefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010). II.2.1.7. TerapiTerapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

II.2.2.Konjungtivitis VirusII.2.2.1. DefinisiKonjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010). II.2.2.2. Etiologi dan Faktor ResikoKonjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010). Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008). II.2.2.3. PatofisiologiMekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi. II.2.2.4. Gejala KlinisGejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005). Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes. Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010). II.2.2.5. DiagnosisDiagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007). Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).II.2.2.6. KomplikasiKonjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).II.2.2.7. TerapiKonjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

II.2.3.Konjungtivitis AlergiII.2.3.1. DefinisiKonjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).II.2.3.2. Etiologi dan Faktor ResikoKonjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010). Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).II.2.3.4. Gejala KlinisGejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-kategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

II.2.3.5. DiagnosisDiperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).II.2.3.6. KomplikasiKomplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).II.2.3.7. TerapiPenyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).II.3 PencegahanCuci tangan dengan sabun dan air hangat, jika sabun dan air tidak tersedia gunakan hand sanitizer yang mengandung setidaknya 60% alcohol.Hindari menyentuh atau mengucek mata Cuci tangan setelah menggunakan tetes mata atau salep mataCuci sarung bantal, sprei, selimut, handuk, dan kacamata. Hindari penggunaan handuk secara bersamaanBersihkan kotoran di sekitar mata anda beberapa kali dalam sehari. Cuci tangan terlebih dahulu dan gunakan cotton bud atau tissue untuk membersihkan area sekitar mata, kemudian cuci tangan kembali Jangan gunakan tetes mata untuk mata yang infeksi kemudian digunakan lagi pada mata yang sehat pada orang yang samaJangan menggunakan make up, lensa kontak atau kacamata secara bergantian Jangan berenang (CDC, 2014)

DAFTAR PUSTAKA

Asokan, N., 2007. Asthma and Immunology Care. Diplomate of American Board of Allergy & Immunology and American Board of Pediatrics. Available from:http://www.trinityallergy.com/md-natarajan-asokan-trinity-allergyasthma-immunology-kingman-az.htm. Cuvillo, A del., et al., 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J investing Allergol Clin Immunol 2009; Vol. 19. Suppl. 1: 11-18. Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J., 2010. Konjungtiva. Dalam: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 97-118. CDC. Pink Eye Prevention. Available from: http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/prevention.html Gearinger, Lynne., et al., 2011. Etiology of Bacterial Conjunctivitis and Antibacterial Susceptibility Profile. Clinical Opthalmology. Available at: http://dx.crossref.org/10.21472fotph.S23519. Gleadle, J., 2005. Sistem Penglihatan. Dalam: Gleadle, J. (ed). Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga, 44-45. Haas, W., et al., 2009. Major Age Group-Specific Differences in Conjunctival Bacteria and Evolution of Antimicrobial Resistance Revealed by Laboratory Universitas Sumatera Utara Data Surveillance. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/19085372. Hurwitz, S.A., Antibiotics Versus Placebo for Acute Bacterial Conjunctivitis. The Cochrane Collaboration. Available at: http://www.thecochranelibrary. com/userfiles/ccoch/file//CD001211.pdf. Ilyas, S., 2008. Kelainan Adneksa dan Kelopak Mata. Dalam: Ilyas, S. (ed). Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 44. Ilyas, S., 2009. Konjungtiva. Dalam: Ilyas, S. (ed). Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 51-74. Ilyas, S., 2008. Mata Merah. Dalam: Ilyas, S. (ed). Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 64-77. James, B., Chew, C., Bron, A., 2005. Konjungtiva, Kornea, dan Sklera. Dalam: Bruce, J., et al. (eds). Lecture Notes Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga, 6-66. Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health Science Center. Available at: http://emedicine.medscape.com/ article/1192190-overview. Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Lukes Medical Center. Available from: http://emedicine.medscape.com/ article/1191467-overview. Marlin, D.S., 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview. Patel, P.B., et al., 2007. Clinical Features of Bacterial Conjunctivitis in Children. Division of Pediatric Emergency Medicine-Dupont Hospital for Children. Available from: http://journals.lww.com/pidj/Abstract/ 2009/01000/aspx. Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology. Available from: http://one.aao.org/asset.axd. Senaratne, T., Gilbert, C., 2005. Conjunctivitis Primary Eye Care. Community Eye Health Journal. Available from: http://www.cehjournal.org/download/ ceh_18_53_073.pdf. Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public Health Sciences: Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-overview Therese, L.K., 2002. Microbiological Procedures for Diagnosis of Ocular Infection. Available from: http://www.ijmm.org/documents/ocular.pdf. Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective Conjunctivitis. Canadian Family Physician. Available from: http://171.66.125.180/content/55/11/1071.short Weissman, B.A., 2008. Giant Papillary Conjunctivitis. University of California at Los Angeles. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191641-overview.

12