Transcript
Page 1: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1
Page 2: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1
Page 3: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

i

KAT A PENGANT AR

Plot STREK merupakan plot penelitian permanen yang hingga kini telah berumur

seperempat abad (25 tahun) menjadi salah satu aset penting bagi Badan Litbang

dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagai wahana

bagi berbagai tinjauan dan kajian bagi ilmu pengetahuan khususnya kehutanan

dan mampu sebagai jawaban bagi beberapa asumsi yang digunakan dalam

pengelolaan hutan alam produksi lestari sebelumnya. Hal ini menjadi salah satu

bentuk dukungan BLI untuk berperan serta dalam menghadapi isu-isu strategis

yang berkaitan dengan pengelolaan hutan alam produksi lestari khususnya dan

hutan alam pada umumnya.

Dengan keunggulan karakteristik dan ketersediaan data dari hasil monitoring

dan pengukuran ulang plot STREK yang bersifat jangka panjang, memungkinkan

untuk dilakukan berbagai kajian dan evaluasi bagi bentuk pengelolaan hutan

alam produksi. Status riset 25 tahun plot STREK sangat penting sebagai fakta

ilmiah dalam pemutakhiran informasi yang mencakup pemantauan dan penilaian

kondisi tegakan hutan alam produksi setelah penebangan yang mencakup

beberapa aspek sekaligus. Dan perlunya alih transformasi bentuk-bentuk kajian

ilmiah tersebut menjadi bentuk yang lebih implementatif

Sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dalam pengelolaan hutan alam produksi

yang mendukung sistem sertifikasi, dalam kajian buku ini berupaya untuk

meninjau bentuk hutan setelah penebangan berdasarkan aspek produktivitas &

ekologi konservasi. Dengan harapan, dapat teridentifikasinya bahan evaluasi

untuk pengelolaan hutan alam produksi terutama dalam penilaian kemampuan

pemulihan tegakan dalam rangka penyusunan kebijakan teknis untuk

peningkatan produktivitas hutan alam produksi yang lestari. Masukan, kritik dan

saran dari para nara sumber menjadi sangat peting terutama dalam meninjau

kebutuhan formulasi untuk redesain plot STREK kedepan sebagai media kajian

yang mempunyai nilai novelties bagi ilmu pengetahuan dan mampu bernilai lebih

implementatif bagi kebutuhan pengguna.

Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Dr. Ir. Henry Bastaman, MES

Page 4: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

ii

STATUS R ISET 25 T AH UN PLOT STREK

Dr. Farida Herry Susanty

Intisari

Buku ini menguraikan sejarah pembangunan plot STREK, proses kerjasama yang terjadi serta pengelolaannya hingga kini. Desain awal dan hasil-hasil kajian plot STREK yang telah diperoleh (manfaat). Teknik pengumpulan data di lapangan dan bentuk pengorganisasian data mempunyai struktur database yang bersifat permanen dan temporer yang mencakup data tegakan dan plot. Pendekatan Analisis menguraikan beberapa perangkat yang digunakan dalam analisis data. Status riset plot STREK mencakup beberapa aspek kajian. Model Struktur Tegakan pada hutan bekas tebangan baik dengan atau tanpa perlakuan pembebasan tegakan serta hutan primer. Pendekatan umum berdasarkan kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan yang lebih lanjut dilakukan berdasarkan penggelompokkan jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan hutan alam setelah penebangan dan setelah pembebasan akan sangat bervariasi berdasarkan kelompok jenis. Perhitungan riap individu dan tegakan dengan pendekatan diameter pohon dan bidang dasar tegakan secara periodik. Kuantifikasi ekologis jenis meliputi: bentuk keragaman jenis, dominansi jenis, kekayaan jenis, kemerataan sebaran jenis dan model sebaran spasial jenis. Pendekatan diamensi statis dan dinamis dilakukan dalam rangka menyusun keragaan karakteristik biometrik tegakan dalam rangka menyusun formulasi penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan. Pendekatan ragam variabel penyusun karakteristik tegakan dilakukan berdasarkan identifikasi variabel penting dan menyusun formulasinya sebagai komponen utama penilaian pemulihan tegakan hutan alam bekas penebangan berdasarkan multi dimensi kuantitatif.

Intisari topik yang

disampaikan dalam kajian status riset 25

tahun Plot STREK

Page 5: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

ii

STATUS R ISET 25 T AH UN PLOT STREK

Dr. Farida Herry Susanty

Intisari

Buku ini menguraikan sejarah pembangunan plot STREK, proses kerjasama yang terjadi serta pengelolaannya hingga kini. Desain awal dan hasil-hasil kajian plot STREK yang telah diperoleh (manfaat). Teknik pengumpulan data di lapangan dan bentuk pengorganisasian data mempunyai struktur database yang bersifat permanen dan temporer yang mencakup data tegakan dan plot. Pendekatan Analisis menguraikan beberapa perangkat yang digunakan dalam analisis data. Status riset plot STREK mencakup beberapa aspek kajian. Model Struktur Tegakan pada hutan bekas tebangan baik dengan atau tanpa perlakuan pembebasan tegakan serta hutan primer. Pendekatan umum berdasarkan kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan yang lebih lanjut dilakukan berdasarkan penggelompokkan jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan hutan alam setelah penebangan dan setelah pembebasan akan sangat bervariasi berdasarkan kelompok jenis. Perhitungan riap individu dan tegakan dengan pendekatan diameter pohon dan bidang dasar tegakan secara periodik. Kuantifikasi ekologis jenis meliputi: bentuk keragaman jenis, dominansi jenis, kekayaan jenis, kemerataan sebaran jenis dan model sebaran spasial jenis. Pendekatan diamensi statis dan dinamis dilakukan dalam rangka menyusun keragaan karakteristik biometrik tegakan dalam rangka menyusun formulasi penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan. Pendekatan ragam variabel penyusun karakteristik tegakan dilakukan berdasarkan identifikasi variabel penting dan menyusun formulasinya sebagai komponen utama penilaian pemulihan tegakan hutan alam bekas penebangan berdasarkan multi dimensi kuantitatif.

Intisari topik yang

disampaikan dalam kajian status riset 25

tahun Plot STREK

Page 6: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

iii

DAFTAR SINGKATAN

BD : Bidang dasar

CNV : Konvensional

CTR : Kontrol

D : Dipterocarpaceae

D-s : Dipterocarpaceae non Shorea

E : Indeks kemerataan jenis (Evenness) Pielou J’

H’ : Indeks keanekaragaman jenis Shannon

HBT : Hutan bekas tebangan

HP : Hutan primer

HSP : Hutan setelah pembebasan

I : Ingrowth

IM : Indeks Morisita

IS : Indeks similarity

J : Jumlah jenis

K : Kerapatan

KHDTK : Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

KKB : Keragaan karakteristik biometrik

M : Mortalitas

N1 : Kelimpahan jenis

nD : Non Dipterocarpaceae

P : Pembebasan

PPB : Pembebasan pohon binaan

PS : Pembebasan sistematik

R1 : Indeks kekayaan jenis (Richness) Margallef

rBD : Riap diameter tegakan rataan periodik

rD : Riap diameter individu rataan periodik

RIL 50 : Reduced Impact Logging 50 cm

RIL 60 : Reduced Impact Logging 60 cm

S : Shorea spp.

SD : Standar deviasi

SE : Standar error

SJ : Semua jenis

Page 7: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

iii

DAFTAR SINGKATAN

BD : Bidang dasar

CNV : Konvensional

CTR : Kontrol

D : Dipterocarpaceae

D-s : Dipterocarpaceae non Shorea

E : Indeks kemerataan jenis (Evenness) Pielou J’

H’ : Indeks keanekaragaman jenis Shannon

HBT : Hutan bekas tebangan

HP : Hutan primer

HSP : Hutan setelah pembebasan

I : Ingrowth

IM : Indeks Morisita

IS : Indeks similarity

J : Jumlah jenis

K : Kerapatan

KHDTK : Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

KKB : Keragaan karakteristik biometrik

M : Mortalitas

N1 : Kelimpahan jenis

nD : Non Dipterocarpaceae

P : Pembebasan

PPB : Pembebasan pohon binaan

PS : Pembebasan sistematik

R1 : Indeks kekayaan jenis (Richness) Margallef

rBD : Riap diameter tegakan rataan periodik

rD : Riap diameter individu rataan periodik

RIL 50 : Reduced Impact Logging 50 cm

RIL 60 : Reduced Impact Logging 60 cm

S : Shorea spp.

SD : Standar deviasi

SE : Standar error

SJ : Semua jenis

Page 8: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

iv

DAFTAR ISTILAH

CNV : Penebangan konvensional (CNV) yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60 cm berdasarkan pengalaman para penebang

CTR : Plot tanpa perlakuan (kontrol)

Ingrowth : besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun)

Mortalitas : banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar dalam periode waktu tertentu (2 tahun)

PPB : Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan yaitu mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang dasar

PS : Pembebasan tegakan secara sistematis yang dilakukan pada semua pohon non komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang dasar.

RIL 50 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan

RIL 60 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan.

KKB : Keragaan karakteristik biometrik sebagai formulasi dan suatu pendekatan kuantitatif untuk penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan yang berbasis multi aspek

Page 9: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

iv

DAFTAR ISTILAH

CNV : Penebangan konvensional (CNV) yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60 cm berdasarkan pengalaman para penebang

CTR : Plot tanpa perlakuan (kontrol)

Ingrowth : besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun)

Mortalitas : banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar dalam periode waktu tertentu (2 tahun)

PPB : Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan yaitu mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang dasar

PS : Pembebasan tegakan secara sistematis yang dilakukan pada semua pohon non komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang dasar.

RIL 50 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan

RIL 60 : Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60) yaitu pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta dilakukan pengawasan penebangan.

KKB : Keragaan karakteristik biometrik sebagai formulasi dan suatu pendekatan kuantitatif untuk penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan yang berbasis multi aspek

Page 10: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

INTISARI ii

DAFTAR SINGKATAN iii

DAFTAR ISTILAH iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL xii

1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Kerangka Pikir 2

1.3. Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 4

2 KEADAAN UMUM LOKASI 6

2.1. Risalah Plot STREK 6

2.2. Letak dan Aksesibiltas 8

2.3. Iklim dan Hidrologi 9

2.4. Topografi dan Kondisi Tanah 9

2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan 10

2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi 11

2.7. Sarana dan Prasarana 12

3 DESAIN PLOT DAN KARAKTERISTIK DATA 13

3.1. Desain Plot STREK 13

3.2. Struktur dan Organisasi Data 16

3.3. Karakteristik Data 17

4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALISIS 19

4.1. Pendekatan Analisis Status Riset 19

4.2. Model Struktur Tegakan 20

4.3. Mortalitas dan Ingrowth 24

4.4. Riap Individu dan Tegakan 25

4.5. Analisis Kantitatif Ekologis 26

4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan 29

5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN 30

5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan 31

5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan 35

5.3. Model Struktur Tegakan 39

6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH) 62

6.1. Mortalitas Tegakan 63

Page 11: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

INTISARI ii

DAFTAR SINGKATAN iii

DAFTAR ISTILAH iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL xii

1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Kerangka Pikir 2

1.3. Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 4

2 KEADAAN UMUM LOKASI 6

2.1. Risalah Plot STREK 6

2.2. Letak dan Aksesibiltas 8

2.3. Iklim dan Hidrologi 9

2.4. Topografi dan Kondisi Tanah 9

2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan 10

2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi 11

2.7. Sarana dan Prasarana 12

3 DESAIN PLOT DAN KARAKTERISTIK DATA 13

3.1. Desain Plot STREK 13

3.2. Struktur dan Organisasi Data 16

3.3. Karakteristik Data 17

4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALISIS 19

4.1. Pendekatan Analisis Status Riset 19

4.2. Model Struktur Tegakan 20

4.3. Mortalitas dan Ingrowth 24

4.4. Riap Individu dan Tegakan 25

4.5. Analisis Kantitatif Ekologis 26

4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan 29

5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN 30

5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan 31

5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan 35

5.3. Model Struktur Tegakan 39

6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH) 62

6.1. Mortalitas Tegakan 63

Page 12: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

vi

DAFTAR ISI (lanjutan)

6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan 71

6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth

78

7 RIAP PERIODIK TEGAKAN HUTAN 86

7.1. Riap Individu Periodik 87

7.2. Riap Tegakan Periodik 93

7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan

99

8 DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN 110

8.1. Komposisi Jenis 111

8.2. Indeks Nilai Penting Jenis 114

8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1) 123

8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margaleff (R1) 126

8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J ‘ (E) 127

8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) 129

8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM) 130

9 FORMULASI PENILAIAN PEMULIHAN TEGAKAN 134

9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB) 134

9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan 136

9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan 141

10 PENUTUP 143

DAFTAR PUSTAKA 145

Page 13: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

vi

DAFTAR ISI (lanjutan)

6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan 71

6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth

78

7 RIAP PERIODIK TEGAKAN HUTAN 86

7.1. Riap Individu Periodik 87

7.2. Riap Tegakan Periodik 93

7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan

99

8 DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN 110

8.1. Komposisi Jenis 111

8.2. Indeks Nilai Penting Jenis 114

8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1) 123

8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margaleff (R1) 126

8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J ‘ (E) 127

8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) 129

8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM) 130

9 FORMULASI PENILAIAN PEMULIHAN TEGAKAN 134

9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB) 134

9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan 136

9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan 141

10 PENUTUP 143

DAFTAR PUSTAKA 145

Page 14: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

vii

DAFTAR GAMBAR

1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset 4

2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia 7

3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan 8

4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan 14

5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan 15

6. Desain plot penelitian permanen STREK 16

7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK 19

8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 32

9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 33

10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 34

11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 36

12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 37

13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 38

14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer 39

15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 41

16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 42

17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 43

Page 15: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

vii

DAFTAR GAMBAR

1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset 4

2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia 7

3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan 8

4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan 14

5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan 15

6. Desain plot penelitian permanen STREK 16

7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK 19

8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 32

9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 33

10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 34

11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1) 36

12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 37

13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 38

14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer 39

15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 41

16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 42

17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 43

Page 16: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

viii

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 44

19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 45

20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 46

21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 47

22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 48

23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 49

24 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 50

25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 51

26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 52

27 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 53

28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 54

Page 17: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

viii

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 44

19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 45

20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 46

21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 47

22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 48

23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 49

24 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 50

25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 51

26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 52

27 Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 53

28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi 54

Page 18: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

ix

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55

30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55

31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56

32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56

33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis 59

34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis 60

35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 65

36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 66

37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 67

38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 68

39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 69

40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 72

Page 19: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

ix

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55

30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 55

31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56

32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis 56

33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis 59

34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis 60

35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 65

36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 66

37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 67

38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 68

39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 69

40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda 72

Page 20: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

x

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 73

42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 74

43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 75

44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 76

45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 81

46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan (HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 83

47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 100

48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 102

49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 106

50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 107

Page 21: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

x

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 73

42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 74

43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae 75

44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea 76

45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 81

46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan (HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 83

47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 100

48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer 102

49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 106

50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol) 107

Page 22: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xi

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 115

52 Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 116

53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 117

54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran 118

55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 120

56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 121

57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah pembebasan 122

58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan 138

59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 140

60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 142

Page 23: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xi

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 115

52 Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 116

53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan 117

54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran 118

55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 120

56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan 121

57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah pembebasan 122

58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan 138

59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 140

60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan 142

Page 24: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xii

DAFTAR TABEL

1 . Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan 10 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan 10 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan

tahun 2014 11 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan 12 5. Risalah Perlakuan Plot STREK 15 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK 17 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah

penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58

8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58

9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian 64 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua

jenis 70 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis 77 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah

penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 79

13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 80

14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis 88

15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae 89

16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae 89

17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp. 90

18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea

91

19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis

94

Page 25: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xii

DAFTAR TABEL

1 . Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan 10 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan 10 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan

tahun 2014 11 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan 12 5. Risalah Perlakuan Plot STREK 15 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK 17 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah

penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58

8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 58

9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian 64 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua

jenis 70 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis 77 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah

penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 79

13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 80

14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis 88

15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae 89

16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae 89

17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp. 90

18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea

91

19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis

94

Page 26: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xiii

DAFTAR TABEL (lanjutan)

20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae 95

21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae 96

22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp. 97

23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea 98

24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 100

25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 102

26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 104

27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 105

28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK 111 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 112 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan

dan pembebasan 113

31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

124

32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

125

33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan

126

34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan 128

35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan 129

36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 130

Page 27: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xiii

DAFTAR TABEL (lanjutan)

20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae 95

21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae 96

22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp. 97

23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea 98

24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 100

25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 102

26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 104

27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) 105

28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK 111 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 112 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan

dan pembebasan 113

31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

124

32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

125

33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan

126

34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan 128

35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan 129

36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK 130

Page 28: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xiv

DAFTAR TABEL (lanjutan)

37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK 131

38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK 132

39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK 132

40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan 137

41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan 139

Page 29: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

xiv

DAFTAR TABEL (lanjutan)

37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK 131

38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK 132

39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK 132

40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan 137

41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan 139

Page 30: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 1

PENDAHULUAN

Page 31: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 1

PENDAHULUAN

Page 32: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1.1.

Hutan hujan tropika dataran rendah merupakan hutan alam dengan karakteristik

tegakan yang khas dengan keragaman jenis yang terbesar di dunia (Richards 1964;

Whitmore 1990), tingkat perkembangan dan variasi dimensi tegakan (Prodan 1968). Tingkat

keragaman jenis suatu vegetasi merupakan hasil dari proses ekofisiologis yang dinamis yaitu

mempunyai korelasi dengan kondisi iklim setempat, kondisi hara, rentang toleransi jenis,

faktor biogeografi atau sebaran jenis dan variasi kondisi ekologi hutan (Lee et al. 2002).

Hutan tropika dataran rendah di Asia Tenggara didominasi oleh famili Dipterocarpaceae

sehingga sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae campuran (Richards 1964; Whitmore

1990) atau hutan Dipterocarpaceae (Ashton 1982). Hutan Dipterocarpaceae campuran di wilayah

Malesia Barat merupakan tipe hutan tropis paling produktif berdasarkan nilai kayunya

(FAO 2001). Di Indonesia, famili Dipterocarpaceae mempunyai kontribusi terbesar (lebih dari

25%) sebagai kayu komersial hutan alam dengan volume antara 50-100 m3 ha-1 terutama

untuk wilayah hutan di Kalimantan (Nicholson1979; Pinard dan Putz 1996; Sist et al.1998

diacu dalam Sist et al. 2003).

Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan

dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Variasi karakteristik tegakan

akan menimbulkan tantangan dalam pengelolaan hutan hujan tropika sekaligus resiko yang

menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan ekologis yang beragam

(Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan

kuantitas famili Dipterocarpaceae, sehingga metode pengaturan hasil sangat penting untuk

kelestarian produksi maupun aspek konservasi. Ragam kondisi hutan primer dan hutan

bekas tebangan menunjukkan perbedaan struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida

et al. 2005), serta variasi kerapatan tegakan, laju kematian (mortalitas) dan laju alih tumbuh

(ingrowth) (Lewis et al. 2004). Hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur,

kerapatan tegakan, laju kematian dan laju ingrowth. Aspek-aspek tersebut merupakan

variabel input utama dalam berbagai analisis populasi tegakan hutan dan dalam

mendeskripsikan dinamika hutan tropis (Swaine et al. 1987; Hartshorn 1990; Phillips dan

Gentry 1994; Phillips et al. 1994; Phillips 1996; Phillips et al. 2004 diacu dalam Lewis et al.

2004). Pemulihan pertumbuhan tegakan hutan akan berjalan seiring waktu (Smith dan

Nichols 2005), dengan pertumbuhan tegakan yang beragam, sehingga lamanya waktu

pemulihan akan beragam, tergantung pada tingkat kerusakan hutan dan daya dukung

lingkungannya (Muhdin et al. 2008). Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan

pertimbangan yang minimal terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan

regenerasi setelah penebangan (Sist et al. 2003).

Page 33: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1.1.

Hutan hujan tropika dataran rendah merupakan hutan alam dengan karakteristik

tegakan yang khas dengan keragaman jenis yang terbesar di dunia (Richards 1964;

Whitmore 1990), tingkat perkembangan dan variasi dimensi tegakan (Prodan 1968). Tingkat

keragaman jenis suatu vegetasi merupakan hasil dari proses ekofisiologis yang dinamis yaitu

mempunyai korelasi dengan kondisi iklim setempat, kondisi hara, rentang toleransi jenis,

faktor biogeografi atau sebaran jenis dan variasi kondisi ekologi hutan (Lee et al. 2002).

Hutan tropika dataran rendah di Asia Tenggara didominasi oleh famili Dipterocarpaceae

sehingga sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae campuran (Richards 1964; Whitmore

1990) atau hutan Dipterocarpaceae (Ashton 1982). Hutan Dipterocarpaceae campuran di wilayah

Malesia Barat merupakan tipe hutan tropis paling produktif berdasarkan nilai kayunya

(FAO 2001). Di Indonesia, famili Dipterocarpaceae mempunyai kontribusi terbesar (lebih dari

25%) sebagai kayu komersial hutan alam dengan volume antara 50-100 m3 ha-1 terutama

untuk wilayah hutan di Kalimantan (Nicholson1979; Pinard dan Putz 1996; Sist et al.1998

diacu dalam Sist et al. 2003).

Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan

dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Variasi karakteristik tegakan

akan menimbulkan tantangan dalam pengelolaan hutan hujan tropika sekaligus resiko yang

menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan ekologis yang beragam

(Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan

kuantitas famili Dipterocarpaceae, sehingga metode pengaturan hasil sangat penting untuk

kelestarian produksi maupun aspek konservasi. Ragam kondisi hutan primer dan hutan

bekas tebangan menunjukkan perbedaan struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida

et al. 2005), serta variasi kerapatan tegakan, laju kematian (mortalitas) dan laju alih tumbuh

(ingrowth) (Lewis et al. 2004). Hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur,

kerapatan tegakan, laju kematian dan laju ingrowth. Aspek-aspek tersebut merupakan

variabel input utama dalam berbagai analisis populasi tegakan hutan dan dalam

mendeskripsikan dinamika hutan tropis (Swaine et al. 1987; Hartshorn 1990; Phillips dan

Gentry 1994; Phillips et al. 1994; Phillips 1996; Phillips et al. 2004 diacu dalam Lewis et al.

2004). Pemulihan pertumbuhan tegakan hutan akan berjalan seiring waktu (Smith dan

Nichols 2005), dengan pertumbuhan tegakan yang beragam, sehingga lamanya waktu

pemulihan akan beragam, tergantung pada tingkat kerusakan hutan dan daya dukung

lingkungannya (Muhdin et al. 2008). Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan

pertimbangan yang minimal terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan

regenerasi setelah penebangan (Sist et al. 2003).

Page 34: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

2

Menurut Chertov et al. (2005), adanya paradigma baru dalam mencapai pengelolaan

hutan yang lestari membutuhkan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang efektif dengan

melibatkan aspek dinamika karakteristik ekologi. Salah satu pendekatan kuantitatif dalam

mempelajari kondisi pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan adalah dengan

tinjauan karakteristik biometrik. Prodan (1968) menyatakan bahwa karakteristik biometrik

hutan merupakan pendekatan kuantitatif yang mempelajari sifat atau ciri-ciri tegakan hutan

dalam ukuran (metrik) untuk suatu dimensi biologi spesifik sebagai identitas pengenal (skala

rasio dan interval). Dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan, model-model

kuantitatif diperlukan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas dalam mencapai

pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002). Penilaian kuantitatif berdasarkan

sampling floristik umumnya ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi

penelitian ekologi yang sangat penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani

dan Parthasarathy 2006). Untuk menurunkan adanya gap antara kegiatan eksploitasi hutan

dan upaya konservasi yang diperlukan untuk hutan alam, maka diperlukan informasi yang

lebih banyak tentang biologi dan ekologi, sebagai dasar ilmiah dalam kebijakan manajemen

hutan yang efektif (Naito et al. 2008).

Pembangunan dan monitoring Plot STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration

of Logged Over Forest in East Kalimantan) merupakan salah satu upaya untuk memperoleh

informasi karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah penebangan dengan berbagai

kondisi dan perlakuan sebagai input teknik silvikultur. Tujuan utama pada pembangunan

awal plot STREK adalah untuk memperoleh informasi teknik silvikultur dan aturan

pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan kondisi setempat maupun yang mempunyai

karakteristik sejenis sehingga pengelolaan hutan dapat direncanakan dengan baik dan lestari.

Rekomendasi yang dihasilkan dari tujuan tersebut adalah:

a) Memberikan kontribusi dalam evaluasi sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia);

b) Menilai dampak dari teknik Reduced Impact Logging terhadap tegakan hutan;

c) Evaluasi teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tegakan hutan setelah

penebangan dalam rangka peningkatan produktifitas hutan.

Manfaat yang telah diberikan berupa masukan dalam beberapa kebijakan teknis terkait

alternatif teknik silvikultur dari hasil penelitian maupun pengalaman teknis di lapangan.

Kerangka Pikir 1.2.

Sebagian besar penelitian awal dalam biometrik hutan terutama pemodelan

pertumbuhan hutan ditujukan pada hutan tanaman atau hutan temperate, yang tidak

mempunyai kompleksitas seperti pada hutan tropis (Vanclay 2003). Perkembangan

pemodelan dinamika hutan dalam berbagai studi kuantitatif sering mengalami hambatan

heterogenitas dan kompleksitas terhadap hutan itu sendiri (berupa keragaman tegakan dan

Page 35: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

2

Menurut Chertov et al. (2005), adanya paradigma baru dalam mencapai pengelolaan

hutan yang lestari membutuhkan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang efektif dengan

melibatkan aspek dinamika karakteristik ekologi. Salah satu pendekatan kuantitatif dalam

mempelajari kondisi pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan adalah dengan

tinjauan karakteristik biometrik. Prodan (1968) menyatakan bahwa karakteristik biometrik

hutan merupakan pendekatan kuantitatif yang mempelajari sifat atau ciri-ciri tegakan hutan

dalam ukuran (metrik) untuk suatu dimensi biologi spesifik sebagai identitas pengenal (skala

rasio dan interval). Dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan, model-model

kuantitatif diperlukan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas dalam mencapai

pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002). Penilaian kuantitatif berdasarkan

sampling floristik umumnya ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi

penelitian ekologi yang sangat penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani

dan Parthasarathy 2006). Untuk menurunkan adanya gap antara kegiatan eksploitasi hutan

dan upaya konservasi yang diperlukan untuk hutan alam, maka diperlukan informasi yang

lebih banyak tentang biologi dan ekologi, sebagai dasar ilmiah dalam kebijakan manajemen

hutan yang efektif (Naito et al. 2008).

Pembangunan dan monitoring Plot STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration

of Logged Over Forest in East Kalimantan) merupakan salah satu upaya untuk memperoleh

informasi karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah penebangan dengan berbagai

kondisi dan perlakuan sebagai input teknik silvikultur. Tujuan utama pada pembangunan

awal plot STREK adalah untuk memperoleh informasi teknik silvikultur dan aturan

pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan kondisi setempat maupun yang mempunyai

karakteristik sejenis sehingga pengelolaan hutan dapat direncanakan dengan baik dan lestari.

Rekomendasi yang dihasilkan dari tujuan tersebut adalah:

a) Memberikan kontribusi dalam evaluasi sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia);

b) Menilai dampak dari teknik Reduced Impact Logging terhadap tegakan hutan;

c) Evaluasi teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tegakan hutan setelah

penebangan dalam rangka peningkatan produktifitas hutan.

Manfaat yang telah diberikan berupa masukan dalam beberapa kebijakan teknis terkait

alternatif teknik silvikultur dari hasil penelitian maupun pengalaman teknis di lapangan.

Kerangka Pikir 1.2.

Sebagian besar penelitian awal dalam biometrik hutan terutama pemodelan

pertumbuhan hutan ditujukan pada hutan tanaman atau hutan temperate, yang tidak

mempunyai kompleksitas seperti pada hutan tropis (Vanclay 2003). Perkembangan

pemodelan dinamika hutan dalam berbagai studi kuantitatif sering mengalami hambatan

heterogenitas dan kompleksitas terhadap hutan itu sendiri (berupa keragaman tegakan dan

Page 36: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

3

variasi kondisi) dan keterbatasan atau ketiadaan data yang bersifat jangka panjang (Vanclay

1990, 1991, 1994a, Alder 1995, 1996, Gourlet-Fleury dan Houllier 2000 diacu dalam

Kariuki et al. 2006). Begitu pula dalam studi penilaian karakteristik dimensi tegakan dengan

pendekatan spasial menunjukkan kebutuhan memperoleh data pengamatan atau

pengukuran dengan waktu yang cukup lama untuk dapat memberikan valuasi yang lebih

tepat (Gullison dan Bourque 2001; Susilawati dan Jaya 2003; Mulyanto dan Jaya 2004).

Kegiatan pemantauan (monitoring) tegakan hutan dalam rangka penilaian pemulihan hutan,

menjadi sangat penting dalam mempelajari berbagai dimensi penting yang berperan secara

simultan dan komprehensif membentuk kondisi pemulihan tegakan hutan. Dalam

pemantauan dimensi tegakan hutan alam tanah kering pada plot permanen hasil kajian

menunjukkan bahwa periode optimal pengukuran adalah 2 tahun untuk tegakan yang

dipelihara dan 3 tahun untuk tegakan yang tanpa perlakuan (Suhendang 1997).

Kajian dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (Phillips et al. 2002; Vanclay

2003; Bunyavejchewin et al. 2003; Gourlet-Fleury et al. 2005; Bischoff et al. 2005; Mex 2005;

Hardiansyah et al. 2005; Kariuki et al. 2006; Kurinobu et al. 2006; Muhdin 2012; Setiawan

2013) menunjukkan bahwa pengetahuan karakteristik biometrik tegakan hutan alam masih

bersifat parsial, baik pada aspek produktivitas maupun ekologi konservasinya. Dalam kajian

status riset ini mencakup berbagai dimensi kuantitatif tegakan secara bersama-sama meliputi

dimensi statis (nilai kuantitatif pada suatu waktu) dan dimensi dinamis (nilai kuantitatif yang

mendeskripsikan fungsi waktu) pada variasi kondisi tegakan hutan alam produksi

berdasarkan runtun waktu (time series).

Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab pada kajian Plot STREK setelah dibangun

25 tahun adalah:

(1) Bagaimana laju pertumbuhan pada tegakan hutan alam setelah penebangan dengan

beberapa input perlakuan pemeliharaan tegakan dan teknik penebangan yang berbeda?

(2) Bagaimana dinamika pertumbuhan tegakan hutan alam setelah penebangan dalam hal

laju rekruitmen dan kematian (mortality)?

(3) Bagaimana dampak yang dialami tegakan sepanjang pemulihan tegakan setelah

penebangan dan seberapa cepat tegakan akan pulih?

(4) Apa saja karakteristik biometrik dimensi tegakan hutan yang bersifat statis maupun

dinamis yang dapat dipergunakan sebagai penciri untuk menggambarkan

kecenderungan arah perkembangan hutan setelah penebangan?

(5) Bagaimanakah rumusan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat

pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan?

Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan dapat dijawab melalui monitoring plot dari waktu ke

waktu, dengan memberikan peluang adanya kajian aspek lainnya yang dapat dipelajari dari

data monitoring tegakan hutan alam pada plot STREK. Dalam alur kajian ini dimensi

tegakan yang dimaksud meliputi (a) dimensi statis tegakan yaitu nilai kuantitatif pada suatu

waktu yang meliputi: kerapatan tegakan, bidang dasar tegakan, indeks nilai penting jenis,

Page 37: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

3

variasi kondisi) dan keterbatasan atau ketiadaan data yang bersifat jangka panjang (Vanclay

1990, 1991, 1994a, Alder 1995, 1996, Gourlet-Fleury dan Houllier 2000 diacu dalam

Kariuki et al. 2006). Begitu pula dalam studi penilaian karakteristik dimensi tegakan dengan

pendekatan spasial menunjukkan kebutuhan memperoleh data pengamatan atau

pengukuran dengan waktu yang cukup lama untuk dapat memberikan valuasi yang lebih

tepat (Gullison dan Bourque 2001; Susilawati dan Jaya 2003; Mulyanto dan Jaya 2004).

Kegiatan pemantauan (monitoring) tegakan hutan dalam rangka penilaian pemulihan hutan,

menjadi sangat penting dalam mempelajari berbagai dimensi penting yang berperan secara

simultan dan komprehensif membentuk kondisi pemulihan tegakan hutan. Dalam

pemantauan dimensi tegakan hutan alam tanah kering pada plot permanen hasil kajian

menunjukkan bahwa periode optimal pengukuran adalah 2 tahun untuk tegakan yang

dipelihara dan 3 tahun untuk tegakan yang tanpa perlakuan (Suhendang 1997).

Kajian dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (Phillips et al. 2002; Vanclay

2003; Bunyavejchewin et al. 2003; Gourlet-Fleury et al. 2005; Bischoff et al. 2005; Mex 2005;

Hardiansyah et al. 2005; Kariuki et al. 2006; Kurinobu et al. 2006; Muhdin 2012; Setiawan

2013) menunjukkan bahwa pengetahuan karakteristik biometrik tegakan hutan alam masih

bersifat parsial, baik pada aspek produktivitas maupun ekologi konservasinya. Dalam kajian

status riset ini mencakup berbagai dimensi kuantitatif tegakan secara bersama-sama meliputi

dimensi statis (nilai kuantitatif pada suatu waktu) dan dimensi dinamis (nilai kuantitatif yang

mendeskripsikan fungsi waktu) pada variasi kondisi tegakan hutan alam produksi

berdasarkan runtun waktu (time series).

Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab pada kajian Plot STREK setelah dibangun

25 tahun adalah:

(1) Bagaimana laju pertumbuhan pada tegakan hutan alam setelah penebangan dengan

beberapa input perlakuan pemeliharaan tegakan dan teknik penebangan yang berbeda?

(2) Bagaimana dinamika pertumbuhan tegakan hutan alam setelah penebangan dalam hal

laju rekruitmen dan kematian (mortality)?

(3) Bagaimana dampak yang dialami tegakan sepanjang pemulihan tegakan setelah

penebangan dan seberapa cepat tegakan akan pulih?

(4) Apa saja karakteristik biometrik dimensi tegakan hutan yang bersifat statis maupun

dinamis yang dapat dipergunakan sebagai penciri untuk menggambarkan

kecenderungan arah perkembangan hutan setelah penebangan?

(5) Bagaimanakah rumusan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat

pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan?

Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan dapat dijawab melalui monitoring plot dari waktu ke

waktu, dengan memberikan peluang adanya kajian aspek lainnya yang dapat dipelajari dari

data monitoring tegakan hutan alam pada plot STREK. Dalam alur kajian ini dimensi

tegakan yang dimaksud meliputi (a) dimensi statis tegakan yaitu nilai kuantitatif pada suatu

waktu yang meliputi: kerapatan tegakan, bidang dasar tegakan, indeks nilai penting jenis,

Page 38: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

4

indeks keanekaragaman jenis, tingkat kelimpahan, indeks kekayaan jenis, indeks kemerataan,

indeks kesamaan komunitas dan pola distribusi spasial jenis, dan (b) dimensi dinamis yaitu

nilai kuantitatif yang mendeskripsikan fungsi waktu yang meliputi: riap tegakan, tingkat

kematian/mortalitas dan ingrowth). Pengetahuan keragaan karakteristik biometrik hutan alam

setelah penebangan berdasarkan variasi kondisi tegakan di areal hutan alam produksi yaitu

variasi teknik penebangan dan variasi teknik pembebasan. Kerangka pikir dalam

penyusunan status riset ini disajikan pada gambar berikut.

Gambar 1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset

Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 1.3.

Ruang lingkup kajian plot STREK merupakan representasi areal hutan hujan

dataran rendah tanah kering bekas tebangan di wilayah Kalimantan khususnya yang

merupakan areal hutan alam produksi dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam

Indonesia (TPTI). Tegakan hutan didominasi oleh pohon-pohon dari famili Dipterocarpaceae

yang sering pula disebut sebagai hutan dipterokarpa campuran dataran rendah (lowland mixed

dipterocarp forest). Data yang dikumpulkan dari plot sangat bermanfaat sebagai input dalam

penyusunan strategi dan alternatif pada pemilihan teknik silvikultur dan panjang rotasi

untuk pemanenan selanjutnya. Kebutuhan data dan informasi terkini mengenai dinamika

pertumbuhan tegakan hutan alam produksi setelah penebangan secara periodik dan jangka

panjang, menjadi sangat penting baik untuk tinjauan riset maupun kebijakan.

Data & Informasi

Ragam Hutan Perencanaan dan

Pengelolaaan Hutan

Hutan Alam Produksi

Karakteristik

Biometrik

- Ragam Kondisi Hutan

- Struktur, komposisi jenis, potensi,

mortalitas, ingrowth (Lewis et al.

2004; Ishida et al. 2005)

Pengelolaan Hutan

Lestari

Penyediaan Perangkat

Manajemen Kuantitatif

Dimensi Kuantitatif

(Statis & Dinamis)

Page 39: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

4

indeks keanekaragaman jenis, tingkat kelimpahan, indeks kekayaan jenis, indeks kemerataan,

indeks kesamaan komunitas dan pola distribusi spasial jenis, dan (b) dimensi dinamis yaitu

nilai kuantitatif yang mendeskripsikan fungsi waktu yang meliputi: riap tegakan, tingkat

kematian/mortalitas dan ingrowth). Pengetahuan keragaan karakteristik biometrik hutan alam

setelah penebangan berdasarkan variasi kondisi tegakan di areal hutan alam produksi yaitu

variasi teknik penebangan dan variasi teknik pembebasan. Kerangka pikir dalam

penyusunan status riset ini disajikan pada gambar berikut.

Gambar 1. Alur Pikir Penyusunan Status Riset

Ruang Lingkup, Tujuan dan Output 1.3.

Ruang lingkup kajian plot STREK merupakan representasi areal hutan hujan

dataran rendah tanah kering bekas tebangan di wilayah Kalimantan khususnya yang

merupakan areal hutan alam produksi dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam

Indonesia (TPTI). Tegakan hutan didominasi oleh pohon-pohon dari famili Dipterocarpaceae

yang sering pula disebut sebagai hutan dipterokarpa campuran dataran rendah (lowland mixed

dipterocarp forest). Data yang dikumpulkan dari plot sangat bermanfaat sebagai input dalam

penyusunan strategi dan alternatif pada pemilihan teknik silvikultur dan panjang rotasi

untuk pemanenan selanjutnya. Kebutuhan data dan informasi terkini mengenai dinamika

pertumbuhan tegakan hutan alam produksi setelah penebangan secara periodik dan jangka

panjang, menjadi sangat penting baik untuk tinjauan riset maupun kebijakan.

Data & Informasi

Ragam Hutan Perencanaan dan

Pengelolaaan Hutan

Hutan Alam Produksi

Karakteristik

Biometrik

- Ragam Kondisi Hutan

- Struktur, komposisi jenis, potensi,

mortalitas, ingrowth (Lewis et al.

2004; Ishida et al. 2005)

Pengelolaan Hutan

Lestari

Penyediaan Perangkat

Manajemen Kuantitatif

Dimensi Kuantitatif

(Statis & Dinamis)

Page 40: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

5

Tujuan penyusunan buku dari kajian Plot STREK ini adalah untuk mendapatkan

gambaran fakta ilmiah dalam mengukur tingkat keterpulihan hutan alam setelah penebangan

menuju bentuk hutan alam primer (kondisi sebelum penebangan) dengan berbagai variasi

kondisi penebangan (sebagai representasi tingkat kerusakan) dan bentuk pembebasan

(sebagai representasi input teknik silvikultur pemeliharaan tegakan hutan). Beberapa

sasaran yang dicakup dalam kajian ini meliputi hal sebagai berikut:

1) Memperoleh bentuk karakteristik dimensi statis tegakan hutan alam setelah

penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) yang mencakup: kerapatan tegakan,

dominansi jenis, keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan jenis,

kemerataan, kesamaan dan pola sebaran spasial jenis tegakan.

2) Memperoleh karakteristik bentuk dimensi dinamis tegakan hutan alam stelah

penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) mencakup: model struktur tegakan,

riap/increment individu periodik, riap bidang dasar tegakan periodik, tingkat

kematian/mortality dan alih tumbuh/ingrowth.

3) Memperoleh variabel penting dalam penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah

penebangan yang dapat menjelaskan kecenderungan arah perkembangan struktur

tegakan menuju ke arah kondisi tegakan awal sebelum penebangan.

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pemutakhiran informasi penting dalam

ilmu pengetahuan kehutanan yang mencakup pemantauan dan penilaian kondisi tegakan

hutan alam setelah penebangan ditinjau dari aspek produktivitas dan ekologi konservasi.

Sehingga dapat teridentifikasi bahan evaluasi pengelolaan hutan alam produksi yang

berhubungan dengan penilaian kemampuan tegakan hutan alam untuk pulih dan menjadi

bahan pertimbangan kebijakan teknis yang diterapkan dalam peningkatan produktivitas

hutan alam berupa teknik silvikultur yang diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan alam

produksi lestari. Dan yang tidak kalah penting adalah upaya formulasi untuk redesain plot

STREK kedepan untuk memberikan kajian yang mempunyai nilai novelties bagi ilmu

pengetahuan dan mampu bernilai lebih implementatif bagi kebutuhan pengguna.

Page 41: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

5

Tujuan penyusunan buku dari kajian Plot STREK ini adalah untuk mendapatkan

gambaran fakta ilmiah dalam mengukur tingkat keterpulihan hutan alam setelah penebangan

menuju bentuk hutan alam primer (kondisi sebelum penebangan) dengan berbagai variasi

kondisi penebangan (sebagai representasi tingkat kerusakan) dan bentuk pembebasan

(sebagai representasi input teknik silvikultur pemeliharaan tegakan hutan). Beberapa

sasaran yang dicakup dalam kajian ini meliputi hal sebagai berikut:

1) Memperoleh bentuk karakteristik dimensi statis tegakan hutan alam setelah

penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) yang mencakup: kerapatan tegakan,

dominansi jenis, keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan jenis,

kemerataan, kesamaan dan pola sebaran spasial jenis tegakan.

2) Memperoleh karakteristik bentuk dimensi dinamis tegakan hutan alam stelah

penebangan berdasarkan runtun waktu (time series) mencakup: model struktur tegakan,

riap/increment individu periodik, riap bidang dasar tegakan periodik, tingkat

kematian/mortality dan alih tumbuh/ingrowth.

3) Memperoleh variabel penting dalam penilaian pemulihan tegakan hutan alam setelah

penebangan yang dapat menjelaskan kecenderungan arah perkembangan struktur

tegakan menuju ke arah kondisi tegakan awal sebelum penebangan.

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pemutakhiran informasi penting dalam

ilmu pengetahuan kehutanan yang mencakup pemantauan dan penilaian kondisi tegakan

hutan alam setelah penebangan ditinjau dari aspek produktivitas dan ekologi konservasi.

Sehingga dapat teridentifikasi bahan evaluasi pengelolaan hutan alam produksi yang

berhubungan dengan penilaian kemampuan tegakan hutan alam untuk pulih dan menjadi

bahan pertimbangan kebijakan teknis yang diterapkan dalam peningkatan produktivitas

hutan alam berupa teknik silvikultur yang diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan alam

produksi lestari. Dan yang tidak kalah penting adalah upaya formulasi untuk redesain plot

STREK kedepan untuk memberikan kajian yang mempunyai nilai novelties bagi ilmu

pengetahuan dan mampu bernilai lebih implementatif bagi kebutuhan pengguna.

Page 42: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 2

KEADAAN

UMUM LOKASI

Page 43: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 2

KEADAAN

UMUM LOKASI

Page 44: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

6

2 KEADAAN UMUM LOKAS I

2. 1. Risalah Plot STREK

Plot STREK berada dalam kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) hutan

penelitian (HP) Labanan, yang merupakan kawasan hutan untuk tujuan utama penelitian

dan pengembangan (UU No 41 tahun 1999). Pembangunan KHDTK HP Labanan diawali

dengan berdirinya stasiun hutan penelitian Labanan yang semula merupakan areal konsesi

IUPHHKA PT. Inhutani I Unit Labanan. Stasiun hutan penelitian tersebut merupakan

hasil proyek kerja sama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, lembaga

The Centre de Coopération Internationale en Recherce Agronomique poue le Développement(CIRAD-

Forét) Perancis dan PT Inhutani I pada September 1989 yaitu dengan pembangunan plot

STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration of Logged Over Forest in East Kalimantan). Pada

awal pembangunan hutan penelitian mempunyai luas areal ± 72 ha, beserta luas hutan

penyangga (buffer zone) seluas 700 ha.

Berdasarkan dokumen kesepakatan Konferensi International Tropical Forest Action

Program (TFAT) yang diadakan di Yogyakarta, dengan berakhirnya proyek kerjasama

tersebut pada tahun 1996 maka proyek kerjasama dilanjutkan oleh Berau Forest Manegement

Project (BFMP), Uni Eropa. Sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor: 866/Kpts-X/1999

menyatakan kerjasama dimulai sejak 1996-2002 dengan kesepakatan Ditjen Pengusahaan

Hutan ditunjuk sebagai executing agency, sedangkan Badan Litbang Kehutanan dan PT.

Inhutani I ditunjuk sebagai participating agencies dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Ruang

lingkup kegiatan bukan hanya pada plot STREK tetapi diperluas ke aspek sosial, ekonomi

dan ekologi, dengan luas areal proyek dikembangkan menjadi 147.691 ha. Berdasarkan Peta

Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan

lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001,

kawasan hutan Labanan berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap dan telah dibebani Ijin

Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) an. PT. Inhutani I Unit

Labanan yang bermitra kerja dengan Perusahaan Umum Daerah PT. Hutan Sanggam

Labanan Lestari.Kerja sama dengan BFMP berakhir pada bulan Juni 2002, yang kemudian

dilanjutkan oleh Berau Forest Bridging Project (BFBP) hingga Juni 2004. Sejak Juni 2004

hingga sekarang, pengelolaan dan monitoring plot STREK dilakukan oleh Badan Litbang

Kehutanan melalui Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (dulu: Balai Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan Kalimantan).

Hutan Penelitian Labanan ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 121/Menhut-

II/2007 tanggal 2 April 2007 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ±

Page 45: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

6

2 KEADAAN UMUM LOKAS I

2. 1. Risalah Plot STREK

Plot STREK berada dalam kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) hutan

penelitian (HP) Labanan, yang merupakan kawasan hutan untuk tujuan utama penelitian

dan pengembangan (UU No 41 tahun 1999). Pembangunan KHDTK HP Labanan diawali

dengan berdirinya stasiun hutan penelitian Labanan yang semula merupakan areal konsesi

IUPHHKA PT. Inhutani I Unit Labanan. Stasiun hutan penelitian tersebut merupakan

hasil proyek kerja sama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, lembaga

The Centre de Coopération Internationale en Recherce Agronomique poue le Développement(CIRAD-

Forét) Perancis dan PT Inhutani I pada September 1989 yaitu dengan pembangunan plot

STREK (Silvicultural Tehnique for the Regeneration of Logged Over Forest in East Kalimantan). Pada

awal pembangunan hutan penelitian mempunyai luas areal ± 72 ha, beserta luas hutan

penyangga (buffer zone) seluas 700 ha.

Berdasarkan dokumen kesepakatan Konferensi International Tropical Forest Action

Program (TFAT) yang diadakan di Yogyakarta, dengan berakhirnya proyek kerjasama

tersebut pada tahun 1996 maka proyek kerjasama dilanjutkan oleh Berau Forest Manegement

Project (BFMP), Uni Eropa. Sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor: 866/Kpts-X/1999

menyatakan kerjasama dimulai sejak 1996-2002 dengan kesepakatan Ditjen Pengusahaan

Hutan ditunjuk sebagai executing agency, sedangkan Badan Litbang Kehutanan dan PT.

Inhutani I ditunjuk sebagai participating agencies dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Ruang

lingkup kegiatan bukan hanya pada plot STREK tetapi diperluas ke aspek sosial, ekonomi

dan ekologi, dengan luas areal proyek dikembangkan menjadi 147.691 ha. Berdasarkan Peta

Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan

lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001,

kawasan hutan Labanan berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap dan telah dibebani Ijin

Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) an. PT. Inhutani I Unit

Labanan yang bermitra kerja dengan Perusahaan Umum Daerah PT. Hutan Sanggam

Labanan Lestari.Kerja sama dengan BFMP berakhir pada bulan Juni 2002, yang kemudian

dilanjutkan oleh Berau Forest Bridging Project (BFBP) hingga Juni 2004. Sejak Juni 2004

hingga sekarang, pengelolaan dan monitoring plot STREK dilakukan oleh Badan Litbang

Kehutanan melalui Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (dulu: Balai Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan Kalimantan).

Hutan Penelitian Labanan ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 121/Menhut-

II/2007 tanggal 2 April 2007 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ±

Page 46: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

7

7.900 ha di Kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur. Penataan batas di lapangan telah

dilakukan dan penandatangananBerita Acara Tata Batas dilakukan oleh Panitia Tata Batas

Kawasan Hutan Kabupaten Berau yang tertuang dalam Keputusan Bupati Berau Nomor

407/2007 tanggal 27 Agustus 2007 seluas 7.959,10 ha (sebagaimana Berita Acara Tata Batas

tanggal 25 Agustus 2009). Selanjutnya pemantapan kawasan melalui Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor: SK. 64/Menhut-II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Penetapan

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian Labanan yang terletak di

Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur seluas 7.959,10 Hektar. Pengelolaan

KHDTK HP Labanan diserahkan kepada Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD)

sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan Nomor: SK.

90/Kpts/VIII/2007 pada tanggal 25 Mei 2007. Hingga kini, KHDTK HP Labanan

merupakan KHDTK terluas yang dimiliki Badan Litbang dan Inovasi dengan karakteristik

hutan tropika basah dengan kondisi aksesibilitas yang cukup baik.

Gambar 2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia

Page 47: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

7

7.900 ha di Kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur. Penataan batas di lapangan telah

dilakukan dan penandatangananBerita Acara Tata Batas dilakukan oleh Panitia Tata Batas

Kawasan Hutan Kabupaten Berau yang tertuang dalam Keputusan Bupati Berau Nomor

407/2007 tanggal 27 Agustus 2007 seluas 7.959,10 ha (sebagaimana Berita Acara Tata Batas

tanggal 25 Agustus 2009). Selanjutnya pemantapan kawasan melalui Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor: SK. 64/Menhut-II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Penetapan

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian Labanan yang terletak di

Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur seluas 7.959,10 Hektar. Pengelolaan

KHDTK HP Labanan diserahkan kepada Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD)

sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan Nomor: SK.

90/Kpts/VIII/2007 pada tanggal 25 Mei 2007. Hingga kini, KHDTK HP Labanan

merupakan KHDTK terluas yang dimiliki Badan Litbang dan Inovasi dengan karakteristik

hutan tropika basah dengan kondisi aksesibilitas yang cukup baik.

Gambar 2. Lokasi KHDTK HP Labanan di Kalimantan Timur, Indonesia

Page 48: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

8

2.2. Letak dan Aksesibilitas

Secara geografis, KHDTK HP Labanan terletak antara 117°10'22"-117°15'35"

Bujur Timur dan 1°52'43"-1°57'34" Lintang Utara. Berdasarkan wilayah administrasi

pemerintahan, terletak di Desa Labanan dalam wilayah Kabupaten Berau Provinsi

Kalimantan Timur. Di sebelah utara, barat dan selatan KHDTK HP Labanan berbatasan

dengan wilayah konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Hutan

Sanggam Labanan Lestari dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kuasa

Pertambangan PT. Berau Coal. Berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan, KHDTK HP

Labanan terletak di tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sambaliung, Teluk Bayur dan

Segah. Sedangkan berdasarkan wilayah Daerah Aliran Sungai, kawasan KHDTK HP

Labanan termasuk ke dalam DAS Berau, Sub DAS Segah.

Kondisi aksesibilitas menuju lokasi berjarak ±51 km dari Tanjung Redeb (ibu kota

Kabupaten Berau). Jarak darat dari kota Samarinda ke Desa Labanan ± 500 km,

dimanamenuju kawasan dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu:

• Jalur darat : Samarinda – Labanan ditempuh dalam waktu ±14 jam.

• Jalur udara : BandaraTemindung (Samarinda) - Bandara Kalimarau (Tanjung Redeb) –

dilanjutkan jalan darat ke Hutan Penelitian Labanan kurang lebih ± 2 jam.

Gambar 3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan

Page 49: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

8

2.2. Letak dan Aksesibilitas

Secara geografis, KHDTK HP Labanan terletak antara 117°10'22"-117°15'35"

Bujur Timur dan 1°52'43"-1°57'34" Lintang Utara. Berdasarkan wilayah administrasi

pemerintahan, terletak di Desa Labanan dalam wilayah Kabupaten Berau Provinsi

Kalimantan Timur. Di sebelah utara, barat dan selatan KHDTK HP Labanan berbatasan

dengan wilayah konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Hutan

Sanggam Labanan Lestari dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kuasa

Pertambangan PT. Berau Coal. Berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan, KHDTK HP

Labanan terletak di tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sambaliung, Teluk Bayur dan

Segah. Sedangkan berdasarkan wilayah Daerah Aliran Sungai, kawasan KHDTK HP

Labanan termasuk ke dalam DAS Berau, Sub DAS Segah.

Kondisi aksesibilitas menuju lokasi berjarak ±51 km dari Tanjung Redeb (ibu kota

Kabupaten Berau). Jarak darat dari kota Samarinda ke Desa Labanan ± 500 km,

dimanamenuju kawasan dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu:

• Jalur darat : Samarinda – Labanan ditempuh dalam waktu ±14 jam.

• Jalur udara : BandaraTemindung (Samarinda) - Bandara Kalimarau (Tanjung Redeb) –

dilanjutkan jalan darat ke Hutan Penelitian Labanan kurang lebih ± 2 jam.

Gambar 3. Peta Situasi KHDTK HP Labanan

Page 50: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

9

2.3. Iklim dan Hidrologi

Berdasarkan Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson (1951), tipe iklim di

kawasan KHDTK Labanan tergolong tipe iklim B (Q = 14,3 - 33,3%). Berdasarkan data

curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandara Kalimarau

(2005), rataan hujan bulanan berkisar antara 4,9 - 140,1 mm per bulan. Curah hujan

tahunannya adalah rata-rata 2.012 mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan

pebruari sebesar 140.1 mm dan terendah pada bulan juni sebesar 4.9 mm. Rata-rata jumlah

hari hujan per tahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan.

Jumlah hari hujan di bawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September

(Bertault dan Kadir 1998). Jeluk hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juni,

selanjutnya meningkat pada bulan-bulan berikutnya. Jeluk hujan tertinggi terjadi pada bulan

Pebruari yang merupakan kisaran akhir musim penghujan dan awal masa pancaroba.

Sebagian kecil (4%) kawasan Labanan yaitu dibagian Selatan memperoleh hujan yang

berkisar antara 2.500 - 3.000 mm/tahun (B2PD, 2010).

Suhu udara maksimum tertinggi 35 ˚C pada bulan September dan Nopember dan

terendah 33 ˚C pada bulan Januari, sedangkan suhu udara minimum tertinggi 22 ˚C pada

bulan Mei dan Juni dan minimum terendah 21 ˚C terjadi pada bulan Februari dan Agustus

dengan temperatur rata-rata 26 ºC. Kelembaban nisbi udara rata-rata bulanan umumnya

sebesar 77%. Kelembaban nisbi udara terendah adalah 75% pada bulan September dan

tertinggi 79% pada bulan Nopember dan Desember. Dengan kelembaban tahunan rata-

rata 91% dengan kisaran rata-rata bulanan antara 89-95% dan variasi sebesar 6% (Bertault

dan Kadir 1998).

Berdasarkan Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000 dengan penajaman pada kontur dan

morfologi sungai serta Peta RTRW Kabupaten Berau skala 1:50.000, maka dapat

diidentifikasi bahwa di KHDTK Hutan Penelitian Labanan termasuk di dalam wilayah

Daerah Aliran Sungai (DAS) Segah dan DAS Kelay. Adapun anak Sungai Segah yang cukup

besar adalah Sungai Siduung. Sementara itu sungai-sungai yangterdapat dilokasi KHDTK

Hutan Penelitian Labanan dan bermuara ke Sungai Kelay adalah Sungai Tumbit, Sungai But

dan Sungai Bawan (B2PD, 2010).

2.4. Topografi dan Kondisi Tanah

Areal hutan Labanan mempunyai kelerengan dari landai (0-8%) hingga curam

(> 45%) seperti pada Tabel 1. Secara umum mempunyai topografi yang cenderung

berbukit dengan ketinggian areal hingga 500 m dpl.

Page 51: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

9

2.3. Iklim dan Hidrologi

Berdasarkan Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson (1951), tipe iklim di

kawasan KHDTK Labanan tergolong tipe iklim B (Q = 14,3 - 33,3%). Berdasarkan data

curah hujan yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandara Kalimarau

(2005), rataan hujan bulanan berkisar antara 4,9 - 140,1 mm per bulan. Curah hujan

tahunannya adalah rata-rata 2.012 mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan

pebruari sebesar 140.1 mm dan terendah pada bulan juni sebesar 4.9 mm. Rata-rata jumlah

hari hujan per tahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13 hari hujan.

Jumlah hari hujan di bawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September

(Bertault dan Kadir 1998). Jeluk hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Juni,

selanjutnya meningkat pada bulan-bulan berikutnya. Jeluk hujan tertinggi terjadi pada bulan

Pebruari yang merupakan kisaran akhir musim penghujan dan awal masa pancaroba.

Sebagian kecil (4%) kawasan Labanan yaitu dibagian Selatan memperoleh hujan yang

berkisar antara 2.500 - 3.000 mm/tahun (B2PD, 2010).

Suhu udara maksimum tertinggi 35 ˚C pada bulan September dan Nopember dan

terendah 33 ˚C pada bulan Januari, sedangkan suhu udara minimum tertinggi 22 ˚C pada

bulan Mei dan Juni dan minimum terendah 21 ˚C terjadi pada bulan Februari dan Agustus

dengan temperatur rata-rata 26 ºC. Kelembaban nisbi udara rata-rata bulanan umumnya

sebesar 77%. Kelembaban nisbi udara terendah adalah 75% pada bulan September dan

tertinggi 79% pada bulan Nopember dan Desember. Dengan kelembaban tahunan rata-

rata 91% dengan kisaran rata-rata bulanan antara 89-95% dan variasi sebesar 6% (Bertault

dan Kadir 1998).

Berdasarkan Peta Rupa Bumi Skala 1:50.000 dengan penajaman pada kontur dan

morfologi sungai serta Peta RTRW Kabupaten Berau skala 1:50.000, maka dapat

diidentifikasi bahwa di KHDTK Hutan Penelitian Labanan termasuk di dalam wilayah

Daerah Aliran Sungai (DAS) Segah dan DAS Kelay. Adapun anak Sungai Segah yang cukup

besar adalah Sungai Siduung. Sementara itu sungai-sungai yangterdapat dilokasi KHDTK

Hutan Penelitian Labanan dan bermuara ke Sungai Kelay adalah Sungai Tumbit, Sungai But

dan Sungai Bawan (B2PD, 2010).

2.4. Topografi dan Kondisi Tanah

Areal hutan Labanan mempunyai kelerengan dari landai (0-8%) hingga curam

(> 45%) seperti pada Tabel 1. Secara umum mempunyai topografi yang cenderung

berbukit dengan ketinggian areal hingga 500 m dpl.

Page 52: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

10

Tabel 1. Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan

No Jenis kelas kelerengan

Keadaan Luas (ha) Persentase (%)

1 0-8% Datar sampai berombak 4 599.05 57.78

2 9-15% Bergelombang 2 729.23 34.29

3 16-25% Bergelombang sampai

berbukit

509.40 6.40

4 26-40% Berbukit terjal 112.36 1.41

5 > 40% Bergunung-gunung 9.06 0. 11

Terdapat dua jenis tanah di KHDTK Labanan, yaitu jenis Dystropepts dan

Tropudults dan termasuk dalam dua formasi geologi, yaitu formasi Birang dan Latih.

Batuan dasar berupa deposit alluvial (mudstone, silstone, sandstone dan gravel) dari batuan

induk Miocene dan Pliocene. Jenis tanah dalam kawasan meliputi Podsolik merah kuning,

latosol dan litosol (B2PD 2010).

Jenis tanah memiliki karakteristik tekstur lempung, lempung liat berpasir sampai

lempung berliat, dengan warna kuning kecoklatan dan struktur gumpal. Tanah ini

berkembang dari bahan induk batu pasir dan batu liat. Pengamatan pada profil tanah

pewakil bahwa jenis ini memiliki horizon penciri B argilik. Reaksi tanah jenis podsolik haplik

sangat masam dengan pH 4-4.5; KTK tanah rendah, kejenuhan basa rendah 12-18% dan

bahan organik rendah sehingga jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah dan peka

terhadap erosi (Bertault dan Kadir 1998). Luasan dan persentase berdasarkan klasifikasi

jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan

No. Uraian Sub uraian Luas (ha) Persentase (%)

1. Jenis Tanah Dystropepts 5.374,90 67,53 Tropaquepts 2.584,20 32,47 2. Formasi Geologi Birang 1.280,54 16,09 Latih 6.678,56 83,91

2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan pada konsesi hutan Berau

menunjukan bahwa hutan tersebut mempunyai potensi yang cukup besar untuk jenis

komersial, terutama dari famili Dipterocarpaceae, sedangkan kehadiran jenis antar plot

pengamatan secara relatif tidak begitu berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan

jenis tersebut untuk mengembangbiakan diri, kondisi habitat, waktu serta faktor pembatas

(limiting factor) lainnya. Selain dari famili Dipterocarpaceae, jenis dominan antara lain Sapotaceae,

Meliaceae, Moraceae, Ebenaceae, Sapindaceae dan Leguminaceae (Bertault dan Kadir 1998).

Page 53: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

10

Tabel 1. Kondisi dan sebaran kelas kelerengan di KHDTK Labanan

No Jenis kelas kelerengan

Keadaan Luas (ha) Persentase (%)

1 0-8% Datar sampai berombak 4 599.05 57.78

2 9-15% Bergelombang 2 729.23 34.29

3 16-25% Bergelombang sampai

berbukit

509.40 6.40

4 26-40% Berbukit terjal 112.36 1.41

5 > 40% Bergunung-gunung 9.06 0. 11

Terdapat dua jenis tanah di KHDTK Labanan, yaitu jenis Dystropepts dan

Tropudults dan termasuk dalam dua formasi geologi, yaitu formasi Birang dan Latih.

Batuan dasar berupa deposit alluvial (mudstone, silstone, sandstone dan gravel) dari batuan

induk Miocene dan Pliocene. Jenis tanah dalam kawasan meliputi Podsolik merah kuning,

latosol dan litosol (B2PD 2010).

Jenis tanah memiliki karakteristik tekstur lempung, lempung liat berpasir sampai

lempung berliat, dengan warna kuning kecoklatan dan struktur gumpal. Tanah ini

berkembang dari bahan induk batu pasir dan batu liat. Pengamatan pada profil tanah

pewakil bahwa jenis ini memiliki horizon penciri B argilik. Reaksi tanah jenis podsolik haplik

sangat masam dengan pH 4-4.5; KTK tanah rendah, kejenuhan basa rendah 12-18% dan

bahan organik rendah sehingga jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah dan peka

terhadap erosi (Bertault dan Kadir 1998). Luasan dan persentase berdasarkan klasifikasi

jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Jenis tanah dan formasi geologi pada KHDTK HP Labanan

No. Uraian Sub uraian Luas (ha) Persentase (%)

1. Jenis Tanah Dystropepts 5.374,90 67,53 Tropaquepts 2.584,20 32,47 2. Formasi Geologi Birang 1.280,54 16,09 Latih 6.678,56 83,91

2.5. Vegetasi, Satwa dan Penutupan Lahan

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan pada konsesi hutan Berau

menunjukan bahwa hutan tersebut mempunyai potensi yang cukup besar untuk jenis

komersial, terutama dari famili Dipterocarpaceae, sedangkan kehadiran jenis antar plot

pengamatan secara relatif tidak begitu berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan

jenis tersebut untuk mengembangbiakan diri, kondisi habitat, waktu serta faktor pembatas

(limiting factor) lainnya. Selain dari famili Dipterocarpaceae, jenis dominan antara lain Sapotaceae,

Meliaceae, Moraceae, Ebenaceae, Sapindaceae dan Leguminaceae (Bertault dan Kadir 1998).

Page 54: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

11

Kondisi penutupan lahan pada areal hutan Labanan berupa hutan hujan tropika

dataran rendah yang dicirikan oleh famili Dipterocarpaceae yang didominasi jenis Shorea,

Dipterocarpus dan Vatica pada virgin forest (hutan primer). Famili lain yang banyak dijumpai

adalah Euphorbiaceae. Jenis-jenis pohon lindung antara lain Tengkawang (Shorea pinanga), Ulin

(Eusideroxylon zwagerii), Bangeris (Compasia excelsa), Jelutung (Dyera costulata) dan Durian

(Durio sp). Daerah lahan basah berupa hutan rawa hanya terdapat di sepnajang sungai

Segah dan Kelai sebagaian sungai Siduung. Daerah ini didominasi oleh jenis Perupuk

(Lophopetalum sp) dan Meranti rawa (Saridan dan Susanty 2005).

Jenis satwa yang masih dijumpai di kawasan KHDTK Hutan Penelitian Labanan

antara lain: Rusa (Cervus sp), Babi hutan (Sus barbatus), Burung Enggang (Buceros rhinoceros),

Burung Kwau (Argusianus argus), Burung Merak (Pawo Mutiacus) dan lainnya (B2PD, 2010)

Hasil interpretasi citra Landsat OLI 8 tahun 2014, tutupan lahan dapat

dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu: kerapatan tinggi, kerapatan sedang, belukar dan lahan

terbuka. Dinamika perubahan kondisi dan sebaran tutupan lahan pada tahun 2014 (Susanty

et al. 2015) disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan tahun 2014

No. Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1. Belukar 165.0 2.1 2. Hutan Rawa 23.7 0.3 3. Hutan Sekunder Kerapatan Sedang 7742.0 97.3 4. Lahan Terbuka 3.7 0.0 5. Rawa 9.9 0.1 6. Semak/Alang-alang 13.6 0.2 Total 7959.1 100

2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi

Sebagian besar penduduk desa di sekitar hutan Labanan adalah warga transmigrasi

yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara

Barat dan masyarakat dayak lokal. Mata pencaharian umumnya bagi penduduk adalah

bertani (berladang berpindah), tetapi pemanfaatan lahan masih sangat rendah. Hal ini

disebabkan kurangnya kesuburan tanah sehingga setelah digarap pada tahun pertama

sampai tahun ketiga, hasilnya tidak mencapai seperti yang diharapkan. Akibatnya lahan

yang ditinggalkan menjadi lahan tidur, yang ditumbuhi oleh alang-alang dan semak (Susanty

et al. 2015). Selain kegiatan bertani atau berladang, masyarakat masih menyandarkan

hidupnya pada hutan untuk diambil manfaatnya baik kayu maupun non kayu, serta adanya

usaha peternakan.

Page 55: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

11

Kondisi penutupan lahan pada areal hutan Labanan berupa hutan hujan tropika

dataran rendah yang dicirikan oleh famili Dipterocarpaceae yang didominasi jenis Shorea,

Dipterocarpus dan Vatica pada virgin forest (hutan primer). Famili lain yang banyak dijumpai

adalah Euphorbiaceae. Jenis-jenis pohon lindung antara lain Tengkawang (Shorea pinanga), Ulin

(Eusideroxylon zwagerii), Bangeris (Compasia excelsa), Jelutung (Dyera costulata) dan Durian

(Durio sp). Daerah lahan basah berupa hutan rawa hanya terdapat di sepnajang sungai

Segah dan Kelai sebagaian sungai Siduung. Daerah ini didominasi oleh jenis Perupuk

(Lophopetalum sp) dan Meranti rawa (Saridan dan Susanty 2005).

Jenis satwa yang masih dijumpai di kawasan KHDTK Hutan Penelitian Labanan

antara lain: Rusa (Cervus sp), Babi hutan (Sus barbatus), Burung Enggang (Buceros rhinoceros),

Burung Kwau (Argusianus argus), Burung Merak (Pawo Mutiacus) dan lainnya (B2PD, 2010)

Hasil interpretasi citra Landsat OLI 8 tahun 2014, tutupan lahan dapat

dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu: kerapatan tinggi, kerapatan sedang, belukar dan lahan

terbuka. Dinamika perubahan kondisi dan sebaran tutupan lahan pada tahun 2014 (Susanty

et al. 2015) disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. Kondisi dan sebaran tutupan lahan di KHDTK HP Labanan tahun 2014

No. Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1. Belukar 165.0 2.1 2. Hutan Rawa 23.7 0.3 3. Hutan Sekunder Kerapatan Sedang 7742.0 97.3 4. Lahan Terbuka 3.7 0.0 5. Rawa 9.9 0.1 6. Semak/Alang-alang 13.6 0.2 Total 7959.1 100

2.6. Kondisi Sosial dan Ekonomi

Sebagian besar penduduk desa di sekitar hutan Labanan adalah warga transmigrasi

yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara

Barat dan masyarakat dayak lokal. Mata pencaharian umumnya bagi penduduk adalah

bertani (berladang berpindah), tetapi pemanfaatan lahan masih sangat rendah. Hal ini

disebabkan kurangnya kesuburan tanah sehingga setelah digarap pada tahun pertama

sampai tahun ketiga, hasilnya tidak mencapai seperti yang diharapkan. Akibatnya lahan

yang ditinggalkan menjadi lahan tidur, yang ditumbuhi oleh alang-alang dan semak (Susanty

et al. 2015). Selain kegiatan bertani atau berladang, masyarakat masih menyandarkan

hidupnya pada hutan untuk diambil manfaatnya baik kayu maupun non kayu, serta adanya

usaha peternakan.

Page 56: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

12

Tabel 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan

No. Penggunaan Lahan Persentase (%)

1. Padi sawah 15

2. Palawija 12

3. Padi ladang 21

4. Sayuran 10

5. Lahan tidur 42

2.7. Sarana dan Prasarana

Fasilitas yang memadai di lapangan untuk menunjang penelitian sangat diperlukan

mengingat lokasi KHDTK Labanan yang cukup jauh dari Tanjung Redeb (Ibukota

Kabupaten Berau). Fasilitas penelitian yang berada dekat dengan kawasan penelitian akan

membuat kegiatan penelitian berjalan lebih efektif dan efisien. Penyediaan dan peningkatan

sarana dan prasarana dalam rangka pengelolaan KHDTK HP Labanan yang optimal

meliputi: kantor penghubung di Tanjung redeb, koleksi herbarium, mess/rumah singgah,

persemaian, kendaraan bermotor (roda 2 dan 4) dan pemeliharaan jalan untuk kemudahan

aksesibilitas kegiatan penelitian.

Page 57: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

12

Tabel 4. Persentase penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Labanan

No. Penggunaan Lahan Persentase (%)

1. Padi sawah 15

2. Palawija 12

3. Padi ladang 21

4. Sayuran 10

5. Lahan tidur 42

2.7. Sarana dan Prasarana

Fasilitas yang memadai di lapangan untuk menunjang penelitian sangat diperlukan

mengingat lokasi KHDTK Labanan yang cukup jauh dari Tanjung Redeb (Ibukota

Kabupaten Berau). Fasilitas penelitian yang berada dekat dengan kawasan penelitian akan

membuat kegiatan penelitian berjalan lebih efektif dan efisien. Penyediaan dan peningkatan

sarana dan prasarana dalam rangka pengelolaan KHDTK HP Labanan yang optimal

meliputi: kantor penghubung di Tanjung redeb, koleksi herbarium, mess/rumah singgah,

persemaian, kendaraan bermotor (roda 2 dan 4) dan pemeliharaan jalan untuk kemudahan

aksesibilitas kegiatan penelitian.

Page 58: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 3DESAIN PLOT DAN

KARAKTERISTIK DATA

Page 59: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 3DESAIN PLOT DAN

KARAKTERISTIK DATA

Page 60: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

13

3. DES AIN P LOT DAN KARAKTERIS TIK DATA

3.1. Desain Plot STREK

Pembangunan Plot STREK berada dalam kawasan hutan produksi sehingga desain

awal berada dalam blok Rencana Karya Lima tahunan (RKL) unit pengusahaan hutan.

Desain plot STREK berada dalam dua kegiatan utama yang terbagi dalam lokasi RKL–1

dengan total luas areal unit pengukuran 24 ha dan RKL-4 dengan total luas 48 ha.

Pembangunan plot STREK sebagai petak ukur permanen yang dipantau secara periodik

setiap 2 tahun, mempunyai tujuan awal yaitu untuk pengetahuan uji coba teknik silvikultur

dalam memperbaiki struktur tegakan hutan untuk mencapai produktivitas hutan yang

lestari. Pembangunan plot permanen dilakukan pada dua areal yang berbeda dengan 2 seri

perlakuan, yaitu uji coba teknik penebangan yang berbeda (kondisi awal berupa kawasan

hutan primer/RKL-4) dan uji coba teknik pembebasan yang berbeda (kondisi awal

merupakan areal bekas tebangan berumur 11 tahun/RKL-1).

Desain penelitian pada RKL-1, bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan

kelompok jenis Dipterocarpaceae dan jenis kayu komersial lainnya melalui mengurangi

kompetisi antara jenis komersial dan non komersial. Metode pembebasan yaitu

menghilangkan/membuang jenis non komersial dengan teknik peracunan untuk

mengurangi kerusakan akibat tebangan. Ketentuan dasar dalam melakukan pembebasan

adalah bidang dasar yang dibuang kurang lebih 35 % dari total bidang dasar/ha dengan

pertimbangan nilai keanekaragaman hayati yang dimiliki tegakan hutan. Pertimbangan yang

tidak kalah penting adalah perlakuan yang diterapkan dapat dengan mudah diterapkan pada

areal yang luas. Risalah areal pada plot permanen STREK RKL-1 adalah merupakan areal

bekas tebangan berumur 11 tahun yang kemudian dibangun plot permanen penelitian

dengan kelompok perlakuan sebagai berikut :

a) Pembebasan tegakan secara sistematis (PS) yang dilakukan pada semua pohon non

komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan

Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang

dasar.

b) Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan (PPB) adalah

mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan

penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non

komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan

peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang

dasar.

c) Plot tanpa perlakuan (kontrol).

Page 61: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

13

3. DES AIN P LOT DAN KARAKTERIS TIK DATA

3.1. Desain Plot STREK

Pembangunan Plot STREK berada dalam kawasan hutan produksi sehingga desain

awal berada dalam blok Rencana Karya Lima tahunan (RKL) unit pengusahaan hutan.

Desain plot STREK berada dalam dua kegiatan utama yang terbagi dalam lokasi RKL–1

dengan total luas areal unit pengukuran 24 ha dan RKL-4 dengan total luas 48 ha.

Pembangunan plot STREK sebagai petak ukur permanen yang dipantau secara periodik

setiap 2 tahun, mempunyai tujuan awal yaitu untuk pengetahuan uji coba teknik silvikultur

dalam memperbaiki struktur tegakan hutan untuk mencapai produktivitas hutan yang

lestari. Pembangunan plot permanen dilakukan pada dua areal yang berbeda dengan 2 seri

perlakuan, yaitu uji coba teknik penebangan yang berbeda (kondisi awal berupa kawasan

hutan primer/RKL-4) dan uji coba teknik pembebasan yang berbeda (kondisi awal

merupakan areal bekas tebangan berumur 11 tahun/RKL-1).

Desain penelitian pada RKL-1, bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan

kelompok jenis Dipterocarpaceae dan jenis kayu komersial lainnya melalui mengurangi

kompetisi antara jenis komersial dan non komersial. Metode pembebasan yaitu

menghilangkan/membuang jenis non komersial dengan teknik peracunan untuk

mengurangi kerusakan akibat tebangan. Ketentuan dasar dalam melakukan pembebasan

adalah bidang dasar yang dibuang kurang lebih 35 % dari total bidang dasar/ha dengan

pertimbangan nilai keanekaragaman hayati yang dimiliki tegakan hutan. Pertimbangan yang

tidak kalah penting adalah perlakuan yang diterapkan dapat dengan mudah diterapkan pada

areal yang luas. Risalah areal pada plot permanen STREK RKL-1 adalah merupakan areal

bekas tebangan berumur 11 tahun yang kemudian dibangun plot permanen penelitian

dengan kelompok perlakuan sebagai berikut :

a) Pembebasan tegakan secara sistematis (PS) yang dilakukan pada semua pohon non

komersial berdiameter ≥20 cm dengan dilakukan peracunan menggunakan

Garlon/DMA. Rata-rata tegakan yang dimatikan tidak lebih dari 35% total luas bidang

dasar.

b) Pembebasan berdasarkan persaingan tajuk terhadap pohon binaan (PPB) adalah

mematikan pohon jenis non komersial yang berdiameter ≥20 cm, yang merupakan

penyaing di sekitar pohon jenis komersial (radius ±10 m). Sedangkan pohon non

komersial berdiameter ≥40 cm dipertahankan. Pembebasan dilakukan dengan

peracunan menggunakan Garlon/DMA dengan maksimal 35% dari total luas bidang

dasar.

c) Plot tanpa perlakuan (kontrol).

Page 62: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

14

Gambar 4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan

Desain penelitian pada RKL-4, bertujuan untuk membandingkan tingkat kerusakan

yang terjadi akibat teknik penebangan konvensional dan pemanenan ramah lingkungan

terhadap tegakan dan lingkungan hutan serta menilai penerapan teknik pemanenan ramah

lingkungan dalam skala operasional. Ketentuan dasar dalam desain penelitian ini adalah

pemanenan konvensional didasarkan pada pengalaman operator lapangan sedangkan

pemanenan ramah lingkungan didasarkan pada prinsip perencanaan jalan sarad, dan

pengawasan arah rebah dalam penebangan. Risalah areal plot permanen STREK RKL-4

adalah kondisi awal berupa hutan primer yang kemudian dibangun plot permanen dengan

perlakuan sebagai berikut:

a) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50): yaitu

pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada

tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta

dilakukan pengawasan penebangan.

b) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60): yaitu

pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada

tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta

dilakukan pengawasan penebangan.

c) Penebangan konvensional (CNV): yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60

cm berdasarkan pengalaman para penebang.

d) Hutan primer (kontrol).

Page 63: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

14

Gambar 4. Distribusi Plot pada RKL-1 Plot STREK di Labanan

Desain penelitian pada RKL-4, bertujuan untuk membandingkan tingkat kerusakan

yang terjadi akibat teknik penebangan konvensional dan pemanenan ramah lingkungan

terhadap tegakan dan lingkungan hutan serta menilai penerapan teknik pemanenan ramah

lingkungan dalam skala operasional. Ketentuan dasar dalam desain penelitian ini adalah

pemanenan konvensional didasarkan pada pengalaman operator lapangan sedangkan

pemanenan ramah lingkungan didasarkan pada prinsip perencanaan jalan sarad, dan

pengawasan arah rebah dalam penebangan. Risalah areal plot permanen STREK RKL-4

adalah kondisi awal berupa hutan primer yang kemudian dibangun plot permanen dengan

perlakuan sebagai berikut:

a) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 50): yaitu

pemungutan kayu dengan limit diameter 50 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada

tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta

dilakukan pengawasan penebangan.

b) Penebangan dengan teknik ramah lingkungan (Reduced Impact Logging) (RIL 60): yaitu

pemungutan kayu dengan limit diameter 60 cm, dengan meminimalkan kerusakan pada

tegakan tinggal berupa perencanaan pembuatan peta posisi pohon dan jalan sarad serta

dilakukan pengawasan penebangan.

c) Penebangan konvensional (CNV): yaitu kegiatan penebangan dengan limit diameter 60

cm berdasarkan pengalaman para penebang.

d) Hutan primer (kontrol).

Page 64: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

15

Gambar 5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan

Tabel 5. Risalah Perlakuan Plot STREK

Plot

STREK

No. Plot Perlakuan

RKL-4 2, 3, 12 5, 6, 7 8, 9, 11 1, 4, 10

RIL 50 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 50 cm RIL 60 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 60 cm CNV : Penebangan konvensional dengan limit diameter 60 cm HP : Hutan primer (kontrol)

RKL-1 1, 6 2, 3 4, 5

PS : Pembebasan sistematis PPB : Pembebasan berbasis pohon binaan CTR : Tanpa perlakuan (kontrol)

Desain plot penelitian yang dibangun pada tahun 1989/1990, mempunyai bentuk

dan ukuran yang sama. Tiap plot berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam 4

subplot dengan ukuran 100 m x 100 m (1 ha) yang disebut dengan square. Plot penelitian

STREK mencakup 7 variasi kondisi hutan alam dengan total 18 plot dan total luas unit

pengukuran adalah 72 ha.

Page 65: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

15

Gambar 5. Distribusi Plot pada RKL-4 Plot STREK di Labanan

Tabel 5. Risalah Perlakuan Plot STREK

Plot

STREK

No. Plot Perlakuan

RKL-4 2, 3, 12 5, 6, 7 8, 9, 11 1, 4, 10

RIL 50 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 50 cm RIL 60 : Reduced Impact Logging dengan limit diameter 60 cm CNV : Penebangan konvensional dengan limit diameter 60 cm HP : Hutan primer (kontrol)

RKL-1 1, 6 2, 3 4, 5

PS : Pembebasan sistematis PPB : Pembebasan berbasis pohon binaan CTR : Tanpa perlakuan (kontrol)

Desain plot penelitian yang dibangun pada tahun 1989/1990, mempunyai bentuk

dan ukuran yang sama. Tiap plot berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam 4

subplot dengan ukuran 100 m x 100 m (1 ha) yang disebut dengan square. Plot penelitian

STREK mencakup 7 variasi kondisi hutan alam dengan total 18 plot dan total luas unit

pengukuran adalah 72 ha.

Page 66: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

16

Keterangan: Plot permanen berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam

sub plot 100 m x 100 m (1 ha) dengan sub subplot berukuran 10 m x

10 m

Gambar 6. Desain plot penelitian permanen STREK

3.2. Struktur dan Organisasi Data

Pengumpulan data tegakan dilakukan berdasarkan kegiatan inventarisasi tegakan di

lapangan yang dilakukan secara sensus dalam plot penelitian untuk semua jenis pohon

dengan limit diameter 10 cm. Data yang dikumpulkan terbagi dalam dua bagian utama

yaitu :

(a) Tegakan tinggal meliputi data: nomor plot, nomor square, nomor pohon, nama jenis

pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di atas banir), posisi dan bentuk

tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta kondisi pohon jika mati;

(b) Tegakan/pohon alih tumbuh (ingrowth) meliputi data: nomor plot, nomor square,

nomor pohon, nama jenis pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di

atas banir), posisi dan bentuk tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta posisi

pohon dalam plot (x,y)

Monitoring dan pengukuran dilaksanakan secara periodik tiap dua tahun. Semua

data yang dikumpulkan dari lapangan dicatat dan dikelola dengan baik. Manajemen database

dimulai dari pengumpulan data dan informasi, pencatatan, dan disusun dalam bentuk file.

Sebelum data dianalisis, data perlu dicek tingkat akurasi dan validitasnya. Organisasi

database menggunakan program Visual FoxPro (Vfp), dengan mencakup tiga file utama

untuk menyimpan data yaitu :

200 m

PU 1

PU 2

PU 3

PU 4

PU 5 PU 6

PU 7

PU 8

PU 9

PU 10 PU 11

PU 12

PU 13

PU 14

PU 15 PU 16

PU 17

PU 18

PU 19

PU 20 PU 21

PU 22

PU 23

PU 24

PU 25

100 m

Page 67: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

16

Keterangan: Plot permanen berukuran 200 m x 200 m (4 ha) yang terbagi dalam

sub plot 100 m x 100 m (1 ha) dengan sub subplot berukuran 10 m x

10 m

Gambar 6. Desain plot penelitian permanen STREK

3.2. Struktur dan Organisasi Data

Pengumpulan data tegakan dilakukan berdasarkan kegiatan inventarisasi tegakan di

lapangan yang dilakukan secara sensus dalam plot penelitian untuk semua jenis pohon

dengan limit diameter 10 cm. Data yang dikumpulkan terbagi dalam dua bagian utama

yaitu :

(a) Tegakan tinggal meliputi data: nomor plot, nomor square, nomor pohon, nama jenis

pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di atas banir), posisi dan bentuk

tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta kondisi pohon jika mati;

(b) Tegakan/pohon alih tumbuh (ingrowth) meliputi data: nomor plot, nomor square,

nomor pohon, nama jenis pohon, keliling batang (setinggi dada 1.3 m atau 20 cm di

atas banir), posisi dan bentuk tajuk (Dawkins 1959 dalam Magurran 1988) serta posisi

pohon dalam plot (x,y)

Monitoring dan pengukuran dilaksanakan secara periodik tiap dua tahun. Semua

data yang dikumpulkan dari lapangan dicatat dan dikelola dengan baik. Manajemen database

dimulai dari pengumpulan data dan informasi, pencatatan, dan disusun dalam bentuk file.

Sebelum data dianalisis, data perlu dicek tingkat akurasi dan validitasnya. Organisasi

database menggunakan program Visual FoxPro (Vfp), dengan mencakup tiga file utama

untuk menyimpan data yaitu :

200 m

PU 1

PU 2

PU 3

PU 4

PU 5 PU 6

PU 7

PU 8

PU 9

PU 10 PU 11

PU 12

PU 13

PU 14

PU 15 PU 16

PU 17

PU 18

PU 19

PU 20 PU 21

PU 22

PU 23

PU 24

PU 25

100 m

Page 68: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

17

• File yang pertama disebut SPECIE, memuat daftar jenis pohon yang diidentifikasi

dalam plot, termasuk pendugaan volumenya;

• File yang kedua disebut SITREE_P (File permanen) mencatat nama jenis dan

koordinat pohon pada masing-masing square. Setiap plot mempunyai File permanen

yang berbeda.

• File yang ketiga disebut SITREE_D (File dinamis), mencatat semua peubah yang

dikumpulkan selama pengukuran. Termasuk data keliling, kematian, ingrowth, posisi dan

bentuk tajuk.

3.3. Karakteristik Data

Hingga kini, telah tercatat dalam database STREK 49.959 pohon dengan diameter

10 cm keatas (meliputi 35.830 pohon hidup dan 14.129 pohon mati), dengan komposisi 671

spesies dalam 71 famili. Database ini salah satu data yang terlengkap dan yang terbesar serta

terpanjang periode pengukurannya di Indonesia. Oleh karena itu plot STREK tersebut

merupakan salah satu plot terbaik di dunia dengan ketersediaan data yang baik.

Berdasarkan klasifikasi kelompok jenis yang dicirikan oleh pola pertumbuhan dari

hasil kajian pada proyek STREK (Bertault dan Kadir 1998), maka identifikasi jenis dapat

dikelompokkan menjadi 7 kelompok jenis sebagai berikut :

Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK

No. Kelompok Jenis

Jumlah Jenis

Jenis

1 Meranti 33 Shorea pauciflora, Shorea semicuneata, Shorea smithiana, , Shorea symingtonii, Shorea xanthophylla, Shorea almon, Shorea angustifolia, Shorea faguetiana, Shorea hopeifolia, Shorea johorensis, Shorea lamellate, Shorea leprosula, etc.

2 Fast growing other

dipterocarps

13 Dryobalanops beccarii, Dryobalanops lanceolata, Hopea bracteata, Hopea cernua, Hopea dryobalanoides, Hopea mengarawan, Hopea nervosa, Hopea sangal, etc.

3 Slow growing other

dipterocarps

48 Anisoptera laevis, Cotylelobium melanoxylon, Dipterocarpus acutangulus, Dipterocarpus confertus, Dipterocarpus tempehes, Dipterocarpus verrucosus, Parashorea malaanonan, Parashorea smythiesii, Vatica nitens, Vatica rassak, etc

4 Non-dipterocarp

major commercials

34 Agathis borneensis, Eusideroxylon zwageri, Gluta renghas, Gluta wallichii, Intsia sp, Lophopetalum beccarianum, Lophopetalum javanicum, Madhuca borneensis, Madhuca valida, Palaquium beccarianum, Palaquium calophyllum, etc

Page 69: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

17

• File yang pertama disebut SPECIE, memuat daftar jenis pohon yang diidentifikasi

dalam plot, termasuk pendugaan volumenya;

• File yang kedua disebut SITREE_P (File permanen) mencatat nama jenis dan

koordinat pohon pada masing-masing square. Setiap plot mempunyai File permanen

yang berbeda.

• File yang ketiga disebut SITREE_D (File dinamis), mencatat semua peubah yang

dikumpulkan selama pengukuran. Termasuk data keliling, kematian, ingrowth, posisi dan

bentuk tajuk.

3.3. Karakteristik Data

Hingga kini, telah tercatat dalam database STREK 49.959 pohon dengan diameter

10 cm keatas (meliputi 35.830 pohon hidup dan 14.129 pohon mati), dengan komposisi 671

spesies dalam 71 famili. Database ini salah satu data yang terlengkap dan yang terbesar serta

terpanjang periode pengukurannya di Indonesia. Oleh karena itu plot STREK tersebut

merupakan salah satu plot terbaik di dunia dengan ketersediaan data yang baik.

Berdasarkan klasifikasi kelompok jenis yang dicirikan oleh pola pertumbuhan dari

hasil kajian pada proyek STREK (Bertault dan Kadir 1998), maka identifikasi jenis dapat

dikelompokkan menjadi 7 kelompok jenis sebagai berikut :

Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK

No. Kelompok Jenis

Jumlah Jenis

Jenis

1 Meranti 33 Shorea pauciflora, Shorea semicuneata, Shorea smithiana, , Shorea symingtonii, Shorea xanthophylla, Shorea almon, Shorea angustifolia, Shorea faguetiana, Shorea hopeifolia, Shorea johorensis, Shorea lamellate, Shorea leprosula, etc.

2 Fast growing other

dipterocarps

13 Dryobalanops beccarii, Dryobalanops lanceolata, Hopea bracteata, Hopea cernua, Hopea dryobalanoides, Hopea mengarawan, Hopea nervosa, Hopea sangal, etc.

3 Slow growing other

dipterocarps

48 Anisoptera laevis, Cotylelobium melanoxylon, Dipterocarpus acutangulus, Dipterocarpus confertus, Dipterocarpus tempehes, Dipterocarpus verrucosus, Parashorea malaanonan, Parashorea smythiesii, Vatica nitens, Vatica rassak, etc

4 Non-dipterocarp

major commercials

34 Agathis borneensis, Eusideroxylon zwageri, Gluta renghas, Gluta wallichii, Intsia sp, Lophopetalum beccarianum, Lophopetalum javanicum, Madhuca borneensis, Madhuca valida, Palaquium beccarianum, Palaquium calophyllum, etc

Page 70: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

18

Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK (Lanjutan)

5 Non-dipterocarp

minor commercials

55 Anthocephalus chinensis, Beilschmiedia argentea, Beilschmiedia dictyoneura, Calophyllum inophyllum, Canarium caudatum, Cinnamomum sp, Costanopsis fulva, Diospyros endertii, Diospyros ferruginescens, Diospyros frutescens, Litsea sp, Mezzettia leptopoda etc.

6 Protected 34 Artocarpus odoratissimus, Artocarpus sp, Artocarpus tamaran, Bombacaceae, Durio acutifolius, Dyera costulata, Dyera sp, Koompassia excelsa, Koompassia malaccensis, Nephelium cuspidatum, Nephelium maingayi, etc.

7 Non-commercials /unknown/

others

454 Adinandra borneensis, Aglaia eximia, Aglaia odoratissima, Aglaia polyandra, Aglaia sapindina, Aglaia shawiana, Irvingia sp, Ixora sp, Kailodepas sp, Kayea bornensis, Knema cinerea, Vitex pubescens, etc.

Pengukuran secara periodik pada setiap plot pada RKL-4 telah dilakukan sebanyak

11 kali pada setiap tahun genap yaitu 1990 (kondisi hutan primer), 1992 (1 tahun setelah

penebangan), 1994 (3 tahun setelah penebangan), 1996 (5 tahun setelah penebangan), 1998

(7 tahun setelah penebangan), 2000 (9 tahun setelah penebangan), 2002 (11 tahun setelah

penebangan), 2004 (13 tahun setelah penebangan), 2006 (15 tahun setelah penebangan),

2008 (17 tahun setelah penebangan) dan 2014 (23 tahun setelah penebangan). Sedangkan

pada plot RKL-1 telah dilakukan sebanyak 10 kali yaitu pada setiap tahun ganjil yaitu 1991

(kondisi awal tegakan 11 tahun setelah penebangan), 1993 (1 tahun setelah pembebasan),

1995 (3 tahun setelah pembebasan), 1997 (5 tahun setelah pembebasan), 1999 (7 tahun

setelah pembebasan), 2001 (9 tahun setelah pembebasan), 2003 (11 tahun setelah

pembebasan), 2005 (13 tahun setelah pembebasan), 2007 (15 tahun setelah pembebasan)

dan 2015 (23 tahun setelah pembebasan).

Page 71: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

18

Tabel 6. Pengelompokkan jenis dalam plot STREK (Lanjutan)

5 Non-dipterocarp

minor commercials

55 Anthocephalus chinensis, Beilschmiedia argentea, Beilschmiedia dictyoneura, Calophyllum inophyllum, Canarium caudatum, Cinnamomum sp, Costanopsis fulva, Diospyros endertii, Diospyros ferruginescens, Diospyros frutescens, Litsea sp, Mezzettia leptopoda etc.

6 Protected 34 Artocarpus odoratissimus, Artocarpus sp, Artocarpus tamaran, Bombacaceae, Durio acutifolius, Dyera costulata, Dyera sp, Koompassia excelsa, Koompassia malaccensis, Nephelium cuspidatum, Nephelium maingayi, etc.

7 Non-commercials /unknown/

others

454 Adinandra borneensis, Aglaia eximia, Aglaia odoratissima, Aglaia polyandra, Aglaia sapindina, Aglaia shawiana, Irvingia sp, Ixora sp, Kailodepas sp, Kayea bornensis, Knema cinerea, Vitex pubescens, etc.

Pengukuran secara periodik pada setiap plot pada RKL-4 telah dilakukan sebanyak

11 kali pada setiap tahun genap yaitu 1990 (kondisi hutan primer), 1992 (1 tahun setelah

penebangan), 1994 (3 tahun setelah penebangan), 1996 (5 tahun setelah penebangan), 1998

(7 tahun setelah penebangan), 2000 (9 tahun setelah penebangan), 2002 (11 tahun setelah

penebangan), 2004 (13 tahun setelah penebangan), 2006 (15 tahun setelah penebangan),

2008 (17 tahun setelah penebangan) dan 2014 (23 tahun setelah penebangan). Sedangkan

pada plot RKL-1 telah dilakukan sebanyak 10 kali yaitu pada setiap tahun ganjil yaitu 1991

(kondisi awal tegakan 11 tahun setelah penebangan), 1993 (1 tahun setelah pembebasan),

1995 (3 tahun setelah pembebasan), 1997 (5 tahun setelah pembebasan), 1999 (7 tahun

setelah pembebasan), 2001 (9 tahun setelah pembebasan), 2003 (11 tahun setelah

pembebasan), 2005 (13 tahun setelah pembebasan), 2007 (15 tahun setelah pembebasan)

dan 2015 (23 tahun setelah pembebasan).

Page 72: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 4PENDEKATAN DAN

KOMPONEN ANALISIS

Page 73: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 4PENDEKATAN DAN

KOMPONEN ANALISIS

Page 74: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

19

4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALIS IS

4.1. Pendekatan Analisis Status Riset

Secara umum penyusunan status riset plot STREK disusun berdasarkan hasil

analisis data yang mencakup komponen karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah

penebangan dalam rangka penilaian pemulihan tegakan hutan, seperti disajikan pada bagan

berikut.

Gambar 7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK

Page 75: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

19

4 PENDEKATAN DAN KOMPONEN ANALIS IS

4.1. Pendekatan Analisis Status Riset

Secara umum penyusunan status riset plot STREK disusun berdasarkan hasil

analisis data yang mencakup komponen karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah

penebangan dalam rangka penilaian pemulihan tegakan hutan, seperti disajikan pada bagan

berikut.

Gambar 7. Pendekatan Analisis Status Riset Plot STREK

Page 76: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

20

Perangkat analisis data dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet, Visual

FoxPro 6.0, MATLAB ver 7.7 dan SPSS Ver10. Variasi kondisi hutan alam yang dianalisis

meliputi hutan bekas penebangan (HBT), hutan bekas pembebasan (HBP/P) dan hutan

primer (HP). Pengolahan data awal dilakukan dengan mengelompokkan jenis kedalam

kelompok Dipterocarpaceae (pada beberapa analisis dibagi dalam kelompok jenis Shorea sp.

dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, menggunakan beberapa rumus

dasar perhitungan berikut:

1) Kerapatan (density) tegakan tinggal dengan limit diameter 10 cm (per plot)

Kerapatan (phn/ha) = plot Luas

pohonJumlah

2) Diameter (d), diperoleh dari konversi keliling sebagai berikut:

d = Kllg / π dimana: d = diameter pohon (cm)

Kllg = keliling pohon (cm)

π = konstanta (3.1415) 3) Bidang dasar (BD), diperoleh dari persamaan luas lingkaran sebagai berikut:

BD = ¼ . π . d2 dimana: BD = bidang dasar pohon (cm2)

d = diameter pohon

π = konstanta (3.1415)

4.2. Model Struktur Tegakan

Metode penyusunan model struktur tegakan meliputi pemeriksaan data (data

exploratory), pemilihan model (model selection), pengujian keabsahan (model validation) dan

penerapan model (Suhendang 1985). Model famili sebaran yang dicobakan meliputi famili

sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull.

a) Pemilihan model

Pemilihan famili sebaran yang dianggap terbaik untuk kelompok jenis yang diuji

dilakukan dengan prosedur cara kemungkinan maksimum. Tiga tahapan dalam pemilihan

model yaitu: pendugaan titik bagi parameter famili sebaran, penentuan nilai fungsi

kemungkinan maksimum dan penentuan model yang terpilih, yaitu dengan memilih model

famili sebaran yang memiliki nilai fungsi kemungkinan tertinggi diantara famili sebaran yang

dicobakan, dilakukan dengan menggunakan prosedur pembentukan model struktur tegakan

seperti yang dilakukan oleh Suhendang (1985) dalam membuat struktur tegakan hutan alam

tropika di Bengkunat, sebagai berikut :

i) Famili Sebaran Eksponensial � Bentuk :

���� � ��� �� � ��/�����,~����

Page 77: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

20

Perangkat analisis data dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet, Visual

FoxPro 6.0, MATLAB ver 7.7 dan SPSS Ver10. Variasi kondisi hutan alam yang dianalisis

meliputi hutan bekas penebangan (HBT), hutan bekas pembebasan (HBP/P) dan hutan

primer (HP). Pengolahan data awal dilakukan dengan mengelompokkan jenis kedalam

kelompok Dipterocarpaceae (pada beberapa analisis dibagi dalam kelompok jenis Shorea sp.

dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, menggunakan beberapa rumus

dasar perhitungan berikut:

1) Kerapatan (density) tegakan tinggal dengan limit diameter 10 cm (per plot)

Kerapatan (phn/ha) = plot Luas

pohonJumlah

2) Diameter (d), diperoleh dari konversi keliling sebagai berikut:

d = Kllg / π dimana: d = diameter pohon (cm)

Kllg = keliling pohon (cm)

π = konstanta (3.1415) 3) Bidang dasar (BD), diperoleh dari persamaan luas lingkaran sebagai berikut:

BD = ¼ . π . d2 dimana: BD = bidang dasar pohon (cm2)

d = diameter pohon

π = konstanta (3.1415)

4.2. Model Struktur Tegakan

Metode penyusunan model struktur tegakan meliputi pemeriksaan data (data

exploratory), pemilihan model (model selection), pengujian keabsahan (model validation) dan

penerapan model (Suhendang 1985). Model famili sebaran yang dicobakan meliputi famili

sebaran eksponensial, gamma, lognormal dan weibull.

a) Pemilihan model

Pemilihan famili sebaran yang dianggap terbaik untuk kelompok jenis yang diuji

dilakukan dengan prosedur cara kemungkinan maksimum. Tiga tahapan dalam pemilihan

model yaitu: pendugaan titik bagi parameter famili sebaran, penentuan nilai fungsi

kemungkinan maksimum dan penentuan model yang terpilih, yaitu dengan memilih model

famili sebaran yang memiliki nilai fungsi kemungkinan tertinggi diantara famili sebaran yang

dicobakan, dilakukan dengan menggunakan prosedur pembentukan model struktur tegakan

seperti yang dilakukan oleh Suhendang (1985) dalam membuat struktur tegakan hutan alam

tropika di Bengkunat, sebagai berikut :

i) Famili Sebaran Eksponensial � Bentuk :

���� � ��� �� � ��/�����,~����

Page 78: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

21

( )n

ii=1

µ̂ = 1 n ln x∑

( ) ( )1 22n

ii=1

δ̂ = 1 n ln x -µ

� Pendugaan titik parameter θ :

( )n

ii=1

ˆ 1θ = x = xn ∑

� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah : Log L = -n log (eθ)

ii) Famili Sebaran Gamma

� Bentuk :

���� � ���������� �� �� ���� ���,~����

� Pendugaan titik parameter α dan β :

(1/Y) (0,5000876 + 0,164885Y – 0,0544274Y2);

untuk 0 < Y ≤ 0,5772 (1/Y) (17,79728 + 11,968477Y + Y2)-1

(8,898919 + 9,05995Y + 0,9775373Y2);

untuk 0,5772 < Y ≤ 17 dimana :

nx nii=1Y = ln 1nnxii=1

∑ ∑

ˆ ˆβ = x α

� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah :

( )( ) ( ) ( )n n

i=1 i=1

αLog L = - n log β Γ α + α-1 log x - x / β log ei i∑ ∑

iii) Famili Sebaran Lognormal

� Bentuk :

���� � �1/!�"√2%&�� '�1/2�()��*+ ,- ���,~��

� Pendugaan titik parameter µ dan δ : dan

� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :

α̂ =

2n n

ii=1 i=1

ln xi-µlog L = - n log δ 2π - log x - 1/2 log e

δ

∑ ∑

Page 79: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

21

( )n

ii=1

µ̂ = 1 n ln x∑

( ) ( )1 22n

ii=1

δ̂ = 1 n ln x -µ

� Pendugaan titik parameter θ :

( )n

ii=1

ˆ 1θ = x = xn ∑

� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah : Log L = -n log (eθ)

ii) Famili Sebaran Gamma

� Bentuk :

���� � ���������� �� �� ���� ���,~����

� Pendugaan titik parameter α dan β :

(1/Y) (0,5000876 + 0,164885Y – 0,0544274Y2);

untuk 0 < Y ≤ 0,5772 (1/Y) (17,79728 + 11,968477Y + Y2)-1

(8,898919 + 9,05995Y + 0,9775373Y2);

untuk 0,5772 < Y ≤ 17 dimana :

nx nii=1Y = ln 1nnxii=1

∑ ∑

ˆ ˆβ = x α

� Fungsi Kemungkinan maksimumnya adalah :

( )( ) ( ) ( )n n

i=1 i=1

αLog L = - n log β Γ α + α-1 log x - x / β log ei i∑ ∑

iii) Famili Sebaran Lognormal

� Bentuk :

���� � �1/!�"√2%&�� '�1/2�()��*+ ,- ���,~��

� Pendugaan titik parameter µ dan δ : dan

� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah :

α̂ =

2n n

ii=1 i=1

ln xi-µlog L = - n log δ 2π - log x - 1/2 log e

δ

∑ ∑

Page 80: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

22

iv) Famili Sebaran Weibull

� Bentuk :

���� � �.� ���

.�� �� /� ���0.���,~����

� Pendugaan titik parameter α dan γ adalah :

( )

n

ii=1

ˆ1 γγ

α̂ = 1 n x ∑

dan

( )( ) ( )i

n n n

i i ii=1 i=1 i=1

γ̂ = x ln x x - 1 n ln x ∑ ∑ ∑

� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah:

( ) ( ) ( ) ( )n nγ γ

i ii=1 i=1

log L = n log γ α + γ-1 log x - n γ-1 log α - 1α x log e∑ ∑

Setelah keempat model tersebut dicoba, dilakukan pemilihan model dengan

prosedur sebagai berikut: suatu model acak X1, X2, ………, Xn, yang diduga menyebar

berdasarkan famili ke i (fi), dengan ciri fungsi kemungkinan maksimum L (fi ; X), maka

prosedur pemilihan modelnya adalah dengan cara:

= maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4

maka X ~ Fj

≠ maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4

maka X ~ selain Fj

dimana Fj adalah famili sebaran ke j

Apabila setiap satuan percobaan (petak contoh) telah diperoleh famili sebarannya,

maka selanjutnya dilihat kecenderungannya dalam menerima famili sebaran lainnya.

Prosedur ini diterapkan untuk setiap kelompok jenis yang diteliti. Famili sebaran yang

terbaik adalah famili yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi. Jika

ditemukan kasus mayoritas satuan percobaan cenderung menerima famili sebaran ke m,

sedangkan satuan percobaan yang lain menerima famili sebaran ke (m+1), maka

permasalahan ini dapat diputuskan melalui nilai fungsi kemungkinan maksimumnya.

Misalnya famili sebaran yang terpilih adalah famili sebaran ke (m+1), sedangkan famili

sebaran ke m memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum kedua terbesar yang selisihnya

dengan nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

Dengan demikian famili sebaran ke m dapat diterima sebagai famili sebaran terbaik. Apabila

persyaratan ini tidak terpenuhi, maka famili sebaran yang terpilih tetap adalah famili sebaran

yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi.

ln L(fi ; X)

Page 81: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

22

iv) Famili Sebaran Weibull

� Bentuk :

���� � �.� ���

.�� �� /� ���0.���,~����

� Pendugaan titik parameter α dan γ adalah :

( )

n

ii=1

ˆ1 γγ

α̂ = 1 n x ∑

dan

( )( ) ( )i

n n n

i i ii=1 i=1 i=1

γ̂ = x ln x x - 1 n ln x ∑ ∑ ∑

� Fungsi kemungkinan maksimumnya adalah:

( ) ( ) ( ) ( )n nγ γ

i ii=1 i=1

log L = n log γ α + γ-1 log x - n γ-1 log α - 1α x log e∑ ∑

Setelah keempat model tersebut dicoba, dilakukan pemilihan model dengan

prosedur sebagai berikut: suatu model acak X1, X2, ………, Xn, yang diduga menyebar

berdasarkan famili ke i (fi), dengan ciri fungsi kemungkinan maksimum L (fi ; X), maka

prosedur pemilihan modelnya adalah dengan cara:

= maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4

maka X ~ Fj

≠ maksimum (ln L (fi ; X)), i = 1, 2, 3, 4

maka X ~ selain Fj

dimana Fj adalah famili sebaran ke j

Apabila setiap satuan percobaan (petak contoh) telah diperoleh famili sebarannya,

maka selanjutnya dilihat kecenderungannya dalam menerima famili sebaran lainnya.

Prosedur ini diterapkan untuk setiap kelompok jenis yang diteliti. Famili sebaran yang

terbaik adalah famili yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi. Jika

ditemukan kasus mayoritas satuan percobaan cenderung menerima famili sebaran ke m,

sedangkan satuan percobaan yang lain menerima famili sebaran ke (m+1), maka

permasalahan ini dapat diputuskan melalui nilai fungsi kemungkinan maksimumnya.

Misalnya famili sebaran yang terpilih adalah famili sebaran ke (m+1), sedangkan famili

sebaran ke m memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum kedua terbesar yang selisihnya

dengan nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

Dengan demikian famili sebaran ke m dapat diterima sebagai famili sebaran terbaik. Apabila

persyaratan ini tidak terpenuhi, maka famili sebaran yang terpilih tetap adalah famili sebaran

yang memiliki nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi.

ln L(fi ; X)

Page 82: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

23

b) Pengujian Keabsahan Model

Prosedur pengujian tingkat keabsahan model famili sebaran, dicobakan untuk

seluruh setiap kelompok jenis pohon yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan

berdasarkan data yang diperoleh dari petak ukur gabungan dari setiap petak contoh. Suatu

model dianggap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi jika cukup fakta adanya konsistensi

penerimaan model tersebut, yaitu jika ia diterima oleh lebih dari 60% anggota populasi yang

diselidiki untuk kelompok jenis pohon yang sama.

c) Penerapan Model

Berdasarkan model yang terpilih kemudian diterapkan untuk menentukan kerapatan

tegakan dan luas bidang dasar tegakan.

1) Penentuan kerapatan tegakan

Jika N adalah total jumlah pohon per hektar, f(x) adalah fungsi kepekatan model

sebaran terpilih, x adalah diameter pohon (cm), maka jumlah pohon per hektar

dalam kelas diameter ke-i (Ni) dengan xi adalah nilai tengah kelas diameter ke-i

diformulasikan sebagai berikut :

2

-2

( ) i

i

kx

kix

N f x dx+

= ∫ pohon per hektar

dimana k = selang kelas diameter

2) Penentuan luas bidang dasar tegakan

Jika Ni adalah jumlah pohon dalam kelas diameter ke-i, yang dihitung dengan

menggunakan model sebaran terpilih, xi adalah titik tengah kelas diameter ke-i,

maka luas bidang dasar tegakan kelas diameter ke-i diformulasikan sebagai berikut:

( )2 4i i iG x Nπ= m2/ha

Penilaian karakteristik tegakan tinggal dilakukan dengan membandingkan variasi

kondisi hutan dengan menggunakan uji beda nilai rataan (uji t) dan analisis regresi.

Persamaan regresi yang dicobakan adalah persamaan linear, polinomial, eksponensial dan

logaritma.

Y = α + βX (Linear)

Y = α + β1X + β2X2 (Polinomial/kuadratik pangkat 2)

Y = α + β1X + β2X2 + β3X

3 (Polinomial/kuadratik pangkat 3)

Y = αе βX (Eksponensial)

Y = α + β logX (Logaritma)

Pemilihan model yang paling sesuai dilakukan dengan diagram scatter technique

berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai

standar eror (SE) terkecil (Steel dan Torrie 1995).

Page 83: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

23

b) Pengujian Keabsahan Model

Prosedur pengujian tingkat keabsahan model famili sebaran, dicobakan untuk

seluruh setiap kelompok jenis pohon yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan

berdasarkan data yang diperoleh dari petak ukur gabungan dari setiap petak contoh. Suatu

model dianggap memiliki tingkat keabsahan yang tinggi jika cukup fakta adanya konsistensi

penerimaan model tersebut, yaitu jika ia diterima oleh lebih dari 60% anggota populasi yang

diselidiki untuk kelompok jenis pohon yang sama.

c) Penerapan Model

Berdasarkan model yang terpilih kemudian diterapkan untuk menentukan kerapatan

tegakan dan luas bidang dasar tegakan.

1) Penentuan kerapatan tegakan

Jika N adalah total jumlah pohon per hektar, f(x) adalah fungsi kepekatan model

sebaran terpilih, x adalah diameter pohon (cm), maka jumlah pohon per hektar

dalam kelas diameter ke-i (Ni) dengan xi adalah nilai tengah kelas diameter ke-i

diformulasikan sebagai berikut :

2

-2

( ) i

i

kx

kix

N f x dx+

= ∫ pohon per hektar

dimana k = selang kelas diameter

2) Penentuan luas bidang dasar tegakan

Jika Ni adalah jumlah pohon dalam kelas diameter ke-i, yang dihitung dengan

menggunakan model sebaran terpilih, xi adalah titik tengah kelas diameter ke-i,

maka luas bidang dasar tegakan kelas diameter ke-i diformulasikan sebagai berikut:

( )2 4i i iG x Nπ= m2/ha

Penilaian karakteristik tegakan tinggal dilakukan dengan membandingkan variasi

kondisi hutan dengan menggunakan uji beda nilai rataan (uji t) dan analisis regresi.

Persamaan regresi yang dicobakan adalah persamaan linear, polinomial, eksponensial dan

logaritma.

Y = α + βX (Linear)

Y = α + β1X + β2X2 (Polinomial/kuadratik pangkat 2)

Y = α + β1X + β2X2 + β3X

3 (Polinomial/kuadratik pangkat 3)

Y = αе βX (Eksponensial)

Y = α + β logX (Logaritma)

Pemilihan model yang paling sesuai dilakukan dengan diagram scatter technique

berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai

standar eror (SE) terkecil (Steel dan Torrie 1995).

Page 84: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

24

4.3. Mortalitas dan Ingrowth

Perhitungan tingkat kematian (mortalitas) dan alih tumbuh (ingrowth) pada tegakan

hutan bekas tebangan (HBT) dilakukan setiap periode pengukuran 2 tahun berdasarkan

jumlah batang per satuan luas dan persentase terhadap kerapatan tegakan total.

1) Mortalitas

Mortalitas (kematian) adalah banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar

dalam periode waktu tertentu (2 tahun).

)(iM = t

tM i

dimana:

M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1) M(i)t = jumlah pohon yang mati pada selang waktu pengukuran

(pohon ha-1) t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)

Laju mortalitas menunjukkan persentase kematian yang terjadi pada satuan luas tertentu

dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2th-1)

Mr(i) = M(i)/Nt x 100%

dimana:

Mr(i) = Laju mortalitas (% ha-1 2tahun-1)

M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1)

Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran

2) Ingrowth

Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas

diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun).

)(iI = t

tI i

dimana:

I(i) = ingrowth (pohon ha-1 2tahun-1) I(i)t = jumlah pohon yang masuk dalam kelas diameter terkecil

pada selang waktu pengukuran (pohon ha-1)

t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)

Laju ingrowth menunjukkan persentase alih tumbuh tegakan yang terjadi pada satuan luas

tertentu dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2tahun-1)

Ir(i) = I(i)/Nt x 100%

dimana:

Ir(i) = Laju ingrowth (% ha-1 2th-1)

I(i) = Ingrowth (pohon ha-1 2th-1)

Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran

Page 85: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

24

4.3. Mortalitas dan Ingrowth

Perhitungan tingkat kematian (mortalitas) dan alih tumbuh (ingrowth) pada tegakan

hutan bekas tebangan (HBT) dilakukan setiap periode pengukuran 2 tahun berdasarkan

jumlah batang per satuan luas dan persentase terhadap kerapatan tegakan total.

1) Mortalitas

Mortalitas (kematian) adalah banyaknya pohon yang mati pada satuan luas per hektar

dalam periode waktu tertentu (2 tahun).

)(iM = t

tM i

dimana:

M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1) M(i)t = jumlah pohon yang mati pada selang waktu pengukuran

(pohon ha-1) t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)

Laju mortalitas menunjukkan persentase kematian yang terjadi pada satuan luas tertentu

dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2th-1)

Mr(i) = M(i)/Nt x 100%

dimana:

Mr(i) = Laju mortalitas (% ha-1 2tahun-1)

M(i) = Mortalitas (pohon ha-1 2tahun-1)

Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran

2) Ingrowth

Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya pertambahan pohon per hektar pada kelas

diameter terkecil pengukuran selama periode waktu tertentu (2 tahun).

)(iI = t

tI i

dimana:

I(i) = ingrowth (pohon ha-1 2tahun-1) I(i)t = jumlah pohon yang masuk dalam kelas diameter terkecil

pada selang waktu pengukuran (pohon ha-1)

t∆ = selang waktu pengukuran (2 tahun)

Laju ingrowth menunjukkan persentase alih tumbuh tegakan yang terjadi pada satuan luas

tertentu dalam periode waktu tertentu (% ha-1 2tahun-1)

Ir(i) = I(i)/Nt x 100%

dimana:

Ir(i) = Laju ingrowth (% ha-1 2th-1)

I(i) = Ingrowth (pohon ha-1 2th-1)

Nt = Kerapatan tegakan awal pengukuran

Page 86: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

25

Korelasi antar variable tegakan dan waktu pemulihan baik terhadap mortalitas maupun

ingrowth dilakukan dengan analisis regresi dengan diagram scatter technique (Steel dan Torrie

1995).

4.4. Riap Individu dan Tegakan

Perhitungan riap periodik (periodik annual increment/PAI) adalah

pertumbuhan/pertambahan dimensi pohon setiap periode 2 tahun, dengan pendekatan

rumus perhitungan (Loetsch et al. 1973; Husch et al. 2003) berikut:

PAI = Dimensi kumulatif periodik selama n tahun

n tahun

Perhitungan riap individu tegakan berdasarkan riap diameter rataan (cm 2th-1) dalam

kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan Dipterocarpaceae

non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing kondisi tegakan hutan

setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan selisih 2 pengukuran dimensi

diameter dengan periode pengukuran 2 tahun dengan persamaan berikut:

rdi = do – di

dimana: rdi = riap diameter pohon (cm 2th-1)

do = diameter pengukuran awal (cm)

di = diameter pengukuran berikutnya/setiap 2 tahun (cm)

Perhitungan riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)

dalam kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan

Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing

kondisi tegakan hutan hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan

selisih 2 pengukuran dimensi luas bidang dasar tegakan dengan periode pengukuran 2 tahun

dengan persamaan berikut:

rBDi = bdo – bdi

dimana: rBDi = riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)

bdo = bidang dasar tegakan pengukuran awal (m2 ha-1)

bdi = bidang dasar tegakan pengukuran berikutnya/setiap

2 tahun (m2 ha-1)

Analisis data tegakan dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet untuk

masing-masing kelompok jenis. Penilaian riap individu dan riap tegakan dikelompokkan

dalam kelompok hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda dan hutan bekas

tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dengan menggunakan analisis varians

(anova). Persamaan riap disusun berdasarkan analisis regresi hubungan jangka waktu

pengukuran terhadap masing-masing riap dengan analisis regresi dengan metode diagram

scatter technique (Steel dan Torrie 1995).

Page 87: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

25

Korelasi antar variable tegakan dan waktu pemulihan baik terhadap mortalitas maupun

ingrowth dilakukan dengan analisis regresi dengan diagram scatter technique (Steel dan Torrie

1995).

4.4. Riap Individu dan Tegakan

Perhitungan riap periodik (periodik annual increment/PAI) adalah

pertumbuhan/pertambahan dimensi pohon setiap periode 2 tahun, dengan pendekatan

rumus perhitungan (Loetsch et al. 1973; Husch et al. 2003) berikut:

PAI = Dimensi kumulatif periodik selama n tahun

n tahun

Perhitungan riap individu tegakan berdasarkan riap diameter rataan (cm 2th-1) dalam

kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan Dipterocarpaceae

non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing kondisi tegakan hutan

setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan selisih 2 pengukuran dimensi

diameter dengan periode pengukuran 2 tahun dengan persamaan berikut:

rdi = do – di

dimana: rdi = riap diameter pohon (cm 2th-1)

do = diameter pengukuran awal (cm)

di = diameter pengukuran berikutnya/setiap 2 tahun (cm)

Perhitungan riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)

dalam kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan

Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada masing-masing

kondisi tegakan hutan hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan, berdasarkan

selisih 2 pengukuran dimensi luas bidang dasar tegakan dengan periode pengukuran 2 tahun

dengan persamaan berikut:

rBDi = bdo – bdi

dimana: rBDi = riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1)

bdo = bidang dasar tegakan pengukuran awal (m2 ha-1)

bdi = bidang dasar tegakan pengukuran berikutnya/setiap

2 tahun (m2 ha-1)

Analisis data tegakan dilakukan dengan menggunakan program spreadsheet untuk

masing-masing kelompok jenis. Penilaian riap individu dan riap tegakan dikelompokkan

dalam kelompok hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda dan hutan bekas

tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dengan menggunakan analisis varians

(anova). Persamaan riap disusun berdasarkan analisis regresi hubungan jangka waktu

pengukuran terhadap masing-masing riap dengan analisis regresi dengan metode diagram

scatter technique (Steel dan Torrie 1995).

Page 88: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

26

4.5. Analisis Kuantitatif Ekologis

1) Indeks Nilai Penting Jenis (Species Important Value Index)

Komposisi floristik dan jenis-jenis yang dominan dihitung berdasarkan analisis Indeks

Nilai Penting (INP). INP adalah nilai penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR),

Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), dengan menggunakan rumus

dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yang dijabarkan sebagai

berikut:

I N D EKS N I L AI PEN T I N G ( I N P) = KR + FR + D R

dimana:

KR = 12345464)74389:46:;2)8912345464)743892(:3:<;2)89 = 100%

FR = ?32@:2)9874389:46:;2)89?32@:2)98743892(:3:<;2)89 = 100%

DR = BCD8)4)9874389:46:;2)89BCD8)4)98743892(:3:<;2)89 = 100%

2) Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Heterogenity Index)

Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dari suatu komunitas tegakan ditentukan

dengan menggunakan rumus Shanon dan Wiener dalam Krebs (1989) berikut:

H’ =

−∑= N

ni

N

nin

i

log1

dimana:

H’ = Indeks keanekaragaman jenis

ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu seluruh jenis

Selanjutnya dihitung jumlah kelimpahan species dengan rumus berikut:

N 1 = E H ’

dimana:

N1 = Jumlah kelimpahan species

e = 2.71828

H’ = Indeks keanekaragaman jenis

Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi

hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang

lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan

tersebut.

Page 89: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

26

4.5. Analisis Kuantitatif Ekologis

1) Indeks Nilai Penting Jenis (Species Important Value Index)

Komposisi floristik dan jenis-jenis yang dominan dihitung berdasarkan analisis Indeks

Nilai Penting (INP). INP adalah nilai penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR),

Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), dengan menggunakan rumus

dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yang dijabarkan sebagai

berikut:

I N D EKS N I L AI PEN T I N G ( I N P) = KR + FR + D R

dimana:

KR = 12345464)74389:46:;2)8912345464)743892(:3:<;2)89 = 100%

FR = ?32@:2)9874389:46:;2)89?32@:2)98743892(:3:<;2)89 = 100%

DR = BCD8)4)9874389:46:;2)89BCD8)4)98743892(:3:<;2)89 = 100%

2) Indeks Keanekaragaman Jenis (Species Heterogenity Index)

Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H) dari suatu komunitas tegakan ditentukan

dengan menggunakan rumus Shanon dan Wiener dalam Krebs (1989) berikut:

H’ =

−∑= N

ni

N

nin

i

log1

dimana:

H’ = Indeks keanekaragaman jenis

ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu seluruh jenis

Selanjutnya dihitung jumlah kelimpahan species dengan rumus berikut:

N 1 = E H ’

dimana:

N1 = Jumlah kelimpahan species

e = 2.71828

H’ = Indeks keanekaragaman jenis

Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi

hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang

lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan

tersebut.

Page 90: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

27

3) Indeks Kekayaan Jenis (Richness) Margallef (R1)

Perhitungan Indeks kekayaan jenis dilakukan untuk menggambarkan kelimpahan jenis

dalam suatu komunitas yang ditentukan melalui persamaan (Magurran 1988) berikut:

R 1 = E�FGH�H�

dimana: R1 = Indeks Margallef S = Jumlah jenis n = Jumlah individu seluruh jenis

Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi jika R1 > 5.0, sedang jika R1 berkisar antara 3.5 –

5.0 dan rendah jika R1 < 3.5 (Magurran 1988).

4) Indeks Kemerataan Jenis (Evenness) Pielou J’

Indeks kemerataan jenis menunjukkan tingkat kemerataan jumlah individu per

jenis/species dalam suatu komunitas, menggunakan rumus (Magurran 1988) berikut:

E = IJ

K)�L�

dimana: E = Indeks kemerataan H’= Indeks keanekaragaman S = Jumlah jenis

Makin besar nilai E maka komposisi jenis makin merata (tidak dominan pada satu jenis

tertentu). Kriteria kemerataan jenis adalah: tinggi jika nilai E > 0.6, sedang jika nilai E

berkisar antara 0.3-0.6 dan rendah jika nilai E < 0.3 (Magurran 1988).

5) Indeks Kesamaan Komunitas (Similarity Index)

Untuk mengetahui indeks kesamaan komunitas menggunakan rumus Sorensen dalam

Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) berikut:

IS = %100

2x

ba

w

+

dimana: IS = Indeks kesamaan komunitas

w = Nilai kuantitatif yang ≤ dari jenis yang sama dalam dua komunitas a dan b a = Nilai kuantitatif pada komunitas a b = Nilai kuantitatif pada komunitas b

Page 91: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

27

3) Indeks Kekayaan Jenis (Richness) Margallef (R1)

Perhitungan Indeks kekayaan jenis dilakukan untuk menggambarkan kelimpahan jenis

dalam suatu komunitas yang ditentukan melalui persamaan (Magurran 1988) berikut:

R 1 = E�FGH�H�

dimana: R1 = Indeks Margallef S = Jumlah jenis n = Jumlah individu seluruh jenis

Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi jika R1 > 5.0, sedang jika R1 berkisar antara 3.5 –

5.0 dan rendah jika R1 < 3.5 (Magurran 1988).

4) Indeks Kemerataan Jenis (Evenness) Pielou J’

Indeks kemerataan jenis menunjukkan tingkat kemerataan jumlah individu per

jenis/species dalam suatu komunitas, menggunakan rumus (Magurran 1988) berikut:

E = IJ

K)�L�

dimana: E = Indeks kemerataan H’= Indeks keanekaragaman S = Jumlah jenis

Makin besar nilai E maka komposisi jenis makin merata (tidak dominan pada satu jenis

tertentu). Kriteria kemerataan jenis adalah: tinggi jika nilai E > 0.6, sedang jika nilai E

berkisar antara 0.3-0.6 dan rendah jika nilai E < 0.3 (Magurran 1988).

5) Indeks Kesamaan Komunitas (Similarity Index)

Untuk mengetahui indeks kesamaan komunitas menggunakan rumus Sorensen dalam

Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) berikut:

IS = %100

2x

ba

w

+

dimana: IS = Indeks kesamaan komunitas

w = Nilai kuantitatif yang ≤ dari jenis yang sama dalam dua komunitas a dan b a = Nilai kuantitatif pada komunitas a b = Nilai kuantitatif pada komunitas b

Page 92: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

28

Nilai kuantitatif yang digunakan adalah nilai kerapatan jumlah pohon dan luas bidang

dasar tegakan.

6) Pola Sebaran Spasial

Untuk mengetahui pola sebaran spasial kelompok jenis (Dipterocarpaceae dan non

Dipterocarpaceae) digunakan Indeks Morishita (Id) dalam Krebs (1989) dengan persamaan

sebagai berikut:

Id = ( )

∑−∑

∑−∑

x2x

x2xn

dimana:

Id = Indeks Morisita

n = Jumlah total sampel

x = Jumlah individu pada sampel ke-i

Selanjutnya dilakukan standarisasi Indeks Morishita (Ip) dengan rumus (Smith-Gill

1975 dalam Krebs 1989) sebagai berikut:

a) Menentukan Indeks Seragam (Uniform Indeks = Mu) dan Indeks Kelompok

(Clumped Indeks = Mc) dengan persamaan sebagai berikut:

Mu = ( ) 1

2975.

−+−

∑∑

i

i

x

xnχ

Mc = ( ) 1

2025.

−+−

∑∑

i

i

x

xnχ

dimana:

= Chi Square dua arah dengan selang kepercayaan 0.975 dengan

df (n-1)

n = Jumlah plot/subplot

xi = Jumlah individu per jenis dalam plot/subplot

b) Menghitung Ip dengan menentukan persamaan yang sesuai dengan hasil

perhitungan Id, Mu dan Mc dengan ketentuan berikut:

Jika Id ≥ Mc > 1.0 maka Ip = 0.5 + 0.5�MN�OPQ�OP

Jika Mc > Id ≥ 1.0 maka Ip = 0.5� MN��OP��

Jika 1.0 > Id > Mu maka Ip = -0.5� MN��OR��

Jika 1.0 > Mu > Id maka Ip = -0.5 + 0.5�MN�OROR

Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpceae dan non Dipterocarpceae dengan

kriteria: random jika Ip = 0; mengelompok (clumped) jika Ip > 0 dan teratur (uniform) jika

Ip < 0.

Page 93: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

28

Nilai kuantitatif yang digunakan adalah nilai kerapatan jumlah pohon dan luas bidang

dasar tegakan.

6) Pola Sebaran Spasial

Untuk mengetahui pola sebaran spasial kelompok jenis (Dipterocarpaceae dan non

Dipterocarpaceae) digunakan Indeks Morishita (Id) dalam Krebs (1989) dengan persamaan

sebagai berikut:

Id = ( )

∑−∑

∑−∑

x2x

x2xn

dimana:

Id = Indeks Morisita

n = Jumlah total sampel

x = Jumlah individu pada sampel ke-i

Selanjutnya dilakukan standarisasi Indeks Morishita (Ip) dengan rumus (Smith-Gill

1975 dalam Krebs 1989) sebagai berikut:

a) Menentukan Indeks Seragam (Uniform Indeks = Mu) dan Indeks Kelompok

(Clumped Indeks = Mc) dengan persamaan sebagai berikut:

Mu = ( ) 1

2975.

−+−

∑∑

i

i

x

xnχ

Mc = ( ) 1

2025.

−+−

∑∑

i

i

x

xnχ

dimana:

= Chi Square dua arah dengan selang kepercayaan 0.975 dengan

df (n-1)

n = Jumlah plot/subplot

xi = Jumlah individu per jenis dalam plot/subplot

b) Menghitung Ip dengan menentukan persamaan yang sesuai dengan hasil

perhitungan Id, Mu dan Mc dengan ketentuan berikut:

Jika Id ≥ Mc > 1.0 maka Ip = 0.5 + 0.5�MN�OPQ�OP

Jika Mc > Id ≥ 1.0 maka Ip = 0.5� MN��OP��

Jika 1.0 > Id > Mu maka Ip = -0.5� MN��OR��

Jika 1.0 > Mu > Id maka Ip = -0.5 + 0.5�MN�OROR

Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpceae dan non Dipterocarpceae dengan

kriteria: random jika Ip = 0; mengelompok (clumped) jika Ip > 0 dan teratur (uniform) jika

Ip < 0.

Page 94: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

29

4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan

Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan untuk

menilai pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan menggunakan pendekatan

Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Soemartini, 2008; Mattjik

dan Sumertajaya, 2011). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase keragaman

yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya, 2011). Dalam kajian ini dilakukan

berdasarkan koefisien keragaman minimal persentase kumulatif proporsi keragaman total

yang mampu dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1. Formulasi yang disusun sebagai

berikut:

Y = ƒ Σ WiXi

dimana: Y = keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae Wi = bobot atau koefisien untuk variabel ke-i Xi = variabel ke-i (dimensi statis dan dinamis tegakan hutan /ha-1)

Untuk mencari faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel dependen

dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik biometrik

dilakukan dengan analisis faktor (Analysis Factor). Analisis faktor dilakukan untuk mereduksi

variable penyusun keragaan karakteristik penilai pemulihan tegakan hutan berdasarkan

koefisien korelasi. Analisis dilakukan menggunakan uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan

nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 dan hasil perhitungan Measures of Sampling Adequacy

(msa) >0.6 (Timm, 2002; Mattjik dan Sumertajaya, 2011).

Page 95: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

29

4.6. Formulasi Penilaian Pemulihan Tegakan Hutan

Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan untuk

menilai pemulihan tegakan hutan alam setelah penebangan menggunakan pendekatan

Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Soemartini, 2008; Mattjik

dan Sumertajaya, 2011). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase keragaman

yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya, 2011). Dalam kajian ini dilakukan

berdasarkan koefisien keragaman minimal persentase kumulatif proporsi keragaman total

yang mampu dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1. Formulasi yang disusun sebagai

berikut:

Y = ƒ Σ WiXi

dimana: Y = keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae Wi = bobot atau koefisien untuk variabel ke-i Xi = variabel ke-i (dimensi statis dan dinamis tegakan hutan /ha-1)

Untuk mencari faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel dependen

dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik biometrik

dilakukan dengan analisis faktor (Analysis Factor). Analisis faktor dilakukan untuk mereduksi

variable penyusun keragaan karakteristik penilai pemulihan tegakan hutan berdasarkan

koefisien korelasi. Analisis dilakukan menggunakan uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan

nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 dan hasil perhitungan Measures of Sampling Adequacy

(msa) >0.6 (Timm, 2002; Mattjik dan Sumertajaya, 2011).

Page 96: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 5DINAMIKA

STRUKTUR TEGAKAN

Page 97: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 5DINAMIKA

STRUKTUR TEGAKAN

Page 98: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

30

5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN

Tegakan, hutan dataran rendah mempunyai bentuk struktur tegakan tidak seumur

(uneven aged stand) yang tersusun atas pohon-pohon dengan umur yang beragam (termasuk

jenis dan ukurannya) sehingga sulit mengenali kejelasan faktor umur secara individu atau

jenis (Husch et al. 2003). Struktur tegakan didefinisikan sebagai sebaran jumlah pohon per

satuan luas (pohon ha-1) dalam berbagai kelas diameternya (Meyer et al. 1961; UNESCO

1978; Ibie 1997), sedangkan Trunbull (1963) menggunakan istilah struktur tegakan hutan

untuk menerangkan menerangkan sebaran jumlah pohon dan luas bidang dasar per satuan

luas (pohon ha-1 dan m2 ha-1) pada berbagai kelas diameternya. Selanjutnya Richards (1964)

menerangkan struktur tegakan sebagai sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk

hutan. Oliver dan Larson (1990), menyatakan bahwa struktur tegakan sebagai keadaan

susunan tegakan berdasarkan sebaran kelas diameter dalam tingkatan (semai, pancang, tiang

dan pohon) serta lapisan tajuk dalam ruang tumbuh tegakan (vertikal dan harizontal).

Deskripsi struktur tegakan hutan seringkali digeneralisasi melalui komposisi jenis atau

klasifikasi ekologi (Stone dan Porter 1998; ANU 1999).

Dalam Suhendang (1985), diuraikan bahwa struktur tegakan hutan menyatakan

sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Dengan melihat bentuk struktur

tegakan yang dilukiskan dalam kurva de Lio Court atau kurva J terbalik (Davis dan Johnson

1987), menunjukkan faktor yang menentukan bentuk kurva tersebut adalah jumlah pohon,

dan sebaran kelas diameter, maka kerapatan tegakan merupakan faktor yang sangat penting

dalam mempengaruhi bagaimana struktur tegakan terbentuk. Daniel et al. (1979 diacu dalam

Suhendang 1990) mendefinisikan tegakan sebagai satuan lahan agak homogen yang dapat

dibedakan dengan jelas dari vegetasi disekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat

tumbuh atau geografi, sebagai satuan-satuan pengelolaan yang membentuk hutan.

Pertumbuhan masyarakat tumbuhan (termasuk pohon) sangat dipengaruhi oleh keadaan

tempat tumbuhnya, yaitu totalitas dari semua keadaan yang secara efektif berpengaruh

terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan. Feng (1989) mengemukakan bahwa fungsi

yang digunakan untuk menggambarkan sebaran diameter antara lain adalah model

eksponensial atau model de Lio Court (Meyer 1952), gamma (Nelson 1964), lognormal (Bliss

dan Reinker 1964) dan Weibull (Bailey dan Dell 1973). Umumnya variable input struktur

diameter ditunjukkan dalam bentuk inventarisasi hutan klasik pada plot-plot sampling

(Gourlet-Fleury et al. 2005).

Pengetahuan model struktur tegakan sangat diperlukan untuk menjamin tingkat

keterandalan tertentu dalam keperluan pendugaan dimensi tegakan, dengan kelebihan

efisiensi dapat diterapkan secara luas dan memiliki akurasi tinggi (Prodan 1968). Data

mengenai dimensi tegakan sangat berguna dalam menyusun rencana pengelolaan hutan,

Page 99: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

30

5 DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN

Tegakan, hutan dataran rendah mempunyai bentuk struktur tegakan tidak seumur

(uneven aged stand) yang tersusun atas pohon-pohon dengan umur yang beragam (termasuk

jenis dan ukurannya) sehingga sulit mengenali kejelasan faktor umur secara individu atau

jenis (Husch et al. 2003). Struktur tegakan didefinisikan sebagai sebaran jumlah pohon per

satuan luas (pohon ha-1) dalam berbagai kelas diameternya (Meyer et al. 1961; UNESCO

1978; Ibie 1997), sedangkan Trunbull (1963) menggunakan istilah struktur tegakan hutan

untuk menerangkan menerangkan sebaran jumlah pohon dan luas bidang dasar per satuan

luas (pohon ha-1 dan m2 ha-1) pada berbagai kelas diameternya. Selanjutnya Richards (1964)

menerangkan struktur tegakan sebagai sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk

hutan. Oliver dan Larson (1990), menyatakan bahwa struktur tegakan sebagai keadaan

susunan tegakan berdasarkan sebaran kelas diameter dalam tingkatan (semai, pancang, tiang

dan pohon) serta lapisan tajuk dalam ruang tumbuh tegakan (vertikal dan harizontal).

Deskripsi struktur tegakan hutan seringkali digeneralisasi melalui komposisi jenis atau

klasifikasi ekologi (Stone dan Porter 1998; ANU 1999).

Dalam Suhendang (1985), diuraikan bahwa struktur tegakan hutan menyatakan

sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Dengan melihat bentuk struktur

tegakan yang dilukiskan dalam kurva de Lio Court atau kurva J terbalik (Davis dan Johnson

1987), menunjukkan faktor yang menentukan bentuk kurva tersebut adalah jumlah pohon,

dan sebaran kelas diameter, maka kerapatan tegakan merupakan faktor yang sangat penting

dalam mempengaruhi bagaimana struktur tegakan terbentuk. Daniel et al. (1979 diacu dalam

Suhendang 1990) mendefinisikan tegakan sebagai satuan lahan agak homogen yang dapat

dibedakan dengan jelas dari vegetasi disekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat

tumbuh atau geografi, sebagai satuan-satuan pengelolaan yang membentuk hutan.

Pertumbuhan masyarakat tumbuhan (termasuk pohon) sangat dipengaruhi oleh keadaan

tempat tumbuhnya, yaitu totalitas dari semua keadaan yang secara efektif berpengaruh

terhadap pertumbuhan masyarakat tumbuhan. Feng (1989) mengemukakan bahwa fungsi

yang digunakan untuk menggambarkan sebaran diameter antara lain adalah model

eksponensial atau model de Lio Court (Meyer 1952), gamma (Nelson 1964), lognormal (Bliss

dan Reinker 1964) dan Weibull (Bailey dan Dell 1973). Umumnya variable input struktur

diameter ditunjukkan dalam bentuk inventarisasi hutan klasik pada plot-plot sampling

(Gourlet-Fleury et al. 2005).

Pengetahuan model struktur tegakan sangat diperlukan untuk menjamin tingkat

keterandalan tertentu dalam keperluan pendugaan dimensi tegakan, dengan kelebihan

efisiensi dapat diterapkan secara luas dan memiliki akurasi tinggi (Prodan 1968). Data

mengenai dimensi tegakan sangat berguna dalam menyusun rencana pengelolaan hutan,

Page 100: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

31

disamping potensi jenis dan kualitasnya. Agar diperoleh tingkat keterandalan yang tinggi,

maka proses pendugaan dimensi tegakan harus didasarkan kepada bentuk struktur tegakan

yang terandalkan pula. Suhendang (1985) mengemukakan 5 (lima) kegunaan struktur

tegakan hutan, yaitu: penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan

luas bidang dasar tegakan, pengamatan dendrometrik, penentuan volume tegakan yang tidak

terkoreksi dan nilai komersil tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Beberapa studi

penggunaan metode struktur tegakan terbukti memberikan efisiensi metode inventarisasi

dibandingkan dengan metode konvensional sensus pendugaan jumlah pohon, luas bidang

dasar, dan volume tegakan per hektar (Udiansyah 1994). Menurut Guldin (1991), salah satu

metode pengaturan hasil yang berhasil dikembangkan di Amerika adalah pengaturan hasil

berdasarkan struktur tegakan. Dalam manajemen hutan terutama aspek perencanaan,

pembangunan model-model sebagai quantitative tools diperlukan untuk meningkatkan akurasi

dan validitas beberapa batasan untuk mencapai pola pengelolaan hutan yang

kontinyu/lestari (Phillips et al. 2002). Struktur tegakan merupakan salah satu variable input

yang fundamental dalam berbagai analisis tegakan hutan alam yang selanjutnya

menerangkan dinamika tegakan dalam hutan tropis (Lewis et al. 2004). Pendekatan dalam

menentukan model struktur tegakan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar tegakan hutan

bekas tebangan pada variasi kondisi dengan teknik penebangan dan teknik pembebasan

tegakan yang berbeda.

5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan

Fluktuasi kondisi kerapatan (btg ha-1) dan bidang dasar (m2 ha-1) tegakan hutan alam

yang berumur 23 tahun setelah penebangan akan meningkat mendekati kondisi awal

tegakan sebelum penebangan (hutan primer) seiring jangka waktu setelah penebangan

(Gambar 8). Tingkat kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan telah mendekati kondisi

hutan primer pada 9 tahun setelah penebangan, sedangkan berdasarkan nilai bidang dasar

tegakan kondisi mendekati kondisi hutan primer (kontrol) pada 11 tahun setelah

penebangan. Setelah 23 tahun penebangan kondisi kerapatan dan bidang dasar tegakan

telah menjadi lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer sebelum penebangan pada

masing-masing plot.

Pada tegakan hutan alam 17 tahun setelah penebangan mempunyai kesamaan

sebesar 66.7-77.8% dibandingkan dengan hutan primer berdasarkan tingkat kerapatan dan

luas bidang dasarnya. Sedangkan pada 23 tahun setelah penebangan mempunyai tingkat

kerapatan yang lebih tinggi berkisar 105.3 – 114.8% dibandingkan kondisi hutan primer.

Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan, setelah 23 tahun penebangan dibandingkan kondisi

hutan primer juga telah mempunyai nilai yang lebih besar yang berkisar 105.9 – 122.3%.

Page 101: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

31

disamping potensi jenis dan kualitasnya. Agar diperoleh tingkat keterandalan yang tinggi,

maka proses pendugaan dimensi tegakan harus didasarkan kepada bentuk struktur tegakan

yang terandalkan pula. Suhendang (1985) mengemukakan 5 (lima) kegunaan struktur

tegakan hutan, yaitu: penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan

luas bidang dasar tegakan, pengamatan dendrometrik, penentuan volume tegakan yang tidak

terkoreksi dan nilai komersil tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Beberapa studi

penggunaan metode struktur tegakan terbukti memberikan efisiensi metode inventarisasi

dibandingkan dengan metode konvensional sensus pendugaan jumlah pohon, luas bidang

dasar, dan volume tegakan per hektar (Udiansyah 1994). Menurut Guldin (1991), salah satu

metode pengaturan hasil yang berhasil dikembangkan di Amerika adalah pengaturan hasil

berdasarkan struktur tegakan. Dalam manajemen hutan terutama aspek perencanaan,

pembangunan model-model sebagai quantitative tools diperlukan untuk meningkatkan akurasi

dan validitas beberapa batasan untuk mencapai pola pengelolaan hutan yang

kontinyu/lestari (Phillips et al. 2002). Struktur tegakan merupakan salah satu variable input

yang fundamental dalam berbagai analisis tegakan hutan alam yang selanjutnya

menerangkan dinamika tegakan dalam hutan tropis (Lewis et al. 2004). Pendekatan dalam

menentukan model struktur tegakan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar tegakan hutan

bekas tebangan pada variasi kondisi dengan teknik penebangan dan teknik pembebasan

tegakan yang berbeda.

5.1. Tegakan Hutan Setelah Penebangan

Fluktuasi kondisi kerapatan (btg ha-1) dan bidang dasar (m2 ha-1) tegakan hutan alam

yang berumur 23 tahun setelah penebangan akan meningkat mendekati kondisi awal

tegakan sebelum penebangan (hutan primer) seiring jangka waktu setelah penebangan

(Gambar 8). Tingkat kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan telah mendekati kondisi

hutan primer pada 9 tahun setelah penebangan, sedangkan berdasarkan nilai bidang dasar

tegakan kondisi mendekati kondisi hutan primer (kontrol) pada 11 tahun setelah

penebangan. Setelah 23 tahun penebangan kondisi kerapatan dan bidang dasar tegakan

telah menjadi lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer sebelum penebangan pada

masing-masing plot.

Pada tegakan hutan alam 17 tahun setelah penebangan mempunyai kesamaan

sebesar 66.7-77.8% dibandingkan dengan hutan primer berdasarkan tingkat kerapatan dan

luas bidang dasarnya. Sedangkan pada 23 tahun setelah penebangan mempunyai tingkat

kerapatan yang lebih tinggi berkisar 105.3 – 114.8% dibandingkan kondisi hutan primer.

Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan, setelah 23 tahun penebangan dibandingkan kondisi

hutan primer juga telah mempunyai nilai yang lebih besar yang berkisar 105.9 – 122.3%.

Page 102: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

32

Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum penebangan, tingkat pemulihan tegakan

setelah 17 tahun cenderung positif berdasarkan tingkat kerapatan (93-102%) dan bidang

dasar tegakan (81.0-88.8%). Dan pada umur tegakan 23 tahun setelah penebangan

berdasarkan dua parameter tersebut dapat dikatakan bahwa tegakan hutan telah pulih

(kerapatan berkisar 91.8 – 103.5% dan bidang dasar berkisar (104.2 – 122.9%).

Gambar 8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua

jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)

0

100

200

300

400

500

600

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV60

HP

0

10

20

30

40

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60

CNV 60 HP

(a)

(b)

Page 103: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

32

Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum penebangan, tingkat pemulihan tegakan

setelah 17 tahun cenderung positif berdasarkan tingkat kerapatan (93-102%) dan bidang

dasar tegakan (81.0-88.8%). Dan pada umur tegakan 23 tahun setelah penebangan

berdasarkan dua parameter tersebut dapat dikatakan bahwa tegakan hutan telah pulih

(kerapatan berkisar 91.8 – 103.5% dan bidang dasar berkisar (104.2 – 122.9%).

Gambar 8. Kondisi tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda untuk semua

jenis berdasarkan (a) kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)

0

100

200

300

400

500

600

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV60

HP

0

10

20

30

40

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60

CNV 60 HP

(a)

(b)

Page 104: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

33

Fluktuasi kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan pada plot penelitian

berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai

kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 9 dan 10).

Gambar 9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda

berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Tingkat kerapatan tegakan pada 17 dan 23 tahun setelah penebangan untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae cenderung lebih dinamis dan belum kembali pada kondisi

kerapatan dan bidang dasar tegakan awal sebelum penebangan (kerapatan 78.8-98.7% dan

bidang dasar 51.3-58.7%). Hal ini menunjukkan pula bahwa tegakan tinggal pada hutan

setalah penebangan 23 tahun masih didominansi oleh jenis-jenis non Dipterocarpaceae.

0

50

100

150

200

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

0

100

200

300

400

500

600

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ker

apa

tan

(btg

ha

-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

(a)

(b)

Page 105: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

33

Fluktuasi kerapatan tegakan dan bidang dasar tegakan pada plot penelitian

berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai

kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 9 dan 10).

Gambar 9. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik penebangan yang berbeda

berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Tingkat kerapatan tegakan pada 17 dan 23 tahun setelah penebangan untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae cenderung lebih dinamis dan belum kembali pada kondisi

kerapatan dan bidang dasar tegakan awal sebelum penebangan (kerapatan 78.8-98.7% dan

bidang dasar 51.3-58.7%). Hal ini menunjukkan pula bahwa tegakan tinggal pada hutan

setalah penebangan 23 tahun masih didominansi oleh jenis-jenis non Dipterocarpaceae.

0

50

100

150

200

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

0

100

200

300

400

500

600

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ker

apa

tan

(btg

ha

-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

(a)

(b)

Page 106: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

34

Gambar 10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang

berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non

Dipterocarpaceae

Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan

(sebelum penebangan) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada semua plot

penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Kerapatan tegakan plot penelitian sebesar 461-647 btg ha-1

dengan rataan 531 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar tegakan sebesar 19.35-31.84 m2 ha-

1 dengan rataan 23.68 m2 ha-1. Hasil penelitian Setiawan (2013) di Kalimantan Timur

menunjukkan bahwa kerapatan tegakan pada hutan dengan berbagai jangka waktu bekas

tebangan sebesar 250-511 btg ha-1, sedangkan hasil penelitian Muhdin (2012)

menunjukkan kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan di Kalimantan yaitu 113-607

0

10

20

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Bid

an

g da

sar

(m2 h

a-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

0

10

20

30

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

(a)

(b)

Page 107: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

34

Gambar 10. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik penebangan yang

berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non

Dipterocarpaceae

Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan

(sebelum penebangan) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada semua plot

penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Kerapatan tegakan plot penelitian sebesar 461-647 btg ha-1

dengan rataan 531 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar tegakan sebesar 19.35-31.84 m2 ha-

1 dengan rataan 23.68 m2 ha-1. Hasil penelitian Setiawan (2013) di Kalimantan Timur

menunjukkan bahwa kerapatan tegakan pada hutan dengan berbagai jangka waktu bekas

tebangan sebesar 250-511 btg ha-1, sedangkan hasil penelitian Muhdin (2012)

menunjukkan kerapatan tegakan hutan alam bekas tebangan di Kalimantan yaitu 113-607

0

10

20

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Bid

an

g da

sar

(m2 h

a-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

0

10

20

30

HP 1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah penebangan (tahun)

RIL 50 RIL 60 CNV HP

(a)

(b)

Page 108: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

35

btg ha-1. Kondisi plot penelitian juga mendekati hasil Sist dan Ferreira (2007) di Amazon

Timur yang menunjukkan tingkat kerapatan sebelum penebangan sebesar 480±96.6 btg ha-1

dengan luas bidang dasar 28±4 m2 ha-1. Sedangkan Gourlet-Fleury et al. (2005) di French

Guiana mendapatkan nilai kerapatan tegakan yang lebih tinggi yaitu sebesar 625 btg ha-1.

Krisnawati (2001) pada berbagai variasi jangka waktu hutan setelah penebangan di

Kalimantan Tengah, menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 16.4-26.7 m2 ha-1, sedangkan

Setiawan (2013) menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 12.63-32.57 m2 ha-1 dan pada hutan

primer sebesar 27.80-32.57 m2 ha-1 di Muara Wahau Kalimantan Timur. Berdasarkan

tingkat kerapatan dan nilai bidang dasar tegakan, plot penelitian mempunyai tingkat

kerapatan sedang hingga tinggi untuk wilayah Kalimantan.

5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan

Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan

(sebelum pembebasan atau hutan bekas tebangan 11 tahun) tidak mempunyai perbedaan

yang signifikan pada semua plot penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Fluktuasi kerapatan tegakan

plot penelitian 419-510 btg ha-1 dengan rataan 472 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar

tegakan yaitu 22.66-28.20 m2 ha-1 dengan rataan 24.39 m2 ha-1.

Kerapatan tegakan setelah pembebasan dengan teknik yang berbeda sepanjang 23

tahun pengamatan mempunyai kisaran kerapatan yang mendekati kondisi awal sebelum

perlakuan yaitu 94.9-103.7%. Sedangkan fluktuasi kerapatan tegakan tanpa perlakuan

(kontrol) mempunyai kisaran yang mendekati kondisi tegakan dengan perlakuan

pembebasan yaitu 94.0-104.7% terhadap kondisi awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa

tindakan silvikultur berupa pembebasan dengan maksimal pengurangan 35% dari bidang

dasar tegakan tidak memberikan perubahan kerapatan tegakan yang signifikan dibandingkan

kondisi awal sebelum perlakuan dan tegakan tanpa perlakuan (kontrol). Berdasarkan nilai

bidang dasar tegakan, fluktuasi tegakan dengan tindakan pembebasan berkisar 87.4-108.0%

dibandingkan kondisi awal tegakan. Sedangkan pada tegakan tanpa perlakukan mempunyai

fluktuasi nilai bidang dasar yang lebih sempit yaitu 91.7-106.7%.

Fluktuasi kerapatan dan bidang dasar tegakan dengan tindakan silvikultur berupa

teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematis maupun berdasarkan pohon

binaan), disajikan pada Gambar 11 berikut.

Page 109: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

35

btg ha-1. Kondisi plot penelitian juga mendekati hasil Sist dan Ferreira (2007) di Amazon

Timur yang menunjukkan tingkat kerapatan sebelum penebangan sebesar 480±96.6 btg ha-1

dengan luas bidang dasar 28±4 m2 ha-1. Sedangkan Gourlet-Fleury et al. (2005) di French

Guiana mendapatkan nilai kerapatan tegakan yang lebih tinggi yaitu sebesar 625 btg ha-1.

Krisnawati (2001) pada berbagai variasi jangka waktu hutan setelah penebangan di

Kalimantan Tengah, menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 16.4-26.7 m2 ha-1, sedangkan

Setiawan (2013) menunjukkan nilai bidang dasar tegakan 12.63-32.57 m2 ha-1 dan pada hutan

primer sebesar 27.80-32.57 m2 ha-1 di Muara Wahau Kalimantan Timur. Berdasarkan

tingkat kerapatan dan nilai bidang dasar tegakan, plot penelitian mempunyai tingkat

kerapatan sedang hingga tinggi untuk wilayah Kalimantan.

5.2. Tegakan Hutan Setelah Pembebasan

Hasil uji beda nilai rataan (uji t) kerapatan tegakan pada kondisi awal tegakan

(sebelum pembebasan atau hutan bekas tebangan 11 tahun) tidak mempunyai perbedaan

yang signifikan pada semua plot penelitian (thitung < ttab(0.05;6)). Fluktuasi kerapatan tegakan

plot penelitian 419-510 btg ha-1 dengan rataan 472 btg ha-1, sedangkan nilai bidang dasar

tegakan yaitu 22.66-28.20 m2 ha-1 dengan rataan 24.39 m2 ha-1.

Kerapatan tegakan setelah pembebasan dengan teknik yang berbeda sepanjang 23

tahun pengamatan mempunyai kisaran kerapatan yang mendekati kondisi awal sebelum

perlakuan yaitu 94.9-103.7%. Sedangkan fluktuasi kerapatan tegakan tanpa perlakuan

(kontrol) mempunyai kisaran yang mendekati kondisi tegakan dengan perlakuan

pembebasan yaitu 94.0-104.7% terhadap kondisi awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa

tindakan silvikultur berupa pembebasan dengan maksimal pengurangan 35% dari bidang

dasar tegakan tidak memberikan perubahan kerapatan tegakan yang signifikan dibandingkan

kondisi awal sebelum perlakuan dan tegakan tanpa perlakuan (kontrol). Berdasarkan nilai

bidang dasar tegakan, fluktuasi tegakan dengan tindakan pembebasan berkisar 87.4-108.0%

dibandingkan kondisi awal tegakan. Sedangkan pada tegakan tanpa perlakukan mempunyai

fluktuasi nilai bidang dasar yang lebih sempit yaitu 91.7-106.7%.

Fluktuasi kerapatan dan bidang dasar tegakan dengan tindakan silvikultur berupa

teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematis maupun berdasarkan pohon

binaan), disajikan pada Gambar 11 berikut.

Page 110: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

36

Gambar 11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a)

kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)

Fluktuasi kerapatan tegakan pada masing-masing plot penelitian terhadap respon

perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae

dan non Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 12).

0

100

200

300

400

500

600

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

0

10

20

30

40

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

(b)

(a)

Page 111: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

36

Gambar 11. Kondisi tegakan dengan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan (a)

kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dan (b) bidang dasar rataan (m2 ha-1)

Fluktuasi kerapatan tegakan pada masing-masing plot penelitian terhadap respon

perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae

dan non Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 12).

0

100

200

300

400

500

600

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

0

10

20

30

40

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

(b)

(a)

Page 112: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

37

Gambar 12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda

berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Pengaruh tindakan pembebasan berdasarkan nilai kerapatan tegakan adalah pada

tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan penurunan yang paling besar berdasarkan parameter

tegakan tersebut. Kemudian pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung

mempunyai tingkat kerapatan yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum

perlakuan (> 100%). Hal ini menunjukkan bahwa secara total tegakan atau semua jenis

mempunyai respon yang positif terhadap tindakan pembebasan. Teknik pembebasan yang

berbeda belum memberikan hasil yang berbeda signifikan hingga tahun ke-23 setelah

pembebasan, begitu pula jika dibandingkan dengan kondisi tegakan tanpa perlakuan (thitung <

ttab(0.05;6)).

0

50

100

150

200

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

0

100

200

300

400

500

600

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 113: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

37

Gambar 12. Kerapatan tegakan rataan (btg ha-1) dengan teknik pembebasan yang berbeda

berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Pengaruh tindakan pembebasan berdasarkan nilai kerapatan tegakan adalah pada

tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan penurunan yang paling besar berdasarkan parameter

tegakan tersebut. Kemudian pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung

mempunyai tingkat kerapatan yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum

perlakuan (> 100%). Hal ini menunjukkan bahwa secara total tegakan atau semua jenis

mempunyai respon yang positif terhadap tindakan pembebasan. Teknik pembebasan yang

berbeda belum memberikan hasil yang berbeda signifikan hingga tahun ke-23 setelah

pembebasan, begitu pula jika dibandingkan dengan kondisi tegakan tanpa perlakuan (thitung <

ttab(0.05;6)).

0

50

100

150

200

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

0

100

200

300

400

500

600

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ker

apa

tan

(btg

ha-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 114: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

38

Seperti halnya tingkat kerapatan, fluktuasi nilai bidang dasar tegakan pada masing-

masing plot penelitian terhadap respon perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda

berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai

kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 13). Pengaruh tindakan pembebasan

berdasarkan nilai bidang dasar tegakan adalah pada tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan

penurunan yang paling besar berdasarkan parameter tegakan tersebut. Kemudian pada

tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung mempunyai tingkat bidang dasar

yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum perlakuan (> 100%).

Gambar 13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang

berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non

Dipterocarpaceae

0

10

20

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

0

10

20

30

40

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

(a)

(b)

Page 115: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

38

Seperti halnya tingkat kerapatan, fluktuasi nilai bidang dasar tegakan pada masing-

masing plot penelitian terhadap respon perlakuan tindakan pembebasan yang berbeda

berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai

kecenderungan yang berbeda-beda (Gambar 13). Pengaruh tindakan pembebasan

berdasarkan nilai bidang dasar tegakan adalah pada tahun ke-3, yang ditunjukkan dengan

penurunan yang paling besar berdasarkan parameter tegakan tersebut. Kemudian pada

tahun ke-5 setelah pembebasan, tegakan akan cenderung mempunyai tingkat bidang dasar

yang lebih besar dibandingkan kondisi tegakan awal sebelum perlakuan (> 100%).

Gambar 13. Luas bidang dasar tegakan rataan (m2 ha-1) dengan teknik pembebasan yang

berbeda berdasarkan kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non

Dipterocarpaceae

0

10

20

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

0

10

20

30

40

HBT 11 1 3 5 7 9 11 13 15 23

Bid

an

g da

sar

(m2h

a-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS PPB CTR

(a)

(b)

Page 116: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

39

Hasil yang sama dari penelitian di Cordoba Argentina menyatakan bahwa ada

kemiripan kerapatan pohon antara hutan bekas tebangan dengan hutan primer, tetapi hutan

bekas tebangan mempunyai nilai bidang dasar yang lebih rendah dibandingkan hutan primer

(Bonino dan Araujo 2005). Tingkat pemulihan tegakan bervariasi berdasarkan kondisi awal

tegakan, teknik penebangan yang diterapkan dan kelompok jenis vegetasi penyusun tegakan

hutan.

5.3. Model Struktur Tegakan

Penyusunan model struktur tegakan hutan Dipterocarpaceae dengan famili sebaran

eksponensial, gamma, lognormal dan weibull yang dicobakan (Gambar 14). Rekapitulasi

perhitungan struktur horizontal tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae

dan semua jenis disusun berdasarkan interval kelas diameter 5 cm. Penentuan fungsi

sebaran terpilih dilakukan berdasarkan nilai fungsi kemungkinan maksimum untuk masing-

masing kondisi tegakan dan kelompok jenis. Model famili sebaran Lognormal merupakan

model terpilih sebagai model terbaik yang dianggap dapat menerangkan struktur tegakan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non

Dipterocarpaceae dan semua jenis, lebih tepat dibandingkan model-model sebaran lain yang

dicobakan.

0

50

100

150

200

250

07

.512

.517

.522

.527

.532

.537

.542

.547

.552

.557

.562

.567

.572

.577

.582

.587

.592

.597

.51

02.5K

era

pata

n (

btg

ha-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

0

50

100

150

200

250

07.

512

.517

.522

.527

.532

.537

.542

.547

.552

.557

.562

.567

.572

.577

.582

.587

.592

.597

.510

2.5

Ker

apat

an (b

tg h

a-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

0

50

100

150

200

250

07

.51

2.5

17

.52

2.5

27

.53

2.5

37

.54

2.5

47

.55

2.5

57

.56

2.5

67

.57

2.5

77

.58

2.5

87

.59

2.5

97

.51

02

.5Kera

pata

n (b

tg h

a-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

0

50

100

150

200

250

07.5

12.5

17.5

22.5

27.5

32.5

37.5

42.5

47.5

52.5

57.5

62.5

67.5

72.5

77.5

82.5

87.5

92.5

97.5

10

2.5

Ke

rap

ata

n (b

tg h

a-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

Gambar 14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer

(a) (b)

(c) (d)

Page 117: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

39

Hasil yang sama dari penelitian di Cordoba Argentina menyatakan bahwa ada

kemiripan kerapatan pohon antara hutan bekas tebangan dengan hutan primer, tetapi hutan

bekas tebangan mempunyai nilai bidang dasar yang lebih rendah dibandingkan hutan primer

(Bonino dan Araujo 2005). Tingkat pemulihan tegakan bervariasi berdasarkan kondisi awal

tegakan, teknik penebangan yang diterapkan dan kelompok jenis vegetasi penyusun tegakan

hutan.

5.3. Model Struktur Tegakan

Penyusunan model struktur tegakan hutan Dipterocarpaceae dengan famili sebaran

eksponensial, gamma, lognormal dan weibull yang dicobakan (Gambar 14). Rekapitulasi

perhitungan struktur horizontal tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae

dan semua jenis disusun berdasarkan interval kelas diameter 5 cm. Penentuan fungsi

sebaran terpilih dilakukan berdasarkan nilai fungsi kemungkinan maksimum untuk masing-

masing kondisi tegakan dan kelompok jenis. Model famili sebaran Lognormal merupakan

model terpilih sebagai model terbaik yang dianggap dapat menerangkan struktur tegakan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non

Dipterocarpaceae dan semua jenis, lebih tepat dibandingkan model-model sebaran lain yang

dicobakan.

0

50

100

150

200

250

07

.512

.517

.522

.527

.532

.537

.542

.547

.552

.557

.562

.567

.572

.577

.582

.587

.592

.597

.51

02.5K

era

pata

n (

btg

ha-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

0

50

100

150

200

250

07.

512

.517

.522

.527

.532

.537

.542

.547

.552

.557

.562

.567

.572

.577

.582

.587

.592

.597

.510

2.5

Ker

apat

an (b

tg h

a-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

0

50

100

150

200

250

07

.51

2.5

17

.52

2.5

27

.53

2.5

37

.54

2.5

47

.55

2.5

57

.56

2.5

67

.57

2.5

77

.58

2.5

87

.59

2.5

97

.51

02

.5Kera

pata

n (b

tg h

a-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

0

50

100

150

200

250

07.5

12.5

17.5

22.5

27.5

32.5

37.5

42.5

47.5

52.5

57.5

62.5

67.5

72.5

77.5

82.5

87.5

92.5

97.5

10

2.5

Ke

rap

ata

n (b

tg h

a-1)

Diameter (cm)

Kerapatan rataanEksponensialGammaLognormalWeibull

Gambar 14. Perbandingan model struktur tegakan untuk semua jenis pada (a) RIL 50; (b) RIL 60; (c) penebangan konvensional dan (d) hutan primer

(a) (b)

(c) (d)

Page 118: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

40

Berdasarkan hasil perhitungan nilai dugaan bagi penduga titik famili sebaran

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non

Dipterocarpaceae dan semua jenis, berikut disajikan model struktur tegakan pada masing-

masing kelompok jenis untuk tegakan hutan bekas tebangan dengan teknik RIL 50, RIL 60,

konvensional, hutan primer, pembebasan sistematik, pembebasan berdasarkan pohon

binaan dan kontrol hutan bekas tebangan untuk pembebasan. Penyusunan model struktur

tegakan berdasarkan struktur kerapatan dan bidang dasar tegakan yang masing-masing

terdiri dari 3 kelas kerapatan tegakan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Gambar 15-28).

Pembagian kelompok atau kelas kerapatan tegakan berdasarkan tingkat kerapatan relatif

masing-masing penyusun tegakan pada tiap seri perlakuan. Untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan mempunyai kelas kerapatan rendah 61-80 btg ha-

1, kerapatan sedang 114-135 btg ha-1, tinggi 154-258 btg ha-1, pada hutan primer kerapatan

rendah 86 btg ha-1, kerapatan sedang 107 btg ha-1, tinggi 169 btg ha-1, pada hutan setelah

pembebasan kelas kerapatan rendah 53-60 btg ha-1, kerapatan sedang 90-106 btg ha-1, tinggi

134-258 btg ha-1 dan untuk plot kontrol mempunyai kerapatan rendah <39 btg ha-1,

kerapatan sedang 70 btg ha-1, tinggi >145 btg ha-1.

Page 119: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

40

Berdasarkan hasil perhitungan nilai dugaan bagi penduga titik famili sebaran

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non

Dipterocarpaceae dan semua jenis, berikut disajikan model struktur tegakan pada masing-

masing kelompok jenis untuk tegakan hutan bekas tebangan dengan teknik RIL 50, RIL 60,

konvensional, hutan primer, pembebasan sistematik, pembebasan berdasarkan pohon

binaan dan kontrol hutan bekas tebangan untuk pembebasan. Penyusunan model struktur

tegakan berdasarkan struktur kerapatan dan bidang dasar tegakan yang masing-masing

terdiri dari 3 kelas kerapatan tegakan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Gambar 15-28).

Pembagian kelompok atau kelas kerapatan tegakan berdasarkan tingkat kerapatan relatif

masing-masing penyusun tegakan pada tiap seri perlakuan. Untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan mempunyai kelas kerapatan rendah 61-80 btg ha-

1, kerapatan sedang 114-135 btg ha-1, tinggi 154-258 btg ha-1, pada hutan primer kerapatan

rendah 86 btg ha-1, kerapatan sedang 107 btg ha-1, tinggi 169 btg ha-1, pada hutan setelah

pembebasan kelas kerapatan rendah 53-60 btg ha-1, kerapatan sedang 90-106 btg ha-1, tinggi

134-258 btg ha-1 dan untuk plot kontrol mempunyai kerapatan rendah <39 btg ha-1,

kerapatan sedang 70 btg ha-1, tinggi >145 btg ha-1.

Page 120: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

41

Gambar 15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17HBT23

(a)

(b)

(c)

Page 121: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

41

Gambar 15. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17HBT23

(a)

(b)

(c)

Page 122: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

42

Gambar 16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

(a)

(b)

(c)

Page 123: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

42

Gambar 16. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

(a)

(b)

(c)

Page 124: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

43

Gambar 17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23

(a)

(b)

(c)

Page 125: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

43

Gambar 17. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT23

(a)

(b)

(c)

Page 126: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

44

Gambar 18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1HP3 HP5

HP7 HP9HP11 HP13HP15 HP17HP23

(a)

(b)

(c)

Page 127: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

44

Gambar 18. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1HP3 HP5

HP7 HP9HP11 HP13HP15 HP17HP23

(a)

(b)

(c)

Page 128: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

45

Gambar 19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

P1

P3

P5

P7

P9

P11

P13

P15

P23

(a)

(b)

(c)

Page 129: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

45

Gambar 19. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

P1

P3

P5

P7

P9

P11

P13

P15

P23

(a)

(b)

(c)

Page 130: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

46

Gambar 20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

P1

P3P5

P7

P9

P11P13

P15

P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

P1

P3

P5

P7

P9

P11

P13

P15

P23

(a)

(b)

(c)

Page 131: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

46

Gambar 20. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

P1

P3P5

P7

P9

P11P13

P15

P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

P1

P3

P5

P7

P9

P11

P13

P15

P23

(a)

(b)

(c)

Page 132: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

47

Gambar 21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

HBT13

HBT15

HBT17

HBT19

HBT21

HBT23

HBT25

HBT 27

HBT35

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

HBT13

HBT15

HBT17

HBT19

HBT21

HBT23

HBT25

HBT 27

HBT35

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

HBT13

HBT15

HBT17

HBT19

HBT21

HBT23

HBT25

HBT 27

HBT35

(a)

(b)

(c)

Page 133: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

47

Gambar 21. Kurva struktur kerapatan tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

HBT13

HBT15

HBT17

HBT19

HBT21

HBT23

HBT25

HBT 27

HBT35

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

HBT13

HBT15

HBT17

HBT19

HBT21

HBT23

HBT25

HBT 27

HBT35

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11

HBT13

HBT15

HBT17

HBT19

HBT21

HBT23

HBT25

HBT 27

HBT35

(a)

(b)

(c)

Page 134: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

48

Gambar 22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23

(a)

(b)

(c)

Page 135: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

48

Gambar 22. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 50 cm (RIL 50) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23

(a)

(b)

(c)

Page 136: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

49

Gambar 23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

(a)

(b)

(c)

Page 137: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

49

Gambar 23. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan teknik penebangan ramah lingkungan limit diameter 60 cm (RIL 60) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

(a)

(b)

(c)

Page 138: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

50

Gambar 24. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23

(a)

(b)

(c)

Page 139: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

50

Gambar 24. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan teknik penebangan konvensional berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1

HBT3 HBT5

HBT7 HBT9

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT 23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP HBT1HBT3 HBT5HBT7 HBT9HBT11 HBT13HBT15 HBT17HBT 23

(a)

(b)

(c)

Page 140: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

51

Gambar 25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-

1)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

(a)

(b)

(c)

Page 141: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

51

Gambar 25. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

primer berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-

1)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HP0 HP1

HP3 HP5

HP7 HP9

HP11 HP13

HP15 HP17

HP23

(a)

(b)

(c)

Page 142: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

52

Gambar 26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13P15 P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1

P3 P5

P7 P9

P11 P13

P15 P23

(a)

(b)

(c)

Page 143: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

52

Gambar 26. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan pembebasan sistematik berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13P15 P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1

P3 P5

P7 P9

P11 P13

P15 P23

(a)

(b)

(c)

Page 144: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

53

Gambar 27. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1

P3 P5

P7 P9

P11 P13

P15 P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1

P3 P5

P7 P9

P11 P13

P15 P23

(a)

(b)

(c)

Page 145: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

53

Gambar 27. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan dengan pembebasan berbasis pohon binaan berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13P15P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1

P3 P5

P7 P9

P11 P13

P15 P23

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1

P3 P5

P7 P9

P11 P13

P15 P23

(a)

(b)

(c)

Page 146: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

54

Gambar 28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT19 HBT21

HBT23 HBT25

HBT27 HBT35

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-

1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT19 HBT21

HBT23 HBT25

HBT27 HBT35

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT19 HBT21

HBT23 HBT25

HBT27 HBT35

(a)

(b)

(c)

Page 147: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

54

Gambar 28. Kurva struktur bidang dasar tegakan (lognormal) Dipterocarpaceae pada hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol) berdasarkan (a) kerapatan rendah; (b) kerapatan sedang dan (c) kerapatan tinggi

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT19 HBT21

HBT23 HBT25

HBT27 HBT35

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-

1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT19 HBT21

HBT23 HBT25

HBT27 HBT35

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Kelas diameter (cm)

HBT11 HBT13

HBT15 HBT17

HBT19 HBT21

HBT23 HBT25

HBT27 HBT35

(a)

(b)

(c)

Page 148: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

55

Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)

berdasarkan family sebaran terpilih (lognormal) untuk pengelompokkan jenis (kelompok

jenis Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada

hutan bekas tebangan secara umum disajikan pada Gambar 29 dan 30.

0

10

20

30

40

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ker

apat

an (b

tg h

a-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

10

20

30

40

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ker

apat

an (

btg

ha-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

20

40

60

80

100

120

0 5 10 15202530 35 40455055 60657075 80 859095100

Ker

apat

an (b

tg h

a-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

20

40

60

80

100

120

0 5 101520253035404550556065707580859095100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15

Gambar 29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan

bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1

HBT3HBT5

HBT7HBT9HBT11

HBT13HBT15HBT17

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

Gambar 30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan

bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d)

Page 149: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

55

Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)

berdasarkan family sebaran terpilih (lognormal) untuk pengelompokkan jenis (kelompok

jenis Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada

hutan bekas tebangan secara umum disajikan pada Gambar 29 dan 30.

0

10

20

30

40

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ker

apat

an (b

tg h

a-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

10

20

30

40

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ker

apat

an (

btg

ha-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

20

40

60

80

100

120

0 5 10 15202530 35 40455055 60657075 80 859095100

Ker

apat

an (b

tg h

a-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

20

40

60

80

100

120

0 5 101520253035404550556065707580859095100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15

Gambar 29. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan

bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1

HBT3HBT5

HBT7HBT9HBT11

HBT13HBT15HBT17

0

0.5

1

1.5

2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

Das

ar (m

2ha

-1)

Kelas Diameter (cm)

HPHBT1HBT3HBT5HBT7HBT9HBT11HBT13HBT15HBT17

Gambar 30. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan

bekas tebangan (HBT) untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

(a) (b)

(c) (d)

(a) (b)

(c) (d)

Page 150: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

56

Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)

berdasarkan famili sebaran terpilih (lognormal) untuk kelompok jenis Shorea spp.,

Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan setelah tindakan

pembebasan secara umum disajikan pada Gambar 31 dan 32.

Gambar 31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan

bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

Gambar 32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan

bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

0

5

10

15

20

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

0

5

10

15

20

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

020406080

100120140160180

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

020406080

100120140160180

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

0

0.2

0.4

0.6

0.8

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

0

0.2

0.4

0.6

0.8

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

(a) (b)

(d) (c)

(a) (b)

(c) (d)

Page 151: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

56

Model struktur tegakan yang terbangun (struktur kerapatan dan bidang dasar)

berdasarkan famili sebaran terpilih (lognormal) untuk kelompok jenis Shorea spp.,

Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan setelah tindakan

pembebasan secara umum disajikan pada Gambar 31 dan 32.

Gambar 31. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan kerapatan tegakan hutan

bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

Gambar 32. Model struktur tegakan (lognormal) berdasarkan bidang dasar tegakan hutan

bekas tebangan setelah pembebasan untuk kelompok jenis (a) Shorea spp.; (b) Dipterocarpaceae non Shorea; (c) non Dipterocarpaceae dan (d) semua jenis

0

5

10

15

20

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

0

5

10

15

20

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

020406080

100120140160180

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

020406080

100120140160180

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Ke

rapa

tan

(btg

ha-1 )

Kelas diameter (cm)

HBT11P1P3P5P7P9P11P13

0

0.2

0.4

0.6

0.8

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

0

0.2

0.4

0.6

0.8

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100

Bid

ang

da

sar (

m2ha

-1)

Kelas diameter (cm)

HBT11 P1P3 P5P7 P9P11 P13

(a) (b)

(d) (c)

(a) (b)

(c) (d)

Page 152: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

57

Hasil penelitian model struktur tegakan menunjukkan bahwa famili sebaran

lognormal sebagai famili sebaran terbaik diterima pada beberapa kelompok jenis di

beberapa tipe hutan antara lain Suhendang (1985) pada hutan alam hujan tropika dataran

rendah untuk kelompok jenis komersial, jenis pohon meluang dan semua jenis di

Bengkunat, Lampung, Boreel (2009) untuk kelompok jenis Torem dan non Torem di pulau

Yamdema Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Setiawan (2013) untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan bekas tebangan dan hutan

primer di Muara Wahau, Kalimantan Timur.

Davis et al. (2001), menyatakan bahwa pada tahun 1898 de Lio Court pertama kali

mengemukakan hasil studinya tentang distribusi tegakan hutan tidak seumur dalam bentuk

persamaan eksponensial negatif. Bentuk matematis serupa juga dikemukakan oleh Phillip

(1998), dalam bentuk transformasi persamaan logaritmik. Roedjai (1982) diacu dalam Ibie

(1997), meneliti sebaran diameter tegakan hutan tropika basah di Gunung Meratus

Kalimantan Timur dengan menggunakan beberapa metode sebaran, yaitu: normal,

eksponensial, binomial dan beta. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model

sebaran beta memberikan gambaran terbaik dan lebih realistis dari analisa model sebaran

lainnya. Borota (1991) diacu dalam Ibie (1997) juga menggunakan rumusan fungsi beta

untuk menggambarkan sebaran diameter pohon teoritis, untuk diameter pohon setinggi

dada dan tinggi pohon pada hutan-hutan alam tropika, antara lain di Ghana, Congo, Gabon,

dan Laos.

Suhendang (1985), dari hasil penelitiannya di Bengkunat (Lampung), mendapatkan

untuk jenis-jenis pohon damar asam dan simpur, menyebar menurut sebaran Gamma. Hasil

penelitian Mangkudisastra (1995), tentang struktur tegakan di Aceh menujukan bahwa pada

tingkat famili memiliki sebaran gamma, diterima secara konsisten. Demikian juga hasil

penelitian Udiansyah (1994), tentang penggunaan struktur tegakan dalam menduga

beberapa macam dimensi tegakan hutan tidak seumur di Kampar (Riau), mendapatkan

bahwa untuk seluruh petak percobaan menunjukkan bahwa famili sebaran lognormal

diterima secara konsisten. Jenis atau kelompok jenis dalam tegakan mempunyai karakteristik

struktur yang khas dengan dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh yang spesifik pula.

Hasil analisis regresi hubungan jangka waktu pemulihan setelah penebangan dan

hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap kerapatan dan bidang dasar tegakan,

nilai koefisien determinasi dan analisis varians disusun berdasarkan kelompok jenis

Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis

(Tabel 7 dan 8).

Page 153: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

57

Hasil penelitian model struktur tegakan menunjukkan bahwa famili sebaran

lognormal sebagai famili sebaran terbaik diterima pada beberapa kelompok jenis di

beberapa tipe hutan antara lain Suhendang (1985) pada hutan alam hujan tropika dataran

rendah untuk kelompok jenis komersial, jenis pohon meluang dan semua jenis di

Bengkunat, Lampung, Boreel (2009) untuk kelompok jenis Torem dan non Torem di pulau

Yamdema Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Setiawan (2013) untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan semua jenis pada hutan bekas tebangan dan hutan

primer di Muara Wahau, Kalimantan Timur.

Davis et al. (2001), menyatakan bahwa pada tahun 1898 de Lio Court pertama kali

mengemukakan hasil studinya tentang distribusi tegakan hutan tidak seumur dalam bentuk

persamaan eksponensial negatif. Bentuk matematis serupa juga dikemukakan oleh Phillip

(1998), dalam bentuk transformasi persamaan logaritmik. Roedjai (1982) diacu dalam Ibie

(1997), meneliti sebaran diameter tegakan hutan tropika basah di Gunung Meratus

Kalimantan Timur dengan menggunakan beberapa metode sebaran, yaitu: normal,

eksponensial, binomial dan beta. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model

sebaran beta memberikan gambaran terbaik dan lebih realistis dari analisa model sebaran

lainnya. Borota (1991) diacu dalam Ibie (1997) juga menggunakan rumusan fungsi beta

untuk menggambarkan sebaran diameter pohon teoritis, untuk diameter pohon setinggi

dada dan tinggi pohon pada hutan-hutan alam tropika, antara lain di Ghana, Congo, Gabon,

dan Laos.

Suhendang (1985), dari hasil penelitiannya di Bengkunat (Lampung), mendapatkan

untuk jenis-jenis pohon damar asam dan simpur, menyebar menurut sebaran Gamma. Hasil

penelitian Mangkudisastra (1995), tentang struktur tegakan di Aceh menujukan bahwa pada

tingkat famili memiliki sebaran gamma, diterima secara konsisten. Demikian juga hasil

penelitian Udiansyah (1994), tentang penggunaan struktur tegakan dalam menduga

beberapa macam dimensi tegakan hutan tidak seumur di Kampar (Riau), mendapatkan

bahwa untuk seluruh petak percobaan menunjukkan bahwa famili sebaran lognormal

diterima secara konsisten. Jenis atau kelompok jenis dalam tegakan mempunyai karakteristik

struktur yang khas dengan dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh yang spesifik pula.

Hasil analisis regresi hubungan jangka waktu pemulihan setelah penebangan dan

hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap kerapatan dan bidang dasar tegakan,

nilai koefisien determinasi dan analisis varians disusun berdasarkan kelompok jenis

Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis

(Tabel 7 dan 8).

Page 154: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

58

Tabel 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok

Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)

D y(K) = 81.274e0.0163x y(B) = 0.0008x3 - 0.0042x2 - 0.1182x + 6.4719

R² = 0.0624 SE = 0.1436 Pvalue=0.00 R² = 0.0340 SE = 2.2055 Pvalue=0.00

Shorea spp. y(K) = 34.299e0.0277x y(B) = 0.0003x3 + 0.0003x2 - 0.0802x + 3.2581

R² = 0.1561 SE = 0.1462 Pvalue=0.00 R² = 0.087 SE = 0.8725 Pvalue=0.00

D-s y(K) = 45.975e0.0061x y(B) = 0.0004x3 - 0.0045x2 - 0.0381x + 3.2138

R² = 0.006 SE = 0.1786 Pvalue=0.49 R² = 0.0092 SE = 1.6743 Pvalue=0.86

nD y(K) = -0.0399x3 + 0.7509x2 + 3.1094x + 279.4 y(B) = -0.0016x3 + 0.0493x2 - 0.2135x + 10.452

R² = 0.2092 SE = 54.7557 Pvalue=0.00 R² = 0.2709 SE =1.8905 Pvalue=0.00

SJ y(K) = 364.87e0.0163x y(B) = -0.0008x3 + 0.0451x2 - 0.3317x + 16.924

R² = 0.203 SE = 0.0735 Pvalue=0.00 R² = 0.1696 SE = 3.0345 Pvalue=0.00

Tabel 8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan

kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok

Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)

D

y (K) = 0.0278x3 - 0.8661x2 + 7.8599x +

97.12 y(B) = 0.0026x3 - 0.0739x2 + 0.6064x + 10.126

R² = 0.0124 SE = 43.2192 Fhit=0.32 R² = 0.0071 SE = 3.7465 Fhit=0.27

Shorea spp.

y(K) = 0.0243x3 - 0.6343x2 + 4.9035x +

52.696 y(B) = 0.0026x3 - 0.0688x2 + 0.4887x + 5.8567

R² = 0.0136 SE = 20.0747 Fhit=0.29 R² = 0.0058 SE = 3.0665 Fhit=0.75

D-s y(K) = 42.145e0.0102x y(B) = 3.8533e0.0116x

R² = 0.0061 SE = 0.2293 Pvalue=0.00 R² = 0.0079 SE = 0.2277 Pvalue=0.00

nD y(K) = -0.089x3 + 1.7809x2 - 9.3225x + 384.44 y(B) = -0.0116x3 + 0.3097x2 - 2.3723x + 17.51

R² = 0.0072 SE = 49.3828 Fhit=0.42 R² = 0.1838 SE = 2.3277 Pvalue=0.00

SJ

y(K) = -0.0612x3 + 0.9148x2 - 1.4626x +

481.56

y(B) = -0.0033x3 + 0.1388x2 - 1.4762x +

28.057

R² = 0.0215 SE = 43.5468 Pvalue=0.00 R² = 0.0682 SE = 4.024 Pvalue=0.00

Dalam jangka waktu 23 tahun setelah penebangan, dengan pola pertumbuhan atau

pemulihan tegakan dengan bentuk eksponensial dan polinomial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (baik Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae non Shorea) mempunyai kecenderungan pemulihan yang lebih rendah dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Jangka waktu pemulihan berpengaruh signifikan terhadap pemulihan Dipterocarpaceae (selain Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, walaupun masih memiliki hubungan yang cukup rendah. Pada Gambar 33 disajikan bentuk hubungan pemulihan tegakan hutan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar untuk masing-masing kelompok jenis.

Page 155: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

58

Tabel 7. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan (x) dengan kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok

Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)

D y(K) = 81.274e0.0163x y(B) = 0.0008x3 - 0.0042x2 - 0.1182x + 6.4719

R² = 0.0624 SE = 0.1436 Pvalue=0.00 R² = 0.0340 SE = 2.2055 Pvalue=0.00

Shorea spp. y(K) = 34.299e0.0277x y(B) = 0.0003x3 + 0.0003x2 - 0.0802x + 3.2581

R² = 0.1561 SE = 0.1462 Pvalue=0.00 R² = 0.087 SE = 0.8725 Pvalue=0.00

D-s y(K) = 45.975e0.0061x y(B) = 0.0004x3 - 0.0045x2 - 0.0381x + 3.2138

R² = 0.006 SE = 0.1786 Pvalue=0.49 R² = 0.0092 SE = 1.6743 Pvalue=0.86

nD y(K) = -0.0399x3 + 0.7509x2 + 3.1094x + 279.4 y(B) = -0.0016x3 + 0.0493x2 - 0.2135x + 10.452

R² = 0.2092 SE = 54.7557 Pvalue=0.00 R² = 0.2709 SE =1.8905 Pvalue=0.00

SJ y(K) = 364.87e0.0163x y(B) = -0.0008x3 + 0.0451x2 - 0.3317x + 16.924

R² = 0.203 SE = 0.0735 Pvalue=0.00 R² = 0.1696 SE = 3.0345 Pvalue=0.00

Tabel 8. Persamaan regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan (x) dengan

kerapatan dan bidang dasar untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok

Jenis Fungsi (kerapatan) Fungsi (bidang dasar)

D

y (K) = 0.0278x3 - 0.8661x2 + 7.8599x +

97.12 y(B) = 0.0026x3 - 0.0739x2 + 0.6064x + 10.126

R² = 0.0124 SE = 43.2192 Fhit=0.32 R² = 0.0071 SE = 3.7465 Fhit=0.27

Shorea spp.

y(K) = 0.0243x3 - 0.6343x2 + 4.9035x +

52.696 y(B) = 0.0026x3 - 0.0688x2 + 0.4887x + 5.8567

R² = 0.0136 SE = 20.0747 Fhit=0.29 R² = 0.0058 SE = 3.0665 Fhit=0.75

D-s y(K) = 42.145e0.0102x y(B) = 3.8533e0.0116x

R² = 0.0061 SE = 0.2293 Pvalue=0.00 R² = 0.0079 SE = 0.2277 Pvalue=0.00

nD y(K) = -0.089x3 + 1.7809x2 - 9.3225x + 384.44 y(B) = -0.0116x3 + 0.3097x2 - 2.3723x + 17.51

R² = 0.0072 SE = 49.3828 Fhit=0.42 R² = 0.1838 SE = 2.3277 Pvalue=0.00

SJ

y(K) = -0.0612x3 + 0.9148x2 - 1.4626x +

481.56

y(B) = -0.0033x3 + 0.1388x2 - 1.4762x +

28.057

R² = 0.0215 SE = 43.5468 Pvalue=0.00 R² = 0.0682 SE = 4.024 Pvalue=0.00

Dalam jangka waktu 23 tahun setelah penebangan, dengan pola pertumbuhan atau

pemulihan tegakan dengan bentuk eksponensial dan polinomial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (baik Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae non Shorea) mempunyai kecenderungan pemulihan yang lebih rendah dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Jangka waktu pemulihan berpengaruh signifikan terhadap pemulihan Dipterocarpaceae (selain Dipterocarpaceae non Shorea) dan non Dipterocarpaceae, walaupun masih memiliki hubungan yang cukup rendah. Pada Gambar 33 disajikan bentuk hubungan pemulihan tegakan hutan berdasarkan kerapatan dan bidang dasar untuk masing-masing kelompok jenis.

Page 156: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

59

Gambar 33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai

(a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis

Tindakan pembebasan pada tegakan sebagai bentuk input silvikultur dalam

peningkatan produktivitas hutan setelah 23 tahun akan memberikan perbedaan yang nyata

terhadap tingkat kerapatan Dipterocarpaceae non Shorea saja. Dari analisis varians dan regresi

yang dihasilkan menunjukkan bahwa tindakan pembebasan tegakan baik secara sistematik

maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang sigifikan terhadap

kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan tingkat kerapatan maupun bidang dasar

0

100

200

300

400

500

600

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

0

5

10

15

20

25

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

(a)

(b)

Page 157: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

59

Gambar 33. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai

(a) kerapatan dan (b) bidang dasar tegakan berdasarkan kelompok jenis

Tindakan pembebasan pada tegakan sebagai bentuk input silvikultur dalam

peningkatan produktivitas hutan setelah 23 tahun akan memberikan perbedaan yang nyata

terhadap tingkat kerapatan Dipterocarpaceae non Shorea saja. Dari analisis varians dan regresi

yang dihasilkan menunjukkan bahwa tindakan pembebasan tegakan baik secara sistematik

maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang sigifikan terhadap

kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan tingkat kerapatan maupun bidang dasar

0

100

200

300

400

500

600

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ker

apat

an (

btg

ha-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

0

5

10

15

20

25

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

(a)

(b)

Page 158: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

60

tegakan. Untuk kelompok non Dipterocarpaceae tindakan pembebasan tidak memberikan

perbedaan terhadap kerapatan tegakan tetapi mempunyai perbedaan terhadap nilai bidang

dasar tegakan. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai kerapatan

untuk masing-masing kelompok jenis mempunyai pola yang serupa, tetapi berbeda terhadap

nilai bidang dasar tegakan (Gambar 34). Penilaian karakteristik kelompok jenis

Dipterocarpaceae sebagai kelompok jenis komersial utama sangat penting bagi penilaian

pemulihan hutan bekas tebangan baik dengan maupun tanpa perlakuan dalam rangka

kontinuitas hasil hutan yang diambil berupa kayu.

Gambar 34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap

nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis

0

100

200

300

400

500

600

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ker

apat

an (

btg

ha-

1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

0

5

10

15

20

25

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-

1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

(a)

(b)

Page 159: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

60

tegakan. Untuk kelompok non Dipterocarpaceae tindakan pembebasan tidak memberikan

perbedaan terhadap kerapatan tegakan tetapi mempunyai perbedaan terhadap nilai bidang

dasar tegakan. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai kerapatan

untuk masing-masing kelompok jenis mempunyai pola yang serupa, tetapi berbeda terhadap

nilai bidang dasar tegakan (Gambar 34). Penilaian karakteristik kelompok jenis

Dipterocarpaceae sebagai kelompok jenis komersial utama sangat penting bagi penilaian

pemulihan hutan bekas tebangan baik dengan maupun tanpa perlakuan dalam rangka

kontinuitas hasil hutan yang diambil berupa kayu.

Gambar 34. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan terhadap

nilai (a) kerapatan dan (b) bidang dasar berdasakan kelompok jenis

0

100

200

300

400

500

600

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ker

apat

an (

btg

ha-

1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

0

5

10

15

20

25

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Bid

ang

das

ar (

m2

ha-

1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

DipterocarpaceaeShorea spp.Dipterocarpaceae non Shoreanon DipterocarpaceaeSemua jenis

(a)

(b)

Page 160: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

61

Komposisi jenis penyusun tegakan hutan bekas tebangan setelah 23 tahun

cenderung lebih didominansi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Pada tegakan

dengan pembebasan, kelompok jenis Dipterocarpaceae akan meningkat seiring dengan

penurunan non Dipterocarpaceae. Hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tegakan

merupakan fungsi ekofisiologis termasuk adanya pengaruh perlakuan yang diberikan

(Coates dan Burton 1997). Jumlah pohon dan struktur tegakan yang menggambarkan

tingkat ketersediaan tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan tegakan, diduga berpengaruh

terhadap kemampuan regenerasi atau pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan pemulihan

tegakan (Smith dan Nichols 2005; Muhdin 2012).

Penilaian pemulihan yang lebih spesifik pada kelompok jenis untuk mendukung

kebutuhan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang lebih efektif dengan melibatkan aspek

dinamika karakteristik ekologi (Chertov et al. 2005). Serta penilaian kuantitatif berdasarkan

sampling floristik yang ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi penelitian

ekologi untuk kepentingan konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan

Parthasarathy 2006). Sehingga dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan,

model-model kuantitatif dapat digunakan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas

dalam mencapai pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002).

Beberapa hal penting dalam tinjauan model struktur tegakan hutan yang terbentuk

setelah penebangan pada kajian plot STREK adalah sebagai berikut:

1) Dimensi kuantitatif tegakan hutan 23 tahun setelah penebangan akan mendekati kondisi

hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar tegakan),

tetapi masih didominasi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

2) Dimensi kuantitatif tegakan hutan bekas tebangan 23 tahun setelah pembebasan baik

secara sistematis maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang

nyata terhadap kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan kerapatan maupun

bidang dasar tegakan.

3) Pemulihan tegakan dan respon tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal

tegakan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan

kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

4) Model famili sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan struktur tegakan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non

Dipterocarpaceae dan semua jenis.

Page 161: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

61

Komposisi jenis penyusun tegakan hutan bekas tebangan setelah 23 tahun

cenderung lebih didominansi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Pada tegakan

dengan pembebasan, kelompok jenis Dipterocarpaceae akan meningkat seiring dengan

penurunan non Dipterocarpaceae. Hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tegakan

merupakan fungsi ekofisiologis termasuk adanya pengaruh perlakuan yang diberikan

(Coates dan Burton 1997). Jumlah pohon dan struktur tegakan yang menggambarkan

tingkat ketersediaan tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan tegakan, diduga berpengaruh

terhadap kemampuan regenerasi atau pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan pemulihan

tegakan (Smith dan Nichols 2005; Muhdin 2012).

Penilaian pemulihan yang lebih spesifik pada kelompok jenis untuk mendukung

kebutuhan prediksi pertumbuhan tegakan hutan yang lebih efektif dengan melibatkan aspek

dinamika karakteristik ekologi (Chertov et al. 2005). Serta penilaian kuantitatif berdasarkan

sampling floristik yang ditujukan dalam konteks perencanaan dan interpretasi penelitian

ekologi untuk kepentingan konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan

Parthasarathy 2006). Sehingga dalam pengelolaan hutan terutama aspek perencanaan,

model-model kuantitatif dapat digunakan untuk meningkatkan nilai akurasi dan validitas

dalam mencapai pengelolaan yang berkelanjutan (Phillips et al. 2002).

Beberapa hal penting dalam tinjauan model struktur tegakan hutan yang terbentuk

setelah penebangan pada kajian plot STREK adalah sebagai berikut:

1) Dimensi kuantitatif tegakan hutan 23 tahun setelah penebangan akan mendekati kondisi

hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar tegakan),

tetapi masih didominasi oleh kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

2) Dimensi kuantitatif tegakan hutan bekas tebangan 23 tahun setelah pembebasan baik

secara sistematis maupun berbasis pohon binaan belum memberikan perbedaan yang

nyata terhadap kelompok jenis Dipterocarpaceae baik berdasarkan kerapatan maupun

bidang dasar tegakan.

3) Pemulihan tegakan dan respon tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal

tegakan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan

kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

4) Model famili sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan struktur tegakan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non

Dipterocarpaceae dan semua jenis.

Page 162: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 6MORTALITAS DAN

ALIH TUMBUH (INGROWTH)

Page 163: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 6MORTALITAS DAN

ALIH TUMBUH (INGROWTH)

Page 164: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

62

6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH)

Ragam kondisi hutan primer dan hutan bekas tebangan menunjukkan perbedaan

struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida et al. 2005). Hal ini juga berpengaruh

terhadap serta variasi kerapatan tegakan, laju tingkat kematian (mortalitas) dan laju tingkat

alih tumbuh (ingrowth) dalam tegakan tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan input dasar

dalam berbagai analisis yang dilakukan dalam populasi hutan hujan tropika antara lain untuk

menerangkan dinamika dalam tegakan hutan (Lewis et al. 2004). Pemulihan tegakan setelah

tebangan (recovery) dalam pertumbuhan dan pembentukan kondisi tegakan terjadi sebagai

fungsi waktu (Smith dan Nichols 2005). Hutan setelah tebangan mempunyai fluktuasi

dalam dinamika tegakan, pertumbuhan dan jumlah pohon yang mati sepanjang waktu

setelah pemanenan (Mex 2005; Hardiansyah et al. 2005). Bentuk atau tingkat kematian

tegakan dapat ditentukan berdasarkan kerapatan tegakan (Kurinobu et al. 2006). Dalam

Gourlet-Fleury et al. (2005) hasil analisis dinamika tegakan setelah pemanenan jenis

Dipterocarpus guianensis di Paracou menunjukkan dampak negatif dari pemanenan yaitu

terjadinya tingkat kematian yang lebih besar daripada di hutan primer.

Kegiatan penebangan hutan akan menimbukan pengaruh terhadap kondisi

lingkungan dan struktur serta komposisi jenis tegakan yang ada. Whitmore (1984),

menyatakan bahwa peluang kerusakan terbesar terutama terjadi pada jenis pohon-pohon

yang dapat ditebang (jenis komersial). Richards (1964) menyatakan hutan primer dengan

strukturnya yang teratur, akan berubah menjadi kelompok - kelompok hutan sekunder yang

tidak teratur susunannya setelah dilakukan penebangan hutan terseleksi. Setelah penebangan,

beberapa komponen tegakan hutan akan berubah seperti struktur kanopi, komposisi jenis

dan tingkat pertumbuhan (Silva et al. 1995; Sist et al. 2003). Dinamika tegakan hutan

merupakan aspek penting sebagai pertimbangan dalam penebangan dan aspek konservasi

sumber daya hutan dalam suatu sistem pengelolaan hutan (Sokpon dan Biaou 2002; Obiri et

al. 2002 dalam Marin et al. 2005). Perlakuan atau tindakan yang berbeda akan membentuk

struktur tegakan hutan bekas tebangan yang berbeda pula, terutama dalam pola

pertumbuhan yang dihasilkan (Saridan dan Susanty 2005). Perbedaan limit diameter

tebangan yang menunjukkan tingkat atau intensitas penebangan akan meningkatkan tingkat

kerusakan pada tegakan tinggal dan pembukaan areal hutan yang lebih besar. Pemulihan

kondisi tegakan hutan mendekati kondisi tegakan awal sangat beragam tergantung pada

tingkat kerusakan hutan dan daya dukung lingkungannya (Muhdin et al. 2008).

Model pertumbuhan dan hasil merupakan salah satu perangkat manajemen kuantitatif

yang penting dalam pengaturan hasil terutama dalam siklus kedua dan selanjutnya. Kondisi

hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur dan kerapatan tegakan, serta

tingkat atau laju kematian (mortality) dan alih tumbuh (ingrowth) dalam hutan tersebut.

Page 165: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

62

6 MORTALITAS DAN ALIH TUMBUH (INGROWTH)

Ragam kondisi hutan primer dan hutan bekas tebangan menunjukkan perbedaan

struktur, komposisi jenis dan nilai potensi (Ishida et al. 2005). Hal ini juga berpengaruh

terhadap serta variasi kerapatan tegakan, laju tingkat kematian (mortalitas) dan laju tingkat

alih tumbuh (ingrowth) dalam tegakan tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan input dasar

dalam berbagai analisis yang dilakukan dalam populasi hutan hujan tropika antara lain untuk

menerangkan dinamika dalam tegakan hutan (Lewis et al. 2004). Pemulihan tegakan setelah

tebangan (recovery) dalam pertumbuhan dan pembentukan kondisi tegakan terjadi sebagai

fungsi waktu (Smith dan Nichols 2005). Hutan setelah tebangan mempunyai fluktuasi

dalam dinamika tegakan, pertumbuhan dan jumlah pohon yang mati sepanjang waktu

setelah pemanenan (Mex 2005; Hardiansyah et al. 2005). Bentuk atau tingkat kematian

tegakan dapat ditentukan berdasarkan kerapatan tegakan (Kurinobu et al. 2006). Dalam

Gourlet-Fleury et al. (2005) hasil analisis dinamika tegakan setelah pemanenan jenis

Dipterocarpus guianensis di Paracou menunjukkan dampak negatif dari pemanenan yaitu

terjadinya tingkat kematian yang lebih besar daripada di hutan primer.

Kegiatan penebangan hutan akan menimbukan pengaruh terhadap kondisi

lingkungan dan struktur serta komposisi jenis tegakan yang ada. Whitmore (1984),

menyatakan bahwa peluang kerusakan terbesar terutama terjadi pada jenis pohon-pohon

yang dapat ditebang (jenis komersial). Richards (1964) menyatakan hutan primer dengan

strukturnya yang teratur, akan berubah menjadi kelompok - kelompok hutan sekunder yang

tidak teratur susunannya setelah dilakukan penebangan hutan terseleksi. Setelah penebangan,

beberapa komponen tegakan hutan akan berubah seperti struktur kanopi, komposisi jenis

dan tingkat pertumbuhan (Silva et al. 1995; Sist et al. 2003). Dinamika tegakan hutan

merupakan aspek penting sebagai pertimbangan dalam penebangan dan aspek konservasi

sumber daya hutan dalam suatu sistem pengelolaan hutan (Sokpon dan Biaou 2002; Obiri et

al. 2002 dalam Marin et al. 2005). Perlakuan atau tindakan yang berbeda akan membentuk

struktur tegakan hutan bekas tebangan yang berbeda pula, terutama dalam pola

pertumbuhan yang dihasilkan (Saridan dan Susanty 2005). Perbedaan limit diameter

tebangan yang menunjukkan tingkat atau intensitas penebangan akan meningkatkan tingkat

kerusakan pada tegakan tinggal dan pembukaan areal hutan yang lebih besar. Pemulihan

kondisi tegakan hutan mendekati kondisi tegakan awal sangat beragam tergantung pada

tingkat kerusakan hutan dan daya dukung lingkungannya (Muhdin et al. 2008).

Model pertumbuhan dan hasil merupakan salah satu perangkat manajemen kuantitatif

yang penting dalam pengaturan hasil terutama dalam siklus kedua dan selanjutnya. Kondisi

hutan bekas tebangan mempunyai variasi dalam struktur dan kerapatan tegakan, serta

tingkat atau laju kematian (mortality) dan alih tumbuh (ingrowth) dalam hutan tersebut.

Page 166: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

63

(Phillips et al. 2002). Menurut Simon (2007) terdapat 3 (tiga) elemen dasar untuk

pertumbuhan tegakan, yaitu tambah tumbuh (accretion), mortalitas (mortality) dan alih tumbuh

(ingrowth). Tambah tumbuh adalah pertumbuhan semua pohon yang diukur sejak awal

sampai akhir pengamatan. Mortalitas atau kematian (mortality) adalah jumlah pohon yang

mati selama periode pengamatan, sedangkan alih tumbuh (ingrowth/recruitment) merupakan

jumlah pohon baru yang masuk ke kelas pengukuran terkecil (kelas diameter terendah)

selama periode pengukuran (Davis et al. 2001).

Melalui pembangunan plot sampel permanen dalam konsesi hutan, pengumpulan

database monitoring dampak penebangan dapat dilakukan secara periodik dalam unit

pengelolaan hutan operasional. Salah satu prinsip pembangunan model pengaturan hasil

dapat dilakukan dengan menggunakan data pengukuran baik pada plot permanen maupun

temporer (Vanclay 1988). Variabel input terutama diameter-struktur tegakan dihasilkan dari

inventarisasi hutan secara klasik (Durrieu de Madron dan Forni 1997; Alder 2002 diacu

dalam Gourlet-Fleury et al. 2005). Keterbatasan informasi tingkat mortalitas seringkali

dilakukan dengan membangun model mortalitas yang dihasilkan dari korelasinya dengan

variabel tegakan yang terukur (Flewelling dan Monserud 2002). Keterbatasan data

mortalitas dan ingrowth dalam membangun model pengaturan hasil tegakan akan

menghasilkan bias dalam proyeksi kondisi tegakan. Penentuan laju mortalitas dan ingrowth

pada variasi kondisi hutan berdasarkan runtun waktu (time series) akan menunjang

penyediaan perangkat manajemen kuantitatif pengelolaan hutan.

Kondisi tegakan yang beragam akan membentuk pola keragaman terhadap respon

input tindakan atau perlakuan yang diberikan, baik berupa variasi intensitas penebangan,

teknik pembebasan maupun tindakan silvikultur lainnya. Dengan variasi karakteristik

tegakan dan kondisi hutan alam yang sebagian besar berupa bekas tebangan maka

diperlukan upaya dalam menyediakan informasi kuantitatif karakteristik tegakan dalam

perencanaan pengelolaan hutan terutama pada areal hutan bekas tebangan.

6.1. Mortalitas Tegakan

Tingkat mortalitas tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda akan

dipengaruhi oleh intensitas penebangan berdasarkan jumlah dan volume pohon yang

ditebang. Intensitas penebangan terbesar adalah teknik penebangan konvensional dengan

jumlah pohon yang ditebang 10.1 + 4.2 batang ha-1 dengan volume 107.2 + 59.6 m3 ha-1,

selanjutnya pada RIL 50 dengan intensitas penebangan 10.7 + 4.9 batang ha-1 dengan

volume 96.8 + 66.5 m3 ha-1 dan intensitas yang terendah adalah pada RIL 60 dengan

menebang 7.0 + 3.0 batang ha-1 dengan volume 56.5 + 23.3 m3 ha-1 (Sist dan Bertault 1998).

Berdasarkan laporan tersebut menunjukkan kecenderungan intensitas logging yang

meningkat secara berturut-turut adalah RIL 60, RIL 50 dan konvensional (Tabel 9).

Page 167: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

63

(Phillips et al. 2002). Menurut Simon (2007) terdapat 3 (tiga) elemen dasar untuk

pertumbuhan tegakan, yaitu tambah tumbuh (accretion), mortalitas (mortality) dan alih tumbuh

(ingrowth). Tambah tumbuh adalah pertumbuhan semua pohon yang diukur sejak awal

sampai akhir pengamatan. Mortalitas atau kematian (mortality) adalah jumlah pohon yang

mati selama periode pengamatan, sedangkan alih tumbuh (ingrowth/recruitment) merupakan

jumlah pohon baru yang masuk ke kelas pengukuran terkecil (kelas diameter terendah)

selama periode pengukuran (Davis et al. 2001).

Melalui pembangunan plot sampel permanen dalam konsesi hutan, pengumpulan

database monitoring dampak penebangan dapat dilakukan secara periodik dalam unit

pengelolaan hutan operasional. Salah satu prinsip pembangunan model pengaturan hasil

dapat dilakukan dengan menggunakan data pengukuran baik pada plot permanen maupun

temporer (Vanclay 1988). Variabel input terutama diameter-struktur tegakan dihasilkan dari

inventarisasi hutan secara klasik (Durrieu de Madron dan Forni 1997; Alder 2002 diacu

dalam Gourlet-Fleury et al. 2005). Keterbatasan informasi tingkat mortalitas seringkali

dilakukan dengan membangun model mortalitas yang dihasilkan dari korelasinya dengan

variabel tegakan yang terukur (Flewelling dan Monserud 2002). Keterbatasan data

mortalitas dan ingrowth dalam membangun model pengaturan hasil tegakan akan

menghasilkan bias dalam proyeksi kondisi tegakan. Penentuan laju mortalitas dan ingrowth

pada variasi kondisi hutan berdasarkan runtun waktu (time series) akan menunjang

penyediaan perangkat manajemen kuantitatif pengelolaan hutan.

Kondisi tegakan yang beragam akan membentuk pola keragaman terhadap respon

input tindakan atau perlakuan yang diberikan, baik berupa variasi intensitas penebangan,

teknik pembebasan maupun tindakan silvikultur lainnya. Dengan variasi karakteristik

tegakan dan kondisi hutan alam yang sebagian besar berupa bekas tebangan maka

diperlukan upaya dalam menyediakan informasi kuantitatif karakteristik tegakan dalam

perencanaan pengelolaan hutan terutama pada areal hutan bekas tebangan.

6.1. Mortalitas Tegakan

Tingkat mortalitas tegakan dengan teknik penebangan yang berbeda akan

dipengaruhi oleh intensitas penebangan berdasarkan jumlah dan volume pohon yang

ditebang. Intensitas penebangan terbesar adalah teknik penebangan konvensional dengan

jumlah pohon yang ditebang 10.1 + 4.2 batang ha-1 dengan volume 107.2 + 59.6 m3 ha-1,

selanjutnya pada RIL 50 dengan intensitas penebangan 10.7 + 4.9 batang ha-1 dengan

volume 96.8 + 66.5 m3 ha-1 dan intensitas yang terendah adalah pada RIL 60 dengan

menebang 7.0 + 3.0 batang ha-1 dengan volume 56.5 + 23.3 m3 ha-1 (Sist dan Bertault 1998).

Berdasarkan laporan tersebut menunjukkan kecenderungan intensitas logging yang

meningkat secara berturut-turut adalah RIL 60, RIL 50 dan konvensional (Tabel 9).

Page 168: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

64

Tabel 9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian

Plot Bidang dasar

(m2 ha-1) Pohon (n ha-1)

Volume

(m3 ha-1)

Volume komersial

(% tebangan)

2 (RIL50)

3 (RIL50)

12 (RIL50)

9.8 + 5.2

11.7 + 6.4

30.8 + 6.2

9.0 + 5.3

8.2 + 3.9

15.0 + 2.7

51.0 + 33.6

65.7 + 39.8

173.8 + 38.8

61.4

59.0

56.5

Rataan + SD 17.5 + 11.3 10.7 + 4.9 96.8 + 66.5 59.0 + 2.4

5 (RIL60)

6 (RIL60)

7 (RIL60)

8.3 + 5.4

10.4 + 2.4

15.4 + 7.3

4.7 + 3.3

7.7 + 1.7

8.5 + 3.1

42.6 + 23.9

57.4 + 14.5

69.6 + 26.9

54.0

50.9

45.3

Rataan + SD 11.4 + 5.8 7.0 + 3.0 56.5 + 23.3 50.1 + 4.4

8 (CNV)

9 (CNV)

11 (CNV)

22.1 + 8.9

13.3 + 2.7

17.6 + 13.3

12.2 + 5.1

8.5 + 3.7

10.5 + 4.4

126.3 + 52.5

85.8 + 26.2

109.5 + 92.3

51.2

51.2

54.0

Rataan + SD 17.7 + 9.3 10.1 + 4.2 107.2 + 59.6 52.3 + 1.6

Sumber: Sist dan Bertault (1998)

Adanya keragaman struktur dan komposisi tegakan menyebabkan tindakan

pembebasan yang dilakukan menjadi bervariasi. Tindakan pembebasan dilakukan dengan

membunuh pohon jenis non komersial dan jenis kurang dikenal dengan maksimal 35% dari

total luas bidang dasar ha-1 (Sist dan Abdurachman 1998). Pada plot penelitian dilakukan

pembebasan dengan teknik sistematis dan pembebasan berbasis pada pohon binaan.

Fluktuasi kematian (mortalitas) rataan dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun

pada masing-masing plot penelitian dengan teknik penebangan dan pembebasan yang

berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan hutan bekas tebangan

dengan teknik pembebasan dikelompokkan berdasarkan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi

dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis.

Tingkat kematian pohon dalam tegakan (mortalitas) untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik pembebasan yang

berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang pengukuran (Gambar 35).

Pada hutan bekas penebangan mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1

dan tahun ke-3 dibandingkan hutan primer, sedangkan pada hutan setelah pembebasan

mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 dibandingkan

kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan.

Page 169: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

64

Tabel 9. Risalah intensitas penebangan pada plot penelitian

Plot Bidang dasar

(m2 ha-1) Pohon (n ha-1)

Volume

(m3 ha-1)

Volume komersial

(% tebangan)

2 (RIL50)

3 (RIL50)

12 (RIL50)

9.8 + 5.2

11.7 + 6.4

30.8 + 6.2

9.0 + 5.3

8.2 + 3.9

15.0 + 2.7

51.0 + 33.6

65.7 + 39.8

173.8 + 38.8

61.4

59.0

56.5

Rataan + SD 17.5 + 11.3 10.7 + 4.9 96.8 + 66.5 59.0 + 2.4

5 (RIL60)

6 (RIL60)

7 (RIL60)

8.3 + 5.4

10.4 + 2.4

15.4 + 7.3

4.7 + 3.3

7.7 + 1.7

8.5 + 3.1

42.6 + 23.9

57.4 + 14.5

69.6 + 26.9

54.0

50.9

45.3

Rataan + SD 11.4 + 5.8 7.0 + 3.0 56.5 + 23.3 50.1 + 4.4

8 (CNV)

9 (CNV)

11 (CNV)

22.1 + 8.9

13.3 + 2.7

17.6 + 13.3

12.2 + 5.1

8.5 + 3.7

10.5 + 4.4

126.3 + 52.5

85.8 + 26.2

109.5 + 92.3

51.2

51.2

54.0

Rataan + SD 17.7 + 9.3 10.1 + 4.2 107.2 + 59.6 52.3 + 1.6

Sumber: Sist dan Bertault (1998)

Adanya keragaman struktur dan komposisi tegakan menyebabkan tindakan

pembebasan yang dilakukan menjadi bervariasi. Tindakan pembebasan dilakukan dengan

membunuh pohon jenis non komersial dan jenis kurang dikenal dengan maksimal 35% dari

total luas bidang dasar ha-1 (Sist dan Abdurachman 1998). Pada plot penelitian dilakukan

pembebasan dengan teknik sistematis dan pembebasan berbasis pada pohon binaan.

Fluktuasi kematian (mortalitas) rataan dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun

pada masing-masing plot penelitian dengan teknik penebangan dan pembebasan yang

berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan hutan bekas tebangan

dengan teknik pembebasan dikelompokkan berdasarkan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi

dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis.

Tingkat kematian pohon dalam tegakan (mortalitas) untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik pembebasan yang

berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang pengukuran (Gambar 35).

Pada hutan bekas penebangan mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1

dan tahun ke-3 dibandingkan hutan primer, sedangkan pada hutan setelah pembebasan

mempunyai tingkat mortalitas yang besar pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 dibandingkan

kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan.

Page 170: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

65

Gambar 35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda

Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok jenis

non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 36). Mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1

dan ke-3 setelah penebangan, kemudian mulai berimpit sejak tahun ke-5. Mortalitas terbesar

terjadi pada teknik penebangan konvensional (intensitas penebangan tertinggi) baik untuk

kelompok jenis Dipterocarpacaeae maupun non Dipterocarpacaeae.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 23

kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(a)

(b)

Page 171: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

65

Gambar 35. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda

Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok jenis

non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 36). Mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1

dan ke-3 setelah penebangan, kemudian mulai berimpit sejak tahun ke-5. Mortalitas terbesar

terjadi pada teknik penebangan konvensional (intensitas penebangan tertinggi) baik untuk

kelompok jenis Dipterocarpacaeae maupun non Dipterocarpacaeae.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 23

kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(a)

(b)

Page 172: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

66

Gambar 36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial yang

ditebang. Untuk meninjau karakteristik mortalitas tegakan Dipterocarpaceae dibagi dalam 2

kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 37). Kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai tingkat mortalitas yang cenderung lebih besar

dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki perbedaan jika dibandingkan

dengan kondisi yang berbeda yaitu pada hutan primer. Kelompok jenis Shorea spp. lebih

berfluktuatif dengan tingkat mortalitas pada hutan bekas tebangan lebih rendah

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

(a)

(b)

Page 173: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

66

Gambar 36. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial yang

ditebang. Untuk meninjau karakteristik mortalitas tegakan Dipterocarpaceae dibagi dalam 2

kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 37). Kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai tingkat mortalitas yang cenderung lebih besar

dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki perbedaan jika dibandingkan

dengan kondisi yang berbeda yaitu pada hutan primer. Kelompok jenis Shorea spp. lebih

berfluktuatif dengan tingkat mortalitas pada hutan bekas tebangan lebih rendah

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

(a)

(b)

Page 174: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

67

dibandingkan pada hutan primer pada tahun ke-5 hingga tahun ke-9. Sedangkan kelompok

Dipterocarpaceae non Shorea pada hutan bekas tebangan memiliki kecenderungan lebih tinggi

dibandingkan kondisi hutan primer hingga tahun ke-11.

Gambar 37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun yang diberi perlakuan atau tindakan

silvikultur berupa pembebasan teknik yang berbeda, kelompok jenis Dipterocarpaceae

mempunyai pola fluktuasi mortalitas yang berbeda dibandingkan dengan kelompok jenis

non Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan (Gambar 38). Tingkat mortalitas

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

10

20

30

40

50

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

(a)

(b)

Page 175: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

67

dibandingkan pada hutan primer pada tahun ke-5 hingga tahun ke-9. Sedangkan kelompok

Dipterocarpaceae non Shorea pada hutan bekas tebangan memiliki kecenderungan lebih tinggi

dibandingkan kondisi hutan primer hingga tahun ke-11.

Gambar 37. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun yang diberi perlakuan atau tindakan

silvikultur berupa pembebasan teknik yang berbeda, kelompok jenis Dipterocarpaceae

mempunyai pola fluktuasi mortalitas yang berbeda dibandingkan dengan kelompok jenis

non Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan (Gambar 38). Tingkat mortalitas

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

10

20

30

40

50

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

(a)

(b)

Page 176: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

68

Dipterocarpaceae setelah pembebasan memiliki pola yang cenderung menyerupai kondisi pada

hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol). Sedangkan pada kelompok non

Dipterocarpaceae, tingkat mortalitas terbesar terjadi pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 yang

merupakan efek dari pembebasan yang dilakukan secara peracunan (kematian perlahan).

Gambar 38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial

yang dijadikan sebagai pohon binaan dalam kegiatan pembebasan tegakan setelah

penebangan. Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

20

40

60

80

100

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 177: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

68

Dipterocarpaceae setelah pembebasan memiliki pola yang cenderung menyerupai kondisi pada

hutan bekas tebangan tanpa perlakuan (kontrol). Sedangkan pada kelompok non

Dipterocarpaceae, tingkat mortalitas terbesar terjadi pada tahun ke-1 hingga tahun ke-5 yang

merupakan efek dari pembebasan yang dilakukan secara peracunan (kematian perlahan).

Gambar 38. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

Kelompok jenis Dipterocarpacaeae merupakan kelompok jenis utama komersial

yang dijadikan sebagai pohon binaan dalam kegiatan pembebasan tegakan setelah

penebangan. Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

20

40

60

80

100

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 178: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

69

mortalitas dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea

(Gambar 39). Kelompok jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat mortalitas yang

lebih besar dan fluktuatif dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea. Mortalitas kelompok

jenis Shorea spp. pada tegakan setelah pembebasan lebih besar pada tahun ke-5 dan tahun

ke-7 dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Sedangkan kelompok

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai fluktuasi mortalitas yang lebih sempit (dibawah 5 btg

ha-1 2th-1) baik pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan maupun tanpa perlakuan

(kontrol).

Gambar 39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 179: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

69

mortalitas dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea

(Gambar 39). Kelompok jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat mortalitas yang

lebih besar dan fluktuatif dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea. Mortalitas kelompok

jenis Shorea spp. pada tegakan setelah pembebasan lebih besar pada tahun ke-5 dan tahun

ke-7 dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Sedangkan kelompok

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai fluktuasi mortalitas yang lebih sempit (dibawah 5 btg

ha-1 2th-1) baik pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan maupun tanpa perlakuan

(kontrol).

Gambar 39. Tingkat mortalitas (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Kem

atia

n (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 180: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

70

Perhitungan laju mortalitas (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian

dilakukan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan

Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju mortalitas rataan

pada teknik penebangan yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang

berbeda (Tabel 10). Semakin tinggi tingkat intensitas penebangan akan semakin tinggi

tingkat mortalitas tegakan rataan. Pada hutan bekas tebangan tingkat mortalitas tegakan

sebesar 2.5-29.3% ha-1 2th-1. Tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1 dan tahun

ke-3 setelah penebangan yang berkisar antara 6.9-40.4% ha-1 2th-1, dan menurun setelah

tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat mortalitas

yang berkisar antara 1.0-13.6% ha-1 2th-1, dengan tingkat mortalitas tegakan tertinggi setelah

pembebasan terjadi pada tahun ke-3 dan tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan 13-25

tahun mempunyai kisaran mortalitas 1.3-9.6% ha-1 2th-1 dengan rataan 4.53% ha-1 2th-1.

Sedangkan pada hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat mortalitas untuk semua jenis

yang lebih rendah yaitu 2.0-6.0% ha-1 2th-1 dengan rataan 3.29% ha-1 2th-1.

Tabel 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis

Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(% ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 23.7 10.9 4.3 5.8 3.0 2.9 2.7 3.4 3.3 3.4

SD 10.6 6.2 1.4 1.2 0.7 1.1 1.1 1.7 1.5 1.7

RIL60 Rataan 22.3 8.3 4.4 5.5 3.3 2.5 2.5 2.5 3.5 2.8

SD 8.1 3.5 1.1 1.3 0.9 0.8 1.1 1.3 2.0 1.3

CNV Rataan 29.3 12.8 2.8 6.8 3.3 3.6 2.8 2.9 4.3 4.4

SD 9.2 8.0 1.3 2.3 0.9 2.1 1.0 1.9 0.4 1.9

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 2.9 3.2 4.7 6.0 3.2 3.4 2.7 2.0 3.2 2.9

SD 1.0 1.3 5.1 1.8 1.2 1.5 1.5 1.4 2.0 1.9

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 3.4 13.6 6.1 9.5 4.0 7.7 3.2 6.1 8.2

SD 1.5 2.7 3.8 4.6 1.6 5.8 1.4 2.2 6.1

PPB Rataan 4.6 13.2 6.0 8.7 2.9 3.3 3.3 4.1 12.2

SD 3.2 2.8 3.6 3.3 1.0 1.0 1.2 2.4 8.6

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 3.7 4.3 2.4 9.6 4.7 3.1 3.9 4.1 11.6

SD 1.3 1.5 1.6 5.0 3.6 1.3 1.7 1.9 4.1

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Beberapa studi di Kalimantan Timur pada hutan bekas tebangan 2 tahun

mempunyai tingkat mortalitas tegakan 2.5% th-1 (Primack et al. 1985; Nguyen-The et al.

1998). Tingkat mortalitas setelah tahun ke-5 pada penelitian ini mendekati kondisi pada

Page 181: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

70

Perhitungan laju mortalitas (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian

dilakukan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan

Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju mortalitas rataan

pada teknik penebangan yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang

berbeda (Tabel 10). Semakin tinggi tingkat intensitas penebangan akan semakin tinggi

tingkat mortalitas tegakan rataan. Pada hutan bekas tebangan tingkat mortalitas tegakan

sebesar 2.5-29.3% ha-1 2th-1. Tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada tahun ke-1 dan tahun

ke-3 setelah penebangan yang berkisar antara 6.9-40.4% ha-1 2th-1, dan menurun setelah

tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat mortalitas

yang berkisar antara 1.0-13.6% ha-1 2th-1, dengan tingkat mortalitas tegakan tertinggi setelah

pembebasan terjadi pada tahun ke-3 dan tahun ke-5. Pada hutan bekas tebangan 13-25

tahun mempunyai kisaran mortalitas 1.3-9.6% ha-1 2th-1 dengan rataan 4.53% ha-1 2th-1.

Sedangkan pada hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat mortalitas untuk semua jenis

yang lebih rendah yaitu 2.0-6.0% ha-1 2th-1 dengan rataan 3.29% ha-1 2th-1.

Tabel 10. Laju kematian (mortalitas) tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis

Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(% ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 23.7 10.9 4.3 5.8 3.0 2.9 2.7 3.4 3.3 3.4

SD 10.6 6.2 1.4 1.2 0.7 1.1 1.1 1.7 1.5 1.7

RIL60 Rataan 22.3 8.3 4.4 5.5 3.3 2.5 2.5 2.5 3.5 2.8

SD 8.1 3.5 1.1 1.3 0.9 0.8 1.1 1.3 2.0 1.3

CNV Rataan 29.3 12.8 2.8 6.8 3.3 3.6 2.8 2.9 4.3 4.4

SD 9.2 8.0 1.3 2.3 0.9 2.1 1.0 1.9 0.4 1.9

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 2.9 3.2 4.7 6.0 3.2 3.4 2.7 2.0 3.2 2.9

SD 1.0 1.3 5.1 1.8 1.2 1.5 1.5 1.4 2.0 1.9

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 3.4 13.6 6.1 9.5 4.0 7.7 3.2 6.1 8.2

SD 1.5 2.7 3.8 4.6 1.6 5.8 1.4 2.2 6.1

PPB Rataan 4.6 13.2 6.0 8.7 2.9 3.3 3.3 4.1 12.2

SD 3.2 2.8 3.6 3.3 1.0 1.0 1.2 2.4 8.6

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 3.7 4.3 2.4 9.6 4.7 3.1 3.9 4.1 11.6

SD 1.3 1.5 1.6 5.0 3.6 1.3 1.7 1.9 4.1

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Beberapa studi di Kalimantan Timur pada hutan bekas tebangan 2 tahun

mempunyai tingkat mortalitas tegakan 2.5% th-1 (Primack et al. 1985; Nguyen-The et al.

1998). Tingkat mortalitas setelah tahun ke-5 pada penelitian ini mendekati kondisi pada

Page 182: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

71

areal hutan bekas tebangan di Papua New Guinea dengan tingkat mortalitas yang rendah

yaitu sebesar 2.5% ha-1 th-1 (Mex 2005). Tingkat mortalitas pada plot penelitian cenderung

lebih besar dibandingkan dengan beberapa hutan Dipterocarpaceae campuran di Asia yang

mempunyai tingkat mortalitas sebesar 1.5% th-1 (Nguyen-The et al. 1998). Jika

dibandingkan dengan tipe hutan lain, hutan Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas

lebih rendah yaitu pada hutan rawa gambut sebesar 6.13% th-1 dan hutan kerangas sebesar

4.26% th-1 (Nishimua et al. 2006). Pada tahun ke-5 hutan setelah penebangan, tingkat

mortalitas telah menurun dan mendekati tingkat mortalitas pada kondisi hutan primer.

Peningkatan mortalitas tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan

(penebangan konvensional lebih tinggi dibandingkan penebangan ramah lingkungan).

Beberapa faktor pembatas menjadi dasar dalam menduga perubahan yang terjadi pada

tingkat tegakan hutan antara lain intensitas penebangan, kondisi tegakan awal dan

komposisi jenis utama penyusun tegakan (Harcombe et al. 2002). Perubahan utama

fluktuasi tingkat mortalitas tegakan terjadi pada 1-3 tahun setelah penebangan dan 1-5 tahun

setelah pembebasan dengan peracunan. Menurut Kariuki et al. (2006), perubahan utama

tegakan setelah penebangan terhadap kelimpahan dan biodiveristas tegakan terjadi pada 5–

10 tahun setelah penebangan.

6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan

Tingkat alih tumbuh (ingrowth/rekruitment) menunjukkan kecepatan permudaan

tingkat sapling pada berbagai kondisi tegakan tinggal hutan alam. Tingkat ingrowth tegakan

dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun pada masing-masing plot penelitian dengan

teknik penebangan yang berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan

hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dilakukan berdasarkan

pengelompokan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non

Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Fluktuasi ingrowth tegakan untuk semua jenis

pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik

pembebasan yang berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang waktu

pengamatan dan pengukuran disajikan pada Gambar 40.

Page 183: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

71

areal hutan bekas tebangan di Papua New Guinea dengan tingkat mortalitas yang rendah

yaitu sebesar 2.5% ha-1 th-1 (Mex 2005). Tingkat mortalitas pada plot penelitian cenderung

lebih besar dibandingkan dengan beberapa hutan Dipterocarpaceae campuran di Asia yang

mempunyai tingkat mortalitas sebesar 1.5% th-1 (Nguyen-The et al. 1998). Jika

dibandingkan dengan tipe hutan lain, hutan Dipterocarpaceae mempunyai tingkat mortalitas

lebih rendah yaitu pada hutan rawa gambut sebesar 6.13% th-1 dan hutan kerangas sebesar

4.26% th-1 (Nishimua et al. 2006). Pada tahun ke-5 hutan setelah penebangan, tingkat

mortalitas telah menurun dan mendekati tingkat mortalitas pada kondisi hutan primer.

Peningkatan mortalitas tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan

(penebangan konvensional lebih tinggi dibandingkan penebangan ramah lingkungan).

Beberapa faktor pembatas menjadi dasar dalam menduga perubahan yang terjadi pada

tingkat tegakan hutan antara lain intensitas penebangan, kondisi tegakan awal dan

komposisi jenis utama penyusun tegakan (Harcombe et al. 2002). Perubahan utama

fluktuasi tingkat mortalitas tegakan terjadi pada 1-3 tahun setelah penebangan dan 1-5 tahun

setelah pembebasan dengan peracunan. Menurut Kariuki et al. (2006), perubahan utama

tegakan setelah penebangan terhadap kelimpahan dan biodiveristas tegakan terjadi pada 5–

10 tahun setelah penebangan.

6.2. Alih Tumbuh (Ingrowth) Tegakan

Tingkat alih tumbuh (ingrowth/rekruitment) menunjukkan kecepatan permudaan

tingkat sapling pada berbagai kondisi tegakan tinggal hutan alam. Tingkat ingrowth tegakan

dalam jumlah batang per hektar per 2 tahun pada masing-masing plot penelitian dengan

teknik penebangan yang berbeda hingga jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan

hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda dilakukan berdasarkan

pengelompokan jenis Dipterocarpaceae (yang terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non

Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Fluktuasi ingrowth tegakan untuk semua jenis

pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda dan dengan teknik

pembebasan yang berbeda akan mempunyai pola fluktuasi yang berbeda sepanjang waktu

pengamatan dan pengukuran disajikan pada Gambar 40.

Page 184: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

72

Gambar 40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda

Seperti halnya pada tingkat mortalitas, tingkat ingrowth memiliki kecenderungan

bahwa intensitas penebangan yang tinggi akan meningkatkan tingkat ingrowth tegakan.

Penebangan dengan teknik konvensional dan penebangan ramah lingkungan dengan limit

diameter 50 cm mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan teknik

penebangan ramah lingkungan dengan limit diameter 60 cm. Ingrowth pada hutan bekas

tebangan lebih tinggi dibandingkan kondisi statis hutan primer. Sedangkan hutan bekas

tebangan dengan pembebasan sistematis akan memberikan respon ingrowth yang lebih besar

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(a)

(b)

Page 185: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

72

Gambar 40. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan berdasarkan (a) teknik penebangan yang berbeda dan (b) teknik pembebasan yang berbeda

Seperti halnya pada tingkat mortalitas, tingkat ingrowth memiliki kecenderungan

bahwa intensitas penebangan yang tinggi akan meningkatkan tingkat ingrowth tegakan.

Penebangan dengan teknik konvensional dan penebangan ramah lingkungan dengan limit

diameter 50 cm mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan teknik

penebangan ramah lingkungan dengan limit diameter 60 cm. Ingrowth pada hutan bekas

tebangan lebih tinggi dibandingkan kondisi statis hutan primer. Sedangkan hutan bekas

tebangan dengan pembebasan sistematis akan memberikan respon ingrowth yang lebih besar

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(a)

(b)

Page 186: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

73

dibandingkan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan. Hutan bekas tebangan

yang diberi tindakan pembebasan akan memberikan peningkatan ingrowth 2-3 kali lebih

besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Tingkat ingrowth pada

hutan bekas tebangan hingga 23 tahun dan setelah pembebasan akan cenderung lebih besar

dibandingkan kondisi kontrolnya.

Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok

jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 41).

Gambar 41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50RIL 60CNVHP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50RIL 60CNVHP

(b)

(a)

Page 187: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

73

dibandingkan dengan teknik pembebasan berbasis pohon binaan. Hutan bekas tebangan

yang diberi tindakan pembebasan akan memberikan peningkatan ingrowth 2-3 kali lebih

besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Tingkat ingrowth pada

hutan bekas tebangan hingga 23 tahun dan setelah pembebasan akan cenderung lebih besar

dibandingkan kondisi kontrolnya.

Pada hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda, kelompok

jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan dengan

kelompok jenis Dipterocarpaceae (Gambar 41).

Gambar 41. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50RIL 60CNVHP

0

20

40

60

80

100

120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50RIL 60CNVHP

(b)

(a)

Page 188: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

74

Kelompok jenis Dipterocarpacaeae mempunyai tingkat ingrowth kurang dari 20 btg ha-1

2th-1 sepanjang 17 tahun setelah penebangan. Karakteristik ingrowth tegakan Dipterocarpaceae

dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 42).

Kelompok jenis Shorea spp. mempunyai tingkat ingrowth yang cenderung lebih besar

dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea, tetapi kedua kelompok jenis ini memiliki ingrowth

yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer.

Gambar 42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

(b)

(a)

Page 189: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

74

Kelompok jenis Dipterocarpacaeae mempunyai tingkat ingrowth kurang dari 20 btg ha-1

2th-1 sepanjang 17 tahun setelah penebangan. Karakteristik ingrowth tegakan Dipterocarpaceae

dibagi dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 42).

Kelompok jenis Shorea spp. mempunyai tingkat ingrowth yang cenderung lebih besar

dibandingkan Dipterocarpaceae non Shorea, tetapi kedua kelompok jenis ini memiliki ingrowth

yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer.

Gambar 42. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

RIL 50

RIL 60

CNV

HP

(b)

(a)

Page 190: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

75

Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun dengan teknik pembebasan yang

berbeda, kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar

dibandingkan dengan kelompok jenis Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan

(Gambar 43). Respon pembebasan terhadap tingkat ingrowth mulai menurun pada tahun ke-

9 setelah pembebasan baik untuk Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae.

Gambar 43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

ow

th (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

20

40

60

80

100

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12t

h-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 191: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

75

Pada hutan bekas tebangan berumur 11 tahun dengan teknik pembebasan yang

berbeda, kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar

dibandingkan dengan kelompok jenis Dipterocarpaceae sepanjang 23 tahun pengamatan

(Gambar 43). Respon pembebasan terhadap tingkat ingrowth mulai menurun pada tahun ke-

9 setelah pembebasan baik untuk Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae.

Gambar 43. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Dipterocarpaceae dan (b) non Dipterocarpaceae

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

ow

th (

btg

ha-

1 2t

h-1

)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

20

40

60

80

100

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12t

h-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 192: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

76

Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat ingrowth dibagi

dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 44). Kelompok

jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan

Dipterocarpaceae non Shorea. Tindakan pembebasan dengan sistematik akan memberikan

efek ingrowth yang lebih besar baik untuk kelompok jenis Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae

non Shorea sampai dengan tahun ke-9 setelah pembebasan.

Gambar 44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12t

h-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12t

h-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 193: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

76

Respon tegakan Dipterocarpaceae setelah pembebasan terhadap tingkat ingrowth dibagi

dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Gambar 44). Kelompok

jenis Shorea spp. cenderung mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan

Dipterocarpaceae non Shorea. Tindakan pembebasan dengan sistematik akan memberikan

efek ingrowth yang lebih besar baik untuk kelompok jenis Shorea spp. maupun Dipterocarpaceae

non Shorea sampai dengan tahun ke-9 setelah pembebasan.

Gambar 44. Tingkat ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda untuk kelompok jenis (a) Shorea spp. dan (b) Dipterocarpaceae non Shorea

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12t

h-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

0

10

20

30

40

1 3 5 7 9 11 13 15 23

Ingr

owth

(b

tg h

a-12t

h-1)

Jangka waktu setelah pembebasan (tahun)

PS

PPB

CTR

(b)

(a)

Page 194: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

77

Perhitungan laju ingrowth (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian dilakukan

untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non

Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju ingrowth rataan pada teknik penebangan

yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang berbeda pada berbagai

variasi kondisi (Tabel 11). Pada hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda

mempunya tingkat ingrowth tegakan 1.3-21.3% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth pada hutan bekas

tebangan lebih tinggi sepanjang tahun pengukuran hingga tahun ke-17 setelah penebangan.

Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat ingrowth yang berkisar

antara 2.3–13.9% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth tegakan cenderung mulai menurun pada tahun

ke-9 setelah penebangan maupun setelah pembebasan. Hutan bekas tebangan tanpa

perlakuan mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan

primer (0.7-4.7% ha-1 2th-1).

Tabel 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis

Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(% ha-1 2th-1)

RIL50Rataan 1.8 9.0 21.3 14.5 8.8 2.8 3.4 6.5 0.6 1.1

SD 0.6 4.9 25.3 8.9 4.4 2.4 1.7 2.7 0.2 0.3

RIL60Rataan 2.1 6.3 9.0 10.5 7.9 1.6 3.5 9.8 0.7 0.9

SD 1.0 2.3 2.3 3.3 3.8 1.0 1.4 5.7 0.1 0.2

CNV Rataan 1.3 12.7 19.1 19.6 7.8 3.5 5.2 5.4 0.7 1.1

SD 0.6 8.5 13.4 8.2 4.8 1.2 2.6 1.9 0.2 0.2

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 2.1 3.8 3.7 4.7 2.0 1.1 1.6 4.5 0.7 0.9

SD 1.0 1.9 1.9 2.2 1.1 1.1 0.9 2.7 0.6 0.5

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 4.7 12.3 13.9 11.4 2.3 5.0 3.1 3.2 3.7

SD 2.0 4.3 4.4 1.6 0.8 2.0 1.3 1.6 1.4

PPB Rataan 4.2 8.4 9.6 10.1 5.0 3.5 2.5 2.6 2.8

SD 2.0 2.7 2.8 2.0 7.1 1.4 1.4 1.4 1.3

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 3.7 4.7 7.1 4.7 2.8 3.2 2.8 2.9 3.4

SD 2.8 2.4 2.6 1.3 3.6 2.2 2.1 1.8 2.2

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Hasil ini mendekati hasil penelitian Silva et al. (1995) yang menunjukkan bahwa

tingkat ingrowth akan meningkat pada 8 tahun pertama setelah penebangan. Ingrowth akan

meningkat tajam melalui pembukaan kanopi setelah penebangan yang memberikan ruang

tumbuh yang lebih dan akan menurun sejalan dengan kompetisi dalam tegakan (Gourlet-

Fleury et al. 2005). Berdasarkan hal yang sama, Kao dan Iida (2006) menyatakan bahwa

Page 195: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

77

Perhitungan laju ingrowth (% ha-1 2th-1) pada masing-masing plot penelitian dilakukan

untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (terbagi menjadi Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non

Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis. Laju ingrowth rataan pada teknik penebangan

yang berbeda dan setelah pembebasan menunjukkan hasil yang berbeda pada berbagai

variasi kondisi (Tabel 11). Pada hutan bekas tebangan dengan teknik yang berbeda

mempunya tingkat ingrowth tegakan 1.3-21.3% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth pada hutan bekas

tebangan lebih tinggi sepanjang tahun pengukuran hingga tahun ke-17 setelah penebangan.

Pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan mempunyai tingkat ingrowth yang berkisar

antara 2.3–13.9% ha-1 2th-1. Tingkat ingrowth tegakan cenderung mulai menurun pada tahun

ke-9 setelah penebangan maupun setelah pembebasan. Hutan bekas tebangan tanpa

perlakuan mempunyai tingkat ingrowth yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan

primer (0.7-4.7% ha-1 2th-1).

Tabel 11. Laju ingrowth tegakan (% ha-1 2th-1) untuk semua jenis

Kondisi HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(% ha-1 2th-1)

RIL50Rataan 1.8 9.0 21.3 14.5 8.8 2.8 3.4 6.5 0.6 1.1

SD 0.6 4.9 25.3 8.9 4.4 2.4 1.7 2.7 0.2 0.3

RIL60Rataan 2.1 6.3 9.0 10.5 7.9 1.6 3.5 9.8 0.7 0.9

SD 1.0 2.3 2.3 3.3 3.8 1.0 1.4 5.7 0.1 0.2

CNV Rataan 1.3 12.7 19.1 19.6 7.8 3.5 5.2 5.4 0.7 1.1

SD 0.6 8.5 13.4 8.2 4.8 1.2 2.6 1.9 0.2 0.2

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 2.1 3.8 3.7 4.7 2.0 1.1 1.6 4.5 0.7 0.9

SD 1.0 1.9 1.9 2.2 1.1 1.1 0.9 2.7 0.6 0.5

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 4.7 12.3 13.9 11.4 2.3 5.0 3.1 3.2 3.7

SD 2.0 4.3 4.4 1.6 0.8 2.0 1.3 1.6 1.4

PPB Rataan 4.2 8.4 9.6 10.1 5.0 3.5 2.5 2.6 2.8

SD 2.0 2.7 2.8 2.0 7.1 1.4 1.4 1.4 1.3

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 3.7 4.7 7.1 4.7 2.8 3.2 2.8 2.9 3.4

SD 2.8 2.4 2.6 1.3 3.6 2.2 2.1 1.8 2.2

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Hasil ini mendekati hasil penelitian Silva et al. (1995) yang menunjukkan bahwa

tingkat ingrowth akan meningkat pada 8 tahun pertama setelah penebangan. Ingrowth akan

meningkat tajam melalui pembukaan kanopi setelah penebangan yang memberikan ruang

tumbuh yang lebih dan akan menurun sejalan dengan kompetisi dalam tegakan (Gourlet-

Fleury et al. 2005). Berdasarkan hal yang sama, Kao dan Iida (2006) menyatakan bahwa

Page 196: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

78

hutan bekas tebangan mempunyai tingkat ingrowth tertinggi pada 3 tahun setelah

penebangan. Hardiansyah et al. (2005), menyatakan bahwa pada umur 1 tahun setelah

tebangan di Jambi, tingkat ingrowth sebesar 0.19-2.89% th-1 dengan rataan 2.1% th-1.

Dibandingkan hasil pada penelitian ini, tingkat ingrowth cenderung lebih rendah. Kondisi

hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat ingrowth yang relatif sempit dengan rataan 2.5%

ha-1 2th-1, dibandingkan kondisi tegakan hutan bekas tebangan dengan berbagai teknik

penebangan maupun tanpa pemberian tindakan pembebasan. Tingkat ingrowth tegakan 13

tahun setelah penebangan di Papua New Guinea mempunyai rataan 41 btg ha-1 (Mex 2005).

Tingkat ingrowth menunjukkan kecenderungan yang meningkat hingga tahun ke-9

setelah penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Hasil yang serupa di hutan

Amazon Brazil menunjukkan peningkatan ingrowth pada 8 tahun pertama setelah

penebangan (Silva et al. 1995). Tingginya ingrowth didorong oleh pembukaan kanopi setelah

penebangan ataupun pembebasan. Penurunan tingkat ingrowth mendekati kondisi hutan

primer atau kontrol sejak tahun ke-11 setelah penebangan maupun tahun ke-9 setelah

pembebasan bersesuaian dengan respon perubahan utama tegakan yang terjadi pada 5–10

tahun setelah penebangan atau perlakuan (Kariuki et al. 2006) serta sejalan dengan adanya

kompetisi dalam tegakan (Gourlet-Fleury et al. 2005).

6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth

Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik penebangan RIL50,

RIL60 dan konvensional terhadap tingkat mortalitas untuk semua kelompok jenis

(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)

menunjukkan hasil yang tidak signifikan (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028), begitu pula terhadap

tingkat ingrowth (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians menunjukkan

bahwa perbedaan teknik penebangan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth

yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi kondisi hutan bekas tebangan dengan

teknik penebangan yang berbeda dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan.

Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan

ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai

koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 12).

Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik pembebasan

sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan pada hutan bekas tebangan 11 tahun

tidak menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap tingkat mortalitas untuk

semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non

Dipterocarpaceae dan semua jenis) (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472), begitu pula terhadap tingkat

ingrowth (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth

Page 197: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

78

hutan bekas tebangan mempunyai tingkat ingrowth tertinggi pada 3 tahun setelah

penebangan. Hardiansyah et al. (2005), menyatakan bahwa pada umur 1 tahun setelah

tebangan di Jambi, tingkat ingrowth sebesar 0.19-2.89% th-1 dengan rataan 2.1% th-1.

Dibandingkan hasil pada penelitian ini, tingkat ingrowth cenderung lebih rendah. Kondisi

hutan primer mempunyai fluktuasi tingkat ingrowth yang relatif sempit dengan rataan 2.5%

ha-1 2th-1, dibandingkan kondisi tegakan hutan bekas tebangan dengan berbagai teknik

penebangan maupun tanpa pemberian tindakan pembebasan. Tingkat ingrowth tegakan 13

tahun setelah penebangan di Papua New Guinea mempunyai rataan 41 btg ha-1 (Mex 2005).

Tingkat ingrowth menunjukkan kecenderungan yang meningkat hingga tahun ke-9

setelah penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Hasil yang serupa di hutan

Amazon Brazil menunjukkan peningkatan ingrowth pada 8 tahun pertama setelah

penebangan (Silva et al. 1995). Tingginya ingrowth didorong oleh pembukaan kanopi setelah

penebangan ataupun pembebasan. Penurunan tingkat ingrowth mendekati kondisi hutan

primer atau kontrol sejak tahun ke-11 setelah penebangan maupun tahun ke-9 setelah

pembebasan bersesuaian dengan respon perubahan utama tegakan yang terjadi pada 5–10

tahun setelah penebangan atau perlakuan (Kariuki et al. 2006) serta sejalan dengan adanya

kompetisi dalam tegakan (Gourlet-Fleury et al. 2005).

6.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Mortalitas dan Ingrowth

Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik penebangan RIL50,

RIL60 dan konvensional terhadap tingkat mortalitas untuk semua kelompok jenis

(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)

menunjukkan hasil yang tidak signifikan (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028), begitu pula terhadap

tingkat ingrowth (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians menunjukkan

bahwa perbedaan teknik penebangan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth

yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi kondisi hutan bekas tebangan dengan

teknik penebangan yang berbeda dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan.

Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan

ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai

koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 12).

Analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan teknik pembebasan

sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan pada hutan bekas tebangan 11 tahun

tidak menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap tingkat mortalitas untuk

semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non

Dipterocarpaceae dan semua jenis) (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472), begitu pula terhadap tingkat

ingrowth (Fhit < Ftabel(0.05;12) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan tingkat mortalitas dan ingrowth

Page 198: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

79

yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi untuk kedua kondisi hutan bekas

tebangan tersebut dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.

Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap tingkat mortalitas dan

ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai

koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 13).

Tabel 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HBT y(M) = -0.0395x3 + 1.2951x2 - 13.177x + 43.501

0.8020 4.8553 0.00

y(I) = 0.011x3 - 0.3676x2 + 3.2295x + 0.2946 0.2837 3.5516 0.03

HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2272x2 + 1.8366x + 0.8951

0.4158 1.5768 0.02

y(I) = 0.0048x3 - 0.1384x2 + 1.0019x + 1.5803

0.1386 1.9415 0.03

S HBT y(M) = -0.0038x3 + 0.134x2 - 1.5231x + 6.8576

0.1564 3.3622 0.00

y(I) = 0.0048x3 - 0.1803x2 + 1.8076x - 0.3563 0.2585 2.2591 0.00

HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2167x2 + 1.739x - 0.9504 0.3713 1.2916 0.02

y(I) = 0.0024x3 - 0.0681x2 + 0.4951x + 0.7045

0.1023 1.0123 0.04

D-s HBT y(M) = -0.0356x3 + 1.1611x2 - 11.654x + 36.644

0.8218 3.891 0.00

y(I) = 0.0062x3 - 0.1873x2 + 1.4219x + 0.6509

0.2798 1.7171 0.00

HP y(M) = -0.0095x2 + 0.0907x + 1.8562 0.4361 0.569 0.01

y(I) = 0.0024x3 - 0.0703x2 + 0.5068x + 0.8759

0.1074 1.2754 0.04

nD HBT y(M) = -0.0779x3 + 2.6842x2 - 28.4x + 101.3 0.8229 9.985 0.00

y(I) = 0.0667x3 - 2.1667x2 + 18.792x - 11.094 0.3990 14.765 0.01

HP y(M) = 0.0196x3 - 0.5982x2 + 4.8012x + 4.3734

0.3743 4.1423 0.00

y(I) = 13.873e-0.082x 0.2401 0.3393 0.01

SJ HBT y(M) = -0.1174x3 + 3.9793x2 - 41.577x + 144.81

0.8391 13.686 0.00

y(I) = 0.0778x3 - 2.5343x2 + 22.022x - 10.799 0.4049 17.288 0.02

HP y(M) = 0.0269x3 - 0.8254x2 + 6.6378x + 5.2685

0.4064 5.4744 0.03

y(I) = 17.636e-0.078x 0.2280 0.3359 0.03

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan;

HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan;

y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);

y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)

Page 199: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

79

yang berbeda nyata, sehingga dalam analisis regresi untuk kedua kondisi hutan bekas

tebangan tersebut dikelompokkan dalam tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.

Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap tingkat mortalitas dan

ingrowth tegakan dilakukan berdasarkan hasil analisis regresi terpilih berdasarkan nilai

koefisien determinasi tertinggi dan standar error terendah (Tabel 13).

Tabel 12. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HBT y(M) = -0.0395x3 + 1.2951x2 - 13.177x + 43.501

0.8020 4.8553 0.00

y(I) = 0.011x3 - 0.3676x2 + 3.2295x + 0.2946 0.2837 3.5516 0.03

HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2272x2 + 1.8366x + 0.8951

0.4158 1.5768 0.02

y(I) = 0.0048x3 - 0.1384x2 + 1.0019x + 1.5803

0.1386 1.9415 0.03

S HBT y(M) = -0.0038x3 + 0.134x2 - 1.5231x + 6.8576

0.1564 3.3622 0.00

y(I) = 0.0048x3 - 0.1803x2 + 1.8076x - 0.3563 0.2585 2.2591 0.00

HP y(M) = 0.0073x3 - 0.2167x2 + 1.739x - 0.9504 0.3713 1.2916 0.02

y(I) = 0.0024x3 - 0.0681x2 + 0.4951x + 0.7045

0.1023 1.0123 0.04

D-s HBT y(M) = -0.0356x3 + 1.1611x2 - 11.654x + 36.644

0.8218 3.891 0.00

y(I) = 0.0062x3 - 0.1873x2 + 1.4219x + 0.6509

0.2798 1.7171 0.00

HP y(M) = -0.0095x2 + 0.0907x + 1.8562 0.4361 0.569 0.01

y(I) = 0.0024x3 - 0.0703x2 + 0.5068x + 0.8759

0.1074 1.2754 0.04

nD HBT y(M) = -0.0779x3 + 2.6842x2 - 28.4x + 101.3 0.8229 9.985 0.00

y(I) = 0.0667x3 - 2.1667x2 + 18.792x - 11.094 0.3990 14.765 0.01

HP y(M) = 0.0196x3 - 0.5982x2 + 4.8012x + 4.3734

0.3743 4.1423 0.00

y(I) = 13.873e-0.082x 0.2401 0.3393 0.01

SJ HBT y(M) = -0.1174x3 + 3.9793x2 - 41.577x + 144.81

0.8391 13.686 0.00

y(I) = 0.0778x3 - 2.5343x2 + 22.022x - 10.799 0.4049 17.288 0.02

HP y(M) = 0.0269x3 - 0.8254x2 + 6.6378x + 5.2685

0.4064 5.4744 0.03

y(I) = 17.636e-0.078x 0.2280 0.3359 0.03

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan;

HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan;

y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);

y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)

Page 200: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

80

Tabel 13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HSP y(M) = -0.1098x2 + 1.72x + 0.3871 0.2389 3.1887 0.00

y(I) = 0.0334x3 - 0.8878x2 + 5.9696x + 0.4355

0.5283 3.9312 0.00

CTR y(M) = -0.1111x2 + 1.5778x + 0.832 0.1652 3.9119 0.00

y(I) = 0.0135x3 - 0.3488x2 + 2.1398x + 2.3592

0.3159 3.3100 0.00

S HSP y(M) = -0.1054x2 + 1.5734x - 0.8311 0.2877 2.5179 0.00

y(I) = 0.018x3 - 0.486x2 + 3.3287x + 0.2345 0.5701 1.9969 0.00

CTR y(M) = -0.0853x2 + 1.2206x - 0.4157 0.2174 2.5399 0.00

y(I) = 0.0113x3 - 0.2649x2 + 1.45x + 1.5833 0.4203 1.8045 0.00

D-s HSP y(M) = -0.0015x3 + 0.0272x2 - 0.0096x + 1.5363

0.1062 1.3418 0.00

y(I) = 0.0154x3 - 0.4019x2 + 2.6408x + 0.201

0.3533 2.5239 0.00

CTR y(M) = -0.0281x2 + 0.3837x + 1.3007 0.086 1.4361 0.53

y(I) = 0.0022x3 - 0.0839x2 + 0.6898x + 0.7759

0.1864 1.6897 0.00

nD HSP y(M) = 0.147x3 - 3.3723x2 + 19.809x + 6.5487

0.3661 14.473 0.00

y(I) = 0.1864x3 - 4.4207x2 + 27.702x - 8.2534

0.7160 8.5231 0.00

CTR y(M) = -0.1786x2 + 2.3762x + 10.069 0.1468 7.1976 0.43

y(I) = 0.0551x3 - 1.3811x2 + 9.1607x + 2.4898

0.6324 4.0418 0.00

SJ HSP y(M) = 0.1428x3 - 3.4024x2 + 21.109x + 7.4218

0.3396 15.7355 0.00

y(I) = 0.2053x3 - 5.0673x2 + 32.897x - 7.4022

0.6809 12.0337 0.00

CTR y(M) = -0.0075x3 - 0.1416x2 + 3.1488x + 11.573

0.1756 10.8053 0.00

y(I) = 0.0642x3 - 1.6053x2 + 10.248x + 6.2571

0.5477 6.4754 0.01

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error;

HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer;

x = jangka waktu setelah penebangan;

y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);

y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)

Page 201: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

80

Tabel 13. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan tingkat mortalitas dan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HSP y(M) = -0.1098x2 + 1.72x + 0.3871 0.2389 3.1887 0.00

y(I) = 0.0334x3 - 0.8878x2 + 5.9696x + 0.4355

0.5283 3.9312 0.00

CTR y(M) = -0.1111x2 + 1.5778x + 0.832 0.1652 3.9119 0.00

y(I) = 0.0135x3 - 0.3488x2 + 2.1398x + 2.3592

0.3159 3.3100 0.00

S HSP y(M) = -0.1054x2 + 1.5734x - 0.8311 0.2877 2.5179 0.00

y(I) = 0.018x3 - 0.486x2 + 3.3287x + 0.2345 0.5701 1.9969 0.00

CTR y(M) = -0.0853x2 + 1.2206x - 0.4157 0.2174 2.5399 0.00

y(I) = 0.0113x3 - 0.2649x2 + 1.45x + 1.5833 0.4203 1.8045 0.00

D-s HSP y(M) = -0.0015x3 + 0.0272x2 - 0.0096x + 1.5363

0.1062 1.3418 0.00

y(I) = 0.0154x3 - 0.4019x2 + 2.6408x + 0.201

0.3533 2.5239 0.00

CTR y(M) = -0.0281x2 + 0.3837x + 1.3007 0.086 1.4361 0.53

y(I) = 0.0022x3 - 0.0839x2 + 0.6898x + 0.7759

0.1864 1.6897 0.00

nD HSP y(M) = 0.147x3 - 3.3723x2 + 19.809x + 6.5487

0.3661 14.473 0.00

y(I) = 0.1864x3 - 4.4207x2 + 27.702x - 8.2534

0.7160 8.5231 0.00

CTR y(M) = -0.1786x2 + 2.3762x + 10.069 0.1468 7.1976 0.43

y(I) = 0.0551x3 - 1.3811x2 + 9.1607x + 2.4898

0.6324 4.0418 0.00

SJ HSP y(M) = 0.1428x3 - 3.4024x2 + 21.109x + 7.4218

0.3396 15.7355 0.00

y(I) = 0.2053x3 - 5.0673x2 + 32.897x - 7.4022

0.6809 12.0337 0.00

CTR y(M) = -0.0075x3 - 0.1416x2 + 3.1488x + 11.573

0.1756 10.8053 0.00

y(I) = 0.0642x3 - 1.6053x2 + 10.248x + 6.2571

0.5477 6.4754 0.01

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error;

HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer;

x = jangka waktu setelah penebangan;

y(M) = fungsi mortalitas tegakan (btg ha-1 2 th-1);

y(I) = fungsi ingrowth tegakan (btg ha-1 2 th-1)

Page 202: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

81

Jangka waktu penebangan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap tingkat

mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non

Dipterocarpaceae dan semua jenis dengan bentuk polynomial (kuadratik). Sedangkan terhadap

tingkat ingrowth setelah penebangan untuk semua kelompok jenis, jangka waktu setelah

penebangan mempunyai hubungan yang kurang erat (kurang dari 50%). Hal ini

dimungkinkan bahwa hubungan penebangan terhadap mortalitas dan ingrowth sangat

signifikan pada tahun-tahun awal, kemudian akan menurun sejalan dengan kemampuan

tegakan untuk pulih (recovery).

Hasil analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan

tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan menunjukkan bahwa jangka waktu setelah

pembebasan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap peningkatan ingrowth tegakan

pada jenis non Dipterocarpaceae dan semua jenis (> 65%), tetapi kurang signifikan terhadap

kelompok jenis lainnya (Dipterocarpaceae < 60%). Sedangkan terhadap tingkat mortalitas

tegakan, waktu setelah pembebasan tidak mempunyai hubungan yang erat untuk semua

kelompok jenis. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan yang dilakukan akan

lebih meningkatkan ingrowth untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae dan kurang efektif

terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae. Kelompok jenis non

Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan ingrowth yang meningkat sejalan dengan jangka

waktu tegakan setelah penebangan walaupun tanpa perlakuan (tanpa pembebasan).

Pola hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan

ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada kondisi hutan bekas tebangan

dan hutan primer disajikan pada Gambar 45 berikut.

Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Mortalitas

Ingrowth

0

5

10

15

20

25

30

35

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (b

tg h

a-12t

h-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

2

4

6

8

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

HBT HP

(D) (D)

Page 203: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

81

Jangka waktu penebangan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap tingkat

mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non

Dipterocarpaceae dan semua jenis dengan bentuk polynomial (kuadratik). Sedangkan terhadap

tingkat ingrowth setelah penebangan untuk semua kelompok jenis, jangka waktu setelah

penebangan mempunyai hubungan yang kurang erat (kurang dari 50%). Hal ini

dimungkinkan bahwa hubungan penebangan terhadap mortalitas dan ingrowth sangat

signifikan pada tahun-tahun awal, kemudian akan menurun sejalan dengan kemampuan

tegakan untuk pulih (recovery).

Hasil analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan

tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan menunjukkan bahwa jangka waktu setelah

pembebasan akan mempunyai hubungan yang erat terhadap peningkatan ingrowth tegakan

pada jenis non Dipterocarpaceae dan semua jenis (> 65%), tetapi kurang signifikan terhadap

kelompok jenis lainnya (Dipterocarpaceae < 60%). Sedangkan terhadap tingkat mortalitas

tegakan, waktu setelah pembebasan tidak mempunyai hubungan yang erat untuk semua

kelompok jenis. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan yang dilakukan akan

lebih meningkatkan ingrowth untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae dan kurang efektif

terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae. Kelompok jenis non

Dipterocarpaceae mempunyai kecenderungan ingrowth yang meningkat sejalan dengan jangka

waktu tegakan setelah penebangan walaupun tanpa perlakuan (tanpa pembebasan).

Pola hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap tingkat mortalitas dan

ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada kondisi hutan bekas tebangan

dan hutan primer disajikan pada Gambar 45 berikut.

Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Mortalitas

Ingrowth

0

5

10

15

20

25

30

35

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (b

tg h

a-12t

h-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

2

4

6

8

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

HBT HP

(D) (D)

Page 204: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

82

Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) (Lanjutan)

Pola hubungan jangka waktu setelah pembebasan pada hutan bekas tebangan

terhadap tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada

kondisi hutan setelah pembebasan dan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan

(kontrol) disajikan pada Gambar 46.

Mortalitas

Ingrowth

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (

btg

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

4

8

12

16

20

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (b

tg h

a-12t

h-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

(SJ) (SJ) HBT

HP

Ingrowth

(nD) (nD)

HBT HP

Page 205: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

82

Gambar 45. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan bekas tebangan (HBT) dan hutan primer (HP) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) (Lanjutan)

Pola hubungan jangka waktu setelah pembebasan pada hutan bekas tebangan

terhadap tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan untuk masing-masing kelompok jenis pada

kondisi hutan setelah pembebasan dan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan

(kontrol) disajikan pada Gambar 46.

Mortalitas

Ingrowth

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (

btg

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

4

8

12

16

20

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (b

tg h

a-12t

h-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

5

10

15

20

25

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

(SJ) (SJ) HBT

HP

Ingrowth

(nD) (nD)

HBT HP

Page 206: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

83

Gambar 46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan

(HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Ingrowth

Mortalitas

0

5

10

15

20

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (

btg

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu (tahun)

Ingrowth

0

5

10

15

20

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21Jangka waktu (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (b

tg h

a-12t

h-1

)

Jangka waktu (tahun)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Jangka waktu (tahun)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (btg

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu (tahun)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu (tahun)

HSP CTR

(D) (D)

HSP CTR (SJ) (SJ)

HSP CTR

(nD) (nD)

Mortalitas

Mortalitas

Mortalitas

Mortalitas

Ingrowth

Ingrowth

Ingrowth

Page 207: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

83

Gambar 46. Tingkat mortalitas dan ingrowth (btg ha-1 2th-1) pada hutan setelah pembebasan

(HSP) dan kondisi kontrol (tanpa perlakuan) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Ingrowth

Mortalitas

0

5

10

15

20

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (

btg

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu (tahun)

Ingrowth

0

5

10

15

20

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21Jangka waktu (tahun)

Mortalitas

Ingrowth

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (b

tg h

a-12t

h-1

)

Jangka waktu (tahun)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Jangka waktu (tahun)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Laj

u (btg

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu (tahun)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Jangka waktu (tahun)

HSP CTR

(D) (D)

HSP CTR (SJ) (SJ)

HSP CTR

(nD) (nD)

Mortalitas

Mortalitas

Mortalitas

Mortalitas

Ingrowth

Ingrowth

Ingrowth

Page 208: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

84

Penilaian secara kuantitatif tingkat mortalitas dan ingrowth dengan variasi kondisi

tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah

pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon jenis atau kelompok jenis

yang berbeda. Hasil analisis penelitian ini memberikan manfaat evaluasi penerapan teknik

penebangan yang berbeda dan penerapan teknik pembebasan yang berbeda terutama dalam

penilaian penurunan tingkat mortalitas dan meningkatkan ingrowth tegakan. Hutan bekas

tebangan akan membentuk pembukaan kanopi yang menjadi katalis pertumbuhan

rekruitmen atau ingrowth yang tinggi hingga pada kondisi hutan tertentu (Gourlet-Fleury et al.

2005; Kao dan Iida 2006). Untuk kepentingan analisis yang lebih detail pendekatan

pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda dapat dilakukan untuk melihat

variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah

penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004).

Dalam pengelolaan hutan produksi peningkatan ingrowth menjadi penting terutama

untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Perkembangan metode pengelolaan hutan yang

melibatkan pengelompokkan jenis sangat penting untuk meningkatkan akurasi dan

mengakomodasi variasi kondisi keragaman jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle

et al. 2006). Karakteristik mortalitas dan ingrowth pada tegakan hutan Dipterocarpaceae

merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai pemulihan tegakan

hutan atau dinamika tegakan setelah tindakan silvikultur tertentu.

Beberapa hal penting dalam penilaian tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan setelah

penebangan dengan variasi kondisi awal tegakan adalah sebagai berikut:

1) Fluktuasi tingkat mortalitas tegakan hutan bekas tebangan cenderung akan mulai

mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik dengan variasi teknik penebangan

yang berbeda maupun setelah teknik pembebasan yang berbeda.

2) Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah

penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan.

3) Variasi kondisi berupa penerapan teknik penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan

konvensional) dan teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematik maupun

berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata, baik terhadap tingkat

mortalitas dan ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun non

Dipterocarpaceae.

4) Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada hutan primer relatif rendah dibandingkan

pada variasi kondisi hutan bekas tebangan.

5) Jangka waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan

tingkat mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae,

sedangkan jangka waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan

peningkatan ingrowth kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

Page 209: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

84

Penilaian secara kuantitatif tingkat mortalitas dan ingrowth dengan variasi kondisi

tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah

pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon jenis atau kelompok jenis

yang berbeda. Hasil analisis penelitian ini memberikan manfaat evaluasi penerapan teknik

penebangan yang berbeda dan penerapan teknik pembebasan yang berbeda terutama dalam

penilaian penurunan tingkat mortalitas dan meningkatkan ingrowth tegakan. Hutan bekas

tebangan akan membentuk pembukaan kanopi yang menjadi katalis pertumbuhan

rekruitmen atau ingrowth yang tinggi hingga pada kondisi hutan tertentu (Gourlet-Fleury et al.

2005; Kao dan Iida 2006). Untuk kepentingan analisis yang lebih detail pendekatan

pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda dapat dilakukan untuk melihat

variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah

penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004).

Dalam pengelolaan hutan produksi peningkatan ingrowth menjadi penting terutama

untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Perkembangan metode pengelolaan hutan yang

melibatkan pengelompokkan jenis sangat penting untuk meningkatkan akurasi dan

mengakomodasi variasi kondisi keragaman jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle

et al. 2006). Karakteristik mortalitas dan ingrowth pada tegakan hutan Dipterocarpaceae

merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai pemulihan tegakan

hutan atau dinamika tegakan setelah tindakan silvikultur tertentu.

Beberapa hal penting dalam penilaian tingkat mortalitas dan ingrowth tegakan setelah

penebangan dengan variasi kondisi awal tegakan adalah sebagai berikut:

1) Fluktuasi tingkat mortalitas tegakan hutan bekas tebangan cenderung akan mulai

mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik dengan variasi teknik penebangan

yang berbeda maupun setelah teknik pembebasan yang berbeda.

2) Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah

penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan.

3) Variasi kondisi berupa penerapan teknik penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan

konvensional) dan teknik pembebasan yang berbeda (baik secara sistematik maupun

berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata, baik terhadap tingkat

mortalitas dan ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun non

Dipterocarpaceae.

4) Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada hutan primer relatif rendah dibandingkan

pada variasi kondisi hutan bekas tebangan.

5) Jangka waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan

tingkat mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae,

sedangkan jangka waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan

peningkatan ingrowth kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

Page 210: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

85

6) Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan) yang berbeda dan teknik

pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang nyata terhadap

peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.

Page 211: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

85

6) Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan) yang berbeda dan teknik

pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang nyata terhadap

peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.

Page 212: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 7

RIAP PERIODIK

TEGAKAN HUTAN

Page 213: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 7

RIAP PERIODIK

TEGAKAN HUTAN

Page 214: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

86

7 RIAP P ERIODIK TEGAKAN HUTAN

Pertumbuhan adalah perubahan atau pertambahan ukuran (dimensi) dari organ

hidup yang ada pada pohon sepanjang umurnya yang menyebabkan berubahnya ukuran

pada tinggi, diameter dan volume pohon (Prodan 1968; Davis dan Johnson 1987; Husch et

al. 2003; Glover 2008). Berdasarkan orientasi pertumbuhan dapat dikategorikan sebagai

pertumbuhan ke atas (tinggi) yang merupakan pertumbuhan primer (initial growth) dan

pertumbuhan ke samping (diameter) yang disebut sebagai pertumbuhan sekunder (secondary

growth) (Davis dan Johnson 1987). Pertumbuhan individu pohon sebagai penyusun tegakan

merupakan total interaksi yang diperoleh dari sifat genetik dan lingkungannya (Husch et al.

2003). Adam dan Kolbs (2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan untuk

jenis yang sama pada lokasi yang sama, yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya.

Adanya respon pertumbuhan individu pohon berdasarkan ruang tumbuh akan membentuk

pertumbuhan tegakan yang berbeda (Gersonde dan O’Hara 2005).

Pengertian pertumbuhan dibedakan dengan riap, dimana riap (increment)

didefinisikan sebagai pertambahan dimensi atau ukuran dari sifat terpilih individu pohon

atau tegakan yang terjadi dalam interval waktu tertentu (Prodan 1968; Davis and Johnson

1987; Vanclay 1994; Simon 2007). Penilaian riap seringkali dilakukan dalam penilaian hasil

tegakan atau sebagai banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada

waktu tertentu. Riap tegakan hutan berhubungan dengan jenis vegetasi penyusun, kualita

tempat tumbuh, kesehatan pohon, umur atau jangka waktu serta tindakan silvikultur yang

dilakukan (Husch et al. 2003). Tempat tumbuh (site) adalah salah satu faktor yang sangat

mempengaruhi pertumbuhan pohon atau tegakan (Oliver dan Larson 1990). Faktor tempat

tumbuh adalah totalitas dari peubah kondisi tempat tumbuh antara lain berupa bentuk

lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki keeratan yang tinggi dalam hubungannya

dengan dimensi tegakan (Suhendang 1990). Sedangkan menurut Ryan et al. (1997), faktor

pertumbuhan utama meliputi genetik, biokimia dan fisiologikal jenis, serta persaingan antar

pohon.

Dengan adanya kelemahan model tegakan secara umum dalam perkembangan

penelitian growth and yield tegakan hutan, maka dibangun plot-plot permanen untuk

mengidentifikasi pertumbuhan pohon secara individu (Vanclay 1994). Dalam pemantauan

dimensi tegakan hutan alam tanah kering dengan pembangunan plot permanen mempunyai

periode pengukuran yang optimal adalah 2-3 tahun (Suhendang 1997). Diameter

merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter

pertumbuhan di hutan alam sebagai pengganti dimensi umur tanaman walaupun tidak selalu

berkorelasi positif (Richards 1964; Davis dan Johnson 1987; Davis et al. 2001). Laju

pertumbuhan pohon tropis umumnya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan

Page 215: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

86

7 RIAP P ERIODIK TEGAKAN HUTAN

Pertumbuhan adalah perubahan atau pertambahan ukuran (dimensi) dari organ

hidup yang ada pada pohon sepanjang umurnya yang menyebabkan berubahnya ukuran

pada tinggi, diameter dan volume pohon (Prodan 1968; Davis dan Johnson 1987; Husch et

al. 2003; Glover 2008). Berdasarkan orientasi pertumbuhan dapat dikategorikan sebagai

pertumbuhan ke atas (tinggi) yang merupakan pertumbuhan primer (initial growth) dan

pertumbuhan ke samping (diameter) yang disebut sebagai pertumbuhan sekunder (secondary

growth) (Davis dan Johnson 1987). Pertumbuhan individu pohon sebagai penyusun tegakan

merupakan total interaksi yang diperoleh dari sifat genetik dan lingkungannya (Husch et al.

2003). Adam dan Kolbs (2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan untuk

jenis yang sama pada lokasi yang sama, yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungannya.

Adanya respon pertumbuhan individu pohon berdasarkan ruang tumbuh akan membentuk

pertumbuhan tegakan yang berbeda (Gersonde dan O’Hara 2005).

Pengertian pertumbuhan dibedakan dengan riap, dimana riap (increment)

didefinisikan sebagai pertambahan dimensi atau ukuran dari sifat terpilih individu pohon

atau tegakan yang terjadi dalam interval waktu tertentu (Prodan 1968; Davis and Johnson

1987; Vanclay 1994; Simon 2007). Penilaian riap seringkali dilakukan dalam penilaian hasil

tegakan atau sebagai banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada

waktu tertentu. Riap tegakan hutan berhubungan dengan jenis vegetasi penyusun, kualita

tempat tumbuh, kesehatan pohon, umur atau jangka waktu serta tindakan silvikultur yang

dilakukan (Husch et al. 2003). Tempat tumbuh (site) adalah salah satu faktor yang sangat

mempengaruhi pertumbuhan pohon atau tegakan (Oliver dan Larson 1990). Faktor tempat

tumbuh adalah totalitas dari peubah kondisi tempat tumbuh antara lain berupa bentuk

lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki keeratan yang tinggi dalam hubungannya

dengan dimensi tegakan (Suhendang 1990). Sedangkan menurut Ryan et al. (1997), faktor

pertumbuhan utama meliputi genetik, biokimia dan fisiologikal jenis, serta persaingan antar

pohon.

Dengan adanya kelemahan model tegakan secara umum dalam perkembangan

penelitian growth and yield tegakan hutan, maka dibangun plot-plot permanen untuk

mengidentifikasi pertumbuhan pohon secara individu (Vanclay 1994). Dalam pemantauan

dimensi tegakan hutan alam tanah kering dengan pembangunan plot permanen mempunyai

periode pengukuran yang optimal adalah 2-3 tahun (Suhendang 1997). Diameter

merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter

pertumbuhan di hutan alam sebagai pengganti dimensi umur tanaman walaupun tidak selalu

berkorelasi positif (Richards 1964; Davis dan Johnson 1987; Davis et al. 2001). Laju

pertumbuhan pohon tropis umumnya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan

Page 216: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

87

keliling lingkar batang atau diameter. Dimensi diameter menjadi penting dalam pengelolaan

tegakan hutan karena memiliki sifat yang berkorelasi dengan dimensi pertumbuhan lainya

(misalnya bidang dasar dan volume) dan dapat mudah diukur dan akurat (Gertner et al.

1996).

Penentuan nilai riap individu maupun tegakan hutan sangat penting dalam

pengaturan hasil yang efisien untuk menyediakan model-model pertumbuhan sebagai

perangkat kuantitatif dalam perencanaan hutan (Vanclay 1989). Salah satu manfaat model

fungsi pertumbuhan dan riap antara lain untuk menduga besarnya dimensi tegakan pada

umur tertentu atau jangka waktu tertentu sebagai dasar dalam menentukan tindakan

silvikultur yang tepat untuk suatu keadaan tegakan tertentu dalam mencapai tujuan

pengelolaan. Perkembangan penyusunan model estimasi pertumbuhan sejak 200 tahun

yang lalu dalam mendukung penyusunan perangkat manajemen hutan baik hutan alam

(hutan tidak seumur) maupun hutan tanaman (hutan seumur) masih terus dilakukan

perbaikan (Vanclay 2003; Henning dan Burk 2004; Metcalf et al. 2009). Pada hutan hujan

tropis hambatan heterogenitas dan kompleksitas berupa keragaman tegakan dan variasi

kondisi menjadi kendala penggunaan model yang dibangun berdasarkan data dan informasi

yang bersifat umum karena akan menghasilkan bias.

Ruang lingkup dalam bagian ini adalah menentukan model riap individu dan riap

tegakan hutan alam pada variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan

dan teknik pembebasan yang berbeda dalam rangka penyusunan keragaan karakteristik

biometrik hutan pada hutan alam bekas tebangan berdasarkan variasi kondisi hutan

berdasarkan runtun waktu (time series) untuk menunjang praktek pengelolaan hutan

campuran tidak seumur dengan tujuan utama menghasilkan kayu secara berkelanjutan.

7.1. Riap Individu Periodik

Nilai riap individu berdasarkan riap diameter rataan dilakukan berdasarkan

pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan

Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2

tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda selama 23

tahun dan hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda setelah 23 tahun.

Hutan bekas tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan

memiliki kecenderungan nilai riap diameter rataan untuk semua jenis (riap diameter rataan

0.67–1.95 cm 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan dengan

teknik penebangan yang berbeda (riap diameter rataan 0.35–1.69 cm 2th-1) (Tabel 14).

Hutan bekas tebangan dengan teknik konvensional mempunyai kisaran nilai riap diameter

rataan yang lebih lebar yaitu 0.35–1.69 cm 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL 50 (riap

Page 217: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

87

keliling lingkar batang atau diameter. Dimensi diameter menjadi penting dalam pengelolaan

tegakan hutan karena memiliki sifat yang berkorelasi dengan dimensi pertumbuhan lainya

(misalnya bidang dasar dan volume) dan dapat mudah diukur dan akurat (Gertner et al.

1996).

Penentuan nilai riap individu maupun tegakan hutan sangat penting dalam

pengaturan hasil yang efisien untuk menyediakan model-model pertumbuhan sebagai

perangkat kuantitatif dalam perencanaan hutan (Vanclay 1989). Salah satu manfaat model

fungsi pertumbuhan dan riap antara lain untuk menduga besarnya dimensi tegakan pada

umur tertentu atau jangka waktu tertentu sebagai dasar dalam menentukan tindakan

silvikultur yang tepat untuk suatu keadaan tegakan tertentu dalam mencapai tujuan

pengelolaan. Perkembangan penyusunan model estimasi pertumbuhan sejak 200 tahun

yang lalu dalam mendukung penyusunan perangkat manajemen hutan baik hutan alam

(hutan tidak seumur) maupun hutan tanaman (hutan seumur) masih terus dilakukan

perbaikan (Vanclay 2003; Henning dan Burk 2004; Metcalf et al. 2009). Pada hutan hujan

tropis hambatan heterogenitas dan kompleksitas berupa keragaman tegakan dan variasi

kondisi menjadi kendala penggunaan model yang dibangun berdasarkan data dan informasi

yang bersifat umum karena akan menghasilkan bias.

Ruang lingkup dalam bagian ini adalah menentukan model riap individu dan riap

tegakan hutan alam pada variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan

dan teknik pembebasan yang berbeda dalam rangka penyusunan keragaan karakteristik

biometrik hutan pada hutan alam bekas tebangan berdasarkan variasi kondisi hutan

berdasarkan runtun waktu (time series) untuk menunjang praktek pengelolaan hutan

campuran tidak seumur dengan tujuan utama menghasilkan kayu secara berkelanjutan.

7.1. Riap Individu Periodik

Nilai riap individu berdasarkan riap diameter rataan dilakukan berdasarkan

pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp dan

Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2

tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda selama 23

tahun dan hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan yang berbeda setelah 23 tahun.

Hutan bekas tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan

memiliki kecenderungan nilai riap diameter rataan untuk semua jenis (riap diameter rataan

0.67–1.95 cm 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada hutan bekas tebangan dengan

teknik penebangan yang berbeda (riap diameter rataan 0.35–1.69 cm 2th-1) (Tabel 14).

Hutan bekas tebangan dengan teknik konvensional mempunyai kisaran nilai riap diameter

rataan yang lebih lebar yaitu 0.35–1.69 cm 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL 50 (riap

Page 218: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

88

diameter rataan 0.37–1.45 cm 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap diameter rataan

0.41–1.31 cm 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan sistematis

(riap diameter rataan 0.78–1.95 cm 2th-1) akan lebih tinggi dibandingkan dengan

pembebasan berbasis pohon binaan (riap diameter rataan 0.67–1.56 cm 2th-1). Pada

kondisi hutan primer, riap individu pohon semua jenis akan lebih kecil dibandingkan

dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.

Tabel 14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.37 1.08 1.06 1.00 1.45 0.81 0.69 0.76 1.04 1.01

SD 0.06 0.37 0.48 0.31 0.46 0.16 0.22 0.12 0.19 0.22

RIL60 Rataan 0.41 0.88 0.93 0.80 1.31 0.67 0.61 0.68 0.98 0.89

SD 0.11 0.10 0.12 0.17 0.20 0.18 0.18 0.16 0.26 0.28

CNV Rataan 0.35 1.27 1.27 1.11 1.69 0.86 0.88 0.79 1.26 1.11

SD 0.11 0.35 0.38 0.30 0.33 0.22 0.25 0.15 0.16 0.32

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.39 0.57 0.46 0.54 0.82 0.46 0.41 0.51 0.95 0.76

SD 0.10 0.16 0.11 0.22 0.16 0.12 0.12 0.12 0.16 0.14

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.78 1.45 1.95 1.12 1.54 1.20 1.29 1.18 1.20

SD 0.21 0.52 0.49 0.12 0.20 0.27 0.44 0.27 0.33

PPB Rataan 0.67 1.10 1.56 0.96 1.30 0.94 0.98 1.02 0.98

SD 0.19 0.39 0.40 0.18 0.27 0.23 0.23 0.25 0.23

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.76 0.83 1.21 0.71 1.06 0.82 0.90 1.05 0.99

SD 0.20 0.30 0.23 0.15 0.22 0.23 0.19 0.20 0.21

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama

yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap individu

yang berbeda (Tabel 15 - 16). Secara umum, kelompok jenis Dipterocarpaceae memiliki riap

diameter rataan yang lebih besar dibandingkan non Dipterocarpaceae pada semua kondisi

hutan. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama pembinaan

terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap diameter rataan

yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dan hutan primer. Riap diameter rataan setelah penebangan akan

lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon

pembukaan ruang tumbuh setelah penebangan.

Page 219: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

88

diameter rataan 0.37–1.45 cm 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap diameter rataan

0.41–1.31 cm 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan sistematis

(riap diameter rataan 0.78–1.95 cm 2th-1) akan lebih tinggi dibandingkan dengan

pembebasan berbasis pohon binaan (riap diameter rataan 0.67–1.56 cm 2th-1). Pada

kondisi hutan primer, riap individu pohon semua jenis akan lebih kecil dibandingkan

dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.

Tabel 14. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK untuk semua jenis

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.37 1.08 1.06 1.00 1.45 0.81 0.69 0.76 1.04 1.01

SD 0.06 0.37 0.48 0.31 0.46 0.16 0.22 0.12 0.19 0.22

RIL60 Rataan 0.41 0.88 0.93 0.80 1.31 0.67 0.61 0.68 0.98 0.89

SD 0.11 0.10 0.12 0.17 0.20 0.18 0.18 0.16 0.26 0.28

CNV Rataan 0.35 1.27 1.27 1.11 1.69 0.86 0.88 0.79 1.26 1.11

SD 0.11 0.35 0.38 0.30 0.33 0.22 0.25 0.15 0.16 0.32

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.39 0.57 0.46 0.54 0.82 0.46 0.41 0.51 0.95 0.76

SD 0.10 0.16 0.11 0.22 0.16 0.12 0.12 0.12 0.16 0.14

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.78 1.45 1.95 1.12 1.54 1.20 1.29 1.18 1.20

SD 0.21 0.52 0.49 0.12 0.20 0.27 0.44 0.27 0.33

PPB Rataan 0.67 1.10 1.56 0.96 1.30 0.94 0.98 1.02 0.98

SD 0.19 0.39 0.40 0.18 0.27 0.23 0.23 0.25 0.23

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.76 0.83 1.21 0.71 1.06 0.82 0.90 1.05 0.99

SD 0.20 0.30 0.23 0.15 0.22 0.23 0.19 0.20 0.21

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama

yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap individu

yang berbeda (Tabel 15 - 16). Secara umum, kelompok jenis Dipterocarpaceae memiliki riap

diameter rataan yang lebih besar dibandingkan non Dipterocarpaceae pada semua kondisi

hutan. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama pembinaan

terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap diameter rataan

yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dan hutan primer. Riap diameter rataan setelah penebangan akan

lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon

pembukaan ruang tumbuh setelah penebangan.

Page 220: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

89

Tabel 15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.42 1.24 1.17 1.04 1.53 0.87 0.80 0.87 1.21 1.11

SD 0.07 0.42 0.52 0.27 0.43 0.19 0.24 0.16 0.25 0.26

RIL60 Rataan 0.48 1.01 1.05 0.90 1.45 0.76 0.71 0.77 1.11 1.21

SD 0.13 0.13 0.15 0.18 0.23 0.21 0.24 0.25 0.36 0.28

CNV Rataan 0.40 1.44 1.43 1.18 1.76 0.92 1.00 0.92 1.51 1.44

SD 0.12 0.43 0.44 0.30 0.33 0.29 0.35 0.18 0.22 0.28

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.44 0.67 0.54 0.63 0.94 0.54 0.49 0.59 1.10 0.98

SD 0.13 0.20 0.14 0.26 0.20 0.16 0.16 0.16 0.17 0.21

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.88 1.66 2.23 1.27 1.79 1.48 1.58 1.62 1.48

SD 0.28 0.63 0.58 0.14 0.27 0.39 0.53 0.45 0.38

PPB Rataan 0.75 1.24 1.80 1.08 1.48 1.12 1.16 1.21 1.11

SD 0.22 0.43 0.50 0.21 0.36 0.37 0.32 0.32 0.23

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.84 0.94 1.43 0.79 1.23 1.03 1.15 1.02 0.99

SD 0.21 0.29 0.30 0.16 0.29 0.28 0.23 0.21 0.29

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Tabel 16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.26 0.76 0.84 0.92 1.28 0.68 0.48 0.53 0.72 0.68

SD 0.06 0.27 0.42 0.43 0.55 0.19 0.20 0.07 0.09 0.29

RIL60 Rataan 0.26 0.61 0.68 0.59 1.04 0.49 0.40 0.50 0.72 0.77

SD 0.08 0.10 0.10 0.17 0.18 0.17 0.10 0.09 0.07 0.19

CNV Rataan 0.25 0.94 0.96 0.97 1.55 0.73 0.63 0.53 0.75 0.79

SD 0.10 0.20 0.31 0.34 0.44 0.25 0.11 0.13 0.11 0.11

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.36 0.60 0.28 0.26 0.35 0.66 0.69

SD 0.06 0.10 0.07 0.13 0.11 0.07 0.09 0.06 0.20 0.21

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23 PS Rataan 0.56 1.03 1.38 0.81 1.02 0.63 0.70 0.81 0.65

SD 0.09 0.33 0.38 0.11 0.12 0.08 0.28 0.24 0.23

PPB Rataan 0.51 0.81 1.07 0.73 0.94 0.60 0.63 0.67 0.65

SD 0.13 0.30 0.25 0.14 0.12 0.08 0.18 0.11 0.17

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.60 0.59 0.78 0.55 0.74 0.41 0.40 0.41 0.39

SD 0.26 0.35 0.27 0.15 0.20 0.17 0.21 0.16 0.14

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Page 221: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

89

Tabel 15. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.42 1.24 1.17 1.04 1.53 0.87 0.80 0.87 1.21 1.11

SD 0.07 0.42 0.52 0.27 0.43 0.19 0.24 0.16 0.25 0.26

RIL60 Rataan 0.48 1.01 1.05 0.90 1.45 0.76 0.71 0.77 1.11 1.21

SD 0.13 0.13 0.15 0.18 0.23 0.21 0.24 0.25 0.36 0.28

CNV Rataan 0.40 1.44 1.43 1.18 1.76 0.92 1.00 0.92 1.51 1.44

SD 0.12 0.43 0.44 0.30 0.33 0.29 0.35 0.18 0.22 0.28

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.44 0.67 0.54 0.63 0.94 0.54 0.49 0.59 1.10 0.98

SD 0.13 0.20 0.14 0.26 0.20 0.16 0.16 0.16 0.17 0.21

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.88 1.66 2.23 1.27 1.79 1.48 1.58 1.62 1.48

SD 0.28 0.63 0.58 0.14 0.27 0.39 0.53 0.45 0.38

PPB Rataan 0.75 1.24 1.80 1.08 1.48 1.12 1.16 1.21 1.11

SD 0.22 0.43 0.50 0.21 0.36 0.37 0.32 0.32 0.23

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.84 0.94 1.43 0.79 1.23 1.03 1.15 1.02 0.99

SD 0.21 0.29 0.30 0.16 0.29 0.28 0.23 0.21 0.29

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Tabel 16. Riap diameter periodik (cm 2th-1) plot STREK kelompok jenis non Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.26 0.76 0.84 0.92 1.28 0.68 0.48 0.53 0.72 0.68

SD 0.06 0.27 0.42 0.43 0.55 0.19 0.20 0.07 0.09 0.29

RIL60 Rataan 0.26 0.61 0.68 0.59 1.04 0.49 0.40 0.50 0.72 0.77

SD 0.08 0.10 0.10 0.17 0.18 0.17 0.10 0.09 0.07 0.19

CNV Rataan 0.25 0.94 0.96 0.97 1.55 0.73 0.63 0.53 0.75 0.79

SD 0.10 0.20 0.31 0.34 0.44 0.25 0.11 0.13 0.11 0.11

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.36 0.60 0.28 0.26 0.35 0.66 0.69

SD 0.06 0.10 0.07 0.13 0.11 0.07 0.09 0.06 0.20 0.21

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23 PS Rataan 0.56 1.03 1.38 0.81 1.02 0.63 0.70 0.81 0.65

SD 0.09 0.33 0.38 0.11 0.12 0.08 0.28 0.24 0.23

PPB Rataan 0.51 0.81 1.07 0.73 0.94 0.60 0.63 0.67 0.65

SD 0.13 0.30 0.25 0.14 0.12 0.08 0.18 0.11 0.17

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.60 0.59 0.78 0.55 0.74 0.41 0.40 0.41 0.39

SD 0.26 0.35 0.27 0.15 0.20 0.17 0.21 0.16 0.14

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Page 222: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

90

Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak tahun ke-3 setelah penebangan

dan terjadi fluktuasi sepanjang tahun setelahnya. Sedangkan pada hutan bekas tebangan

pada tahun ke-3 setelah pembebasan akan meningkatkan riap diameter rataan hampir 2

kalinya dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan baik untuk kelompok

jenis Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Pada kondisi hutan primer, riap individu

pohon Dipterocarpaceae lebih besar dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae. Pada

kondisi ini riap individu pohon untuk semua kelompok jenis lebih rendah dibandingkan

dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.

Tinjauan komposisi penyusun utama tegakan Dipterocarpaceae yang dibagi kedalam

kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Tabel 17-18), berdasarkan hasil

perhitungan riap diameter rataan menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp.

mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap nilai riap diameter rataan kelompok jenis

Dipterocarpaceae dibandingkan kelompok jenis lainnya. Karakteristik individu kelompok jenis

Shorea spp. mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) yang lebih tinggi dibandingkan jenis

lain dalam kelompok Dipterocarpaceae, ditunjukkan berdasarkan penilaian riap diameter rataan

pada kondisi hutan primer. Riap diameter rataan untuk Shorea spp. pada hutan bekas

tebangan setelah 3 tahun adalah 0.97–2.15 cm 2th-1, sedangkan respon pembebasan setelah

tahun ke-3 adalah 1.20–2.83 cm 2th-1. Hasil ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan

atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan riap.

Tabel 17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp.

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.49 1.54 1.35 1.31 1.88 1.12 1.06 1.08 1.54 1.45

SD 0.12 0.68 0.65 0.44 0.57 0.38 0.32 0.37 0.38 0.32

RIL60 Rataan 0.59 1.22 1.27 1.04 1.67 0.97 0.82 1.02 1.06 1.04

SD 0.21 0.22 0.26 0.32 0.36 0.32 0.42 0.32 0.36 0.32

CNV Rataan 0.45 1.59 1.75 1.46 2.15 1.15 1.17 1.10 1.72 1.68

SD 0.10 0.40 0.54 0.42 0.52 0.50 0.59 0.28 0.34 0.32

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.52 0.83 0.65 0.74 1.09 0.65 0.61 0.66 1.27 1.1

SD 0.17 0.26 0.19 0.31 0.23 0.24 0.17 0.19 0.32 0.32

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 1.11 2.04 2.83 1.42 2.18 1.72 1.93 1.87 1.67

SD 0.26 0.64 0.55 0.17 0.23 0.24 0.57 0.45 0.46

PPB Rataan 0.90 1.43 2.13 1.20 1.76 1.33 1.41 1.34 1.41

SD 0.32 0.53 0.63 0.23 0.49 0.53 0.44 0.39 0.41

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.93 1.14 1.76 0.90 1.47 1.28 1.43 1.33 1.29

SD 0.25 0.37 0.35 0.21 0.40 0.41 0.29 0.31 0.37

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Page 223: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

90

Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak tahun ke-3 setelah penebangan

dan terjadi fluktuasi sepanjang tahun setelahnya. Sedangkan pada hutan bekas tebangan

pada tahun ke-3 setelah pembebasan akan meningkatkan riap diameter rataan hampir 2

kalinya dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan baik untuk kelompok

jenis Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Pada kondisi hutan primer, riap individu

pohon Dipterocarpaceae lebih besar dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae. Pada

kondisi ini riap individu pohon untuk semua kelompok jenis lebih rendah dibandingkan

dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa perlakuan.

Tinjauan komposisi penyusun utama tegakan Dipterocarpaceae yang dibagi kedalam

kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea (Tabel 17-18), berdasarkan hasil

perhitungan riap diameter rataan menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp.

mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap nilai riap diameter rataan kelompok jenis

Dipterocarpaceae dibandingkan kelompok jenis lainnya. Karakteristik individu kelompok jenis

Shorea spp. mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) yang lebih tinggi dibandingkan jenis

lain dalam kelompok Dipterocarpaceae, ditunjukkan berdasarkan penilaian riap diameter rataan

pada kondisi hutan primer. Riap diameter rataan untuk Shorea spp. pada hutan bekas

tebangan setelah 3 tahun adalah 0.97–2.15 cm 2th-1, sedangkan respon pembebasan setelah

tahun ke-3 adalah 1.20–2.83 cm 2th-1. Hasil ini menunjukkan bahwa tindakan pembebasan

atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan riap.

Tabel 17. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Shorea spp.

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.49 1.54 1.35 1.31 1.88 1.12 1.06 1.08 1.54 1.45

SD 0.12 0.68 0.65 0.44 0.57 0.38 0.32 0.37 0.38 0.32

RIL60 Rataan 0.59 1.22 1.27 1.04 1.67 0.97 0.82 1.02 1.06 1.04

SD 0.21 0.22 0.26 0.32 0.36 0.32 0.42 0.32 0.36 0.32

CNV Rataan 0.45 1.59 1.75 1.46 2.15 1.15 1.17 1.10 1.72 1.68

SD 0.10 0.40 0.54 0.42 0.52 0.50 0.59 0.28 0.34 0.32

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.52 0.83 0.65 0.74 1.09 0.65 0.61 0.66 1.27 1.1

SD 0.17 0.26 0.19 0.31 0.23 0.24 0.17 0.19 0.32 0.32

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 1.11 2.04 2.83 1.42 2.18 1.72 1.93 1.87 1.67

SD 0.26 0.64 0.55 0.17 0.23 0.24 0.57 0.45 0.46

PPB Rataan 0.90 1.43 2.13 1.20 1.76 1.33 1.41 1.34 1.41

SD 0.32 0.53 0.63 0.23 0.49 0.53 0.44 0.39 0.41

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.93 1.14 1.76 0.90 1.47 1.28 1.43 1.33 1.29

SD 0.25 0.37 0.35 0.21 0.40 0.41 0.29 0.31 0.37

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Page 224: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

91

Tabel 18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.35 0.95 0.99 0.78 1.18 0.62 0.53 0.66 0.87 0.78

SD 0.06 0.26 0.45 0.17 0.34 0.14 0.27 0.19 0.13 0.21

RIL60 Rataan 0.37 0.81 0.83 0.75 1.23 0.56 0.60 0.53 1.16 1.01

SD 0.07 0.17 0.13 0.12 0.19 0.18 0.12 0.35 0.36 0.31

CNV Rataan 0.35 1.29 1.11 0.90 1.38 0.69 0.83 0.74 1.31 1.21

SD 0.16 0.54 0.36 0.24 0.24 0.25 0.20 0.13 0.25 0.27

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.36 0.51 0.44 0.52 0.78 0.43 0.37 0.52 0.93 0.89

SD 0.11 0.17 0.13 0.26 0.24 0.14 0.19 0.16 0.05 0.19

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.66 1.28 1.64 1.13 1.40 1.24 1.24 1.25 1.24

SD 0.32 0.65 0.67 0.26 0.32 0.58 0.58 0.56 0.56

PPB Rataan 0.59 1.05 1.47 0.96 1.20 0.90 0.90 0.89 0.90

SD 0.15 0.35 0.39 0.26 0.27 0.24 0.24 0.24 0.26

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.75 0.74 1.10 0.68 0.98 0.79 0.87 0.78 0.79

SD 0.24 0.26 0.37 0.22 0.27 0.25 0.25 0.22 0.24

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai

riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun

semua jenis sepanjang pengamatan. Pada tegakan setelah penebangan akan menghasilkan

nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer. Teknik penebangan

konvensional dengan intensitas penebangan tertinggi akan menghasilkan nilai riap diameter

rataan kelompok Dipterocarpaceae yang selalu lebih tinggi sepanjang 23 tahun setelah

penebangan, kemudian diikuti tegakan dengan penebangan RIL 50 dan RIL 60. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan antara intensitas penebangan terhadap respon riap individu

dalam diameter rataan yang dihasilkan. Respon peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-

3 setelah penebangan dan akan mulai menurun setelah tahun ke-9 setelah penebangan.

Kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap individu periodik yang lebih besar

dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae sepanjang jangka waktu setelah penebangan.

Kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang

cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai

riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer.

Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan

akan mulai menurun pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan.

Page 225: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

91

Tabel 18. Riap diameter periodik (cm 2th-1) pada plot STREK kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(cm 2th-1)

RIL50 Rataan 0.35 0.95 0.99 0.78 1.18 0.62 0.53 0.66 0.87 0.78

SD 0.06 0.26 0.45 0.17 0.34 0.14 0.27 0.19 0.13 0.21

RIL60 Rataan 0.37 0.81 0.83 0.75 1.23 0.56 0.60 0.53 1.16 1.01

SD 0.07 0.17 0.13 0.12 0.19 0.18 0.12 0.35 0.36 0.31

CNV Rataan 0.35 1.29 1.11 0.90 1.38 0.69 0.83 0.74 1.31 1.21

SD 0.16 0.54 0.36 0.24 0.24 0.25 0.20 0.13 0.25 0.27

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.36 0.51 0.44 0.52 0.78 0.43 0.37 0.52 0.93 0.89

SD 0.11 0.17 0.13 0.26 0.24 0.14 0.19 0.16 0.05 0.19

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.66 1.28 1.64 1.13 1.40 1.24 1.24 1.25 1.24

SD 0.32 0.65 0.67 0.26 0.32 0.58 0.58 0.56 0.56

PPB Rataan 0.59 1.05 1.47 0.96 1.20 0.90 0.90 0.89 0.90

SD 0.15 0.35 0.39 0.26 0.27 0.24 0.24 0.24 0.26

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.75 0.74 1.10 0.68 0.98 0.79 0.87 0.78 0.79

SD 0.24 0.26 0.37 0.22 0.27 0.25 0.25 0.22 0.24

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai

riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun

semua jenis sepanjang pengamatan. Pada tegakan setelah penebangan akan menghasilkan

nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer. Teknik penebangan

konvensional dengan intensitas penebangan tertinggi akan menghasilkan nilai riap diameter

rataan kelompok Dipterocarpaceae yang selalu lebih tinggi sepanjang 23 tahun setelah

penebangan, kemudian diikuti tegakan dengan penebangan RIL 50 dan RIL 60. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan antara intensitas penebangan terhadap respon riap individu

dalam diameter rataan yang dihasilkan. Respon peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-

3 setelah penebangan dan akan mulai menurun setelah tahun ke-9 setelah penebangan.

Kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap individu periodik yang lebih besar

dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae sepanjang jangka waktu setelah penebangan.

Kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang

cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai

riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer.

Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan

akan mulai menurun pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan.

Page 226: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

92

Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai

riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun

semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan bekas tebangan setelah

pembebasan akan menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik pembebasan (sistematis dan

berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae.

Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai riap diameter rataan yang lebih

besar dibandingkan kondisi tanpa perlakuan sepanjang pengamatan. Sedangkan teknik

pembebasan berbasis pohon binaan akan menghasilkan nilai riap diameter rataan kelompok

Dipterocarpaceae yang lebih tinggi hingga 11 tahun setelah pembebasan, kemudian akan

mendekati kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara teknik

pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap individu dalam diameter rataan yang

dihasilkan.

Seperti halnya respon dari kegiatan penebangan, pada tegakan hutan setelah

pembebasan kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter

rataan yang cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini

memiliki nilai riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada

hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi

pada tahun ke-3 setelah pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah

pembebasan, tetapi setelah tahun ke-7 terjadi fluktuasi yang mendekati kondisi tanpa

perlakuan.

Pendekatan riap individu pohon memiliki fleksibilitas untuk proyeksi yang lebih luas

pada berbagai batasan kondisi. Untuk hutan tropis, model pertumbuhan disusun lebih

kompleks berdasarkan ekosistem, komposisi jenis yang tinggi dan tidak relevannya variable

umur (Vanclay 1995). Sehingga persamaan riap disusun berdasarkan diameter atau bidang

dasar yang bersifat reliable untuk digunakan dalam menduga tegakan secara total berdasarkan

kondisi site dan tegakan itu sendiri. Studi pendahuluan pada lokasi penelitian yang sama

(hutan Labanan) menunjukkan riap diameter hutan bekas tebangan setelah 2 tahun menjadi

dua kali lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer (Nguyen-The et al. 1998), dengan

riap diameter rataan tegakan hutan primer sebesar 0.22 cm th-1.

Nilai riap diameter rataan pada 10 propinsi di Indonesia untuk kelompok jenis

komersial sebesar 0.49-79 cm th-1, jenis non komersial sebesar 0.33-0.78 cm th-1 dan untuk

semua jenis sebesar 0.38-0.79 cm th-1 (Suhendang 2002). Hasil penelitian di Brazil, Costa

Rica, Guyana dan Papua New Guinea dengan pengukuran ulang pada plot permanen 3–10

tahun di 11 lokasi penelitian menghasilkan riap diameter individu pohon 0.15-1.36 cm th-1

(Alder et al. 2002). Nilai riap diameter individu pohon ini berada pada kisaran yang sama

dengan hasil penelitian ini, terutama untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Hal ini

menunjukkan variasi kondisi tegakan hutan tropis memiliki kisaran riap diameter pohon

Page 227: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

92

Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai

riap diameter rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun

semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan bekas tebangan setelah

pembebasan akan menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik pembebasan (sistematis dan

berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae.

Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai riap diameter rataan yang lebih

besar dibandingkan kondisi tanpa perlakuan sepanjang pengamatan. Sedangkan teknik

pembebasan berbasis pohon binaan akan menghasilkan nilai riap diameter rataan kelompok

Dipterocarpaceae yang lebih tinggi hingga 11 tahun setelah pembebasan, kemudian akan

mendekati kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara teknik

pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap individu dalam diameter rataan yang

dihasilkan.

Seperti halnya respon dari kegiatan penebangan, pada tegakan hutan setelah

pembebasan kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter

rataan yang cenderung lebih kecil dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini

memiliki nilai riap diameter rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada

hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi

pada tahun ke-3 setelah pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah

pembebasan, tetapi setelah tahun ke-7 terjadi fluktuasi yang mendekati kondisi tanpa

perlakuan.

Pendekatan riap individu pohon memiliki fleksibilitas untuk proyeksi yang lebih luas

pada berbagai batasan kondisi. Untuk hutan tropis, model pertumbuhan disusun lebih

kompleks berdasarkan ekosistem, komposisi jenis yang tinggi dan tidak relevannya variable

umur (Vanclay 1995). Sehingga persamaan riap disusun berdasarkan diameter atau bidang

dasar yang bersifat reliable untuk digunakan dalam menduga tegakan secara total berdasarkan

kondisi site dan tegakan itu sendiri. Studi pendahuluan pada lokasi penelitian yang sama

(hutan Labanan) menunjukkan riap diameter hutan bekas tebangan setelah 2 tahun menjadi

dua kali lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer (Nguyen-The et al. 1998), dengan

riap diameter rataan tegakan hutan primer sebesar 0.22 cm th-1.

Nilai riap diameter rataan pada 10 propinsi di Indonesia untuk kelompok jenis

komersial sebesar 0.49-79 cm th-1, jenis non komersial sebesar 0.33-0.78 cm th-1 dan untuk

semua jenis sebesar 0.38-0.79 cm th-1 (Suhendang 2002). Hasil penelitian di Brazil, Costa

Rica, Guyana dan Papua New Guinea dengan pengukuran ulang pada plot permanen 3–10

tahun di 11 lokasi penelitian menghasilkan riap diameter individu pohon 0.15-1.36 cm th-1

(Alder et al. 2002). Nilai riap diameter individu pohon ini berada pada kisaran yang sama

dengan hasil penelitian ini, terutama untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Hal ini

menunjukkan variasi kondisi tegakan hutan tropis memiliki kisaran riap diameter pohon

Page 228: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

93

yang cukup lebar. Dikutip dalam Silva et al. (2002) beberapa hasil penelitian di hutan tropis

menunjukkan bahwa riap diameter tahunan di Peninsular Malaysia sebesar 0.4-4.5 mm th-1

(Manokaran dan Kochummen 1993), di Panama sebesar 7.1-9.2 mm th-1 (Condit et al 1995),

di Tapajos Argentina adalah 2.0 mm th-1 (Silva et al. 1996); di hutan Amazon Brazil adalah

1.64 ±0.21 mm th-1 (Gomide 1997), di Costa Rica sebesar 5-18 mm th-1 (Clark dan Clark

1999) dan di Brazil sebesar 0.48-11.41 mm th-1. Hasil-hasil penelitian ini menggunakan

satuan yang berbeda untuk mengurangi bias pengukuran riap yang dilakukan setiap tahun.

Kesalahan pengukuran akibat periode pengukuran yang terlalu pendek mengakibatkan bias

yang besar, untuk mengurangi kesalahan ketidak cermatan dalam pengukuran berulang

maka periode optimal pengukuran di hutan bekas tebangan adalah 2 tahun untuk tegakan

dengan tindakan silvikultur dan periode 3 tahun untuk tegakan tanpa perlakuan

(Suhendang 1997).

7.2. Riap Tegakan Periodik

Nilai riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar rataan tegakan dilakukan

berdasarkan pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp

dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2

tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda setelah 23

tahun dan dampak dari penerapan teknik pembebasan yang berbeda setalah 23 tahun.

Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan memiliki nilai yang lebih

besar (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada

hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda (riap bidang dasar rataan

0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1) (Tabel 19). Teknik penebangan yang berbeda akan menghasilkan

nilai riap bidang dasar tegakan yang berbeda pula. Hutan bekas tebangan dengan teknik

konvensional (intensitas penebangan yang tertinggi) mempunyai kisaran nilai riap bidang

dasar rataan yang lebih lebar yaitu 0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL

50 (riap bidang dasar rataan 0.35–1.87 m2 ha-1 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap

bidang dasar rataan 0.42–1.67 m2 ha-1 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah

pembebasan sistematis (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) akan mempunyai

nilai yang lebih lebar dibandingkan dengan pembebasan berbasis pohon binaan (riap bidang

dasar rataan 0.98–2.07 m2 ha-1 2th-1). Pada kondisi hutan primer, riap tegakan semua jenis

akan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa

perlakuan.

Page 229: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

93

yang cukup lebar. Dikutip dalam Silva et al. (2002) beberapa hasil penelitian di hutan tropis

menunjukkan bahwa riap diameter tahunan di Peninsular Malaysia sebesar 0.4-4.5 mm th-1

(Manokaran dan Kochummen 1993), di Panama sebesar 7.1-9.2 mm th-1 (Condit et al 1995),

di Tapajos Argentina adalah 2.0 mm th-1 (Silva et al. 1996); di hutan Amazon Brazil adalah

1.64 ±0.21 mm th-1 (Gomide 1997), di Costa Rica sebesar 5-18 mm th-1 (Clark dan Clark

1999) dan di Brazil sebesar 0.48-11.41 mm th-1. Hasil-hasil penelitian ini menggunakan

satuan yang berbeda untuk mengurangi bias pengukuran riap yang dilakukan setiap tahun.

Kesalahan pengukuran akibat periode pengukuran yang terlalu pendek mengakibatkan bias

yang besar, untuk mengurangi kesalahan ketidak cermatan dalam pengukuran berulang

maka periode optimal pengukuran di hutan bekas tebangan adalah 2 tahun untuk tegakan

dengan tindakan silvikultur dan periode 3 tahun untuk tegakan tanpa perlakuan

(Suhendang 1997).

7.2. Riap Tegakan Periodik

Nilai riap tegakan berdasarkan riap bidang dasar rataan tegakan dilakukan

berdasarkan pengelompokkan jenis Dipterocarpaceae (terbagi dalam kelompok jenis Shorea spp

dan Dipterocarpaceae non Shorea), non Dipterocarpaceae dan semua jenis secara periodik setiap 2

tahun pada hutan setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda setelah 23

tahun dan dampak dari penerapan teknik pembebasan yang berbeda setalah 23 tahun.

Berdasarkan nilai bidang dasar tegakan untuk semua jenis pada hutan bekas

tebangan dengan tindakan silvikultur berupa pembebasan akan memiliki nilai yang lebih

besar (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dibandingkan pada

hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda (riap bidang dasar rataan

0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1) (Tabel 19). Teknik penebangan yang berbeda akan menghasilkan

nilai riap bidang dasar tegakan yang berbeda pula. Hutan bekas tebangan dengan teknik

konvensional (intensitas penebangan yang tertinggi) mempunyai kisaran nilai riap bidang

dasar rataan yang lebih lebar yaitu 0.27–2.10 m2 ha-1 2th-1, dibandingkan dengan teknik RIL

50 (riap bidang dasar rataan 0.35–1.87 m2 ha-1 2th-1) maupun dengan teknik RIL 60 (riap

bidang dasar rataan 0.42–1.67 m2 ha-1 2th-1). Sedangkan pada hutan bekas tebangan setelah

pembebasan sistematis (riap bidang dasar rataan 0.98–2.52 m2 ha-1 2th-1) akan mempunyai

nilai yang lebih lebar dibandingkan dengan pembebasan berbasis pohon binaan (riap bidang

dasar rataan 0.98–2.07 m2 ha-1 2th-1). Pada kondisi hutan primer, riap tegakan semua jenis

akan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi hutan bekas tebangan walaupun tanpa

perlakuan.

Page 230: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

94

Tabel 19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.35 0.88 0.93 1.12 1.87 1.17 0.90 1.05 1.61 1.34

SD 0.09 0.17 0.24 0.28 0.60 0.22 0.33 0.14 0.26 0.27

RIL60 Rataan 0.42 0.91 1.02 0.87 1.67 0.83 0.72 0.92 1.31 1.01

SD 0.14 0.14 0.21 0.17 0.35 0.11 0.22 0.17 0.24 0.23

CNV Rataan 0.27 0.98 1.06 1.08 2.10 1.11 1.12 0.94 1.62 1.21

SD 0.07 0.13 0.18 0.17 0.36 0.30 0.23 0.25 0.18 0.23

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.51 0.71 0.54 0.67 1.05 0.57 0.48 0.65 1.28 1.01

SD 0.09 0.14 0.09 0.18 0.17 0.13 0.14 0.11 0.07 0.18

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.98 1.59 2.52 1.38 2.13 1.52 1.66 1.54 1.48

SD 0.12 0.38 0.60 0.23 0.43 0.35 0.51 0.48 0.35

PPB Rataan 0.98 1.36 2.07 1.26 1.80 1.24 1.78 1.65 1.35

SD 0.12 0.37 0.41 0.21 0.27 0.16 1.46 0.85 0.45

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.95 0.93 1.53 0.85 1.23 0.83 0.81 0.78 0.76

SD 0.32 0.44 0.46 0.25 0.37 0.35 0.39 0.32 0.32

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama

yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap tegakan

periodik yang berbeda (Tabel 20-21). Secara umum, kelompok jenis non Dipterocarpaceae

memiliki riap bidang dasar rataan (0.16-1.48 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dan kisaran yang

lebih lebar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae (0.10-1.15 m2 ha-1 2th-1) pada semua

kondisi hutan. Riap bidang dasar rataan tegakan setelah penebangan akan lebih besar

dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon pembukaan

ruang tumbuh setelah penebangan. Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak

tahun ke-3 setelah penebangan. Sedangkan pada hutan bekas tebangan pada tahun ke-3

setelah pembebasan akan meningkatkan riap bidang dasar rataan hampir 2 kali nilai riap

pada kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan terutama untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama

pembinaan terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap bidang

dasar rataan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan

teknik penebangan yang berbeda dan hutan primer. Pada kondisi hutan primer, riap bidang

dasar tegakan Dipterocarpaceae (0.21-0.50 m2 ha-1 2th-1) akan lebih kecil dibandingkan

kelompok non Dipterocarpaceae (0.26-0.77 m2 ha-1 2th-1).

Page 231: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

94

Tabel 19. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk semua jenis

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.35 0.88 0.93 1.12 1.87 1.17 0.90 1.05 1.61 1.34

SD 0.09 0.17 0.24 0.28 0.60 0.22 0.33 0.14 0.26 0.27

RIL60 Rataan 0.42 0.91 1.02 0.87 1.67 0.83 0.72 0.92 1.31 1.01

SD 0.14 0.14 0.21 0.17 0.35 0.11 0.22 0.17 0.24 0.23

CNV Rataan 0.27 0.98 1.06 1.08 2.10 1.11 1.12 0.94 1.62 1.21

SD 0.07 0.13 0.18 0.17 0.36 0.30 0.23 0.25 0.18 0.23

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.51 0.71 0.54 0.67 1.05 0.57 0.48 0.65 1.28 1.01

SD 0.09 0.14 0.09 0.18 0.17 0.13 0.14 0.11 0.07 0.18

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.98 1.59 2.52 1.38 2.13 1.52 1.66 1.54 1.48

SD 0.12 0.38 0.60 0.23 0.43 0.35 0.51 0.48 0.35

PPB Rataan 0.98 1.36 2.07 1.26 1.80 1.24 1.78 1.65 1.35

SD 0.12 0.37 0.41 0.21 0.27 0.16 1.46 0.85 0.45

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.95 0.93 1.53 0.85 1.23 0.83 0.81 0.78 0.76

SD 0.32 0.44 0.46 0.25 0.37 0.35 0.39 0.32 0.32

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Berdasarkan komposisi penyusun utama tegakan dalam kelompok famili utama

yaitu Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, akan menghasilkan respon nilai riap tegakan

periodik yang berbeda (Tabel 20-21). Secara umum, kelompok jenis non Dipterocarpaceae

memiliki riap bidang dasar rataan (0.16-1.48 m2 ha-1 2th-1) yang lebih besar dan kisaran yang

lebih lebar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae (0.10-1.15 m2 ha-1 2th-1) pada semua

kondisi hutan. Riap bidang dasar rataan tegakan setelah penebangan akan lebih besar

dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon pembukaan

ruang tumbuh setelah penebangan. Respon perubahan tersebut akan meningkat sejak

tahun ke-3 setelah penebangan. Sedangkan pada hutan bekas tebangan pada tahun ke-3

setelah pembebasan akan meningkatkan riap bidang dasar rataan hampir 2 kali nilai riap

pada kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan terutama untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae. Pada hutan bekas tebangan dengan pembebasan dengan tujuan utama

pembinaan terhadap tegakan tinggal, kelompok jenis Dipterocarpaceae mempunyai riap bidang

dasar rataan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan bekas tebangan dengan

teknik penebangan yang berbeda dan hutan primer. Pada kondisi hutan primer, riap bidang

dasar tegakan Dipterocarpaceae (0.21-0.50 m2 ha-1 2th-1) akan lebih kecil dibandingkan

kelompok non Dipterocarpaceae (0.26-0.77 m2 ha-1 2th-1).

Page 232: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

95

Tabel 20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.15 0.33 0.31 0.34 0.53 0.37 0.30 0.38 0.66 0.53

SD 0.06 0.09 0.07 0.11 0.15 0.14 0.14 0.09 0.05 0.11

RIL60 Rataan 0.18 0.40 0.44 0.35 0.66 0.33 0.31 0.36 0.48 0.51

SD 0.09 0.15 0.18 0.10 0.27 0.08 0.15 0.12 0.28 0.21

CNV Rataan 0.10 0.37 0.40 0.36 0.62 0.35 0.42 0.40 0.70 0.68

SD 0.05 0.12 0.12 0.13 0.18 0.13 0.15 0.10 0.10 0.12

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.21 0.32 0.24 0.30 0.44 0.26 0.22 0.28 0.50 0.47

SD 0.06 0.08 0.07 0.10 0.12 0.07 0.09 0.09 0.16 0.15

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.35 0.71 1.15 0.58 0.96 0.80 0.92 0.89 0.85

SD 0.08 0.24 0.34 0.14 0.29 0.30 0.38 0.21 0.29

PPB Rataan 0.34 0.57 0.90 0.51 0.70 0.52 0.56 0.48 0.49

SD 0.15 0.22 0.36 0.21 0.30 0.19 0.16 0.16 0.17

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.34 0.32 0.57 0.26 0.40 0.35 0.39 0.35 0.36

SD 0.16 0.15 0.21 0.12 0.23 0.22 0.24 0.21 0.24

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai

riap bidang dasar tegakan rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non

Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun setalah penebangan

dan setelah penerapan teknik pembebasan. Pada tegakan setelah penebangan akan

menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer baik untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun semua jenis. Teknik

penebangan konvensional dan RIL 50 mempunyai hubungan yang sama terhadap fluktuasi

nilai riap bidang dasar periodik terutama untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Respon

peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan mulai menurun

setelah tahun ke-9 setelah penebangan, tetapi meningkat kembali setelah tahun ke-15 untuk

kedua kelompok jenis tersebut. Kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai riap

tegakan periodik yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae sepanjang jangka

waktu setelah penebangan.

Page 233: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

95

Tabel 20. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.15 0.33 0.31 0.34 0.53 0.37 0.30 0.38 0.66 0.53

SD 0.06 0.09 0.07 0.11 0.15 0.14 0.14 0.09 0.05 0.11

RIL60 Rataan 0.18 0.40 0.44 0.35 0.66 0.33 0.31 0.36 0.48 0.51

SD 0.09 0.15 0.18 0.10 0.27 0.08 0.15 0.12 0.28 0.21

CNV Rataan 0.10 0.37 0.40 0.36 0.62 0.35 0.42 0.40 0.70 0.68

SD 0.05 0.12 0.12 0.13 0.18 0.13 0.15 0.10 0.10 0.12

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.21 0.32 0.24 0.30 0.44 0.26 0.22 0.28 0.50 0.47

SD 0.06 0.08 0.07 0.10 0.12 0.07 0.09 0.09 0.16 0.15

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.35 0.71 1.15 0.58 0.96 0.80 0.92 0.89 0.85

SD 0.08 0.24 0.34 0.14 0.29 0.30 0.38 0.21 0.29

PPB Rataan 0.34 0.57 0.90 0.51 0.70 0.52 0.56 0.48 0.49

SD 0.15 0.22 0.36 0.21 0.30 0.19 0.16 0.16 0.17

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.34 0.32 0.57 0.26 0.40 0.35 0.39 0.35 0.36

SD 0.16 0.15 0.21 0.12 0.23 0.22 0.24 0.21 0.24

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Perbedaan kondisi tegakan setelah penebangan akan menghasilkan fluktuasi nilai

riap bidang dasar tegakan rataan baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non

Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun setalah penebangan

dan setelah penerapan teknik pembebasan. Pada tegakan setelah penebangan akan

menghasilkan nilai riap yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan primer baik untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae maupun semua jenis. Teknik

penebangan konvensional dan RIL 50 mempunyai hubungan yang sama terhadap fluktuasi

nilai riap bidang dasar periodik terutama untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Respon

peningkatan nilai riap terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan mulai menurun

setelah tahun ke-9 setelah penebangan, tetapi meningkat kembali setelah tahun ke-15 untuk

kedua kelompok jenis tersebut. Kelompok jenis non Dipterocarpaceae mempunyai riap

tegakan periodik yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae sepanjang jangka

waktu setelah penebangan.

Page 234: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

96

Tabel 21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.21 0.55 0.61 0.78 1.34 0.80 0.60 0.67 0.95 0.86

SD 0.05 0.11 0.22 0.28 0.60 0.25 0.26 0.13 0.31 0.28

RIL60 Rataan 0.23 0.50 0.58 0.52 1.01 0.50 0.40 0.56 0.82 0.79

SD 0.07 0.06 0.10 0.14 0.23 0.15 0.13 0.13 0.04 0.12

CNV Rataan 0.16 0.61 0.66 0.72 1.48 0.75 0.70 0.59 0.92 0.86

SD 0.06 0.13 0.18 0.19 0.41 0.32 0.16 0.16 0.19 0.19

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.37 0.61 0.30 0.26 0.37 0.77 0.75

SD 0.05 0.07 0.06 0.11 0.10 0.09 0.09 0.06 0.19 0.18

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.63 0.88 1.36 0.80 1.17 0.72 0.73 0.74 0.74

SD 0.09 0.19 0.35 0.12 0.18 0.12 0.21 0.21 0.21

PPB Rataan 0.63 0.78 1.17 0.76 1.10 0.71 1.22 0.98 0.89

SD 0.15 0.31 0.36 0.21 0.29 0.14 1.46 1.11 1.01

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.61 0.62 0.96 0.60 0.83 0.48 0.42 0.45 0.45

SD 0.22 0.32 0.33 0.17 0.28 0.18 0.35 0.32 0.31

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai riap

bidang dasar tegakan periodik baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non

Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan

bekas tebangan setelah pembebasan akan menghasilkan nilai riap tegakan yang lebih tinggi

dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik

pembebasan (sistematis dan berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada

kelompok jenis Dipterocarpaceae. Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai

riap bidang dasar periodik yang lebih besar dibandingkan pembebasan berbasis pohon

binaan maupun kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara

teknik pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap tegakan periodik untuk kelompok

jenis Dipterocarpaceae lebih terlihat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

Perhitungan nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae diklasifikasikan dalam

penyusun utama yang dibagi dalam kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non

Shorea (Tabel 22-23). Berdasarkan hasil perhitungan riap bidang dasar rataan dalam

kelompok jenis tersebut menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp. mempunyai

kontribusi yang lebih besar pada kondisi hutan setelah penebangan hingga 17 tahun

terhadap nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae, kecuali pada penebangan dengan

teknik konvensional. Begitu pula pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan, akan

Page 235: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

96

Tabel 21. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis non Dipterocarpaceae

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.21 0.55 0.61 0.78 1.34 0.80 0.60 0.67 0.95 0.86

SD 0.05 0.11 0.22 0.28 0.60 0.25 0.26 0.13 0.31 0.28

RIL60 Rataan 0.23 0.50 0.58 0.52 1.01 0.50 0.40 0.56 0.82 0.79

SD 0.07 0.06 0.10 0.14 0.23 0.15 0.13 0.13 0.04 0.12

CNV Rataan 0.16 0.61 0.66 0.72 1.48 0.75 0.70 0.59 0.92 0.86

SD 0.06 0.13 0.18 0.19 0.41 0.32 0.16 0.16 0.19 0.19

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.30 0.39 0.30 0.37 0.61 0.30 0.26 0.37 0.77 0.75

SD 0.05 0.07 0.06 0.11 0.10 0.09 0.09 0.06 0.19 0.18

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.63 0.88 1.36 0.80 1.17 0.72 0.73 0.74 0.74

SD 0.09 0.19 0.35 0.12 0.18 0.12 0.21 0.21 0.21

PPB Rataan 0.63 0.78 1.17 0.76 1.10 0.71 1.22 0.98 0.89

SD 0.15 0.31 0.36 0.21 0.29 0.14 1.46 1.11 1.01

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.61 0.62 0.96 0.60 0.83 0.48 0.42 0.45 0.45

SD 0.22 0.32 0.33 0.17 0.28 0.18 0.35 0.32 0.31

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Perbedaan kondisi tegakan setelah pembebasan akan menghasilkan fluktuasi nilai riap

bidang dasar tegakan periodik baik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, non

Dipterocarpaceae maupun semua jenis sepanjang pengamatan 23 tahun. Pada tegakan hutan

bekas tebangan setelah pembebasan akan menghasilkan nilai riap tegakan yang lebih tinggi

dibandingkan kondisi hutan bekas tebangan tanpa perlakuan. Perbedaan respon teknik

pembebasan (sistematis dan berbasis pohon binaan) ditunjukkan dengan jelas pada

kelompok jenis Dipterocarpaceae. Teknik pembebasan sistematis memberikan respon nilai

riap bidang dasar periodik yang lebih besar dibandingkan pembebasan berbasis pohon

binaan maupun kondisi tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara

teknik pembukaan ruang tumbuh terhadap respon riap tegakan periodik untuk kelompok

jenis Dipterocarpaceae lebih terlihat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

Perhitungan nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae diklasifikasikan dalam

penyusun utama yang dibagi dalam kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non

Shorea (Tabel 22-23). Berdasarkan hasil perhitungan riap bidang dasar rataan dalam

kelompok jenis tersebut menunjukkan bahwa kelompok jenis Shorea spp. mempunyai

kontribusi yang lebih besar pada kondisi hutan setelah penebangan hingga 17 tahun

terhadap nilai riap bidang dasar tegakan Dipterocarpaceae, kecuali pada penebangan dengan

teknik konvensional. Begitu pula pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan, akan

Page 236: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

97

mempunyai nilai riap bidang dasar rataan tegakan Shorea spp. yang lebih besar dibandingkan

kelompok Dipterocarpaceae non Shorea. Karakteristik tegakan kelompok jenis Shorea spp. dan

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) bidang dasar yang

relatif sama besar (0.09-026 m2 ha-1 2th-1) yang ditunjukkan berdasarkan pada kondisi hutan

primer. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan terhadap tegakan baik berupa penebangan

maupun pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae. Sampai dengan

tingkat pembukaan atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan

riap tegakan.

Tabel 22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp.

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.06 0.14 0.13 0.16 0.25 0.18 0.18 0.19 0.44 0.34

SD 0.03 0.05 0.05 0.08 0.10 0.08 0.07 0.07 0.05 0.08

RIL60 Rataan 0.10 0.22 0.24 0.19 0.36 0.21 0.17 0.22 0.27 0.26

SD 0.05 0.08 0.11 0.07 0.15 0.08 0.11 0.08 0.09 0.09

CNV Rataan 0.05 0.18 0.22 0.20 0.35 0.21 0.25 0.24 0.42 0.39

SD 0.03 0.07 0.09 0.07 0.09 0.11 0.13 0.06 0.10 0.11

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.13 0.19 0.14 0.16 0.23 0.14 0.13 0.14 0.25 0.23

SD 0.05 0.05 0.05 0.06 0.06 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.26 0.54 0.86 0.38 0.69 0.55 0.61 0.59 0.61

SD 0.05 0.15 0.24 0.09 0.19 0.17 0.16 0.17 0.16

PPB Rataan 0.21 0.34 0.53 0.27 0.39 0.28 0.32 0.32 0.31

SD 0.10 0.12 0.21 0.12 0.14 0.09 0.09 0.09 0.11

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.20 0.18 0.35 0.14 0.23 0.21 0.23 0.24 0.21

SD 0.10 0.08 0.15 0.06 0.13 0.14 0.14 0.14 0.13

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Tinjauan karakteristik riap bidang dasar tegakan periodik Dipterocarpaceae dibagi

dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea. Kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang cenderung lebih kecil

dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap bidang dasar rataan

yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Respon peningkatan

nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan akan mulai menurun

pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non

Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan dan setelah

pembebasan.

Page 237: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

97

mempunyai nilai riap bidang dasar rataan tegakan Shorea spp. yang lebih besar dibandingkan

kelompok Dipterocarpaceae non Shorea. Karakteristik tegakan kelompok jenis Shorea spp. dan

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai kecepatan pertumbuhan (riap) bidang dasar yang

relatif sama besar (0.09-026 m2 ha-1 2th-1) yang ditunjukkan berdasarkan pada kondisi hutan

primer. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan terhadap tegakan baik berupa penebangan

maupun pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae. Sampai dengan

tingkat pembukaan atau pemberian ruang tumbuh akan menghasilkan respon peningkatan

riap tegakan.

Tabel 22. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Shorea spp.

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.06 0.14 0.13 0.16 0.25 0.18 0.18 0.19 0.44 0.34

SD 0.03 0.05 0.05 0.08 0.10 0.08 0.07 0.07 0.05 0.08

RIL60 Rataan 0.10 0.22 0.24 0.19 0.36 0.21 0.17 0.22 0.27 0.26

SD 0.05 0.08 0.11 0.07 0.15 0.08 0.11 0.08 0.09 0.09

CNV Rataan 0.05 0.18 0.22 0.20 0.35 0.21 0.25 0.24 0.42 0.39

SD 0.03 0.07 0.09 0.07 0.09 0.11 0.13 0.06 0.10 0.11

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.13 0.19 0.14 0.16 0.23 0.14 0.13 0.14 0.25 0.23

SD 0.05 0.05 0.05 0.06 0.06 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.26 0.54 0.86 0.38 0.69 0.55 0.61 0.59 0.61

SD 0.05 0.15 0.24 0.09 0.19 0.17 0.16 0.17 0.16

PPB Rataan 0.21 0.34 0.53 0.27 0.39 0.28 0.32 0.32 0.31

SD 0.10 0.12 0.21 0.12 0.14 0.09 0.09 0.09 0.11

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.20 0.18 0.35 0.14 0.23 0.21 0.23 0.24 0.21

SD 0.10 0.08 0.15 0.06 0.13 0.14 0.14 0.14 0.13

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Tinjauan karakteristik riap bidang dasar tegakan periodik Dipterocarpaceae dibagi

dalam 2 kelompok jenis Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea. Kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai nilai riap diameter rataan yang cenderung lebih kecil

dibandingkan Shorea spp. Kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap bidang dasar rataan

yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Respon peningkatan

nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah penebangan dan akan mulai menurun

pada tahun ke-9 setelah penebangan. Sedangkan untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non

Shorea cenderung berfluktuasi sepanjang 23 tahun setelah penebangan dan setelah

pembebasan.

Page 238: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

98

Tabel 23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.08 0.19 0.19 0.18 0.28 0.19 0.12 0.19 0.22 0.19

SD 0.04 0.06 0.04 0.07 0.08 0.12 0.10 0.09 0.09 0.08

RIL60 Rataan 0.08 0.18 0.20 0.16 0.30 0.12 0.15 0.14 0.22 0.21

SD 0.05 0.10 0.11 0.06 0.16 0.03 0.07 0.09 0.20 0.21

CNV Rataan 0.05 0.18 0.18 0.17 0.27 0.15 0.18 0.16 0.29 0.28

SD 0.02 0.07 0.06 0.08 0.11 0.07 0.08 0.07 0.11 0.11

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.09 0.13 0.11 0.14 0.21 0.12 0.09 0.13 0.26 0.26

SD 0.04 0.05 0.04 0.06 0.09 0.05 0.05 0.05 0.11 0.11

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.09 0.17 0.29 0.20 0.28 0.25 0.32 0.29 0.27

SD 0.05 0.11 0.18 0.09 0.14 0.16 0.30 0.16 0.11

PPB Rataan 0.13 0.23 0.37 0.24 0.32 0.24 0.23 0.23 0.23

SD 0.08 0.14 0.21 0.13 0.21 0.15 0.13 0.14 0.13

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.14 0.14 0.22 0.12 0.17 0.14 0.16 0.16 0.15

SD 0.08 0.07 0.09 0.07 0.11 0.10 0.11 0.11 0.10

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Karakteristik riap tegakan periodik kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap

bidang dasar periodik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan bekas

tebangan tanpa perlakuan. Setelah pembebasan kelompok jenis Shorea spp mempunyai nilai

riap bidang dasar yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae non Shorea spp.

Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa respon pembebasan akan lebih terlihat pada

kelompok jenis Shorea jika dibandingkan dengan kondisi tegakan bekas tebangan tanpa

perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah

pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tetapi setelah tahun

ke-7 terjadi peningkatan nilai riap kembali hingga tahun ke-13.

Riap bidang dasar tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan, tetapi tidak

selalu intensitas penebangan yang tinggi akan menghasilkan riap tegakan yang besar. Riap

bidang dasar tegakan rataan pada 19 tahun setelah penebangan pada hutan subtropics yang

memiliki keragaman menyerupai hutan tropis adalah 0.48 ± 0.17 m2 ha-1 th-1 (Smith dan

Nichols 2005), memiliki nilai riap bidang dasar tegakan hutan Dipterocarpaceae setelah

penebangan.

Page 239: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

98

Tabel 23. Riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) plot STREK untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea

Perlakuan HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

(m2 ha-1 2th-1)

RIL50 Rataan 0.08 0.19 0.19 0.18 0.28 0.19 0.12 0.19 0.22 0.19

SD 0.04 0.06 0.04 0.07 0.08 0.12 0.10 0.09 0.09 0.08

RIL60 Rataan 0.08 0.18 0.20 0.16 0.30 0.12 0.15 0.14 0.22 0.21

SD 0.05 0.10 0.11 0.06 0.16 0.03 0.07 0.09 0.20 0.21

CNV Rataan 0.05 0.18 0.18 0.17 0.27 0.15 0.18 0.16 0.29 0.28

SD 0.02 0.07 0.06 0.08 0.11 0.07 0.08 0.07 0.11 0.11

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.09 0.13 0.11 0.14 0.21 0.12 0.09 0.13 0.26 0.26

SD 0.04 0.05 0.04 0.06 0.09 0.05 0.05 0.05 0.11 0.11

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.09 0.17 0.29 0.20 0.28 0.25 0.32 0.29 0.27

SD 0.05 0.11 0.18 0.09 0.14 0.16 0.30 0.16 0.11

PPB Rataan 0.13 0.23 0.37 0.24 0.32 0.24 0.23 0.23 0.23

SD 0.08 0.14 0.21 0.13 0.21 0.15 0.13 0.14 0.13

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.14 0.14 0.22 0.12 0.17 0.14 0.16 0.16 0.15

SD 0.08 0.07 0.09 0.07 0.11 0.10 0.11 0.11 0.10

Keterangan : HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; P = Pembebasan; SD = Standar deviasi

Karakteristik riap tegakan periodik kedua kelompok jenis ini memiliki nilai riap

bidang dasar periodik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan bekas

tebangan tanpa perlakuan. Setelah pembebasan kelompok jenis Shorea spp mempunyai nilai

riap bidang dasar yang lebih besar dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae non Shorea spp.

Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa respon pembebasan akan lebih terlihat pada

kelompok jenis Shorea jika dibandingkan dengan kondisi tegakan bekas tebangan tanpa

perlakuan. Respon peningkatan nilai riap Shorea spp terjadi pada tahun ke-3 setelah

pembebasan dan mulai menurun pada tahun ke-5 setelah pembebasan, tetapi setelah tahun

ke-7 terjadi peningkatan nilai riap kembali hingga tahun ke-13.

Riap bidang dasar tegakan berkorelasi dengan intensitas penebangan, tetapi tidak

selalu intensitas penebangan yang tinggi akan menghasilkan riap tegakan yang besar. Riap

bidang dasar tegakan rataan pada 19 tahun setelah penebangan pada hutan subtropics yang

memiliki keragaman menyerupai hutan tropis adalah 0.48 ± 0.17 m2 ha-1 th-1 (Smith dan

Nichols 2005), memiliki nilai riap bidang dasar tegakan hutan Dipterocarpaceae setelah

penebangan.

Page 240: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

99

Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis

berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya

dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi

keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,

hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch

et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs

(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang

sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,

kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan

individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai

status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005).

7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap individu diameter periodik untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua

jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(3,32;0.05) =

2.9011), sedangkan kelompok jenis Shorea spp mempunyai hasil yang berbeda sangat

signifikan dengan taraf 99% (Fhit > Ftabel(3,32;0.01) = 4.4954). Sedangkan perbedaan antar teknik

penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata

terhadap terhadap riap individu diameter periodik untuk semua kelompok jenis

(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis),

yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) =

3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik

penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter

periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas

tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap

diameter periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih berdasarkan

nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-

masing kelompok jenis (Tabel 24) dengan bentuk hubungan disajikan pada Gambar 47.

Page 241: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

99

Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis

berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya

dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi

keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,

hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch

et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs

(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang

sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,

kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan

individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai

status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005).

7.3. Korelasi Jangka Waktu Pemulihan terhadap Riap Individu dan Tegakan

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap individu diameter periodik untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua

jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(3,32;0.05) =

2.9011), sedangkan kelompok jenis Shorea spp mempunyai hasil yang berbeda sangat

signifikan dengan taraf 99% (Fhit > Ftabel(3,32;0.01) = 4.4954). Sedangkan perbedaan antar teknik

penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata

terhadap terhadap riap individu diameter periodik untuk semua kelompok jenis

(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis),

yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) =

3.4028). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik

penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter

periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas

tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap

diameter periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih berdasarkan

nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-

masing kelompok jenis (Tabel 24) dengan bentuk hubungan disajikan pada Gambar 47.

Page 242: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

100

Tabel 24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HBT y = 0.0007x3 - 0.0253x2 + 0.2667x + 0.3749 0.4126 0.3143 0.01

HP y = 1E-04x3 - 0.0029x2 + 0.0397x + 0.4692 0.3885 0.2107 0.04

S HBT y = 0.0008x3 - 0.0313x2 + 0.3355x + 0.4055 0.3577 0.4131 0.02

HP y = 0.0001x3 - 0.0037x2 + 0.0484x + 0.5648 0.3405 0.2600 0.02

D-s HBT y = 0.0005x3 - 0.0181x2 + 0.1899x + 0.3575 0.425 0.2599 0.02

HP y = 9E-05x3 - 0.0024x2 + 0.0327x + 0.3729 0.4006 0.1828 0.03

nD HBT y = 0.0007x3 - 0.0262x2 + 0.2755x + 0.0628 0.4014 0.2716 0.01

HP y = 8E-05x3 - 0.0017x2 + 0.0168x + 0.3087 0.3316 0.1419 0.03

SJ HBT y = 0.0006x3 - 0.0247x2 + 0.2637x + 0.2804 0.4157 0.2919 0.01

HP y = 4E-05x3 - 0.0013x2 + 0.0246x + 0.4217 0.3839 0.1837 0.01

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)

Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter

periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p d

iam

eter

per

iodik

(cm

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(a)

Page 243: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

100

Tabel 24. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HBT y = 0.0007x3 - 0.0253x2 + 0.2667x + 0.3749 0.4126 0.3143 0.01

HP y = 1E-04x3 - 0.0029x2 + 0.0397x + 0.4692 0.3885 0.2107 0.04

S HBT y = 0.0008x3 - 0.0313x2 + 0.3355x + 0.4055 0.3577 0.4131 0.02

HP y = 0.0001x3 - 0.0037x2 + 0.0484x + 0.5648 0.3405 0.2600 0.02

D-s HBT y = 0.0005x3 - 0.0181x2 + 0.1899x + 0.3575 0.425 0.2599 0.02

HP y = 9E-05x3 - 0.0024x2 + 0.0327x + 0.3729 0.4006 0.1828 0.03

nD HBT y = 0.0007x3 - 0.0262x2 + 0.2755x + 0.0628 0.4014 0.2716 0.01

HP y = 8E-05x3 - 0.0017x2 + 0.0168x + 0.3087 0.3316 0.1419 0.03

SJ HBT y = 0.0006x3 - 0.0247x2 + 0.2637x + 0.2804 0.4157 0.2919 0.01

HP y = 4E-05x3 - 0.0013x2 + 0.0246x + 0.4217 0.3839 0.1837 0.01

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)

Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter

periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p d

iam

eter

per

iodik

(cm

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(a)

Page 244: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

101

Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter

periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk

semua kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non

Dipterocarpaceae dan semua jenis menunjukkan hasil yang tidak signifikan berbeda pada

dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(3,32;0.05) = 2.9011). Begitu pula perbedaan antar teknik

penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata

terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk semua kelompok jenis

(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)

dengan hasil tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028).

Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik

penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter

periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas

tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap bidang

dasar tegakan periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih

berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah

untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 25 dan Gambar 48).

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p d

iam

eter

per

iod

ik (

cm 2

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(b)

Page 245: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

101

Gambar 47. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap diameter

periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan dengan hutan primer terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk

semua kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea, non

Dipterocarpaceae dan semua jenis menunjukkan hasil yang tidak signifikan berbeda pada

dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(3,32;0.05) = 2.9011). Begitu pula perbedaan antar teknik

penebangan RIL 50, RIL 60 dan konvensional tidak memberikan hubungan yang nyata

terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan periodik untuk semua kelompok jenis

(Dipterocarpaceae, Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis)

dengan hasil tidak signifikan pada dengan taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,24;0.05) = 3.4028).

Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan bahwa perbedaan teknik

penebangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap riap individu diameter

periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas

tebangan. Penilaian hubungan jangka waktu setelah penebangan terhadap nilai riap bidang

dasar tegakan periodik dilakukan analisis regresi dengan bentuk persamaan terpilih

berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah

untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 25 dan Gambar 48).

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p d

iam

eter

per

iod

ik (

cm 2

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(b)

Page 246: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

102

Tabel 25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HBT y = 0.0007x3 - 0.0209x2 + 0.1769x - 0.0197 0.4475 0.1266 0.42

HP y = 0.0005x3 - 0.0134x2 + 0.0991x + 0.1102 0.3844 0.0929 0.84

S HBT y = 0.0004x3 - 0.0111x2 + 0.0941x - 0.0185 0.4698 0.0762 0.35

HP y = 0.0002x3 - 0.0064x2 + 0.0468x + 0.082 0.3169 0.0449 0.61

D-s HBT y = 0.0003x3 - 0.0098x2 + 0.0828x - 0.0012 0.2675 0.0746 0.47

HP y = 0.0003x3 - 0.007x2 + 0.0523x + 0.0283 0.3836 0.0555 0.94

nD HBT y = 0.001x3 - 0.0333x2 + 0.3208x - 0.1367 0.3590 0.2769 0.05

HP y = 0.0008x3 - 0.0207x2 + 0.1431x + 0.1322 0.4531 0.1449 0.44

SJ HBT y = 0.0018x3 - 0.0546x2 + 0.5006x - 0.1604 0.4544 0.3434 0.12

HP y = 0.0014x3 - 0.0341x2 + 0.2422x + 0.2424 0.4971 0.2055 0.41

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)

Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar

periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g das

ar p

erio

dik

(m

2 h

a-12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(a)

Page 247: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

102

Tabel 25. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar tegakan periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HBT y = 0.0007x3 - 0.0209x2 + 0.1769x - 0.0197 0.4475 0.1266 0.42

HP y = 0.0005x3 - 0.0134x2 + 0.0991x + 0.1102 0.3844 0.0929 0.84

S HBT y = 0.0004x3 - 0.0111x2 + 0.0941x - 0.0185 0.4698 0.0762 0.35

HP y = 0.0002x3 - 0.0064x2 + 0.0468x + 0.082 0.3169 0.0449 0.61

D-s HBT y = 0.0003x3 - 0.0098x2 + 0.0828x - 0.0012 0.2675 0.0746 0.47

HP y = 0.0003x3 - 0.007x2 + 0.0523x + 0.0283 0.3836 0.0555 0.94

nD HBT y = 0.001x3 - 0.0333x2 + 0.3208x - 0.1367 0.3590 0.2769 0.05

HP y = 0.0008x3 - 0.0207x2 + 0.1431x + 0.1322 0.4531 0.1449 0.44

SJ HBT y = 0.0018x3 - 0.0546x2 + 0.5006x - 0.1604 0.4544 0.3434 0.12

HP y = 0.0014x3 - 0.0341x2 + 0.2422x + 0.2424 0.4971 0.2055 0.41

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)

Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar

periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g das

ar p

erio

dik

(m

2 h

a-12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(a)

Page 248: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

103

Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar

periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap diameter

periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea dan

semua jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit >

Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546), sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae tidak berbeda pada

taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546). Sedangkan perbedaan antar teknik pembebasan

sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan tidak mempunyai hubungan yang nyata

terhadap terhadap riap diameter periodik untuk semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae,

Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada dengan taraf

95% (Fhit < Ftabel(1,12;0.05) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

riap individu diameter periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi teknik pembebasan

dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.

Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap diameter periodik

dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi terpilih berdasarkan nilai

koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-

masing kelompok jenis (Tabel 26).

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g d

asar

per

iod

ik (

m2 h

a-12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(b)

Page 249: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

103

Gambar 48. Hubungan antara jangka waktu setelah penebangan dengan riap bidang dasar

periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan bekas tebangan dan (b) hutan primer (Lanjutan)

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap diameter

periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, Shorea spp., Dipterocarpaceae non Shorea dan

semua jenis menunjukkan hasil yang signifikan berbeda pada dengan taraf 95% (Fhit >

Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546), sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae tidak berbeda pada

taraf 95% (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) = 3.5546). Sedangkan perbedaan antar teknik pembebasan

sistematis dan pembebasan berbasis pohon binaan tidak mempunyai hubungan yang nyata

terhadap terhadap riap diameter periodik untuk semua kelompok jenis (Dipterocarpaceae,

Shorea, Dipterocarpaceae non Shorea, non Dipterocarpaceae dan semua jenis) pada dengan taraf

95% (Fhit < Ftabel(1,12;0.05) = 4.7472). Berdasarkan hasil analisis varians tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan teknik pembebasan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

riap individu diameter periodik, sehingga dalam analisis regresi variasi teknik pembebasan

dikelompokkan menjadi satu kondisi tegakan hutan bekas tebangan setelah pembebasan.

Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap diameter periodik

dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi terpilih berdasarkan nilai

koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error terendah untuk masing-

masing kelompok jenis (Tabel 26).

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g d

asar

per

iod

ik (

m2 h

a-12th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(b)

Page 250: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

104

Tabel 26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HSP y = 0.0007x3 - 0.0261x2 + 0.277x + 0.7274 0.3015 0.4394 0.03

CTR y = 0.0002x3 - 0.0141x2 + 0.3246x - 1.2502 0.182 0.2973 0.13

S HSP y = 0.0008x3 - 0.0316x2 + 0.3278x + 0.901 0.306 0.5078 0.04

CTR y = 0.0002x3 - 0.0157x2 + 0.3756x - 1.5066 0.2072 0.4144 0.01

D-s HSP y = 0.0006x3 - 0.025x2 + 0.2594x + 0.5052 0.2589 0.4097 0.03

CTR y = 0.0001x3 - 0.0104x2 + 0.2286x - 0.7089 0.1466 0.1969 0.19

nD HSP y = 0.0005x3 - 0.0197x2 + 0.1843x + 0.4689 0.4991 0.2015 0.04

CTR y = 0.0002x3 - 0.0159x2 + 0.315x - 1.2696 0.6483 0.2295 0.03

SJ HSP y = 0.0007x3 - 0.0264x2 + 0.2643x + 0.6171 0.3406 0.3541 0.04

CTR y = 9E-05x3 - 0.0065x2 + 0.1522x - 0.2027 0.1201 0.2645 0.16

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap bidang

dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Shorea spp. menunjukkan

hasil yang berbeda pada taraf 99% (Fhit > Ftabel(2,18;0.01) = 6.0129), sedangkan kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea dan semua jenis berbeda pada taraf 95% (Fhit > Ftabel(2,18;0.05) =

3.5546). Sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae perbedaan kondisi tersebut tidak

berbeda signifikan terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) =

3.5546). Perbedaan antar teknik pembebasan sistematis dan pembebasan berbasis pohon

binaan mempunyai hubungan yang nyata terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan

periodik hanya untuk kelompok jenis Shorea spp. dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(1,12;0.05) =

4.7472). Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap bidang

dasar tegakan periodik dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi

terpilih berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error

terendah untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 27).

Page 251: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

104

Tabel 26. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok Jenis

Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HSP y = 0.0007x3 - 0.0261x2 + 0.277x + 0.7274 0.3015 0.4394 0.03

CTR y = 0.0002x3 - 0.0141x2 + 0.3246x - 1.2502 0.182 0.2973 0.13

S HSP y = 0.0008x3 - 0.0316x2 + 0.3278x + 0.901 0.306 0.5078 0.04

CTR y = 0.0002x3 - 0.0157x2 + 0.3756x - 1.5066 0.2072 0.4144 0.01

D-s HSP y = 0.0006x3 - 0.025x2 + 0.2594x + 0.5052 0.2589 0.4097 0.03

CTR y = 0.0001x3 - 0.0104x2 + 0.2286x - 0.7089 0.1466 0.1969 0.19

nD HSP y = 0.0005x3 - 0.0197x2 + 0.1843x + 0.4689 0.4991 0.2015 0.04

CTR y = 0.0002x3 - 0.0159x2 + 0.315x - 1.2696 0.6483 0.2295 0.03

SJ HSP y = 0.0007x3 - 0.0264x2 + 0.2643x + 0.6171 0.3406 0.3541 0.04

CTR y = 9E-05x3 - 0.0065x2 + 0.1522x - 0.2027 0.1201 0.2645 0.16

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap diameter periodik (cm 2th-1)

Berdasarkan analisis varians (anova) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi hutan

bekas tebangan setelah pembebasan dengan kondisi tanpa perlakuan terhadap riap bidang

dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Shorea spp. menunjukkan

hasil yang berbeda pada taraf 99% (Fhit > Ftabel(2,18;0.01) = 6.0129), sedangkan kelompok jenis

Dipterocarpaceae non Shorea dan semua jenis berbeda pada taraf 95% (Fhit > Ftabel(2,18;0.05) =

3.5546). Sedangkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae perbedaan kondisi tersebut tidak

berbeda signifikan terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik (Fhit < Ftabel(2,18;0.05) =

3.5546). Perbedaan antar teknik pembebasan sistematis dan pembebasan berbasis pohon

binaan mempunyai hubungan yang nyata terhadap terhadap riap bidang dasar tegakan

periodik hanya untuk kelompok jenis Shorea spp. dengan taraf 95% (Fhit > Ftabel(1,12;0.05) =

4.7472). Penilaian hubungan jangka waktu setelah pembebasan terhadap nilai riap bidang

dasar tegakan periodik dilakukan berdasarkan analisis regresi. Bentuk persamaan regresi

terpilih berdasarkan nilai koefisien korelasi dan determinasi tertinggi serta standar error

terendah untuk masing-masing kelompok jenis (Tabel 27).

Page 252: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

105

Tabel 27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok

Jenis Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HSP y = 0.002x3 - 0.0483x2 + 0.3495x + 0.0387 0.2913 0.2512 0.03

CTR y = 0.0007x3 - 0.0148x2 + 0.0927x + 0.2408 0.0304 0.2157 013

S HSP y = 0.0014x3 - 0.0347x2 + 0.2421x + 0.0268 0.2424 0.1817 0.00

CTR y = 0.0005x3 - 0.0104x2 + 0.0635x + 0.1287 0.0351 0.1374 0.02

D-s HSP y = 0.0005x3 - 0.0136x2 + 0.1074x + 0.012 0.2223 0.1153 0.03

CTR y = 0.0002x3 - 0.0045x2 + 0.0292x + 0.1121 0.0238 0.0798 0.04

nD HSP y = 0.0021x3 - 0.0499x2 + 0.351x + 0.2967 0.2511 0.2599 0.05

CTR y = 0.0003x3 - 0.0134x2 + 0.123x + 0.4725 0.3181 0.2220 0.00

SJ HSP y = 0.004x3 - 0.0982x2 + 0.7006x + 0.3355 0.3325 0.4400 0.01

CTR y = 0.0009x3 - 0.0282x2 + 0.2157x + 0.7133 0.1498 0.4029 0.04

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)

Bentuk hubungan waktu setelah pembebasan pada tegakan hutan bekas tebangan

terhadap riap diameter periodik berdasarkan kelompok jenis tersebut disajikan pada

Gambar 49. Sedangkan hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap

bidang dasar periodik untuk masing-masing kelompok jenis pada variasi kondisi tersebut

disajikan pada Gambar 50.

Page 253: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

105

Tabel 27. Analisis regresi hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar tegakan (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ)

Kelompok

Jenis Kondisi Persamaan Regresi R2 SE Pvalue

D HSP y = 0.002x3 - 0.0483x2 + 0.3495x + 0.0387 0.2913 0.2512 0.03

CTR y = 0.0007x3 - 0.0148x2 + 0.0927x + 0.2408 0.0304 0.2157 013

S HSP y = 0.0014x3 - 0.0347x2 + 0.2421x + 0.0268 0.2424 0.1817 0.00

CTR y = 0.0005x3 - 0.0104x2 + 0.0635x + 0.1287 0.0351 0.1374 0.02

D-s HSP y = 0.0005x3 - 0.0136x2 + 0.1074x + 0.012 0.2223 0.1153 0.03

CTR y = 0.0002x3 - 0.0045x2 + 0.0292x + 0.1121 0.0238 0.0798 0.04

nD HSP y = 0.0021x3 - 0.0499x2 + 0.351x + 0.2967 0.2511 0.2599 0.05

CTR y = 0.0003x3 - 0.0134x2 + 0.123x + 0.4725 0.3181 0.2220 0.00

SJ HSP y = 0.004x3 - 0.0982x2 + 0.7006x + 0.3355 0.3325 0.4400 0.01

CTR y = 0.0009x3 - 0.0282x2 + 0.2157x + 0.7133 0.1498 0.4029 0.04

Keterangan: R2 = Koefisien determinasi; SE = Standar error; HBT = Hutan bekas tebangan; HP = Hutan primer; x = jangka waktu setelah penebangan; y = nilai riap bidang dasar periodik (m2 ha-1 2th-1)

Bentuk hubungan waktu setelah pembebasan pada tegakan hutan bekas tebangan

terhadap riap diameter periodik berdasarkan kelompok jenis tersebut disajikan pada

Gambar 49. Sedangkan hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap

bidang dasar periodik untuk masing-masing kelompok jenis pada variasi kondisi tersebut

disajikan pada Gambar 50.

Page 254: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

106

Gambar 49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter

periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p d

iam

eter

per

iod

ik (

cm 2

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Ria

p d

iam

eter

per

iodik

(cm

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S D-s nD SJ

(a)

(b)

Page 255: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

106

Gambar 49. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap diameter

periodik (cm 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p d

iam

eter

per

iod

ik (

cm 2

th-1

)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Ria

p d

iam

eter

per

iodik

(cm

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S D-s nD SJ

(a)

(b)

Page 256: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

107

Gambar 50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar

periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)

Pada kondisi tegakan hutan setelah penebangan, hubungan jangka waktu setelah

penebangan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter

periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g d

asar

per

iod

ik (

m2

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g das

ar p

erio

dik

(m

2ha-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(a)

(b)

Page 257: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

107

Gambar 50. Hubungan antara jangka waktu setelah pembebasan dengan riap bidang dasar

periodik (m2 ha-1 2th-1) untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (D), Shorea spp. (S), Dipterocarpaceae non Shorea (D-s), non Dipterocarpaceae (nD) dan semua jenis (SJ) pada kondisi (a) hutan setelah pembebasan dan (b) tanpa perlakuan (kontrol)

Pada kondisi tegakan hutan setelah penebangan, hubungan jangka waktu setelah

penebangan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter

periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g d

asar

per

iod

ik (

m2

ha-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

Ria

p b

idan

g das

ar p

erio

dik

(m

2ha-1

2th

-1)

Jangka waktu setelah tebangan (tahun)

D S Ds nD SJ

(a)

(b)

Page 258: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

108

non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Begitu pula dengan hubungan jangka waktu setelah

pembebasan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter

periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan

non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Pembukaan kanopi akibat penebangan ataupun kegiatan

pembebasan akan membentuk ruang tumbuh yang mendukung bagi pertumbuhan atau

meningkatkan laju riap baik secara individu maupun tegakan. Tingkat pembukaan yang

optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal (Gourlet-Fleury et al. 2005).

Penilaian secara kuantitatif riap individu dan riap tegakan dengan variasi kondisi

tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah

pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap

kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda

dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi

kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004). Respon

yang berbeda dari jenis atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik

penilaian kuantitatif dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman

jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Dengan tersedianya kurva

estimasi bagi variable input dalam model pertumbuhan sebagai perangkat kuantitatif dalam

perencanaan hutan yang baik (Vanclay 1989). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka

panjang juga bermanfaat evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai updating

inventarisasi hutan (Garcia 2001). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis

penyusun tegakan merupakan hal penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon

berdasarkan ekologi dan pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).

Dalam penentuan riap individu dan tegakan hutan setelah penebangan secara

periodik, beberapa simpulan yang diperoleh adalah:

1) Dimensi riap diameter individu periodik kelompok jenis Dipterocarpaceae lebih tinggi

dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan

kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea spp., tetapi total riap bidang dasar

tegakan periodik lebih besar untuk non Dipterocarpaceae.

2) Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun

pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang

meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan.

3) Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan hutan primer mempunyai hubungan dengan

nilai riap individu diameter periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non

Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan yang nyata terhadap nilai riap bidang

dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis tersebut.

4) Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak mempunyai

perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar tegakan

Page 259: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

108

non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Begitu pula dengan hubungan jangka waktu setelah

pembebasan mempunyai hubungan yang kurang dari 50% terhadap nilai riap diameter

periodik maupun riap bidang dasar tegakan untuk semua kelompok jenis Dipterocarpaceae dan

non Dipterocarpaceae dalam tegakan. Pembukaan kanopi akibat penebangan ataupun kegiatan

pembebasan akan membentuk ruang tumbuh yang mendukung bagi pertumbuhan atau

meningkatkan laju riap baik secara individu maupun tegakan. Tingkat pembukaan yang

optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal (Gourlet-Fleury et al. 2005).

Penilaian secara kuantitatif riap individu dan riap tegakan dengan variasi kondisi

tegakan hutan setelah penebangan dengan teknik yang berbeda maupun setelah

pembebasan dengan teknik yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap

kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang berbeda

dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi

kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al. 2004). Respon

yang berbeda dari jenis atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik

penilaian kuantitatif dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman

jenis penyusun tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Dengan tersedianya kurva

estimasi bagi variable input dalam model pertumbuhan sebagai perangkat kuantitatif dalam

perencanaan hutan yang baik (Vanclay 1989). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka

panjang juga bermanfaat evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai updating

inventarisasi hutan (Garcia 2001). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis

penyusun tegakan merupakan hal penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon

berdasarkan ekologi dan pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).

Dalam penentuan riap individu dan tegakan hutan setelah penebangan secara

periodik, beberapa simpulan yang diperoleh adalah:

1) Dimensi riap diameter individu periodik kelompok jenis Dipterocarpaceae lebih tinggi

dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan dengan

kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea spp., tetapi total riap bidang dasar

tegakan periodik lebih besar untuk non Dipterocarpaceae.

2) Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun

pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang

meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan.

3) Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan hutan primer mempunyai hubungan dengan

nilai riap individu diameter periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non

Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan yang nyata terhadap nilai riap bidang

dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis tersebut.

4) Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak mempunyai

perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar tegakan

Page 260: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

109

periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun non

Dipterocarpaceae)

5) Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan akan mempunyai perbedaan yang nyata

terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang dasar tegakan

periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non Shorea dan

Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

6) Teknik pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh

kelompok jenis Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik

dibandingkan kelompok jenis lainnya.

7) Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon riap individu

tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah penebangan

maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi dinamis

tegakan.

Page 261: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

109

periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun non

Dipterocarpaceae)

5) Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan akan mempunyai perbedaan yang nyata

terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang dasar tegakan

periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non Shorea dan

Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae.

6) Teknik pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh

kelompok jenis Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik

dibandingkan kelompok jenis lainnya.

7) Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon riap individu

tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah penebangan

maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi dinamis

tegakan.

Page 262: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 8DIMENSI KUANTITATIF

EKOLOGI TEGAKAN

Page 263: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 8DIMENSI KUANTITATIF

EKOLOGI TEGAKAN

Page 264: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

110

8. DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN

Hutan Dipterocarpaceae merupakan tegakan hutan yang didominasi oleh famili

Dipterocarpaceae (Ashton 1982), penyebarannya di Indonesia berada di hutan-hutan

tropika basah di Sumatera dan Kalimantan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Kalimantan

merupakan pusat terkaya dari keanekaragaman Dipterocarpaceae di dunia dengan 267

species dalam 9 genera, sedangkan di Sumatera terdapat 72 species dengan konsentrasi

species terdapat di antara ketinggian 300-400 m dari permukaan laut (Indrawan 2002).

Tegakan hutan dalam suatu areal umumnya memiliki beberapa karakteristik atau kombinasi

karakteristik dari sejarah kondisi, komposisi jenis penyusun tegakan dan dimensinya yang

dapat dibedakan dari kelompok tegakan hutan lain (Husch et al. 2003). Populasi tegakan

dan perilakunya merupakan proses pada tingkat individu pohon dan tegakan yang

membangun bentuk ekologinya (Krebs 2006). Dalam pengelolaan hutan hujan tropika

memiliki pertimbangan yang menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan

ekologis yang beragam (Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Variasi karakteristik tegakan

akan menjadi kebutuhan dalam penyediaan kebutuhan pengetahuan dalam pengelolaan

hutan.

Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan

hutan. Tinjauan ragam kondisi pada hutan bekas tebangan menunjukkan adanya perbedaan

struktur dan komposisi jenis serta nilai potensi hutan dibandingkan pada kondisi hutan

primer (Ishida et al. 2005). Tingkat Keanekaragaman jenis pohon hutan-hujan akan

bervariasi secara regional berdasarkan kondisi site hutan (Fedorov 1966 diacu dalam Ipor et

al. 1999). Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan

dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Hal ini menunjukkan

kebutuhan akan metode pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek kelestarian

produksi maupun aspek konservasi menjadi sangat penting.

Inventarisasi keanekaragamanhayati hutan tropis umumnya dipandang sebagai

individu jenis pohon berdasarkan life-forms, sehingga keanekaragaman jenis pohon

merupakan aspek penting dalam keragaman ekosistem dan nilai total keanekaragamanhayati

hutan tropis. Jumlah jenis dalam satuan luas yang menunjukkan kekayan jenis untuk dataran

rendah pada hutan Dipterocarpaceae dibatasi oleh ukuran sampling. Perhitungan

keragaman jenis dalam skala regional masih merupakan tantangan karena kesulitan dalam

pengukuran kelimpahan dan distribusi jenis, sehingga inventarisasi floristik dan studi

dinamika hutan umumnya dilakukan pada plot sampling. Penilaian kuantitatif sampling

floristik dalam inventarisasi keragaman jenis pohon terutama mencakup jumlah, ukuran

atau dimensi dan bentuk plot sampling yang memberikan dasar kondisi floristik yang sangat

penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan Parthasarathy 2006).

Page 265: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

110

8. DIMENSI KUANTITATIF EKOLOGI TEGAKAN

Hutan Dipterocarpaceae merupakan tegakan hutan yang didominasi oleh famili

Dipterocarpaceae (Ashton 1982), penyebarannya di Indonesia berada di hutan-hutan

tropika basah di Sumatera dan Kalimantan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Kalimantan

merupakan pusat terkaya dari keanekaragaman Dipterocarpaceae di dunia dengan 267

species dalam 9 genera, sedangkan di Sumatera terdapat 72 species dengan konsentrasi

species terdapat di antara ketinggian 300-400 m dari permukaan laut (Indrawan 2002).

Tegakan hutan dalam suatu areal umumnya memiliki beberapa karakteristik atau kombinasi

karakteristik dari sejarah kondisi, komposisi jenis penyusun tegakan dan dimensinya yang

dapat dibedakan dari kelompok tegakan hutan lain (Husch et al. 2003). Populasi tegakan

dan perilakunya merupakan proses pada tingkat individu pohon dan tegakan yang

membangun bentuk ekologinya (Krebs 2006). Dalam pengelolaan hutan hujan tropika

memiliki pertimbangan yang menyangkut segi teknis, produksi, ekonomi dan keseimbangan

ekologis yang beragam (Baker et al. 1987; Whitmore 1990). Variasi karakteristik tegakan

akan menjadi kebutuhan dalam penyediaan kebutuhan pengetahuan dalam pengelolaan

hutan.

Kegiatan penebangan hutan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas tegakan

hutan. Tinjauan ragam kondisi pada hutan bekas tebangan menunjukkan adanya perbedaan

struktur dan komposisi jenis serta nilai potensi hutan dibandingkan pada kondisi hutan

primer (Ishida et al. 2005). Tingkat Keanekaragaman jenis pohon hutan-hujan akan

bervariasi secara regional berdasarkan kondisi site hutan (Fedorov 1966 diacu dalam Ipor et

al. 1999). Pengelolaan hutan hujan tropika yang sangat beragam memerlukan pengetahuan

dan keahlian tentang karakteristik dan dinamika tegakan hutan. Hal ini menunjukkan

kebutuhan akan metode pengaturan hasil yang mempertimbangkan aspek kelestarian

produksi maupun aspek konservasi menjadi sangat penting.

Inventarisasi keanekaragamanhayati hutan tropis umumnya dipandang sebagai

individu jenis pohon berdasarkan life-forms, sehingga keanekaragaman jenis pohon

merupakan aspek penting dalam keragaman ekosistem dan nilai total keanekaragamanhayati

hutan tropis. Jumlah jenis dalam satuan luas yang menunjukkan kekayan jenis untuk dataran

rendah pada hutan Dipterocarpaceae dibatasi oleh ukuran sampling. Perhitungan

keragaman jenis dalam skala regional masih merupakan tantangan karena kesulitan dalam

pengukuran kelimpahan dan distribusi jenis, sehingga inventarisasi floristik dan studi

dinamika hutan umumnya dilakukan pada plot sampling. Penilaian kuantitatif sampling

floristik dalam inventarisasi keragaman jenis pohon terutama mencakup jumlah, ukuran

atau dimensi dan bentuk plot sampling yang memberikan dasar kondisi floristik yang sangat

penting dalam konservasi dan manajemen hutan tropis (Mani dan Parthasarathy 2006).

Page 266: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

111

Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan kondisi tegakan

hutan atau risalah tegakan akan memberikan variasi karakteristik ekologi tegakan yang

mencakup tingkat keanekaragaman (Fedorov 1966 dalam Ipor et al. 1999; Ng et al. 2009),

kekayaan jenis (Bischoff et al. 2005; Sodhi et al. 2010) dan sebaran spasial jenis dalam

tegakan (Bunyavejchewin et al. 2003; Lee et al. 2006). Dengan kondisi hutan alam Indonesia

didominasi oleh hutan alam bekas tebangan (> 50%) dan adanya variasi kondisi hutan

Dipterocarpaceae yang bersifat spesifik, maka pengetahuan dimensi kuantitatif ekologis

tegakan menjadi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan dalam

pengelolaan hutan yang lestari. Ruang lingkup dimensi ekologis kuantitatif meliputi

karakteristik tegakan berdasarkan variasi kondisi hutan alam bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan runtun waktu

yang meliputi: nilai penting jenis, tingkat dominansi jenis, keanekaragaman, kelimpahan

jenis, kekayaan jenis, tingkat kemerataan, kesamaan tegakan dan pola sebaran spasial jenis

dalam tegakan.

8.1. Komposisi Jenis

Hasil identifikasi jenis yang dilakukan pada semua tegakan pohon dengan limit

diameter 10 cm pada plot STREK, mencakup 68 famili penyusun tegakan hutan (Tabel 28).

Tabel 28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK

Famili Famili Famili Famili

Actinidiaceae Dilleniaceae Moraceae Saxifragaceae

Alangiaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Simaroubaceae

Amonaceae Ebenaceae Myrsinaceae Sonneratiaceae

Anacardiaceae Elaeocarpaceae Myrtaceae Sterculiaceae

Annonaceae Euphorbiaceae Ochnaceae Symplocaceae

Apocynaceae Fagaceae Olacaceae Theaceae

Aquifoliaceae Flacourtiaceae Oleaceae Thymelaeaceae

Araucariaceae Clusiaceae Oxalidaceae Tiliaceae

Bignoniaceae Hypericaceae Polygalaceae Ulmaceae

Bombacaceae Icacinaceae Proteaceae Urticaceae

Burseraceae Juglandaceae Rhamnaceae Verbenaceae

Caesalpiniaceae Lauraceae Rhizophoraceae

Celastraceae Lecythidaceae Rosaceae

Chrysobalanaceae Fabaceae Rubiaceae

Combretaceae Loganiaceae Rutaceae

Connaraceae Lythraceae Sapindaceae

Convolvulaceae Magnoliaceae Sapotaceae

Crypteroniceae Melastomataceae Sapuidaceae

Datiscaceae Meliaceae Sarcotheca

Page 267: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

111

Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan kondisi tegakan

hutan atau risalah tegakan akan memberikan variasi karakteristik ekologi tegakan yang

mencakup tingkat keanekaragaman (Fedorov 1966 dalam Ipor et al. 1999; Ng et al. 2009),

kekayaan jenis (Bischoff et al. 2005; Sodhi et al. 2010) dan sebaran spasial jenis dalam

tegakan (Bunyavejchewin et al. 2003; Lee et al. 2006). Dengan kondisi hutan alam Indonesia

didominasi oleh hutan alam bekas tebangan (> 50%) dan adanya variasi kondisi hutan

Dipterocarpaceae yang bersifat spesifik, maka pengetahuan dimensi kuantitatif ekologis

tegakan menjadi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan dalam

pengelolaan hutan yang lestari. Ruang lingkup dimensi ekologis kuantitatif meliputi

karakteristik tegakan berdasarkan variasi kondisi hutan alam bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda berdasarkan runtun waktu

yang meliputi: nilai penting jenis, tingkat dominansi jenis, keanekaragaman, kelimpahan

jenis, kekayaan jenis, tingkat kemerataan, kesamaan tegakan dan pola sebaran spasial jenis

dalam tegakan.

8.1. Komposisi Jenis

Hasil identifikasi jenis yang dilakukan pada semua tegakan pohon dengan limit

diameter 10 cm pada plot STREK, mencakup 68 famili penyusun tegakan hutan (Tabel 28).

Tabel 28. Famili penyusun vegetasi tegakan hutan pada Plot STREK

Famili Famili Famili Famili

Actinidiaceae Dilleniaceae Moraceae Saxifragaceae

Alangiaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Simaroubaceae

Amonaceae Ebenaceae Myrsinaceae Sonneratiaceae

Anacardiaceae Elaeocarpaceae Myrtaceae Sterculiaceae

Annonaceae Euphorbiaceae Ochnaceae Symplocaceae

Apocynaceae Fagaceae Olacaceae Theaceae

Aquifoliaceae Flacourtiaceae Oleaceae Thymelaeaceae

Araucariaceae Clusiaceae Oxalidaceae Tiliaceae

Bignoniaceae Hypericaceae Polygalaceae Ulmaceae

Bombacaceae Icacinaceae Proteaceae Urticaceae

Burseraceae Juglandaceae Rhamnaceae Verbenaceae

Caesalpiniaceae Lauraceae Rhizophoraceae

Celastraceae Lecythidaceae Rosaceae

Chrysobalanaceae Fabaceae Rubiaceae

Combretaceae Loganiaceae Rutaceae

Connaraceae Lythraceae Sapindaceae

Convolvulaceae Magnoliaceae Sapotaceae

Crypteroniceae Melastomataceae Sapuidaceae

Datiscaceae Meliaceae Sarcotheca

Page 268: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

112

Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae hasil identifikasi jenis yang ditemukan

meliputi 8 genera yaitu Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea,

Shorea, Vatica dengan mencakup 92 jenis (Tabel 29). Dibandingkan dengan kondisi di dunia

yang mencakup 9 genera dengan 267 species (Indrawan 2002), hasil identifikasi pada plot

penelitian ini menunjukkan bahwa hutan Labanan merupakan sebagai salah satu hutan

Dipterocapaceae campuran yang memiliki keanekaragaman jenis dengan tingkat

keanekaragaman yang tinggi bahkan pada tingkat famili vegetasi penyusun tegakan hutan

alam.

Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK

No Jenis No Jenis

1 Anisoptera costata 36 Hopea sangal

2 Anisoptera laevis 37 Hopea semicuneata

3 Anisoptera sp 38 Hopea sp

4 Cotylelobium melanoxylon 39 Parashorea malaanonan

5 Cotylelobium sp 40 Parashorea smythiesii

6 Dipterocarpus acutangulus 41 Parashorea sp

7 Dipterocarpus caudiferus 42 Shorea agamii ssp agamii

8 Dipterocarpus confertus 43 Shorea almon

9 Dipterocarpus conformis 44 Shorea angustifolia

10 Dipterocarpus costulatus 45 Shorea atrinervosa

11 Dipterocarpus elongatus 46 Shorea beccariana

12 Dipterocarpus fusiformis 47 Shorea bentongenensis

13 Dipterocarpus glabrigemmatus 48 Shorea confusa

14 Dipterocarpus gracilis 49 Shorea exelliptica

15 Dipterocarpus grandiflorus 50 Shorea faguetiana

16 Dipterocarpus hasseltii 51 Shorea falciferoides

17 Dipterocarpus humeratus 52 Shorea fallax

18 Dipterocarpus mundus 53 Shorea guiso

19 Dipterocarpus pachyphyllus 54 Shorea hopeifolia

20 Dipterocarpus palembanica 55 Shorea inappendiculata

21 Dipterocarpus stellatus 56 Shorea johorensis

22 Dipterocarpus tempehes 57 Shorea laevis

23 Dipterocarpus verrucosus 58 Shorea lamellata

24 Dipterocarpus sp 59 Shorea leprosula

25 Dryobalanops beccarii 60 Shorea leptoderma

26 Dryobalanops lanceolata 61 Shorea longisperma

27 Dryobalanops sp 62 Shorea macrophylla

28 Hopea bracteata 63 Shorea macroptera

29 Hopea cernua 64 Shorea maxwelliana

30 Hopea dryobalanoides 65 Shorea mecistopteryx

Page 269: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

112

Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae hasil identifikasi jenis yang ditemukan

meliputi 8 genera yaitu Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea,

Shorea, Vatica dengan mencakup 92 jenis (Tabel 29). Dibandingkan dengan kondisi di dunia

yang mencakup 9 genera dengan 267 species (Indrawan 2002), hasil identifikasi pada plot

penelitian ini menunjukkan bahwa hutan Labanan merupakan sebagai salah satu hutan

Dipterocapaceae campuran yang memiliki keanekaragaman jenis dengan tingkat

keanekaragaman yang tinggi bahkan pada tingkat famili vegetasi penyusun tegakan hutan

alam.

Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK

No Jenis No Jenis

1 Anisoptera costata 36 Hopea sangal

2 Anisoptera laevis 37 Hopea semicuneata

3 Anisoptera sp 38 Hopea sp

4 Cotylelobium melanoxylon 39 Parashorea malaanonan

5 Cotylelobium sp 40 Parashorea smythiesii

6 Dipterocarpus acutangulus 41 Parashorea sp

7 Dipterocarpus caudiferus 42 Shorea agamii ssp agamii

8 Dipterocarpus confertus 43 Shorea almon

9 Dipterocarpus conformis 44 Shorea angustifolia

10 Dipterocarpus costulatus 45 Shorea atrinervosa

11 Dipterocarpus elongatus 46 Shorea beccariana

12 Dipterocarpus fusiformis 47 Shorea bentongenensis

13 Dipterocarpus glabrigemmatus 48 Shorea confusa

14 Dipterocarpus gracilis 49 Shorea exelliptica

15 Dipterocarpus grandiflorus 50 Shorea faguetiana

16 Dipterocarpus hasseltii 51 Shorea falciferoides

17 Dipterocarpus humeratus 52 Shorea fallax

18 Dipterocarpus mundus 53 Shorea guiso

19 Dipterocarpus pachyphyllus 54 Shorea hopeifolia

20 Dipterocarpus palembanica 55 Shorea inappendiculata

21 Dipterocarpus stellatus 56 Shorea johorensis

22 Dipterocarpus tempehes 57 Shorea laevis

23 Dipterocarpus verrucosus 58 Shorea lamellata

24 Dipterocarpus sp 59 Shorea leprosula

25 Dryobalanops beccarii 60 Shorea leptoderma

26 Dryobalanops lanceolata 61 Shorea longisperma

27 Dryobalanops sp 62 Shorea macrophylla

28 Hopea bracteata 63 Shorea macroptera

29 Hopea cernua 64 Shorea maxwelliana

30 Hopea dryobalanoides 65 Shorea mecistopteryx

Page 270: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

113

Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)

31 Hopea ferruginea 66 Shorea multiflora

32 Hopea mengarawan 67 Shorea ochracea

33 Hopea nervosa 68 Shorea ovalis ssp ovalis

34 Hopea pachycarpa 69 Shorea parvifolia

35 Hopea rudiformis 70 Shorea parvistipulata

71 Shorea patoiensis 82 Shorea sp

72 Shorea pauciflora 83 Vatica albiramis

73 Shorea pinanga 84 Vatica micrantha

74 Shorea scrobiculata 85 Vatica nitens

75 Shorea semicuneata 86 Vatica oblongifolia

76 Shorea seminis 87 Vatica odorata

77 Shorea smithiana 88 Vatica rassak

78 Shorea superba 89 Vatica sarawakensis

79 Shorea symingtonii 90 Vatica umbonata

80 Shorea virescens 91 Vatica vinosa

81 Shorea xanthophylla 92 Vatica sp

Rekapitulasi jumlah jenis pada setiap pengukuran untuk masing-masing kondisi

tegakan yang berbeda menunjukkan adanya perubahan kelimpahan jumlah jenis penyusun

tegakan hutan baik setelah penebangan maupun setelah pembebasan (Tabel 30).

Tabel 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan dan pembebasan

Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Jumlah jenis

RIL50 Rataan 140 134 133 144 149 152 153 154 158 159 159

SD 23 22 23 17 17 17 16 16 17 23 23

RIL60 Rataan 152 143 143 149 154 158 157 158 165 171 170

SD 15 13 11 11 13 12 11 11 12 2 3

CNV Rataan 125 116 118 128 134 136 137 138 142 143 143

SD 16 19 19 17 16 15 16 15 16 18 17

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 166 164 166 166 166 167 167 166 170 165 170

SD 15 14 15 15 14 14 14 13 12 9 12

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 95 100 106 121 129 127 128 125 126 127

SD 13 13 10 13 16 15 13 13 13 14

PPB Rataan 109 112 115 129 135 135 136 134 135 136

SD 12 13 15 16 17 18 18 18 17 17

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 115 115 116 126 128 128 128 125 125 128

SD 8 8 7 4 3 3 3 3 3 4

Page 271: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

113

Tabel 29. Jenis-jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)

31 Hopea ferruginea 66 Shorea multiflora

32 Hopea mengarawan 67 Shorea ochracea

33 Hopea nervosa 68 Shorea ovalis ssp ovalis

34 Hopea pachycarpa 69 Shorea parvifolia

35 Hopea rudiformis 70 Shorea parvistipulata

71 Shorea patoiensis 82 Shorea sp

72 Shorea pauciflora 83 Vatica albiramis

73 Shorea pinanga 84 Vatica micrantha

74 Shorea scrobiculata 85 Vatica nitens

75 Shorea semicuneata 86 Vatica oblongifolia

76 Shorea seminis 87 Vatica odorata

77 Shorea smithiana 88 Vatica rassak

78 Shorea superba 89 Vatica sarawakensis

79 Shorea symingtonii 90 Vatica umbonata

80 Shorea virescens 91 Vatica vinosa

81 Shorea xanthophylla 92 Vatica sp

Rekapitulasi jumlah jenis pada setiap pengukuran untuk masing-masing kondisi

tegakan yang berbeda menunjukkan adanya perubahan kelimpahan jumlah jenis penyusun

tegakan hutan baik setelah penebangan maupun setelah pembebasan (Tabel 30).

Tabel 30. Rekapitulasi jumlah jenis pada plot STREK setelah penebangan dan pembebasan

Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Jumlah jenis

RIL50 Rataan 140 134 133 144 149 152 153 154 158 159 159

SD 23 22 23 17 17 17 16 16 17 23 23

RIL60 Rataan 152 143 143 149 154 158 157 158 165 171 170

SD 15 13 11 11 13 12 11 11 12 2 3

CNV Rataan 125 116 118 128 134 136 137 138 142 143 143

SD 16 19 19 17 16 15 16 15 16 18 17

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 166 164 166 166 166 167 167 166 170 165 170

SD 15 14 15 15 14 14 14 13 12 9 12

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 95 100 106 121 129 127 128 125 126 127

SD 13 13 10 13 16 15 13 13 13 14

PPB Rataan 109 112 115 129 135 135 136 134 135 136

SD 12 13 15 16 17 18 18 18 17 17

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 115 115 116 126 128 128 128 125 125 128

SD 8 8 7 4 3 3 3 3 3 4

Page 272: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

114

Perubahan komposisi jenis penyusun tegakan pada hutan bekas tebangan akan

menurun hingga tahun ke-3, kemudian meningkat setelah tahun ke-5. Begitu pula yang

terjadi pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan. Perubahan jumlah jenis yang

terjadi karena penambahan detil jenis karena dilakukannya identifikasi lanjutan pada tingkat

genus menjadi tingkat species yang berbeda pada periode pengukuran setelah tahun 1997

memberikan pergeseran nama jenis kurang dari 5%.

8.2. Indeks Nilai Penting Jenis

Dominansi jenis komposisi penyusun tegakan berdasarkan Indek nilai penting (INP)

menggambarkan dominasi suatu jenis dalam suatu komunitas berdasarkan tingkat kerapatan,

frekuensi dan dominansinya (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perubahan dominansi jenis

pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda menunjukkan

pola perubahan yang berbeda. Dengan salah satu penciri jenis pioneer yaitu Macaranga sp,

dalam 10 jenis dominan penyusun tegakan maka teknik penebangan yang berbeda akan

mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan. Berdasarkan intensitas penebangan

terbesar tinggi yaitu teknik penebangan konvensional, Macaranga sp akan masih

mendominasi hingga pada tahun ke-23 sedangkan pada teknik RIL 50 pada tahun ke-5 dan

teknik RIL 60 dengan intensitas terendah akan didominasi jenis tersebut pada tahun ke-9.

Dari penelitian Bischoff et al. (2005) di Sabah Malaysia, hutan Dipterocarpaceae pada

jangka waktu 8-13 tahun setelah penebangan akan memiliki keanekaragaman jenis pohon

yang tersusun dari kelompok jenis-jenis pioner.

Rekapitulasi perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting

tertinggi disusun berdasarkan pada kondisi sebelum penebangan, tahun pertama setelah

penebangan dan 23 tahun setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda

disajikan pada Gambar 51-54.

Page 273: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

114

Perubahan komposisi jenis penyusun tegakan pada hutan bekas tebangan akan

menurun hingga tahun ke-3, kemudian meningkat setelah tahun ke-5. Begitu pula yang

terjadi pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan. Perubahan jumlah jenis yang

terjadi karena penambahan detil jenis karena dilakukannya identifikasi lanjutan pada tingkat

genus menjadi tingkat species yang berbeda pada periode pengukuran setelah tahun 1997

memberikan pergeseran nama jenis kurang dari 5%.

8.2. Indeks Nilai Penting Jenis

Dominansi jenis komposisi penyusun tegakan berdasarkan Indek nilai penting (INP)

menggambarkan dominasi suatu jenis dalam suatu komunitas berdasarkan tingkat kerapatan,

frekuensi dan dominansinya (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perubahan dominansi jenis

pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang berbeda menunjukkan

pola perubahan yang berbeda. Dengan salah satu penciri jenis pioneer yaitu Macaranga sp,

dalam 10 jenis dominan penyusun tegakan maka teknik penebangan yang berbeda akan

mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan. Berdasarkan intensitas penebangan

terbesar tinggi yaitu teknik penebangan konvensional, Macaranga sp akan masih

mendominasi hingga pada tahun ke-23 sedangkan pada teknik RIL 50 pada tahun ke-5 dan

teknik RIL 60 dengan intensitas terendah akan didominasi jenis tersebut pada tahun ke-9.

Dari penelitian Bischoff et al. (2005) di Sabah Malaysia, hutan Dipterocarpaceae pada

jangka waktu 8-13 tahun setelah penebangan akan memiliki keanekaragaman jenis pohon

yang tersusun dari kelompok jenis-jenis pioner.

Rekapitulasi perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting

tertinggi disusun berdasarkan pada kondisi sebelum penebangan, tahun pertama setelah

penebangan dan 23 tahun setelah penebangan dengan teknik penebangan yang berbeda

disajikan pada Gambar 51-54.

Page 274: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

115

Gambar 51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan

dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 275: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

115

Gambar 51. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan

dengan teknik RIL 50 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 276: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

116

Gambar 52. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan

dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)(a)

(b)

(c)

Page 277: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

116

Gambar 52. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan

dengan teknik RIL 60 pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)(a)

(b)

(c)

Page 278: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

117

Gambar 53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan

dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

25

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

25

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

25

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 279: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

117

Gambar 53. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas penebangan

dengan teknik konvensional pada kondisi (a) sebelum penebangan, (b) 1 tahun setelah penebangan dan (c) 23 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

25

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

25

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

25

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 280: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

118

Gambar 54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan

primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 281: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

118

Gambar 54. Sepuluh jenis dominan berdasarkan indeks nilai penting tertinggi pada hutan

primer pada kondisi (a) awal pengukuran (b) 1 tahun pengukuran dan (c) 23 tahun pengukuran

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 282: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

119

Perubahan dominansi jenis pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda menunjukkan pola pergeseran dominansi jenis yang berbeda.

Dengan penciri salah satu jenis pioneer yang merupakan jenis non komersial dalam areal

bekas tebangan yaitu Macaranga sp dalam 10 jenis dominan tegakan, maka teknik

pembebasan yang berbeda akan mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan.

Respon teknik pembebasan terhadap pergeserean dominansi jenis sangat bervariasi antar

plot penelitian. Berikut perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting

tertinggi pada kondisi awal pengukuran, tahun pertama setelah pembebasan dan 23 tahun

setelah pembebasan dengan teknik pembebasan yang berbeda (Gambar 55-57).

Page 283: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

119

Perubahan dominansi jenis pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik

pembebasan yang berbeda menunjukkan pola pergeseran dominansi jenis yang berbeda.

Dengan penciri salah satu jenis pioneer yang merupakan jenis non komersial dalam areal

bekas tebangan yaitu Macaranga sp dalam 10 jenis dominan tegakan, maka teknik

pembebasan yang berbeda akan mempengaruhi pola dominansi jenis dalam tegakan.

Respon teknik pembebasan terhadap pergeserean dominansi jenis sangat bervariasi antar

plot penelitian. Berikut perubahan dominansi 10 jenis berdasarkan indeks nilai penting

tertinggi pada kondisi awal pengukuran, tahun pertama setelah pembebasan dan 23 tahun

setelah pembebasan dengan teknik pembebasan yang berbeda (Gambar 55-57).

Page 284: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

120

Gambar 55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan

teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 285: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

120

Gambar 55. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan

teknik pembebasan sistematis pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

(a)

(b)

(c)

Page 286: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

121

Gambar 56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan

teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)(a)

(b)

(c)

Page 287: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

121

Gambar 56. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan dengan

teknik pembebasan berbasis pohon binaan pada kondisi (a) hutan bekas tebangan 11 tahun (b) 1 tahun setelah pembebasan dan (c) 23 tahun setelah pembebasan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)(a)

(b)

(c)

Page 288: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

122

Gambar 57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa

perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)(a)

(b)

(c)

Page 289: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

122

Gambar 57. Sepuluh jenis indeks nilai penting tertinggi pada hutan bekas tebangan tanpa

perlakuan pada kondisi (a) 11 tahun setelah penebangan (b) 13 tahun setelah penebangan dan (c) 35 tahun setelah penebangan

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)

0

5

10

15

20

Inde

ks N

ilai P

entin

g (%

)(a)

(b)

(c)

Page 290: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

123

Dengan sistem tebang pilih pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan

menunjukkan dominansi jenis dalam tegakan tidak didominansi oleh satu jenis saja, tetapi

terdistribusi oleh beberapa jenis baik pada setelah penebangan 1 tahun ataupun 23 tahun.

Pada hutan primer hampir tidak terjadi pergeseran dominansi jenis dalam tegakan.

Kelompok jenis Dipterocarpaceae cukup besar mendominasi tegakan baik pada hutan

setelah penebangan, setelah pembebasan maupun pada hutan primer. Pergeseran

dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae terjadi terutama pada tahun ke-1 setelah

penebangan dan cenderung meningkat pada 23 tahun setelah penebangan.

Penilaian dominansi menggunakan indeks nilai penting menggambarkan komponen

kepadatan populasi, penguasaan dimensi dalam tegakan dan tingkat penyebaran dalam

tegakan. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), indeks nilai penting merupakan salah

satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis dalam

komunitasnya. Dominansi dan distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi

oleh kondisi lingkungannya. Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk menguasai suatu

komunitas tegakan dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap

seluruh faktor lingkungan atau tempat tumbuh baik fisik, biotik dan kimia (Krebs 1994).

Beberapa jenis tumbuhan di hutan tropika beradaptasi dengan kondisi intensitas cahaya

dalam tegakan atau pembukaan kanopi hutan (Balakrishnan et al. 1994).

8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1)

Indeks keanekaragaman jenis menggambarkan tingkat keanekaragaman vegetasi

penyusun pada suatu komunitas hutan yang merupakan indikator jumlah jenis dan

kemerataan individu yang ditunjukkan dengan besaran nilai H’. Semakin tinggi nilai H’ akan

menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi dengan kata lain semakin

tinggi nilai H’ maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan tersebut. Hasil

perhitungan indeks keanekaragaman jenis (H’) pada variasi kondisi hutan setelah

penebangan dan setelah pembebasan dengan nilai rataan dan standar deviasi untuk masing-

masing kondisi tegakan ditunjukkan pada Tabel 31.

Page 291: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

123

Dengan sistem tebang pilih pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan

menunjukkan dominansi jenis dalam tegakan tidak didominansi oleh satu jenis saja, tetapi

terdistribusi oleh beberapa jenis baik pada setelah penebangan 1 tahun ataupun 23 tahun.

Pada hutan primer hampir tidak terjadi pergeseran dominansi jenis dalam tegakan.

Kelompok jenis Dipterocarpaceae cukup besar mendominasi tegakan baik pada hutan

setelah penebangan, setelah pembebasan maupun pada hutan primer. Pergeseran

dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae terjadi terutama pada tahun ke-1 setelah

penebangan dan cenderung meningkat pada 23 tahun setelah penebangan.

Penilaian dominansi menggunakan indeks nilai penting menggambarkan komponen

kepadatan populasi, penguasaan dimensi dalam tegakan dan tingkat penyebaran dalam

tegakan. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), indeks nilai penting merupakan salah

satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis dalam

komunitasnya. Dominansi dan distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi

oleh kondisi lingkungannya. Keberhasilan setiap jenis tumbuhan untuk menguasai suatu

komunitas tegakan dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap

seluruh faktor lingkungan atau tempat tumbuh baik fisik, biotik dan kimia (Krebs 1994).

Beberapa jenis tumbuhan di hutan tropika beradaptasi dengan kondisi intensitas cahaya

dalam tegakan atau pembukaan kanopi hutan (Balakrishnan et al. 1994).

8.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kelimpahan Jenis (N1)

Indeks keanekaragaman jenis menggambarkan tingkat keanekaragaman vegetasi

penyusun pada suatu komunitas hutan yang merupakan indikator jumlah jenis dan

kemerataan individu yang ditunjukkan dengan besaran nilai H’. Semakin tinggi nilai H’ akan

menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi dengan kata lain semakin

tinggi nilai H’ maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan tersebut. Hasil

perhitungan indeks keanekaragaman jenis (H’) pada variasi kondisi hutan setelah

penebangan dan setelah pembebasan dengan nilai rataan dan standar deviasi untuk masing-

masing kondisi tegakan ditunjukkan pada Tabel 31.

Page 292: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

124

Tabel 31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah

pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks keanekaragaman jenis (H’)

RIL50 Rataan 4.33 4.42 4.43 4.45 4.42 4.43 4.44 4.46 4.48 4.54 4.54

SD 0.19 0.13 0.12 0.18 0.24 0.24 0.23 0.21 0.20 0.15 0.20

RIL60 Rataan 4.42 4.48 4.49 4.54 4.56 4.57 4.57 4.57 4.59 4.69 4.71

SD 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.13 0.06 0.18

CNV Rataan 4.13 4.25 4.28 4.36 4.30 4.32 4.35 4.32 4.36 4.41 4.43

SD 0.24 0.20 0.20 0.17 0.18 0.21 0.24 0.23 0.22 0.15 0.15

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 4.73 4.71 4.72 4.73 4.74 4.74 4.74 4.74 4.77 4.79

SD 0.11 0.11 0.11 0.10 0.08 0.09 0.09 0.08 0.08 0.10

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13

PS Rataan 3.84 3.89 4.01 4.14 4.21 4.21 4.24 4.21

SD 0.13 0.13 0.15 0.16 0.21 0.21 0.20 0.20

PPB Rataan 3.86 3.97 4.09 4.20 4.27 4.28 4.29 4.23

SD 0.21 0.19 0.17 0.18 0.19 0.18 0.18 0.19

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25

CTR Rataan 4.16 4.17 4.19 4.26 4.30 4.31 4.31 4.26

SD 0.11 0.09 0.09 0.08 0.10 0.10 0.10 0.09

Berdasarkan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Magurran (1988) menunjukkan

bahwa pada semua plot penelitian baik tegakan setelah penebangan maupun setelah

pembebasan mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis dengan klasifikasi tinggi (H’ >

3.5). Secara relatif indeks keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan mempunyai

tingkat keragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Sedangkan

tindakan pembebasan pada hutan bekas tebangan dengan tujuan membebaskan pohon-

pohon dengan jenis-jenis terpilih (pohon binaan), menunjukkan tingkat keanekaragaman

jenis tegakan hutan yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan tanpa perlakuan. Fungsi

waktu pemulihan setelah penebangan ataupun setelah pembebasan yang menunjukkan pola

perubahan atau pergerakan indeks keanekaragaman jenis tegakan dihitung sepanjang

periode pengamatan.

Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi

hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang

lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan tersebut.

Pada tegakan 6 bulan setelah penebangan mempunyai indeks keanekaragaman untuk tingkat

pohon di Kalimantan Timur sebesar 3.37 dengan klasifikasi keanekaragaman sedang

(Indrawan 2000). Sedangkan pada kondisi 1 bulan setelah penebangan di Kalimantan

Tengah menunjukkan indeks keanekaragaman sebesar 2.73 dengan klasifikasi

Page 293: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

124

Tabel 31. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tegakan setelah penebangan dan setelah

pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks keanekaragaman jenis (H’)

RIL50 Rataan 4.33 4.42 4.43 4.45 4.42 4.43 4.44 4.46 4.48 4.54 4.54

SD 0.19 0.13 0.12 0.18 0.24 0.24 0.23 0.21 0.20 0.15 0.20

RIL60 Rataan 4.42 4.48 4.49 4.54 4.56 4.57 4.57 4.57 4.59 4.69 4.71

SD 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.13 0.06 0.18

CNV Rataan 4.13 4.25 4.28 4.36 4.30 4.32 4.35 4.32 4.36 4.41 4.43

SD 0.24 0.20 0.20 0.17 0.18 0.21 0.24 0.23 0.22 0.15 0.15

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 4.73 4.71 4.72 4.73 4.74 4.74 4.74 4.74 4.77 4.79

SD 0.11 0.11 0.11 0.10 0.08 0.09 0.09 0.08 0.08 0.10

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13

PS Rataan 3.84 3.89 4.01 4.14 4.21 4.21 4.24 4.21

SD 0.13 0.13 0.15 0.16 0.21 0.21 0.20 0.20

PPB Rataan 3.86 3.97 4.09 4.20 4.27 4.28 4.29 4.23

SD 0.21 0.19 0.17 0.18 0.19 0.18 0.18 0.19

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25

CTR Rataan 4.16 4.17 4.19 4.26 4.30 4.31 4.31 4.26

SD 0.11 0.09 0.09 0.08 0.10 0.10 0.10 0.09

Berdasarkan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Magurran (1988) menunjukkan

bahwa pada semua plot penelitian baik tegakan setelah penebangan maupun setelah

pembebasan mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis dengan klasifikasi tinggi (H’ >

3.5). Secara relatif indeks keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan mempunyai

tingkat keragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Sedangkan

tindakan pembebasan pada hutan bekas tebangan dengan tujuan membebaskan pohon-

pohon dengan jenis-jenis terpilih (pohon binaan), menunjukkan tingkat keanekaragaman

jenis tegakan hutan yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan tanpa perlakuan. Fungsi

waktu pemulihan setelah penebangan ataupun setelah pembebasan yang menunjukkan pola

perubahan atau pergerakan indeks keanekaragaman jenis tegakan dihitung sepanjang

periode pengamatan.

Dengan membandingkan nilai-nilai indeks keanekaragaman jenis dari suatu vegetasi

hutan dapat diketahui tingkat stabilitasnya, dimana nilai indeks keanekaragaman jenis yang

lebih tinggi menunjukan tingkat stabilitas yang lebih tinggi pula pada vegetasi hutan tersebut.

Pada tegakan 6 bulan setelah penebangan mempunyai indeks keanekaragaman untuk tingkat

pohon di Kalimantan Timur sebesar 3.37 dengan klasifikasi keanekaragaman sedang

(Indrawan 2000). Sedangkan pada kondisi 1 bulan setelah penebangan di Kalimantan

Tengah menunjukkan indeks keanekaragaman sebesar 2.73 dengan klasifikasi

Page 294: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

125

keanekaragaman sedang (Pamoengkas 2006). Pada penelitian Muhdi (2012) menunjukkan

bahwa nilai keanekaragaman pada kondisi sebelum penebangan sebesar 3.204–3.263 dan

setelah penebangan relatif terjadi penurunan dengan nilai berkisar 3.198–3.240 tetapi dalam

klasifikasi keanekaragaman yang sama yaitu sedang. Makana dan Thomas (2006)

menyatakan bahwa keanekaragaman jenis lebih rendah pada hutan setelah penebangan 5–10

tahun dibandingkan pada hutan setelah pemanenan tua (> 40 tahun) dan hutan primer.

Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis suatu tegakan dihitung jumlah

kelimpahan jenis (N1) untuk masing-masing kondisi tegakan hutan dengan nilai rekapitulasi

disajikan pada Tabel 32.

Tabel 32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Kelimpahan jenis (N1)

RIL50 Rataan 77 84 84 87 85 86 86 88 89 94 95

SD 15 10 10 13 17 18 17 16 17 13 14

RIL60 Rataan 84 89 90 94 97 98 97 97 99 109 108

SD 12 12 12 13 13 12 12 12 12 6 7

CNV Rataan 64 71 73 79 75 76 80 77 80 83 84

SD 15 15 15 13 14 15 19 17 17 13 14

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 113 112 113 114 114 115 115 115 119 121 122

SD 12 12 12 11 10 10 10 9 9 11 11

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 47 49 56 63 69 68 71 69 69 71

SD 7 7 8 10 14 13 14 13 13 14

PPB Rataan 49 54 60 68 73 73 74 70 69 72

SD 10 10 10 11 13 12 12 12 11 11

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 64 65 66 71 74 75 75 71 73 75

SD 7 6 6 5 7 7 8 6 6 7

Kelimpahan jumlah jenis menunjukkan peluang jumlah jenis dominan yang akan

muncul pada suatu tegakan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis

dominan yang sering muncul pada areal bekas tebangan dengan teknik yang berbeda sampai

dengan 23 tahun berkisar 71–108 sedangkan pada hutan primer mempunyai kelimpahan

yang lebih tinggi yaitu 113-121. Pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan

yang berbeda mempunyai nilai kelimpahan jenis berkisar 49-73, sedangkan pada hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan berkisar 64-74. Hal ini menunjukkan bahwa tegakan hutan

setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan mempunyai nilai kelimpahan jenis

Page 295: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

125

keanekaragaman sedang (Pamoengkas 2006). Pada penelitian Muhdi (2012) menunjukkan

bahwa nilai keanekaragaman pada kondisi sebelum penebangan sebesar 3.204–3.263 dan

setelah penebangan relatif terjadi penurunan dengan nilai berkisar 3.198–3.240 tetapi dalam

klasifikasi keanekaragaman yang sama yaitu sedang. Makana dan Thomas (2006)

menyatakan bahwa keanekaragaman jenis lebih rendah pada hutan setelah penebangan 5–10

tahun dibandingkan pada hutan setelah pemanenan tua (> 40 tahun) dan hutan primer.

Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis suatu tegakan dihitung jumlah

kelimpahan jenis (N1) untuk masing-masing kondisi tegakan hutan dengan nilai rekapitulasi

disajikan pada Tabel 32.

Tabel 32. Kelimpahan jumlah jenis (N1) tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Kelimpahan jenis (N1)

RIL50 Rataan 77 84 84 87 85 86 86 88 89 94 95

SD 15 10 10 13 17 18 17 16 17 13 14

RIL60 Rataan 84 89 90 94 97 98 97 97 99 109 108

SD 12 12 12 13 13 12 12 12 12 6 7

CNV Rataan 64 71 73 79 75 76 80 77 80 83 84

SD 15 15 15 13 14 15 19 17 17 13 14

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 113 112 113 114 114 115 115 115 119 121 122

SD 12 12 12 11 10 10 10 9 9 11 11

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 47 49 56 63 69 68 71 69 69 71

SD 7 7 8 10 14 13 14 13 13 14

PPB Rataan 49 54 60 68 73 73 74 70 69 72

SD 10 10 10 11 13 12 12 12 11 11

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 64 65 66 71 74 75 75 71 73 75

SD 7 6 6 5 7 7 8 6 6 7

Kelimpahan jumlah jenis menunjukkan peluang jumlah jenis dominan yang akan

muncul pada suatu tegakan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis

dominan yang sering muncul pada areal bekas tebangan dengan teknik yang berbeda sampai

dengan 23 tahun berkisar 71–108 sedangkan pada hutan primer mempunyai kelimpahan

yang lebih tinggi yaitu 113-121. Pada hutan bekas tebangan dengan teknik pembebasan

yang berbeda mempunyai nilai kelimpahan jenis berkisar 49-73, sedangkan pada hutan

bekas tebangan tanpa perlakuan berkisar 64-74. Hal ini menunjukkan bahwa tegakan hutan

setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan mempunyai nilai kelimpahan jenis

Page 296: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

126

yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Tegakan setelah terganggu akan

mempunyai kecenderungan jumlah kelimpahan jenis yang meningkat seiring jangka waktu

setelah penebangan maupun setelah pembebasan.

Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis tegakan

akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi

menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan

(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan

kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat

keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).

8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1)

Penilaian kekayaan jenis tegakan yang menggambarkan tingkat kelimpahan jenis

dalam suatu komunitas hutan dilakukan dengan pendekatan indeks Margalef R1. Hasil

perhitungan indeks kekayaan jenis Margalef (R1) pada variasi kondisi hutan setelah

penebangan dan setelah pembebasan dengan rekapitulasi nilai rataan dan standar deviasi

(SD) ditunjukkan pada Tabel 33.

Tabel 33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks kekayaan jenis (R1)

RIL50 Rataan 22.45 22.33 22.29 23.72 24.16 24.55 24.72 24.86 25.36 25.56 25.62

SD 3.11 2.73 2.88 2.25 2.40 2.44 2.39 2.33 2.38 3.24 4.32

RIL60 Rataan 24.24 23.75 23.81 24.56 25.25 25.73 25.64 25.70 26.49 27.73 26.88

SD 2.19 1.98 1.71 1.73 1.98 1.94 1.80 1.82 1.87 0.91 1.01

CNV Rataan 20.30 19.85 20.20 21.44 22.17 22.30 22.51 22.49 23.10 23.42 24.32

SD 2.44 2.80 2.79 2.49 2.45 2.41 2.46 2.40 2.50 2.69 2.41

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 26.97 26.72 26.96 27.03 27.17 27.33 27.34 27.23 27.80 27.50 27.50

SD 1.94 1.89 1.95 1.87 1.82 1.74 1.84 1.62 1.60 1.47 1.47

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 15.36 16.06 17.12 19.43 20.54 20.37 20.57 20.18 20.21 20.47

SD 2.19 2.17 1.81 1.99 2.50 2.32 2.18 2.24 2.21 2.17

PPB Rataan 17.31 17.82 18.39 20.56 21.55 21.59 21.75 21.48 21.47 21.57

SD 1.96 2.25 2.49 2.71 2.48 2.81 2.75 2.85 2.71 2.75

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 18.70 18.72 18.91 20.32 20.82 20.88 20.88 20.55 20.67 20.87

SD 1.27 1.22 1.01 0.66 0.35 0.34 0.41 0.38 0.41 0.39

Page 297: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

126

yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan primer. Tegakan setelah terganggu akan

mempunyai kecenderungan jumlah kelimpahan jenis yang meningkat seiring jangka waktu

setelah penebangan maupun setelah pembebasan.

Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis tegakan

akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi

menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan

(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan

kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat

keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).

8.4. Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1)

Penilaian kekayaan jenis tegakan yang menggambarkan tingkat kelimpahan jenis

dalam suatu komunitas hutan dilakukan dengan pendekatan indeks Margalef R1. Hasil

perhitungan indeks kekayaan jenis Margalef (R1) pada variasi kondisi hutan setelah

penebangan dan setelah pembebasan dengan rekapitulasi nilai rataan dan standar deviasi

(SD) ditunjukkan pada Tabel 33.

Tabel 33. Indeks kekayaan jenis (R1) pada plot penelitian berdasarkan teknik penebangan dan teknik pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks kekayaan jenis (R1)

RIL50 Rataan 22.45 22.33 22.29 23.72 24.16 24.55 24.72 24.86 25.36 25.56 25.62

SD 3.11 2.73 2.88 2.25 2.40 2.44 2.39 2.33 2.38 3.24 4.32

RIL60 Rataan 24.24 23.75 23.81 24.56 25.25 25.73 25.64 25.70 26.49 27.73 26.88

SD 2.19 1.98 1.71 1.73 1.98 1.94 1.80 1.82 1.87 0.91 1.01

CNV Rataan 20.30 19.85 20.20 21.44 22.17 22.30 22.51 22.49 23.10 23.42 24.32

SD 2.44 2.80 2.79 2.49 2.45 2.41 2.46 2.40 2.50 2.69 2.41

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 26.97 26.72 26.96 27.03 27.17 27.33 27.34 27.23 27.80 27.50 27.50

SD 1.94 1.89 1.95 1.87 1.82 1.74 1.84 1.62 1.60 1.47 1.47

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 15.36 16.06 17.12 19.43 20.54 20.37 20.57 20.18 20.21 20.47

SD 2.19 2.17 1.81 1.99 2.50 2.32 2.18 2.24 2.21 2.17

PPB Rataan 17.31 17.82 18.39 20.56 21.55 21.59 21.75 21.48 21.47 21.57

SD 1.96 2.25 2.49 2.71 2.48 2.81 2.75 2.85 2.71 2.75

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 18.70 18.72 18.91 20.32 20.82 20.88 20.88 20.55 20.67 20.87

SD 1.27 1.22 1.01 0.66 0.35 0.34 0.41 0.38 0.41 0.39

Page 298: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

127

Berdasarkan kriteria kekayaan jenis dalam Magurran (1988), semua plot penelitian

baik pada tegakan setelah penebangan maupun setelah pembebasan adalah tinggi (R1 >5.0)

sepanjang jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan setelah pembebasan. Secara

relatif tingkat kekayaan hutan setelah tebangan akan menurun sampai dengan tahun ke-3

pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan dan selanjutnya akan meningkat sepanjang

jangka waktu pemulihan tegakan. Sedangkan jangka waktu setelah pembebasan akan

mempunyai kecenderungan meningkatnya tingkat kekayaan jenis tegakan hutan. Pada

hutan primer mempunyai indeks kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi

hutan yang telah terganggu.

Tingkat kekayaan jenis tegakan pada hutan bekas tebangan setelah 23 tahun masih

memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Sedangkan

pada tegakan hutan setelah penebangan yang dilakukan pembebasan, akan memiliki tingkat

kekayaan jenis yang mendekati sama pada tahun ke-5 setelah pembebasan. Hal ini berkaitan

dengan kecenderungan perubahan komposisi jumlah jenis penyusun tegakan, pada tegakan

setelah pembebasan akan menurun hingga tahun ke-3 yang kemudian meningkat setelah

tahun ke-5. Tingkat kekayaan dan kelimpahan jenis pada hutan yang terganggu akan

menurun dibandingkan pada kondisi hutan klimaks (Sodhi et al. 2010).

Setelah dilakukan tebang pilih akan terjadi peningkatan kekayaan dan keanekaragam

jenis terutama pada areal-areal yang terbuka. Kondisi ini mendukung terjadinya

perkembangan jenis-jenis yang sebelumnya tidak mendapat kesempatan berkembang

dibawah tajuk (gap opportunist species). Pembukaan kanopi yang diakibatkan penebangan

memacu pertumbuhan jenis-jenis pionerr (Bischoff et al. 2005). Menurut Holloway et al.

(1992 dalam Sodhi et al. 2010), hal inilah yang menyebabkan perubahan struktur vegetasi

dan keanekaragaman hutan setelah penebangan.

8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J’ (E)

Indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan tingkat kemerataan kelimpahan jenis-

jenis vegetasi penyusun pada suatu komunitas hutan (Magurran 1988). Semakin besar nilai

E menunjukkan komposisi jenis semakin merata atau tidak dominan pada satu jenis tertentu

saja. Hasil perhitungan indeks kemerataan jenis Pielou J’ (E) pada masing-masing plot

dengan rekapitulasi variasi kondisi hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan pada

plot STREK ditunjukkan pada Tabel 34.

Page 299: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

127

Berdasarkan kriteria kekayaan jenis dalam Magurran (1988), semua plot penelitian

baik pada tegakan setelah penebangan maupun setelah pembebasan adalah tinggi (R1 >5.0)

sepanjang jangka waktu 23 tahun setelah penebangan dan setelah pembebasan. Secara

relatif tingkat kekayaan hutan setelah tebangan akan menurun sampai dengan tahun ke-3

pada ketiga teknik penebangan yang dilakukan dan selanjutnya akan meningkat sepanjang

jangka waktu pemulihan tegakan. Sedangkan jangka waktu setelah pembebasan akan

mempunyai kecenderungan meningkatnya tingkat kekayaan jenis tegakan hutan. Pada

hutan primer mempunyai indeks kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi

hutan yang telah terganggu.

Tingkat kekayaan jenis tegakan pada hutan bekas tebangan setelah 23 tahun masih

memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Sedangkan

pada tegakan hutan setelah penebangan yang dilakukan pembebasan, akan memiliki tingkat

kekayaan jenis yang mendekati sama pada tahun ke-5 setelah pembebasan. Hal ini berkaitan

dengan kecenderungan perubahan komposisi jumlah jenis penyusun tegakan, pada tegakan

setelah pembebasan akan menurun hingga tahun ke-3 yang kemudian meningkat setelah

tahun ke-5. Tingkat kekayaan dan kelimpahan jenis pada hutan yang terganggu akan

menurun dibandingkan pada kondisi hutan klimaks (Sodhi et al. 2010).

Setelah dilakukan tebang pilih akan terjadi peningkatan kekayaan dan keanekaragam

jenis terutama pada areal-areal yang terbuka. Kondisi ini mendukung terjadinya

perkembangan jenis-jenis yang sebelumnya tidak mendapat kesempatan berkembang

dibawah tajuk (gap opportunist species). Pembukaan kanopi yang diakibatkan penebangan

memacu pertumbuhan jenis-jenis pionerr (Bischoff et al. 2005). Menurut Holloway et al.

(1992 dalam Sodhi et al. 2010), hal inilah yang menyebabkan perubahan struktur vegetasi

dan keanekaragaman hutan setelah penebangan.

8.5. Indeks Kemerataan Jenis Pielou J’ (E)

Indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan tingkat kemerataan kelimpahan jenis-

jenis vegetasi penyusun pada suatu komunitas hutan (Magurran 1988). Semakin besar nilai

E menunjukkan komposisi jenis semakin merata atau tidak dominan pada satu jenis tertentu

saja. Hasil perhitungan indeks kemerataan jenis Pielou J’ (E) pada masing-masing plot

dengan rekapitulasi variasi kondisi hutan setelah penebangan dan setelah pembebasan pada

plot STREK ditunjukkan pada Tabel 34.

Page 300: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

128

Tabel 34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks kemerataan jenis (E)

RIL50 Rataan 0.88 0.91 0.91 0.90 0.88 0.88 0.88 0.89 0.88 0.90 0.90

SD 0.02 0.02 0.01 0.02 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.02 0.03

RIL60 Rataan 0.88 0.90 0.91 0.91 0.91 0.90 0.90 0.90 0.90 0.91 0.90

SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02

CNV Rataan 0.86 0.90 0.90 0.90 0.88 0.88 0.89 0.88 0.88 0.89 0.90

SD 0.03 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.03 0.03 0.01 0.02

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.92 0.92 0.92 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.94 0.94

SD 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.85 0.85 0.86 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87

SD 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02

PPB Rataan 0.83 0.84 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.86 0.86 0.87

SD 0.05 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 0.03

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.88 0.88 0.88 0.88 0.89 0.89 0.89 0.88 0.89 0.89

SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02

Berdasarkan klasifikasi indeks kemerataan menurut Magurran (1988), pada tegakan

setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan menunjukkan tingkat kemerataan

yang tinggi (E > 0.6). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tegakan tersebut mempunyai

dominansi yang menyebar ke banyak jenis atau dengan kata lain tidak terpusat ke satu jenis

saja. Pada hutan bekas tebangan mempunyai kenaikan tingkat kemerataan hingga tahun ke-

5 setelah penebangan, kemudian menurun dan cenderung tidak berubah. Kondisi

kemerataan jenis pada tegakan setelah penebangan sampai dengan 23 tahun masih lebih

rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Pada tindakan pembebasan tegakan

setelah penebangan mempunyai tingkat keragaman yang relatif tidak berubah setelah tahun

ke-3. Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan yang ditunjukkan berdasarkan

indeks nilai penting menunjukkan tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansinya

berubah. Sehingga perlu untuk meninjau komposisi penyusun dalam tingkat kemerataan

jenis tersebut, sebagaimana dinyatakan Krebs (2006) bahwa dalam penilaian ekologi tegakan

merupakan penilaian dalam tingkat jenis (species) penyusun vegetasi.

Page 301: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

128

Tabel 34. Indeks kemerataan jenis (E) pada plot STREK setelah penebangan dan setelah pembebasan

Risalah

kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks kemerataan jenis (E)

RIL50 Rataan 0.88 0.91 0.91 0.90 0.88 0.88 0.88 0.89 0.88 0.90 0.90

SD 0.02 0.02 0.01 0.02 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.02 0.03

RIL60 Rataan 0.88 0.90 0.91 0.91 0.91 0.90 0.90 0.90 0.90 0.91 0.90

SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02

CNV Rataan 0.86 0.90 0.90 0.90 0.88 0.88 0.89 0.88 0.88 0.89 0.90

SD 0.03 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.03 0.03 0.01 0.02

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 0.92 0.92 0.92 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.93 0.94 0.94

SD 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 0.85 0.85 0.86 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87

SD 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02

PPB Rataan 0.83 0.84 0.86 0.87 0.87 0.87 0.87 0.86 0.86 0.87

SD 0.05 0.03 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 0.03

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 0.88 0.88 0.88 0.88 0.89 0.89 0.89 0.88 0.89 0.89

SD 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02

Berdasarkan klasifikasi indeks kemerataan menurut Magurran (1988), pada tegakan

setelah penebangan maupun setelah pembebasan akan menunjukkan tingkat kemerataan

yang tinggi (E > 0.6). Hal ini menunjukkan bahwa dalam tegakan tersebut mempunyai

dominansi yang menyebar ke banyak jenis atau dengan kata lain tidak terpusat ke satu jenis

saja. Pada hutan bekas tebangan mempunyai kenaikan tingkat kemerataan hingga tahun ke-

5 setelah penebangan, kemudian menurun dan cenderung tidak berubah. Kondisi

kemerataan jenis pada tegakan setelah penebangan sampai dengan 23 tahun masih lebih

rendah dibandingkan pada kondisi hutan primer. Pada tindakan pembebasan tegakan

setelah penebangan mempunyai tingkat keragaman yang relatif tidak berubah setelah tahun

ke-3. Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan yang ditunjukkan berdasarkan

indeks nilai penting menunjukkan tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansinya

berubah. Sehingga perlu untuk meninjau komposisi penyusun dalam tingkat kemerataan

jenis tersebut, sebagaimana dinyatakan Krebs (2006) bahwa dalam penilaian ekologi tegakan

merupakan penilaian dalam tingkat jenis (species) penyusun vegetasi.

Page 302: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

129

8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)

Penilaian tingkat kesamaan komunitas tegakan pada petak penelitian setelah

penebangan dan pembebasan yang berbeda dengan menggunakan koefisien kesamaan

komunitas atau indeks kesamaan (IS) (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perhitungan nilai

indeks kesamaan dilakukan pada kondisi tegakan awal sebelum penebangan atau

pembebasan terhadap setiap perubahan kondisi tegakan sepanjang periode pengukuran

(setiap 2 tahun). Hasil perhitungan indeks kesamaan jenis berdasarkan jumlah individu per

jenis atau kerapatan (ISn) dalam tegakan dilakukan untuk masing-masing plot penelitian.

Nilai IS berkisar antara 0-100%, dimana jika semakin mendekati nilai 100 maka tingkat

kesamaan komunitas semakin sama sebaliknya semakin rendah atau mendekati 0 maka

kondisi tegakan akan semakin berbeda. Rekapitulasi indeks kesamaan jenis tegakan

berdasarkan jumlah individu pada tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan

Risalah

kondisi

HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks kesamaan komunitas (ISn)

RIL50 Rataan 85.5 79.4 67.4 68.9 66.6 64.7 64.6 64.2 63.0 64.6

SD 6.5 8.2 13.3 10.8 10.1 9.7 9.5 9.3 15.4 9.5

RIL60 Rataan 86.6 82.1 79.3 75.6 73.0 71.6 71.3 69.8 64.9 67.8

SD 5.2 6.3 5.8 5.4 7.4 8.5 7.1 7.6 13.0 9.1

CNV Rataan 82.3 74.3 71.1 67.6 65.3 64.1 63.0 62.6 62.9 63

SD 6.5 9.9 11.3 10.5 11.0 10.9 10.7 10.5 9.8 9.8

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 97.2 94.0 91.2 87.9 86.6 85.1 84.5 82.6 78.8 80.8

SD 1.5 2.8 4.0 4.2 3.9 4.2 4.0 4.6 6.6 5.6

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 96.2 86.6 80.6 72.6 71.7 70.0 71.5 70.1 71.1

SD 1.6 2.7 3.0 2.6 2.4 2.9 2.5 2.6 2.7

PPB Rataan 95.3 86.3 81.0 75.4 74.5 73.5 72.6 72.8 73.3

SD 2.0 4.4 5.9 5.7 5.5 5.4 5.7 5.4 5.5

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 96.8 93.1 89.3 82.6 82.5 81.1 79.9 81.1 82.1

SD 1.5 3.0 3.3 3.6 4.5 4.9 7.4 6.2 4.3

Berdasarkan nilai kuantitatif jumlah individu jenis atau kerapatan, indeks kesamaan

komunitas antara tegakan sebelum penebangan (hutan primer) dengan tegakan setelah

penebangan terjadi perubahan atau pergeseran tingkat kesamaan yang semakin menurun

sepanjang waktu pengamatan.

Page 303: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

129

8.6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)

Penilaian tingkat kesamaan komunitas tegakan pada petak penelitian setelah

penebangan dan pembebasan yang berbeda dengan menggunakan koefisien kesamaan

komunitas atau indeks kesamaan (IS) (Soerianegara dan Indrawan 2005). Perhitungan nilai

indeks kesamaan dilakukan pada kondisi tegakan awal sebelum penebangan atau

pembebasan terhadap setiap perubahan kondisi tegakan sepanjang periode pengukuran

(setiap 2 tahun). Hasil perhitungan indeks kesamaan jenis berdasarkan jumlah individu per

jenis atau kerapatan (ISn) dalam tegakan dilakukan untuk masing-masing plot penelitian.

Nilai IS berkisar antara 0-100%, dimana jika semakin mendekati nilai 100 maka tingkat

kesamaan komunitas semakin sama sebaliknya semakin rendah atau mendekati 0 maka

kondisi tegakan akan semakin berbeda. Rekapitulasi indeks kesamaan jenis tegakan

berdasarkan jumlah individu pada tegakan setelah penebangan dan setelah pembebasan

disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35. Indeks kesamaan komunitas (ISn) pada kondisi awal tegakan dan tegakan setelah penebangan dan pembebasan

Risalah

kondisi

HBT1 HBT3 HBT 5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

Indeks kesamaan komunitas (ISn)

RIL50 Rataan 85.5 79.4 67.4 68.9 66.6 64.7 64.6 64.2 63.0 64.6

SD 6.5 8.2 13.3 10.8 10.1 9.7 9.5 9.3 15.4 9.5

RIL60 Rataan 86.6 82.1 79.3 75.6 73.0 71.6 71.3 69.8 64.9 67.8

SD 5.2 6.3 5.8 5.4 7.4 8.5 7.1 7.6 13.0 9.1

CNV Rataan 82.3 74.3 71.1 67.6 65.3 64.1 63.0 62.6 62.9 63

SD 6.5 9.9 11.3 10.5 11.0 10.9 10.7 10.5 9.8 9.8

HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Rataan 97.2 94.0 91.2 87.9 86.6 85.1 84.5 82.6 78.8 80.8

SD 1.5 2.8 4.0 4.2 3.9 4.2 4.0 4.6 6.6 5.6

P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Rataan 96.2 86.6 80.6 72.6 71.7 70.0 71.5 70.1 71.1

SD 1.6 2.7 3.0 2.6 2.4 2.9 2.5 2.6 2.7

PPB Rataan 95.3 86.3 81.0 75.4 74.5 73.5 72.6 72.8 73.3

SD 2.0 4.4 5.9 5.7 5.5 5.4 5.7 5.4 5.5

HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Rataan 96.8 93.1 89.3 82.6 82.5 81.1 79.9 81.1 82.1

SD 1.5 3.0 3.3 3.6 4.5 4.9 7.4 6.2 4.3

Berdasarkan nilai kuantitatif jumlah individu jenis atau kerapatan, indeks kesamaan

komunitas antara tegakan sebelum penebangan (hutan primer) dengan tegakan setelah

penebangan terjadi perubahan atau pergeseran tingkat kesamaan yang semakin menurun

sepanjang waktu pengamatan.

Page 304: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

130

Perbedaan teknik penebangan akan menghasilkan penurunan tingkat kesamaan

komunitas yang berbeda. Tegakan setelah penebangan dengan teknik konvensional akan

mempunyai penurunan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi RIL. Pada kondisi

tegakan dengan teknik penebangan RIL 60 atau dengan intensitas yang terendah, akan

mempunyai tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan teknik penebangan lainnya.

Tingkat kesamaan komunitas tegakan setelah penebangan sepanjang 23 tahun masih

memiliki kesamaan > 62% dibandingkan kondisi hutan awal (hutan primer). Pada hutan

primer sepanjang 23 tahun pengamatan, akan mengalami perubahan komunitas dengan

tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan kondisi tegakan setelah penebangan (>

78%). Begitu pula pada tegakan setelah pembebasan akan memiliki indeks kesamaan

komunitas > 70% dibandingkan kondisi awalnya. Sedangkan pada kondisi hutan bekas

tebangan tanpa perlakuan mempunyai tingkat kesamaan komunitas yang relatif lebih tinggi

dibandingkan kondisi setelah pembebasan.

8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM)

Hasil kajian pada plot STREK, pola sebaran spasial jenis atau kelompok jenis

menunjukkan pola sebaran atau distribusi jenis atau kelompok jenis tersebut dalam tegakan,

baik bersifat acak, mengelompok ataupun seragam. Untuk mengetahui pola sebaran

tersebut dilakukan dengan pendekatan indeks Morisita (Id), standarisasi indeks Morisita (Ip),

indeks keseragaman (Mu) dan indeks mengelompok (Mc) (Krebs 1989), yang dilakukan pada

plot penelitian setelah penebangan dan setelah pembebasan untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae (terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non

Dipterocarpaceae. Rekapitulasi pola sebaran spasial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan

non Dipterocarpaceae pada variasi kondisi hutan disajikan pada Tabel 36-37.

Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.50 0.50 0.50 0.47 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.41 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.29 0.24 0.22 0.25 0.27 0.28 0.29 0.30 0.37 0.39 0.37

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.47 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.42 0.44 0.42 0.50 0.44

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.43 0.48 0.42 0.36 0.42 0.44 0.44 0.45 0.48 0.37 0.48

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Page 305: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

130

Perbedaan teknik penebangan akan menghasilkan penurunan tingkat kesamaan

komunitas yang berbeda. Tegakan setelah penebangan dengan teknik konvensional akan

mempunyai penurunan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi RIL. Pada kondisi

tegakan dengan teknik penebangan RIL 60 atau dengan intensitas yang terendah, akan

mempunyai tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan teknik penebangan lainnya.

Tingkat kesamaan komunitas tegakan setelah penebangan sepanjang 23 tahun masih

memiliki kesamaan > 62% dibandingkan kondisi hutan awal (hutan primer). Pada hutan

primer sepanjang 23 tahun pengamatan, akan mengalami perubahan komunitas dengan

tingkat kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan kondisi tegakan setelah penebangan (>

78%). Begitu pula pada tegakan setelah pembebasan akan memiliki indeks kesamaan

komunitas > 70% dibandingkan kondisi awalnya. Sedangkan pada kondisi hutan bekas

tebangan tanpa perlakuan mempunyai tingkat kesamaan komunitas yang relatif lebih tinggi

dibandingkan kondisi setelah pembebasan.

8.7. Pola Sebaran Spasial Kelompok Jenis (IM)

Hasil kajian pada plot STREK, pola sebaran spasial jenis atau kelompok jenis

menunjukkan pola sebaran atau distribusi jenis atau kelompok jenis tersebut dalam tegakan,

baik bersifat acak, mengelompok ataupun seragam. Untuk mengetahui pola sebaran

tersebut dilakukan dengan pendekatan indeks Morisita (Id), standarisasi indeks Morisita (Ip),

indeks keseragaman (Mu) dan indeks mengelompok (Mc) (Krebs 1989), yang dilakukan pada

plot penelitian setelah penebangan dan setelah pembebasan untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae (terbagi dalam Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea) dan non

Dipterocarpaceae. Rekapitulasi pola sebaran spasial untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan

non Dipterocarpaceae pada variasi kondisi hutan disajikan pada Tabel 36-37.

Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.50 0.50 0.50 0.47 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.41 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.29 0.24 0.22 0.25 0.27 0.28 0.29 0.30 0.37 0.39 0.37

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.47 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.42 0.44 0.42 0.50 0.44

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.43 0.48 0.42 0.36 0.42 0.44 0.44 0.45 0.48 0.37 0.48

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Page 306: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

131

Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.19 0.25 0.25 0.21 0.20 0.18 0.29 0.27 0.29 0.27

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.25 0.29 0.34 0.35 0.39 0.31 0.34 0.33 0.34 0.34

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Tabel 37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.40 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.43 0.39 0.45 0.42 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.24 0.50 0.50 0.50 0.50 0.38 0.33 0.28 0.27 0.27 0.28

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.20 0.50 0.50 0.50 0.44 0.40 0.44 0.45 0.39 0.45 0.45

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.08 0.07 0.07 0.16 0.21 0.21 0.27 0.27 0.33 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.40 0.30 0.31 0.34 0.26 0.23 0.40 0.38 0.38 0.39

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.29 0.08 0.17 0.16 0.25 0.22 0.20 0.21 0.21 0.23

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.21 0.16 0.12 0.07 0.15 0.11 0.09 0.09 0.09 0.09

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae terbagi dalam kelompok Shorea spp. dan

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai pola sebaran spasial yang disajikan pada Tabel 38-39

berikut.

Page 307: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

131

Tabel 36. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae pada plot STREK (Lanjutan)

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.19 0.25 0.25 0.21 0.20 0.18 0.29 0.27 0.29 0.27

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.25 0.29 0.34 0.35 0.39 0.31 0.34 0.33 0.34 0.34

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Tabel 37. Pola sebaran spasial kelompok jenis non Dipterocarpaceae pada plot STREK Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.40 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.43 0.39 0.45 0.42 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.24 0.50 0.50 0.50 0.50 0.38 0.33 0.28 0.27 0.27 0.28

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.20 0.50 0.50 0.50 0.44 0.40 0.44 0.45 0.39 0.45 0.45

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.08 0.07 0.07 0.16 0.21 0.21 0.27 0.27 0.33 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.40 0.30 0.31 0.34 0.26 0.23 0.40 0.38 0.38 0.39

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.29 0.08 0.17 0.16 0.25 0.22 0.20 0.21 0.21 0.23

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.21 0.16 0.12 0.07 0.15 0.11 0.09 0.09 0.09 0.09

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae terbagi dalam kelompok Shorea spp. dan

Dipterocarpaceae non Shorea mempunyai pola sebaran spasial yang disajikan pada Tabel 38-39

berikut.

Page 308: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

132

Tabel 38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK Risalah kondisi HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.24 0.24 0.30 0.23 0.21 0.29 0.28 0.31 0.35 0.07 0.35

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.23 0.23 0.25 0.33 0.38 0.34 0.29 0.33 0.40 0.27 0.32

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.47 0.43 0.37 0.39 0.40 0.50 0.31 0.36 0.32 0.21 0.32

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.19 0.26 0.29 0.24 0.30 0.30 0.30 0.31 0.31 0.28 0.28

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.37 0.38 0.38 0.42 0.39 0.34 0.41 0.37 0.41 0.37

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.21 0.35 0.43 0.50 0.37 0.37 0.50 0.46 0.46 0.46

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip =

standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Tabel 39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.48 0.43 0.40 0.43 0.45 0.44 0.39 0.35 0.40 0.22 0.32

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.35 0.19 0.15 0.12 0.13 0.15 0.18 0.15 0.13 0.24 0.24

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.39 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.47 0.50 0.49 0.50 0.49

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.30 0.28 0.25 0.21 0.23 0.25 0.24 0.22 0.22 0.27

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.12 0.12 0.07 0.03 0.10 0.11 0.10 0.13 0.13 0.13

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.47 0.47 0.41 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.09 0.12 0.12 0.13 0.27 0.25 0.13 0.14 0.25 0.13

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Page 309: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

132

Tabel 38. Pola sebaran spasial kelompok jenis Shorea spp. pada plot STREK Risalah kondisi HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.24 0.24 0.30 0.23 0.21 0.29 0.28 0.31 0.35 0.07 0.35

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.23 0.23 0.25 0.33 0.38 0.34 0.29 0.33 0.40 0.27 0.32

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.47 0.43 0.37 0.39 0.40 0.50 0.31 0.36 0.32 0.21 0.32

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.19 0.26 0.29 0.24 0.30 0.30 0.30 0.31 0.31 0.28 0.28

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.37 0.38 0.38 0.42 0.39 0.34 0.41 0.37 0.41 0.37

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.21 0.35 0.43 0.50 0.37 0.37 0.50 0.46 0.46 0.46

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip =

standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Tabel 39. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae non Shorea pada plot STREK Risalah kondisi

HP HBT1 HBT3 HBT5 HBT7 HBT9 HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT23

RIL 50 Ip 0.48 0.43 0.40 0.43 0.45 0.44 0.39 0.35 0.40 0.22 0.32

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

RIL 60 Ip 0.35 0.19 0.15 0.12 0.13 0.15 0.18 0.15 0.13 0.24 0.24

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

CNV Ip 0.39 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.47 0.50 0.49 0.50 0.49

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HP0 HP1 HP3 HP5 HP7 HP9 HP11 HP13 HP15 HP17 HP23

HP Ip 0.30 0.28 0.25 0.21 0.23 0.25 0.24 0.22 0.22 0.27

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 P1 P3 P5 P7 P9 P11 P13 P15 P23

PS Ip 0.12 0.12 0.07 0.03 0.10 0.11 0.10 0.13 0.13 0.13

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

PPB Ip 0.47 0.47 0.41 0.45 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

HBT11 HBT13 HBT15 HBT17 HBT19 HBT21 HBT23 HBT25 HBT27 HBT35

CTR Ip 0.09 0.12 0.12 0.13 0.27 0.25 0.13 0.14 0.25 0.13

Ps Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl Cl

Keterangan: HP = hutan primer; HBT = hutan bekas tebangan; P = setelah pembebasan; Ip = standarisasi indeks morisita; Ps = pola sebaran spasial; Cl = clumped (mengelompok)

Page 310: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

133

Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae

mempunyai variasi dengan kecenderungan yang mengelompok. Analisis distribusi spasial

jenis dengan pendekatan indeks Morisita terhadap 4 jenis Dipterocarpaceae sebagai penyusun

kanopi utama (Anisoptera costata, Dipterocarpus alatus, Hopea odorata dan Vatica cinerea)

mempunyai kecenderungan distribusi yang mengelompok (Bunyavejchewin et al. 2003).

Bentuk sebaran spasial jenis umumnya akan mengelompok, sesuai dengan batasan atau

kebutuhan akan tempat tumbuh yang spesifik. Penilaian status jenis atau kelompok jenis

dalam tegakan memerlukan pengetahuan tentang factor-faktor yang mempengaruhi

pembentukannya yaitu sifat genetis dan proses ekologisnya (Lee et al. 2006).

Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi

menjadi penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas

tebangan dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis (Naito et al. 2008; Sodhi et al.

2010). Beberapa hal penting dalam dimensi ekologis kuantitatif adalah sebagai berikut:

Perubahan dominansi jenis dalam tegakan pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda menunjukkan pola perubahan yang berbeda.

1) Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada hutan setelah penebangan

dikarenakan perkembangan gap opportunist species

2) Tegakan hutan setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai

keanekaragaman, kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah

dibandingkan kondisi hutan primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu

pemulihan.

3) Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan

tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan

yang berubah.

4) Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai

kecenderungan yang mengelompok.

Page 311: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

133

Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae

mempunyai variasi dengan kecenderungan yang mengelompok. Analisis distribusi spasial

jenis dengan pendekatan indeks Morisita terhadap 4 jenis Dipterocarpaceae sebagai penyusun

kanopi utama (Anisoptera costata, Dipterocarpus alatus, Hopea odorata dan Vatica cinerea)

mempunyai kecenderungan distribusi yang mengelompok (Bunyavejchewin et al. 2003).

Bentuk sebaran spasial jenis umumnya akan mengelompok, sesuai dengan batasan atau

kebutuhan akan tempat tumbuh yang spesifik. Penilaian status jenis atau kelompok jenis

dalam tegakan memerlukan pengetahuan tentang factor-faktor yang mempengaruhi

pembentukannya yaitu sifat genetis dan proses ekologisnya (Lee et al. 2006).

Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi

menjadi penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas

tebangan dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis (Naito et al. 2008; Sodhi et al.

2010). Beberapa hal penting dalam dimensi ekologis kuantitatif adalah sebagai berikut:

Perubahan dominansi jenis dalam tegakan pada variasi hutan bekas tebangan dengan teknik

penebangan yang berbeda menunjukkan pola perubahan yang berbeda.

1) Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada hutan setelah penebangan

dikarenakan perkembangan gap opportunist species

2) Tegakan hutan setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai

keanekaragaman, kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah

dibandingkan kondisi hutan primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu

pemulihan.

3) Pergeseran kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan

tingkat kemerataan yang relatif tetap tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan

yang berubah.

4) Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae mempunyai

kecenderungan yang mengelompok.

Page 312: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 9FORMULASI PENILAIAN

PEMULIHAN TEGAKAN

Page 313: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 9FORMULASI PENILAIAN

PEMULIHAN TEGAKAN

Page 314: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

134

9 FORMULASI PENILAIAN P EMULIHAN TEGAKAN

9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB)

Penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan dapat didekati dengan

penilaian keragaan karakteristik biometrik (KKB) tegakan hutan alam setelah penebangan.

Penilaian ini perlu mempertimbangkan variasi kondisi dan risalah tegakan. Penilaian

keragaan karakteristik biometrik tegakan atau hutan dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu (a)

dimensi statis tegakan Dipterocarpaceae yang mencakup: kerapatan tegakan, dominansi jenis,

keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan, kemerataan, kesamaan dan pola

sebaran spasial jenis tegakan Dipterocarpaceae dan (b) dimensi dinamis tegakan Dipterocarpaceae

yang mencakup: model dinamis struktur tegakan Dipterocarpaceae berdasarkan variasi

intensitas penebangan dan teknik pembebasan, model kematian/mortality dan alih

tumbuh/ingrowth.

Karakteristik dimensi statis biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran pada variasi

kondisi hutan 23 tahun setelah penebangan telah mempunyai dimensi kuantitatif mendekati

kondisi hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar

tegakan). Akan tetapi, dari segi komposisi jenis masih didominasi oleh kelompok jenis non

Dipterocarpaceae terutama jenis-jenis pioner. Dimensi kuantitatif tegakan pada hutan bekas

tebangan 13 tahun setelah pembebasan baik secara sistematis maupun berbasis pohon

binaan belum memberikan peningkatan yang nyata pada kelompok jenis Dipterocarpaceae baik

berdasarkan kerapatan maupun bidang dasar tegakan. Pemulihan tegakan dan respon

tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal tegakan untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Kajian

ini menunjukkan bahwa model sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan

struktur tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea),

non Dipterocarpaceae dan semua jenis.

Pada berbagai kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang

berbeda, dimensi statis tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran menunjukkan pola

perubahan dominansi jenis. Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada

hutan setelah penebangan dikarenakan perkembangan gap opportunist species. Tegakan hutan

setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai keanekaragaman,

kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan

primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu pemulihan. Pergeseran

kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan tingkat

kemerataan yang relatif tetap, akan tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan yang

berubah. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae

mempunyai kecenderungan yang mengelompok.

Page 315: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

134

9 FORMULASI PENILAIAN P EMULIHAN TEGAKAN

9.1. Keragaan Karakteristik Biometrik (KKB)

Penilaian pemulihan tegakan hutan setelah penebangan dapat didekati dengan

penilaian keragaan karakteristik biometrik (KKB) tegakan hutan alam setelah penebangan.

Penilaian ini perlu mempertimbangkan variasi kondisi dan risalah tegakan. Penilaian

keragaan karakteristik biometrik tegakan atau hutan dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu (a)

dimensi statis tegakan Dipterocarpaceae yang mencakup: kerapatan tegakan, dominansi jenis,

keanekaragaman jenis tegakan, kekayaan atau kelimpahan, kemerataan, kesamaan dan pola

sebaran spasial jenis tegakan Dipterocarpaceae dan (b) dimensi dinamis tegakan Dipterocarpaceae

yang mencakup: model dinamis struktur tegakan Dipterocarpaceae berdasarkan variasi

intensitas penebangan dan teknik pembebasan, model kematian/mortality dan alih

tumbuh/ingrowth.

Karakteristik dimensi statis biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran pada variasi

kondisi hutan 23 tahun setelah penebangan telah mempunyai dimensi kuantitatif mendekati

kondisi hutan primer berdasarkan dimensi statis tegakan (kerapatan dan bidang dasar

tegakan). Akan tetapi, dari segi komposisi jenis masih didominasi oleh kelompok jenis non

Dipterocarpaceae terutama jenis-jenis pioner. Dimensi kuantitatif tegakan pada hutan bekas

tebangan 13 tahun setelah pembebasan baik secara sistematis maupun berbasis pohon

binaan belum memberikan peningkatan yang nyata pada kelompok jenis Dipterocarpaceae baik

berdasarkan kerapatan maupun bidang dasar tegakan. Pemulihan tegakan dan respon

tindakan pembebasan berdasarkan struktur harizontal tegakan untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae akan lebih lambat dibandingkan kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Kajian

ini menunjukkan bahwa model sebaran lognormal dapat digunakan untuk menerangkan

struktur tegakan kelompok jenis Dipterocarpaceae (Shorea spp. dan Dipterocarpaceae non Shorea),

non Dipterocarpaceae dan semua jenis.

Pada berbagai kondisi hutan bekas tebangan dengan teknik penebangan yang

berbeda, dimensi statis tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran menunjukkan pola

perubahan dominansi jenis. Pergeseran dominansi kelompok jenis Dipterocarpaceae pada

hutan setelah penebangan dikarenakan perkembangan gap opportunist species. Tegakan hutan

setelah penebangan maupun setelah pembebasan mempunyai nilai keanekaragaman,

kelimpahan jumlah jenis dan kekayaan jenis yang lebih rendah dibandingkan kondisi hutan

primer yang kemudian cenderung meningkat seiring waktu pemulihan. Pergeseran

kemerataan sebaran jenis dalam tegakan hutan bekas tebangan menunjukkan tingkat

kemerataan yang relatif tetap, akan tetapi dominansi jenis penyusun dalam tegakan yang

berubah. Pola sebaran spasial kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae

mempunyai kecenderungan yang mengelompok.

Page 316: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

135

Berdasarkan dimensi dinamis, karakteristik biometrik tegakan hutan Dipterocarpaceae

campuran bekas tebangan pada beberapa kondisi hutan memiliki tingkat mortalitas yang

cenderung akan mulai mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik pada tegakan

setelah dengan teknik penebangan yang berbeda maupun dengan teknik pembebasan yang

berbeda. Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah

penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Variasi kondisi berupa penerapan teknik

penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan konvensional) dan teknik pembebasan yang

berbeda (sistematik dan berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata,

baik terhadap tingkat mortalitas maupun ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada

hutan primer relatif rendah dibandingkan pada variasi kondisi hutan bekas tebangan. Jangka

waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan tingkat

mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, sedangkan jangka

waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan ingrowth

kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan)

yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang

nyata terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.

Ukuran dimensi dinamis tegakan hutan Dipterocarpaceae campuran menunjukkan riap

diameter individu yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae dengan

kondisi pada hutan bekas tebangan dengan kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea

spp. Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun

pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang

meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan. Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan

hutan primer mempunyai hubungan dengan nilai riap individu diameter periodik untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan

yang nyata terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis

tersebut. Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak

mempunyai perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar

tegakan periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun

non Dipterocarpaceae). Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan memperlihatkan adanya

perbedaan yang nyata terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang

dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non

Shorea dan Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Teknik

pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh kelompok jenis

Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik dibandingkan kelompok

jenis lainnya. Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon

riap individu tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah

penebangan maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi

dinamis tegakan.

Page 317: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

135

Berdasarkan dimensi dinamis, karakteristik biometrik tegakan hutan Dipterocarpaceae

campuran bekas tebangan pada beberapa kondisi hutan memiliki tingkat mortalitas yang

cenderung akan mulai mendekati kondisi hutan primer pada tahun ke-5 baik pada tegakan

setelah dengan teknik penebangan yang berbeda maupun dengan teknik pembebasan yang

berbeda. Tingkat ingrowth tegakan cenderung akan meningkat hingga tahun ke-9 setelah

penebangan dan tahun ke-7 setelah pembebasan. Variasi kondisi berupa penerapan teknik

penebangan yang berbeda (RIL 50, RIL 60 dan konvensional) dan teknik pembebasan yang

berbeda (sistematik dan berbasis pohon binaan) tidak memberikan perbedaan yang nyata,

baik terhadap tingkat mortalitas maupun ingrowth tegakan baik untuk kelompok jenis

Dipterocarpaceae maupun non Dipterocarpaceae. Fluktuasi tingkat mortalitas dan ingrowth pada

hutan primer relatif rendah dibandingkan pada variasi kondisi hutan bekas tebangan. Jangka

waktu setelah penebangan mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan tingkat

mortalitas pada kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, sedangkan jangka

waktu setelah pembebasan mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan ingrowth

kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Penerapan teknik penebangan (intensitas tebangan)

yang berbeda dan teknik pembebasan yang berbeda belum memberikan perbedaan yang

nyata terhadap peningkatan ingrowth kelompok jenis Dipterocarpaceae.

Ukuran dimensi dinamis tegakan hutan Dipterocarpaceae campuran menunjukkan riap

diameter individu yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non Dipterocarpaceae dengan

kondisi pada hutan bekas tebangan dengan kontribusi terbesar dari kelompok jenis Shorea

spp. Tindakan atau perlakuan terhadap tegakan baik berupa penebangan maupun

pembebasan akan merubah kecepatan riap tegakan Dipterocarpaceae dengan respon yang

meningkat pada tahun ke-3 setelah perlakuan. Variasi kondisi hutan bekas tebangan dan

hutan primer mempunyai hubungan dengan nilai riap individu diameter periodik untuk

kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae, tetapi tidak mempunyai perbedaan

yang nyata terhadap nilai riap bidang dasar tegakan periodik untuk kedua kelompok jenis

tersebut. Variasi intensitas logging dengan limit tebangan 50 cm dan 60 cm tidak

mempunyai perbedaan yang nyata dengan riap diameter individu dan riap bidang dasar

tegakan periodik untuk semua kelompok jenis dalam tegakan baik Dipterocarpaceae maupun

non Dipterocarpaceae). Variasi kondisi tegakan setelah pembebasan memperlihatkan adanya

perbedaan yang nyata terhadap nilai riap diameter periodik individu pohon dan riap bidang

dasar tegakan periodik untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae (termasuk Dipterocarpaceae non

Shorea dan Shorea spp.) tetapi tidak terhadap kelompok jenis non Dipterocarpaceae. Teknik

pembebasan secara sistematis dalam tegakan akan direspon positif oleh kelompok jenis

Shorea spp berdasarkan nilai riap bidang dasar tegakan periodik dibandingkan kelompok

jenis lainnya. Adanya hubungan antara teknik pembukaan ruang tumbuh dengan respon

riap individu tegakan Dipterocarpaceae dan jangka waktu respon tegakan baik setelah

penebangan maupun setelah pembebasan merupakan faktor yang membentuk dimensi

dinamis tegakan.

Page 318: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

136

Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis

berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya

dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi

keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,

hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch

et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs

(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang

sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,

kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan

individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai

status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005). Penilaian secara kuantitatif individu

pohon dan tegakan hutan dengan variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (teknik

penebangan dan teknik pembebasan yang berbeda) menunjukkan respon yang berbeda

terhadap kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang

berbeda dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis

terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al.

2004). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis penyusun tegakan merupakan hal

penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon berdasarkan ekologi dan

pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).

9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan

Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan

Dipterocarpaceae menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component

Analysis/PCA). Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data

kuantitatif) menjadi suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun

tetap mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal

(Timm 2002; Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis

digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan

baik yang bersifat statis maupun dinamis.

Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa

penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran disusun berdasarkan 10

variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd),

jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks

kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I). Secara

bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada kondisi

tegakan hutan bekas tebangan 5 tahun (KKB HBT5), 7 tahun (KKB HBT7), 9 tahun (KKB

HBT9), 11 tahun (KKB HBT11), 15 tahun (KKB HBT15), 17 tahun (KKB HBT17) dan 23

tahun (KKB HBT23). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase kumulatif

Page 319: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

136

Perbedaan respon riap bidang dasar periodik pada masing-masing kelompok jenis

berdasarkan variasi kondisi site (tempat tumbuh) memiliki keeratan dalam hubungannya

dengan dimensi tegakan dan pertumbuhan ditentukan oleh interaksi faktor potensi

keturunan pohon (genetik), faktor lingkungan yang meliputi iklim (suhu, cahaya, angin,

hujan) dan tanah dan teknik silvikultur yang diberikan (Kramer dan Kozlowski 1960; Husch

et al. 1982; Oliver dan Larson 1996; Suhendang 1990; Husch et al. 2003). Adam dan Kolbs

(2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan jenis yang sama pada lokasi yang

sama, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi kekeringan, temperature,

kelerengan dan komposisi jenis. Adanya hubungan yang signifikan antara pertumbuhan

individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai

status dalam tegakan (Gersonde dan O’Hara 2005). Penilaian secara kuantitatif individu

pohon dan tegakan hutan dengan variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (teknik

penebangan dan teknik pembebasan yang berbeda) menunjukkan respon yang berbeda

terhadap kelompok jenis. Pendekatan pengelompokkan jenis atau dimensi tegakan yang

berbeda dapat dilakukan untuk melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis

terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al. 2002; Seng et al.

2004). Dengan meninjau karakteristik kelompok jenis penyusun tegakan merupakan hal

penting dalam mempelajari pertumbuhan jenis pohon berdasarkan ekologi dan

pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al. 2004).

9.2. Formulasi Penilaian Pemulihan

Analisis variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan

Dipterocarpaceae menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component

Analysis/PCA). Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data

kuantitatif) menjadi suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun

tetap mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal

(Timm 2002; Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis

digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan

baik yang bersifat statis maupun dinamis.

Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan menunjukkan bahwa

penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran disusun berdasarkan 10

variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd),

jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks

kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I). Secara

bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada kondisi

tegakan hutan bekas tebangan 5 tahun (KKB HBT5), 7 tahun (KKB HBT7), 9 tahun (KKB

HBT9), 11 tahun (KKB HBT11), 15 tahun (KKB HBT15), 17 tahun (KKB HBT17) dan 23

tahun (KKB HBT23). Tidak ada batasan jelas untuk batas minimal persentase kumulatif

Page 320: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

137

proporsi keragaman yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya 2011), tetapi dalam

penelitian ini menggunakan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat dijelaskan >80%

dan nilai eigenvalue >1. Berdasarkan kriteria tersebut pada HBT5 dan HBT7 terpilih 2

komponen utama (principal component/PC), sedangkan pada HBT9, HBT11, HBT15 dan

HBT17 terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing

komponen utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan

Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan

Analisis Komponen

Utama Variabel penyusun Konsisten

2 PC PC1 Bidang dasar, kerapatan, riap bidang dasar,

jumlah jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth HBT5, HBT7

PC2 indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, jumlah jenis, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis.

HBT5, HBT7

3 PC PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,

tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23

PC2 Kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth

HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23

PC3 Kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat mortalitas

HBT11, HBT15, HBT17, HBT23

Penilaian konsistensi penyusun komponen utama dilakukan pada HBT9, HBT11,

HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan bahwa untuk PC1 dan PC2 akan konsisten sejak

HBT9 sedangkan PC3 konsisten sejak HBT11. Penilaian komponen matrik pada PC1

menunjukkan peubah penting penyusun yang konsisten yang meliputi: indeks kekayaan

jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan. Peubah ini

lebih menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan

sebagai indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan peubah penting penyusun

meliputi: kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat

mortalitas dan ingrowth, yang lebih memberikan penilaian pada tingkat pemulihan tegakan

sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan peubah penting

penyusun meliputi: kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat

mortalitas, yang menunjukkan dimensi dinamis tegakan hutan sehingga komponen utama

ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic index).

Page 321: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

137

proporsi keragaman yang mampu dijelaskan (Mattjik dan Sumertajaya 2011), tetapi dalam

penelitian ini menggunakan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat dijelaskan >80%

dan nilai eigenvalue >1. Berdasarkan kriteria tersebut pada HBT5 dan HBT7 terpilih 2

komponen utama (principal component/PC), sedangkan pada HBT9, HBT11, HBT15 dan

HBT17 terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing

komponen utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan

Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan Dipterocarpaceae campuran setelah penebangan

Analisis Komponen

Utama Variabel penyusun Konsisten

2 PC PC1 Bidang dasar, kerapatan, riap bidang dasar,

jumlah jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth HBT5, HBT7

PC2 indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, jumlah jenis, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis.

HBT5, HBT7

3 PC PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,

tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23

PC2 Kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth

HBT9, HBT11, HBT15, HBT17, HBT23

PC3 Kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat mortalitas

HBT11, HBT15, HBT17, HBT23

Penilaian konsistensi penyusun komponen utama dilakukan pada HBT9, HBT11,

HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan bahwa untuk PC1 dan PC2 akan konsisten sejak

HBT9 sedangkan PC3 konsisten sejak HBT11. Penilaian komponen matrik pada PC1

menunjukkan peubah penting penyusun yang konsisten yang meliputi: indeks kekayaan

jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan, jumlah jenis dan kerapatan. Peubah ini

lebih menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan

sebagai indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan peubah penting penyusun

meliputi: kerapatan, bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis, tingkat

mortalitas dan ingrowth, yang lebih memberikan penilaian pada tingkat pemulihan tegakan

sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan peubah penting

penyusun meliputi: kerapatan, riap bidang dasar, indeks kemerataan jenis dan tingkat

mortalitas, yang menunjukkan dimensi dinamis tegakan hutan sehingga komponen utama

ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic index).

Page 322: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

138

Untuk menentukan faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel

dependen dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik

biometrik dilakukan dengan analisis faktor. Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan

pada HBT9, HBT11, HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of

Sphericity dengan nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 (Timm 2002; Mattjik dan

Sumertajaya 2011). Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis mempunyai

korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan Dipterocarpaceae

campuran meliputi bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis

yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:

KKB HBT9 = 0.73 Bd + 0.79 rBd + 0.77 E + 0.79 N1

KKB HBT11 = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1

KKB HBT15 = 0.76 Bd + 0.65 rBd + 0.84 E + 0.80 N1

KKB HBT17 = 0.72 Bd + 0.70 rBd + 0.84 E + 0.81 N1

KKB HBT23 = 0.71 Bd + 0.70 rBd + 0.83 E + 0.80 N1

Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan dan

penilaian konsistensi variabel penyusun analisis komponen utama maka penilaian KKB

dapat dilakukan sejak HBT11 atau untuk penilaian praktis di lapangan dapat dilakukan pada

tahun ke-10 setelah penebangan. Secara grafis penilaian KKB HBT yang mendekati pada

kondisi hutan primer disajikan pada Gambar 58. Ukuran KKB tegakan hutan setelah

penebangan pada kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah

kondisi tegakan hutan primer.

Keterangan: BB = batas bawah; BA= batas bawah

KKB = keragaan karakteristik biometrik; HBT = hutan bekas tebangan Gambar 58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan

70

80

90

100

HBT9 HBT11 HBT15 HBT17 HBT23

KK

B

Jangka waktu (tahun)

BB

BA

Page 323: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

138

Untuk menentukan faktor-faktor utama yang paling mempengaruhi variabel

dependen dari variabel dimensi statis dan dinamis pembentuk keragaan karakteristik

biometrik dilakukan dengan analisis faktor. Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan

pada HBT9, HBT11, HBT15, HBT17 dan HBT23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of

Sphericity dengan nilai KMO (Kaiser Meyer Olkin) >0.5 (Timm 2002; Mattjik dan

Sumertajaya 2011). Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis mempunyai

korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan Dipterocarpaceae

campuran meliputi bidang dasar, riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis

yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:

KKB HBT9 = 0.73 Bd + 0.79 rBd + 0.77 E + 0.79 N1

KKB HBT11 = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1

KKB HBT15 = 0.76 Bd + 0.65 rBd + 0.84 E + 0.80 N1

KKB HBT17 = 0.72 Bd + 0.70 rBd + 0.84 E + 0.81 N1

KKB HBT23 = 0.71 Bd + 0.70 rBd + 0.83 E + 0.80 N1

Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan dan

penilaian konsistensi variabel penyusun analisis komponen utama maka penilaian KKB

dapat dilakukan sejak HBT11 atau untuk penilaian praktis di lapangan dapat dilakukan pada

tahun ke-10 setelah penebangan. Secara grafis penilaian KKB HBT yang mendekati pada

kondisi hutan primer disajikan pada Gambar 58. Ukuran KKB tegakan hutan setelah

penebangan pada kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah

kondisi tegakan hutan primer.

Keterangan: BB = batas bawah; BA= batas bawah

KKB = keragaan karakteristik biometrik; HBT = hutan bekas tebangan Gambar 58. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah penebangan

70

80

90

100

HBT9 HBT11 HBT15 HBT17 HBT23

KK

B

Jangka waktu (tahun)

BB

BA

Page 324: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

139

Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan

menunjukkan bahwa penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran

disusun berdasarkan 10 variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap

bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis

(N1), indeks kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I).

Secara bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada

kondisi tegakan setelah pembebasan 5 tahun (KKB HSP5), 7 tahun (KKB HSP7), 9 tahun

(KKB HSP9), 11 tahun (KKB HSP11), 13 tahun (KKB HSP13), 15 tahun (KKB HSP15)

dan 23 tahun (KKB HSP23). Berdasarkan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat

dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1 pada semua jangka waktu setelah pembebasan

terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing komponen

utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae

campuran setelah pembebasan disajikan pada Tabel 41.

Tabel 41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan

Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan

Analisis Komponen

Utama Variabel penyusun Konsisten

PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,

tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks

kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth

HSP7, HSP9,

HSP11, HSP13,

HSP15, HSP23

PC2 Kerapatan dan indeks kemerataan jenis HSP9, HSP11,

HSP13, HSP15,

HSP23

PC3 Riap bidang dasar HSP7, HSP9,

HSP11, HSP13,

HSP15, HSP23

Penilaian konsistensi penyusun komponen utama pada HSP menunjukkan bahwa

pada PC1 dan PC3 akan konsisten sejak HSP7 sedangkan PC2 konsisten sejak HSP9.

Penilaian komponen matrik pada PC1 menunjukkan variabel penting penyusun yang

konsisten yang meliputi: indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan,

jumlah jenis, indeks kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth. Variable ini lebih

menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan sebagai

indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan variabel penting penyusun meliputi:

kerapatan dan indeks kemerataan jenis yang lebih memberikan penilaian pada tingkat

pemulihan tegakan sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan

variabel penting penyusun adalah riap bidang dasar, yang menunjukkan dimensi dinamis

tegakan hutan sehingga komponen utama ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic

index). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran

Page 325: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

139

Hasil analisis komponen utama pada hutan bekas tebangan setelah pembebasan

menunjukkan bahwa penilaian karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran

disusun berdasarkan 10 variabel yang meliputi: kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap

bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis

(N1), indeks kekayaan (R1), indeks kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan ingrowth (I).

Secara bertahap dilakukan analisis komponen utama keragaan karakteristik biometrik pada

kondisi tegakan setelah pembebasan 5 tahun (KKB HSP5), 7 tahun (KKB HSP7), 9 tahun

(KKB HSP9), 11 tahun (KKB HSP11), 13 tahun (KKB HSP13), 15 tahun (KKB HSP15)

dan 23 tahun (KKB HSP23). Berdasarkan kumulatif proporsi keragaman total yang dapat

dijelaskan >80% dan nilai eigenvalue >1 pada semua jangka waktu setelah pembebasan

terpilih 3 PC. Penilaian konsistensi variabel penyusun pada masing-masing komponen

utama/principal component (PC) untuk keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae

campuran setelah pembebasan disajikan pada Tabel 41.

Tabel 41. Penilaian konsistensi variable penting penyusun komponen utama pada hutan

Dipterocarpaceae campuran setelah pembebasan

Analisis Komponen

Utama Variabel penyusun Konsisten

PC1 Indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman,

tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks

kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth

HSP7, HSP9,

HSP11, HSP13,

HSP15, HSP23

PC2 Kerapatan dan indeks kemerataan jenis HSP9, HSP11,

HSP13, HSP15,

HSP23

PC3 Riap bidang dasar HSP7, HSP9,

HSP11, HSP13,

HSP15, HSP23

Penilaian konsistensi penyusun komponen utama pada HSP menunjukkan bahwa

pada PC1 dan PC3 akan konsisten sejak HSP7 sedangkan PC2 konsisten sejak HSP9.

Penilaian komponen matrik pada PC1 menunjukkan variabel penting penyusun yang

konsisten yang meliputi: indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman, tingkat kelimpahan,

jumlah jenis, indeks kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth. Variable ini lebih

menunjukkan atau mendekati pada penilaian ekologis hutan sehingga dikategorikan sebagai

indeks ekologi (ecological index). Pada PC2 menunjukkan variabel penting penyusun meliputi:

kerapatan dan indeks kemerataan jenis yang lebih memberikan penilaian pada tingkat

pemulihan tegakan sehingga dikategorikan sebagai recovery index. Pada PC3 menunjukkan

variabel penting penyusun adalah riap bidang dasar, yang menunjukkan dimensi dinamis

tegakan hutan sehingga komponen utama ini dikategorikan sebagai indeks dinamis (dynamic

index). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik tegakan hutan Dipterocarpacaeae campuran

Page 326: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

140

pada hutan bekas tebangan dan hutan setelah pembebasan akan mempunyai penyusun

variable penting yang berbeda.

Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan pada HSP7, HSP9, HSP11, HSP13,

HSP15 dan HSP23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan nilai KMO

(Kaiser Meyer Olkin) >0.5. Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis

mempunyai korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan

Dipterocarpaceae campuran meliputi: indeks keanekaragaman, kelimpahan jenis, tingkat

mortalitas dan ingrowth yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:

KKB HSP7 = 0.72 H’ + 0.83 N1 + 0.72 M + 0.63 I

KKB HSP9 = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I

KKB HSP11 = 0.83 H’ + 0.80 N1 + 0.80 M + 0.69 I

KKB HSP13 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.79 M + 0.71 I

KKB HSP15 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.80 M + 0.70 I

KKB HSP23 = 0.82 H’ + 0.89 N1 + 0.80 M + 0.71 I

Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan setelah

pembebasan menunjukkan penilaian KKB dapat dilakukan sejak tahun ke-9 setelah

pembebasan (HSP9). Secara grafis penilaian KKB HSP yang mendekati pada kondisi hutan

primer disajikan pada Gambar 59. Ukuran KKB tegakan hutan setelah pembebasan pada

kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah kondisi tegakan

hutan primer.

Keterangan: BB = batas bawah; BA = batas bawah

KKB = keragaan karakteristik biometrik; HSP = hutan setelah pembebasan

Gambar 59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan

70

80

90

100

110

120

HSP7 HSP9 HSP11 HSP13 HSP15 HSP23

KK

B

Jangka waktu (tahun)

BB

BA

Page 327: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

140

pada hutan bekas tebangan dan hutan setelah pembebasan akan mempunyai penyusun

variable penting yang berbeda.

Hasil analisis faktor pada hutan bekas tebangan pada HSP7, HSP9, HSP11, HSP13,

HSP15 dan HSP23 menunjukkan hasil uji Bartlett’s Test of Sphericity dengan nilai KMO

(Kaiser Meyer Olkin) >0.5. Hal ini menyatakan bahwa variabel penyusun analisis

mempunyai korelasi yang signifikan dalam keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan

Dipterocarpaceae campuran meliputi: indeks keanekaragaman, kelimpahan jenis, tingkat

mortalitas dan ingrowth yang disusun dengan bentuk persamaan berikut:

KKB HSP7 = 0.72 H’ + 0.83 N1 + 0.72 M + 0.63 I

KKB HSP9 = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I

KKB HSP11 = 0.83 H’ + 0.80 N1 + 0.80 M + 0.69 I

KKB HSP13 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.79 M + 0.71 I

KKB HSP15 = 0.83 H’ + 0.90 N1 + 0.80 M + 0.70 I

KKB HSP23 = 0.82 H’ + 0.89 N1 + 0.80 M + 0.71 I

Berdasarkan kecenderungan koefisien penyusun pada hutan bekas tebangan setelah

pembebasan menunjukkan penilaian KKB dapat dilakukan sejak tahun ke-9 setelah

pembebasan (HSP9). Secara grafis penilaian KKB HSP yang mendekati pada kondisi hutan

primer disajikan pada Gambar 59. Ukuran KKB tegakan hutan setelah pembebasan pada

kisaran nilai yang diarsir mengindikasikan kondisi yang mendekati kearah kondisi tegakan

hutan primer.

Keterangan: BB = batas bawah; BA = batas bawah

KKB = keragaan karakteristik biometrik; HSP = hutan setelah pembebasan

Gambar 59. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan

70

80

90

100

110

120

HSP7 HSP9 HSP11 HSP13 HSP15 HSP23

KK

B

Jangka waktu (tahun)

BB

BA

Page 328: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

141

Hasil analisis faktor pada hutan primer menunjukkan rumusan berikut :

KKB HP = 0.624K + 0.926Bd + 0.724J + 0.807H’ + 0.665R1 + 0.838 N1 + 0.635M.

Pada kondisi hutan primer mempunyai struktur yang lebih kompleks dibandingkan pada

hutan bekas tebangan maupun hutan setelah pembebasan. Respon yang berbeda dari jenis

atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik penilaian kuantitatif

dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman jenis penyusun

tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka

panjang juga bermanfaat dalam evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai

updating dalam kegiatan inventarisasi hutan (Garcia 2001). Ukuran akhir dalam keragaan

karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan penilaian tingkat

kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer yang mendukung

pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi hutan alam yang

pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).

9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan

Penilaian pemulihan hutan alam setelah penebangan berdasarkan hasil analisis

komponen utama yang disusun berdasarkan 10 variabel dimensi kuantitatif meliputi:

kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks

keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks kekayaan (R1), indeks

kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan tingkat alih tumbuh atau ingrowth (I). Analisis

variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae

menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA).

Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data kuantitatif) menjadi

suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun tetap mampu

mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal (Timm 2002;

Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis digunakan

untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan baik yang

bersifat statis maupun dinamis. Analisis biplot membantu sebaran variable penting sebagai

penyusun dalam komponen utama keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan (Gambar

60).

Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur

tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran

akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan

penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer

Page 329: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

141

Hasil analisis faktor pada hutan primer menunjukkan rumusan berikut :

KKB HP = 0.624K + 0.926Bd + 0.724J + 0.807H’ + 0.665R1 + 0.838 N1 + 0.635M.

Pada kondisi hutan primer mempunyai struktur yang lebih kompleks dibandingkan pada

hutan bekas tebangan maupun hutan setelah pembebasan. Respon yang berbeda dari jenis

atau kelompok jenis merupakan salah satu tinjauan karakteristik penilaian kuantitatif

dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan variasi keragaman jenis penyusun

tegakan (Phillips et al. 2002; Valle et al. 2006). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka

panjang juga bermanfaat dalam evaluasi teknik silvikultur yang diberikan dan sebagai

updating dalam kegiatan inventarisasi hutan (Garcia 2001). Ukuran akhir dalam keragaan

karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan penilaian tingkat

kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer yang mendukung

pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi hutan alam yang

pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).

9.3. Komponen Utama Penilaian Pemulihan

Penilaian pemulihan hutan alam setelah penebangan berdasarkan hasil analisis

komponen utama yang disusun berdasarkan 10 variabel dimensi kuantitatif meliputi:

kerapatan (K), luas bidang dasar (Bd), riap bidang dasar (rBd), jumlah jenis (J), indeks

keanekaragaman shannon (H’), kelimpahan jenis (N1), indeks kekayaan (R1), indeks

kemerataan (E), tingkat mortalitas (M) dan tingkat alih tumbuh atau ingrowth (I). Analisis

variabel pembentuk variasi keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae

menggunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA).

Pendekatan ini digunakan untuk mengubah gugus peubah (dimensi data kuantitatif) menjadi

suatu gugus peubah yang lebih kecil (komponen utamanya saja) namun tetap mampu

mempertahankan sebagian besar informasi yang terkandung pada data asal (Timm 2002;

Soemartini 2008; Mattjik dan Sumertajaya 2011). Principal Component Analysis digunakan

untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif dimensi tegakan baik yang

bersifat statis maupun dinamis. Analisis biplot membantu sebaran variable penting sebagai

penyusun dalam komponen utama keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan (Gambar

60).

Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur

tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran

akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan

penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer

Page 330: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

142

yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi

hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).

Gambar 60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan

Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan pertimbangan yang minimal

terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan regenerasi setelah penebangan (Sist

et al. 2003). Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis

tegakan akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi

menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan

(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan

kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat

keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).

Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi menjadi

penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas tebangan

dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis

5.02.50.0-2.5-5.0

5.0

2.5

0.0

-2.5

-5.0

PC 1

PC

2

I

M

N1

E

R1

H

J

rBD

BD

K

Biplot KKB HBT

Page 331: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

142

yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi

hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).

Gambar 60. Keragaan karakteristik biometrik pada tegakan hutan setelah pembebasan

Sistem tebang pilih yang diterapkan masih memberikan pertimbangan yang minimal

terhadap aspek ekologi terutama dalam perkembangan regenerasi setelah penebangan (Sist

et al. 2003). Pengaruh tebang pilih pada tegakan hutan terhadap keanekaragaman jenis

tegakan akan bervariasi pada setiap tempat tumbuh (Sodhi et al. 2010). Pada beberapa studi

menunjukkan bahwa pengaruh penebangan secara selektif tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap keanekaragaman jenis pada hutan 18-20 tahun setelah penebangan

(Verburg dan van Eijk-Bos 2003 dalam Sodhi et al. 2010). Jika dibandingkan dengan

kondisi hutan primer, maka hutan bekas tebangan 41 tahun mempunyai tingkat

keanekaragaman jenis yang lebih rendah (Okuda et al. 2003 dalam Sodhi et al. 2010).

Pertimbangan dimensi biodiversitas terutama pada areal-areal hutan produksi menjadi

penting untuk pengelolaan populasi tegakan Dipterocarpaceae di hutan-hutan bekas tebangan

dengan tujuan kelestarian hasil dan konservasi jenis

5.02.50.0-2.5-5.0

5.0

2.5

0.0

-2.5

-5.0

PC 1

PC

2

I

M

N1

E

R1

H

J

rBD

BD

K

Biplot KKB HBT

Page 332: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 10

PENUTUP

Page 333: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

BAB 10

PENUTUP

Page 334: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

143

10 PENUTUP

Pendekatan penilaian keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah

penebangan dapat dilakukan dengan pendekatan tiga komponen utama yaitu (1) indeks

ekologi (ecological index) yang meliputi variabel: indeks keanekaragaman, indeks kekayaan

jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks kemerataan, bidang dasar dan riap bidang

dasar; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index) meliputi variabel: kerapatan, bidang dasar

dan tingkat ingrowth dan (3) indeks dinamis (dynamic index) meliputi variabel: riap bidang

dasar dan tingkat mortalitas.

Pendekatan penilaian arah perkembangan tegakan hutan setelah pembebasan dapat

menggunakan tiga komponen utama yang meliputi : (1) indeks ekologi (ecological index):

indeks keanekaragaman, indeks kekayaan jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks

kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index)

meliputi variabel: kerapatan dan indeks kemerataan jenis dan (3) indeks dinamis (dynamic

index) dengan variabel riap bidang dasar.

Rumusan peubah penting penyusun keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan

alam setelah penebangan pada tegakan hutan bekas tebangan (HBT) meliputi: bidang dasar,

riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis, sedangkan tegakan hutan

setelah pembebasan (HSP) mempunyai peubah penting meliputi: indeks keanekaragaman,

kelimpahan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth. Penilaian efektif arah pemulihan tegakan

hutan adalah pada umur 11 tahun setelah penebangan dan 9 tahun setelah perlakuan

pembebasan. Rumusan KKB hutan Dipterocarpaceae campuran disusun dengan bentuk

persamaan berikut:

KKB HBT = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1

KKB HSP = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I

Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur

tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran

akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan

penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer

yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi

hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).

Tinjauan ini menunjukkan adanya variable penting yang berbeda yang menjadi

komponen penilai dalam pemulihan tegakan hutan. Sehingga berdasarkan hasil yang

diperoleh dalam penelitian ini, hal yang disarankan adalah penyusunan perencanaan yang

lebih efektif perlu meninjau karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi

kondisi dengan evaluasi respon yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda.

Page 335: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

143

10 PENUTUP

Pendekatan penilaian keragaan karakteristik biometrik tegakan hutan alam setelah

penebangan dapat dilakukan dengan pendekatan tiga komponen utama yaitu (1) indeks

ekologi (ecological index) yang meliputi variabel: indeks keanekaragaman, indeks kekayaan

jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks kemerataan, bidang dasar dan riap bidang

dasar; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index) meliputi variabel: kerapatan, bidang dasar

dan tingkat ingrowth dan (3) indeks dinamis (dynamic index) meliputi variabel: riap bidang

dasar dan tingkat mortalitas.

Pendekatan penilaian arah perkembangan tegakan hutan setelah pembebasan dapat

menggunakan tiga komponen utama yang meliputi : (1) indeks ekologi (ecological index):

indeks keanekaragaman, indeks kekayaan jenis, tingkat kelimpahan, jumlah jenis, indeks

kemerataan, tingkat mortalitas dan ingrowth; (2) indeks pemulihan tegakan (recovery index)

meliputi variabel: kerapatan dan indeks kemerataan jenis dan (3) indeks dinamis (dynamic

index) dengan variabel riap bidang dasar.

Rumusan peubah penting penyusun keragaan karakteristik biometrik (KKB) hutan

alam setelah penebangan pada tegakan hutan bekas tebangan (HBT) meliputi: bidang dasar,

riap bidang dasar, indeks kemerataan dan kelimpahan jenis, sedangkan tegakan hutan

setelah pembebasan (HSP) mempunyai peubah penting meliputi: indeks keanekaragaman,

kelimpahan jenis, tingkat mortalitas dan ingrowth. Penilaian efektif arah pemulihan tegakan

hutan adalah pada umur 11 tahun setelah penebangan dan 9 tahun setelah perlakuan

pembebasan. Rumusan KKB hutan Dipterocarpaceae campuran disusun dengan bentuk

persamaan berikut:

KKB HBT = 0.77 Bd + 0.74 rBd + 0.83 E + 0.80 N1

KKB HSP = 0.83 H’ + 0.78 N1 + 0.84 M + 0.76 I

Rumusan KKB dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pemulihan struktur

tegakan setelah mendapat gangguan (penebangan) menuju ke arah kondisi asal. Ukuran

akhir dalam keragaan karakteristik biometrik hutan Dipterocarpaceae campuran merupakan

penilaian tingkat kedekatan (closeness) kondisi tegakan hutan terhadap kondisi hutan primer

yang mendukung pada penilaian paradigma pembangunan hutan untuk mendekati kondisi

hutan alam yang pernah ada pada areal tersebut (close to the natural forest).

Tinjauan ini menunjukkan adanya variable penting yang berbeda yang menjadi

komponen penilai dalam pemulihan tegakan hutan. Sehingga berdasarkan hasil yang

diperoleh dalam penelitian ini, hal yang disarankan adalah penyusunan perencanaan yang

lebih efektif perlu meninjau karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi

kondisi dengan evaluasi respon yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda.

Page 336: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

144

Konsekuensi pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai

tujuan pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan perlu didasarkan

evaluasi karakteristik biometrik tegakan hutan yang khas dengan mempertimbangkan

karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan tersebut

Penyusunan status riset plot STREK yang telah berumur 25 tahun, memberikan

beberapa catatan penting bahwa dalam perencanaan yang lebih efektif perlu meninjau

karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi kondisi dengan evaluasi respon

yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda. Konsekuensi pemilihan input atau

tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan pengelolaan terutama dalam

rangka memacu produktivitas tegakan berdasarkan evaluasi karakteristik biometrik tegakan

hutan yang khas dengan mempertimbangkan karakteristik variabel-variabel penting dalam

tegakan tersebut.

Manfaat keberadaan Plot STREK sangat penting baik dari sisi penelitian (berbagai

kajian ilmiah) maupun pendidikan (sarana pendidikan alam) yang tidak ternilai. Data dan

informasi pengukuran Plot STREK merupakan kekayaan Badan Litbang Kehutanan yang

sangat berharga. Database yang dihasilkan Plot STREK telah digunakan sebagai input

rekomendasi kebijakan teknis terutama dalam pemodelan dan pengelolaan manajemen

hutan lestari. Tersedianya data monitoring yang akurat dan bersifat jangka panjang serta

periodik (setiap 2 tahun) menjadi sangat penting sebagai pembelajaran bagi evaluasi kegiatan

pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dari berbagai aspek. Hal yang krusial adalah

bagaimana melindungi hutan dari gangguan atau aktivitas pengrusakan, seperti penebangan

ilegal, perambahan dan kebakaran sehingga hutan dapat meningkat produktifitasnya pada

rotasi selanjutnya.

Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama sebagai teknik

pengukuran kemungkinan atau kedekatan pemulihan tegakan setelah gangguan (penebangan)

dengan mengetahui karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan. Diperlukan

penyusunan perencanaan dan pengelolaan hutan alam produksi terutama aspek produksi

dan ekologi yang lebih berdasarkan pada lokal spesifik. Didukung adanya konsekuensi

pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan

pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan.

Page 337: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

144

Konsekuensi pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai

tujuan pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan perlu didasarkan

evaluasi karakteristik biometrik tegakan hutan yang khas dengan mempertimbangkan

karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan tersebut

Penyusunan status riset plot STREK yang telah berumur 25 tahun, memberikan

beberapa catatan penting bahwa dalam perencanaan yang lebih efektif perlu meninjau

karakteristik biometrik tegakan hutan berdasarkan variasi kondisi dengan evaluasi respon

yang beragam dari kelompok jenis yang berbeda. Konsekuensi pemilihan input atau

tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan pengelolaan terutama dalam

rangka memacu produktivitas tegakan berdasarkan evaluasi karakteristik biometrik tegakan

hutan yang khas dengan mempertimbangkan karakteristik variabel-variabel penting dalam

tegakan tersebut.

Manfaat keberadaan Plot STREK sangat penting baik dari sisi penelitian (berbagai

kajian ilmiah) maupun pendidikan (sarana pendidikan alam) yang tidak ternilai. Data dan

informasi pengukuran Plot STREK merupakan kekayaan Badan Litbang Kehutanan yang

sangat berharga. Database yang dihasilkan Plot STREK telah digunakan sebagai input

rekomendasi kebijakan teknis terutama dalam pemodelan dan pengelolaan manajemen

hutan lestari. Tersedianya data monitoring yang akurat dan bersifat jangka panjang serta

periodik (setiap 2 tahun) menjadi sangat penting sebagai pembelajaran bagi evaluasi kegiatan

pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dari berbagai aspek. Hal yang krusial adalah

bagaimana melindungi hutan dari gangguan atau aktivitas pengrusakan, seperti penebangan

ilegal, perambahan dan kebakaran sehingga hutan dapat meningkat produktifitasnya pada

rotasi selanjutnya.

Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama sebagai teknik

pengukuran kemungkinan atau kedekatan pemulihan tegakan setelah gangguan (penebangan)

dengan mengetahui karakteristik variabel-variabel penting dalam tegakan. Diperlukan

penyusunan perencanaan dan pengelolaan hutan alam produksi terutama aspek produksi

dan ekologi yang lebih berdasarkan pada lokal spesifik. Didukung adanya konsekuensi

pemilihan input atau tindakan silvikultur yang diperlukan dalam mencapai tujuan

pengelolaan terutama dalam rangka memacu produktivitas tegakan.

Page 338: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

DAFTAR PUSTAKA

Page 339: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

DAFTAR PUSTAKA

Page 340: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

145

DAF TAR P USTAKA

Adams HD, Kolbs TE. 2005. Tree growth response to drought and temperature in a mountain landscape in Northern Arizona, USA. J Biogeogr. 32:1629-1640.

Alder D, Oavika F, Sanchez M, Silva JNM, van der Hout P, Wright HL. 2002. A comparison of species growth rates from four moist tropical forest region. International Forestry Review. 4(3):196-205.

[ANU] The Australian National University. 1999. Stand Structure. Forest Measurement and Modelling.

Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae. F Males. 1(9):237-552. Baker FS, Helms JA, Daniel TW. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono J, penerjemah.

Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Balakrishnan M, Borgstrom R, Bie SW. 1994. Tropical Ecosystem, a Synthesis of Tropical Ecology

and Conservation. New York (US): International Science Publisher. [B2PD] Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. 2010. Kondisi kawasan hutan dengan Tujuan

Khusus [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]. Tersedia pada: http://diptero.or.id/?q=node/18.

Bertault JG, Kadir K. 1998. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I.

Bischoff W, Newbery DM, Lingenfelder M, Schnaeckel R, Petol GH, Madani L, Risdale CE. 2005. Secondary succession and Dipterocarp recruitment in Bornean rain forest after logging. Forest Ecol Manag. 218:174-192. doi:10.1016/j.foreco.2005.07.009.

Bonino EE, Araujo P. 2005. Structural differences between a primary and a secondary forest in the Argentine dry chaco and management implications. Short Communication. Forest Ecol Manag. 206:407-412. doi:10.1016/j.foreco.2004.11.009.

Boreel A. 2009. Struktur tegakan dan sebaran spasial jenis pohon Torem (Manilkara kanosiensis H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku

Tenggara Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bunyavejchewin S, LaFrankie JV, Baker PJ, Kanzaki M, Ashton PS, Yamakura. 2003.

Spatial distribution pattern of the dominant canopy Dipterocarp species in a seasonal dry evergreen forest in Western Thailand. Forest Ecol Manag. 175:87-101.

Carvalho JOP, Silva JNM, Lopes JCA. 2004. Growth rate of a terra firme rain forest in Brazilian Amazonia over an eight-year period in response to logging. Acta Amaz. 34(2).

Chertov O, Komarov A, Mikhailov A, Andrienko G, Andrienko N, Gatalsky P. 2005. Geovisualization of forest simulation modeling results: A case study of carbon sequestration and biodiversity. Comput Electron Agr. 49:175-191.

Coates KD, Burton PJ. 1997. A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Forest Ecol Manag. 99:337-354.

Davis LS, Johnson NK. 1987. Forest Management. Third Edition. New York (US): McGraw Hill Company.

Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York (US): McGraw-Hill.

Page 341: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

145

DAF TAR P USTAKA

Adams HD, Kolbs TE. 2005. Tree growth response to drought and temperature in a mountain landscape in Northern Arizona, USA. J Biogeogr. 32:1629-1640.

Alder D, Oavika F, Sanchez M, Silva JNM, van der Hout P, Wright HL. 2002. A comparison of species growth rates from four moist tropical forest region. International Forestry Review. 4(3):196-205.

[ANU] The Australian National University. 1999. Stand Structure. Forest Measurement and Modelling.

Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae. F Males. 1(9):237-552. Baker FS, Helms JA, Daniel TW. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono J, penerjemah.

Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Balakrishnan M, Borgstrom R, Bie SW. 1994. Tropical Ecosystem, a Synthesis of Tropical Ecology

and Conservation. New York (US): International Science Publisher. [B2PD] Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. 2010. Kondisi kawasan hutan dengan Tujuan

Khusus [Internet]. [diunduh 2013 Mei 5]. Tersedia pada: http://diptero.or.id/?q=node/18.

Bertault JG, Kadir K. 1998. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I.

Bischoff W, Newbery DM, Lingenfelder M, Schnaeckel R, Petol GH, Madani L, Risdale CE. 2005. Secondary succession and Dipterocarp recruitment in Bornean rain forest after logging. Forest Ecol Manag. 218:174-192. doi:10.1016/j.foreco.2005.07.009.

Bonino EE, Araujo P. 2005. Structural differences between a primary and a secondary forest in the Argentine dry chaco and management implications. Short Communication. Forest Ecol Manag. 206:407-412. doi:10.1016/j.foreco.2004.11.009.

Boreel A. 2009. Struktur tegakan dan sebaran spasial jenis pohon Torem (Manilkara kanosiensis H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku

Tenggara Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bunyavejchewin S, LaFrankie JV, Baker PJ, Kanzaki M, Ashton PS, Yamakura. 2003.

Spatial distribution pattern of the dominant canopy Dipterocarp species in a seasonal dry evergreen forest in Western Thailand. Forest Ecol Manag. 175:87-101.

Carvalho JOP, Silva JNM, Lopes JCA. 2004. Growth rate of a terra firme rain forest in Brazilian Amazonia over an eight-year period in response to logging. Acta Amaz. 34(2).

Chertov O, Komarov A, Mikhailov A, Andrienko G, Andrienko N, Gatalsky P. 2005. Geovisualization of forest simulation modeling results: A case study of carbon sequestration and biodiversity. Comput Electron Agr. 49:175-191.

Coates KD, Burton PJ. 1997. A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Forest Ecol Manag. 99:337-354.

Davis LS, Johnson NK. 1987. Forest Management. Third Edition. New York (US): McGraw Hill Company.

Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York (US): McGraw-Hill.

Page 342: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

146

[FAO] Food and Agricultural Organization of the United Nations. 2001. State of The World Forest. Rome (IT): FAO.

Feng FL. 1989. The growth and stand structure of natural and man made forest in the tropical forest region of Taiwan. Bull Expt Forest of NCHU. 11:21-40.

Flewelling JW, Monserud RA. 2002. Comparing Methods for Modelling Tree Mortality. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-25:168-177.

Garcίa O. 2001. Growth and Yield in British Columbia, Background and Discussion. University of Northern British Columbia.

Gertner GZ, Parysow P, Guan B. 1996. Projection variance partitioning of a conceptual forest growth model with orthogonal polynomials. Forest Sci. 42:474-486.

Gersonde RF, O’Hara KL. 2005. Comparative tree growth efficiency in Sierra Nevada mixed-conifer forests. Forest Ecol Manag. 219:95–108.

Glover G. 2008. Growth and yield: How will my forest grow? School of Forestry & Wildlife Sciences. Auburn University.

Gourlet-Fleury S, Cornu G, Jesel S, Dessard H, Jourget JG, Blanc L, Picard N. 2005. Using models to predict recovery and assess tree species vulnerability in logged tropical forests: A case study from French Guiana. Forest Ecol Manag. 209:69-86.doi:10.1016/j.foreco.2005.01.010.

Guldin JM. 1991. Uneven aged BDq regulation of Sierra Nevada mixed conifer. West J Apl For. 6(2): 27-32.

Gullison JJ, Bourque CPA. 2001. Spatial prediction of tree and shrub succession in a small watershed in Northern Cape Breton Island, Nova Scotia, Canada. Ecol Model. 137(2-3):181–199.

Harcombe PA, Bill CJ, Fulton M, Glitzenstein JS, Marks PL, Elsik IS. 2002. Stand dynamics over 18 years in a Southern Mixed Hardwood Forest, Texas, USA. J Ecol. 90:947-957.

Hardiansyah G, Hardjanto T, Mulyana M. 2005. A Brief Note on TPTJ (Modified Indonesia Selective Cutting System) from Experience of PT. Sari Bumi Kusuma (PT SBK) Timber Concessionaire. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).

Henning JG, Burk TE. 2004. Improving growth and yield estimates with a process model derived growth index. Can J Forest Res. 34:1274-1282.

Husch B, Miller C, Beers TW. 1982. Growth of the Tree. Florida (US): John Willey and Sons Inc. Krieger Publishing Company.

Husch B, Beers TW, Kershaw Jr JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.

Ibie BF. 1997. Pendugaan dimensi tegakan hutan rawa gambut sekunder berdasarkan

struktur tegakan di arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam

Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 2002. Penerapan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan Dipterocarpaceae, hutan hujan dataran rendah di HPH PT. Hugurya, Aceh. J Man Hut Trop. 18(2):75-88.

Page 343: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

146

[FAO] Food and Agricultural Organization of the United Nations. 2001. State of The World Forest. Rome (IT): FAO.

Feng FL. 1989. The growth and stand structure of natural and man made forest in the tropical forest region of Taiwan. Bull Expt Forest of NCHU. 11:21-40.

Flewelling JW, Monserud RA. 2002. Comparing Methods for Modelling Tree Mortality. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-25:168-177.

Garcίa O. 2001. Growth and Yield in British Columbia, Background and Discussion. University of Northern British Columbia.

Gertner GZ, Parysow P, Guan B. 1996. Projection variance partitioning of a conceptual forest growth model with orthogonal polynomials. Forest Sci. 42:474-486.

Gersonde RF, O’Hara KL. 2005. Comparative tree growth efficiency in Sierra Nevada mixed-conifer forests. Forest Ecol Manag. 219:95–108.

Glover G. 2008. Growth and yield: How will my forest grow? School of Forestry & Wildlife Sciences. Auburn University.

Gourlet-Fleury S, Cornu G, Jesel S, Dessard H, Jourget JG, Blanc L, Picard N. 2005. Using models to predict recovery and assess tree species vulnerability in logged tropical forests: A case study from French Guiana. Forest Ecol Manag. 209:69-86.doi:10.1016/j.foreco.2005.01.010.

Guldin JM. 1991. Uneven aged BDq regulation of Sierra Nevada mixed conifer. West J Apl For. 6(2): 27-32.

Gullison JJ, Bourque CPA. 2001. Spatial prediction of tree and shrub succession in a small watershed in Northern Cape Breton Island, Nova Scotia, Canada. Ecol Model. 137(2-3):181–199.

Harcombe PA, Bill CJ, Fulton M, Glitzenstein JS, Marks PL, Elsik IS. 2002. Stand dynamics over 18 years in a Southern Mixed Hardwood Forest, Texas, USA. J Ecol. 90:947-957.

Hardiansyah G, Hardjanto T, Mulyana M. 2005. A Brief Note on TPTJ (Modified Indonesia Selective Cutting System) from Experience of PT. Sari Bumi Kusuma (PT SBK) Timber Concessionaire. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).

Henning JG, Burk TE. 2004. Improving growth and yield estimates with a process model derived growth index. Can J Forest Res. 34:1274-1282.

Husch B, Miller C, Beers TW. 1982. Growth of the Tree. Florida (US): John Willey and Sons Inc. Krieger Publishing Company.

Husch B, Beers TW, Kershaw Jr JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.

Ibie BF. 1997. Pendugaan dimensi tegakan hutan rawa gambut sekunder berdasarkan

struktur tegakan di arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam

Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Indrawan A. 2002. Penerapan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan Dipterocarpaceae, hutan hujan dataran rendah di HPH PT. Hugurya, Aceh. J Man Hut Trop. 18(2):75-88.

Page 344: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

147

Ipor IB, Tawan CS, Ismail J, Bojo O. 1999. Floristic Compositions and Structures of Forest at Bario Highlands, Sarawak. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation. 15hlm.

Ishida H, Hattori T, Takeda Y. 2005. Comparison of species composition and richness between primary and secondary lucidophyllous forests in two altitudinal zones of Tsushima Island, Japan. Forest Ecol Manag. 213:273-287.

Kao D, Iida S. 2006. Structural characteristics of logged evergreen forests in Preah Vihear, Cambodia, 3 years after logging. Forest Ecol Manag. 225:62-73.doi:10.1016/j.foreco.2005.12.056.

Kariuki M, Kooyman RM, Smith RGB, Wardell-Johnson G, Vanclay JK. 2006. Regeneration Changes in Tree Species Abundance, Diversity and Structure in Logged and Unlogged Subtropical Rainforest Over a 36-year Period. Forest Ecol Manag. 236:162-176.doi:10.1016/j.foreco.2006.09.021.

Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Trees. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company Inc.

Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row Publisher. Krebs CJ. 1994. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York

(US): Addison-Wesley Educational Publishers. Krebs CJ. 2006. Ecology after 100 years: Progress and pseudo-progress. N Z J Ecol.

30(1):3-11. Krisnawati H. 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika

struktur tegakan (Kasus hutan alam bekas tebangan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kurinobu S, Hardjono A, Eko H, Tomiyasu M. 2006. Growth model for predicting stand development of Acacia mangium in South Sumatra, Indonesia, Using the reciprocal equation of size-density effect. Forest Ecol Manag. 228:91-97.doi:10.1016/j.foreco.2006.01.049.

Lee HS, Davies SJ, LaFrankie JV, Tan S, Itoh A, Yamakura T, Okhubo T, Ashton PS. 2002. Floristic and structural diversity of mixed dipterocarp forest in Lambir Hills National Park, Sarawak, Malaysia. J Trop For Sci. 14(3):379-400.

Lee SL, Ng KKS, Sawa LG, Lee CT, Muhammad N, Tanib N, Tsumurab Y, Koskelac J. 2006. Linking the gaps between conservation research and conservation management of rare dipterocarps: A case study of Shorea lumutensis. Biol Conser. 131:72-91.

Lewis SL, Phillips OL, Sheil D, Vinceti B, Baker TR, Brown S, Graham AW, Higuchi N, Hilbert DW, Laurance WF et al. 2004. Tropical forest tree mortality, recruitment and turnover rates: Calculation, interpretation and comparison when census intervals vary. J Ecol. 92:929-944.

Loetcsh F, Zohrer F, Haller KE. 1973. Forest Inventory. Volume II. Translated into English by Panzer KF. Munchen (DE): BLV Verlagsgesellschaft mbH.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB): Croom Helm Limited.

Makana JR, Thomas SC. 2006. Impacts of selective logging and agricultural clearing on forest structure, floristic composition and diversity, and timber tree regeneration in the Ituri Forest, Democratic Republic of Congo. Biodiver Conserv. 15:1375–1397.doi:10.1007/s10531-005-5397-6.

Page 345: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

147

Ipor IB, Tawan CS, Ismail J, Bojo O. 1999. Floristic Compositions and Structures of Forest at Bario Highlands, Sarawak. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation. 15hlm.

Ishida H, Hattori T, Takeda Y. 2005. Comparison of species composition and richness between primary and secondary lucidophyllous forests in two altitudinal zones of Tsushima Island, Japan. Forest Ecol Manag. 213:273-287.

Kao D, Iida S. 2006. Structural characteristics of logged evergreen forests in Preah Vihear, Cambodia, 3 years after logging. Forest Ecol Manag. 225:62-73.doi:10.1016/j.foreco.2005.12.056.

Kariuki M, Kooyman RM, Smith RGB, Wardell-Johnson G, Vanclay JK. 2006. Regeneration Changes in Tree Species Abundance, Diversity and Structure in Logged and Unlogged Subtropical Rainforest Over a 36-year Period. Forest Ecol Manag. 236:162-176.doi:10.1016/j.foreco.2006.09.021.

Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Trees. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company Inc.

Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row Publisher. Krebs CJ. 1994. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York

(US): Addison-Wesley Educational Publishers. Krebs CJ. 2006. Ecology after 100 years: Progress and pseudo-progress. N Z J Ecol.

30(1):3-11. Krisnawati H. 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika

struktur tegakan (Kasus hutan alam bekas tebangan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kurinobu S, Hardjono A, Eko H, Tomiyasu M. 2006. Growth model for predicting stand development of Acacia mangium in South Sumatra, Indonesia, Using the reciprocal equation of size-density effect. Forest Ecol Manag. 228:91-97.doi:10.1016/j.foreco.2006.01.049.

Lee HS, Davies SJ, LaFrankie JV, Tan S, Itoh A, Yamakura T, Okhubo T, Ashton PS. 2002. Floristic and structural diversity of mixed dipterocarp forest in Lambir Hills National Park, Sarawak, Malaysia. J Trop For Sci. 14(3):379-400.

Lee SL, Ng KKS, Sawa LG, Lee CT, Muhammad N, Tanib N, Tsumurab Y, Koskelac J. 2006. Linking the gaps between conservation research and conservation management of rare dipterocarps: A case study of Shorea lumutensis. Biol Conser. 131:72-91.

Lewis SL, Phillips OL, Sheil D, Vinceti B, Baker TR, Brown S, Graham AW, Higuchi N, Hilbert DW, Laurance WF et al. 2004. Tropical forest tree mortality, recruitment and turnover rates: Calculation, interpretation and comparison when census intervals vary. J Ecol. 92:929-944.

Loetcsh F, Zohrer F, Haller KE. 1973. Forest Inventory. Volume II. Translated into English by Panzer KF. Munchen (DE): BLV Verlagsgesellschaft mbH.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB): Croom Helm Limited.

Makana JR, Thomas SC. 2006. Impacts of selective logging and agricultural clearing on forest structure, floristic composition and diversity, and timber tree regeneration in the Ituri Forest, Democratic Republic of Congo. Biodiver Conserv. 15:1375–1397.doi:10.1007/s10531-005-5397-6.

Page 346: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

148

Mani S, Parthasarathy N. 2006. Tree diversity and stand structure in island and coastal tropical dry evergreen forests of peninsular India. Curr Sci. 90(9):1238-1246.

Marin GC, Robert N, Benigno GR, Per CO. 2005. Stand Dynamics and Basal Area Change in A Tropical Dry Forest Reserve in Nicaragua. Forest Ecol Manag. 208:63-75.

Mattjik AA, Sumertaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. Bogor (ID): Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor.

Metcalf CJE, Clark JS, Clark DA. 2009. Tree growth inference and prediction when the point of measurement changes: modelling around buttresses in tropical forests. J Trop Ecol. 25:1–12.

Meyer 1952 Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bortoo RA. 1961. Forest Management. New

York (US): The Ronald Press Company. hlm 47-131. Mex PM. 2005. Progress on The Studies of Growth of Logged Over Natural Forest in

Papua New Guinea. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).

Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US): John Wiley & Son.

Muhdi. 2012. Efektivitas pemanenan kayu dengan teknik Reduced Impact Logging terhadap cadangan massa karbon di hutan alam tropika, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon (kasus pada areal bekas tebangan hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering di Kalimantan) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH. 2008. Keragaman struktur tegakan hutan alam sekunder. J Man Hut Trop. 16(2):81-87.

Mulyanto L, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi: Studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. J Man Hut Trop. 10(1):29-42.

Naito Y, Kanzaki M, Iwata H, Obayashi K, Lee SL, Muhammad N, Okuda T, Tsumura Y. 2008. Density-dependent selfing and its effects on seed performance in a tropical canopy tree species, Shorea acuminata (Dipterocarpaceae). Forest Ecol Manag. 256:375-383.

Ng KKS, Lee SL, Ueno S. 2009. Impact of selective logging on genetic diversity of two tropical tree species with contrasting breeding systems using direct comparison and simulation methods. Forest Ecol Manag. 257:107-116. doi:10.1016/j.foreco.2008.08.035.

Nguyen-The, N, Favrichon V, Sist P, Houde L, Bertault JG, Fauvet N. 1998. Growth and mortality pattern before and after logging. In: Bertault JG, Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta. CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 181-184.

Nishimua TB, Suzuki E, Kohyama T, Tsuyuzaki S. 2006. Mortality and growth of trees in peat-swamp and heath forests in Central Kalimantan after severe drought. Plant Ecol. 188:165-177.

Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. New York (US): McGraw Hill Inc.

Page 347: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

148

Mani S, Parthasarathy N. 2006. Tree diversity and stand structure in island and coastal tropical dry evergreen forests of peninsular India. Curr Sci. 90(9):1238-1246.

Marin GC, Robert N, Benigno GR, Per CO. 2005. Stand Dynamics and Basal Area Change in A Tropical Dry Forest Reserve in Nicaragua. Forest Ecol Manag. 208:63-75.

Mattjik AA, Sumertaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. Bogor (ID): Departemen Statistika Institut Pertanian Bogor.

Metcalf CJE, Clark JS, Clark DA. 2009. Tree growth inference and prediction when the point of measurement changes: modelling around buttresses in tropical forests. J Trop Ecol. 25:1–12.

Meyer 1952 Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bortoo RA. 1961. Forest Management. New

York (US): The Ronald Press Company. hlm 47-131. Mex PM. 2005. Progress on The Studies of Growth of Logged Over Natural Forest in

Papua New Guinea. International Workshop on Promoting Permanent Sample Plots in Asia and The Pacific Region. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).

Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US): John Wiley & Son.

Muhdi. 2012. Efektivitas pemanenan kayu dengan teknik Reduced Impact Logging terhadap cadangan massa karbon di hutan alam tropika, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon (kasus pada areal bekas tebangan hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering di Kalimantan) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH. 2008. Keragaman struktur tegakan hutan alam sekunder. J Man Hut Trop. 16(2):81-87.

Mulyanto L, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi: Studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. J Man Hut Trop. 10(1):29-42.

Naito Y, Kanzaki M, Iwata H, Obayashi K, Lee SL, Muhammad N, Okuda T, Tsumura Y. 2008. Density-dependent selfing and its effects on seed performance in a tropical canopy tree species, Shorea acuminata (Dipterocarpaceae). Forest Ecol Manag. 256:375-383.

Ng KKS, Lee SL, Ueno S. 2009. Impact of selective logging on genetic diversity of two tropical tree species with contrasting breeding systems using direct comparison and simulation methods. Forest Ecol Manag. 257:107-116. doi:10.1016/j.foreco.2008.08.035.

Nguyen-The, N, Favrichon V, Sist P, Houde L, Bertault JG, Fauvet N. 1998. Growth and mortality pattern before and after logging. In: Bertault JG, Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta. CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 181-184.

Nishimua TB, Suzuki E, Kohyama T, Tsuyuzaki S. 2006. Mortality and growth of trees in peat-swamp and heath forests in Central Kalimantan after severe drought. Plant Ecol. 188:165-177.

Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. New York (US): McGraw Hill Inc.

Page 348: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

149

Oliver CD, Larson BC. 1996. Forest Stand Dynamics, Update edition. New York (US): John Wiley and Sons.

Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi kasus di areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Phillip MS. 1998. Measuring Trees and Forest. Second Edition. Wallingford (UK): CABI Publishing.

Phillips PD, Yasman I, Brash TE, van Gardingen PR. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Ecol Manag. 157:205-216.

Primack RB, Ashton P, Chai P, Lee HS. 1985. Growth rates and population structure of Moraceae trees in Sarawak, East Malaysia. Ecol. 66:577-588.

Prodan M. 1968. Forest Biometrics. First Edition. Gardiner SH, penerjemah. Oxford (GB): Pergamon Press. Terjemahan dari: Forstliche Biometrie.

Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest. An Ecological Study. New York (US): Cambridge at The University Press Company.

Ryan MG, Binkley D, Fownes JH. 1997. Age-related decline in forest productivity: Pattern and process. Adv Ecol Res. 27:213-262.

Saridan A, Susanty FH. 2005. Plot STREK: Tehnik silvikultur untuk pemuliaan hutan bekas tabangan di Kalimantan Timur. Samarinda (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan.

Seng HW, Wickneswari R, Shukor MN, Mahani MC. 2004. The effects of the timing and method of logging on forest structure in Peninsular Malaysia. Forest Ecol Manag. 203:209-228.

Setiawan A. 2013. Keragaan struktur tegakan dan kepadatan tanah pada tegakan tinggal di

hutan alam produksi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silva JNM, deCarvalhoa JOP, Lopes JCA, de Almeidaa BF, Costa DHM, de Oliveira LC,

Vanclay JK, Skovsgaardd JP. 1995. Growth and yield of a tropical rain forest in the Brazilian Amazon 13 years after logging. Forest Ecol Manag. 71:267-274.

Silva RP, dos Santos J, Tribuzy ES, Chambers JQ, Nakamura S, Higuchi N. 2002. Diameter increment and growth patterns for individual tree growing in Central Amazon, Brazil. Forest Ecol Manag. 166:295-301.

Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar. Sist P, Abdurachman. 1998. Liberation thinning in logged-over forest. In: Bertault JG,

Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 171-180.

Sist P, Ferreira FN. 2007. Sustainability of reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecol Manag. 243:199-209.

Sist P, Fimbel R, Sheil D, Nasi R, Chevallier MH. 2003. Towards sustainable management of mixed Dipterocarp forests of South-East Asia: Moving beyond minimum diameter cutting limits. Environ Conserv. 30(4):364-374.

Smith RGB, Nichols JD. 2005. Patterns of basal area increment, mortality and recruitment were related to logging intensity in subtropical rainforest in Australia over 35 years. Forest Ecol Manag. 218:319-328. doi:10.1016/j.foreco.2005.08.030.

Page 349: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

149

Oliver CD, Larson BC. 1996. Forest Stand Dynamics, Update edition. New York (US): John Wiley and Sons.

Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi kasus di areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Phillip MS. 1998. Measuring Trees and Forest. Second Edition. Wallingford (UK): CABI Publishing.

Phillips PD, Yasman I, Brash TE, van Gardingen PR. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Ecol Manag. 157:205-216.

Primack RB, Ashton P, Chai P, Lee HS. 1985. Growth rates and population structure of Moraceae trees in Sarawak, East Malaysia. Ecol. 66:577-588.

Prodan M. 1968. Forest Biometrics. First Edition. Gardiner SH, penerjemah. Oxford (GB): Pergamon Press. Terjemahan dari: Forstliche Biometrie.

Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest. An Ecological Study. New York (US): Cambridge at The University Press Company.

Ryan MG, Binkley D, Fownes JH. 1997. Age-related decline in forest productivity: Pattern and process. Adv Ecol Res. 27:213-262.

Saridan A, Susanty FH. 2005. Plot STREK: Tehnik silvikultur untuk pemuliaan hutan bekas tabangan di Kalimantan Timur. Samarinda (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan.

Seng HW, Wickneswari R, Shukor MN, Mahani MC. 2004. The effects of the timing and method of logging on forest structure in Peninsular Malaysia. Forest Ecol Manag. 203:209-228.

Setiawan A. 2013. Keragaan struktur tegakan dan kepadatan tanah pada tegakan tinggal di

hutan alam produksi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silva JNM, deCarvalhoa JOP, Lopes JCA, de Almeidaa BF, Costa DHM, de Oliveira LC,

Vanclay JK, Skovsgaardd JP. 1995. Growth and yield of a tropical rain forest in the Brazilian Amazon 13 years after logging. Forest Ecol Manag. 71:267-274.

Silva RP, dos Santos J, Tribuzy ES, Chambers JQ, Nakamura S, Higuchi N. 2002. Diameter increment and growth patterns for individual tree growing in Central Amazon, Brazil. Forest Ecol Manag. 166:295-301.

Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar. Sist P, Abdurachman. 1998. Liberation thinning in logged-over forest. In: Bertault JG,

Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta (ID): CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. hlm 171-180.

Sist P, Ferreira FN. 2007. Sustainability of reduced-impact logging in the Eastern Amazon. Forest Ecol Manag. 243:199-209.

Sist P, Fimbel R, Sheil D, Nasi R, Chevallier MH. 2003. Towards sustainable management of mixed Dipterocarp forests of South-East Asia: Moving beyond minimum diameter cutting limits. Environ Conserv. 30(4):364-374.

Smith RGB, Nichols JD. 2005. Patterns of basal area increment, mortality and recruitment were related to logging intensity in subtropical rainforest in Australia over 35 years. Forest Ecol Manag. 218:319-328. doi:10.1016/j.foreco.2005.08.030.

Page 350: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

150

Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sodhi NS, Koh LP, Clements R, Wanger TC, Hill JK, Hamer KC, Clough Y, Tscharntke T,

Posa MRC, Lee TM. 2010. Conserving Southeast Asian forest biodiversity in human-modified landscapes. Biol Conserv. 143:2375-2384.doi:10.1016/j.biocon.2009.12.029.

Soemartini 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Jatinangor (ID): Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.

Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.

Stone JN, Porter LP. 1998. What is Forest Stand Structure and How to Measure It? Northwest Science, Volume 72, Special Issue No. 2. Canada (US): Washington State University Press.

Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah

di Bengkunat. Propinsi Daerah Tingkat I Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et

de Vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 1997. Penentuan periode pengukuran optimal untuk petak ukur permanen

di hutan alam tanah kering. J Man Hut Trop. 3(1):1-12. Suhendang E. 2002. Growth and yield studies: The implication for the management of

Indonesian tropical forest. In: Saharudin MI, Kiam TS, Hwai YY, Othman D, Korsgaard, editor. International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest; 2002 Jun 25-29; Kualalumpur, Malaysia. Kuala Lumpur: Malaysia-ITTO.

Sundarapandian SM, Swamy PS. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. J Trop For Sci. 12:104–123.

Susanty FH, Iskandar A, Wiati CB, Andriansyah M, Supriyanto A, Rojikin A. 2015. Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Hutan Penelitian Labanan 2015 – 2019. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Susilawati, Jaya INS. 2003. Evaluasi Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pemanenan Menggunakan Landsat 7 ETM+ di HPH PT Sri Buana Dumai Provinsi Riau. J Man Hut Trop. 9(1):1-16.

Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer-Verlag. Trunbull KJ. 1963. Population dynamics in mixed forest stand: A system of mathematical

models of mixed growth and structure [dissertation]. Washington (US): University of Washington.

Udiansyah. 1994. Studi efisiensi penggunaan struktur tegakan dalam menduga beberapa dimensi tegakan. Kalimantan Scientiae. 33(12):67-72.

[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1978. Tropical Forest Ecosystem. France (FR): Natural Resources Research. 14:122-136.

Page 351: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

150

Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sodhi NS, Koh LP, Clements R, Wanger TC, Hill JK, Hamer KC, Clough Y, Tscharntke T,

Posa MRC, Lee TM. 2010. Conserving Southeast Asian forest biodiversity in human-modified landscapes. Biol Conserv. 143:2375-2384.doi:10.1016/j.biocon.2009.12.029.

Soemartini 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Jatinangor (ID): Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.

Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.

Stone JN, Porter LP. 1998. What is Forest Stand Structure and How to Measure It? Northwest Science, Volume 72, Special Issue No. 2. Canada (US): Washington State University Press.

Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah

di Bengkunat. Propinsi Daerah Tingkat I Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et

de Vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 1997. Penentuan periode pengukuran optimal untuk petak ukur permanen

di hutan alam tanah kering. J Man Hut Trop. 3(1):1-12. Suhendang E. 2002. Growth and yield studies: The implication for the management of

Indonesian tropical forest. In: Saharudin MI, Kiam TS, Hwai YY, Othman D, Korsgaard, editor. International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest; 2002 Jun 25-29; Kualalumpur, Malaysia. Kuala Lumpur: Malaysia-ITTO.

Sundarapandian SM, Swamy PS. 2000. Forest ecosystem structure and composition along an altitudinal gradient in the Western Ghats, South India. J Trop For Sci. 12:104–123.

Susanty FH, Iskandar A, Wiati CB, Andriansyah M, Supriyanto A, Rojikin A. 2015. Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Hutan Penelitian Labanan 2015 – 2019. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Susilawati, Jaya INS. 2003. Evaluasi Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pemanenan Menggunakan Landsat 7 ETM+ di HPH PT Sri Buana Dumai Provinsi Riau. J Man Hut Trop. 9(1):1-16.

Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer-Verlag. Trunbull KJ. 1963. Population dynamics in mixed forest stand: A system of mathematical

models of mixed growth and structure [dissertation]. Washington (US): University of Washington.

Udiansyah. 1994. Studi efisiensi penggunaan struktur tegakan dalam menduga beberapa dimensi tegakan. Kalimantan Scientiae. 33(12):67-72.

[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1978. Tropical Forest Ecosystem. France (FR): Natural Resources Research. 14:122-136.

Page 352: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

151

Valle D, Mark S, Edson V, James G, Marcio S. 2006. Identifying bias in stand-level growth and yield estimations: A case study in Eastern Brazilian Amazonia. Forest Ecol Manag. 236:127-135.

Vanclay JK. 1988. A stand growth model for Cypress pine. In: JW Leech, RE McMurtrie, PW West, RD Spencer, BM Spencer, editor. Modelling trees, stands and forests. School of Forestry Univ Melbourne. Bulletin No 5:310-332.

Vanclay JK. 1989. A growth model for North Queensland rainforests. Forest Ecol Manag. 27:245-271.

Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield. CAB International. United Kingdom. Vanclay JK. 1995. Growth models for tropical forests: A synthesis of models and methods.

Forest Sci. 41:7-42. Vanclay JK. 2003. Growth modelling and yield prediction for sustainable forest

management. Malays For. 66(1):58-69. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford (GB): Clarendon Press. Whitmore TC. 1990. Tropical rain forest dynamics and its implications for management. Di

dalam: Gomez-Pompa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain Forest Regeneration and Management. Man and the Biosphere Series. Volume 6. Paris (FR): Parthenon Publishing Group. hlm 67-89.

Page 353: KATA PENGANTAR - FORDA · KATA PENGANTAR i INTISARI ii DAFTAR SINGKATAN iii DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR ISI v DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR TABEL xii 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

151

Valle D, Mark S, Edson V, James G, Marcio S. 2006. Identifying bias in stand-level growth and yield estimations: A case study in Eastern Brazilian Amazonia. Forest Ecol Manag. 236:127-135.

Vanclay JK. 1988. A stand growth model for Cypress pine. In: JW Leech, RE McMurtrie, PW West, RD Spencer, BM Spencer, editor. Modelling trees, stands and forests. School of Forestry Univ Melbourne. Bulletin No 5:310-332.

Vanclay JK. 1989. A growth model for North Queensland rainforests. Forest Ecol Manag. 27:245-271.

Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield. CAB International. United Kingdom. Vanclay JK. 1995. Growth models for tropical forests: A synthesis of models and methods.

Forest Sci. 41:7-42. Vanclay JK. 2003. Growth modelling and yield prediction for sustainable forest

management. Malays For. 66(1):58-69. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford (GB): Clarendon Press. Whitmore TC. 1990. Tropical rain forest dynamics and its implications for management. Di

dalam: Gomez-Pompa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain Forest Regeneration and Management. Man and the Biosphere Series. Volume 6. Paris (FR): Parthenon Publishing Group. hlm 67-89.


Recommended