Download docx - Hukum Adat Bali

Transcript
Page 1: Hukum Adat Bali

HUKUM ADAT BALI

PENDAHULUAN

Pulau Bali adalah sebuah pulau yang sangat unik dan begitu dikagumi oleh orang-orang

dari seantero jagat. Betapa tidak, para wisatawan datang berbondong-bondong ke Bali untuk

melihat keunikan Bali.Umumnya mereka berwisata ke Bali bukan untuk melihat gedung-gedung

bertingkat,ataupun beton-beton bertulang.Namun ada sesuatu di Bali yang berbeda dari

negaranya,yang wajib untuk dinikmati.Apa itu? Kita tentu sepakat bahwa adat istiadat dan

budaya Bali menjadi tulang punggung denyut nadi pariwisata Bali selain alam pulau seribu pura

nan eksotik.

Masyarakat Bali sejak zaman Mpu Kuturan mengenal sistem Kahyangan Tiga yang

dalam kehidupan sosial masyarakatnya di-implementasikan dalam wadah desa pakraman yang

terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep yang adiluhung ini sekaligus menjadi pilar

utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai

sekarang.

Tidak dapat dipungkiri, adat istiadat begitu merasuk dalam setiap sendi kehidupan orang

Bali. Sistem desa pekraman yang didalamnya terdapat tiga unsur utama, yakni Tri Hita Karana

di-implementasikan dalam konsep Tri Kahyangan, yang mencakup tiga tempat suci, Pura Desa,

Pura Puseh dan Pura Dalem. Ajaran Mpu Kuturan yang begitu agung ini, benar-benar menjadi

pilar utama penyangga kehidupan manusia Bali. Kegiatan ngayah sebagai bagian dari

pelaksanaan konsep Tri Kahyangan,dijalankan oleh desa pekraman menurut desa,kala,patra di

masing-masing desa pekraman dan biasanya diatur dalam awig-awig desa pekraman setempat.

Pengaturannya pun sedemikian rupa dilengkapi dengan sanksi bagi pelanggarnya. Pada era 80-an

ke bawah, pertanian menjadi sumber penghasilan penduduk Bali yang utama. Persawahan yang

menghampar hijau nan luas membentang dari barat ke timur dan dari selatan ke utara. Daerah

Kuta dan Kerobokan sekarang, dulunya adalah areal persawahan hijau yang subur karena

mendapat aliran air yang banyak dari daerah hulu.Pada saat itu, sistem pengairan tradisional Bali

yang lebih dikenal dengan Subak menjalankan fungsinya dengan baik.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 1

Page 2: Hukum Adat Bali

B. PERMASALAHAN

Demikian kalau kita bernostalgia mengenang zaman keemasan pertanian Bali.Bagaimana

sekarang? Sungguh suatu kenyataan yang tragis, yang tidak mengada-ada, dewasa ini tata ruang

Bali boleh dikatakan sangat amburadul, tanpa master plan yang jelas. Masing-masing ‘raja-raja

kecil’ di kabupaten /kota, menjalankan roda pemerintahan terkesan tanpa koordinasi dari

propinsi, terbukti kisruhnya rencana pembangunan lapangan golf di wilayah Besakih, berdekatan

dengan kawasan suci Pura Besakih dan masih banyak contoh lainnya yang mencerminkan betapa

pemerintah daerah Bali harus betul-betul melakukan mulat sarira, mau di bawa kemana pulau

Bali ini? Bagaimana dengan kehidupan adat Bali ? adat istiadat Bali yang begitu kuat

membelenggu memang perlu direvisi sesuai dengan perkembangan zaman. Kalau ditarik ke

belakang, bagaimana Mpu Kuturan merumuskan konsep Tri Kahyangan dengan Desa Pekraman

sebagai tiang penyangganya, adalah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Bali pada saat itu

yang hampir seluruhnya adalah petani tulen. Kalau dihadapkan dengan kondisi sekarang seperti

gambaran diatas, apakah masih bisa awig-awig yang kaku dipertahankan? Berbagai kasus adat

yang setiap tahun selalu saja terjadi membuat kita prihatin, beginikah orang Bali dalam me-desa

adat? Tentu kasus yang terjadi tidak bisa kita generalisir, namun biasanya seperti kata

pepatah”nila setitik rusak susu sebelangga” menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan.

Karena bagaimanapun segala sesuatu yang terjadi di suatu titik tempat di Bali, orang luar

biasanya akan mengambil hipotesa bahwa itu terjadi di Bali,Bali dan Bali. Nama Bali yang sudah

dikenal oleh seantero dunia menjadikan Bali sudah menjadi “milik” dunia. Untuk menjadikan

Desa Pekraman sebagai benteng bagi Bali, sudah selayaknya paradigma masyarakatnya diubah

secara perlahan dengan merevisi awig-awig yang tidak sesuai dengan dinamika zaman sekarang.

Pemerintah dari semua tingkatan di Bali melalui instansi terkait hendaknya benar-benar terjun

ditengah-tengah masyarakat, melakukan monitoring secara kontinyu. Desa Pekraman di Bali

adalah warisan leluhur yang patut dijaga kelestariannya dengan tetap memperhatikan kearifan

lokal tanpa mengabaikan perkembangan zaman. Kesamaan visi dan gerak langkah semua pihak

sangat diperlukan untuk menjaga ke-ajegan adat Bali sebagai warisan budaya satu-satunya di

dunia ini

C. Hukum Adat Bali Kini

Bali sebagai daerah yang hukum adatnya masih berpengaruh dengan kuat dan diterima oleh alam

hukum daerah tersebut, yang kesemuanya berpangkal pada hidup budaya dan banyak

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 2

Page 3: Hukum Adat Bali

dipengaruhi oleh unsur-unsur religius. Oleh karena itu, hukum adat di Bali hidup secara

berdampingan dan saling mengisi dengan agama (Hindu). Diterimanya unsur-unsur agama ke

dalam hukum delik adat, secara konkrit terlihat dart tata cara penjatuhan sanksi adat yang lebih

banyak dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian, maka berfungsinya hukum

delik adat tidak terlepas dari unsur-unsur religius, dalam arti, sesuai dengan pandangan hidup

berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu, di samping juga faktor lain seperti kesadaran anggota

masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib. Dapat diidentifikasi beberapa

delik hokum adat, yang apabila diklasifikasikan termasuk dalam delik terhadap: harta benda;

kepentingan orang banyak; kepentingan pribadi seseorang; kesusilaan; dan pelanggaran lain yang

sifatnya ringan. Dalam praktek peradilan di Bali, untuk kasus-kasus delik hukum adat, putusan

hakim didasarkan Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No. 1 Drt Tahun 1951 yang dihubungkan dengan

kewajiban hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Ditemukan

putusan yang bervariasi dalam penanganan kasus-kasus delik hukum adat, bahkan ditemukan

pula putusan hakim yang menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan di luar ketentuan

Pasal 10 KUHP. Eksistensi delik hukum adat dalam hukum pidana positif di Indonesia, paling

tidak mematahkan kekakuan asas legalitas dalam dinamika hukum pidana positif, walaupun

dalam implementasinya hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan kekakuannya.

Dalam era implementasi hukum pidana mendatang, delik hukum adat masih diberikan peluang

keberadaannya. Peluang keberadaan delik hukum adat tercermin dalam konsep KUHP yang

dituangkan dalam Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (4) sub. 5. Langkah tepat para perancang

konsep KUHP untuk tetap mengakui keberadaan delik hukum adat dalam implementasi hukum

pidana mendatang telah menunjukkan adanya pergeseran pandangan terhadap hukum yang

yuridis dogmatis menuju pada pandangan yang sosiologis. Urgensi memasukkan delik hukum

adat tentu berkait pula dengan usaha mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya sebagai khasanah

potensial dalam pembangunan hukum. Semua ini tentu dalam konteks, bahwa faktorfaktor yang

ada di luar hukum, ikut pula menentukan efektif atau tidaknya hukum

D. Hukum Adat Atas Tanah

Karakteristik daerah Bali sangat tampak dari kehidupan Agama Hindu, adat, dan budaya

yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan tidaklah terlepas dari peran serta seluruh

komponen serta warisan suatu prinsip kesatuan masyarakat yang ada jauh sebelum Indonesia

merdeka, yaitu Desa Adat.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 3

Page 4: Hukum Adat Bali

Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat Desa Adat

mengatur kepemilikan Tanah Adatnya baik dalam satu wilayah Desa Adat maupun antarwilayah

Desa Adat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kepemilikan lahan dalam

suatu desa adat di Bali serta batas tanah adat yang dimiliki.

D.1. KEPEMILIKAN DAN BATAS TANAH ADAT

a. Hukum Adat

Di kalangan orang banyak, istilah hukum adat ini lebih sering disebutkan dengan

adat saja. Dari beberapa pengertian yang ada, bahwasanya hukum adat memiliki ciri-ciri

seperti :

mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakatnya

merupakan aturan yang tidak tertulis

dilaksanakan dengan keyakinan dan kepercayaan yang kuat oleh seluruh

warganya.

diputuskan oleh para penguasa adat

memiliki sanksi yang kuat.

b. Hak Ulayat

Hak persekutuan atas tanah disebut hak ulayat. Di dalam ketentuan pasal 3

UUPA, hak ulayat diakui dan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 5 tahun 1999, dijelaskan pula bahwasan nya hak ulayat masyarakat

hukum adat dianggap masih ada apabila :

1. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan

menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-

hari,

2. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan

hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

3. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan, dan penggunaan

tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 4

Page 5: Hukum Adat Bali

c. Kepemilikan Lahan dan Penetapannya

Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat

Adat disebut sebagai tanah komunal. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi

dalam setiap masyarakat, sistem pemilikan individual mulai dikenal di dalam sistem

pemilikan komunal (www.tanahkoe.tripod.com). Dalam hukum adat, hak perorangan

atas tanah selalu dibatasi oleh hak ulayat. Dari hak yang dimiliki tiap individu di atas

serta hak ulayatnya, mulai berkembang kepemilikan hak atas tanah (Artawilaga, 1960)

yaitu :

1. Hak Persekutuan. Persekutuan memiliki hak untuk memanfaatkan tanahnya untuk

kepentingan bersama warga persekutuannya. Hak persekutuan ini termasuk membuka

hutan dan mengambil hasil hutan demi kepentingan bersama.

2. Hak Milik. Seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah dan

mengerjakan tanah itu terus-menerus dan menanam pohon di atas tanah itu, sehingga

ia mempunyai hak milik atas tanah itu namun wajib menghormati hak ulayat desanya,

kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah, dan peraturan-peraturan

adat. Selain hak milik dikenal pula hak milik terkekang atau terbatas yaitu bila

kekuasaan atas tanah tersebut dibatasi oleh kuat atau tidaknya hak pertuanan desa.

3. Hak menggunakan tanah atau memungut hasil tanah, selama waktu tertentu, yang

umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang sudah mendapat

ijin telah memenuhi syarat tertentu seperti membayar mesi (Jawa) atau uang

pemasukan (Aceh).

4. Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga

persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti

pagar pada tanahnya.

5. Hak Wenang Beli. Sering dijumpai dalam tiga bentuk yaitu hak anggota keluarga

untuk membeli tanah dengan mengesampingkan pembeli-pembeli bukan anggota

keluarga, hak warga persekutuan untuk membeli tanah dengan mengesampingkan

orang bukan warga persekutuan, dan hak pemilik tanah yang berbatasan untuk

membeli tanah tersebut dengan mengesampingkan pemilik tanah lain yang tidak

berbatasan. Hak Pejabat Adat. Kepala persekutuan atau pembesar lainnya mempunyai

hak atas tanah pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk menghidupi

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 5

Page 6: Hukum Adat Bali

keluarganya (tanah bengkok). Mengenai jual beli (transaksi) tanah dalam hukum adat,

Achmad Sanusi membedakannya dalam 3 kategori yaitu Jual-Lepas, Jual-Gadai, Jual-

Tahunan, Persetujuan maro, dan Borg

d. Konsep Batas

Batas merupakan penanda dari suatu wilayah. Selain itu, batas dapat juga

didefinisikan dalam segi hukum, yaitu suatu garis khayal yang memisahkan dua wilayah

yang bersebelahan (Dale dan McLaughlin, 1999). Batas merupakan suatu penanda

berakhirnya suatu wilayah serta sangat berhubungan dengan kekuasaan dan kewenangan

suatu wilayah. Proses penetapan batas adalah suatu hal yang menjadi sangat penting.

Berdasarkan cara penetapan batas yang digunakan, batas dapat diklasifikasikan menjadi

tiga yaitu, (Amhar, et.al, 2001)

Batas Ditetapkan secara Alami. Batas wilayah yang dianggap paling mudah

ditentukan secara alami adalah adanya air (garis tengah sungai dan batas territorial 12

mil laut) dan patahan bukit.

Batas Ditetapkan dengan Perjanjian. Selain Batas alam, batas buatan dibuat dengan

suatu perjanjian. Batas ini bisa berupa jalan raya, yang secara fisik dapat terlihat,

ataupun batas maya misalnya dalam bentuk undang-undang, Perda, perjanjian historis

atau juga sertifikat tanah serta batas dengan angka-angka koordinat.

Batas Ditetapkan secara Hierarki. Batas-batas wilayah dan batas kepemilikan lahan

seharusnya memiliki hubungan hierarki baik ke atas (batas wilayah harus

memperhatikan batas-batas kepemilikan) maupun ke bawah (batas wilayah yang lebih

tinggi otomatis menjadi batas wilayah di bawahnya)

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 6

Page 7: Hukum Adat Bali

Dari klasifikasi batas di atas, dapat dilihat bahwa umumnya suatu batas

direpresentasikan oleh suatu objek fisik yang haruslah permanen, stabil, mudah

diidentifikasi, dan mudah terlihat. Objek fisik tersebut dapat berbentuk apa saja asalkan

memenuhi syarat tersebut, contohnya adalah tembok, pagar, atau deretan titik patok yang

menandainya (Dale dan Mclaughlin, 1999).

D.2 MASYARAKAT ADAT DAN TANAH ADAT DI BALI

1. Desa Pakraman

Desa adat atau desa pakraman di Bali merupakan salah satu dari berbagai

kesatuan hukum masyarakat adat yang ada di Indonesia.

2. Sejarah dan Pengertian Desa Pakraman

Sejak jaman Bali Kuna yaitu sekitar abad 9, masyarakat Bali yang disebut kraman

telah mengenal desa dengan sebutan desa atau desa pakraman. Menurut Liefrinck, 1886,

desa di Bali merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya

sendiri dengan susunan pemerintahannya bersifat demokratis dan memiliki otonomi.

Sejarah desa pakraman dapat dilihat di dalam lontar Markandya Purana yang

menceritakan perjalanan Maharsi Markandya dari Jawa Timur ke Pulau Bali. Dengan

masuknya kekuasaan pemerintah Hindia. Belanda ke Bali Selatan (1906-1908) muncullah

dua desa yaitu desa lama (Desa Pakraman) dan desa baru (Desa Dinas bentukan

Belanda).

3. Nilai Filosofis dalam Desa Pakraman

Sejak awal dibentuknya, desa pakraman telah ditata untuk menjadi desa

religius yaitu berlandaskan konsep-konsep dan nilai filosofis Agama Hindu. Suatu desa

merupakan desa otonom (sima swantantra) bila telah memenuhi empat unsur sebagai

syarat yang disebut Catur Bhuta Desa, yaitu Parimandala atau lingkungan wilayah desa,

Karaman atau warga desa, Datu atau pengurus/pemimpin desa, Tuah atau perlindungan

dari tuhan/Sang Hyang Widhi. Pemimpin suatu desa pakraman disebut Kelihan,

Kubayan, Bayan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha, atau Bendesa yang bermakna orang

tua.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 7

Page 8: Hukum Adat Bali

4. Peranan Desa Pakraman

Sebagai kesatuan hukum adat, desa pakraman diikat oleh adat istiadat atau

hukum adat yang memiliki aturan-aturan tata krama tidak tertulis maupun tertulis yang

dibuat bersama yang dinamakan Sima Awig-Awig, Dresta, Lokacara, Catur Dresta, dan

nama lainnya. Desa pakraman memiliki kedudukan ganda yaitu bersifat sosial keagamaan

dan sosial kemasyarakatan dan mempunyai fungsi yaitu membantu pemerintah dalam

pelaksanaan pembangunan terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan

kemasyarakatan, melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya, memberikan

kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan

hubungan sosial keadatan dan keagamaan, membina dan mengembangkan nilai-nilai adat

Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional

pada umumnya dan kebudayaan Bali khususnya, menjaga, memelihara, dan memanfaat

kan kekayaan desa pakraman untuk kesejahteraan masyarakat desa pakraman.

Dari segi kesatuan wilayah, terdapat beberapa pola hubungan desa pakraman

dengan desa dinas. Pola tersebut yaitu, satu desa dinas mencakup beberapa desa

pakraman, satu desa dinas terdiri dari satu desa pakraman, satu desa pakraman mencakup

beberapa desa dinas, dan satu desa pakraman terbagi dalam beberapa desa dinas.

5. Struktur Kelembagaan dan Sarana Penunjang

Saat ini secara terpusat di Bali, terdapat tiga bagian desa pakraman secara

berurut yaitu : 1 Desa Adat Agung (Tingkat Propinsi), 9 Desa Adat Madya (Tingkat

Kabupaten), Desa Adat Pakraman (Tingkat Kecamatan / Kelurahan / Desa).

Untuk wilayah desa pakraman yang luas, desa pakraman dibagi menjadi

beberapa banjar dengan Kelihan Banjar. Untuk banjar yang luas, banjar dibagi pula

menjadi beberapa kelompok wilayah tempat tinggal dengan berpedoman pada mata angin

yang dinamakan tempekan yang diketuai oleh seorang Kelihan Tempek. Kelihan Desa

dibantu oleh beberapa orang pengurus yang disebut prajuru desa adat yang terdiri dari

Penyarikan (sekretaris), Petengen (bendahara), Kesinoman Desa (Juru arah) dan

plainnyayang diadakan sesuai kebutuhan desa, serta Kelihan Banjar.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 8

Page 9: Hukum Adat Bali

Pemilihan Prajuru, Kelihan Banjar, dan Kelihan Tempek ini juga dilakukan

melalui sangkepan desa. Desa pakraman dalam kelangsung-an kehidupannya, memerlukan

sarana- sarana penunjang. Adapun yang merupakan unsur-unsur utama di desa pakraman

ialah Bala (unsur warga atau krama desa), Wahana (tempat untuk merencanakan,

mengkoordinir dan menuntun segala kegiatan warga) dan Kosa (perlengkapan, dana dan

fasilitas yang akan digunakan di semua kegiatan krama dalam mewujudkan cita-citanya).

D.4. Tanah Adat

1. Sejarah Tanah Adat di Bali

Sejarah tanah adat di Bali tidak terlepas dari sejarah desa pakraman yang diawali

dari perjalan Rsi Markandya membagikan tanah kepada para pengikutnya. Setelah masa

Yogi Markandya, munculah kerajaan Mayadanawa (959-974M) hingga kepemerintahan

Raja Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriya Dharmapatmi pada tahun 988-

1011M. Pada saat itu berlangsung suatu Pesamuan Agung dimana dicetusakanlah suatu

paham Tri Murti dan lahirlah lima keputusan pokok yaitu :

a. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan

b. Pada setiap Desa Adat harus didirikan Kahyangan Tiga sebagai penerapan dari

paham Tri Murti.

c. Pada tiap-tiap pekarangan rumah harus didirikan bangunan suci yang disebut

Sanggah atau Merajan.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 9

Page 10: Hukum Adat Bali

d. Semua tanah-tanah pekarangan dan tanah-tanah yang terletak disekitar Desa Adat

yang berarti termasuk tanah-tanah Kahyangan Tiga adalah milik Desa Adat yang

berarti pula milik Kahyangan Tiga dan tanah-tanah tersebut tidak boleh

diperjualbelikan Nama Agama ketika itu adalah Agama Ciwa Budha. Kalau dilihat

kelima putusan pokok di atas, pada putusan no. 4 terlihat bahwa tanah milik

perorangan sama sekali tidak dibenarkan atau dapat kita temukan konsepsi hak

ulayat dalam arti yang sebenarnya.

2. Jenis dan Fungsi Tanah Adat di Bali

Tanah-tanah adat atau tanah ulayat di Bali lebih dikenal dengan sebutan tanah

desa. Tanah desa dapat dibedakan menjadi :

a. Tanah Druwe atau sering disebut juga Druwe Desa adalah tanah yang dimiliki atau

dikuasai oleh desa pakraman seperti Tanah Pasar, Tanah Lapang, Tanah Kuburan,

Tanah Bukti,

b. Tanah Pelaba Pura adalah tanah yang dulunya milik desa yang khusus digunakan

untuk keperluan Pura yaitu tempat bangunan Pura dan yang dipergunakan guna

pembiayaan keperluan Pura seperti pembiayaan upacara-upacara rutin, hingga

perbaikan pura,

c. Tanah Pekarangan Desa merupakan tanah yang dikuasai oleh desa pakraman yang

diberikan kepada krama negak untuk tempat tinggal dengan ayahan yang melekat,

d. Tanah Ayahan merupakan tanah yang dikuasai desa pakraman yang penggarapannya

diserahkan kepada krama desa setempat dengan hak untuk dinikmati dengan

perjanjian tertentu serta kewajiban memberikan ayahan.

Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk

fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi

keagamaan. Sebagai fungsi keagamaan, krama desa memiliki kewajiban ngayahang yang

berupa tenaga, yaitu menyediakan dirinya untuk ngayah atau berkorban ke desa

pakraman dan ngayah ke Pura / Kahyanagan Desa seperti gotong royong membersihkan

pura, memperbaiki pura hingga menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya dan

material, yaitu menyediakan uang atau materi lainnya demi kepentingan desa pakraman

dan Kahyangan Desa.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 10

Page 11: Hukum Adat Bali

3. Kepemilikan dan Batas Tanah Adat di Buleleng

Gambar 3. Wilayah Kabupaten di Bali

Kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah terbesar di Pulau Bali yaitu 1365,88 km2

(24,25% dari luas daerah Bali) dan memiliki 9 kecamatan yang meliputi 146 kelurahan/Desa

Dinas. Di Kabupaten Buleleng, terdapat 165 desa pakraman Selain dipimpin oleh masing-masing

Kelihan desanya, ke165 Kelihan Adat ini dipimpin oleh seorang Kelihan Adat Madya Buleleng.

Dari 5 Desa Pakraman yang menjadi daerah studi didapat beberapa hal yang dijelaskan dalam

tabel dibawah ini.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 11

Page 12: Hukum Adat Bali

JENIS TANAH ADAT

Desa Pakraman Banyuasri

Tanah druwe desa

Tanah pelabe Pura

Tanah pekarangan desa

Tanah ayahan

Desa Pakraman Petandakan

Tanah druwe desa

Tanah pelabe Pura

Tanah pekarangan desa

Desa Pakraman Kalibukbuk

Tanah druwe

Tanah pelabe Pura

Tanah pekarangan desa

Desa Pakraman Lemukih

Tanah pelabe Pura

Tanah pekarangan desa

Desa Pakraman Pemuteran

Tanah pelabe Pura

Dalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak

laki-laki, terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak

perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk

dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya dengan pihak suami. Akan tetapi pada

prakteknya, anak perempuan dapat dijadikan sebagai ahli waris dengan diubah statusnya

menjadi anak laki-laki.

Unsur-unsur Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu di

masukkan ke dalam lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan hukum negara agar hukum

yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dalam kerangka

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 12

Page 13: Hukum Adat Bali

bangsa Indonesia. Berbeda dengan hal tersebut, BW yang dijadikan sebagai dasar hukum

perdata di Indonesia tidak mengatur tentang hukum pewarisan berdasarkan gender, dalam

artian tidak ada strata gender dalam aturan hukum di dalamnya pewarisan.

4. Contoh kasus Hukum Adat Waris Bali

a. Kasus Posisi:

1. Sebidang tanah seluas 0,300 Ha di desa Tamung Kab. Klungkung Bali adalah milik I.G.

Made Tugeg. Tanah tersebut dipinjamkan kepada masyarakat sekitarnya. Oleh

masyarakat desa itu, tanah tersebut dimanfaatkan untuk pendirian Pura Dalem Rajapati.

2. Tahun 1950, Tugeg meninggal dunia, Tanah seluas 0,300 Ha tersebut beralih tangan

kepada 3 orang anak laki-lakinya yang masih hidup. Beberapa waktu kemudian, Ni

Gusti Rai Muklek, istri Tugeg meninggal pula. Beralihnya pemilikan tanah kepada

anak-anak Tugeg: Arya, Wisma dan Darsana, adalah sesuai dengan Hukum Adat Waris

di Bali.

3. Meski tanah tersebut beralih tangan, 3 orang anak Tugeg tersebut (Sekehe 3) tidak

menempati tanah waris itu. Buku C dari Desa Takmung, tetap mencatat Sekehe 3 adalah

pemilik sah tanah persil No. 22 pipil No. 179 warisan Tugeg tersebut Ipedapun dibayar

oleh Sekehe tiga.

4. Oleh karena tidak ditempati pemiliknya, orang lain dapat dengan mudah menguasai

tanah tersebut adalah Mantera, seorang pensiunan polisi menguasaitanah milik sekehe 3.

Mantera memanfaatkan lahan itu untuk ditanami pohon kelapa, pisang dan tanaman

lainnya. Menurut Mantera, tanah itu adalah tanah laba pura, ia berhak

memanfaatkannya sehingga teguran dari sekehe 3, tidak dihiraukannya.

5. Ketidakpedulian Mantera tersebut memaksa Sekehe 3 mengajukan tuntutan pada

Mantera melalui Pengadilan Negeri Klungkung.

Dalam gugatannya Aryawisma dan Darsana mohon agar Pengadilan Negeri:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.

2. Menyatakan Penggugat-Pengugat adalah anak kandung sah Almarhum Tugeg.

3. Menyatakan Penggugat adalah ahli waris sah hak milik Tanah Almarhum Tugeg.

4. Menyatakan tanah sengketa adalah hak milik Almarhum Tugeg.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 13

Page 14: Hukum Adat Bali

5. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah satu-satunya ahli waris sah yang berhak

mewarisi harta sengketa secara bersama (Sekehe 3).

6. Menyatakan Tergugat menguasai tanah sengketa dengan menanam pohon di

atasnya adalah melawan hak tanpa dasar hukum.

7. Memerintahkan Tergugat atau yang mendapat hak untuk mencabut pohon

kelapa/pisang/tanaman lainnya, lalu menyerahkan pada Penggugat-Penggugat.

8. Menyatukan CB yang telah dilaksanakan adalah sah dan berharga.

9. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara.

10. Atau mohon putusan seadil-adilnya.

b. PENGADILAN NEGERI:

1. Hakim Pertama yang menangani perkara ini memberitahukan pertimbangan sebagai

berikut:

2. Menurut bukti P2 yang merupakan “Buku C lama”, Desa Takmung, tanah sengketa

adalah milik Almarhum Tugeg sejak tahun 1950 hingga sekarang. Tanah tersebut

dinyatakan menjadi milik Arya, Wisma dan Darsana (Sekehe 3). Dan sejak

dinyatakan menjadi milik Sekehe tiga, tidak pernah dilakukan mutasi lagi. Hal

tersebut juga sesuai dengan kesaksian dari Kepala Desa Takmung dan “Buku C

Baru” Desa Takmung. Dalam Buku C baru itu juga tidak tercantum keterangan

bahwa tanah sengketa adalah tanah laba puraMeskipun Tergugat menyangkal bahwa

tanah tersebut adalah milik Tugeg yang kemudian diwariskan pada Sekehe Tiga,

tetapi Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa tanah sengketa adalah Tanah Laba

Pura.

3. Pura yang ada di tanah sengketa tidak dapat dijadikan bukti bahwa tanah tersebut

adalah tanah laba pura.

4. Keterangan para saksi menyatakan bahwa “Sekehe Tiga” adalah anak-anak kandung

Almarhum Tugeg. Sekehe Tiga tidak mempermasalahkan keberadaan Pura Dalem

Rajapati.

5. Dari pertimbangan-pertimbangan di muka, maka Pengadilan berpendapat bahwa

Penggugat-Penggugat telah dapat membuktikan gugatannya dan Hakim Pertama

memberikan putusan sebagai berikut:

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 14

Page 15: Hukum Adat Bali

c. MENGADILI:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat-Penggugat sebagian.

2. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah anak kandung sah Almarhum Tugeg.

3. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah ahli waris sah hak milik Almarhum Tugeg.

4. Menyatakan tanah sengketa adalah hak milik Almarhum Tugeg.

5. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah satu-satunya ahli waris sah yang berhak

mewarisi harta sengketa secara bersama (Sekehe Tiga).

6. Menyatakan Tergugat menguasai tanah sengketa dengan menanam pohon diatasnya

adalah melawan hak tanpa dasar hukum.

7. Memerintahkan Tergugat atau yang mendapatkan hak untuk mencabut pohon

kelapa/pisang/tanaman lainnya atau mengosongkan tanah tersebut lalu menyerahkannya

pada Penggugat-Penggugat.

8. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

d.PENGADILAN TINGGI:

1. Mantera, Tergugat dalam perkara ini menyatakan banding atas putusan hak milik.

Setelah memeriksa perkara dan berkas perkara ini, Hakim Banding menemukan fakta

bahwa ternyata Pengadilan Negeri telah memeriksa tiga orang saksi tanpa disumpah.

Pertimbangan yang mendasarinya adalah karena ketiganya masih mempunyai hubungan keluarga

dengan pihak Penggugat. Kades Takmung, Diarsa adalah paman Penggugat dan Tergugat.

Saksi Tergugat, Seregeg dan Serejig, tidak jelas mana saudara kandung dan yang sepupu

dari Tergugat. Antara Berita Acara sidang disatu pihak dan jawaban Tergugat tanggal 6 Mei

1990 serta Daftar Silsilah dilain pihak terdapat perbedaan/pertimbangan.

Saudara sepupu tidak berhak mengundurkan diri, sebagai saksi, sehingga saudara sepupu

haruslah disumpah.

- Saudara Kandung (pasal 174 ayat 1 ke-1 RBg) dan kemenakan/paman (putusan MA No. 300

K/Sip/1973, tanggal 11-11-1975) adalah orang-orang yang berhak mengundurkan diri

sebagai saksi, mereka harus diberitahukan tentang hak untuk pengunduran diri yang tidak

digunakan, harus disumpah (pasal 175 RBg). Sedangkan jika akan menggunakan hak

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 15

Page 16: Hukum Adat Bali

tersebut, tidak perlu diperiksa tanpa disumpah. Saksi yang tidak disumpah bukan alat bukti.

Yang boleh diperiksa tanpa disumpah, hanya anak di bawah usia 15 tahun dan orang gila

yang kadang-kadang ingat (pasal 173 RBg).

- Sehubungan dengan itu, Pengadilan Tinggi memandang perlu memerintahkan Pengadilan

Negeri membuka kembali pemeriksaan Sidang dalam perkara ini.

- Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Hakim Banding memberi Putusan Sela yang

amarnya sebagai berikut:

- Memerintahkan Pengadilan Negeri Klungkung untuk membuka kembali pemeriksaan dalam

perkara ini untuk:

I. 1. Memerintahkan saksi misan/sepupu Tergugat untuk bersumpah.

2. Memberitahukan kepada saksi saudara kandung. Saksi paman akan haknya untuk

mengundurkan diri sebagai saksi untuk selanjutnya memerintahkan saksi jika

bersedia menjadi saksi untuk bersumpah.

3. Menanyakan saksi yang sudah disumpah: Apakah mereka tetap pada keterangan yang

telah diberikan pada sidang yang lalu.

II. Memberi kesempatan pada kedua pihak, jika masing-masing akan mengajukan tambahan

alat bukti.

- Dalam Putusan Akhir, maka Hakim Banding berdasar atas pemeriksaan Tambahan tersebut

di atas, memberikan putusan akhir yang amarnya: Membatalkan putusan Hakim Pertama dan

mengadili sendiri: Menolak gugatan Penggugat.

MAHKAMAH AGUNG RI:

- Para Tergugat, Sekehe Tiga, menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan

permohonan kasasi pada Mahkamah Agung dengan alasan sebagai berikut:

1. Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, Pengadilan Tinggi menyatakan tanah

sengketa bukan milik orang tua Penggugat-Penggugat, tapi milik Banjar. Hal tersebut

tidak benar. Sesuai bukti P2, tanah sengketa adalah milik orang tua Penggugat-

Penggugat.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 16

Page 17: Hukum Adat Bali

2. Pengadilan Tinggi salah menrapkan hukum dalam pertimbangannya Perubahan penilikan

tanah sengketa dari atas nama Tugeg menjadi atas nama Sekehe Tiga, bukan atas usul

ahli waris Tugeg, hal itu tidak benar. Atas usul ahli waris Tugeg, yaitu Penggugat,

menjadi atas nama Sekehe Tiga Pemindahan hak milik hanya dapat dilakukan oleh

pemiliknya sendiri atau oleh ahli warisnya, karenanya, tahun 1950. Penggugat-

Penggugat melakukan pemindahan hak tersebut sesuai Undang-Undang.

3. Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum dalam pertimbangannya. Pencantuman

nama Tugeg akabn buku C tidak benar. Pengadilan Tinggi kurang teliti menelaah bukti

P2 yang oleh Pengadilan Tinggi hanya dinilai sebagai surat pembayaran pajak. Hal

tersebut disengaja untuk melemahkan Penggugat-Penggugat.

4. Setelah memeriksa perkara ini, Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan 1 dan 2

yang diajukan Penggugat-Penggugat dapat dibenarkan. Tergugat dalam memutus perkara

ini, salah menerapkan hukum yaitu:

5. Pengadilan Tinggi menyatakan surat bukti P2 dapat disimpulkan bahwa Tanah atas nama

Tugeg dalam Buku C, bukan karena pembelian atau warisan atau transaksi lainnya, tetapi

karena “salah buku”. Dengan demikian, perubahan tahun 1950 atas nama Sekehe Tiga,

bukan karena permohonan ahli waris Tugeg, tetapi karena “salah buku”.

6. Atas dasar pertimbangan tersebut, Penggugat tidak berhasil membuktikan dalil

gugatannya dan keliru jika pengertian “salah buku” diartikan salah memasukkan buku ke

Sekehe Tiga, berarti tanah sengketa adalah milik Tugeg. Karena terbukti sejak 1935

sampai dengan 1950, tanah tetap atas nama Tugeg.

7. Penggugat tidak perlu membuktikan atas hak atau Tugeg memperoleh tanah sengketa,

karena dari pemeriksaan, tidak terdapat bukti sebaliknya, yakni sebelum tahun 1935,

tanah sengketa terdaftar atas nama orang lain selain Tugeg.

8. Tugeg adalah orang tua Penggugat dan tanah sengketa terbukti milik Tergugat, maka

penggugat sebagai ahli warisnya adalah sama dengan yang paling berhak atas tanah

sengketa.

9. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dimuka. Mahkamah Agung telah

cukup alasan untuk menerima permohonan kasasi dari I Gusti Nyoman Arya, I. I Gusti

Made Wisma, dan I. Gusti Putu Darsana. Mahkamah Agung membatalkan putusan

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 17

Page 18: Hukum Adat Bali

Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan

Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 20 Juni 1990, No. 3/Pdt/G/1990/PN.Klk.

CATATAN:

Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas, dapat diangkat “Abstrak Hukum”

sebagai berikut:

Suatu keluarga masyarakat Bali, Gusti Made Tugeg dalam perkawinannya dengan Wanita Ni

Gusti Rai Muklek, dilahirkan tiga orang anak lelaki: I. Gusti Nyoman Arya, I. Gusti Made

Wisma, I. Gusti Putu Darsana.

Ayah ketiga anak ini (Gusti Made Tugeg) semasa hidupnya memiliki tanah hak milik.

Dengan wafatnya ayahnya, yang kemudian disusul dengan ibunya, maka hak milik tanah itu

turun dan diwarisi oleh ahli warisnya ketiga orang anak lelakinya tersebut diatas (Sekehe

Tiga).

Majelis terdiri dari para Hakim Agun: Ny. SITI ROSMA ACHMAD, SH sebagai Ketua

Sidang didampingi anggotaL TH. KETUT SURAPUTRA, SH dan H.I. RUKMINI, SH.

E. Perceraian menurut Hukum Adat Bali

SETELAH berlakunya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, baik perkawainan dan

perceraian di Indonesia harus dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.

Tetapi, karena masalah perkawinan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan adat kebiasaan

masyarakat setempat dan agama yang dianut pasangan suami - istri yang akan kawin atau

cerai, pelaksanaan perkawinan dan perceraian pun patut dilaksanakan sesuai dengan agama

dan adat kebiasaan setempat.

Perceraian yang dilakuakan berdasarkan UU No.1/1974 tentang Perkawinan, sudah

banyak dibahas. Tidak demikian halnya perceraian menurut hukum adat Bali. Dalam

beberapa hal, perceraian menurut hukum adat Bali memang mengandung beberapa

kelemahan. Mungkin karena itu sehingga makin banyak orang Bali-Hindu yang memilih

untuk mengurus perceraiannya melalui pengadilan negeri sesuai dengan ketentuan UU

No.1/1974. Namun, tidak ada salahnya kita mengetahui proses perceraian menurut hukum

adat Bali.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 18

Page 19: Hukum Adat Bali

Jika pasangan suami istri tidak cocok satu sama lainnya, proses perceraian biasanya

dimulai dengan menyampaikan masalah ketidakcocokan itu kepada keluarga masing-masing

dan sekalian menyampaikan niat untuk bercerai. Sesudah menyampaikan niat itu, istri

biasanya tidak mau kembali ke rumah suaminya. Dia akan menetap di rumah orangtuanya

atau keluarga dekat lainnya. Ini dikenal dengan istilah nyala (dalam ungkapan sekarang lebih

dikenal dengan “pisah ranjang”).

Langkah pertama yang diambil masing-masing keluarga setelah menerima pengaduan

dari salah satu pasangan yang ingin bercerai adalah berusaha untuk mendamaikan dan

membujuk suami istri yang bersangkutan untuk rukun kembali. Kalau mereka ngotot tidak

mau rukun, tidak ada pilihan lain bagi keluarganya kecuali membawa masalah ini ke prajuru

(perangkat pimpinan) desa.

Berdasarkan pengaduan itu, prajuru desa akan memanggil pasangan suami istri yang

ingin bercerai untuk datang ke balai desa pada waktu yang telah ditentukan. Di balai desa dan

di hadapan prajuru desa, masing-masing pihak dimintai keterangan soal masalah yang

mereka hadapi, termasuk niatnya untuk bercerai. Sesudah itu, prajuru desa akan

mengarahkan kedua belah pihak untuk menghindari perceraian dan kembali hidup rukun

sebagai suami istri. Kalau kedua belah pihak mengatakan tidak mungkin rujuk kembali,

sidang akan ditunda beberapa hari atau beberapa minggu. Maksudnya, untuk memberikan

kesempatan kepada pasangan suami istri tersebut untuk berpikir secara lebih jernih. Kalau

mereka bertahan pada niatnya untuk bercerai, sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan

keterangan dari keluarga masing-masing. Jika dalam pertemuan berikutnya bendesa (pucuk

pimpinan prajuru) sampai pada kesimpulan mereka benar-benar bulat hati akan bercerai,

perceraian akan disetujui, pasangan suami istri ini dianggap bercerai.

Saat itu, bendesa juga menjelaskan berbagai konsekuensi yang menyertai perceraian

tersebut, seperti masalah warisan, harta bersama (guna – kaya), dan anak. Biasanya masalah

itu diselesaikan secara pada lasia (diselesaikan secara damai berdasarkan hukum adat).

Setelah ini perdamaian disepakati, langkah berikutnya berupa pengumuman perceraian

(pasobiahan) oleh prajuru dalam rapat desa yang diadakan pada bulan berikutnya. Perceraian

dianggap resmi sesudah adanya pengumuman (pasobiahan) perceraian pasangan

bersangkutan, di hadapan rapat (paruman) desa. Sesudah itu, masing-masing mau kawin lagi

atau selamanya berstatus sebagai janda (balu luh) atau duda (balu muani), tidak ada masalah.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 19

Page 20: Hukum Adat Bali

Dengan uraian singkat tersebut dapat diketahui bahwa perceraian menurut hukum

adat Bali sangat sederhana prosesnya. Selain itu, biaya yang diperlukan juga relatif murah

dan bahkan tanpa biaya samasekali.

Setelah berlakunya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, perceraian yang dilaksanakan

menurut hukum adat Bali, kurang diminati pasangan suami istri yang ingin bercerai. Hal ini

disebabkan, perceraian menurut hukum adat Bali mengandung beberapa kelemahan.

Kelemahan itu antara lain, sulit membuktikan bahwa pasangan suami istri telah bercerai,

karena perceraian yang dilaksanakan tidak disertai penerbitan akte perceraian. Ini bisa

menimbulkan kesulitan susulan, khususnya terkait penyelesaian administrasi kepegawaian

bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri atau swasta. Begitu pula jika salah satu

pihak ingin melangsungkan perkawinan untuk ke dua kalinya, dan kebetulan calon

pasangannya berasal dari luar daerah. Kesulitan lainnya dalam hubungan dengan

menyelesaikan masalah harta bersama (gunakaya) yang telanjur dikuasai salah satu pihak,

baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Oleh karena perceraian menurut hukum adat Bali mengandung beberapa kelemahan,

makin banyak pasangan suami istri yang ingin bercerai memilih mengurus perceraian lewat

lembaga peradilan negeri sesuai dengan ketentuan UU No.1/1974. Masalahnya, untuk

mengurus perceraian melalui pengadilan negeri tidak mudah karena persyaratannya lebih

banyak dan lebih ketat dibandingkan perceraian menurut hukum Bali. Lagi pula tidak murah

biayanya. Biaya yang diperlukan bahkan bisa hampir sama dengan biaya perkawinan yang

dilaksanakan secara tradisional di desa. Gugatannya harus memenuhi persyaratan formal dan

materiil sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Kalau tidak demikian, gugatannya akan

ditolak.

Keuntungan yang utama adalah sangat gampang membuktikan bahwa telah ada

perceraian; tinggal menunjukkan akte perceraian atau fotokopinya. Sesudah itu, mau kawin

dengan siapa pun tak menjadi soal. Selain itu, mau kawin dengan siapa pun tak menjadi soal.

Selain itu, terbuka peluang untuk membahas masalah pengasuhan anak, pembagian harta

bersama, secara lebih mendekati keadilan.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 20

Page 21: Hukum Adat Bali

F. GENDER DALAM ADAT BALI

Adat bali yang dimaksud adalah meliputi, nilai, norma dan prilaku dalam masyarakat

Bali pada umumnya yang sangat dikenal dengan sistem kekeluargaan patrilinial. Sistem

kekeluargaan patrilineal sering diduga keras memberi peluang suburnya budaya patriarkhi

( kekuasaan/ dominasi laki-laki). Dalam kajian terhadap masalah ini membagi atas 3 bagian

yaitu:

6. Semangat moral yang dijadikan dasar hukum adat bali; yang menggambarkan konsep

ideal / das sollen dari hukum adat bali.

7. Letak bias jender dalam hukum adat bali;

8. Upaya mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat bali.

F.1. Semangat moral gender dalam Hukum Adat Bali.

Hukum adat bali, pada umumnya dilandasi oleh spirit moral agama Hindu.

Dilihat dari sudut moral agama Hindu, perempuan memiliki peran sentral dalam

masyarakat. Laki-laki dan perempuan adalah setara, dan harus bersatu dan bekerjasama

dengan erat sebagai dwi tunggal. Seperti halnya para dewa memiliki pasangannya, Dewa

Brahma dengan Dewi Saraswati, Dewa Wisnu dengan Dewi Sri, Dewa Siwa dengan

Dewi Durga, ini adalah keadaan ideal.

Tentang kedudukan perempuan, seperti digambarkan dalam Kitab Suci Manawa

Dharmacastra Bab.III. sloka 58 dan 59. 58: “ Bagi setiap keluarga yang tidak

menghormati kaum perempuan, niscaya keluarga itu akan hancur lebur berantakan.

Rumah di mana perempuannya tidak dihormati sewajarnya, mengungkapkan kutukan,

keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib” 59. “

Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera, harus selalu menghormati perempuan kitab

suci mewajibkan semua orang menghormati perempuan”. Manu Smerti menggambarkan

status perempuan dan laki-laki adalah sama (Manawa Darmacastra IX, 96): ” Untuk

menjadi ibu perempuan diciptakan, dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan, karena

itu upacara keagamaan ditetapkan dalam Weda untuk dilakukan oleh suami dan istrinya.

96.”Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat

statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 21

Page 22: Hukum Adat Bali

suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” Manu

Smerti mengumpamakan perempuan diumpamakan seperti bumi/ pertiwi/ tanah da laki-

laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan bibit mempunyai kedudukan dan peran

yang sama dalam menciptakan kehidupan Gambaran tentang peran perempuan sebagai

tolak ukur kebahagiaan dalam keluarga, masyarakat dan bangsa dapat dilihat dalam

Kitab Bhagawadgita Bab I sloka 41,42 yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:

” Bila tirai kebatilan merajalela oh Kresna , wanita menjadi jalang, maka

moral serta warna ( dalam masyarakat) akan campur aduk”

“Keruntuhan moral perempuan akan membawa keruntuhan keluarga serta

arwah nenek moyang akan jatuh keneraka, dan segala sesajen air, makanan

yang dipersembahkan tidak berguna baginya”.

Tanggungjawab perempuan menjadi sangat tinggi dalam memegang teguh moral

dan ahklak masyarakat. Perempuan memegang peranan sentral dalam kehidupan dan

kebahagiaan keluarga, masyarakat dan negara. Sementara untuk semangat kerja keras

dalam Bhagawandgita Sloka III.5. menyebutkan:

“ Tidak seorangpun tidak bekerja walaupun untuk sesaat saja karena dengan

tiada berdayanya manusia dibuat bertindak oleh hukum alam”

“ Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab bekerja jauh lebih baik dari tidak

bekerja. Kalau kau tidak bekerja hidup sehari-haripun tidak mungkin. (sloka .8).

Dalam Kitab Sarasamuscaya ethos kerja terlihat pada penekanan adanya

karmaphala yaitu hasil dari perbuatan-perbuatan baik pada masa lampau sekarang

maupun yang akan datang. Setiap karma (perbuatan) pasti membuahkan hasil, baik buruk

hasilnya pasti tergantung pada karmanya”

Semangat moral yang dipetik di atas pada prinsipnya menempatkan lelaki dan

perempuan dalam mitra yang sejajar. Spirit ini kemudian dituangkan dalam bentuk

hukum adat, khususnya dalam hukum kekeluargaan desa adat di Bali. Dalam hukum

keluarga maka dianut sistem kekeluargaan garis keturunan “purusa “ yang sesungguhnya

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 22

Page 23: Hukum Adat Bali

tidak identik dengan laki-laki, karena ahli waris juga bisa perempuan, khususnya bila

dalam keluarga tidak memiliki anak laki-laki. Nah, bila ada anak laki-laki dan

perempuan, maka otomatis anak laki laki lah sebagai ahli waris. Di sinilah letak

pembedaan anak laki dan perempuan yang ada dalam keluarga. Pada umumnya menurut

menurut hukum waris Bali ada 3 macam ahli waris:

Pratisentana purusa (anak laki-laki);

Sentana Rajeg ( anak perempuan yang berstatus sebagai anak lelaki);

Sentana peperasan (anak angkat).

Dalam hukum waris inilah yang sering digugat sebagai aturan yang bias

Gender. Mengikuti pendapat Talcott Parson analisa struktur hukum dalam suatu

kelompok masyarakat terdiri dari:

Ide-ide ( norma keagamaan dan nilai-nilai sosial)

Norma ( Hukum adat Bali)

Kollektivitas ( (desa adat dan lembaga-lembaga adat lainnya)

Peran ( sikap, prilaku anggota masyarakat)

Bagian atas menggambarkan bagaimana hubungan gender dirumuskan dalam

kitab suci Hindu yang menjadi dasar moral dan spirit hukum Adat Bali. Bagaimana

kemudian dituangkan dalam bentuk norma dalam hukum adat, dan menghasilkan sistim

kewarisan menurut garis “purusa”yang sepenuhnya tidak identik dengan dengan garis

lurus laki-laki, karena perempuanpun bisa menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus

kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga. Tapi bila keluarga

itu memiliki anak perempuan dan laki-laki hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli

waris. Inilah yang dimaksud Ariani adanya bias gender dalam hukum adat bali.

Sangat jelas sekali anak perempuan apalagi sudah kawin keluar, maka ia tidak

berhak mewaris dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab keluarga pihak suami selama

perkawinannya langgengBila terjadi perceraian, anak perempuan tersebut kembali

kekeluarga asalnya, dan beralih menjadi tanggungjawab orangtua atau saudara laki-

lakinya. Hak asuh anak-anak jatuh pada suami / keluarga suami, dan bagi si ibu tidak ada

tanggungjawab ekonomis ataupun spiritual terhadap anak-anaknya.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 23

Page 24: Hukum Adat Bali

Faktanya di sinilah getirnya nasib perempuan bali yang bercerai. Menurut hukum

Adat Bali mengenai harta perkawinan, harta bersama ( guna kaya = harta yang diperoleh

selama masa perkawinan adalah dibagi dua (50% hak perempuan) dan bila ada harta

tatadan ( bekal atau hibah dari orangtua perempuan), harta tatadan sepenuhnya kembali

menjadi hak perempuan. Prakteknya, dalam kasus perceraian banyak diselesaikan hanya

secara adat, dan perempuan bali sering tidak menggugat harta bersama apalagi bila ada

anak-anak, biasanya diberikan kepada anak-anaknya. Syukur bila keluarga asalnya

menerima dengan baik. Dari pengamatan perempuan yang bercerai dan pulang ke rumah

selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dan juga sering membantu

biaya sekolah anak-anaknya bila memungkinkan.

Menurut hukum adat, orang tua atau saudara laki-laki di rumah asalnya wajib

bertanggungjawab bila ia sakit ataupun meninggal, bila mereka tidak mau akan dikecam

oleh masyarakt adatnya. Oleh karena itu setiap perceraian yang terjadi harus dilaporkan

kepada “kelian” atau kepala banjar adat baik di lingkungan rumah suami maupun

ditempat asal istri. Tidak boleh mengambang tak karuan, karena ini menentukan

kewajiban banjar adat bila anggota masyarakatnya meninggal atau memiliki masalah

hukum lainnya.

Hukum Adat Bali tumbuh dan hidup dalam tatanan masyarakat agraris, demikian

juga lembaga-lembaga adat seperti desa adat sangat tergantung pada tanah (wilayah

kerjanya) dan peran-peran individu sesuai dengan kondisi pada saat itu. Dari sisi

kekuasaan dalam masyarakat yang mendominasi adalah para tuan tanah

(feodalismeperempuan sangat tinggi, seperti : praktek kawin paksa, poligami, pemingitan

gadis dalam usia belia dengan alasan menjaga kesuciannya, kawin dalam usia muda, dan

adanya strata sosial kasta yang melarang perempuan kawin dengan orang lain, hanya

dalam lapisan kastanya saja, bila keluar maka ia dibuang dari keluarga, banyak terjadinya

kekerasan fisik dan mental terhadap perempuan.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi, terutama adanya pergeseran kehidupan

ekonomi pada sektor jasa, masuknya Keluarga Berencana memungkinkan bagi

perempuan memperoleh penghasilan sendiri. Bersyukur berlakunya UU No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, yang prinsipnya melarang poligami, kawin paksa, dan

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 24

Page 25: Hukum Adat Bali

kedudukan istri adalah sebagai mitra sejajar dan yang mewajibkan setiap perceraian baru

sah bila ada Putusan Hakim. Adanya perubahan hukum perkawinan menyebabkan adanya

perubahan prilaku dalam masyarakat. Jadi yang berubah adalah peran/ prilaku, sementara

hukum kekeluargaan patrilinial tetap berlaku.

Dewasa ini hakim pengadilan di Bali dalam kasus perceraian selalu memutus

berdasarkan UU No, 1 tahun 1974 dan sering memutuskan harta bersama dan hak asuh

anak ada pada ibu (perempuan). Sayang sekali perempuan terutama yang ada di pedesaan

(bukan pegawai negeri ataupun lainnya yang wajib menunjukkan surat perceraian dari

kantornya atau yang merasa perlu) tidak mengurus perceraiannya ke pengadilan.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 25

Page 26: Hukum Adat Bali

Daftar Pustaka

__________.TT. Perda Propinsi Dati I Bali No. 2 Tahun 1988 Tentang Lembaga Perkreditan

Desa.

____________.1995. “Manfaat Pengembangan Studi Kebijakan Publik untuk Pembangunan

Daerah”, dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III.

Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

____________.2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Yogyakarta : Media Grafika Utama.

Abdul Wahab, Solichin. 1994. “Esensi Nilai Dalam Kebijakan: Perbincangan Teoritikal”,

dalam Kebijakan Publik dan Pembangunan. Malang : Penerbit IKIP Malang bekerja sama

dengan FIA Unibraw

Anonim. TT. Peraturan Daerah Propinsi Dati I Bali No. 06 Tahun 1986 Tentang Kedudukan,

Fungsi, dan Peranan Desa Adat Sebagai Satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam

Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Dwiyanto, Agus. 1995. “Evaluasi Program dan Kebijaksanaan Pemerintah”, dalam Kumpulan

Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III. Yogyakarta: Pusat Penelitian

Kependudukan UGM.

Gede, Igusti Raka. 1995. Monografi Pula Bali. Jakarta : Pusat Djawatan Pertanian Rakyat.

Hardiyoko dan Panggih Saryoto, “Kearifan Lokal dan Stok Pangan Desa”,

dalam Pangan, Kearifan Lokal, dan Keanekaragaman Hayati,

(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2001), hal. 185.

Hardiyoko dan Panggih Saryoto. 2001. “Kearifan Lokal dan Stok Pangan Desa”, dalam Pangan,

Kearifan Lokal, dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat

Cerdas.

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 26

Page 27: Hukum Adat Bali

I Gusti Raka Gede, Monografi Pula Bali (Jakarta: Pusat Djawatan Pertanian

Rakyat, 1955), hal. 34.

Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi

Aksara, Jakarta.

Isna, Alizar dan Anwaruddin. 2000. “Evaluasi Sistem Pelaksanaan dan Pengelolaan Bantuan

Keuangan Program-program Pembangunan (Studi Kasus di Desa Kawungcarang

Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas)”, Hasil Penelitian, Tidak Diterbitkan.

Purwokerto : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman.

lizar Isna dan Anwaruddin, “Evaluasi Sistem Pelaksanaan dan Pengelolaan

Bantuan Keuangan Pulau bali, Pemda bali, 2009

Mazmanian, Daniel A. dan Paul A. Sabatier, Implementation and Public Policy. New Jersey :

Scott, Foresman and Company.

Udoji, Chief J.O. 1981. The African Public Servant as a Public Policy Maker. Public Policy in

Africa, African Association for Public Administration and Management.

Wimer, David L dan Aidan R. Vining, Policy Analysis: Concepts and Practice. New Jersey :

Third E

Hukum Adat di Bali oleh Haril Soetarjo Nim 06110062 Page 27


Recommended