Transcript
Page 1: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

1

Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam Rangka

Menyiapkan Sumber Daya Manusia Berkarakter Kuat Menyongsong

Era Revolusi Industri 4.0

I Wayan Suastra

Universitas Pendidikan Ganesha

[email protected]

Act Locally Thinks Globally

PENDAHULUAN

Era revolusi industri 4.0

merupakan abad yang sering disebut era

disruption (kekacauan/disrupsi), penuh

dengan kompleksitas dan ketidakpastian

serta menghasilkan generasi milenia

yang antara lain memiliki ciri-ciri:

kecanduan internet (sebagian besar

waktunya untuk internet/sosial media),

suka bekerja, suka bermain, bersenang-

senang, hidupnya konsumtif, dan kurang

perhatian.

Gardner (2007) menyatakan

bahwa untuk menghadapi tantangan

masa depan yang begitu kompleks dan

cepat ini adalah dengan menguasai lima

pikiran untuk masa depan (five minds for

the future) yang meliputi: pikiran

terdisiplin, pikiran menyintesis, pikiran

mencipta, pikiran merespek, dan pikiran

etis. Artinya, selain sumber daya manusia

itu cerdas (smart), juga diperlukan

pikiran dan perilaku etis (karakter

baik/good character).

Saat ini berbagai persoalan dialami

bangsa Indonesia, seperti maraknya

intoleransi, radikalisme, terorisme, fitnah

di media sosial (Hoak), korupsi,

pemerasan/kekerasan (bullying),

penggunaan narkoba (Badan Narkotika

Nasional menyatakan ada lebih dari 3,6

juta penduduk pecandu narkoba di

Indonesia tahun 2010), rapuhnya rasa

kebangsaan baik dari kalangan

masyarakat biasa sampai yang

berpendidikan tinggi, serta adanya

sekelompok masyarakat yang ingin

mengganti dasar negara kita Pancasila

yang berlandaskan ke-bhineka-an dengan

ideologi lain. Persoalan ini tidak bisa

dibiarkan begitu saja karena akan

berakibat pada runtuhnya tatanan

kebangsaan kita. Salah satu yang diduga

sebagai penyebab persoalan ini adalah

kurang ditanamkannya secara baik

karakter kebangsaan dalam proses

pendidikan di sekolah. Hal ini sesuai

dengan pendapatnya Zamroni (2000:1)

yang mengatakan bahwa dewasa ini,

pendidikan cenderung menjadi sarana

"stratifikasi sosial" dan sistem

persekolahan yang hanya mentransfer

kepada peserta didik apa yang disebut

sebagai dead knowledge, yaitu

pengetahuan yang terlalu bersifat hafalan

(textbookish), sehingga bagaikan sudah

diceraikan dari akar budayanya. Lebih

lanjut, Suastra (2017) menyatakan bahwa

nilai-nilai kearifan lokal yang ada di

masyarakat kurang mendapat perhatian

dalam proses pembelajaran di sekolah,

padahal nilai-nilai tersebut masih sangat

relevan diterapkan dalam kehidupan

bermasyarat dan dapat menjaga keutuhan

banga Indonesia. Fenomena ini

mengindikasikan kegagalan dalam

bidang dalam mengembangkan

pendidikan nilai. Lebih lanjut, Widja

(2016) mengatakan bahwa carut-

marutnya bangsa ini disebabkan karena

adanya disfungsi sekolah dalam

pendidikan budi pekerti (moral). Kurang

baiknya moral siswa berakibat pada

rendahnya karakter siswa adalah

Page 2: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

2

indikator kegagalan guru dalam

mengintegrasikan pengetahuan tentang

nilai menjadi tindakan yang positif

(Lickona, 1999; Lopes, dkk, 2013; Abu,

dkk, 2014; Aisah, 2014). Sudah saatnya

segera dibangun kembali kesadaran akan

pentingnya pembinaan karakter bagi

insan Indonesia melalui pendidikan yang

bermutu. Sesuai dengan pendapatnya

Elmubarok (2008) yaitu, mengumpulkan

yang terserak, menyambung yang

terputus, dan menyatukan yang tercerai.

Berkenaan dengan tuntutan

kebutuhan dunia kerja di masa depan,

National Association College Employers

(NACE) tahun 2015 menguraikan bahwa

5 teratas keterampilan-keterampilan yang

dibutuhkan dunia usaha adalah 1)

kemampuan bekerja dalam tim (4,55), 2)

kemampuan mengambil keputusan yang

tepat dan pemecahan masalah (4,50), 3)

merencanakan, mengorganisasi, dan

memprioritaskan pekerjaan (4,48), 4)

kemampuan memperoleh informasi dan

memproses informasi (4,48), serta 5)

kemampuan menganalisis data

kuantitatif (4,37) dengan skor maksimal.

Artinya, untuk mengantisipasi

perkembangan dunia yang begitu cepat

dan kompleks ini diperlukan sumber

daya manusia yang berkualitas dan

berdaya saing tinggi dengan menekankan

pada karakter (kecerdasan sosial,

kecerdasan emosiaonal, dan kecerdasan

spiritual).

Rendahnya kualitas pendidikan

tidak bisa lepas dari peran guru dalam

proses pendidikan. Perhatian utama

dalam upaya meningkatkan kualitas

pendidikan adalah meningkatkan kualitas

guru. Jadi, gurulah yang memegang

peranan sentral dalam proses pendidikan,

di samping faktor-faktor lainnya seperti:

kurikulum, serta sarana dan prasarana

pendukung lainnya. Guru merupakan

unsur penentu terciptanya mutu

pelayanan dan hasil pendidikan

(Zamroni, 2001). Oleh karena itu, bangsa

Indonesia memerlukan guru yang cerdas,

arif, dan berkarakter Indonesia agar

mampu menghasilkan sumber daya

manusia yang kompeten, cerdas, dan

berkarakter bangsa Indonesia yang kuat.

ASPEK BUDAYA PADA

PEMBELAJARAN FISIKA

Untuk mempelajari proses

pembelajaran fisika di sekolah, selain

memakai teori psikologi yang berakar

pada konstruktivisme individu (personal

constructivism) dan perspektif sosiologi

yang bertumpu pada konstruktivisme

sosial (social constructivism), para

peneliti dan ahli pendidikan sains saat ini

mencoba untuk menggunakan kajian

teori anthropologi (anthropological

perspective). Yang terakhir ini mencoba

melihat proses pembelajaran fisika di

sekolah pada setting budaya masyarakat

sekitar (Suastra, 2005; Cobern dan

Aikenhead, 1996). Menurut perspektif

antropologi, pembelajaran fisika

dianggap sebagai transmisi budaya

(cultural transmission) dan pembelajaran

fisika sebagai "penguasaan" budaya

(cultural acquisition). Dengan demikian,

proses belajar mengajar fisika di kelas

dapat diibaratkan sebagai proses

pemindahan dan perolehan budaya dari

guru dan oleh murid. Untuk pembatasan,

kata budaya (culture) yang dimaksud di

sini adalah suatu sistem atau tatanan

tentang simbol dan arti yang berlaku pada

interaksi sosial suatu masyarakat (Geertz,

1992). Berdasarkan batasan ini, fisika

dapat dianggap sebagai subbudaya

kebudayaan Barat (Euro-Amerika). Oleh

karena itu, sains asli (budaya lokal) dari

suatu komunitas di Indonesia (non-Barat)

adalah subbudaya dari kebudayaan

komunitas tersebut.

Pengaruh sains barat sangat kuat

pada pembelajaran fisika (sains) di

sekolah yang tujuan utamanya adalah

transmisi budaya dari budaya negara

yang dominan (Stanley dan Brickhouse,

2001). Pentransmisian subkultur sains

dapat mendorong dan dapat

menghancurkan atau memisahkan. Jika

subkultur sains pada umumnya harmonis

Page 3: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

3

dengan budaya sehari-hari siswa,

pembelajaran sains akan memiliki

kecenderungan untuk memperkuat

pandangan siswa terhadap alam semesta,

dan hasilnya adalah inkulturasi (Hawkins

& Pea, 1987). Jika inkulturasi terjadi,

maka berpikir ilmiah siswa tentang

kehidupan sehari-hari akan meningkat.

Tetapi jika subkultur sains berbeda

dengan budaya sehari-hari siswa tentang

alam semesta, seperti yang terjadi pada

kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa,

2002), maka pembelajaran sains akan

memiliki kecenderungan untuk

menghancurkan atau memisahkan

pandangan siswa terhadap alam sehingga

siswa akan meninggalkan atau

meminggirkan cara asli mereka.

Hasilnya adalah asimilasi (Jegede &

Aikenhead, 2000) yang konotasinya

sangat negatif sebagai bukti adanya

“hegemoni pendidikan” atau

“imperialisme budaya” (Battiste dalam

Cobern & Aikenhead, 1996:5). Siswa

akan berjuang menegosiasi untuk

menembus batas antara subkultur yang

asli dan subkultur sains. Tetapi, dalam

kenyataannya, siswa sering menolak

aspek-aspek penting budayanya sendiri.

Sebagai contoh, dalam penelitian yang

berseri dari tahun 1972 sampai tahun

1980 di Papua New Guenia telah

ditemukan pengaruh tersembunyi yang

signifikan terhadap terjadi pemisahan

siswa dari budaya tradisionalnya. Pada

sekolah-sekolah yang lebih formal,

siswanya lebih menerima alienisasi.

Untuk kasus di Bali, hal itu dapat dilihat

dari makin banyaknya kerusakan

lingkungan alam seperti rusaknya hutan

lindung, terleklamasinya pantai untuk

kepentingan hotel, rusaknya terumbu

karang di berbagai tempat, makin

sedikitnya hutan, serta makin

berkurangnya binatang langka yang ada

di Bali (burung jalak Bali, Penyu hijau,

burung kokokan), serta makin

berkurangnya bangunan-bangunan

tradisional Bali yang penuh dengan nilai-

nilai kearifan tradisional.

KESULITAN SISWA

(MASYARAKAT TIMUR) DALAM

BELAJAR SAINS (FISIKA)

Para ahli yang berkecimpung

dalam penelitian tentang keterlibatan

nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh

siswa dalam proses pembelajaran sains

menggunakan sebuah metafora atau

pengkiasan yang diberi nama "metafora

sang pelintas batas” (border crossing

methaphor) untuk menjelaskan proses

pembelajaran sains dari perspektif

antropologi (Jegede & Aikenhead, 2000;

Wahyudi, 2003:7). Menurut metafora ini,

siswa dianggap sebagai sang pelintas

batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai

budaya keseharian mereka dengan nilai-

nilai budaya sains di sekolah yang pada

dasarnya didominasi oleh budaya sains

Barat. Kata "batas" di sini adalah "batas

imajiner" yaitu batas yang ada dalam

pikiran, bukan batasan secara material.

Menggunakan metafora ini, Costa (1995)

mengelompokkan siswa ke dalam lima

kategori berdasarkan cara mereka masuk

ke dalam budaya sains di kelas dari

budaya keseharian mereka, seperti

digambarkan dalam Gambar 1 berikut.

Page 4: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

4

Gambar 1 Proses Usaha Kelima Kelompok Siswa dalam Melintasi "Batas" Budaya

Keterangan :

CB = cultural border (batas budaya)

IDKS = I don’t know students

PS = potential scientist student

OS = outsider students

OSK = other smart kids

Kelompok pertama disebut dengan

“Potential Scientist ” (PS). Siswa dalam

kelompok ini dapat dengan mudah

melintasi batas kedua budaya (CB) yaitu

budaya sekolah sains dan budaya

keseharian mereka secara alami, seolah-

olah batas tersebut tidak ada bagi

mereka. Kelompok kedua disebut dengan

“Other Smart Kids” (OSK), yaitu

kelompok siswa yang dapat melewati

batas dengan baik, namun mereka masih

menganggap dan mengakui sains sebagai

sebuah budaya asing. Siswa dalam

kelompok ini kebanyakan suka

menggunakan cara “cerdas" untuk

berhasil dalam pembelajaran sains.

Mereka dapat membangun konstruks

pengetahuan sains di dalam skemata

mental mereka dan menyimpannya

dalam memori jangka panjang yang

hanya dapat diakses lagi ketika

diperlukan pada saat ujian. Kelompok

ketiga adalah “I Don’t Know

Students”(IDKS), yaitu suatu kelompok

yang menghadapi masalah serius dalam

melintasi batas kedua budaya tersebut,

tetapi mau belajar untuk mengatasinya,

dan berhasil menggunakan cara Fatima’s

Rule secara terus menerus. Kelompok ini

mungkin berhasil di dalam ujian

pelajaran sains, namun mereka tidak

memahami konsep sains secara

komprehensif. Mereka cenderung

menghafal konsep, bukan

memahaminya. Kelompok keempat

adalah “Outsider” (OS), yaitu kelompok

siswa yang cenderung terasing selama

proses pembelajaran sains berlangsung.

Kelompok ini menghadapi masalah besar

dalam usaha melintasi batas budaya.

Kelompok siswa ini hampir tidak

mungkin dapat melintasi batas tersebut.

Hal ini disebabkan oleh begitu kuatnya

pengaruh nilai kebudayaan keseharian

mereka, dibandingkan dengan konsep-

konsep sains yang mereka pelajari di

kelas. Kelompok terakhir adalah “Inside

Outsider” yaitu suatu kelompok yang

merasakan diskrimasi budaya oleh sains

modern sehingga mereka merasakan

tidak mungkin dapat menembus batas

kedua budaya tersebut. Kelompok ini

sebenarnya memiliki keinginan yang

School’s Culture

School Science Culture

PS

CB

Student Prior Beliefs

OS

OSK &

IDKS

IOS

Page 5: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

5

besar, namun menjadi asing di

kelas/sekolah karena kelas/sekolah tidak

menyediakan tempat untuk nilai-nilai

budaya siswa (student’s prior belief).

Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan

(teralienisasi) sehingga tidak

mendapatkan pengetahuan sains yang

bermakna bagi hidup mereka.

Ogunniyi (dalam Aikenhead,

2000:8) menjelaskan bahwa pandangan

asli yang bertentangan dengan pemikiran

sains Barat tidak menghalangi

pemahaman sains siswa dan bahkan

pandangan asli dan pandangan ilmiah

tentang dunia dimungkinkan untuk

diajarkan secara silmultan. George

(2001:3) menyatakan dua hal (1) Pada

belajar kolateral paralel (parallel

collateral learning), siswa dapat

memiliki kedua skemata yang hanya

sedikit persamaannya (sains aslinya

belum dapat dijelaskan sains Barat), dan

akan menerima skemata yang terbaik dan

cocok dengan situasi yang dimilikinya.

(2) Melalui belajar kolateral yang

menguatkan (secured collateral

learning), siswa dapat dengan mudah

menyelesaikan konflik skematanya

karena hanya sedikit perbedaan. Siswa

mungkin akan memperoleh pemahaman

yang lebih baik tentang kedua skemata

karena sedikit perbedaan (sains aslinya

dapat dijelaskan dengan sains Barat).

Berdasarkan uraian tersebut,

jelas bahwa siswa dalam konteks

masyarakat tradisional (Timur termasuk

Indonesia) akan mengalami kesulitan

yang lebih besar dibandingkan dengan

siswa dari negara Barat dalam

mengkonstruksi sains dan sikap-sikap

ilmiah. Hal ini disebabkan oleh

perbedaan konsep, pemaknaan

(epistemologi), dan cara memperoleh

pengetahuan mereka. Oleh karena itu,

dalam pembelajaran sains di sekolah,

perlu adanya bridging gap agar terjadi

keharmonisan budaya yang datang dari

Barat dengan budaya yang mereka miliki

sebagai warisan leluhur mereka dan

bagian dari kehidupan keseharian

mereka. Dengan demikian, budaya yang

dimiliki siswa dalam masyarakat

tradisional tidak begitu saja hilang

dengan datangnya budaya sains Barat,

tetapi dapat berjalan secara paralel dan

bahkan dapat menguatkan budaya yang

telah ada sebelumnya (inkulturasi).

PENTINGNYA PENDIDIKAN

KARAKTER BERBASIS

KEARIFAN LOKAL DI DALAM

PEMBELAJARAN

Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2008), karakter merupakan

sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi

pekerti yang membedakan seseorang

dengan yang lain. Dengan demikian,

karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik

yang terpatri dalam diri dan

terejawantahkan dalam perilaku. Lebih

lanjut diuraikan dalam Disain Induk

Pembangunan Karakter Bangsa 2010-

2015 dimaknai sebagai tahu nilai

kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata

berkehidupan baik. Jadi, karakter dalam

tulisan ini adalah seperti yang dinyatakan

terakhir. Sebagai identitas atau jati diri

suatu bangsa, karakter merupakan nilai

dasar perilaku yang menjadi acuan tata

nilai interaksi antara manusia. Secara

universal karakter dirumuskan sebagai

nilai hidup bersama berdasarkan atas

pilar: kedamaian (peace), menghargai

(respect), kerja sama (cooperation),

kebebasan (freedom), kebahagiaan

(happiness), kejujuran (honesty),

kerendahan hati (humility), kasih sayang

(love), tanggung jawab (responsibility),

kesederhanaan (simplicity), toleransi

(tolerance), dan persatuan (unity)

(Samani & Hariyanto, 2011).

Pendidikan karakter adalah

upaya sadar dan sungguh-sungguh dari

seorang guru untuk mengajarkan nilai-

nilai kepada para siswanya (Winston,

2010). Pendidikan karakter telah

menjadi sebuah pergerakan pendidikan

yang mendukung pengembangan sosial,

pengembangan emosional, dan

pengembangan etik para siswanya.

Page 6: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

6

Dengan demikian, pendidikan karakter

adalah merupakan upaya sadar dan

sistematis baik oleh sekolah maupun

pemerintah untuk membantu siswa

mengembangkan nilai-nilai pokok (core

vaule) nilai-nilai etik dan nilai-nilai

kinerja, seperti kepedulian, kejujuran,

kerajinan, fairness, keuletan, dan

ketabahan (fortitude). Lebih lanjut Burke

(2001) mengatakan bahwa pendidikan

karakter merupakan bagian dari

pembelajaran yang baik dan merupakan

bagian fundamental dari pendidikan yang

baik atau dapat juga dikatakan sebagai

pengembangan karakter yang mulia

(good character).

Karakter adalah sesuatu yang

sangat penting dan vital bagi tercapainya

tujuan hidup. Karakter merupakan

dorongan pilihan untuk menentukan yang

terbaik dalam hidup. Sebagai bangsa

Indonesia setiap dorongan pilihan itu

harus dilandasi oleh Pancasila.

Sementara itu sudah menjadi fitrah

bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa

yang multi suku, multi ras, multi bahasa,

multi adat, dan tradisi. Untuk tetap

menegakkan Negara Kesatuan Republik

Indonesia maka kesadaran untuk

menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika

merupakan siatu condisio sine quanon,

syarat mutlak yang tidak dapat ditawar-

tawar lagi, karena pilihan lainnya adalah

runtuhnya negara ini. Karakter yang

berlandaskan Pancasila adalah karakter

yang dijiwai oleh kelima sila Pancasila

secara utuh dan komprehensif yaitu:

bangsa yang berketuhanan Yang Maha

Esa, bangsa yang menjunjung tinggi

kemanusiaan yang adil dan beradab,

bangsa yang mengedepankan persatuan

dan kesatuan bangsa, dan bangsa yang

demokratis dan menjunjung tinggi

hukum dan hak hasasi manusia, serta

bangsa yang mengedepankan keadilan

dan kesejahteraan. Begitu pentingnya

karakter dalam konteks universal

sehingga Wiliam Franklin Graham,Jr

mengatakan sebagai berikut.

When wealth is lost, nothing is lost

When health is lost, something is lost

When character is lost, everything is lost

Bila harta benda yang hilang, tidak ada

sesuatu berarti yang hilang

Bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang

hilang

Bila karakter yang hilang, segala

sesuatunya hilang

Berkenaan karakter berbasis nilai

kearifan lokal Bali yang dapat

dikembangkan dalam pembelajaran

fisika telah ditemukan Suastra (2017b),

yaitu seperti yang tertuang pada Tabel 1

berikut ini.

NO ASPEK KARAKTER INDIKATOR

1 RELIGIUS

Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang

dianutnya

Mengagumi kebesaran Tuhan atas

fenomena-fenomena fisika (gejala alam)

yang menakjubkan dan tersembunyi

Merasakan kebesaran Tuhan dengan

keberagaman yang ada di dunia

2 BERKATA BENAR DAN

BERBUAT JUJUR

Perilaku yang menyatukan pikiran,

perkataan, dan tindakan yang benar

(Tri Kaya Parisudha)

Mau mengemukakan sesuatu yang

diyakinininya benar

Jujur dalam mengerjakan tugas atau tes

fisika

Terbuka dalam mengungkapkan kesulitan

belajarnya baik kepada teman maupun

guru

3 TOLERANSI (TATTWAMASI,

MENYAMA BRAYA)

Tidak membedakan suku, ras, agama

dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah

Page 7: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

7

Sikap persaudaraan tanpa membedakan

agama, suku, etnis, sosial ekonomi,

dan jenis kelamin

Mau menerima pendapat yang berbeda

dari teman lainnya bila diyakininya benar

4 TANGGUNG JAWAB (SESANA

ATAU SWADHARMA)

Rasa dan sikap tanggung jawab

terhadap tugas dan kewajibannya

Menggunakan waktu secara efektif untuk

menyelesaikan tugas-tugas di kelas dan di

luar kelas

Mengerjakan tugas fisika dengan teliti

dan rapi serta mengumpulkannya tepat

waktu

Selalu berusaha untuk mencari informasi

tentang materi pelajaran fisika dari

berbagai sumber

5. RASA INGIN TAHU (SEKADI

NYAMPAT (MENYAPU), HILANG

LUHU BUKE KATAH)

Bertanya,mendiskusikan, dan ingin

menyelidiki/mengetahui berbagai

peristiwa yang ada di alam

Selalu membaca buku keilmuan,sains,

teknologi, dan budaya

Selalu ingin mencoba melakukan

penyelidikan terkait fenomena alam yang

berhubungan dengan fisika

Selalu ingin mencari tahu jawaban lain

dari permasalahan fisika yang

dipecahkannya

6 JENGAH

Sikap dan perilaku malu jika gagal atau

tidak bisa menyelesaikan tugas

maupun kewajibannya

Malu bila tidak bisa menyelesaikan tugas-

tugas yang diberikan oleh guru

Malu ketahuan menyontek dalam

ulangan/ujian fisika

Malu jika tidak bisa berkontribusi dalam

setiap kegiatan pembelajaran

7 SUKA BEKERJA KERAS DAN

DERMAWAN

Melakukan pekerjaan sampai

memperoleh hasil yang memuaskan

dan bermanfaat bagi diri dan orang lain

Atharwaveda XX.18.3

Atharwaveda III.24.5

Tekun mengikuti pembelajaran untuk

memperoleh hasil yang memuaskan

Suka menolong atau membantu teman

yang memerlukan bantuan

8 PEDULI DAN BERSAHABAT

DENGAN ALAM(SEKADI MANIK

RING CACUPU)

Sikap dan tindakan yang selalu

berupaya menjaga dan melestarikan

lingkungan alam di sekitarnya

Atharwaveda IX.10.12

Merencanakan dan melaksanakan

berbagai kegiatan pencegahan kerusakan

lingkungan

Mampu mengambil keputusan yang tepat

dalam mencegah maupun mengatasi

kerusakan lingkungan

9 MEREFLEKSI DIRI (MULAT

SARIRA)

Sikap dan tindakan yang selalu

melakukan perenungan terhadap

pikiran, perkataan, dan tindakan yang

telah dilakukan untuk perbaikan di

masa depan

Selalu merenungkan perbuatan yang telah

dilakukannya dan memperbaiki yang

salah

Tidak suka mencari-cari kesalahan orang

lain bila mengalami permasalahan atau

kegagalan atas dirinya

Page 8: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

8

Tabel 1 menunjukkan bahwa ada 9

aspek karakter baik/positif dari budaya

lokal/kearifan lokal Bali yang bisa

dikembangkan dalam pembelajaran

fisika di sekolah, yaitu: religius, berkata

benar dan berbuat jujur, toleransi,

bertanggung jawab, rasa ingin tahu,

jengah, dan merefleksi diri (mulat

sarira). Aspek-aspek karakter berbasis

kearifan lokal Bali ini digali dari sikap

dan perilaku masyarakat dalam

kehidupan sehari-hari yang dijiwai dari

kitab suci Hindu seperti Begawad gita,

Regveda, Atharwa veda, Silakramaning

Aguron-guron, dan Tri Kaya Parisudha.

Sumber lainnya juga diperoleh dari

filosofi yang berkembang dalam

masyarakat Bali yaitu Tri Hita Karana,

yang berarti keharmonisan antara

manusia dengan Tuhan (religius),

manusia dengan sesama manusia lainnya,

dan manusia dengan butha/alam semesta.

Suja (2000:56-57) mengatakan bahwa

hubungan manusia (Prajah) dengan

Tuhan (Prajapati) didasarkan atas

konsep Kawula Gusti, dalam artian

Tuhan adalah Gusti (penguasa),

sedangkan manusia adalah pelayan-

pelayan Tuhan dengan bhaktinya yang

tulus. Hubungan manusia dengan sesama

manusia didasarkan pada konsep Tat

Twam Asi, yang mengajarkan bahwa

sesama manusia adalah sama. Kita semua

(tanpa dibatasi oleh label apapun) adalah

bersaudara, va suduiva kutum bhakam.

Sebagai sesama manusia kita harus saling

menyayangi, saling menghormati, dan

saling melayani. “Perlakukan orang lain,

sebagaimana engkau inginkan

diperlakukan orang lain kepada dirimu”.

Keserasian hubungan manusia dengan

alam mengambil perumpamaan “kadi

manik ring cecupu”. Manusia

diumpamakan sebagai manik (janin),

sedangkan alam sebagai cecupu (rahim).

Konsep ini mengandung makna bahwa

manusia harus hidup dilingkupi oleh

alam, dan dari alamlah manusia

memperoleh makanan atau sarana untuk

hidup. Dalam posisi ini jelas tampak

bahwa manusia hidup bebas dalam

keterikatan dengan alam. Manusia bebas

mengambil apa saja dari alam, tetapi dia

wajib menjaga kelestariannya. Jika alam

rusak, maka manusia pasti akan hancur.

Atas dasar itu, manusia sudah selayaknya

harus hormat terhadap alam. Pustaka suci

Weda menyatakan, “Bumi ini adalah ibu

kita, kita adalah putra-putranya

(Atharwaveda, XII:1.12), serta “Bumi

adalah ibu, dan langit adalah ayah kita

(Yayurveda XXV:17). Semua karakter

berbasis nilai kearifan lokal tersebut pada

dasarnya diilhami dari pandangan alam

semesta masyarakat Bali seperti yang

diungkapkan Suastra (2017) yang

menyatakan bahwa spiritualitas terdapat

di dalam unsur-unsur kosmos (bhuwana

agung/makrokosmos) dan manusia

sebagai unsur mikrokosmos (buana alit)

serta manusia bertanggung jawab untuk

menjaga keharmonisan hubungan dengan

Tuhan, manusia, dan alam di mana

mereka berada. Temuan lainnya, seperti

rasa jengah (perasaan malu kalau tidak

berhasil) merupakan kata sehari-hari

yang dipesankan orang tua jika

mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Hendaknya dikerjakan secara

bersungguh-sungguh dan bertanggung

jawab sehingga tidak menimbulkan rasa

malu bagi diri sendiri, keluarga, dan

masyarakat (desa). Rasa ingin tahu,

diambil dari konsep nyanyian sebagai

pesan dari para tetua (ayah, ibu, nenek,

kakek) kepada anak-cucunya, de ngaden

awak bisa depang anake ngadanin,

geginane buka nyampat, ilang luhu buke

katah, wiadin ririh enu liu pelajahan.

Artinya, jangan sombong kalau bisa,

seperti halnya menyapu, hilang sampah

maka debu akan datang lagi. Biarpun

pintar masih banyak yang harus

dipelajari karena ilmu itu tidak ada habis-

habisnya. Jangan cepat puas terhadap

ilmu yang dimiliki. Dengan demikian,

pesan utamanya sebenarnya adalah

belajarlah sepanjang hayat.

Page 9: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

9

MENERAPKAN MODEL

PEMBELAJARAN FISIKA

BERBASIS BUDAYA LOKAL DI

SEKOLAH

Suastra (2017) menelaskan

langkah-langkah pembelajaran fisika

berbasis budaya untuk mengembangkan

kompetensi dasar fisika dan karakter

berbasis budaya lokal seperti Gambar 1

berikut. Ada 5 tahapan pokok dalam

pembelajaran meliputi 1) kegiatan awal ,

2) fase penyelidikan dari berbagai

perspektif, 3) fase aplikasi konsep, dan 4)

kegiatan akhir.

Gambar 2. Langkah pembelajaran fisika berbasis budaya (Suastra, 2010)

Page 10: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

10

Beberapa prinsip yang harus

diperhatikan oleh guru dalam

mengembangkan pembelajaran sains

berbasis budaya lokal sebagai berikut.

(1) Memberi kesempatan kepada siswa

untuk mengekspresikan pikiran-

pikirannya, untuk mengakomodasi

konsep-konsep atau keyakinan yang

dimiliki siswa yang berakar pada

budaya lokal. Misalnya:

mengangkat topik bangunan rumah

tradisional Bali (angkul-angkul,

rumah bertiang, bale kulkul, meru

bertumpang), kegiatan pengabenan

dengan bade yang tinggi, instrumen

gamelan, pembuatan gamelan, dan

sebagainya.

(2) Menyajikan kepada siswa contoh-

contoh keganjilan (discrepant

events) yang sebenarnya hal biasa

menurut konsep-konsep sains Barat.

(3) Berperan untuk mengidentifikasi

batas budaya yang akan dilewatkan

serta menuntun siswa melintasi

batas budaya sehingga membuat

masuk akal bila terjadi konflik

budaya yang muncul. Guru dapat

menggunakan teori belajar kolateral

dalam mengatasi persolan

perbedaan pandangan asli siswa

dengan teori sains (Barat).

(4) Mendorong siswa untuk aktif

bertanya, berdiskusi, dan melakukan

pengujian dari berbagai perspektif:

sejarah, budaya lokal, maupun

secara ilmiah (metode ilmiah).

(5) Memotivasi siswa agar menyadari

akan pengaruh positif dan negatif

sains Barat dan teknologi bagi

kehidupan dalam dunianya (bukan

pada kontribusi sains Barat dan

teknologi untuk menjadikan mono-

kultural dari elit yang memiliki hak

istimewa).

(6) Pada saat tertentu lakukan persentasi

dengan penjelasan lebih dari satu

teori tentang fenomena melalui

diskusi kelas.

PENUTUP

Integrasi nilai kearifan lokal dalam

pembelajaran fisika akan mampu

menumbuhkembangkan tidak hanya

pemahaman dan aplikasi konsepnya

meningkat, tetapi karakter kebangsaan

siswa juga akan tumbuh baik. Yang

terpenting adalah bagaimana guru fisika

mampu mengelola kearifan lokalnya

sebagai sumber belajar yang efektif dan

mampu memfasilitasi belajar siswa

secara arif menjembatani budaya lokal

siswa menuju budaya ilmiah (cultural

border). Dengan demikian, pembelajaran

fisika di sekolah tidak lagi menjadi

pelajaran eksklusif yang hanya dipahami

sekelompok orang, melainkan akan

benar-benar menjadi science for daily

living, science for the future, dan science

for all.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, L., Mockhtar,M, Hassan, Z, Suhan,

S.Z.D. (2015). How to Develop

Character Education of Madrassa

Students in Indonesia. Journal of

Education and Learning. Vol.9(1),

pp.79-86.

Aikenhead.G. (2000). Renegotiating the

Culture of School Science. In

Improving Science Education :

The Contribution of Research.

Robin Miller, et al (eds).

http://www.usask.ca/education/

people/aikenhead/renegotiation.ht

m.

Aisah, A.R. (2014). The Implementation

of Character Education Through

Contextual Teaching and Learning

at Personality Development Unit

in The Sriwijaya University

Palembang. International Journal

of Education and Reserach, 2 (10),

203-214.

Baker et al (1995). The Effect of Culture

on the Learning of Science in non-

WesternCountries: The Results of

a Integrated Research Review.

International Journal Science

Education, 17.

Page 11: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

11

Cobern,W.W & Aikenhead,G.S. (1996).

Cultural Aspects of Learning

Science. SLCSP Working

Paper#121.http:www.wmich.edu/

slcsp/121.htm/Des 2017.

Costa,V.B. (1995). When science is

“Another World”: Relationship

between Worlds of Family, Friend,

School, and Science. Science

Education, 79(3), 313-333.

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan

Pendidikan Nilai. Jakarta: Penerbit

Alpabeta.

Gardner,H. (2007) Five Minds for The

Future (Alih Bahasa Tome Beka).

Jakarta: Gramedia Pustaka

George.J. (2001). Culture and Science

Education: Developing World

http://www.id21.org/education/e3j

g1g2.html.

Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan

Agama. Yogyakarta: Kanisius

Press.

Gonzales,P.Williams,T,Jocelyn,L.Roey,

S,Kastberg,D&Brenwald,S.

(2008).Higlights from TIMSS

2007: Mathematics and Science

Achievement of U.S.Fourth and

Eighth Grade Students in an

International Context. Washington

DC:Institute of Education

Sciences.

Jegede,O.J & Aikenhead,G.S. (2000).

Trancending Cultural Border:

Implications for Science Teaching.

http:[email protected].

June 2005.

Koesoema A. D. (2009). Pendidikan

Karakter di Zaman Keblinger

Mengembangkan Visi Guru

sebagai Pelaku Perubahan dan

Pendidikan Karakter. Jakarta: PT

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Lickona,T. (1999). Character Education:

Seven Crusial Issue. Action in

Teacher Education. 20(4):77-84.

Lopes, J. Oliveira, C. Reed, L & Gable,

R.A. (2013). Character Education

in Portugal. Chilhood Education,

89(5):286-289.

Ogawa.M.(2002). Sceinec as the Culture

of Scientist: How to Cope with

Scientism? http://sce6938-

01.fsu.edu/ogawa.html.

Rose,C &Nicholl,M.J. (2002)

Accelerated Learning for The 21st

Century. P.12. Editor: Purwanto.

Penerbit Nuansa.

Samani, M & Hariyanto. (2012). Konsep

dan Model Pendidikan Karakter.

Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Suastra,I.W. (2012).Model Pembelajaran

Fisika untuk Pengembangan

Kreativitas Berpikir dan Karakter

Bangsa Berbasis Kearifan Lokal

Bali. Makalah. Disajikan pada

Konvensi Nasional Pendidikan

(Konaspi) ke-8 pada tanggal 30

Oktober s.d 4 Nopember 2012 di

Yogyakarta.

Suastra,I.W. (2015). Guru Sains

Profesional dan Berkarakter

Indonesia. Makalah. Disajikan

pada Konvensi Nasional

Pendidikan (Konaspi) ke-9 pada

tanggal 12 – 15 Oktober 2016 di

Jakarta.

Suastra,I.W. (2017). Balinese Local

Wisdom and their Implications in

Science Education at School.

International Research Journal of

Management, IT & Social Sciences

(IRJMIS), 4(2), 42-50.

Suastra, I.W et al (2017b). Developing

Balinese Local Wisdom – Based

Characters in Physics Instruction

at Senior High School. Jurnal

Pendidikan IPA Indonesia (JPII)

terindeks Scopus. Volume 6 (2),

2017, p. 16-22.

Stanley,W.B.& Brickhouse,N.W. (2001).

The Multicultural Question

Revisited. Science Education, 85

(1), 35-48.

Suja, I.W (2000). Titik Temu IPTEK dan

Agama Hindu. Surabaya: Pustaka

Manik Geni.

Tilaar, H.A.R. (2012). Pengembangan

Kreativitas dan Enterpreneurship

Page 12: Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam ...snpfmotogpe.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Artikel-I-Wayan-Suastra.pdfIntegrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran

12

dalam Pendidikan Nasional.

Jakarta: Penerbit Kompas.

Widja. I.G. (2016). Pendidikan Nasional

antara Harapan dan Realitas.

Jakarta: Krishna Anadi Printing.

Winston, S. (2010). Character Education:

Implication for Critical

Democracy. International Critical

Chilhood Policy Studies, 1 (I).

Zamroni. (2001) Peran Kolaborasi

Sekolah-Universitas dalam

Meningkatkan Mutu Pendidikan

Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam di Indonesia. Makalah.

Disampaikan pada National

Seminar on Science Education

Faculty of Science and

Mathematic Education on

Collaboration with Japan

International Cooperation Agency

and Directorate General of Higher

Education. Bandung August 21,

2001