Transcript
Page 1: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

STULOS 7/2 (Agustus 2007)

PERSPEKTIF KRISTEN TENTANG HAK KEBEBASAN BERAGAMA DI DALAM

DEKLARASI UNIVERSAL HAM

Binsar Antoni Hutabarat, M.C.S

PENDAHULUAN

Hak Kebebasan beragama sebagaimana yang dituangkan di

dalam Deklarasi Universal HAM diakui sebagai Deklarasi HAM manusia

modern, karena baru dicetuskan pada abad ke 20. Pernyataan ini tidak

boleh diartikan bahwa Kekristenan sebagai agama yang hadir jauh

sebelum Deklarasi Universal HAM itu tidak memiliki pengakuan atas

HAM, khususnya tentang kebebasan beragama.

Sejarah kekristenan melaporkan bahwa ada intoleransi agama

Kristen terhadap agama-agama lain, namun, sesungguhnya itu bukanlah

bagian dari kebenaran Kristiani. Jika ditelusuri secara lebih mendalam isi

dari Deklarasi Universal HAM itu sendiri sesungguhnya, sangat

dipengaruhi pemikiran Kristiani. Itulah sebabnya jika kekristenan

mendukung HAM, itu bukanlah suatu kompromi, melainkan suatu

perjuangan nilai yang didasarkan pada Alkitab.

Tulisan ini akan memaparkan “Hak Kebebasan Beragama dari

sudut pandang Iman Kristiani dalam konteks Deklarasi Universal HAM”,

secara khusus dalam pasal 1 dan 18, dengan terlebih dahulu menguraikan

secara singkat mengenai sejarah pemikiran Deklarasi Universal HAM,

baru akan diuraikan mengenai sejarah pemikiran hak kebebasan

beragama yang tertuang dalam pasal 1 dan 18 dari Deklarasi Universal

HAM, kemudian penulis akan memaparkan pandangan Kristiani

mengenai HAM, secara khusus tentang kebebasan beragama dalam

Page 2: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

96 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

konteks Deklarasi Universal HAM.

DASAR DASAR PEMIKIRAN DEKLARASI UNIVERSAL HAM

Deklarasi Universal HAM dapat disebut sebagai ideologi

internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi

pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Meski implementasi dari

HAM tersebut pada banyak Negara masih sangat memprihatinkan,

namun, adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu

tentu merupakan suatu prestasi penting.1 Apabila deklarasi tersebut

dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu

negara, maka HAM mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam

suatu negara.

Sejak diterimanya Deklarasi Universal HAM oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, deklarasi itu

telah banyak mempengaruhi banyak negara di dunia untuk

melaksanakannya, hal tersebut nyata dengan digunakannya deklarasi

tersebut dalam penyusunan dan perbaikan UUD negara-negara yang ada,2

demikian juga yang terjadi dengan Indonesia, terlebih setelah

tumbangnya rejim yang otoriter.

Deklarasi Universal HAM yang dijadikan sebagai pedoman bagi

pelaksanaan HAM dalam dunia internasional dibangun di atas dasar

pemahaman bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia dan

melekat pada manusia, sehingga tidak seorangpun berhak mencabutnya.

1 Ibid., hl. xvi-xi2 B.S. Mardiatmaja, “Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Teologi Katolik”

dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, E.Shobirin Nadj dan Naning Mardinah, ed. ( Jakarta: Cesda LP3ES, 2000), h. 73.

Page 3: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 97

Hak tersebut dimiliki oleh manusia karena ia terlahir sebagai manusia,3

secara eksplisit itu dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal

HAM yang berbunyi demikian, “bahwa pengakuan atas martabat alamiah

serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota

umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan

perdamaian didunia.”4 Pandangan tersebut berlandaskan pada hukum

kodrat yang dicetuskan oleh John Locke.5Karena itu tidaklah

mngherankan jika Rhoda seorang pengamat tentang hak-hak asasi

manusia mengatakan,

“Hak asasi manusia adalah masalah sekuler: hak ini berasal dari

pemikiran manusia tentang hakikat keadilan, bukan keputusan

Ilahi. Meskipun hak asasi manusia dalam prakteknya akan lebih

terjamin kalau didasarkan pada keyakinan agama, dasar

keagamaan ini tidak mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari

deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya.

Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti harus universal,

tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya

sebagai prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan

didasarkan pada agama, melainkan pada masyarakat sekuler,

pada pandangan kaum sekuler tentang hak yang diperlukan

3 Kita dapat menelusuri asal-usul hak-hak asasi manusia itu kepada teori-teori filsafat tentang “hukum kodrati” suatu hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif negara. Menurut teori ini, individu sebagai manusia membawa dalam dirinya sendiri sejak lahir hak-hak asasi tertentu yang tidak dapat dihilangkan. David Weissbrodt, “Hak-Hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Perspektif Kesejarahan,” hl. 2. Dalam Davies, Hak-Hak asasi Manusia, hl. 2.

4 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), hl. 261.

5 “Teori Lock itu mulai dengan suatu keadaan alam pra sosial di mana individu-individu yang sama memiliki hak-hak kodrati akan kehidupan, kebebasan, dan harta warisan. Namun karena tiadanya pemerintahan, hak-hak ini sedikit saja nilainya. Hak-hak itu hampir-hampir mustahil dilindungi dengan cara tindakan individu, dan pertengkaran-pertengkaran mengenai hak-hak itu sendiri merupakan penyebab konflik yang hebat. Oleh karena itu, rakyat membentuk masyarakat, dan masyarakat menciptakan pemerintahan guna memungkinkan mereka sendiri menikmati hak-hak kodrati” George Clack (ed), Hak Asasi manusia, terj. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 4.

Page 4: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

98 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

semua orang untuk hidup bermartabat”6

Pandangan Rhoda tersebut lahir untuk menanggapi pandangan

yang menolak universalitas dari HAM. Pemahaman Rhoda tentang HAM

yang bersifat universal itu juga merupakan penelusuran konsep HAM

modern yang memang dipelopori oleh para filsuf, secara khusus John

Locke. Sayangnya, Rhoda tidak menganalisa, darimanakah asalnya

pikiran masyarakat sekuler tersebut.

Klaim bahwa manusia dilahirkan dalam kebebasan dan memiliki

martabat yang sama, sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi Universal

HAM yang dipengaruhi oleh pikiran Locke, merupakan sesuatu yang

berasal dari pengaruh Yahudi dan Kristen. Yaitu diatas pengakuan

manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah. Memang pemahaman

bahwa manusia dikarunia akal serta hati nurani dan harus bergaul dalam

semangat persaudaraan berasal dari pikiran pencerahan.7

Untuk memahami pengaruh kekristenan dan Yahudi dalam

pembentukan pemikiran hukum kodrat John Lock, dapat ditelusuri

dengan mempelajari sejarah pembentukan pemikiran Barat. Baik di

Inggris maupun Amerika, tempat dimana pemikiran HAM yang modern

dikembangkan. Pengaruh kekristenan terhadap institusi legal nyata ketika

agama Kristen menjadi agama negara pada waktu pertobatan

Konstantinus. Pada waktu itu, undang-undang negara dipengaruhi oleh

pemikiran kekristenan, seperti undang-undang yang ditetapkan dalam

lembaga pernikahan: pernikahan merupakan pernikahan monogami,

heterosexual dan seumur hidup.

Demikian juga pada masa Reformasi Protestan yang mengajak

untuk kembali kepada pemahaman manusia sebagai gambar Allah.

6 Rhoda E.Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,2000), hl. 19.

7 Wolfgang Huber, “Human Rights and Biblical Legal Thought” dalam Religious Human Rights in Global Perspective (religious Persfectives), John White Jr. dan Johan D.Von der Veyner, ed., (London: Martinus Nijhoff Publisher), h. 60.

Page 5: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 99

Reformasi mengakui bahwa semua manusia memiliki martabat yang

sama. Pengakuan itu kemudian melahirkan suatu kesadaran bahwa semua

manusia memiliki kesamaan dihadapan hukum dan negara.

Pemahaman manusia memiliki martabat yang mulia dan

kesederajatan tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap Deklarasi

Amerika dan Perancis. Munculnya dasar lain selain agama dalam

pembentukan sistem perundang-undangan negara baru terjadi setelah

terjadi konflik sektarian yang melahirkan perang berdarah,8 Namun tidak

berarti nilai-nilai kebenaran Kristen tidak lebih baik dari standar sekuler

yang kemudian melahirkan HAM dalam perspektif masyarakat modern,

karena pikiran sekuler tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran agama

yang telah mengalami sekularisasi. Tanpa memahami perkembangan

tahapan itu, maka HAM tidak dapat dimengerti dengan baik.9

Pikiran Rhoda yang ingin mengabaikan agama dengan

menganggap HAM adalah buah karya masyarakat sekuler dengan tidak

mempertimbangkan pentingnya pengaruh agama juga akan

mengakibatkan terciptanya jurang antara Barat dan non Barat.10 Karena

bagi orang-orang yang beragama Islam, Kristen, Hindu dan Kongfucu

hukum dan agama memiliki kesatuan yang dalam, sehingga menganggap

HAM hanyalah buah pikiran manusia sekuler dan tidak

mempertimbangkan aspek agama dalam pembentukan HAM justru akan

melahirkan penolakan terhadap HAM yang bersifat universal.

Pengaruh pikiran Locke sangat kental pada Deklarasi

Kemerdekaan Amerika Serikat, Karena pernyataannya dianggap sebagai

penetapan yang paling awal dari HAM secara konstitusional,11 Maka

Locke dianggap sebagai peletak dasar dari HAM jaman modern.

8 Huber, Religious Human Rights. hl. 51.9 Ibid., hl. 52.10 Ibid., hl. 54.11 Gunawan Setiardja, Hak-hak asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila

(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 83.

Page 6: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

100 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

Sehingga lahirnya HAM dalam konsep modern tidak dapat dianggap

sebagai buah karya masyarakat sekuler semata-mata (produk Barat),

karena pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat sarat dengan

pemikiran Kristen, dan itu ada dalam pikiran John Locke, karena John

Locke seorang pemeluk agama Kristen dan seorang anggota jemaat dari

Church of England.12

Mengenai pengaruh pikiran John Locke dalam isi Deklarasi

Kemerdekaan Amerika Serikat David Weissbrodt menjelaskan sebagai

berikut:

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776

menyatakan hak-hak yang tidak dapat dihilangkan dari semua

orang untuk hidup, untuk bebas, dan mencari kebahagiaan. Hak-

hak ini diturunkan dari teori-teori Eropa pada abad ke-18 yang

mengatakan bahwa individu itu pada kodratnya otonom. Begitu

masuk ke dalam masyarakat, otonomi setiap individu bergabung

membentuk kedaulatan rakyat. Maka secara prinsip hak rakyat

yang tidak dapat dihilangkan itu telah berubah menjadi hak untuk

memerintah diri sendiri (self government) termasuk hak untuk

menentukan dan mengubah pemerintahnya. Namun masing-

masing individu juga masih tetap memiliki beberapa otonominya

yang asli dalam bentuk hak-hak yang bahkan pemerintah sendiri

tidak boleh melanggarnya. Kepercayaan terhadap hak-hak yang

masih dimiliki itu telah menyebabkan masing-masing negara

bagian bersikeras mengenai perlunya tambahan Bill Of Rights

kepada Konstitusi Amerika Serikat tahun 1789.13

Pandangan David Weissbrodt di atas merupakan hasil dari

analisis kritis dari isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang

menjelaskan mengenai alasan mengapa masyarakat membentuk suatu

12 Lauren S.Bahr dan Bernard Johnston (ed.), Collier’s Encyclopedia, vol.14 (New York : 1992), hl. 719.13 Davis, Hak-Hak asasi Manusia, h. 8.

Page 7: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 101

pemerintahan. Secara eksplisit pengaruh pikiran Locke mengenai hukum

kodrat yang terkait erat dengan pemikiran Kristen dan Yahudi tersebut

tertuang dalam pernyataan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang

ditulis oleh Thomas Jefferson seperti berikut:

Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sudah jelas dengan

sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa

penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang

tidak dapat dicabut; bahwa di antara hak-hak ini adalah hak

untuk hidup bebas dan mengejar kebahagiaan- bahwa untuk

menjamin hak-hak ini, orang-orang mendirikan pemerintahan,

yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan

persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja

suatu bentuk pemerintahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat

berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya.14

Pemahaman tentang manusia yang diciptakan oleh Allah dengan martabat

yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang berdasarkan

keagamaan, bukan sekuler. Jelaslah, Pengakuan HAM tidak dapat

dilepaskan dengan pengaruh kekristenan.

Pengakuan akan hak-hak Asasi manusia sebagaimana tertuang

dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat juga ada dalam Deklarasi

Perancis tentang hak-hak manusia dan warga Perancis tahun 1789.15

Naskah Deklarasi Perancis ini diberi judul Deklarasi Hak Manusia dan

Warga negara. Dalam deklarasi itu dinyatakan bahwa manusia memiliki

hak yang “kodrati” yang melekat pada manusia dan tak dapat dicabut,

pernyatan tersebut terdapat dalam pasal 1 Deklarasi Hak Manusia dan

Warga Negara tertanggal 26 Agustus 1789, yang mengatakan bahwa:

14 Scott Davidson, Hak-hak Asasi Manusia, terj. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1999), h. 2.

15 “Pasal 2 Deklarasi Perancis menyatakan bahwa: Tujuan masyarakat politik adalah mempertahankan hak-hak manusia yang alami dan yang tidak dapat diganggu gugat. Hak-hak ini meliputi kebebasan, milik, keamanan dan perlawann menentang penindasan” ( Setiarja, Hak-hak asasi Manusia, hl 84).

Page 8: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

102 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

“Semua manusia terlahir dan tetap selalu dalam kebebasan dan

persamaan hak. Perbedaan kedudukan dalam masyarakat hanya dapat

didasari oleh kemanfaatan manusia.” Kemudian dalam pasal 4 dinyatakan

bahwa: “Kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang

tidak merugikan orang lain: dengan demikian batas-batas pelaksanaan

hak kodrati setiap manusia hanyalah dibatasi oleh jaminan pelaksanaan

hak kodrati bagi anggota lain masyarakat. Batas-batas tersebut hanya

dapat ditentukan oleh hukum”.16 Perbedaannya adalah, jika Amerika

Serikat berjuang untuk merdeka, maka Perancis berjuang menghancurkan

sistem pemerintahan yang absolut dan mendirikan negara demokrasi.17

Sebelum konsep HAM modern ditetapkan secara konstitusional

dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Perancis pada abad

XVII di Eropa sudah banyak orang berpikir tentang masalah HAM. Hal

ini tidak mengherankan karena pada tahun 1215, di Inggris, lahir Piagam

Mulia (Magna Charta) hasil perjuangan kaum bangsawan melawan

kekuasaan Raja John. Piagam tersebut berisi batasan yang jelas dan tegas

terhadap kekuasaan raja yang absolut.18 Piagam Mulia ini menjadi induk

bagi perumusan HAM yang dikenal dengan konsep modern.19 Apabila

HAM dipahami sebagai hasil dari pemikiran masyarakat sekuler semata-

mata, maka secara bersamaan HAM akan dianggap sebagai sesuatu yang

dilahirkan oleh budaya Barat dan tidak harus diterima oleh non Barat.

Jadi pemahaman tentang HAM yang menyeluruh merupakan sesuatu

yang amat penting dalam memahami sifat HAM yang bersifat universal.

Percakapan dan penghormatan HAM juga sudah ada sejak

sebelum Masehi. Pada jaman Yunani kuno, abad kedua sebelum Masehi,

seorang ahli hukum Romawi kuno bernama Cicero mencetuskan

16 Lih Jerome Samuel dan Sidney Peyroles, editor, Dua Abad Perkembangan Undang-Undang Dasar Perancis, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991), hl.1-7.

17 S. Baut Paul,dan Benny Herman K (ed), Kompilasi Hak Asasi Manusia ( Jakarta: YBHI, 1998), hl. 5.

18 Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusi, hl. 74.19 Davidson, Hak-hak Asasi Manusi, hl. 2.

Page 9: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 103

pernyataan yang terkenal sebagai inti HAM demikian: “Manusia adalah

sama dan semua manusia dilahirkan bebas”.20 Tetapi apabila ditarik lebih

jauh lagi keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kesamaan dan

kebebasan sudah ada sejak adanya manusia. Alkitab Perjanjian Lama

melaporkan bahwa manusia diciptakan mulia sebagai gambar Allah

(Kejadian 1: 26). Jadi, martabat manusia yang mulia bukan ada dengan

sendirinya tetapi merupakan sesuatu yang dikaruniai oleh Allah. Tidak

seorang pun berhak mencabut hak-hak manusia kecuali pencipta itu

sendiri. Karena itu semua manusia harus hidup dalam penghormatan

terhadap sesamanya, karena ia diciptakan sederajat adanya. Walaupun

pada abad XIX Gereja Katolik secara organisasi merupakan pendukung

pemerintahan monarkhi dan menolak HAM, sikap gereja itu bukan

didasarkan pada Alkitab, tetapi lebih disebabkan oleh trauma yang

dialami gereja pada waktu Revolusi Perancis yang menghukum mati

ribuan imam Katolik karena tidak mau mengucapkan sumpah pada

konstitusi.21 Puncak penolakan kebebasan beragama dalam gereja Katolik

terjadi pada tahun 1964 di mana kebebasan beragama dan toleransi

dikutuk sebagai kesesatan.22 Sikap gereja yang melakukan pelanggaran

HAM juga nyata dalam perang-perang salib serta pertikaian antara gereja

Katolik dan aliran Protestan yang dianggap bidat.23 Namun tindakan-

tindakan salah gereja tidak boleh diartikan bahwa Alkitab menyetujui

tindakan tersebut. Karena pada waktu-waktu selanjutnya gereja

mendukung penegakan HAM sebagaimana dikatakan oleh Paus Johanes

Paulus II yang memuji Deklarasi Universal HAM sebagai inspirasi dan

sendi yang mendasar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.24 Calvin seorang

20 A.M.Fatwa, “Hak-hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama Dan Ketahanan Nasional” dalam HAM Dan Pluralisme Agama, Anshari Thayib dkk, ed, (Surabaya: PKSK), hl. 28.

21 Franz Magnis Suseno, “Hak Asasi Manusia Dalam Theologi Katolik Kontemporer” dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia, Shobirin Nadj, Naning Mardinah, ed., ( Jakarta: Cesda LP3ES), h. 86.

22 Ibid., hl. 87.23 Ravitch, Diane dan Thernsrom, Abigail (ed), Demokrasi: Klasik Dan

Modern, ( Jakarta: Yayasan Obor, 2005), hl. 54-71.24 Davies, Hak Asasi Manusia, hl. 35.

Page 10: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

104 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

tokoh reformator Protestan juga pernah mendapat pujian sebagai pioner

kebebasan hati nurani dan HAM.25

Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa semua agama besar

di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap agama-agama

lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut melekat

kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama

terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti

politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.

Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah

perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami trauma yang

dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta

perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan

proteksi HAM tidak lagi bersifat domestik.26 Perjuangan HAM yang

bersifat mendunia tersebut nyata setelah didirikannya organisasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan

Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan

kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional

tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi Universal HAM yang lahir

tanggal 10 Desember 1948.27 Dan piagam tersebut oleh majelis PBB

ditetapkan sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua

puluh pasal pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of

Rights Amerika Serikat.28 Karena itu tidaklah mengherankan jika

Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi

Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya

25 John Witte Jr., “Moderate Religious Liberty In Theology Of John Calvin” dalam Religious Liberty in Western Thought, Noel B. Reynolds and W. Cole Durham Jr., ed. (Atlanta: Scholars Press, 1996), hl. 84.

26 Barulah seusai malapetaka perang dunia ke II, hukum hak asasi manusia Internasional berkembang dengan cara yang mantap dan jelas, kekejaman NAZI terhadap penduduknya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usaipun sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus mencakup komitmen untuk melindungi hak asasi manusia, Scott David, Hak Asasi, h. 15.

27 A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusi, hl. 85.28 Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negri ( Jakarta:

Yayasan Obor), hl. 6.

Page 11: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 105

dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati.

Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB sebagai standar

umum bersifat tidak mengikat, karena itu dalam usaha untuk menegakkan

HAM yang bersifat universal lahirlah konvensi-konvensi yang bersifat

mengikat.

SEJARAH HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN

PENDEKLARASIANNYA

Hak Kebebasan Beragama dalam Deklarasi Universal HAM

merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia, hal tersebut

dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal 1

dan 18 yang berbunyi:

Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam

martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus

saling bergaul dalam semangat persaudaraan (pasal 1). Setiap

orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan

beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama

atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi, atau bersama-

sama dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi,

untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran,

praktek, ibadah dan kataatan (pasal 18).29

Pengakuan kebebasan beragama secara internasional nyata

dengan adanya pengakuan kebebasan beragama dalam “The Peace of

Westphalia” tahun 1648 yang mengakhiri peperangan 30 tahun. Pada

29 James.W Nickel, Hak Asasi Manusia, terj. ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utam,1996), hl. 262-65.

Page 12: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

106 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

waktu itu ada perlindungan bagi orang-orang Protestan dalam negara

Katolik, demikian juga orang-orang Katolik dalam negara Protestan.

Westphalia pada waktu itu mulai memberikan kebebasan beragama.30

Pemisahan total antara agama dan negara yang merupakan kelahiran

negara sekuler dipelopori oleh pengakuan “Peace of Westphalia” dan

pengakuan ini jugalah yang mempengaruhi lahirnya negara sekuler

Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama.

Dokumen Peace of Westphalia juga dianggap sebagai karya

manusia modern. Sehingga pangakuan kebebasan beragama juga

dianggap produk masyarakat sekuler. Mengenai kesepakatan “Peace of

Westphalia”, Thamrin Amal Tomagola menjelaskan seperti berikut:

Kesepakatan itu sendiri sebenarnya merupakan anak kandung

dari proses Renaissance yang telah bergulir sejak abad 13 di

sana. Proses ini secara signifikan mempreteli kekuasaan gereja

dan memunculkan negara sekuler. Negara sekuler ini selain

mengharuskan pemisahan agama dari negara, ia juga didirikan

berlandaskan asumsi bahwa individualisme telah menjadi

kenyataan dan berperan nyata sebagai pilar-pilar negara.

Dicanangkannya individu-individu yang mandiri ini secara

asertif mampu melepaskan diri baik dari ikatan dan tekanan

kolektiva suku maupun agama (umat).31

Pandangan Thamrin Amal Tomagola nampak sejalan dengan

Rhoda yang menganggap bahwa HAM, secara khusus kebebasan

beragama merupakan karya masyarakat sekuler. Sebagaimana Rhoda

yang tidak mencoba melihat perkembangan pemikiran Barat yang

dipengaruhi oleh kekristenan dan Yahudi, demikian juga Thamrin tidak

30 Leonard.M. Hammer, The InternationalHuman Rights to Freedom of Conscience (Dartmouth: Ashgate, 2001), hl.14-5.

31 Tamrin Amal Tomagola, Komunalisme Berbaju Nasionalisme, makalah seminar mengenang 100 tahun Dr. Yohanes Leimena. Jakarta, Balai Pustaka, 24 September 2005.

Page 13: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 107

melihat bahwa perkembangan pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya

kesepakatan “Peace of Westphalia,” yaitu pengaruh kekristenan dan

Yahudi yang mempengaruhi pemikiran Barat. Penafsiran HAM sering

dianggap merupakan produk sekuler pada saat ini juga karena teolog-

teolog Kristen kurang memaparkan bahwa HAM dipengaruhi oleh

kekristenan karena dorongan untuk menjelaskan HAM dari sudut

pandang kekristenan baru mulai sekitar tahun 1970.32

Pengakuan hak kebebasan beragama sesungguhnya tidak boleh

dianggap sebagai karya manusia sekuler semata-mata, dan dokumen

“Peace of Westphalia” bukan semata-mata lahir oleh pemikiran

Renaissance, tetapi juga karena lahirnya Deklarasi Kemerdekaan

Amerika Serikat yang memiliki pengaruh terhadap dimasukkannya

kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM yang dianggap

dilatarbelakangi oleh pikiran John Locke, seorang filsuif jaman modern

yangjuga yang adalah seorang Kristen.33 Pernyataan Hak Kebebasan

Beragama yang dituangkan dalam Deklarasi Amerika Serikat dilindungi

oleh negara yang memisahkan antara agama dan negara (negara sekuler)

dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam

tulisannya yang berjudul “A Letter Concerning Toleration” yang dia tulis

ketika berada dalam pengasingan di Belanda tahun 1965.34 Mengenai

pemisahan antara agama dan negara, Locke menjelaskan sebagai berikut:

Kekuasaan sipil akan sama di mana saja: di tangan seorang raja

Kristen, kekuasaan itu tidak boleh memberikan kewenangan

yang lebih besar kepada gereja, dibanding dengan seorang

kafir…Dari mana pun asalnya kekuasaan tersebut, karena

bersifat gerejawi, kekuasaan tersebut harus terbatas dalam batas-

32 Huber, Religious Human Rights., h. 47.33 Lih. W.Cole Durham, “Perspectives on Religious Liberty: A Comparative

Framework” dalam Religious Human Rights in Global Perspectives, Legal Perspectives, ed by White John and John D. Von der Veyner (London: Martinus Nijhoff Pub, 1966), hl. 3-12.

34 John Locke, “A Letter Concerning Toleration” dalam. Demokrasi Klasik dan Modern, Revitch, Diane & Thernstrom, Abigail, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 55.

Page 14: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

108 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

batas gereja, dan dengan cara apa pun tidak boleh diperluas ke

urusan-urusan sipil; karena gereja itu dalam dirinya sendiri

adalah mutlak terpisah dan berbeda dari masyarakat. Batas-batas

di kedua belah pihak adalah tetap dan tak dapat digoyahkan.35

Bagi Locke negara dan agama harus terpisah, sehingga orang yang

beragama apa pun yang memegang kekuasaan negara tidak boleh

memberikan hak khusus kepada kelompok agama tertentu..

Hak Kebebasan beragama yang tertuang dalam Deklarasi

Amerika ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perlindungan

kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM, maka pengakuan

hak kebebasan beragama tidak boleh dianggap sebagai buah karya

manusia sekuler.

Hak kebebasan beragama merupakan pengakuan yang tertua

secara internasional dari elemen-elemen HAM lainnya, namun ternyata

penegakkan kebebasan beragama justru merupakan yang paling lambat

dari pada hak-hak lainnya, ini bisa terjadi karena agama sering kali

dimanipulasi untuk kepentingan politik.36 Faktanya, hampir semua

masyarakat penganut agama mayoritas di sebuah negara pernah

melakukan kekerasan terhadap masyarakat penganut agama lain

(minoritas). Penguasa di negara yang menjadikan Kristen sebagai agama

negara juga didapati melakukan kekerasan atau penghukuman terhadap

warga yang dinilai menganut ajaran sesat (bidat) dengan sangat kejam.

Tindakan intoleran itu dilakukan oleh penganut agama Islam terhadap

agama-agama lain. Dalam dunia Islam terjadi pembatasan peran sosial

secara spesipik bagi penganut agama di luar Islam. Kekerasan terhadap

penganut agama lain juga dilakukan oleh agama Kongfucu di Cina. Di

Jepang, Buddha sebagai agama negara juga tidak bersikap toleran dengan

35 Ibid., h. 61-63.36 Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, ( Jakarta: Pustaka Utan

Kayu, 2002), hl.6

Page 15: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 109

agama-agama lain.37 Jika melihat kekerasan yang mengatasnamakan

agama tampak bahwa ada faktor lain yang menyertakan kekerasan agama

sebagaimana dikatakan oleh Thomas Santoso:

Fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan

apabila berhubungan dengan faktor lain, misal kepentingan dan

penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan

disalaharahkan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi

eksternal, agama propetis (nabi), seperti Islam dan Kristen,

cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka

terancam. Dari sisi internal, agama profetis cenderung

melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar

kehendak Tuhan. Oleh karena pemahaman agama atau

bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu alasan

yang mendasari kekerasan politik agama.38

Penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap agama-agama

tertentu dilakukan untuk melestarikan kekuasaan oknum yang berkuasa.

Agama-agama nasibnya ditentukan oleh kekuasaan, maka ketika agama-

agama tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah,

agama-agama melakukan tindakan yang inkonstitusional untuk

mendapatkan akses tersebut, terjadilah tindakan kekerasan antaragama.

Perlindungan Hak Kebebasan Beragama yang telah diakui secara

internasional jauh lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam

implementasinya ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit, apalagi

dengan adanya perbedaan pandangan mengenai Hak Kebebasan

Beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik yang berasal

dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha untuk

menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan. Hal

ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian

37 Leonard.M Hammer, The International Human Right, hl. 8-12.38 Thomas Santoso, Kekerasan, hl. 6.

Page 16: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

110 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

dibuat suatu covenant on human rights tahun 1966. Kemudian pada tahun

1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu adanya “Declaration on

the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on

Religion or Belief” Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat

menunjukan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus

berlangsung dan perlu penanganan terus-menerus secara lebih serius.

Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi tersebut

menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan miliaran

manusia di bumi ini, dan harus terus diperjuangkan

PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TENTANG HAM

Dalam perspektif kristiani, HAM sebagaimana tertuang dalam

Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 merupakan sesuatu yang telah

lama diakui. Pernyataan bahwa semua manusia memiliki martabat dan

hak-hak yang sama (pasal 1-2), pengakuan akan hak-hak sipil (pasal 3-

21), dan hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan (pasal 22-27) serta

pasal-pasal penutup (pasal 28-30) yang menetapkan bahwa setiap orang

berhak atas ketertiban sosial dan internasional dengan menjalankan

kewajibannya dalam masyarakat, adalah sesuatu yang telah lama

dinyatakan oleh Alkitab.

Dalam bagian ini penulis akan memaparkan pandangan kristiani

mengenai HAM dalam konteks Deklarasi Universal HAM dalam tiga

bagian besar, yaitu: pertama mengenai sumber dari HAM, kedua keadilan

Allah dalam implementasi HAM, ketiga mengenai hak beragama

menurut pandangan Alkitab.

Sumber HAM

Konsep hukum kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari

HAM merupakan sesuatu yang telah diakui sejak lama dalam masyarakat

Page 17: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 111

Kristen. Hanya saja dalam pandangan kristiani, HAM tidak mungkin

dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam hubungan dengan Allah

pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia yang

mempunyai martabat dan hak-hak yang sama bergantung pada

pernyataan Allah sendiri. Kejadian 1: 27 menjelaskan bahwa manusia

diciptakan segambar dengan Allah dan manusia berbeda dari ciptaan

lainnya, manusia adalah raja atas dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan

kekuasaan manusia sebagai raja itu diberikan oleh Allah, sehingga

manusia adalah wakil Allah dalam dunia ini. Dan Allah menciptakan

manusia laki-laki dan perempuan, keduanya berbeda namun berada

dalam kesederajatan.39 Dari pernyataan Alkitab tentang martabat manusia

yang mulia dan memiliki kesedarajatan tersebut dapat dipahami bahwa

HAM dalam persfektif Kristiani, pertama, mengakui bahwa martabat

manusia berasal dari Allah dan tak tertanggalkan, karena semua manusia

diciptakan oleh Allah. Kejatuhan manusia dalam dosa juga tidak

menghilangkan gambar Allah meski mengalami kerusakan, tetapi karena

kejatuhan terjadi setelah penciptaan, maka pada hakikatnya semua

manusia adalah sama-sama mulia. Agama apapun yang dipegang

seseorang tidak mengurangi kemuliaannya sebagai manusia, karena

martabat manusia itu tak tertanggalkan. Kedua, Pernyataan bahwa

Alkitab menciptakan semua manusia itu sama-sama mulia dapat di

artikan bahwa dalam pergaulan antarsesama manusia tidak boleh terjadi

perbedaan, manusia wajib berprilaku baik terhadap semua manusia.

Ketiga, karena manusia mendapat mandat dari Allah untuk mengelola

alam, dunia ini, maka hal tersebut juga berarti bahwa semua manusia

berkewajiban untuk menjaga implementasi dari hak-hak asasi tersebut.40

Dalam persfektif kristiani HAM tidak berarti suatu kebebasan

tanpa batas dalam arti manusia dapat melakukan apa saja sesuai

39 Bandingkan. Greidanus, Sidney, “Human Rights in Biblical Perspective” dalam Calvin Theological Journal ( ), 5-31

40 Lih. John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen (Jakarta: YKBKasih/OMF, 1984), hl. 210,11.

Page 18: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

112 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

keinginannya, karena manusia diperintahkan Allah untuk melakukan

perintah Allah atau hukum-hukum Allah. Tanpa ketaatan pada hukum-

hukum Allah manusia tidak memiliki kebebasan. Mengenai HAM yang

terkait dengan kewajiban ini, Stephen Tong menjelaskan demikian:

Jika kita berbicara tentang hak asasi manusia, maka jangan kita

hanya membicarakan hak tanpa menyinggung tentang kewajiban,

maka yang diperebutkan dan yang diperdebatkan setiap hari

justru akan menjadi sesuatu yng menghantui, sehingga kita tidak

mungkin dapat mencapai suatu keharmonisan.41

Jadi HAM tidak berarti tidak tanpa batas, karena HAM secara

bersamaan berisi kewajiban untuk menjaga hak-hak orang lain,

singkatnya, tidak ada tanggung jawab tanpa ketaatan dan demikian juga

tidak ada tanggung jawab tanpa kebebasan sebagaimana dikatakan oleh

Eka Darmaputra mengutip Douglas Elwood seperti berikut:

Ketika hak dipahami hanya sebagai klaim atas orang lain, dan

tidak juga sebagai tanggung jawab moral dipihak kita, maka

perjuangan HAM telah disalahtafsirkan sebagai tidak lebih dari

sebuah pergulatan kekuasaan, dan dengan demikian istilah HAM

lalu menjadi slogan yang indah untuk suatu perang ideologi atau

suatu eufemisme untuk perjuangan bersenjata. Ia menjadi agitasi

yang menyulut permusuhan ketimbang sebuah advokasi positif

dan konstruktif … HAM adalah nilai-nilai moral universal yang

melampaui klaim-klaim partikular atau parokhial; ia adalah hak-

hak moral yang dimiliki oleh setiap orang semata-mata oleh

karena ia adalah manusia, dan ia hanya terwujud di dalam saling

keterkaiatan dengan tanggung jawab moral. HAM sebagi nilai-

nilai moral universal tidak pernah berdiri sendiri, melainkan

selalu terkait dengan hak-hak yang sah dari orang lain dan

41 Stephen Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Momentum, 1999), h. 7.

Page 19: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 113

kewajiban kita untuk menghormati hak-hak orang lain itu.42

Manusia yang memiliki hak-hak yang sama tersebut juga

memiliki kewajiban yang sama pula, yaitu untuk menjaga hak-hak

orang lain. Pandangan kristiani mengenai HAM ini secara nyata

tertuang dalam Deklarasi Perancis tentang Deklarasi Hak Manusia

dan Warga negara yang menjelaskan bahwa kebebasan adalah

melakukan segala sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Dan

batas-batas pelaksanaan hak kodrati setiap manusia dibatasi oleh

jaminan pelaksanaan hak kodrati. Dan batas-batas tersebut

ditentukan oleh hukum.

Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM.

Sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia dapat hidup dengan

menikmati hak-haknya sebagai manusia, tanpa mendapat halangan dari

sesamanya, karena manusia bergantung total pada Allah, dan Allah

memberikan kemampuan kepada manusia untuk melaksanakan

kebebasannya secara benar. Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa,

tak seorang pun manusia dapat menaati hukum Allah secara sempurna.

Pada masa sebelum kerajaan Israel, Allah juga telah memberikan

hak-hak kepada manusia dan Allah sendiri yang menjaga

terimplementasinya hak-hak tersebut dengan memberikan hukum-hukum-

Nya yang adil. Pada waktu Kain membunuh Habel, Allah menghukum

Kain, demikian juga ketika manusia bertambah jahat di mana manusia

tidak mentaati Allah, maka Allah menghukum manusia yang tidak

menghormati sesamanya dengan mengambil hak hidup dari manusia dan

hanya menyisakan Nuh dengan keluarganya. Jadi pada waktu belum ada

negara Allah secara langsung memerintah dunia dengan keadilan-Nya.

Manusia terus bertambah banyak dan ingin membangun

pemerintahan sendiri, kemudian Allah mencerai-beraikan mereka di

42 Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), hl. 155. Lih juga Douglas G. Elwood, Human Rights: A Christian Perspective (Quezon City: New Day, 1990), hl.2

Page 20: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

114 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

Menara Babel. Tetapi Allah terus menjaga ciptaan-Nya dengan memilih

Abraham untuk membangun komunitas yang hidup menyembah Allah

dan menghormati sesama manusia sebagai ciptaan Allah. Disini Israel

dijadikan sebagai bangsa. Baru dalam Kejadian 12 ini Allah membangun

institusi negara. Tetapi negara tidak termasuk dalam ordo penciptaan,

karena institusi negara ada setelah kejatuhan. Dalam perjalanan Israel

sebagai bangsa, Mesir melakukan penjajahan terhadap umat Allah. Dan

dengan kekuasaan-Nya, Allah membebaskan Israel untuk dapat hidup

mulia dengan sesamanya dalam keterikatan pada Allah, karena Allah

adalah Raja Israel.

Dalam pemerintahan Israel Allah yang menetapkan Undang-

Undang Dasarnya yaitu 10 Hukum, dan raja wajib menjalankan UUD

tersebut dalam pemerintahannya. Apabila raja tidak mentaatinya maka

Allah akan menghukum raja tersebut. Dalam kerajaan Israel tersebut juga

ada Nabi Allah yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintaha Israel,

serta Imam-imam yang menjelaskan mengenai hukum-hukum kerajaan

yang bersumber dari 10 Hukum yang adalah Undang-Undang Dasar

Israel. Tidaklah mengherankan jika pemerintahan Israel disebut oleh ahli-

ahli PL sebagai pemerintahan teokratis yang demokratis.43 Karena

pemimpin Israel adalah Allah, raja dan rakyat kerajaan adalah umat

Allah, dan mereka secara bersama-sama taat kepada Allah yang adalah

pemimpin Israel. Pemerintahan yang teokratis dan demokratis akhirnya

lenyap dari Israel karena kejahatan manusia.

Allah memakai bangsa-bangsa lain untuk menjadi “hakim” atas

umat-Nya. Umat Allah berada dalam penjajahan bangsa yang tidak

mengenal Allah. Namun perlindungan Allah tetap ada pada mereka. Jika

pada mulanya Allah memerintah secara langsung “pemerintahan

teokrasi”, kemudian Allah memakai pemerintahan orang-orang yang

43 Eka Darmaputra, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, h. 145.

Page 21: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 115

tidak menyembah Allah Israel untuk tetap memelihara umat-Nya. Namun

sebagai negara kerajaan kafir juga harus bertanggung jawab kepada

Allah. Karena kodrat dari negara yang diciptakan Allah adalah untuk

pemeliharaan dunia. Siapapaun yang menjadi raja di dunia ini, raja

tersebut bertanggung jawab kepada Allah.

Salah satu bukti mengenai kedaulatan Allah dalam kerajaan kafir

adalah ketika Allah menolong Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Ketiga

orang tersebut mendapat perlakuan yang tidak adil. Sekelompok orang

yang menginginkan kekuasaan memasukkan aturan yang tidak

berkeadilan dalam pemerintahan Babel, dan yang terkena dampak

langsung dari ketidakadilan tersebut adalah Sadrak, Mesakh dan

Abednego. Tetapi oleh kedaulatan Allah mereka dipelihara ketika

menjadi tawanan di negara Raja Nebukadnezar. Tetapi sebagai alat

Tuhan, Sadrak, Mesakh dan Abednego harus berjuang bagi adanya

hukum yang berkeadilan. Penghormatan terhadap bangsa yang berbeda

dan pemeluk agama yang berbeda tetap terjaga dalam pemerintahan

bangsa-bangsa di luar Israel walaupun tidak sempurna, karena negara

tempat di mana Israel dibuang oleh Allah tetap berada dalam kedaulatan

Allah. Negara tersebut dapat menghargai pluralisme suku dan agama

karena kebenaran umum Allah ada pada semua orang. Kebanaran umam

yang ditanamkan Allah dalam semua manusia ini menjadi alat Allah

dalam memelihara dunia. Bagi orang Kristen negara merupakan alat

Allah untuk menahan tindakan kejahatan manusia, karena itu dalam

negara yang dipimpin oleh siapapun, seorang Kristen harus berusaha

untuk berperan agar tugas negara dalam memenuhi tanggung jawab yang

bersumber dari Allah tersebut terpenuhi.

Dalam Perjanjian Baru, Allah tidak lagi membedakan bangsa

Israel dan non Israel. Kerajaan Romawi tempat di mana gereja lahir dan

bertumbuh adalah pemerintahan non Israel. Pada waktu itu masih ada

penghormatan terhadap kebebasan beragama, sebagaimana dilaporkan

Alkitab bahwa murid-murid Tuhan Yesus dapat berkumpul dan beribadah

Page 22: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

116 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

kepada Allah. Mereka tetap dapat beribadah sesuai dengan agama

mereka.

Pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena Gereja yang

lahir dalam agama Yahudi dianggap bidat. Pemerintah yang

membutuhkan dukungan komunitas Yahudi yang besar pada waktu itu

berpihak kepada agama Yahudi, sehingga Kristen dianggap bidat. Warga

Yahudi yang menjadi Kristen pun mendapat perlakuan yang amat

diskriminatif dari pemerintah yang berkuasa. Pelanggaran kebebasan

beragama terjadi karena negara tidak menjalankan wewenangnya dengan

baik, yaitu menciptakan keadilan di antara kelompok-kelompok yang

berbeda. Pemerintahan yang adalah alat Allah untuk menegakkan

keadilan demi terjaganya kesejahteraan ciptaan mengingkari tanggung

jawabnya, maka terjadilah pelanggaran HAM. Dengan demikian dapat

dipahami bahwa keadilan Allah bagi kekristenan merupakan dasar yang

penting bagi suatu negara untuk dapat menjaga implementasi HAM

secara maksimal, karena hukum-hukum Allah adalah adil, karena itu

hukum-hukum yang mengatur kehidupan dalam bernegara harus adil.

Apabila negara menegakkan keadilan Allah maka hubungan antar-sesama

manusia akan terpelihara dengan baik.

Kebebasan Beragama Menurut Alkitab.

Alkitab memerintahkan dalam Keluaran 20: 3, “Jangan ada padamu

allah lain di hadapan-Ku”. Dan dalam Perjanjian Baru Yesus mengatakan,

“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap

jiwamu dan dengan segenap akal budimu”(Matius 22: 37). Kebenaran

tersebut dinyatakan oleh Yesus karena manusia tidak dapat menyembah

kepada dua tuan (Matius 6: 24). Hal itu juga menjelaskan bahwa semua

manusia hidup di hadapan Allah, sehingga semua manusia harus

menyembah Allah, jadi pada hakikatnya semua manusia beragama,

karena itu dapt disimpulkan semua kehidupan manusia adalah agama.44

44 Bdk. Greidanus, Sidney, Human Rights in Biblical perspective, hl. 28-31.

Page 23: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 117

Jika hidup manusia adalah agama, maka kebebasan beragama

berarti juga kebebasan untuk memilih siapa yang ingin disembah dan

yang tidak ingin disembah oleh seseorang, mengenai hal ini Stephen

Tong menjelaskan seperti berikut:

Tuhan menghormati hak asasi manusia, bahkan Ia terkadang

menghargai hak manusia untuk melawan Tuhan. Manusia

diberikan hak kebebasan oleh Tuhan termasuk kemungkinan

untuk melawan Tuhan. Itu adalah hak yang diberikan oleh

Tuhan… Disini kita dapat melihat bahwa Tuhan bukan diktator,

dan Ia tidak menindas semua yang melawanNya. Tetapi waktu

kita memakai hak asasi manusia untuk melawan Tuhan, maka itu

berarti kita sedang membunuh hak asasi kita sendiri, karena hak

asasi kita hanya dapat terjamin di dalam tangan Tuhan saja.45

Dengan demikian jelaslah kebebasan beragama juga berarti hak

untuk melepaskan keyakinan agamanya atau berganti agama

sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM

yang berbunyi demikian: “Hak kebebasan beragama adalah kemerdekaan

untuk memeluk agamanya yang didasarkan atas kehendak bebas manusia

(sesuai dengan keinginan hati nuraninya), tidak seorang pun dapat

dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin sembah atau apa yang ia

tidak ingin menyembahnya,”46 sebagaimana yang juga dinyatakan dalam

Vatikan II tahun 1965. Kebebasan beragama merupakan hak yang

didasarkan pada martabat manusia yang dinyatakan oleh firman Allah.47

Negara tidak dapat merampas hak kebebasan beragama, karena hak ini

diberikan oleh Tuhan. Sebaliknya negara wajib menjaga implementasi

dari hak-hak tersebut.

Selanjutnya kebebasan beragama tersebut juga berarti kemerdekaan

45 Tong, Iman Penderitaan dan Hak Asasi Manusia, h. 33.46 Tierney, Brian, Religious Right, hl. 242.47 Stahnke, Tad and J. Paul Martin, Religion and Human Rights: Basic

Document (New York: Columbia University, 1998), hl. 205-19.

Page 24: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

118 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

berkumpul karena aktivitas agama bersifat komunal. Namun dalam hal

pengimplementasian hak tersebut juga adalah hak untuk menyendiri,

karena hak tersebut juga berarti hak untuk tidak memeluk agama-agama

yang ada, misalnya agama resmi versi Departemen Agama RI. Karena

hidup itu agama, maka manusia yang menolak untuk memeluk agama

yang ditawarkan kepadanya, akan tetap beragama, entah itu berupa

penyembahan diri sendiri atau yang lainnya, hal itu juga merupakan

agama, bahkan Marxisme pun dapat disebut sebagai “agama.” Karena

hak kebebasan beragama adalah hak dari Allah, karena itu aktivitas

agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Namun karena

kebebasan beragama tidak tanpa batas, maka kebebasan beragama secara

bersamaan juga merupakan kewajiban untuk umat beragama lain dapat

melaksanakan kebebasan beragamanya.

Pemahaman bahwa HAM secara bersamaan juga merupakan

kewajiban untuk menjaga hak-hak orang lain dapat terpenuhi, secara

tegas dinyatakan dalam Matius 7:12, yang berbunyi demikian: “Segala

sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,

perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Pernyataan tersebut juga

dinyatakan dalam Lukas 6:31. Ayat tersebut biasa disebut sebagai “The

Golden Rule”, pesan ayat tersebut dalam bentuk yang negative juga ada

dalam kitab rabi orang Yahudi, demikian juga agama Budha, Hindu dan

Kongfucu.48 “Golden Rule” merupakan kewajiban setiap manusia yang

berharap diperlakukan sama dengan apa yang dikehendakinya.

Dalam hubungan dengan kebebasan beragama, hukum tersebut

mewajibkan setiap orang untuk menjaga hak kebebasan beragama orang

lain. Dan apabila semua orang berusaha untuk mengusahakan hak-hak

kebebasan beragama orang lain terpenuhi, maka pastilah semua manusia

akan terlindungi hak-hak nya.

48 Kenneth Barker (ed.), The NIV Study Bible ( Grand Rapids: Zondervan Pub ., 1985), hl. 1452.

Page 25: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 119

Hak Kebebasan Beragama dalam pandangan Martin Luther,

seorang tokoh Reformasi, secara bersamaan juga merupakan hak setiap

orang untuk menafsirkan Alkitab dengan cara mereka sendiri sesuai

dengan hati nuraninya. Pada waktu itu tidak setiap orang boleh membaca

Alkitab dan menafsirkannya, dan tidak setiap orang boleh tidak setuju

dengan penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja.49 Sehingga bidat

dalam sejarah kekristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja

dengan memakai tangan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang

bertentangan dengan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani. Jadi

Gereja pernah tidak taat kepada Alkitab dengan menindas bidat dengan

memakai tangan negara. Mengenai penyimpangan dalam Gereja tetsebut

Kuyper menjelaskan demikian :

Kewajiban pemerintah untuk menyingkirkan setiap bentuk

agama yang salah dan penyembahan berhala bukan penemuan

Calvinisme (apa kata Alkitab), tetapi berasal jauh dari Konstantin

Agung, dan merupakan reaksi terhadap penganiayaan-

penganiayaan mengerikan yang dilakukan oleh para Kaisar kafir

pendahulunya terhadap sekte Nazaret. Sejak hari itu, sistem ini

telah dipertahankan oleh semua teolog Katolik Roma dan

diterapkan oleh semua raja dan pangeran Kristen. Pada masa

Luther dan Calvin, ada keyakinan universal bahwa sistem itu

adalah sistem yang benar. Sementara itu orang-orang Calvinis

pada jaman Reformasi menyerahkan korban-korban mereka,

yang jumlahnya mungkin puluhan ribu, ke tiang gantungan dan

tiang pembakaran (korban pihak Lutheran dan Katolik Roma

hampir-hampir tidak layak dihitung), sejarah telah bersalah

dalam hal ketidakadilan yang besar dalam hal menuding eksekusi

hukuman bakar hidup-hidup atas Servetus sebagai crimen

49 Ozment, Steven, “Martin Luther on Religious Liberty.” Dalam Religious Liberty in Western Thoght, Noel B.Reynolds and W.Cole Durham Jr, ed. (Georgia: Scholars Press, 1996), hl. 75-82.

Page 26: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

120 HAK KEBEBASAN BERAGAMA

nefandum (kejahatan yang keji) 50

Penganiayaan terhadap bidat merupakan sesuatu yang

bertentangan dengan pengajaran Kristen yang Alkitabiah dan secara

bersamaan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan hati nurani, hal

ini dituangkan dalam deklarasi tahun 1649 dimana dinyatakan, bahwa

“penganiayaan karena iman adalah pembunuhan spiritual, pembunuhan

terhadap jiwa, suatu kemarahan yang diarahkan terhadap Allah sendiri,

dosa yang paling mengerikan,”51 Selama bidat-bidat Kristen atau bidat-

bidat agama lain tetap hidup mentaati undang-undang yang berlaku, maka

keberadaan mereka tidak boleh dihalangi oleh orang Kristen, baik oleh

kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan menggunakan kekuasaan

pemerintah.

KESIMPULAN

Hak Kebebasan Beragama sebagaimana dituangkan dalam deklarasi

universal HAM adalah sesuatu yang telah diakui oleh Alkitab, jauh

sebelum deklarasi HAM itu di kumandangkan. Umat Kristiani bukan

hanya tidak memiliki keberatan terhadap pasal 1 dan 18 dari Deklarasi

Universal HAM tentang kebebasan beragama, tetapi mengakuinya

sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan dan tidak bisa dirampas oleh

manusia dengan cara apapun.

Pengakuan kebebasan beragama dalam perspektif kristiani juga

mempunyai cakupan yang lebih luas dari Deklarasi Universal HAM,

karena kekristenan bukan saja mengakui setiap individu mempunyai hak

untuk memilih agama dan kepercayaan, di mana ada perbedaan antara

agama dan kepercayaan, tetapi dalam perspektif Kristen semua manusia

beragama, karena hidup itu sendiri adalah agama, maka tidak seoranpun

yang tidak beragama. Semua manusia berhak berdasarkan kedaulatan

50 Kuyper, Lecturer on Calvinism, hL. 114.51 Ibid., hL. 117.

Page 27: Kebebasan Beragama (Atikel Stulos)

JURNAL TEOLOGI STULOS 121

individunya sendiri untuk memilih agama maupun melepaskannya tanpa

boleh dihalangi oleh negara. Sebaliknya negara harus menjamin

kebebasan individu untuk dapat menikmati hak-hak nya, tanpa

mengganggu hak-hak orang lain.


Recommended