Download pdf - Goosebumps RambutSetan

Transcript
  • Goosebumps - Rambut SetaneA_A f|x

    PDF & ePub by FotoSelebriti.Net

  • 1AKU tidak habis pikir kenapa begitu banyak anjing liar di kotaku.Dan aku lebih heran lagi kenapa harus aku yang mereka incar?Jangan-jangan mereka sembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan orang-orang yang lewat. Lalu mereka saling berbisik, "Kaulihat anak berambut pirang itu? Itu Larry Boyd-ayo, kita kejar dia."Aku berlari sekencang mungkin. Tapi tidak mudah untuk berlari kencang sambil membawa kotak gitar. Kotak itu membentur-bentur kakiku.Dan aku juga terpeleset-peleset di salju.Kawanan anjing itu semakin dekat. Semua melolong dan menyalak menakut-nakutiku.Hmm, usaha kalian memang berhasil! pikirku. Aku ngeri. Ngeri setengah mati!Kata orang sih, anjing bisa tahu kalau kita takut. Tapi biasanya aku tidak takut anjing. Sebenarnya, aku justru senang anjing.Aku cuma takut kalau ada segerombolan anjing yang berlari mengejarku sambil meneteskan air liur, seakan-akan hendak menerkam danmengoyak-ngoyakku. Seperti sekarang.Tergopoh-gopoh aku berusaha menyelamatkan diri, dan nyaris jatuh ke gundukan salju setinggi lutut. Aku menengok ke belakang. Anjinganjingitu terus mendekat.Ini tidak adil! pikirku dengan getir. Mereka berkaki empat, sedangkan aku cuma punya dua!Seperti biasa gerombolan itu dipimpin anjing hitam besar dengan mata hitam beringas. Dia menyeringai, dan' giginya yang tajam danruncing kelihatan jelas."Pulang! Ayo pulang! Anjing-anjing nakal! Pulang!"Percuma saja aku berteriak-teriak. Mau pulang ke mana mereka? Mereka tidak punya rumah!"Pulang! Ayo pulang!"Sepatu botku tergelincir di salju, dan gitarku yang berat nyaris membuatku terjatuh. Tapi entah bagaimana aku berhasil menjagakeseimbangan dan terus melangkah maju.Jantungku berdegup-degup. Tubuhku serasa terbakar, padahal suhu udara saat itu beberapa derajat di bawah nol.Salju di sekelilingku begitu putih sehingga aku terpaksa memicingkan mata supaya tidak silau. Aku berusaha menambah kecepatan, tapiotot-otot kakiku sudah mulai kram. 'Tamatlah riwayatku! pikirku pasrah."Aduh!" Kotak gitar yang berat membentur pinggangku.Aku melirik ke belakang. Anjing-anjing itu melompat-lompat seakan-akan tak kenal lelah. Semua melolong dan menggonggong sambilmengejar.

  • Semakin dekat. Semakin dekat."Pulang! Anjing-anjing nakal! Bandel! Pulang!"Kenapa harus aku?Aku anak baik. Sungguh. Silakan tanya siapa saja. Mereka pasti akan bilang-Larry Boyd, anak dua belas tahun paling ramah di kota ini!Jadi kenapa arus aku yang dikejar-kejar?Terakhir kali aku menyelamatkan diri dengan melompat ke mobil yang diparkir di, pinggir jalan dan menutup pintunya, persis waktu merekamenerkam. Tapi kali ini gerombolan anjing itu sudah terlalu dekat. Dan semua mobil di sepanjang jalan tertutup salju. Sebelum aku sempatmembuka pintu salah satu mobil, aku pasti sudah jadi santapan mereka!Jarak ke rumah Lily tinggal setengah blok. Rumahnya sudah kelihatan di pojok di seberang jalan. Itu satu-satunya kesempatanku.Kalau saja aku bisa sampai ke rumah Lily aku bisa-"ADUUUH!" 'Kakiku tersandung pada batu kecil yang tersembunyi di bawah salju. Kotak gitarku terlepas dari tanganku dan terpental.Aku terjerembab."Tamatlah riwayatku," aku mengerang. "Kali ini aku takkan lolos.

    2SEMUANYA jadi putih.Dengan susah payah aku berusaha bangkit. Terburu-buru kutepis salju yang menempel di wajahku.open in browser customize fcrowd.comAnjing-anjing itu menyalak garang."Hus! Pergi! Ayo pergi!" Suara lain. Suara yang sangat kukenal. "Pergi, kubilang! Ayo pergi!"Suara anjing-anjing itu bertambah pelan.Kutepis salju lembab yang menutupi mataku."Lily!" aku berseru dengan gembira. "Kok kau ada di sini?"Dia mengayunkan sekop salju yang berat ke arah anjing-anjing itu. "Hus! Pergi! Ayo!"Anjing-anjing yang semula masih menggeram kini merintih-rintih tertahan. Satu per satu mereka mulai mundur. Anjing hitam raksasadengan mata hitam pun menundukkan kepala dan membalik.Yang lain mengikutinya."Lily-mereka tunduk padamu!" aku kembali berseru dengan lega. Pelan-pelan aku berdiri dan menepis-nepis salju dari jaket biruku."Tentu saja," sahut Lily sambil nyengir. "Masa kau tidak tahu kalau aku paling ditakuti di daerah sini, Larry? Semuanya tunduk padaku."Sebenarnya penampilan Lily Vonn sama sekali tidak menakutkan. Umurnya dua belas, sama seperti aku, tapi tampangnya masih sepertianak kecil. Dia pendek dan kurus dan, ehm... lumayan manis. Rambutnya

  • yang pirang dipotong sebatas dagu dan dibiarkan menutupikeningnya.Yang aneh pada Lily adalah matanya. Yang satu biru, yang satu lagi hijau. Tak ada yang percaya bahwa kedua matanya berbeda warnasampai mereka melihatnya sendiri. ,Kutepis salju yang menempel di mantel dan lutut celana jeans-ku. Lily mengulurkan kotak gitarku. "Moga-moga tahan air," gumamnya.Aku menoleh ke jalan. Anjing-anjing itu kembali menyalak-nyalak sambil mengejar seekor tupai."Aku melihatmu dari jendela kamarku tadi," Lily berkata ketika kami menuju rumahnya. "Kenapa sih kau selalu dikejar anjing?"Aku angkat bahu. "Mana aku tahu?" sahutku. "Aku sendiri heran." Salju yang menutupi trotoar bekersik-kersik di bawah sepatu bot kami.Lily berjalan di depan. Aku menapakkan kaki pada jejak yang ditinggalkannya.Kami menunggu sebuah mobil melintas, lalu menyeberang dan memasuki pekarangan rumah Lily."Kenapa kau telat?" tanya Lily."Aku disuruh ayahku membersihkan salju di depan garasi," jawabku. Tudung jaketku rupanya kemasukan salju, yang sekarang terasamengalir di tengkukku. Aku menggigil. Aku sudah tidak sabar masuk ke rumah Lily yang hangat.Yang lain ternyata sudah berkumpul di ruang tamu Lily. Aku melambaikan tangan kepada Manny, Jared, dan Kristina. Manny sedangberlutut dan mengotak-atik amplifier gitarnya. Sekonyong-konyong gitarnya mengeluarkan suara melengking yang membuat kami semuatersentak kaget.Manny jangkung; - kurus, dan bertampang agak bloon, dengan senyum yang menceng dan rambut hitam ikal yang lalu berkesan acakacakan.Jared juga berumur dua belas seperti yang lain, tapi tampangnya seperti anak delapan tahun. Rasanya kami semua belum pernahmelihat dia tanpa topi Raiders-nya yang berwarna hitam dan perak. Kristina agak gendut. Rambutnya keriting dan merah seperti wortel. Diamemakai kacamata dengan bingkai plastik berwarna biru.Kubuka mantelku yang basah kemudian kugantungkan pada gantungan di dekat pintu masuk.Rumah Lily terasa hangat dan nyaman. Kurapikan sweterku lalu bergabung dengan yang lain.Manny menoleh dan tertawa keras-keras. "Hei, lihat tuh-rambut Larry berantakan! Cepat, foto dia!"Semua tertawa.Mereka selalu berkomentar tentang rambutku. Padahal bukan salahku kalau rambutku memang bagus, ya, kan? Rambutku panjang, pirang

  • dan berombak."Hairy Larry!" Lily berseru.Ketiga temanku yang lain tertawa lalu ikut bersenandung. "Hairy Larry! Hairy Larry! Hairy Larry!"Aku langsung merengut dan menyibakkan rambut. Mukaku mendadak terasa panas.Aku paling tidak suka diolok-olok. Aku selalu kesal, dan mukaku selalu memerah karenanya. Mungkin justru karena itu, Lily dan yang lainbegitu getol mengolok-olokku. Ada saja ide mereka. Kalau bukan soal rambutku, ya soal telingaku yang besar, atau soal apa saja yangkebetulan terlintas dalam benak mereka.Dan aku selalu kesal. Dan mukaku selalu merah. Dan mereka semakin menjadi-jadi."Hairy Larry! Hairy Larry! Hairy Larry!"Huh, dasar!Sebenarnya sih, aku senang berteman dengan mereka. Rasanya kami tidak pernah bosan kalau sedang bersama-sama. Kami berlima jugamembentuk band. Minggu ini namanya The Geeks. Minggu lalu, kami pakai nama The Spirit. Band kami memang sering berganti-gantinama.Lily punya keping emas yang dipasangnya sebagai liontin pada kalung emas. Keping itu pemberian kakeknya, dan kakeknya bilang,keping emas itu hasil jarahan bajak laut.Lily pernah mengusulkan nama Pirate Gold untuk band kami. Tapi menurutku nama itu kurang keren. Dan Manny, Jared, dan Kristinasependapat denganku.Nama band kami - The Geeks - jauh lebih keren dibandingkan Howie and the Shouters. Itu nama band yang bakal jadi lawan kami dalamkontes Battle of the Bands di sekolah.Sampai sekarang kami masih heran bahwa Howie Hurwin nekat memakai namanya sendiri untuk bandnya itu! Dia cuma pemain drum.Penyanyinya adalah Marissa, adik perempuannya yang sok "Kenapa nama band-mu bukan Marissa and the Shouters?" aku sempatbertanya padanya."Soalnya jarang ada kata yang bunyinya mirip Marissa," jawab Howie."Hah? Memangnya ada kata yang bunyinya mirip Howie?" tanyaku heran."Ada, Zowie!" sahutnya. Lalu dia tertawa dan mengacak-acak rambutku.Dasar konyol.Howie dan adiknya tidak disukai di sekolah.Dan The Geeks sudah tidak sabar untuk menyapu the Shouters dari panggung.Sayang sekali kita tidak punya pemain bas," Jared mengeluh ketika kami menyetem alat-alat.

  • "Juga pemain saksofon atau trompet," Kristina menambahkan sambil mengeluarkan beberapa pick gitar berwarna pink dari kotak gitarnya."Ah, begini juga sudah bagus kok," Manny berkomentar. Dia masih berlutut dan mengotak-atik kabel dari gitar ke amplifier. "Suara tigagitar benar-benar mantap. Apalagi kalau kita pakai fuzztone yang disetel sampai mentok"Kristina, Manny, dan aku sama-sama main gitar. Lily penyanyi. Dan Jared pegang keyboard. Keyboard-nya dilengkapi drum synthesizerdengan sepuluh irama berbeda. Jadi bisa dibilang kami Juga punya pemain drum.Begitu amplifier Manny siap dipakai, kami mencoba membawakan lagu Rolling Stones. Tapi Jared tidak berhasil menemukan irama drumyang cocok pada syntheslzer-nya, sehingga kami terpaksa bermain tanpa iringan drum.Begitu lagunya selesai aku segera berseru "Ayo kita coba lagi!"Yanglain langsung menggerutu, "Larry, tadi sudah bagus, kok!" Lily berkomentar. "Kenapa mesti diulang lagi?"Gitar pengiringnya belum pas," kataku.Kau yang belum pas!" balas Manny sambil mengerutkan muka."Larry maunya memang serba sempurna, Manny," ujar Kristina. Masa kau lupa sih?"Mana mungkin aku lupa?" Manny menyahut dengan kesal. Mana pernah sih kita bisa memainkan lagu sampai selesai? Dia selalumenyuruh kita mulai dari awal sebelum lagunya habis!"Aku tersipu-sipu. "Aku cuma ingin hasil yang terbaik, aku membela diri.Oke. Oke. Aku memang selalu menuntut kesempurnaan. Tapi apakah itu salah?"Kontes di sekolah tinggal dua minggu lagi," kataku. Jangan sampai penampilan kita memalukan kalau kita sudah di atas panggung."Aku paling tidak tahan malu. Perasaan itu aku benci lebih dari apa pun juga di seluruh dunia. Bahkan lebih dari brokoli rebus!Kami mulai bermain lagi. Jared menekan tombol saksofon pada keyboard-nya, dan seketika kami seakan-akan punya pemain saksofon.Solo gitar pertama dimainkan oleh Manny, solo kedua olehku. Satu chord yang kumainkan terasa kurang sreg di telingaku, dansebenarnya aku ingin mulai dari awal lagi. Tapi aku tahu mereka akan menggantungku kalau latihannya kuhentikan lagi. Jadi aku terusbermain.Suara Lily sempat pecah ketika dia mengambil nada tinggi. Tapi suaranya begitu merdu dan manis, sehingga kesalahannya tidak terlaluberpengaruh.Hampir dua jam kami bermain tanpa berhenti.Permainan kami bagus juga. Dan setiap kali Jared menemukan irama

  • drum yang pas, lagu yang kami mainkan terdengar benar-benar bagus.Setelah menyimpan instrumen masing-masing, Lily mengusulkan untuk keluar dan bermain salju. Matahari sore masih tinggi di langit yangbiru cerah. Lapisan salju yang tebal tampak berkilau-kilau dalam cahaya matahari yang keemasan.Kami berkejar-kejaran mengelilingi semak-semak di pekarangan depan rumah Lily. Manny menumbuk topi Raiders di kepala Jared denganbola salju yang besar dan basah. Ulahnya itu segera memicu perang bola salju yang berlangsung sampai kami semua kehabisan napasdan terlalu capek tertawa untuk bisa meneruskannya."Kita bikin orang-orangan salju, yuk?" Lily mengusulkan."Ya, kita bikin yang mirip dengan Larry," Kristina menambahkan. Kacamatanya yang berbingkai biru sepenuhnya tertutup embun."Mana ada orang-orangan salju berambut pirang?" sahut Lily."Jangan macam-macam deh," aku bergumam.Mereka mulai membuat bola-bola salju besar untuk badan si orang-orangan salju. Jared mendorong Manny hingga terjerembab ke atassalah satu bola salju dan mencoba menggulungnya. Tapi Manny terlalu berat, dan bola salju itu langsung remuk.Sementara mereka asyik membuat orang-orangan salju, aku menuju jalanan. Di trotoar depan rumah sebelah ada sesuatu yang menarikperhatianku, barang-barang bekas yang menumpuk di samping tong sampah.Aku melirik ke rumah tetangga Lily. Sepertinya rumah itu sedang direnovasi. Barang-barang bekas yang kulihat sengaja ditaruh di trotoarsupaya diangkut truk sampah.Aku membungkuk dan mulai mengamati semuanya. Aku memang suka barang-barang bekas. Setiap kali ada tumpukan barang bekas,mau tak mau aku harus membongkarnya.Sambil membungkuk aku menggeser beberapa potong keramik dinding serta gumpalan plastik yang semula merupakan tirai kamar mandi.Di bawah karpet bulu yang kecil dan berbentuk bundar, aku menemukan lemari obat berwarna putih."Wow! Asyik!" gumamku.Lemari itu langsung kuangkat, lalu kubuka. Di dalamnya ada sejumlah botol dan tabung plastik.Perhatianku segera tertuju pada sebuah botol berwarna jingga. "Hei!" aku berseru pada teman-temanku. "Coba lihat apa yang kutemukan!

    3BOTOL jingga itu segera kubawa ke pekarangan rumah Lily. "Hei-lihat nih!" aku berseru sambil mengacungkan botol tersebut.

  • Tak ada yang menghiraukanku. Manny dan Jared sedang sibuk mengangkat bola salju besar ke atas bola salju yang satu lagi untukmembuat badan orang-orangan salju. Lily asyik memberi semangat pada mereka. Dan Kristina sedang membersihkan salju darikacamatanya."Hei, Larry-apa itu?" Kristina akhirnya bertanya sambil memasang kembali kacamatanya. Yang lain menoleh dan melihat botol ditanganku.Aku membacakan labelnya untuk mereka."INSTA-TAN. Kulit cokelat dalam sekejap.""Asyik juga!" seru Manny. "Ayo, kita coba saja.""Kau dapat dari mana?" tanya Lily. Pipinya tampak merah karena udara yang dingin. Butir-butir salju menempel di rambutnya.Aku menunjuk ke tong sampah di trotoar. "Dari sebelah. Botol ini masih penuh," ujarku."Kita coba saja!" Manny mengulangi sambil mengembangkan senyumnya yang tinggi sebelah."Yeah. Dan senin besok kita semua masuk sekolah dengan kulit cokelat seperti habis berjemur!" Kristina mendukungnya. "Miss shindlingpasti terbengong-bengong. Kita bilang saja kita habis dari Florida.""Jangan! Dari Bahama saja!" Lily menimpali. "Kita bilang pada Howie Hurwin bahwa The Geeks pergi ke Bahama untuk berlatih!"Semua tertawa."Memangnya obat ini manjur?" tanya Jared. Dia menatap botol di tanganku sambil membetulkan letak topinya."Pasti dong," ujar Lily. "Takkan ada yang mau beli obat ini kalau tidak manjur! Dia merampas botol itu dari tanganku. "Wow, masih penuh.Kita semua bisa berkulit cokelat. Ayo dong. Tunggu apa lagi. Bakal asyik, nih!"Kami kembali masuk ke dalam rumah. Salju di tanah bergemerisik ketika diinjak, sementara napas kami mengepul-ngepul di udara.Aku membuka jaket dan melemparnya ke tumpukan jaket yang lain. Tapi ketika kami menuju ke ruang tamu, aku mulai diliputi perasaanragu. Bagaimana bila obat ini tidak manjur? aku bertanya dalam hati. Bagaimana kalau kulit kita bukannya cokelat, tapi malah kuning atauhijau nanti?Di mana wajahku harus kutaruh kalau aku sampai terpaksa masuk sekolah dengan kulit berwarna hijau terang? Aku takkan tahan. Akupasti akan terus bersembunyi di dalam rumah-di dalam lemari pakaian-kalau perlu berbulan-bulan, sampai warna itu akhirnya luntur.Tapi sepertinya teman-temanku tenang-tenang saja.Kami berdesak-desakan di kamar mandi. Botol INSTA-TAN itu masih di tangan Lily. Dia membukanya dan segera menuangkan cairan

  • kental berwarna putih dari dalam botol."Mmmmmm. Baunya enak," ujar Lily sambil mendekatkan tangan ke wajah. "Baunya manis sekali."Dia mulai menggosokkannya ke tengkuk, lalu ke pipi, lalu ke kening. Kemudian dia kembali menuangkan cairan itu dan mengusapusapkannyake punggung tangan.Setelah itu giliran Manny. Tanpa ragu-ragu dia mengoleskan obat itu ke seluruh wajahnya."Rasanya sejuk dan lembut," Kristina melaporkan setelah mencobanya, disusul Jared, yang nyaris menghabiskan seluruh isi botol untukwajah dan tengkuknya.Akhirnya tibalah giliranku. Aku meraih botol itu dan mulai memiringkannya.Tiba-tiba aku berhenti. Yang lain memperhatikanku sambil -mengerutkan kening. sepertinya mereka berharap aku segera mengikuti contohmereka.Tapi aku malah menegakkan botol itu dan membaca tulisan kecil pada labelnya. G Dan apa yang kubaca membuatku memekik tertahan.

    4"ADA apa sih, Larry?" Lily bertanya dengan nada tidak sabar. "Tuangkan saja, lalu gosok-gosokkan ke kulitmu.""Ta-ta-tapi-" aku tergagap-gagap."Eh, kulitku sudah tambah gelap, belum?" tanya Kristina pada Lily. "Hasilnya sudah mulai kelihatan?""Belum," jawab Lily. Dia kembali berpaling padaku. "Ada apa sih, Larry?" dia. bertanya sekali lagi."La-labelnya," ujarku. "Di sini tertulis, 'Jangan digunakan setelah Februari 1991'."Semua tertawa. suara tawa mereka memantul pada dinding-dinding kamar mandi."Memangnya kenapa kalau krim ini sudah agak tua?" Lily berkata sambil menggelengkan kepala."Tenang saja deh. Kulitmu tak bakal mengelupas!"Jangan macam-macam deh," Manny menimpali.Dia meraih botol itu dan memiringkannya ke telapak tanganku. "Ayo, tuang saja. Yang lain sudah kebagian semua, Larry. sekaranggiliranmu.""sepertinya kulitku sudah mulai cokelat," Kristina angkat bicara. Dia dan Jared sedang asyik berkaca pada cermin di atas tempat cucitangan."Ayo dong, Larry," Lily mendesak. "Tanggal di label itu tidak berarti apa-apa." Dia mendorong lenganku. "Pakai saja. Takut apa sih kau?"

  • Semua memandang ke arahku. Mukaku mendadak terasa panas, dan aku tahu aku tersipu-sipu. Aku tidak mau dianggap pengecut. Akutidak mau jadi satu-satunya orang yang tidak kompak.Jadi kubalikkan botolnya dan kutuangkan isinya yang kental dan lengket ke telapak tanganku. Muka, tengkuk, punggung tangan-semuanyakugosok-gosok. Cairan itu terasa sejuk dan lembut. Dan baunya memang agak manis, persis seperti after-shave ayahku.Teman-temanku langsung bersorak-sorai. "Nah, begitu dong, Larry!" mereka berseru. Jared menepuk punggungku begitu keras, sehinggabotol INSTA-TAN yang sudah kosong itu nyaris terlepas dari tanganku.Kami saling mendorong dan mendesak untuk berebut tempat yang pas di depan cermin. Manny mendorong Jared dengan keras, sehinggaJared terjatuh ke shower."Berapa lama sih sampai terlihat hasilnya?" tanya Kristina. Cahaya terang dari lampu di langit-langit memantul pada kacamatanya ketikadia menatap bayangannya di cermin."Huh, belum ada perubahan," Lily mengeluh kecewa.Aku kembali membaca label pada botol jingga itu. "Hmm, seharusnya kulit kita jadi cokelat dalam sekejap," aku melaporkan. Akumenggelengkan kepala. "Apa kubilang? Obat ini sudah kedaluwarsa. Seharusnya kita jangan-"Kalimatku terpotong oleh jeritan Manny. Kami menoleh dan melihatnya membelalakkan mata dengan ngeri.pdfcrowd.com"Mukaku!" Manny memekik. "Mukaku mengelupas!"Dia menengadahkan tangan di depan dada. Kedua-duanya gemetaran. Dan kemudian aku menyadari dia memegang sepotong kulitnyaSendiri!

    5"OHHH," aku mengerang tertahan.Yang lain pun menatap tangan Manny dengan mata terbelalak ngeri."Kulitku!" dia merintih. "Kulitku!"Tiba-tiba dia nyengir lebar, lalu tertawa terbahak-bahak.Dia mengangkat tangannya, dan aku sadar bahwa yang dipegangnya ternyata bukan kulit, melainkan sepotong tisu yang basah.sambil terpingkal-pingkal Manny membiarkan tisu itu jatuh ke lantai kamar mandi."Dasar brengsek!" seru Lily gusar.Kami semua bersorak-sorai dan mendorong-dorong Manny. Dia kami dorong ke bawah shower.Lily langsung meraih kenop untuk menyalakan air.

  • "Hei-jangan dong!" Manny memohon. Sambil tertawa dia meronta-ronta untuk membebaskan diri. "Tolong! Aku cuma bercanda!"Lily berubah pikiran dan mundur sambil berbaris meninggalkan kamar mandi, kami semua melirik ke cermin.Tak ada perubahan. Kulit kami tetap pucat seperti semula. Obat itu ternyata tidak manjur.Kami meraih mantel masing-masing dan bergegas ke pekarangan untuk menyelesaikan orang-orangan salju. Botol INSTA-TAN yang sudahkosong kubawa juga, lalu kulemparkan ke salju ketika Lily dan Kristina mulai membuat bola salju untuk bagian kepala. Kemudian merekamenaruhnya pada badan si orang-orangan salju.Aku menemukan dua batu gelap untuk matanya. Manny menyambar topi Raiders milik Jared dan memasangnya di kepala si orangorangansalju. Kelihatannya cukup bagus, tapi Jared segera meraih kembali topinya."Dia mirip kau, Manny," ujar Jared. "Cuma tampangnya lebih pintar."Kami semua tertawa.Angin kencang berembus dari sisi rumah dan menjatuhkan kepala si orang-orangan salju. Kepala itu membentur tanah dan langsung pecahberantakan."sekarang benar-benar mirip kau!" Jared berkata kepada Manny."Hei, tangkap!" seru Manny. Ia meraih segenggam salju dan melemparkannya ke arah Jared.Jared berusaha mengelak, namun terlambat. Serta-merta ia membungkuk, meraup salju lebih banyak lagi, dan menuangkannya ke kepalaManny.Perbuatannya langsung memicu pertempuran bola salju yang seru di antara kami berlima. Lily dan aku lawan Manny, Jared, dan Kristina.open in browser customize pdfcrowd.comMula-mula Lily dan aku masih bisa bertahan.Lily adalah pembuat bola salju tercepat yang pernah kulihat. Aku baru membuat satu bola salju, dia sudah membuat dan melempar duabuah.Pertempuran kami berkembang menjadi perang habis-habisan. Kami bahkan tidak mau repot-repot membuat bola salju. Kami sekadarmeraup salju sebanyak-banyaknya untuk dituang ke kepala lawan. Kemudian kami mulai berguling-guling di salju. setelah itu kami pindahke pekarangan sebelah, di mana saljunya masih banyak-dan mulai dengan pertempuran berikut.Wah, pokoknya asyik banget deh! Kami tertawa-tawa dan bersorak-sorai. semua terengah-engah dan kepanasan, padahal anginnya dinginsekali.Dan kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa mual.

  • Aku jatuh berlutut sambil menelan ludah. salju di sekelilingku mendadak terang benderang. Terlalu terang. Tanah di bawahku seakan-akanoleng dan bergoyang.Aku benar-benar mual.Hei, ada apa ini? aku bertanya dalam hati.

    6.DR. MURKIN meraih alat suntik berjarum panjang yang berkilau-kilau. Di ujung jarumnya ada setetes cairan hijau."Tarik napas dalam-dalam lalu tahan, Larry," Dr. Murkin berkata. dengan suaranya yang pelan. "Ini takkan terasa."Dia selalu bilang begitu setiap kali aku mengunjunginya. Aku tahu dia bohong. Yang namanya disuntik, ya pasti sakit. .Aku disuntik duaminggu sekali, dan selalu kesakitan.Dia meraih lenganku, lalu membungkuk, sehingga aku bisa mencium napasnya yang berbau peppermint. 'Aku menarik napas dalam-dalam kemudian memalingkan muka. Aku tidak tahan melihat jarum yang panjang itu masuk ke lenganku." Aduh!" aku memekik pelan ketika jarumnya menembus kulitku.Genggaman Dr. Murkin bertambah kencang. "Nah, tidak apa-apa, kan?" tanyanya. suaranya begitu pelan sehingga nyaris tak terdengar.Aku, menggelengkan kepala.Kemudian aku melirik ke arah ibuku. Dia sedang menggigit bibir, dan wajahnya berkerut-kerut karena cemas, seakan-akan dia yangdisuntik!Akhirnya kurasakan jarumnya dicabut. Dr. Murkin mengusap-usap kulitku dengan kapas yang dibasahi alkohol. "Nah, sudah selesai," diaberkata sambil menepuk punggungku yang telanjang. "silakan pakai baju lagi."Dia berbalik dan tersenyum menenangkan ibuku. Wajah Dr. Murkin sangat berwibawa. Aku rasa usianya sekitar lima puluhan. Rambutnyayang putih disisir lurus ke belakang. Senyumnya hangat, dan matanya yang biru tampak ramah di balik kacamatanya yang berbingkaipersegi.Walaupun dia berbohong dengan mengatakan suntikannya tidak sakit, bagiku dia dokter yang baik, dan aku suka sekali padanya. Dia selalu membuatku merasa lebih enak."Masalah kelenjar keringat seperti biasa," dia memberi tahu ibuku sambil mencatat sesuatu dalam fileku. "suhu badannya meningkatterlalu tinggi. Dan kita tahu itu tidak baik-ya, kan, Larry?"Aku bergumam tak jelas.Aku memang punya masalah dengan kelenjar keringatku. Kelenjar-

  • kelenjarku tidak berfungsi dengan baik. Maksudnya, aku tidak bisaberkeringat.Jadi, kalau suhu badanku meningkat terlalu tinggi, aku langsung mual.Karena itulah aku harus mengunjungi Dr. Murkin setiap dua minggu. Dia memberiku suntikan yang membuatku merasa lebih enak.Perang bola salju memang mengasyikkan. Tapi di tengah salju dan angin yang dingin, aku sama sekali tidak sadar bahwa suhu badankunaik.Itulah sebabnya aku jadi tidak enak badan."Bagaimana? Sudah lebih enak sekarang?" ibuku bertanya ketika kami meninggalkan ruang praktek.Aku mengangguk. "Yeah. Aku sudah tidak apa-apa sekarang." Aku berhenti di pintu dan berbalik menghadapnya. "Mom, apakah akukelihatan lain?""Hah?" Dia memicingkan matanya yang gelap."Lain? Lain bagaimana?""Barangkali kulitku kelihatan agak kecokelatan?"Matanya mengamati wajahku. "Mom agak menguatirkanmu, Larry," dia berkata dengan serius."Nanti kalau kita sudah sampai di rumah, kau harus tidur siang sebentar. Oke?"sepertinya itu berarti kulitku belum berubah warna.Dari pertama aku sudah tahu INSTA-TAN takkan bekerja. Botolnya sudah terlalu lama. Waktu masih baru pun belum tentu manjur."Mom kira sulit mendapatkan kulit kecokelatan di tengah musim dingin seperti sekarang," lanjutnya ketika kami melintasi pelataran parkiryang tertutup salju untuk menuju mobil.Yeah, aku tahu, pikirku.Lily menelepon seusai makan malam. "Aku juga agak tidak enak badan tadi," dia mengakui. "Kau sudah mendingan sekarang?""Yeah, aku sudah tidak apa-apa," sahutku. Dengan sebelah tangan kugenggam gagang telepon tanpa kabel, sementara tanganku yang lainmemencet-mencet tombol remote control TV untuk memindah-mindah saluranItu salah satu kebiasaan burukku. Kadang-kadang aku berpindah-pindah saluran selama berjam-jam tanpa memperhatikan acara yangsedang ditayangkan."Howie dan Marissa lewat setelah kau pulang," Lily bercerita."Terus? Kalian bantai mereka?" aku bertanya dengan semangat berkobar-kobar. "Kalian hujani mereka dengan bola salju?"Lily tertawa. "Tidak. Kami semua sudah basah kuyup dan capek waktu Howie dan Marissa muncul. Kami cuma berdiri sambil menggigil.""Howie sempat ngomong soal band mereka?" tanyaku.

  • "Yeah," ujar Lily. "Dia bilang dia baru beli buku gitar Eric Clapton. Dia bilang dia lagi belajar lagu-lagu baru yang bakal membuat kitaterbengong-bengong.""Hah, dasar sok jago. Howie sebaiknya tetap main drum saja. Dia pemain gitar terburuk di dunia," aku bergumam. "Kalau dia main gitar,gitarnya bisa mencicit seperti tikus! Aku tidak tahu bagaimana bisa begitu. Bagaimana sih caranya membuat gitar berbunyi begitu?"Lily tertawa lagi. "Marissa juga mencicit. Tapi dia bilang itu menyanyi."Kami sama-sama tergelak.Tapi kemudian aku kembali serius. "Menurutmu, bagaimana kemampuan Howie and the shouters?""Entahlah," sahut Lily, tak kalah seriusnya. "Howie terlalu banyak membual, jadi dia tidak bisa dipercaya. Dia bilang sih, mereka cukupbagus untuk membuat CD. Katanya, mereka disuruh bikin rekaman demo oleh ayahnya, untuk dikirim ke semua perusahaan rekaman.""Yeah, pasti," aku bergumam sinis. "Eh, bagaimana kalau kapan-kapan kita ke rumah Howie untuk mendengarkan latihan mereka," akumengusulkan. "Kita bisa menguping dari jendela.""Marissa sebenarnya cukup bagus sebagai penyanyi," Lily berkomentar. "suaranya enak didengar.""Tapi tidak sebagus kau," ujarku."Hmm, penampilan kita memang semakin mantap," kata Lily. Kemudian ia menambahkan, "sayang kita tidak punya pemain drumsungguhan."Aku sependapat. "Yeah, mesin drum Jared kadang tidak pas dengan lagu yang kita mainkan!"Lily dan aku masih mengobrol tentang Battle of the Bands. Akhirnya aku meletakkan gagang telepon, dan duduk di meja belajarku untukmembuat PR.Baru sekitar pukul sepuluh aku selesai. sambil menguap aku turun untuk mengucapkan selamat tidur pada orangtuaku. setelah kembali keatas, aku berganti baju dan pergi ke kamar mandi untuk gosok gigi.Dengan saksama kuamati wajahku di cermin di atas wastafel. Belum ada rona cokelat sedikit pun.Wajah yang membalas tatapanku tetap pucat seperti biasa.Kuraih sikat gigi, lalu mengoleskan odol.Aku sudah hendak mulai menggosok gigi-tapi mendadak terhenti."Hah-!" seruku kaget.sikat gigiku sampai terlepas dari genggaman ketika kutatap punggung tanganku.Mula-mula kukira itu cuma bayangan.Tapi setelah kuamati dari dekat, aku menyadari bahwa yang kulihat bukan bayangan.

  • Sambil menelan ludah aku membelalakkan mata.Punggung tanganku tertutup bulu-bulu tebal berwarna hitam.

    7SAMBIL membelalakkan mata, tanganku kukibaskan berkali-kali. sepertinya aku berharap bulu-bulu hitam itu bisa copot dengansendirinya.Kemudian kuraih bulu-bulu itu dan kutarik keras-keras."Aduh!"Ternyata bulu-bulu itu benar-benar tumbuh dari punggung tanganku."Bagaimana mungkin?" teriakku. Dengan susah payah kupaksakan tanganku agar berhenti bergetar, supaya aku bisa mengamatinyadengan saksama.Bulu-bulu itu cukup panjang, kira-kira setengah inci. Warnanya hitam mengilap. Rasanya kasar ketika aku mengusapnya dengan tangankuyang satu lagi."Hairy Larry."Julukan konyol yang diberikan Lily sekonyong-konyong muncul kembali dalam benakku."Hairy Larry."Wajahku menjadi merah padam. Kalau temanku sampai melihat bulu-bulu di tanganku ini, pikirku dengan perasaan galau, seumur hidupaku bakal dijuluki Hairy Larry!Jangan sampai ada yang melihatnya! kataku dalam hati. Dadaku mendadak sesak karena serangan panik. Jangan sampai! Ini benar-benarmemalukan.Dengan waswas kuamat! tangan kiriku yang ternyata masih tetap halus dan bersih."Uh, untung saja cuma sebelah tangan yang kena," gumamku lega.Kalang kabut aku lalu kembali menarik-narik bulu-bulu hitam itu. Aku menarik dan menarik, sampai punggung tanganku terasa nyeri. Tapibulu-bulu itu tetap tidak mau copot."Oh, apa yang mesti kulakukan sekarang?" aku mengeluh.Masa sih aku harus pakai sarung tangan terus? Dan apa jadinya kalau teman-temanku sampai tahu soal ini? Aku bakal seumur hidupdijuluki Hairy Larry. Julukan itu bakal terus melekat pada diriku!Tenggorokanku serasa tersekat.Aku tidak boleh panik, aku berkata dalam hati.Aku harus berpikir dengan jernih.open in browser customize pdfcrowd.comTepi wastafel kugenggam begitu erat, sehingga tanganku terasa sakit. Kulepaskan tanganku, kemudian kugulung kedua lengan piamaku.

  • Jangan-jangan lenganku juga tertutup bulu hitam?Tidak.Aku menarik napas lega.sepertinya cuma punggung tanganku yang mendadak berbulu.Aku harus bagaimana? Aku harus bagaimana?Aku mendengar orangtuaku menaiki tangga, menuju kamar mereka. Cepat-cepat kututup pintu kamar mandi lalu kukunci."Larry-kau masih bangun, ya? Katanya sudah mau tidur tadi," kudengar ibuku berseru dari koridor."Aku cuma sisiran sebentar!" balasku.Aku selalu bersisir sebelum tidur.Aku tahu itu tidak ada gunanya. Aku tahu rambutku bakal berantakan lagi begitu menempel di bantal. Tapi kebiasaanku itu tidak bisakuhilangkan.Aku menatap cermin dan mengamati rambutku. Rambutku yang pirang, begitu lembut dan berombak. Begitu berbeda dengan bulu-bulumenjijikkan yang tumbuh di tanganku.Aku langsung mual. Isi perutku mulai naik.Dengan susah payah kulawan rasa mualku dan membuka lemari obat. satu per satu kubaca label yang menempel pada semua botol dantube.Penghilang Bulu. Aku mencari label bertuliskan Penghilang Bulu.Rasanya ada obat seperti itu-ya, kan?Tapi bukan di lemari obat kami. Aku memeriksa setiap botol, namun tak ada Penghilang Bulu.Kutatap bulu-bulu hitam di punggung tanganku. sepertinya bulu-bulu itu sudah bertambah panjang.Ataukah itu cuma perasaanku saja?sekonyong-konyong ide lain melintas dalam benakku.serta-merta kuambil alat cukur ayahku. Dan di bagian bawah lemari obat kutemukan sekaleng krim cukur.Kucukur saja semuanya, aku berkata dalam hati. Itu yang paling gampang.Aku sudah jutaan kali menonton ayahku bercukur. Kelihatannya mudah sekali. Kubuka keran air panas, lalu kubasuh punggung tanganku.Kemudian kugosokkan sabun ke bulu-bulu yang kasar itu hingga semuanya tertutup busa.Tanganku basah dan licin, membuat kaleng krim cukur nyaris terlepas dari genggamanku. Tapi aku berhasil menekan kaleng sehinggakrim cukur menyemprot ke punggung tanganku.Langsung saja kuratakan. setelah itu kuraih alat cukur dengan tangan kiri, lalu kubasahi dengan air panas, seperti yang biasa dilakukan ayahku.selanjutnya aku mulai bercukur. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Apalagi dengan tangan kiri.

  • Pisau cukur yang tajam langsung memangkas bulu-bulu hitam yang kasar itu.Aku memperhatikannya terbawa air dan masuk ke lubang pembuangan.Kemudian aku kembali membasuh tanganku sampai bersih dari busa.Airnya hangat dan menenangkan. Kukeringkan tangan dan memeriksanya dengan saksama.Licin. Licin dan bersih.Bulu-bulu hitam yang menjijikkan itu tak tersisa sehelai pun.Aku merasa jauh lebih enak. Dengan lega kukembalikan alat cukur dan krim cukur ayahku ke tempat semula di lemari obat. Kemudian akukeluar dari kamar mandi, melintasi koridor, dan masuk ke kamarku.Punggung tanganku terus kuusap-usap. Rasanya sejuk dan licin. Kupadamkan lampu kamar lalu naik ke tempat tidur.Begitu kepalaku menempel di bantal, aku langsung menguap lebar. Tiba-tiba saja aku mengantuk sekali.Apa yang menyebabkan bulu-bulu tadi mendadak bertumbuhan? sejak pertama melihat bulu-bulu itu, pertanyaan tersebut terusmengusikku.Jangan-jangan gara-gara INSTA-TAN? Jangan-jangan gara-gara obat yang sudah kedaluwarsa itu?Kalau begitu ada kemungkinan teman-temanku mengalami hal yang sama. Aku membayangkan seluruh tubuh Manny tertutup bulu, sepertigorila, dan mau tak mau aku tertawa.Tapi sebenarnya itu tidak lucu. Bayangan itu justru mengerikan.sekali lagi kugosok-gosok punggung tanganku. Ternyata masih licin. Bulu-bulunya belum tumbuh lagi.Aku kembali menguap, lalu berangsur-angsur terlelap.Oh, apa ini? Kenapa badanku jadi gatal begini? aku bertanya dalam keadaan setengah sadar, setengah tertidur. seluruh tubuhku terasagatal.Jangan-jangan bulu-bulu itu mulai tumbuh di seluruh tubuhku?

    8"KAU kurang tidur, ya?" ibuku bertanya ketika aku muncul di dapur untuk sarapan bersama. "Muka kamu kelihatan pucat."Ayahku menurunkan korannya untuk mengamatiku. Di hadapannya ada secangkir kopi yang masih mengepul-ngepul. "Ah, dia tidak pucatkok," ayahku bergumam sebelum kembali membaca koran."Aku tidur seperti biasa," ujarku sambil duduk di kursiku. Secara sembunyi-sembunyi kuamati tanganku di bawah meja.Tak ada bulu. Punggung tanganku tetap licin seperti semalam.Waktu aku dipanggil untuk sarapan tadi, aku langsung melompat turun

  • dari tempat tidur. Kunyalakan lampu dan kuamati seluruh tubuhkudi depan cermin.Tak ada bulu hitam.Aku lega sekali. Lega dan gembira. Rasanya aku ingin bernyanyi-nyanyi. Rasanya aku ingin memeluk ayah dan ibuku dan menari-narimengelilingi meja makan.Tapi itu terlalu memalukan.Jadi kumakan saja Frosted Flakes dan kureguk jus jeruk yang telah disiapkan ibuku.Ibuku mengambil tempat di samping ayahku dan mulai mengupas telur rebusnya. setiap pagi dia makan telur rebus. Tapi cuma putihnyasaja. Kuningnya dibuang. Dia bilang dia takut kebanyakan kolesterol."Mom, Dad, ada yang ingin kuceritakan. Aku melakukan sesuatu yang bodoh kemarin. Aku menemukan sebotol krim merek INSTA-TAN disebuah tong sampah. Krimnya sudah lama. Tapi aku dan teman-temanku nekat mengoleskannya. Maksudnya, supaya kulit kami jadikecokelatan. Padahal krim itu sebenarnya sudah kedaluwarsa. Dan... ehm... semalam tiba-tiba tumbuh bulu-bulu hitam di punggungtanganku."Itu yang ingin kukatakan. Aku sudah membuka mulut untuk bercerita. Tapi aku tidak bisa.Malunya itu lho.Mereka pasti bakal marah-marah dan bertanya kenapa aku begitu bodoh. setelah itu mereka akan membawaku ke tempat praktek Dr.Murkin dan menceritakan semuanya. Lalu giliran dia yang bertanya kenapa aku begitu bodoh.Jadi, akhirnya aku pilih diam saja."Kamu pendiam sekali pagi ini," ibuku berkomentar sambil menyendok sesuap putih telur."Habis, memang tak ada yang perlu diceritakan," aku bergumam.Aku ketemu Lily dalam perjalanan ke sekolah. Kerah jaketnya dinaikkan dan rambutnya yang pirang ditutupi topi rajut berwarna biru-merah.Hei, hari ini kan tidak seberapa dingin! aku berseru sambil berlari kecil untuk menyusulnya.Ibuku bilang suhu udara bakal turun sampai di bawah nol, sahut Lily. Dia yang menyuruhku pakai baju tebal-tebal.Matahari pagi seakan-akan melayang di atas atap rumah-rumah, bagaikan bola merah di langit yang pucat. Embusan angin terasamenusuk. Permukaan salju di jalan telah mengeras, dan setiap kali kami melangkah terdengar bunyi kerisik-kerisik.Aku menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang menghantuiku sejak semalam. Lily, aku berkatadengan bimbang. Apakah...ehm... maksudku... apakah semalam tumbuh

  • bulu-bulu aneh di punggung tanganmu?Dia langsung berhenti dan menatapku dengan mata terbelalak. Kemudian roman mukanya menjadi serius. Ya, dia mengakui sambilBerbisik.

    9Hah? Aku langsung menahan napas. Denyut jantungku seakan-akan berhenti sejenak. Di tanganmu tumbuh bulu?Lily mengangguk serius. Ia merapatkan tubuhnya kepadaku. Matanya yang biru dan hijau menatapku dari bawah topi rajutnya.Di tanganku tumbuh bulu, dia berbisik dan napasnya tampak mengembun di udara yang dingin. Lalu di lenganku, di kakiku dan dipunggungku.Aku memekik tertahan.Lalu mukaku berubah menjadi muka serigala, Lily melanjutkan, masih sambil menatapku dengan tajam. Dan aku lari ke hutan danmelolong-lolong ke arah bulan. Seperti ini. Dia mendongakkan kepala dan melolong panjang.Habis itu kucegat tiga orang di dalam hutan, dan kumakan semuanya! Lily memberitahuku. Sebab aku manusia serigala!Dia menggeram dan mengertak-ngertakkan gigi. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak.Wajahku mendadak terasa panas.Lily mendorongku dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh ke belakang.Tawa Lily bertambah keras. "Kau percaya-ya, kan, Larry?" serunya. "Kau benar-benar percaya cerita konyol itu!""Enak saja!" aku menyangkal. Wajahku terasa panas membara. "Mana mungkin aku percaya cerita seperti itu!.?"Tapi sebenarnya aku memang percaya sampai ke bagian di mana dia bilang dia makan tiga orang. Di situ aku baru sadar bahwa diabercanda, bahwa dia mengolok-olokku."Hairy Larry!" Lily bersenandung. "Hairy Larry!""Berhenti!" aku berseru dengan gusar. "Ini tidak lucu, tahu? Sama sekali tidak lucu!""Tapi kau lucu sekali!" dia menyahut. "Tampangmu yang lucu!""Ha-ha!" Aku tertawa getir. Langsung saja aku berbalik dan menyeberang jalan dengan langkah-langkah panjang."Hairy Larry!" Lily berseru sambil mengejarku. "Hairy Larry!"Aku tergelincir di atas segunduk lapisan es di jalan. Untung saja aku masih bisa menjaga keseimbangan, tapi ranselku merosot dan jatuhberdebam.

  • Lily berhenti di depanku ketika aku membungkuk untuk memungut ransel. "Memangnya semalam di tubuhmu tumbuh bulu, Larry?" diabertanya."Apa?" Aku berlagak tidak mendengar pertanyaannya."Memangnya di punggung tanganmu tumbuh bulu? Itu sebabnya kau tanya aku?" ujar Lily sambil ikut membungkuk."Yang benar saja," aku bergumam. Ranselku kunaikkan ke pundak i dan aku kembali berjalan."Yang- benar saja," aku berkata sekali lagi.Lily tertawa. "Jangan-jangan kau manusia serigala. "Aku berlagak ikut tertawa. "Bukan. Aku vampir," sahutku.sebenarnya aku ingin sekali berterus terang kepada Lily. Aku ingin sekali bercerita tentang bulu-bulu yang tumbuh di punggung tanganku.Tapi aku tahu dia tak pernah bisa menyimpan rahasia. Aku tahu dia pasti akan menceritakannya ke seluruh sekolah. Dan setelah itusemua orang yang kukenal akan memanggilku Hairy Larry!sebenarnya aku merasa tidak enak karena terpaksa bohong kepada Lily. Bagaimanapun juga, dia sahabat karibku!Tapi apa lagi yang bisa kulakukan?sisa perjalanan ke sekolah kami tempuh tanpa banyak bicara. Berulang kali aku melirik ke arah Lily. Entah kenapa, dia cengar-cengirterus."Kalian sudah siap menyampaikan laporan buku?" Miss shindling bertanya.Ruang kelas langsung ramai-ada bunyi kursi digeser-geser, ada bunyi ransel dibuka, kertas-kertas bergemerisik, anak-anak berdehamdeham.Siapa yang tidak gugup bila harus berdiri di depan kelas dan menyampaikan laporan buku di luar kepala lagi? Aku sih gugup sekali! Akupaling tidak senang bila semua mata memandang ke arahku.Dan kalau aku salah mengucapkan kata atau lupa yang ingin kukatakan selanjutnya, mukaku langsung merah padam. Dan kalau sudahbegitu, semua orang tertawa dan mengolok-olokku.Semalam aku sempat berlatih di depan cermin. Dan hasilnya cukup baik. Aku lancar bercerita tentang buku yang telah kubaca, dan hanyasesekali membuat kesalahan kecil.Di pihak lain, bicara di kamarku sendiri memang tidak membuatku gugup. Tapi sekarang lututku gemetar nyaris tak terkendali-padahal akubelum disuruh maju!"Howie, bagaimana kalau kau saja yang mulai?" Miss shindling bertanya sambil memberi isyarat kepada Howie Hurwin."Wah, kasihan yang lain dong, kalau yang terbaik maju paling dulu!" Howie menyahut sambil, nyengir.

  • Beberapa anak tertawa. Tapi ada juga yang mendengus kesal.Aku tahu Howie tidak bercanda. Dia benar-benar percaya dia yang terbaik dalam segala hal. Penuh percaya diri dia maju dan berdiri didepan papan tulis. Howie berbadan besar, agak gemuk, dengan rambut tebal berwarna cokelat yang tak pernah disisir, dan muka bulatyang penuh bintik-bintik di pipi.Dia selalu menyungging senyum melecehkan. Menyebalkan sekali. seolah dia hendak berkata, "Aku yang terbaik dan kau bukan apa-apa."Dia biasa mengenakan celana jeans belel yang lima ukuran terlalu besar serta T-shirt berlengan panjang lengkap dengan rompi hitammengilap. Dia mengangkat buku yang telah dibacanya. Salah satu buku baseball karangan Matt Christopher.Kutarik napas panjang. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Howie: "Buku ini wajib dibaca oleh semua penggemar baseball."Dia selalu memakai kalimat itu untuk mengawali laporan bukunya. Betul-betul membosankan!Tapi Howie selalu dapat nilai A. Aku tak habis pikir kenapa Miss shindling menganggapnya begitu hebat.Howie berdeham, lalu tersenyum kepada Miss Shindling. Kemudian dia berpaling kepada kami dan mengawali laporan bukunya dengansuara lantang dan tegas. "Buku ini wajib dibaca oleh semua penggemar baseball," dia berkata.Nah, apa kubilang?Aku menguap lebar-lebar. Untung tak ada yang memperhatikan.Howie terus saja mengoceh. "Buku ini seru sekali, dan alur ceritanya sangat baik," katanya. "Kalau kalian suka ketegangan, maka kalianpasti suka buku ini. Terutama mereka yang menggemari olahraga baseball."Setelah itu aku tidak mendengarkannya lagi. Aku terlalu sibuk mengingat-ingat apa saja yang harus kukatakan.Beberapa menit kemudian, ketika Miss shindling mengumumkan, "Larry, sekarang giliranmu," aku nyaris tidak mendengarnya.Aku berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Tenang saja, Larry, aku berkata dalam hati. Kau sudah menghafalkan semuanya. Kautidak perlu gugup.Sambil berdeham, aku melangkah ke depan kelas. Aku sudah hampir sampai di depan ketika Howie menjulurkan kakinya.Senyumnya yang lebar sempat kulihat-tapi kakinya tidak."Oh!" aku berseru kaget ketika aku tersandung-dan tersungkur di lantai.Seketika ruang kelas meledak oleh tawa.Dengan jantung berdegup-degup aku berusaha bangkit.Tapi waktu aku melihat tanganku, aku langsung berhenti.Kedua-duanya tertutup bulu tebal berwarna hitam.

  • 10"LARRY, kau tidak apa-apa?" aku mendengar Miss Shindling memanggil dari mejanya."Ehm...." Aku terlalu kaget untuk menjawab."Larry, kau terluka, ya?""Ehm... saya..." Aku tak sanggup bicara. Aku tak sanggup bergerak. Aku tak sanggup berpikir. Sambil merangkak di lantai, kedua tanganyang berbulu kutatap dengan ngeri.Di sekelilingku, anak-anak masih menertawakanku. Aku menoleh dan melihat Howie berhigh-Five dengan anak yang duduk di sebelahnya.Ha-ha. Lucu sekali.Biasanya aku pasti malu sekali. Tapi kali ini aku tidak sempat merasa malu. Aku terlalu waswas. Bagaimana kalau ada yang sempatmelihat tanganku yang berbulu?Cepat-cepat aku memandang berkeliling, masih dalam posisi merangkak. Tak ada yang menunjuk atau berseru dengan ngeri.Barangkali belum ada yang memperhatikan tanganku.Buru-buru kuselipkan kedua tanganku ke dalam kantong celana jeans-ku.Aku baru berani berdiri setelah yakin bahwa kedua tanganku sudah sepenuhnya tersembunyi."Lihat tuh! Muka Larry jadi merah!" seru seorang anak dari barisan paling belakang. Dan seruan itu ditanggapi dengan tawa yang lebihkeras lagi.Tentu saja mukaku jadi bertambah merah. Tapi itu bukan masalah terbesar yang sedang kualami. Aku tidak mungkin berdiri di depan kelasdengan dua tangan yang tertutup bulu. Daripada begitu, aku mending mati!Tanpa berpikir panjang aku bergegas ke pintu ruang kelas di belakang. Tapi asal tahu saja, berjalan cepat dengan kedua tangan di dalamkantong celana sama sekali tidak mudah."Larry-ada apa?" Miss shindling memanggil dari balik mejanya. "Mau ke mana kau?""Ehm... saya... saya segera kembali," jawabku dengan suara parau."Kau yakin baik-baik saja?" guruku bertanya."Yeah. saya baik-baik saja," aku bergumam. "saya permisi sebentar."Aku tahu semua memandang ke arahku. Tapi aku tidak peduli. Aku harus keluar dari situ. Aku harus mencari akal untuk mengamankanrahasiaku.Ketika sampai di pintu, aku mendengar Miss shindling memarahi Howie.. "Larry bisa cedera karena ulahmu. Kau tidak boleh menjegal kakiorang, Howie. sudah berkali-kali kau saya peringatkan.""Tapi, Miss shindling-saya tidak sengaja," Howie mencoba berkelit.Aku langsung menyelinap ke luar. Ke koridor yang panjang dan sepi.

  • Cepat-cepat aku menoleh ke kiri-kanan untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatku. Kemudian kukeluarkan kedua tanganku darikantong celana.Dalam hati aku masih berharap bahwa tanganku sudah normal lagi. Tapi harapan itu langsung pupus ketika aku menatap keduanya.Bulu-bulu yang hitam dan tebal - dengan panjang hampir satu inci! - menutupi kedua tanganku.Bagaimana mungkin bulu-bulu itu tumbuh begitu cepat? aku bertanya dalam hati.Punggung tanganku tertutup bulu. Begitu pula telapaknya. Bahkan di sela-sela jari!Kugosok-gosokkan tanganku seakan-akan bulu-bulu yang mengerikan itu bisa hilang dengan cara begitu. Tapi tentu saja tidak berhasil."Jangaaan. Oh-jangaaan!" tanpa sadar aku mengerang.Apa yang bisa kulakukan?Aku tidak mungkin kembali ke ruang kelas dengan tangan monster seperti itu. Orang-orang bisa menjerit kalau mereka sampai melihattanganku.Dan aku terpaksa menanggung malu seumur hidup. setiap kali orang melihatku, mereka akan berkata, "Awas, ada Hairy Larry Boyd.Masih ingat waktu tangannya tiba-tiba penuh bulu?"Sebaiknya aku pulang saja, aku berkata dalam hati. Aku harus kabur dari sini.Tapi tunggu dulu. Bagaimana aku bisa meninggalkan sekolah di tengah jam pelajaran? Miss shindling sedang menungguku. Aku harusmenyampaikan laporan buku.Aku berdiri mematung. Sambil bersandar ke dinding, aku mengamati kedua tanganku yang mengerikan.Dan tiba-tiba aku sadar bahwa selain diriku masih ada orang lain di koridor.Aku menoleh dan menahan napas ketika melihat Mr. Fosburg, kepala sekolah kami.Dia sedang membawa setumpuk buku pelajaran. Tapi dia berhenti beberapa langkah di hadapanku. Dengan mata terbelalak dia menatapkedua tanganku yang berbulu.

    11SERTA-MERTA tanganku kupindahkan ke belakang dan kusembunyikan di balik punggung.Tapi terlambat. Mr. Fosburg telah melihatnya. Mata birunya menyipit sambil menatapku.Aku ,bergidik.

  • Apa yang akan dikatakannya? Apa yang akan dilakukannya sekarang?"Kau kedinginan?" dia bertanya."Hah?" sahutku. Apa katanya?Aku bersandar ke belakang, sehingga tanganku terjepit di antara dinding dan punggungku. Bulu-bulu yang kasar terasa menusuk-nusuk."Apakah tungku pemanas perlu disetel lebih besar, Larry?" tanya Mr. Fosburg. "Di sini terlalu dingin, ya? Itu sebabnya kau memakaisarung tangan di dalam ruang kelas?""sa-sarung tangan?" aku tergagap-gagap. Dia pikir aku pakai sarung tangan."Ya. saya... ehm... saya memang agak kedinginan," ujarku. Aku sudah mulai lebih tenang. "Karena itu saya ke locker. Untuk mengambilsarung tangan."Mr. Fosburg menatapku sambil mengerutkan kening. Kemudian dia berbalik dan berjalan menjauh sambil membawa tumpukan bukunya."Baiklah, saya akan bicara dengan petugas pengelola gedung nanti," katanya.Kutarik napas lega ketika dia membelok di ujung koridor. Uih, hampir saja.Tapi berkat Mr. Fosburg aku mendapat ide bagus sarung tangan.Aku bergegas ke locker-ku. Rasanya janggal ketika kunci kombinasinya kuputar dengan jariku yang berbulu, tapi akhirnya berhasil juga.Cepat-cepat kukeluarkan sarung tangan dari saku jaketku.Beberapa detik kemudian aku sudah kembali ke ruang kelas. Lily sedang berdiri di depan. Dia sedang menyampaikan laporan bukunya,dan dia menatapku dengan heran ketika aku menyelinap ke balik mejaku.setelah Lily selesai, Miss shindling memanggilku ke depan. "sudah lebih enak sekarang, Larry?" dia bertanya."Ya," aku menyahut. "Ta-tangan saya kedinginan tadi." Aku bangkit dari kursiku dan berjalan ke depan. Beberapa anak mulai tertawa danmenunjuk-nunjuk sarung tanganku. Tapi aku tidak peduli.Paling tidak rahasiaku tetap aman. Tak ada yang bisa melihat tanganku yang penuh bulu hitam.Kutarik napas panjang, lalu kumulai, bercerita. "Buku yang saya baca ditulis oleh Bruce Coville," ujarku. "Dan buku ini patut dibaca olehsemua orang yang suka kisah science fiction yang lucu...Seusai sekolah aku bergegas ke locker-ku. Aku berjalan sambil menundukkan kepala, dan berusaha menghindari semua orang.Sepanjang hari aku terus pakai sarung tangan. Sebenarnya sih panas juga, dan sama sekali tidak nyaman. Dan makin lama rasanyamakin sempit saja.Jangan-jangan bulu-bulu di punggung tanganku terus bertambah panjang? Tapi aku tidak berani melepaskan sarung tanganku untukmemastikannya.

  • Aku mengenakan jaket, lalu menyandang ranselku. Aku harus pergi dari sini supaya bisa berpikir, kataku dalam hati.Aku sudah hampir sampai di pintu utama ketika mendengar Lily memanggil-manggil. Aku menoleh dan melihatnya mengejarku. Diamemakai sweter kuning yang kebesaran dengan celana ketat hijau.Aku terus mengayunkan langkah. "sampai besok!" seruku padanya. "Aku sedang terburu-buru."Tapi dia berlari mengejar dan berhenti di depanku. "Kau tidak ikut latihan band nanti?" tanyanya.Aku begitu sibuk memikirkan tanganku yang berbulu sehingga lupa sama sekali pada latihan band kami."Latihannya di rumahku lagi," Lily melanjutkan sambil berjalan mundur."A-aku tidak bisa ikut," aku tergagap-gagap. "Aku tidak enak badan."Itu memang benar.Dia menatapku dengan tajam. "Ada apa sih, Larry? Dari tadi pagi tingkahmu aneh sekali.""Aku cuma tidak enak badan," aku menandaskan. "sori, aku tidak bisa ikut latihan. Kita tunda sampai besok deh. Oke?""Boleh saja," balas Lily. Dia masih menambahkan sesuatu, tapi aku tidak mendengarnya. Langsung saja kubuka pintu dan bergegasmeninggalkan sekolah.sepanjang perjalanan pulang aku terus berlari. salju tampak berkilau-kilau bagaikan perak diterpa sinar matahari yang cerah.Pemandangannya indah sekali, namun aku tak bisa menikmatinya. Aku terlalu sibuk memikirkan masalahku.Bulu. Bulu-bulu hitam yang kasar.Aku menyerbu masuk ke rumah dan membiarkan ranselku jatuh ke lantai. Aku hendak menaiki tangga ke kamarku-tapi terhenti ketikakudengar ibuku memanggil.Dia ternyata sedang duduk di ruang tamu, di kursi di jendela depan. Dia sedang menelepon sambil memangku Jasper, kucing kami. Diamengatakan sesuatu, lalu menurunkan gagang telepon ketika berpaling ke arahku."Kok sudah pulang, Larry? Tidak ada latihan band?""Tidak hari ini," aku berbohong. "Aku banyak PR, jadi aku langsung pulang." Aku bohong lagi.Aku tidak mau menceritakan masalah sebenarnya. Aku tidak mau bercerita bahwa aku telah menggosokkan INSTA-TAN ke seluruhtubuhku, dan bahwa tanganku kini ditumbuhi bulu-bulu hitam yang menjijikkan.Aku tidak mau bercerita. Tapi tiba-tiba semua keluar begitu saja. semuanya. Aku tidak sanggup menyimpan rahasia ini lebih lama lagi."Mom, Mom pasti takkan percaya," aku mulai berkata dengan suara serak.

  • "Di... di tanganku mulai tumbuh bulu. Bulu-bulu hitam yangmenjijikkan. Ehm, aku dan teman-temanku-kami menemukan botol berisi obat untuk membuat kulit kecokelatan. sebenarnya obat itusudah kedaluwarsa. Tapi kami nekat memakainya. Aku menggosokkannya ke muka, ke tangan, dan ke tengkukku. Dan sekarangtanganku mulai berbulu, Mom. Aku baru tahu di sekolah tadi. Kedua tanganku tertutup bulu hitam yang lebat. Aku malu sekali. Dan takut.Benar-benar takut."Napasku terengah-engah ketika aku mengakhiri ceritaku. Dan semula aku terus menunduk dan menatap lantai. Tapi kini kepalakukutegakkan lagi untuk melihat reaksi ibuku.Apa yang akan dikatakannya? Mungkinkah dia bisa menolongku?

    12.AKU mendengarnya bergumam. Tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.Lalu kusadari bukan aku yang diajaknya bicara. Dia sudah kembali menempelkan gagang telepon ke telinga dan asyik mengobrol denganlawan bicaranya. Dan sepertinya dia amat berkonsentrasi sehingga tidak mendengar sepatah kata pun yang kuucapkan!Aku menghela napas. Kemudian aku bergegas menaiki tangga ke kamarku. Cepat-cepat kututup pintu lalu kubuka sarung' tangan yangterasa panas dan tidak nyaman.Jasper ikut denganku dan kini duduk di ambang jendela. Sebagian besar waktunya dihabiskan di tempat itu sambil memandang kepekarangan depan.Ketika kulemparkan sarung tangan ke kursi, dia berpaling ke arahku. Matanya yang kuning terang tampak berbinar-binar.Aku menghampiri Jasper dan mengangkatnya. Lalu aku duduk di ambang jendela dan memeluknya. "Jasper, kau satu-satunya temansejati yang kumiliki," bisikku sambil membelai-belai punggungnya.Di luar dugaanku, kucing itu mendesis, lalu melengkungkan punggung dan melompat ke lantai. Jasper berlari melintasi kamar, laluberbalik, dan memelototiku dengan matanya yang kuning.Baru beberapa detik kemudian aku menyadari apa masalahnya. Aku mengangkat tangan. "Ini gara-gara tanganku yang berbulu ini, ya, kan,Jasper?" tanyaku dengan sedih. "Kau takut, ya?"Jasper memiringkan kepala, seakan-akan berusaha memahamiku. "Ya, aku sendiri juga takut," ujarku.Aku berdiri dan bergegas ke kamar mandi. sekali lagi kuambil alat cukur ayahku dari lemari obat.Kemudian aku mulai mencukur bulu-bulu yang lebat itu.

  • Ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Terutama bulu-bulu yang tumbuh di sela-sela jari. Bulu-bulu itu benar-benar sukar dijangkau.Bulu-bulu di tanganku sangat kaku dan keras. Bagaikan bulu pada sikat rambut. Dua kali tanganku tergores, sekali di telapak dan sekali dipunggung tangan.Ketika aku membilas krim cukur, aku menoleh ke bawah dan melihat Jasper menatapku dari pintu kamar mandi. "Jangan beritahu Momdan Dad," bisikku.Dia mengedipkan matanya yang kuning, lalu menguap lebar.Keesokan pagi aku bangun sebelum kedua orangtuaku terjaga. Biasanya aku baru bangun kalau Mom sudah berseru-seru memanggilku.Tapi pagi ini aku langsung melompat turun dari tempat tidur, menyalakan lampu, dan menghampiri cermin di lemari pakaianku.Aduh, bagaimana kalau bulu-bulu itu sudah tumbuh lagi?Kuangkat kedua tangan dan kuamati keduanya dengan saksama. Mataku masih berat karena baru bangun. Tapi aku bisa melihat denganjelas bahwa bulu-bulu itu belum tumbuh lagi."Ya!" aku bersorak gembira.Luka gores di tanganku masih terasa nyeri. Tapi aku tidak peduli. Yang penting kedua tanganku licin dan bersih.Aku membolak-balik tanganku sambil memperhatikan keduanya. Aku lega sekali bahwa tanganku kelihatan normal.semalam aku sempat dihantui mimpi buruk. Mula-mula aku bermimpi tentang spageti. Dalam mimpiku itu, aku sedang duduk di dapurhendak melahap sepiring spageti.Tapi begitu aku mulai mengambil dengan garpu, spageti itu berubah jadi rambut yang hitam dan panjang.Aku mengambil rambut yang hitam dan panjang dengan garpuku. Piringku penuh rambut yang hitam dan panjang.Kemudian kuangkat garpu. Kubuka mulut dan garpu yang penuh rambut itu kudekatkan, semakin dekat, semakin dekat.Lalu aku terbangun.Huh! Mimpi itu benar-benar mengerikan.Perutku serasa diaduk-aduk. Dan aku sulit tidur lagi.Untung saja sekarang sudah pagi. Aku melanjutkan pemeriksaanku. Aku membungkuk dan mengamati kakiku. Lalu betis, lutut, dan paha.Tak ada bulu hitam.Tubuhku bebas dari bulu-bulu aneh.Sepertinya cukup aman untuk pergi ke sekolah, pikirku. Tapi untuk berjaga-jaga, aku tetap akan membawa sarung tangan.Sehabis sarapan, kupakai jaketku dan kuambil ranselku. Kemudian aku berangkat ke sekolah.Cuaca cerah dan hangat. salju yang sudah mulai mencair tampak berkilau-

  • kilau. Dengan hati-hati aku menyusuri trotoar sambilmenghindari genangan-genangan air.Perasaanku sudah lebih baik. Jauh lebih baik.Kemudian aku menoleh ke belakang dan melihat gerombolan anjing itu. Anjing-anjing yang menyeringai. Dan semua berlari ke arahku.Open in browser customize pdfcrowd.com13JANTUNGKU langsung berdegup-degup. Anjing-anjing itu berlari kencang sekali. semua memandang ke arahku, dan setiap kali melompat,mereka menyalak dan menggeram dengan keras.Kakiku mendadak terasa berat sekali. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk berlari.Kalau sampai tertangkap, aku bakal dikoyak-koyak! aku berkata dalam hati. Mereka pasti mencium bau Jasper yang melekat pada bajuku!Pasti itu sebabnya aku selalu dikejar-kejar.Aku sangat menyayangi kucingku. Tapi kenapa aku mesti dapat kesulitan gara-gara dia?Uh, siapa sih pemilik anjing-anjing buas ini? Kenapa mereka dibiarkan bebas berkeliaran seperti ini?Pertanyaan demi pertanyaan melintas dalam benakku ketika aku berlari untuk menyelamatkan diri. Melintasi pekarangan orang. Lalumenyeberang jalan.sebuah klakson berbunyi nyaring. Aku mendengar bunyi rem berdecit-decit.Sebuah mobil menggelincir ke trotoar seberang.Aku lupa memeriksa situasi lalu lintas sebelum menyeberang."sori!" aku berseru sambil tetap berlari.Tiba-tiba pinggangku serasa ditusuk-tusuk, dan aku terpaksa mengurangi kecepatan. Aku menoleh dan melihat anjing-anjing itu terusmendekat. Mereka menyeberang jalan dan berlari melintasi salju.Semakin dekat. semakin dekat."Hei, Larry!" Dua anak muncul di trotoar di depanku."Cepat, lari!" teriakku sambil terengah-engah. "Anjing-anjing itu...."Tapi Lily dan Jared tidak bergerak.Aku berhenti di samping mereka, lalu memegang pinggangku. Nyerinya begitu hebat sehingga aku nyaris tidak bisa menarik napas.Lily berbalik untuk memelototi anjing-anjing itu, seperti yang sudah pernah dilakukannya. Jared maju untuk menghalau mereka. Bertigakami memperhatikan mereka mendekat.Gerombolan anjing itu segera berhenti. Tak ada lagi yang menyalak maupun menggeram. Mereka menatap kami dengan ragu. semuatersengal-sengal. Lidah mereka yang terjulur ke luar hampir menyentuh

  • salju."Ayo pulang!" seru Lily. Dengan keras dia menghentakkan kakinya ke trotoar.Anjing hitam besar yang memimpin gerombolan itu merintih pelan lalu menundukkan kepala."Ayo pulang! Ayo pulang!" seru kami bertiga.Nyeri di pinggangku berangsur-angsur mereda. Aku mulai merasa lebih enak. Aku menyadari anjing-anjing itu takkan menyerang. Merekatidak berani melawan tiga orang sekaligus.satu per satu mereka berbalik dan menyusul anjing hitam besar tadi.Tiba-tiba Jared tertawa. "Hei, coba lihat yang itu!" serunya. Dia menunjuk seekor anjing panjang dengan bulu keriting berwarna hitam."Memangnya ada apa dengan dia?" tanyaku."Dia mirip sekali dengan Manny!" kata Jared.Lily ikut tertawa. "Kau benar! Dia memang mirip.Kami bertiga terpingkal-pingkal. Bulu anjing itu persis seperti rambut Manny yang keriting. Dan matanya sama-sama gelap dan sayu."Ayo, nanti kita telat," ujar Lily. Dia menendang segumpal salju keras yang tergeletak di trotoar.Jared dan aku mengikutinya menuju sekolah."Kenapa sih anjing-anjing itu mengejarmu?" tanya Jared."Aku rasa mereka mencium bau kucingku," jawabku."Anjing-anjing itu berbahaya," Lily berkomentar. Dia berjalan beberapa langkah di depan kami. "seharusnya mereka tidak dibiarkan bebasberkeliaran.""Yeah, soal itu aku setuju sekali," aku menimpali.Angin yang mendadak berembus kencang nyaris membuat kami terjungkal di trotoar yang licin. Topi Raiders Jared terbang ke jalan, danhampir terlindas mobil yang kebetulan lewat.Jared berlari ke jalan, memungut topinya. "Aku sudah tak sabar menunggu musim dingin berakhir," gumamnya.Kami bertemu Kristina di muka sekolah. Rambutnya yang merah berkibar-kibar tertiup angin."Nani sore kita jadi latihan band?" dia bertanya sambil mengunyah sebatang cokelat Snickers."sarapan yang bergizi," komentarku."Ibuku tadi tidak sempat menyiapkan sarapan," sahutnya sambil terus mengunyah."Yeah, latihannya di rumahku," kata Lily. "Kita harus bekerja keras. Jangan sampai Howie yang keluar sebagai pemenang kontes."Kristina berpaling kepadaku. "Ke mana kau kemarin?""Aku.. ehm... aku tidak enak badan," ujarku.Tiba-tiba aku teringat pada krim INSTA-TAN. Barangkali teman-temanku

  • juga mulai tumbuh bulu gara-gara obat itu? Aku harus mendapatkepastian. Aku harus menanyakannya. .Tapi kalau ternyata mereka tidak apa-apa-kalau ternyata cuma aku yang tumbuh bulu-wah, aku bakal malu berat."Ehm... masih ingat krim INSTA-TAN waktu itu?" aku memberanikan diri untuk bertanya."Yeah, mujarab sekali," kata Jared. "Rasanya kulitku malah tambah pucat."Kristina tertawa. "Tidak ada hasil sama sekali. Kau benar, Larry. Obat itu memang sudah sangat kedaluwarsa."Tapi apakah kalian juga mulai tumbuh bulu-bulu hitam? Itu yang ingin kuketahui.Tapi tak satu pun dan mereka menyinggung soal bulu. Mungkinkah mereka juga seperti aku? Mungkinkah mereka juga terlalu malu untukmengakuinya?Atau memang cuma aku yang mengalami hal itu?Kutarik napas panjang. Perlukah aku menanyakannya? Perlukah aku bertanya apakah di antara mereka ada yang mendadak tumbuh buluhitam?Aku membuka mulut untuk bertanya. Tapi aku langsung berubah pikiran ketika menyadari bahwa topik pembicaraan telah beralih. Merekasudah asyik bicara tentang band kami."Nanti tolong bawa amplifier kamu ke rumahku, ya?" kata Lily pada Kristina. "Manny juga mau bawa, tapi ampli-nya cuma bisa dipakaiuntuk dua gitar.""Bagaimana kalau pakai ampli-ku saja?" aku menawarkan. "Aku..."Embusan angin yang kencang mendorong tudung jaketku ke belakang.Aku meraih ke belakang untuk mengembalikan tudungnya ke tempat semula.Tanganku menyentuh tengkukku-dan aku menahan napas.Tengkukku tertutup bulu lebat.

    14"ADA apa sih, Larry?" tanya Lily."Ehm... ehm..." Aku tidak sanggup berkata apa-apa."Ada apa dengan syalmu?" tanya Jared. "Lilitannya terlalu ketat, ya?" Dia menarik-narik syal wol yang melingkar di leherku.Ibuku selalu menyuruhku aku memakai syal yang gatal itu karena Nenek Hildy yang merajutnya. Aku sama sekali lupa bahwa aku pakaisyal.Waktu tanganku menyentuhnya, aku langsung menyangka."Mukamu pucat sekali, Larry," ujar Lily. "Kau baik-baik saja?"

  • Aku mengangguk. "Yeah, aku tidak apa-apa," gumamku sementara mukaku jadi merah. "Aku cuma tercekik syal, itu saja." Alasan itubenar-benar tidak meyakinkan.Tapi aku harus mengatakan sesuatu. Dan aku tidak mungkin mengaku bahwa aku menyangka tengkukku mendadak ditumbuhi bulu!Larry, jangan pikirkan bulu-bulu itu lagi! kutegur diriku sendiri. Kalau begini caranya, lama-lama kau bisa gila!Aku menggigil. "Ayo, kita masuk saja," kataku sambil mengencangkan lilitan syal pada leherku.Aku bergegas ke kamar kecil untuk menyisir rambut sebelum bel berdering. Ketika menatap rambutku yang pirang dan berombak, sebuahpikiran mengerikan tiba-tiba melintas dalam benakku.Bagaimana kalau rambutku yang asli tiba-tiba rontok? Dan digantikan oleh bulu-bulu hitam yang kasar itu?Bagaimana kalau aku terbangun suatu pagi, dan ternyata seluruh tubuhku sudah tertutup bulu-bulu hitam yang menjijikkan?Kuamati bayanganku di cermin. seseorang telah melumurkan air sabun pada kacanya, sehingga bayanganku seakan-akan terselubungkabut."Jangan panik," aku berkata pada diriku.Lalu kutunjuk bayanganku di cermin. Kutunjuk dengan jari yang licin dan tak berbulu."Jangan pikirkan soal rambut terus, Larry," ujarku dengan tegas. "Jangan pikirkan soal rambut. semuanya akan beres."Pengaruh INSTA-TAN rupanya sudah habis, aku menyimpulkan.Memang sudah beberapa hari berlalu sejak aku dan teman-temanku mengoleskan obat itu. sejak itu aku paling tidak sudah tiga kali mandidengan shower dan dua kali mandi berendam.Pengaruh obat itu sudah habis, aku berusaha meyakinkan diriku. Betul-betul sudah habis. Jadi tak ada lagi yang perlu dikuatirkan.sekali lagi ku,lirik rambutku yang sudah mulai panjang. Tapi aku justru suka. Aku paling senang menyisir bagian sampingnya ke belakangtelinga.Mungkin akan kubiarkan tumbuh panjang sekali, pikirku. Kumasukkan sisir ke ransel, lalu segera menuju ruang kelas.semua berjalan lancar, sampai Miss shindling mengembalikan kertas ulangan sejarah.Bukan nilainya yang membuat aku gugup. Aku diberi nilai sembilan puluh empat, dan itu cukup bagus. Aku tahu Lily pasti akan berkoarbahwa dia dapat sembilan delapan atau sembilan sembilan. Tapi Lily memang jago mengarang.Aku sendiri sudah puas dengan nilai sembilan empat.Aku senang karena memperoleh nilai setinggi itu. Tapi ketika kubalik-balik

  • halaman sambil membaca komentar Miss shindling tentangtulisanku, kutemukan sehelai rambut hitam pada halaman tiga.Apakah itu rambutku? aku bertanya dalam hati. Apakah itu sehelai bulu hitam yang tumbuh di punggung tanganku?Ataukah rambut itu rambut Miss shindling? Dia memang berambut hitam pendek. Jadi bukan tidak mungkin itu memang rambutnya.Di pihak lain...Kutatap rambut itu tanpa berani menyentuhnya.Aku sadar bahwa tingkahku mulai aneh-aneh lagi. Aku ingat bahwa aku sudah bersumpah untuk berhenti memikirkan soal rambut.Tapi aku tak berdaya.Gara-gara rambut hitam yang melekat pada halaman ketiga kertas ulanganku, aku langsung mulai senewen lagi. Akhirnya kuangkat kertasulanganku, kudekatkan ke wajahku-dan kutiup rambut itu.setelah itu aku sibuk dengan pikiranku sendiri. segala ucapan Miss shindling sampai akhir jam pelajaran sama sekali tak kuperhatikan.Dan ketika bel berbunyi, aku menarik napas dengan lega. Cepat-cepat kubereskan barang-barangku dan kutinggalkan ruang kelas untukmengikuti pelajaran olahraga."Hari ini kita main basket!" Mr. Rafferty berseru ketika kami memasuki aula olahraga yang terang benderang. "Kita main basket! Cepatganti baju! Ayo, semangat sedikit!"sebenarnya aku kurang suka bermain basket. soalnya kita harus berlari mondar-mandir di lapangan. Dari ujung ke ujung, lalu kembali lagi.selain itu, lemparanku kurang jitu. Dan aku selalu malu sekali kalau bolanya dioper kepadaku, tapi lemparanku meleset.Tapi hari ini aku malah senang. siapa tahu dengan berlari kian kemari aku bisa melupakan kegelisahanku.Aku mengikuti anak-anak lain ke ruang ganti. semua membuka locker masing-masing dan mengeluarkan celana pendek dan baju olahraga.Di ujung deretan locker, Howie Hurwin terus berseru, "Makan tuh bola! Makan tuh bola!"Anak-anak lain melecutnya dengan handuk.Hah, biar tahu rasa, pikirku. Howie memang menyebalkan sekali."Makan tuh bola!" aku mendengar Howie bersenandung. seorang anak menyuruhnya diam."Makan tuh bola! Makan tuh bola!"Aku duduk di bangku, mulai melepas sepatu ketsku. Kemudian aku berdiri lagi untuk membuka celana jeans-ku.Tapi ketika celanaku sampai di lutut, aku mendadak berhenti.Aku berhenti dan memekik tertahan ketika melihat lututku.Kedua lututku ditumbuhi bulu-bulu lebat berwarna hitam.

  • 15"KENAPA kau tidak mau pakai celana pendek waktu pelajaran olahraga kemarin?" tanya Jared. .Pertanyaannya membuatku tersentak. Kami sedang berjalan di trotoar yang becek samil membawaalat musik masing-masing untuk latihan band di rumah Lily."Kau disuruh ganti celana pendek, tapi kau tidak mau," ujar Jared. Kotak keyboard yang digenggamnya berayun mengikuti gerakantangannya."Aku... aku cuma kedinginan," sahutku. "Kakiku kedinginan. Itu saja. Aku tidak mengerti kenapa Mr. Rafferty sampai ngotot begitu."Jared tertawa. "Peluit Rafferty sampai hampir tertelan waktu kau membuat lemparan tiga angka dari tengah lapangan!"Aku ikut tertawa. sebenarnya aku termasuk pemain basket terburuk di sekolah. Tapi aku begitu bingung karena lututku yang berbulu,sehingga aku bermain seperti kesetanan. seumur hidup belum pernah aku bermain sebaik kemarin."Kalau begitu, sebaiknya kau selalu pakai Jeans kalau bermain basket," Coach Rafferty sempat berkelakar.Seusai sekolah aku langsung berlari pulang. Aku segera mengunci diri di kamar mandi atas, dan menghabiskan setengah jam untukmencukur bulu-bulu hitam di lututku.Waktu aku selesai, kedua lututku merah dan perih. Tapi paling tidak kedua-duanya sudah licin kembali.Sepanjang sore aku lalu mengurung diri di kamar sambil merenungkan nasib yang menimpaku. Masalahnya, ada banyak pertanyaan dalambenakku. Lusinan pertanyaan.Tapi tak ada satu jawaban pun.Aku telungkup di tempat tidur, dengan lutut berdenyut-denyut, sementara aku memeras otak. Kenapa di lututku bisa tumbuh bulu? akubertanya dalam hati. Aku tidak mengoleskan INSTA-TAN di lutut. Jadi bagaimana mungkin bulu-bulu hitam itu bisa tumbuh di situ?Mungkinkah INSTA-TAN itu telah masuk ke seluruh jaringan tubuhku? Mungkinkah obat itu terserap melalui pori-pori? Lalu menyebar keseluruh tubuhku?Apakah aku akan berubah menjadi makhluk berbulu? Apakah aku akan mirip King Kong?Pertanyaan demi pertanyaan muncul-namun tetap tak terjawab.Berbagai pertanyaan masih mengusik pikiranku ketika aku melintasi jalan bersama Jared dan rumah Lily yang berkerangka putih mulaiterlihat di pojok jalan.Sinar matahari membanjiri kedua pohon gundul yang menaungi jalan masuk ke pekarangan Lily.

  • Udara terasa hangat, hampir seperti di musim semi. salju sudah banyak yang mencair. Di sana-sini terlihat rumput basah menyembul danbalik permukaan yang putih.Di pekarangan seberang jalan berdiri orang-orangan salju yang sudah setengah meleleh. Sepatuku menginjak genangan-genangan airketika kami berdua menuju pintu rumah Lily sambil membawa instrumen masing-masing.Lily membukakan pintu untuk kami. Ia dan Kristina rupanya sudah mulai berlatih. Lily memakai sweter wol berwarna merah-biru dan celanabiru muda, sementara Kristina mengenakan Jeans belel dan sweter Notre Dame berwarna hijau dan emas."Mana Manny?" tanya Lily sambil menutup pintu depan setelah Jared dan aku masuk.Aku belum lihat dia hari ini, ujarku sambil membersihkan sepatuku yang basah pada keset di lantai. "Memangnya dia belum datang?"Dia tidak masuk sekolah tadi," Kristina melaporkan."Kita harus lebih serius, Lily berkata sambil menggigit bibir "Kalian sempat bicara dengan Howie hari ini? Dia sudah cerita apa yangdibelikan ayahnya?"Synthesizer baru?" sahutku sambil membungkuk untuk membuka kotak gitar. "Yeah. Dia cerita panjang-lebar. Katanya, alat itu bisameniru bunyi satu orkestra.""Apa untungnya?" tanya Jared. sehelai daun basah menempel di sepatunya. Dia mengambilnya, tapi tidak tahu ke mana harusmembuangnya. Akhirnya dia memasukkannya ke kantong celana jeans-nya."Kalau Howie bisa meniru bunyi satu orkestra, sementara kita maju dengan tiga gitar dan satu keyboard mainan, maka kita benar-benarakan mengalami kesulitan besar," Lily mewanti-wanti."Hei, ini bukan keyboard mainan!" protes Jared.Aku tertawa. "Masa cuma gara-gara engkol yang harus diputar dulu, kauanggap ini keyboard mainan sih?""Keyboard-ku memang kecil-tapi nadanya lengkap," Jared berkeras. Dia menaruh keyboardnya di meja, membukanya lalu mencolokkankabelnya."Sudahlah, jangan bercanda terus. Lebih baik kita mulai berlatih saja," ujar Kristina sambil menggerak-gerakkan jari pada leher gitarnyayang berwarna merah cerah. "Kita mulai dengan lagu apa nih?""Bagaimana kita bisa berlatih tanpa Manny?" tanyaku. "Maksudku, apa gunanya?""Aku sudah telepon dia tadi," kata Lily. "Tapi sepertinya teleponnya rusak, soalnya berdering pun tidak.""Kalau begitu kita jemput ke rumahnya yuk" aku mengusulkan.

  • "Yeah, ide bagus!" Kristina menimpali.Kami berempat menuju pintu depan dan mengambil jaket masing-masing. Tapi Lily berhenti di pintu. "Larry dan aku saja yang ke sana,"dia berkata kepada Kristina. "Kau dan Jared tunggu di sini saja sambil berlatih. Cukup berdua saja yang ke sana.""Oke," ujar Jared. "Lagi pula memang harus ada yang tunggu di sini, sebab siapa tahu Manny tiba-tiba muncul."Lily dan aku mengenakan jaket masing-masing dan keluar lewat pintu depan. Sepatu Doc Marten Lily menginjak genangan air yang cukupbesar ketika kami menyusuri trotoar."Aku paling tidak senang kalau salju sudah mulai kelabu dan mencair," katanya. "Coba perhatikan. Di mana-mana terdengar suara airmenetes. Dari pohon-pohon, dari atap-atap rumah, dari mana-mana.Dia mengulurkan tangan untuk menghalangi jalanku dan memaksaku berhenti. sambil membisu kami mendengarkan suara air menetes."Memekakkan telinga, bukan?" Lily bertanya sambil tersenyum. sinar matahari terpantul di kedua matanya. Yang satu biru, yang satuhijau.Memekakkan " aku membeo. Kadang-kadang Lily memang agak aneh. Dia pernah bercerita kalau dia suka menulis puisi. Puisi-puisipanjang tentang alam. Tapi hasil karyanya belum pernah diperlihatkan padaku.Kami menyusuri trotoar yang becek. Sinar matahari terasa hangat di wajahku. Ritsleting Jaketku kubiarkan terbuka.Rumah Manny mulai kelihatan setelah kami melewati belokan jalan. Rumahnya terletak di puncak sebuah bukit yang cocok sekali untukmain. kereta luncur salju. Dua anak kecil sedang bermain luncur-luncuran, tapi mereka hanya bisa bergerak pelan, karena sebagian besarsalju telah mencair.Kami berjalan melewati mereka menuju pintu depan rumah Manny. Lily menekan bel dan aku mengetuk pintu. "Hei, Manny-buka pintu!"aku berseru.Tak ada jawaban.Tak ada suara sama sekali. Cuma bunyi "tes tes tes air yang menetes dari talang."Hei, Manny!" aku memanggil. Sekali lagi kami menekan bel dan mengetuk pintu."Mungkin semuanya sedang pergi," ujar Lily Dia berbalik dan menghampiri jendela depan. Sambil berjinjit, dia berusaha mengintip."Kau bisa lihat ke dalam?" tanyaku.Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Mataharinya memantul di kaca. Tapi sepertinya di dalam gelap.""Mobil mereka juga tidak ada," aku berkomentar.

  • Aku mengetuk sekali lagi, kali ini sekeras mungkin. Di luar dugaanku, pintu depan membuka sedikit."Hei-pintunya terbuka!" aku memberitahu Lily.Dia segera kembali ke teras. "Halo? Ada siapa di ini?" aku memanggil.Tak ada jawaban."Hei-pintunya terbuka!" aku berseru.Lily mendorong pintu depan hingga terbuka sepenuhnya, dan kami melangkah masuk. "Manny?" dia memanggil, sambil menempelkantangan di sekeliling mulut. "Manny?"Aku masuk ke ruang duduk dan memekik tertahan.Aku berusaha mengatakan sesuatu, tapi suaraku seakan-akan tersangkut di tenggorokkan. Aku membelalakkan mata, seolah-olah takutsalah lihat.

    16LILY meraih lenganku ketika kami memandang sekeliling ruang duduk.Ruang itu kosong melompong. Tanpa perabot. Tanpa tirai. Tanpa lukisan maupun poster di dinding. Karpetnya pun telah diangkat dari lantaikayu yang mengilap."K-ke mana mereka?" aku bertanya dengan suara seperti orang tercekik.Lily melewati koridor dan menuju dapur. Juga kosong. semua telah diangkut, termasuk lemari es."Mereka pindah!" seru Lily. "Ya ampun, mereka pindah!""Tapi kenapa Manny tidak memberitahu kita?" tanyaku. Pandanganku menyapu ruangan yang kosong itu. "Kenapa dia tidak pernah ceritabahwa keluarganya mau pindah?"Lily cuma menggelengkan kepala. seluruh rumah hening. Samar-samar kudengar suara air menetes dari talang di luar."Barangkali mendadak mereka harus pindah, Lily akhirnya berkata."Mendadak? Kenapa?" tanyaku.Kami berdua tak dapat menjawab pertanyaan itu.Aku suka berlari. Maksudku berlari untuk kesenangan, bukan berlari karena dikejar segerombolan anjing buas.Aku senang kalau jantungku berdegup kencang. Aku suka bunyi debam-debum yang terdengar saat sepatu kets-ku menginjak tanah. Danaku juga suka kalau otot-ototku bekerja sama dengan baik.Hampir setiap sabtu aku ikut berlari pagi bersama ayahku. Dia selalu memilih jalan setapak yang menyusuri danau kecil di Miller Woods.Tempat itu indah sekali. Udaranya selalu segar, dan suasananya sunyi senyapAyahku tinggi, langsing, dan cukup atletis. Dulu dia juga berambut pirang seperti aku, tapi sekarang sebagian besar rambutnya berwarna

  • kelabu, ubun-ubunnya malah sudah botak.Setiap hari dia lari pagi sebelum berangkat kerja. Dan menurutku dia lari cukup kencang. Tapi pada hari Sabtu dia lebih santai, supayakami bisa lari berdampingan.Biasanya kami berlari tanpa bicara. Maksudnya, supaya kami bisa lebih menikmati pemandangan dan udara yang segar.Tapi pada hari sabtu pagi ini, aku ingin mengobrol. Aku telah memutuskan untuk bercerita tentang semuanya kepada ayahku. Tentangbotol INSTA-TAN yang kutemukan. Juga tentang bulu-bulu hitam yang mulai tumbuh di tubuhku.sementara aku bercerita, pandanganku tetap tertuju lurus ke depan. Aku melihat dua burung gagak besar melayang dari langit yang birulalu bertengger berdampingan di sebuah dahan. Kedua burung itu berkaok-kaok dengan keras, seakan-akan bicara dengan kami.Aku dan ayahku terus berlari mengitari danau. Permukaannya tampak berkilau-kilau. Di sana-sini terlihat kepingan es mengapung di airyang berwarna biru kehijauan.Aku mulai dari awal dan menceritakan semuanya. Ayahku memperlambat langkahnya agar dapat mendengar lebih jelas, tapi kami tetapberlari.Aku bercerita bagaimana kutemukan botol INSTA-TAN dan bagaimana kami mengoleskannya ke tubuh masing-masing, sekadar isengsaja. Ayahku mengangguk, namun pandangannya tetap lurus ke depan. "Kelihatannya obat itu tidak manjur," komentarnya dengan napasagak tersengal-sengal. "Rasanya kulitmu tidak bertambah cokelat, Larry.""Ya, aku tahu," ujarku. "Obat itu sebenarnya sudah kedaluwarsa. Masa berlakunya sudah lama lewat."Aku menarik napas panjang. Bagian berikut adalah bagian yang paling sulit kuceritakan. "Kulitku memang tidak bertambah cokelat. Tapiaku mengalami sesuatu yang benar-benar aneh."Ayahku terus berlari. Kami melompati dahan mati yang tergeletak di tanah. Aku sempat tergelincir karena menginjak setumpuk daunbasah, tapi masih bisa menjaga keseimbangan."Di badanku mulai tumbuh bulu-bulu aneh," aku berkata dengan suara bergetar. "Mula-mula di punggung tangan kananku. Lalu di keduatanganku. Lalu di lututku."Ayahku berhenti. Dia berpaling dan menatapku dengan cemas. "Bulu-bulu?"Aku mengangguk sambil terengah-engah. "Bulu-bulu hitam. Kasar dan tajam."Ayahku menelan ludah. Dia membelalakkan mata. Karena kaget? Karena ngeri? Karena tidak percaya?Aku tidak bisa memastikannya.

  • Di luar dugaanku, dia meraih lenganku dan mulai menarikku. "Ayo, Larry. Kita harus pulang.""Tapi-" aku mulai protes.Genggamannya bertambah erat dan aku ditariknya lebih keras lagi. "Ayo, kita harus pulang!" dia menegaskan ambil menggertakkan gigi."sekarang!"Dia menarik begitu keras, sehingga aku nyaris terjungkal!"Aduh-ada apa sih?" tanyaku dengan suara melengking tinggi. "Ada apa sebenarnya?"Dia tidak menyahut. Dia menarikku menyusuri jalan setapak sampai ke jalan raya. Matanya menyorot liar. Dan dia meringis seakan-akandicekam ketakutan yang amat sangat."Ada apa, Dad?" tanyaku. "Aku mau dibawa ke mana? Ke mana?

    17DR. MURKIN mengangkat alat suntik dan memeriksanya di bawah cahaya lampu. "Coba berpaling ke arah lain, Larry," dia berkata dengansuaranya yang pelan. "Saya tahu kau tidak suka melihat ini. Tenang saja. Ini takkan terasa."Jarum suntiknya menembus kulitku, dan seketika rasa sakit menjalar ke seluruh lenganku. Aku memejamkan mata dan menahan napassampai jarum itu dicabut lagi.sebenarnya memang belum waktunya," dia berkata sambil menggosok lenganku dengan bola kapas yang telah dibasahi alkohol. "Tapimumpung kau di sini, sekalian saja saya suntik. Daripada harus bolak-balik."Ayahku duduk dengan tegang di kursi lipat yang merapat ke dinding kamar periksa yang kecil. Kedua lengannya disilangkannya di dada."Ba-bagaimana dengan bulu-bulu itu? aku bertanya sambil tergagap-gagap. "Apakah INSTA- TAN itu-"Dr. Murkin menggelengkan kepala. "saya kira bukan obat itu yang menyebabkan pertumbuhan bulu. Lotion seperti itu hanya berpengaruhterhadap pigmen-pigmen di kulit. Dan-""Tapi obat itu sudah kedaluwarsa!" aku berkeras. "Siapa tahu isinya sudah asam atau basi!"Dia melambaikan tangan seakan-akan hendak berkata, "Tidak mungkin."Kemudian dia berbalik dan mulai menambahkan catatan dalam file-ku. "Maaf, Larry," dia berkata sambil menuliskan huruf-huruf berukuranmungil."Penyebabnya bukan obat itu. Percayalah." Dr. Murkin kembali menatapku dengan saksama. "Kau sudah saya periksa dari ujung kepalasampai ujung kaki. Kau juga sudah melewati semua tes. Artinya, kau baik-

  • baik saja.""Uh! saya lega sekali!" ujar ayahku sambil menghela napas."Tapi bulu-bulu itu-" aku masih berkeras."Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya," Dr. Murkin menyahut sambi1 menatap ayahku."Tunggu saja?" aku berseru. "Saya tidak diberi obat untuk menghentikan pertumbuhan bulu-bulu itu?""Mungkin saja kejadian itu takkan terulang lagi," balas Dr. Murkin. Dia menutup map berisi dataku, lalu memberi isyarat agar aku turun darimeja periksa."Cobalah jangan memikirkan hal itu, Larry," Dr. Murkin berkata sambil menyerahkan jaketku. "Kau baik-baik saja.""Terima kasih, Dr. Murkin," ujar ayahku sambil berdiri. Dia mengembangkan senyum, tapi aku tahu senyumnya terpaksa. Ayahku tetap kelihatan tegang.Aku mengikutinya ke pelataran parkir. Kami sama-sama membisu sampai kami duduk di dalam mobil dan melaju ke rumah. "sudah lebihenak?" tanya ayahku. Dia memandang lurus ke depan sambil memicingkan mata."Belum," jawabku gundah."Apa lagi sekarang?" ayahku bertanya dengan nada jengkel. "Kau sudah diperiksa Dr. Murkin,dan katanya kau baik-baik saja.""Tapi bagaimana dengan bulu-bulu hitam itu?" aku berseru dengan gusar. "Bagaimana? Kenapa dia tidak melakukan apa-apa? Apakah diatidak percaya padaku?""Ayah yakin dia percaya," ayahku berkata dengan lembut."Kalau begitu, kenapa dia tidak berbuat apa-apa untuk menolongku?" aku meratap.Ayahku membisu lama sekali. Dia menatap lurus ke depan sambil menggigit-gigit bibir. Lalu, akhirnya, dia berkata pelan-pelan, "Kadangkadangkita memang hanya bisa menunggu."Sore itu kami berkumpul di rumah Lily untuk latihan band. Permainan kami cukup baik-tapi tanpa Manny rasanya tetap saja lain.Kami semua kecewa sekali karena dia pindah tanpa berpamitan. Lily sempat minta tolong ibunya untuk menelepon beberapa teman yangakrab dengan orangtua Manny. Dia ingin tahu ke mana Manny dan orangtuanya pindah.Tapi orang-orang yang dihubungi ternyata sama kagetnya seperti kami. Ternyata tak seorang pun tahu bahwa keluarga Manny berencanapindah ke tempat lain.Tetapi di pihak lain, lagu-lagu yang kami bawakan terdengar lebih enak dengan dua gitar daripada tiga. suara Lily kecil sekali saat dia

  • bernyanyi tidak bertenaga. Dan dia hampir selalu kewalahan menghadapi tiga gitar.Tanpa Manny, suara Lily kadang-kadang terdengar jelas.Aku terus melakukan kesalahan ketika kami berlatih lagu Beatles-I Want to Hold Your Hand. Berulang kali kumainkan chord yang keliru,dan iramanya juga tidak pas.Aku tahu apa penyebabnya. Aku terus memikirkan Dr. Murkin dan sikapnya yang tidak percaya ketika aku menceritakan soal bulu-buluyang bermunculan di tubuhku. Dia bilang penyebabnya bukan INSTA-TAN. Tapi mungkin saja dia keliru.Aku begitu kesal-dan begitu... kesepian.Kami mulai memainkan I Want to Hold Your Hand untuk kedua puluh kalinya, dan aku memandang berkeliling, mengamati teman-temanku.Mungkinkah mereka menghadapi masalah yang sama seperti aku? Mungkinkah di tubuh mereka juga tumbuh bulu-bulu hitam yangmenjijikkan, tapi tidak berani untuk berterus terang?Pertama kali aku menanyakannya, aku malah ditertawakan dan dijuluki Hairy Larry oleh Lily. Tapi aku harus bertanya sekali lagi. Akuharus memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang terus mengusik pikiranku.Aku menunggu sampai latihan kami selesai. Kristina sedang memasukkan gitarnya ke dalam kotak. Jared pergi ke dapur untuk mengambilCoca-Cola dari lemari es. Lily berdiri di samping sofa sambil memegang-megang keping emas pada kalungnya."A-aku mau menanyakan sesuatu," ujarku dengan gugup ketika Jared kembali.Dia membuka kaleng minumannya, dan langsung tersemprot busa Coca-Cola. Semua tertawa."Masa buka kaleng Coca-Cola saja kau tidak bisa?" Lily berkelakar. "Barangkali kau perlu buku panduan untuk itu?""Ha-ha," balas Jared sambil mengusap wajah dengan lengan bajunya. "Kau sengaja mengocok semua kaleng supaya kami kena semprot.Ayo, akui saja."Kristina tertawa sambil menutup kotak gitarnya. "Lain kali pilih jus kotak saja, Jared."Jared menjulurkan lidah.Aku berdeham keras-keras. "Ada yang ingin kutanyakan pada kalian," aku mengulangi dengan suara bergetar.Mereka semua sedang riang gembira, tertawa dan bercanda. sepertinya mereka normal-normal saja.Kenapa cuma aku yang cemas dan takut?"Kalian masih ingat INSTA-TAN yang kutemukan waktu itu?" tanyaku. "Apakah di antara kalian ada yang tumbuh bulu setelah

  • mengoleskan obat itu?" Wajahku mendadak terasa panas membara. "Maksudku, bulu-bulu hitam yang benar-benar jelek?"Jared mulai tertawa, dan Coca-Cola yang sedang diminumnya menyembur lewat hidungnya: serta-merta dia terbatuk-batuk. Kristina segeramenepuk-nepuk punggungnya."Hairy Larry!" seru Jared setelah batuknya mereda. Dia menunjukku dengan kaleng Coca-Cola-nya dan mulai bersenandung. "Hairy Larry!Hairy Larry!""Ayo dong!" aku memohon. "Aku serius nih."Kristina dan Jared malah tertawa semakin keras. Aku berpaling kepada Lily, yang masih berdiri di samping sofa. Dia tampak prihatin. Danyang jelas, dia sama sekali tidak ikut tertawa. Dia justru menundukkan kepala ketika aku terus menatapnya."Larry ternyata manusia serigala!" Seru Jared."Moga-moga The Geeks tidak perlu main di saat bulan purnama!" Kristina menimpali."siapa tahu lolongan Larry lebih merdu ketimbang permainan gitarnya!" ujar Jared. Keduanya tertawa terpingkal-pingkal."A-aku cuma bercanda!" aku tergagap-gagap.Aduh, rasanya lebih baik ditelan bumi daripada harus menanggung malu begini.Kini aku sadar, Aku satu-satunya. Aku satu-satunya yang ditumbuhi bulu-bulu jelek itu.Karena itulah Jared dan Kristina menganggap hal itu begitu lucu. Karena mereka tidak mengalaminya. Mereka tidak perlu risau mengenaibulu-bulu itu.Tapi Lily tidak ikut mengolok-olokku. Dia berpaling dan mulai memungut catatan not balok yang berserakan di lantai dan merapikanruangan.selama ini, Lily tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengolok-olok dan membuat mukaku jadi merah. Aku mengamatinyasambil bertanya-tanya apakah dia memiliki rahasia yang sama denganku.Kuraih gitarku lalu menunggu sampai Jared dan Kristina pulang. Kemudian aku mengenakan jaket dan topi baseball-ku, lalu mengikuti Lilyke pintu depan.Di teras, aku berbalik dan menatapnya dengan tajam. "Lily, aku minta kau berterus terang," aku mendesak. "Apakah di tangan dan lututmutumbuh bulu-bulu hitam?"Dia tampak bimbang, dan menggigit-gigit bibir. "Aku... aku tidak mau bicara soal itu," dia menyahut sambil berbisik.Kemudian dia membanting pintu.Aku berdiri seperti patung. Roman mukanya yang cemas masih terbayang-bayang dalam benakku, dan kalimatnya yang terakhir pun terus

  • terngiang-ngiang di telingaku.Mungkinkah dia mengalami hal yang sama seperti aku? Tapi kalau memang begitu, kenapa dia tidak mau berterus terang padaku? Apakahdia terlalu malu? Ataukah dia malu merasa kasihan padaku?Bisa jadi dia baik-baik saja, pikirku. Bisa jadi dia cuma menyangka aku sudah tidak waras. Pasti dia merasa kasihan padaku karena akubertingkah begitu aneh.Aku jadi semakin bingung. Perlahan-lahan aku berbalik, keluar ke jalan. Matahari masih bersinar di langit, tapi udara terasa dingin. Anginkencang menerpa wajahku ketika aku berjalan pulang.Sambil mencondongkan badan ke depan untuk melawan angin, kuangkat tanganku untuk menarik topi baseball-ku agar tidak tertiup angin.Tapi ternyata topiku tidak bergerak sedikit pun.Topiku tiba-tiba terasa kencang sekali. Terlalu kencang.Aku melepaskannya dan mengamatinya dengan saksama. Aduh, siapa sih yang iseng mengencangkan bagian belakangnya?Ternyata tak ada yang usil.Sambil merinding aku meraba keningku. Dan saat itulah aku menyadari kenapa topiku mendadak kekecilan.Seluruh keningku tertutup bulu-bulu kasar yang tumbuh lebat.

    18LEWAT pintu belakang aku masuk ke dapur. "Mom, coba lihat ini!" aku berseru. "Coba lihat kepalaku!"Kusebarkan pandanganku berkeliling. "Mom?"Dia tidak di dapur.Aku bergegas melintasi setiap ruangan sambil memanggil-manggil. Aku telah bertekad memberitahu orangtuaku apa yang sedang terjadidenganku. Sudah waktunya mereka percaya.Mereka pasti akan kaget setengah mati kalau melihat bulu-bulu di keningku. Dan setelah itu mereka akhirnya akan percaya bahwa inimasalah serius."Mom? Dad?"Tak ada yang menyahut.Ketika kembali ke dapur, aku menemukan pesan yang menempel di pintu lemari es: MOM DAN DAD PERGI BELANJA KE BRUNKESDALE VILLAGE. PULANG MALAM KALAU LAPAR, MAKAN ROTI DULU.Sambil berteriak kesal, kucampakkan topiku ke lantai. Kemudian kubuka jaketku dan kubiarkan jatuh begitu saja.Jantungku berdebar-debar ketika menuju cermin di dekat pintu depan. Aku kelihatan seperti mutan dalam buku komik!Kutatap wajahku yang pucat. Tampangku masih seperti biasa. Hanya saja

  • keningku ditumbuhi bulu lebat berwarna hitam.Seperti memakai ikat kepala, pikirku gundah. Seperti ikat kepala yang biasa dipakai para pemain ski. Hanya saja ikat kepala ini terbuatdari bulu-bulu menjijikkan.Dengan tangan gemetaran kuraba bulu-bulu lebat itu. Aku hampir terisak-isak. Rasanya aku ingin menangis dan berteriak-teriak sekaligus.Rasanya aku ingin menjambak bulu-bulu dan mencabut semuanya dari kepalaku.Aku tidak tahan melihat bayanganku di cermin. Bulu-bulu itu begitu jelek, begitu menjijikkan. Akhirnya aku memutuskan bahwa aku tidakbisa menunggu sampai orangtuaku pulang. Bulu-bulu mengerikan itu tidak bisa kubiarkan tumbuh di wajahku. Serta-merta aku berlari keatas untuk bercukur.Kugosok bulu-bulu itu dengan krim c


Recommended